You are on page 1of 7

Jihad Bersama Penguasa

Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Al Atsari, Lc


Syariah, Manhaji, 02 - Maret - 2005, 05:08:29

Jihad secara etimologis (bahasa) bermakna kesulitan atau kemampuan. Sedangkan secara
terminologis (istilah) bermakna mengerahkan segenap kemampuan di jalan Allah Subhanahu
wa Ta'ala, dalam rangka meninggikan kalimat-Nya, membela agama-Nya, memerangi
musuh-musuh-Nya, dan juga dalam rangka mencegah kedzaliman, pelanggaran, dan
kejahatan seseorang.
Makna jihad lebih luas dari sekedar bertempur atau perang. Bahkan ia mencakup jihad
melawan hawa nafsu, jihad melawan orang-orang kafir dan seluruh musuh Islam, serta jihad
melawan kemungkaran dan sejenisnya. Sebagaimana pula jihad dapat dilakukan dengan jiwa,
harta, lisan, dan lainnya.(Al-Jihad Al-Islami Wal Isti’anah bighairil Muslimin Fii
Muwaajahatil ‘Aduw, Bayan Al-Majma’ Al-Fiqhil Islami, Makkah Al-Mukarramah).
Namun jihad sering disalahartikan. Terkadang ia diidentikkan dengan segala tindak anarkhis
dan teror, sebagaimana yang diopinikan oleh orang-orang kafir dan antek-anteknya.
Terkadang pula dipahami secara radikal, sehingga identik dengan memerangi setiap orang
kafir (tanpa kecuali) dan memerangi setiap penguasa yang berbuat dzalim, sebagaimana
diyakini oleh orang-orang yang berafiliasi kepada paham sesat Khawarij. Sehingga tidak
jarang mereka meyakini dan menamakan tindakan anarkhis dan teror yang mereka lakukan
sebagai jihad.
Inilah yang menyebabkan kian rancunya definisi jihad yang syar’i, padahal jihad itu sendiri
merupakan amalan mulia lagi suci. Jihad dalam Islam bersih dari tindakan anarkhis dan
melampaui batas, tidak diperbolehkan membunuh orang kafir mu’ahad (orang kafir yang
terikat perjanjian untuk tidak saling memerangi), kafir musta’min (orang kafir yang
mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah kaum muslimin), serta para wanita dan
anak-anak (kecuali mereka terbukti turut berpartisipasi memerangi kaum muslimin).
Bahkan adanya syariat jihad ini sebenarnya untuk meniadakan fitnah, mewujudkan
ketenangan dan kedamaian di dunia, dan supaya agama (ibadah) ini semata-mata untuk Allah
Subhanahu wa Ta'ala.

ِِ ُُ‫
آ‬
ُ ‫ن ا‬
َ َُ ‫ن ٌَِْ َو‬
َ َُ 
َ َ ُْ‫َو!َ ُِه‬

“Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama ini semata-mata untuk
Allah.” (Al-Anfal: 39)
Oleh karena itulah, syariat jihad sudah ada sejak dahulu kala di dalam agama para nabi
sebelum Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

َ ْ "ِ ِ# $‫ ا‬%


 ِ&ُ '
ُ ‫ُا َو*َ ا)ََْ ﻥُا وَا‬+ُ,َ- َ*‫' َو‬
ِ ‫ا‬.
ِ ْ/ِ0َ) 1ِ ُْ2َ# َ3‫َ َأ‬5ِ ‫َ َوهَُا‬5َ ٌ"ْ/ِ6َ‫ن آ‬
َ / #‫َُ ِر‬,َ* .
َ َ َ! 1
8 ِ0َ‫
*
ْ ﻥ‬9ََ‫َوآ‬
“Dan berapa banyak nabi yang berperang, bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka (dalam perjuangan) di jalan Allah, tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

Peran Penguasa dalam Jihad


Jihad merupakan amalan besar yang membutuhkan persiapan dan kebersamaan. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ُْ2ُ5َْ,َ '
ُ ‫ُ ُ ا‬2َ‫ُﻥ‬5َْ,َ 
َ ِْ2ِ‫

ْ دُوﻥ‬
َ ْ "ِ َ;<َ‫' َو=َ ُ وآُْ و‬
ِ ‫ِ =َ ُ و ا‬# ‫ن‬
َ ُ0ِ‫ِ ُ"ْه‬.ْ/َ>ْ‫َ طِ ا‬#‫ُْْ *
ْ !ُ  ٍة َو*ِ
ْ ر‬,َBَْ)‫ُْ * ا‬2َ ‫َوَأ=ِ وا‬

