You are on page 1of 18

Makalah Mata Ajar Pengembangan Kepribadian Terintegrasi

Kekerasan Terhadap Perempuan

Disusun oleh :

Natalia Gunawan - 0906561396

Departemen Ilmu Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2009
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................................... i

BAB I – PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................1
1.2 Permasalahan ............................................................................................................ 2
1.3 Kerangka Teori ......................................................................................................... 3

BAB II – PEMBAHASAN
2.1 Perempuan Sebagai Korban .....................................................................................4
2.2 Beberapa Hal Pendorong Kriminalitas .....................................................................9
2.3 Kepedulian Hukum Terhadap Kekerasan Pada Perempuan .................................... 11

BAB III – PENUTUP


3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 13
3.2 Saran ......................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 15

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makalah ini dibuat sebagai tugas akhir semester pertama untuk mata kuliah
MPKT yang diajarkan oleh Drs. Hilarius Taryanto sebagai dosen sang penulis.
Makalah ini mengambil topik tentang kekerasan pada perempuan yang akhir – akhir
ini semakin marak kasusnya baik di dalam maupun luar negeri. Perbincangan tentang
kekerasan pada perempuan telah berkembang yang tidak hanya menjadi suatu
pertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial permulaan. Penelitian
kriminalitas yang dilakukan di Inggris dan Wales pada tahun 1985 (Hough and
Mayhew, 1985) yang melibatkan responden perempuan menghasilkan bahwa hampir
setengah dari mereka menyatakan merasa tidak aman apabila berjalan sendiri di
kegelapan dibandingkan dengan responden laki – laki yang tidak mencapai
setengahnya dengan kasus yang sama. Penelitian ini menunjukan bahwa perempuan
masih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan.
Berdasarkan fakta – fakta yang ada, terbukti bahwa kasus kekerasan pada
perempuan belum menjadi isu sentral oleh masyarakat untuk dicegah dan
ditanggulangi. Ada beberapa sebab berkaitan dengan hal ini yaitu pertama, persoalan
hak asasi manusia masih dianggap hanya sebagai persoalan 3ocial sehingga kekerasan
terhadap perempuan yang dilakukan di 3ocial 3ocial3c tidak dianggap sebagai
pelanggaran hak asasi manusia, kedua, persepsi masyarakat, tidak terkecuali
masyarakat perempuan sendiri, tentang kekerasan terhadap perempuan masih terbatas
pada kekerasan fisik (perkosaan), ketiga, kekerasan terhadap perempuan masih dilihat
sebagai masalah antar individu, dan belum dipandang sebagai problem 3ocial yang
berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman dan pengabaian
hak-hak perempuan sebagai makhluk Tuhan, keempat, ada gejala sinisme yang
berbahaya pada sebagian masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan dilihat
sebagai sebab yang dimunculkan oleh perempuan itu sendiri.
Selain itu terdapat data – data dari pakar kekerasan pada perempuan yang
memberikan gambaran sebagai berikut (Choukova, 1997 : 5) :
a) Di Afrika Selatan, perkosaan terhadap perempuan terjadi setiap 90 detik.

1
Kurang lebih 320.000 orang perempuan telah diperkosa setiap tahunnya.
b) Di USA, 16 perempuan setiap jamnya terancam oleh perkosaan.
Perkosaan terhadap perempuan terjadi setiap 6 menit. Pada tahun 1991
FBI mencatat 106.593 kasus perkosaan di USA.
c) Pada bulan Juli 1991, sekelompok remaja menyerang dan memperkosa
71 orang anak sekolah perempuan dari sekolah di Afrika Timur karena
menolak untuk ikut demonstrasi menentang kepala sekolahnya.
Sembilan belas anak perempuan meninggal dunia karenanya.
Di Indonesia sendiri pada tahun yang sama tercatat 1.499 kasus perkosaan
terhadap perempuan (Polri Dalam Angka, 1991 : 62). Berdasarkan fakta – fakta
tersebut penulis berpikir merupakan hal yang penting untuk meninjau topik ini secara
serius.
Melalui berbagai sumber bahan bacaan dan internet, penulis berusaha
menemukan alasan daripada permasalahan yang menjadikan kekerasan pada
perempuan sebagai hal yang hanya dipandang sebelah mata belaka.

