You are on page 1of 10

PEMIKIRAN POLITIK AL-FARABI

Achmad Khudori Soleh

Abstract
In this era democracy is assumed is the only good government system, in
fact, in few centuries ago, al-Faraby criticized democracy as a bad government
system. According to Faraby; democracy is a good system between bad systems.
So that he proposed “the prime city (Madinah al-Fadlilah)” system.
The prime city is the government system giving direction to the people to achieve
‘highest happiness’, for that it must have good leader who has excellent quality
and best vision of the achievement. It means that the leader bases on a quality not
popularity such as in democracy.
Key words: Social nature, weakness of democracy, Madinah al-Fadlilah.

Saat ini, ketika sistem demokrasi menjadi idaman dan tolok


ukur peradaban manusia modern, didorong keinginan untuk
menghadirkan Islam sebagai idiologi modern dan sistem
pemerintahan progresif, para pemikir muslim kontemporer
seperti berlomba menafsirkan kembali teori politik dan yuridis
Islam dalam istilah-istilah demokrasi. Paham-paham seperti
“kesejajaran manusia dihadapan Tuhan tanpa membedakan ras,
warna kulit dan etnis”, “kebebasan berpikir dan berkepercayaan
bagi manusia, muslim maupun non-muslim”, “pengakuan atas
otoritas (bai`ah), musyawarah (syura) dan konsensus (ijma)”,
adalah bukti-bukti yang diajukan untuk menyatakan bahwa Islam
yang humanistik juga mengenal dan berwatak demokratis.1
Padahal, sistem demokrasi bukan tanpa cela dan bukan
segalanya. Al-Farabi mengkritik beberapa kelemahan sistem
demokrasi dan menyatakan bahwa demokrasi hanya terbaik
diantara sistem-sistem pemerintahan yang jelek. Ia menulis al-
Madinah al-Fadilah (Negara Utama) sebagai sistem pemerintahan
alternatif, sebagai sistem pemerintahan post-demokrasi.

Sekilas tentang al-Farabi.


Sebagai seorang filosof muslim, al-Farabi dikenal sebagai
“guru kedua” setelah Aristoteles sebagai “guru pertama”. Lahir

1
Abbas M. Aqqad, Al-Dimuqrathiyah fi al-Islam, (Kairo, Dar al-Ma`arif, tt), 37;
Hamid al-Jamal, Adhwa` Ala al-Dimuqrathiyah, (Kairo, Maktabah al-Misriyah, 1960), 24-40;
Al-Rayes, Al-Nazariyah al-Siyasah fi al-Islam, (Kairo, Aglo Egytion Book, 1957), 302-310.
2

di propinsi Transoxiana, Turkestan, 870 M, dari keluarga


bangsawan. Pada awalnya, ia adalah hakim di Bukhari, tetapi
jabatan itu kemudian di tinggalkan dan lebih memilih mendalami
filsafat.2 Pada tahun 922 M, ia pindah ke Baghdad untuk
melanjutkan pendidikan ilmu-ilmu filsafat pada Matta ibn Yunus
(w. 939 M) dan Ibn Hailan (w. 932 M). Selanjutnya, bersama
gurunya, Ibn Hailan, ia pergi dan menetap di Konstantinopel
selama 8 tahun guna lebih mendalami filsafat. Sekembalinya dari
Konstantinopel dan ketika Baghdad dilanda pergolakan politik, al-
Farabi pergi ke Damaskus kemudian ke Aleppo. Di Aleppo inilah,
dengan dukungan penuh kerabat istana yang memang gandrung
filsafat, ia mencurahkan segala pikirannya untuk mengajar dan
menulis buku, dan ini adalah masa produktif al-Farabi. Akhirnya,
ia meninggal di Damaskus tahun 950 M, dan dimakamkan disana
dengan penuh kebesaran.3
Al-Farabi banyak menulis buku yang secara garis besar bisa
dibagi dalam beberapa tema: logika, fisika, metafisika, politik,
astrologi, musik dan beberapa tulisan yang berisi sanggahan
terhadap pandangan filosof tertentu.4 Khusus tentang buku
Madinah al-Fadilah yang mendiskusikan tentang sistem
pemerintahan ini, menurut Abd Wahid Wafa,5 tidak ditulis dalam
satu waktu melainkan dalam berbagai tempat dan kurun waktu.
Ditulis pertama kali di Baghdad, dengan judul “Negara utama,
negara jahiliyah, negara fasiqah, negara mubaddilah dan negara
sesat” yang semua kemudian menjadi sub-bahasan dalam buku
ini. Selanjutnya dibawa ke Damaskus dan diselesaikan disana,
tahun 942 M, dengan dibagi dalam beberapa bab. Pada tahun
948 M, ketika berada di Mesir, al-Farabi mengedit dan
menyempurnakan buku ini dan membaginya dalam beberapa
pasal, mengikuti permintaan masyarakat.
Buku Madinah al-Fadilah ini diterbitkan pertama kali di
Leiden, Belanda, tahun 1895 M, kemudian baru di Kairo, Mesir,
tahun 1906 M. Buku ini terdiri atas dua bagian besar, (1)
membahas persoalan metafisika dan (2) persoalan sosial politik.
Pembahasan tentang metafisika terdiri atas 15 sub-bab. Antara
lain, membahas tentang Tuhan, malaikat, penghuni-penghuni
langit, alam indera, binatang dan lainnya. Disini juga membahas
cara penurunan (emanasi atau faidl) dari Tuhan Yang Maha Ghaib
2
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung, Mizan, 1997), 30.
3
Montgomery Watt, The Majesty that was Islam, (London, Sidgwich, 1976), 156-8;
Ibn Khalikan, Wafaya al-A`yan, V, (Beirut, Dar al-Syadr, tt), 155.
4
Ian Richard Netton, Al-Farabi and His School, (London, Rouledge, 1992), 4-7;
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, 39-47; George Zidan, Tarikh Adab al-Lughah al-Arabiyah,
(Beirut, Dar al-Fikr, 1996), 238-9.
5
Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah li al-Farabi, (Kairo, Alam al-Kutub, 1973),
18.
3

