You are on page 1of 44

‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kita memuji-Nya, memohon


pertolongan, petunjuk dan ampunan serta bertaubat kepada-Nya. Kita memohon
perlindungan dari kejahatan diri dan amalan kita kepada-Nya. Sesungguhnya barang
siapa yang telah Allah berikan petunjuk, niscaya tidak akan ada yang mampu
menyesatkannya, dan barang siapa yang telah Allah sesatkan, niscaya tidak akan ada
yang mampu memberikannya petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, dan
tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusannya.

Amma ba’du:

Sungguh menuntut ilmu syariat dan berdakwah kepadanya serta mengajarkannya


kepada orang yang tidak mengetahuinya, memberikan peringatan kepada kaum
muslimin dari perbuatan yang diharamkan dan kemungkaran, dan menjauhkan mereka
dari perbuatan bid’ah adalah termasuk dari amar-ma’ruf dan nahi-mungkar. Yang
mana Allah telah menjadikan kebaikan bagi ummat ini apabila mereka mau
menegakkannya, sebagai mana firman Allah :

‫كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر‬


.‫وتؤمنون بالله الية‬

Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh


kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. (Al Imron 110).

Dan dikarenakan isi buku ini membahas satu aspek penting untuk meluruskan
gambaran agama Islam dari upacara-upacara yang dinisbahkan kepadanya, yang
mendatangkan gambaran buruk akan agama Islam. Sebab setiap orang yang
menyaksikan ahli bid’ah dari kalangan sufi sedang melaksanakan acara bid’ah mereka
maulid dengan gerak-gerik dan tata cara mereka, niscaya ia akan meyakini bahwa
dasar acara ini adalah khurofat dan cerita-cerita palsu.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang menyaksikan mereka sedang
melaksanakan acara ini niscaya akan menjauh dari Islam, dan berburuk sangka
dengan pemeluknya, terlebih-lebih pada zaman sekarang yang perayaan maulid
disiarkan langsung melalui parabola, sebab ia tidak menyaksikan adanya sebuah
agama yang hakiki, yang akan mendatangkan kepercayaan pada jiwa, dan
membangkitkan semangat beramal dan membantu orang lain.

Dan karena diantara kesempurnaan iman adalah rasa cinta seseorang kepada
saudaranya, akan apa yang dicintai untuk ia dapatkan, yaitu dengan cara menjelaskan
kebenaran bagi orang yang terperdaya dengan kebatilan dari pemeluk agama ini, dan
ini termasuk jihad yang Allah wajibkan kepada pemeluk agama yang Allah jadikan
sebagai penutup dari semua agama. Sebab hal ini salah satu kewajiban yang paling
wajib, sebagaimana memerangi musuh dengan berperang, maka usaha membersihkan
ummat ini dari penyebab kelemahan dan amalan-amalan yang hina merupakan
kewajiban yang paling wajib.

Sebab ummat ini tidak akan mampu memerangi musuhnya dengan pedang sehinggga
membentengi dirinya dengan benteng yang kokoh dari dalam tubuhnya sendiri, yaitu
dengan cara menyebarkan agama Islam yang benar. Dikarenakan membersihkan
barisan merupakan salah satu penyebab datangnya kemenangan.

Betapa banyak kita menyaksikan dalam sejarah kelompok ini (kaum sufi) yang
dianggap bagian dari Islam padahal bukan, telah mendatangkan bencana dan
peperangan dalam tubuh negara Islam sebelum mereka diserang oleh musuh mereka
yang sebenarnya. Bahkan sepanjang masa, merekalah yang membukakan jalan bagi
musuh untuk masuk kedalam negri kaum muslimin pada berbagai daerah.

Hal ini disebabkan karena agama yang mereka pegangi bertopang dengan kuat pada
menuruti syahwat pribadi yang diharamkan dalam Islam, baik itu yang berhubungan
dengan makanan, pakaian, wanita atau yang lainnya, dan mereka benar-benar sadar
bahwa agama Islam yang sebenarnya sangatlah bertentangan dengan hal ini, kecuali
dalam batas yang dihalalkan dalam syariat.

Dan mungkin sekarang ini saya –dan juga yang lainnya- telah melihat bahwa dibawah
debu telah terdapat percikan api, hal ini dikarenakan banyaknya perayaan acara bid’ah
ini, dan usaha-usaha untuk menghidupkan tempat-tempat jahiliyah pada zaman ini.

Nah karya ini merupakan andil saya dalam menyebar luaskan jawaban bagi
pertanyaan yang sering terlintas dalam benak kebanyakan pemeluk agama Islam,
terlebih-lebih pada zaman ini, zaman yang banyak sekali perbuatan bid’ah dan telah
menyebar dengan cepat sebagaimana menyebarnya api dalam rumput kering. Itu
semua disebabkan kebodohan dan kurangnya kesadaran dan rasa cinta untuk tersohor,
walau berakibat buruk terhadap agama ini.

Sungguh tersebarnya buku seperti ini telah menjadi ganjalan dalam tenggorokan
setiap ahli bid’ah dan orang sufi. Sebuah karya yang dituliskan oleh seorang alim
besar, hidup antara abad kedua dan ketiga belas di negri Yaman. Negri yang didoakan
oleh Nabi untuk mendapatkan berkah, dan beliau termasuk salah seorang mujtahid
dan termasuk salah seorang ulama’ ummat ini, yang selalu berpegangan dengan dalil.

Kebanyakan kaum muslimin beranggapan bahwa menghukumi perayaan maulid


sebagai sebuah kebid’ahan adalah suatu ungkapan yang tidak pernah diucapkan oleh
ulama’ terdahulu, akan tetapi hanya sekedar perkataan ulama-ulama zaman sekarang.
Dan juga berprasangka bahwa permasalan ini tidak pernah ada pada pembahasan dan
tulisan-tulisan mereka, juga tidak pernah ada pendiskusian argumentasi orang yang
membolehkan perayaan ini, dan bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka, terlebih-
lebih dari ulama’ seperti As Syaukani rohimahullah, dimana beliau tersohor sebagai
seorang yang selalu berpegang teguh dengan dalil, dan berkata-kata penuh dengan
kebijaksanaan, dan selalu berlepas diri dari setiap perbuatan bid’ah.

Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bukti kuat bahwa As Syaukani
rahimahullah dan ulama’ lainnya mencintai kebaikan bagi orang lain, dan membenci
sikap ketidak jelasan dalam beramal tanpa adanya dalil. Sebagaimana yang keadaan
kebanyakan orang awam dari kaum muslimin, dan kebanyakan orang yang dianggap
berilmu pada kebanyakan negara Islam.

Dimana mereka sama sekali tidak memiliki perhatian dengan urusan agama mereka,
sehingga mereka terus menerus berada dalam gelapnya kebodohan dan kesesatan.
Dan hanya berusaha memuaskan syahawat perut dan birahi, atau hal-hal yang
mengarah kepada kedua syahwat ini, dari berbagai macam bentuk nyanyian, musik-
musik, dan pergaulan dengan orang yang tidak halal untuk mereka pergauli.

Atau sikap tidak mau tahu dan mengamalkan setiap yang sesuai dengan hawa nafsu
mereka, tanpa memperdulikan tingkat kecocokan amalan tersebut dengan syariat,
sebagaimana hal ini terjadi pada saat perayaan acara-acara bid’ah seperti acara maulid
dan yang serupa dengannya, sehingga mereka beramal tidak dengan ilmu, dan berkata
atas Nama Allah dengan tanpa ilmu.

Oleh karena itu saya sajikan buku ini wahai pembaca yang budiman, dengan penuh
harap dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mampu, agar dijadikan sebagai
penyebab yang penuh dengan barokah bagi saya dan ummat Islam dalam meluruskan
pemahaman kebanyakan kaum muslimin terhadap acara bid’ah ini. Acara yang
hampir-hampir saja menyelimuti seluruh permukaan bumi.

Dan semoga Allah menjadikannya bagian dari timbangan amal baik bagi saya,
pengarang, penulis, pembaca, penerbit dan semua orang yang ikut andil dalam
penyebarannya. Semoga Allah menjadikan amalan ini benar-benar ikhlas hanya
karena-Nya, dan menjadikannya sebagai hal yang akan mendekatkan diri dari
kebahagiaan di sisi-Nya di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Semoga
Allah meluruskan niat saya dan anak keturunan saya, dan mengaruniai kita ilmu yang
bermanfaat, amalan yang sholih yang diterima, dan mengampuni kekhilafan kita, serta
merahmati orang-orang yang telah meninggal dari kita, dan mengampuni kedua orang
tua saya dan orang tua seluruh kaum muslimin.

Semoga sholawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad ,


keluarga, dan sahabatnya.

Dituliskan oleh:

Abu Ahmad Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad bin Hamuud Al Musyaiqih

Al Qoshim-Buraidah (Semoga Allah melindunginya dari segala kejelekan)


Pembahasan Buku
Buku ini walaupun ringkas akan tetapi sangat besar sekali manfaatnya, dikarenakan
penulisan buku ini pada awalnya tidak dimaksudkan untuk dijadikan sebuah buku,
akan tetapi ia merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang datang kepada Al
Imam As Sayukany, maka beliau menuliskan jawabannya ini, dan beliau menguatkan
jawabannya dengan berkata:

1. Saya tidak mendapatkan sebuah dalilpun akan disyariatkannya perayaan ini,


baik dalam Al Qur’an atau As Sunnah atau qiyas atau yang dalil lainnya.
2. Beliau menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa perayaan ini tidak pernah
dilaksanakan pada generasi yang paling mulia, generasi sahabat, tabiin, tabiit
tabiin, dan juga tidak pada generasi setelahnya.
3. Tidak ada seorang ulama-pun yang menukilkan dari ulama sebelumnya bahwa
acara ini bukanlah acara bid’ah, bersamaam dengan itu mereka sepakat bahwa
setiap perbuatan bid’ah merupakan kesesatan.
4. Beliau membantah pendapat orang yang membagi bid’ah menjadi lima
hukum, bahwa pembagian ini tidak ada dalilnya dan juga sama sekali tidak
beralasan.
5. Pengaruh kekuatan para pemimpin dan raja serta kesholihan mereka dalam
mengarahkan rakyat menuju kepada jalan selamat dan untuk tidak mengambil
pendapat siapapun yang tidak berdasarkan pada dalil.
6. Begitu cepatnya amalan bid’ah menyebar pada masyarakat apabila para ulama
tidak berjuang menjelaskan akan buruknya amalan bidah, dan menerangkan
akan kejahatan para ulama jahat, atau yang kurang ilmunya, dan kejahatan
orang yang berusaha mendapatkan kedudukan dunia dalam rangka
mengumpulkan harta dengan cara memberikan contoh buruk.
7. Perjuangan ahli bid’ah untuk menyebarluaskan kehinaan dan simbol-simbol
yang berbau khorofat di tengah-tengah masyarakat, serta mereka akan marah
apabila masyarakat enggan untuk menerimanya, sebagaimana diungkapkan
oleh pengarang: “Masyarakat tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut
dijadikan perantara untuk dilakukannya segala bentuk kemungkaran, dan
sebagai penghalang bagi setiap orang yang akan mengingkarinya, dan mereka
akan melakukan dalam perayaan maulid mereka –yang tidaklah dihadiri
kecuali oleh orang-orang rendahan- segala kemungkaran, dengan beralasan :
Telah hadir dalam perayan maulid si fulan dan si fulan” dan seterusnya.
8. Perayaan maulid seperti ini pasti disertai dengan berbagai bentuk
kemungkaran dan hal-hal ang diharamkan dalam agama.
9. Usaha untuk menutup semua celah yang akan menghantarkan kepada hal-hal
yang diharamkan, dan ini merupakan salah satu dari tujuan syariat ini.
10. Semua orang yang mengarang buku tentang maulid Nabi tidak mampu
mendatangkan satu alasanpun yang berdasarkan kepada dalil yang syar’i dan
kuat, bersamaan dengan itu mereka semua mengakui bahwa perayaan maulid
adalah sebuah bid’ah, sehingga mereka membikin syarat-syarat yang sangat
sulit dalam perayaannya.
Keterangan Para Ulama Tentang

Bid’ahnya Perayaan Maulid

Para ulama–baik yang membolehkan perayaan maulid atau tidak- telah sepakat bahwa
perayan maulid tidak pernah dilaksanakan oleh salafus sholeh (ulama’ terdahulu), dan
diantara pernyataan mereka :

1. Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya “Iqtidlous Sirotul Mustaqim


Mukholafata Ashabil Jahim” Hal: 295 tentang Maulid Nabawy: “Tidak pernah
dilakukan oleh as salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya
perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya
perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf
(ulama’ terdahulu) –semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam
melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai
Rosulullah dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam
mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan
pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati
perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun
batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu
dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu
dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam
kebaikan”. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab “Al Fatawa Al
Misriyah” 1/312.
2. Pernyataan AL Allamah AL Imam As Syeikh Tajuddin Umar bin Ali Al
Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam
kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid”
3. Beberapa ulama’ berpegangan dengan pernyataan Al fakihany dalam bukunya
ini, diantaranya :

1. Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor As Syikh Kholil AL


Maliky” 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau menyatakan: “Adapun
berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al fakihany telah
menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.
2. Dan diantara mereka Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu
Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik” 1/171 ketika
ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit,
padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata “ Kalau Allah menyembuhkan
sapiku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya
ketika acara maulid Rosulillah , dan kemudian Allah menyembuhkan
sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan
sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk
menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia
tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan
mengatakan : “Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan
kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa,
karena perayaan maulid Rosulillah tidaklah disunnahkan”.
4. Ungkapkan pengarang kitab “al mi’yar al maqhrib” dalam nukilannya
terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib “Ustaz abu ‘abdillah al hiar”
terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang seseorang yang
mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian orang tersebut
meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?, berdasarkan apa
yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam tersebut
adalah Bid’ah, mewakafkanan pohon tersebut adalah satu sebab masih
berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk
melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut
dalam agama, kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di
zamannya dilakukan dengan tatacara kaum fakir(), sebagai mana dalam
ungkapan beliau: “cara-cara mereka pada saat ini telah mencemari agama,
karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya menyanyi dan
bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum
muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk
dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah,
sedangkan kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara
mereka banyak yang tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan
kepadanya dalam sehari-hari, sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan
untuk menyesatkan orang awam kaum muslimin, dengan menghiasi kebatilan
kepada mereka, mereka telah memasukan kedalam agama Allah sesuatu yang
tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi dan bersorak-sorai adalah
termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka menganggap hal yang
demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu kebohongan
dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka untuk
memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka
adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang,
maka apa yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak
menurut cara yang benar (disyari’atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi
orang yang berwakaf tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang
dianjurkan dalam syari’at, kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah
ia ambil untuk dirinya sendiri, semoga Allah menuntun kita selalu untuk
mengikut sunnah nabiNya Muhammad , dan mengikuti para salaf sholih
karena keselamatan terdapat dalam langkah mereka”.
5. Ungkapan Syehk Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syehk
Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang
dilakukan oleh Syehk Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda’wah kepada
kebenaran, inilah ungkapan beliau tersebut: “sang imam Muhammad bin
Abdul Wahab melarang kebiasaan orang-orang di negri tersebut dan daerah
lainnya dari membesarkan hari maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya,
yang tidak ada dalil yang memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak
pula keterangan dan hujah syar’iyah, karena hal yang demikian adalah
menyerupai umat nasroni (kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik
secara waktu maupun tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari’at
penghulu segala rasul (agama Islam), di kutib dari “kumpulan risalah dan
masalah para ulama nejed” hal: (4 / 440).
6. Jawaban Syehk Abdur rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang
dikemukakan kepada beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan
berkorban, yang mereka sebut “nafilah”, dan apa yang dilakuakn pada tanggal
27 rajab mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut,
kemudian amalan malam nisfu sya’ban seperti itu juga, apakah hal tersebut
haram dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi
pemerintah dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam
terhadap hal tersebut?, beliau menjawab: “semua hal tersebut adalah Bid’ah,
sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi , bahwa beliau berkata:

)) ّ‫ث ف أ ْمرِنا هذا ما ليس منه فهو رد‬


َ ‫(( مَنْ َأ ْح َد‬

“Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami ini (agama ini),
sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut adalah ditolak”.

Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan:

)) ٌ‫(( وإيّا ُكمْ ومدثاتِ المور فإنّ كلّ مدثةٍ بدع ٌة وكلّ بدعةٍ ضللة‬

“Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru dalam agama ini,
sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid’ah, dan setiap
Bid’ah itu adalah sesat”.

Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau larangan serta
mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas (pelaksanaan
maulid), tidak pernah disuruh oleh rasulullah saw, dan tidak pernah dilakukan
oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi’in, telah disebutkan dalam
hadist yang shohih:

)) ّ‫(( مَنْ َعمِلَ عملً ليس عليه أ ْمرُنا فهو رد‬

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh
dari kami maka amalan tersebut ditolak”.

Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung diatas tidak ada
contoh dari rasulullah saw, makanya ditolak dan wajib diingkari, karena ia
termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.

Sebagaiman firman Allah swt:

ْ
‫ن بِهِ الله‬ ْ َ ‫ما ل‬
ْ َ ‫م يَأذ‬ َ ‫ن‬
ِ ْ ‫ن الدِّي‬
َ ‫م‬ ْ ُ‫شَرعُوْا لَه‬
ِ ‫م‬ َ ُ‫شَركاء‬ ْ ُ‫م لَه‬
ُ ‫م‬ ْ ‫أ‬
“apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang membuat syari’at
agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah” (Asy syuura: 12).
Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan orang-
orang bodoh tampa petunjuk dari Allah, hanya Allah swt yang lebih
mengetahui”.

(dinukil dari kumpulan risalah dan masalah para ulama nejed bagian II. Hal:
( 4 / 357-358 ).
7. Jawaban Syehk Muhammad bin Abdul latif ketika beliau di tanya tentang
hukum mengeluarkan harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab
“perbuatan maulid adalah perbuatan bid’ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan
harta untuk perbuatan tersebut adalah bid’ah yang diharamkan, dan orang
yang melakukannya adalah berdosa, maka wajib dicegah orang yang
melakukannya. (dinukil dari “ad-durar as-sunniyah” Hal: ( 7 / 285 ).
8. Jawaban Imam Asysyatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab
“adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan
maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang
diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan
bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada
qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut
kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah
menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat
seperti ini. (dikutib dari fatwa Asy syatiby, no: ( 203, 204 ).
9. Ungkapkan syehk Muhammad Abdussalam khadhar al qusyairy dalam
kitabnya “as sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash
sholawaat” Hal: 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan
bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. “tidak boleh mengkhususkan bulan
ini (Rabi’ul awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir,
sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari
jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini
memang bulan kelahiran Nabi Muhammad saw, tapi juga merupakan bulan
wafatnya nabi Muhammad saw, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya
tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai
perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh
syara’ dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak
akan lalai dari melakukannya Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para
sahabat yang lainnya, dan para tabi’iin serata para ulama yang hidup setelah
mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok
sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid’ah kemudian
diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah
serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.
10. Perkataan Ibnul hajj dalam kitab “Al madkhal” Hal: ( 2 / 11, 12 ) setelah ia
menyinggung kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang
dizamanya dalam melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang
ditimbulkan akibat pelaksanaan tersebut, “sekalipun tidak terdapat dalam
pelaksanaan maulid tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan
bersama saja dengan maksud melaksanaka maulid, bersamaan dengan itu
mengajak teman-teman, maka hal tersebut tetap merupakan bid’ah walaupun
hanya sebatas niat saja, karena hal tersebut adalah menambah-nambah dalam
urusan agama yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf yang silam,
mengikuti salaf adalah lebih utama dan wajib dari pada menambah niat yang
melanggar terhadap apa yang mereka lakukan, mereka adalah manusia yang
sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw, dan
lebih cinta kepadanya dan kepada sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah
mereka orang yang pertama sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun
dari mereka yang melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah
mengetahui bahwa mengikut mereka dalam segala sumber dan keputusan.
Sebagaiman yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al makky dalam sebuah
karangannya “sungguh telah disebutkan dalam hadist:

“tidak akan terjadi hari qiamat sampai yang ma’ruf di anggap mungkar dan
yang mungkar dianggap ma’ruf”.

Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah saw sebagaimana yang
telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada berikut ini:
mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah ketaatan,
barang siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah lalai
dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.“

Ibnul Hajj menambahkan lagi “sebagian penyair telah menceritakan keadaan


zaman kita ini dalam syair mereka:

Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka,

Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang mungkar,

Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan

Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan masing-masing,

Anak ku sebagian orang telah menyerupai binatang,

Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan melihat,

Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa hartanya,

Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa,

Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia,

Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.

Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, Hal: 25. berbagai
macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga sebagian
mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran
yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih
buhkary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist
merupakan ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam
bentuk yang digambarkan syara’ (agama)”.

11. perkataan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “I’lamu al muwaaqi’in” Hal: ( 2 /


390-391 ). “jika ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa
Rasulullah tidak melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti
perbuatan tersebut tidak ada”.

Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengetahui


petunjuk dan sunnah Rasulullah saw serta apa yang beliau sampaikan, kalau
pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang berpendapat
dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama, dan
datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang
sama juga, dan seterusnya ….maka terbuka lebarlah pintu bid’ah, setiap orang
yang melakukan bid’ah akan berkata: dimana anda mengetahui bahwa hal ini
tidak dilakukan Rasulullah…”.

12. Jawaban Al hafizh Abu zur’ah al ‘iroqy ketika ditanya tentang orang yang
melakukan maulit apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang
memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh
perbuatannya?. Ia menjawab: “memberi makan orang yang lapar dianjurkan
dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian
pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi
salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun
sekedar memberi makan orang yang kelaparan”. Lihat “tasyniiful Azan” hal:
136.
13. Fatwa Abu fahdal Ibnu Hajar al ‘asqolany tentang hukum maulid yang dinukil
oleh As suyuthy dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid” di situ Ia
katakan: “asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi
salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. Lihat “Al hawy
lil fatawa” hal: (1 / 196).
14. Fatwa Syehk Zhohiruddin Ja’far al tizmanty tentang hukum maulid:
“melakukan maulid tidak pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari
salafus sholih, sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati
dan mencintai nabi saw, yang mana kecintaan dan penghormatan salah
seorang diantara mereka terhadap nabi saw, tidak terjangkau oleh kita
sekarang ini, walau hanya secuil”. Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At
thobaahk dan Al tizmanty oleh pengarang kitab “Subulul huda war rosyad Fi
sirah khairil ‘ibad” hal: (1 / 441-442).
15. Di antara dalil bahwa salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi
saw. Yaitu perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam
menentukan hari lahirnya nabi saw. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu
abdillah al hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab
“Al mi’yaar” hal: (7 / 100). Yang berbunyi “Dalil yang menunjukkan bahwa
orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama ) tidak pernah membedakan
antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan
mereka dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan
Ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi’ul awal,
kemudian mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat
pendapat, kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari
lahirnya nabi Muhammad saw, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur
dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut”.
16. Ditambah lagi di balik itu semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad saw
adalah bertepatan dengan hari kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama
dari bersedih pada hari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian
ulama diantara mereka Ibnul Hajj dan Al Fakihaany.

Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal” hal: (2/ 15,16)
ketika ia berbicara tentang maulid: “yang sangat mengherankan kenapa
mereka bergembiraria untuk kelahiran nabi saw! sedangkan kematiannya
bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat
besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak
hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena
Rasulullah saw bersabda: “hendaklah kaum muslimn itu teguh dalam segala
musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku”.

Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa musibah yang sebenarnya adalah kematian


beliau, menjadi hilang segala musibah yang menimpa seseorang dalam kondisi apa
pun, tampa meninggalkan kesedihan.

Sangat indah kata-kata sajak yang dituturkan oleh Hassaan (‫ )حسان‬dalam kematian
Rasulullah: “Hitam kelam pandangan ku

Hitam atas kepergian mu

Ku relakan kematian selain mu

Kecemasanku hanya atas kepergian mu”.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada bulan tersebut
(Rab’iul awal) jusru mereka bergebiraria dan berjoget-joget, bukanya menangis dan
bersedih kalau ini yang mereka lakukan akan lebih tepat dengan suasananya, supaya
terhapus dosa-dosa mereka, karena bersedih dan menangis atas kepergian nabi
Muhammad saw, akan menghilangkan dosa-dosa dan menghapus bekas-bekasnya.
Sedangkan kalau seandainya mereka lakukan ini secara rutinitas juga merupakan
bid’ah, sekalipun bersedih atas kepergian nabi saw wajib bagi setiap muslim, tetapi
bukanlah dengan cara berkumpul untuk melakukan hal yang demikian, sekalipun
meneteskan air mata itu lebih baik, tapi kalau tidak mungkin cukup dengan bersedih
hati saja, yang melatar belakangi pendapat ini adalah karena mereka melakukan
kegembiraan yang membuat jiwa mereka terlena dengan bersenda-gurau, jogetan,
gendrang dan seruling, berbeda dengan menangis dan bersedih yang bisa membuat
jiwa mereka tersendu dan menahan diri dari berbagai macam syahawat dan
kesenangannya.

Jika ada yang berpendapat: saya melakukan malid karena merasa bahagia dan
gembira atas kelahiran nabi Muhammmad saw, kemudian pada hari yang lain saya
khususkan untuk upacara kesedihan atas kematiannya.

Jawabannya adalah: telah kita sebutkan di atas seseorang yang mengadakan jamuan
makan saja dengan niat maulid dan mengajak teman-temannya, maka hal ini dianggap
bid’ah, yaitu suatu pebuatan yang secara lahirnya kebaikan dan ketakwaan, maka
bagaimana lagi dengan orang yang mengumpulkan berbagai macam bid’ah dalam
sekaligus, terlebih lagi yang melakukannya dua kali, sekali untuk bergembira dan kali
yang lain untuk bersedih?. Maka semakin bertambah dengannya bid’ah, dan semakin
banyak ia mendapat celaan dalam agama. Wallahu a’lam”.
Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya “Al maurid fi ‘amalil maulid”: “sesungguhnya
bulan kelahiran nabi Muhammad saw, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka
tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut”.

Dengan kutipan ini menjadi jelas bagi kita bahwa salafus sholeh tidak pernah
melakuakan maulid nabi, tetapi mereka meninggalkannya, tidak mungkin mereka
meninggalkannya kecuali karena hal tersebut tidak ada nilai kebaikan di dalamnya().

Karena itu dinilai suatu perbuatan terpuji yang dimiliki oleh para raja dan penguasa
yang telah berusaha melarang bid’ah tersebut, dan memberikan hukuman bagi orang
yang melakukannya. Sebagaimana dalam kitab “tarikh Al Islam”, hal: (4 / 181). “Al
Afdhal –semoga Allah merahmatinya- memiliki berbagai amal kebaikan dalam
memperbaiki keadaan kaum muslimin diantaranya ia telah menghapus upacara maulid
nabi saw, upacara maulid fathimah, upacara maulud Ali, dan upacara maulid khalifah
Al qoim biamrillah”.

Sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang -asy syaukany- dalam kitab ini hal:
(50). Ketika ia memuji khalifah Al mahdy lidinillah bin ‘Abbas Al mashur, dan
menganjurkan khalifah sesudahnya supaya melarang pelaksanaan upacara maulid.

Barang siapa yang dijadikan Allah sebagai pemimpin terhadap suatu negri, hendak
jangan sampai melaksanakan bid’ah yang telah dihapus Allah, terutama di jazirah
arab, yang telah bangkit para penegak kebenaran –yang diberi taufik oleh Allah swt-
untuk memberantas berbagai bentuk kesyirikan dan bid’ah yang tersebar di sana yang
telah berlangsung lebih dari dua abat setengah.

Bilamana pemberantasan bid’ah dinilai sebagai kebaikan yang dimiliki oleh para raja,
sebaliknya membiarkan bid’ah tersebar dan diam terhadap orang yang melakukannya
dinilai sebagai kejelekkan yang dimiliki penguasa.

