You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Meskipun epilepsi sudah sejak lama dikenal di kalangan penduduk di
seluruh Indonesia, yaitu sebagai penyakit ayan, pengertian tentang penyakit
tersebut masih sangat kurang, sehingga para penderita belum mendapat
perhatian atau pengobatan selayaknya. Epilepsi masih dianggap sebagai suatu
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan yang disebabkan oleh kekuatan
gaib, gangguan jiwa atau oleh faktor-faktor seperti belajar terlampau banyak,
keadaan sedih, emosi, gunaguna dan sebagainya.
Pada umumnya juga belum diketahui, bahwa epilepsi tidak hanya
bersifat serangan kejang seluruh badan disertai kehilangan kesadaran, akan
tetapi dapat menjelma sebagai bermacam serangan. Sebaliknya perhatian para
dokter di Indonesia terhadap masalah epilepsi makin meningkat, terutama
karena peningkatan mutu pendidikan dokter dan juga oleh karena makin
banyaknya publikasi mengenai hasil-hasil penelitian di bidang epilepsi yang
dilakukan oleh para ahli di seluruh dunia. Pada skenario ini akan membahas
berbagai faktor yang menjadi dasar suatu serangan epilepsi, terutama
ditujukan kepada para dokter umum sehingga mereka akan dapat menghadapi
para penderita epilepsi dengan pengertian yang lebih besar.
Pada skenario kali ini: Seorang anak perempuan berumur
10 tahun yang datang di Poliklinik Penyakit Saraf setelah
mengalami serangan kejang untuk kedua kalinya. Kedua
serangan kejang tersebut berlangsung kira-kira selama 3
menit, diikuti dengan gangguan kesadaran. Setelah
kesadaran kembali normal pasien dapat bermain game
kembali. Pada saat tersebut pasien tidak mengalami demam.
Orang tua pasien menyatakan belum pernah periksa ke
dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan
kejang yang pertama kali. Dikatakan juga oleh orang tua
pasienbahwa pada kejang yang kedua ini sebelum kejang
pasien sedang bermain game di komputer. Sebelum berumur
satu tahun, pasien sering mengalami kejang pada saat
badannya panas. Orang tua pasien mendapatkan laporan
dari sekolah, bahwa pasien sering pingsan pada saat
upacara. Di Poliklinik dokter mengatakan akan dilakukan
pemeriksaaan EEG dan pemeriksaan laboratorium serta
diberi obat untuk mengatasi kejangnya.
Dari skenario di atas maka penulis akan memaparkan tentang apa
yang terjadi dengan pasien, meliputi patogenesis, patofisiologi, dan
penatalaksanaannya.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa terjadi kejang saat demam sebelum usia 1 tahun?
2. Apa hubungan main game komputer dengan kejang?
3. Mengapa pasien sering pingsan pada saat upacara?
4. Mengapa hanya terjadi kejang selama 3 menit?
5. Bagaimana etiologi, patofisiologi dan patogenesis kejang?
6. Apa saja faktor predisposisi dari kejang?
7. Bagaimana mekanisme gangguan kesadaran saat kejang?
8. Apa hubungan riwayat penyakit dahulu dengan riwayat penyakit
sekarang?
9. Apakah diagnosis banding dan diagnosis tetap dari skenario ini?
10. Mengapa dilakukan pemeriksaan EEG dan pemeriksaan lab?
11. Apa saja penatalaksanaan kejang?
12. Bagaimana prognosis dari penyakit ini?
13. Apa saja tindakan preventif dari penyakit ini?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui klasifikasi, kausa, patogenesis, patofisiologi dari
kelainan sistem saraf pusat dan tepi
2. Untuk mengetahui dasar-dasar diagnosis kelainan sistem saraf pusat dan
tepi
3. Untuk mengetahui macam-macam cara diagnosis kelainan sistem saraf
pusat dan tepi
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan, prognosis dan rehabilitasi pada
penderita kelainan sistem saraf pusat dan tepi
5. Untuk mengetahui tindakan preventif penyakit susunan saraf dengan
mempertimbangkan faktor pencetus.
D. Manfaat Penulisan
1. Mampu menjelaskan klasifikasi, kausa, patogenesis, patofisiologi dari
kelainan sistem saraf pusat dan tepi
2. Mampu menjelaskan dasar-dasar diagnosis kelainan sistem saraf pusat dan
tepi
3. Mampu menjelaskan macam-macam cara diagnosis kelainan sistem saraf
pusat dan tepi
4. Mampu menjelaskan penatalaksanaan, prognosis dan rehabilitasi pada
penderita kelainan sistem saraf pusat dan tepi
5. Mampu merancang tindakan preventif penyakit susunan saraf dengan
mempertimbangkan faktor pencetus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kejang
1. Kejang tanpa demam
Kejang adalah suatu keadaan di mana tubuh seseorang bergetar cepat
tak terkendali. Selama kejang, otot seseorang berkontraksi dan berelaksasi
berulang kali. Di sini terjadi perubahan mendadak pada aktivitas elektrik
korteks serebri yang secara klinis bermanifestasi dalam bentuk perubahan
kesadaran atau gejala motorik, sensorik atau perilaku. (MedlinePlus, 2010)
Pada kejang terjadi bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan
hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik. Kejang terjadi
akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron
yang sangat mudah terpicu (focus kejang) atau dari jaringan normal yang
terganggu akibat suatu keadaan patologik sehingga mengganggu fungsi normal
otak. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks serebri
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, focus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi:
 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah
mengalami pengaktifan
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara
berlebihan
 Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik. (Price & Wilson, 2005)
Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan
Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE]
1981, yaitu:
I. Kejang parsial (fokal, lokal)
A. Kejang fokal sederhana
B. Kejang parsial kompleks
C. Kejang parsial yang menjadi umum
II. Kejang umum
A. Absens
B. Mioklonik
C. Klonik
D. Tonik
E. Tonik-klonik
F. Atonik
III. Tidak dapat diklasifikasi
(Nia Karnia, 2007)
Penatalaksanaan kejang
KEJANG
DIAZEPAM(iv)
0,3-0,5 MG/KG
(maks. 20 mg)
atau
DIAZEPAM (rektal
5 mg (BB<10kg)
10 mg (BB>10kg
0-5 menit --------------------------------------------------------------------------------------

