You are on page 1of 49

1

A. Latar Belakang Permasalahan

Laporan tahunan pada dasarnya merupakan sumber informasi bagi

penggunanya sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan

keputusan investasi (salah satunya) di pasar modal dan juga sebagai sarana

pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya.

Laporan tahunan juga merupakan media utama penyampaian informasi oleh

manajemen kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Selain itu, hal penting lainnya

adalah laporan tahunan mengkomunikasikan kondisi keuangan (melalui laporan

keuangan) dan informasi lainnya kepada stakeholders atau bahkan para calon

stakeholders lainnya (Noviani, 2006).

Dewasa ini, kondisi perkonomian mulai sering tidak mudah untuk

diprediksi. Ini dikarenakan perekonomian dunia sedang dalam kondisi recovery

dari krisis global dunia, sehingga sebaiknya perusahaan melaporkan kondisi

keuangannya dalam laporan keuangannya dengan lebih lengkap lagi. Ini

diperlukan karena tiap informasi sangatlah berharga untuk pengambilan keputusan

bagi stakeholder perusahaan. Dimana pada akhirnya mereka dapat mengambil

keputusan yang baik berdasarkan informasi yang disediakan oleh perusahaan

terkait.

Sebuah laporan, haruslah bersifat fair disclosure atau haruslah

diungkapkan secara wajar menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian

Laporan Keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009:9). Ini harus dipenuhi karena

pengguna laporan keuangan pastilah menginginkan sebuah laporan yang

transparan, apa adanya dan mencakup semua hal yang terjadi di dalam perusahaan
2

tersebut. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan akan dapat dipahami

dan tidak menimbulkan salah interpretasi, hanya apabila laporan keuangan

dilengkapi dengan pengungkapan secara memadai. Ini juga sesuai dengan

Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, bahwa tujuan

laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi

keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang

bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi

(IAI, 2009:3). Oleh karena itu, elemen-elemen pengungkapan harus mencakup

neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, laporan arus kas, catatan atas

laporan keuangan dan laporan audit (Subiyantoro, 1996; dalam Dewi, 2009).

Pengungkapan dalam laporan keuangan yang dikeluarkan perusahaan

dapat mempermudah pemakai laporan keuangan untuk dapat mengambil sebuah

keputusan. Keputusan investasi misalnya, haruslah diambil berdasarkan dari

informasi yang diungkapkan dengan baik. Keputusan investasi sangat tergantung

dari keluasan dan mutu pengungkapan yang disajikan dalam laporan keuangan.

Keluasan dan mutu dari tiap perusahaan yang ada sangatlah berbeda-beda. Ini

dikarenakan tiap perusahaan itu unik dan memiliki karakteristiknya masing-

masing (Dewi, 2009).

Mengenai lengkap tidaknya pengungkapan suatu laporan keuangan

pastilah tiap perusahaan memiliki tingkatannya sendiri. Ini dapat terjadi karena

masing-masing perusahaan unik dan pasti memiliki karakteristiknya sendiri.

Inilah yang menjadikan tingkat kelengkapan pengungkapan menjadi sangat

subjektif. Untuk menghindari hal tersebut, sudah ada standar mengenai


3

kelengkapan pengungkapan dalam laporan keuangan yang disusun oleh Badan

Pengawas Pasar Modal. Daftar Item Pengungkapan Laporan Keuangan

Berdasarkan Surat Edaran Ketua Bapepam No.SE-02/PM/2002 tanggal 27

Desember 2002, dirilis agar perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia

mengungkapkan laporan keuangannya sesuai dengan kelengkapan tersebut.

Semua regulasi diarahkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan dan

kecurangan (fraud) oleh para pelaku pasar modal terutama dalam masalah

pengungkapan.

Hal yang mendasari kenapa sebuah laporan keuangan harus diungkapkan

secara lengkap dan transparan dapat dijelaskan dengan teori keagenan. Hubungan

keagenan mewajibkan agen memberikan laporan periodik pada principal tentang

usaha yang dijalankan dan principal akan menilai kinerja agennya melalui laporan

keuangan yang disampaikan kepadanya. Oleh karena itu, dalam hubungan

keagenan tersebut, laporan keuangan merupakan sarana transparansi dan

akuntabilitas manajemen kepada pemiliknya (Jensen dan Meckling 1976; dalam

Benardi, Sutrisno dan Asih, 2008).

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kelengakapan

pengungkapan laporan keuangan perusahaan. Diantaranya adalah tingkat

likuiditas, tingkat leverage, ukuran perusahaan (Noviana, 2006; Hertanti, 2005;

dan Sofiana; 2010), tingkat profitabilitas (Hertanti, 2005; dan Sofiana; 2010),

porsi saham publik (Hertanti, 2005) dan status modal perusahaan (Sofiana, 2010)

Dalam penelitian ini yang akah dibahas adalah tingkat likuiditas, tingkat leverage,

tingkat profitabilitas, ukuran perusahaan dan status modal perusahaan. Faktor


4

porsi saham publik tidak dipilih karena siapapun pemegang saham dari suatu

perusahaan pastilah menginginkan pengungkapan yang baik, entah saham itu

dikuasai founder ataupun publik dengan proporsi kepemilikan berapapun.

Tingkat likuiditas adalah tingkatan yang menunjukkan kemampuan

perusahaan memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek (Smith, 2005:81).

Tingkat likuiditas dianggap sebagai indikator penting kesehatan secara umum,

karena untuk melihat kesehatan sebuah perusahaan, yang pertama kali dilihat

adalah tingkat likuiditasnya dahulu. Ini dikarenakan tingkat likuiditas

mengukur kecukupan sumber kas perusahaan untuk memenuhi

kewajiban yang berkaitan dengan kas dalam jangka pendek

(White dkk., 2002; dalam Ulupui, 2006). Jadi bila likuiditas semakin baik/tinggi

maka perusaahan cenderung lebih lengkap dalam mengungkapkan laporan

keuangannya, karena perusahaan ingin para stakeholder paham bahwa perusahaan

berada pada kondisi sehat.

Kelengkapan pengungkapan juga dapat dipengaruhi oleh tingkat leverage

dari sebuah perusahaan. Tingkat leverage sendiri menggambarkan tingkat

kemampuan bertahan hidup perusahaan dilihat dari sisi jangka panjang. Konsep

leverage keuangan juga mengacu pada jumlah pendanaan utang dalam struktur

modal perusahaan (Hertanti, 2005). Tujuan stakeholder pada akhirnya adalah

kestabilan sebuah perusahaan dalam jangka panjang. Semakin besar tingkat

leverage maka perusahaan akan semakin komprehensif dalam mengungkapkan

laporan keuangannya, itu dikarenakan timbul biaya pengawasan yang lebih tinggi

pula. Hal ini diakibatkan dari tingkat leverage yang tinggi mempunyai arti resiko
5

jangka panjang dari perusahaan cukup tinggi, sehingga akan timbul biaya

pengawasan yang lebih besar (Jensen and Meckling, 1976 pada Hertanti, 2005).

Tingkat profitablitas diartikan sebagai kemampuan perusahaan

menghasilkan laba secara efisien (Almilia dan Retrinasari, 2007). Semakin tinggi

tingkat profitabilitas maka artinya perusahaan semakin baik dan efisien dalam

menghasilkan laba. Dalam dunia usaha, kita tidak perlu naïve dengan berpendapat

laba bukanlah yang utama. Tetapi, pastilah tiap stakeholder menginginkan

perusahaan yang ikut “dimiliki” nya berkinerja baik dan memperoleh laba.

Tingkat melaba yang besar berkorelasi dengan perusahaan akan senang untuk

“show-off” kebaikannya secara lengkap di laporan keuangan. Jika perusahaan

memiliki kemampuan menghasilkan laba yang rendah, maka perusahaan

cenderung menutup-nutupi ketidakefisienan tersebut (Hertanti, 2005).

Ukuran perusahaan disini diartikan secara harafiah, yaitu seberapa besar

perusahaan tersebut. Ukuran perusahaan dipandang penting karena semakin besar

ukuran suatu perusahaan, maka “daya jual” sebuah perusahaan akan lebih baik.

Para stakeholder akan menganggap perusahaan besar akan lebih tahan dari badai

finansial. Bila ukuran perusahaan tersebut besar, maka kecenderungan untuk

mengungkapkan laporan lebih lengkap dapat timbul karena dorongan dari

stakeholders perusahaan terkait (Gunawan, 2003 pada Noviabi, 2006), dimana

mereka mengharapkan pos-pos yang ada selengkap mungkin ditampilkan.