1.2 Permasalahan
Makalah ini akan mengambil satu permasalahan utama dalam topik ini yakni
jenis – jenis kriminalitas apakah yang dialami oleh perempuan dalam kehidupannya.
Di sini akan dijelaskan dan dijabarkan jenis – jenis kriminalitas tersebut serta
pandangan badan hukum maupun masyarakat awam akan hal ini. Masalah ini pun
akan dikaitkan dengan studi jender dan budaya masyarakat tentang peran perempuan
sebagai “orang kedua” dibandingkan laki – laki.

1.3 Kerangka Teori


Untuk menjelaskan permasalahan dalam makalah ini, penulis mengambil satu
teori dari bidang kriminologi yaitu teori differential association dari Sutherland. Teori
ini merupakan salah satu dari teori – teori kriminologi positif yang berpusat kepada
pengaruh – pengaruh kelompok atau pengaruh – pengaruh kebudayaan. Berbeda
dengan teori – teori lain yang menyinggung masalah kelainan biologis atau
psikologis, teori Sutherland ini mencoba untuk memberikan suatu perumusan yang

2
logis dan sistematis untuk membuat kejahatan sebagai tingkah laku yang normal dan
dapat dipelajari (Purnianti, 1994 : 104).
Teori differential association bersifat sosiologis karena berpusat kepada
hubungan – hubungan sosial (frekuensi, intensitas, dan arti penting daripada asosiasi),
tidak kepada kualitas – kualitas atau ciri – ciri seseorang maupun kepada sifat – sifat
dunia alamiah yang konkrit dan dapat dilihat (Vold, 1979 : 235). Dalam perumusan
pertamanya pada tahun 1939, Sutherland menuliskan bahwa kejahatan adalah hasil
daripada frekuensi dan konsistensi seseorang bergaul dengan pola – pola kriminal,
sedang pola – pola kriminal tersebut adalah hasil daripada kebudayaan – kebudayaan
yang berbeda – beda dan bentrokan – bentrokan konflik kebudayaan di dalam
masyarakat (Purnianti, 1994 : 105).
Sutherland mendasarkan teorinya akan dua asumsi utama yaitu :
a) Penyimpangan terjadi ketika orang mendefinisikan suatu situasi manusia
sebagai kesempatan yang tepat untuk melanggar norma – norma sosial
atau hukum pidana.
b) Definisi dari situasi yang diperoleh seorang individu melalui sejarah
pengalaman masa lalu, khususnya dalam hal masa lalu asosiasi dengan
orang lain. Dengan demikian, orang membuat definisi subjektif mereka
sendiri mengenai situasi mereka dalam kehidupan (Pfohl, 1994 : 302).
Setelah pembatasan pada teori ini pada tahun 1947 dihilangkan, teori ini
dianggap berlaku bagi semua macam kejahatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa teori differential association ini tepat untuk menjelaskan akan perilaku tindak
kekerasan pada perempuan. Terdapat satu hal terakhir yang perlu ditekankan dalam
teori ini yakni perbedaan – perbedaan sifat – sifat individual juga dapat
mempengaruhi differential association dengan kejahatan. Teori differential
association hanyalah penting artinya apabila merupakan ekspresi daripada perbedaan
– perbedaan individual yang berada di dalam kepribadian orang (Purnianti, 1994 :
107).

