You are on page 1of 5

Hukum Menshalatkan Jenazah di Kuburan

Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini Al-Makassari


Syariah, Problema Anda, 15 - April - 2005, 16:34:12

Apakah menshalatkan jenazah di kuburan dapat dimasukkan ke dalam larangan shalat di


kuburan?

Dijawab oleh:
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini Al-Makassari
Alhamdulillah, kalau yang dimaksud adalah menshalati jenazah yang telah dikuburkan maka
ada dua perincian:
Pertama, Jenazah tersebut telah dishalati sebelum dikuburkan dan ada sebagian orang yang
belum menshalatinya, maka disyariatkan bagi mereka untuk menshalatinya di atas
kuburannya menurut pendapat Ibnu Hazm, Ahmad, Asy-Syafi’i, jumhur dan diriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Abu Musa Al-Asy’ari dan para shahabat yang lainnya radhiallahu
'anhum. Dan ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syaikh
Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Kata Al-Imam Ahmad: “Siapa
yang akan ragu tentang bolehnya, sementara hal itu telah diriwayatkan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui enam jalan periwayatan yang mana semua sanadnya
baik.”
Di antara hadits-hadits tersebut adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwasanya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa kehilangan wanita yang biasa menyapu masjid
beliau, maka beliaupun menanyakannya kepada para shahabat radhiallahu 'anhum.
Merekapun menjawab bahwa dia telah meninggal. Kemudian Rasululah Shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata: “Tidakkah kalian mengabariku?” Mereka menjawab: “Dia meninggal di
malam hari dan kami tidak ingin mengganggu engkau.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata:

َ‫ُدِْ َ َ
َِْه‬

“Tunjukkan kepadaku kuburannya.”


Para shahabat pun menunjukkannya, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mendatangi kuburannya dan menshalatinya (di atas kuburannya). (Shahih, HR. Al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Lihat hadits-hadits lainnya
dalam Irwa`ul Ghalil, 3/183-186)
Sementara Asy-Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
rahimahumallah membatasi bolehnya menshalati jenazah yang sudah dikubur apabila imam
termasuk yang belum menshalatkannya.
Namun pendapat yang pertama lebih kuat berdasarkan keumuman hadits Malik Ibnul
Huwairits radhiallahu 'anhu:

 َ‫َ ْا آََ َرَأُُِْْ ُأ‬

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat shalatku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)