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya
sedang Allah mengetahuinya.” (Al-Anfal: 60)

ٌ‫ُص‬3ْ"* ٌ‫َ ن‬/ُْ# ُْ2‫ﻥ‬9ََ‫ آ‬D+َ3 ِِْ/ِ0َ) 1ِ ‫ن‬


َ ُِ َEُ

َ ْ Fِ ‫ ا‬%
 ِ&ُ '
َ ‫نا‬
 ‫ِإ‬

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan


yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff : 4)
Dengan demikian syariat jihad tidak mungkin terlaksana tanpa ada seorang pemimpin,
sebagaimana layaknya shalat berjamaah. Namun siapakah pemimpin syar’i dalam urusan
jihad tersebut? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu,
Sunnah Rasulullah, (Sunnah) Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, dan (Sunnah) para penguasa yang
mengikuti jejak mereka pada Daulah Umawiyyah dan Abbasiyyah, menunjukkan bahwa
penguasalah yang bertindak sebagai pemimpin dalam dua amalan prinsip ini: shalat dan
jihad.” (Majmu’ Fatawa, juz 35 hal. 38)
Sehingga peran penguasa dalam urusan jihad sangatlah besar. Tidaklah aneh bila shahabat
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa
ada penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul
Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan
penguasa yang jahat?” ‘Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu
jahat namun Allah tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan, dan
pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah juz 13,
hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas
rahimahullah hal.57)

Sikap terhadap Penguasa dalam Urusan Jihad


Setelah kita mengetahui betapa pentingnya peran penguasa dalam urusan jihad, lalu
bagaimanakah sikap kita bila penguasa mengumandangkan seruan jihad fi sabilillah?
Para pembaca, siapa pun yang merujuk kepada Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam serta teladan para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pasti
meyakini bahwa jihad fi sabilillah adalah amalan mulia dan tergolong sebagai amalan ma’ruf
(kebaikan) bukan kemaksiatan. Kecuali sudut pandang kelompok-kelompok sesat semacam
Ahmadiyyah (Qadiyaniyyah) yang “mengubur” syariat jihad. Ataupun Jamaah Tabligh yang
menyelewengkan makna jihad menjadi khuruj (‘dakwah’ keliling selama 3 hari, 7 hari, dst)
ala mereka. Karenanya, bila penguasa mengumandangkan seruan jihad fii sabilillah, wajib
didengar dan ditaati. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ُِْْ* "ِ ْ*H


َ ْ‫ ا‬1ِْ‫ل َوُأو‬
َ ُ)" ‫ُا ا‬,ْ/ِJ‫' َوَأ‬
َ ‫ُا‬,ْ/ِJ‫
<*َُا َأ‬
َ ْ Fِ ‫َ ا‬2 ‫ َ َأ‬

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara
kalian” (An-Nisa: 59)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah
orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan untuk ditaati dari para penguasa dan
pemimpin. Inilah pendapat mayoritas ulama dulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan
ahli fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal.222)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

1ِ‫َ ﻥ‬$َ= ْ َEَ ‫ْ"ِي‬/ِ*‫َ َأ‬$َ= ْ


َ*‫ َو‬،1َِ= َJ‫َ ْ َأ‬Eَ ‫ْ"ِي‬/ِ*‫ع َأ‬
َ َJ‫ َو*َ
ْ َأ‬،َ' ‫َى‬$َ= ْ َEَ 1ِ‫َ ﻥ‬$َ= ْ
َ*‫ َو‬،َ'‫ع ا‬
َ َJ‫َ ْ َأ‬Eَ 1َِ= َJ‫*َ
ْ َأ‬