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perempuan Sebagai Korban


Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena universal, terjadi pada
semua lapisan masyarakat, tidak membedakan kelas sosial dan bersifat lintas budaya.
Kekerasan pada perempuan dapat diartikan sebagai tindakan atau sikap yang
dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara
fisik maupun secara psikis (Ihromi, 2000 : 267). Terdapat empat kategori dalam
kekerasan terhadap perempuan yaitu (Tong, 1984 : 125 – 126) :
a) Physical battering
Termasuk dalam kategori ini adalah penamparan, pemukulan,
pembakaran, penendangan, penembakan, penusukan, dan semua bentuk
kekerasan fisik non seksual.
b) Sexual battering
Yang termasuk dalam kategori kedua adalah semua kekerasan yang
berkaitan dengan seksualitas seperti pemukulan di payudara atau kelamin, dan
perkosaan secara oral, anal, dan vaginal.
c) Psychological battering
Kategori yang ketiga ini selalu dianggap paling minimal dampaknya
namun kenyataannya justru yang paling menyakiti korban. Banyak perempuan
yang mengalami kekerasan melaporkan bahwa psychological battering
merupakan kekerasan yang paling merusak keadaan jiwa mereka.
d) The destruction pets and property
Kategori yang terakhir ini merupakan kategori yang tidak lazim dilakukan
oleh para pelaku kekerasan, baik dalam segi sandang, papan, maupun properti
lain milik korban.

Secara umum terdapat dua jenis kekerasan yang paling sering dialami oleh para
perempuan yaitu :
a) Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dipengaruhi

4
banyak faktor, bersifat kompleks, dan multidimensi. Merupakan komplikasi dari
faktor internal, seperti kegagalan hubungan interpersonal, disfungsi marital,
personal psikopatologi. Selain itu, faktor eksternal, khususnya struktrur sosial
budaya yang meminggirkan peran dan kedudukan perempuan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan domestik adalah
segala bentuk perilaku kekerasan yang terjadi dalam lingkup kehidupan
keluarga. Pelaku biasanya adalah sosok yang mempunyai peran otoritas atau
berstatus lebih kuat (suami atau orang tua), sedangkan korban adalah anggota
keluarga yang berstatus subordinat atau lebih lemah (istri atau anak). Kekerasan
dalam rumah tangga sering kali bersembunyidu balik tatanan budaya
paternalistik patriarki, yang menempatkan suami sebagai sebagai kepala
keluarga wajib dipatuhi. Istri sebagai ibu rumah tangga yang wajib melayani.
Selain itu, anak yang harus tunduk dan patuh kepada orang tua.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan yaitu
(Belknap, 1996 : 195) :
• Battered women syndrome
Merupakan sindroma psikologik yang ditemukan pada perempuan
hidup dalam siklus KDRT yang berkepanjangan. Dicirikan dengan
perilaku tak berdaya, menyalahkan diri, ketakutan akan keselamatan
diri dan anaknya, serta ketidakberdayaan untuk menghindar dari
pelaku kekerasan.

• Gangguan stres pascatrauma


Merupakan problem mental serius yang terjadi pada korban yang
mengalami penganiayaan luar biasa (perkosaan, penyiksaan, dan
ancaman pembunuhan). Ciri khas dari stres pascatrauma (PTSD)
adalah penderita tampak selalu tegang dan ketakutan, menghindari
situasi – situasi tertentu, gelisah, tidak bisa diam, takut tidur, takut
sendirian, serta mimpi buruk, seperti mengalami kembali peristiwa
traumatisnya.

5
• Depresi
Merupakan problem kejiwaan yang paling sering ditemukan pada
korban KDRT. Gejala yang khas adalah perasaan murung,
kehilangan gairah hidup, putus asa, perasaan bersalah dan berdosa,
serta pikiran bunuh diri sampai usaha bunuh diri. Gejala depresi
sering terselubung dalam wujud keluhan fisik, seperti kelelahan
kronis, problem seksual, kehilangan nafsu makan (atau sebaliknya),
dan gangguan tidur.

