You are on page 1of 14

TUGAS MATA KULIAH GERAKAN SOSIAL POLITIK

GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA

Disusun oleh :
Faris Nadisa Rahman (D2B008103)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2009
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Permasalahan:

Munculnya gerakan perempuan diberbagai daerah kebanyakan dilatar belakangi


oleh ketertinggalan mereka dalam berbagai hal seperti: buta huruf, miskin dan tidak
memiliki keahlian. Gerakan perempuan ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial
dimana perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Setelah beberapa tahun
mereka mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar
rumah dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan.
Pada saat itu benbih-benih feminsime mulai muncul. Gerakan perempuan tidak pernah
mengalami keseragaman di muka bumi ini. Antara satu negara dan satu budaya dengan
negara dan budaya lain, memiliki pola yang kadang berbeda. Feminisme sebagai sebuah
isme dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami interpretasi dan penekanan
yang berbeda di beberapa tempat. wacana feminisme dan gerakan perempuan akan terus
berkembang dengan seiring dengan ragam perkembangan kelas masyarakat yang
memperjuangkannya kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan yang
membingkai perjuangan tersebut. kecenderungan kondisi sosial politik, serta kepentingan
yang membingkai perjuangan tersebut.kecenderungan kondisi sosial politik, serta
kepentingan yang membingkai perjuangan tersebut.

B.Masalah yang akan dibahas :


1. Bagaimana awal kemunculan gerakan feminisme di Indonesia?
2. Bagaimana proses gerakan feminisme di Indonesia?
3. Faktor apa saja yang melatarbelakangi gerakan feminisme di Indonesia?
PEMBAHASAN

Gerakan Perempuan Di Indonesia

Gerakan perempuan di Indonesia di mulai pada saat masa prakemerdekaan.


Gerakan perempuan ini bersifat. berbagai perlawanan untuk mengalahkan penjajahan
yaitu dengan ikut serta mengangkat senjata melawan penjajah. Tokoh gerakan yang
dikenal antara lain: Cut Nya’ Dien, Dewi Sartika, Kartini, Mereka berjuang mereaksi
kondisi perempuan di lingkungannya. Gerakan perempuan oleh Dewi Sartika dan Kartini
lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan mempersiapkan perempuan
sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk
dilakukan di masa itu. Sementara Cut Nya’ Dien telah menunjukkan kesetaraan dalam
perjuangan fisik tanpa batasan gender. Apapun, mereka adalah peletak dasar perjuangan
perempuan di Indonesia kini. Di masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan
perempuan terbilang cukup dinamis dan memiliki bergaining cukup tinggi. Dan kondisi
semacam ini mulai berkurang sejak Orde Baru berkuasa.

Gerakan perempuan di masa rejim otoriter Orde Baru muncul sebagai hasil dari
interaksi antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Faktor-faktor politik makro
berhubungan dengan politik gender Orde Baru dan proses demokratisasi yang semakin
menguat di akhir tahun 1980an. Sedangkan faktor politik mikro berkaitan dengan wacana
tentang perempuan yang mengkerangkakan perspektif gerakan perempuan masa
pemerintahan Orba. Wacana-wacana ini termasuk pendekatan Women in Devolopment
(WID) yang telah mendominasi politik gender Orde Baru sejak tahun 1970-an, juga
wacana feminisme yang dikenal oleh kalangan terbatas (kampus/akademinis) dan ornop.

Politik Gender dari Rezim Orba

Indonesia pada tahun 1965 yang menganut sistem pemerintahan Orde baru yang
diidentikkan dengan peratutaran yang otoriter yang tersentralisasi dari militer dan tidak
diikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses pembuatan
keputusan. Rejim Orba di bangun di atas kemampuannya untuk memulihkan ketaraturan .
Pembunuhan besar-besaran berskala luas yang muncul digunakan untuk memperkuat
kesan di masyarakat Indonesia bahwa Orla adalah kacau balau dan tak beraturan. Rejim
Orba secara terus-menerus dan sistemis mempropagandakan komunis adalah amoral dan
anti agama serta penyebab kekacauan.

