Professional Documents
Culture Documents
Risalah berarti tugas kerosulan, yaitu ajaran Allah swt. atau apa yang
dibawa oleh rosul yang harus disampaikan kepada manusia. Risalah
Muhammad berarti ajaran ajaran / pesan yang dibawa oleh nabi. Oleh
sebab itu risalah erat sekali hubungannya dengan kata rosul.
A. Kerosulan
1) Pengertian Nabi, Rosul, Aulia dan Ulama
a. Nabi dan Rosul
Kata Nabi berasal dari kata naba’a yang berarti pemberitahuan yang besar
faedahnya. Nabi dalam istilah Islam adalah manusia yang dipilih Allah
untuk menerima wahyu-Nya. Nabi dalam pengertian ini sama dengan
pengertian rosul. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan, bahwa
antara nabi dan rosul itu berbeda, Nabi mendapatkan wahyu dan tidak
wajib menyampaikannya, sedangkan rosul mendapatkan wahyu dan wajib
menyampaikannya kepada umat. Pendapat lain ialah nabi tidak itu
membawa syari’at baru sedang rosul membawa syari’at baru.
Dalam Al-Qur’an menggunakan kata nabi dan rosul untuk orang yang
sama dan kadang-kadang menggunakan kata nabi dan rosul itu sekaligus.
Kata nabi digunakan hanya khusus ditujukan kepada manusia pilihan
Allah swt. sedang rosul ditujukan Allah untuk utusan lainnya, seperti
malaikat.
b. Aulia dan Ulama
Aulia menurut pengetian Al-Qur’an diartikan sebagai pemimpin,
pelindung, dan penolong yang diambil dari kata “wali”. Dalam
pengertiannya yang umum kata aulia sebagai bentuk jamak dari kata
“wali’ diartikan dengan pengertian khusus, yaitu orang-orang yang
dianggap mempunyai kelebihan-kelebihan khusus di bidang agama dan
perjuangan agama.
Ulama merupakan bentuk jama’ dari kata “Alim”, artinya orang yang
mengetahui, atau orang yang berilmu pengetahuan. Dalam pengertian ini
termasuk dalam perkataan “ulama” adalah para sarjana dan para
cendekiawan muslim dan non-muslim, kata “ulama” dapat mencakup
setiap ahli ilmu, bukan hanya yang memahami dan menguasai ilmu-ilmu
agama.
C. Wahyu
1) Pengertian
Wahyu secara kebahasaan berarti pembertitahuan secara tersembunyi dan
cepat (termasuk bisikan di dalam hati), surat tulisan dan segala sesuatu
yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.
Didalam Al-Qur’an sendiri wahyu digunakan dalam beberapa pengertian,
antara lain:
a. Isyarat, sebagaimana firman Allah swt: QS Maryam:11
“Maka ia (zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia member
isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih pagi dan petang”
b. Pembertitahuan secara rahasia, Q.S Al-A’aam:112
c. Ilham yang diberikan kepada manusia (tercantum dala surat Al-
Qashshash(28):7)
d. Ilham yang diberikan kepada binatang (tecantum dalam surat An-Nahl
(16):68)
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah
isim fail dari kata dasar:’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu. Dan ‘ulama adalah
orang-orang yang punya ilmu.
Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan
ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi
mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada
Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan
warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa
ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih)
Mungkin yang dimaskud pernyataan KH Kholil Ridwan tersebut adalah dibidang Agama
saja, dimana beliau menkiyaskan dengan hadist Nabi “Bahwa Ulama adalah warisan
Nabi”.
Padahal jika ditinjau lebih jauh bahwa Rasulullahpun memiliki ilmu politik, ekonomi,
ilmu perang, dsb… begitujuga dengan Masa khalifah berikutnya.
Hal ini yang mungkin saya dapati dari pernyataan KH Kholil Ridwan tersebut bahwa
Ulama harus bisa mengayomi semua ilmu. Namun kenyataannya sekarang tidak
demikian ada ahli agama, ada ahli teknoloogi, ada ahli ekonomi dsb. Mungkin dalam
benak KH Kholil bahwa kata ilmuwan hanya terbatas pada keahlian suatu bidang tertentu
dan tidak mencakup semuanya seperti yang terjadi pada masa Rasulullah dan ke-empat
khalifah setelahnya. Bagaimana dia disebut pewaris Nabi yang memiliki ilmu jika hanya
memiliki satu keahlian saja.