sampai terwujudnya alam indera. Juga membahas tentang akal


(rasio), macam-macamnya dan tingkatannya.
Bagian kedua, berbicara tentang politik, terdiri atas 12 sub-
bahasan. Antara lain, membahas kehendak sosial dari manusia,
persyaratan sebagai seorang pemimpin, pemimpin negara
utama, sistem negara-negara non-utama, industri dan
kebahagiaan dan lainnya.

Fitrah Sosial.
Sebelum membahas persoalan politik, dalam al-Madinah
al-Fadilah, pertama kali, al-Farabi mendiskusikan masalah
psikologi manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai
fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan hidup bersama orang
lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut masyarakat
dan negara.6 Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur
dan mengapai keutamaan, al-Farabi membagi masyarakat dalam
dua bagian; masyarakat sempurna (al-mujtama` al-kamil) dan
masyarakat kurang sempurna (al-mujtama` ghair al-kamil).
Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mampu
mengatur dan membawa dirinya sendiri untuk mengapai
kebaikan tertinggi, sedang masyarakat kurang sempurna adalah
masyarakat yang tidak bisa mengatur dan membawa dirinya
pada keutamaan tertinggi. Kebaikan dan keutamaan tertinggi
adalah kebahagiaan dan kebahagiaan yang dimaksud adalah
tercapainya kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa dan
pikiran.7
Selanjutnya, dari sisi cakupan dan luas teritorial, al-Farabi
membagi negara dalam tiga bagian; besar, sedang dan kecil. (1)
Negara besar adalah negara yang berdaulat dan luas, membawai
negara-negara bagian, (2) negara sedang adalah negara bagian,
(3) negara kecil adalah pemerintahan daerah atau daerah
otonom. Selanjutnya, al-Farabi masyarakat dalam 4 bagian. (1)
Masyarakat desa (ahl al-qaryah), (2) masyarakat dusun (ahl al-
mahlah), (3) masyarakat yang hidup bersama dalam satu jalur,
jalan atau gang (ahl al-sikkah), dan (4) keluarga (usrah), dan
keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat.8
Menurut al-Farabi, diantara tiga macam negara diatas:
besar, sedang dan kecil, hanya negara yang diatur dengan
6
Dikemudian hari, gagasan tentang fitrah sosial ini diulangi oleh Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778 M) dengan konsep “kembali ke alam” (retur a la nature) yang
kemudian melahirkan konsep Sosial Contrat (kontrak sosial); kemauan untuk
bekerjasama demi tercapainya kebutuhan bersama diantara individu. Lihat Frans Magnis
Suseno, Etika Politik, (Jakarta, Gramedia, 1994), 238-239.
7
Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 35. Konsep kebahagiaan al-Farabi ini
diadopsi dari pemikiran Plato dan Aristoteles.
8
Ibid, 35-6.
4

sistem pemerintahan utama (fadilah) yang mampu


mengantarkan masyarakatnya pada kesejahteraan dan
kebahagiaan. Sistem pemerintahan utama ini, dalam
mengantarkan masyarakatnya mencapai kebahagiaan adalah
sama seperti kerjasama anggota tubuh dalam menjaga
kesehatan dan keselamatan dirinya.9

