You are on page 1of 7

Konsep dan Implementasi

Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan:


Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan

Arif Haryana *)

Pendahuluan

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok


orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Pemahaman mengenai “kemiskinan” mestilah beranjak dari pendekatan berbasis hak


(right based approach). Dalam pemahaman ini harus diakui bahwa seluruh masyarakat, baik
laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama. Kemiskinan juga harus
dipandang sebagai masalah multidimensional, tidak lagi dipahami hanya sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan dalam memenuhi hak-hak dasar dan
perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan
secara bermartabat. Pendekatan right based approach mengandung arti bahwa negara
berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat
miskin secara bertahap.

Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-
laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga
tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.

Situasi Kemiskinan di Indonesia dan Permasalahannya

Kemiskinan, yang antara lain ditandai oleh banyaknya penduduk yang hidup di– atau
sangat rentan jatuh ke– bawah garis kemiskinan, masih merupakan permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Perkiraan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2003
terdapat sekitar 34,7 juta jiwa atau sekitar 17,4% dari jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan (tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk dapat mengkonsumsi makanan
setara 2100 Kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk kebutuhan dasar lainnya). Bila acuan
kemiskinan yang digunakan adalah tingkat pengeluaran kurang dari US$ 2 PPP per orang per
hari, maka jumlahnya menjadi jauh lebih besar. Berdasarkan standar acuan tersebut, Bank
Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 53,4% atau 114,8
juta jiwa.

Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya Human Development Index (HDI),
yang menggambarkan mutu kehidupan masyarakat. Dibandingkan dengan beberapa negara

*)
Dr. Ir. Arif Haryana, M.Sc adalah Kepala Sub Direktorat Pangan pada Direktorat Pangan dan Pertanian,
Kementerian Negara PPN/Bappenas-red.
tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, nilai HDI Indonesia pada tahun 2002 masih
lebih rendah. Posisi HDI Indonesia saat ini hampir setara dengan Vietnam yang sepuluh
tahun yang lalu jauh tertinggal di bawah Indonesia. Meskipun kita sedikit lebih baik daripada
Vietnam pada indikator pendapatan, akses terhadap air bersih dan kecukupan gizi balita,
namun kita masih berada di bawah Vietnam pada indicator pendidikan dan kesehatan.

Hal lain penanda kemiskinan adalah adanya ketimpangan antarwilayah. Secara


jumlah, kemiskinan terbesar berada di Jawa dan Bali karena jumlah penduduknya yang
mencapai 60% penduduk Indonesia. Namun, persentase kemiskinan di luar Jawa, khususnya
kawasan timur Indonesia jauh lebih tinggi. Pada tahun 2003, kemiskinan di DKI Jakarta
hanya sekitar 3,4%, sedangkan di Papua mencapai sekitar 39%. Kemiskinan di Indonesia
juga sebagian besar dihadapi oleh penduduk di daerah perdesaan, yang pada umumnya
bekerja di sector pertanian. Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai
67%.

Situasi kemiskinan yang tertangkap dalam angka-angka di atas hanyalah ukuran


kemiskinan yang didasarkan atas permasalahan pendapatan atau ekonomi belaka. Lebih
lanjut daripada itu, permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari aspek kegagalan dalam
pemenuhan hak dasar, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Beberapa permasalahan yang
menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar antara lain: (1)
Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu
layanan kesehatan; (3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4)
Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) Terbatasnya akses layanan perumahan; (6)
Terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi; (7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah; (8) Memburuknya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (9)
Lemahnya jaminan rasa aman; (10) Lemahnya partisipasi.

Pengakuan Hak atas Pangan

Berdasarkan General Comment 12 dari the Committee on Economic, Social and


Cultural Rights (CESCR) hak atas pangan (the right to food) telah diakui secara internasional
sebagai salah satu hak dasar umat manusia. Adalah merupakan kewajiban negara untuk dapat
menyediakan pangan yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya, bagi seluruh
penduduknya sehingga bisa memenuhi standar hidup yang layak.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan FAO atas semua konstitusi negara-negara di
dunia, diketahui bahwa semua negara mengakui adanya hak atas pangan (the right to food)
sebagai bagian dari hak dasar umat manusia. Meski demikian jenis pengakuan dalam
konstitusi masing-masing negara beragam yang meliputi :

1. pernyataan eksplisit tentang hak atas pangan bagi semua orang


2. pernyataam eksplisit tentang hak atas pangan bagi kelompok khusus (anak-anak, orang
lanjut usia, para pensiunan, dan tahanan penjara)
3. pernyataan implisit tentang hak atas pangan melalui pernyataan eksplisit atas hak yang
lebih luas lagi seperti hak atas standar hidup yang memadai
4. pengakuan atas hak jaminan sosial bagi mereka yang tidak bekerja, yang merupakan
pengakuan implisit hak atas pangan
5. pengakuan hak-hak anak-anak, yang juga meliputi hak-hak atas nutrisinya.