Gerwani sebagai bagian dari PKI juga menjadi alat untuk menciptakan pondasi
politik gender yang secara mendasar mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam
kegiatan-kegiatan politik. Kampanye ini ternyata tidak hanya menghancurkan komunis,
tetapi juga menghancurkan gerakan perempuan. Kodrat menjadi kata kunci, khususnya
dalam mensubordinasi perempuan. Orba mengkonstruksikan sebuah ideologi gender
yang mendasarkan diri pada ibusime, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi
perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi perempuan dalam
politik sebagai tak layak. Politik gender ini termasnifestasikan dalam dokumen-dokumen
negara, seperti GBHN, UU Perkawinana No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.

Dalam usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba


merevitalisasi dan mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang berafiliasi
dengan departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-organisasi ini (Dharma
Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah menyebarluaskan ideologi
gender ala Orba. Gender politik ini telah diwarnai pendekatan WID sejak tahun 70-an. Ini
dapat dilihat pada Repelita kedua yang menekankan pada “partisipasi populer” dalam
pembanguan, dan mengkonsentrasikan pada membawa perempuan supaya lebih terlibat
pada proses pembangunan.

Di bawah rejim otorioter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak
sekedar mendomestikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga
telah menggunakan tubuh perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi
politik. Ini nampak pada program KB yang dilaksanakan hanya untuk perempuan dan
dengan ongkos yang tinggi, yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah
di pedesaan.
Gerakan Perempuan Masa Reformasi

Sistem pemerintahan yang demokratis adalah suatu bentuk hal yang kondusif
bagi pemberdayaan perempuan. Bila ukuran pemberdayaaan perempuan di Indonesia
dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, justru ada penurunan di banding masa-masa akhir rejim orba. Namun,
secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga kabinet kita sekarang.
Hal ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan
Indonesia semakin terperbaiki.Hanya saja peranan perempuan di sektor strategis tersebut
tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti
nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman
lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih
berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini
diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam
komoditas.

Perempuan Indonesia, adalah komunitas yang memiliki keragaman dalam


menyikapi berbagai bentuk persoalan kemasyarakatan, akan tetapi memiliki kesamaan
dalam bentuk penindasan dan pengabaian yang dialami. Bagaimanapun kondisi
perempuan Indonesia tak dapat dilepaskan dari pola dan budaya kehidupan masyarakat
pada umumnya..Selama masa kolonial hingga kemerdekaan, perempuan selalu berada
dalam posisi subordinat di keluarga dan masyarakat. Beberapa pengecualian tentu saja
ada, di beberapa wilayah Indonesia. Penyuaraan kepentingan perempuan di lingkup
publik dan domestik, sehingga kepentingan dan kebutuhan perempuan pun terwakili.
Sehingga perempuan tahu apa yang diinginkannya, apa yang ingin dikatakannya untuk
dirinya ataupun untuk orang lain.

Kehidupan gerakan feminisme di Indonesia bermula dari kegiatan para


perempuan dalam perkumpulan umum ( perkumpulan yang anggotanya camputan antara
laki-laki dan perempuan). Kaum perempuan di Nusantara, terutama yang mengecap
pendidikan sekolah dasar atau menengah biasanya memulai aktivitas perkumpulan
melalui kegiatan kepanduan (pramuka) atau dalam perkumpulan yang dibentuk berlatar
belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon. Melalui
perkumpulan pemuda inilah perempuan Indonesia turut beraktivitas. Misalnya mereka
turut bersama di dalam pendeklarasian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di samping
itu, berbagai perkumpulan umum (pemuda) membentuk seksi perempuan seperti Wanito
Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Putra Indonesia dan Wanita Taman
Siswa dari Taman Siswa. Sedangkan perkumpulan perempuan yang muncul pada awal
gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, pada tahun 1916.

Beberapa perempuan yang kemudian menjadi pelopor dan panitia pelaksana


Kongres Perempuan Indonesia pertama ikut serta dalam deklarasi di Jakarta itu. Mereka
ini antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Seluruh
Indonesia pun mengikuti jejak ini dengan menggalang persatuan perempuan Indonesia
melalui Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928. Saat inilah, lahir beberapa ide
untuk mengumpulkan berbagai perkumpulan perempuan dan menggalang persatuan
sesama perempuan yang tergabung melalui berbagai perkumpulan perempuan.