• Gangguan panik
Merupakan gangguan cemas akut yang sering dijumpai korban
KDRT. Penderita mengalami serangan ketakutan katastrofik bahwa
dirinya akan mati atau menjadi gila (biasanya didahului keluhan
subjektif, seperti sesak napas, perasaan tercekik, berdebar – debar,
atau perasaan durealisasi). Ganguan panik yang tidak ditangani
dengan benar akan berkembang menjadi agorafobia, yakni takut
keramaian dan cenderung menghindar dari kehidupan sosial.

• Keluhan psikosomatis
Perempuan korban KDRT sering kali datang ke fasilitas kesehatan
dengan keluhan fisik kronis, seperti sakit kepala, gangguan
pencernaan, sesak napas, dan jantung berdebar. Namun, pada
pemeriksaan medis tidak ditemukan penyakit fisik. Kondisi ini
disebut sebagai gangguan psikosomatis. Keluhan psikosomatis
bukan gangguan buatan atau sekadar upaya mencari perhatian.
Namun, merupakan penderitaan yang sungguh dirasakan penderita,
yakni konversi dari problem psikis yang tak mampu diungkapkan.

b) Perkosaan
“Perkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak

6
bersama, dipaksakan oleh satu pihak pada pihak yang lainnya.
Korban dapat berada di bawah ancaman fisik dan atau psikologis,
kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di
bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental sehingga tidak
sunguh – sungguh mengerti, atau dapat bertanggung jawab atas apa
yang terjadi padanya” (Ihromi, 2000 : 278).

Sekitar tahun 1970, perkosaan akhirnya diakui sebagai salah satu masalah
sosial yang memfokuskan dirinya pada perkosaan orang dewasa oleh orang
asing. Terdapat dua jenis perkosaan yakni stranger rapes dimana korban dan
pelaku tidak memiliki relasi dan acquaintance rapes ketika pemaksaan aktivitas
seksual dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban (Belknap, 1996 : 141).
Selama perkembangannya, perkosaan dilengkapi dengan beberapa mitos
yang diyakini oleh masyarakat. Mitos – mitos tersebut yaitu (Ihromi, 2000 :
278) :
a. Korban mem”provokasi” pelaku dengan tindakan – tindakan yang
mengundang;
b. Perempuan dapat menghindari terjadinya perkosaan;
c. Perempuan mengaku diperkosa untuk membalas dendam, mendapat
santunan, atau karena ia punya karakteristik kepribadian khusus (misal :
ingin cari perhatian);
d. Perkosaan hanya terjadi di daerah asing slum pada malam hari;
e. Perkosaan dilakukan oleh laki – laki yang “sakit” atau kriminal;
f. Laki – laki yang sopan dapat terangsang untuk memperkosa karena
provokasi tindakan atau pakaian yang dikenakan perempuan; dan
g. Perkosaan terjadi karena pelaku tidak dapat mengendalikan impuls –
impuls seksualnya.
Mitos – mitos ini tidaklah benar setelah data menunjukkan bahwa mitos –
mitos tersebut bertentangan dengan fakta – fakta yang ada.
Seorang korban perkosaan akan lebih menderita secara psikologis
dibandingkan fisik.

7
Dari sisi fisik dapat terjadi luka – luka di alat kelamin dan sekitarnya, anus,
mulut, maupun bagian – bagian tubuh lain, pendarahan, infeksi, dan penularan
penyakit seksual, kehamilan bahkan kematian. Sedangkan secara psikologis
biasanya akan dimulai dengan beberapa reaksi setelah kejadian perkosaan atau
serangan seksual yaitu (Ihromi, 2000 : 279 – 280) :
a. Fase akut (segera setelah serangan terjadi)
Pada fase ini individu mengalami shock dan rasa takut yang sangat kuat,
kebingungan, dan disorganisasi serta rasa lelah dan lemah yang intens.
Karena itu, terdapat kemungkinan korban tidak dapat menjelaskan secara
rinci dan tepat apa yang sesungguhnya terjadi pada dia, siapa
penyerangnya, ciri – ciri penyerang secara detil dan seterusnya.