“Barangsiapa yang menaatiku maka telah menaati Allah, barangsiapa menentangku maka
telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku maka telah menaatiku, dan
barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku maka telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang
wajibnya menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun
hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kesatuan (kaum muslimin), karena di dalam
perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13 hal. 120)
Mungkin ada yang mengatakan: “Itu berlaku kalau penguasanya seorang yang baik, adapun
yang diktator dan koruptor yang mendzalimi dan makan uang rakyat, atau sejenisnya, tidak
ada ketaatan baginya walaupun dalam perkara-perkara yang ma’ruf (termasuk jihad), bahkan
wajib memberontak dan menggulingkannya.”
Para pembaca, sesungguhnya konsep pemikiran semacam ini merupakan lagu lama yang
didendangkan oleh kelompok-kelompok sesat semacam Khawarij dan Mu’tazilah. Yang
kemudian dipegangi orang-orang yang berangan-angan mendirikan negara (khilafah) Islam
tanpa mengerti dan memahami bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
perkara tersebut.
Cobalah perhatikan pernyataan-pernyataan berikut ini:
1. Pernyataan Abul A’la Al-Maududi: “Mudah-mudahan sudah tergambar bagi kalian dari
tulisan-tulisan dan risalah kami, bahwa puncak terakhir yang kami inginkan di balik
perjuangan selama ini adalah mewujudkan kudeta atau penggulingan terhadap penguasa.
Dalam artian, target keberhasilan kita di dunia adalah membersihkan bumi ini dari noda-noda
kepemimpinan para penguasa yang fasiq lagi jahat, kemudian membentuk kepemimpinan
yang baik lagi terbimbing. Upaya dan perjuangan yang terus menerus ini kami pandang
sebagai langkah yang paling berhasil untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
mengharap wajah-Nya yang mulia di dunia dan akhirat.” (Al-Usus Al-Akhlaqiyah Lil
Harakah Al-Islamiyyah, hal. 16, dinukil dari kitab Manhajul Anbiya, karya Asy-Syaikh Rabi’
bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah hal. 139)
2. Pernyataan Sayyid Quthb: “Mudah-mudahan telah jelas bagimu apa yang kami sebutkan
tadi, bahwa tujuan jihad dalam Islam adalah menghancurkan bangunan undang-undang yang
bertentangan dengan dasar-dasar Islam dan mendirikan pemerintahan yang berasaskan Islam
yang sekaligus sebagai penggantinya. Untuk mewujudkan program yang sangat penting ini,
mengharuskan adanya kudeta Islami secara total yang tidak terkungkung pada negeri tertentu
saja. Bahkan Islam menghendaki adanya kudeta secara menyeluruh di penjuru dunia ini.”(Fii
Zhilalil Qur’an juz.3, hal. 1451, cet.ke-5, dinukil dari Fitnatut Takfir Wal Hakimiyyah, hal.
105)
Para pembaca, demikianlah dua pernyataan dari sekian banyak pernyataan yang berafiliasi
kepada paham sesat Khawarij. Suatu pernyataan batil yang bertentangan dengan dalil-dalil
naqli maupun aqli.
Di antara dalil-dalil naqli itu adalah:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata:

‫ُْا‬,ْ/ِJ‫ُا َوَأ‬,َ5ْ)‫' وَا‬


َ ‫ُا ا‬E‫ ا‬:‫ل‬
َ َEَ -" S‫آَ َ" ا‬Fَ َ-.
َ َ,َ‫ َو‬.
َ َ,َ ْ
َ* ْ
َِ‫ َو‬،َE‫
ا‬
ِ َ* َِ= َJ ْ
َ= P
َ ُ9َْQَ‫ ﻥ‬
َ !'
ِ ‫لا‬
َ ُ)‫ َ َر‬.

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan terhadap pemimpin yang
bertakwa. Namun yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap pemimpin yang berbuat
demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekan pemimpin). Maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan
taatilah (pemimpin tersebut).”(HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah dan dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494,
no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ل‬
َ َ! .U ٍ ْ‫ن ِإﻥ‬
ِ َ5ْ6ُV 1ِ
ِ ْ/ِJ َ/S‫ب ا‬ُ ُُْ! ُْ2ُ#ُُْ! ،ٌ‫َ ل‬V‫ْ ِر‬2ْ/ِ ‫ُْ ُم‬Eَ/َ)‫ َو‬،ْ1ُِQِ# ‫ن‬
َ َْْQَ 
َ ‫ َو‬،َ‫ُ َاي‬2ِ# ‫ن‬
َ ‫َْ ُو‬2َ 
َ ،ٌ5ِY‫ْ ِ يْ َأ‬,َ# ‫ن‬
ُ َُ
ْ`َ5ْ) َ ،َPُ َ* Fَ ِ;‫ك َوُأ‬
َ "ُ ْ2َc ‫ب‬ َ "ِ ُ- ْ‫ َوِإن‬،ِ"ْ/ِ*d َ ِ `ُ /ِBُ‫َ ُ` َو‬5ْQَ :‫ل‬َ َ! ‫َ؟‬Pِ‫] َذ‬ُ ْ‫' ِإنْ َأدْ َرآ‬ِ ‫لا‬
َ ُ)‫َْ ُ` َ َر‬3‫ َأ‬aَ ْ/َ‫ آ‬:] ُ ُْ! :(َُ+ْ Fَ ُ)
ْ`ِJ‫! َوَأ‬