Kongres Perempuan Indonesia 22-25 Desember 1928

 Kongres Perempuan merupakan kegiatan yang bersifat kooperatif. Artinya


kegiatan yang di masa pergerakan nasional dikategorikan sebagai perjuangan yang
dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial. Artinya legalitas
pemerintah kolonial masih diakui dan Kongres mengajukan tuntutan padanya. Bagi
gerakan perempuan saat itu, cara yang ditempuh ini memudahkan penyebarluasan
gagasan kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama pihak kolonial. Sehingga
kaum perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak memiliki ketakutan untuk
bergabung atau ikut serta karena dianggap tidak radikal. Sedangkan pemerintah kolonial
sendiri masih memiliki nostalgia keberhasilan politik etis (kemajuan pendidikan bangsa
bumi putra) pada perempuan. Hal ini juga mencerminkan anggapan publik, khususnya
pemerintah, tentang stereotipe kegiatan perempuan dan perkumpulan perempuan.
Perkumpulan perempuan dianggap non-politis. Sebagai strategi, perempuan yang
menyelenggarakan Kongres memutuskan untuk tidak membicarakan “politik” dalam arti
umum. Kongres lebih menekankan pembahasan masalah perempuan yang menurut
anggapan umum, termasuk pemerintahan kolonial, adalah non-politis.
 Perempuan Indonesia dari berbagai latar belakang suku, agama, kelas, dan ras
datang dari seluruh Indonesia menghadiri Kongres yang diselenggarakan di Mataram
(Yogyakarta, sekarang). Para perempuan ini umumnya berusia muda. Persiapan Kongres
dilakukan di Jakarta, dengan susunan panitia Kongres Perempuan Indonesia sebagai
berikut: Nn. Soejatin dari Poetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar
Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari
Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua. Pada saat itu dimulailah pengorganisasian untuk
terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia.Kongres ini dihadiri oleh perwakilan 30
perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia,
Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong
Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri
Mardika dan Wanita Taman Siswa.

 Pembahasan berbagai isu utama permasalahan perempuan dibicarakan dalam rapat


terbuka. Topik yang diangkat saat ini di antaranya adalah kedudukan perempuan dalam
perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami;
dan pendidikan untuk anak perempuan. Berbagai topik tersebut kemudian memunculkan
debat dan perbedaan pendapat dari perkumpulan perempuan yang belatar belakang
agama. Akan tetapi, berbagai perbedaaan itu tidak kemudian mencegat suatu kenyataan
yang diyakini bersama, yaitu perlunya perempuan lebih maju. Beranjak dari
permasalahan yang diungkap,

Kongres ini memutuskan:

1. untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi
anak perempuan;

2. pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang
perkawinan); dan segeranya

3. diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai
negeri Indonesia;
4. memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi
tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;

5. mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus
kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;

6. mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari
berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia
(PPPI). PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai
perkumpulan perempuan di dalamnya.

Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia, Jakarta 28-31 Des’1929

Kongres PPPI diikuti oleh perkumpulan perempuan yang menjadi anggotanya.


Kongres diketuai oleh Ny. Mustadjab. Pada Kongres ini isu yang diangkat sebagai
pembahasan di antaranya adalah masalah kedudukan dan peran sosial dan ekonomi
perempuan, peran dan kedudukan perempuan dalam perkawinan, dan kehidupan dalam
keluarga. Permasalahan perkawinan khususnya poligami, kawin paksa dan perkawinan
anak-anak juga menjadi topik yang dibahas tersendiri. Mengenai Kongres Perempuan I,
diinformasikan pada peserta bahwa tiga mosi di atas yang disampaikan kepada
pemerintah disambut dengan baik.

Kongres ini memutuskan:

1. mengganti nama PPPI menjadi Perikatatan Perkumpuan Istri Indonesia (PPII). Agar
tidak nampak bahwa perkumpulan ini sebagai satu perkumpulan atau unity, melainkan
hanya bersifat federasi atau gabungan;

2. anggaran dasar yang baru menyebutkan tujuan penggabungan itu adalah menjalin
hubungan di antara perkumpulan perempuan untuk meningkatkan nasib dan derajat
perempuan Indonesia dengan tidak mengkaitkan diri dengan soal politik dan agama;

3. mengajukan mosi kepada pemerintah untuk menghapuskan pergundikan.


Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia, Surabaya 13-18 Desember 1930

Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia ini juga merupakan yang


pertama bagi perkumpulan ini. Kongres diketuai oleh Ny. Siti Soedari Soedirman.
Kongres ini diikuti oleh perkumpulan perempuan yang menjadi anggota PPII. Karena
sifat federasi dari PPII ini, maka Kongres memutuskan untuk menetapkan asas
perkumpulan yang dapat mengakomodasi bermacam perkumpulan yang ada di dalamnya.
Untuk itu ditetapkan asas yang lebih bersifat umum yang dapat diterima oleh seluruh
anggota perkumpulan. Hal-hal yang menjadi isu yang dianggap peka bagi suatu
perkumpulan tertentu, seperti poligami dan perceraian, tidak dimuat di dalam asas
perkumpulan.

Kongres ini memutuskan:

1. menetapkan asas yang lebih bersifat umum bagi semua anggota.

2. mendirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA)


yang diketuai oleh Ny. Sunarjati Sukemi;

3. mengirim utusan ke Kongres Perempuan Asia yang akan diadakan 19-23 Januari 1931
di Lahore, India, yaitu Ny. Santoso dan Nn. Sunarjati.

Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa
anak-anak peremepuan yang terkena praktek Cina Mindering, yaitu petani meminjam
uang dengan bunga yang sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga
kerapkali anak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu.

 Kongres juga mengangkat isu buruh perempuan, khususnya nasib buruh pabrik
batik di Lasem. Diangkatnya isu buruh pabrik batik di Lasem itu diilhami dari laporan
yang dilakukan oleh dr. Angelino akan adanya kejahatan di dalam pabrik itu. Kongres
kemudian mengirim utusan ke Lasem, mereka adalah Soejatin dan Ny. Hardiningrat. Di
Lasem keduanya mengadakan rapat umum dengan para pembatik dan melakukan
penyelidikan ke pabrik. Rapat umum dengan pembatik dilakukan untuk memberikan
kesadaran hak para pembatik di daerah itu. Kedua utusan itu mendapat penjagaan ketat,
karena ada kabar bahwa mereka akan dibunuh. Kegiatan yang sama, yaitu rapat umum
dan penyelidikan perusahaan batik pun dilakukan di Madiun dan Blora, dengan dipimpin
oleh Ibu Sudiro. Selain itu, Kongres juga memprakarsai untuk diterbitkannya majalah
Istri.

 Mengenai keputusan Kongres untuk mengirim utusan ke Kongres Perempuan


Asia di Lahore, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kongres itu tak
dapat dilaksanakan oleh aktivis perempuan India, sehingga dilaksanakan oleh perempuan
Inggris. Aktivis perempuan India yang seharusnya menjadi penyelenggara Kongres
dipenjara karena menentang pemerintah Inggris. Sikap utusan Indonesia yang tidak ikut
dalam Kongres itu mendapat kritikan dari sebagian mereka yang memiliki andil dalam
pengumpulan dana untuk mengirimkan utusan itu.

Kongres Perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli 1935

Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti oleh tidak kurang dari 15
perkumpulan, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi
Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dan lain sebagainya. Kongres diketuai
oleh Ny. Sri Mangunsarkoro.

Kongres menghasilkan keputusan:

1. mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti


pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia.

2 tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini akan meningkatkan


pemberantasan buta huruf;

3. tiap perkumpulan yang tergabung dalam Kongres ini sedapat mungkin berusaha
mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri;

4. Kongres didasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama;

5. Kongres menyelidiki secara mendalam kedudukan perempuan Indonesia menurut


hukum Islam dan berusaha memperbaiki kedudukan itu dengan tidak menyinggung
agama Islam;
6. Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan
kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.

 Kongres Perempuan Indonesia menjadi badan tetap yang melakukan pertemuan


secara berkala. Didirikan Badan Kongres Perempuan Indonesia untuk mengkoordinasi
undangan pertemuan. Dengan berdirinya badan tersebut maka PPII dibubarkan.