KEJANG (-) KEJANG (+)

Diulang interval
5 menit

5-10 menit -------------------------------------------------------------------------------------


KEJANG (+)

KEJANG (-) Fenitoin bolus IV


15-20 mg/kgBB
Fenitoin: 12 jam kemudian Kecepatan:
25mg/menit
5-7 mg/kgBB
KEJANG (+)
Fenobarbital IV/IM 10-20 mg/kgbb
KEJANG (-)
Fenobarbital 12 jam kemudian
3-4 mg/kgbb
KEJANG (+)

ICU
Midazolam 0,2 mg/kgBB
Fenobarbital 5-10 mg/kgBB
(Nia Karnia, 2007)

2. Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(di luar rongga kepala).
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak dperlukan
suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang
melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dpat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1° C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% – 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.
Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas mutan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut dengan neurotransmiter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan
suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 38° C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu 40° C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang
rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu
berapa penderita kejang.
Sehingga beberapa hipotesa dikemukakan mengenai patofisiologi
sebenarnya dari kejang demam, yaitu:
1. Menurunnya nilai ambang kejang pada suhu tertentu.
2. Cepatnya kenaikan suhu.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan terjadi retensi cairan.
4. Metabolisme meninggi, kebutuhan otak akan O2 meningkat sehingga
sirkulasi darah bertambah dan terjadi ketidakseimbangan.
5. Dasar patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya
dengan baik susunan saraf pusat (korteks serebri).
(Nia Karnia, 2007)

B. Epilepsi
Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi (malfungsi) otak secara
intermitten sebagai kondisi kronis hasil dari lepas muatan listrik abnormal
neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai macam sebab selain
penyakit otak akut (unprovoked).
Epilepsi adalah sebuah sindrom, bukan suatu penyakit. Keadaan ini
bisa disebabkan oleh sebab apapun yang mempengaruhi korteks cerebri.
Epilepsi tidak selalu berciri kejang. Sebaliknya, kejang tidak secara otomatis
berarti epilepsi. (Sudomo & Harmaya, 2004)

Etiologi Epilepsi
1. Epilepsi idiopatik/esensial
tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral.
2. Epilepsi simtomatik/sekunder
terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respon kejang.
Bisa disebabkan oleh cedera kepala (termasuk yang terjadi sebelum dan
setelah kelahiran), gangguan metabolik dan gizi (hipoglikemi,
fenilketonuria, defisiensi vitamin B6). faktor toksik (intoksikasi alkohol,
putus obat-narkotik, uremia), ensefalitis, hipoksia, gangguan sirkulasi,
gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hiponatremia dan
hipokalsemia), dan neoplasma. (Price & Wilson, 2005)