Faktor yang terakhir adalah status modal perusahaan diartikan sebagai

apakah sebuah perusahaan dimiliki oleh pemilik modal dalam negeri atau pemilik

modal asing (Fitriyani 2001, pada Sofiana, 2010). Apabila perusahaan tersebut
6

dimiliki oleh asing atau paling tidak merupakan anak perusahaan dari perusahaan

asing, maka kemampuan untuk mempersiapkan laporan yang lengkap

pengungkapannya akan semakin besar, bila dibandingkan dengan perusahaan

lingkup lokal. Perusahaan asing akan mengungkapkan poin-poin dalam laporan

keuangan dengan lebih menyeluruh, ini dikarenakan stakeholder dari perusahaan

tersebut tidak hanya berasal dari Indonesia saja atau berkepentingan lebih

(Sofiana, 2010). Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi perusahaan

dengan status modal PMDN (Pemilik Modal Dalam Negeri) untuk

mengungkapkan segalanya dengan lebih jelas dan lengkap.

Penelitian ini menggunakan objek perusahaan manufaktur karena (1)

terdiri dari banyak perusahaan (yang terbanyak listing di BEI), dimana

dikelompokkan lagi menjadi sub-sub sektor yang lebih spesifik; (2) perlakuan

akuntansi dalam perusahaan sektor manufaktur tidak memerlukan perlakuan

khusus, seperti perusahaan sektor asuransi, bank, dan lainnya. Dari sini kita bisa

lebih mudah membandingkannya dengan perusahaan pada umumnya bila ada pos-

pos tertentu yang tidak diungkapkan.

Tahun 2007-2009 dipilih agar hasil dari penelitian saat ini lebih relevan

terhadap kondisi saat ini bila dibandingkan dengan jika menggunakan data dari

tahun-tahun sebelumnya. Rentang 3 tahun dari 2007-2009 dipilih karena bila kita

menggunakan rentang tahun yang terlalu lebar, dikhawatirkan kualitas informasi

akan berkurang bila membandingkan data yang memiliki rentang waktu yang

cukup lebar. Jadi, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan yang

lebih relevan.
7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian ini adalah:

“Apakah tingkat likuiditas, tingkat leverage, tingkat profitabilitas, ukuran

perusahaan dan status modal perusahaan berpengaruh terhadap kelengkapan

pengungkapan laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia periode 2007-2009?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah membuktikan secara empiris pengaruh tingkat

likuiditas, tingkat leverage, tingkat profitabilitas, ukuran perusahaan dan status

modal perusahaan terhadap kelengkapan pengungkapan laporan keuangan

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2007-

2009.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

a. Bagi Perusahaan

Agar dalam penerbitan laporan keuangan perusahaan dilengkapi dengan

pengungkapan informasi yang sesuai dan transparan agar tidak

menghasilkan bias pada saat dipergunakan untuk pengambilan keputusan.


8

b. Bagi Kreditor dan Investor

Diharapkan hasil dalam penelitian ini dapat dijadikan masukan kepada

pihak kreditor dan investor untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat pengungkapan laporan keuangan.

2. Manfaat Akademis

Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti berikutnya untuk

mengadakan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

E. Tinjauan Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Penelitian dengan topik sejenis telah dilakukan oleh Noviani (2006),

dengan judul “Analisis Pengungkapan Informasi Laporan Tahunan pada

Perusahaan Manufaktur yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta”, yang bertujuan

untuk mengetahui pengaruh likuiditas, solvabilitas, dan ukuran perusahaan

terhadap tingkat pengungkapan informasi dalam laporan tahunan pada perusahaan

manufaktur yang terdaftar di BEJ. Kesimpulannya adalah variabel yang

berpengaruh terhadap kelengkapan pengungkapan adalah ukuran perusahaan saja

sedangkan yang lainnya tidak.

Persamaan antara penelitian Noviani (2006) dengan penelitian saat ini

adalah:

1. Menggunakan kelengkapan pengungkapan

informasi sebagai variabel terikat


9

2. Sumber pengungkapan laporan keuangan yang

digunakan adalah Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar Modal

Nomor: SE-02/PM/2002 Tanggal : 27 Desember 2002.

3. Objek penelitian menggunakan perusahaan yang

listing di BEI dari sektor manufaktur.

Perbedaan antara penelitian Noviani (2006) dengan penelitian saat ini

adalah:

1. Periode penelitian yang digunakan oleh Noviani (2006) adalah

tahun 2002-2004, sedangkan pada penelitian ini periode yang digunakan

adalah tahun 2007-2009.

2. Variabel bebas yang digunakan pada penelitian yang dilakukan

oleh Noviani (2006), adalah tingkat likuiditas, solvency dan ukuran

perusahaan. Pada penelitian saat ini, variabel bebas yang digunakan adalah

tingkat likuiditas, leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan dan status

modal perusahaan.

Penelitian terdahulu kedua yang digunakan sebagai acuan adalah

penelitian Sofiana (2010), dengan judul “Analisis Pengaruh Karakteristik

Perusahaan terhadap Kelengkapan Pengungkapan dalam Laporan Tahunan

Perusahan Manufaktur yang terdaftar di BEI” yang bertujuan menganalisis

pengaruh karakteristik perusahaan terhadap kelengkapan pengungkapan dalam

laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Kesimpulan

penelitian adalah likuiditas dan status perusahaan tidak berpengaruh terhadap

indeks kelengkapan pengungkapan dalam laporan keuangan. Leverage


10

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap indeks kelengkapan pengungkapan

dalam laporan keuangan, sedangkan profitabilitas dan ukuran perusahaan

berpengaruh secara signifikan indeks kelengkapan pengungkapan.

Persamaan antara penelitian Sofiana (2010) dengan penelitian saat ini

adalah:

1. Variabel bebas yang digunakan terdiri dari tingkat

likuiditas, tingkat leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan, dan status

perusahaan.

2. Menggunakan kelengkapan pengungkapan

informasi sebagai variabel terikat.

3. Sumber pengungkapan laporan keuangan yang

digunakan adalah Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar Modal

Nomor: SE-02/PM/2002 Tanggal : 27 Desember 2002.

4. Objek penelitian menggunakan perusahaan yang

listing di BEI dari sektor manufaktur.

Perbedaan antara penelitian Sofiana (2010) dengan penelitian saat ini

adalah periode penelitian yang digunakan adalah tahun 2006-2008, sedangkan

pada penelitian saat ini periode yang digunakan adalah tahun 2007-2009.

Penelitian ketiga yang digunakan sebagai acuan dilakukan oleh Hertanti

(2005), dengan judul “Pengaruh Faktor-Faktor Fundamental terhadap

Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Manufkatur yang

Terdaftar di Bursa Efek Jakarta” yang bertujuan mengetahui ada atau

tidaknya pengaruh rasio likuiditas, rasio leverage, rasio


11

profitabilitas, porsi saham publik dan ukuran perusahaan

terhadap kelengkapan pengungkapan laporan keuangan

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta.

Serta, berapa besarnya pengaruh rasio likuiditas, rasio leverage,

rasio profitabilitas, porsi saham publik dan ukuran perusahaan

terhadap kelengkapan pengungkapan laporan keuangan

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta.

Kesimpulan penelitian Hertanti (2005) hanya rasio leverage, porsi saham publik,

dan ukuran perusahaan yang berpengaruh positif terhadap kelengkapan

pengungkapan laporan keuangan, sedangkan rasio likuiditas mempunyai pengaruh

negatif. Untuk rasio profitabilitas, tidak mempengaruhi kelengkapan

pengungkapan laporan keuangan.

Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Hertanti (2005) dengan

penelitian saat ini adalah sumber pengungkapan laporan keuangan yang

digunakan adalah Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: SE-

02/PM/2002 Tanggal : 27 Desember 2002. Lalu, objek penelitian menggunakan

perusahaan yang listing di BEI dari sektor manufaktur.

Perbedaan antara penelitian Noviani (2006) dengan penelitian saat ini

adalah variabel bebas nya. Variabel bebas yang digunakan pada penelitian yang

dilakukan oleh Hertanti (2005), adalah rasio likuiditas, leverage, profitabilitas,

porsi saham publik dan ukuran perusahaan, sedangkan pada penelitian saat ini

variabel bebas yang digunakan adalah tingkat likuiditas, tingkat leverage, tingkat

profitabilitas, ukuran perusahaanan status modal perusahaan. Perbedaan lainnya


12

adalah periode penelitian yang digunakan oleh Hertanti (2005) adalah tahun 2002-

2003, sedangkan pada penelitian saat ini periode yang digunakan adalah tahun

2007-2009.

