You are on page 1of 82

Pengertian Pembaharuan Islam

Diposkan oleh ZABAZ di 20.04


KONTROVESRI PEMBAHARUAN DAN KEPENTINGANNYA
TERHADAP AJARAN ISLAM

OLEH : DRS. IHSAN

Sesungguhnya Allah akan membangkitkan


Bagi umat ini dalam tiap-tiap seratus tahun
Seorang yang akan melakukan pembaharuan
bagi agamanya (al Hadits)

Pembaharuan atau Tajdid dalam bahasa keagamaan merupakan aktifitas dan kegiatan yang
sangat alami, sesuatu yang sering dan mesti terjadi dalam kehidupan manusia, sebab kehidupan
manusia mempunyai permulaan dan penghabisan; Sesuatu yang telah berkembang akan
mengalami perubahan, dan perubahan tersebut memerlukan upaya perbaikan untuk memperoleh
kinerja dan efektifitas bagi suatu ajaran itu sendiri dalam menyahuti perkembangan jaman.
Tajdid berasal dari akar kata Arab “JADADA” yang dari kata tersebut terdapat kata “JADID”
yang berarti baru. Dalam beberapa teks, kata-kata jadada mempunyai tiga pengertian yang
berbeda tetapi mempunyai makna yang hampir sama, yaitu :
· Jadid (Baru) artinya menjadikan sesuati itu baru.
· Al Qath’u (Putus) artinya menjadikan sesuatu itu tidak lagi mempunyai hubungan.
· Roj’i (Kembali) artinya menjadikan sesuatu kembali pada asal dan orisinalitasnya.

Dalam beberapa kesempatan, Al Qur’an menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk


memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan ayat
tersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanyakan
oleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al Isro 51, As-
Saba’ 7, As- Sajdah 10 dan Qof 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangka
meningkatkan keimanan dan memprbaharui keberagamaan itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tajdid (pembaharuan) adalah proses untuk
mengembalikan dan menjadikan sesuatu itu kembali kepada asalnya dalam rangka aktualisasi
ajaran itu sendiri. Dari pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa inti dari
pembaharuan itu ada 3 (tiga), yaitu :
· Eksistensi awal artinya terdapat ajaran yang dijadikan kerangka acuan yang orisinalitas dan
kebenarannya bersifat absolut.
· Terdapat penyimpangan dan kerusakan atau ketidakmampuan melakukan aktualisasi ajaran itu
sendiri, sehingga kehilangan daya tariknya.
· Terdapat usaha untuk melakukan aktualisasi (menghidupkan) kembali konsep tersebut.

Disamping terminologi Tajdid (Pembaharuan), juga kita temukan teminologi lain yang
sebenarnya mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Kata-kata tersebut digunakan untuk
mengungkapkan proses reformulasi, pembentukan dan aplikasi ulang Islam sebagai sistem
kehidupan dan sumber nilai kehidupan manusia. Reformasi atau pembaharuan tersebut ber-
kembangan karena akumulasi sejarah kehidupan umat yang senantiasa dalam ketergantungan
struktural dan politik. Ketergantungan Struktural dan Politik pada jaman pertengahan melahirkan
sikap hidup yang pesimis, tidak progresif dan menggantungkan nasib hidupnya kepada kekuatan
selain Allah; sikap hidup yang didominasi oleh Takhayyul, Bid’ah dan Khurofat menjadi sesuatu
yang tidak terhindarkan.
Sikap hidup yang kurang progresif tersebut nampaknya memberi dorongan terbesar bagi tum-
buhnya budaya “Taklid”, menerima konsep dan ajaran tampa melakukan proses pengkajian dan
analisa terlebih dahulu. Sikap hidup seperti itu rentan terhadap berkembangnya penyakit sosial-
psykis lainnya. Maka dalam kurun waktu yang sangat lama, umat Islam tidak mampu
melepaskan diri dari dominasi bangsa Barat sampai ketika muncul pemikir-pemikir Islam yang
dikenal sebagai Reformis seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Bin Abd. Wahab (Wahabi),
Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridho, Jamaluddin Al Afghoni dll. Gerakan tersebut tenyata
sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran beragama sekaligus melahirkan gerakan baru yang
disebut “Gerakan Kebangkitan Islam”.
PEMBAHARUAN : PERLUKAH TERHADAP PROSES AKTUALISASI AJARAN ISLAM
Ketika pembaharuan pertama kali dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah dan berkembang pesat
di penjuru dunia, sebagian orang beranggapan bahwa program tersebut hanya mimpi di siang
bolong. Statemen tersebut lahir karena kehidupan umat Islam telah jatuh pada sikap hidup yang
sangat naif dan sufistis. Hidup di jaman pertengahan bagi mereka tidak lagi memerlukan sisi
dunia tetapi sisi keahiratan, bahkan berfikir dalam Islam pada waktu itu telah diharamkan seiring
dengan mundurnya tradisi berfikir di dunia Islam.
Untuk itu “Pintu Ijtihad” telah dinyatakan tertutup bagi umat Islam. Menurut hemat saya
Statemen tersebut merupakan pernyataan “Bodoh” yang pernah lahir dalam sejarah kehidupan
manusia. Belum pernah ada di dunia manapun seorang dilarang untuk berfikir dan berkarya
kecuali di Dunia Islam pada waktu itu. Di satu pihak, kita memang harus mempertanyakan
keberadaan dan motif lahirnya pernyataan tersebut, tetapi barangkali hal tersebut muncul karena
mereka memang tidak mempunyai kualifikasi berfikir sama sekali atau diadakan untuk mem-
berangus tradisi bid’ah atau bahkan yang paling menyedihkan jika hal tersebut dimunculkan
untuk menyumbat tradisi berfikir dikalangan umat Islam.
Apapun motif lahirnya pernyataan tersebut, yang pasti bahwa umat islam telah mengidap
penyakit yang sangat kronis dan perlu segera disembuhkan agar ia mampu berkembang dan tetap
dapat berdiri dengan nilai dan kerangka acuan yang disepakatinya. Penyakit kronis yang sempat
diderita oleh umat Islam, sebagaimana yang disebutkan diatas (kebekuan berfikir/lemahnya
tradisi keilmuan dan sikap hidup Taklid/tidak mempunyai pendirian, pengamalan agama yang
banyak berasal dari bid’ah, takhayyul dan khurafat, ketergantungan struktural dan politik), perlu
diadakan atau dibangun dan dikembangkan format baru dunia Islam yang bebas dari TBC,
ketergantungan struktural dan politik, kebekuan berfikir dan memulai kehidupan baru dunia
Islam dengan sikap yang progresif, bebas dari ketergantungan struktural dan politik dan
berkembangnya tradisi keilmuan Islam. Misalnya gerakan Muhyi Ats Tsaris salaf yang
dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah memberikan inspirasi kepada pakar Islam. Di saudi Arabia
muncul Muhammad Bin Abdul Wahab (Wahabi) dan di bumi Allah yang lain berkembang
gerakan pembaharuan seperti di Mesir dan Indo-Pakistan.
Muhammad Bin Abd wahab (Gerakan Wahabi) melakukan proses pembaharuan di Saudi Arabia.
Gerakan wahabi ini memperoleh dukungan politik dari keluarga Ibnu Suud yang berupaya
membangun kerajaan di Saudi Arabia. Menurut sejarawan, bahwa keberhasilan gerakan
pembaharuan di Saudi Arabia sangat ditentukan oleh kolaborasi antara dua kepentingan tersebut,
kepentingan agama dan politik.
Gerakan Wahabi adalah gerakan puritanisasi yaitu pemurnian kembali ajaran Islam dari unsur-
unsur bid’ah artinya lebih mengarah pada aspek ubudiyah dan konsep keyakinan. Gerakan
tersebut kemudian menyebar kepenjuru dunia lewat pegualatan keilmuan Islam dan per-
singgungan beberapa umat Islam dengan umat Islam lainnya lewat perjalanan Ibadah Haji,
sedangkan gagasan pembaharuan di Pakistan dan Mesir yang lebih menitik beratkan pada
pembangunan kembali pola berfikir dan tradisi keilmuan di dunia Islam, berkembangan ke-
penjuru dunia melalui media cetak Al Manar.
Bagaimanapun bentuk dan modelnya, pembaharuan sang diperlukan untuk revitalisasi umat
Islam dan membangun kembali semangat keberagamaan yang selama ini hilang akibat
ketidakmampuan umat mengkaji dan memahami agamanya, terutama sisi keilmuan dan
semangat berfikirnya.

MODERNISASI : SEBUAH TAWARAN UNTUK PEMBERDAYAAN UMAT ISLAM


Modernisasi adalah sebuah program aksi untuk memberdayakan umat Islam agar dapat ber-
kembang mengiukuti alur zaman. Program tersebut tidak berarti menjadikan Islam sebagai
sumber nilai yang harus mengikuti perkembangan zaman itu sendiri, akan tetapi lebih me-
rupakan usaha untuk mengkaji sumber nilai tersebut agar dapat memberi warna.
Menurut Dr. Harun Nasution, modernisasi (Modern/Modernisme) adalalah pikiran, aliran, usaha
dan gerakan untuk mengubah paham, adat istiadat, institusi lama dsb sesuai dengan pendapat dan
keadaan yang berkembang akibat kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Sedangkan
menurut Encyclopedia Americana V : 284, modernisasi adalah keseluruhan visi di dalam agama
yang didasarkan pada keyakinan bawa ajaran agama perlu ditafsirkan dengan pemahaman
filsafat dan ilmiyah populer agar sesuai dengan kemujuan jaman dan budaya kontemporer.
Perkembangan jaman akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong terjadinya
perubahan prilaku manusia terutama dalam menanggapi persoalan hidup mereka. Orientasi hidup
mereka menjadi demikian rasional dan segala sesuatu nampaknya ingin selalu dapat dibuktikan
dengan format-format keilmuan.
Apapun bentuk dari tawaran tersebut, Agama yang selama ini hanya dijalani dengan pe-ngerahan
ketaatan dan kepasrahan optimal menjadi tidak relevan dihadapan masyarakat yang hanya
menonjolkan sisi rasionalitasnya saja. Cerita Goib yang selama ini hanya membutuhkan
pengimanan tampa pertanyaan balik menjadi tidak populer dikalangan manusia terpelajar dan
rasional.
Sebagai umat beragama, fenomeno sosial tersebut membuat kita harus mengkaji ulang dan
sekaligus bertanya ; Sudah sedemikiankah kondisi obyektif masyarakat kita !, Sudah hilangkan
kemampuan agama dalam mensuport dan mempengaruhi pemeluknya ! Maka mau atau tidak
mau nampaknya kita harus melakukan “Modernisasi”. Modernisasi dalam pengertian yang
seluas-luasnya bukan modernisasi karena suatu desakan yang temporer saja. Ada beberapa alasan
yang dapat kita kemukakan untuk menjadikan modernisasi sebagai alternatif, yaitu :
1. Perkembangan dan kemajuan jaman ternyata telah memicu perubahan mendasar terhadap
orientasi dan tujuan hidup manusia.
2. Ajaran-ajaran agama itu sendiri memerlukan aktualisasi sehingga ia tetap dapat mengkontrol
moralitas manusia.
3. Berkembangnya satu pemikiran bahwa pandangan dan pemikiran orang terhadap agama itu
bersifat relatif dan kondisional.

Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang dapat menjadikan agama tetap dihargai sebagai sumber
nilai kehidupan, menjadi alat kontrol moralitas manusia, sebab dalam kepentingan itu agama
dapat memperlihatkan eksistensi. Untuk memperoleh daya guna seperti itu agama harus dapat
memperbaharui dirinya sendiri dalam artian pemeluknya dapat membersihkan citra agama dari
suatu yang tidak efektif dan irrasional. Dalam pandangan seperti itu Dr. Nurcholis Madjid
memberikan pengertian Modernisme. Ia mengatakan modernisme adalah rasionalisme artinya
menata ulang pemikiran dan tata nilai yang tidak rasional untuk memperoleh daya guna dan
efektifitas.
Dalam kesempatan yang lain, Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran agama Islam perlu
dilakukan sekulerisasi. Sekulerisasi dalam pengertian perlu adanya pemisahan yang tegas segala
sesuatu yang merupakan bagian dari agama dengan segala sesuatu yang bukan bagian dari
agama. Hal tersebut untuk membersihkan segala hal yang selama ini dianggap bagian dari
agama, akan tetapi bukan merupakan bagian dari agama. Segera setelah gagasan sekulerisasi
dilemparkan, maka berkembanglah polemik disekitar pemikiran sekulerisasi ajaran Islam
tersebut. Sebagian mereka mengganggp bahwa Nurcholis telah terbius westernisasi dan sebagian
lagi masih bingung membahas penggunaan kata-kata sekulerisasi dalam ilmu sosial yang
dikaitkan dengan agama.

Untuk mengakhiri polemik tersebut sekaligus memberikan penjelasan inti atau dasar gagasan
sekulerisasi tersebut, Nurcholis Madjid sekali lagi tampil kepentas wacana pemikiran umat
Islam, dengan mengatakan bahwa Modernisasi bukanlah westernisasi melainkan rasionalisasi
dan Sekulerisasi adalah uapaya desakralisasi artinya memilah dan meletakkan yang sakral (suci/
agama) adalah sakral dan yang profan (benda/dunia dan bukan agama) adalah profan.
Polemik terhadap kemampuan agama dalam kehidupan manusia tersebut nampaknya telah
melahirkan polarisasi pemahaman dan pemikiran dikalangan umat Islam, terutama yang
berkaitan dengan kemampuan dan peran agama dalam kehidupan dewasa ini. Namun demikian,
tidaklah semua pemeluk Islam beranggapan bahwa Islam telah kehilangan daya tariknya, karena
bagaimanapun Islam adalah ajaran kebenaran dan kebenaran itu sendiri me-rupakan alasan untuk
dibenci dan dihancurkan. Polemik pemikiran terhadap perlu dan tidaknya modernisasi dalam
Islam membuat pemeluk Islam terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Tradisionalis yaitu kelompok yang menganggap bahwa agama itu bersifat dogmatik dan tidak
perlu dilakukan pengkajian. Mereka adalah orang-orang fatalisme (jabariyah)
2. Modernisme Klasik yaitu kelompok yang menganut keterbukaan dan kebebasan dalam
melakukan penghayatan agama. Bahkan mereka cenderung kebarat-baratan.
3. Universalisme (Internationalis) yaitu kelompok yang menganggap bahwa apa yang ada di-
dalam ajaran agama Islam itu telah sempurna dan melebihi dari cukup untuk mengatur
kehidupan manusia.
4. Neomodernisme yaitu kelompok yang beranggapan bahwa ajaran agama itu memang sem-
purna tetapi untuk aktualisasinya diperlukan metode dan cara sehingga Islam tetap aktual dan
dapat mengikuti perkembangan jaman

Menurut Fazlur Rahman (Islam dan Modernitas), Neomodernisme tersebut merupakan konsep
unggulan dalam menempatkan ajaran agama Islam dimasa yang akan datang dengan tidak
menghilangkan atau kehilangan masa lalunya, sebab ia melakukan dua agenda kegiatan yaitu
kegiatan antisipatif kedepan dan meletakkan masa lalu sebagai sumber nilai apabila masa lalu itu
baik dan representatif untuk dikembangkan Al Muhafadhotu alal Qodiim Ash Shalih Wa Al
Ahdhu bi Al Jadiidi Al Ashlah).
Dari beberapa pemikiran tersebut, maka perlu diketahui bahwa Modernisme yang dikembangkan
oleh Fazlur Rahman dan kemudian di Indonesia dikembangkan oleh Nurcholis Madjid adalah
murni rasionalisasi pemikiran dan reformasi pemikirian artinya melakukan pe-rubahan terhadap
cara pandang dan pikir mereka terhadap ajaran agama Islam sebagai sumber nilai kehidupan
masyarakat. Proses tersebut jelas tidak dimaksudkan untuk memperbaharuhi subtansi dan isi dari
ajaran agama itu sendiri.
Nurcholis Madjid melihat bahwa didalam al Qur’an terdapat teks yang menghendaki proses
berkembangnya pemikiran dengan melakukan secara terus menerus pembelajaran, pengkajian
dan penelitian terhadap alam (QS. Yunus : 101), melakukan pemikiran yang terus menerus
terhadap ke-jadian alam (QS. Ali Imron :190-191), dan hidup dengan melakukan analisa dan
perbandingan serta tidak taklid (Qs. Al Baqarah : 170). Oleh sebab itu setiap manusia muslim
seharusnya me-nya bahwa potensi untuk berbeda dan melakukan perubahan atau pembaharuan
dalam Islam senantiasa akan terus terjadi.
Dengan demikian pembaharuan (reformasi dan Modernisasi) diperlukan oleh setiap umat
manusia dalam memandang ajaran agamanya dikarenakan beberapa hal, yaitu :
· Kebutuhan natural kemanusia yang juga diakui oleh Al Qur’an.
· Untuk membangun pola pikir yang tangguh
· Untuk melakukan aktualisasi ajaran agama sehingga agama akan tetap dapat mengkontrol
moralitas pemeleknya dalam kehdiupan.

TUJUAN DAN SASARAN PEMABAHARUAN


Melihat perkembangan dan kemajuan zama tersebut, maka nampaknya perubahan orientasi dan
pemikiran keagamaan harus senantias berubah dan berkembang. Untuk itu maka setiap program
pembaharuan dan modernisasi selalu diarahkan untuk aktualisasi dan realisasi ajaran agama se-
hingga akan tetap dapat memberikan makna dan arti bagi pemeluknya. Di samping itu pem-
baharuan diperlukan dalam rangka untuk membangun kembali semangat dan ketahanan umat
Islam terutama menumbuhkan tradisi intelektual dan keilmuan dalam Islam.
Dalam hal ini pembaharuan adalah program rasionalisasi pemikiran dikalangan umat Islam
dengan prinsip bahwa Islam itu sangat rasional dan harus didekati dengan pola pemikiran yang
benar dan ilmiyah. rasionalisasi juga berarti menghilangkan sesuatu yang tidak semestinya bagi
agama Islam.
Dari konsep ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa pembaharuan berfungsi :
· Reaktualisasi ajaran agama Islam dalam kehidupan.
· Rasionalisasi ajaran agama Islam sehingga terbebas dari unsur-unsur TBC (sesuatu yang tidak
layak dianalogikan kepada agama).
· Membangun kembali kekuatan Islam untuk mendorong semangat kebangkitan dikalangan umat
Islam (Pemikiran, ekonomi dan politik).

Untuk itu sasaran pembaharuan seharusnya diarahkan kepada sesuatu yang reltifitas dan
temporer atau kondisional termasuk dalam karegori ini adalah pemikiran yang berkaitan dengan
dunia modern akibat kemajuan ilmu pengetahuan atau dengan kata lain ia harus bersifat
antisipatif dan aktualisasi. Pembaharuan tidak termasuk didalamnya kerangka dasar dan bingkai
keyakinan (kepercayaan) atau hal-hal yang secara absolut (pasti) telah ditegaskan oleh Al Qur’an
dan Al Hadits.

BEBERAPA PEMIKIRAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM

Oleh : Drs. Ihsan

PENDAHULUAN
Kemunduran Islam sebagaimana yang telah banyak digambarkan oleh para pemikir Islam
membawa dampak yang sangat general bagi perkembangan sosial, ekonomi, politik dan
intelektual umat Islam. Kemunduran umat Islam juga tidak dapat ditimpakan kepada satu
kelompok atau orang tertentu sebagai yang bertanggung jawab atau setidaknya menjadi
kontributor utama dalam proses kemunduran tersebut. Kemunduran Islam adalah fenomena yang
general untuk menggambarkan masa ketidak mampuan umat islam berperan dalam sisi
keduniaannya. Secara umum sistuasi umum umat Islam pada saat mengalami kemunduran adalah
sebagai berikut :
A. Sosial Politik
1. Wilayah kekuasaan Islam banyak yang lepas dan dikuasai oleh negara-negara Eropa diantara
mereka ada yang merdeka dan kemudian memukul balik kekuasaan Islam.
2. Wilayah kekuasaan Islam banyak yang lepas dan dikuasai oleh negara-negara Eropa diantara
mereka ada yang merdeka dan kemudian memukul balik kekuasaan Islam.
3. Struktur sosial politik umat Islam menjadi lemah, sehingga umat Islam cenderung mengalami
dependente (ketergantungan dengan dunia Barat).
4. Ketergantungan umat Islam kepada mereka menyebabkan lahirnya ketimpangan struktural
yang menempatkan umat Islam menjadi budak/buruh atau kaum marginal/kaum pinggiran
lainnya.

B. Ilmu Pengetahuan dan Budaya – tradisi keilmuan


1. Umat Islam tidak lagi memiliki ilmu yang dapat dibanggakan karena kehebatannya. Lebih dari
itu umat Islam hanya mengikuti penemuan ilmiyah yang dilakukan oleh orang Barat.
2. Memudarnya kemegahan kebudayaan Islam yang ditandai dengan menurunnya tradisi berfikir
dan kebekuan berfikir – mereka sedang terbuai impian kemegahan umat Islam masa lalu,
kenyataannya mereka dalam keadaan miskin, terjajah oleh bangsa Barat dan terhina.
3. Berkembangnya budaya imitasi terhadap budaya Barat sebagai wujud ketidakber-dayaan
struktural.
4. Munculnya slogan pintu Ijtihad telah tertutup. Slogan tersebut muncul dikarenakan tiga hal,
pertama untuk menggambarkan kelemahan berfikir umat Islam; kedua dimunculkan agar umat
Islam tidak melakukan ijtihad karena kelemahan ilmu yang dimiliki atau legali-asi untuk
kepentingan politik tertentu dan ketiga slogan tersebut sengaja dilontarkan orang Barat untuk
menghambat proses berfikir umat Islam.

C. Pengamalan Agama
1. Berkembangnya budaya Taklid (mengikuti susuatu tampa analisa), bid’ah (meng-adakan
tradisi yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi) dan khurofat (mempercayai hal-hal yang tidak
sesuai dengan visi keimanan).
2. Al Qur’an Hadits tidak lagi menjadi pedoman hidup – dan digantikan oleh fatwa ulama atau
sufi, sehingga kuburan para ulama lebih ramai ketimbang masjid.
3. Berkembangnya mistik dan kebatinan dilingkungan umat Islam yang banyak di-pengaruhi
oleh Animisme dan Hinduisme yang kemudian melahirkan agama yang Sinkritisme.

Melihat kenyataan tersebut, maka pemikir-pemikir Islam mencoba untuk meng-hentikan


kebiasaan buruk dan menghidupkan kembali tradisi zaman Nabi dengan menempatkan Al
Qur’an dan Hadits sebagai pedoman Hidup. Orang-orang tersebut misalnya Ibnu Taimiyah
dengan gagasan kembali pada prinsip-prinsip “Muhyi Atsaris Salaf”/menghidupkan kembali
tradisi orang terdahulu) dan juga Muhammad bin Abdul Wahab dengan gerakan “Mu-wahiddin”
yaitu gerakan kembali kepada Keesaan Allah. Tetapi orang-orang yang tidak suka dengan
gerakan “Muwahiddin” menyebut gerakan tersebut dengan “Gerakan Wahabi” sebagai salah satu
bentuk pelecehan terhadap Muhammad bin Abdul Wahab.
Gerakan Pembaharuan atau Tajdid adalah proses membangkitkan kembali semangat dan ruh
Islam dalam kehidupan umat Islam, karena semangat dan ruh Islam telah di-gantikan oleh
kepercayaan lain. Gerakan pembaharuan juga dapat diartikan sebagai Proses aktualisasi pema-
haman dan pemikiran umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri agar meningkat kualitas
pengamalan dan pemahaman umat terhadap ajarannya. Dengan demikian tujuan pembaharuan
umat Islam adalah membangkitkan semangat dan ruh keislaman dalam diri umat Islam dan
merubah cara pandang/aktualisasi umat dalam memahami ajaran agamanya.

Dengan demikian, proses pembaharuan Islam hanya menyangkut prilaku umat Islam dalam
pengamalan dan pemahamannya terhadap ajaran agamanya, tidak menyangkut subtansi dan juga
tidak termasuk mensiasati ajaran Islam agar dapat mengikuti per-kembangan zaman, sebab Islam
sendiri sangat prospektif dan sesuai dengan perkembangan zaman.

KARAKTERISTIK PEMBAHARUAN ISLAM


A. Bentuk Pembaharuan Islam dibelahan dunia lain
Proses pembaharuan yang dilakukan oleh umat Islam memiliki stresing yang berbeda sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Dalam kurun waktu 3 abad, proses
pembaharuan memiliki ciri-ciri yang berbeda yaitu :
1. Abad 17 dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dengan gerakan Muhyi Atsaris Salah. Gerakan ini
mengajak umat Islam untuk kembali kepada Tradisi Nabi sekaligus mengembang-kan tradisi
berfikir rasional. Gerakan Ibnu Taimiyah hanyalah Sock Therapy yang dampaknya baru bisa
dilihat pada masa berikutnya.
2. Abad 18 di pelopori oleh Muhammad Bin Abd. Wahab, dengan ciri :
a. Pembaharuan Theologis – pembaharuan bidang kepercayaan dari hal TBC
b. Dilakukan untuk kembali kepada teks Al Qur’an dan al Hadits
c. Pembaharuan dengan arah memurnikan ajaran Islam dari TBC
3. Abad 19 di pelopori oleh Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh
a. Pembaharuan Theologis yaitu pembaharuan bidang kepercayaan untuk membangun semangat
Islam.
b. Pembaharuan bersifat politik yaitu membangun kembali kekuatan politik umat Islam dengan
jalan mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Untuk mewujudkan hal tersebut Jamaluddin
Al Afghani melakukan dua hal, yaitu
- Mengobarkan semangat solidaritas Islam melalui Pan Islamisme (Persaudara-an Islam).
- Menerbitkan majalah Al Urwatul Wutsqo sebagai instrument penyebar Informasi kebudayaan
dan perjuangan.
c. Pembaharuan Pendidikan yaitu membangun kembali dunia pendidikan Islam agar umat Islam
mampu meraih pencerahan dibidang Intelektual (M. Abduh)
4. Abad 20 dipelopori oleh M. Rasyid Ridho dan M. Iqbal
a. Pembaharuan pemikiran (Modernisasi) artinya proses membangkitkan umat Islam dari sisi
cara berfikir untuk mengejar ketertinggalan terhadap dunia Barat sebagai mana yang
diungkapkan oleh M. Iqbal dalam buiku “Membangun kembali alam pikiran Islam”.
b. Meningkatkan kualitas umat dengan jalan memperkuat pendidikan generasi muda Islam
(Scholarship).

B. Pembaharuan Islam di Indonesia


Proses Pembaharuan Islam Indonesia sudah berkembang sejak lama, seiring dengan proses
pembaharuan yang dilakukan oleh para mujaddid. Secara umum proses pembaharuan Islam
Indonesia melalui beberapa tahap :
1. Abad ke 19 proses pembaharuan Islam dilakukan oleh ulama Sumatra Barat dengan gerakan
Paderi pimpinan Imam Bonjol. Gerakan tersebut pada awalnya adalah gerakan pemurnian ajaran
Islam dari tradisi yang dipegang oleh tokoh adat (Purifikasi Islam) – tetapi perkembang menjadi
perjuangan nasional karena campur tangan Belanda.
2. Abad ke 20 proses pembaharuan tersebut dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan
Dakwah Muhammadiyah – ia berusaha membersihkan Islam dari noda TBC (Tahayyul. Bid’ah
dan Khurofat).
3. Pertengahan abad 20 (1970 – an) yang dipelopori oleh intelektual muda umat islam Indonesia
yaitu Dr. Nurcholis Madjid yang berusaha membangun citra intelektual Islam dan aktualisasi
ajaran Islam artinya memberikan pemikiran modernis agar nilai Islam tetap dapat dilaksanakan
dalam perkembangan dunia yang mutakhir sekalipun..
BEBERAPA PEMIKIRAN PEMBAHARUAN DALAM ISLAM

A. Muhammad bin Abdul Wahab atau Gerakan Wahabi


Muhammad bin abdul Wahab lahir di kota Ayibah (Ayinah) tahun 1703 dan wafat tahun 1792
M. Ia termasuk seorang yang gemar melakukan petualangan, terutama untuk memperdalam
kemampuan keagamaan dan pengembangannya. Di tempat kelahirannya, tempat yang dikenal
sebagai tempat yang paling murni mengamalkan agama Islam yaitu Madinah; di tempat ini ia
memperoleh pendidikan hukum, yang didalamnya termasuk tradisi bid’ah.
Setelah beberapa tahun berpindah-pindah maka ia kemudian menetap di kota kelahirannya,
Ayyinah (Nejd) untuk memperkenalkan program atau aksi baru dalam membangun dan memur-
nikan ajaran Islam. Ia menamakan gerakan pembangkitan umat dan pemurnian Islam tersebut
dengan gerakan “Muwahhiddin”, gerakan untuk kembali kepada ajaran ketauhidan yang selama
ini telah hilang dari ajaran Islam. Cita-cita muwahhiddin adalah mengembalikan Islam pada sisi
kebenaran dan kemurniannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun
demikian, bagi musuh-musuh gerakan muwahhiddin (kaum konservatif dan para sufisme)
menganggap gerakan tersebut sebagai sesuatu yang membahayakan, maka mereka kemudian
dinamakan dengan “Gerakan Wahabi” (untuk selanjutnya disebut gerakan Wahabi).
Menurut Drs. Imam Munawir, inti dari gerakan Wahabi adalah sebagai berikut :
1. Melakukan usaha pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada sumber aslinya yaitu Al
Qur’an dan Al Hadits.
2. Membersihkan tauhid dari noda syirik
3. Membersihkan ibadah dari segala bentuk bid’ah.
4. Memberantas segala bentuk formalisme atau simbolitas tampa amal perbuatan dalam agama
dengan menekankan hidup sederhana.

Jika kita lihat secara rinci, nampaknya Muhammad Bin Abdul Wahab sangat dipe-ngaruhi oleh
pola pemikiran Ibnu Hambal (Mahzab Hambali) yang menekankan pada otoritas Al Qur’an dan
Al Hadits sebagai sumber Islam yang asli. Pola kembali pada dua otorita Islam yaitu Al Qur’an
dan Al Hadits adalam bentuk pemikiran yang berkembang di Madinah, termasuk pemikiran yang
dikembangkan oleh Ibnu Hazm (1350 M) dan Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah (1327 M.) yang
keduanya merupakan guru dari Muhammad Bin Abdul Wahab.
Ibnu Taimiyah yang sangat terkenal karena program menghidupkan kembali ajaran salaf (Muhyi
Ats Tsar As-Salaf) dengan hanya mengakui apa yang telah dikembangkan oleh Rasul dan para
shahabat, telah memberi semangat dan inspirasi bagi Gerakan Wahabi untuk mengembangkan
sisi kehdipan yang hanya didasarkan pada kedua otoritas tersebut.
Walaupun kehadlirannya sangat dibutuhkan untuk mengembalikan semangat tauhid, akan tetapi
dalam rentang sejarah perkembangannya, kita menemukan berbagai perlawanan baik yang
dilakukan secara individual dan kolegial maupun yang dilakukan oleh beberapa kerajaan yang
khawatir terancam eksistensinya. Gerakan-gerakan anti Wahabi tersebut terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu :
1. Kerajaan Turki Ustmani di Istambul dalam hal ini Sultan Muhammad. Bahkan untuk meng-
halangi perkembangan gerakan Wahabi, Sultan Muhammad Ali merekrut kepada siapa saja yang
tidak suka terhadap gerakan Wahabi.
2. Masyarakat yang pada waktu itu sedang tidur, maka gerakan Wahabi nampak seperti sesuatu
yang sedang mengganggu tidur mereka.
3. Kelompok sufi (Tasawuf) yang sementara itu menjadi pendukung kehidupan bid’ah atau
program nativisme yang lain.

Gerakan Wahabi menjadi motor pembaharuan Islam pada abad ke 18. Apalagi dicermati
memiliki karakteristik yang berbeda dengan gerakan pembaharuan Islam pada masa-masa
berikutnya. Karakteristik yang menonjol adalah sebagai berikut :
1. Sebagai gerakan theologis artinya sasaran pembaharuan adalah pemurnian cara pengamalan
umat Islam dan sekaligus ajaran Islam, dengan hanya bersandar pada konsep kepercayaan dan
peribadahan yang berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits.
2. Sebagai gerakan Literalis dan Tekstualis artinya gerakan yang hanya mengakui otoritas teks
Al Qur’an dan Al Hadits dengan menekankan pentingnya formalitas dalam pengamalan agama,
dan bukan hanya diamalkan dalam bentuk bathiniyah sebagaimana yang dilakukan oleh para
sufis dan pengamal mistisisme. Dengan demikian gerakan ini adalah gerakan antibode dari
sufisme dan mistisisme.
3. Sebagai gerakan anti Intelektual dan Filsafat artinya gerakan yang mengedepankan
rasionalisme dalam beragama, terutama dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadits. Gerakan
ini hanya mematuhi kebenaran Al Qur’an dan Al Hadits dan bukan kebenaran rasional atau
Filsafat, hal tersebut untuk menjaga kemurnian Islam.
4. Sebagai gerakan anti kejumudan dan kemandegan berfikir dengan mengatakan bahwa pintu
Ijtihad masih terbuka, dalam rangka melahirkan tradisi dan kebebasan berfikir dikalangan umat
Islam. Walaupun demikian, gerakan tersebut tidaklah se-buah gerakan rasional dan juga bukan
gerakan sufisme, karena gerakan ini berdiri di antara intelektualisme dan kehangatan serta
kesalehan sufisme dan mistisisme.

B. Jamalauddin al Afghani

Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1838 sebagai seorang anak
dengan kualitas Intelektual yang sangat luar biasa. Pada umur 18 tahun ia telah menguasai
berabagi cabang ilmu pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum dan agama. Karena
keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka pada saat umur 18 tahun tersebut ia telah
mempesona dunia intelektual dan politik dengan gaya agitasinya yang sungguh menakjubkan.
Pengaruh agitasinya tersebut telah melahirkan suatu revolusi di Afganistan (Kabul) yang
memaksa dia harus mengungsi ke India untuk kali pertama pada 1867, sebagai awal dari
petualangan keilmuan dan politiknya.
Di India, Jamaluddin juga melakukan agitasi untuk membangkitkan semangat perlawan-an
terutama terhadap pemerintah kolonial. Agitasi tersebut juga menimbulkan dampak yang luar
biasa, yang memaksa dia meninggalkan India dan pergi ke Hejaz (Makkah). Kemudian pergi ke
Mesir untuk membangkitkan semangat persaudaraan Islam pada tahun 1857, tetapi dia tidak
lama, karena ia kemudian pergi ke Turki dengan sasaran pada Universitas Istambul, yang serta
kehadlirannya menarik minat kalangan perguruan tinggi tersebut dan menyebabkan tumbuhnya
kecemburuan dikalangan akademisi Universitas Istambul, maka ia kemudian kembali lagi ke
India untuk kali kedua pada tahun 1869.
Tapi nampaknya India adalah sebuah persinggahan sementara, karena ternyata penga-ruh
Jamaluddin telah menumbuhkan semangat kebangsaan untuk melawan Inggris, yang sudah
barang tentu sangat dibenci oleh mereka. Maka pada tahun 1871 ia pergi ke Mesir untuk kali
kedua dan berdiam di sana selama 8 tahun (1879). Setelah itu ia kembali lagi ke India tepatnya di
Hyderabad Deccau, pada tahun 1879 dan menerbit-kan sebuah buku yang sempat menggegerkan
dunia barat yaitu “Pembuktian kesalahan kaum Matrialis”.
Jalamaluddin nampaknya identik dengan petualangan intelektual dan politik, sebab bukan hanya
bumi Tuhan yang di Timur saja, yang sempat disinggahi, tetapi bumi Tuhan yang lain, di Eropa
juga menjadi ladang persemaian agitasi solidaritas Islam. Di Perancis ia menggunakan media
komunikasi sebagai instrumen penyebaran ajaran solidaritasnya. Al Urwat al Wutsqo adalah
media cetak yang memberi andil besar bagi tumbuhnya rasa bangga terhadap diri, ter-utama
sebagai pemeluk agama Islam. Setelah itu ia kemudian pergi ke London pada tahun 1891 untuk
mensosialisasikan gagasan Pan Islamisme dan kebangkitan umat Islam.
Pada tahun 1892 ia kembali ke Istambul dan mendapat sambutan yang luar biasa dari kerajaan
Turki Utsmani dengan diberi hadiah uang 775 pound dan tempat tinggal yang sangat layak, akan
tetapi jiwa Jamaluddin bukanlah jiwa konseptor yang hanya duduk di belakang meja, tetapi jiwa
dia adalah konseptor dan petualang, maka ia kemudian pergi ke Parsi untuk membangkitkan
semangat perlawanan rakyat, meng-kritik habis pola pemerin-tahan otokrasi Shah Nasiruddin
Qochar, yang ternyata efektif membangkitkan perlawanan rakyat, sehingga Shah Qachar
terbunuh pada 1 Mei 1895 dalam pergolakan rakyat tersebut.
Walaupun demikian, nampaknya petualangan Jamaluddin Al Afghani harus terhenti oleh
kekuasaan Tuhan, karena pada tahun 1895 ia terkena serangan kangker rahang dan pada 9 Maret
1897 ia dipanggil Allah untuk mempertanggung jawabkan amal duniawinya.
Dalam melakukan pembaharuan Islam, Jamaluddin memilki kecenderungan yang berbeda
dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Perbedaan Pola dan bentuk gerakan pembaharuan
tersebut adalah :
1. Pembaharuan system berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus mening-galkan
pola pikir tradisional yang dogmatik.
2. Upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan
aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di
dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam
percaturan dunia.