Klasifikasi Epilepsi Menurut ILAE (International League Against Epilepsy)


1. Bangkitan Epilepsi
a. Bangkitan parsial
• Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
Dengan gejala motorik, sensorik, otonom, dan psikis
• Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran saat
awal serangan
• Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
b. Bangkitan umum
• Absans (Lena)
• Mioklonik
• Klonik
• Tonik
• Atonik (Astatik)
• Tonik-klonik
c. Tak tergolongkan (sehubungan dengan data yang kurang lengkap).
2. Sindrom Epilepsi
a) Berkaitan dengan letak fokus
1. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro
temporal spike)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
2. Simptomatik
Lobus temporalis, frontalis, parietalis, oksipitalis
b) Umum
1. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
2. Simptomatik
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut
c) Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
- Serangan neonatal
d) Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik, disebut refleks
epilepsi. (Sunaryo, 2007)

C. Gangguan Kesadaran
Anatomi dan fisiologi kesadaran
Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan
impuls sensorik protopatik, propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke
daerah korteks perseptif primer disebut lintasan asendens spesifik atau
lintasan asendens lemniskal. Ada pula lintasan asendens aspesifik yakni
formasioretikularis di sepanjang batang otak yang menerima dan
menyalurkan impuls dari lintasan spesifik melalui koleteral ke pusat
kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke nukleus
intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan difus ke seluruh permukaan
otak.
Pada manusia pusat kesadaran terdapat di daerah pons, formasio
retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh
Merruzi dan Magoum disebut diffuse ascending reticular activating system
(ARAS). Melalui lintasan aspesifik ini, suatu impuls dari perifer akan
menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri. Dengan
adanya dua sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asendens yang
pada pokoknya berbeda.
Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat
reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan
asendens aspesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada
tubuh ke seluruh korteks serebri.
Neuron-neuron di korteks serebri yang digalakkan oleh impuls
asendens aspesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan,
sedangkan yang berasal dari formasio retikularis dan nuklei intralaminaris
talami disebut neuron penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis
neuron tersebut oleh sebab apapun akan menimbulkan gangguan kesadaran.
(Manthurio & Nara, 1984)

Mekanisme kesadaran menurun pada kejang


Pada kejang terjadi pelepasan muatan listrik yang tiba-tiba. Yang
secara primer melepaskan muatan listriknya adalah nuclei intralaminares
thalami yang dikenal juga sebagai inti centre cephalic. Inti tersebut
merupakan terminal dari lintasan ascendens aspesifik/lintasan ascenden
ekstralemiskal. Input korteks serebri melalui lintasan afferent aspesifik itu
menentukan derajat kesadaran. Bila sama sekali tidak ada input, maka timbul
koma. Terjadi lepas muatan listrik dari intralaminar thalami secara
berlebihan. Perangsangan talamokortikol yang berlebihan ini menghasilkan
kejang otot seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina
kesadaran menerima impuls afferent dari dunia luar sehingga kesadaran
hilang. (Mardjono & Sidharta, 2009)

D. Elektrokardiogram
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi
kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006). Jadi, aktivitas otak berupa
gelombang listrik, yang dapat direkam melalui kulit kepala disebut Elektro-
Ensefalografi (EEG). Amplitudo dan frekuensi EEG bervariasi, tergantung
pada tempat perekaman dan aktivitas otak saat perekaman.
Saat subyek santai, mata tertutup, gambaran EEG nya menunjukkan
aktivita sedang dengan gelombang sinkron 8-14 siklus/detik, disebut
gelombang alfa. Gelombang alfa dapat direkam dengan baik pada area visual
di daerah oksipital. Gelombang alfa yang sinkron dan teratur akan hilang,
kalau subyek membuka matanya yang tertutup. Gelombang yang terjadi
adalah gelombang beta (> 14 siklus/detik). Gelombang beta direkam dengan
baik di regio frontal, merupakan tanda bahwa orang terjaga, waspada dan
terjadi aktivitas mental. Meski gelombang EEG berasal dari kortek,
modulasinya dipengaruhi oleh formasio retikularis di subkortek.