Ketidaksempurnaan Demokrasi.
Dari sistem pemerintahan dan kemungkinan pencapaian
kebaikan (kebahagiaan), al-Farabi membagi negara dalam empat
kategori; negara jahiliyah, negara fasik, negara mubadilah, dan
negara sesat (dlalah). (1) Pemerintahan jahiliyah adalah rezim
yang tidak tahu dan tidak mampu mengarahkan rakyatnya pada
kebahagiaan; (2) pemerintahan fasik adalah rezim yang --
sebenarnya-- tahu dan mampu membawa rakyatnya kepada
kebahagiaan tetapi mereka tidak mengakui dan tidak
melakukannya melainkan justru mempraktekkan permainan-
permainan politik kotor yang akhirnya menjerumuskan mereka
pada martabat rendah; (3) pemerintahan mubaddalah adalah
rezim yang --secara zahir-- melakukan tindakan dan kebijakan
yang membantu rakyat, padahal yang terjadi sesungguhnya
justru sangat merugikan rakyat. Semua dilakukan semata demi
menutupi kecurangan dan kebobrokan aparat; (4) Pemerintahan
sesat adalah rezim yang tidak membawa rakyat pada kedamaian
melainkan justru membawa mereka pada pertentangan,
disintegrasi dan kehancuran.10
Al-Farabi tidak memberi uraian lebih rinci tentang tiga
sistem pemerintahan yang terakhir, tetapi ia banyak
memberikan penjelasan tentang sistem pemerintahan jahiliyah.
Menurutnya,11 rezim jahiliyah setidaknya terbagi atas empat
golongan; (1) sistem timokrasi, rezim yang mengutamakan
kehormatan atau kewibawaan (karamah), (2) sistem plutokrasi,
rezim yang mengutamakan kelompok sedikit, dimana kekuasaan
atau kepemimpinan dipegang orang tertentu dengan cara
didasarkan atas perhitungan besar kekayaan, konglomeratisme
(baddalah), (3) sistem tirani, rezim yang mengutamakan
pemimpin seorang tiran, militerisme (taghallib), (4) sistem
demokrasi, rezim yang mengutamakan perwakilan orang-orang
banyak (jama`iyah).
Diantara empat sistem pemerintahan yang tidak baik
(jahiliyah) di atas, sistem demokrasi diakui al-Farabi sebagai
sistem yang paling baik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan

9
Ibid, 37-8.
10
Ibid, 82-4.
11
Ibid, 78-79.
5

yang terbaik diantara rezim-rezim yang jelek. Ia merupakan


negara yang paling didambakan dan dianggap paling bahagia.
Negara ini tampak seperti sulaman garmen yang penuh corak
warna. Setiap orang menyukainya dan ingin tinggal di dalamnya
karena tidak ada satupun keinginan atau potensi --baik maupun
jahat-- yang tidak tertampung dan tidak terkembangkan
didalamnya. Dalam sistem demokrasi ini ada dua prinsip yang
dianut,
1. Prinsip kebebasan (liberty), sehingga rezim demokratis
disebut juga rezim “bebas” atau “kesatuan orang-orang
bebas”. Dalam negara demokrasi ini, setiap individu berhak
dan bebas melakukan apa yang dikehendaki dan disukai, dan
tidak seorangpun berhak atas otoritas kecuali berbuat untuk
memanfaatkan kebebasaanya.
2. Prinsip kesejajaran (equality). Setiap orang dalam rezim
demokrasi adalah sama dan sejajar dihadapan hukum. Tidak
ada perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata, bahkan
rakyatlah sumber dan pemegang otoritas kekuasaan yang
sebenarnya, sedang pemerintah hanya menjalankan tugasnya
sesuai yang dikehendaki rakyat.12
Dengan dua prinsip ini, terutama kebebasan, sistem
demokrasi tidak hanya mendorong lahirnya ilmu dan peradaban
tinggi tetapi bersamaan itu juga membuka peluang bagi
berkembangnya kekuatan-kekuatan jahat, minimal yang secara
moral bertentangan dan menghambat tercapainya kebahagiaan
masyarakat, karena tidak ada otoritas atau rasa tanggung jawab
untuk mengendalikan nafsu jahat (amoral) dan harapan-harapan
warga negara. Inilah ketidak-sempurnaan sistem demokrasi.
Karena itu, meski demokrasi diakui sebagai negara paling besar,
paling berperadaban, paling produktif dan paling sejahtera, ia
juga merupakan negara yang paling banyak mengandung
kejahatan dan keburukan.13

Al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama).