Melihat hal tersebut, maka orientasi pembaharuan Islam Mesir terutama yang dilakukan oleh
Jamaluddin Al Afghani lebih mengarah kepada pembaharuan cara ber-politik dikalangan umat
Islam. Oleh sebab itu gerakan pembaharuan Mesir atau gerakan Jamaluddin Al Afghani adalah
gerakan Politik. Untuk mengetahui lebih jelas pemikiran pembaharaun Jamaluddin Al Afghani,
berikut ini adalah pokok-pokok pikirannya :
1. Islam mengalami kemunduran dan kejumudan berfikir bukan disebabkan oleh karena Islam
tidak lagi lagi sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan keada-an masa kini, melainkan
karena umat Islam tidak mampu menginterpretasikannya dengan kemampuan ijtihad dan
kebanyakan umat Islam telah meninggalkan ajaran-nya dengan mengikuti ajaran baru yang
dimanipulisir untuk kepentingan asing.
2. Bahwa kemunduran Islam dilapangan politik disebabkan oleh :
a. Desintegrasi politik atau perpecahan dikalangan umat Islam
b. Corak pemerintahan yang bersifat Absolut (otoriter)
c. Pemimpin negara yang tidak disukai oleh rakyat (tidak kredible).
d. Mengabaikan masalah pertahanan atau militerisasi.
e. Administrasi dipegang oleh mereka yang tidak berkopenten.
f. Adanya intervensi oleh negara asing.

Untuk itu diperlukan pola pemerintahan yang dapat menarik partisipasi masya-rakat secara aktif
dalam bentuk demokratisasi dan terbentuknya majlis syuro yang menjamin adanya partisipasi
masyarakat secara komunal dan individual.
3. Bahwa untuk pembaharuan dan pengembangan semangat keislaman perlu digalakan
solidaritas Islam dalam bentuk program aksi “PAN ISLAMISME” . Gerakan Pan Islamisme
tersebut berusaha melakukan pembaharuan di bidang perpolitikan Islam dengan tujuan
menyadarkan umat Islam dari bahaya dominasi bangsa asing. Oleh sebab itu perlu diadakan
kegiatan-kegiatan :
a. Agitasi dan propaganda untuk menggerakkan kaum muslimin agar melakukan perge-rakan
pemikiran dan pergolakan kebangsaan.
b. Melakukan gerakan anti Eropa mulai tahun 1882 sebagai reaksi masuknya Inggris pada tahun
1880.
c. Melakukan agitasi dan klarifikasi guna merubah sikap dan pandangan bangsa Eropa yang
mengatakan bahwa :
• Nasionalisme dan Patriotisme bukanlah sebuah gerakan fanatisme dan ekstrimisme
• Penghargaan dan kemulyaan diri yang sedang diperjuangkan bukanlah sebuah Chauvinisme
seperti yang dituduhkan oleh bangsa asing.

4. Bahwa untuk mensosialisasikan dan mengembangkan gagasan pembaharuan politik, maka di-
dirikan media “Al Urwat Al Wutsqo” yang didirikan di Perancis pada tahun 1884 bersama murid
nya yaitu Muhammad Abduh, yang hanya berumur 8 bulan, tetapi mempunyai dampak yang luar
biasa, yaitu berkembangnya semangat me-nentang bangsa Barat dan adanya usaha untuk
menghidupkan kembali kebudayaah Islam serta adanya semangat untuk mempersatukan umat
Islam di dunia.
C. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan di Mualat Nasar Mudiriyah Mesir Hilir pada tahun 1849, dan pada
umur 10 tahun (th. 1859) ia telah mampu menghafal Al Qur’an. Pada tahun 1866 ia mema-suki
pendidikan di Universitas Al Azhar dan di pusat pengkajian Islam ini mulai tampak ke-mampuan
intelektual yang sangat luar biasa. Hal tersebut dibuktikan dengan kritik pendidikan yang
dikembangkannya, ia melihat bahwa system pendidikan di Universitas Al Azhar sangat kuno dan
lamban untuk dapat mengikuti perkembangan zaman serta sangat terikat dengan aturan-aturan
tradisional, untuk itu perlu diganti dengan metode modern yang ternyata lebih efektif (Pelajaran
2 tahun dapat diselesaikan dalam waktu 1 hari).
Pada saat menjadi rektor Universitas Al Azhar tahun 1901, ia melakukan reformulasi system
pendidikan di lembaga kajian kebanggaan Islam tersebut. Ia mengatakan bahwa pendidikan
harus memperhatikan relevansi dan signifikansinya terhadap kehidupan manusia. Ada dua dasar
pertimbangan diberlakukannya pokok kajian keilmuan, yaitu :
1. Relevensi ilmu dengan alokasi waktu yang dibutuhkan
2. Relevansi ilmu dengan kebutuhan hidup manusia (Human Needs).

Dengan demikian suatu ilmu itu tidak perlu diajarkan dan sekaligus dipelajari kalau secara
prinsip tidak mempunyai relevansi dengan kebutuhan hidup manusia dan alokasi waktu yang
dibutuhkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Pembaharuan aspek sistem pendidikan mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap berkembangnya kualitas umat Islam dan kalau itu terjadi akan
mendorong lahirnya gerakan baru yaitu gerakan kesadaran kemanusiaan.
Di samping pemikiran-pemikiran tersebut, juga terdapat program pembaharuan lain yang
ternyata juga sangat penting, karena menyangkut jiwa dan api Islam dalam diri umat. Pemba-
haruan bidang theologi adalah purifikasi ajaran Islam untuk memperoleh semangat keislaman,
yang dilakukan dengan jalan :
1. Memerangi sikap hidup yang fatalisme dan taklid
2. Melakukan liberalisme dalam pemikiran dan pemahaman keislaman, terutama dalam
memahami hukum-hukum Islam tetapi masih dalam kerangka menjaga kesucian dan ke-benaran
wahyu itu sendiri.
3. Melakukan upaya pembangunan kembali (Reformulasi) teks hukum Islam klasik agar lebih
sistematis dan rasional sehingga dapat memberi manfaat bagi kehidupan.

Dalam konteks seperti itu, maka sosok Muhammad Abduh adalah seorang rasionalis dan
menekankan pemikiran filsafat sebagai landasan dalam berfikir keislaman. Bagai-manapun
sangat kurang representatif jika kita menilai Muhammad Abduh hanya dengan mengkaji
pemikiran-pemikiran tersebut di atas, untuk itu diperlukan perluasan pemikiran lain, yang
kemudian dapat kita pakai sebagai parameter untuk membandingkan antara pola pembaharuan
Muhammad Bin Abdul Wahab dengan Jamaluddin Al Afghani dan dengan Muhammad Abduh
itu sendiri. Berikut ini adalah pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh :
1. Logika (Cara berfikir Rasional)
a. Mengakui adanya kebenaran Logika (hasil pemikiran manusia)
b. Bahwa pengakuan kebenaran logika yang membawa pada pengkajian filsafat harus kepada
teks aslinya dan bukan kepada teks komentar yang dihasilkan.
c. Kepercayaan dan keimanan dapat diperkokoh dan dipertebal dan bukannya diperlemah
keadaannya dengan memberikan bukti-bukti rasional.
d. Logika atau pemikiran rasional kritis bukanlah sebuah “Academic Exircise” tetapi merupakan
instrument positif untuk membentuk pemikiran yang konstruktif.
e. Logika adalah kunci terbukanya pintu ijtihad
f. Islam rasional adalah bentuk pemahaman terhadap ajaran Islam yang membebas-kan diri dari
ketergantungan, karena kehadliran Islam adalah pembebasan dari ketergantungan terhadap
pendeta dan perantara lain dan langsung berhadapan dengan Allah.

2. Etika atau moralitas manusia.


a. Bahwa perbedaan buruk dan baik adalah suatu yang natural atau alami, sehingga dapat
diketahui oleh akal tampa bimbingan wahyu artinya tampa harus ada dan menanti turunnya
Wahyu.
b. Bahwa Islam harus mengakui natural morality (moralitas atau kebenaran alami) yang
seharusnya tidak ada perbedaan dengan Religiositas Morality (kebenaran berdasarkan agama)
artinya bahwa sesuatu yang dianggap benar oleh natural morality seharusnya juga benar apabila
dihadapkan pada Religiositas Morality. Hal tersebut disebabkan adanya satu anggapan bahwa
kebenaran atau kebathilan merupakan sesuatu yang otonom dalam prinsip moralitas. Pemikiran
tersebut juga dikembangkan oleh Mu’tazilah, Al Farabi dan Ibnu Rusyd (filosof Islam yang lahir
di Andalusia-Spanyol).

3. Konsep Sosiol (nilai kemasyarakatan)


a. Bahwa masyarakat tumbuh dan berkembang secara evolusi atau mengikuti hukum alam,
sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Khuldum dalam buku Mukaddi-mahnya.
Sebagaimana buku Risalah At Tauhid karya Muhammad Abduh. Bahkan dalam konsep
kemasyarakatan, Muhammad Abduh selalu menampilkan hasil pemikiran umat Islam, dengan
demikian ia bermaksud untuk mengangkat kembali kebudayaan Islam ditengah-tengah
pergulatan pemikiran dan kebudayaan dunia.
b. Masyarakat atau manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan integrasi sosial baik
secara fisik, intelektual dan moral , untuk amat sangat sulit jika manusia hidup dalam kesendirian
dan tidak integrated. Manusia membutuhkan solidaritas dan kesatuan dalam hidup, lebih dari itu
maka pendidikan masyarakat harus diarahkan kepada hal yang bersifat Altruistik.

Pemikiran pembaharuan tersebut dilakukan dalam rangka membangkitkan kembali dunia Islam
agar ia dapat berkembang dalam aktualisasi dunia yang sangat cepat dan aplikatif tersebut.
Secara khusus bahwa program pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai 3 tujuan utama,
yaitu :
1. Membebaskan akal manusia dari rutinitas yang membosankan
2. Membebaskan manusia Islam dari budaya imitasi (meniru) yang cenderung mencerabut rasa
kebanggaan diri dan kemampuan aktualisasi diri.
3. Membebaskan manusia muslim dari kemandegan berfikir (Stagnasi Intelektual).

D. Pembaharuan Islam di India-Pakistan


Sebenarnya bibit pembaharuan Islam di Indo Pakistan telah dimulai oleh Syah Waliyullah,
seorang tokoh agama yang mempunyai beberpa kajian keilmuan dan akses ke masyarakat Islam
secara keseluruhan. Namun demikian gaung pembaharuan yang lebih besar pengaruhnya
terhadap proses pembaharuan, dikembangkan oleh Sayid Ahmad (Syahid – gelar kepahlawanan),
dan kemudian lebih berkembang lagi ketika program pembaharuan tersebut ketika berada
ditangan Sayid Ahmad Khan. Maka untuk mengetahui proses pembaharuan tersebut, akan
dijelaskan beberapa tokoh yang berjasa dalam program pembaharuan Islam, diantaranya :

1. Sayid Ahmad (Syahid) 1786-1831 M.


Sayid Ahmad dilahirkan di India pada tahun 1786 dan meninggal pada tahun 1831 di medan
perang ketika ia bersama-sama dengan kaum muslimin lain berjuang untuk me-negakkan kalimat
Islam. Oleh sebab itu ia kemudian mendapatkan Gelar Syahid.
Sayid Ahmad mempunyai visi pembaharuan yang hampir sama dengan gerakan pem-baharuan di
Arab yang dikenal dengan Gerakan Wahabi, bahkan diasumsikan, Sayid Ahmad banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Wahabi. Persamaan pemikiran dan gerakan tersebut
disebabkan oleh :
a. Gerakan Wahabi dan gerakan pembaharuan Sayid Ahmad terjadi dalam kurun waktu yang
hampir bersamaan, dan kemudian terjadi kontak dalam setiap pelaksanaan ibadah Haji.
b. Dalam kurun waktu tersebut, Sayid Ahmad juga pergi ke Mekkah (Hijaz) untuk beberapa
waktu dan sempat ditahan oleh pemerintah karena menganut prinsip-prinsip Wahabi. Sebab pada
saat yang sama gerakan Wahabi telah dilarang di Makkah.

Walaupun demikian, bukan berarti pemikiran Wahabi telah memberangus seluruh media pikir
dan visi Sayid Ahmad, sebab ternyata banyak juga pemikiran-pemikiran konstruktif lain yang
mengendap dalam media pikirnya, misalnya pemikiran Muhammad Abduh. Untuk mengetahui
pola dan gerakan pembaharuan-nya, berikut ini pendapat dan pemikirannya :
a. Islam mengalami kemunduran tidak disebabkan oleh ajaran Islam yang tidak lagi aktual, akan
tetapi disebabkan oleh :
• Pengamalan agama yang tidak lagi murni dar ajaran agama Islam (Al Qur’an dan al Hadits.
• Berkembangnya tarekat-tarekat yang ternyata banyak kemasukan unsur-unsur non Islam,
Hindu, Budha dan Animisme atau lebih mirip sebuah praktek Sinkri-tisme.
b. Pemurnian ajaran Islam atau purifikasi ajaran Islam dengan menekankan pada gerakan
kembali kepada islam yang murni dari Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, menolak perantara
dalam peribadahan dan Taklid.
c. Pintu Ijtihad tetap terus terbuka, karena dibutuhkan untuk melakukan interpretasi terhadap al
Qur’an, lebih dari itu karena dunia terus mengalami perkembangan dan perubahan, maka
diperlukan kemampuan intelektual (ijtihad) untuk menggali hukum-hukum tersebut.
d. Menentang prilaku ulama tradisional yang mempertahankan status quo terhadap ajaran dan
tidak mau melakukan perubahan.
e. Melakukan gerakan pembaharuan dalam konteks politik, dengan menggelorakan se-mangat
jihad. Gerakan politik tersebut dinamakan dengan “Gerakan Mujahiddin”, yang dimaksudkan
untuk mempertahankan eksistensi Islam.

Penganut ajaran Sayid Ahmad (Syahid) pada perkembangan berikutnya terbagi menjadi dua,
yaitu kelompok Mujahiddin, yang mengembangkan program pembaharuan lewat jihad dan
politik untuk melawan kaum Sikh, dan kedua, kelompok yang lebih menitik beratkan
pembaharuannya pada bidang pemikiran dan pendidikan lewat pendirian Madrasah dan
Universitas. Gerakan yang kedua ini kemudian disebut Gerakan Deoband (nama daerah pusat
pendidikan). Gerakan pendidikan tersebut pada saat akan menjadi ruh dan jiwa lahirnya Gerakan
Aligarh.

2. Sayid Ahmad Khan (1232-1315 H/1817-1898 M).


Sebagaimana yang dikemukakan di muka, bahwa Sayid Ahmad Khan adalah tokoh sentral
pembaharuan di Indo Pakistan, bahkan dalam perkembangan lebih lanjut, ketokohannya di-
samakan dengan Gerakan Wahabi, Gerakan Politik Jama-luddin al Afghani dan Gerakan pe-
mikiran Muhammad Abduh. Dalam artian yang lain, tokoh dari gerakan-gerakan tersebut telah
memainkan peranannya dalam dunia pembaharuan dengan referensi dan kultur serta daerah yang
berbeda. Demikian juga dengan Sayid Ahmad Khan, telah memainkan peranan pembaharuan
dalam perspektif kontemporer, yang disesuaikan dengan perkembangan jaman dan Iptek.
Secara umum terdapat ciri-ciri yang membedakan program pembaharuan tokoh-tokoh tersebut
dengan tema pembaharuan yang dilakukan oleh Sayid Ahmad Khan. Ciri-ciri pembaharuan
pemikiran tersebut adalah :
a. Pembaharuan yang bersifat non politik dengan menekankan adanya kebebasan berfikir
rasional.
b. Ide Pembaharuannya lebih menyerupai modernisasi yaitu proses aktualisasi Islam dengan
menjadikan kemajuan dan kebudayaan Barat (Iptek) sebagai bahan untuk menfsirkan ajaran
Islam (al Qur’an dan al Hadits).
c. Gerakan pembaharuan Islam dilakukan dengan prinsip kooperatif (kerja sama dengan Inggris),
bahkan dalam kesempatan yang lain ia menyatakan rasa takjubnya (keheranan-nya), setelah ia
berkunjung ke London selama 7 bulan. Rasa takjub tersebut harus diikuti dengan :
• Melakukan kerja sama politik
• Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi
• Melakukan interpretasi ajaran islam dengan pemikiran-pemikiran mereka.

Dengan demikian titik tekan gerakan pembaharuan Islam menurutnya adalah pemberdayaan
potensi dan kemampuan Islam, terutama dalam proses transformasi keilmuan dan keseimbangan
politik antara umat Islam dan Inggris. Secara umum, pemikiran-pemikiran Sayid Ahmad Khan
meliputi segala hal, keilmuan modern sebagai awal kajian dan kecen-derungannya dan keilmuan
klasik, yang juga tidak luput dari kritiknya. Dari kajian al Qur’an, al Hadits sampai pada
pemberdayaan pemikiran umat secara umum. Berikut ini beberapa pemikiran Sayid Ahmad
Khan :
a. Al Qur’an
• al Qur’an merupakan satu-satu asas untuk mempelajari Islam. Oleh sebab itu untuk
mempelajari Islam tidak perlu tafsir-tafsir klasik yang berbau khurafat. Al Qur’an dapat di
interpretasikan atau ditafsirkan dengan penafsiran kontemporer. Untuk me-mahami tafsir
kontemporer terdapat kaidah-kaidah :
- Kaidah ayat Muhkam dan Mutasyabihat (Ali Imron 17) – Ayat Muhkamat bersifat Mutlak dan
pasti, tidak membutuhkan penafsiran. Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang dapat
berubah makna dan penafsirannya, spekulatif dan nisbi.
- Kaidah ayat-ayat yang mengandung makna pokok (tidak dapat dirubah) dgan ayat-ayat yang
mengandung makna sampingan (dapat ditafsirkan).
• Al Qur’an tidak bertentangan dengan hukum alam
• Al Qur’an adalah sebagai satu-satunya asas untuk memahami ad Dien, sedangkan Hadits tidak
dapat dijadikan sandaran, kecuali Hadits-hadits yang telah terseleksi artinya tidak bertentangan
dengan Nash al Qur’an, sesuai dengan akal dan pengalaman manusia dan tidak bertentangan
dengan hakekat sejarah.

b. Hadits
• Pembagian Hadits menjadi Mutawatir, Masyhur dan Ahad. Hadits Mutawatir dapat diterima
sebagai landasan hukum, sedangkan Hadits Masyhur harus ada penilaian dan kreterian sehingga
dapat dijadikan sumber legislasi. Hadits Ahad tidak dapat diterima sebagai sumber legislasi.
• Hadits yang diterima; Hadits yang berkaitan dengan agama berfungsi mengikat dan wajib
dipegang, sedangkan Hadits non agama bersifat tidak mengikat, karena tidak menjadi tugas
kerasulan Nabi Muhammad. Hadits non agama hanya berlaku dalam dan konteks jaman
nubuwah (Kenabian) Nabi Muhammad SAW.

c. Produk Hukum Islam


• Menolak anggapan tentang kesempurnaan produk fiqih Klasik (4 mazhab dll). Hukum tersebut
hanya berlaku pada masa mereka memutuskan. Hukum harus berubah karena jaman selalu
berkembang dan berubah. Hukum yang mereka putuskan sebenarnya bersifat Nisbi karena ia
adalah produk manusia.
• Tidak menerima Ijma’ atau kesepakatan ulama. Orang yang datang kemudian tidak wajib
mengikatkan pada Ijma’. Oleh sebab itu pintu Ijtihad senantiasa terbuka untuk menemukan
hukum garu bagi permasalahan baru.

d. Wahyu, Nubuwah dan Mu’jizat


• Wahyu bukanlah sebuah perkara yang luar biasa, ia merupakan suatu tingkat inderawi dan
insting tertinggi yang terdapat dalam diri manusia.
• Nubuwah adalah kemampuan dan bakat yang dapat dikembangkan oleh manusia.
• Mu’jizat adalah peristiwa-peristiwa yang sesuai dengan hukum alam dan tidak menyalahi
hukum alam seperti terbelahnya lautan menjadi jalan bagi Nabi Musa.

3. Sayyid Amir Ali (1879-1928)


Ia dilahirkan di India pada tahun 1849 dan meninggal pada tahun 1928. Sayyid Amer Ali dikenal
sebagai sarjana Islam yang menguasasi sastra dan kebudayaan Inggris. Hal tersebut dapat
dimaklumi, karena Sayyid Amer Ali mendapatkan pendidikan dari Universitas-Universitas di
Inggris. Pada tahun 1873 ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Inggris dengan karya Ilmiyah
yang sangat mengagumkan yaitu “ a Critical examination on the life and teaching of
Muhammadan”.
Pada tahun 1877 ia mendirikan National Muhammadan Association”. Organisasi tersebut dalam
bidang pembangunan kesadaran dan pendidikan politik, terutama untuk menjaga kepentingan-
kepentingan politik Islam. Dan tahun 1883 ia menjadi anggota dewan raja Muda India sebagai
salah satu jabatan politik yang penting pada saat itu.
Dalam konteks sejarah pembaharuan dan pergerakan pemikiran Islam Kontem-porer, Sayyid
Amer Ali mempunyai peranan yang penting dalam pentas sejarah Islam dengan pemikiran-
pemikirannya yang cemerlang, walaupun sangat jauh apabila dibandingkan dengan pemikiran
Sayyid Ahmad Khan. Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut ini pemikiran-pemikiran Sayyid
Amer Ali :

a. Kemunduran Islam
• Kemunduran orang Islam disebabkan oleh penyakit jumud (ketidakberdayaan umat) dalam
melakukan aplikasi hidup.
• Kemunduran Islam disebabkan umatnya telah mengabaikan ruh atau Spirit Islam ( al- Qur’an),
terlalu cinta kepada teks-teks al Qur’an yang beku dan menganggap suci huruf-hurufnya,
sehingga umat Islam tidak berani memberikan penafsiran al Qur’an.

b. Gagasan-gagasan pembaharuan
• Bahwa Nabi Muhammad sangat memahami keadaan masyarakat pada zamannya dan zaman
yang akan datang, masyarakat kontemporer (populer), maka pada saat itu manusia harus
membedakan antara pranata yang bersifat temporal dan sementara dengan pranata yang bersifat
langgeng dan universal.
• Bahwa Shahabat mengagumi dan menerima Hukum-hukum yang berasal dari Nabi Muhammad
dengan prinsip demi kebaikan masyarakat, maka meru-pakan kedzaliman terhadap Nabi kalau
ajaran tersebut tidak boleh menerima perubahan sampai dunia ini berakhir.
• Bahwa untuk memurnikan hukum dan pemahaman keislaman, sebagian orang adil
menempatkan bahwa prinsip-prinsip Islam bersifat sementara, sehingga harus dise-suaikan
dengan tuntutan zaman sekarang.
• Bahwa Poligami dan perbudakan bertentantang dengan Hukum Islam, karena pada saat ini
tidak ada lagi alasan yang tepat untuk legalisasi system tersebut.

c. Gagasan pemberdayaan Umat Islam


Bahwa untuk memberdayakan umat Islam dari kejumudan dan ketidak-berdayaan, maka perlu
dilakukan pemberdayaan atau pembangkitan kembali (Revitalisme) system-system keislaman,
yang meliputi :
• Revival system of Faith, yaitu pembangkitan kembali semangat dan pirnsip keper-cayaan yang
bebas dari TBC, seimbang antara kehidupan Dunia dan Akhirat dan kembali kepada ajaran murni
dar Rasul.
• Revival system of Thought yaitu pembangkitan kembali semangat pemikiran, yang meliputi :
- Dibukanya kembali tradisi Ijtihad, sebab Nabi menganjurkan kegiatan berfikir dan Ijtihad
dengan mengatakan bahwa Ijtihad yang salah tetap memperoleh pahala ( satu point).
- Dibukanya kebiasaan berfikir bebas atau Rasional ala mu'tazulah (Qoda-riyah), karena
kemunduran Islam disebabkan adanya dominasi Theologi Asy’ariyah.
• Revival system of Economic Power yaitu membangun kembali kekuatan ekonomi umat,
sehingga umat terbebaskan dari ketergantungan dengan dunia Barat.

Demikian beberapa pemikiran dan gagasan pembaharuan Sayyid Amer Ali, yang menurut hemat
saya sangat radikal, karena menyangkut pada upaya membangkit-kan kembali apa yang kita
sebut sebagai Ruh Islam atau Spirit of Islam, sebagai mana yang di sebutkan dalam Buku
Spiritualnya (Spirit of Islam).

3. Dr. Muhammad Iqbal (1877-1938 M.)


Muhammad Iqbal adalah salah putra India terbaik pada abad ke 20. Putra islam yang sangat
menguasai Filsafat dan kebudayaan Barat. M. Iqbal dilahirkan di Punjab pada tahun 1877
(sebagian mencatat lahir pada tahun 1876) dan wafat pada 18 Maret 1938 M.
Pada tahun 1905, Muhammad Iqbal memperoleh gelar MA dari Universitas Lahore Pakistan, dan
pada tahun yang sama ia melanjutkan study ke Universitas Cambridge Inggris, menyebabkan ia
mempunyai pengetahuan filsafat dan kebudayaan Barat yang tiada bandingnya. Dan pada tahun
1930, M. Iqbal terjun kedunia politik bersama-sama dengan Muhammad Ali Jinnah melalui
organisasi Liga Muslim, yang merupakan embrio dari Negara Pakistan.
Dr. Muhammad Iqbal, secara umum lebih dikenal sebgai penyair dan ahli filsafat, te-rutama
Filsafat dan kebudayaan Barat, ketimbang sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Namun
demikian kemampuan dan keindahan syair-syair telah membius umat Islam, karena kedalaman
nilai dan kritiknya terhadap peradaban Barat dan kemunduran umat Islam. Syair-syair Filosofis
dan Sufisme dari Muhammad Iqbal lebih banyak di-pengaruhi oleh gurunya, Jalaluddin Ar
Rumi.
Karya terbesar dari pergulatan pemikiran Dr. Muhammad Iqbal tertuang dalam buku
“Recontruction of Relegious Thought” yang terdiri dari enam makalah/pokok bahasan, yang
disajikan pada perkuliahan tahun 1928 di Universitas India. Secara umum gagasan-gagasan
pembaharuan Muhammad Iqbal terbagi dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Gagasan pembaharuan Islam
• Islam mengalami kemunduran disebabkan oleh sikap jumud
• Islam mengalami kemunduran disebabkan mereka meninggalkan tradisi berfikir rasional atau
anti gagasan Mu’tazilah.
• Bahwa pembaharuan Islam lebih merupakan dinamisasi seluruh komponen keislam.
Dinamisme tersebut adalah adanya gerakan Ijtihad dan terus bergeraknya keseluruh-an system
umat Islam.
• Bahwa indikator adanya pembaharuan umat Islam, adalah :
- Adanya perubahan, pergerakan dan perkembangan dunia Islam, yang disebabkan oleh adanya
kecenderungan dan pandangan Islam terhadap Barat.
- Meninggalkan kenangan masa lalu Islam (romantisme islam), dengan membangun kembali
format pemikiran dan pengalaman kontemporer dalam rangka penafsiran baru terhadap prinsip-
prinsip Islam.
• Menentang sikap pemikiran, komentar dan pendapat yang mengulang-ulang nilai dan
pemikiran kaum salaf secara subyektif atau tidak pada karya aslinya.

b. Tanggapan terhadap kebudayaan Barat


• Menentang segala bentuk kebudayaan Barat dan peradaban materi (meng-agungkan segala
bentuk karya kebendaan/sesuatu yang tidak disemangati oleh agama)
• Mengagumi kebudayaan Barat tidaklah menjadi masalah, dalam rangka memper-kaya
pemikiran dan kebudayaan Islam, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau umat Islam tertipu oleh
kulit luarnya saja (oleh kenyataan vurgal saja).
• Ia mengagumi semangat pembaharuan Turki, walau ia tahu bahwa pemba-haruan Turki adalah
Westernisasi sebagaimana yang ia khawatirkan. Yang pasti menurut Dr. Muhammad Iqbal
bahwa pembaharuan Turki adalah sebuah proses pencarian format atau gerakan Ijtihad untuk
keluar dari kejumudan dan menatap kenyataan (realitas) yang ada.

E. Musthofa Kemal Pasha; Bapak Pembaharuan Turki Modern


Terdapat satu nama yang tidak dapat dipisahkan dengan Turki Modern, yaitu Musthofa Kemal
Pasha. Mengingat perannya yang sangat besar dan sentral dalam proses pembaha-ruan Turki,
maka ia kerap kali disebut sebagai “Bapak Pembaharu Turki” atau “Kemal Ataturk”. Kemal
Pasha melihat bahwa Turki yang mengalami kemunduran dan ketidakber-dayaan lebih banyak
disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa Turki menghadapi absolut-isme dan kekakuan politik,
dan oleh sebab itu ia harus diberangus dengan menampilkan kedaulatan rakyat dalam bentuk
majlis-majlis yang sebelumnya telah dikembangkan oleh gerakan Turki Utsmani Muda.
Keberhasilan Musthofa Kemal Pasha dalam proses pembaharuan dan program penyela-matan
bangsa Turki adalah ketika ia membuat satu negara tandingan di Turki dengan pusat
pemerintahan di Angkara (Ibukota Turki – sekarang). Pemerintahan tandingan tersebut secara
politik mengancam eksistensi emperium Turki Utsmani yang berjalan sekitar 6 abad – mulai
abad ke 12 M. sampai dengan abad ke 20 M. Keberhasilan Kemal Pasha mengeliminir dan
merubah bentuk negara absolut menjadi negara republik yang demokratis banyak didukung oleh
situasi sosial politik bangsa Turki yang sedang tidak senang dengan sikap kemutlakan dan
absolutisme politik. Disamping itu keadaan politik dan tekanan dunia luar terhadap bangsa Turki
semakin kuat terutama setelah Turki mengalami kekalahan beruntun dalam perang dunia I.
Faktor dominan lainnya adalah keinginan merubah sistem kenegaraan agar bangsa Turki
terbebas dari ketidakberdayaan.
Sayang proses pemberdayaan potensi bangsa Turki oleh Musthofa Kemal Pasha yang pertama
dimulai dengan melakukan Nasionalisasi simbol dan atribut kenegaraan, terutama untuk
memutus pengaruh tradisionalisme yang menurutnya menjadi sebab dominan dari ilusi kejayaan
masa lalu. Simbol dan atribut kenegaraan dikembalikan dalam kultur bangsa Turki, sehingga
banyak akar-akar kebudayaan tradisional yang disemangati oleh Islam dan bangsa Arab
kehilangan kekuatannya. Bangsa Turki oleh Musthofa Kemal Pasha dibawa pada tatanan baru
yang sama sekali berbeda dengan akar dan nilainya dari bangsa Turki masa lalu – bangsa Turki
telah dibuat lupa dengan masa lalunya oleh Musthofa Kemal Pasha.
Program kedua yang dilaksanakan oleh Musthofa Kemal Pasha adalah melakukan perubahan
citra dan visi kehidupan dengan menggunakan idiom-idiom barat sebagai repre-sentasi nilai
kehidupan yang baru. Proses westernisasi ini ternyata menimbulkan akibat yang lluar biasa bagi
bangsa Turki – yang sebelumnya adalah penganut agama yang taat. Akibat-akibat tersebut
adalah :
1. Tereduksinya program pendidikan keagamaan dan berkembangnya program pendidikan barat,
yang berakibat semakin menipisnya kesadaran beragama (pengamalan agama).
2. Visi westernisasi telah menyebabkan digantikannya simbol dan jargon Islam menjadi simbol
dan jargon nasinalis Turki atau bahkan simbol dan jargon barat.
3. Berkembangnya struktur sosial yang sekuler dengan meletakkan agama sebagai sesuatu yang
tidak penting bagi perjalanan kehidupan manusia di dunia.

Mungkin secara umum program pembaharuan Turki oleh Musthofa Kemal Pasha telah
membawa Turki pada era baru yang modern, bahkan untuk saat ini bangsa Turki telah menjadi
bagian dari dunia barat yang sekuler. Akan tetapi harga yang harus dibayar sangat mahal
dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh bangsa Turki dalam proses pem-baharuan tersebut.
Terdapat dua indikator yang dapat dilihat berkaitan dengan kegagalan Turki dalam proses
pembaharuan tersebut, yaitu :
1. Turki sampai saat belum menunjukkan sebagai negara yang maju, modern dan disegani oleh
dunia barat, dibandingkan dengan Jepang yang juga mengalami kehancuran akibat perang dunia
II. Jepang dapat bangkit kembali dan menjadi kekuatan raksasa dunia dalam tempo 25 tahun,
sedangkan Turki setelah 70 tahun masih tetap tergantung pada dunia barat.
2. Bangsa Turki telah kehilangan kebanggaan masa lalu yang dibuang secara paksa keselokan
western oleh Musthofa Kemal Pasha dan diganti dengan prinsip-prinsip barat yang ternyata tidak
mampu mengangkat kepribadian dan spirit bangsa Turki – berbeda dengan Jepang yang
melakukan modernisasi tetapi mereka tetap menjadikan tradisional isme sebagai pijakan dan tata
niali kehidupan.
F. Pembaharuan Islam Indonesia.
Secara umum, proses purifikasi ajaran umat Islam telah terjadi beberapa kali di Indonesia dengan
menggunakan thema dan format yang berbeda. Perbedaan gerakan pembaharuan tersebut
dipengaruhi oleh situasi dan letak geografi umat Islam tersebut. Menurut hemat saya, dalam per-
jalanan gerakan pembaharuan Islam Indonesia, telah terjadi tiga kali proses pembaharuan, yaitu :
1. Pembaharuan pada abad XVIII oleh kaum Padri Minangkabau, yang dipelopori oleh Imam
Bonjol (Kelompok Harimau Nan Salapan). Pembaharuan Padri dilakukan oleh umat Islam
Sumatra, ketika umat Islam Sumatra terbelenggu oleh adat dan pengamalan agama yang banyak
dipengaruhi oleh Mistik. Bentuk pengamalan agama seperti itu banyak didukung dan dilakukan
oleh kaum adat. Pertentangan kaun Adat dengan kaum Padri tersebut menyebabkan kaum adat
ter-pinggirkan, dan oleh sebab itu ia minta bantuan kepada Belanda, maka berubahlah
pergerakan pembaharuan Islam menjadi gerakan perlawanan rakyat (santri) terhadap kolonial
Belanda.
2. Pembaharuan Islam pada awal abad XX yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan dengan ge-
rakan anti TBC. Gerakan tersebut merupakan gerakan purifikasi ajaran agama yang selama
berabad-abad, ajaran Islam telah berbaur dengan Mistik Hinduisme, Budhisme dan Animisme,
sehingga ajaran Islam telah kehilangan daya dobrak dan ruhnya.
3. Pembaharuan Islam Kontemporer pada tahun 1960-an. Pembaharuan tersebut lebih me-
rupakan gerakan modernisasi pemikiran dan pemahaman ajaran keislaman yang dilakukan oleh
generasi baru umat Islam; sebagai produk lembaga pendidikan umat Islam sendiri.