Kongres Perempuan Indonesia, Bandung, Juli 1938

 Kongres dikuti berbagai perkumpulan perempuan, di antaranya Poetri


Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Katolik dan Wanita
Taman Siswa. Kongres diketuai oleh Ny. Emma Puradiredja. Isu yang dibahas dalam
Kongres antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak
dipilih. Saat itu pemerintah kolonial telah memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk
duduk dalam Badan Perwakilan. Mereka di antaranya adalah Ny. Emma Puradiredja, Ny.
Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari yang menjadi anggota
Dewan Kota (Gementeraad) di berbagai daerah. Akan tetapi karena perempuan belum
mempunyai hak pilih maka perempuan menuntut supaya mereka pun diberikan hak
memilih.

Kongres memutuskan:

1. tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud
dalam keputusan Kongres tahun 1935.

2.membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-


adilnya tanpa menyinggung pihak yang beragama Islam

Kongres Perempuan Indonesia, Semarang Juli 1941

Kongres ini diikuti oleh berbagai perkumpulan perempuan yang mengikuti


kongres perempuan sebelumnya. Kongres diketuai oleh Ny. Soenarjo Mangunpuspito.
Kongres menghasilkan keputusan:

1. menyetujui aksi Gapi (Gabungan Politik Indonesia) dengan mengajukan “Indonesia


Berparlemen” pidato yang memuat tuntutan hak pilih dan dipilih dalam parlemen, yang
ditujukan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka.
2. mufakat dengan adanya milisi Indonesia
3. menuntut agar perempuan pun selain dipilih dalam Dewan Kota juga memiliki hak
pilih;
4. menyetujui diajarkannya pelajaran Bahasa Indonesia dalam sekolah menengah dan
tinggi;
5. dibentuk empat badan pekerja:
6. badan pekerja pemberantasan buta huruf
7. badan pekerja penyelidik masalah tenaga kerja perempuan
8. badan pekerja masalah perkawinan hukum Islam
9. badan pekerja memperbaiki ekonomi perempuan Indonesia.
PENUTUP

Munculnya gerakan perempuan diberbagai daerah dilatar belakangi oleh


ketertinggalan mereka dalam berbagai hal seperti: buta huruf, miskin dan tidak memiliki
keahlian. Gerakan perempuan ini lebih mengedepankan perubahan sistem sosial dimana
perempuan diperbolehkan ikut memilih dalam pemilu. Setelah beberapa tahun mereka
mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mulai keluar rumah
dan mengamati banyaknya ketimpangan sosial dengan korban para perempuan.
Feminisme sebagai sebuah isme dalam perjuangan gerakan perempuan juga mengalami
interpretasi dan penekanan yang berbeda di beberapa tempat. wacana feminisme dan
gerakan perempuan akan terus berkembang dengan seiring dengan ragam perkembangan
kelas masyarakat yang memperjuangkannya kecenderungan kondisi sosial politik, serta
kepentingan yang membingkai perjuangan tersebut.
Kongres Perempuan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mencapai tujuan
dan maksudnya, terutama yang menyangkut tuntutan perempuan di dalam perkawinan,
dan kehidupan sosial ekonomi. Sebagai sebuah gerakan, Kongres Perempuan Indonesia
telah menjadi suatu momentum bersatunya berbagai perkumpulan perempuan. Hal
tersebut juga dipengaruhi oleh iklim gerakan nasional saat itu. Situasi dan kondisi sebagai
bangsa yang terjajah membuat bangsa bumi putra, apalagi kaum perempuan, sulit
bergerak dan mengambil langkah untuk mengorganisasi diri. Maka adalah suatu yang
sangat luar biasa bahwa di dalam kondisi seperti itu, para perempuan Indonesia dari
berbagai daerah dapat berkumpul bersama, mengemukakan pikiran dan pendapatnya
mengenai berbagai permasalahan khususnya permasalahan perempuan.

 
DAFTAR PUSTAKA

Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman
dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan
Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat. Jakarta: Timun Mas.

 Siaran Perwari, Tahun I No.3 Desember 1950

 Umi. L, bagian dari tulisan “Kongres Koalisi Perempuan, Gerakan Kebangkitan


Perempuan Indonesia” materi Kongres Koalisi Perempuan Indonesia 1998, Yogyakarta

You might also like