2. Landasan Teori

a. Laporan Keuangan

(1) Definisi Laporan Keuangan

Laporan keuangan suatu perusahaan awalnya hanyalah sebagai alat

untuk melihat pekerjaan pada bagian pembukuan, tetapi selanjutnya laporan

keuangan tidak hanya sebagai alat untuk melihat saja tetapi sebagai dasar

untuk menentukan dan menilai posisi-posisi keuangan perusahaan tersebut

dimana dari hasil analisa tersebut pihak-pihak yang berkepentingan dapat

mengambil suatu keputusan.

Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang

telah dijalankan oleh perusahaan. Laporan keuangan merupakan sarana

pengkomunikasian informasi keuangan utama terhadap pihak-pihak diluar

korporasi. Laporan ini menampilkan sejarah perusahaan yang dikuantifikasi

dalam nilai moneter (Kieso, Weygandt and Warfield, 2010:5). Laporan

keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan

keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan

perubahan posisi keuangan (dapat disajikan dengan laporan arus dana atau

arus kas), catatan dan laporan lain, serta materi penjelasan yang merupakan

bagian integral dari laporan keuangan (IAI, 2009:1). Oleh karena itu, laporan
13

keuangan adalah seperti ‘alat public relation’ dalam hal keuangan atau kinerja

perusahaan terhadap pihak yang mempunyai kepentingan terhadap

perusahaan.

Penyusunan laporan keuangan dilakukan secara periodik. Periode yang

biasanya digunakan adalah tahunan yang mulai 1 Januari dan berakhir tanggal

31 Desember. Periode seperti ini disebut periode tahun kalender. Selain tahun

kalender, periode akuntansi bisa juga dimulai dari tanggal selain tanggal 1

Januari (Baridwan, 1992; dalam Pamungkas, 2007).

(2) Tujuan Laporan Keuangan

Laporan keuangan, karena merupakan produk atau perusahaan maka

haruslah memiliki tujuan. Mengingat sasaran dari laporan keuangan adalah

stakeholders dari perusahaan, maka tujuan dari laporan keuangan adalah

menginformasikan kinerja keuangan perusahaan dengan baik dan benar. Ini

harus dipenuhi agar para pemakai laporan keuangan dapat mengerti dari

substansi ekonomik laporan tersebut.

Menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan

Keuangan, tujuan dari laporan keuangan adalah memberikan informasi

tentang posisi, keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat

bagi sebagian kalangan pengguna laporan keuangan dalam rangka membuat

keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban

(stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang


14

dipercayakan kepada mereka (IAI, 2009:3). Lalu, menurut Epstein and

Jermakowicz (2007), tujuan dari laporan keuangan adalah:

“Which previously had been revised in 2003 and which received


further amendments in 2005 and 2007, refers to financial
statements as a structure representation of the financial position
and financial performance of an entity and elaborates that the
objective of financial statements is to provide information about
entity financial position, its financial performance and its cash
flow, which is then utilized by a wide spectrum of end users in
making economic decision. In addition, financial statements also
show result of management stewardship of the resources
entrusted to it. All this information is communicated through a
complete set of financial statements”

Jadi secara garis besar menurut International Financial Reporting

Standards dan PSAK tujuan dari laporan keuangan yang dilaporkan oleh

perusahaan adalah memberikan informasi keuangan perusahaan agar para

penggunanya dapat menggunakan laporan tersebut untuk mengambil

keputusan ekonomis dan berguna untuk mereka.

(3) Karkteristik Kualitatif Laporan Keuangan

Karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang membuat informasi

dalam laporan keuangan dapat berguna bagi pemakai. Terdapat 4 (empat)

karakteristik kualitatif pokok laporan keuangan antara lain (IAI, 2009:5):

- Dapat Dipahami

Kualitas penting informasi yang ditampung dalam laporan keuangan

adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pengguna. Untuk

maksud ini, pengguna diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai


15

tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan ntuk

mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.

- Relevan

Informasi memiliki kualitas relevan kalau dapat mempengaruhi keputusan

ekonomi pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa

masa lalu, masa kini atau masa depan, menegaskan atau mengkoreksi hasil

evaluasi mereka di masa lalu.

- Handal

Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang

menyesatkan, kesalahan material dan dapat diandalkan pemakainya

sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithfull representation) dari yang

seharusnya disajikan dan atau yang secara wajar diharapkan dapat

disajikan.

- Dapat Dibandingkan

Pengguna harus dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan antar

periode untuk mengidentifikasikan kecenderungan (tren) posisi dan kinerja

keuangan. Pengguna juga harus dapat membandingkan laporan antar

perusahaan untuk mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan bila

dibandingkan dengan perusahaan sejenis atau dengan rata-rata industri.

Menurut Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan,

dalam praktiknya, keseimbangan atau trade-off diantara berbagai karakteristik

kualitatif sering diperlukan. Pada umumnya tujuannya adalah untuk mencapai

suatu keseimbangan yang tepat diantara berbagai karakteristik untuk memenuhi


16

tujuan laporan keuangan. Kepentingan relatif dari berbagai karakteristik dalam

berbagai kasus yang berbeda merupakan masalah pertimbangan profesional. (IAI,

2009)

(4) Prinsip Laporan Keuangan

Kita sebagai akademisi dalam bidang akuntansi, secara umum

menggunakan prinsip-prinsip akuntansi untuk mencatat transaksi-transaksi yang

ada di perusahaan. Prinsip-prinsip yang ada, menurut Kieso, dkk. (2010:38), yaitu

prinsip historical cost, revenue recognition, matching, dan full disclosure. Prinsip

historical cost mengaharuskan semua pos yang ada didalam laporan keuangan

dicatat sesuai dengan harga perolehannya. Prinsip revenue recognition menetukan

kapan sebuuah transaksi disebut sebagai kegiatan penjualan. Bisa jadi saat barang

keluar gudang, barang diterima pelanggan, atau pada saat uang kas dari transaksi

tersebut diterima oleh perusahaan. Prinsip matching adalah dimana pada saat ada

biaya yang keluar, harus ada pemasukan dari biaya yang dikeluarkan tersebut.

Sedangkan untuk prinsip full disclosure, prinsip ini mengharuskan laporan

keuangan perusahaan diungkapkan selengkap mungkin agar pengguna laporan

keuangan dapat mengambil keputusan yang bernilai ekonomis dari laporan

tersebut.

Dalam penelitian ini, akan difokuskan pada prinsip disclosure

(pengungkapan). Ini dikarenakan laporan keuangan ditujukan kepada

penggunanya (stakeholders perusahaan) agar mereka mendapatkan informasi


17

yang cukup untuk mengambil keputusan. Informasi yang cukup akan dapat

terwujud bila laporan keungan diungkapkan secara wajar dan sesuai standarnya.

Jadi tingkat pengungkapan laporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan

akan mempengaruhi kualitas dari informasi yang akan diterima oleh para

penggunanya.

b. Pengungkapan

(1) Definisi Pengungkapan

Secara harafiah, menurut Chariri dan Ghozali, (2000:235, dalam Hertanti

2005) pengungkapan berarti memberikan informasi, baik secara sukarela atau

akan sesuai dengan peraturan hukum atau peraturan di tempat kerja. Kata

disclosure memiliki arti tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan hal yang

ada sebenarnya (Noviani, 2006). Apabila dikaitkan dengan informasi, disclosure

berarti memberikan informasi yang bermanfaat kepada pihak yang memerlukan

(Irawan, 2006). Jadi informasi tersebut harus benar-benar bermanfaat, karena

apabila tidak bermanfaat, tujuan dari pengungkapan tersebut tidak akan tercapai.

Bila ini ditarik ke topik kita saat ini, laporan keuangan, disclosure dapat diartikan

arti bahwa laporan keuangan harus bisa memberikan informasi dan penjelasan

yang cukup dan sesuai tentang kinerja suatu perusahaan. Sedangkan menurut

Evans (2003, dalam Soewardjono, 2008:578) pengungkapan adalah

“… means supplying information in the financial statements,


including the statements themselves, the notes to the statements
and the supplementary disclosures associated with the
statements. It does not extend to public or private statements
made by management or information provided outside the
financial statements”
18

Dengan demikian, informasi tersebut harus lengkap, jelas dan dapat

menggambarkan secara tepat kejadian-kejadian ekonomi yang berpengaruh

terhadap hasil kinerja suatu perusahaan tersebut. Ini harus dipenuhi karena tujuan

dari laporan keuangan yang telah dijabarkan diatas menyebutkan bahwa laporan

keuangan haruslah memberikan informasi keuangan perusahaan agar para

penggunanya dapat menggunakan laporan tersebut untuk mengambil keputusan

ekonomis dan berguna untuk mereka. Ini juga sesuai dengan Statement of

Financial Accounting Concepts no. 1 (yang dikeluarkan oleh Financial

Accounting Standard Board), menyatakan bahwa laporan keuangan harus

menyajikan informasi yang berguna untuk investor dan calon investor, kreditor

dan pemakai lain dalam pengambilan keputusan investasi, kredit dan keputusan

sejenis lain yang rasional (Irawan, 2006). Informasi tersebut harus dapat dipahami

oleh mereka yang mempunyai wawasan bisnis dan ekonomi (Verdiyana, 2006).