2
6. pengakuan atas hak upah minimum bagi buruh yang cukup untuk memperoleh
kebutuhan dasar bagi buruh dan keluarganya, termasuk hak pangannya.
7. pengakuan pentingnya pertanian, jaminan pangan atau jaminan konsumen melalui
pernyataan eksplisit atas hak-hak (warga negara) atau sebagai kewajiban Negara

Bagi Indonesia, pengakuan hak atas pangan juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 Tentang Pangan, yang menyatakan “bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar
yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber
daya manusia yang kerkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional”.

Kerawanan Pangan dan Kemiskinan

Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan erat dengan masalah
ketersediaan pangan (the availability of food), daya beli dan akses kepada pangan, dan
ketergantungan yang tinggi pada salah satu jenis pangan, seperti beras misalnya. Di samping
itu, perilaku dan budaya yang membedakan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian
makan antarangota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan.

Tidak tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dapat diartikan
sebagai telah terjadinya kemiskinan karena ada hak-hak dasar seseorang atau sekelompok
orang yang tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu dikaitkan dengan upaya pengentasan
kemiskinan maka ketersediaan pangan yang kemudian dikenal sebagai ketahanan pangan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya strategis dalam penanggulangan masalah
kemiskinan. The World Food Summit (WFS) menyatakan ketahanan pangan dapat terwujud
saat semua orang setiap saat memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi
untuk memenuhi kebutuhannya dan juga pemenuhan pangan bagi kehidupan yang sehat.
Empat pilar utama dari ketahanan pangan ini adalah ketersediaan pangan, stabilitas suplai
pangan, akses, dan pemanfaatan pangan

Pemerintah berkewajiban dalam memenuhi pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang
berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68
Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang kemudian disusul dengan keluarnya Inpres No. 2
Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan.

Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih
menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Permasalahan kecukupan antara lain terlihat dari
rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
Pada tahun 2002, diperkirakan 20% penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya
mengkonsumsi 1.571 Kkal per hari atau 75% dari kebutuhan untuk hidup layak. Pada saat
yang sama ketersediaan pangan nasional cukup memadai. Bila kerawanan pangan diukur
dengan kriteria kebutuhan konsumsi minimum sebesar 2.100 Kkal per hari, maka hal tersebut
dialami oleh 60% penduduk berpenghasilan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah
dalam akses/keterjangkauan bahan pangan.

3
Secara umum kerawanan pangan diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat,
atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk
memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kondisi kerawanan
pangan dapat bersifat : (1) kronis, ditampakkan adanya gejala kurang makan secara terus
menerus, karena ketidakmampuan memperoleh pangan yang cukup, baik dengan cara
membeli maupun dengan cara menghasilkan sendiri, akibat keterbatasan penguasaan sumber
daya alam dan kemampuan sumber daya manusia sehingga pemanfaatan kemampuan dan
kekuatan fisik kurang maksimal; menjadikannya rentan terhadap gangguan penyakit, dan pada
gilirannya menyebabkan kondisi masyarakat semakin miskin; serta (2) kerawanan transien,
yang merupakan penurunan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup, akibat kondisi tidak terduga seperti ketidakstabilan harga, ketidakstabilan produksi,
dan ketidakstabilan pasokan pangan sebagai akibat bencana alam, kerusuhan, penyimpangan
musim, konflik sosial dan lain-lain.

Dampak buruk kerawanan pangan terlihat pada penurunan status gizi masyarakat dan
status kesehatan masyarakat yang akhirnya menimbulkan bencana kelaparan. Dampak buruk
terganggunya ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan
kemiskinan struktural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi
kebutuhan keluarganya.