Semoga Alla memberi taufik dan kebaikan kepada kita semua terhadap segala hal
yang Ia cintai dan diredhaiNya, salam sejahtera buat nabi kita Muhammad saw.
KITAB “APA HUKUMNYA MERAYAKAN

MAULID NABI ?“
Pertanyaan yang dilontarkan kepada Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy
Syaukani ( 1173 – 1250 H )

Biografi Pengarang: ()

Namanya: Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin
Muhammad bin Sholah bin Ibrahim bin Muhammad Al’afif bin Muhammad bin Rizq.

Gelarnya: Asy syaukani. Dan dia kenal dengan gelar ini.

Tempat dan tanggal lahir: Beliau lahir di daerah Syaukan pada tahun 1173 H.

Guru-guru beliau yang masyhur:

1. Gurunya yang paling pertama adalah orang tuanya, beliau membaca


kepadanya kitab “syarh Al azhar” dan yang lain-lain.
2. Imam Abdurrahman bin Qosim Al Madani.
3. Imam Ahmad bin ‘aamir Al Hidai.

Dan yang lain-lain.

Tugas/ kerja beliau:

Beliau menjabad sebagai Qhodi di Shan’aa, sementara umurnya diantara tiga atau
empat puluh tahun.

Karangan-karangannya:

1. “As sailul Al jarrar ‘ala hada’iq Al Azhar”


2. ‘Fathu Al Qodir ‘ tentang tafsir Al Qur’an.
3. Irsyadul Fuhul ila tahqiq Al Haq min ‘ilmi al Ushul’.
4. ‘Nailul Autar syarh Muntaqa Al Akhbar’
5. Risalah fi hukmil maulid”.
6. Ad durar Al Bahiyyah” dan syarahnya ‘ Ad darari Al Mudhiyyah’. Dan yang
lain-lain berupa kitab-kitab yang bermanfaat.

Wafatnya:

Beliau meninggal pada bulan Jumadil akhir pada tahun 1250 H, dan dikebumikan di “
al Huzaimah”.
Bukti kebenaran kitab ini milik pengarang:

Pertama: beliau menisbatkan kitab ini kapada dirinya didalam kitab “al badru ath
thooli’”(2/221) takkala berbicara tentang karya-karya beliau, sambil berkata: dan
“risalah tentang hukum maulid”.

Kedua: didapatkan pada lembaran pertama dari maniskrif ini, kumpulan dengan
nomor: (7800) yang mencakup 23 maniskrif, semuanya milik pengarang yang
terdapat di Universitas Malik Su’ud di Riyahd.

Ketiga: pengarang menutup maniskrif ini dengan perkataannya: “Ditulis oleh yang
menjawab Muhammad bin Ali Asy syaukani”.

Keempat: pengarang memuji dan mencela dua orang yang hidup semasa dengan belia,
yaitu:Al imam Al Mahdi lidinillah Al ‘abbas bin Al Manshur,(yang dipuji) dan
anaknya : Al imam Al Manshur billah (yang dicela). Lihat biografi mereka berdua
halaman (50 dan 51).

Kelima: Risalah ini bersamaan dengan risalah yang lain yang milik beliau juga
dengan judul: “Ithla’ arbabi al kamal ala risalti al jalal fi al hilal fi ikhtilal”. Dan
risalah ini ada namanya di “al badru ath tholi’” (2/220).

Sifat dari maniskrif ini:

Maniskrif ini terdapat dalam kumpulan yang mencakup 23 risalah, seluruhnya milik
As Syaukani, pada setiap halaman jumlah barisnya sampai 33 baris, dan jumlah
kalimatnya 14 kalimat, tulisannya naskh bagus dan jelas, dan tidak ada yang terhapus
keculai tiga kalimat disebabkan oleh kelembaban dan lain-lain. Dan maniskrif ini
diawalnya terdapat Risalah yang lain dan diakhirnya risalah yang ketiga dengan judul:
“Ithla’ arbabi al kamal ala risalti al jalal fi al hilal fi ikhtilal”.

Kerja saya (pentahqiq) dalam Risalah ini:

1. Menulisnya, memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki dan memberi tanda


baca.
2. Mengomentari sebagian permasalahan.
3. Menulis biografi nama-nama yang terdapat dalam risalah ini.

Judul Risalah:

Saya pilih judul risalah ini sesuai dengan yang ditulis oleh pengarang didalam kitab”
Al badru Ath tholi’ “ (2/221) yaitu “ Risalah tentang hukum maulid”. Dan apa yang
didapatkan pada lembaran pertama tentang judul-judul maniskrif-maniskrif yang ada
bersama kumpulan ini kemungkinan ijtihad para penulis. Dan semoga Allah
memberikan taufiqNya.
“RISALAH TENTANG HUKUM MEMPERINGATI
MAULID NABI -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ”
Beliau-rahimahullah- telah ditanya tentang hukum maulid:

Maka dia menjawab: saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi)
didalam Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal yang menjelaskan landasan
amalan maulid, bahkan kaum muslimin telah sepakat, bahwa perayaan maulid nabi
tidak ada pada masa qurun yang terbaik (para shahabat, pent), juga orang yang datang
sesudah mereka (para tabi’in) dan yang datang sesudah mereka (tabi’ tabi’in). Dan
mereka juga sepakat bahwa yang pertama sekali melakukan maulid ini adalah Sulthan
Al Muzhaffar abu Sa’id Kukburi, anak Zainuddin Ali bin Baktakin, pemilik kota Irbil
dan yang membangun mesjid Al Muzhaffari () di Safah Qaasiyyun, pada tahun tujuh
ratusan, dan tidak seorangpun dari kaum muslimin yang tidak mengatakan bahwa
maulid tersebut bukan bid’ah.

Dan apabila telah tetap hal ini, jelaslah bagi yang memperhatikan (para pembaca)
bahwasanya orang yang membolehkan maulid tersebut setelah dia mengakuinya
sebagai bid’ah () dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat, berdasarkan perkataan
Rasulullah , tidaklah dia (yang membolehkan maulid) mengatakan kecuali apa yang
bertentangan dengan syari’at yang suci ini, dan tidak ada tempat dia berpegang
kecuali hanya taqlid kepada orang yang membagi bid’ah tersebut kepada beberapa
macam, yang sama sekali tidak berlandasakan kepada ilmu().

Dan kesimpulannya kita tidak bisa menerima dari seseorang yang mengatakan
bolehnya suatu amalan kecuali setelah dia sebutkan argumentasi yang
mengkhususkan bid’ah yang dilakukannya tersebut keluar dari keumuman (hadits
yang mengatakan: setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah
sesat, pent) yang tidak dia ingkari, adapun semata-mata ungkapan yang mengatakan
“kata sipulan atau pendapat sipulan” ini sama sekali tidak bermanfaat, sebab
kebenaran itu lebih besar (agung) dari setiap orang, dan jikalau seandainya kita
percaya (berpegang) kepada perkatan manusia dan kembali berpegang kepada
omongan belaka, tiada lain orang yang membolehkan bid’ah tersebut keculai orang
yang menyimpang dari jalan kaum muslimin.

Adapun al ‘atirah (para keluarga rasulullah) dan para pengikutnya tidak kita temukan
satu perkataan pun dari mereka yang membolehkan maulid tersebut, bahkan perkataan
mereka seakan sepakat mengatakan: bid’ah ini muncul jauh dibelakangan hari, dan ia
merupakan sarana yang paling jelek untuk timbulnya kerusakan (kemungkaran), oleh
karena itu kamu melihat negeri ini (Yaman) bersih dari segala tipu daya orang-orang
sufi, dan mulid nabi ini merupakan sala satu dari tipu daya mereka -Alhamdulillah-,
dan khalifah yang terakhir yang membela (memperjuangkan) yang demikian itu
adalah al Mahdi lidinillah Al ‘abbas bin Al Manshur (), sesungguhnya dia telah
melarang perayaan mulid dan memerintahkan untuk penghancuran sebagian kuburan
yang diyakini oleh orang-orang awan, semoga Allah ta’ala memberikan ilham (taufig)
kepada khalifah kita sekarang Al Manshur billah() -semogah Allah memeliharanya-
untuk mengikuti as salafus sholeh (para shahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan yang
mengikuti jejak mereka, pent). Karena permasalahannya sebagaimana yang
ungkapkan dalam gubahan berikut ini:

Saya melihat kilatan bara api dicela-cela abu

Hampir saja bara tersebut akan menyala.

Bertebarnya bid’ah itu lebih cepat dari menyebarnya api, betapa lagi bid’ah maulid,
karena diri orang yang awam sangat menyukainya (merindukanya), ditambah lagi
jikalau yang hadir bersama mereka orang-orang yang berilmu, terhormat dan yang
berpangkat, sesudah itu mereka (orang yang awam) akan memahami bahwasanya “
perbuatan ini (maulid) merupakan tujuan dan bukanlah suatu bid’ah”, sebagaimana
yang diungkapkan dalam gubahan ini:

Orang yang berilmu yang tidak peduli dengan kesalahannya adalah kerusakan yang
besar

Dan lebih rusak lagi orang yang bodoh yang banyak beribadah

Keduanya merupakan fitnah yang besar bagi alam ini

Bagi orang yang menjadikan mereka panutan didalam agamanya

Dan tidak diragukan lagi bahwasanya masyarakat awam merupakan orang yang
paling cepat menerima segala bentuk sarana yang membawa kepada kerusakan, yang
bisa mereka dengan sarana tersebut melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti
maulid dan semisalnya, apalagi jika ditambah dengan kehadiran orang yang yang
dikenal keilmuan, kehormatan dan kedudukannya, mereka melakukan yang terlarang
dengan bentuk ketaatan, tenggelam dalam jurang kebodohan dan kesesatan, sehingga
mereka (orang awam) akan berlepas diri dari pelarangan sambil berkata: “Telah hadir
bersama kami sayyid (tuan) si pulan, sipulan dan sipulan”.

Jangankan orang yang awam, sebagian orang yang menuntut ilmupun juga telah
duduk didepan saya untuk membaca (mempelajari) sebagian dari ilmu-ilmu ijtihad,
lalu dia memberitahukan kepada saya: “bahwa dia telah hadir pada malan perayaan
maulid tersebut, pada bulan ini (Rabiul awwal, pent)” maka saya ingkari
perbuatannya, lantas dia berkata: “ telah hadir bersama kami tuan sipulan, sipulan dan
sipulan”, lalu saya bertanya: “ bagaimana bentuk pelaksanaannya didepan mereka
para tuan itu”, maka dia menjawab: ‘yang membaca maulid tersebut seorang laki-laki
yang bodoh, sementara para tuan-tuan tersebut memukul gendang sambil menyanyi
dan mendengarkannya, sampai dia berdiri seolah-olah lepas dari ikatan sambil
mengucapkan: “ Selamat datang wahai cahaya mataku (), selamat datang” dan berdiri
pula bersamanya seluruh yang hadir termasuk para tuan tersebut dan yang lainnya,
lalu dia bersuara sambil berdiri(), begitu juga mereka yang hadir, tatkala capek
sebagian yang hadir lalu dia duduk, lalu sebagian para tuan tersebut melarangnya
sambil berkata yang dimukanya terlihat kemarahan-: “berdiri wahai sibodoh”,
(dengan lafazd seperti ini), dan mereka tidak ragu lagi bahwasanya Rasulullah telah
sampai kepada mereka pada waktu itu, kemudian mereka saling bersalaman dan
sebagian orang yang awam dengan segera memberikan bermacam-macam wangian
ketangan mereka, seolah-olah mereka sedang mempergunakan kesempatan bertemu
Rasulullah , innalillahi wainnailaihi raji’un () !! lalu mana kehormatan (kemuliaan)
agama ini ?, jikalau sudah hilang, mana rasa malu dan akal yang sehat ? .

Seandainya tidak ada terjadi dihadapan mereka para tuan tersebut satupun dari bentuk
kemungkaran, -sabagaimana persangkaan baik kita terhadap mereka,- tapi apakah
mereka tidak tahu bahwa orang awam menjadikan yang demikian itu sebagai sarana
untuk kemungkaran, menutupi dengan kehadiran mereka segala bentuk kemungkaran,
melakukan pada perayaan maulid mereka- yang tidak dihadirinya- setiap
kemungkaran, sambil berkata: telah hadir dalam perayaan maulid sipulan, sipulan dan
sipulan, mereka berpegang dengan nama maulid.

Maka disini jelaslah bagimu rusaknya I’tidzar (dalil) sebagian orang yang
membolehkannya dengan alasan ” apabilah tidak terjadi dalam perayaan tersebut
kecuali berkumpul untuk makan dan dzikir, maka tidak apa-apa, dan ini tidak
mengharuskan haramnya hal-hal yang terlarang yang menyertai maulid tersebut”.

Karena kita katakan: Perayaan maulid dalam posisinya sebagai bid’ah –sesuai dengan
pengakuanmu- biasanya disertai dengan banyak bentuk kemungkaran dan sudah
menjadi sarana untuk melakukan kemaksiatan yang banyak. Dan adanya perayaan
maulid seperti ini yang tidak mencakup selain makanan dan dzikir labih baik dari
kibriit (permata) yang merah.

Dan telah tetap bahwa “saddudz dzarai’ (menutupi jalan-jalan) () dan melarang
seluruh sarana yang menjurus kepada sesuatu yang terlarang” merupakan Qaedah
Syariat yang amat penting, yang dianggap wajib oleh para jumhur (ulama). Dan
jikalau seandainya masih ada dalam dirimu rasa inshof janganlah kamu ingkari
permasalahan ini.

Dan jika telah jelas bagi anda bahwa tiada seorangpun dari ahli bait dan para pengikut
mereka yang membolehkan perayaan Maulid, dan anda ingin juga mengetahui
pendapat ulama selain ahli bait, maka keterangannya sebagai berikut :

Kami telah jelaskan pada anda bahwa semua kaum muslimin telah bersepakat
bahwasanya ia adalah bid’ah, hanya saja para penguasa berpengaruh besar dalam
menghidupkan bid’ah atau menghancurkannya. Maka tatkala sang pencetus perbuatan
bid’ah ini adalah seorang raja yaitu saaidah bin dihyah(), dimana beliau menyusun
sebuah karangan dalam masalah itu yang dinamakannya :

“Penjelasan gamlang tenteng Maulid sang pemberi kabar gembira dan petakut”

( ‫)التنوير ف مولد البشي النذير‬, meskipun beliau ahli dalam masalah ilmu hadits,tetapi kitab
tersebut kosong dari dalil-dalil yang kuat, tidak dapat diingkari, ia membolehkan nya
dengan imbalan seribu dinar –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Khallakaan() –
dan cinta dunia, bisa berbuat lebih dari ini.