Ada satu artikel menarik berikut ini, ditulis oleh salah seorang mahasiswa bernama Abd.
Halim Fathoni
Sumber artikel : http://www.malangkab.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=156
Re-Definisi Istilah Ulama
Secara bahasa, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah
menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui – mufrad/singular) dan
‘ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat
dirujuk pada al-Quran dan hadis.
Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : ‘innama yakhsya Allahu min ‘ibadihi al
ulama’ artinya : sesungguhnya yang paling taqwa kepada Allah diantara hambaNya
adalah ulama (Fathir 28).
‘Al ulama-u waratsatu al anbiya’ artinya : ulama adalah pewaris para nabi – hadits.
Secara hakikat, taqwa tidak mudah dipakai untuk kategorisasi, sebab yang mengetahui
tingkat ketaqwaan seseorang hanyalah Allah.
Penyebutan taqwa di sini hanya untuk memberi batasan bahwa ulama haruslah beriman
kepada Allah dan secara dhahir menunjukkan tanda-tanda ketaqwaan. Jadi Islamolog
yang tidak beriman kepada Allah tidak masuk dalam kategori ulama.
Untuk batasan kedua, ulama adalah mereka yang mewarisi nabi. Al Maghfurllah Kiyai
Ahmad Siddiq, Situbondo, menyatakan bahwa yang diwarisi ulama dari nabi adalah ilmu
dan amaliyahnya yang tertera dalam al-Quran dan hadis.
Dengan batasan ini, ahli-ahli ilmu lain yang tidak berhubungan dengan al-Quran dan
hadis tidak masuk dalam kategori ulama. Kyai Ahmad mengistilahkan kelompok ahli itu
sebagai zuama.
Kata al-’ulama’ dan al-’alimun sekalipun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya
memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat ditengarai
dalam Al-Qur’an ketika kata al-’ulama’ disebutkan hanya 2 (dua) kali dan kata al-’alimun
sebanyak 5 (lima) kali, dan kata al-’alim sebanyak 13 (tiga belas) kali. (lihat al-Baqi, al-
Mu’jam, hlm. 603-604).
Penggunaan kata al-’ulama’ dalam Al-Qur’an selalu saja diawali dengan ajakan untuk
merenung secara mendalam akan esensi dan eksistensi Tuhan serta ayat-ayat-Nya baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ajakan perenungan terhadap ayat-ayat Tuhan ini
adalah untuk mencari sebab akibat terhadap hal-hal yang akan terjadi sehingga dapat
melahirkan teori-teori baru. Kata al-’alimun diiringi dengan usainya suatu peristiwa dan
Al-Qur’an menyuruh mereka untuk merenungi kejadian ini sebagai bahan evaluasi agar
kejadian tersebut tidak terulang lagi.
Contoh pada tataran ini adalah ketika Al-Qur’an mengajak al-’alimun untuk memikirkan
peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka
lakukan (lihat Q.S. Al-’Ankabut ayat 40-43). Penyebutan kata al-’alim dalam bentuk
tunggal semuanya mengacu hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya.
Penggunaan kata ini diiringi dengan penciptaan bumi dan langit serta hal-hal yang ghaib
dan yang nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa munculnya pengetahuan manusia
berbarengan dengan munculnya ciptaan-ciptaan Tuhan.
Kyai Muchith Muzadi,- salah seorang ulama dari NU- membuat kategorisasi ulama atas
dasar ilmu, secara garis besar sebagai berikut:
1. Ulama Ahli Quran ialah ulama yang menguasai ilmu qiraat, asbabunnuzul, nasih
mansuh dsb. Ulama tafsir adalah bagian dari ini yang memiliki kemampuan menjelaskan
‘maksud’ Qur’an.
2. Ulama Ahli Hadits yaitu ulama yang menguasai ilmu hadits, mengenal dan hafal
banyak hadist, mengetahui bobot kesahihannya, asbabul wurudnya (situasi datangnya
hadits) dsb.