Saya kira untuk menuntaskan pembahasan kita mengenai pembaharuan atau tepatnya penataan
pemikiran Islam, perlu mengkaji gerak dan langkah tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam
tersebut, misalnya Imam Bonjol, KH. Ahmad Dahlan, Dr. Nurcholis Madjid, Munawir Sadzali,
MA dan lain-lain. Sungguhpun demikian dengan mengingat keterbatasan area pembahasan,
maka hanya akan disajikan sedikit mengenai pemikiran Dr. Nurcholis Madjid.
Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Nurcholis Madjid yang
kemudian lebih dikenal dengan panggilan “Nurcholis Madjid” memulai pendidikan dibawah
asuhan KH. Madjid (ayahnya sendiri) dan kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Gontor
Ponorogo. Setelah menamatkan pendidikannya dari Gontor ia kemudian melanjutkan pendi-
dikannya di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga memperoleh gelar Sarjana
pada tahun 1968.
Nurcholis Madjid dikenal sebagai tokoh organisasi, yang kapasitasnya dan pemi-kirannya
menjadi kerangka kajian dan perkaderan, terutama para aktifis organinsasi Ekstra Kampus HMI.
Pada tahun 1974, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Chicago dan bertemu dengan
pemikir Islam Kontemporer yang sangat disegani yaitu Dr. Fazlur Rahman, yang merupakan
Pakar study keislaman dan pada tahun 1984 ia berhasil menyelesaikan program Doktornya,
dengan disertasi “Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah; Problem of reason and Revelation in
Islam”.
Pada tahun 1966, Nurcholis Madjid telah melontarkan sebuah wacana pemikiran baru dalam
Islam. Pada saat itu ia melontarkan gagasan perlunya Modernisasi dalam pe-mikiran Islam
dengan format ”Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Westernisasi”. Lontaran pemikiran
tersebut dengan cepat mendapat tanggapan luas dari pakar keislam-an dan dunia perguruan
Tinggi sekaligus memperbesar volume perlunya modernisasi dalam tataran pemikiran mahasiswa
Islam. Muhammad Kamal Hasan (pakar keislaman Universitas Malaya) mengatakan bahwa apa
yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah cerminan visi seorang Muslim idealis dan
memperkuat citra diri sebagai salah seorang yang mewarisi kebesaran seorang “Moh. Natsir”,
oleh sebab itu ia kerap kali disebut sebagai “Natsiris Muda”. Tidaklah berlebih an jika ia
dikatakan sebagai Natsiris Muda atau seorang Muslim Idealis, karena dalam manuskrip tersebut
ia mengatakan :
1. Westernisasi akan membawa manusia pada kehidupan yang sekuler
2. Sekelurisme akan membawa manusia pada sikap hidup atheis dan atheis itu sendiri adalah
produk paling utama dari Sekulerisme.
3. Sekulerisme adalah sumber dari Immoralisme.

Namun citra diri sebagai Natsiris Muda dan Muslim idealis menjadi tertutup, ketika ia
melontarkan pemikiran tentang “Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah in-
tegrasi Umat” pada tanggal 3 Januari 1970 di Islamic Research Centre Jakarta. Muhammad
Kamal Hasan yang menulis Disertasi Doktor dengan mengambil thesis pembaharuan Islam
Indonesia mengatakan bahwa Nurcholis Madjid telah berubah menjadi seorang “Modernis
Sekuler” atau dalam bahasa lain ia mengatakan “Nurcholis before Nurcholis”.
Ada hal-hal yang mengganjal dan barangkali membuat jengkel para pemikir umat Islam
Indonesia, terutama Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menjadi salah satu tokoh Islam paling respek
dan kritis terhadap pemikiran pembaharuan Nurcholis Madjid. Barangkali sangat mafhum dan
dimengerti kalau banyak umat Islam yang menyebut Nurcholis Madjid sebagai Modernis Sekuler
atau bahkan sebagai agent Barat karena pemikirannya yang sangat berbeda dengan apa yang
dilontarkan sebelum tahun 1968. Dalam makalah tentang “Keharusan pembaharuan pemikiran
Islam dan masalah Integrasi Umat” secara eksplisit, Nurcholis Madjid mengatakan :
1. Perlunya liberalisasi pandangan dan pemikiran terhadap ajaran Islam
2. Perlunya kebebasan Intelektual (intelektual Freedom), gagasan kemajuan (Ide of Progres) dan
sikap terbuka.
3. Perlunya gagasan (ide) sekulerisasi dalam ajaran Islam
4. Perlunya penegakan dan pemihakan terhadap kualitas dan mengeliminir sikap me-nonjolkan
kuantitas, yang terbukti tidak efektif terhadap partisipasi umat kepada pemba-ngunan bangsa.
5. Perlunya mengambil sikap “Islam Yes, Partai Islam, NO”.

Barangkali statemen yang paling dominan membuat kontroversi terutama kaum tradi-sional,
ulama dan pemikir keislaman adalah penggunaan kata-kata “Sekulerisasi” yang tidak lazim
dipakai untuk menyebut gerakan pemikiran umat Islam. Reaksi yang paling keras muncul dari
Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menyatakan bahwa ia telah memahami bahasa Inggris (untuk
menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep sekulerisasi Nurcholis Madjid) sejak 40 tahun
yang lalu dan selama itu pula ia tidak pernah menggunakan istilah “Sekulerisasi” sebagai istilah
sosial yang dipakai dalam kerangka pemikiran pembaharuan Islam.
Menyimak perkembangan polemik yang semakin tajam dan mengarah kepada sikap kristalisi
pendapat menjadi kelompok-kelompok, maka Nurcholis Madjid tampil kembali kepentas
pemikiran umat Islam dengan menawarkan beberapa pemecahan, yang intinya menjelaskan
ulang konsep “Sekulerisasi” yang dikembangkan sebelumnya. Misi pen-jelasan tersebut dikemas
dalam thesis “Beberapa catatan sekitar masalah pembaharuan dalam Islam”. Namun penjelasan
Nurcholis Madjid, nampaknya tidak banyak memberi pengaruh pada perubahan Opini
masyarakat yang sudah terbentuk oleh kontroversi tersebut. Oleh sebab itu, ia tampil untuk kali
kedua pada pentas pemikiran umat dengan mengatakan “Sekali lagi tentang Sekulerisasi”.
Setelah itu ia tidak lagi tampil dengan gagasan-gagasan pembaharuannya ke pentas pe-mikiran
Nasional, karena pada tahun 1974 ia berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study doktoralnya
di Universitas of Chicago, dan setelah ia kembali ke Indonesia pada tahun 1985, Nurcholis
Madjid membuat suatu penjelasan yang sangat meyakinkan, dengan satu tulisan yang merupakan
catatan kaki pada Buku mengenang atau peringatan 70 Th. Prof. Dr. HM Rasyidi. Pada catatan
itu, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa tidak tepat menggunakan istilah “Sekulerisasi” sebagai
instrument untu menyebut perubahan sistem sosio-kultural Islam. Uraian itu ia beri nama dengan
“Sekulerisasi ditinjau kembali”.
Pada awal tahun 1990-an Nurcholis Madjid mengejutkan komunitas umat Islam dengan
penjelasannya yang sangat kontroversial. Statemen-statemen tersebut sebenarnya hanya sebuah
kajian terminologis dan hanya dilakukan ketika ia mengambil pemikiran atau pendapat dari
mazhab theologis umat Islam, misalnya :
1. Melakukan penafsiran kalimat “La Illaha Illa Allah” yang diartikan dengan “Tiada Tuhan
selain Tuhan”, dengan asumsi bahwa Tuhan yang kedua mengandung kekhususan yaitu Tuhan
Allah (terdapat al ma’rifat).
2. Mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling bersih dan murni keimanannya adalah Syetan,
karena ia tidak mau menyembah kepada selain Allah (kasus sujud kepada Adam).
3. Penegakan sikap bahwa semua manusia pada awalnya mempunyai perasaan agama yang sama,
yang dia sebut dengan “Agama Hanief atau agama yang lurus”. Oleh sebab itu retorika dakwah
kita adalah mengajak umat manusia pada “Kalimat yang sama”.

PENUTUP
Demikian beberapa pemikiran pembaharuan yang berkembang di dunia Islam – dengan berbagai
ragam dan wujudnya baik yang bersifat theologis, politis, educative maupun asumsi minor
tentang kesempurnaan Islam dalam bentuk sekulerisasi dan westernisasi ala Mustofa Kemal
Pasha atau sekedar gertakan sekulerisasi dan rasionalisasi ala Nurcholis Madjid, maka yang
paling penting adalah adanya gagasan untuk berubah atau berkembang menjadi baik – walaupun
sebagaian diantara konsep tersebut menjadikan tata nilai Islam menjadi sangat tidak aktual dan
bahkan menjadi musuh sebuah bangsa seperti bangsa Turki.
Apresiasi terbesar yang harus kita berikan kepada mereka, sebab mereka telah melaksanakan
prinsip hidup yang dinamis. Ingat “Allah tidak akan merubah sebuah kaum, jika mereka tidak
mau merubah dirinya sendiri”.

BUKU RUJUKAN :
1. Dr. Falzlur Rahman : Islam.
2. Loph Stodart : Dunia Baru Islam
3. Dr. Muhammad Heykal : Sejarah Islam
4. Drs. Imam Munawir : Pembaharuan Islam dari masa ke masa
5. Prof. Dr. Hamka : Sejarah Umat Islam (Vol. IV)
6. Ahmad Mansyur Suryonegoro : Menemukan Sejarah; wacana pergerakan umat Islam
Indonesia
7. Fachry Ali dan Bachtiar Efendi : Merambah jalan baru Islam
8. Dr. Nurcholis Madjid : Islam Keindonesian dan Kemodernan
9. Clifford Geertz : The Religion of Java (Santri, abangan dan Priyayi)
10. Dr. Harun Nasution : Islam Rasional; gagasan dan pemikiran
11. Dr. Koentowijoyo : Paradigma Islam; interpretasi untuk aksi
12. Prisma : Agama dan Tantangan zaman

MASA KEMUNDURAN ISLAM


SEBAB DAN BAGAIMANA CARA MENGATASINYA

Oleh : Drs. Ihsan

PENDAHULUAN
Adalah sebuah Sunnatullah, jika suatu kemulyaan dan kemajuan pada suatu masa akan berubah
sebagai kenistaan dan kemunduran, ketika pelaku kemulyaan dan kemajuan tersebut tidak lagi
mempunyai sens untuk mengembangkan kemajuan dan menjaga kemulyaan. Ketika pelaku
kemulyaan dan kemajuan telah jenuh dalam kemulyaan dan kemajuan itu sendiri. Ketika mereka
merasa bahwa kemulyaan dan kemajuan telah membawa mereka kepada kenikmatan yang
menina bobokan akhlak, pemikiran dan karya kreatif. “Dan Allah akan mempergilirkan
kemulyaan dari satu kaum kepada kaum yang lain, agar mereka dapat mengambil pelajaran” (Qs.
Ali Imron : 140).

        


    ••  
        
 

Berangkat dari paradigma tersebut – berkembang sebuah analisa tentang siklus pergan-tian
kemakmuran suatu bangsa dengan menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut :
1. Seberapa banyak produk pemikiran keilmuan dan teknologi yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat pada generasi berikutnya.
2. Kemampuan politik, ekonomi dan sosial budaya dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan
kehidupan bangsa-bangsa lain.
3. Kemampuan ide atau gagasan dan pengaruhnya terhadap pembentukan tata nilai bagi
kehidupan masyarakat berikutnya.

Maka berkait dengan kreteria tersebut, fakta sejarah menunjukkan bahwa pergeseran
kemakmuran suatu bangsa berkisar 7 Abad dan meliputi bangsa-bengsa/umat :
1. Yunani – dikenal sebagai peletak dasar pemikiran kritis Filosofis dan pengembangan Iptek
yang pemikirannya masih dijumpai sampai saat terutama Socrater, Aristoteles, Plato dll. Berkisar
antara abad 10 SM s.d 3 SM.
2. Romawi dan Parsi adalah sebuah emperium besar setelah zaman kegelapan pasca mundurnya
kebudayaan Yunani sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Ar Rum. Kejayaan mereka berkisar
antara abad 1 M s.d 7 M.
3. Islam – adalah sebuah komunitas baru dalam pentas kebudayaan dunia yang menggabung-kan
kehebatan ilmu Yunani dan prediksi keilmuan dalam Alqur’an yang didalamnya memuat nilai-
nilai keagamaan. Kejayaan Islam berkisar antara abad 8 M s.d 15 M dengan mengambil dua
tempat, yaitu :
a. Di Timur dengan pusat kota Bagdad mulai abad 8 M s.d 13 M tepatnya tahun 1258 ketika
Hulago Khan menyerang kota Bagdad.
b. Di Barat dengan kota Cordova (spanyol) sebagai pusatnya mulai abad 9 M s.d 15 M tepatnya
tahun 1492 ketika kota Granada direbut oleh Raja Ferdinand.
4. Barat (Eropah/Amerika) yang dimulai ketika mereka mengalami kebangkitan (Re-naisance
atau Aufklarung) pada abad ke 16 M – sampai sekarang (23 M).

Selama 7 abad, umat Islam menempati tempat pertama dalam percaturan ekonomi – politik dan
ilmu pengetahuan. Sadar atau tidak, keunggulan tersebut membawa kemudah-an-kemudahan
teknologis, psykis dan ekonomi – politik dibandingkan dengan pemeluk atau bangsa yang lain.
Dalam kurun waktu tersebut, umat Islam dapat menepuk dada atas prestasi kultural yang dimiliki
oleh umat Islam. Prestasi-prestasi kultural tersebut sampai saat ini masih dapat kita jumpai,
walaupun telah mendapat ulasan dan komentar dari berbagai pakar; baik ilmu-ilmu agama
maupun ilmu-ilmu praktis lainnya (lihat ulasan-ulasan sebelumnya).
Dalam kurun waktu yang bersamaan, diseberang sana – di Eropah terjadi apa yang disebut
sebagai “Barbarian” dan “Kegelapan berbudaya”, suatu masa dimana mereka tidak mempunyai
kemampuan berbudaya yang dapat diunggulkan. Namun setelah itu, justru umat Islam yang
pernah menjadi tuan Ilmu Pengetahuan dan Budaya luhur Dunia menjadi pengemis ekonomi –
Politik dan Ilmu Pengetahuan. Umat Islam telah mengalami titik balik – umat Islam mengalami
kemunduran dan bahkan ketergantungan. Pertanyaan yang tersisa dalam benak setiap umat Islam
adalah :”Mengapa Umat Islam bisa mengalami kemundur-an”?. “Dan siapa yang paling besar
kontribusinya dalam proses kemunduran Islam”?.
Sudah banyak pakar keislaman yang mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut – ketika umat
Islam mulai kembali menemukan kesadarn kolektif beragama dan berbudaya berdasarkan cita-
cita luhur agama Islam. Para Mujadid dan pembaharu umat, telah memaparkan sekian banyak
borok-borok yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dan kehancuran, di antara
mereka ada yang meletakkan kegagalan politik sebagai salah satu sebab kehancuran Islam dan
untuk itu perlu dibangun dimensi politik baru dengan mengedepankan Integrasi dan Solidaritas
Politik baru dalam sebuah program “Pan Islamisme” sebagaimana yang dikemukakan oleh
Jamaluddin al Afgani. Sedangkan Muhammad Abduh (Murid Jamaluddin) lebih menyoroti
tentang kelemahan pendidikan umat, maka dilakukanlah sebuah pembaharuan pendidikan
dengan mengarah pada perimbangan waktu dan human needs. Program revitalisasi Islam tersebut
melengkapi program terapi pertama yang diidentifikasikan sebagai sebab kehancuran Islam yaitu
“Therapi Theologis”, dikembangkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahab (Wahabi) – dengan
gerakan purifikasi ajaran Tauhidnya, mampu membersihkan umat dari ketidakberdayaan
theologis (anggapan-anggapan yang pada tempatnya terhadap benda keduniaan).

MASA KEMAJUAN ISLAM


Masa kemajuan dimulai pada zaman Nabi Muhammad dengan meletakkan dasar-dasar
kehidupan yang sejahtera baik di dunia maupun diakhirat. Bangunan komunitas Islam tersebut
terus berkembang dengan baik pada masa Pemerintahan Umar Bin Khattab – terutama secara
politik dengan takluknya kerjaan Romawi dan Persia. Puncak kemajuan Islam berada pada dua
masa pemerintahaan dan tempat yang berbeda, yaitu pemerintahan Bani Abbasiyah di Bagdad
dan pemerintahan Bani Umaiyah di Spanyol.

Amatlah beruntung umat Islam, karena ia memiliki Al Qur’an – yang didalamnya memuat
isyarat ilmu pengetahuan yang luar biasa. Kehebatan Al Qur’an ini menjadi faktor dominan
pertama untuk kemajuan umat Islam yaitu dorongan Al Qur’an untuk mengkaji kebenaran ayat
Qur’aniyah dan Kauniyah – termasuik didalamnya penghargaan Al Qur’an yang sangat tinggi
terhadap orang-orang yang memiliki Ilmu. Faktor tersebut menjadi energi khusus umat Islam
terutama pemerintah untuk :
1. memberikan Penghargaan yang luar biasa terhadap ilmuwan (Hak Paten dan kesejahteraan
Hidupnya) bahkan raja/kholifah pada masa itu adalah seorang yang memiliki kelebihan dan
keluasan ilmu.
2. mendirikan pusat-pusat studi Islam dan studi ilmu-ilmu lain untuk menganalisan dan mengkaji
ulang ilmu-ilmu yang berkembang pada saat itu.
3. mendirikan pusat penterjemahan kebudayaan dan ilmu-ilmu asing. Lebaga tersebut
dimaksudkan untuk menyalin buku atau hasil karya bangsa Asing dengan bahasa Arab

Faktor dominan kedua; adanya proses adaptasi/persentuhan dan akulturasi terhadap budaya/
ilmuwan Yunani melalui proses penterjemahan terhadap buku-buku Yunani dan masuknya
negara baru yang mempunyai tradisi keilmuan (Parsi, Mesir dan Romawi).
Sebelum Islam berkembang sebagai kekuatan budaya dunia, telah terlebih berkembang dulu
kebudayaan Yunani dan Parsi. Kebudayaan luar yang paling banyak memberi dukungan bagi
perkembangan kebudayaan Islam adalah Filsafat Yunani. Filsafat yang berasal dari kata Yunani
“Philo” dan “Sophia” yang berarti cinta kebenaran dan cinta kebijaksanaan. Dalam perkem-
bangannya mempunyai arti sebagai segala bentuk pengerahan pemikiran secara mendalam untuk
mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan.
Jika dilihat dari makna dan subtansi pemikirannya, maka Filsafat bukanlah barang baru bagi
ajaran Islam, karena Islam sendiri meletakkan proses kebaikan dan kesempurnaan hidup dengan
meletakkan Wisdom atau Hikmat (kebijaksanaan) sebagai sumber kebaikan. Oleh sebab itu
pemikiran Filsafat menjadi cepat akrab dengan gaya dan wacana berfikir umat Islam, terutama
pada masa pemerintahan Bani Abasiyah.
Pertemuan Islam dengan kebudayaan luar terutama dengan Fisafat Yunani terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abasiyah. Dalam hal ini boleh dikatakan bahwa pertemuan Islam dengan
bangsa lain dilakukan dalam format dan bentuk yang sangat total. Artinya persentuhan tersebut
meliputi persentuhan fisik (dan wilayah) dan yang lebih penting adalah persentuhan tata nilai dan
tradisi berbudaya (keilmuan), - sebagaimana dalam hukum pergaulan sosial, setiap kali terjadi
persentuan dua kebudayaan, maka akan terjadi proses tranformasi dan penemuan konsep budaya
yang baru, yang lebih unggul dari kebudayaan pembentuk sebelumnya. Hal mana proses tersebut
tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Umaiyah, sebab proses persentuhan dua
generasi umat tersebut hanya berlaku pada persentuhan fisik dan bukan pada sisi tradisi berfikir
dan berbudaya mereka.

Di samping adanya persamaan pendapat dan subtansi pemikiran tersebut, mapa yang mendorong
terjadinya percepatan persentuhan dua kebudayaan tersebut adalah :
1. Terjadinya gerakan translitasi (penterjemahan) oleh umat Islam pada kebudayaan atau hasil
karya lain, terutama buku-buku hasil pemikiran Filosof Yunani.
2. Proses penterjemahan tersebut melahirkan kecenderungan baru dalam tradisi berfikir. Kalau
pada masa pemerintahan Bani Umaiyah, pola berfikir umat di dominasi oleh pemikiran ke-
agamaan dan dogmatik, maka pada masa pemerintahan Bani Abasiyah berkembang pemikir-an
rasional-analitis.
3. Proses tranformasi keilmuan Islam terhadap keilmuan luar lebih di dorong oleh daya tarik
Filsafat, yang menurut umat Islam mempunyai sisi menarik dalam hal :
a. Ketelitian yang dimiliki oleh logika Aristoteles dan ilmu matematika yang mengagumkan
Ilsam (diungkapkan oleh Al Gazali dalam al Munqidz min al Dzalal)
b. Bahwa pada saat itu terjadi pertarungan pemikiran antara umat Islam dengan penganut Islam
baru yang masih mengikuti faham/filosofi agama sebelumnya, dan mereka menggunakan logika
Filsafat, maka untuk menghadapi pertarungan pemikiran dengan diperlukan pemahaman yang
baik mengenai logika tersebut.
c. Bercampurnya buku-buku keagamaan Yahudi dan Nasrani dalam Filsafat Yunani yang
dianggap oleh umat Islam sebagai karya Filsafat Yunani.
d. Corak pembahasan keagamaan Filsafat Yunani dalam hal menerangkan konsep Tuhan Yang
Esa dan mencapai kebahagiaan dilakukan dengan pendekatan dan peleburan diri kepada Tuhan
dan pembersihan diri (Zuhud), sebagaimana yang dijelaskan dalam Filsafat ketuhanan
(Theodocia) mereka.

Pertemuan Islam dengan kebudayaan Yunani semakin mudah, karena ternyata umat Islam Parsi
telah lebih dulu memiliki transkrip dan buku-buku yang memuat pokok pikiran para Filosof
Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, bahkan dalam ilmu matematik dan sejarah pun
mereka telah memilikinya. Melihat kenyataan tersebut, maka proses pengambil alihan keilmuan
dan Filsafat Yunani menjadi lebih mudah, terutama bagi para penterjemah transkrip kebudayaan
tersebut. Lebih dari itu, transkrip Filsafat Yunani yang telah berada di tangan kaum muslimin
telah diberikan semangat keagamaan dan keeper-cayaan tauhid, sehingga mempunyai nilai
kebenaran yang tinggi, dibandingkan dengan hasil pemikiran Filosof sebelumnya yang bersifat
spekulaif.

Secara umum, proses penerimaan kebudayaan luar terutama filsafat Yunani terbagi dalam dua
dimensi, yaitu :
1. Menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran Filsafat yang terurai dalam
berbagai pemikiran. Buku-buku yang menjelaskan bentuk seperti ini misalnya Fusus al Hikam
(al Farabi) dan Risalah Filsafat dan Fisika (Ibnu Shina).
2. Menakwilkan kebenaran-kebenaran agama dengan takwilan/interpretasi yang sesuai dengan
pikiran Filsafat artinya terjadi proses pemaduan dan penundukkan agama kedalam Filsafat.
Akan tetapi dalam perjalanannya, penerimaan terhadap Filsafat Yunani mengalami dinamika
yang berbeda-beda, misalnya masa sebelum proses terjemahan dan sesudah terjadinya proses
tersebut. Jika dikronologikan, maka dinamika pergolakan pemikiran berkenaan dengan Filsafat
adalah :
1. Sebelum terjadinya penterjemahan, konsep dan pemikiran keagamaan masih bersifat dogma-
tik, menegakkan prinsip-prinsip keagamaan lebih dulu ketimbang prinsip-prinsip rasionalitas.
2. Setelah terjadi proses penterjemahan, terbagi dalam 6 macam pemikiran :
a. Masa penterjemahan, pengolahan (klasifikasi) dan pemaduan (analitis) Filsafat dengan ke
tentuan agama Islam (al Kindi, al Farabi, Ikhwanus Shafa dan Ibnu Shina).
b. Kritik terhadap filsafat yang dipakai sebagai argument kepercayaan (imam Al Gazali).
c. Pembelaan Filsafat dari kritik Imam al Gazali, yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd (Spanyol)
d. Kritik terhadap Filsafat Yunani dan berbagai ulasan (komentar) terhadapnya oleh kaum
Rasionalis Islam Modern dan dalam rangka mempersempit gerak akal dalam pembahasan
kepercayaan (al Iji, at Thusi dan Saaduddin al Taftazani).
e. Kritik terhadap metode Filsafat dan Theologi (Ibnu Qoyyim)
f. Kritik terhadap Filsafat dan Mazhab kepercayaan atau Theologi.

Tahap penterjemahan kebudayaan Yunani dilakukan oleh dua Khalifah pertama Bani Abasi-yah
yaitu Ja’far dan al Mansur, dan proses tersebut terus menerus dilakukan, termasuk pada masa al
Ma’mun dan Harun al Rasyid. Pada masa tersebut, berkembanglah pusat-pusat penterjemahan
kebudyaan asing terutama Filsafat Yunani, dan orang yang paling berjasa dalam proses penter-
jemahan tersebut adalah Ishaq bin Hunayn, dan kedua anaknya, Hunayn dan Hubaisy. Bersama
dengan anak dan keluarganya, Ishaq bin Hunayn melakukan perterjemahan transkrip pemikiran
Aristoteles dan Plato, juga sebagian Filsafat Hellenisme (Neo Platonisme). Buku-buku tersebut
kemudian banyak mendapat ulasan dan komentar terutama dari al Kindi, al Farabi, Ikhwanus
Shafa dan yang lain. Karena aktifitas tersebut, Al Farabi disebut sebagai “Guru Kedua”,
menyusul Aristoteles yang telah dinobatkan lebih dulu sebagai “Guru Pertama”.

Untuk mengetahui lebih lanjut buku-buku Filsafat Yunani yang diterjemahkan, termasuk di
dalamnya Filosof Ilsam yang berjasa dalam mengembangkan Filsafat Islam, dapat diikuti pada
paparan berikut ini.

1. Buku-buku yang diterjemahkan


A. Plato
1. Logika dan Theologi yaitu buku Thaetetus, Cratylus, Sophystes dan Pramenides. Buku
tersebut disalin oleh Ishaq bin Hunayn, yang berisi tentang Pengertian dan kreteria kebenaran
dan kesalahan; dan argumentasi adanya Ketuhanan.
2. Fisika yaitu buku Timeus yang disalin oleh Ishaq bin Hunayn dengan ulasan dari Plotorchus).
3. Buku Phaedo yang berisi tentang ilmu (Filsafat) Jiwa dan keabadian sesudah mati, dan buku
Phaedros (buku tentang cinta).
4. Politik yaitu buku Politikus dan Republik (di salin oleh Ishaq bin Hunayn), dan buku Laws (di
salin oleh Yahya bin Adiy).

B. Aristoteles
1. Logika
• Categoriae (al Maqulat) diterjemahkan oleh Ibnu Muqaffa dan disempurna-kan oleh Ishaq bin
Hunayn. Buku ini berisi tentang 10 macam keterangan (Categori) dan Al Farabi dan Ibnu Shina
menulis buku sebagai ulasan (komentar) terhadapnya.
• Interpretatione (Tafsiran-tafsiran = Pori armenias). Buku tersebut diterje-mahkan oleh Ibnu
Muqaffa dan Ishaq bin Hunayn, yang isinya meliputi konsep bahasa dan proposisi. Komentar
buku tersebut ditulis oleh al Farabi.
• Analytica Priora (Uraian pertama = berisi tentang bentuk pemikiran Silogisme/ Qiyas)
diterjemahkan oleh Ibnu Muqoffa. Komentar buku tersebut ditulis oleh al Kindi dan al Farabi.
• Analytica Posteriora (uraian kedua = berisi cara pembuktian ilmiyah/logika) di-terjemahkan
oleh Mattius bin Yunus (Suryani). Dalam bahasan Arab oleh Ishaq bin Hunayn. Komentar ditulis
oleh al Kindi dan al Farabi.
• Topica (berisi kias dialektika dan hal-hal yang belum pasti) diterjemahkan oleh Yahya bin adiy
dan Abu Usman al Dimasyqi. Komentar ditulis oleh al Farabi.
• Sophistica elenche (berisi kesalahan-kesalahan Sophistis dan penolakan serta pe-mecahan
terhadap pemikirannya) diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn. Komen-tar di tulis oleh al Farabi.
2. Fisika
• De Caela (langit) diterjemahkan oleh Ibnu Petrik. Komentar oleh al Farabi.
• Animaliun (hewan) diterjemahkan oleh Inu Petrik.
• Anima (jiwa) diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn. Komentar oleh Ibnu Shina.
3. Metafisika, buku yang diterjemahkan adalah Metaphysies. Komentar ditulis olej al Farabi dan
ar Razy.
4. Etika; Yang diterjemahkan adalah Etics Nicomachaes. Komentar ditulis oleh Farabi (al
Akhlak), Ibnu Maskawaih (al Akhlak) dan Ibnu Shina (Akhlak Syaikh ar Rais).

C. Buku-buku lain terutama dari Neoplatonisme juga diterjemahkan, dan dalam hal ini pokok
pikiran yang peling diminati adalah filsafat Emanasi Plotinus, yang kemudian di-kembangkan
oleh al Farabi.

2. Filosof Islam yang terkenal


A. Filosof Islam di Timur
1. Al Kindi
• Ia adalah Abu Yusuf bin Ishaq. Lahir 115-252 H/806-873 M. dan ia adalah satu-satunya Filosof
keturunan Arab (lahir kota Qathan).
• Karya-karya yang pernah ditulis sebanyak 238 risalah (Ibnu an Nadhim dan al Qafthi),
sebagian mengatakan hanya 50 risalah (Said al Andalusi) dan sekarang hanya 23 risalah yang
dapat ditemukan di Istambul (Hilmuth Rifter).

• Pokok-Pokok Pikiran :
- Filsafat : Ia adalah ilmu yang termulia, karena ia mencari kebenaran (Hakekat), kebenaran
tentang Keesaan Tuhan, keutamaan, dan ilmu tentang semua yang berguna.
- Akal : akal menurutnya di bagi menjadi 3 yaitu akal Hayulani (akal pem-berian Tuhan kepada
manusia yang dikehendaki/akal Mustafad/akal pe-limpahan = yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan / Nabi). Yang kedua, akal Fi’il atau akal aktif (akal untuk memperoleh
pengeta-huan) dan akal Fa’al atau akal bekerja (akal yang dapat memimpin seseorang untuk
bekerja).
- Metafisika: Tuhan adalah wujud yang Hak dan bukan asalnya dari tiada menjadi ada.
Pembuktian terhadap adanya Tuhan dapat dilakukan mela-lui baharunya alam, kerapian alam dan
keaneka ragaman dalam wujud.
- Sifat-sifat Tuhan : ia adalah Esa yang sempurna, ia bukan benda (maddah), bukan Form
(Shuura), ia tidak mempunyai kuantitas dan kualitas, ia bukan accident dan ia tidak berhubungan
dengan yang. Ia adalah azali.

2. Al Farabi
• Ia adalah Abu Nasr Muhammad al farabi. Lahir (Iran) th. 257-337 H/870-950 M. ia merupakan
Filosof Islam terbesar - ia mendapat gelar sebagai Guru Kedua.
• Karya-karya :
- Aghradu kitabi ma ba’da al-Thaabi’ati (Intisari buku metafisika).
- Al Jam’u baina ar Ra’yaini al Hakimaani (Mempertemukan dua pemikir yaitu Plato dan
Aristoteles).
- Tahsil al Sa’adah (mencari kebahagiaan).
- Uyun al Masail (Pokok-pokok masalah).

• Pokok Pikiran
- Logika adalah ilmu tentang pedoman yang dapat menegakkan pemikiran dan menunjukkannya
pada kebenaran; dengan tujuan agar orang dapat membenarkan pikiran orang lain, demikian
sebaliknya.
- Metafisika; Tuhan adalah wujud yang sempurna dan yang ada tampa sebab. Ia adalah dzat yang
azali, ia bukan benda dan bentuk dan Ia tidak tersusun.
- Sifat Tuhan; sifat Tuhan tidak berbeda dengan dzatnya
- Filsafat Emanasi (pancaran); Emanasi adalah keluarnya wujud yang mumkin al wujud dari
wujud yang pasti (wajibul wujud). Filsafat emanasi menyatakan bahwa Tuhan berfikir tentang
diri (dzatnya), maka keluarlah dari Tuhan akal pertama yang bersifat satu, karena Tuhan adalah
satu dan sete-rusnya (Lihat buku Filsafat Islam karangan A. Hanafi MA.)
- Negeri Utama (Negara Madani). Konsep negeri Utama terlihat pada dua karya al Farabi
“Siayah al Madaniyah (Politik perkotaan) dan ahl Madinah al Fadlilah (Konsep negeri Utama).
Negeri Utama mempunyai sifat-sifat atau mengan-dung keadaan sehat mental dan fisik, cerdas,
kreatif dan dinamis, tanggap terhadap segala sesuatu (responsif/antisipasif), ber-moral/santun,
jurdil dan amanah serta berpemikiran kedepan
Sedangkan musuh dari negeri Utama adalah negeri bodoh (masya-rakatnya tidak mengenal
kebahagiaan/tidak sehat dll). Yang kedua, Negeri Fasik yaitu negeri yang mengenal kebahagiaan
(utama) tetapi berprilaku sebagai negeri bodoh. Ketiga adalah negeri Berubah yaitu negeri utama
yang telah mengalami perubahan karena kerusakan, sedangkan yang ke empat adalah negeri
Sesat negeri yang dihuni oleh orang yang pemikirannya salah (Tuhan).
- Tasawuf ; kesucian jiwa bukan hanya diperoleh dari pensucian badan dan perbuatan, melainkan
kepada pikiran dan pemikiran (Jiwa).
- Kenabian : Ia adalah orang suci yang mempunyai daya imajinasi yang kuat, sehingga dapat
berhubungan dengan akal Fa’al (Tuhan) baik dalam keadaan tidur dan tidak, ia dapat menerima
kebenaran yang nampak dalam bentuk wahyu atau impian yang benar.

3. Ibnu Shina
• Ia adalah Abu Ali Husain ibnu Abdillah Ibnu Shina. Lahir di Bukhara, tahun 370-420 H/980-
1037 M.
• Karya :
- Asy Syifa (18 Jilid - Filsafat, logika, Fisika, Metafisika dan Matematika).
- An Najat (ringkasan buku asy syifa).
- Qonun fith Thibb (Qonun of Medicine)
- Al Hikmah al Masyriqiyah (berisi tasawuf dan filsafat Timur).
- Al Musiqa (kitab musik).