Dalam akuntansi, pengungkapan mengacu pada perusahaan menyebarkan

informasi tentang kinerja masa lalu keuangan, ramalan masa depan, ataupun

operasi saat ini dimana hal-hal yang diungkapkan telah diatur oleh regulator.

Kelengkapan pengungkapan laporan keuangan sangat bergantung pada standar.

Pengungkapan laporan keuangan yang memadai bisa ditempuh melalui penerapan

regulasi informasi yang baik. Regulasi informasi keuangan di Indonesia

dilaksanakan oleh pemerintah melalui UU pasar modal, BAPEPAM sebagai salah

satu unit di Lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia, Bursa Efek

Indonesia (BEI) dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui Standar Akuntansi

Keuangan.
19

(2) Tujuan Pengungkapan

Tujuan dari pengungkapan laporan keuangan secara umum adalah untuk

memperjelas inforamsi yang ada agar informasi tersebut dapat digunakan untuk

pengambilan keputusan. Secara terperinci, Soewardjono (2008:580) membaginya

menjadi tiga, yaitu:

- Melindungi

Tidak semua pemakai itu sophisticated, sehingga pemakai yang naif perlu

dilindungi dari mengungkapan informasi yang mereka tidak mungkin

memperolehnya atau tidak mungkin mengolah informasi untuk menangkap

substansi ekonomik yang melandasi pos statement keuangan tersebut. Dengan

ini tingkat pengungkapan relatif harus lebih tinggi.

- Informatif

Dasar gagasan bahwa pemakai yang dituju sudah jelas berada pada tingkat

kecanggihan tertentu, maka pengungkapan lebih ditujukan sebagai sarana

untuk menyediakan informasi yang dapat membantu kefektifan pengambilan

keputusan pemakai tersebut

- Kebutuhan Khusus

Apa yang diungkapkan kepada publik dibatasi dengan apa yang dipandang

bermanfaat bagi pemakai yang dituju. Sementara untuk tujuan pengawasan,

informasi tertentu harus di sampaikan kepada badan pengawas berdasarkan

peraturan melalui form-form yang menutut pengungkapan secara rinci.


20

(3) Tingkat Pengungkapan

Tingkat pengungkapan memang haruslah ditentukan karena terlalu banyak

informasi sama tidak menguntungkannya dengan terlalu sedikit informasi. Maka

diperukan kriteria atau pertimbangan untuk menentukan batas atas (cost>benefit)

atau batas bawah (materialitas). Dalam pengungkapan, batas atas (tingkat penuh)

memberikan masalah dan kontroversi yang lebih besar dari pada tingkat bawah.

Artinya, menentukan seberapa luas pengungkapan harus diungkapkan lebih

problematik daripada menentukan informasi mana yang tidak perlu diungkapkan.

Maka dari itu tingkat pengungkapan dibagi menjadi 3 bagian yaitu (Soewardjono;

2008:581):

- Memadai

Tingkat ini merupakan tingkat minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan

agar laporan keuangan tidak menyesatkan para penggunanya (secara harafiah)

untuk pengambilan keputusan.

- Wajar

Ini adalah masuk ke tingkatan yang harus dicapai agar semua pihak mendapat

perlakuan atau pelayanan informasional yang sama dan tidak ada preferensi

dalam pengungkapan informasi.

- Penuh

Tingkat penuh menuntut penyajian secara penuh semua informasi yang

berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dituju. Berbagai hal menjadi

pertimbangan penyusun standar atau badan pengawas untuk menentukan


21

seberapa banyak informasi harus diungkapkan. Pengungkapan yang lebih luas

biasanya terkendala oleh keengganan perusahaan untuk menyediakan

informasi.

Dalam hal seperti ini, keterlebihan informasi (information overload) harus

menjadi pertimbangan. Keterlebihan informasi adalah penyediaan informasi yang

melebihi kemampuan pemakai untuk mencernanya secara efektif. Bahkan

menurut regulator, pengungkapan wajib harus dipertimbangkan atas dasar apakah

informasi yang sama sebenarnya dapat diperoleh pemakai dari sumber selain yang

disediakan melalui pelaporan keuangan atau laporan tahunan. Sumber lain ini

dalam hal tertentu justru lebih efektif daripada informasi yang disediakan

perusahaan. Soewardjono (2008: 582).

Yang paling umum digunakan dalam pengungkapan suatu perusahaan

adalah pengungkapan yang cukup (adequate disclosure), karena pengungkapan

ini mencakup pengungkapan minimal yang harus dilakukan agar laporan

keuangan tidak menyesatkan. Sedangkan pengungkapan wajar dan lengkap

merupakan konsep yang lebih bersifat positif. Pengungkapan secara wajar

menunujukkan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama dan

bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan

c. Indeks Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan

Struktur pengaturan di Indonesia kurang lebih sama dengan yang

diterapkan di Amerika yaitu struktur pengaturan ganda (IAI dan BAPEPAM).

Dalam hal ini, BAPEPAM lebih berkepentingan dengan tingkat


22

pengungkapan dan apa yang harus diungkapkan terutama untuk kepentingan

pendaftaran publik dan penawaran perdana. Ketentuan tentang pengungkapan

yang diwajibkan oleh BAPEPAM dituangkan dalam bentuk keputusan

BAPEPAM sedangkan pengungkapan yang diwajibkan oleh IAI dituangkan

dalam berbagai pasal dan tersebar di berbagai pernyataan standar.

Standar akuntansi (PSAK) dan ketentuan BAPEPAM mengeluarkan

daftar untuk mengevaluasi tingkat pengungkapan di Indonesia. Daftar ini

dapat memberi gambaran tentang butir-butir apa saja yang harus diungkapkan

dalam penyampaian informasi keuangan kepada publik. Daftar butir

pengungkapan tersebut digunakan untuk menentukan tingkat ketaatan

pengungkapan yang diukur dengan indeks pengungkapan (disclosure index)

yaitu pengungkapan yang nyatanya dilaksanakan dibanding dengan

pengungkapan yang seharusnya (daftar butir pengungkapan). Dalam penelitian

ini yang digunakan adalah Surat Edaran Ketua Bapepam No.SE-02/PM/2002

Tanggal 27 Desember 2002. Pengungkapan yang diatur adalah pos-pos dari

Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas

dan Catatan atas Laporan Keuangan.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kelengkapan Laporan

Keuangan

Terdapat 5 (lima) faktor pendukung yang digunakan dalam penelitian saat

ini, yaitu:

(1) Tingkat Likuiditas


23

Tingkat likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan memenuhi

kewajiban keuangan jangka pendek (Smith, 2005:81). Tingkat likuiditas juga

mnegindikasikan berapa kali aset lancar akan mampu membiayai kewajiban

lancarnya (Tyran, 1992:77). Likuiditas juga dapat mempunyai arti perusahaan

mempunyai cukup dana di tangan untuk membayar tagihan pada saat jatuh

tempo dan berjaga-jaga terhadap kebutuhan kas yang tidak terduga. Likuiditas

menunjukkan kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai

cukup kemampuan untuk membayar utang jangka pendek disebut sebagai

perusahaan yang likuid. Suatu perusahaan dikatakan likuid atau mempunyai

posisi keuangan yang kuat apabila mampu: (Pamungkas, 2007)

- Memenuhi kewajiban-kewajibannya (lancar) tepat pada waktunya.

- Memelihara modal kerja yang cukup untuk operasi yang normal.

- Membayar bunga dan deviden yang dibutuhkan.

- Memelihara tingkat kredit yang menguntungkan.