Kemudian setelah terjadi perayaan maulid ini, tegaklah perselisihan yang besar, dan
bermunculanlah karangan-karangan tentang masalah ini, antara yang melarang dan
yang membolehkan, diantara pengarang-pengarang tersebut ialah Alfakihany()
almaliky menulis sebuah kitab yang berjudul : “pendapat yang mendasar dalam
pelaksanaan maulid”,() (‫ )الورد ف الكلم علىعمل الولد‬di dalamnya beliau mencela dan
mencaci, dan diantara gubahan dalam kitab itu yang ditujukan kepada gurunya Al-
Qusyairy() :

Kemunkaran telah dianggap baik.

Dan kebaikan menjadi munkar di zaman yang pelik.

Para ulama tak bernilai lagi.

Sedangkan orang-orang bodoh mendapat kedudukan tinggi

Mereka menyeleweng dari kebenaran.

Dulunya pemimpin-pemimpin mereka tak diperhatikan

Maka kukatakan kepada orang-orang baik lagi bertaqwa

Dan beragama, tatkala memuncaknya kesedihan

Janganlah kalian menyesali keadaan, telah tiba

Giliran mu pada masa yang asing.

Kemudian juga AL-Imam Abdillah bin Al-haaj() dengan nama kitabnya : “Pintu
masuk dalam mengamalkan maulid” (‫)الدخل ف عمل الولد‬, dan Imam Ahli Qiro-at Al-
Jazary() dengan nama kitabnya: “pengenalan terhadap maulid yang mulia”

( ‫)عرف التعريف بالولد الشريف‬, dan juga Imam Al-Hafidz Ibnu Naashir() dengan kitabnya:
“Sumber utama dalam pelaksanaan Maulid sang pembawa petunjuk” (‫مورد الغادي‬
‫)ف مولد الادي‬, dan Imam Suyuthi ()dengan kitabnya : “Tujuan yang baik dalam
melaksanakan maulid”

(‫)حسن القصد ف عمل الولد‬, di antara mereka ada yang benar-benar tidak membolehkan,
dan ada juga yang membolehkan dengan bersyarat kalau tidak dicampuri oleh hal-hal
yang munkar, meskipun mereka mengakui bahwasanya itu merupakan perbuatan
bid’ah, namun mereka tidak mampu untuk memberikan argumentasi yang kuat,
adapun dalil mereka dengan hadits bahwasanya Nabi dikala sampai di medina
beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari asyura, lalu beliau
menanyakan sebabnya, hari tersebut adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi
Musa dan membinasakan Fir’aun, lalu kami berpuasa pada hari itu sebagai rasa
syukur kepada Allah ta’ala sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar(), atau dengan
hadits bahwasanya Rasulullah mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah kenabian(),
sebagaimana yang dilakukan suyuthi, ini merupakan suatu yang sangat aneh dimana
itu terjadi karena keinginan untuk menegakkan bid’ah.
Walhasil bahwa sesungguhnya orang-orang yang membolehkan – yang mereka itu
segelintir kalau dibandingkan dengan orang-orang yang mengharamkan – mereka
sepakat bahwasanya tidak boleh kecuali dengan syarat hanya untuk makan-makan dan
berdzikir(). Telah kita jelaskan bahwasanya ia sudah menjadi wacana untuk hal-hal
yang munkar. Hal ini tidak satu pun yang bisa mengingkarinya. Dan adapun
peringatan maulid seperti ini yang terjadi sekarang semuanya bersepakat bahwa ia
tidak boleh. Rasanya semua ini sudah cukup bagi kita, meskipun semestinya
membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, membeberkan pendapat-pendapat orang
yang membolehkan kemudian dibantah, hal yang demikian tentu akan menghasilkan
beberapa buah buku. Dan Allah tentu akan mengilhamkan kepada salah seorang
petinggi negara untuk mencegah perbuatan ini, maka ia akan mudah dikikis habis,
yaitu dengan mencegah generasi yang akan diajak untuk melakukan perayaan maulid
serta mengecamnya. Cara seperti ini bisa dilakukan oleh setiap orang.

Adapun pertanyaan anda tentang kejadian besar yang terjadi di Qotor Tuhamy, di
mana mereka menghiasi batu-batu, lalu mereka tawaf di sekelilingnya, sebagai mana
tawaf di sekeliling Ka’bah, telah sampai kepada orang yang mencintai anda – yaitu
pengarang (pent)- pertanyaan sebagian pemuka penduduk Tuhamah, yang ditulis oleh
Sayyid Muhammad Ahmad An-Nu’amy, pertanyaan itu telah saya jawab dengan
panjang lebar, maka bacalah ia kalau memungkinkan, dan pertanyaan itu memuat
keyakinan mereka terhadap orang-orang yang telah mati, dan batu-batu itu,
bahwasanya dia dapat memberikan mudharat dan manfaat, hal ini adalah perbuatan
kufur() yang tidak diragukan lagi, bahkan ia lebih dari kekufuran penyembah-
penyembah berhala dulu, karena orang-orang itu berkata: kami mengibadati berhala-
berhala itu agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.
Sedangkan mereka ini berkata: kami ibadati mereka supaya dapat memberikan
mudharat dan manfaat, maka musibah mana yang lebih keji dari pada kekufuran, dan
kemungkaran mana yang lebih dahsyat dari nya ?! dan bagaimana bisa orang yang
sanggup untuk melaksanakan perintah-perintah beranggapan bahwasanya ia termasuk
orang-orang yang beriman, sedangkan saudara-saudara sesama muslim telah
terjerumus kedalam kekufuran yang nyata ? Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun, dan
semoga Allah merahmati Al-Mahdy lidinillah Al-Abbas bin Mansur Beliau telah
berusaha menghancurkan kemungkaran di setiap tempat, dan semoga Allah
mengilhami pemimpin zaman sekarang untuk melakukan kewajiban yang sangat
penting ini.

Sebagai kesimpulan, tidak ada seorangpun yang membutuhkan dalil tentang jeleknya
amalan ini, tiada seorang muslimpun yang ragu akan kufurnya perbuatan ini, dan tiada
seorangpun yang menyelisihi tentang buruknya kekufuran, Alquran dan sunnah penuh
oleh dalil-dalil yang menetapkan jeleknya kekufuran, yang membeberkan kepada
orang kafir apa-apa yang mereka yakini. Siapa yang membaca satu lembar saja dari
Al-quran niscaya ia akan menemukan dalil-dalil tentang tauhid, dan tentang jeleknya
syirik dan kufur, apa yang membuatnya puas dan merasa cukup, maka tidak akan ada
faedahnya kalau kita berpanjang lebar, jikalau ada orang yang ingin menyebutkan
secara detil dalil-dalil tentang itu baik naql ataupun akal, pasti akan mengeluarkan
kitab yang berjilid-jilid.

Ya Allah sesungguh Engkau mengetahui bahwa kemampuan kami terbatas untuk


melawan kerusakan-kerusakan ini dan menghancurkan kemungkaran-kemungkaran
ini, tidaklah ada yang bisa kami lakukan kecuali hanya memberi peringatan dan
menyampaikan, dan itu telah kami lakukan. Ya Allah turunkan murka Mu karena
agama Mu, dan sucikanlah ia dari noda-noda para syetan yaitu mereka-mereka yang
menyembah kubur, dan selamatkanlah kami dari kotoran-kotoran yang mengeruhkan
kesucian agama yang kokoh ini.

Ditulis oleh penjawab Muhammad bin Ali As-Syaukany pada subuh hari kamis Bulan
Rabiul awwal 1306 H.

Tamat

Alih bahasa oleh:

Arifin Badri Lc.

Alimusri SP Lc.

Aspri Rahmat Lc.

M. Nur Ihsan Lc.

INDEK

1. Kamus Muhith. Cet. Muassasah Arobiah


2. Lisanul arab. Dar Ihya At-turots Al-aroby.
3. Tajul ‘Arus. Maktabah Tijariyah.
4. Syarh Nawawy Ala shoheh Muslim. Matba’ah Mishriyah.
5. Fathul baary. Cet. As-Salafiyyah.
6. Al-I’tishom. Matba’ah Sa’adah.
7. Qowaidul Ahkam. Cet. Maktabah Kulliyyat Azhariah.
8. Jaami’ul ulum walhikam.Tauzi’ Dar ifta’.
9. Sunan Ibnu Majah. Cet. Al-halaby.
10. Al-badrut Tholi’ Kar.Imam Muhammad bin Ali As-Syaukany. Cet.Dar
Ma’rifah.
11. Qoidah jalilah fit tawassul wal wasilah karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
salafiyah.
12. Al-jawabul baahir fi zuwwaril maqobir karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
salafiyah.
13. Majmu’ fatawa Syekhil Islam Ibnu Taimiah.
14. Tobaqot As-Syafi’iyyah karya Ibnu Qody Syuhbah. Cet. Alamul kutub.
15. Siyar A’lamin Nubala’ Karya Az-Zahaby. Cet. Muassasah Risalah.
16. Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu katsir.
17. Ar-Roddul Qowy Alar Rifa’i wal majhul wabnu alawy. Karya Syekh Hamud
At-Tuwaijiry. Cet. Darul liwa’.
18. Iqtidho-ussirotil mustaqim. Darul majdy.
19. An-Nujum Az-Zahiroh fi tarikh mishr wal qohiroh. Cet. Hai-ah mishriyah
‘ammah lilkitab.
20. Taudhih Mustabihinnisbah. Cet. Muassasah Risalah.
21. Al-Mi’yarul mu’rob. Cet. Darul ghorb tahun 1401 H.
22. Majmu’ah Rosa-il wal masa-il Najdiyah. Cet. Matba’atul manar.
23. Ad-Durorus Saniyah.
24. As-Sunan wal mubtada’at Al-Muta’alliqoh bil azkar was sholawat. Keluaran
Darul jil, Bairut. Tahun 1408 H.
25. Al-Madkhal karya Ibnul Haj. Keluaran Darul fikr tahun 1401 H.
26. I’lamul muwaqqi’in. Daruil jil.Bairut.
27. Husnul maqshad ( dirangkap dengan kitab Al-hawy lil fatawy karya suyuthi ).
Darul baz tahun 1402 H.
28. Subulul Huda war rosyad fi siroti khairil ‘ibad. Karya sholihy.
29. Tasyniful aazan.
30. Fatawa Syathiby. Abi Ishaq Ibrahim. Cet. Ketiga tahun 1406 H.
31. Tarikh Islam, Hasan Ibrohim Hasan. Maktabah Nahdhoh Mishriyah. Cet
ketujuh tahun 1965 M.
32. Majmu’ Syarh muhazzab karya Nawawy. Darul fikr.
33. As-Sunan Al-Kubro karya Baihaqy. Darul fikr.
34. Al-Muqoddimat Al-Mumahhadat karya Ibnu Rusyd. Matba’ah Sa’adah.
‫بسم الله الرحمن الرحيم‬
Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, kita memuji-Nya, memohon
pertolongan, petunjuk dan ampunan serta bertaubat kepada-Nya. Kita memohon
perlindungan dari kejahatan diri dan amalan kita kepada-Nya. Sesungguhnya barang
siapa yang telah Allah berikan petunjuk, niscaya tidak akan ada yang mampu
menyesatkannya, dan barang siapa yang telah Allah sesatkan, niscaya tidak akan ada
yang mampu memberikannya petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, dan
tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusannya.

Amma ba’du:

Sungguh menuntut ilmu syariat dan berdakwah kepadanya serta mengajarkannya


kepada orang yang tidak mengetahuinya, memberikan peringatan kepada kaum
muslimin dari perbuatan yang diharamkan dan kemungkaran, dan menjauhkan mereka
dari perbuatan bid’ah adalah termasuk dari amar-ma’ruf dan nahi-mungkar. Yang
mana Allah telah menjadikan kebaikan bagi ummat ini apabila mereka mau
menegakkannya, sebagai mana firman Allah :

.‫كنتم خي أمة أخرجت للناس تأمرون بالعروف وتنهون عن النكر وتؤمنون بال الية‬

Artinya: Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Al
Imron 110).

Dan dikarenakan isi buku ini membahas satu aspek penting untuk meluruskan
gambaran agama Islam dari upacara-upacara yang dinisbahkan kepadanya, yang
mendatangkan gambaran buruk akan agama Islam. Sebab setiap orang yang
menyaksikan ahli bid’ah dari kalangan sufi sedang melaksanakan acara bid’ah mereka
maulid dengan gerak-gerik dan tata cara mereka, niscaya ia akan meyakini bahwa
dasar acara ini adalah khurofat dan cerita-cerita palsu.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang menyaksikan mereka sedang
melaksanakan acara ini niscaya akan menjauh dari Islam, dan berburuk sangka
dengan pemeluknya, terlebih-lebih pada zaman sekarang yang perayaan maulid
disiarkan langsung melalui parabola, sebab ia tidak menyaksikan adanya sebuah
agama yang hakiki, yang akan mendatangkan kepercayaan pada jiwa, dan
membangkitkan semangat beramal dan membantu orang lain.

Dan karena diantara kesempurnaan iman adalah rasa cinta seseorang kepada
saudaranya, akan apa yang dicintai untuk ia dapatkan, yaitu dengan cara menjelaskan
kebenaran bagi orang yang terperdaya dengan kebatilan dari pemeluk agama ini, dan
ini termasuk jihad yang Allah wajibkan kepada pemeluk agama yang Allah jadikan
sebagai penutup dari semua agama. Sebab hal ini salah satu kewajiban yang paling
wajib, sebagaimana memerangi musuh dengan berperang, maka usaha membersihkan
ummat ini dari penyebab kelemahan dan amalan-amalan yang hina merupakan
kewajiban yang paling wajib.