4. Imam al Gazali
• Ia adalah Abu Hamid Muhammad al Gazali. Lahir di Khurasan tahun 450-505 H/ 1058-1111
M. ia mendapat julukan sebagai Hujjatul Islam dan Zainuddin.
• Karya-karya :
- Mizanul Ilmu (Timbangan/Kreteria Ilmu)
- Miyarul Ilmu (Standar kebenaran Ilmu).
- Maqosidul Falasifah (Tujuan Filsafat).
- Thahafutul Falasifah (Kekacauan Filsafat)
- Al Wajiz (buku Fiqih)
- Al Munqidz min al Dzalal (Keluar dari kesesatan).
• Pokok pikiran :
- Filsafat : dalam buku Thahafutul Falasifah, ia menilai bahwa ada 20 per-masalahan yang perlu
diluruskan dalam kajian Filsafat. 17 masalah dianggap-nya sebagai kesia-siaan berfikir dan tiga
masalah dianggap sebagai bentuk kekafiran yaitu problem kebangkitan Jasmani, Tuhan tidak
mengetahui yang partikular (juz’iyah) dan qodimnya alam.
- Tasawuf ; al Gazali menganut praktek tasawuf tetapi menolak ajaran hulul dan wihdatul wujud.
Ia mengajarkan tasawuf yang dapat diterima oleh Sunni, karena ia menentang praktek sufi yang
menolak upacara keagamaan, sebab menurutnya, upacara keagamaan dikerjakan dalam rangka
kesempurnaan.

B. Filosof Islam di Barat


1. Ibnu Bajah
• Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya. Lahir di Saragosta Sevilla dan me-ninggal tahun
1138 M. Di Eropa ia dikenal dengan nama Avenpace
• Karya-karyanya adalah ilmu logika dan Jiwa, Buku El Ittisal (berisi ttg manusia dan
hubungannya dengan akal Faal), el Wada’ (berisi ttg. penggerak utama ma-nusia, tujuan manusia
dan alam) dan buku Tadbih al Mutawahhid (cara menjauhi keburukan).
• Pokok pikiran. Ibnu Bajah mengatakan bahwa perbuatan manusia terbagi men-jadi dua bagian,
yaitu perbuatan yang timbul dari motif naluri atau hal lain yang berhubungan dengannya. Yang
kedua, perbuatan manusia yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang benar.

2. Ibnu Tufail
• Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Tufail. Lahir di kota Granada, th.506-581 H/ 1110-1185
M.
• Karya-karyanya yang terkenal adalah buku “Hay bin Yaqadhan” (buku yang di-tulis
berdasarkan dialag Ibnu Thufai dengan Hay bin Yaqadhan).
• Pokok-pokok pikiran :
- Tujuan Filsafat adalah untuk kebahagiaan dengan akal faal
- Urutan pengetahuan manusia dimulai pengetahuan inderawi ke pemikiran universal.
- Tampa pengajaran dan pendidikan, akal manusia sanggup untuk mengetahui wujud Tuhan.
- Manusia dengan akalnya dapat mengetahui dasar-dasar keutamaan dan akhlak yang mulia.
- Syariat dan akal manusia hanya untuk mengetahui kebenaran dan ke-baikan.

3. Ibnu Rusyd (Averros)


• Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd. Lahir di Andalusia tahun 520-595
H/1126-1198 M.
• Karya-karya Ibnu Rusyd yang terkenal adalah Bidayatul Mujtahid (Fiqih), Fahlul Maqal fima
Baina Hikmah was syari’at (ilmu Kalam), Manahij al Adillah fil Aqoid wal Millah, dan
Thahafutut Thahafut (Filsafat).
• Pokok Pikiran :
- Filsafat ; ia berpendapat bahwa Filsafat tidak haram dalam Islam
- Metafisik ; wujud Tuhan dapat diketahui melalui dalil Inayah (Perse-suaian), Ikhtira’
(penciptaan) dan dalil Gerak ( Penggerak utama).

Disamping kita memiliki sejumlah filosof dengan berbagai karya intelektual yang sampai saat ini
masih dijadikan rujukan keilmuan, umat Islam juga berhasil menemukan berbagai ilmu
keislaman dan juga ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat mengagumkan misalnya :
1. Bidang Ilmu agama – lahirlah disiplin ilmu yang akar kajiannya bersumber pada dogmatika
Agama misalnya Ilmu Fiqih/usul Fiqih, Ilmu Kalam/Tauhid, Ilmu Tafsir/Ilmu Al Qur’an, Ilmu
tata bahasa Arab, Ilmu Hadits/Mustholah Al Hadits dll.
2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
a. Matematika
- Jabir Al Isjbili (penemu ilmu hitung yang disebut dengan Al Jabar)
- Al Khawarizmi (penemu sistem angka yaitu angka “NOL”)
- Al Battani (penemu ilmu hitung Trigonometri yang terdiri dari Sines, Tangen dan Cotangen).
- Omar Al Kayyam (penemu persamaan kubik dan persamaan derajat).
b. Astronomi
- Al Fazari (penemu Astrolobe yaitu alat pengukur tinggi dan gerak bintang).
- Yunus Al Misri (penemu Jam dan alat penghitung waktu/Jam, menit dan detik).
c. Kedokteran (Kimia dan Farmasi)
- Al Kindi (Dokter Mata) – ia menulis buku “Optics” (ilmu mata) yang menjadi referensi
pemikiran Roger Bacon.
- Ar Razi (Razes) hidup tahun 865-925 – ia penemu penyakit Campak dan Kolera. Hasil
penelitian tersebut termuat dalam buku Small-pax dan measless yang telah dicetak ulang
sebanyak 40 kali.
- Al Farabi – ia menulis buku Key of Sciences atau Indeks of Sciences yang memuat dasar-dasar
ilmu kedokteran.
- Al Hazen – ia menulis buku “Optics” (Ilmu Mata) dan Light yang mengkaji pengaruh cahaya
terhadap mata.
- Ibnu Shina (Avessin) – ia menulis buku “Qonun fi Al Thib (Conon of Medicine) yang menjadi
dasar ilmu Kedokteran modern.

4. Seni, Sastra dan budaya


a. Seni Musik misalnya buku al Musiqa karya Ibnu Shina.
b. Sastra misalnya cerita seribu satu Malam (Alfu Laila wa Laila)
c. Faktor-Faktor yang menyebabkan tumbuhnya kemajuan di dunia Islam

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEMUNDURAN ISLAM


Secara umum, kita tidak dapat mengatakan bahwa kemunduran Islam dipicu oleh sese-orang atau
institusi tertentu atau dengan kata lain bahwa kita tidak dapat meletakkan seseorang atau institusi
sebagai kontributor utama dalam proses kemunduran umat Islam. Menuurut pemikiran saya,
bahwa Islam secara ekonomi – politik mengalami kemunduran dan kehancuran adalah sebuah
istilah general untuk menggambarkan ketidak berdayaan seluruh elemen keagamaan umat Islam,
menyangkut cara pemahaman keagamaan, cara beragama umat Islam, cara berbudaya dan
berpolitik umat Islam, yang tidak menempatkan Islam sebagai sebuah tata nilai yang luhur dan
menempati ruang utama dalam percaturan apapun di dunia ini.

Namun demikian, diperlukan penggambaran yang integral terhadap faktor-faktor yang bisa di
identifikasikan sebagai penyebab kemunduran Islam. Penggambaran faktor-faktor penyebab
kemunduran Islam tersebut barangkali kurang mewakili dari keseluruhan faktor, tetapi paling
tidak telah memberikan gambaran awal agar faktor-faktor tersebut tidak lagi menjadi unsur
lemah dalam perkembangan umat Islam. Untuk memudahkan pemahaman, maka faktor
penyebab kemunduran Islam di bagi menjadi dua, yaitu :
1. Faktor Eksternal
a. Di Timur
• Kerajaan Abbasiyah sebagai representasi kejayaan Timur di hancurkan oleh Hulago Khan,
yang mengakibatkan seluruh potensi intelektual, ekonomi dan politik me-ngalami degenerasi,
lebih dari itu umat Islam secara keseluruhan telah kehilangan jati dirinya.
• Pusat-pusat kebudayaan dan tokoh-tokoh intelektual mati terbunuh bersama dengan hancurnya
perpustakaan dan pusat-pusat research.

b. Di Barat
• Terjadinya proses transformasi ilmu secara damai, yang ternyata menjadi kontributor dominan
lahirnya kesadaran baru bangsa Eropah (Renaisance).
• Renaisance tersebut mampu mendorong Bargaining Power bangsa Eropah menjadi lebih
seimbang terhadap umat Islam, terlebih setelah mereka mampu menempatkan Toledo sebagai
pusat Kerajaan Kristen Eropah.
• Berfungsinya Toledo sebagai jembatan penghancur posisi umat Islam Eropah, secara dominan
berakibat lahirnya “Sentimen Eropah”(anggapan bahwa Islam hanya tinggal nama) dan
“Mozarabes” (Islam beragama Kristen karena sayang nyawa).
• Serangan bangsa Eropah (Kristen) terhadap umat Islam Eropah (Granada – kota ter-akhir Islam
Eropah –1492 m.) – semakin menguatkan posisi dan dominasi bangsa Eropah terhadap umat
Islam.

2. Faktor Internal
Menurut saya, bahwa faktor dominan yang menyebabkan kemunduran Islam, tidak berasal dari
luar (kekuatan Kristen Eropah). Faktor eksternal hanya merupakan efek dari kesalahan
management, kelemahan dan merosotnya kekuatan intern umat Islam, dan secara efektif dapat
dimanfaatkan oleh kekuatan eksternal untuk memukul balik kekuatan Islam yang telah lama
menguasai dunia. Secara faktor-faktor Intern penyebab kemunduran Islam dapat dibedakan
menjadi :
a. Politik
• Bergesernya sistem politik umat Islam, dari demokrasi menjadi system kerajaan (monarchi)
dengan menempatkan Keluarga/Bani/Dinasti sebagai pemegang Supremasi kekuasaan politik.
• Penghianatan Muawiyah (Bani Umaiyah) terhadap Ali bin Abi Thalib (Syiah) me-lahirkan pola
politik Tirani dan balas dendam (Curiga/Represi) terhadap keluarga atau kekuatan politik lain.
• Suksesi kepemimpinan dari Dinasti satu ke Dinasti yang lain selalu berakibat adanya
pertumpahan darah (politik bakar bambu).
• Perkembangnya sistem politik Wazir, dengan menempatkan institusi atau orang lain menjadi
pemegang kekuasaan politik baru di samping kekuasaan Raja. Terkadang ia bertindak sebagai
raja di balik raja.
• Longgarnya perhatian dan pengawasan terhadap daerah bawahan yang berakibat munculnya
pemboikotan politik atau des integrasi antar wilayah.
b. Moral
• Keluarga kerajaan menempatkan diri sebagai kelompok Jetset – hidup dalam ke-mewahan dan
glamaur dengan perta pora yang tiada hentinya ala selebritis modern. Mereka telah lupa terhadap
nilai-nilai religius.
• Keluarga kerajaan tidak lagi memperdulikan nasib rakyat, bahkan roda pemerintahan telah
diserahkan kepada pembantu-pembantunya – terkadang bertindak diluar batas kemanusiaan.
c. Tradisi berfikir
• Berkembangnya polemik pemikiran antara kaum rasionalis/Ibnu Rusyd yang me-nempatkan
agama sebagai parameter kedua, dengan kaum agama (Al Gazali).
• Polemik tersebut telah menghabiskan energy intelektual umat Islam, sehingga yang terpikir
pada saat itu hanya isyarat-isyarat tentang benar tidaknya produk pemikiran Rasionalis di mata
nilai-nilai dogmatik, ketimbang berfikir mengenai esensi dan gairah berfikir keilmuan itu sendiri.

AL GAZALI VERSUS IBNU RUSYD


Dalam segmen “Tradisi Berfikir”, sedikit telah disinggung hal-hal yang berkaitan dengan
Polemik pemikiran antara kelompok Agama yang diwakili oleh al Gazali dan Rasionalis yang
pelopori oleh Ibnu Rusyd. Sejak semula perbedaan pemikiran antara kelompok Agama dan
Rasionalis tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan dalam perjalanan sejarah umat Islam –
seberapa jauh polemik keilmuan tersebut berpengaruh terhadap kemunduran tradisi berfikir umat
Islam ?. lebih dalam lagi seberapa jauh al Gazali berperan menghentikan laju tradisi berfikir
dikalangan Suni ?.
Beberapa pakar keislaman beranggapan bahwa al Gazali dapat dipersalahkan menyangkut
surutnya tradisi keilmuan dikalangan umat Islam terutama di dunia Timur (Bagdad) menyusul
reaksi kritisnya terhadap pemikiran-pemikiran filosofis yang berkembang pada saat itu. Reaksi
kritis al Gazali tersebut telah membawa kelompok Rasionalis menjadi bahan gunjingan in-
telektual bahkan sering mereka dianggap sebagai sebab terjadinya kekafiran umat Islam. Sedang-
kan kelompok agama mempunyai modal baru untuk menyerang kelompok rasionalis – sudah
barang tentu keadaan tersebut menempatkan kelompok rasionalis pada posisi yang dilematis.
Namun dalam sebuah seminar tentang Polemik keilmuan al Gazali dan Ibnu Rusyd dan
pengaruhnya terhadap kemunduran berfikir dikalangan Sunni, berkembang satu kesimpulan
bahwa al Gazali tidak dapat dipersalahkan dalam kasus kemandegan berfikir kaum Sunni ter-
sebut. Dr. Harun Nasution, salah satu pakar Rasionalis (Mu’tazilah) Indonesia yang menjadi
Nara Sumber pada seminar tersebut menyatakan bahwa al Gazali tidak dapar dipersalahkan
menyusul mandegnya tradisi berfikir rasionalis dikalangan kaum Sunni dan berpindahnya filosof
Timur (Bagdad) ke Barat (Spanyol), terutama setelah kehancuran Bagdad pada abad XIII, karena
setelah peristiwa tersebut – tradisi berfikir filosofis masih dapat dijumpai pada beberapa tempat
pengembangan kebudayaan Islam.
Dr. Ahmad Syafi’i Maarif, salah satu murid tokoh neo modernis Fazlur Rahman, dengan
gayanya yang khas – keras dan bombastis, lewat makalahnya yang berjudul “Al Gazali – figur
Anti Intelektualisme” menyatakan bahwa al Gazali tidak dapat dipersalahkan dalam hal
terjadinya kemunduran Tradisi Filsafat dikalangan Sunni. Kesimpulan yang menyatakan bahwa
al Gazali berperan terhadapnya mandegnya tradisi tersebut adalah “Pemikiran yang kurang
Cerdas” karena kemunduran Islam adalah peristiwa sosiologis dan umum umat Islam, sehingga
tidak bijaksana menempatkan seorang sebagai kontributor utama dalam kasus tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan pemikiran-pemikiran di atas, Dr. Nurcholis Madjid lewat
makalahnya yang berjudul “Ilmu Kalam dan Filsafat” menyatakan bahwa al Gazali, sebagaimana
juga Asy’ari pada masa sebelumnya – yang berusaha untuk menjaga keseimbangan pemikiran
Theologis dan Filsafat, terutama antara kelompok Sunni dan Mu’tazilah, sedankan al Gazali
mencoba membuat kesimbangan pemikiran antara Kelompok Agama dan Filsafat. Al Gazali
menginginkan sebuah performa pemikiran antara “Ia barangkali tidak bermaksud melengserkan
atau menghambat laju Filsafat, namun kritik-kritik yang tajam mengenai beberapa persoalan
Filsafat, sedikit banyak mempunyai akibat mandegnya dominasi kaum rasionalis, menyusul
kekalahan telak kaum agama dalam percaturan pemikiran umat Islam pada waktu. Pemikiran
serupa juga dia tulis dalam pengantar buku “Khazanah Intelektual Islam”, yang didalamnya
memuat bagian terkecil tulisan tentang pemikiran al Gazali yang bernama “Penjelasan yang
Menentukan”.
Jika al Gazali ingin memberangus tradisi berfikir umat Islam, maka yang harus dilakukan oleh al
Gazali adalah menyerang cara berfikir Filosofis (Rasional) dan bukan menyerang produk-produk
pemikiran filosofis yang menjadi wacana pemikiran pada saat itu. Ibarat membunuh ular, maka
yang harus dilakukan adalah memukul kepalanya dan bukan menggebuk ekor ular tersebut dan
membiarkan kepala bergerak kesana kemari. Al Gazali sendiri menggunakan metodologi
Filsafat dan pemikiran Rasionalis dalam melakukan kritiknya terhadap pemikiran filsafat. Di
akui atau tidak, Ia juga adalah seorang Filosof. Keadaan tersebut melahirkan penilaian negatif
terhadap status berfikirnya al Gazali – ia kerap kali dituduh sebagai pemikir bermuka dua
(standar ganda). Di satu ia menyorot tajam pemikiran Filsafat dengan menggunakan standar
Agama, tetapi di pihak lain ia juga menggunakan metode-metode yang selama ini dipahami
sebagai produk Filsafat. Namun kedalaman ilmu dan kepandaian logikanya, ia mampu
memberikan penjelasan-penjelasan dan sanggahan-sanggahan yang sangat menga-gumkan umat
Islam, dan hal tersebut mengantar al Gazali sebagai satu-satunya pembela pemikir keagamaan
yang masyhur. Ia kerap kali di sebut “Zainuddin atau Hujjatul Islam”.
Di balik peristiwa-peristiwa tersebut, menurut Cak Nur ada bahaya yang tersisa dalam
keberhasilan dan kemampuan al Gazali melakukan kritik terhadap Filsafat dan penyelesaian thd
beberapa permasalahan agama pada saat itu – al Gazali nampaknya membuat rumah baru,
dengan sekat yang baru bagi Umat Islam. Dalam rumah tersebut seakan tidak lagi ditemu-kan
kesalahan dan kekurangan, yang pada gilirannya menjadikan umat Islam berhenti berfikir.
Memang di masa-masa akhir kehidupannya, al Gazali mengalami “Sindrom Keragu-raguan”,
atau boleh dikatakan mengalami “kebingungan intelektual” (meragukan pendapat dan produk
pemikirannya sendiri), karena di dalam diri al Gazali terhimpun berbagai ilmu pengetahuan
Mutakhir. Ilmu Kalam, Kebatinan, Filsafat dan ilmu Tasawuf. Al Gazali menulis beberapa buku
Filsafat, misalnya Miyarul Ilmi, Maqasidul Filsafat, Thahafutul Falasifah dan al Munqidz min al
Dzalal – buku terakhir merupakan catatan filosofis al Gazali ketika ia memperoleh kembali
pencerahan. Dan ratusan buku lainnya dalam bidang Ilmu Kalam, Tasawuf (Akhlak), Fiqh dan
ilmu-ilmu lainnya.
Buku karya tulis al Gazali yang menjadi pemicu lahirnya polemik teersebut adalah “Thaha-futul
Falasifah” (Destructione Philoshoporum), memuat 20 masalah yang dianggap al Gazali sebagai
kekeliruhan filsafat. Buku Thahafutul Falasifah terbukti mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap wacana dan gairah berfikir umat Islam. Dan sebagai bandingan kritik-kritik tersebut,
Ibnu Rusyd menulis buku “Thahafutut Thahafut” (Destructiones destructione).
Al Gazali mengkritik pemikiran filsafat yang berkembang pada waktu itu, dan menurut ada 20
permasalahan Filsafat yang dianggapnya salah atau bahkan menyesatkan. 20 (Dua Puluh) per-
masalahan filsafat ditulis al Gazali secara sistematis – mulai masalah pertama sampai dengan
masalah ke dua puluh. Dalam kesimpulannya, al Gazali membagi ke 20 masalah tersebut
menjadi dua kategori, yaitu :
1. 17 (tujuh belas) masalah Filsafat dianggapnya sebagai kesia-siaan berfikir (bid’ah).
2. 3 (tiga) masalah Filsafat dianggapnya sebagai pemikiran yang dapat memasukkan orang pada
sebutan “Zindik/Kafir”. Ketiga permasalahan filsafat tersebut adalah :
a. Adanya anggapan/pemikiran alam bersifat abadi (Keabadian alam) – masalah III.
b. Penolakan terhadap kebangkitan jasmani manusia pada hari akhir – masalah XIII.
c. Bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat Juz’iyah/partikular (bagian-bagian kecil)
– masalah XX.

Bersamaan dengan sebab sosiologis yang lain, umat Islam mengalami kemunduran terutama
dalam hal tradisi berfikir liberal sebagaimana yang telah berkembang sebelumnya. Bisa jadi
malah berbalik arah, Filsafat tidak lagi menjadi wacana keilmuan sebagaimana sebelumnya.
Melihat kenyataan tersebut, di Barat lahirlah seorang pemikir Islam terbesar pasca al Gazali –
Ibnu Rusyd (Averroc). Untuk membangkitkan kembali tradisi berfikir rasional, ia menulis
koreksi terhadap buku al Gazali – bernama “Thahafutut Thahafut”. Buku tersebut menjelaskan
beberapa masalah yang selama ini menjadi sorotan tajam al Gazali, walaupun demikian, sebagai
seorang Aristotelian, Ibnu Rusyd justru lebih banyak mengkritik beberapa pemikiran Filsafat
yang kurang benar.
Ibnu Rusyd mengawali tulisan buku Thahafutut Thahafut dengan mengedepankan nilai-nilai
dogmatis agama terhadap “Penggunaan Rasio/Akal” untuk memperoleh kebenaran dan me-
ngembangkan Ilmu. Dalam artian ia memulai kajian dengan meletakkan persoalan mendasar ttg
“Sikap dan pandangan Syari’ah terhadap akal/berfikir itu sendiri”. Dengan rujukan-rujukan
tekstual (Ia juga seorang ahli Fiqih yang hebat – salah satu karya fiqih tersistematis pasca Imam
Mazhab adalah buku “Bidayatul Mujtahid”), Ibnu Rusyd sampai pada satu kesimpulan :
1. Bahwa berfikir tidaklah bertentangan dengan Syari’ah bahkan di anjurkan.
2. Bahwa kebenaran Syara’ beriringan dengan kebenaran “berfikir”.

Menurut pemikiran saya, bahwa Ibnu Rusyd hanya ingin meletakkan konsep dasar Islam
mengenai pentingnya penggunaan akal dalam kehidupan manusia, dan secara detail ingin
menginginkan keseimbangan performa pemikiran baru umat Islam. Namun keadaan sosiologis
umat Islam tidak lagi mampu menangkap makna dasar ajaran Islam tersebut – kesimpulan-
kesimpulan intelektual Ibnu Rusyd tersebut tidak cukup kemampuan untuk membangun kembali
tradisi berfikir rasional dikalangan kaum Sunni. Bahkan tanggapan emosional di alami oleh Ibnu
Rusyd di Eropah – raja Islam Spanyol yang berkedudukan di Sevilla menangkap Ibnu Rusyd dan
membakar habis seluruh karya tulis Ibnu Rusyd, kecuali karya tulis yang memuat ilmu-ilmu
agama dan Kedokteran.
MENGATASI KEMUNDURAN ISLAM
Banyak sudah alternatif yang ditawarkan oleh para pemikir Islam untuk membangun kembali
kewibawaan umat Islam dipentas kebudayaan dunia. Pemikir-pemikir Islam mencoba untuk
menghentikan kebiasaan buruk dan menghidupkan kembali tradisi zaman Nabi dengan
menempatkan Al Qur’an dan Hadits sebagai pedoman Hidup. Diantara mereka yang memulai
membangkitkan kembali umat Islam adalah :
1. Ibnu Taimiyah – ia adalah salah satu murid Imam Abu Hanifah yang memiliki wawasan
rasional. Untuk membangun kembali umat Islam, Ibnu Taimiyah menyampaikan perlu adanya
gerakan “Muhyi Atsaris Salaf”/menghidupkan kembali tradisi orang terdahulu).
2. Muhammad Bin Abdul Wahab – ia berpendapat bahwa untuk membangun umat Islam harus
dilakukan proses pemurnian tauhid dengan menekankan gerakan “Muwahhiddin” yaitu gerakan
kembali kepada Keesaan Allah. Tetapi orang-orang yang tidak suka dengan gerakan
“Muwahiddin” menyebut gerakan tersebut dengan “Gerakan Wahabi” sebagai salah satu bentuk
pelecehan terhadap Muhammad bin Abdul Wahab. Semboyan yang sering dikembangkan adalah
Umat Islam harus kembali menjadikan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai pedoman hidup.
3. Moh. Iqbal dengan usulan merekonstruksi ulang pemikiran umat Islam dengan pemikiran yang
realis, konstruktif, dan aktualis agar umat Islam memperoleh kemajuan kembali.
4. Jamaluddin al Afghani yaitu dengan membangun kembali semangat Solidaritas umat baik
secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
5. Moh. Abduh dengan usulan melakukan adaptasi kebudayaan dan ilmu-ilmu asing dengan
meletakkan nilai Islam sebagai dasar pengembangannya melalui proses pendidikan yang baik.

DAFTAR RUJUKAN
1. Dr. Muhammad Heykal : Sejarah Islam
2. Philip K. Hitti : Sejarah Arab
3. Dr. Harun Nasution : Islam di tinjau dari berbagai aspeknya.
4. Drs. Imam Munawir : Pembaharuan Islam dari Masa ke Masa.
5. Dr. Fazlur Rahman : Islam
6. Dr. Harun Nasution : Islam ditinjau dari berbagai aspeknya
7. Busthami Muhammad Said : Gerakan Pembaharuan Agama antara modernisme
Dan pembaharuan Agama (Tajdiduddin).
8. John L Esposito : Ancaman Islam; mitos dan realitas
9. Philip K. Hitti : Dunia Arab (The sorth Story of Islam)
10. Muhammad Qutb : Perlukah menulis ulang sejarah Islam.
11. Ahmad Amin : Kultur Islam

Pembaharuan Islam di Indonesia


Diposkan oleh ZABAZ di 20.14
SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN DAN
PROSES PEMBAHARUAN ISLAM
DI INDONESIA

OLEH : DRS. IHSAN

Membicarakan Islam di Indonesia membutuhkan kecermatan tersendiri, kecermatan peng-


amatan terhadap unsur kebudayaan yang menjadi pendukung dan perluasan Islam terutama di
tanah Jawa pada masa Wali Songo. Kecermatan kecenderungan pengamalan agama, yang secara
tegas tidak dapat dipisahkan dari unsur asal keagamaan masyarakat Indonesia sebelumnya yaitu
Hindu dan Budha. Kecenderungan terjadinya percampuran tersebut nampak sekali pada
masyara-kat Jawa Tengah, dengan meletakkan unsur kebatinan dan Kejawen dalam struktur
keagamaan Islam, walaupun dalam kenyataannya menimbulkan permasalahan keimanan
tersendiri bagi umat Islam.
Unsur Kejawen dan kebatinan menjadi permasalahan pokok bagi umat Islam yang meng-
inginkan terbebasnya ajaran Islam dari unsur negatif kebatinan, yang cenderung menjadikan
system keimanan Islam menjadi sebuah praktek Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat, dan konsep ini
bagi para pembaharu Islam menjadi pokok permasalahan yang harus segera diselesaikan untuk
menja-ga dinamika dan Ruh Islam.
Terlepas dari gambaran permasalahan-permasalahan tersebut, sebelum lebih jauh mengkaji
situasi sosial keagamaan dan proses pembaharuan Islam Indonesia, nampaknya kita perlu me-
lihat perkembangan Islam Indonesia jauh kebelakang, dalam artian melihat Islam dalam tataran
dan wacana awal dari sejarah masuk dan perkembangannnya di bumi Indonesia.
Dalam dimensi kesejarahan, masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan berbagai pendapat yang
sampai saat ini masih saja menjadi bahan kajian dan pemikiran bagi pakar kesejarahan Islam
Indonesia. Permasalahan yang muncul dan kerap menjadi polemik berkaitan dengan masuknya
Islam ke Indonesia terutama yang berkaitan dengan kapan ia masuk, dimana daerah yang
pertama kali menerima Islam, dan dengan cara atau lewat apa (pembawa) Islam tersebut masuk
ke Indonesia.

Di samping permasalahan tersebut, Islam Indonesia mempunyai problem-problem klasik, yang


juga dialami oleh sekian banyak wilayah dan daerah Islam yang lain, yaitu problem pe-ngamalan
agama yang banyak kemasukan unsur lokal, proses pembersihan dari unsur lokal, yang tidak
kalah pentingnya adalah kotroversi proses pembaharuan pada abad ke 19 dan modernisasi Islam
pada pertengahan abad XX.

SEPUTAR MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA


Polarisasi pemikiran dan pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia telah terbentuk sejak
para pakar sejarah Islam Indonesia melihat arti pentingnya Islam di Indonesia secara politik dan
subtantif (nilai ajaran kegamaan). Kepentingan berdasarkan kepentingan politik akan menem-
patkan pendapat dan pemikiran yang didukung, akan lebih tinggi nilai dan kontribusinya di-
bandingkan dengan yang tidak mereka dukung, misalnya jika mereka bependapat bahwa Islam
datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang Guzarat, maka akan sedikit banyak memberangus
peran politik dan ekonomi bangsa Arab. Demikian juga yang berkait dengan kepentingan
subtantif ajaran ke-agamaan, maka yang nampak bahwa Islam tidak datang dari negara asal me-
lainkan telah terjadi proses adaptasi yang lama dalam sikap dan prilaku pedagang Guzarat,
demikian juga seterusnya. Dampak dari polarisasi pendapat dan pemikiran tersebut telah banyak
ditulis di berbagai buku sejarah, dan sebagian dari kita ada mengikuti pendapat yang justru lebih
menguntungkan kaum orientalis, dan untuk itulah maka dilakukan pengkajian ulang dalam
bentuk “Seminar masuknya Islam ke Indonesia”, yang diadakan pada tahun 1958 dan 1963.
Secara umum pelemik pendapat tentang siapa atau dengan cara apa Islam masuk, terpolarisasi
pada pendapat atau teori Gujarat, Makkah dan Parsi. Sedangkan polemik tentang kapan Islam
masuk ke Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) pendapat, yaitu masuk pada abad VII, abad X dan
abad XIII.

A. Teori Guzarat (India)


Teori Guzarat besar kemungkinannya dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, sebagai upaya
Snouck untuk mengelimir peran serta bangsa Arab dalam proses masuknya Agama Islam di
Indonesia, apalagi ketika teori ini dikembangkan Snouck (Belanda) sedang menga-lami per-
golakan militer rakyat Aceh. Secara umum teori Guzarat mengatakan bahwa asal dan pembawa
agama Islam ke Indonesia adalah orang Guzarat India, yang sejak semula sudah mempunyai
hubungan historis dengan Indonesia. Pandangan ini sangat jelas menafikan peranan Bangsa Arab
dalam penyebaran Islam di Indonesia, termasuk kemungkinan terjadi-nya percampuran ajaran
agama Islam dengan agama Hindu, Budha dan Animisme.
Kebanyakan orang yang menganut teori Guzarat adalah sarjana Barat (orientalis) yang
menginginkan target negatif tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut adalah :
Snouck Hurgronje
Islam berasal dan dibawa oleh para pedagang Guzarat India yang datang ke Indonesia. Snouck
beralasan, bahwa :
a. Kurangnya fakta/data yang menyatakan peran bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke
Indonesia.
b. Hubungan antara Indonesia dan Guzarat India telah terjalin sejak lama, dan itu terjadi sejak
abad I M.
c. Terdapat inkripsi tertua yang ditemukan di Sumatra, yang jelas menyatakan adanya hubungan
antara Sumatra dan Guzarat.

W.F. Stutterheim, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang Guzarat. Ia
mengatakan bahwa sejak dahulu telah terdapat jalan atau mata rantai per-dagangan antara
Indonesia dengan Cambay (Guzarat), Timur Tengah dan Eropah. Lebih lanjut ia mengatakan
bahwa Nisan Sultan Malikus Sholeh (raja pertama kerajaan Islam Samudra Pasai) mempunyai
motif atau berelief Hinduisme, yang dengan mudah dapat di-temui pada setiap Nisan di Guzarat
India.

Bernard HM. Vlekke berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa pedagang Guzarat
dengan fakta-fakta sebagai berikut :
a. Adanya kesamaan bentuk dan relief Nisan di Sumatra dengan Nisan di Guzarat India.
b. Adanya pengamalan keagamaan terutama mistik yang mempunyai corak yang sama dengan
mistik di Guzarat India.
Schricke (Indonesian sociological studies) juga menyatakan hal yang sama, dengan alasan-alasan
sebagai berikut :
a. Guzarat sejak semula telah berkembang menjadi pusat perdagangan.
b. Sebagai pusat perdagangan, Guzarat mempunyai hubungan yang erat dengan Malaka (Daerah
baru yang berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dengan memanfaatkan
selat Malaka sebagai jalur dan pelabuhan perdagangan).

Clifford Geertz (The Relegion of Java), yang menyatakan bahwa ajaran agama Islam di
Indonesia dipengaruhi oleh Hindu, Budha dan Animisme; yang sebelumnya telah lebih dulu
berkembang di Indonesia. Dengan bukti-bukti tersebut, maka berart tidak ada hu-bungan (putus
hubungan) antara Indonesia dengan bangsa Arab sebagai sumber ajaran Islam.

Dari berbagai pendapat tersebut, nampak sekali kelemahan-kelemahan yang sama sekali tidak
diperhatikan, karena ia hanya menitik beratkan kepada adanya hubungan dagang dan
meninggalkan fakta lain yang berkaitan dengan aliran pengamalan agama dan tata bahasa yang
biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.

B. Teori Makkah
Teori Makkah kali pertama dikemukakan oleh Prof. HAMKA dalam sebuah ceramah ke-
agamaan tentang masuknya Islam di Indonesia, dalam rangka Dien Natalis PTAIN di
Yogyakarta pada tahun 1958, dan kemudian ditindaklanjuti pada acara “seminar tentang
masuknya Islam di Indonesia” di Medan pada tanggal 17-20 Maret 1963.
Teori Makkah menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh dan me-lalui
bangsa (pedagang) Arab, yang datang langsung ke Indonesia, dan Guzarat hanya sebagai tempat
persinggahan sementara dari para pedagang tersebut. Bahkan dalam catatan sejarah Farrehand
para penyebar Islam tersebut datang langsung dari Arab pada masa pemerintahan Muawiyah bin
Abu Sufyan.
Untuk memperkuat tesis tentang hubungan yang dekat antara Indonesia dan bangsa Arab tersebut
terutama dalam proses Islamisasi Indonesia, Prof. HAMKA mengemukakan alasan-alasan
sebagai berikut :
Bahwa orang Makkah (bangsa Arab) merupakan sumber pertama yang membawa agama Islam
ke Indonesia, sedangkan Guzarat adalah tempat persinggahan sementara.
Terdapat kesesuaian ajaran yang dianut oleh umat Islam Indonesia dengan umat Islam Makkah
atau Mesir (Sumber agama Islam) yaitu Mazhab Syafi’i.
Guzarat sebagai pusat bisnis yang menyebabkan terjadinya hubungan dengan Indonesia, pada
masa sebelumnya telah dilakukan oleh bangsa Arab pada tahun 500 SM. Hal ter-sebut dibuktikan
dengan :
a. Terdapat perkampungan bangsa Arab di pantai Barat Sumatra, yang pada tahun-tahun
berikutnya telah berubah menjadi perkampungan Islam (TW. Arnold 1896, JC. Van Leur 1955
dan Hamka 1958).
b. Terdapat peta bumi yang dimiliki oleh bangsa Arab, yang didalamnya terdapat juga peta
Sumatra Indonesia.
Raja Ta Cheh yang diasumsikan sebagai raja dari keturunan bangsa Arab pernah ber-kunjung ke
Jawa pada masa pemerintahan Ratu Sima, dan itu terjada pada masa peme-rintahan Kholifah
Muawiyah bin Abu Sufyan.
Dengan demikian, keberadaan Guzarat sebagai pusat perdagangan sebagaimana yang
dikemukakan oleh para orientalis, dimentahkan oleh teori Makkah yang menemukan bukti
adanya hubungan kenegaraan dan perdagangan antara bangsa Arab dengan Indonesia, jauh
sebelum Guzarat tampil kedepan. Dan realitas tersebut memperkuat kesimpulan tentang pe-ranan
bangsa Arab dalam islamisasi Indonesia.

