Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Faris Nadisa Rahman (D2B008103)
Gerakan perempuan di masa rejim otoriter Orde Baru muncul sebagai hasil dari
interaksi antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro
berhubungan dengan politik gender Orde Baru dan proses demokratisasi yang semakin
menguat di akhir tahun 1980an. Sedangkan faktor politik mikro berkaitan dengan wacana
tentang perempuan yang mengkerangkakan perspektif gerakan perempuan masa
pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan Women in Devolopment
(WID) yang telah mendominasi politik gender Orde Baru sejak tahun 1970-an, juga
wacana feminisme yang dikenal oleh kalangan terbatas (kampus/akademinis) dan ornop.
Indonesia pada tahun 1965 yang menganut sistem pemerintahan Orde baru yang
diidentikkan dengan peratutaran yang otoriter yang tersentralisasi dari militer dan tidak
diikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses pembuatan
keputusan. Rejim Orba di bangun di atas kemampuannya untuk memulihkan ketaraturan .
Pembunuhan besar-besaran berskala luas yang muncul digunakan untuk memperkuat
kesan di masyarakat Indonesia bahwa Orla adalah kacau balau dan tak beraturan. Rejim
Orba secara terus-menerus dan sistemis mempropagandakan komunis adalah amoral dan
anti agama serta penyebab kekacauan.
Gerwani sebagai bagian dari PKI juga menjadi alat untuk menciptakan pondasi
politik gender yang secara mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam
kegiatan-kegiatan politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis,
tetapi juga menghancurkan gerakan perempuan. Kodrat menjadi kata kunci, khususnya
dalam mensubordinasi perempuan. Orba mengkonstruksikan sebuah ideologi gender
yang mendasarkan diri pada ibusime, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi
perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam
politik sebagai tak layak. Politik gender ini termasnifestasikan dalam dokumen-dokumen
negara, seperti GBHN, UU Perkawinana No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.
Di bawah rejim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak
sekedar mendomestikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga
telah menggunakan tubuh perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi
politik. Ini nampak pada program KB yang dilaksanakan hanya untuk perempuan dan
dengan ongkos yang tinggi, yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah
di pedesaan.
Gerakan Perempuan Masa Reformasi
Sistem pemerintahan yang demokratis adalah suatu bentuk hal yang kondusif
bagi pemberdayaan perempuan. Bila ukuran pemberdayaaan perempuan di Indonesia
dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, justru ada penurunan di banding masa-masa akhir rejim orba. Namun,
secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga kabinet kita sekarang.
Hal ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan
Indonesia semakin terperbaiki.Hanya saja peranan perempuan di sektor strategis tersebut
tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti
nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman
lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih
berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini
diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam
komoditas.
1. untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi
anak perempuan;
2. pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang
perkawinan); dan segeranya
3. diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai
negeri Indonesia;
4. memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi
tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;
5. mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus
kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;
6. mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari
berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia
(PPPI). PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai
perkumpulan perempuan di dalamnya.
1. mengganti nama PPPI menjadi Perikatatan Perkumpuan Istri Indonesia (PPII). Agar
tidak nampak bahwa perkumpulan ini sebagai satu perkumpulan atau unity, melainkan
hanya bersifat federasi atau gabungan;
2. anggaran dasar yang baru menyebutkan tujuan penggabungan itu adalah menjalin
hubungan di antara perkumpulan perempuan untuk meningkatkan nasib dan derajat
perempuan Indonesia dengan tidak mengkaitkan diri dengan soal politik dan agama;
3. mengirim utusan ke Kongres Perempuan Asia yang akan diadakan 19-23 Januari 1931
di Lahore, India, yaitu Ny. Santoso dan Nn. Sunarjati.
Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa
anak-anak peremepuan yang terkena praktek Cina Mindering, yaitu petani meminjam
uang dengan bunga yang sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga
kerapkali anak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu.
Kongres juga mengangkat isu buruh perempuan, khususnya nasib buruh pabrik
batik di Lasem. Diangkatnya isu buruh pabrik batik di Lasem itu diilhami dari laporan
yang dilakukan oleh dr. Angelino akan adanya kejahatan di dalam pabrik itu. Kongres
kemudian mengirim utusan ke Lasem, mereka adalah Soejatin dan Ny. Hardiningrat. Di
Lasem keduanya mengadakan rapat umum dengan para pembatik dan melakukan
penyelidikan ke pabrik. Rapat umum dengan pembatik dilakukan untuk memberikan
kesadaran hak para pembatik di daerah itu. Kedua utusan itu mendapat penjagaan ketat,
karena ada kabar bahwa mereka akan dibunuh. Kegiatan yang sama, yaitu rapat umum
dan penyelidikan perusahaan batik pun dilakukan di Madiun dan Blora, dengan dipimpin
oleh Ibu Sudiro. Selain itu, Kongres juga memprakarsai untuk diterbitkannya majalah
Istri.
Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti oleh tidak kurang dari 15
perkumpulan, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi
Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dan lain sebagainya. Kongres diketuai
oleh Ny. Sri Mangunsarkoro.
3. tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini sedapat mungkin berusaha
mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri;
4. Kongres didasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama;
Kongres memutuskan:
1. tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud
dalam keputusan Kongres tahun 1935.
DAFTAR PUSTAKA
Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman
dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.
Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan
Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.
Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat. Jakarta: Timun Mas.