Sebab ummat ini tidak akan mampu memerangi musuhnya dengan pedang sehinggga
membentengi dirinya dengan benteng yang kokoh dari dalam tubuhnya sendiri, yaitu
dengan cara menyebarkan agama Islam yang benar. Dikarenakan membersihkan
barisan merupakan salah satu penyebab datangnya kemenangan.

Betapa banyak kita menyaksikan dalam sejarah kelompok ini (kaum sufi) yang
dianggap bagian dari Islam padahal bukan, telah mendatangkan bencana dan
peperangan dalam tubuh negara Islam sebelum mereka diserang oleh musuh mereka
yang sebenarnya. Bahkan sepanjang masa, merekalah yang membukakan jalan bagi
musuh untuk masuk kedalam negri kaum muslimin pada berbagai daerah.

Hal ini disebabkan karena agama yang mereka pegangi bertopang dengan kuat pada
menuruti syahwat pribadi yang diharamkan dalam Islam, baik itu yang berhubungan
dengan makanan, pakaian, wanita atau yang lainnya, dan mereka benar-benar sadar
bahwa agama Islam yang sebenarnya sangatlah bertentangan dengan hal ini, kecuali
dalam batas yang dihalalkan dalam syariat.

Dan mungkin sekarang ini saya –dan juga yang lainnya- telah melihat bahwa dibawah
debu telah terdapat percikan api, hal ini dikarenakan banyaknya perayaan acara bid’ah
ini, dan usaha-usaha untuk menghidupkan tempat-tempat jahiliyah pada zaman ini.

Nah karya ini merupakan andil saya dalam menyebar luaskan jawaban bagi
pertanyaan yang sering terlintas dalam benak kebanyakan pemeluk agama Islam,
terlebih-lebih pada zaman ini, zaman yang banyak sekali perbuatan bid’ah dan telah
menyebar dengan cepat sebagaimana menyebarnya api dalam rumput kering. Itu
semua disebabkan kebodohan dan kurangnya kesadaran dan rasa cinta untuk tersohor,
walau berakibat buruk terhadap agama ini.

Sungguh tersebarnya buku seperti ini telah menjadi ganjalan dalam tenggorokan
setiap ahli bid’ah dan orang sufi. Sebuah karya yang dituliskan oleh seorang alim
besar, hidup antara abad kedua dan ketiga belas di negri Yaman. Negri yang didoakan
oleh Nabi untuk mendapatkan berkah, dan beliau termasuk salah seorang mujtahid
dan termasuk salah seorang ulama’ ummat ini, yang selalu berpegangan dengan dalil.

Kebanyakan kaum muslimin beranggapan bahwa menghukumi perayaan maulid


sebagai sebuah kebid’ahan adalah suatu ungkapan yang tidak pernah diucapkan oleh
ulama’ terdahulu, akan tetapi hanya sekedar perkataan ulama-ulama zaman sekarang.
Dan juga berprasangka bahwa permasalan ini tidak pernah ada pada pembahasan dan
tulisan-tulisan mereka, juga tidak pernah ada pendiskusian argumentasi orang yang
membolehkan perayaan ini, dan bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka, terlebih-
lebih dari ulama’ seperti As Syaukani rohimahullah, dimana beliau tersohor sebagai
seorang yang selalu berpegang teguh dengan dalil, dan berkata-kata penuh dengan
kebijaksanaan, dan selalu berlepas diri dari setiap perbuatan bid’ah.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bukti kuat bahwa As Syaukani
rahimahullah dan ulama’ lainnya mencintai kebaikan bagi orang lain, dan membenci
sikap ketidak jelasan dalam beramal tanpa adanya dalil. Sebagaimana yang keadaan
kebanyakan orang awam dari kaum muslimin, dan kebanyakan orang yang dianggap
berilmu pada kebanyakan negara Islam.

Dimana mereka sama sekali tidak memiliki perhatian dengan urusan agama mereka,
sehingga mereka terus menerus berada dalam gelapnya kebodohan dan kesesatan.
Dan hanya berusaha memuaskan syahawat perut dan birahi, atau hal-hal yang
mengarah kepada kedua syahwat ini, dari berbagai macam bentuk nyanyian, musik-
musik, dan pergaulan dengan orang yang tidak halal untuk mereka pergauli.

Atau sikap tidak mau tahu dan mengamalkan setiap yang sesuai dengan hawa nafsu
mereka, tanpa memperdulikan tingkat kecocokan amalan tersebut dengan syariat,
sebagaimana hal ini terjadi pada saat perayaan acara-acara bid’ah seperti acara maulid
dan yang serupa dengannya, sehingga mereka beramal tidak dengan ilmu, dan berkata
atas Nama Allah dengan tanpa ilmu.

Oleh karena itu saya sajikan buku ini wahai pembaca yang budiman, dengan penuh
harap dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mampu, agar dijadikan sebagai
penyebab yang penuh dengan barokah bagi saya dan ummat Islam dalam meluruskan
pemahaman kebanyakan kaum muslimin terhadap acara bid’ah ini. Acara yang
hampir-hampir saja menyelimuti seluruh permukaan bumi.

Dan semoga Allah menjadikannya bagian dari timbangan amal baik bagi saya,
pengarang, penulis, pembaca, penerbit dan semua orang yang ikut andil dalam
penyebarannya. Semoga Allah menjadikan amalan ini benar-benar ikhlas hanya
karena-Nya, dan menjadikannya sebagai hal yang akan mendekatkan diri dari
kebahagiaan di sisi-Nya di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Semoga
Allah meluruskan niat saya dan anak keturunan saya, dan mengaruniai kita ilmu yang
bermanfaat, amalan yang sholih yang diterima, dan mengampuni kekhilafan kita, serta
merahmati orang-orang yang telah meninggal dari kita, dan mengampuni kedua orang
tua saya dan orang tua seluruh kaum muslimin.

Semoga sholawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad ,


keluarga, dan sahabatnya.

Dituliskan oleh:

Abu Ahmad Abdul Aziz bin Ahmad bin Muhammad bin Hamuud Al Musyaiqih

Al Qoshim-Buraidah (Semoga Allah melindunginya dari segala kejelekan)

Pembahasan Buku
Buku ini walaupun ringkas akan tetapi sangat besar sekali manfaatnya, dikarenakan
penulisan buku ini pada awalnya tidak dimaksudkan untuk dijadikan sebuah buku,
akan tetapi ia merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang datang kepada Al
Imam As Sayukany, maka beliau menuliskan jawabannya ini, dan beliau menguatkan
jawabannya dengan berkata:

1. Saya tidak mendapatkan sebuah dalilpun akan disyariatkannya perayaan ini,


baik dalam Al Qur’an atau As Sunnah atau qiyas atau yang dalil lainnya.
2. Beliau menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa perayaan ini tidak pernah
dilaksanakan pada generasi yang paling mulia, generasi sahabat, tabiin, tabiit
tabiin, dan juga tidak pada generasi setelahnya.
3. Tidak ada seorang ulama-pun yang menukilkan dari ulama sebelumnya bahwa
acara ini bukanlah acara bid’ah, bersamaam dengan itu mereka sepakat bahwa
setiap perbuatan bid’ah merupakan kesesatan.
4. Beliau membantah pendapat orang yang membagi bid’ah menjadi lima
hukum, bahwa pembagian ini tidak ada dalilnya dan juga sama sekali tidak
beralasan.
5. Pengaruh kekuatan para pemimpin dan raja serta kesholihan mereka dalam
mengarahkan rakyat menuju kepada jalan selamat dan untuk tidak mengambil
pendapat siapapun yang tidak berdasarkan pada dalil.
6. Begitu cepatnya amalan bid’ah menyebar pada masyarakat apabila para ulama
tidak berjuang menjelaskan akan buruknya amalan bidah, dan menerangkan
akan kejahatan para ulama jahat, atau yang kurang ilmunya, dan kejahatan
orang yang berusaha mendapatkan kedudukan dunia dalam rangka
mengumpulkan harta dengan cara memberikan contoh buruk.
7. Perjuangan ahli bid’ah untuk menyebarluaskan kehinaan dan simbol-simbol
yang berbau khorofat di tengah-tengah masyarakat, serta mereka akan marah
apabila masyarakat enggan untuk menerimanya, sebagaimana diungkapkan
oleh pengarang: “Masyarakat tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut
dijadikan perantara untuk dilakukannya segala bentuk kemungkaran, dan
sebagai penghalang bagi setiap orang yang akan mengingkarinya, dan mereka
akan melakukan dalam perayaan maulid mereka –yang tidaklah dihadiri
kecuali oleh orang-orang rendahan- segala kemungkaran, dengan beralasan :
Telah hadir dalam perayan maulid si fulan dan si fulan” dan seterusnya.
8. Perayaan maulid seperti ini pasti disertai dengan berbagai bentuk
kemungkaran dan hal-hal ang diharamkan dalam agama.
9. Usaha untuk menutup semua celah yang akan menghantarkan kepada hal-hal
yang diharamkan, dan ini merupakan salah satu dari tujuan syariat ini.
10. Semua orang yang mengarang buku tentang maulid Nabi tidak mampu
mendatangkan satu alasanpun yang berdasarkan kepada dalil yang syar’i dan
kuat, bersamaan dengan itu mereka semua mengakui bahwa perayaan maulid
adalah sebuah bid’ah, sehingga mereka membikin syarat-syarat yang sangat
sulit dalam perayaannya.

Keterangan Para Ulama Tentang

Bid’ahnya Perayaan Maulid


Para ulama–baik yang membolehkan perayaan maulid atau tidak- telah sepakat bahwa
perayan maulid tidak pernah dilaksanakan oleh salafus sholeh (ulama’ terdahulu), dan
diantara pernyataan mereka :

1. Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya “Iqtidlous Sirotul Mustaqim


Mukholafata Ashabil Jahim” Hal: 295 tentang Maulid Nabawy: “Tidak pernah
dilakukan oleh as salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya
perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya
perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf
(ulama’ terdahulu) –semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam
melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai
Rosulullah dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam
mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan
pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati
perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun
batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu
dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu
dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam
kebaikan”. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab “Al Fatawa Al
Misriyah” 1/312.
2. Pernyataan AL Allamah AL Imam As Syeikh Tajuddin Umar bin Ali Al
Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam
kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid”
3. Beberapa ulama’ berpegangan dengan pernyataan Al fakihany dalam bukunya
ini, diantaranya :

1. Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor As Syikh Kholil AL


Maliky” 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau menyatakan: “Adapun
berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al fakihany telah
menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.
2. Dan diantara mereka Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu
Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik” 1/171 ketika
ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit,
padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata “ Kalau Allah menyembuhkan
sapiku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya
ketika acara maulid Rosulillah , dan kemudian Allah menyembuhkan
sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan
sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk
menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia
tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan
mengatakan : “Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan
kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa,
karena perayaan maulid Rosulillah tidaklah disunnahkan”.

4. Ungkapkan pengarang kitab “al mi’yar al maqhrib” dalam nukilannya


terhadap jawaban salah seorang ulama Maqhrib “Ustaz abu ‘abdillah al hiar”
terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya tentang seseorang yang
mewakafkan sebatang pohon untuk malam maulid, kemudian orang tersebut
meninggal, lalu anaknya ingin mengambil pohon tersebut?, berdasarkan apa
yang telah ditetapkannya bahwa melakukan maulid pada malam tersebut
adalah Bid’ah, mewakafkanan pohon tersebut adalah satu sebab masih
berlangsungnya perbuatan tersebut, yang tidak ada anjuran dalam agama untuk
melakukannya, sedangkan menghapus dan mencegahnya adalah di tuntut
dalam agama, kemudian ia menambahkan lagi, bahwa malam maulid di
zamannya dilakukan dengan tatacara kaum fakir(), sebagai mana dalam
ungkapan beliau: “cara-cara mereka pada saat ini telah mencemari agama,
karena kebiasaan mereka dalam perkumpulan tersebut hanya menyanyi dan
bersorak-sorai, mereka telah mempengaruhi orang-oramg awam kaum
muslimin bahwa hal yang demikian adalah ibadah yang sangat agung untuk
dilakukan pada waktu tersebut, dan merupakan jalan para wali Allah,
sedangkan kenyataan mereka adalah kaum yang bodoh, yang mana diantara
mereka banyak yang tidak mengetahui hukum-hukum yang diwajibkan
kepadanya dalam sehari-hari, sebenarnya mereka adalah para pesuruh setan
untuk menyesatkan orang awam kaum muslimin, dengan menghiasi kebatilan
kepada mereka, mereka telah memasukan kedalam agama Allah sesuatu yang
tidak termasuk kedalamnya, karena bernyanyi dan bersorak-sorai adalah
termasuk dalam senda-gurau dan main-main, mereka menganggap hal yang
demikian adalah perbuatan para wali Allah, ini adalah suatu kebohongan
dibuat di atas nama mereka, sebagai salah satu jalan bagi mereka untuk
memakan harta manusia dengan cara haram, karena itu kebiasaan mereka
adalah menyendiri supaya mereka bebas melakukan hal-hal yang dilarang,
maka apa yang diwakafkan untuk hal tersebut hukumnya batil karena tidak
menurut cara yang benar (disyari’atkan oleh agama), maka dianjurkan bagi
orang yang berwakaf tadi untuk mengalihkan wakafnya kepada hal lain yang
dianjurkan dalam syari’at, kalau seandainya ia tidak mampu maka hendaklah
ia ambil untuk dirinya sendiri, semoga Allah menuntun kita selalu untuk
mengikut sunnah nabiNya Muhammad , dan mengikuti para salaf sholih
karena keselamatan terdapat dalam langkah mereka”.
5. Ungkapan Syehk Abdul Latif bin Abdur Rahman bin Hasan cucu dari Syehk
Islam Muhammad bin Abdul Wahab dalam keterangannya tentang apa yang
dilakukan oleh Syehk Muhammad bin Abdul Wahab dalam berda’wah kepada
kebenaran, inilah ungkapan beliau tersebut: “sang imam Muhammad bin
Abdul Wahab melarang kebiasaan orang-orang di negri tersebut dan daerah
lainnya dari membesarkan hari maulid dan hari-hari besar jahiliyah lainnya,
yang tidak ada dalil yang memerintahkan untuk membesarkannya, dan tidak
pula keterangan dan hujah syar’iyah, karena hal yang demikian adalah
menyerupai umat nasroni (kristen) yang sesat dalam hari besar mereka baik
secara waktu maupun tempat, ini adalah kebatilan yang ditolak dalam syari’at
penghulu segala rasul (agama Islam), di kutib dari “kumpulan risalah dan
masalah para ulama nejed” hal: (4 / 440).
6. Jawaban Syehk Abdur rahman bin Hasan terhadap sebuah pertanyaan yang
dikemukakan kepada beliau tentang mengkhususkan hari maulid dengan
berkorban, yang mereka sebut “nafilah”, dan apa yang dilakuakn pada tanggal
27 rajab mengkhususkannya dengan berpuasa dan berkoban pada hari tersebut,
kemudian amalan malam nisfu sya’ban seperti itu juga, apakah hal tersebut
haram dilakukan atau makruh atau mubah (boleh)?, apakah wajib bagi
pemerintah dan ulama untuk mencegahnya?, apakah mereka berdosa bila diam
terhadap hal tersebut?, beliau menjawab: “semua hal tersebut adalah Bid’ah,
sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi , bahwa beliau berkata:
(( ّ‫)) َمنْ َأ ْح َدثَ ف أ ْمرِنا هذا ما ليس منه فهو رد‬

“Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan kami ini (agama ini),
sesuatu yang tidak termasuk kedalamnya, maka hal tersebut adalah ditolak”.