Berdasar kenyataan atas ketidak-sempurnaan sistem
demokratis di atas, al-Farabi mengajukan gagasannya tentang
sistem pemerintahan negara utama (al-Madinah al-Fadilah).
Disini, negara tidak diperintah oleh perwakilan orang banyak
(parlemen) melainkan oleh pemimpin utama yang bertugas
untuk mendidik dan mengarahkan rakyat pada pencapaian
kebahagiaan tertinggi (aktualisasi potensi-potensi terbaik dari

12
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah, dalam Richard Welzer (ed),
(Oxford, Clarendon Press, 1985),
13
Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal al-
Hikmah, (edisi 2, Oktober 1990), 92.
6

ruhani dan pemikiran). Gagasan ini didasarkan atas kenyataan,


(1) bahwa susunan masyarakat atau pemerintahan tidak berbeda
dengan badan. Pada badan, semua gerakan yang dilakukan oleh
tangan, kaki, kepala dan lainnya, adalah atas perintah hati. Hati
bertindak sebagai pemimpin atas tindakan jasad. Begitu pula
yang terjadi pada masyarakat. Aapa yang terjadi pada
masyarakat tidak berbeda dengan apa yang ada pada jasad: ia
bertindak sesuai dengan perintah pemimpin atau pemerintah.
Pemerintah adalah pemimpin masyarakat. (2) Bahwa karena
perbedaan-perbedaan alamiah, tidak semua orang mengetahui
dan memahami kebahagiaan lewat dirinya sendiri atau sesuatu
yang harus diperbuatnya guna mencapai kebahagiaan. Mereka
membutuhkan guru, pendidik dan pembimbing. Disinilah tugas
dan fungsi pemimpin utama, yakni dengan kesempurnaan dan
kebijaksanannya, menunjukkan pada masyarakat tentang objek
utama (primari intellegibles) yang bisa mengarahkan pada
kebahagiaan.14
Karena itu, negara utama (madinah al-fadilah) tidak bisa
dipimpin sembarang orang melainkan oleh mereka yang benar-
benar memenuhi persyaratan tertentu (dustur). Pemimpin utama
(al-ra’is al-awwal) harus memenuhi persyaratan yang bersifat
fitrah (bawaan) dan pengayaan (muktasab).15 Persyaratan yang
bersifat bawaan (fitrah), antara lain,
1. Dari sisi hati atau jiwa, mempunyai kelebihan dalam soal
kesalehan dan ketaqwaan, sebagai representasi manusia
sempurna yang telah mencapai tahap akal aktif (al-`aql al-
fa`al) dalam menangkap dan menterjemahkan isyarat-isyarat
ilahiyah. Disamping itu, juga terbukti mempunyai akhlak atau
moral yang baik dan terpuji.
2. Dari segi kecerdasan, mempunyai keunggulan dalam hal
representasi imanjinatif.
3. Dari segi politik, mempunyai kebijaksaan yang sempurna
dalam menjalankan policy dan menangani persoalan-
persoalan yang timbul. Juga mempunyai keunggulan persuasif
serta sifat tegas dan lugas dalam menghadapi
penyelewengan dan ketidakadilan

14
Ibid, 87.
15
Perbedaan antara persyaratan yang bersifat fitrah dan muktasab ini bisa di
gambarkan, bahwa yang fitrah adalah watak-watak atau tindakan-tindakan yang ada
sebelumnya. Arttinya, sebelum diangkat sebagai pemimpin, seseorang harus ditelusuri
riwayat hidupnya, perilakunya dan kemampuannya dalam memimpin masyarakat
dalam lingkungan atau organisasinya. Sementara persyaratan yang bersifat muktasab
adalah kondisi-kondisi yang bisa dan harus dipelajari setelah seseorang menjadi
pemimpin.
7