b. Fase kedua (adaptasi awal)


Individu menghayati emosi negatif seperti pemberontakan, rasa marah
ketakutan, terhina, rasa malu, dan jijik yang kemudian dapat ditanggapi
melalui represi dan pengingkaran (upaya untuk mencoba menutupi
pengalaman menyakitkan, menolak mengingat lagi atau minimalisasi,
menganggap yang terjadi bukan suatu hal yang sangat serius. Korban dapat
menampilkan ekspresi emosi yang sangat kuat (menangis, eksplosif) atau
tampil tenang dan dingin, seolah – olah tanpa penghayatan.

c. Fase reorganisasi jangka panjang


Fase ini dapat membutuhkan waktu bertahun – tahun hingga individu keluar
dari trauma yang dialami dan sungguh – sungguh menerima apa yang
terjadi sebagai suatu yang faktual. Pada fase ini, individu tidak jarang masih
menampilkan ciri – ciri depresi, serta mengalami mimpi – mimpi buruk
atau kilas balik. Tidak jarang terjadi gangguan dalam fungsi dan aktivitas
seksual misalnya ketakutan pada seks, hilangnya gairah seksual, dan
ketidakmampuan menikmati hubungan seks. Bahkan mengalami
dysparenuia (merasakan sakit saat berhubungan seks) maupun vaginismus
(kekejangan otot – otot vagina).

8
2.2 Beberapa Hal Pendorong Kriminalitas
Berikut ini merupakan hal - hal yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindakan kriminal :
a. Diri Sendiri
Untuk terjadinya suatu pelanggaran dibutuhkan dua unsur utama yaitu niat
untuk melakukan suatu pelanggaran dan kesempatan untuk melaksanakan niat
tersebut. Apabila hanya terdapat satu unsur saja dalam kedua unsur tersebut, maka
pelanggaran tidaklah mungkin terjadi. Terdapat beberapa faktor – faktor baik
langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi kedua unsur ini. Faktor –
faktor ini yaitu :
• Faktor – faktor langsung (faktor endogin)
Faktor - faktor endogin adalah faktor – faktor yang berasal dari dalam diri
orang itu sendiri yang mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a) Cacat yang bersifat biologis dan psikis.
b) Perkembangan kepribadian dan intelegensi yang terhambat sehingga
tidak bisa menghayati norma – norma yang berlaku (Widiyanti, 1987 :
116).
Faktor – faktor endogin ini hanya mempengaruhi unsur niat.

• Faktor – faktor tidak langsung (faktor eksogin)


Faktor - faktor eksogin adalah faktor – faktor yang berasal dari luar diri
seseorang yang mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a) Pengaruh negatif dari orang tua;
b) Pengaruh negatif dari lingkungan sekolah;
c) Pengaruh negatif dari lingkungan masyarakat;
d) Tidak ada/kurang pengawasan pemerintah;
e) Tidak ada/kurang pengawasan masyarakat;
f) Tidak/kurang pengisian waktu yang sehat;
g) Tidak ada pekerjaan;

9
h) Lingkungan fisik kota yang besar;
i) Anonimitas karena banyaknya penduduk kota – kota besar (Widiyanti,
1987 : 117)
Faktor – faktor eksogin dari poin a hingga c mempengaruhi unsur niat,
sedangkan poin d hingga k mempengaruhi unsur kesempatan.