“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku
dan tidak mengikuti cara/ jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut
orang-orang yang berhati syaithan dalam bentuk manusia.” Hudzaifah berkata : “Apa yang
kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun punggungmu
dicambuk dan hartamu dirampas, maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah
(dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu 'anhu, 3/1476, no.
1847)
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ* ،َ :‫ل‬
َ َEَ ‫ِ؟‬aْ/Q ِ# ُْ‫ه‬Fُ ِ# َُ‫ ﻥ‬h
َ َ‫'! َأ‬
ُ ‫لا‬
َ ُ)‫ َ َر‬:. َ ْ/ِ! .َُْ‫َُﻥ‬,َْ ‫ُْ َو‬2َ‫َُﻥ‬,َْ‫ُﻥَُْ و‬eِfْ0ُ ‫ُْ َو‬2َ‫ُﻥ‬eِfْ0ُ

َ ْ Fِ ‫ُِ ُ ا‬5ِY‫ﺵِ"َا ُر َأ‬


ٍَ= َJ ْ
ِ* ‫=ُا َ ًا‬jِ َْ 
َ ‫ََُ َو‬5َ= ‫ً َْ َ"هُﻥَُ َ آْ َ"هُا‬kْ/َ‫ُِْ ﺵ‬َ ‫ َوِإذَا رََأ ُْْ *ِ
ْ ُو‬،َ‫ة‬h َ $‫ُْ ُ ا‬/ِ ‫َأ!َ *ُا‬
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian,
kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan
pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat
di tengah-tengah kalian! Jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang kalian tidak
sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut ketaatan (darinya).” (HR. Muslim,
dari shahabat ‘Auf bin Malik radhiallahu 'anhu, 3/1481, no. 1855)
Adapun dalil-dalil aqli, maka di antaranya adalah:
1. Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka
(penguasa) tetaplah berlaku meski mereka berbuat jahat. Karena membangkang (tidak
menaati) mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih
besar dari kejahatan mereka. Dan justru di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka
terdapat ampunan dari dosa-dosa dan pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyah hal. 368)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, di antara yang
masyhur dari prinsip Ahlus Sunnah adalah tidak boleh membangkang terhadap para penguasa
dan tidak boleh memerangi mereka dengan senjata walaupun mereka berbuat dzalim,
sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits nabi yang shahih lagi banyak jumlahnya. Hal itu
karena kerusakan yang terdapat dalam pertempuran dan fitnah lebih besar dibandingkan
kerusakan yang diakibatkan oleh kedzaliman penguasa sebelum adanya pertempuran dan
fitnah tersebut…., dan hampir-hampir tidak ada satu kelompok pun yang memberontak
terhadap penguasa kecuali kerusakan yang diakibatkan lebih besar dari kerusakan yang
semula ingin dihilangkannya.” (Minhajus Sunnah, juz 3,hal. 391)
3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar dengan
pengingkaran tersebut, terwujud suatu kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika ingkarul mungkar mengakibatkan
terjadinya kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak boleh dilakukan walaupun
Allah Subhanahu wa Ta'ala membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya. Hal ini seperti
pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak. Sungguh yang
demikian itu sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa… Dan barangsiapa
merenungkan apa yang terjadi pada (umat) Islam dalam berbagai fitnah yang besar maupun
yang kecil niscaya akan melihat bahwa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini dan
tidak sabar atas kemungkaran. Sehingga berusaha untuk menghilangkannya namun akhirnya
justru muncul kemungkaran yang lebih besar darinya.” (I’lamul Muwaqqi’in juz 3, hal. 6)
4. Al-Imam Ath-Thiibi rahimahullah berkata: “Adapun memberontak dan memerangi para
penguasa maka hukumnya haram sesuai dengan ijma’ kaum muslimin, walaupun mereka itu
orang-orang yang fasiq dan dzalim. Ahlus Sunnah sepakat bahwa seorang penguasa tidak
boleh digulingkan dengan sebab kefasiqannya, karena akan menimbulkan berbagai macam
fitnah, tertumpahnya darah dan terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin, maka
kejelekan yang diakibatkan oleh pemberontakan tersebut lebih parah dari
sebelumnya.”(Al-Kasyif An-Haqaiqis Sunan 7/181-182, dinukil dari Fataawal ‘Ulama
Al-Akaabir hal. 31)
Para pembaca, demikianlah beberapa dalil naqli dan aqli seputar sikap yang benar terhadap
para penguasa yang jahat dan dzalim. Tentunya para pembaca yang kritis dan sportif akan
menilai dengan mudah bahwa segala macam pernyataan yang berafiliasi kepada paham
Khawarij di dalam menyikapi para penguasa merupakan kebatilan. Demikian pula peledakan
yang terjadi di negeri-negeri kaum muslimin yang mereka lakukan sebagai teror terhadap
penguasa bukanlah bagian dari jihad yang syar’i, bahkan bertentangan dengan dalil-dalil
naqli dan aqli, serta fitrah yang suci.