C. Teori Parsi
Teori Parsi kali pertama disampaikan oleh P.A. Husain Djojoningrat, yang menyatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia melalui orang-orang Parsi. Husain memulai pendapatnya dengan
mengemukakan berbagai hubungan kebudayaan antara Indonesia dengan Parsi. Hu-bungan
kebudayan tersebut dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
1. Peringatan 10 Muharram (Syuroan) sebagai peringatan kesyahidan Husain. Bentuk peri-ngatan
tersebut, misalnya pembuatan Bubur Syuro, Bulan Husain di Minangkabau dan Bulan Tabut di
Sumatra Barat).
2. Adanya kesesuaian pengamalan sufi Syekh Siti Jenar dengan al Hallaj, meninggal tahun 922
M, yang masih berkembang lewat puisi dan masih terus dipelajari.
3. Adanya pemakaian tanda baca dalam pembacaan al Qur’an yang berasal dari Parsi, mi-salnya
Zabar (Fathah), Ze-‘er (Kasroh) dan P-yes (Dhammah).
4. Guzarat merupakan tempat persinggahan orang-orang Parsi atau ajaran Syiah.
5. Adanya Mazhab Syafi’i yang menjadi aliran keagamaan Indonesia, berasal dari Malabar yang
dibawa oleh orang India dan bukan dari Makkah atau Mesir.

Permasalahan lain yang berkembang berkaitan dengan masuknya Islam ke Indoensia adalah
Kapan dan dimana Islam tersebut masuk ke Indonesia. Mengenai kapan Islam masuk ke Indo-
nesia terjadi perbedaan pendapat antara abad VII, XIII dan abad XVI.
Pada seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963, yang dihadliri oleh banyak
pakar keislaman, terpolarisasi menjadi tiga kelompok pendapat. Sebagian besar dari mereka
menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M, sebagaimana yang dikemukakan
oleh JC. Van Leur dan TW. Arnold, termasuk pakar sejarah Islam Indonesia, HAMKA. Untuk
lebih jelasnya berikut ini pendapat-pendapat mereka :
1. J.C. Van Leur (Indonesia : Trade and Societiy) :
Pada tahun 674 terdapat perkampungan bangsa Arab di bagian Barat Sumatra.
Pada Abad IV, di Kanton telah terdapat perkampungan bangsa Arab dan pada tahun 618-626 dan
seterusnya mereka telah berubah menjadi perkampungan Islam Arab, dan kemu-dian terus
menyebar disepanjang jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Pada abad XIII merupakan masa perkembangan Islam dan kemudian pada abad XVI, Islam
berkembang menjadi kekuatan politik yang hebat bersamaan dengan menurunnya kerajaan
Brahmana (1526) dan Vijayanagar (1556) dan meningkatnya peran Malaka sebagai pusat
perdagangan Barat.
Pada abad XIII-XVI, banyak Bupati dan petinggi negara di Jawa masuk agama Islam dalam
rangka mempertahankan status Quo (untuk memperoleh legitimasi keagamaan dari rakyat Jawa
yang telah menganut agama Islam) dan untuk memobilisasi rakyat dalam menghadapi Portugis
dan Belanda.

2. HAMKA, dengan alasan-alasan sebagai berikut :


Bahwa pada abad XIII telah terbentuk kerajaan Islam di Indonesia, maka menurut logika telah
terbentuk satu komunitas masyarakat Islam sebagai pendukung kerajaan tersebut, dan ini tidak
mungkin kalau Islam baru masuk pada abad XIII M.
Bahwa terdapat catatan dari Ferran sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Schricke. Ia
menyatakan bahwa ada Ekspedisi armada Kapal Parsi sebanyak 35 Kapal yang dipimpin oleh
Saad Bin Abi Waqash yang berangkat dari Sailan menunju Sriwijaya.

Sedangkan yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia masuk pada abad XIII se-
bagaimana pendapat yang dikemukakan oleh W.F Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para
orientalis tersebut menyatakan bahwa :
1. Telah ditemukan kuburan al Malik al Sholeh sebagai raja pertama Islam di Samudra Pasai,
wafat pada tahun 1297. (W.F. Stutterheim).
2. Catatan perjalanan Marco Polo yang datang ke Indonesia pada tahun 1292, yang menyatakan
bahwa penduduk Wilayah Perlak telah memeluk agama Islam, dan Wilayah merupakan satu-
satunya Wilayah Islam di Indonesia (Bernard H.M. Vlekke).

SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN PADA ABAD XVIII


Sebagiamana telah kita ketahui bersama, lewat catatan sejarah bangsa Indonesia, terutama ca-
tatan khusus perjalanan umat Islam Indonesia secara politik dan ekonomis. Kita menemukan
banyak karya kebudayaan dan keilmuan yang dapat dianggap sebagai salah satu kebanggaan
umat Islam tempa dulu.
Di Sumatra, secara politis kita menemukan peninggalan sejarah yang sempat mengharumkan
nama Islam sebelum diakhiri oleh kehadliran Portugis dan Belanda, terutama dalam bidang pe-
ngembangan perdagangan melalui selat Malaka. Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di
Indonesia yang memberikan tanda bahwa Islam telah Eksis di Indonesia sejak abad XII, dan ke-
beradaan Islam di Sumatra tersebut erat hubungannya dengan keberadaan Islam di Jawa,
terutama pada masa Wali Songo sebagai motor pergerakan Islam di Jawa.
Raden Paku yang kemudian menjadi salah satu anggota Sunan Songo (Wali Songo) merupakan
keturunan dari pemuka Islam di Sumatra, dan dengan demikian secara historis terdapat hubungan
yang sangat erat antara penyebar Islam di Sumatra dengan penyebar Islam di Jawa.
Islam di Jawa berkembang dengan pesat setelah Raden Rahmat sebagai Tokoh sentral penyebar
Islam di Jawa berhasil melakukan pendidikan anak bangsa dan menjalin hubungan yang
harmonis dengan penguasa Majapahit, karena ia sendiri merupakan keluarga kerajaan Majapahit
(mem-peristri salah satu putri Majapahit). Keberhasilan Sunan Ampel (Raden Rahmat) menjadi
motor penyebar Islam Jawa karena di dukung oleh tiga hal, yaitu :
1. Adanya pusat pendidikan umat yaitu Pesantren Ampel Denta di Ampel Surabaya
2. Adanya kolaborasi antara pendidikan Ampel Denta dengan pejabat Kerajaan Majapahit (salah
putra Majapahit yang menjadi murid Raden Rahmat adalah Raden Patah – raja pertama dari
kerajaan Islam Demak).
3. Adanya praktek teori rembesan, dimana setiap murid Ampel Denta berkewajiban menye-
barkan Islam atau membuka daerah baru untuk pengembangan masyarakat Islam, misalnya
Raden Qosim (Sunan Drajat) dan Raden Paku (Sunan Giri Gresik).

Setelah Islam berkembang dengan pesatnya keseluruh penjuru tanah air, mengusai daerah-daerah
yang selama ini menjadi basis pengembangan agama Hindu dan Budha (Representasi pe-nganut
Hindu adalah kerajaan Majapahit; yang masyarakatnya pindah ke Tengger dan menye-berang ke
pulau Bali, sedangkan penganut Budha lebih banyak berkosentrasi di pedalaman Jawa Barat).
Islam berkembang menjadi sebuah negara yang sangat disegani mulai pada abad XV, dengan
Demak sebagai simbul kemegahannya. Sedangkan di Sumatra Islam telah mengalami per-
kembangan yang kurang menguntungkan akibat masuknya bangsa Eropa (Portugis dan kemudian
Belanda) di Indonesia.
Perkembangan Islam yang demikian menggembirakan tersebut, diiringi dengan tumbuhnya
berbagai permasalahan baru, yang dirasakan oleh pemeluk Islam dalam kerangka pengamalan
ke-agamaannya. Permasalahan pertama yang muncul, justru berasal dari para penyebar Islam
(Wali Songo) tentang pengamalan tarekat dan praktek sufis versi Al Hallaj yang dilakukan oleh
Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang; yang menganggap dirinya telah mencapai derajat
bersatu dengan Allah dalam satu wujud. Peristiwa sufis tersebut dinamakan dengan “Wihdatul
Wujud”, yang berakhir dengan dihukumnya Syekh Siti Jenar oleh para Wali Songo, seperti
halnya “al Hallaj” yang dihukum mati oleh para penganut Tasawuf di Bagdad Irak sebelumnya.
Yang kedua; Terjadinya polarisasi dan pengelompokan pendapat Wali tentang boleh atau
tidaknya menggunakan kebudayaan lokal, dalam hal ini kebudayaan Hindu dan Budha yang
telah berkembang sebelumnya. Sunan Kalijogo, Sunan Bonang dan Sunan Muria menghendaki
adanya penggunaan kebudayaan lokal dalam rangka penyebaran misi Islam, hal tersebut
mengingat bahwa kebudayaan lokal telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga
dengan peng-gunaan kebudayaan lokal akan memudahkan masyarakat memahami ajaran Islam
karena meng-gunakan format-format budaya yang sangat dipahami oleh masyarakat. Bukti dari
penggunaan kebudayaan lokal dengan format keislaman adalah lahirnya Seni Wayang
Kalimasada (Sunan Kalijogo), Gending Bonang (Sunan Bonang) dan tembang Jawa Keislaman
misalnya “Ilir-ilir, Maskumambang dan Kinanti.
Kelompok Wali Songo yang lain, menolak penggunaan format kebudayaan lokal, karena
menurut mereka penggunaan kebudayaan lokal akan sangat potensial menyebabkan
tercampurnya ajaran Islam dengan adat istiadat dan nilai lokal (Hindu-Budha) yang sebelumnya
telah berkem-bang di Indonesia. Sehingga Islam akan menjadi sebuah ajaran agama yang bersifat
sinkritisme (agama campuran).
Entah karena kekeliruhan persepsi para Wali Songo pengguna kebudayaan lokal sebagai ins-
trument penyebaran Islam atau karena yang faktor eksternal, yang jelas bahwa perkembangan
Islam pada tahapan berikutnya menjadi sangat adaptif dan rentang terhadap masuknya ajaran
lokal, sehingga yang nampak mengemuka adalah Islam yang berwajah “Kejawen” yaitu Islam
yang dibalut oleh Sesaji dan praktek animisme lainnya. Apalagi setelah Islam masuk ke wilayah
pedalaman Jawa, yang sebelumnya dikenal sebagai Basis Hindu dan Budha, seperti Pajang (Joko
Tingkir) dan Kesultanan Islam Mataram II (Yogyakarta).

Pada rentang abad XIII-XVI, perkembangan Islam sebagai agama baru setelah agama Hindu,
Budha dan Animisme mencapai puncaknya, ditandai dengan banyak daerah, wilayah dan pe-
nguasa yang beragama Islam. Namun demikian memasuki dekade akhir masa Wali Songo,
Indonesia telah kedatangan Bangsa Barat (Portugis dan Belanda) yang sedikit banyak
menggangu ketentraman kehidupan beragama yang telah mapan. Hal tersebut disebabkan bahwa
kehadliran mereka diikuti pula oleh Missionoris /Zending Kristen, di samping karena faktor
perdagangan dan penguasaan wilayah yang kaya dengan rempah-rempah.
Pertarungan dua kepentingan tersebut, nampaknya bangsa Barat semakin lama mampu me-
nguasai dan bahkan mendominasi pusat kegiatan Islam dan kemudian mendikte segala bentuk
kegiatan, tata nilia dan political will (keinginan politik) suatu negara. Dalam waktu yang hampir
bersamaan, kekuatan politik Islam yang diwakili oleh kerajaan Demak (Pajang-Mataram),
Banten dan Cirebon berlahan-lahan mengalami kemunduran akibat tekanan bangsa Barat dan
terjadinya suksesi kepemimpinan yang selalu berakhir dengan kekalutan politik (Choas).
Melihat realitas politik seperti itu, maka mulai timbul polarisasi politik dan pengamalan ke-
agamaan dalam masyarakat Islam Indonesia. Secara politik timbul satu yang menentang ke-
hadliran bangsa Barat dan menganggapnya sebagai musuh dan kemudian mengobarkan perla-
wanan kerakyatan; Kedua kelompok lain yang menjadikan bangsa Barat tersebut sebagai ken-
daraan politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, sebagaimana yang dilakukan
oleh Kaum adat di Minangkabau dan Pangeran Puger dalam kasus perlawanan rakyat Jawa yang
dipimpin Pangeran Diponegoro.
Polarisasi perlawanan keagamaan adalah dalam bentuk perlawanan Pasif dan perlawanan Aktif,
yang oleh Arnold Toynbee dinamakan dengan perlawanan Zelotisme dan Herodianisme. Ze-
lotisme adalah system perlawanan yang dilakukan rakyat dengan jalan menghindarkan diri atau
mengisolasi diri dari bangsa Barat. Mereka menggunakan daerah pedalaman atau bukit yang sepi
sebagai perkampungan baru dan basis kekuatan perlawanan yang baru sebagaimana yang dilaku-
kan oleh para Kyai dengan Pondok Pesantren dan Santrinya. Sedangkan perlawanan Hero-
dianisme adalah sebuah perlawanan terbuka dengan jalan menerima kehadliran mereka dalam
rangka mempelajari kekuatan dan kelebihannya agar dapat dipakai sebagai instrument meng-
hancurkan mereka.
Dr. Koentowijoyo beranggapan; jika rakyat Banten dibawah Sultan Agung dapat meme-nangkan
pertempuran dengan Belanda (Banten kalah karena tempat persediaan makanan/logistik
diketahui Belanda dan kemudian dihancurkan), maka kehadliran bangsa Barat dapat dicegah se-
dini mungkin, sehingga Islam dapat berkembang lebih dominan di Indonesia. Kekalahan Banten
dan juga kerajaan-kerajaan Islam lain, membuat umat Islam memposisikan diri sebagai oposisi
(penentang) bangsa Barat. Perubahan posisi umat Islam tersebut lebih disebabkan karena faktor
Politik dan Sentimen keagamaan (bangsa Barat identik dengan agama Kristen).
Kemunduran Islam dalam wacana peran perpolitikan di Indonesia menyebabkan terjadinya
proses degenerasi atau adanya generasi yang hilang, dilihat dari segi peran politik, ekonomi dan
kemampuan keagamaannya. Maka mulai abad XVIII-XIX mulai berkembang satu kelompok ma-
syarakat Islam yang mempunyai kecenderungan berbeda sesuai dengan tingkat ekonomi dan
afiliasi politiknya, yaitu masyarakat kelas atas (Belanda), kelas menengah (pejabat dan bangsa
ke-turunan) dan kelas bawah (orang pribumi/Islam).
Dalam perspektif yang lebih khusus, berkaitan dengan polarisasi pemahaman dan pengamalan
keagamaan umat Islam Indonesia; seorang Orientalis yang bernama Clifford Geertz melakukan
penelitian dengan obyek aktifitas umat di daerah Mojokuto (Sampel Jawa). Hasil penelitian ter-
sebut ia abadikan dalam buku yang berjudul “The Relegion of Java”. Clifford Geertz mengata-
kan bahwa struktur masyarakat Islam Jawa berkaitan dengan pemahaman agama terbagi menjadi
tiga varian, yaitu :
1. Varian Santri yaitu kelas umat Islam yang memahami agama dan tidak mempunyai kua-
lifikasi lain selain kemampuan agama tersebut, misalnya ekonomi, politik dan budaya.
2. Varian Abangan yaitu kelas umat Islam yang tidak memahami agama Islam dan juga tidak
mengamalkan agama Islam, tetapi mereka menyebut dirinya beragama Islam. Mereka itu ada-lah
kelompok pedagang yang tidak pernah belajar agama.
3. Varian Priyayi yaitu kelas umat Islam yang memiliki kekuasaan politik atau paling tidak
mereka berasal dari struktur yang memiliki kekuasaan, mereka tidak memahami Islam hanya
melalui Guru-guru agama di keraton. Pemahaman keagamaan mereka banyak bercampur dengan
Hinduisme, Budhisme, dan Animisme atau Kejawen.

Kelas priyayi merupakan kelas utama dalam masyarakat Islam, akan tetapi mereka tidak
mempunyai kepedulian terhadap pengembangan Islam secara total. Mereka telah terkotak-kotak
oleh kepentingan politik dan ekslusifisme kehidupan Feodalisme (hidup tertutup dalam lingkup
istana dan hanya melakukan hubungan kepada orang yang sepadan). Dalam hal ini telah terjadi
pengkotakan masyarakat menjadi kelas Tuan/Gusti (Raja, Priyayi, Belanda) dengan Hamba/
Kawula (rakyat jelata).
Kelas Priyayi yang memposisikan diri sebagai kelas Elit, kelas yang tidak tersentuh oleh ke-
banyakan masyarakat Islam, pada gilirannya tidak banyak menolong umat Islam secara keselu-
ruhan , terutama dalam peningkatan kualitas umat dan pembinaan kerukunan dan solidaritas
umat Islam. Kondisi tersebut yang menyebabkan umat Islam sulit keluar dari kemelut politik,
pereko-nomian dan pengamalan keagamaan yang bersih dari TBC, sehingga mayoritas umat
tetap berada dalam struktur marginal (pinggiran). Sebagian di antara Varian Priyayi tersebut ada
yang hadlir ketengah-tengah umat Islam sebagai hero atau pahlawan rakyat seperti P.
Diponegoro, akan tetapi dari struktur Priyayi itu pula muncul anti thesis yang melawan gerakan
kerakyatan tersebut.
Kelas santri adalah kelas yang selalu berusaha mengembangkan Islam dan menentang setiap
usaha pemerahan dan penguasaan politik oleh bangsa Barat. Sebagaimana yang telah dikemuka-
kan oleh Dr. Koentowijoyo di atas, bahwa peran santri lebih bersifat oposisi (Zelotisme) dengan
public figur yang kharismatik, mereka dapat menggerakkan perlawanan rakyat atau “Perang
Sabil”. Lebih lanjut Cliffaord Geertz melihat peran santri dalam sejarah perjuangan dan pergo-
lakannya melawan penjajah, dalam catatan sejarah terjadi sebanyak 4 (empat) kali perlawanan
Santri atau perang Sabil, yaitu :
1. Perang Cirebon tahun 1802-1806
2. Perang Diponegaro di Jawa Tengah tahun 1825-1830
3. Perang Paderi (perang antara Ulama dan kaum adat) tahun 1821-1838
4. Perang Aceh tahun 1873-1908

Sedangkan kelompok abangan yang didominasi oleh para pedagang, tidak banyak mengambil
peran keagamaan. Ia lebih suka bergumul dengan hal-hal yang bersifat pragmatis dan
mendatang-kan keuntungan sampai kemudian mereka bersatu dalam wadah organisasi dagang
Islam yaitu SDI tahun 1911 (berubah menjadi SI tahun 1912).

Pada abad XIX M. berkembangan sosio kultural dan keagamaan umat Islam Indonesia me-
ngalami titik yang sangat rendah, walau dalam segi perjuangan kemerdekaan Indonesia (Politik)
memasuki era baru terutama pada abad XX M. dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo tahun
1908. Kondisi sosio kultural dan keagamaan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengamalan ajaran agama
Pengamalan agama Islam lebih banyak didominasi oleh praktek sufisme dan mistik yang
diwujudkan dalam praktek tarekat-tarekat.
Praktek mistik dan sufisme dalam agama Islam lebih dipengaruhi oleh Hinduisme, Budhisme
dan Animisme, sehingga pengamalan agama Islam adalah perwujudan praktek TBC.
Beribadah menggunakan fasilitas roh atau perantara lainnya, misalnya Kuburan, Wali dan orang-
orang yang dianggap Suci.
2. Pendidikan dan tradisi pemikiran
Tingkat pendidikan umat Islam sangat rendah, dan kalau pun ada, pendidikan tersebut hanya
dapat diikuti oleh dua kelompok sosial, yaitu :
· Pendidikan Pondok Pesantren yang mempunyai ciri sebagai berikut :
- Hanya diikuti oleh umat Islam atau santri dengan titik tekan pendidikan ilmu Agama dan
mengabaikan pendidikan Umum.
- Pendidikan Pondok Pesantren menggunanakan metode pendidikan tradisional (Sorogan dan
Weton).
- Mensyaratkan adanya kepatuhan kepada Kyai atau Guru.
- Out put pendidikan Pondok hanya siap dalam bidang penyiaran agama (‘Ulama dan Da’i) dan
kurang mampu berbicara dalam bidang politik
· Pendidikan Umum yang mempunyai ciri sebagai berikut :
- Hanya diikuti oleh bangsa Barat, Priyayi atau pejabat negara dengan titik tekan pada
pendidikan Ilmu non agama
- Pendidikan Umum menggunakan metode pendidikan modern (Klasikal, Kuriku-lum dan
adanya Evaluasi).
- Out put pendidikan umum hanya menguasi ilmu umum dan cenderung sekuler.
Tradisi berfikir dikalangan umat Islam tidak berkembang bahkan dapat dikatakan mandeg. Umat
Islam hidup dalam kejumudan dan kebekuan berfikir, sedangkan umat Islam lain (abangan dan
priyayi) mempunyai tradisi berfikir sekuler.

Secara politis, memang umat Islam tidak dapat keluar dari keterkungkungan politis sampai ter-
jadinya proklamasi kemerdekaan RI (17 Agustus 1945). Akan tetapi yang disayangkan adalah
ketidak mampuan umat untuk membebaskan diri dari ketidakberdayaan spiritual, dengan
meletak-kan konsep atau ajaran Islam berbaur dengan Hinduisme, Budhisme dan Animisme.
Dan keadaan tersebut diperparah oleh pengamalan agama Varian Priyayi yang meletakkan mistik
kejawen ber-dampingan dengan ajaran Islam, bahkan dalam aktualisasinya disahkan dalam
bentuk kelem-bagaan dan peraturan. Realitas-realitas tersebut berlangsung sangat lama sampai
berkembangnya ide pembaharuan Islam di Indonesia pada abad XX M.

GAGASAN DAN PROSES PEMBAHARUAN ISLAM


Berkurangnya peran politik dan ekonomi umat Islam, terutama pada awal abad ke 17-19 M,
menyebabkan umat Islam mengambil peran lain dalam kehidupannya, yaitu peran pemberdayaan
umat melalui Pondok Pesantren dan gerakan perlawanan rakyat terhadap bangsa Barat. Namun
memasuki abad ke 20 M. umat Islam mengalami pertumbuhan yang menggembirakan terutama
yang menyangkut perubahan peran dan partisipasi ekonomi dan politik.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa para penyebar umat Islam yang datang ke Indonesia
mempunyai kemampuan interprenuer yang sangat tinggi dan kemampuan tersebut diaplikasikan
secara sempurna lewat perdagangan. Para penyebar Islam, yang kemudian di sebut sebagai
varian Santri (menurut Cliffort Geertz) berangsur-angsur kehilangan kekuatan interprenuernya
dengan hilangnya daerah-daerah pesisir Utara, yang sejak dulu menjadi menjadi basis
perdagangan. Setelah bangsa Barat datang, maka peran perdagangan di Pelabuhan Pantai Utara
dikuasai oleh bangsa Barat mulai abad ke 18-19 M. dan keadaan ini menyebabkan para santri
membentuk ko-munitas tersendiri yang bersifat oposisi, lebih dari itu umat Islam secara
struktural menurun kelas nya menjadi kelas bawah dari kelas menengah (kaum pedagang).
Memasuki abad ke XX M. terjadi perubahan mendasar terhadap struktur dan pergerakan sosial
masyarakat Islam. Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap peningakatan kualitas dan
pemahaman keberagamaan umat. Perubahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Semakin banyaknya kaum santri yang menjadi pegawai pemerintah (penghulu) terutama kaum
santri yang bertempat tinggal di kota (Masyarakat Kauman), yang menyebabkan mereka masuk
pada status Priyayi.
2. Santri-Priyayi tersebut kemudian mendorong lahirnya kelas baru dalam Islam, yang selama ini
telah hilang yaitu kelas menengah pedagang,

Terjadinya interaksi yang semakin baik antara kelas santri dan masyarakat (negara) menjadikan
santri meningkat statusnya menjadi kelas Priyayi, karena menjadi pejabat negara atau kelas
menengah karena melakukan kegiatan perdagangan, menyebabkan umat Islam mulai mema-suki
ranah kesadaran dan kebangkitan keagamaan. Dalam pandangan Ahmad Mansyur Suryo-negoro
bahwa terjadinya hubungan tersebut mendorong lahirnya :
1. Kelompok terpelajar baru dikalangan umat Islam, karena meningkatnya kesejahteraan rakyat
dan kesempatan ekonomik politik.
2. Kelompok Santri-Priyayi yang mempunyai akses yang kuat dibidang ekonomi (perdagangan)
terutama umat Islam Jogya dan Solo (dagang batik) dan kepada elit kekuasaan.
3. Perkampungan baru umat Islam di kota-kota (kauman) yang mempunyai kekuatan ekonomi
cukup baik.

Pada tahun-tahun awal memasuki abad XX, perkembangan peran umat semakin terlihat dan
mengkristal menjadi sebuah organisasi modern. Adalah SDI yang mempelopori kebangkitan
umat Islam terutama dalam partisipasi ekonomi, bahkan sementara orang mengatakan bahwa
gerakan SDI telah lahir 4 (empat) tahun lebih dulu yaitu tahun 1905, ketimbang organisasi Boedi
Oetomo yang lahir pada tahun 1908, sehingga sebenarnya yang layak menjadi tonggak kebang-
kitan Nasional Indonesia adalah hari lahirnya gerakan SDI tersebut.
Dalam bidang keagamaan. Lahir gerakan baru, yang merupakan gerakan puritanisme atau
gerakan pemurnian ajaran Islam. Gerakan pemurnian ajaran Islam yang kemudian dikenal
sebagai gerakan “MUHAMMADIYAH” tersebut dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan (Santri-
Priyayi). Se-cara subtansial, gerakan yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan banyak
dipengaruhi oleh ge-rakan serupa yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi
Arabia (Gerakan Wahabi).
KH. Ahmad Dahlan ketika mencermati perkembangan kehidupan beragama umat Islam In-
donesia, merasa perlu melakukan purifikasi pengamalan ajaran Islam yang selama ini dilakukan
oleh kebanyakan umat Islam Indonesia. Pengamalan ajaran Islam yang banyak dicampuri oleh
ajaran Hinduisme, Budhisme dan Animisme; menyebabkan ajaran Islam lebih merupakan per-
wujudan dari konsep TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat) yang berakibat hilangnya jiwa dan
Ruh ajaran Islam, sehingga pemeluk agama Islam tidak mempunyai semangat (spirit) dan ke-
kuatan (Power) untuk keluar dari ketidakberdayaan dan dalam melakukan ibadah kepada Allah
atau dalam bahasa yang lain ia telah kehilangan Allah dalam dirinya karena wasilah/perantara
dan praktek TBC.
Di samping itu, ia melihat bahwa proses pendidikan umat Islam Indonesia sangat tidak me-
nguntungkan bagi pemberdayaan umat secara keseluruhan, karena adanya dikhotomi orientasi
dan kepentingan. Pendidikan Pondok Pesantren hanya melahirkan para pejuang, pendakwah
agama dan Kyai atau Ulama, dengan mengabaikan pendidikan Umum, demikian juga
sebaliknya; pendidikan umum hanya melahirkan sarjana yang sekuler (abangan).
Secara umum, proses purifikasi ajaran umat Islam telah terjadi beberapa kali di Indonesia dengan
menggunakan thema dan format yang berbeda. Perbedaan gerakan pembaharuan tersebut
dipengaruhi oleh situasi dan letak geografi umat Islam tersebut. Menurut hemat saya, dalam per-
jalanan gerakan pembaharuan Islam Indonesia, telah terjadi tiga kali proses pembaharuan, yaitu :
1. Pembaharuan pada abad XVIII oleh kaum Padri Minangkabau, yang dipelopori oleh Imam
Bonjol (Kelompok Harimau Nan Salapan). Pembaharuan Padri dilakukan oleh umat Islam
Sumatra, ketika umat Islam Sumatra terbelenggu oleh adat dan pengamalan agama yang banyak
dipengaruhi oleh Mistik. Bentuk pengamalan agama seperti itu banyak didukung dan dilakukan
oleh kaum adat. Pertentangan kaun Adat dengan kaum Padri tersebut menyebabkan kaum adat
ter-pinggirkan, dan oleh sebab itu ia minta bantuan kepada Belanda, maka berubahlah
pergerakan pembaharuan Islam menjadi gerakan perlawanan rakyat (santri) terhadap kolonial
Belanda.
2. Pembaharuan Islam pada awal abad XX yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan dengan ge-
rakan anti TBC. Gerakan tersebut merupakan gerakan purifikasi ajaran agama yang selama
berabad-abad, ajaran Islam telah berbaur dengan Mistik Hinduisme, Budhisme dan Animisme,
sehingga ajaran Islam telah kehilangan daya dobrak dan ruhnya.
3. Pembaharuan Islam Kontemporer pada tahun 1960-an. Pembaharuan tersebut lebih me-
rupakan gerakan modernisasi pemikiran dan pemahaman ajaran keislaman yang dilakukan oleh
generasi baru umat Islam; sebagai produk lembaga pendidikan umat Islam sendiri.

Gerakan pembaharuan kaum Padri memberikan dorongan teerhadap gerakan serupa di Jawa,
namun format dan intensitasnya berbeda. Kalau gerakan Padri pada akhirnya berhadapan dengan
kekuatan Kolonial, sehingga mirip sebagai gerakan Politik (Pan Islamisme Jamaluddin Al
Afghani), sedangkan gerakan Islam melawan adat (Mistik dan TBC) di Jawa, yang dipelopori
oleh Muhammadiyah (SDI dan SI) dapat berkembang dengan baik karena menyangkut
pemurnian kepercayaan dan peningkatan kualitas pendidikan umat Islam, melalui lembaga
pendidikan Muhammadiyah dan lembaga pendidikan yang lain.
Gerakan pembaharuan Muhammadiyah lewat pendidikan Modern memberikan dampat yang luar
biasa bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang mempunyai kualifikasi multi
dimensi, yaitu dimensi ilmu keagamaan dan ilmu (yang disebut) umum. Dengan demikian kader
Muhammadiyah mempunyai pemahaman dan ide modernitas tetapi ia tidak kehilangan identitias
diri sebagai umat Islam, dengan landasan hidup dari al Qur’an dan al Hadits.
Proses gerakan dan pendidikan Modern Muhammadiyah setelah tahun 1950, nampaknya dapat
mengakumulasi dua varian umat Islam yaitu umat Islam santri (sekte agama) dan Priyayi-
Abangan (sekte sekuler), dan oleh sebab itu varian Priyayi-Abangan mendapatkan sentuhan
agama dan ke-dalaman Islam melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah. Proses interaksi dan
hubungan yang kondunsif antara varian Santri dan Priyayi-Abangan telah mementahkan teori
Varian dari Clifford Geertz yang dikembangkannya pada sebelum tahun 1950. Hal tersebut di-
sebabkan oleh tiga hal, yaitu :
1. Terjadinya interaksi yang semakin mantap antara varian Santri dengan Priyayi-Abangan dan
kemudian melahirkan kelompok menengah baru umat Islam, yang semakin diperhitungkan
keberadaanya.
2. Kaum Abangan (juga Priyayi) memiliki tradisi baru yaitu mulai belajar dan mengkaji ilmu
Agama sehingga melahirkan kelompok umat Islam Abangan (Priyayi) dengan kualitas agama
yang baik (Santri).
3. Varian Santri yang selama ini dianggap sebagai bagian eksklusif komponen Umat Islam (ter-
tutup dengan segala atribut keagamaannya) mulai terbuka dengan melakukan kajian ilmu-ilmu
non agama (memasuki lembaga umum/Non Pondok Pesantren).

Terbukanya wawasan dan pendidikan umat Islam Indonesia telah melahirkan kecenderungan dan
wacana baru umat dan sekaligus meningkatnya tingkat pendidikan umat Islam. Dr. Nurcholis
Madjid dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa indikasi dari peristiwa terbukanya pe-
mikiran dan meningkatnya kualitas umat Islam tersebut adalah lahirnya sarjana Baru Islam pada
tahun 1970-an, yang oleh Cak Nur disebut sebagai “Panen Sarjana I”. Panen Sarjana pertama ter-
sebut kemudian diikuti oleh Panen Sarjana II (Magister dan Doktor) pada Tahun 1980-an.

MODERNISASI UMAT ISLAM INDONESIA


Meningkatnya derajat pendidikan umat Islam (panen sarjana I /Drs, dan II/Magister-Doktor)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Cak Nur tersebut, di satu pihak sangat menggembirakan
karena hal tersebut akan dapat meningkatkan peran dan sumbangan umat terhadap pembangunan
bangsa, akan tetapi dipihak lain adalah lahirnya permasalahan keummatan yang baru.
Permasalah an umat Islam kontemporer tersebut adalah adanya perubahan kecenderungan dan
orientasi pe-ngamalan dan pemikiran keagamaan umat Islam. Pengamalan keagamaan tidak lagi
bernuansa tradisional yang hanya mengutamakan formalisme dan kesemarakan tampa makna,
akan tetapi telah mengarah kepada penga-malan keagamaan dengan menekankan aspek nilai dan
subtansinya. Sedangkan pola pemikiran dan pemahaman ajaran Islam telah mengarah kepada
rasionalisme dan meninggalkan pemikiran ajaran agama secara dogmatik, yang biasanya
dilakukan oleh masyara-kat Islam sebelumnya.
Perubahan kecenderungan dan pengamalan keagamaan tersebut, nampaknya telah merubah
struktur sosial keagamaan menjadi berbagai varian atau boleh dikatakan mereka telah terbentuk
dalam beberapa kelompok, yang kesemuanya memiliki landasan dan kepentingan keummatan
tersendiri. Pada tahun 1980-an, Fahry Ali melakukan study atau penelitian tentang polarisasi pe-
mikiran umat Islam yang terjadi akibat terbukanya pendidikan dan pemikiran umat Islam. Dalam
study tersebut, Fahry Ali menemukan 4 polarisasi pemikiran, yaitu :
1. Tradisional yaitu kelompok masyarakat yang memahami Islam secara dogmatik, tradisional
dan terbebas dari kemungkinan penafsiran rasional. Pemahaman Islam dalam perspektid seperti
itu, ajaran Islam tidak dapat berkembang dengan baik, karena hanya menonjolkan for-malisme
dan ketaatan kepada publik figur yang dianggap mempunyai kemampuan agama yang baik serta
mengabaikan pendalaman subtansial. Mereka itu adalah masyarakat Awam.
2. Modernisme yaitu kelompok umat Islam yang memahami Islam dengan menggunakan standar
atau prinsip rasional dan terkadang menggunakan standar Barat (Analitis dan Em-piris). Agama
dalam pangkuan kelompok modernisme akan mempunyai arti apabila di-lakukan penafsiran-
penafsiran dengan menggunakan prinsip rasionalisme dan paradigma perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengagum
rasionalisme dan sarjana-sarjana Barat.
3. Universalisme yaitu kelompok umat Islam yang menganggap bahwa agama Islam telah cukup
mengandung segala hal yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh sebab itu untuk me-mahami ajara
Islam tidak memerlukan standar dan paradigma dari luar Islam, misalnya ke-budayaan Barat atau
yang lain. Kelompok boleh dikatakan sebagai kelompok anti thesis dari Modernisme
4. Neomodernisme adalah kelompok umat Islam yang menyatakan bahwa untuk mempelajari
ajaran Islam diperlukan standar atau parameter kebudayaan Barat atau pengertian yang lain ia
memerlukan prinsip-prinsip rasional, karena ajaran Islam itu sendiri bersifat rasional. Walaupun
demikian, ia tidak boleh meninggalkan ajaran dasar Islam dan khazanah kebu-dayaan Islam masa
lalu.