b. Keluarga
Keluarga merupakan faktor utama kedua yang mempengaruhi seseorang
melakukan tindak kejahatan. Hubungan erat yang terjalin antara orang tua dengan
anak semasa kecilnya hingga dewasa menjadikan keluarga memainkan peranan
penting dalam pembentukan pola – pola tingkah laku seseorang.
Keluarga dapat diartikan sebagai :
“The family is a social group characterized by common residence, economic
cooperation, and reproduction. It includes adults of whom maintain a socially
approved, own or adopted to the sexually cohabiting adults” (Spiro, 1954 : 839).
Terdapat beberapa kondisi dalam keluarga yang menjadi faktor penyebab seseorang
menjadi seorang kriminal yaitu :
a) Anggota – anggota keluarga yang lainnya juga penjahat, pemabuk, dan imoral.
b) Tidak adanya satu orang tua atau kedua – duanya karena kematian, perceraian,
atau melarikan diri.
c) Kurangnya pengawasan orang tua, karena masa bodoh, cacat inderanya, atau
sakit.
d) Ketidakserasian karena adanya yang “main kuasa sendiri”, iri hati, cemburu,
terlalu padatnya anggota keluarga, atau pihak lain yang turut campur.
e) Perbedaan rasial dan agama, ataupun perbedaan adat istiadat, rumah piatu,
panti – panti asuhan.
f) Tekanan ekonomi, seperti pengangguran, kurangnya penghasilan, ibu yang
bekerja di luar (Martasaputra, 1973 : 271).

10
2.3 Kepedulian Hukum Terhadap Kekerasan Pada Perempuan
Beragam kebijakan hukum telah dibuat untuk menanggulangi masalah
kekerasan pada perempuan. Terutama dari segi nasional, Indonesia, terdapat beberapa
sumber hukum yang memiliki sumber utama dari Konvensi Wanita yaitu :

a) Hukum Perdata
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi yang mengacu pada pasal 1 dan
pasal 2 Konvensi Wanita, lalu pasal 5 mengenai hal – hal yang berkaitan
dengan pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita sebagai salah satu
sumber terjadinya diskriminasi. Lalu pasal 16 mengenai penghapusan
diskriminasi dalam semua unsur yang berhubungan dengan perkawinan dan
hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan pria dan wanita. Terakhir, pasal
15 mengenai kedudukan pria dan wanita yang sama di muka hukum.

b) Hukum Pidana
Dalam hukum pidana Indonesia mencakup sumber hukum pidana (Konvensi
Wanita yang diratifikasi melalui UU No. 7/1984 dan Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan). Bagian – bagian dalam KUHP (Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana) mengacu pada Konvensi Wanita pasal 6
yaitu :
• Delik kesusilaan (pemerkosaan, aborsi, perdagangan wanita);
• Delik terhadap badan atau nyawa (termasuk kekerasan dalam
keluarga);
• Delik terhadap harta benda.
Satu delik terakhir yang berada di luar KUHP yakni subversi (Konvensi
Wanita pasal 9, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal
3).
11
c) Hukum Islam
keluarga dan Konvensi Wanita (penghapusan diskriminasi dalam bidang
perkawinan dan hubungan kekeluargaan) serta mengenai diskriminasi
(Konvensi Wanita pasal 1) dan pola tingkah laku sosial budaya laki – laki dan
wanita (Konvensi Wanita pasal 5) sebagai salah satu sumber diskriminasi.

d) Hukum Perburuhan
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi dan eksploitasi (Konvensi
Wanita pasal 1), penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang
ketenagakerjaan (Konvensi Wanita pasal 11), Konvensi ILO No. 100, isu – isu
kekerasan terhadap buruh perempuan di pabrik maupun buruh imigran
perempuan (Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 1,
2) dan hak – hak sipil dan politk perempuan (Konvensi Wanita pasal 7).

