You are on page 1of 17

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN ENCENGGONDOK (Eichornia crassipes).


UNTUK MENGURANGI POLUTAN LOGAM PADA LIMBAH OLI
BEKAS

Disusun Oleh:
RINA AHADIATI
05308144026
BIOLOGI NR’ 05

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dizaman modern seperti sekarang ini kegiatan manusia telah banyak
dimudahkan dengan berbagai macam bantuan mesin. Untuk menjalankan
mesin dibutuhkan minyak pelumas sebagai sumber tenaga mesin tersebut
supaya dapat digunakan. Minyak pelumas berfungsi sebagai pencegah keausan
akibat gesekan komponen mesin, pendingin, perapat, peredam suara dan
mencegah korosi. Dalam menjalankan fungsinya setelah jangka waktu tertentu
minyak pelumas harus diganti karena tidak lagi memenuhi spesifikasi yang
diperlukan oleh mesin. Sejalan dengan laju pembangunan, makin banyak
diperlukan alat transportasi dan mesin-mesin yang membutuhkan minyak
pelumas.
Belum tertibnya pembuangan limbah oli sebagai imbas menjamurnya
industri perbengkelan dalam kota bakal menimbulkan persoalan tersendiri.
belum menyediakan tempat pembuangan ataupun wadah khusus yang
menampung limbah industri perbengkelan tersebut pemandangannya jadi
tidak bagus. Hal ini berarti pula makin banyaknya jumlah minyak pelumas
bekas yang dihasilkan. Apabila minyak pelumas bekas tersebut langsung
dibuang, tentu saja akan mencemari lingkungan karena dalam minyak pelumas
bekas terkandung kotoran-kotoran logam, aditif, sisa bahan bakar dan kotoran
yang lain. Jika minyak pelumas bekas dipakai dalam pembakaran langsung
akan mencemari lingkungan karena bau dan sisa karbonnya. Dalam
perkembangan masyarakat juga dibidang kendaraan dan industri masalah
minyak pelumas bekas tidak dapat dianggap masalah yang ringan. Tapi
bagaimanapun juga, oli bekas sangat berbahaya bagi lingkungan. Sekecil
apapun limbah oli pasti mempunyai dampak bagi kerusakan lingkungan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Oli bekas merupakan zat yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan
penghuninya jika dibuang langsung kelingkungan karena oli bekas
mengandung kotoran-kotoran logam, aditif, sisa bahan bakar dan
kotoran yang lain.
2. Perlu adanya pengolahan sebelum oli bekas dibuang kelingkungan.
3. Dalam pengolahan oli bekas ini yang perlu diperhatikan adalah
parameter kadar logam berat nya.
C. BATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini pembatasan masalah yang dikemukakan adalah
berbatas pada pengukuran kadar logam yang terdapat pada limbah oli bekas
sebelum dan sesudah diberi encenggondok (eichornia crassipes).

D. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah encenggondok berpengaruh untuk mengurangi pencemaran
terhadap limbah oli bekas?
b. Bagaimana cara encenggondok dapat mengurangi pencemaran logam
pada limbah oli bekas?

E. TUJUAN PENELITIAN
a) Untuk mengetahui pengaruh encenggondok terhadap limbah oli bekas
b) Untuk mengetahui cara encenggondok dapat mengurangi kadar logam
pada limbah oli bekas?

F. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Memberikan informasi tentang pencemaran limbah oli bekas
2. Memberikan informasi tentang bahaya pencemaran limbah oli bekas
3. Memberikan alternative penggunaan encenggondok dalam
menurunkan pencemaran
4. Menambah khasanah kekayaan ilmu pengetahuan dalam menunjang
penelitian selanjutnya terutama tentang penggunaan encenggondok.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Polutan
Berbasis pada wawasan kita terhadap resiko polusi lingkungan oleh ion
logam berat, hal ini menyebabkan mau tidak mau harus memperbaiki kembali
perhatian terhadap sistem pengolahan limbah logam - logam berat tersebut.
Salah satunya adalah proses pengolahan dengan menggunakan fetorimediasi
dengan tujuan mengurangi tingkat keracunan elemen polusi terhadap
lingkungan, pendekatan ini dapat mengacu pada proses bioremediasi. Saat ini,
pengolahan secara biologis untuk mengurangi ion logam berat dari air
tercemar muncul sebagai teknologi alternatif yang berpotensi untuk
dikembangkan dibandingkan dengan proses kimia, seperti menambahkan zat
kimia tertentu untuk proses pemisahan ion logam berat atau dengan resin
penukar ion (exchange resins), dan beberapa methode lainnya seperti
penyerapan dengan menggunakan karbon aktif, electrodialysis dan reverse
osmosis. Saat ini banyak hasil studi laboratorium dilaporkan secara detail pada
berbagai tulisan ilmiah khususnya berkaitan dengan evaluasi proses berbasis
bioteknologi dalam cakupan tujuan bioremoval logam berat. Bioremoval
didefinisikan sebagai terakumulasi dan terkonsentrasinya zat polusi (pollutant)
dari suatu cairan oleh material biologi, selanjutnya melalui proses rekoveri
material ini dapat dibuang dan ramah terhadap lingkungan. Berbagai jenis
mikroba biomassa dapat digunakan untuk tujuan ini. Proses bioremoval
berpotensi tinggi dalam kontribusinya untuk mengurangi kadar logam berat
pada level konsentrasi yang sangat rendah. Bioremoval lebih efektif dibanding
dengan ion exchange dan reverse osmosis dalam kaitannya dengan sensitifitas
kehadiran padatan terlarut (suspended solid), zat organik dan logam berat
lainnya, serta lebih baik dari proses pengendapan (presipitation) bila dikaitkan
dengan kemampuan menstimulasikan perubahan pH dan konsentrasi logam
beratnya. Beranjak dari bahasan di atas, terlihat sangat diperlukan suatu kajian
teknologi alternatif dalam menangani permasalahan kontaminasi logam berat
di lingkungan.
B. Jenis – Jenis Polutan
Kualitas lingkungan yang semakin memburuk akibat pencemaran pada
udara, air, dan tanah merupakan ancaman besar bagi kelangsungan kehidupan
makhluk hidup di bumi, tidak terkecuali manusia. Beberapa jenis polutan yang
berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, selain gas beracun, adalah
logam kimia berbahaya jenis logam berat, seperti tembaga (Cu), kobait (Co),
timbal (Pb), kadmium (Cd), kromium (Cr), mangan (Mn), raksa (Hg), nikel
(Ni), senyawa pestisida dan beberapa jenis senyawa organik. Jika melewati
ambang batas, keberadaan jenis-jenis polutan tersebut diketahui bersifat racun
dan teratogenik, juga bersifat karsinogenik, yaitu dapat menimbulkan
terjadinya penyakit kanker.
Keberadaan polutan logam berat di lingkungan selain memang alami
sebagai batuan mineral, juga terjadi karena berbagai jenis kegiatan manusia.
Jenis kegiatan manusia yang menghasilkan atau meningkatkan kandungan
logam tersebut, antara lain pertambangan, peleburan logam, pelapisan logam,
gas buang kendaraan, proses produksi/konversi energi dan bahan bakar.
Sedangkan senyawa pestisida dan senyawa organik berupa pelarut umumnya
dihasilkan oleh kegiatan agroindustri dan limbah proses industri, terutama
industri cat, polimer, dan adhesive.
C. Pengertian limbah menurut PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1999 :
1. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
2. Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa
suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau
beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
D. Teknik Fetorimediasi
Teknik fitoremediasi beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kandungan logam berbahaya, pestisida, dan senyawa organik tertentu di dalam
tanah dan air, terutama di kota besar dan kawasan industri, telah melampaui
ambang batas dan cenderung menuju ke tingkat membahayakan.
Oleh karena itu, dipacu oleh akibat kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl –
Rusia pada tahun 1986, beberapa peneliti Amerika dan Ukraina telah
melakukan penelitian terhadap kemampuan tanaman jenis Indian mustard
untuk meminimalkan kandungan unsur cesium dan stronsium dalam tanah
yang telah terpapar oleh senyawa radioaktif. Sedangkan di Iowa – AS, para
