You are on page 1of 6

PENDEKATAN TEORITIS DALAM

MENGANALISIS REGIONALISME
Dalam tulisan Andrew Hurrell yang berjudul “The Regional Dimension in
International Relations Theory” dijelaskan bahwa dalam mempelajari secara
teoritis interaksi antarnegara, level analisis dalam tingkat regional seringkali
dikesampingkan walaupun perkembangan regional secara substantif dirasa sangat
penting. Kondisi tersebut dapat diubah ketika karakter pembangunan juga berubah
menjadi tidak lagi menitik beratkan pada power dan kepentingan masing-masing
negara. Selain itu diperlukan pula adanya kategori perbedaan wilayah (region).
Pada dasarnya upaya untuk mengembangkan aspek teoritis dalam analisis
regionalisme sangat terbuka lebar jika merujuk pada karakteristik regionalisme itu
sendiri yang cenderung tidak stabil dan tidak determinis. Dalam proses interaksi
dalam regionalisme terdapat berbagai logika yang saling berkompetisi dan tidak
ada titik henti tunggal. Jadi, interaksi dalam tataran regional sangat kompleks,
multidimensional, dan menyangkut interaksi ekonomi, politik, maupun budaya
yang multiproses. Dengan demikian, upaya pengkonstruksian teori sangat terbuka
lebar.

Perspektif dalam Menentukan Tujuan dan Fungsi Regionalisme

Regionalisme dianggap penting karena region1 merupakan wadah paling


tepat dan paling mungkin untuk menerima perubahan dan mengintensifkan
resistensi dari tekanan kompetisi kapitalisme global. Menurut perspektif realis,
ketidaksetaraan kekuatan (unequal power) dapat menciptakan logika yang tidak
mendukung pasar kapitalis, oleh karena itu regionalisme digunakan untuk
menciptakan kesetaraan kekuasaan. Sedangkan perspektif kontra-realisme
menyatakan bahwa regionalisme merupakan sarana untuk memahami kondisi
sosial-ekonomi yang berubah yang akan mengubah karakter, lingkup, dan arena
kompetisi kekuasaan.
1
Region dipahami sebagai daerah tempat berlangsungnya regionalisme. Region dapat berupa
wilayah yang memiliki batas geografis maupun sebatas konstruksi sosial yang ditentukan oleh
anggotanya. (John Ravenhill 2007:175)

1
Kedua perspektif tersebut hampir serupa dengan penggolongan perspektif
statis dan rasionalis-institusioanlis. Bagi penganut perspektif statis, institusi
regional dan internasional berada pada level pertukaran transnasional dan sarana
komunikasi. Institusi menjadi harus bersinggungan dengan kompleksitas dilema
yang muncul dari aksi kolektif sebagai konsekuensi dari integrasi dan
interdependensi dalam region tersebut.

Dalam konteks ini, institusi berperan sebagai penghasil solusi bersama


(generated solution). Sedangkan dalam perspektif rasionalis-institusionalis,
institusi dipandang sebagai entitas yang mempengaruhi perilaku negara (state
behavior) dengan menciptakan lingkungan yang rasional bagi negara untuk saling
bekerja sama.

Bagi negara yang cenderung berada dalam posisi lemah dalam organisasi
regional, Hurrell menjelaskan fungsi regionalisme adalah sebagai institusi
pembentuk peraturan dan prosedur. Selain itu, institusi tersebut juga membuka
“voice opportunities” atau kesempatan dan hak yang sama dalam berpendapat,
membuka peluang membentuk koalisi yang lebih kuat, dan membuka wadah
politis untuk membangun koalisis baru. Sedangkan bagi negara yang relatif kuat,
regionalisme berfungsi sebagai tempat untuk menjalankan strategi, tempat untuk
mewadahi hegemoni, dan tempat untuk melegitimasi power.