Tingkat likuiditas dapat dipandang dari dua sisi. Kesehatan suatu

perusahaan yang dicerminkan dengan tingginya rasio likuiditas (diukur

dengan current ratio) diharapkan berhubungan dengan luasnya tingkat

pengungkapan. Hal ini didasarkan dari adanya pengharapan bahwa secara

finansial perusahaan yang kuat akan lebih mengungkapkan informasi dari

pada perusahaan yang lemah. Tetapi sebaliknya, jika likuiditas dipandang

sebagai ukuran kinerja, perusahaan yang mempunyai rasio likuiditas rendah

perlu memberikan informasi yang lebih rinci untuk menjelaskan lemahnya

kinerja dibanding perusahaan yang mempunyai rasio likuiditas yang tinggi


24

(Simanjuntak dan Widiastuti, 2004; pada Benardi dkk., 2008). Meskipun rasio

ini tidak bicara masalah solvabilitas dan biasanya tidak terlalu penting; tapi

bila rasio ini jelek dalam jangka panjang tentu akan mempengaruhi kinerja

perusahaan (Haraf dan Hakim, 2005). Tidak ada standar baku yang

menyebutkan berapa sebaiknya nilai dari tingkat likuiditas ini, tapi selama ini

diyakini sebuah perusahaan berada dalam taraf yang aman bila Rasio

Lancarnya berada di kisaran 2:1, ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh

Tyran (1992:78)

Tingkat likuiditas perusahaan dapat diukur dengan metode

penghitungan rasio. Menurut Subhamayam and Wild (2008), rasio likuiditas

dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

- Rasio Lancar (Current Ratio)

Rasio ini mengukur seberapa jauh aktiva lancar perusahaan bisa dipakai

untuk memenuhi kewajiban lancarnya. Rasio ini dinyatakan sebagai

berikut:

Aset Lancar
Rasio Lancar =
Hutang Lancar

Aset lancar terdiri dari: kas atau setara kas, investasi jangka pendek,

wesel tagih, piutang usaha, piutang lain-lain, persediaan, pajak dibayar

dimuka, biaya dibayar dimuka dan aktiva lancar lain-lain Hutang

lancar/Kewajiban lancar terdiri dari: pinjaman jangka pendek, wesel bayar,

hutang usaha, hutang pajak, beban masih harus dibayar, bagian kewajiban

jangka panjang yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun dan kewajiban
25

lancar lain-lain. Rasio ini menunjukkan sejauh mana kewajiban lancar

dapat dipenuhi dengan aktiva lancar sehingga rasio ini yang paling lazim

digunakan.

- Rasio Cepat (Acid Test Ratio)

Rasio ini berfungsi untuk menjembatani kekurangan yang disajikan

oleh current ratio. Rasio ini benar-benar mengukur kemampuan

perusahaan untuk.memenuhi kewajiban jangka pendek melalui aktiva

lancar yang benar-benar likuid.

Persediaan merupakan rekening yang paling lama untuk berubah

menjadi kas (yaitu harus melewati banyak piutang dulu), dan tingkat

kepastian nilainya rendah, maka rekening persediaan mungkin dikeluarkan

dari perhitungan. Dengan demikian maka rasionya dinyatakan sebagai

berikut:

Aset Lancar – Persediaan


Rasio Cepat =
Hutang Lancar

- Collection Period

Rasio ini mengukur berapa hari sebuah piutang dagang dapat

tertagih. Semakin cepat piutang tertagih maka perusahaan berada dalam

kondisi yang lebih likuid karena piutangnya dapat cepat dikonversikan

sebagai kas. Dengan demikian maka rasionya dinyatakan sebagai berikut:


26

Rata - rata saldo Piutang


Collection Period = Penjualan/ 360 hari

- Days to Sell Inventory

Rasio ini mengukur berapa lama perusahaan mampu mengkonversi

persediaannya menjadi kas dengan cara menjualnya. Semakin cepat

sebuah persediaan terjual, maka perusahaan tersebut semain likuid.

Dengan demikian maka rasionya dinyatakan sebagai berikut:


R a ta- ra tas a ld Po e rs e d ia a n
Days to Sell Inventory =
H a rgPa o k o Pk e n ju a la3 n6 /0h a r i

Dalam penelitian saat ini, rasio lancar dipilih sebagai proksi dari

tingkat likuiditas perusahaan. Alasan utama dari rasio lancar dipilih karena

kemampuan dari rasio lancar untuk dapat mengukur dengan baik

kesehatan dari sebuah perusahaan dalam jangka pendek (Tyran, 1992: 78).

Selain itu rasio lancar merupakan pengukuran yang paling dapat diterima

umum karena memasukkan semua kompoen aset lancar, tidak seperti rasio

cepat yang tidak mengikut sertakan persediaan. Padahal, belum tentu

sebuah persediaan sulit untuk diubah menjadi kas.

(2) Tingkat Leverage

Konsep tingkat leverage keuangan, mengacu pada jumlah pendanaan

utang dalam struktur modal perusahaan (Tyran, 1992:96). Perusahaan

menggunakan modal ekuitas sebagai dasar pinjaman dengan tujuan meraih

kelebihan pengembalian. Tingkat leverage mengukur kemampuan perusahaan

untuk bertahan hidup selama jangka waktu yang panjang, lain dengan
27

likuiditas yang hanya mengukur dari sisi jangka pendeknya saja. Kreditur

jangka panjang dan pemegang saham berkepentingan dalam leverage

perusahaan, teristimewa kesanggupannya membayar bunga atau pokok

pinjaman jatuh tempo (Simamora, 2000; dalam Pamungkas, 2007). Leverage

berkaitan dengan bagaimana perusahaan didanai, lebih banyak menggunakan

utang atau modal yang berasal dari pemegang saham. Perusahaan dengan

tingkat leverage tinggi menanggung biaya pengawasan yang tinggi. Jika

menyediakan informasi secara lebih komprehensif akan membutuhkan biaya

lebih tinggi, maka perusahaan dengan leverage yang lebih tinggi akan

menyediakan informasi secara lebih komprehensif (Jensen and Meckling,

1976; pada Sofiana, 2010).

Struktur keuangan perusahaan memiliki kaitan yang erat dengan

informasi keuangan yang akan disampaikan kepada para penyedia dana.

Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang

saham terhadap dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur.

Tinggi rendahnya tingkat leverage dapat diukur dengan penghitungan

rasio. Menurut Subhamayam and Wild (2008), rasio leverage ini dapat dibagi

menjadi 2 (dua) yaitu:

- Debt to Asset

Rasio ini mengukur besarnya total aktiva yang dibiayai oleh kreditur

perusahaan. Semakin tinggi rasio tersebut semakin banyak uang kreditur

yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan laba. Rasio debt to asset

dapat dihitung dengan menggunakan rumus:


28

Total Debt
Debt to Asset =
Total Asset

- Debt to Equity

Rasio hutang terhadap ekuitas dihitung dengan jalan membagi total hutang

perusahaan (termasuk kewajiban lancar) dengan ekuitas pemegang saham.

Rasio ini diukur dengan perhitungan:

Total Debt
Debt to Equity =
Shareholder’s Equity

Rasio hutang terhadap ekuitas berbeda-beda tergantung dari

karakteristik bisnis dan keberagaman arus kas. Perusahaan dengan arus kas

yang stabil biasanya memiliki rasio hutang terhadap ekuitas yang lebih

tinggi daripada perusahaan dengan arus kas yang kurang stabil. Semakin

rendah rasio ini, semakin tinggi tingkat pendanaan perusahaan yang

disediakan oleh pemegang saham dan semakin besar batas pengaman

pemberi pinjaman jika terjadi penyusutan nilai aktiva atau kerugian.

Pada penelitian saat ini, tingkat leverage diproksikan dengan debt

to equity ratio. DER dipilih karena kemampuannya untuk memprediksi

kerentanan pendanaan sebuah perusahaan dalam jangka panjang. Dan

dimana tingkat kerentanan tersebut akan berimplikasi langsung pada biaya

pengawasan yang lebih tinggi (Jensen dan Meckling, 1976). Jadi karena

pertimbangan kerentanan jangka panjang itulah pengungkapan yang lebih

menyeluruh dari laporan perusahaan harus dipertimbangkan.


29

(3) Tingkat Profitabilitas

Profitabilitas adalah, kemampuan perusahaan menghasilkan laba

(Smith, 2005). Semakin tinggi tingkat profitabilitas, berarti semakin tinggi

kemampuan perusahaan memperoleh laba. Tidak dipungkiri walau banyak

pihak yang menyebutkan bahwa laba bukan segalanya, tetapi faktor ini yang

menggerakkan investor-investor untuk masuk ke perusahaan.

Sehubungan dengan kelengkapan laporan keuangan, perusahaan

dengan laba yang besar akan terpacu untuk “mempertontokan” laporan

keuangannya dengan cukup lengkap. Ini terjadi didasari karena, perusahaan

ingin unjuk kebolehan mengenai kinerjanya bagaiamana ia menghasilkan laba

dalam satu tahun terakhir (Singvi dan Desai, 1971; pada Benardi dkk., 2008).