peneliti mencoba pohon poplar untuk menurunkan kandungan senyawa
pestisida jenis atrazine yang terpapar di dalam tanah dan air tanah.
Penghilangan senyawa atrazine serta unsur radioaktif sangat penting karena
kedua jenis senyawa itu merupakan senyawa karsinogenik. Beberapa tahun
yang lampau beberapa peneliti Indonesia juga melakukan penelitian dan
pengukuran daya penurun kandungan logam berat dan unsur radioaktif dengan
menggunakan tanaman encenggondok.
Tiga penelitian di atas adalah contoh pengolahan limbah berbahaya
menggunakan teknologi fitoremediasi. Fitoremediasi didefinisikan sebagai
teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya,
seperti logam berat, pestisida, dan senyawa organik beracun dalam tanah atau
air menggunakan bantuan tanaman. Teknologi ini mulai berkembang dan
banyak digunakan karena memberikan banyak keuntungan. Teknologi ini
potensial untuk diaplikasikan, aman untuk digunakan dan dengan dampak
negatif relatif kecil, memberikan efek positif yang multiguna terhadap
kebijakan pemerintah, komunitas masyarakat dan lingkungan, biaya relatif
rendah, mampu mereduksi volume kontaminan, dan memberikan keuntungan
langsung bagi kesehatan masyarakat.
E. Keuntungn menggunakan fetorimediasi
Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya
operasi lebih murah bila dibandingkan pengolahan konvensional lain seperti
insinerasi, pencucian tanah berdasarkan sistem kimia dan energi yang
dibutuhkan. Sebagai perbandingan, sistem pencucian logam membutuhkan
biaya sekitar US$ 250/kubik yard sedangkan fitoremediasi hanya
membutuhkan US$ 80/kubik yard. Teknologi fitoremediasi dikembangkan
berdasarkan kemampuan beberapa jenis tanaman dalam menyerap beberapa
logam renik seperti seng (Zn) dan tembaga (Cu) dalam pertumbuhannya.
F. Beberapa Jenis Tanaman Yang Digunakan Untuk Fetoremidiasi
Berdasarkan logam yang diperlukan untuk pertumbuhannya dikenal
beberapa jenis tanaman yaitu serpentine (memerlukan tanah yang kaya akan
unsur Ni, Cr, Mn, Mg, Co), seleniferous (memerlukan tanah yang kaya akan
unsur Se), uraniferous (memerlukan tanah yang kaya akan unsur uranium),
dan calamine (memerlukan tanah yang kaya akan unsur Zn dan Cd).
Berdasarkan sifat tanaman tersebut, para peneliti mulai mengamati dan
meneliti kemungkinan penggunaan tanaman untuk pengolahan atau
penghilangan logam berat dalam tanah atau air. Beberapa jenis tanaman di
Kaledonia Baru, Filipina, Kuba, Brazil, Eropa Tengah, Afrika Tengah dan
sedikit di Asia menunjukkan sifat hiper-akumulasi, yaitu sifat daya
penyerapan atau akumulasi yang tinggi terhadap logam dalam sistem jaringan,
hingga mencapai kadar 1.000 – 10.000 ppm.
Berdasarkan jenis logam yang dapat diakumulasi dikenal tiga jenis
golongan tanaman yaitu akumulator Cu/Co, akumulator Zn/Cd/Pb dan
akumulator Ni. Contoh tanaman yang bersifat hiper-akumulasi antara lain
Streptanthus polygaloides, Sebertia acuminata, Armeria maritima, Aeollanthus
biformifolius, Haumaniastrum katangense, spesi Astralagus, genus Thlaspi
dan Alyssum.
Beberapa peneliti di Amerika juga tengah meneliti beberapa tanaman yang
mampu menurunkan kandungan trikloroetana (CHCl3), suatu pelarut organik
yang sangat beracun, dan karsinogen, trinitrotoluen (TNT) atau bahan kimia
untuk pembuatan bom, dan pestisida.
Sampai saat ini, para peneliti masih mengaji mekanisme yang terjadi
dalam proses pengolahan logam secara fitoremediasi. Beberapa mekanisme
yang diusulkan, tetapi belum dimengerti secara mendalam, antara lain
pembentukan khelat logam dalam sistem intraselular atau ekstraselular,
terjadinya senyawa logam yang mudah mengendap, dan munculnya akumulasi
dan translokasi logam dalam sistem vaskular tanaman. Selain penelitian
mekanisme dalam proses di atas, para peneliti juga masih terus mencari,
menyeleksi, dan mengidentifikasi sejumlah tanaman dari seluruh belahan
bumi yang potensial untuk digunakan proses fitoremediasi. Penelitian
dibutuhkan sebelum aplikasi di lapangan untuk menghindari dampak negatif
yang mungkin timbul. Ada empat informasi penting yang dicari dalam
penelitian. Pertama, kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman
untuk berbagai jenis logam dan konsentrasi, sifat kimia dan fisika tanah, dan
sifat fisiologi tanaman. Kedua, spesifikasi transpor dan akumulasi logam.
Ketiga, mekanisme akumulasi dan hiper-akumulasi ditinjau secara fisiologi,
biokimia, dan molekular. Keempat, kesesuaian sistem biologi dan evolusi pada
akumulasi logam.
G. Aplikasi fetoremidiasi
Sebagai pengembangan dari teknologi fitoremediasi, peneliti dari
Universitas New Jersey, Amerika mengembangkan tiga bidang baru sebagai
bagian dari fitoremediasi yaitu fitoekstrasi, rizofiltrasi dan fitostabilisasi.
Ketiga bidang baru ini diharapkan akan mempercepat pengembangan aplikasi