3. Ulama Ahli Ushuluddin ialah ulama yang ahli dalam aqidah Islam secara luas dan
mendalam, baik dari segi filsafat, logika, dalil aqli dan dalil naqlinya.
4. Ulama Ahli Tasawuf adalah ulama yang menguasai pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan akhlaq karimah, lahir dan bathin serta metodologi pencapaiannya.
5. Ulama Ahli Fiqh adalah ulama yang memahami hukum Islam, menguasai dalil-2nya,
metodologi penyimpulannya dari Qur’an dan hadis, serta mengerti pendapat-2 para ahli
lainnya.
6. Ahli-ahli yang lain, i.e., ahli pada berbagai bidang yang diperlukan sebagai sarana
pembantu untuk dapat memahami Qur’an dan hadits, seperti ahli bahasa, ahli mantik, ahli
sejarah, dsb. Merujuk pada arti ulama-baik secara bahasa dan istilah- dan kategorisasi
ulama menurut Kyai Muchit Muzadi, ternyata selama ini yang dipahami masyarakat telah
mengalami ‘kecelakaan pemahaman’. Menurut kebanyakan orang, yang
dimaksudkan sebagai ulama hanyalah orang-orang yang mumpuni di bidang agama-
dalam hal ini meliputi tafsir, tasawuf, aqidah, muamalah, dan sejenisnya bahkan ada yang
menambahkan ulama dalaha orang ahli agama yang memilki pondok pesantren (sekaligus
memiliki santri).
Sedangkan ahli bidang keilmuan yang lain, misalnya: ahli bahasa, ahli sains, ahli teknik,
ahli ekonomi- yang nota bene juga merupakan bidang ilmu yang dapat dijadikan sarana
untuk lebih memahami al-Qur’an dan hadits serta mendekatkan diri kepada Allah
ternyata tidak pernah disebut sebagai ulama, melainkan sering dinamakan dengan sebutan
Guru/Dosen. Yang lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar dalam masyarakat kita
– seperti berbagai istilah lain – mempunyai “kelamin ganda” dan berasal tidak hanya dari
satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam hal atau
dalam pengetahuan Islam agama Islam” (lihat Kamus Besar bahasa Indonesia, halaman
985).
Sedangkan di Arab sendiri, ulama (bentuk jamak dari alim) hanya mempunyai arti “orang
yang berilmu”. Dalam hali ini, menurut Imam Suprayogo (2006)-dalam bukunya-
Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam- menegaskan bahwasannya selama ini,
pembidangan ilmu agama Islam (seputar tauhid, fiqh, akhlaq, tasawuf, bahasa arab, dan
sejenisnya) telah berhasil melahirkan berbagai sebutan ulama, seperti ulama fiqh, ulama
tafsir, ulama hadits, ulama tasawuf, ulama akhlaq, dan lainnya. Tetapi, tidak pernah
dijumpai ulama yang menyandang ilmu selain tersebut.
Misalnya ulama matematika, ulama teknik, ulama ekonomi dan sebagainya. Mereka yang
ahli di bidang tersebut hanya cukup disebut sebagai sarjana matematika, sarjana teknik,
sarjana ekonomi, dan seterusnya. Para ahli di bidang ini dipandang tidak memiliki
otoritas dalam ilmu keislaman sekalipun mereka beragama Islam dan juga
mengembangkan ilmu yang bersumber dari ajaran Islam. Selama ini, definisi ulama yang
dikonstruk masyarakat adalah orang yang mengkaji fiqh, tasawuf, akhlaq, tafsir, hadits,
dan sebagainya. Berangkat dari hal ini, menurut Suprayogo seharusnya ulama tidak
sebatas dilekatkan pada diri seseorang yang memahami tentang fiqh, tauhid, tasawuf, dan
akhlaq saja melainkan orang yang mengetahui dan memahami tentang segala hal yang
terkait dengan objek yang dikaji.
Jika demikian penggunaan arti ulama, maka ulma bisa dilekatkan pada berbagai orang
yang mendalami ilmu tentang apa saja, termasuk misalnya kedokteran, ekonomi, sains,
teknik, dan bahkan juga seni dan budaya. Selanjutnya tidak diperlukan lagi pembedaan
istilah intelek dan ulama, karena pada hakekatnya ulama yang intelek dan intelek yang
ulama tidak memilki perbedaan. Penggunaan konstruk yang berbeda terhadap fenomena
yang sama tetapi berbeda objeknya saja ternyata terjadi dalam banyak hal.