Tetapi dilain sisi, tingkat profitabilitas dan kelengkapan pengungkapan dapat

saja menunjukkan arah negatif. Ini terjadi karena kecenderungan perusahaan

yang memiliki profit tinggi tidak ingin membayar pajak yang besar, jadi laba

yang ada tidak disampaikan seluruhnya oleh perusahaan (Almilia dan

Retrinasari, 2007). Akibatnya pos-pos yang lain (yang berkaitan dengan

kegiatan penghasil laba) akan ikut tereduksi pengungkapannya.

Untuk menghitung tingkat profitabilitas dapat dilakukan dengan

menggunakan metode rasio. Terdapat 3 jenis pengukuran profitabilitas

menurut Tyran (1992:87) yaitu:

- Gross Profit Margin

Rasio ini dapat diukur dengan cara:


30

Sales – Cost of Sales


Gross Profit Margin=
Sales

- Operating Profit Margin

Rasio ini dapat diukur dengan cara:

Income from Operations


Operating Profit Margin=
Sales

- Net Profit Margin

Rasio ini dapat diukur dengan cara:

Net Income
Net Profit Margin=
Sales

Net profit margin dipilih sebagai proksi dari tingkat profitabilitas

perusahaan. Rasio ini dipilih karena mempertimbangkan laba yang aktual

adalah laba yang benar-benar telah terpotong bunga dan pajak. Bisa saja

sebuah perusahaan laba operasinya positif tetapi setelah ada pembayaran

kegiatan non operasi dan atau pembayaran bunga akhirnya merugi.

Padahal pemabayaran hal-hal tersebut merupakan bagian yang tidak dapat

lepas dari perusahaan.

(4) Ukuran Perusahaan

Semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin besar informasi

disclosure yang diungkapkan. Pernyatan tersebut mendasarkan teori keagenan

dmana perusahaan besar memiliki biaya keagenan yang lebih besar dari

perusahaan kecil (Jensen dan Meckling, 1976). Perusahaan besar akan


31

mengungkapkan informasi yang lebih banyak sebagai upaya mengurangi

biaya keagenan tersebut.

Perusahaan yang berukuran lebih besar, cenderung memiliki public

demand akan informasi yang lebih tinggi dibanding dengan perusahaan yang

berukuran kecil. Sedangkan perhatian para analis ekonomi terhadap

perusahaan besar terletak pada peranan dan kontribusi perusahaan terhadap

roda perekonomian suatu negara (Irawan, 2006).

Besar (ukuran) dari sebuah perusahaan dapat diproksikan dengan 3

jenis pengukuran, yaitu jumalh total aset, kapitalisasi pasar dan penjualan.

Dimana ketiga hal ini dapat dihubungkan dengan gambaran seperti ini,

semakin besar aset perusahaan maka semakin banyak modal yang ditanam;

semakin besar penjualan semakin banyak perputaran uang; dan semakin besar

kapitalisasi pasar semakin dikenal pula perusahaan tersebut dalam masyarakat

(Sudarmadji dan Sularto, 2007).

Arah hubungan ternyata bisa negatif, jika dikaitkan dengan teori

bahwa perusahan besar tidak akan lepas dari tekanan politik, tekanan untuk

melaksanakan tanggung jawab sosial. Dampaknya, perusahaan mereduksi

laporan keuangan (menjadi kurang terperinci) karena ada kecenderungan

untuk menghindari pajak.

Total aset dipilih sebagai proksi dari variabel ukuran perusahaan. Ini

dikarenakan total aset lebih stabil dan representatif dalam menunjukkan

ukuran perusahan dibanding kapitaliasi pasar dan penjualan yang sangat

dipengaruhi oleh demand and supply (Sudarmadji dan Sularto, 2007).


32

(5) Status Modal Perusahaan

Mengenai hubungan status perusahaan dengan kelengkapan

pengungkapan dapat dijabarkan seperti ini. Apabila perusahaan tersebut

dimiliki oleh asing atau paling tidak merupakan anak dari perusahan asing,

maka kemampuan untuk mempersiapkan laporan yang lengkap

pengungkapannya akan semakin besar, bila dibandingkan dengan perusahaan

lingkup lokal. Dan lagi bila menyajikan laporan keuangan yang tidak baik

pengungkapannya maka akan menurunkan citra dan kredibilitas perusahaan

(Sofiana, 2010).

3. Pengembangan Hipotesis

a. Pengaruh Tingkat Likuiditas terhadap

Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan

Tingkat likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi

kewajiban jangka pendeknya kepada dengan aset lancar sebagai jaminannya

(Smith, 2005:81). Tingkat likuiditas dapat dipandang dari dua sisi. Disatu sisi,

tingkat likuiditas yang tinggi akan menunjukkan kuatnya kondisi keuangan

perusahaan. Perusahaan semacam ini cenderung untuk melakukan pengungkapan

informasi yang lebih luas kepada pihak luar karena ingin menunjukkan bahwa

perusahaan itu kredibel (Belkoui, 1978; dalam Pamungkas, 2007)

Tingkat likuiditas dapat juga dipandang sebagai ukuran kinerja manajemen

dalam mengelola keuangan (Wallace, 1994; dalam Fitriani, 2001). Dari sisi ini,
33

perusahaan dengan likuiditas rendah cenderung mengungkapkan lebih banyak

informasi kepada pihak eksternal sebagai upaya untuk menjelaskan lemahnya

kinerja manajemen. Kondisi perusahaan yang sehat, yang antara lain ditunjukkan

dengan tingkat likuiditas yang tinggi, berhubungan dengan pengungkapan yang

lebih luas. Hal tersebut didasarkan pada ekspektasi bahwa perusahaan yang secara

keuangan kuat, akan cenderung untuk mengungkapkan lebih banyak informasi.

Ini disebabkan karena perusahaan ingin menunjukkan kepada pihak ekstern

bahwa dirinya tersebut kredibel (Almilia dan Retrinasari, 2007).

Perusahaan dengan likuiditas yang tinggi akan cenderung untuk

melakukan pengungkapan yang lebih karena ingin menunjukkan kinerja

perusahaannya yang kredibel. Tingkat likuiditas mempunyai hubungan positif

dengan luas pengungkapan (Cooke, 1989; dalam Fitriani, 2001). Kondisi

perusahaan sehat dapat ditunjukkan dari tingkat likuiditas yang berhubungan

dengan tingkat pengungkapan yang lebih. Hal ini didasarkan pada harapan bahwa

kekuatan financial perusahaan akan cenderung memberikan pengungkapan yang

lebih untuk memberikan informasi yang luas daripada perusahaan dengan kondisi

financial lemah (Kahl, 1989; dalam Pamungkas, 2007). Dari penjelasan diatas

maka dapat ditarik sebuah hipotesis:

H1: Tingkat likuiditas berpengaruh terhadap tingkat kelengkapan laporan

keuangan perusahaan.

b. Pengaruh Tingkat Leverage terhadap Kelengkapan Pengungkapan

Laporan Keuangan
34

Tingkat leverage menunjukkan kemampuan perusahaan untuk bertahan

hidup selama jangka waktu yang lama. Posisi kreditor jangka panjang berbeda

dibanding kreditor jangka pendek. Kreditur jangka panjang sangat menaruh

perhatian, baik pada kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka

pendek, yaitu kemampuan membayar bunga. maupun jangka panjang, yaitu

kemampuan membayar pokok pinjaman. Mereka lebih menaruh perhatian pada

solvabilitas perusahaan (Noviani, 2006).

Suatu perusahaan yang tingkat leveragenya tinggi, cenderung untuk

memenuhi kebutuhan informasi untuk krediturnya. Perusahaan yang mempunyai

proporsi hutang lebih banyak dalam struktur permodalannya akan membiayai

biaya keagenan yang besar (Wallace, 1994; dalam Sofiana, 2010). Oleh karena itu

perusahaan yang mempunyai komposisi hutang yang tinggi wajib memenuhi

kebutuhan informasi yang cukup memadai bagi kreditur. Jadi semakin tinggi atau

semakin rendah tingkat leverage perusahaan maka, kelengkapan pengungkapan

juga akan mengikuti pergerakan/terpengaruh tersebut. Hal ini diperkuat dengan

penelitian yang telah dilakukan oleh Sofiana (2010), Pamungkas (2007), dan

Hertanti (2005). Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah hipotesis:

H2: Tingkat leverage berpengaruh terhadap tingkat kelengkapan laporan

keuangan perusahaan.

c. Pengaruh Tingkat Profitabilitas terhadap Kelengkapan

Pengungkapan Laporan Keuangan


35

Profitablitas merupakan suatu ukuran kinerja yang dilakukan manajemen

untuk mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan dengan laba yang

dihasilkan (Sudarmadji dan Sularto, 2007). Semakin tingginya tingkat

profitabilitas perusahaan, menunjukkan semakin tingginya kemampuan

perusahaan dalam memperoleh laba dan semakin baik kinerja perusahaannya.