dan pemahaman mekanisme reaksi dalam proses fitoremediasi. Penggunaan
fitoremediasi seperti teknologi pengolah limbah lain, antara lain insinerator,
landfill, dan pencucian secara kimia juga menimbulkan kekhawatiran.
Terutama kemungkinan akibat yang timbul bila tanaman yang telah menyerap
logam berat tersebut dikonsumsi oleh hewan dan serangga. Dampak negatif
yang dikhawatirkan adalah terjadinya kematian pada hewan dan serangga atau
terjadinya akumulasi logam pada predator-predator jika mengonsumsi
tanaman yang telah digunakan dalam proses fitoremediasi
Bagaimanapun juga, teknologi fitoremediasi sebagai metode
biokonsentrasi bahan limbah berbahaya dalam tanah dan air merupakan
bidang penelitian yang sangat menarik. Bidang ini juga memberikan jawaban
pertanyaan mendasar tentang sistem biokimia, nutrisi, dan fisiologi tanaman
serta mekanisme akumulasi, resistensi , dan pembersihan bahan berbahaya.
H. Limbah oli bekas
Semua pengetahuan di atas sangat berguna untuk aplikasi di bidang
agroindustri dan lingkungan. Fitoremediasi walaupun sekarang masih dalam
tahap pengembangan, diharapkan akan menjadi teknologi pembersih
lingkungan yang tangguh di era mendatang, sehingga program penghijauan
dan pembersihan bumi kita akan segara tercapai. Berdasarkan kriteria limbah
yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, oli bekas termasuk
kategori limbah B3. Meski oli bekas masih bisa dimanfaatkan, bila tidak
dikelola dengan baik, ia bisa membahayakan lingkungan.  Sejalan dengan
perkembangan kota dan daerah volume oli bekas terus meningkat seiring
dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor dan mesin-mesin bermotor.
Didaerah pedesaan sekalipun, sudah bisa ditemukan bengkel-bengkel kecil,
yang salah satu limbahnya adalah oli bekas. Dengan kata lain, penyebaran oli
bekas sudah sangat luas dari kota besar sampai ke wilayah pedesaan di seluruh
Indonesia.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, sebagian tugas Pemerintah
Pusat didelegasikan ke pemerintah daerah. Pendelegasian itu merupakan
amanat Undang – Undang no 32 tahun 2004. Kewenangan pemerintah
daerah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah no 38 tahun 2007. (perlu 3
tahun lebih untuk menjabarkan UU menjadi PP).  Berbagai aspek
pemerintahan dan pembangunan dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah
tersebut termasuk kewenangan dalam pengelolaan dan pengendalian
lingkungan hidup.
Akan tetapi ada hal yang agak kurang rasional dalam PP 38/2007
khususnya dalam hal pengelolaan limbah B3, terutama untuk oli bekas.
Sebelum PP 38/2007 terbit, praktis segala sesuatu tentang kewenangan
pengaturan, pengendalian limbah B3 berada pada Pemerintah Pusat yaitu pada
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). Kewenangan itu termasuk
pemberian perijinan untuk pengumpulan, penyimpanan sementara,
pengangkutan dan pengolahan limbah B3. Sesuai PP 38/2007, kewenangan
untuk pengaturan dan pengendalian kegiatan pengumpulan limbah B3
diberikan kepada Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Kota). Artinya
pemerintah Kota atau Kabupaten diberi kewenangan untuk mengatur dan
memberikan ijin bagi kegiatan pengumpulan sementara limbah B3. Anehnya
kewenangan pengumpulan itu mempunyai pengecualian, yaitu untuk
pengumpulan limbah B3 oli bekas. 
Berdasarkan PP 38/2007, kewenangan untuk perijinan dan pengendalian
oli bekas mulai dari pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan dan
pengolahan sepenuhnya berada pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Ini artinya bila ada bengkel sepeda motor maka sipengusaha bengkel harus
mengajukan permohonan ijin penyimpanan oli bekas ke KNLH di Jakarta.
Pengusaha kecil seperti bengkel sepeda motor, kalau diminta mengurus ijin ke
jakarta, maka ia akan memilih tidak mempunyai ijin. Ketentuan ini jelas tidak
rasional, kegiatan yang justru sudah sangat banyak di daerah, tetapi
kewenangan pengaturannya di Pemerintah Pusat.
Akibat dari ketentuan PP38/2007 untuk oli bekas yang demikian, sudah
dapat diduga, semakin banyak kegiatan pengumpulan, penyimpanan,
pengangkutan dan pengolahan oli bekas yang tidak bisa dikontrol. Adalah
tidak masuk akal kalau KNLH mampu melakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap oli bekas di seluruh Indonesia. KNLH tidak
mempunyai perangkat dan instrumen untuk melakukan pengawasan sampai
keseluruh daerah.
Seharusnya kegiatan yang sudah sangat tinggi volumenya seperti oli
bekas, maka kewenangan pengawasannya diberikan kepada pemerintah
daerah. Terlepas dari segala kekurangan pemerintah daerah dalam melakukan
tugas tersebut, tetapi secara rasional, pengawasan oli bekas tidak mungkin
dilakukan oleh KNLH dari Jakarta. Adalah sangat tidak masuk akal, kalau