Disebut guru jika seseorang mengajar matematika, biologi, teknik, ekonomi, bahasa
Inggris dan seterusnya. Lain halnya jika seseorang mengajar ilmu fiqh, tafsir, tasawuf,
bahasa Arab dan lainnya maka akan disebut dengan ustadz. Pembedaan seperti ini
menjadikan Islam terkesan eklusif (tertutup) dan bukan inklusif (terbuka), seolah-olah
Islam hadir ke bumi ini hanya mengurus hal-hal yang berkenaan dengan ke-akhirat-an
saja. Padahal kalau kita mau mencermati secara seksama dalam al-Qurâan dan al-Hadits
justru lebih banyak berbicara tentang keselamatan hidup di sini dan sekarang, karena
memang yang di sini dan sekarang akan berdampak pada kehidupan di akhirat yang nanti
dan di sana.
—————-
Artikel diatas adalah tanggapan atas pernyataan Ketua MUI tentang Ulama.
Berikut artikel tersebut :
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Kholil Ridwan menyatakan, semestinya
tradisi keilmuan dalam Islam melahirkan ulama, bukannya ilmuan. Sebab, antara ulama
dengan ilmuan itu tidak sama.
Menurutnya, ulama itu mempunyai kepekaan terhadap kondisi akidah umat, berjuang
dengan ikhlas, tidak ingin popularitas, tidak menghallakan segala cara demi kekuasaan,
apalagi mau disetir oleh pemikiran asing atau yang lebih buruk meninggalkan Islam itu
sendiri.
”Tradisi ilmu dalam Islam itu melahirkan ulama. Ulama berbeda dengan ilmuan, ” ujar
KH. Kholil Ridwan di sela-sela acara Tasyakur 5 tahun Institute for Study the Study of
Islamic Thougth and Civilization (INSISTS) di Depok.
Dijelaskannya, sosok ulama punya tanggungjawab keilmuan, moral, dan agama kepada
Allah Swt. Sedangkan ilmuan bisa bebas dari nilai-nilai agama, moral, ataupun tidak
beriman kepada Allah sekalipun.
“Ulama dalam menyampaikan ilmunya harus berangkat dari iman. Jadi ia punya tradisi
keimanan dan keilmuan secara berbarengan. Bebeda dengan ilmuan. Ia bisa bicara dan
berbohong tergantung kemauannya karena tidak terikat iman, ” papar pengasuh pesantren
Husnayain itu.
Ia mengungkapkan, dalam hadis Nabi Muhammad Saw juga disebutkan, bahwa ulama itu
pewaris para nabi. Jadi bukan ilmuan yang mewarisi kenabian. ”Al-’Ulama waratsah al-
Anbiya. Di situ jelas sekali ulama yang ditunjuk Nabi sebagai pewaris para nabi, bukan
semua orang yang berilmu, tapi harus punya dan menjaga imannya, ” sambung dia.
Karena itu, Kyai Kholil berharap ke depan lahir ulama-ulama yang betul-betul mewarisi
tradisi keilmuan yang dijarakan para nabi sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
ulama-ulama kita, bukannya mengikuti cara berpikir Barat. (dina)
2. AULIA
Aulia menurut pengetian Al-Qur’an diartikan sebagai pemimpin, pelindung, dan
penolong yang diambil dari kata “wali”. Dalam pengertiannya yang umum kata aulia
sebagai bentuk jamak dari kata “wali’ diartikan dengan pengertian khusus, yaitu orang-
orang yang dianggap mempunyai kelebihan-kelebihan khusus di bidang agama dan
perjuangan agama.
Ulama merupakan bentuk jama’ dari kata “Alim”, artinya orang yang mengetahui, atau
orang yang berilmu pengetahuan. Dalam pengertian ini termasuk dalam perkataan
“ulama” adalah para sarjana dan para cendekiawan muslim dan non-muslim, kata
“ulama” dapat mencakup setiap ahli ilmu, bukan hanya yang memahami dan menguasai
ilmu-ilmu agama.