Di samping karena masalah ketersediaan dan akses terhadap pangan, masalah


kecukupan pangan dipengaruhi pula oleh pola konsumsi yang bertumpu ada beras sebagai
bahan pangan pokok. Pola konsumsi seperti itu menyebabkan ketergantungan masyarakat
pada beras dan, pada masyarakat tertentu menyebabkan adanya peralihan konsumsi pangan
dari bukan beras menjadi beras. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengganggu ketahanan
pangan masyarakat. Selain itu, ketergantungan pada beras juga melemahkan inisiatif untuk
melakukan diversifikasi produksi dan konsumsi pangan selain beras seperti jagung, sagu, ubi
jalar, dan bahan pangan lainnya yang dapat diproduksi secara lokal.

Perbedaan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antar anggota keluarga
juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan. Pembagian makanan masih
dipengaruhi oleh perilaku dan budaya masyarakat di beberapa daerah yang mengutamakan
bapak dan anak laki-laki lalu anak perempuan, dan terakhir ibu. Pola pembagian makan
seperti itu juga berdampak pada buruknya kondisi gizi ibu hamil,dan dapat mengakibatkan
kematian ibu pada waktu melahirkan dan setelah melahirkan.

Masalah kecukupan pangan juga dialami oleh petani penghasil pangan termasuk
petani padi. Penyebab utamanya adalah fluktuasi harga yang terjadi pada saat musim panen
dan musim paceklik yang tidak menguntungkan mereka. Impor beras yang dilakukan untuk
menutup kebutuhan beras dan menjaga stabilitas harga seringkali tidak tepat waktu sehingga
merugikan petani penghasil beras. Berdasarkan observasi Badan Bimas Ketahanan Pangan
pada bulan Agustus 2003 di 486 lokasi yang tersebar di 15 provinsi, harga gabah terendah
ditingkat petani mencapai Rp. 900/kg lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh
pemerintah. Selain itu terdapat 54,9% kasus harga di tingkat petani dan 38,9% kasus harga di
tingkat penggilingan yang lebih rendah dari harga dasar pembelian yang ditetapkan. Selain
itu, penyelundupan beras juga menyebabkan kerugian bagi penghasil. Dengan kepemilikan
lahan yang sempit (kurang dari 1 ha), dukungan prasarana dan sarana yang terbatas, dan harga
jual yang tidak pasti, mereka tidak memperoleh surplus yang memadai untuk mencukupi

4
kebutuhan menjelang musim panen berikutnya. Mereka cenderung hidup secara subsisten
yang menghambat mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan.

Masalah lain yang juga mempengaruhi ketahanan masyarakat dalam menghadapi


masalah kerawanan pangan adalah kemampuan menyediakan cadangan pangan untuk
mengatasi musim paceklik. Saat ini, sebagian besar lumbung pangan milik masyarakat tidak
berfungsi karena tidak dikelola dengan baik dan lemahnya dukungan dari pemerintah.

Pemenuhan Hak Dasar Atas Pangan sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan

Rencana aksi penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk menurunkan jumlah


penduduk miskin laki-laki dan perempuan dan menjamin penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap agar dapat menjalani kehidupan
yang bermartabat. Rencana aksi tersebut dilaksanakan secara terpadu, sinergis, dan terencana,
yang meliputi meliputi: (1) pengelolaan ekonomi makro untuk menjamin stabilitas,
pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan pengurangan kesenjangan; serta (2)
rencana aksi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas pangan.

Sebagai salah satu bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan, sasaran dari
Rencana aksi pemenuhan hak atas pangan adalah terpenuhinya kecukupan pangan yang
bermutu, serta meningkatnya status gizi masyarakat miskin terutama ibu, bayi, dan anak
balita. Target yang hendak dicapai adalah menurunnya persentase jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan, serta menurunnya angka gizi kurang pada anak balita
menjadi 20% pada tahun 2009.

Dalam pendekatan right based approach terkandung adanya kewajiban negara untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap.
Oleh karena itu kebijakan yang diambil dalam rencana aksi pun diarahkan agar negara dapat
melaksanakan kewajiban dalam melindungi dan memenuhi hak-hak dasar rakyat. Dalam hal
bidang pangan, kebijakan yang diambil adalah:

1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam


mendukung ketahanan pangan local;
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang diversifikasi konsumsi pangan dan
pangan gender keluarga;
3. Meningkatkan efisiensi produksi pangan petani dan hasil industri pengolahan dengan
memperhatikan mutu produksi;
4. Menyempurnakan sistem penyediaan, distribusi dan harga pangan;
5. Meningkatkan pendapatan petani pangan dan sekaligus melindungi produk pangan
dalam negeri dari pangan impor;
6. Meningkatkan sistem kewaspadaan dini dalam gizi dan rawan pangan;
7. Menjamin kecukupan pangan masyarakat miskin dan kelompok rentan akibat
goncangan ekonomi, sosial dan bencana alam.