kebijakan seperti ini terus dipertahankan oleh KNLH..
I. Morfologi Encenggondok
Encenggondok adalah salah satu jenis tumbuhan air yang pertama kali
ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Karl Von
Mortius pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai
Amazon Brazilia. Karena kerapatan pertumbuhan encenggondok yang tinggi,
tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan
perairan. Encenggondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke
badan air lainnya.
Pertumbuhan missal encenggondok akan terjadi bila perairan mengalami
penyuburan oleh pencemaran. Keadaan ini akan terjadi bila kemampuan
asimilasi zat yang masuk ke perairan mengalami penurunan.
Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar
dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang.
Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing,
pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan
berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir,
kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam.
Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar
serabut.
J. Klsifikasi Encenggondok
Sama dengan tumbuhan lainnya, eceng gondok juga mempunyai nama
latin yaitu : Eichhornia crassipes.
Klasifikasi Eceng Gondok
Klasifikasinya adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Suku : Pontederiaceae
Marga : Eichhornia
Jenis : Eichhornia crassipes Solms
K. Pemanfaatan encenggondok
Pemanfaatan encenngondok untuk produk tertentu merupakan cara yang
lebih bijak jika dibandingkan dengan cara-cara lain sebab risiko yang
ditimbulkan lebih kecil. Pemanfaatan encenngondok untuk memperbaiki
kualitas air yang tercemar telah biasa dilakukan, khususnya terhadap limbah
domestik dan industri sebab encenngondok memiliki kemampuan menyerap
zat pencemar yang tinggi daripada jenis tumbuhan lainnya. Menyerap bahan
organic Kecepatan penyerapan zat pencemar dari dalam air limbah oleh
encenngondok dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya komposisi dan
kadar zat yang terkandung dalam air limbah, kerapatan encenngondok, dan
waktu tinggal encenngondok dalam air limbah.
Dari hasil percobaan laboratorium diperoleh simpulan, kecepatan
penyerapan Nitrogen (N2) yang maksimal dipengaruhi oleh kerapatan
tanaman, sedangkan kecepatan penyerapan Phosphat (P) tidak saja
dipengaruhi oleh kandungan Phosphat di dalam air dan kerapatan
encenngondok, tetapi dipengaruhi pula oleh kadar Posphat dalam jaringan.
Faktor penunjuk lainya yang memengaruhi penyerapan senyawa Nitrogen dan
Phosphat adalah waktu detensi zat tersebut di dalam limbah yang ditumbuhi
oleh encenngondok.
Percobaan lain tentang kemampuan encenngondok menyerap unsur hara
Nitrogen (N) dan Phosphat dilakukan dengan menggunakan bejana yang berisi
6 liter air yang mengandung senyawa Nitrogen dan Phosphat masing-masing
50 mg/I, 100 mg/I, dan 250 mg/I. Hasil percobaan menunjukkan senyawa
Ammonium yang kadarnya 50 mg/I, dan 100 mg/I, diserap seluruhnya dari
dalam air setelah 15 hari dan 21 hari, sedangkan senyawa Nitrat yag kadarnya
50 mg/I, diserap seluruhnya setelah 23 hari. Ada pun penurunan terbesar kadar
Ammonium (NH4+) dan Nitrat (NO3) pada percobaan dengan kadar tertinggi
diperoleh setelah 35 hari. Penyerapan kadar Phosphat dalam bentuk
OrthoFosfat (PO43-) adalah sekira 80,150, dan 250 mg dari masing-masing
perlakuan yang mengandung 50 mg/I, 100 mg/I, dan 250 mg/I.
Interaksi antara kandungan zat di dalam air dan kemampuan menyerap zat
tersebut dari dalam air oleh encenngondok dapat dilihat dari hasil percobaan
dengan mengunakan kultur larutan Hoagland. Pada percobaan lain diperoleh
bahwa bila kadar Phosfor dalam medium tinggi, penyerapan zat tersebut
meningkat, khususnya jika di dalam media tersebut terdapat kadar Nitrogen
yang tinggi.
Besarnya kandungan suatu zat di dalam air limbah akan memengaruhi
peningkatan Biomassa tanaman. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
kandungan unsur hara yang berlebihan di dalam air limbah dapat
menimbulkan keracunan organ encenngondok. Hasil percobaan menyatakan
encenngondok menunjukkan gejala keracunan bila kadar Nitrogen di dalam
media mencapai 6,525 mg/I.
Dari hasil percobaan lainnya diperoleh bahwa akibat defisiensi Nitrogen
pada suatu jenis air limbah yang ditanami encenngondok menunjukkan adanya
pengaruh yang besar terhadap penyerapan Phosfor dari dalam limbah. Oleh
karena itu, waktu detensi dan kerapian encenngondok akan menimbulkan
pengaruh yang lebih besar terhadap tingkat penyerapan Phosfor sehingga
besarnya Biomassa encenngondok juga akan dipengaruhi.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
a. Tempat penelitian
Laboratorium Biologi FMIPA UNY
b. Waktu Penelitian
15 Februari – 15 Maret 2009