Dan dalam sabda beliau yang lain disebutkan:

(( ٌ‫)) وإيّا ُكمْ ومدثاتِ المور فإنّ كلّ مدثةٍ بدع ٌة وكلّ بدعةٍ ضللة‬

“Hati-hatilah kalian terhadap sesuatu hal yang baru dalam agama ini,
sesungguhnya segala hal yang baru dalam agama adalah Bid’ah, dan setiap
Bid’ah itu adalah sesat”.

Dan segala ibadah harus berdasarkan pada perintah atau larangan serta
mengikuti sunnah, sedangkan perkara yang di singgung di atas (pelaksanaan
maulid), tidak pernah disuruh oleh rasulullah saw, dan tidak pernah dilakukan
oleh khalifah ar-rosyidin, sahabat dan para tabi’in, telah disebutkan dalam
hadist yang shohih:

(( ّ‫)) َمنْ َعمِلَ عملً ليس عليه أ ْمرُنا فهو رد‬

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada contoh
dari kami maka amalan tersebut ditolak”.

Sedangkan segala macam bentuk ibadah yang disinggung diatas tidak ada
contoh dari rasulullah saw, makanya ditolak dan wajib diingkari, karena ia
termasuk dalam hal yang dilarang Allah dan rasulNya.

Sebagaiman firman Allah swt:

‫أمْ َل ُهمْ ُشرَكاءُ َشرَ ُعوْا َل ُهمْ ِمنَ الدّيْنِ مَا َلمْ يَ ْأ َذنْ بِ ِه ال‬

“apakah mereka itu memiliki tandingan-tandingan yang membuat syari’at


agama bagi mereka yang tidak pernah diizinkan Allah” (Asy syuura: 12).
Sedangkan segala macam ibadah yang disebut di atas adalah bikinan orang-
orang bodoh tampa petunjuk dari Allah, hanya Allah swt yang lebih
mengetahui”.

(dinukil dari kumpulan risalah dan masalah para ulama nejed bagian II. Hal:
( 4 / 357-358 ).

7. Jawaban Syehk Muhammad bin Abdul latif ketika beliau di tanya tentang
hukum mengeluarkan harta untuk acara maulid nabi. Beliau menjawab
“perbuatan maulid adalah perbuatan bid’ah, mungkar dan jelek, mengeluarkan
harta untuk perbuatan tersebut adalah bid’ah yang diharamkan, dan orang
yang melakukannya adalah berdosa, maka wajib dicegah orang yang
melakukannya. (dinukil dari “ad-durar as-sunniyah” Hal: ( 7 / 285 ).
8. Jawaban Imam Asysyatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab
“adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan
maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang
diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan
bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada
qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut
kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah
menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat
seperti ini. (dikutib dari fatwa Asy syatiby, no: ( 203, 204 ).
9. Ungkapkan syehk Muhammad Abdussalam khadhar al qusyairy dalam
kitabnya “as sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash
sholawaat” Hal: 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan
bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. “tidak boleh mengkhususkan bulan
ini (Rabi’ul awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir,
sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari
jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini
memang bulan kelahiran Nabi Muhammad saw, tapi juga merupakan bulan
wafatnya nabi Muhammad saw, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya
tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai
perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh
syara’ dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak
akan lalai dari melakukannya Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para
sahabat yang lainnya, dan para tabi’iin serata para ulama yang hidup setelah
mereka, maka tidak ragu lagi yang pertama melakukannya adalah kelompok
sufisme yang tidak punya kesibukan yang senang melakukan bid’ah kemudian
diikuti oleh manusia-manusia lainnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah
serta di beri taufiq untuk memahami haqiqat agama Islam.
10. Perkataan Ibnul hajj dalam kitab “Al madkhal” Hal: ( 2 / 11, 12 ) setelah ia
menyinggung kebiasaan-kebiasaan jelek yang dilakukan oleh orang-orang
dizamanya dalam melaksanakan maulid, dan berbagai kebinasaan yang
ditimbulkan akibat pelaksanaan tersebut, “sekalipun tidak terdapat dalam
pelaksanaan maulid tersebut nyanyi-nyanyian, cukup sekedar acara makan
bersama saja dengan maksud melaksanaka maulid, bersamaan dengan itu
mengajak teman-teman, maka hal tersebut tetap merupakan bid’ah walaupun
hanya sebatas niat saja, karena hal tersebut adalah menambah-nambah dalam
urusan agama yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf yang silam,
mengikuti salaf adalah lebih utama dan wajib dari pada menambah niat yang
melanggar terhadap apa yang mereka lakukan, mereka adalah manusia yang
sangat bersungguh-sungguh dalam mengikuti sunnah Rasulullah saw, dan
lebih cinta kepadanya dan kepada sunnahnya, kalau hal tersebut benar tentulah
mereka orang yang pertama sekali melakukannya, tetapi tidak seorang pun
dari mereka yang melakukannya, kita hanya mengikuti mereka, kita telah
mengetahui bahwa mengikut mereka dalam segala sumber dan keputusan.

Sebagaiman yang diungkapkan oleh Abu Tholib Al makky dalam sebuah


karangannya “sungguh telah disebutkan dalam hadist:

“tidak akan terjadi hari qiamat sampai yang ma’ruf di anggap mungkar dan
yang mungkar dianggap ma’ruf”.
Telah terjadi apa yang diberitakan oleh Rasulullah saw sebagaimana yang
telah kita sebutkan di muka, dan yang akan kita bicarakan pada berikut ini:
mereka berkeyakinan apa yang mereka lakukan tersebut adalah ketaatan,
barang siapa yang tidak melakukan apa yang mereka lakukan berarti telah lalai
dari ketaatan dan kikir, sungguh ini musibah yang telah menimpa.“

Ibnul Hajj menambahkan lagi “sebagian penyair telah menceritakan keadaan


zaman kita ini dalam syair mereka:

Telah pergi orang-orang yang dicontoh perbuatan mereka,

Orang-orang yang mencegah bagi segala perbuatan yang mungkar,

Tinggal aku bersama orang-orang yang dibelakangan

Yang saling memuji sesama mereka, agar tertutup kejelekan masing-masing,

Anak ku sebagian orang telah menyerupai binatang,

Sekalipun kau lihat ia berpostur manusia mendengar dan melihat,

Sangat hati-hati terhadap segala yang akan menimpa hartanya,

Tapi bila agamanya yang dapat musibah, ia tidak merasa,

Belajarlah kepada orang alim semoga engkau seperti dia,

Orang yang luas keilmuan dan pandangannya.

Bahkan Ibnul Hajj menyebutkan dalam bukunya tersebut, Hal: 25. berbagai
macam ketimpangan yang terdapat dalam maulid tersebut, sehingga sebagian
mereka meninggalkan maulid karena melihat berbagai macam pelanggaran
yang terdapat di dalamnya, dan melaksanakan maulid dengan membaca shohih
buhkary sebagai ganti darinya, tidak diingkari bahwa membaca hadist
merupakan ibadah dan memiliki keberkatan, tetapi harus dilakukan dalam
bentuk yang digambarkan syara’ (agama)”.

11. perkataan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya “I’lamu al muwaaqi’in” Hal: ( 2 /


390-391 ). “jika ada yang bertanya, dari mana kalian mengetahui bahwa
Rasulullah tidak melakukannya, tidak ditemukannya dalil tidak mesti
perbuatan tersebut tidak ada”.

Pertanyaan seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengetahui


petunjuk dan sunnah Rasulullah saw serta apa yang beliau sampaikan, kalau
pertanyaan ini benar dan dapat diterima, tentu akan ada yang berpendapat
dianjurkannya azan untuk sholat tarawih, dengan alasan yang sama, dan
datang lagi yang lain menganjurkan mandi setiap sholat, dengan alasan yang
sama juga, dan seterusnya ….maka terbuka lebarlah pintu bid’ah, setiap orang
yang melakukan bid’ah akan berkata: dimana anda mengetahui bahwa hal ini
tidak dilakukan Rasulullah…”.
12. Jawaban Al hafizh Abu zur’ah al ‘iroqy ketika ditanya tentang orang yang
melakukan maulit apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang
memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh
perbuatannya?. Ia menjawab: “memberi makan orang yang lapar dianjurkan
dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian
pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi
salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun
sekedar memberi makan orang yang kelaparan”. Lihat “tasyniiful Azan” hal:
136.
13. Fatwa Abu fahdal Ibnu Hajar al ‘asqolany tentang hukum maulid yang dinukil
oleh As suyuthy dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid” di situ Ia
katakan: “asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi
salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. Lihat “Al hawy
lil fatawa” hal: (1 / 196).
14. Fatwa Syehk Zhohiruddin Ja’far al tizmanty tentang hukum maulid:
“melakukan maulid tidak pernah dilakukan oleh generasi Islam pertama dari
salafus sholih, sedangkan mereka adalah orang yang jauh lebih menghormati
dan mencintai nabi saw, yang mana kecintaan dan penghormatan salah
seorang diantara mereka terhadap nabi saw, tidak terjangkau oleh kita
sekarang ini, walau hanya secuil”. Ungkapan ini dinukilkan dari Ibnu At
thobaahk dan Al tizmanty oleh pengarang kitab “Subulul huda war rosyad Fi
sirah khairil ‘ibad” hal: (1 / 441-442).
15. Di antara dalil bahwa salafus sholeh tidak pernah merayakan hari maulid nabi
saw. Yaitu perbedaan pendapat yang timbul dikalangan mereka dalam
menentukan hari lahirnya nabi saw. Sebagaimana telah disinggung oleh Abu
abdillah al hifaar dalam pembicaraannya, yang dinukil oleh pengarang kitab
“Al mi’yaar” hal: (7 / 100). Yang berbunyi “Dalil yang menunjukkan bahwa
orang-orang salaf (generasi Islam yang pertama ) tidak pernah membedakan
antara malam maulid dengan malam-malam yang lainnya yaitu perbedaan
mereka dalam menentukan malam tersebut, sebagian berpendapat pada bulan
Ramadhan dan sebagian yang lain berpendapat pada bulan Rabi’ul awal,
kemudian mereka berbeda pendapat lagi tentang tanggalnya dalam empat
pendapat, kalau seandainya mereka melakukan ibadah tertentu pada hari
lahirnya nabi Muhammad saw, tentu hari tersebut diketahui secara masyhur
dan tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang hari tersebut”.
16. Ditambah lagi di balik itu semua bahwa hari kelahiran nabi Muhammad saw
adalah bertepatan dengan hari kematiaanya, tidak lah bergembira lebih utama
dari bersedih pada hari itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian
ulama diantara mereka Ibnul Hajj dan Al Fakihaany.

Telah disebutkan oleh Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal” hal: (2/ 15,16)
ketika ia berbicara tentang maulid: “yang sangat mengherankan kenapa
mereka bergembiraria untuk kelahiran nabi saw! sedangkan kematiannya
bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat
besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak
hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena
Rasulullah saw bersabda: “hendaklah kaum muslimn itu teguh dalam segala
musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematian ku”.
Ketika Rasulullah menyebutkan bahwa musibah yang sebenarnya adalah kematian
beliau, menjadi hilang segala musibah yang menimpa seseorang dalam kondisi apa
pun, tampa meninggalkan kesedihan.

Sangat indah kata-kata sajak yang dituturkan oleh Hassaan (‫ )حسان‬dalam kematian
Rasulullah: “Hitam kelam pandangan ku

Hitam atas kepergian mu

Ku relakan kematian selain mu

Kecemasanku hanya atas kepergian mu”.

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada bulan tersebut
(Rab’iul awal) jusru mereka bergebiraria dan berjoget-joget, bukanya menangis dan
bersedih kalau ini yang mereka lakukan akan lebih tepat dengan suasananya, supaya
terhapus dosa-dosa mereka, karena bersedih dan menangis atas kepergian nabi
Muhammad saw, akan menghilangkan dosa-dosa dan menghapus bekas-bekasnya.
Sedangkan kalau seandainya mereka lakukan ini secara rutinitas juga merupakan
bid’ah, sekalipun bersedih atas kepergian nabi saw wajib bagi setiap muslim, tetapi
bukanlah dengan cara berkumpul untuk melakukan hal yang demikian, sekalipun
meneteskan air mata itu lebih baik, tapi kalau tidak mungkin cukup dengan bersedih
hati saja, yang melatar belakangi pendapat ini adalah karena mereka melakukan
kegembiraan yang membuat jiwa mereka terlena dengan bersenda-gurau, jogetan,
gendrang dan seruling, berbeda dengan menangis dan bersedih yang bisa membuat
jiwa mereka tersendu dan menahan diri dari berbagai macam syahawat dan
kesenangannya.