Adapun pendapat Abu Hanifah dan Malik rahimahumallah bahwa hal itu tidak boleh kecuali
wali dari jenazah tersebut (seperti ayahnya, anaknya, dll) tidak hadir ketika jenazah tersebut
dishalatkan dan dikuburkan, maka boleh baginya untuk menshalatkannya di atas kuburannya.
Namun ini adalah pendapat yang lemah karena ini merupakan pengkhususan tanpa dalil yang
bertentangan dengan keumuman hadits-hadits di atas.
Setelah kita mengetahui bahwa yang rajih (pendapat yang kuat) adalah disyariatkannya
menshalati jenazah yang telah dikuburkan di atas kuburannya bagi siapa yang belum
menshalatinya, maka perlu diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai batasan
waktu lamanya kuburan tersebut. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Selama jasadnya belum
hancur.” Al-Imam Ahmad berkata: “Hanya sampai sebulan setelah dikuburkan karena itulah
waktu terlama yang diriwayatkan dari Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Akan tetapi hadits tersebut semuanya dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah
sebagaimana dalam Irwa`ul Ghalil (3/183, 186). Kalaupun hadits-hadits tersebut shahih maka
sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah: “Shalat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap jenazah yang telah terkubur selama sebulan tidaklah
menunjukkan pembatasan waktu, karena perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
tersebut terjadi begitu saja, bertepatan dengan genapnya umur kuburan itu sebulan dan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukannya sengaja memaksudkan umur kuburan itu.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bolehnya, meskipun
telah melewati sebulan dari penguburannya. Hanya saja sebagian ulama memberi batasan
yang bagus yaitu dengan syarat bahwa mayat yang terkubur itu meninggal pada waktu di
mana orang yang hendak menshalatinya (di atas kuburannya) termasuk orang yang pantas
(menurut tinjauan syariat) meshalatinya ketika meninggalnya.
Contohnya, seseorang meninggal 20 tahun yang lalu kemudian ada orang yang berumur 30
tahun mendatangi kuburannya untuk menshalatinya. Hal ini boleh karena ketika orang
tersebut meninggal, berarti orang yang meshalatinya telah berumur 10 tahun, maka dia
termasuk orang yang pantas menshalatinya pada saat meninggalnya.1
Contoh yang lain, seseorang meninggal 30 tahun yang silam, kemudian ada sesesorang
berumur 20 tahun mendatangi kuburannya untuk menshalatinya. Hal ini tidak boleh karena
ketika orang tersebut meninggal berarti orang yang menshalatinya belum lahir ke dunia,
maka dia tidak termasuk orang yang pantas menshalatinya pada saat meninggalnya.
Oleh karena itu tidak disyariatkan bagi kita untuk menshalati Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam di kuburannya dan kami tidak mengetahui ada seorang ulama yang mengatakan
disyariatkannya menshalati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di kuburannya, atau
menshalati shahabat radhiallahu 'anhum di kuburan mereka. Bahkan cukup baginya untuk
berdiri di kuburan mereka dan mendoakannya.”
Dan pendapat inilah yang rajih (terkuat) insya Allah.
Kedua, Jenazah tersebut belum dishalati sama sekali kemudian dikuburkan. Dalam hal ini
Abu Hanifah dan Malik rahimahumallah tidak menyelisihi jumhur bahwa disyariatkan untuk
menshalatinya di atas kuburannya. Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Adapun mayat yang
belum dishalatkan (kemudian dikuburkan) maka kewajiban (atas sebagian kaum muslimin)
untuk meshalatinya yang telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dan ijma’ (kesepakatan
ulama) tetap berlaku. Dan menjadikan penguburannya sebagai alasan untuk menjatuhkan
(menghapus) kewajiban tersebut membutuhkan dalil.”
Adapun kaifiyyah (tata cara) menshalatkan jenazah yang telah dikuburkan maka sebagaimana
dijelaskan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah bahwa caranya sama dengan
menshalatkan jenazah yang belum dikuburkan yaitu kalau jenazahnya laki-laki maka orang
yang menshalatinya berdiri sejajar dengan kepalanya (bagian kepala kuburan), dan kalau
jenazahnya wanita maka dia berdiri sejajar dengan pinggangnya (bagian tengah kuburan) dan
dia menjadikan kuburan tersebut di hadapannya berada di antara dia dengan kiblat.
Berikutnya, kalau yang dimaksud adalah jenazah yang telah dishalati di mushalla (tanah
lapang yang khusus disediakan untuk menshalati jenazah) atau di masjid2 dan telah dibawa
ke area pekuburan, kemudian datang sebagian orang yang belum menshalatinya mendapati
jenazah tersebut masih di area pekuburan belum dikuburkan, apakah boleh bagi mereka
untuk menshalatinya? Maka jawabannya sebagaimana yang dikatakan Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah: “Di sisi kita ada keumuman hadits:

‫ اَْ"َْ َ َة وَاَْ َم‬#


 ‫ض آُ *َ ﻡَ(ْ'ِ&ٌ ِإ‬
ُ ْ‫َر‬,ْ‫ا‬

“Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.”
(Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, dll)3
Maka apa dalil yang mengeluarkannya dari keumuman hadits tersebut (yang mencakup
larangan menshalati jenazah di area pekuburan)? Mereka4 mengatakan: “Kita
meng-qiyas-kan terhadap bolehnya menshalati jenazah (yang telah dikuburkan di atas
kuburannya), selama perkara ini (yaitu menshalati jenazah yang telah dikuburkan) telah
jelas-jelas dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka tidak ada perbedaan
dengan menshalati jenazah yang telah dikuburkan dengan menshalati jenazah yang belum
dikuburkan, karena ‘illah (sebab/alasan) yang menggabungkan/menyamakan antara kedua
perkara ini adalah sama, yaitu bahwa mayat tersebut dishalati sama-sama di area pekuburan.”
Kemudian beliau berkata: “Dan amalan kaum muslimin yang berlangsung adalah demikian,
yaitu menshalati mayat yang telah berada di area pekuburan meskipun belum dikuburkan.”
Begitu pula fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya tentang hukum
mengulangi shalat terhadap jenazah, maka beliau menjawab: “Kalau di sana ada sebabnya
maka tidak mengapa. Misalnya ada beberapa orang yang datang setelah jenazah dishalati
maka boleh bagi mereka menshalatinya di antara kuburan-kuburan (kalau mendapatinya
belum dikuburkan) atau menshalatinya di atas kuburannya (kalau mendapatinya telah
dikuburkan)…”
Adapun mengatakan bolehnya menshalati jenazah di area pekuburan secara mutlak5
sebagaimana perkataan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla6, maka ini telah dibantah oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz, beliau berkata: “Dan apa yang
dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah tentang bolehnya melaksanakan shalat jenazah di
area pekuburan perlu ditinjau kembali, karena tidak ada nash (dalil) yang menunjukkan
bolehnya hal itu. Kalaulah seandainya Ibnu Hazm termasuk dari kalangan ulama yang
berhujjah dengan qiyas maka tentu kita akan mengatakan bahwa beliau meng-qiyas-kannya
terhadap bolehnya menshalati jenazah (yang telah dikuburkan) di atas kuburannya. Namun
beliau berpendapat batilnya berhujjah dengan qiyas secara mutlak, sementara pelaksanaan
shalat jenazah di area pekuburan menyelisihi Sunnah Nabi yang tidak pernah mencontohkan
pelaksanaan shalat jenazah kecuali di mushalla (tanah lapang yang khusus disiapkan untuk
menshalati jenazah) dan di masjid… Bahkan terdapat hadits yang melarang secara jelas
pelaksanaan shalat jenazah di antara kuburan-kuburan, sebagaimana pada riwayat hadits
Anas radhiallahu 'anhu…”
Yaitu hadits yang diriwayatkan Ibnul A’rabi, Ath-Thabrani da Adh-Dhiya` Al-Maqdisi
dengan lafadz:

‫ اْ"ُُْ ِر‬-
َ ْ.َ‫ ﺏ‬0ِ ِ1َ2َ'ْ‫ ِة َ َ
ا‬3
َ 4‫ ا‬-
ِ َ
َ*َ 5َ  َ‫ِ َوﺱ‬7ْ.َ َ 8
ُ ‫
ا‬
 َ
 ِ2‫ن ا‬
 ‫َأ‬

“Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat jenazah di antara


kuburan-kuburan.” (Sanadnya dihasankan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani rahimahumallah.
Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 138 dan 270)
Oleh karena itu, berdasarkan hadits ini Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan
tidak bolehnya melaksanakan shalat jenazah di kuburan, atau minimal hukumnya makruh,
sebagaimana pendapat Al-Imam Malik dan Ahmad pada riwayat yang lain dari keduanya,
Asy-Syafi’i dan jumhur ulama rahimahumullah.

Maraji’:
Al-Mughni, 2/312 dan 322
Al-Majmu’, 5/210 dan 231
Zadul Ma’ad, 1/512
Nailul Authar, 4/52
Ad-Darari, hal. 110
Ahkamul Janaiz, hal. 112, 138 dan 273-274
Asy-Syarhul Mumti’, 5/434-437
Ijabatus Sail, hal. 85
Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 13/156

1 Seseorang pada umur 10 tahun telah mumayyiz dan shalatnya telah dianggap sah meskipun
tidak wajib atasnya melakukan shalat jenazah.
2 Inilah Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menshalatinya di mushalla lebih
utama (afdhal) karena lebih sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
daripada di masjid. (Ahkamul Janaiz, hal. 135)
3 Lihat takhrij hadits ini secara lengkap pada Rubrik Problema Anda Majalah Asy-Syariah
vol.II/no.13/1426H/2005
4 Yaitu para ulama Hanabilah rahimahumullah.
5 Meskipun tanpa sebab, dalam artian boleh membawa jenazah tersebut secara sengaja ke
area pekuburan untuk dishalatkan di sana (bukan dishalatkan di mushalla atau di masjid).
6 Dan merupakan riwayat dari Al-Imam Malik dan Ahmad rahimahumallah.
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

You might also like