EEG dilakukan untuk:


1. Mendiagnosa dan mengklasifikasikan Epilepsi
2. Mendiagnosa dan lokalisasi tumor otak, Infeksi otak, perdarahan otak,
3. parkinson
4. Mendiagnosa Lesi desak ruang lain
5. Mendiagnosa Cedera kepala
6. Periode keadaan pingsan atau dementia.
7. Narcolepsy.
8. Memonitor aktivitas otak saat seseorang sedang menerima anesthesia
umum selama perawatan.
9. Mengetahui kelainan metabolik dan elektrolit
(Jan Nissl, 2006)
BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario kali ini didapati pasien seorang anak perempuan 10 tahun
yang mengalami kejang untuk kedua kalinya. Diketahui bahwa sebelum pasien
tersebut berumur 1 tahun, terdapat riwayat kejang yang disertai demam. Pada
kondisi kejang demam tersebut dapat muncul dikarenakan hipertermia akibat dari
bakteri atau virus. Faktor genetik juga sangat mempengaruhi terjadinya kejang
demam tersebut dan dapat berlanjut hingga dewasa namun tanpa disertai demam
dan ada tendensi untuk menjadi epilepsy. Kriteria kejang demam livingstone yaitu
terjadi pada usia 6 bulan hingga 4 tahun dimana kejang tersebut berlangsung
selama kurang dari 15 menit, kejang tersebut dapat muncul sekitar 16 jam setelah
pasien mengalami demam. Demam merupakan keadaan di mana nuklei
intralaminers talami menjadi lebih peka untuk diaktifkan atau merupakan keadaan
di mana ambang lepas muatan listrik neuron-neuron kortikal direndahkan
sehingga kejang umum mudah terjadi.
Pasien didapati kejang setelah bermain game. Hal ini berhubungan dengan
faktor pencetus timbulnya kejang pada seorang penderita epilepsi. Yaitu dimana
sebagian kecil penyandang epilepsi sensitif terhadap kerlipan atau kilatan sinar
pada kisaran antara 10-15 Hz. Seperti pada pesawat TV, komputer juga dapat
merupakan pencetus serangan.
Orang tua pasien juga mengatakan bahwa pasien sering pingsan saat
upacara di sekolahnya. Terlalu lelah saat upacara atau stress fisik dapat
menimbulkan hiperventilasi dimana terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah
yang dapat mengakibatkan terjadinya penyempitan pembuluh darah otak yang
dapat merangsang terjadinya serangan kejang, dimana dalam kasus ini pasien
mengalami pingsan.
Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan EEG karena
pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. Diagnosis epilepsi
didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinik dikombinasikan dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Dengan pemeriksaan EEG ini bisa diketahui
daerah otak bagian mana yang aktivitas listriknya tidak normal. Namun
pemeriksaan EEG saja tidak cukup, sebab EEG diambil selalu pada saat tidak ada
serangan kejang bukan pada saat serangan, karena tidak mungkin orang yang
sedang mengalami serangan epilepsi dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa EEG.
Maka, pemeriksaan EEG harus ditunjang oleh pemeriksaan otak itu sendiri, yaitu
melihat gambaran otaknya dengan teknik foto Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Jadi EEG dengan sendirinya tidak cukup untuk mendiagnosa penyakit
neurologi tetapi perlu dengan pemeriksaan yang lain.
Timbulnya kejang pada pasien dikarenakan sebelum umur satu tahun
pasien memiliki riwayat kejang demam. Kejang demam ini merupakan salah satu
faktor pemicu bangkitan kejang. Kejang yang dialami pasien belum dapat
dikatakan sebagai epilepsi karena masih terjadi satu kali dalam setahun tersebut.
Dikatakan epilepsi apabila dalam setahun mengalami bangkitan kejang minimal
dua kali. Kejang yang dialami pasien juga bisa dikategorikan kejang umum karena
diikuti gangguan kesadaran.
Penatalaksanaan kejang pada pasien adalah dengan memberikan obat anti
kejang. Karena pasien kejang kurang dari 5 menit maka obat yang diberikan
adalah Diazepam (iv) 0,3-0,5 mg/kg BB (maks. 20 mg) atau Diazepam (rektal)
5mg (BB < 10kg), 10 mg (BB > 10kg). Selain itu perlu juga dilakukan monitoring
tanda vital, memastikan bahwa aliran udara ke pernafasan baik, dan
mempertahankan perfusi oksigen ke jaringan.
Prognosis pasien tergantung jenis epilepsi. Pada kasus epilepsi primer
prognosisnya baik, namun epilepsi yang mulai umur 3 tahun dan disertai
gangguan neurologi dan retardasi mental memiliki prognosis yang buruk. Pada
pasien ini prognosisnya baik karena masih bersifat absens, yaitu hilangnya
kesadaran hanya sejenak yaitu sekitar 3 menit dan kembali normal.
Untuk menghindari timbulnya kejang kembali maka diperlukan tindakan
preventif. Tindakan preventif penting karena kejang kadang tak bisa diduga
