Professional Documents
Culture Documents
Arif Haryana *)
Pendahuluan
Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-
laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga
tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Kemiskinan, yang antara lain ditandai oleh banyaknya penduduk yang hidup di– atau
sangat rentan jatuh ke– bawah garis kemiskinan, masih merupakan permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Perkiraan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2003
terdapat sekitar 34,7 juta jiwa atau sekitar 17,4% dari jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan (tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk dapat mengkonsumsi makanan
setara 2100 Kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk kebutuhan dasar lainnya). Bila acuan
kemiskinan yang digunakan adalah tingkat pengeluaran kurang dari US$ 2 PPP per orang per
hari, maka jumlahnya menjadi jauh lebih besar. Berdasarkan standar acuan tersebut, Bank
Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 53,4% atau 114,8
juta jiwa.
Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya Human Development Index (HDI),
yang menggambarkan mutu kehidupan masyarakat. Dibandingkan dengan beberapa negara
*)
Dr. Ir. Arif Haryana, M.Sc adalah Kepala Sub Direktorat Pangan pada Direktorat Pangan dan Pertanian,
Kementerian Negara PPN/Bappenas-red.
tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, nilai HDI Indonesia pada tahun 2002 masih
lebih rendah. Posisi HDI Indonesia saat ini hampir setara dengan Vietnam yang sepuluh
tahun yang lalu jauh tertinggal di bawah Indonesia. Meskipun kita sedikit lebih baik daripada
Vietnam pada indikator pendapatan, akses terhadap air bersih dan kecukupan gizi balita,
namun kita masih berada di bawah Vietnam pada indicator pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan FAO atas semua konstitusi negara-negara di
dunia, diketahui bahwa semua negara mengakui adanya hak atas pangan (the right to food)
sebagai bagian dari hak dasar umat manusia. Meski demikian jenis pengakuan dalam
konstitusi masing-masing negara beragam yang meliputi :
2
6. pengakuan atas hak upah minimum bagi buruh yang cukup untuk memperoleh
kebutuhan dasar bagi buruh dan keluarganya, termasuk hak pangannya.
7. pengakuan pentingnya pertanian, jaminan pangan atau jaminan konsumen melalui
pernyataan eksplisit atas hak-hak (warga negara) atau sebagai kewajiban Negara
Bagi Indonesia, pengakuan hak atas pangan juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 Tentang Pangan, yang menyatakan “bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar
yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber
daya manusia yang kerkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional”.
Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan erat dengan masalah
ketersediaan pangan (the availability of food), daya beli dan akses kepada pangan, dan
ketergantungan yang tinggi pada salah satu jenis pangan, seperti beras misalnya. Di samping
itu, perilaku dan budaya yang membedakan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian
makan antarangota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan.
Tidak tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dapat diartikan
sebagai telah terjadinya kemiskinan karena ada hak-hak dasar seseorang atau sekelompok
orang yang tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu dikaitkan dengan upaya pengentasan
kemiskinan maka ketersediaan pangan yang kemudian dikenal sebagai ketahanan pangan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya strategis dalam penanggulangan masalah
kemiskinan. The World Food Summit (WFS) menyatakan ketahanan pangan dapat terwujud
saat semua orang setiap saat memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi
untuk memenuhi kebutuhannya dan juga pemenuhan pangan bagi kehidupan yang sehat.
Empat pilar utama dari ketahanan pangan ini adalah ketersediaan pangan, stabilitas suplai
pangan, akses, dan pemanfaatan pangan
Pemerintah berkewajiban dalam memenuhi pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang
berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68
Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang kemudian disusul dengan keluarnya Inpres No. 2
Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih
menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Permasalahan kecukupan antara lain terlihat dari
rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
Pada tahun 2002, diperkirakan 20% penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya
mengkonsumsi 1.571 Kkal per hari atau 75% dari kebutuhan untuk hidup layak. Pada saat
yang sama ketersediaan pangan nasional cukup memadai. Bila kerawanan pangan diukur
dengan kriteria kebutuhan konsumsi minimum sebesar 2.100 Kkal per hari, maka hal tersebut
dialami oleh 60% penduduk berpenghasilan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah
dalam akses/keterjangkauan bahan pangan.
3
Secara umum kerawanan pangan diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat,
atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk
memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kondisi kerawanan
pangan dapat bersifat : (1) kronis, ditampakkan adanya gejala kurang makan secara terus
menerus, karena ketidakmampuan memperoleh pangan yang cukup, baik dengan cara
membeli maupun dengan cara menghasilkan sendiri, akibat keterbatasan penguasaan sumber
daya alam dan kemampuan sumber daya manusia sehingga pemanfaatan kemampuan dan
kekuatan fisik kurang maksimal; menjadikannya rentan terhadap gangguan penyakit, dan pada
gilirannya menyebabkan kondisi masyarakat semakin miskin; serta (2) kerawanan transien,
yang merupakan penurunan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup, akibat kondisi tidak terduga seperti ketidakstabilan harga, ketidakstabilan produksi,
dan ketidakstabilan pasokan pangan sebagai akibat bencana alam, kerusuhan, penyimpangan
musim, konflik sosial dan lain-lain.