4. Dari sisi menejerial, mempunyai keunggulan dalam retorika,


sehingga bisa menjelaskan persoalan-persoalan penting
dengan baik dan mudah, pada masyarakat.16
Tentang persyaratan yang bersifat pengayaan (muktasab),
antara lain,
1. Mengerti dan paham tentang hukum-hukum atau ketetapan-
ketetapan sebelumnya untuk kemudian mampu merevisi dan
menyelaraskan dengan tuntutan zaman.
2. Mengerti strategi dan pertahanan negara, karena ia
berkewajiban untuk menjaga kedaulatan dan integritas
negara.17
Jika pemimpin utama semacam itu tidak ada, negara harus
dipimpin oleh gabungan orang-orang yang mengkombinasikan
kualifikasi-kualifikasi tersebut, yang disebut pemimpin-pemimpin
terpilih (al-ru’asa al-akhyar).18 Kombinasi ini mungkin sama
dengan model “kabinet pelangi” pada masa Gus Dur dahulu,
tetapi bukan atas dasar perbedaan partai yang lebih demi
mempertemukan berbagai kepentingan dan golongan, melainkan
kombinasi dari kaum profesional, ilmuan, pemikir, birokrat, dan
lainnya yang secara bersama-sama bekerja demi tercapainya
kebahagiaan bangsa. Jika gabungan orang-orang semacam ini
juga tidak ditemukan, maka pemimpin negara harus diberi bekal
tentang tradisi, ketetapan dan hukum-hukum yang telah
dipancangkan para pendahulunya (atau oleh dewan legislatif
yang arif dan kredible), dengan syarat bahwa pemimpin tersebut
harus memiliki kesalehan dan kebenaran opini untuk
menafsirkan dan menetapkan hukum-hukum dan ketetapan
tersebut dalam situasi baru yang dihadapinya.19
Walhasil, negara utama atau setidaknya pemerintahan
terbaik adalah rezim dimana orang-orang saleh dan profesional
merupakan yang paling banyak mengambil peranan atau
penentu kebijakan. Dengan sistem seperti itu, diharapkan
mereka akan mampu mendidik dan membawa masyarakat pada
tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi. Manusia-
manusia unggul mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan lewat
spekulasi, penemuan dan pemikiran, sementara masyarakat
biasa (awam) menemukan kebahagiaan sejenis lewat praktek-
praktek dan desakan-desakan moral yang telah di tentukan.
Selanjutnya, jika kaum saleh, pemikir dan profesional juga
tidak bisa menempati posisi strategis dalam pemerintahan, maka
16
Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 66; Lihat pula Abbas Halimi al-Huli,
“Ara l-farabi fi al-Daulah wa al-Mujatama` al-Insan”, dalam Al-Farabi wa al-Hadlarah al-
Insaniyah, (Baghdad, Dar al-Huriyah, 1976), 496-97.
17
Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 72.
18
Ibid, 74; Fauzi M. Najjar, Demokrasi, 89.
19
Fauzi M. Najjar, Ibid, 90.
8

sistem pemerintahan demokrasi adalah alternatif terbaik. Sebab,


dalam sistem demokrasi yang bebas ini, kaum saleh dan pemikir
akan mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan kegiatan
membimbing dan memberi petunjuk pada masyarakat lewat
pendidikan, pemikiran dan lainnya, sehingga bisa tercapai
kebahagiaan bersama. Dengan demikian, mereka itulah
pemimpin-pemimpin sejati, meski tanpa mahkota dan
pengawal.20

Penutup.
Dari paparan tentang pemikiran politik al-Farabi diatas, ada
beberapa hal yang perlu disampaikan,
1. Gagasan tentang negara utama al-Farabi ini agaknya diadopsi
dan diramu dari pemikiran “Republic”-nya Plato dan konsep
kebahagiaannya Aristoteles. Al-Farabi sendiri beberapa kali
merujukkan pikirannya ini pada pemikiran kedua tokoh
tersebut. Hanya saja, al-Farabi kemudian memberi ruh atau
spirit pada pemikiran kedua tokoh diatas yang murni
pemikiran dengan konsep-konsep yang diambil dari ajaran
Islam. Ini tampak jelas, misalnya, dalam konsepnya manusia
sempurna yang diartikan sebagai representasi Tuhan,
setidaknya sebagai manusia yang sangat dekat dengan
Tuhan. Konsep ini tidak ada dalam pemikiran Plato dan
Aristoteles.21
2. Asumsinya bahwa masyarakat tidak ubahnya jasad yang
setiap gerak geriknya senantiasa dikontrol dan dikomando
bisa memberi peluang pada penguasa untuk bersikap otoriter.
Ini juga memberikan kesan yang kurang menghargai pada
tingkat “kecerdasan” masyarakat. Padahal, pada era modern,
rakyat justru diharapkan bisa mengontrol pemerintah, setidak
ada dialok yang seimbang antara fihak penguasa dengan
rakyat. Makna zakat, dimana muzakki mempunyai wewenang
mengontrol tugas amil yang dalam hal ini dilakukan
pemerintah, sesungguhnya, tidak berbeda dengan konsep
kedaulatan di tangan rakyat seperti yang di pahami dalam
teori politik modern.22
3. Gagasan al-Farabi tentang pemimpin utama (al-ra`is al-awal)
sangat dekat dengan konsep imamah madzhab Syiah. Bahkan
20
Ibid, 93.
21
Lihat juga, Abd Wahid, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah, 64.
22
Masdar F. Mas`udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta,
P3M, 1993), 53.
9

