You are on page 1of 4

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
---------

POINTERS

EKSISTENSI PENGADILAN HAM AD HOC

DALAM PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM YANG BERAT1

Oleh: HM. Akil Mochtar S.H., M.H.2

1. Salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat memasuki
era reformasi adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu juga
dialami oleh bangsa lain yang berada pada masa transisi dari rezim otoritarian
menuju rezim yang demokratis.

2. Salah satu mekanisme penyelesaian yang telah ditetapkan adalah melalui


Pengadilan HAM ad hoc. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan “Pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.” Pengadilan
tersebut dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR.

3. Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan


karena merupakan salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif.
Namun demikian, melalui Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM
ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Pengadilan tersebut
merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif yang dilakukan
1
Disampaikan pada Konsultasi Publik Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat yang
diselenggarakan oleh Komnas HAM. Jakarta, 11 Desember 2008.
2
Hakim Konstitusi.
1
dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan
MK tersebut sebagai berikut.

(a) pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan


locus delicti dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua
peristiwa secara umum; dan

(b) Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena
menurut UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang
berarti bahwa pada dasarnya rakyatlah yang menentukan kapan
pelanggaran HAM yang berat sebelum pembentukan UU Pengadilan
HAM telah terjadi yang penyelesaiannya membutuhkan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc.

4. Walaupun keberadaan Pengadilan HAM ad hoc sudah dinyatakan tidak


bertentangan dengan konstitusi, namun terdapat berbagai perbedaan
pendapat dan muncul permasalahan dalam pelaksanaan pembentukannya,
yaitu:

a. Pertama, pernah muncul pendapat bahwa Pengadilan HAM ad hoc


harus dibentuk terlebih dahulu sebelum dilakukan penyelidikan oleh
Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Pendapat ini
pernah dikemukakan oleh beberapa tokoh yang menolak panggilan Tim
ad hoc Komnas HAM karena berpendapat bahwa penyelidikan Komnas
HAM tidak sah karena belum terbentuk Pengadilan HAM ad hoc.
Pendapat ini mendasarkan pada pandangan bahwa usul pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc yang dibuat oleh DPR didasarkan pada dugaan
adanya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang diperoleh
melalui mekanisme kerja DPR sendiri dan tidak berdasarkan hasil
penyelidikan dan penyidikan.

b. Kedua, belum adanya kesepahaman tentang mekanisme penyelidikan


oleh Komna HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan Agung, serta ukuran
telah lengkapnya penyelidikan yang menentukan telah terjadinya
pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Hal itu menimbulkan

2
pengembalian hasil penyelidikan yang berulang-ulang serta terhentinya
perkara pelanggaran HAM tersebut di Kejaksaan Agung.

5. Terhadap permasalahan pertama, yaitu apakah pembentukan Pengadilan


HAM ad hoc dibentuk sebelum atau sesudah penyelidikan dan penyidikan
telah mendapatkan jawaban berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-V/2007.
Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata “dugaan”
bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, putusan MK
bersifat final dan mengikat, sehingga putusan tersebut mengikat dan harus
dilaksanakan sejak diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan.

6. Putusan tersebut tidak terkait dengan keterlibatan DPR, tetapi terkait


dengan dasar pertimbangan DPR dalam mengambil keputusan. Sebagai
akibat hukum dari putusan tersebut, maka usul DPR untuk pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc adalah setelah dan berdasarkan hasil penyelidikan
Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung. Hal itu secara tegas
dinyatakan dalam pertimbangan hukum putusan MK sebagai berikut.

“...untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc


atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang
memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi
rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan
penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu,
DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil
penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang,
dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai
penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.”

7. Dengan demikian, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu


melalui Pengadilan HAM ad hoc mekanismenya dimulai dari penyelidikan oleh
Komnas HAM, dilanjutkan dengan penyidikan oleh Kejaksaan Agung, dan
berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan tersebut DPR memberikan usul

3
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden untuk menangani
kasus tersebut.

8. Permasalahan yang masih belum terselesaikan adakan kesepahaman


mekanisme penyelidikan dan penyidikan serta pengajuan kepada DPR untuk
mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 memang sangat sedikit mengatur tentang hal ini, hanya dalam
4 (empat pasal). Untuk menyelesaikannya, tentu dapat dilakukan melalui
perubahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dengan merinci
pengaturan mekanisme penyelidikan dan penyidikan tersendiri, serta
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Namun upaya lain yang dapat
dilakukan adalah membuat kesepahaman dan kesepakatan terutama antara
Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengenai prosedur dan mekanisme
penyelidikan dan penyidikan, serta standar kelengkapan yang harus dipenuhi
untuk pelimpahan suatu kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

9. Terhadap permasalahan tersebut, Komnas HAM tentu dapat saja


mengajukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara kepada MK.
Namun dalam perkara tersebut harus dibuktikan dua isu hukum yang penting,
yaitu (1) apakah Komnas HAM merupakan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; dan (2) apakah kewenangan yang
dipersengketakan tersebut merupakan kewenangan yang juga diberikan oleh
UUD 1945.

You might also like