Jika ada yang berpendapat: saya melakukan malid karena merasa bahagia dan
gembira atas kelahiran nabi Muhammmad saw, kemudian pada hari yang lain saya
khususkan untuk upacara kesedihan atas kematiannya.

Jawabannya adalah: telah kita sebutkan di atas seseorang yang mengadakan jamuan
makan saja dengan niat maulid dan mengajak teman-temannya, maka hal ini dianggap
bid’ah, yaitu suatu pebuatan yang secara lahirnya kebaikan dan ketakwaan, maka
bagaimana lagi dengan orang yang mengumpulkan berbagai macam bid’ah dalam
sekaligus, terlebih lagi yang melakukannya dua kali, sekali untuk bergembira dan kali
yang lain untuk bersedih?. Maka semakin bertambah dengannya bid’ah, dan semakin
banyak ia mendapat celaan dalam agama. Wallahu a’lam”.

Berkata Al Faakihaany dalam kitabnya “Al maurid fi ‘amalil maulid”: “sesungguhnya


bulan kelahiran nabi Muhammad saw, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka
tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut”.
Dengan kutipan ini menjadi jelas bagi kita bahwa salafus sholeh tidak pernah
melakuakan maulid nabi, tetapi mereka meninggalkannya, tidak mungkin mereka
meninggalkannya kecuali karena hal tersebut tidak ada nilai kebaikan di dalamnya().

Karena itu dinilai suatu perbuatan terpuji yang dimiliki oleh para raja dan penguasa
yang telah berusaha melarang bid’ah tersebut, dan memberikan hukuman bagi orang
yang melakukannya. Sebagaimana dalam kitab “tarikh Al Islam”, hal: (4 / 181). “Al
Afdhal –semoga Allah merahmatinya- memiliki berbagai amal kebaikan dalam
memperbaiki keadaan kaum muslimin diantaranya ia telah menghapus upacara maulid
nabi saw, upacara maulid fathimah, upacara maulud Ali, dan upacara maulid khalifah
Al qoim biamrillah”.

Sebagaimana yang disebutkan oleh pengarang -asy syaukany- dalam kitab ini hal:
(50). Ketika ia memuji khalifah Al mahdy lidinillah bin ‘Abbas Al mashur, dan
menganjurkan khalifah sesudahnya supaya melarang pelaksanaan upacara maulid.

Barang siapa yang dijadikan Allah sebagai pemimpin terhadap suatu negri, hendak
jangan sampai melaksanakan bid’ah yang telah dihapus Allah, terutama di jazirah
arab, yang telah bangkit para penegak kebenaran –yang diberi taufik oleh Allah swt-
untuk memberantas berbagai bentuk kesyirikan dan bid’ah yang tersebar di sana yang
telah berlangsung lebih dari dua abat setengah.

Bilamana pemberantasan bid’ah dinilai sebagai kebaikan yang dimiliki oleh para raja,
sebaliknya membiarkan bid’ah tersebar dan diam terhadap orang yang melakukannya
dinilai sebagai kejelekkan yang dimiliki penguasa.

Semoga Alla memberi taufik dan kebaikan kepada kita semua terhadap segala hal
yang Ia cintai dan diredhaiNya, salam sejahtera buat nabi kita Muhammad saw.
KITAB “APA HUKUMNYA MERAYAKAN

MAULID NABI ?“
Pertanyaan yang dilontarkan kepada

Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani

( 1173 – 1250 H )

Biografi Pengarang: ()

Namanya: Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin
Muhammad bin Sholah bin Ibrahim bin Muhammad Al’afif bin Muhammad bin Rizq.

Gelarnya: Asy syaukani. Dan dia kenal dengan gelar ini.

Tempat dan tanggal lahir: Beliau lahir di daerah Syaukan pada tahun 1173 H.

Guru-guru beliau yang masyhur:

1. Gurunya yang paling pertama adalah orang tuanya, beliau membaca


kepadanya kitab “syarh Al azhar” dan yang lain-lain.
2. Imam Abdurrahman bin Qosim Al Madani.
3. Imam Ahmad bin ‘aamir Al Hidai.

Dan yang lain-lain.

Tugas/ kerja beliau:

Beliau menjabad sebagai Qhodi di Shan’aa, sementara umurnya diantara tiga atau
empat puluh tahun.

Karangan-karangannya:

1. “As sailul Al jarrar ‘ala hada’iq Al Azhar”


2. ‘Fathu Al Qodir ‘ tentang tafsir Al Qur’an.
3. Irsyadul Fuhul ila tahqiq Al Haq min ‘ilmi al Ushul’.
4. ‘Nailul Autar syarh Muntaqa Al Akhbar’
5. Risalah fi hukmil maulid”.
6. Ad durar Al Bahiyyah” dan syarahnya ‘ Ad darari Al Mudhiyyah’. Dan yang
lain-lain berupa kitab-kitab yang bermanfaat.

Wafatnya:

Beliau meninggal pada bulan Jumadil akhir pada tahun 1250 H, dan dikebumikan di “
al Huzaimah”.

Bukti kebenaran kitab ini milik pengarang:

Pertama: beliau menisbatkan kitab ini kapada dirinya didalam kitab “al badru ath
thooli’”(2/221) takkala berbicara tentang karya-karya beliau, sambil berkata: dan
“risalah tentang hukum maulid”.
Kedua: didapatkan pada lembaran pertama dari maniskrif ini, kumpulan dengan
nomor: (7800) yang mencakup 23 maniskrif, semuanya milik pengarang yang
terdapat di Universitas Malik Su’ud di Riyahd.

Ketiga: pengarang menutup maniskrif ini dengan perkataannya: “Ditulis oleh yang
menjawab Muhammad bin Ali Asy syaukani”.

Keempat: pengarang memuji dan mencela dua orang yang hidup semasa dengan belia,
yaitu:Al imam Al Mahdi lidinillah Al ‘abbas bin Al Manshur,(yang dipuji) dan
anaknya : Al imam Al Manshur billah (yang dicela). Lihat biografi mereka berdua
halaman (50 dan 51).

Kelima: Risalah ini bersamaan dengan risalah yang lain yang milik beliau juga
dengan judul: “Ithla’ arbabi al kamal ala risalti al jalal fi al hilal fi ikhtilal”. Dan
risalah ini ada namanya di “al badru ath tholi’” (2/220).

Sifat dari maniskrif ini:

Maniskrif ini terdapat dalam kumpulan yang mencakup 23 risalah, seluruhnya milik
As Syaukani, pada setiap halaman jumlah barisnya sampai 33 baris, dan jumlah
kalimatnya 14 kalimat, tulisannya naskh bagus dan jelas, dan tidak ada yang terhapus
keculai tiga kalimat disebabkan oleh kelembaban dan lain-lain. Dan maniskrif ini
diawalnya terdapat Risalah yang lain dan diakhirnya risalah yang ketiga dengan judul:
“Ithla’ arbabi al kamal ala risalti al jalal fi al hilal fi ikhtilal”.

Kerja saya (pentahqiq) dalam Risalah ini:

1. Menulisnya, memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki dan memberi tanda


baca.
2. Mengomentari sebagian permasalahan.
3. Menulis biografi nama-nama yang terdapat dalam risalah ini.

Judul Risalah:

Saya pilih judul risalah ini sesuai dengan yang ditulis oleh pengarang didalam kitab”
Al badru Ath tholi’ “ (2/221) yaitu “ Risalah tentang hukum maulid”. Dan apa yang
didapatkan pada lembaran pertama tentang judul-judul maniskrif-maniskrif yang ada
bersama kumpulan ini kemungkinan ijtihad para penulis. Dan semoga Allah
memberikan taufiqNya.

“RISALAH TENTANG HUKUM MEMPERINGATI MAULID NABI saw”

Beliau-rahimahullah- telah ditanya tentang hukum maulid:

Maka dia menjawab: saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi)
didalam Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal yang menjelaskan landasan
amalan maulid, bahkan kaum muslimin telah sepakat, bahwa perayaan maulid nabi
tidak ada pada masa qurun yang terbaik (para shahabat, pent), juga orang yang datang
sesudah mereka (para tabi’in) dan yang datang sesudah mereka (tabi’ tabi’in). Dan
mereka juga sepakat bahwa yang pertama sekali melakukan maulid ini adalah Sulthan
Al Muzhaffar abu Sa’id Kukburi, anak Zainuddin Ali bin Baktakin, pemilik kota Irbil
dan yang membangun mesjid Al Muzhaffari () di Safah Qaasiyyun, pada tahun tujuh
ratusan, dan tidak seorangpun dari kaum muslimin yang tidak mengatakan bahwa
maulid tersebut bukan bid’ah.

Dan apabila telah tetap hal ini, jelaslah bagi yang memperhatikan (para pembaca)
bahwasanya orang yang membolehkan maulid tersebut setelah dia mengakuinya
sebagai bid’ah () dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat, berdasarkan perkataan
Rasulullah , tidaklah dia (yang membolehkan maulid) mengatakan kecuali apa yang
bertentangan dengan syari’at yang suci ini, dan tidak ada tempat dia berpegang
kecuali hanya taqlid kepada orang yang membagi bid’ah tersebut kepada beberapa
macam, yang sama sekali tidak berlandasakan kepada ilmu().

Dan kesimpulannya kita tidak bisa menerima dari seseorang yang mengatakan
bolehnya suatu amalan kecuali setelah dia sebutkan argumentasi yang
mengkhususkan bid’ah yang dilakukannya tersebut keluar dari keumuman (hadits
yang mengatakan: setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah
sesat, pent) yang tidak dia ingkari, adapun semata-mata ungkapan yang mengatakan
“kata sipulan atau pendapat sipulan” ini sama sekali tidak bermanfaat, sebab
kebenaran itu lebih besar (agung) dari setiap orang, dan jikalau seandainya kita
percaya (berpegang) kepada perkatan manusia dan kembali berpegang kepada
omongan belaka, tiada lain orang yang membolehkan bid’ah tersebut keculai orang
yang menyimpang dari jalan kaum muslimin.

Adapun al ‘atirah (para keluarga rasulullah) dan para pengikutnya tidak kita temukan
satu perkataan pun dari mereka yang membolehkan maulid tersebut, bahkan perkataan
mereka seakan sepakat mengatakan: bid’ah ini muncul jauh dibelakangan hari, dan ia
merupakan sarana yang paling jelek untuk timbulnya kerusakan (kemungkaran), oleh
karena itu kamu melihat negeri ini (Yaman) bersih dari segala tipu daya orang-orang
sufi, dan mulid nabi ini merupakan sala satu dari tipu daya mereka -Alhamdulillah-,
dan khalifah yang terakhir yang membela (memperjuangkan) yang demikian itu
adalah al Mahdi lidinillah Al ‘abbas bin Al Manshur (), sesungguhnya dia telah
melarang perayaan mulid dan memerintahkan untuk penghancuran sebagian kuburan
yang diyakini oleh orang-orang awan, semoga Allah ta’ala memberikan ilham (taufig)
kepada khalifah kita sekarang Al Manshur billah() -semogah Allah memeliharanya-
untuk mengikuti as salafus sholeh (para shahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan yang
mengikuti jejak mereka, pent). Karena permasalahannya sebagaimana yang
ungkapkan dalam gubahan berikut ini:

Saya melihat kilatan bara api dicela-cela abu

Hampir saja bara tersebut akan menyala.

Bertebarnya bid’ah itu lebih cepat dari menyebarnya api, betapa lagi bid’ah maulid,
karena diri orang yang awam sangat menyukainya (merindukanya), ditambah lagi
jikalau yang hadir bersama mereka orang-orang yang berilmu, terhormat dan yang
berpangkat, sesudah itu mereka (orang yang awam) akan memahami bahwasanya “
perbuatan ini (maulid) merupakan tujuan dan bukanlah suatu bid’ah”, sebagaimana
yang diungkapkan dalam gubahan ini:
Orang yang berilmu yang tidak peduli dengan kesalahannya adalah kerusakan yang
besar

Dan lebih rusak lagi orang yang bodoh yang banyak beribadah

Keduanya merupakan fitnah yang besar bagi alam ini

Bagi orang yang menjadikan mereka panutan didalam agamanya

Dan tidak diragukan lagi bahwasanya masyarakat awam merupakan orang yang
paling cepat menerima segala bentuk sarana yang membawa kepada kerusakan, yang
bisa mereka dengan sarana tersebut melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti
maulid dan semisalnya, apalagi jika ditambah dengan kehadiran orang yang yang
dikenal keilmuan, kehormatan dan kedudukannya, mereka melakukan yang terlarang
dengan bentuk ketaatan, tenggelam dalam jurang kebodohan dan kesesatan, sehingga
mereka (orang awam) akan berlepas diri dari pelarangan sambil berkata: “Telah hadir
bersama kami sayyid (tuan) si pulan, sipulan dan sipulan”.

Jangankan orang yang awam, sebagian orang yang menuntut ilmupun juga telah
duduk didepan saya untuk membaca (mempelajari) sebagian dari ilmu-ilmu ijtihad,
lalu dia memberitahukan kepada saya: “bahwa dia telah hadir pada malan perayaan
maulid tersebut, pada bulan ini (Rabiul awwal, pent)” maka saya ingkari
perbuatannya, lantas dia berkata: “ telah hadir bersama kami tuan sipulan, sipulan dan
sipulan”, lalu saya bertanya: “ bagaimana bentuk pelaksanaannya didepan mereka
para tuan itu”, maka dia menjawab: ‘yang membaca maulid tersebut seorang laki-laki
yang bodoh, sementara para tuan-tuan tersebut memukul gendang sambil menyanyi
dan mendengarkannya, sampai dia berdiri seolah-olah lepas dari ikatan sambil
mengucapkan: “ Selamat datang wahai cahaya mataku (), selamat datang” dan berdiri
pula bersamanya seluruh yang hadir termasuk para tuan tersebut dan yang lainnya,
lalu dia bersuara sambil berdiri(), begitu juga mereka yang hadir, tatkala capek
sebagian yang hadir lalu dia duduk, lalu sebagian para tuan tersebut melarangnya
sambil berkata yang dimukanya terlihat kemarahan-: “berdiri wahai sibodoh”,
(dengan lafazd seperti ini), dan mereka tidak ragu lagi bahwasanya Rasulullah telah
sampai kepada mereka pada waktu itu, kemudian mereka saling bersalaman dan
sebagian orang yang awam dengan segera memberikan bermacam-macam wangian
ketangan mereka, seolah-olah mereka sedang mempergunakan kesempatan bertemu
Rasulullah , innalillahi wainnailaihi raji’un () !! lalu mana kehormatan (kemuliaan)
agama ini ?, jikalau sudah hilang, mana rasa malu dan akal yang sehat ? .