Untaian Fatwa
Para ulama dan para imam yang mulia memfatwakan keharusan berjihad bersama penguasa,
walaupun ia seorang yang jahat dan dzalim.
? Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Berjihad bersama penguasa terus
berlangsung hingga hari kiamat, terlepas apakah ia seorang penguasa yang baik atau
jahat.”(Syarh Ushulil I’tiqad Lalikai, juz 1, hal.180)
? Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih
dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan
Mesir….." kemudian beliau berkata: "Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka
tentang perkara berikut ini: (Beliau sebutkan sekian perkara, di antaranya) kewajiban menaati
penguasa (dalam hal yang ma’ruf).” (Syarh Ushulil I’tiqad Lalikai, 1/194-197)
? Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi dan Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahumallah berkata:
“Kami telah menemui para ulama di seluruh negeri; Hijaz, Irak, Syam, dan Yaman, maka
madzhab mereka adalah –beliau sebutkan beberapa perkara di antaranya–: Kita tegakkan
jihad dan ibadah haji bersama para penguasa kaum muslimin di setiap masa dan
jaman.”(Syarh Ushulil I’tiqad Lalikai, juz 1, hal. 199)
? Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak
menghapuskan kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan
kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang kamu kerjakan
bersamanya mendapat pahala yang sempurna insya Allah, yakni kerjakanlah shalat
berjamaah, shalat Jumat dan jihad bersama mereka, dan juga berperan sertalah bersamanya
dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpin olehnya).”(Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu
Abi Ya’la 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal.14)
? Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari rahimahullah berkata: “Telah sepakat para ulama ahli
fiqh, ilmu, dan ibadah, dan juga dari kalangan ‘ubbad (ahli ibadah) dan zuhhad (orang-orang
zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini bahwa shalat Jum’at, Iedul Fithri
dan Iedul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, dan penyembelihan qurban dilakukan
bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.”(Al-Ibanah, hal 276-281, dinukil dari
Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
? Al-Imam Abu Ismail Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ahlul hadits berpandangan
(disyariatkannya) jihad melawan orang-orang kafir bersama penguasa walaupun mereka
(para penguasa itu, red) orang-orang yang jahat.” (‘Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits hal.106)
? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah:
“Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan (disyariatkannya) melaksanakan haji, jihad, dan
shalat Jum’at bersama para penguasa yang baik ataupun yang jahat.”
Penutup
Dari bahasan yang lalu dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa:
1. Jihad adalah amalan mulia yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
2. Jihad merupakan amalan yang bersifat kebersamaan, sehingga dibutuhkan suatu
kepemimpinan.
3. Kepemimpinan yang syar’i dalam jihad fii sabilillah berada di tangan penguasa dan yang
ditunjuk olehnya.
4. Bila penguasa mengumandangkan seruan jihad fii sabilillah, maka wajib bagi kaum
muslimin untuk menaatinya walaupun ia penguasa yang jahat.
5. Yang demikian itu dikarenakan apa yang diperintahkan (dalam hal ini jihad) bukanlah
suatu kemaksiatan. Lebih dari itu, menentangnya akan mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar.
6. Gerakan melawan penguasa muslim dengan berbagai macam bentuknya bukanlah bagian
dari jihad yang syar’i. Bahkan termasuk perbuatan mungkar yang dibenci oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Maka dari itu, sudah seharusnya slogan “Jihad melawan penguasa” dibuang jauh-jauh dan
diganti dengan “Jihad bersama penguasa.”
Wallahu a’lam bish-shawab.

Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini


dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

You might also like