Kebijakan pada butir 1 hingga 6 merupakan kebijakan untuk mencegah terjadinya


masalah-masalah pangan, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut dapat diartikan sebagai
penjabaran kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan (melindungi). Sedangkan
kebijakan pada butir 7 lebih merupakan langkah Negara melaksanakan kewajibannya untuk
memenuhi hak dasar rakyat miskin atas pangan.

5
Pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan Ketahanan Pangan

Fokus pemantapan ketahanan pangan berada pada tingkat rumah tangga. Untuk itu,
kegiatan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Dengan demikian ruang lingkup kegiatan dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk
mewujudkan ketahanan pangan masyarakat meliputi upaya :

1. meningkatkan kemampuan dalam kegiatan on-farm, off-farm dan non-farm


2. meningkatkan kemampuan dalam mengelola ketersediaan pangan, distribusi pangan,
konsumsi pangan, dan kerawanan pangan; serta
3. meningkatkan kemampuan kelembagaan pangan untuk mengembangkan usahanya.

Pemberdayaan masyarakat tersebut diupayakan melalui peningkatan kapasitas SDM agar


dapat bersaing memasuki pasar tenaga kerja dan kesempatan berusaha yang dapat
menciptakan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kesempatan berusaha tersebut
tidak harus selalu pada usahatani padi (karena luas lahan sempit tidak mungkin dapat
meningkatkan kesejahteraannya), tetapi juga pada usaha tani non padi (on- farm), off-farm,
dan bahkan non-farm

Dengan adanya peningkatan, maka daya beli rumah tangga mengakses bahan pangan akan
meningkat. Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk
memilih (freedom to choose) pangan yang beragam sesuai seleranya, termasuk untuk
pemenuhan kecukupan gizi yang lebih baik. Dalam kondisi demikian, ketahanan pangan pada
tingkat rumah tangga dapat dicapai apabila terbangun kemampuan (daya beli) rumah tangga
tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri maupun dari pasar) yang cukup,
bergizi, aman, halal, yang dapat mendukung hidup sehat dan produktif. Dengan demikian
ketahanan pangan yang dibangun bukan diarahkan agar rumah tangga tersebut menghasilkan
sendiri seluruh kebutuhan pangannya, tetapi diwujudkan melalui kemampuan memperoleh
peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan. Karena itu pula, perdagangan
pangan (baik dalam negeri/antar daerah ataupun perdagangan internasional) seyogyanya
didorong agar mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat.

Penutup

Sebagai penutup, berikut ini disampaikan rangkuman mengenai isu pangan dan
kemiskinan sebagai berikut:

1. Pemenuhan kebutuhan pangan sebagai hak dasar manusia telah diakui secara global dan
nasional dewasa ini. Konstitusi kita menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat konstitusi ini
kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan PP
No. 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

2. Ketahanan pangan tidak semata dilihat sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan,
namun juga sebagai upaya untuk membangun ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional,
sehingga upaya untuk mewujudkannya harus melibatkan pemerintah dan segenap rakyat
Indonesia yang didukung perangkat hukum yang memadai yang menjamin ketersediaan

6
dan akses rakyat terhadap pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta
tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

3. Masalah kemiskinan dilihat dari perspektif pangan merupakan masalah rawan pangan
(food insecurity) akibat rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata,
ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan.

4. Upaya mengentaskan kemiskinan-termasuk di dalamnya upaya mewujudkan katahanan


pangan pada masyarakat miskin-dilakukan dengan pemberdayaan (empowerment)
masyarakat petani agar mereka mengenali potensi dirinya sehingga mampu secara mandiri
menemukenali dan mengatasi masalah yang dihadapinya.

Demikianlah paparan kami, semoga paparan ini dapat menjadi pemicu diskusi bagi kita
semua, sehingga pemahaman kita atas isu tentang kemiskinan dan upaya penanggulangannya,
termasuk pula isu Hak atas Pangan menjadi semakin baik. Di samping itu, kita semua
berharap kiranya akan semakin banyak pihak yang memahami isu-isu ini sehingga akan
memperkokoh upaya kita untuk mendorong terpenuhinya hak atas pangan bagi seluruh
lapisan masyarakatƒ

You might also like