Seandainya tidak ada terjadi dihadapan mereka para tuan tersebut satupun dari bentuk
kemungkaran, -sabagaimana persangkaan baik kita terhadap mereka,- tapi apakah
mereka tidak tahu bahwa orang awam menjadikan yang demikian itu sebagai sarana
untuk kemungkaran, menutupi dengan kehadiran mereka segala bentuk kemungkaran,
melakukan pada perayaan maulid mereka- yang tidak dihadirinya- setiap
kemungkaran, sambil berkata: telah hadir dalam perayaan maulid sipulan, sipulan dan
sipulan, mereka berpegang dengan nama maulid.

Maka disini jelaslah bagimu rusaknya I’tidzar (dalil) sebagian orang yang
membolehkannya dengan alasan ” apabilah tidak terjadi dalam perayaan tersebut
kecuali berkumpul untuk makan dan dzikir, maka tidak apa-apa, dan ini tidak
mengharuskan haramnya hal-hal yang terlarang yang menyertai maulid tersebut”.

Karena kita katakan: Perayaan maulid dalam posisinya sebagai bid’ah –sesuai dengan
pengakuanmu- biasanya disertai dengan banyak bentuk kemungkaran dan sudah
menjadi sarana untuk melakukan kemaksiatan yang banyak. Dan adanya perayaan
maulid seperti ini yang tidak mencakup selain makanan dan dzikir labih baik dari
kibriit (permata) yang merah.

Dan telah tetap bahwa “saddudz dzarai’ (menutupi jalan-jalan) () dan melarang
seluruh sarana yang menjurus kepada sesuatu yang terlarang” merupakan Qaedah
Syariat yang amat penting, yang dianggap wajib oleh para jumhur (ulama). Dan
jikalau seandainya masih ada dalam dirimu rasa inshof janganlah kamu ingkari
permasalahan ini.

Dan jika telah jelas bagi anda bahwa tiada seorangpun dari ahli bait dan para pengikut
mereka yang membolehkan perayaan Maulid, dan anda ingin juga mengetahui
pendapat ulama selain ahli bait, maka keterangannya sebagai berikut :

Kami telah jelaskan pada anda bahwa semua kaum muslimin telah bersepakat
bahwasanya ia adalah bid’ah, hanya saja para penguasa berpengaruh besar dalam
menghidupkan bid’ah atau menghancurkannya. Maka tatkala sang pencetus perbuatan
bid’ah ini adalah seorang raja yaitu saaidah bin dihyah(), dimana beliau menyusun
sebuah karangan dalam masalah itu yang dinamakannya :

“Penjelasan gamlang tenteng Maulid sang pemberi kabar gembira dan petakut”

( ‫)التنوير ف مولد البشي النذير‬, meskipun beliau ahli dalam masalah ilmu hadits,tetapi kitab
tersebut kosong dari dalil-dalil yang kuat, tidak dapat diingkari, ia membolehkan nya
dengan imbalan seribu dinar –sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Khallakaan() –
dan cinta dunia, bisa berbuat lebih dari ini.

Kemudian setelah terjadi perayaan maulid ini, tegaklah perselisihan yang besar, dan
bermunculanlah karangan-karangan tentang masalah ini, antara yang melarang dan
yang membolehkan, diantara pengarang-pengarang tersebut ialah Alfakihany()
almaliky menulis sebuah kitab yang berjudul : “pendapat yang mendasar dalam
pelaksanaan maulid”,() (‫ )الورد ف الكلم علىعمل الولد‬di dalamnya beliau mencela dan
mencaci, dan diantara gubahan dalam kitab itu yang ditujukan kepada gurunya Al-
Qusyairy() :

Kemunkaran telah dianggap baik.

Dan kebaikan menjadi munkar di zaman yang pelik.

Para ulama tak bernilai lagi.

Sedangkan orang-orang bodoh mendapat kedudukan tinggi

Mereka menyeleweng dari kebenaran.


Dulunya pemimpin-pemimpin mereka tak diperhatikan

Maka kukatakan kepada orang-orang baik lagi bertaqwa

Dan beragama, tatkala memuncaknya kesedihan

Janganlah kalian menyesali keadaan, telah tiba

Giliran mu pada masa yang asing.

Kemudian juga AL-Imam Abdillah bin Al-haaj() dengan nama kitabnya : “Pintu
masuk dalam mengamalkan maulid” (‫)الدخل ف عمل الولد‬, dan Imam Ahli Qiro-at Al-
Jazary() dengan nama kitabnya: “pengenalan terhadap maulid yang mulia”

( ‫)عرف التعريف بالولد الشريف‬, dan juga Imam Al-Hafidz Ibnu Naashir() dengan kitabnya:
“Sumber utama dalam pelaksanaan Maulid sang pembawa petunjuk” (‫مورد الغادي‬
‫)ف مولد الادي‬, dan Imam Suyuthi ()dengan kitabnya : “Tujuan yang baik dalam
melaksanakan maulid”

(‫)حسن القصد ف عمل الولد‬, di antara mereka ada yang benar-benar tidak membolehkan,
dan ada juga yang membolehkan dengan bersyarat kalau tidak dicampuri oleh hal-hal
yang munkar, meskipun mereka mengakui bahwasanya itu merupakan perbuatan
bid’ah, namun mereka tidak mampu untuk memberikan argumentasi yang kuat,
adapun dalil mereka dengan hadits bahwasanya Nabi dikala sampai di medina
beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari asyura, lalu beliau
menanyakan sebabnya, hari tersebut adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi
Musa dan membinasakan Fir’aun, lalu kami berpuasa pada hari itu sebagai rasa
syukur kepada Allah ta’ala sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar(), atau dengan
hadits bahwasanya Rasulullah mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah kenabian(),
sebagaimana yang dilakukan suyuthi, ini merupakan suatu yang sangat aneh dimana
itu terjadi karena keinginan untuk menegakkan bid’ah.

Walhasil bahwa sesungguhnya orang-orang yang membolehkan – yang mereka itu


segelintir kalau dibandingkan dengan orang-orang yang mengharamkan – mereka
sepakat bahwasanya tidak boleh kecuali dengan syarat hanya untuk makan-makan dan
berdzikir(). Telah kita jelaskan bahwasanya ia sudah menjadi wacana untuk hal-hal
yang munkar. Hal ini tidak satu pun yang bisa mengingkarinya. Dan adapun
peringatan maulid seperti ini yang terjadi sekarang semuanya bersepakat bahwa ia
tidak boleh. Rasanya semua ini sudah cukup bagi kita, meskipun semestinya
membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, membeberkan pendapat-pendapat orang
yang membolehkan kemudian dibantah, hal yang demikian tentu akan menghasilkan
beberapa buah buku. Dan Allah tentu akan mengilhamkan kepada salah seorang
petinggi negara untuk mencegah perbuatan ini, maka ia akan mudah dikikis habis,
yaitu dengan mencegah generasi yang akan diajak untuk melakukan perayaan maulid
serta mengecamnya. Cara seperti ini bisa dilakukan oleh setiap orang.
Adapun pertanyaan anda tentang kejadian besar yang terjadi di Qotor Tuhamy, di
mana mereka menghiasi batu-batu, lalu mereka tawaf di sekelilingnya, sebagai mana
tawaf di sekeliling Ka’bah, telah sampai kepada orang yang mencintai anda – yaitu
pengarang (pent)- pertanyaan sebagian pemuka penduduk Tuhamah, yang ditulis oleh
Sayyid Muhammad Ahmad An-Nu’amy, pertanyaan itu telah saya jawab dengan
panjang lebar, maka bacalah ia kalau memungkinkan, dan pertanyaan itu memuat
keyakinan mereka terhadap orang-orang yang telah mati, dan batu-batu itu,
bahwasanya dia dapat memberikan mudharat dan manfaat, hal ini adalah perbuatan
kufur() yang tidak diragukan lagi, bahkan ia lebih dari kekufuran penyembah-
penyembah berhala dulu, karena orang-orang itu berkata: kami mengibadati berhala-
berhala itu agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.
Sedangkan mereka ini berkata: kami ibadati mereka supaya dapat memberikan
mudharat dan manfaat, maka musibah mana yang lebih keji dari pada kekufuran, dan
kemungkaran mana yang lebih dahsyat dari nya ?! dan bagaimana bisa orang yang
sanggup untuk melaksanakan perintah-perintah beranggapan bahwasanya ia termasuk
orang-orang yang beriman, sedangkan saudara-saudara sesama muslim telah
terjerumus kedalam kekufuran yang nyata ? Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun, dan
semoga Allah merahmati Al-Mahdy lidinillah Al-Abbas bin Mansur Beliau telah
berusaha menghancurkan kemungkaran di setiap tempat, dan semoga Allah
mengilhami pemimpin zaman sekarang untuk melakukan kewajiban yang sangat
penting ini.

Sebagai kesimpulan, tidak ada seorangpun yang membutuhkan dalil tentang jeleknya
amalan ini, tiada seorang muslimpun yang ragu akan kufurnya perbuatan ini, dan tiada
seorangpun yang menyelisihi tentang buruknya kekufuran, Alquran dan sunnah penuh
oleh dalil-dalil yang menetapkan jeleknya kekufuran, yang membeberkan kepada
orang kafir apa-apa yang mereka yakini. Siapa yang membaca satu lembar saja dari
Al-quran niscaya ia akan menemukan dalil-dalil tentang tauhid, dan tentang jeleknya
syirik dan kufur, apa yang membuatnya puas dan merasa cukup, maka tidak akan ada
faedahnya kalau kita berpanjang lebar, jikalau ada orang yang ingin menyebutkan
secara detil dalil-dalil tentang itu baik naql ataupun akal, pasti akan mengeluarkan
kitab yang berjilid-jilid.

Ya Allah sesungguh Engkau mengetahui bahwa kemampuan kami terbatas untuk


melawan kerusakan-kerusakan ini dan menghancurkan kemungkaran-kemungkaran
ini, tidaklah ada yang bisa kami lakukan kecuali hanya memberi peringatan dan
menyampaikan, dan itu telah kami lakukan. Ya Allah turunkan murka Mu karena
agama Mu, dan sucikanlah ia dari noda-noda para syetan yaitu mereka-mereka yang
menyembah kubur, dan selamatkanlah kami dari kotoran-kotoran yang mengeruhkan
kesucian agama yang kokoh ini.

Ditulis oleh penjawab Muhammad bin Ali As-Syaukany pada subuh hari kamis Bulan
Rabiul awwal 1306 H.

Tamat

Alih bahasa oleh:


Arifin Badri Lc.

Alimusri SP Lc.

Aspri Rahmat Lc.

M. Nur Ihsan Lc.

INDEK

1. Kamus Muhith. Cet. Muassasah Arobiah


2. Lisanul arab. Dar Ihya At-turots Al-aroby.
3. Tajul ‘Arus. Maktabah Tijariyah.
4. Syarh Nawawy Ala shoheh Muslim. Matba’ah Mishriyah.
5. Fathul baary. Cet. As-Salafiyyah.
6. Al-I’tishom. Matba’ah Sa’adah.
7. Qowaidul Ahkam. Cet. Maktabah Kulliyyat Azhariah.
8. Jaami’ul ulum walhikam.Tauzi’ Dar ifta’.
9. Sunan Ibnu Majah. Cet. Al-halaby.
10. Al-badrut Tholi’ Kar.Imam Muhammad bin Ali As-Syaukany. Cet.Dar
Ma’rifah.
11. Qoidah jalilah fit tawassul wal wasilah karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
salafiyah.
12. Al-jawabul baahir fi zuwwaril maqobir karya Syekhil Islam. Cet. Matba’ah
salafiyah.
13. Majmu’ fatawa Syekhil Islam Ibnu Taimiah.
14. Tobaqot As-Syafi’iyyah karya Ibnu Qody Syuhbah. Cet. Alamul kutub.
15. Siyar A’lamin Nubala’ Karya Az-Zahaby. Cet. Muassasah Risalah.
16. Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu katsir.
17. Ar-Roddul Qowy Alar Rifa’i wal majhul wabnu alawy. Karya Syekh Hamud
At-Tuwaijiry. Cet. Darul liwa’.
18. Iqtidho-ussirotil mustaqim. Darul majdy.
19. An-Nujum Az-Zahiroh fi tarikh mishr wal qohiroh. Cet. Hai-ah mishriyah
‘ammah lilkitab.
20. Taudhih Mustabihinnisbah. Cet. Muassasah Risalah.
21. Al-Mi’yarul mu’rob. Cet. Darul ghorb tahun 1401 H.
22. Majmu’ah Rosa-il wal masa-il Najdiyah. Cet. Matba’atul manar.
23. Ad-Durorus Saniyah.
24. As-Sunan wal mubtada’at Al-Muta’alliqoh bil azkar was sholawat. Keluaran
Darul jil, Bairut. Tahun 1408 H.
25. Al-Madkhal karya Ibnul Haj. Keluaran Darul fikr tahun 1401 H.
26. I’lamul muwaqqi’in. Daruil jil.Bairut.
27. Husnul maqshad ( dirangkap dengan kitab Al-hawy lil fatawy karya suyuthi ).
Darul baz tahun 1402 H.
28. Subulul Huda war rosyad fi siroti khairil ‘ibad. Karya sholihy.
29. Tasyniful aazan.
30. Fatawa Syathiby. Abi Ishaq Ibrahim. Cet. Ketiga tahun 1406 H.
31. Tarikh Islam, Hasan Ibrohim Hasan. Maktabah Nahdhoh Mishriyah. Cet
ketujuh tahun 1965 M.
32. Majmu’ Syarh muhazzab karya Nawawy. Darul fikr.
33. As-Sunan Al-Kubro karya Baihaqy. Darul fikr.
34. Al-Muqoddimat Al-Mumahhadat karya Ibnu Rusyd. Matba’ah Sa’adah.

You might also like