Sedangkan dalam tulisannya yang lain, “Regionalism in Theoretical


Perspective”, Hurrell menekankan pentingnya teori untuk menjelaskan definisi,
konsep, dan kategori regionalisme. Pada prinsipnya Hurrell membagi
regionalisme menjadi lima kategori, yaitu regionalisasi, kesadaran regional dan
identitas, kerjasama regional antar negara, integrasi regional yang merupakan
pengembangan dari negara, dan kohesi regional.

Regionalisasi merupakan perkembangan integrasi sosial dalam sebuah


wilayah yang kerapkali tidak secara langsung dalam interaksi sosial dan ekonomi.
Regionalisasi tidak berdasarkan kebijakan yang secara sadar dibuat oleh negara
maupun bukan sekumpulan negara dan pola regionalisasi tidak harus berdasarkan

2
batas negara. Sedangkan kesadaran regional dan identitas menekankan pada sense
of belonging atau rasa memiliki antar entitas-entitas yang terlibat di dalamnya.
Kerapkali regionalisme jenis ini didasari oleh persamaan identitas dan identifikasi
terhadap identitas itu sendiri sehingga kerapkali menimbulkan diferensiasi dan
kategorisasi. Misalnya saja penggolongan masyarakat muslim dan non-muslim,
serta masyarakat Eropa dan bukan Eropa. Kerjasama regional antar negara
merupakan regionalisme yang terbentuk sebagai upaya untuk merespon tantangan
eksternal. Dalam regionalisme ini ditekankan adanya koordinasi untuk
menentukan posisi regional dalam sistem internasional. Di lain sisi, integrasi
regional menekankan pada pengurangan atau bahkan usaha untuk menghilangkan
batas antar negara. Dalam konteks ini bukan batas geografis yang ingin
dihilangkan, namun batas interaksi seperti batasan pajak ekspor dan impor.
Regionalisme yang terakhir, kohesi regional, bisa jadi merupakan gabungan dari
keempat regionalisme sebelumnya yang membentuk unit regional yang
terkonsolidasi. Pembentukan kohesi regional dapat dilatarbelakangi oleh
keinginan untuk membentuk organisasi regional yang supranasional untuk
memperdalam integrasi ekonomi dan membentuk rezim serta membentuk
hegemoni regional yang kuat.

Pendekatan Teoritis pada Level Sistem Interaksi

Berdasarkan proses dalam politik global, Hurrell menganalisis regionalisme


berdasarkan level atau tingkat interaksinya, yaitu secara sistemik, regionalisme
dan interdependensi pada tingkat regional, dan teori pada level domestik. Untuk
menganalisis interaksi dalam ketiga level sitem utersebut, digunakan dua teori,
yaitu teori neo-realisme dan teori interdependensi struktural dan globalisasi. Teori
neo-realisme menekankan pada anarkisme sistem internasional dan kompetisi
power serta politik dalam mencapai kepentingan. Berdasarkan perspektif ini,
organisasi regional dipandang melalui kacamata politis sebagai upaya untuk
membentuk aliansi bersama untuk merespon tantangan eksternal. Oleh karena
penekanan perspektif ini pada politik dan power, maka hegemoni menjadi
penting.

3
Sedangkan teori interdependensi struktural dan globalisasi memandang
bahwa perubahan karakter dari sebuah sistem merupakan dampak dari perubahan
ekonomi dan teknologi, sekaligus globalisasi. Jadi, perspektif ini menekankan
pada perubahan sistem yang menyebabkan meningkatnya interdependensi antar
negara sehingga regionalisme perlu dibentuk untuk mendapatkan kepentingan
yang diinginkan. Selain itu, globalisasi ekonomi dan teknologi juga merupakan
katalis bagi terciptanya regionalisme.