Modernisme di satu pihak akan melahirkan satu kelompok (umat) yang kehilangan ruh dan
kedalaman spiritual Islam dengan menitik beratkan pada penggunaan rasional dan kebudayaan
Barat, boleh jadi secara ekstrim ia adalah bagian dari konsep Westernisasi. Akan tetapi
menggunakan prinsip universalisme secara membabi buta bukanlah sebuah keputusan yang
bijak-sana, karena akan menyebabkan Islam menjadi sangat besar dalam kebesaran pemeluk dan
ajaran umat Islam itu sendiri (besar dalam tempurung) tetapi kecil atau lemah dalam peran dan
akses ter-hadap kepentingan keilmuan dan keduniaan.
Barangkali sudah bertahun-tahun, para pembaharu dan pemikir umat Islam memikirkan ba-
gaimana posisi yang paling representatif bagi umat Islam, baik dilihat dari pengembangan ajaran
Islam dan peran umat Islam dalam wacana keilmuan dan teknologi dunia. Dalam pergulatan
yang tiada henti-hentinya, akhirnya ditemukan format yang sangat mungkin representatif yaitu
“NEO MODERNISME”. Konsep tersebut menegakkan Islam dalam dua spektrum (dimensi),
yaitu spektrum pengembangan spiritualitas keislaman, termasuk didalamnya khzanah
kebudayaan Islam, dan spektrum peran umat Islam dalam percaturan pemikiran keagamaan dan
teknologi.
Adalah Dr. Fazlur Rahman yang pertama kali mengemukakan perluanya umat Islam me-lakukan
reinterpretasi ajaran Islam dengan menggunakan prinsip rasionalisme, tetapi tidak ke-hilangan
ruh atau semangat keislaman, yang oleh Dr. Fazlur Rahman disebut sebagai nilai “ideal moral”
dari ajaran Islam, Dalam perspektif seperti itu, ajaran Islam memang bersifat absolut, tetap dan
tidak mengalami perubahan subtansinya, akan tetapi untuk melihat seberapa jauh peran Islam
dalam menyahuti ajaran Islam, diperlukan aktualisasi ajaran Islam dengan melihat “Ideal Moral”
sebagai landasan pengembangannya.
Konsep Dr. Fazlur Rahman tersebut kemudian dinamakan dengan “Neo Modernisme”, yang
kehadlirannya di Indonesia dibawah oleh murid-muridnya, yang sempat mengenyam pendidikan
di Chicago Amerika yaitu Dr. Nurcholis Madjid. Oleh Cak Nur modernisme Islam dipahami
sebagai upaya mencuci habis prinsip-prinsip irrasional yang selama ini menempel pada ajaran
Islam dan menyisakan ajaran Rasional Islam. Lebih jauh ia mengatakan bahwa modernisasi
Islam adalah :
1. Membersihkan ajaran-ajaran Islam dari debu keduniaan (profan) yang menempel pada ajaran
Islam yang suci (sakral) artinya meletakkan bahwa yang suci (Sakral/Ibadah/Akidah) adalah suci
dan yang profan (keduniaan dan bukan bagian agama) adalah profan (Desakralisasi).
2. Bahwa modernisasi adalah rasionalisasi dan bukan westernisasi artinya modernisasi adalah
membuat Islam dapat berperan secara total dalam wacana sosial - politik, ekonomi, keilmuan dan
teknologi dan bukan dalam kerangka mengikuti pragram westernisasi (pembaratan) atau bahkan
sekulerisasi (pemisahan atau upaya mengeliminir peran agama).

Saya kira untuk menuntaskan pembahasan kita mengenai pembaharuan atau tepatnya penataan
pemikiran Islam, perlu mengkaji gerak dan langkah tokoh-tokoh pembaharu pemikiran Islam
tersebut, misalnya Dr. Nurcholis Madjid, Munawir Sadzali, MA dan lain-lain.

A. Dr. Nurcholis Madjid


Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Nurcholis Madjid yang
kemudian lebih dikenal dengan panggilan “Cak Nur” memulai pendidikan dibawah asuhan KH.
Madjid (ayahnya sendiri) dan kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Gontor Ponorogo.
Setelah menamatkan pendidikannya dari Gontor ia kemudian melanjutkan pendi-dikannya di
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga memperoleh gelar Sarjana pada tahun
1968.
Cak Nur dikenanl sebagai tokoh organisasi, yang kapasitasnya dan pemikirannya menjadi
kerangka kajian dan perkaderan, terutama dilingkungan HMI. Ia merupakan tokoh sentral HMI,
dengan menjadi ketua Umum PB HMI selama dua periode (tahun 1966-1969 dan 1969-1971).
Ketika ia menjadi tokoh sentral organisasi Mahasiswa terkemuka tersebut ia banyak melontarkan
pemikiran modernis, yang kemudian menjadi wacana intelektual muslim Indo-nesia dan untuk
intern HMI, Cak Nur membuat rumusan perkaderan yang kemudian disebut dengan NDP (nilai
dasar perjuangan) HMI, bersama dengan Endang Saifuddin Anshari dan Mansyur Amin.
Pada tahun 1974, ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Chicago dan bertemu dengan
pemikir Islam Kontemporer yang sangat disegani yaitu Dr. Fazlur Rahman, yang me-rupakan
Pakar study keislaman dan pada tahun 1984 ia berhasil menyelesaikan program Doktornya,
dengan disertasi “Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah; Problem of reason and Revelation in
Islam”.

Pada saat ia masih menjadi Ketua Umum PB HMI pada tahun 1966, Cak Nur telah melontarkan
sebuah wacana pemikiran baru dalam Islam, wacana tersebut sebenarnya sudah menjadi bahasan
yang sangar ramai dikalangan Mahasiswa Islam, terutamaHMI, PII dan GPI, bahkan materi
perkaderan dilingkungan HMI selalu didominasi oleh pemikiran perlunya pem-baharuan dalam
Islam. Pada saat itu ia melontarkan gagasan perlunya Modernisasi dalam pemikiran Islam
dengan format ”Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Westernisasi”.
Lontaran pemikiran dengan format :Modernisasi adalah Rasionalisasi dan bukan Wester-nisasi”
dengan cepat mendapat tanggapan luas dari pakar keislaman dan dunia perguruan Tinggi
sekaligus memperbesar volume perlunya modernisasi dalam tataran pemikiran maha-siswa
Islam. Muhammad Kamal Hasan (pakar keislaman Universitas Malaya) mengatakan bahwa apa
yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah cerminan visi seorang Muslim idealis dan
memperkuat citra diri sebagai salah seorang yang mewarisi kebesaran seorang “Moh. Natsir”,
oleh sebab itu ia kerap kali disebut sebagai “Natsiris Muda”. Tidaklah berlebih an jika ia
dikatakan sebagai Natsiris Muda atau seorang Muslim Idealis, karena dalam ma-nuskrip tersebut
ia mengatakan :
1. Westernisasi akan membawa manusia pada kehidupan yang sekuler
2. Sekelurisme akan membawa manusia pada sikap hidup atheis dan atheis itu sendiri adalah
produk paling utama dari Sekulerisme.
3. Sekulerisme adalah sumber dari Immoralisme.

Namun citra diri sebagai Natsiris Muda dan Muslim idealis menjadi tertutup, ketika ia
melontarkan pemikiran tentang “Keharusan Pembaharuan pemikiran Islam dan Masalah in-
tegrasi Umat” pada tanggal 3 Januari 1970 di Islamic Research Centre Jakarta. Muhammad
Kamal Hasan yang menulis Disertasi Doktor dengan mengambil thesis pembaharuan Islam
Indonesia mengatakan bahwa Nurcholis Madjid telah berubah menjadi seorang “Modernis
Sekuler” atau dalam bahasa lain ia mengatakan “Nurcholis before Nurcholis”.
Ada hal-hal yang mengganjal dan barangkali membuat jengkel para pemikir umat Islam
Indonesia, terutama Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menjadi salah satu tokoh Islam paling respek
dan kritis terhadap pemikiran pembaharuan Cak Nur. Barangkali sangat mafhum dan dimengerti
kalau banyak umat Islam yang mengecap Cak Nur sebagai Modernis Sekuler atau bahkan
sebagai agent Barat karena pemikirannya yang sangat berbeda dengan apa yang di-lontarkan
sebelumnya (tahun 1968). Dalam makalah tentang “Keharusan pembaharuan pe-mikiran Islam
dan masalah Integrasi Umat” secara eksplisit, Cak Nur mengatakan :
1. Perlunya liberalisasi pandangan dan pemikiran terhadap ajaran Islam
2. Perlunya kebebasan Intelektual (intelektual Freedom), gagasan kemajuan (Ide of Progres) dan
sikap terbuka.
3. Perlunya gagasan (ide) sekulerisasi dalam ajaran Islam
4. Perlunya penegakan dan pemihakan terhadap kualitas dan mengeliminir sikap me-nonjolkan
kuantitas, yang terbukti tidak efektif terhadap partisipasi umat kepada pemba-ngunan bangsa.
5. Perlunya mengambil sikap “Islam Yes, Partai Islam, NO”.

Barangkali statemen yang paling dominan membuat kontroversi terutama kaum tradi-sional,
ulama dan pemikir keummatan adalah penggunaan kata-kata “Sekulerisasi” yang tidak lazim
dipakai untuk menyebut gerakan pemikiran umat Islam. Reaksi yang paling keras muncul dari
Prof. Dr. HM. Rasyidi, yang menyatakan bahwa ia telah memahami bahasa Inggris (untuk
menyatakan ketidaksepakatannya dengan konsep sekulerisasi Cak Nur) sejak 40 tahun yang lalu
dan selama itu pula ia tidak pernah menggunakan istilah “Sekulerisasi” sebagai istilah sosial
yang dipakai dalam kerangka pemikiran pembaharuan Islam.
Menyimak perkembangan polemik yang semakin tajam dan mengarah kepada sikap kristalisi
pendapat menjadi kelompok-kelompok, maka Cak Nur tampil kembali kepentas pe-mikiran umat
Islam dengan menawarkan beberapa pemecahan, yang intinya menjelaskan ulang konsep
“Sekulerisasi” yang dikembangkan sebelumnya. Misi penjelasan tersebut di-kemas dalam thesis
“Beberapa catatan sekitar masalah pembaharuan dalam Islam”. Namun penjelasan Cak Nur,
nampaknya tidak banyak memberi pengaruh pada perubahan Opini masyarakat yang sudah
terbentuk oleh kontroversi tersebut. Oleh sebab itu, ia tampil untuk kali kedua pada pentas
pemikiran umat dengan mengatakan “Sekali lagi tentang Sekulerisasi”.
Setelah itu ia tidak lagi tampil dengan gagasan-gagasan pembaharuannya ke pentas pe-mikiran
Nasional, karena pada tahun 1974 ia berangkat ke Amerika untuk melanjutkan study doktoralnya
di Universitas of Chicago, dan setelah ia kembali ke Indonesia pada tahun 1985, Cak Nur
membuat suatu penjelasan yang sangat meyakinkan, dengan satu tulisan yang merupakan catatan
kaki pada Buku mengenang atau peringatan 70 Th. Prof. Dr. HM Rasyidi. Pada catatan itu, Cak
Nur menjelaskan bahwa tidak tepat menggunakan istilah “Sekulerisasi” se-bagai instrument untu
menyebut perubahan sistem sosio-kultural Islam.Uraian itu ia beri nama dengan “Sekulerisasi
ditinjau kembali”.

Perubahan pemikiran yang dilakukan oleh Cak Nur setelah ia kembali dari Amerika pada tahun
1985, tak urung juga menimbulkan permasalahan seputar konsistensi pemikiran Nur-cholis
Madjid. Drs. M. Dawam Rahardjo dalam pengantar buku “Islam Keindonesiaan dan
Kemodernan” (kumpulan tulisan-tulisan Cak Nur) mengatakan bahwa Nurcholis Madjid tetap
konsisten dengan pemikiran, bahkan ia tetap setia dengan prinsip “Monotheisme Radikal” yaitu
sikap kritis terhadap hal yang dapat merusak monotheisme. Hal tersebut terlihat dari kritiknya
terhadap Rasionalisme mutlak, Sekulerisme, Liberalisme, Individualisme, Kapital-isme,
Humanisme sekuler, Pragmatisme, Snouckisme, Islam Phobia dan Atheisme, walaupun dalam
kesempatan yang lain ia juga tidak menafikas sisi positif dari beberapa konsep tersebut.
Pada awal tahun 1990-an Cak Nur mengejutkan komunitas umat Islam dengan pen-jelasannya
yang sangat kontroversial. Statemen-statemen tersebu sebenarnya hanya sebuah kajian termi-
nologis dan hanya dilakukan ketika ia mengambil pemikiran atau pendapat dari mazhab
theologis umat Islam, misalnya :
1. Melakukan penafsiran kalimat “La Illaha Illa Allah” yang diartikan dengan “Tiada Tuhan
selain Tuhan”, dengan asumsi bahwa Tuhan yang kedua mengandung kekhususan yaitu Tuhan
Allah (terdapat al ma’rifat).
2. Mengatakan bahwa makhluk Allah yang paling bersih dan murni keimanannya adalah Syetan,
karena ia tidak mau menyembah kepada selain Allah (kasus sujud kepada Adam).
3. Penegakan sikap bahwa semua manusia pada awalnya mempunyai perasaan agama yang sama,
yang dia sebut dengan “Agama Hanief atau agama yang lurus”. Oleh sebab itu retorika dakwah
kita adalah mengajak umat manusia pada “Kalimat yang sama”.

Nampaknya Cak Nur dilahirkan dengan kapasitas dan pemikiran yang selalu menjadi Head Line
atau konsumsi opini yang tidak habis-habisnya. Pada saat Indonesia sedang bergolak menuntut
demokrasi, Cak Nur hadlir dengan konsep “Perubahan menit per menit” yang kemu-dian
menjadi wacana perpolitikan bangsa di medium Mei 1998. Pada saat kita sedang asyik-asyiknya
melakukan pesta Demokrasi seiring dengan tumbangnya batu besar penghalang demokrasi
Indonesia, Cak Nur hadlir dengan pemikirannya kritisnya yang khas. Ia mengingatkan bahwa
bangsa Indonesia sedang mabuk kepayang dalam demokrasi, yang ia sebut sebagai “Ledakan
Partisipasi”. Ledakan partisipasi yang berlebih-lebihan akan menyebabkan adanya Politik
emosional dan hal tersebut akan menyebabkan situasi “Choas”, maka jika terjadi situasi Choas,
menurut Cak Nur akan mengundang lahirnya orang kuat baru (Strong Man) pasca Soeharto.

B. Munawir Sadzali, MA (Menteri Agama)


Dalam tataran yang lebih khusus, yaitu dilingkungan Departemen Agama, dan barangkali juga
berimplikasi secara umum pada umat Islam, Munawir Sadzali MA, tampil dengan gerak-an
pembaharuan umat Islam yang sama sekali baru. Gerakan itu menurut saya lebih bersifat sebagai
“gerakan pemberdayaan umat Islam” di sekitar tahun 1980-an. Pada saat itu, umat Islam
memasuki tahapan dan format yang sama sekali baru sebagai kelengkapan upaya pem-berdayaan
umat Islam. Dalam kerangka pemberdayaan potensi intelektual dan kehidupan sosio keagamaan
umat Islam, Munawir Sadzali menawarkan program-program :
1. Reaktualisasi ajaran Islam, dengan melihat makna sosial dan ideal moral dari ajaran Islam
(meminjam istilah Fazlur Rahman). Ia mengatakan bahwa ajaran tentang waris (dua banding
satu) dan ketentuan sosial lainnya, perlu dilakukan interpretasi ulang, sehingga ajaran Islam tidak
bersifat diskriminatif.
2. Bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan umat Islam, diperlukan program pengiriman
tenaga pengajar umat Islam kedunia Barat, dengan alasan bahwa umat Islam itu sangat lemah
dalam bidang metodologi dan sudah cukup kemampuan dalam pe-nguasaan Materi.

Yang pertama; Munawair beranggapan bahwa ajaran tentang waris yang menyatakan bahwa
laki-laki mendapat dua bagian lebih didasarkan kepada kualitas dan bukan pada jenis kelamin
seseorang, sehingga konsep tersebut akan sangat relevan jika diberlakukan untuk masyarakat, di-
mana seorang perempuan bekerja lebih keras dan yang laki-laki hanya berdiam diri di rumah se-
bagaimana yang terjadi pada masyarakat Jawa Tenggah (Solo) atau pulau Bali.
Yang kedua; Munawir beranggapan bahwa kelemahan mendasar umat Islam adalah tidak
dikuasainya metodologi yang merupakan instrument dasar bagi pengembangan ilmu pe-
ngetahuan dan teknologi, termasuk didalamnya pengembangan pemikiran umat Islam. Maka
menurutnya, tempat yang paling cocok adalah universitas-universitas Barat; dan yang perlu
diperhatikan bahwa universitas Barat juga mempunyai kajian keislaman yang cukup disegani,
misalnya study Islam di UCLA, Montreal, Sorbone, dan yang lain.

Di samping gerakan reaktualisasi dan pemberdayaan metodologi umat Islam ala Munawir
Sadzali tersebut, pada dasa warsa berikutnya berkembang satu upaya pemberdayaan pemikiran
dan aktualisasi peran Islam dalam pendekatan kultural. Pendekatan Islam dalam perspektif kul-
tural tersebut dikemukakan oleh KH. Abdurahman Wahid. Ungkapan yang sempat membuat
umat Islam Indonesia bingung adalah ketika Gus Dur mengiyakan “Salam (Assalamu’alaikum
Wa rahmatullahi wa barakatuh)” dapat di indonesiakan menjadi “Selamat Pagi” dst.
Pendekatan Islam kultural, menurut hemat saya merupakan pengejawantahan atau penjabaran
dari konsep “Islam Yes, Partai Islam, NO” yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid pada tahun
1970-an. Islam Yes, Partai Islam, NO dilontarkan oleh Cak Nur pada waktu itu, dimaksudkan
untuk mem-berdayakan umat Islam terutama dalam pemikiran dengan menghindarkan diri dari
kontroversi atau friksi kepentingan antar umat dan hal tersebut sangat merugikan bagi
pertumbuhan umat, karena Islam hanya sebagai kendaraan Politik saja. Konsep Islam Yes Partai
No, pada saat itu mendapat kecaman yang luar biasa dari para praktisi dan politikus umat, karena
kebisaan mereka yang menggunakan agama atau paling tidak jargon agama untuk kendaran
politik mereka merasa terancam. Islam sebagai kendaraan politik pada waktu merupakan
Mainstream (arus besar) dan meletakkan Islam sebagai satu ajaran dengan menanggalkan baju
politik adalah menentang arus besar (Mainstream) yang sedang mengalir pada wacana
perpolitikan umat.
Setelah beberapa tahun berlalu, konsep Islam Yes Partai Islam No muncul kembali dengan baju
dan format yang lain, yaitu pendekatan Islam kultural. Pendekatan Islam kultural, menurut Dus
Dur sangat cocok untuk masyarakat Islam Indonesia, karena tingkat pengetahuan dan pema-
hamannya yang masih rendah dan dengan demikian ia tidak membawa umat Islam berlari
mengikuti kompetisi yang tidak mungkin diikutinya. Pendekatan Islam kultural barangkali
adalah konsep napak Tilas pendekatan Kultural Wali Songo.
Pada tahun 1990-an, Gus Dur melihat bahwa membawa Islam dalam pergulatan politik Indo-
nesia artinya menggunakan pendekatan politik, sangat tidak menguntungkan karena Islam akan
dijadikan bahan rebutan atau kue Politik dan setelah mendapatkan kue politik dan pesta kue
politik tersebut dilakukan, ummat Islam ditinggal begitu saja dalam keterkoyakan dan
perpecahan sosial politik yang sampai saat ini masih membekas dalam dendam politik.

Akan tetapi apa yang terjadi dengan Gus Dur sebagai representasi NU setelah tahun 1998,
ternyata pendekatan Islam kultural dengan titik tekan tidak adanya pengerahan umat Islam dalam
konstek perpolitikan menjadi mental dan tidak bernilai lagi, walau pada masa sebelumnya Gus
Dur secara personal telah aktif dalam pergulatan Politik lewat Forum Demokrasi (FORDEM).
Menurut hemat saya Fordem adalah sebuah gerakan moral untuk pendidikan politik dengan
tujuan adanya upaya demokratisasi yang bermuara pada peningkatan partisipasi rakyat atau se-
luruh komponen bangsa dalam penentuan kebijakan Nasional
Lahirnya PKB sebagai anak kandung NU merupakan wujud perubahan visi Gus Dur atau NU
secara keseluruhan, yang dulunya menekankan adanya pendekatan Islam kulturan dan kemudian
berubah menjadi pendekatan Islam Politik. Ada alasan klasik yang dikemukakan oleh Gus Dur
(NU), bahwa NU selama ini hanya aktif dipakai sebagai kendaraan politik dan tidak pernah
diajak ikut naik dalam kendaraan setelah berhasil atau praktisnya NU tidak mendapatkan apa
selama Orde Baru.
Terlepas dari peristiwa yang dikatakan oleh Cak Nur sebagai “Ledakan partisipasi” dimana
seluruh komponen bangsa berlomba-lomba menyatakan partisipasi politik setelah mampu me-
numbangkan rezim yang menyumbat adanya partisipasi rakyat, maka keputusan NU menjadi Ibu
Kandung adalah sebuah perubahan mendasar organisasi tersebut, dan mudah-mudah ia tetap
komitmen dengan keputusannya dan semoga tidak ada hal yang menyebabkan ia balik kandang
sebagai Jam’iyah (perkumpulan) umat Islam lagi setelah kepentingan politiknya tidak berhasil
diwujudkan alias “NGAMBEK”. Waallahu ‘alam bis Shawab.

BUKU REFERENSI
1. Prof. Dr. Hamka : Sejarah Umat Islam (Vol. IV)
2. Ahmad Mansyur Suryonegoro : Menemukan Sejarah; wacana pergerakan umat Islam
Indonesia
3. Fachry Ali dan Bachtiar Efendi : Merambah jalan baru Islam
4. Dr. Nurcholis Madjid : Islam Keindonesian dan Kemodernan
5. Clifford Geertz : The Religion of Java (Santri, abangan dan Priyayi)
6. Dr. Harun Nasution : Islam Rasional; gagasan dan pemikiran
7. Dr. Koentowijoyo : Paradigma Islam; interpretasi untuk aksi
8. Prisma : Agama dan Tantangan zaman

Pembaharuan Islam di Mesir


Diposkan oleh ZABAZ di 20.11
SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN
DAN PENGARUH EKSPEDISI NAPOLEON
TERHADAP GAGASAN PEMBAHARUAN DI MESIR

Oleh : DRS. IHSAN

Mesir adalah sebuah negara yang mempunyai peranan sangat penting dalam per-jalanan sejarah
kehidupan manusia. Mesir dengan segala perniknya memberikan nuansa tersendiri bagi
kehidupan manusia. Mesir adalah sebuah negara yang didalamnya mengan dung konflik,
kontroversi dan pertentangan antara kebenaran dengan kebathilan, antara kemunfikan dengan
kejujuran dan antara kekuasaan dengan ketertindasan struktural.
Mesir adalah sebuah negara yang menghiasi sepertiga bahasan dan ayat Al Qur’an dan juga
sebagian besar dari kata-kata hikmah yang diberikan oleh Rasulullah yang me-makai latar
belakang Mesir. Dengan demikian, Mesir adalah sebuah istilah generik yang dapat dipakai untuk
mengungkapkan sebuah kenyataan dan pergulatan antara kebenaran dan kecongkokan seorang
manusia yang patut dijadikan sebagai peringatan kehidupan.
Mesir dan sungai nil yang merupakan salah satu sungai terpanjang di dunia telah memberikan
satu bentuk kehidupan manusia sejak ribuan tahun SM. Di dalamnya telah lahir berbagai bentuk
kebudayaan yang sangat menarik perhatian dunia, bahkan sampai saat ini kebudayaan klasik
Mesir menjadi daya tarik wisatawan yang tentunya mem-berikan devisa yang tidak kecil.
Bentuk-bentuk kebudayaan Mesir merupakan perwujud-an cita rasa sosial dan keagamaan
mereka terutama sebagai wujud realisasi dan ritus agama yang mereka yakini. Bentuk Kuburan
dalam format Piramid dan Spink adalah per-wujudan keagamaan mereka sekaligus sebagai
simbol status sosial masyarakat Mesir, di samping itu berkembangnya pengawetan mayat
(MUMMI) merupakan bentuk kebu-dayaan yang sangat tinggi.
Bagaimanapun juga, Mesir tidak dapat dipisahkan dari pergulatan dan percaturan sejarah
kehidupan manusia. Bahkan Mesir dapat disebut sebagai istilah generik untuk segala sesuatu
yang menggambarkan adanya pergulatan kebenaran dan kebathilan. Bagai-mana tidak, sejarah
keberadaan Mesir telah dimulai sejak Nabi Ibrahim, ketika beliau me-lakukan perjalanan
Kenabian untuk memenuhi panggilan Allah, khususnya menuju tanah yang dijanjikan oleh Allah
dalam hal ini adalah Makkah. Nabi Ibarahim yang pada awal-nya mendiami tanah Palestina,
mendapat perintah Allah untuk menyebarkan agama, dan kemudian sampailah Ia di Mesir yang
pada saat itu dipimpin oleh Raja sangat kejam.
Peristiwa Nabi Ibrahim, nampaknya merupakan rangkaian awal dari perseteruan antara Islam
dengan orang-orang yang mengganggap dirinya sebagai kebenaran mutlak, karena selang
beberapa tahun kemudian muncul kembali pergulatan sejarah yang tidak mungkin dilupakan oleh
umat Islam yaitu pertarungan kepercayaan dan keimanan antara Nabi Musa dan Fir’aun.
Pertentangan antara Nabi Musa dan Fir’aun adalah pertarungan dua lambang kebenaran dan
kebathilan yang terbinasakan oleh kecongkakan egoisme dan subyektifitas diri, oleh hawa nafsu
dan kesombongan yang memuncak dalam diri ma-nusia.
Kesombongan Fir’aun ternyata juga diikuti oleh kroni-kroninya atau mereka yang berlindung
dibawah ketiak pemerintah untuk mempertahankan status quo, walaupun de-mikian banyak juga
di antara mereka yang berusaha mendobrak ketidak seimbangan struktural melalui gerakan anti
penindasan dibawah kepemimpinan Nabi Musa. Ber-dasarkan kisah-kisah sejarah pergulatan
tersebut, maka menurut Dr. Ali Syari’ati memberikan gambaran tentang adanya beberapa simbol
macam manusia yaitu :
1. Fir’aun adalah simbol seorang penguasa yang melupakan kebenaran, sehingga ia ber-tindak
diluar sisi kemanusiaan, misalnya memerintah dengan otoriter, menindas dan melecehkan nilai
kemanusiaan (membunuh anak laki-laki), bahkan mengaku sebagai Tuhan. Di sampin itu ia
didukun oleh pejabat negara yang culas, penjilat dan hanya mempunyai keinginan untuk
emmpertahankan status quo saja. Pejabat itu adalah Haman.
2. Bal’am adalah simbol seorang ulama, intelektual dan cendekiawan pelacur artinya ia
mengerahkan kemampuan dan fatwanya untuk kepentingan sponsor atau mereka yang menyewa.
3. Qorun adalah simbol seorang konglomerat yang telah kehilangan sisi kemanusiaan dan
kedermawanannya sehingga ia tidak mempunyai kepedulian terhadap nasib bangsa dan manusia
pada umumnya.

Ketiga orang tersebut sekarang menjadi legenda yang tiada habis-habisnya untuk diceritakan
terutama bagi mereka yang menginginkan suatu perbedaan antara kebenaran dengan kebathilan.
Seiring dengan terpuruknya Fir’aun dikaki Nabi Musa yang berhasil membawa kaum Israil dari
penindasan, nampaknya Mesir telah menjadi sebuah sejarah yang terlupakan. Akan tetapi sejak
awal abad ke 4 M. Telah berkembang kekuasaan baru yang juga tidak kalah hebatnya dengan
penguasa Fir’aun, karena didalamnya terdapat semangat religiusitas Kristiani. Kekuasaan baru
tersebut merupakan kepanjangan ke-kuasaan Romawi di Barat yang beribukota di
Konstantinopel; ia merupakan negara adi kuasa bersama dengan Parsi di Timur.
Kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai Ibu Kota merupakan awal kebangkitan
Mesir di abad permulaaan Islam datang yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap
orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia
mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir, misalnya :
1. Mesir sebagai kota yang penuh dengan catatan kebudayaan dan telah berusia ribuan tahun,
ketika daerah atau negara lain belum tumbuh dan berkembang.
2. Mesir merupakan pusat perdagangan yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
baik.
3. Mesir mempunyai pelabuhan Iskandariyah, yang sangat berarti baik dilihat dari segi politik
maupun perekonomian.
4. Mesir merupakan sentral pengembangan ajaran kristiani untuk kawasan Timur, walau dalam
perkembangannya terutama saat-saat kehadliran Islam mengalami konflik ke-agamaan (Ortodoks
dan Modern) yang kemudian mempermudah masuknya Islam di Mesir.

Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat pengem-bangan
Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan Kholifah Umar Bin
Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan target pengembangan
misi Keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat meng-hambat laju
kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai agama baru memberikan
keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari pemerintahan
Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang labil karena berkem-bangnya konflik
keagamaan.
Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan mengambil peranan
yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang dilakoninya pada masa
yang lalu, misalnya :
1. Menjadi sentral pengembangan Islam diwilayah Afrika, bahkan menjadi batu lon-catan
pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar (Aljajair dan Tunisia).
2. Menjadi kekuatan Islam di afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
3. Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada masa Nabi
Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian.
4. Menjadi wilayah penentu dalam pergualatan perpolitikan umat Islam, termasuk di-dalamnya
adalah peralihan kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan
tergusurnya Ali Bin Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”

Bagaiamanapun Mesir adalah sebuah tempat yang sarat dengan peran politik dan ke-sejarahan.
Bagaimana tidak, nampaknya Mesir dilahirkan untuk selalu dapat berperan dan memberikan
sumbangan terhadap perjalanan sejarah Islam itu sendiri. Dari segi ekonomi dan politik, ia
memberikan sum-bangan yang cukup besar terutama sektor perdagangan dan pelabuhan
Iskandariyah yang memang sejak kerajaan Romawi Timur merupakan pelabuhan yang ramai.
Sedangkan dari segi pembangunan hukum Islam, Mesir merupakan daerah yang ikut melahirkan
bentuk dan aliran hukum Islam terutama dengan kehadliran Imam Syafi’i, yang hukum-
hukumnya sangat kita kenal.
Setelah kehancurn kerajaan Islam di Bagdad, Mesir tampil dengan formar perpo-litikan yang
baru, yang berkembang bersama kerajaan Daulat Fatimiyah. Kerajaan Daulat Bani Fathimiyah
adalah salah satu dari tiga kerajaan besar islam, yaitu Daulat Safawiyah di Parsi dan Kerajaan
Moghul di India, pasca kejayaan Islam pada masa Daulat Bani Abasiyah di Bagdad dan Bani
Umaiyah di Spanyol. Kehadliran Mesir bersama Daulat Bani Fathimiyah yang didirikan oleh
aliran/sekte Syi’ah (kerajaan Syi’ah) telah membe-rikan isyarat adanya kekuatan Islam di saat
Islam mengalami kemunduran. Statemen ter-sebut bukanlah sebuah apologi, karena bukti-bukti
eksistensi kerajaan tersebut sampai saat ini masih dapat kita jumpai, misalnya berdirinya
Universitas Al Azhar yang didirikan oleh Nizamul Mulk sebagai pusat kajian keilmuan Islam.

PERAN MESIR PADA ABAD PERTENGAHAN DAN EKSPEDISI NAPOLEON DI MESIR

Peran sentral Mesir nampaknya masih terus berlanjut, ketika dunia Islam mengalami masa yang
sangat suram, masa kemunduran dan kemandegan berfikir. Pada masa kemun-duran Islam, Mesir
tetap bertahan dengan kemampuan yang dimiliki, misalanya :
1. Eksistensi Daulat Bani Fathimiyah yang merupakan bukti keberadaan Islam disaat kita
mengalami kemunduruan.
2. Menjadi basis mobilisasi tentara dalam rangka perang salib.
3. Menjadi pusat pengembangan kajian keislaman melalui Universitas Al Azhar.
4. Menjadi pusat pengembangan Ekonomi Islam melalui perdagangan (Pelabuhan Is-kandariyah
Mesir).

Namun demikian nampaknya sejarah kemunduran Islam tidak dapat dihentikan hanya dengan
mengandalkan Mesir, dengan Daulat Fathimiyah atau Universitas Al Azharnya. Nampaknya
Mesir hanyalah sebuah lantera kecil yang menerangi gelapnya malam, karena ternyata Mesir
juga memberi andil terhadap reduksi kemampuan berfikir dika-langan Islam. Al Azhar yang
selama ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga terjangkit penyakit kejumudan
dengan hanya mengajarkan ilmu Agama dan me-larang segala bentuk kajian keilmuan yang
berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah.
Di samping itu, Mesir juga mempunyai andil masuknya kekuasaan asing melalui proses
perdagangan yang dilakukan di Pelabuhan Iskandariyah, maka secara tidak langsung Mesir
sangat rentang terhadap adanya dominasi dan eksploatasi ekonomi yang dilakukan oleh kekuatan
asing. Kekuatan asing yang datang di Mesir sudah barang tentu membawa tata nilai dan
kebudayaan yang berbeda dan keadaan tersebut jelas memberi pengaruh terhadap perkembangan
sosial keagamaan di Mesir.
Kondisi sosial dan rapuhnya kekuatan Islam di Mesir menyebabkan kekuatan asing dengan
mudah masuk, misalnya Napoleon, yang melakukan ekspedisi ke Mesir dan mendarat di
Iskandariyah pada tahun 1798 ( 9 tahun setelah Revolusi Perancis pada tahun 1789). Kehadliran
Napoleon di Mesir memberikan beban dan gangguan psykologis yang tidak sedikit, karena
dengan kehadlirannya akan menyebabkan gangguan struktural, ekonomi dan politik bagi umat
Islam di Mesir, terutama dalam kaitan arti penting Mesir sebagai batu loncatan politik dan
pengembangan kekuasaan asing di Afrika, sebab dengan dikuasainya Mesir, maka dapat dipakai
sebagai basis pengembangan kekuasaan Perancis di Afrika atau tempat yang lain.

Kehadliran Napoleon di Mesir secara makro telah mengangkat Mesir menjadi ke-kuatan baru di
Afrika, apalagi dengan dilakukan program pembangunan terusan Suez oleh Ferdinand De lesep,
yang secara politik ekonomis memberikan keuntungan yang luas biasa, yaitu :
1. Memangkas jarak dan rute perjalanan/pelayaran yang selama ini dilalui oleh Kapal Dagang
dari Eropa ke Afrika atau Asia.
2. Mengundang pola baru dalam sektor perekonomian dengan memberdayakan terusan suez
sebagai pintu gerbang masuknya barang dan jasa.
3. Secara politik Mesir adalah sebuah negara yang sangat di andalkan oleh Perancis terutama
nilai strategis pada sektor ekonomi dan percaturan politik Afrika.

