Professional Documents
Culture Documents
Abstract
In this era democracy is assumed is the only good government system, in
fact, in few centuries ago, al-Faraby criticized democracy as a bad government
system. According to Faraby; democracy is a good system between bad systems.
So that he proposed “the prime city (Madinah al-Fadlilah)” system.
The prime city is the government system giving direction to the people to achieve
‘highest happiness’, for that it must have good leader who has excellent quality
and best vision of the achievement. It means that the leader bases on a quality not
popularity such as in democracy.
Key words: Social nature, weakness of democracy, Madinah al-Fadlilah.
1
Abbas M. Aqqad, Al-Dimuqrathiyah fi al-Islam, (Kairo, Dar al-Ma`arif, tt), 37;
Hamid al-Jamal, Adhwa` Ala al-Dimuqrathiyah, (Kairo, Maktabah al-Misriyah, 1960), 24-40;
Al-Rayes, Al-Nazariyah al-Siyasah fi al-Islam, (Kairo, Aglo Egytion Book, 1957), 302-310.
2
Fitrah Sosial.
Sebelum membahas persoalan politik, dalam al-Madinah
al-Fadilah, pertama kali, al-Farabi mendiskusikan masalah
psikologi manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai
fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan hidup bersama orang
lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut masyarakat
dan negara.6 Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur
dan mengapai keutamaan, al-Farabi membagi masyarakat dalam
dua bagian; masyarakat sempurna (al-mujtama` al-kamil) dan
masyarakat kurang sempurna (al-mujtama` ghair al-kamil).
Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mampu
mengatur dan membawa dirinya sendiri untuk mengapai
kebaikan tertinggi, sedang masyarakat kurang sempurna adalah
masyarakat yang tidak bisa mengatur dan membawa dirinya
pada keutamaan tertinggi. Kebaikan dan keutamaan tertinggi
adalah kebahagiaan dan kebahagiaan yang dimaksud adalah
tercapainya kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa dan
pikiran.7
Selanjutnya, dari sisi cakupan dan luas teritorial, al-Farabi
membagi negara dalam tiga bagian; besar, sedang dan kecil. (1)
Negara besar adalah negara yang berdaulat dan luas, membawai
negara-negara bagian, (2) negara sedang adalah negara bagian,
(3) negara kecil adalah pemerintahan daerah atau daerah
otonom. Selanjutnya, al-Farabi masyarakat dalam 4 bagian. (1)
Masyarakat desa (ahl al-qaryah), (2) masyarakat dusun (ahl al-
mahlah), (3) masyarakat yang hidup bersama dalam satu jalur,
jalan atau gang (ahl al-sikkah), dan (4) keluarga (usrah), dan
keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat.8
Menurut al-Farabi, diantara tiga macam negara diatas:
besar, sedang dan kecil, hanya negara yang diatur dengan
6
Dikemudian hari, gagasan tentang fitrah sosial ini diulangi oleh Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778 M) dengan konsep “kembali ke alam” (retur a la nature) yang
kemudian melahirkan konsep Sosial Contrat (kontrak sosial); kemauan untuk
bekerjasama demi tercapainya kebutuhan bersama diantara individu. Lihat Frans Magnis
Suseno, Etika Politik, (Jakarta, Gramedia, 1994), 238-239.
7
Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 35. Konsep kebahagiaan al-Farabi ini
diadopsi dari pemikiran Plato dan Aristoteles.
8
Ibid, 35-6.
4
Ketidaksempurnaan Demokrasi.
Dari sistem pemerintahan dan kemungkinan pencapaian
kebaikan (kebahagiaan), al-Farabi membagi negara dalam empat
kategori; negara jahiliyah, negara fasik, negara mubadilah, dan
negara sesat (dlalah). (1) Pemerintahan jahiliyah adalah rezim
yang tidak tahu dan tidak mampu mengarahkan rakyatnya pada
kebahagiaan; (2) pemerintahan fasik adalah rezim yang --
sebenarnya-- tahu dan mampu membawa rakyatnya kepada
kebahagiaan tetapi mereka tidak mengakui dan tidak
melakukannya melainkan justru mempraktekkan permainan-
permainan politik kotor yang akhirnya menjerumuskan mereka
pada martabat rendah; (3) pemerintahan mubaddalah adalah
rezim yang --secara zahir-- melakukan tindakan dan kebijakan
yang membantu rakyat, padahal yang terjadi sesungguhnya
justru sangat merugikan rakyat. Semua dilakukan semata demi
menutupi kecurangan dan kebobrokan aparat; (4) Pemerintahan
sesat adalah rezim yang tidak membawa rakyat pada kedamaian
melainkan justru membawa mereka pada pertentangan,
disintegrasi dan kehancuran.10
Al-Farabi tidak memberi uraian lebih rinci tentang tiga
sistem pemerintahan yang terakhir, tetapi ia banyak
memberikan penjelasan tentang sistem pemerintahan jahiliyah.