Terdapat beberapa hukum lain di Indonesia yang isinya terdapat kaitan dengan
kekerasan terhadap perempuan yaitu hukum tata negara, hukum administrasi negara,
hukum internasional, hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum adat, hukum
pajak, dan hukum agraria. Sumber hukum utama yang mendasari daripada semua
hukum nasional tentang kekerasan pada perempuan adalah Konvensi Wanita atau
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women yang
dibuat pada tahun 1979. Konvensi ini adalah konvensi mengenai penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap wanita yang diterima oleh negara – negara anggota PBB
berdasarkan suatu pertimbangan hukum, bahwa diskriminasi terhadap wanita
merupakan pelanggaran terhadap asas – asas persamaan hak dan rasa hormat terhadap
martabat manusia (Ihromi, 2000 : 120). Konvensi yang terdiri dari 30 pasal ini
meletakkan kewajiban kepada negara penandatangan maupun peserta konvensi untuk
melakukan tindakan yang bertujuan menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap
wanita di berbagai bidang kehidupan. Terdapat enam bidang yang mendapat perhatian
dan pengaturan dalam konvensi ini yaitu bidang sosial budaya, bidang politik, bidang
hukum, bidang ketenagakerjaan, bidang ekonomi, dan bidang sipil.
12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perkosaan dan pelecehan istri (kekerasan dalam rumah tangga) adalah yang
paling umum terjadi di antara banyak kasus lain tentang kekerasan terhadap
perempuan. Perempuan pun bukan satu – satunya pihak utama yang bertanggung
jawab untuk hal ini namun lebih kepada laki – laki dan patriarki sosial. Keluarga yang
dikenal masyarakat sebagai tempat berlindung yang aman tidak dapat menjadi satu –
satunya tempat perempuan mencari pertolongan. Pada akhirnya, kedua tipe kekerasan
ini bukanlah hal yang jarang terjadi namun sangat sering dan membutuhkan
penanganan yang lebih serius.

3.2 Saran
Menurut Suparman Marzuki terdapat beberapa hal – hal yang dapat dilakukan
untuk mengantisipasi kekerasan pada perempuan berhubungan dengan pembentukan
dan perubahan hukum yaitu :
a) Pembaharuan KUHP, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan kesusilaan;
b) Pembentukan aturan hukum Pembantu Rumah Tangga (PRT);
c) Pembaharuan KUHAP, dan
d) Mengkaji muatan pasal-pasal rencana menjadikan KOMNAS HAM sebagai institusi
yang memiliki kekuatan yudisial, termasuk rencana pembentukan pengadilan
pelanggaran HAM.
Penanggulangan kekerasan pada perempuan pun harus melibatkan seluruh
lapisan, baik individu, masyarakat, maupun pemerintah. Berikut ini merupakan cara –
cara yang dapat kita lakukan untuk pencegahan maraknya kekerasan pada
perempuan :
a) Tidak melakukan semua jenis kekerasan (emosional, fisik, seksual, maupun
ekonomi).
b) Tidak mau menjadi korban KDRT.
c) Melindungi dan senantiasa berpihak pada korban KDRT.
13
d) Melaporkan pada yang berwajib bila menyaksikan tindakan kekerasan pada
perempuan.
e) Membantu korban kekerasan untuk mendapatkan pertolongan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Belknap, Joanne. 1996. The Invisible Woman, Gender, Crime, and Justice. USA : Wadsworth
Publishing Company.

Choukova, Anna. 1997. Violence Against Women and the Role of The Police. Amersfoort :
European Network of Police Women.

Dispulahta POLRI. 1991. POLRI Dalam Angka. Jakarta : Dispuhlanta POLRI.

Martasaputra, Momon. 1963. Asas – Asas Kriminologi. Bandung : Alumni

Morris, Allison. 1987. Women, Crime And Criminal Justice. Great Britain : Billing and Sons
Ltd.

Pfohl, Stephen. 1994. Images of Deviance and Social Control. USA : McGraw Hill, Inc.

Purnianti dan Kemal Darmawan. 1994. Mashab dan Penggolongan Teori Dalam
Kriminologi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Spiro, Melford E. 1954. American Anthropologist New Series, Vol. 56, No. 5, Part 1. USA :
Blackwell Publishing.

Tong, Rosemarie. 1984. Women, Sex, and the Law. New Jersey : Rowman & Allanheld.

Vold, George B. 1979. Theoretical Criminology. Oxford : Oxford University Press.

Widiyanti, Ninik dan Yulius Waskita. 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat dan
Pencegahannya. Jakarta : PT. Bina Aksara.
15

You might also like