Pada tingkat regional, digunakan analsis menggunakan teori neo-


fungsionalisme, neo-liberal institusionalisme, dan konstruktivisme. Kedua teori
pertama melihat regionalisme sebagai respon fungsional yang dilakukan oleh
negara untuk menyelesaikan masalah yang diciptakan oleh adanya
interdependensi regional dan menekankan pada peran strategis institusi regional
dalam mengembangkan kepaduan regional. Sedangkan teori konstruktivisme
menekankan pada hubungan antara saling ketergantungan material dan
pemahaman bersama atas identitas dan komunitas dari suatu bentuk regionalisme
itu sendiri.

Sedangkan pada level domestik digunakan pendekatan regionalisme dan


koherensi negara, tipe rezim dan demokratisasi, serta teori konvergen. Ketiga teori
tersebut pada dasarnya menekankan pada cara-cara untuk mengartikulasikan dan
mengembangkan kepenting nasional pada tingkat regional dengan tujuan untuk
memperbesar peluang tercapainya kepentingan tersebut. Peluang akan semakin
besar ketika kepentingan nasional tersebut dapat diperjuangkan menjadi
kepentingan regional. Dalam teori pada level domestik termasuk juga analisis
terhadap unsur-unsur dari dalam negara yang menjadi katalis terbentuknya
regionalisme, seperti demokratisasi dan pembentukan rezim.

Regionalisme adalah Kerjasama Mutual, Benarkah?

Bahasan Hurrell dalam kedua tulisannya tersebut sebenarnya sangat


konstruktif dan analitis. Dalam perspektif Hurrell, regionalisme terbentuk sebagai

4
respon terhadap tantangan dari luar. Namun bagaimana dengan tantangan dari
dalam (intra-regional)?

Saya secara pribadi sepakat dengan segala kebaikan dan manfaat


pembentukan regionalisme yang disampaikan oleh Hurrell. Akan tetapi, bukan
tidak mungkin jika kemudian dalam organisasi regional tersebut muncul
hegemoni, yaitu hegemon dari organisasi regional itu sendiri. Berdasarkan
perspektif realis, hegemoni menjadi sebuah unsur yang penting dalam upaya
mewujudkan kepentingan nasional. Hurrell (2005:51) sendiri juga menyebutkan
bahwa bagi negara yang relatif kuat, institusi regional menjadi tempat untuk
mengaktualisasikan strategi, tempat mewadahi hegemoni, dan untuk melegitimasi
power. Memang organisasi berbeda dengan rezim. Organisasi memiliki landasan
hukum yang mengikat yang mengatur kesetaraan antar anggotanya, sedangkan
rezim hanya berdasarkan norma dan prinsip yang secara sukarela disepakati dan
ditaati bersama. Rezim memang lebih memungkinkan terciptanya hegemon dalam
institusi. Akan tetapi, bukan berarti tidak mungkin terdapat hegemon dalam
organisasi regional.

Perlu ditekankan bahwa pemaksaan power dan hegemoni sudah berbeda


bentuknya seperti pada era Perang Dingin maupun Perang Dunia. Penetrasi
pengaruh sudah lebih halus dan melalui aspek-aspek vital, seperti keamanan dan
ekonomi. Contohnya saja, dalam organisasi internasional semacam Dewan
Keamanan PBB, yang berlandaskan hukum, dominasi hegemoni Amerika Serikat
dengan hak veto-nya masih terasa. Dalam organisasi regional seperti NAFTA pun
AS juga menekankan hegemoninya. Bukankah akhirnya organisasi regional
menjadi alat hegemon untuk menguasai “sebagian dunia” (region-nya) untuk
kemudian melancarkan hegemoninya pada area yang lebih luas? Jadi, menurut
saya dalam organisasi regional yang menginginkan persamaan pun masih terdapat
kelas seperti teori Karl Marx maupun teori sistem Wallerstein.

5
Referensi:

Farrel, Mary and Bjorn Hette, et al. 2005. Global Politics of Regionalism.
Pluto Press. pp. 38-53

Fawcett, Louise and Andrew Hurrell. 2002. Regionalism in World Politics.


Oxford University Press. pp. 7-36

You might also like