Dampak buruk kerawanan pangan terlihat pada penurunan status gizi masyarakat dan
status kesehatan masyarakat yang akhirnya menimbulkan bencana kelaparan. Dampak buruk
terganggunya ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan
kemiskinan struktural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi
kebutuhan keluarganya.
Perbedaan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antar anggota keluarga
juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan. Pembagian makanan masih
dipengaruhi oleh perilaku dan budaya masyarakat di beberapa daerah yang mengutamakan
bapak dan anak laki-laki lalu anak perempuan, dan terakhir ibu. Pola pembagian makan
seperti itu juga berdampak pada buruknya kondisi gizi ibu hamil,dan dapat mengakibatkan
kematian ibu pada waktu melahirkan dan setelah melahirkan.
Masalah kecukupan pangan juga dialami oleh petani penghasil pangan termasuk
petani padi. Penyebab utamanya adalah fluktuasi harga yang terjadi pada saat musim panen
dan musim paceklik yang tidak menguntungkan mereka. Impor beras yang dilakukan untuk
menutup kebutuhan beras dan menjaga stabilitas harga seringkali tidak tepat waktu sehingga
merugikan petani penghasil beras. Berdasarkan observasi Badan Bimas Ketahanan Pangan
pada bulan Agustus 2003 di 486 lokasi yang tersebar di 15 provinsi, harga gabah terendah
ditingkat petani mencapai Rp. 900/kg lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh
pemerintah. Selain itu terdapat 54,9% kasus harga di tingkat petani dan 38,9% kasus harga di
tingkat penggilingan yang lebih rendah dari harga dasar pembelian yang ditetapkan. Selain
itu, penyelundupan beras juga menyebabkan kerugian bagi penghasil. Dengan kepemilikan
lahan yang sempit (kurang dari 1 ha), dukungan prasarana dan sarana yang terbatas, dan harga
jual yang tidak pasti, mereka tidak memperoleh surplus yang memadai untuk mencukupi
4
kebutuhan menjelang musim panen berikutnya. Mereka cenderung hidup secara subsisten
yang menghambat mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Pemenuhan Hak Dasar Atas Pangan sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan
Sebagai salah satu bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan, sasaran dari
Rencana aksi pemenuhan hak atas pangan adalah terpenuhinya kecukupan pangan yang
bermutu, serta meningkatnya status gizi masyarakat miskin terutama ibu, bayi, dan anak
balita. Target yang hendak dicapai adalah menurunnya persentase jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan, serta menurunnya angka gizi kurang pada anak balita
menjadi 20% pada tahun 2009.
Dalam pendekatan right based approach terkandung adanya kewajiban negara untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap.
Oleh karena itu kebijakan yang diambil dalam rencana aksi pun diarahkan agar negara dapat
melaksanakan kewajiban dalam melindungi dan memenuhi hak-hak dasar rakyat. Dalam hal
bidang pangan, kebijakan yang diambil adalah:
5
Pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan Ketahanan Pangan
Fokus pemantapan ketahanan pangan berada pada tingkat rumah tangga. Untuk itu,
kegiatan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Dengan demikian ruang lingkup kegiatan dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk
mewujudkan ketahanan pangan masyarakat meliputi upaya :
Dengan adanya peningkatan, maka daya beli rumah tangga mengakses bahan pangan akan
meningkat. Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk
memilih (freedom to choose) pangan yang beragam sesuai seleranya, termasuk untuk
pemenuhan kecukupan gizi yang lebih baik. Dalam kondisi demikian, ketahanan pangan pada
tingkat rumah tangga dapat dicapai apabila terbangun kemampuan (daya beli) rumah tangga
tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri maupun dari pasar) yang cukup,
bergizi, aman, halal, yang dapat mendukung hidup sehat dan produktif. Dengan demikian
ketahanan pangan yang dibangun bukan diarahkan agar rumah tangga tersebut menghasilkan
sendiri seluruh kebutuhan pangannya, tetapi diwujudkan melalui kemampuan memperoleh
peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan. Karena itu pula, perdagangan
pangan (baik dalam negeri/antar daerah ataupun perdagangan internasional) seyogyanya
didorong agar mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat.
Penutup
Sebagai penutup, berikut ini disampaikan rangkuman mengenai isu pangan dan
kemiskinan sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan pangan sebagai hak dasar manusia telah diakui secara global dan
nasional dewasa ini. Konstitusi kita menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat konstitusi ini
kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan PP
No. 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
2. Ketahanan pangan tidak semata dilihat sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan,
namun juga sebagai upaya untuk membangun ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional,
sehingga upaya untuk mewujudkannya harus melibatkan pemerintah dan segenap rakyat
Indonesia yang didukung perangkat hukum yang memadai yang menjamin ketersediaan
6
dan akses rakyat terhadap pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta
tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
3. Masalah kemiskinan dilihat dari perspektif pangan merupakan masalah rawan pangan
(food insecurity) akibat rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata,
ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan.
Demikianlah paparan kami, semoga paparan ini dapat menjadi pemicu diskusi bagi kita
semua, sehingga pemahaman kita atas isu tentang kemiskinan dan upaya penanggulangannya,
termasuk pula isu Hak atas Pangan menjadi semakin baik. Di samping itu, kita semua
berharap kiranya akan semakin banyak pihak yang memahami isu-isu ini sehingga akan
memperkokoh upaya kita untuk mendorong terpenuhinya hak atas pangan bagi seluruh
lapisan masyarakat