sebagian besar sumber menyatakan bahwa gagasan ini


memang dipengaruhi ide imamah tersebut, atau bisa jadi
sebagai promosi doktrin imamah, mengingat bahwa al-Farabi
--dianggap-- sebagai pemikir Syi`i.
4. Dalam bentuknya yang ideal, gagasan ini kiranya sulit
dilaksanakan, bahkan mungkin hanya utopis. Abd Wahid
sendiri, penulis ringkasan al-Madinah al-Fadilah ini, mengakui
bahwa gagasan negara utama al-Farabi sangat sulit
dilaksanakan. Jarang --jika tidak dikatakan tidak ada--
ditemukan orang yang mempunyai kualifikasi sempurna
sebagaimana yang dipersyaratkan al-Farabi. Karena itu, paling
banter, yang bisa dilaksanakan adalah pemerintahan sistem
gabungan, model “kabinet pelangi” yang memadukan segala
potensi yang ada.
5. Dalam konteks keindonesiaan, ketika pemimpin yang bijak,
cerdas, berwawasan luas, karismatik dan yang sekaligus
manajer handal tidak ditemukan, maka pemimpin harus
dibagi. Artinya, ketika presiden di anggap tidak mumpuni
dalam bidang administrasi, maka ia mesti mengangkat wakil
atau perdana menteri yang membidangi persoalan
administrasi.
6. Kritiknya pada sistem demokrasi, yang digambarkan sebagai
sulaman garmen yang penuh corak warna, negara paling
berperadaban dan paling sejahtera tetapi sekaligus juga
sebagai negara paling bobrok dan menyedihkan kiranya bisa
dijadikan renungan. Kenyataanya, Amerika, yang dianggap
sebagai negara paling demokratis, bebas, maju dan canggih,
sekaligus juga dikenal sebagai negara paling tinggi tingkat
kejahatannya, dan paling rusak perilaku moralnya --ditinjau
dari perspektif agama [.]

Daftar Pustaka

Aqqad, Abbas M., Al-Dimuqrathiyah fi al-Islam, Kairo, Dar al-


Ma`arif, tt
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung, Mizan, 1997
Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah, dalam Richard
Welzer (ed), Oxford, Clarendon Press, 1985
Huli, Abbas Halimi, “Ara al-Farabi fi al-Daulah wa al-Mujatama` al-
Insan”, dalam Al-Farabi wa al-Hadlarah al-Insaniyah,
Baghdad, al-Huriyah, 1976
Ibn Khalikan, Wafaya al-A`yan, V, Beirut, Dar al-Syadr, tt
10

Jamal, Hamid al-, Adhwa` Ala al-Dimuqrathiyah, Kairo, al-


Misriyah, 1960
Mas`udi, Masdar F, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam
Islam, Jakarta, P3M, 1993
Najjar, Fauzi M., “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam
Jurnal al-Hikmah, edisi 2, Oktober 1990
Netton, Ian Richard, Al-Farabi and His School, London, Rouledge,
1992
Rayes, Al-Nazariyah al-Siyasah fi a l-Islam, Kairo, Aglo Egytion
Book, 1957
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik, Jakarta, Gramedia, 1994
Wafa, Abd al-Wahid, Ali (edit), Mabadi` Ara Ahl al-Madinah li al-
Farabi, Kairo, Alam al-Kutub, 1973.
Watt, Montgomery, The Majesty that was Islam, London,
Sidgwich, 1976
Zidan, George, Tarikh Adab al-Lughah al-Arabiyah, Beirut, Dar al-
Fikr, 1996

Jurnal PSIKOISLAMIKA, Fakultas Psikologi UIN Malang, Vol. IV/ No.


2 Juli 2007.

You might also like