munculnya. Apalagi bila kejadian kejang makin sering sehingga dampaknya
terhadap kerusakan saraf pun bisa makin parah. Hal yang bisa dilakukan untuk
mencegah terjadinya serangan epilepsi ialah menghilangkan faktor pemicunya dan
mengurangi bahaya bagi penderita. Salah satu upaya itu ialah dengan mengurangi
tingkat stress penderita.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pelepasan muatan proksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron
yang sangat mudah terpicu sehingga impuls motorik keluar secara
berlebihan dapat menyebabkan timbulnya kejang.
2. Kejang secara garis besar ada dua macam, yaitu kejang generalisata
(kejang dengan berubahnya status kesadaran tetapi tidak hilang kesadaran)
dan kejang parsial (kejang dengan kesadaran yang masih utuh).
3. Tanda dan gejala umum kejang berbeda-beda. Untuk kejang generalisata
antara lain: hilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, bilateral dan
simetrik, serta tidak ada aura. Untuk kejang parsial yang jenis sederhana
antara lain: motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan,
membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia,
bradikardia, takipneu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik
(disfagia, gangguan daya ingat). Kejang parsial kompleks memiliki tanda
dan gejala, seperti gejala sensorik otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir,
mengunyah, menarik-narik baju).
4. Terapi kejang dan epilepsi antara lain: Fenitoin untuk kejang tonik-klonik,
Fosfenitoin untuk status epileptikus, Karbamazepin untuk kejang parsial
kompleks dan kejang tonik-klonik, Fenobarbital untuk kejang tonik-
klonik, Diazepam untuk status epileptikus, Lorazepam untuk status
epileptikus, Midazolam untuk status epileptikus (masih dalam penelitian),
Klonazepam untuk kejang mioklonik, Etosuksimid untuk kejang absence,
Asam valproat untuk kejang tonik-klonik dan kejang mioklonik serta
kejang absence dan parsial, Felbamat untuk kejang parsial, Gabapentin
untuk kejang parsial, Lamotrigin untuk kejang parsial, Okskarbazepin
untuk kejang parsial, Tiagabin untuk kejang parsial, Topiramat untuk
kejang parsial, Zonisamid kejang parsial.
5. Untuk menegakkan diagnosis harus dilakukan beberapa pemeriksaan
terkait dengan gejala yang dialami.
6. Pasien memungkinkan untuk mengalami epilepsi karena saat berusia
kurang dari 1 tahun pernah mengalami kejang demam yang tidak
tertangani dengan baik. Namun, dalam skenario ini kejang yang dialami
pasien belum dapat dikategorikan sebagai epilepsi karena hanya
berlangsung sekali dalam setahun, tetapi termasuk dalam kejang umum
karena terdapat gangguan kesadaran yang dialami oleh pasien.
B. Saran
1. Anak yang mengalami kejang demam saat berusia kurang dari 5 tahun
hendaknya segera diberi anti konvulsan agar tidak mengalami epilepsi saat
dewasa nantinya.
2. Masalah kejang dan epilepsi sangat penting untuk diungkapkan karena
masalah ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.
3. Dokter sebaiknya menganjurkan agar pasien sebisa mungkin menghindari
hal- hal yang dapat memicu serangan epilepsi terutama bagi mereka yang
mempunyai faktor resiko tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Campellone, JV (2006). EEG BRAIN WAVE TEST


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003931.htm (Diakses
pada tanggal 12 Oktober 2010)
Karnia, nia (2007). Kejang Pada Anak http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf (Diakses pada tanggal 12
Oktober 2010)
Manthurio, Nara, P. 1984. Gangguan Kesadaran.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_GangguanKesadaran.pdf/05_Gan
gguanKesadaran.html (Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010)
Mardjono, M., Sidharta, P. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta
MedlinePlus. 2010. Convulsions
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000021.htm (Diakses
pada tanggal 11 Oktober 2010)
Nissl, J (2006). Electroencephalogram (EEG)
http://www.webmd.com/hw/epilepsy/aa22249.asp (Diakses pada tanggal
12 Oktober 2010)
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Sudomo, A., Harmaya, A. K. 2004. Epilepsi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Saraf. BEM Fakultas Kedoktera Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Sunaryo, Utoyo. 2007. Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok Studi Epilepsi
PERDOSSI. www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/.../EPILEPSI.pdf
(Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010)

You might also like