Di samping keuntungan-keuntungan politik-ekonomis yang sudah barang tentu di-miliki oleh


Perancis, maka kehadliran Napoleon dan pembukaan terusan Suez memberi-kan dampak
tersendiri bagi perkembangan Islam di Mesir. Yang sudah pasti adalah ber-kembanganya sikap
keterbukaan berfikir dan terjadinya transformasi budaya antara pen-duduk asli (Islam) dengan
orang pendatang, yang datang ke Mesir dalam rangka melaku-kan perdagangan dan kegiatan
politik. Disamping itu hal tersebut, juga kita temukan be-barapa perkembangan baru yang terjadi
akibat proses tersebut, misalnya :
1. Bekembangnya cakrawala berfikir baru yang lebih rasional dan moderat.
2. Berkembangnya sistem pendidikan yang lebih terbuka dengan berorientasi pada sikap rasional
dan sistematis.

Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keislaman dan pendidikan dengan orientasi pada sikap
rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak berkembang di-kalangan Umat Islam
Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan menimbulkan rekasi yang keras, yang
berkembang dari mereka yang tidak mau menggunakan rasionalitas dan pembahasan sistematis
terhadap ajaran Islam. Hal tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh pada sikap
kehangatan sufisme dan mistisisme.
Walaupun demikian, kehadliran Napoleon sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan
pengajaran barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat
Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat peng-kajian dan pembaharuan
dalam Islam.

BUKU REFERENSI

1. Dr. Ali Syari’ati : Tentang Sosiologi Islam


2. Dr. Muhammad Heykal : Sejarah Islam
3. Philip K. Hitti : Sejarah Arab
4. Dr. Harun Nasution : Islam di tinjau dari berbagai aspeknya.
5. Drs. Imam Munawir : Pembaharuan Islam dari Masa ke Masa.
PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR
Suatu telaah kritis terhadap proses pembaharuan
islam kontemporer

Oleh : DRS. IHSAN

PENDAHULUAN
Islam kontemporer merupakan istilah untuk menyebut suatu keadaan yang terjadi saat ini,
berlangsung pada saat kita telah meninggalkan kehidupan abad pertengahan, kehidupan yang
didominasi oleh rasa ketidakberdayaan intelektual dan kesadaran keyakinan akibat penyakit
psykologis yang telah lama diderita oleh umat Islam.
Islam kontemporer juga merupakan istilah generik yang dapat dipakai untuk menyebut suatu
program dan aksi yang menginginkan proses pembaharuan dalam kerangka berfikir dan aktuali-
sasi Islam dimasa yang akan datang terutama dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahu-
an dan teknologi yang sarat dengan keragaman penemuan dan inovasi.
Dengan visi dan gagasan tersebut, bukan berarti Islam akan dihadapkan kepada suatu ke-inginan
untuk melakukan aktualisasi berdasarkan statemen dan pernyataan ilmiyah yang bersifat relatif,
menafsirkan dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan yang spekulatif adanya,
melainkan ingin melihat kebenaran isyarat Qur’aniyah yang dikembangkannya terutama me-
ngenai tesis dan aksioma ilmu pengetahuan di dalam al Al Qur’an. Karena menempatkan Islam
(Al Qur’an) dengan aksioma ilmu pengetahuan dan teknologi seperti itu , akan menyebabkan
Islam menjadi sangat tidak bernilai dan direndahkan kapasitasnya. Namun demikian, Islam tidak
berarti poby dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena ternyata jumlah isyarat-isyarat ilmu
pengetahuan lebih banyak ketimbang permasalahan theologis itu sendiri, yang memang hanya
dapat didekati tampa pendekatan Iptek.
Problem-problem kontemporer yang dialami oleh umat Islam, memang tidak bersifat theologis
atau kepercayaan dan keimanan, sebab problem-problem theologis telah habis masa edarnya
pada abad ke 18, ketika Muhammad Bin Abdul Wahab menggerakkan umat untuk mengubur
habis keyakinan sesat dan segala bentuk peribadahan yang tidak ada dasarnya. Sedangkan
problem umat Islam kontemporer adalah kelemahan aktuali-sasi dan apresiasi keilmuan yang
diisyaratkan oleh Al Qur’an, yang berakibat pada keti-dak mampuan umat Islam bertahan
ditengah-tengah gemuruhnya perkembangan dunia.
Secara umum ada perbedaan yang sangat mendasar terhadap sasaran dan obyek pembaharuan
Islam pada abad ke 18 yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan pembaharuan
Islam pada abad ke 19 yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridho dll.

Gerakan pembaharuan Islam pada abad ke 18 yang dikenal dengan gerakan Wahabi mem-punyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sebagai gerakan theologis artinya sasaran pembaharuan adalah pemurnian cara pengamalan
umat Islam dan sekaligus ajaran Islam, dengan hanya bersandar pada konsep kepercayaan dan
peribadahan yang berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits.
2. Sebagai gerakan Literalis dan Tekstualis artinya gerakan yang hanya mengakui otoritas teks
Al Qur’an dan Al Hadits dengan menekankan pentingnya formalitas dalam pengamalan agama,
dan bukan hanya diamalkan dalam bentuk bathiniyah sebagaimana yang dilakukan oleh para
sufis dan pengamal mistisisme. Dengan demikian gerakan ini adalah gerakan antibode dari
sufisme dan mistisisme.
3. Sebagai gerakan anti Intelektual dan Filsafat artinya gerakan yang mengedepankan
rasionalisme dalam beragama, terutama dalam menafsirkan Al Qur’an dan Al Hadits. Gerakan
ini hanya mematuhi kebenaran Al Qur’an dan Al Hadits dan bukan kebenaran rasional atau
Filsafat, hal tersebut untuk menjaga kemurnian Islam.
4. Sebagai gerakan anti kejumudan dan kemandegan berfikir dengan mengatakan bahwa pintu
Ijtihad masih terbuka, dalam rangka melahirkan tradisi dan kebebasan berfikir dikalangan umat
Islam. Walaupun demikian, gerakan tersebut tidaklah se-buah gerakan rasional dan juga bukan
gerakan sufisme, karena gerakan ini berdiri di antara intelektualisme dan kehangatan serta
kesalehan sufisme dan mistisisme.

Pola dan bentuk gerakan pemabaharuan tersebut diatas berbeda dengan modus gerakan pem-
baharuan kontemporer yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghoni dan Muhammad Abduh di
Mesir. Pola pembaharuan Islam Kontemporer lebih mengarah kepada :
1. Pembaharuan system berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan
pola pikir tradisional yang dogmatik.
2. Upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan
aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di
dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam
percaturan dunia.

Untuk melihat sejauh mana keberhasilan dan modus operasi pembaharuan Islam di Mesir, maka
tidak akan lepas dari dua orang yaitu Jamaluddin Al Afghoni dan Muhammad Abduh.

JAMALUDDIN AL AFGHANI : API PEMBAHARUAN DI MESIR.


Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1838 sebagai seorang anak
dengan kualitas Intelektual yang sangat luar biasa. Pada umur 18 tahun ia telah menguasai
berabagi cabang ilmu pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum dan agama. Karena
keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka pada saat umur 18 tahun tersebut ia telah
mempesona dunia intelektual dan politik dengan gaya agitasinya yang sungguh menakjubkan.
Pengaruh agitasinya tersebut telah melahirkan suatu revolusi di Afganistan (Kabul) yang
memaksa dia harus mengungsi ke India untuk kali pertama pada 1867, sebagai awal dari
petualangan keilmuan dan politiknya.
Di India, Jamaluddin juga melakukan agitasi untuk membangkitkan semangat perlawanan
terutama terhadap pemerintah kolonial. Agitasi tersebut juga menimbulkan dampak yang luar
biasa, yang memaksa dia meninggalkan India dan pergi ke Hejaz (Makkah). Kemudian pergi ke
Mesir untuk membangkitkan semangat persaudaraan Islam pada tahun 1857, tetapi dia tidak
lama, karena ia kemudian pergi ke Turki dengan sasaran pada Universitas Istambul, yang serta
kehadlirannya menarik minat kalangan perguruan tinggi tersebut dan menyebabkan tumbuhnya
kecemburuan dikalangan akademisi Universitas Istambul, maka ia kemudian kembali lagi ke
India untuk kali kedua pada tahun 1869.
Tapi nampaknya India adalah sebuah persinggahan sementara, karena ternyata pengaruh
Jamaluddin telah menumbuhkan semangat kebangsaan untuk melawan Inggris, yang sudah
barang tentu sangat dibenci oleh mereka. Maka pada tahun 1871 ia pergi ke Mesir untuk kali ke-
dua dan berdiam di sana selama 8 tahun (1879). Setelah itu ia kembali lagi ke India tepatnya di
Hyderabad Deccau, pada tahun 1879 dan menerbitkan sebuah buku yang sempat menggegerkan
dunia barat yaitu “Pembuktian kesalahan kaum Matrialis”.
Jalamaluddin nampaknya identik dengan petualangan intelektual dan politik, sebab bukan hanya
bumi Tuhan yang di Timur saja, yang sempat disinggahi, tetapi bumi Tuhan yang lain, di Eropa
juga menjadi ladang persemaian agitasi solidaritas Islam. Di Perancis ia menggunakan media
komunikasi sebagai instrumen penyebaran ajaran solidaritasnya. Al Urwat al Wutsqo adalah
media cetak yang memberi andil besar bagi tumbuhnya rasa bangga terhadap diri, ter-utama
sebagai pemeluk agama Islam. Setelah itu ia kemudian pergi ke London pada tahun 1891 untuk
mensosialisasikan gagasan Pan Islamisme dan kebangkitan umat Islam.
Pada tahun 1892 ia kembali ke Istambul dan mendapat sambutan yang luar biasa dari kerajaan
Turki Utsmani dengan diberi hadiah uang 775 pound dan tempat tinggal yang sangat layak, akan
tetapi jiwa Jamaluddin bukanlah jiwa konseptor yang hanya duduk di belakang meja, tetapi jiwa
dia adalah konseptor dan petualang, maka ia kemudian pergi ke Parsi untuk membangkitkan
semangat perlawanan rakyat, mengkritik habis pola pemerintahan otokrasi Shah Nasiruddin
Qochar, yang ternyata efektif membangkitkan perlawanan rakyat, sehingga Shah Qachar
terbunuh pada 1 Mei 1895 dalam pergolakan rakyat tersebut.
Walaupun demikian, nampaknya petualangan Jamaluddin Al Afghani harus terhenti oleh kekua-
saan Tuhan, karena pada tahun 1895 ia terkena serangan kangker rahang dan pada 9 Maret 1897
ia dipanggil Allah untuk mempertanggung jawabkan amal duniawinya.

Jika kita simak dengan teliti perjalanan sejarah kehidupan Jamaluddin, maka dapat diambil satu
pengertian bahwa untuk menumbuhkan semangat kerakyatan dan kebebasan seseorang harus
mampu menempatkan diri sebagai konseptor, pelopor dan pelaksana, sehingga ia merupakan
contah yang sangat akseptible, kredible dan penuh dengan inovasi dalam setiap
gerakannya.Untuk itu diperlukan pribadi yang cerdas, berwibawa, ramah dan sangat tegas.
Dalam hal ini Edward G. Brownk mengatakan bahwa Jalamaluddin Al Afghani adalah sebuah
pribadi yang sangat rendah diri, selalu berbicara hal-hal yang baik dan tidak pernah berbicara
hal-hal yang tidak senonoh. Ia adalah seorang orator yang tidak ada bandingnya, tidak pernah
minum minuman keras dan terpe-ngaruh oleh kehidupan dunia, ia sangat keras tetapi tidak
bertemparemen panas (galak) ia ramah tetapi selalu bebas dapat bergaul. Ia berani menentang
bahaya dan sangat bertanggung jawab, ia mempunyai pengetahuan yang mengagumkan bahkan
seakan-akan tahu sebelum orang itu menga-takan, tapi ia tidak pernah menikah bahkan seakan-
akan tidak memperdulikan wanita.
Seperti yang dikemukakan dimuka, bahwa semangat pembaharuan di Mesir bekembang sebagai
anti tesis dari keberadaan bangsa Perancis yang datang melalui Ekspedisi Napoleon. Secara
umum memang keberadaan Napoleon telah sedikit banyak memberikan semangat berfikir bebas,
tetapi ia tidak cukup kemampuan untuk membangkitkan semangat kebangsaan umat Islam telah
tertidur oleh kekuasaan dan kekuatan bangsa Barat itu sendiri.

Melihat hal tersebut, maka orientasi pembaharuan Islam Mesir terutama yang dilakukan oleh
Jamaluddin Al Afghani lebih mengarah kepada pembaharuan cara berpolitik dikalangan umat
Islam. Oleh sebab itu gerakan pembaharuan Mesir atau gerakan Jamaluddin Al Afghani adalah
gerakan Politik. Untuk mengetahui lebih jelas pemikiran pembaharaun Jamaluddin Al Afghani,
berikut ini adalah pokok-pokok pikirannya :
1. Islam mengalami kemunduran dan kejumudan berfikir bukan disebabkan oleh karena Islam
tidak lagi lagi sesuai dengan perkembangan zaman, situasi dan keadaan masa kini, melainkan
karena umat Islam tidak mampu menginterpretasikannya dengan kemampuan ijtihad dan ke-
banyakan umat Islam telah meninggalkan ajarannya dengan mengikuti ajaran baru yang di-
manipulisir untuk kepentingan asing.
2. Bahwa kemunduran Islam dilapangan politik disebabkan oleh :
Desintegrasi politik atau perpecahan dikalangan umat Islam
Corak pemerintahan yang bersifat Absolut (otoriter)
Pemimpin negara yang tidak disukai oleh rakyat (tidak kredible).
Mengabaikan masalah pertahanan atau militerisasi.
Administrasi dipegang oleh mereka yang tidak berkopenten.
Adanya intervensi oleh negara asing.

Untuk itu diperlukan pola pemerintahan yang dapat menarik partisipasi masayarkat secara aktif
dalam bentuk demokratisasi dan terbentuknya majlis syuro yang menjamin adanya partisipasi
masyarakat secara komunal dan individual.

3. Bahwa untuk pembaharuan dan pengembangan semangat keislaman perlu digalakan


solidaritas Islam dalam bentuk program aksi “PAN ISLAMISME” . Gerakan Pan Islamisme
tersebut berusaha melakukan pembaharuan di bidang perpolitikan Islam dengan tujuan
menyadarkan umat Islam dari bahaya dominasi bangsa asing. Oleh sebab itu perlu diadakan
kegiatan-kegiatan :
Agitasi dan propaganda untuk menggerakkan kaum muslimin agar melakukan pergerakan
pemikiran dan pergolakan kebangsaan.
Melakukan gerakan anti Eropa mulai tahun 1882 sebagai reaksi masuknya Inggris pada tahun
1880.
Melakukan agitasi dan klarifikasi guna merubah sikap dan pandangan bangsa Eropa yang
mengatakan bahwa :
a. Nasionalisme dan Patriotisme bukanlah sebuah gerakan fanatisme dan ekstrimisme
b. Penghargaan dan kemulyaan diri yang sedang diperjuangkan bukanlah sebuah Chauvinisme
seperti yang dituduhkan oleh bangsa asing.

4. Bahwa untuk mensosialisasikan dan mengembangkan gagasan pembaharuan politik, maka di-
dirikan media “Al Urwat Al Wutsqo” yang didirikan di Perancis pada tahun 1884 bersama murid
nya yaitu Muhammad Abduh, yang hanya berumur 8 bulan, tetapi mempunyai dampak yang luar
biasa, yaitu :
Berkembangnya semangat menentang bangsa Barat
Adanya usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaah Islam
Adanya semangat untuk mempersatukan umat Islam di dunia (Pan Islamisme).

Demikian pokok-pokok pikir yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al Afghani yang pernah
dikembangan pada awal abad ke 19. Prinsip pemikiran tersebut oleh Jamaluddin dikembangkan
dengan radikal dan revolusioner. Barangkali hal tersebut disebabkan bahwa gerakan
pembaharuan Islam ala Jamaluddin adalah gerakan politik yang tentu menempatkan jargon Anti
Dominasi Barat sebagai agenda aksinya.
Beberapa pemikir Islam seperti Dr. Fazlur Rahman memberikan penilaian bahwa gerakan
pembaharuan (Modernisasi) Politik Jamaluddin Al Afghani adalah sebuah gerakan kesatuan
Dunia Islam (Pan Islamisme) dan Populisme. Gerakan Pan Islamisme adalah gerakan untuk
mem-bangkitkan semangat kesatuan dalam Islam yang dipicu oleh bangsa asing. Sedangkan
gerakan Populisme adalah gerakan pemberdayaan masyarakat dan rakyat dari ketimpangan dan
keter-tindasan struktural.
Lebih dari itu ia mengatakan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang didukung
oleh Rakyat, karena pemerintahan yang didukung oleh konstitusi akan dapat berdiri, berjalan
stabil dan dapat bertahan dari intrik-intrik bangsa asing.

MUHAMMAD ABDUH DAN KIPRAHNYA DALAM AGENDA PEMBAHARUAN ISLAM


KONTEMPORER.
Ada sosok pembaharu yang sangat kita kenal dan tidak mungkin terlupakan oleh sejarah
pembaharuan Islam di Mesir yaitu Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Kedua orang
tersebut mempunyai hubungan yang sangat dekat dan erat karena kedua tokoh tersebut adalah
Guru dan Murid. Namun demikian tidak berarti terdapat kesamaan visi dan pemberdayaan umat
melalui program pembaharuan Islam. Pembaharuan Jamaluddin Al Afghani adalah pembaharuan
(modernisasi) politik Islam yang menekankan adanya kebangkitan dan rasa solidaritas keislaman
(Pan Islamisme) yang diaplikasikan dengan pendekatan radikal dan revolusioner, karena keadaan
pada saat itu menghendaki gerakan revolusioner untuk membangkitkan semangat keislaman dan
keagamaan. Sedangkan Muhammad Abduh melakukan program pembaharuan pada segala
bidang dengan agenda aksi yang bersifat evolusi dan sentuhan kearah pergerakan pemikiran.
Di samping itu, menurut Dr. A.Hanafi terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara
pembaharuan yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang terhimpun dalam ge-
rakan Wahabi dengan gerakan Pembaharuan Muhammad Abduh. Gerakan Wahabi (Gerakan
abad XVIII) adalah gerakan Theologis artinya melakukan upaya purifikasi kepercayaan dan ke-
imanan, sehingga terlepas dari noda syirik dan TBC lainnya. Gerakan Wahabi adalah juga gerak-
an literalisme dan tekstualisme yang hanya menerima otoritas Al Qur’an dan Al Hadits dan
menolak otoritas pemikiran rasional dan logika Filsafat (logika Yunani), namun demikian ia juga
memasukkan agenda pendobrakan pintu ijtihad dan melarang segala bentuk taklid dalam diri
umat Islam. Dari pokok pemikiran tersebut nampak terjadi inkonsistensi dan inkontruksi dalam
berfikir dan bergerak, terutama pengharaman penggunaan rasio dan penggalakan ijtihad.
Sedangkan gerakan Muhammad Abduh adalah gerakan pembaharuan yang Konprehensif.
Gerakan pembaharuan yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, aspek hukum, politik,
theologi dan pendidikan yang kesemuanya telah hilang dari pangkuan Islam. Di samping itu ia
melakukan gerakan rasionalisasi dalam Islam dengan menempatkan pemikiran Filsafat dan
Logika Yunani sebagai instrument memahami ajaran Islam.

Muhammad Abduh dilahirkan di Mualat Nasar Mudiriyah Mesir Hilir pada tahun 1849, dan pada
umur 10 tahun (th. 1859) ia telah mampu menghafal Al Qur’an. Pada tahun 1866 ia mema-suki
pendidikan di Universitas Al Azhar dan di pusat pengkajian Islam ini mulai tampak ke-mampuan
intelektual yang sangat luar biasa. Hal tersebut dibuktikan dengan kritik pendidikan yang
dikembangkannya, ia melihat bahwa system pendidikan di Universitas Al Azhar sangat kuno dan
lamban untuk dapat mengikuti perkembangan zaman serta sangat terikat dengan aturan-aturan
tradisional, untuk itu perlu diganti dengan metode modern yang ternyata lebih efektif (Pelajaran
2 tahun dapat diselesaikan dalam waktu 1 hari).

Pada saat menjadi rektor Universitas Al Azhar tahun 1901, ia melakukan reformulasi system
pendidikan di lembaga kajian kebanggaan Islam tersebut. Ia mengatakan bahwa pendidikan
harus memperhatikan relevansi dan signifikansinya terhadap kehidupan manusia. Ada dua dasar
pertimbangan diberlakukannya pokok kajian keilmuan, yaitu :
1. Relevensi ilmu dengan alokasi waktu yang dibutuhkan
2. Relevansi ilmu dengan kebutuhan hidup manusia (Human Needs).

Dengan demikian suatu ilmu itu tidak perlu diajarkan dan sekaligus dipelajari kalau secara
prinsip tidak mempunyai relevansi dengan kebutuhan hidup manusia dan alokasi waktu yang
dibutuhkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Pembaharuan aspek sistem pendidikan mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap berkembangnya kualitas umat Islam dan kalau itu terjadi akan men-
dorong lahirnya gerakan baru yaitu gerakan kesadaran kemanusiaan.
Di samping pemikiran-pemikiran tersebut, juga terdapat program pembaharuan lain yang
ternyata juga sangat penting, karena menyangkut jiwa dan api Islam dalam diri umat. Pemba-
haruan bidang theologi adalah purifikasi ajaran Islam untuk memperoleh semangat keislaman,
yang dilakukan dengan jalan :
1. Memerangi sikap hidup yang fatalisme dan taklid
2. Melakukan liberalisme dalam pemikiran dan pemahaman keislaman, terutama dalam
memahami hukum-hukum Islam tetapi masih dalam kerangka menjaga kesucian dan ke-benaran
wahyu itu sendiri.
3. Melakukan upaya pembangunan kembali (Reformulasi) teks hukum Islam klasik agar lebih
sistematis dan rasional sehingga dapat memberi manfaat bagi kehidupan.
Dalam konteks seperti itu, maka sosok Muhammad Abduh adalah seorang rasionalis dan me-
nekankan pemikiran filsafat sebagai landasan dalam berfikir keislaman. Bagaimanapun sangat
kurang representatif jika kita menilai Muhammad Abduh hanya dengan mengkaji pemikiran-
pemikiran tersebut di atas, untuk itu diperlukan perluasan pemikiran lain, yang kemudian dapat
kita pakai sebagai parameter untuk membandingkan antara pola pembaharuan Muhammad Bin
Abdul Wahab dengan Jamaluddin Al Afghani dan dengan Muhammad Abduh itu sendiri.
Berikut ini adalah pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh :
1. Logika (Cara berfikir Rasional)
Mengakui adanya kebenaran Logika (hasil pemikiran manusia)
Bahwa pengakuan kebenaran logika yang membawa pada pengkajian filsafat harus ke-pada teks
aslinya dan bukan kepada teks komentar yang dihasilkan.
Kepercayaan dan keimanan dapat diperkokoh dan dipertebal dan bukannya diperlemah
keadaannya dengan memberikan bukti-bukti rasional.
Logika atau pemikiran rasional kritis bukanlah sebuah “Academic Exircise” tetapi meru-pakan
instrument positif untuk membentuk pemikiran yang konstruktif.
Logika adalah kunci terbukanya pintu ijtihad
Islam rasional adalah bentuk pemahaman terhadap ajaran Islam yang membebaskan diri dari
ketergantungan, karena kehadliran Islam adalah pembebasan dari ketergantungan terhadap
pendeta dan perantara lain dan langsung berhadapan dengan Allah.

2. Etika atau moralitas manusia.


Bahwa perbedaan buruk dan baik adalah suatu yang natural atau alami, sehingga dapat diketahui
oleh akal tampa bimbingan wahyu artinya tampa harus ada dan menanti turunnya Wahyu.
Bahwa Islam harus mengakui natural morality (moralitas atau kebenaran alami) yang seharusnya
tidak ada perbedaan dengan Religiositas Morality (kebenaran berdasarkan agama) artinya bahwa
sesuatu yang dianggap benar oleh natural morality seharusnya juga benar apabila dihadapkan
pada Religiositas Morality. Hal tersebut disebabkan adanya satu anggapan bahwa kebenaran atau
kebathilan merupakan sesuatu yang otonom dalam prinsip moralitas. Pemikiran tersebut juga
dikembangkan oleh Mu’tazilah, Al Farabi dan Ibnu Rusyd.

3. Konsep Sosiol (nilai kemasyarakatan)


Bahwa masyarakat tumbuh dan berkembang secara evolusi atau mengikuti hukum alam,
sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Khuldum dalam buku Mukaddimahnya.
Sebagaimana buku Risalah At Tauhid karya Muhammad Abduh. Bahkan dalam konsep
kemasyarakatan, Muhammad Abduh selalu menampilkan hasil pemikiran umat Islam, dengan
demikian ia bermaksud untuk mengangkat kembali kebudayaan Islam ditengah-tengah
pergulatan pemikiran dan kebudayaan dunia.
Masyarakat atau manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan integrasi sosial baik
secara fisik, intelektual dan moral , untuk amat sangat sulit jika manusia hidup dalam kesendirian
dan tidak integrated. Manusia membutuhkan solidaritas dan kesatuan dalam hidup, lebih dari itu
maka pendidikan masyarakat harus diarahkan kepada hal yang bersifat Altruistik.

Pemikiran pembaharuan tersebut dilakukan dalam rangka membangkitkan kembali dunia Islam
agar ia dapat berkembang dalam aktualisasi dunia yang sangat cepat dan aplikatif tersebut.
Secara khusus bahwa program pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai 3 tujuan utama,
yaitu :
1. Membebaskan akal manusia dari rutinitas yang membosankan
2. Membebaskan manusia Islam dari budaya imitasi (meniru) yang cenderung mencerabut rasa
kebanggaan diri dan kemampuan aktualisasi diri.
3. Membebaskan manusia muslim dari kemandegan berfikir (Stagnasi Intelektual).

Demikian pola pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad
Abduh, yang nampaknya sangat berbeda jargon, program dan metodenya dengan pembaharuan
Islam yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Perbedaan tersebut bukan saja kepada
dua sosok pembaharu tersebut, melainkan mengarah kepada kesimpulan bahwa ada perbedaan
visi pembaharuan pada abad ke 18 dan ke 19 sebagaimana yang dikemukakan diatas
Demikian mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan kajian keislaman
dan pembaharuan Islam itu sendiri.

BUKU REFERENSI
1. Dr. Falzlur Rahman : Islam.
2. Loph Stodart : Dunia Baru Islam
3. Dr. Muhammad Heykal : Sejarah Islam
4. Drs. Imam Munawir : Pembaharuan Islam dari masa ke masa
Pembaharuan Islam di Turki
Diposkan oleh ZABAZ di 20.15
SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN DAN PROSES
PEMBAHARUAN ISLAM DI TURKI

Oleh : Drs. IHSAN

Turki dalam sejarah emperium Romawi Kuno adalah sebagian wilayah kerajaan Romawi Timur
atau Bizantium, dengan pusat pemerintahan ada di Konstantinopel (selanjutnya diubah namanya
menjadi Istambul). Konstantinopel pada awal perkembangan Islam merupakan salah sati sasaran
pengembangan untuk wilayaha Barat, disamping kota Iskandariyah di Mesir. Kedua kota
tersebut sangat penting artinya bagi perkembangan Islam di Eropa dan Afrika. Iskandariyah
adalah salah satu pelabuhan terbesar zaman itu – yang menjadi perantara terjadiny adaptasi,
akulturasi dan akumulasi budaya dari berbagai negara, dan dengan keadaan tersebut,
Iskandariyah merupakan jalur penting bagi perkembangan Islam di Afrika.
Sedangkan Konstantinopel sebagai salah satu kebanggaan kerajaan Romawi juga mempunyai
peranan yang penting bagi pengembangan emperium Romawi, termasuk di dalamnya sebagai
representasi kerajaan tersebut, dan dengan menguasi kota konstantinopel berarti telah memutus
mata rantai kerajaan Romawi di Timur, termasuk didalamnya alah pengembangan misi agama
Kristen. Pada saat yang sama dikalangan penganut Kristen terjadi kemundurun yang disebabkan
oleh konflik intern keagamaan antara penganut Kristen Ortodoks dan Kristen Protestan.
Turki sebagai subordinasi sistem kerajaan Islam yang baru berkembang padaparuh akhir
kejayaan kerajaan Islam – pasca kejayaan kerajaan Islam di Bagdad dan kerajaan Islam di
Spanyol, pada mulanya adalah sebuah daerah kumuh yang sering kali dikunjungi guna
mendapatkan pekerja atau budak yang dipekerjakan di kota-kota besar dunia Islam pada abad
pertengahan dan untuk itu tidak ditemukan sebuah literatur apapun yang menyatakan peranan
Turki dalam konsteks permulaan pengembangan Syiar Islam. Hal tersebut boleh jadi disebabkan
oleh gairah politik dan letak geografisnya yang jauh dari pusat peredaran Islam yaitu Madinah
atau Makkah.
Dinasti pertama yang mempekerjakan komunitas Turki adalah Daulat Bani Abbasiyah – yang
pada perkembangan berikutnya memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap
komunitas ke Turkian dan dinasti Abbasiyah itu sendiri. Pada paruh akhir kejayaan daulat bani
Abbasiyah, orang-orang Turki telah meraih jabatan politik yang sangat penting yaitu “Wazir”,
sebuah lembaga advisor dan pelaksana kebijakan pemerintah – bahkan dalam kondisi tertentu ia
dapat menjelma sebagai “Kholifah”. Budak-budak yang memiliki jabatan politik yang cukup
menentukan tersebut dikenal dengan “Turki Mamaluk” yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya
kerajaan Turki Saljuk dan kemudian menjelma menjadi Turki Utsmani pada awal abad ke 18 M.
Setelah kerajaan Islam di Bagdad hancur pada tahun 1258 M dan disusul kemudian oleh
hancurnya kerajaan Islam di Spanyol pada tahun 1492 M, Umat Islam hampir saja kehilangan
kekuatan politik, dan memang secara berlahan-lahan umat Islam mengalami kemunduran sosial
politik dan ilmu pengetahuan. Namun demikian ditengah-tengah kemunduran tersebut, lahir
wacana politik baru – yang kelak dapat memperlambat kejatuhan umat Islam secara keseluruhan
sampai pada akhir abad ke 19 M.
Ada tiga kerajaan Islam baru – yang sangat penting peranannya dalam memperlambat kejatuhan
mental dan ruh politik umat Islam, yang dari situ dapat juga dipakai sebagai iindikator bahwa
masih ada komunitas umat Islam yang tetap eksi baik secara politik maupun ekonomi, yaitu
a. Daulat bani Safawiyah di Iran
b. Daulat bani Fatimiyah di Mesir
c. Daulat Bani Saljuk atau Kerajaan Turki Utsmani di Turki.

Ketiga kerajaan tersebut menjadi benteng terakhir umat Islam, terutama dalam rangka
menanggulangi kekuatan eksternal yang mulai mengganggu sekaligus menggusur kekuatan
politik dalam Islam. Dalam perspektif theologis, ketiga kerajaan tersebut juga berjuang
mempertahankan eksistensi theologis Islam, terutama kerajaan Islam Turki Utsmani yang
menjadi pelopor perang perang sabil melawan dominasi theologi Kristen dalam serangkaian
“Perang Salib”. Tokoh-tokoh seperti Sholahuddin al Ayubi menjadi contoh dan representasi
perjuangan umat Islam dalam mempertahankan nilai suci agama Islam, termasuk didalamnya
adalah menjaga keutuhan sosial politik umat Islam.

SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN TURKI UTSMANI ABAD XIX

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Turki merupakan kebanggaan terakhir umat
Islam yang bertahan dalam menghadapi hegemoni ekonomi, sosial dan politik bangsa Barat,
walau pada akhirnya ia juga mengalami peristiwa yang sama yaitu kemunduran general yang
kemudian menyebabkan mereka menjadi salah satu dari sekian umat Islam yang menderita
penyakit (The Sick Man of Europe). Situasi dan perubahan sosio kultural dan politik telah
berkembang sejak awwal abad XIX, dengan titik konsentrasi pada perubahan pendidikan, sosial
kemasyarakatan dan politik. Berikut ini keadaan pendidikan, sosial kemasyarakatan dan politik
Turki pada abad ke XIX.

A. Pendidikan
Dalam sektor pendidikan terjadi perubahan orientasi dan materi pendidikan yaitu dari pendidikan
dengan basic keagamaan menjadi pendidikan umum yang menitik beratkan pada pendidikan
barat. Untuk itu didirikan sekolah umum (Maktabe Ma’arif), sekolah kesusastraan (Maktabe
Edeby) dan lain-lain.

B. Sosial kemasyarakatan
1. Masuknya ide progresif dari barat atau boleh dikatakan ide westernisasi sebagai anti thesis
peengobatan kemunduran Turki secara umum atau karena kelemahan sosio kultural bangsa
Turki.
2. Berkembangnya gerakan tanzimat yang dipelopori oleh Musthofa Rasyid Pasha, Rif’at Pasha,
Mehmet Sidek dan Musthofa Semi. Gerakan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Sultan Abd.
Madjid pada tahun 1839 dengan mengeluarkan deklarasi Gulhane, yang berisi :
a. Dikeluarkannya aturan penegakan HAM.
b. Diundangkannya sistem dan penggajian pegawai secara proporsional.
c. Undang-Undan anti Korupsi.
d. Undang-undang yang mengatur adanya persamaan hak termasuk dalam agama.

Gerakan pembaharuan atau tanzimat di Turki terjadi dalam dua periode, yaitu periode Rasyid
Pasha dan Periode Ali Pasha dan Fuad Pasha.
a. Tanzimat Rasyid Pasha; dengan titik tekan pembaharuan :
· Reformasi hukum – meliputi pembentukan dewan hukum, penerbitan undang-undang Dinas
Militer tahun 1855, Mahkamah baru dalam pidana dan perdata tahun 1849, hukum dagang tahun
1850 dan undang-undang yang mengatur pembebasan Kharaj atas tanah tahun 1855.
· Reformasi pendidikan
· Reformasi bidang politik dan pemerintahan
b. Tanzimat Ali Pasha dan Fuad Pasha – meliputi pembaharuan dibidang :
· Perubahan hukum-hukum tentang tanah tahun 1858
· Hukum yang mengatur hak warga asing untuk memiliki tanah dan barang tak bergerak tahun
1867.
· Hukum perdata Islam tahun 1859
· Undang-undang penghapusan wakaf.

Gerakan pembaharuan atau yang dikenal dengan “tanzimat” ini kemudian dilanjutkan oleh
generasi berikutnya – lebih radikal dan total, mereka kemudian dikenal dengan “Gerakan
Ustmani Muda”.

C. Keadaan politik
Dalam bidang politik terjadi perubahan yang sangat signifikan, terutama untuk membawa Turki
pada era baru – Turki yang modern. Perubahan-perubahan tersebut adalah :
1. Reformasi jabatan Politik “Sadrazan” yang mempunyai kekuasaan otoriter atau absolut
menjadi sebuah jabatan koordinatiof yang disebut dengan “Perdana Menteri”/Prime of Minister”.
2. Kekuatan yudikatif yang dulunya dipegang oleh “Sadrazan” – diambil alih oleh “Syaikhul
Islam” terutama dalam hal hukum syara’.

GERAKAN PEMBAHARUAN TURKI UTSMANI MUDA

Gerakan pembaharuan Turki pada masa Utsmani Muda lebih mengarah pada reformasi politik,
terutama yang berkaitan dengan pembatasan kekuassaan absolut yang dipegang oleh Raja
(Sultan) menjadi kekuasaan yang konstitusional – kekuasaan yang dibatasi oleh undang-undang
dengan memberdayakan pengawasan dari rakyat. Reformasi jabatan politk yang absolut
merupakan anti thesis yang dikembangkan oleh Utsmani Muda untuk memperbaharuhi kinerja
politik bangsa Turki. Gerakan pembaharuan Utsmani Muda pada awalnya mendapat hambatan
dari gerakan pembaharuan sebelumnya yaitu tanzimat yang sedikit mendukung pemerintahan
yang absolut.