2. Alat dan Bahan Penelitian


a. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak berukuran 50 cm x
50 cm sebanyak 5 buah,
b. Bahan
populasi : encenggondok
sampel : Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
encenggondok sebanyak 30 buah (3kali pengulangan)
c. Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas
Variable bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi limbah oli
bekas dan jumlah encenggondok
Perlakuan Konsentrasi limbah oli bekas Jumlah encenggondok
1 10ml oli bekas/ 1 liter air 1
2 20 ml oli bekas / 1 liter air 2
3 30 ml oli bekas / 1 liter air 3
4 40 ml oli bekas/ 1 liter air 4
b. Variabel Tergayut
Kadar polutan logam
3. Cara Kerja
a. Persiapan Bak
Kegiatan persiapan bak meliputi pembersihan bak, pengeringan, pencucian
dengan air bersih. Bak yang digunakan berukuran 50 cm x 50 cm
b. Penambahan Limbah oli bekas
Limbah oli bekas ditambahkan ke dalam bak, dengan jumlah perlakuan
sebanyak 5 yang dibagi menjadi 4 perlakuan dengan encenggondok. Masing-
masing perlakuan menggunakan konsentrasi : 10 ml oli bekas/ 1 liter air, 20
ml oli bekas / 1 liter air, 30 ml oli bekas / 1 liter air, 40 ml oli bekas / 1 liter
air, serta sebagai kontrol 0 ml detergen/ 1 liter air . Dan 1 bak sebagai kontrol
c. Pemberian eichornia crassipes
Eichornia cressipes ditambahkan ke dalam 4 buah bak yang telah diisi
limbah oli bekas, masing-masing bak diberi eichornia cressipes sebanyak
1,2,3,4, rumpun eichornia crassipes dan 1 bak sebagai kontrol 0%
4. tabel data
perlakuan konsentrasi Jumlah Kadar logam Kadar logam
encenggondok sebelum diberi sesudah diberi
perlakuan perlakuan
1 10ml oli bekas/ 1
1 liter air
2 20 ml oli 2
bekas / 1 liter
air
3 30 ml oli 3
bekas / 1 liter
air
4 40 ml oli bekas/ 4
1 liter air

5. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan.

6. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Varian

DAFTAR PUSTAKA
http//www.google.com search for encenggondok
http//www.google.com search for fetorimediasi
http//www. google. com search for limbah oli bekas
http//www.google.com search for morfologi encenggonodok
http//www. google. com search for oli
http//www.google.com search for zat yang terkandung pada limbah oli bekas

You might also like