Menurutnya,11 rezim jahiliyah setidaknya terbagi atas empat
golongan; (1) sistem timokrasi, rezim yang mengutamakan
kehormatan atau kewibawaan (karamah), (2) sistem plutokrasi,
rezim yang mengutamakan kelompok sedikit, dimana kekuasaan
atau kepemimpinan dipegang orang tertentu dengan cara
didasarkan atas perhitungan besar kekayaan, konglomeratisme
(baddalah), (3) sistem tirani, rezim yang mengutamakan
pemimpin seorang tiran, militerisme (taghallib), (4) sistem
demokrasi, rezim yang mengutamakan perwakilan orang-orang
banyak (jama`iyah).
Diantara empat sistem pemerintahan yang tidak baik
(jahiliyah) di atas, sistem demokrasi diakui al-Farabi sebagai
sistem yang paling baik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan
9
Ibid, 37-8.
10
Ibid, 82-4.
11
Ibid, 78-79.
5
12
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah, dalam Richard Welzer (ed),
(Oxford, Clarendon Press, 1985),
13
Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal al-
Hikmah, (edisi 2, Oktober 1990), 92.
6
14
Ibid, 87.
15
Perbedaan antara persyaratan yang bersifat fitrah dan muktasab ini bisa di
gambarkan, bahwa yang fitrah adalah watak-watak atau tindakan-tindakan yang ada
sebelumnya. Arttinya, sebelum diangkat sebagai pemimpin, seseorang harus ditelusuri
riwayat hidupnya, perilakunya dan kemampuannya dalam memimpin masyarakat
dalam lingkungan atau organisasinya. Sementara persyaratan yang bersifat muktasab
adalah kondisi-kondisi yang bisa dan harus dipelajari setelah seseorang menjadi
pemimpin.
7
Penutup.
Dari paparan tentang pemikiran politik al-Farabi diatas, ada
beberapa hal yang perlu disampaikan,
1. Gagasan tentang negara utama al-Farabi ini agaknya diadopsi
dan diramu dari pemikiran “Republic”-nya Plato dan konsep
kebahagiaannya Aristoteles. Al-Farabi sendiri beberapa kali
merujukkan pikirannya ini pada pemikiran kedua tokoh
tersebut. Hanya saja, al-Farabi kemudian memberi ruh atau
spirit pada pemikiran kedua tokoh diatas yang murni
pemikiran dengan konsep-konsep yang diambil dari ajaran
Islam. Ini tampak jelas, misalnya, dalam konsepnya manusia
sempurna yang diartikan sebagai representasi Tuhan,
setidaknya sebagai manusia yang sangat dekat dengan
Tuhan. Konsep ini tidak ada dalam pemikiran Plato dan
Aristoteles.21
2. Asumsinya bahwa masyarakat tidak ubahnya jasad yang
setiap gerak geriknya senantiasa dikontrol dan dikomando
bisa memberi peluang pada penguasa untuk bersikap otoriter.
Ini juga memberikan kesan yang kurang menghargai pada
tingkat “kecerdasan” masyarakat. Padahal, pada era modern,
rakyat justru diharapkan bisa mengontrol pemerintah, setidak
ada dialok yang seimbang antara fihak penguasa dengan
rakyat. Makna zakat, dimana muzakki mempunyai wewenang
mengontrol tugas amil yang dalam hal ini dilakukan
pemerintah, sesungguhnya, tidak berbeda dengan konsep
kedaulatan di tangan rakyat seperti yang di pahami dalam
teori politik modern.22
3. Gagasan al-Farabi tentang pemimpin utama (al-ra`is al-awal)
sangat dekat dengan konsep imamah madzhab Syiah. Bahkan
20
Ibid, 93.
21
Lihat juga, Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 64.
22
Masdar F. Mas`udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta,
P3M, 1993), 53.
9
Daftar Pustaka