Untuk mengetahu lebih lanjut pembaharuan yang dilakukan oleh Utsmani Muda, berikut ini
tokoh-tokoh pembaharu dan pokok-pokok pikirannya :
A. Ziya Pasha (1825-1880).
1. Pemerintah Turki harus dirubah dari bentuk absolutisme menjadi pemerintahan konstitusional
agar bangsa Turki dapat maju dan sejajar dengan bangsa barat, karena bangsa Turki dapat masuk
kedalamnya.
2. Pemerintahan konstitusional didalamnya harus terdapat DPR sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat.

B. Nenik Kamal (1840-1888)


1. Kemunduran Turki secara ekonomi dan politik disebabkan oleh sistem pemerintahan yang
absolut dan oleh sebab itu harus dikembangkan pemerintahan yang konstitusional
2. Piagam Gulhane belum mencerminkan adanya pemisahan kekuasaan, yaitu pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
3. Hak-hak politik rakyat harus dilindungi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
4. Untuk merealisasi hak-hak politik rakyat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka harus
dibentuk 3 majlis yaitu majlis negara, majlis nasional dan majlis senat.

C. Ahmad Reza (1859-1931)


1. Untuk menyelamatkan bangsa Turki, harus diadakan pendidikan positif artinya pendidikan
dengan menitikberatkan pemikiran rasional dan bukan pemikiran theologis dan metafisika
(mengambil konsep positifisme August Comte).
2. Sistem pemerintahan konstitusional tidak bertentangan dengan nilai keislaman terutama yang
berkaitan dengan konsep musyawarah.
3. Mendesak Sultan agar segera merealisasikan sistem pemerintahan yang bersifat konstitusional.

D. Mehmed Murad (1853-1912)


1. Bangsa atau negara Tukri mundur bukan disebabkan oleh Islam dan rakyat Turki itu sendiri,
melainkan disebabkan oleh pelaksanaan pemerintahan yang absolut. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka pemerintahan yang absolut harus segera dibatasi dengan undang-undang.
2. Kemunduran Turki juga disebabkan oleh desintegrasi antara pusat (Istambul) dengan daerah-
daerah yang jauh – dalam pengertian yang lain terjadinya ketidakharmonisan hubungan antara
pusat dan daerah.
MUSTHOFA KEMAL PASHA; BAPAK PEMBAHARUAN TURKI MODERN

Terdapat satu nama yang tidak dapat dipisahkan dengan Turki Modern, yaitu Musthofa Kemal
Pasha. Mengingat perannya yang sangat besar dan sentral dalam proses pembaha-ruan Turki,
maka ia kerap kali disebut sebagai “Bapak Pembaharu Turki” atau “Kemal Ataturk”. Kemal
Pasha melihat bahwa Turki yang mengalami kemunduran dan ketidakber-dayaan lrebih banyak
disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa Turki menghadapi absolutisme dan kekakuan politik,
dan oleh sebab itu ia harus diberangus dengan menam-pilkan kedaulatan rakyat dalam bentuk
majlis-majlis yang sebelumnya telah dikembangkan oleh gerakan Turki Utsmani Muda.
Keberhasilan Musthofa Kemal Pasha dalam proses pembaharuan dan program penyela-matan
bangsa Turki adalah ketiak ia membuat satu negara tandingan di Turki dengan pusat
pemerintahan di Angkara (Ibukota Turki – sekarang). Pemerintahan tandingan tersebut secara
politik mengancam eksistensi emperium Turki Utsmani yang berjalan sekitar 6 abad – mulai
abad ke 12 M. sampai dengan abad ke 20 M. Keberhasilan Kemal Pasha mengeliminir dan
merubah bentuk negara absolut menjadi negara republik yang demokratis banyak didukung oleh
situasi sosial politik bangsa Turki yang sedang tidak senang dengan sikap kemutlakan dan
absolutismr politik. Disamping itu keadaan politik dan tekanan dunia luar tyerhadap bangsa
Turki semakin kuat terutama setelah Turki mengalami kekalahan beruntun dalam perang dunia I.
Faktor dominan lainnya adalah keinginan merubah sistem kenegaraan agar bangsa Turki
terbebas dari ketidakberdayaan.
Pemberdayaan potensi bangsa Turki oleh Musthofa Kemal Pasha dimulai dengan melakukan
Nasionalisasi simbol dan atribut kenegaraan, terutama untuk memutus pengaruh tradisionalisme
yang menurutnya menjadi sebab dominan dari ilusi kejayaan masa lalu. Simbol dan atribut
kenegaraan dikembalikan dalam kultur bangsa Turki, sehingga banyak akar-akar kebudayaan
tradisional yang disemangati oleh Islam dan bangsa Arab kehilangan kekuatannya. Bangsa Turki
oleh Musthofa Kemal Pasha dibawa pada tatanan baru yang sama sekali berbeda dengan akar
dan nilainya dari bangsa Turki masa lalu – bangsa Turki telah dibuat lupa dengan masa lalunya
oleh Musthofa Kemal Pasha.
Program kedua yang dilaksanakan oleh Musthofa Kemal Pasha adalah melakukan perubahan
citra dan visi kehidupan dengan menggunakan idiom-idiom barat sebagai repre-sentasi nilai
kehidupan yang baru. Proses westernisasi ini ternyata menimbulkan akibat yang lluar biasa bagi
bangsa Turki – yang sebelumnya adalah penganut agama yang taat. Akibat-akibat tersebut
adalah :
A. Tereduksinya program pendidikan keagamaan dan berkembangnya program pendidikan barat,
yang berakibat semakin menipisnya kesadaran beragama (pengamalan agama).
B. Visi westernisasi telah menyebabkan digantikannya simbol dan jargon Islam menjadi simbol
dan jargon nasinalis Turki atau bahkan simbol dan jargon barat.
C. Berkembangnya struktur sosial yang sekuler dengan meletakkan agama sebagai sesuatu yang
tidak penting bagi perjalanan kehidupan manusia di dunia.

Mungkin secara umum program pembaharuan Turki oleh Musthofa Kemal Pasha telah
membawa Turki pada era baru yang modern, bahkan untuk saat ini bangsa Turki telah menjadi
bagian dari dunia barat yang sekuler. Akan tetapi harga yang harus dibayar sangat mahal
dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh bangsa Turki dalam proses pembaharuan tersebut.
Terdapat dua indikator yang dapat dilihat berkaitan dengan kegagalan Turki dalam proses
pembaharuan tersebut, yaitu :
A. Turki sampai saat belum menunjukkan sebagai negara yang maju, modern dan disegani oleh
dunia barat, dibandingkan dengan Jepang yang juga mengalami kehancuran akibat perang dunia
II. Jepang dapat bangkit kembali dan menjadi kekuatan raksasa dunia dalam tempo 25 tahun,
sedangkan Turki setelah 70 tahun masih tetap tergantung dengan dunia barat.
B. Bangsa Turki telah kehilangan kebanggaan masa lalu yang dibuang secara paksa keselokan
western oleh Musthofa Kemal Pasha dan diganti dengan prinsip-prinsip barat yang ternyata tidak
mampu mengangkat kepribadian dan spirit bangsa Turki – berbeda dengan Jepang yang
melakukan modernisasi tetapi mereka tetap menjadikan tradisional isme sebagai pijakan dan tata
niali kehidupan.

Terlepas dari kegagalan pembaharuan tersebut, maka menurut Muhammad Abduh dan
Muhammad Rasyid Ridha bahwa apa yang dilakukan oleh mereka patut dihargai dan diikuti,
karena mereka telah memberikan wacana baru dalam proses pembaharuan, setidak-tidaknya
mereka telah mampu memberikan alternatif dalam rangka memecah kebekuan berfikir dan
berkreasi. Wacana pemikiran yang lain adalah dikembangkannya pemikiran rasional untuk
menggali nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam itu sendiri.

Barangkali tindakan yang paling positif bagi setiap usaha pembaharuan adalah
mengakumulasikan seluruh potensi keumatan baik potensi tradisionalisme, modernitas dan Post
Modern yang telah berkembang di dunia barat – untuk kita analisa dan kemudian kita
kembangkan dengan spirit Islam yang salafi, sehingga dunia yang akan kita jalani adalah dunia
yang modern yang didalamnya berkembang berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi,
tetapi penuh dengan spiritualitas Islam yang damai, sejahtera dan selamat dunia akhira.

Pembaharuan Islam di Hejaz


Diposkan oleh ZABAZ di 20.08
SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN DI JAZIRAH ARAB
DAN BERKEMBANGNYA GERAKAN WAHABI

Oleh : DRS. IHSAN

Jazirah Arab adalah sebuah daerah gersang dengan padang pasir yang sangat luas. Sebagian dari
padang pasir tersebut terdapat sumber mata air (Wadi) yang merupakan daerah pertanian,
terutama di kota Madinah. Padang pasir yang membentang luas di jazirah Arab nampaknya
memberikan pengaruh khusus pada mereka terutama pada pembentukan watak dan karakter ma-
syarakat Arab. Karakter mereka menjadi sangat keras, berangasan dan terkadang sangat kejam
serta gemar melakukan peperangan, sesuai dengan situasi daerah yang sangat panas.
Letak geografis yang kurang menguntungkan tersebut, sekaligus minimnya sumber air
menyebabkan mereka selalu berebut daerah sumber air dan terkadang berakhir dengan pepe-
rangan, untuk men-dapatkan air sebagai sumber kehidupan terutama binatang ternak yang sedang
digembalakan. Oleh sebab itu orang yang disegani di kalangan bangsa Arab adalah mereka yang
mempunyai kekuatan fisik dan kepandaian berperang, sedangkan kualitas ilmu pengetahuan
tidak terlalu penting bagi mereka pada masa lalu.
Sudah barang tentu, daerah Arab sangat tidak menarik bagi orang lain terutama untuk melakukan
investasi atau paling tidak untuk tinggal didaerah tersebut. Akan tetapi setelah ke-hadliran Nabi
Ibrahim dan Ismail ke jazirah Arab, telah membuka wacana dan anggapan baru terhadap jazirah
Arab sebagai daerah yang sangat sulit untuk memulai kehidupan. Selama ini daerah yang
berkembang hanyalah daerah disekitar Palestina yang selama itu ditinggali oleh Nabi Ibrahim.
Kedatangan Nabi Ibrahim ke jazirah Arab secara esensial oleh Allah dimaksudkan untuk
menggerakkan kembali semangat keagamaan yang pernah dihidupkan oleh Nabi Adam. Tempat-
tempat seperti bukit Arofah, Ka’bah dan Ziddah merupakan tempat bersejarah dimasa lalu. Maka
kehadliran Nabi Ibrahim bukan saja menghidupkan kembali semangat keagamaan tersebut, me-
lainkan juga memenuhi panggilan Tuhan untuk menempati tanah baru yang dijanjikan-Nya.
Dengan kedatangan Nabi Ibrahim tersebut, maka mulailah berkembang bentuk kehidupan
masyarakat baru di jazirah Arab, masyarakat madani (Civil Society) yang disemangati nilai ke-
agamaan dibawah bimbingan langsung Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Seiring dengan ber-
kembangnya kehidupan di jazirah Arab terutama dengan sumur zam-zam sebagai nafas kehidup-
an, telah menarik bangsa lain untuk melakukan muhibbah dan migrasi penduduk. Dan ini menye-
babkan Arab tumbuh menjadi kota yang sangat disegani, kota tempat berkumpulnya para
imigran daerah lain dengan latar belakang budaya dan karakter masing-masing, kota tempat
dilakukannya proses negosiasi perdagangan yang merupakan profesi baru setelah mereka hidup
berpindah-pindah dan melakukan perburuhan untuk mendapatkan bahan makanan.
Seiring dengan perjalanan sejarah yang telah tertinggal jauh dibelakang sejarah, bangsa Arab
nampkanya telah berkembang sangat jauh dan terbebaskan dari nilai keagamaan yang dibawa
oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Mereka kembali hidup dengan prinsip yang kuat meng-
eksploatasi yang lemah dan yang lemah menjadi santapan bagi mereka yang kuat. Sejarah bangsa
Arab masa lalu yang disebut sebagai masyarakat madani, nampaknya hanya tinggal kenangan,
karena bangsa Arab telah berubah menjadi bangsa yang sangat bodoh (Jahiliyah). Kebodohan-
kebodohan tersebut tidak meliputi aspek ilmu pengetahuan, melainkan terhadap keagamaan dan
prinsip kebenaran, misalnya :
· Maraknya kehidupan amoral (Khamr, berzina dan berjudi).
· Mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang baru dilahirkan
· Menentang kebenaran dan moralitas masyarakat
· Berkembangnya keyakinan politheisme dengan menempatkan patung sebagai tujuan per-
ibadahan bangsa. Dan masih banyak lagi.

Dalam keadaan seperti, kehadliran Nabi Muhammad adalah sesuatu yang sangat penting bagi
masyarakat Arab khsusunya dan msyarakat dunia pada umumnya. Tugas Muhammad adalah
melakukan upaya restrukturisasi sistem yangberkembang di masyarakat dengan pola-pola
masyarakat madani yang sebelumnya telah berkembang di Arab pada jaman Nabi Ibrahim, oleh
sebab itu simbol-simbol ajaran yang dikembangkan ajaran moral dengan isyarat mengikut jejak
Nabi Ibrahim, sebagaimana yang kita lakukan ketika melaksanakan ibadah haji. Dengan
demikian Nabi Muhammad adalah seorang reformis, Tajdid dan Modernis (rasionalisasi)
masyarakat Arab dan dunia secara makro.
Berdasarkan kejadian-kejadian tersebut, dapatlah diambil satu kesimpulan bahwa bangsa Arab
telah mengalami dua kali pembaharuan, dengan visi yang berbeda, yaitu :
· Reformasi pertama (Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail) adalah reformulasi masyarakat dengan
tekanan pada pembentukan dasar masyarakat madani.
· Reformasi kedua (Nabi Muhammad) adalah koreksi sekaligus pembaharuan terhadap bentuk
kehidupan masyarakat yang selama itu telah kehilangan nilai humaniora, ketuhanan dan
penghargaan terhadap kebenaran untuk kembali tegak hidup sebagai manusia dengan bingkai
kemanusiaan, kebenaran dan ketuhanan.

SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN BANGSA ARAB PADA ABAD XVIII


Sebagaimana yang kita maklumi bersama, bahwa Islam dengan kebenaran ajarannya telah
memberikan dorongan berkembangnya masyarakat madani (Civil Soceity) yang diperkaya
dengan ilmu pengetahuan, keluasan negara dan keluhuran kebudayaannya, terutama pada masa
kedaulatan Bani Abasiyah di Timur (Bagdad) dan Bani Umaiyah di Eropa (Spanyol). Ketinggian
dan kemajuan kebudayaan Islam telah mempesona setiap orang yang menyaksikannya.
Pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, umat Islam telah banyak menemukan berbagai
penemuan yang kemudian menjadi karya adi luhung, yang keberadaannya sampai sekarang
masih dijadikan dasar bijakan pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya metode Induksi
(Research), Fisika, Kimia, Anstronomi, Bio Teknologi dan lain-lain. Dalam bidang seni sastra,
kita me-nemukan karya-karya yang sangat monomental, Alfu Lailah wa Al Lailah merupakan
karya yang tiada bosannya untuk kita baca (selanjutnya baca Dr. Ahmad Amin dalam buku
“Kultur Islam”). Namun demikian, cerita kemajuan dan ketinggian kebudayaan Islam,
nampaknya hanya sebuah Nostalgia saja, kenangan indah yang hanya dapat dirasakan dalam ilusi
dan angan-angan saja seiring dengan kemunduran emperium keislaman.
Adalah suatu yang alami jika seuatu berjalan mengikuti alur alam, ada kemajuan dan kemun-
duran, ada kekuasaan dan kehidupan biasa. Kemajuan nampaknya telah membuat kita terlena,
sehingga orang atau lembaga lain berusaha mengejar ketinggalannya dan kemudian menghabisi
Islam sebagai lawan yang telah dinanti-nanti kelemahannya. Keteledoran dan kelemahan jiwa
ke-islaman serta terbuainya dengan kemewahan sementara membuat mereka tidak mampu
bertahan menghadapi gejolak dan tantangan dunia luar, maka akhirnya kekuatan asing dapat
menghan-curkan Islam.
Adalah Hulago Khan yang kali pertama memicu kemunduran dikalangan Islam dengan meng-
hancurkan kota Bagdad; kota simbol kemegahan Islam di Timur dan kemudian Ferdinand dan
Isabela menghancurkan Islam di Eropa terutama kota Barcelona Spanyol. Runtuhnya dua simbol
kemegahan Islam tersebut ternyata diikuti oleh konflik dan kontroversi yang berkepanjangan
antara Islam dan Kristen dalam perang salib yang sangat melelahkan.
Di Arab (dunia Timur), kehancuran Islam memyebabkan masyarakat Islam melakukan kegiatan
yang selama ini bukan roh Islam yang sebenarnya, yaitu memisahkan diri dari pengaruh dunia
secara berlebih-lebihan. Maka apabila kita lakukan pengkajian secara rinci, maka situasi sosial
bangsa Arab pada waktu itu (abad XVIII) adalah sebagai berikut :
· Terjadinya ketimpangan struktural yang melahirkan ketergantungan strukturan artinya secara
struktural umat Islam tergantung kepada dunia lain, dalam hal ini orang Barat.
· Terjadinya dominasi (penguasaan) oleh orang asing terhadap umat Islam terutama dengan
berkembangnya kolonialisme dan imperialisme.
· Perkembangan ekonomi yang selama ini berjalan dengan baik, mulai dikuasi dan di dominasi
oleh Barat dengan modal dan investasi mereka.
Hidup dalam ketergantungan struktural tersebut nampaknya membuat umat Islam tidak tahan,
sebagian mereka ada yang lari dari kehidupan dunia dan sebagian mereka ada yang menerima
nasib struktural seperti itu dengan harapan Tuhan akan memberikan rahmat dan kekuatan untuk
melepaskan diri. Kehidupan sosial keagamaan nampak sekali jauh dari apa yang digariskan oleh
Nabi Muhammad SAW. Untuk melihat sejauh perubahan sosial keagamaan akibat kemunduran
Islam tersebut, dapat dilihat pada uraian berikut ini :
· Berkembangnya kehidupan fatalisme dan eskatologis yang dipicu oleh rasa putus asa ter-hadap
keadaan dan ketidakmampuan mereka menghadapi pergulatan nasib serta keinginan untuk
menghindarkan diri dari pengaruh buruknya kehidupan dunia. Mereka kemudian disebut sebagai
kaum konservatif (kolot)
· Moralitas masyarakat tidak lagi mencerminkan keluhuran dan keagungan Akhlak Islami atau
bahkan mereka tidak lagi memperdulikan moral, maka pada saat itu tatanan masyarakat madani
sebagaimana yang dicita-citakan Rasulullah atau lebih dari itu tatanan masyarakat madani tidak
lagi signifikan terutama berkembang sekelompok cendekiawan yang tidak me-mahami dan
mengenal agama.
· Menurunnya tradisi berfikir yang sebelumnya berkembang dikalangan Islam dan menjadi sikap
hidup yang taklid. Berkembangnya sikap hidup seperti itu membuat umat Islam semakin
terjerembab dalam kultur jumud, kemandegan dan ketidakberdayaan.
· Dalam bidang keimanan, mereka tidak lagi bertuhan Allah, tetapi bertuhan wali, orang pinter
atau bahkan kuburan, yang sama sekali tidak akan memberikan manfaat. Mereka telah ke-
hilangan Tuhan Allah atau mereka telah membunuh Allah dalam dirinya. Bahkan telah terjadi
apa yang disebut sebagai sinkritisme agama.

Sikap hidup seperti itu bukan dominan dilakukan oleh masyarakat Arab, melainkan sudah
menjadi simbol umat Islam pada waktu, kemajuan yang begitu mengagumkan diakhiri dengan
ketetapan ditutupnya wacana dan kreasi berfikir. Tidak juga pada masyarak Arab, kenyataan
tersebut ternyata memicu lahirnya pergolakan-pergolakan struktural dan politik yang berke-
panjangan di dunia Arab.
Di Jazirah Arab pada saat itu mucul gerakan dan prgolakan politik yang sebenarnya sangat
penting untuk dicermati, karena keberadaannya sangat mempengaruhi perkembangan umat Islam
secara keseluruhan. Berikut ini situasi politik jazirah Arab menjelang bergulirnya pembaharuan
di Jazirah Arab, yaitu :
· Pertarungan kepentingan politik antara Keluarga Ibnu Su’ud dengan penguasa pada waktu itu,
adanya desintegrasi dan tidak adanya persatuan politik.
· Suksesi kepemimpinan yang menimbulkan keprihatinan masyarakat (Tradisional dan Mo-
dernis/Pembaharu).
· Pertarungan politik tersebut, nampaknya berimbas pada pertarungan antara kelompok yang
mengingkan pembaharuan dikalangan umat Islam (Muhammad Bin Abdul Wahab) dengan
masyarakat yang ingin mempertahankan status quo (Kaum Konservatif).

GERAKAN WAHABI : SOSOK PENDOBRAK KEJUMUDAN DAN TAKLID


Muhammad bin abdul Wahab lahir di kota Ayibah (Ayinah) tahun 1703 dan meninggal tahun
1792 M. Ia termasuk seorang yang gemar melakukan petualangan, terutama untuk memperdalam
kemampuan keagamaan dan pengembangannya. Di tempat kelahirannya, tempat yang dikenal se-
bagai tempat yang paling murni mengamalkan agama Islam yaitu Madinah; di tempat ini ia
mem-peroleh pendidikan hukum, yang didalamnya termasuk tradisi bid’ah.
Setelah beberapa tahun berpindah-pindah maka ia kemudian menetap di kota kelahirannya,
Ayyinah (Nejd) untuk memperkenalkan program atau aksi baru dalam membangun dan memur-
nikan ajaran Islam. Ia menamakan gerakan pembangkitan umat dan pemurnian Islam tersebut
dengan gerakan “Muwahhiddin”, gerakan untuk kembali kepada ajaran ketauhidan yang selama
ini telah hilang dari ajaran Islam. Cita-cita muwahhiddin adalah mengembalikan Islam pada sisi
kebenaran dan kemurniannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. Namun
demikian, bagi musuh-musuh gerakan muwahhiddin (kaum konservatif dan para sufisme)
menganggap gerakan tersebut sebagai sesuatu yang membahayakan, maka mereka kemudian di-
namakan dengan “Gerakan Wahabi” (untuk selanjutnya disebut gerakan Wahabi).
Karena gerakan Wahabi dianggap sebagai gerakan yang mengacaukan status quo kaum kon-
servatif, maka gerakan tersebut mendapat perlawanan yangsangat gigih dan menyebabkan Mu-
hammad Bin Abdul Wahab melarikan diri ke berbagai tempat, yaitu :
· Daerah Al Jabir
· Amir Ayyinah yang diterima oleh Usman bin Mu’amar. Dilokasi yang baru ini, gerakan
Wahabi dapat memulai usaha pemurnian ajaran Islam dengan melakukan hal-hal yang sangat
radikal pada saat itu, yaitu :
1. Menebang pohon-pohon yang selama ini dianggap keramat.
2. Menghukum rajam bagi mereka yang melakukan perbuatan zinah.
Gerakan tersebut menimbulkan pertentangan yang luar biasa dikalangan masyarakat dan
menyebabkan Muhammad Bin Abdul Wahab menyingkir ketempat yang lain.
· Dariah (tempat keluarga Ibnu Saud). Di tempat ini gerakan Wahabi mendapat sambutan yang
baik dari keluarga kerajaan, sehingga terjadi kolaborasi antara politik dan agama. Di tempat ini,
Muhammad Bin Abdul Wahab melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Mendirikan sekolah untuk mendidik tenaga yang dapat dipakai sebagai peluru gerakan
Wahabi.
2. Bersama dengan kekuatan politik (raja Ibnu Saud) memerangi raja-raja yang kolot atau
konservatif (raja menganut bid’ah), seperti :
a. Raja Syarif Husain (raja Hijaz)
b. Amir bin Abdu Daus ( Raja Nejd).
3. Berziarah dan mengunjungi kuburan diharamkan.
4. Menyebarluaskan gerakan Wahabi tersebut kepenjuru dunia seperti Syuri’ah dan Turki dengan
bantuan kekuatan militer kerajaan Ibnu Sa’ud.

Gerakan tersebut di satu pihak sangat dibutuhkan oleh umat Islam, tetapi dipihak lain terdapat
umat Islam yang masih menginginkan pola hidup konservatif yang selama ini telah men-jadi
bagian hidup mereka. Melihat hal tersebut, maka gerakan Wahabi nampaknya menitik beratkan
gerakannya pada aspek ketauhidan dan pemberantasan budaya bid’ah. Menurut Drs. Imam
Munawir, inti dari gerakan Wahabi adalah sebagai berikut :
· Melakukan usaha pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada sumber aslinya yaitu Al
Qur’an dan Al Hadits.
· Membersihkan tauhid dari noda syirik
· Membersihkan ibadah dari segala bentuk bid’ah.
· Memberantas segala bentuk formalisme atau simbolitas tampa amal perbuatan dalam agama
dengan menekankan hidup sederhana.

Jika kita lihat secara rinci, nampaknya Muhammad Bin Abdul Wahab sangat dipengaruhi oleh
pola pemikiran Ibnu Hambal (Mahzab Hambali) yang menekankan pada otoritas Al Qur’an dan
Al Hadits sebagai sumber Islam yang asli. Pola kembali pada dua otorita Islam yaitu Al Qur’an
dan Al Hadits adalam bentuk pemikiran yang berkembang di Madinah, termasuk juga pemikiran
yang dikembangkan oleh Ibnu Hazm (1350 M) dan Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah (1327 M.) yang
keduanya merupakan guru dari Muhammad Bin Abdul Wahab.
Ibnu Taimiyah yang sangat terkenal karena program menghidupkan kembali ajaran salaf (Muhyi
Ats Tsar As-Salaf) dengan hanya mengakui apa yang telah dikembangkan oleh Rasul dan para
shahabat, telah memberi semangat dan inspirasi bagi Gerakan Wahabi untuk me-ngembangkan
sisi kehdipan yang hanya didasarkan pada kedua otoritas tersebut. Selain ajaran-ajaran tersebut
oleh gerakan Wahabi tidak diterima sama sekali, termasuk segala bentuk bid’ah. Gerakan wahabi
adalah gerakan yang sangat fundamental dan literal sebagaimana ajaran yang tersebut dibawah
ini :
· Segala bentuk ibadah yang tidak ditujukan kepada Allah adalah salah, dan orang tersebut halal
darahnya untuk dibunuh.
· Meminta pertolongan kepad akuburan, wali, syekh atau orang suci adalah perbuatan syirik.
· Menyebut nama Nabi, Syekh, Malaikat sebagai perantara dalam pembacaan doa adalah
musyrik.
· Meminta syafaat kepada selain Allah adalah musyrik
· Bernadzar tidak kepada Allah adalah musyrik.
· Tidak percaya kepada Qodlo dan Qodar adalah kufur.
· Menfasirkan Al Qur’an dengan takwil atau pemikiran bebas adalah kufur, dan
· Segala bentuk bid’ah adalah menyesatkan.

Untuk mempermudah pengembangan dan penyebaran ajaran dan gerakan Wahabi, Muhammad
bin Abdul Wahab disamping mendirika sekolah sebagai sarana transformasi keilmuan, ia juga
menerbitkan satu buku yang dapat dipakai sebagai pedoman ketauhidan bagi kelompok Wahabi.
Buku yang diberi judul “Kitab at Tauhid” memuat beberapa 3 (tiga) ajaran pokok, yaitu :
· Tauhid yang dibagi menjadi tiga, yaitu tauhid Uluhiyah, Rububiyah dan Aswa Bi Al Sifah.
· Syirik (perbuatan yang tidak ditujukan pada Allah), dibagi menjadi tiga :
1. Syirik besar (adhim) yaitu melakukan do’a, niat, taat dan cinta kepada selain Allah).
2. Syirik kecil (asghor) yaitu melakukan perbuatan riya).
3. Syirik Khofi (syirik yang tersembunyi).
· Kufur (mengingkari eksistensi Allah) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Kufur Besar (Adhim) yaitu berbohong, menolak kebenaran, dan kufur karena keraguan dan
sangkaan terhadap Allah.
2. Kufur kecil (Asghor) yaitu kufur yang tidak keluar dari ajaran agama seperti kufur nikmat.

Dengan demikian kalau kita cermati, maka nampak sekali adanya kombinasi pemikiran yang
menurut Dr. Mukti Ali adalah terdapatnya keseimbangan bentuk kepentingan dan pemikiran.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa gerakan Wahabi adalah gerakan yang menolak intelek-
tualisme total sebagaimana Mu’tazilah tetapi ia tidak terjebak dalam kehangatan hidup dan kesa-
lehan tata cara hidup tasawuf. Bagi mereka (gerakan Wahabi) sesuatu yang jelas adalah apa yang
telah diatur dalam hukum klasik yaitu hukum yang tertera dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Oleh sebab itu kehadliran gerakan Wahabi, bukanlah sebuah gagasan yang tampa per-tentangan
dan kendala. Dalam rentang sejarah kita menemukan berbagai perlawanan baik yang dilakukan
secara individual dan kemasyarakatan maupun yang dilakukan oleh kerajaan yang waktu itu
mereka khawatir terancam eksistensinya. Gerakan-gerakan anti Wahabi tersebut terbagi dalam
tiga kelompok, yaitu :
· Kerajaan Turki Ustmani di Istambul dalam hal ini Sultan Muhammad. Bahkan untuk meng-
halangi perkembangan gerakan Wahabi, Sultan Muhammad Ali merekrut kepada siapa saja yang
tidak suka terhadap gerakan Wahabi.
· Masyarakat yang pada waktu itu sedang tidur, maka gerakan Wahabi nampak seperti sesuatu
yang sedang mengganggu tidur mereka.
· Kelompok sufi (Tasawuf) yang sementara itu menjadi pendukung kehidupan bid’ah atau
program nativisme yang lain.

Menjelang akhir abad ke 19, gerakan Wahabi dapat dihancurkan oleh kerajaan Turki Utsmani di
Istambul, namun sebenarnya gerakan Wahabi telah menyebar keseluruh penjuru dunia melalui
pergulatan pemikiran umat Islam dan persinggungan umat melalui ibadah Haji. Segera setelah
ge-rakan tersebut hancur di kota kelahirannya, maka di bumi Allah yang lain telah lahir gerakan
serupa yang dipimpin oleh Syayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid
Ridha Jamaluddin Al Afghoni dll.
KONTROVERSI PEMIKIRAN DAN GERAKAN WAHABI
Gerakan Wahabi adalah gerakan dominan yang dapat membangkitkan umat Islam dari ke-
bekuan dan ketidak mampuan mereka dalam menghadapi kehidupan. Gerakan ini bertujuan
untuk membebaskan jiwa umat Islam dari kebekuan akibat padamnya api Islam dalam dirinya
sendiri, untuk membangkitkan semangat yang telah hilang dan untuk membersihkan ajaran Islam
dari TBC yang terbukti dominan menjerumuskan umat pada kesesatan dan ketidak mampuan.
Melihat hal tersebut, Dr. Fazlur Rahman mengatakan bahwa gerakan Wahabi adalah istilah ge-
nerik yang dapat ditetapkan tidak hanya kepada gerakan khusus seperti Gerakan Wahabi tetapi
juga kepada setiap fenomena atau gerakan pemurnian Islam dari segala bentuk bid’ah atau
pelecehan terhadap ajaran agama yang orisional. Gerakan-gerakan seperti Sanusiah di Afrika
Utara, Gerakan pembaharuan di Indo Pakistan dan yang lain, dapat dimasukkan dalam kategori
gerakan Wahabi dalam bentuk dan format kontemporer.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tampilnya gerakan Wahabi sebagai simbol bagi gerakan-
gerakan yang bernuansa seperti hal tersebut, nampkanya tidak lepas dari ruh dan tujuan dari ge-
rakan itu sendiri yang kemudian menjadi sumber kekuatan dan keberhasilan dari gerakan
tersebut. Menurutnya bahwa keberhasilan gerakan Wahabi disebabkan oleh target yang
ditetapkannya yaitu terbukanya pintu dan tradisi berfikir dikalangan umat Islam dan menentang
setiap bentuk Taklid atau ketiadaan berfikir.

Namun demikian, tidak berarti bahwa pemikiran dan gerakan Wahabi terlepas dari kon-troversi
dan polemik dalam mensikapi terhadap subtansi ajaran dan konsep pemikiran yang
dikembangkan mereka sendiri sendiri . Dalam hal ini Fazlur Rahman melihat bahwa Doktrin
Wahabi mengandung keganjilan pemikiran, terutama terhadap diktum-diktum yang amat penting
bagi pengembangan gerakan itu sendiri. Bahkan kalau kita cermati terdapat inkonsistensi pe-
mikiran atau tidak jujurnya dalam logika berfikir yang dikembangan oleh gerekan Wahabi ketika
berhadapan dengan situasi yang berbeda yang sedang dihadapi. Dengan tidak keinginan untuk
melihat kelemahan gerakan tersebut, karena secara historis telah terbukti kemampuannya dalam
membangkitakan umat Islam, berikut ini adalah Kontroversi subtansi pemikiran-pemikiran ge-
rakan Wahabi tersebut :
· Gerakan Wahabi sangat menentang Taklid akan tetapi ia mengakui yurisprodensi Islam yang
telah diputuskan pada tiga abad pertama.
· Menentang otorita hukum dan ilmu pada abad pertengahan dan hanya mengakui otorita Al
Qur’an dan Al Hadits dengan preseden Shahabat, akan tetapi ternyata hadits dikumpulkan secara
otoratif pada abad ke 3 H/ 9 M. Maka mau tidak mau mereka juga mengakui otorita Ijma’ yang
dikeluarkan pada 3 abad pertama Islam.
· Sebagai gerakan kembali ke Al Qur’an dan Al Hadits, maka gerakan Wahabi adalah gerakan
fundamentalis dan ultra konservatif serta literalisme mutlak, akan tetapi ia mengembangkan
pemikiran bebas dalam hal ini terbukannya pintu Ijtihad.
· Menolak qiyas atau silogisme mutlak yang dikembangkan oleh ulama pertengahan, akan tetapi
ia mengembangkan pemikiran bebas terhadap A; Qur’an.
· Sebagai gerakan kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits, maka ia bersifat fundamentalis dan
ultra Literalis hanya kepada batang teks Qur’aniyah, akan tetapi dalah hal ijtihad ia tidak bersifat
literalis bahkan ia lebih restriktif dari qiyas yang selama ini dikembangkan oleh para ulama
pertengahan.
Terlepas dari kontroversi subtansi pemikiran gerakan Wahabi, maka seperti yang saya katakan
bahwa gerakan Wahabi telah terbukti keberhasilannya dalam memperbaiki cara pandang dan
hidup umat Islam pada saat itu. Untuk itu tugas kita adalah mengembangkan program
pembaharuan tersebut, sehingga ajaran Islam benar-benar merupakan cerminan dari Al Qur’an
dan Al Hadits itu sendiri, bukan hasil dan rekayasa sinkritisme umat yang telah kehilangan rasa
keberagamaannya.

BUKU REFERENSI :
· Muhammad bin Abdul Wahab : Kitab At Tauhid
· Drs. Imam Munawir : Kembangkitan Islam dari masa ke masa
· Dr. Fazlur Rahman : Islam
· Dr. Harun Nasution : Islam ditinjau dari berbagai aspeknya
· Busthami Muhammad Said : Gerakan Pembaharuan Agama antara modernisme
Dan pembaharuan Agama (Tajdiduddin).
· John L Esposito : Ancaman Islam; mitos dan realitas
(Edisi Revisi menggugat Tesis Huntington)
· Philip K. Hitti : Dunia Arab (The sorth Story of Islam)
· Muhammad Qutb : Perlukah menulis ulang sejarah Islam.

You might also like