Dengan laba yang tinggi perusahaan memiliki cukup dana untuk mengumpulkan,

mengelompokkan dan mengolah informasi menjadi lebih bermanfaat serta dapat

menyajikan pengungkapan yang lebih komprehensif.

Oleh karena itu perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi akan lebih

berani mengungkapkan laporan. Dengan demikian semakin tinggi profitabilitas

perusahaan maka akan semakin tinggi kelengkapan pengungkapan laporan

keuangan (Sofiana, 2010; Fitrani 2001, serta Laraswita dan Indrayani, 2009). Dari

penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah hipotesis:

H3: Tingkat profitabilitas berpengaruh terhadap tingkat kelengkapan laporan

keuangan perusahaan.

d. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Kelengkapan

Pengungkapan Laporan Keuangan

Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi kelengkapan pengungkapan

laporan keuangannya (Almilia dan Retrinasari, 2007; Irawan, 2006; dan Benardi

dkk., 2008). Perusahaan yang berukuran besar cenderung lebih banyak

mengungkapkan butir-butir laporan keuangannya karena mereka memiliki lebih

banyak informasi yang dapat diungkapkan. Perusahaan yang berukuran besar juga
36

diduga mempunyai karyawan ahli berkualitas yang lebih memahami tentang

pengungkapan laporan keuangan (Hertanti, 2005).

Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa perusahaan dengan

ukuran besar akan lebih banyak melakukan pengungkapan laporan keuangan.

perusahaan kecil diduga mungkin tidak memiliki sumber daya untuk

mengumpulkan dan menampilkan informasi yang luas pada laporan tahunan

mereka sebab banyak aktivitas banyak pula biaya yang dikeluarkan. Dalam hal

lain pula, manajemen perusahaan kecil mungkin percaya bahwa pengungkapan

yang terperinci akan membahayakan posisi kompetitifnya (Subiyantoro, 1996:11;

dalam Hertanti, 2005). Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah hipotesis:

H4: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap tingkat kelengkapan laporan

keuangan perusahaan.

e. Pengaruh Status Modal Perusahaan terhadap Kelengkapan

Pengungkapan Laporan Keuangan

Perusahaan dengan penanam modal asing relatif mendapatkan

pelatihan yang lebih baik, misalnya dalam bidang akuntansi, dari perusahaan

induknya di luar negeri. Lalu perusahaan yang berstatus asing mungkin

mempunyai sistem informasi manajemen yang lebih efisien untuk memenuhi

kebutuhan pengendalian internal dan kebutuhan informasi perusahaan

induknya (Sofiani, 2010).

Terdapat kemungkinan juga, permintaan informasi yang lebih besar

kepada perusahaan berstatus asing dari pelanggan, pemasok, analisis dan


37

masyarakat pada umumnya. Perusahaan dengan status modal asing akan

memberikan pengungkapan yang lebih luas dibanding perusahaan domestik.

Perusahaan dengan status yang berbeda akan memiliki stakeholders yang

berbeda, sehingga tingkat kelengkapan pengungkapan yang harus dilakukan

berbeda pula (Sofiani, 2010; dalam Fitriani 2001). Dari penjelasan diatas

maka dapat ditarik sebuah hipotesis:

H5: Status modal perusahaan berpengaruh terhadap tingkat kelengkapan

laporan keuangan perusahaan.

4. Model Analisis

Tingkat Likuiditas

Tingkat Leverage

Kelengkapan
Tingkat Profitabilias Pengungkapan
Laporan Keuangan

Ukuran Perusahaan

Status Modal Perusahaan

Gambar 1
Model Analisis

F. Desain Penelitian
38

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan hipotesis yang

bertujuan untuk menguji pengaruh variabel independen (tingkat likuiditas, tingkat

leverage, tingkat profitabilitas, ukuran perusahaan dan status modal perusahaan)

terhadap variabel bebas (kelengkapan pengungkapan laporan keuangan).

G. Identifikasi, Definisi, dan PengukuranVariabel

Dalam penelitian ini digunakan 2 macam variabel yaitu:

1. Variabel terikat atau variabel dependen, yaitu tingkat kelengkapan

pengungkapan laporan keuangan, yang dilambangkan dengan Y.

2. Variabel bebas atau variabel independen, yang dilambangkan

dengan X, meliputi:

a) Tingkat Likuiditas (X1)

b) Tingkat Leverage (X2)

c) Tingkat Profitabilitas (X3)

d) Ukuran Perusahaan (X4)

e) Status Modal (X5)

Masing-masing variabel penelitian dapat didefinisikan dan diukur sebagai

berikut:

a) Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan

Kelengkapan pengungkapan laporan keuangan adalah derajad dimana

laporan keuangan perusahaan dapat dibilang lengkap atau tidak. Disclosure

checklist dipakai sebagai pengontrol apakah laporan perusahaan telah

memenuhi item-item yang telah tersedia. Dalam penelitian kali ini digunakan
39

peraturan dari BAPEPAM. Peraturannya adalah Daftar Item Pengungkapan

Laporan Keuangan Berdasarkan Surat Edaran Ketua Bapepam No.SE-

02/PM/2002 Tanggal 27 Desember 2002. Menurut Nugraheni (2002:80, dalam

Pamungkas, 2007), derajad kelengkapan laporan keuangan diukur dengan

menggunakan angka indeks. Angka indeks dihitung dengan cara

n
Angka Indeks =
k

Keterangan:

n = jumlah item yang diungkapkan perusahaan

k = jumlah item yang seharusnya diungkapkan

Perusahaan diberi skor 1 apabila mengungkapkan item tertentu dalam

disclosure checklist dan diberi skor 0 apabila tidak mengungkapkan item

tertentu yang terdapat di dalam disclosure checklist. Kemudian perhitungan

persentase rata-rata skor dilakukan dengan cara menjumlahkan semua skor

yang diperoleh pada suatu item pengungkapan dibagi dengan jumlah item

yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang.

b) Tingkat Likuiditas (X1)

Tingkat likuiditas menunjukkan semampu apakah sebuah perusahaan

mampu menanggung kewajiban jangka pendeknya dengan dijamin oeh aset

lancarnya. Tingkat likuiditas juga mengindikasikan berapa kali aset lancar

akan mampu membiayai kewajiban lancarnya (Tyran, 1992:77). Tingkat

likuiditas diwakili dengan menggunakan rasio lancar (current ratio) yang

diukur dengan membagi aset lancar dengan kewajiban lancar.


40

Aset Lancar
Rasio Lancar =
Kewajiban Lancar

c) Tingkat Leverage (X2)

Tingkat leverage menunjukkan bagaimana perusahaan didanai, lebih

banyak menggunakan utang atau modal yang berasal dari pemegang saham

(Subramanyam dan Wild, 2008:38). Tingkat leverage diproksikan dengan

Debt To Equity Ratio (DER) yang diukur dengan rumus:

Total Kewajiban
DER =
Ekuitas Pemegang Saham

d) Tingkat Profitabilitas (X3)

Tingkat profitabilitas mempunyai definisi tingkat kemampuan

perusahaan menghasilkan laba selama periode tertentu (Smith, 2005:112).

Tingkat profitabilitas diproksikan dengan Net Profit Margin, yang diukur

dengan rumus:

Laba Bersih
Net Profit Margin =
Penjualan

e) Ukuran perusahaan (X4)

Ukuran perusahaan secara harafiah merupakan besaran sebuah

perusahaan. Ukuran perusahaan dilihat dari total aset perusahaan yang diukur

sebagai berikut:

Ukuran Perusahaan = Ln Total Aset

Total aset dipilih sebagai proksi dari variabel ukuran perusahaan. Ini

dikarenakan total aset lebih stabil dan representatif dalam menunjukkan


41

ukuran perusahan dibanding kapitaliasi pasar dan penjualan yang sangat

dipengaruhi oleh demand and supply (Sudarmadji dan Sularto, 2007).

f) Status Modal Perusahaan (X5)

Status modal didefinisikan sebagai apakah dalam struktur modalnya

perusahaan menggunakan sumber pendanaan asing atau tidak. Status modal

perusahaan dilihat dari skala nominal 0 dan 1. Nol apa bila perusahaan tidak

menggunakan modal asing. Satu apabila perusahaan menggunakan modal

asing.

H. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif

berupa neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas

untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Desember 2007-2009. Serta data kualitatif

berupa catatan atas laporan keuangan untuk tahun 2007-2009. Data ini diperoleh

dari Bursa Efek Indonesia (idx.co.id). Data ini dikategorikan sebagai data

sekunder.

I. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi yaitu mengumpulkan

data berupa laporan keuangan untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Desember

2007 hingga 31 Desember 2009.

J. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel


42

Populasi penelitian adalah perusahaan manufaktur yang listing di Bursa

Efek Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling,

dengan kriteria sebagai berikut:

a. Perusahaan yang

listing berturut-turut pada periode 2007 sampai dengan 2009.

b. Laporan keuangan

emiten untuk periode yang tersedia secara lengkap di BEI.

c. Perusahaan memiliki

laba postif selama tahun 2007 sampai dengan 2009

Pertimbangan perusahaan harus memiliki laba positif didasari dari apabila

perusahaan dengan laba negatif (rugi) dimasukkan dalam penelitian maka

angka tersebut menjadi tidak berarti/bermakna (Subekti, 2000; dalam

Wahyudi dan Pawestri, 2006). Selain itu mengenai masalah voltalitas dari

laba itu sendiri. Apabila pergerakan tingkat laba suatu perusahaan sangat

besar maka angka laba tersebut dapat menjadi tidak berguna. Jadi yang

digunakan adalah perusahaan yang memiliki laba positif selama 3 tahun

berturut-turut (2007-2009). Walaupun pasti ada gejolak dalam tingkat

laba, tapi paling tidak masih stabil berada dalam kisaran memiliki laba.

Dari kriteria pengambilan sampel tersebut dapat dilihat pada tabel 1

Tabel 1
Pengambilan Sampel

No. Kriteria Jumlah

Perusahaan
Populasi: 151
43

Perusahaan manufaktur yang listing di BEI


Tidak memenuhi kriteria:
1. Perusahaan yang tidak listing berturut-turut pada periode 1 (15)

Januari 2007 sampai dengan 31 Desember 2009


2. Laporan keuangan auditan emiten untuk periode yang (33)

berakhir 31 Desember 2007, 31 Desember 2008, dan 31

Desember 2009 tidak tersedia secara lengkap


3 Emiten memiliki laba negatif diantara tahun 2007 hingga (46)

2009
Jumlah observasi 57
Jumlah sampel (x 3) 171

K. Teknik Analisis Data

1. Model Persamaan

Untuk mengetahui adanya pengaruh antara tingkat likuiditas, tingkat

leverage, tingkat profitabilitas, ukuran perusahaan, dan status modal terhadap

kelengkapan pengungkapan laporan keuangan perusahaan manufaktur. Dalam

analisis ini digunakan model persamaan sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + e

Keterangan:

Y = Tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan

X1 = Tingkat likiuditas

X2 = Tingkat leverage

X3 = Tingkat profitabilitas

X4 = Ukuran perusahaan

X5 = Status modal
44

a = Konstanta

b1, b2, b3, b4, b5 = Koefisien variabel bebas

e = Error

2. Uji Normalitas

Normalitas data merupakan asumsi terpenting dalam statistika parametrik,

sehingga pengujian terhadap normalitas data harus dilakukan agar asumsi dalam

statistika parametrik terpenuhi.Untuk mendeteksi normalitas data perlu dilakukan

uji normalitas baik untuk menggunakan kurva persebaran data berupa kurva

normal dan normal plot atau menggunakan uji Kolmogorow-Sminornov.

Proses uji normalitas data (titik-titik) pada Normal P-Plot of Regresion

Standardized Residual dari variabel independen dimana :

- Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis

diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.

- Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan tidak mengikuti garis

diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

3. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik bertujuan untuk mengetahui apakah hasil estimasi

regresi yang dilakukan betul-betul terbebas dari bias, maka dilakukan rangkaian

uji-uji sebagai berikut:

a) Uji Heteroskedastisitas
45

Uji heteroskedastisitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah varians

residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan. Hal ini

dimaksudkan bahwa varian gangguan tidak berbeda dari satu observasi ke

observasi lainnya, atau dapat dikatakan satu observasi mempunyai reliabilitas

yang sama. Adanya gejala heteroskedastisitas mengakibatkan hasil regresi tidak

efisien baik dalam sampel besar maupun sampel kecil karena varian atau standar

error of estimate tidak minimum, namun hasil regresi tetap konsisten dan tidak

bias. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala ini dilakukan uji korelasi Rank

Spearman.

Cara memprediksi ada tidaknya heteroskedastisitas pada suatu model

dapat dilihat dari pola gambar Scatterplot model tersebut. Analisis pada gambar

Scatterplot yang menyatakan model regresi linier berganda tidak terdapat

heteroskedastisitas jika:

- Titik-titik data menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0.

- Titik-titik data tidak hanya mengumpul di atas atau di bawah saja.

- Penyebaran titik-titik data tidak boleh membentuk pola bergelombang

melebar kemudian menyempit dan melebar kembali.

- Penyebaran titik-titik data sebaiknya tidak berpola.

b) Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi

korelasi di antara data pengamatan atau tidak. Non-autokorelasi berarti gangguan

di satu observasi tidak berkorelasi dengan gangguan observasi lainnya, artinya

bahwa nilai variabel terikatnya hanya diterangkan oleh variabel bebas dan bukan
46

diiterangkan oleh variabel gangguan. Gejala autokorelasi menyebabkan hasil

regresi tidak efisien karena varian atau standar error of estimate tidak minimum

dan menjadikan tes signifikan tidak akurat, namun hasil regresi tetap tidak bias.

Gejala ini dapat dideteksi dengan uji statistik Durbin-Watson. Pengambilan

keputusan ada tidaknya autokorelasi sebagai berikut:

- kurang dari 1,08 berarti ada autokorelasi

- 1,08 sampai dengan 1,66 berarti tanpa kesimpulan

- 1,66 sampai dengan 2.34 berarti tidak ada autokorelasi

- 2.34 sampai dengan 2.92 berarti tanpa kesimpulan

- lebih dari 2,92 berarti ada autokorelasi

c) Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas dimaksudkan untuk membuktikan atau menguji

ada tidaknya hubungan yang linier antara variabel bebas satu dengan variabel

bebas lainnya. Variabel gangguan tidak berkorelasi dengan variabel bebas,

artinya non-multikolinieritas. Asumsi ini merupakan implikasi bahwa nilai

variabel bebas tidak berubah dari satu sampel ke sampel lainnya karena

memang variabel bebas ini akan dilihat pengaruhnya terhadap variabel terikat.

Gejala multikolinieritas dapat diketahui dengan melihat hasil nilai R2 yang

tinggi, tetapi sedikit atau tidak ada koefisien regresi yang signifikan pada uji t

(individu) atau hal ini juga bisa dilihat dari batas tolerance value di bawah 0,1

atau nilai VIF di atas 10, maka terjadi multikolinieritas.

4. Uji Hipotesis
47

Untuk melakukan pengujian hipotesis, dapat dilakukan dengan cara uji F

dan uji t (parsial). Uji F digunakan untuk menguji kelayakan model persamaan

penelitian, apakah variabel dependen dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel

independen. Sedangkan uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel-

variabel independen mempengaruhi variabel dependennya. Langkah-langkah yang

dilakukan adalah sebagai berikut:

a) Perumusan Hipotesis

H0 : β i = 0

Variabel bebas tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat

H1 : β i ≠ 0

Variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat

Dimana i adalah 1, 2, 3,4 dan 5

b) Menentukan Level of Significant atau α = 0,05

c) Mengambil Keputusan dengan Kriteria:

(1) Uji F (Kelayakan Model)

Ho: β1, β2 , β3, β4, β5 = 0, artinya tidak terdapat pengaruh yang

signifikan variabel independen (tingkat likuiditas, tingkat leverage, tingkat

profitabilitas, ukuran perusahaan, dan status modal) untuk dapat

menjelaskan variabel dependen (kelengkapan pengungkapan laporan

keuangan). Ha: β1, β2, β3, β4, β5 ≠ 0, artinya terdapat pengaruh yang

signifikan secara bersama-sama dari seluruh variabel independen terhadap

variabel dependen.
48

Jika tsig > α maka H0 gagal ditolak. Variabel independen (tingkat

likuiditas, tingkat leverage, tingkat profitabilitas, ukuran perusahaan, dan

status modal) tidak dapat menjelaskan variabel dependen (kelengkapan

pengungkapan laporan keuangan)

Jika tsig ≤ α maka H1 diterima dan H0 ditolak. Seluruh variabel

independen (tingkat likuiditas, tingkat leverage, tingkat profitabilitas,

ukuran perusahaan, dan status modal) dapat menjelaskan variabel

dependen (kelengkapan pengungkapan laporan keuangan)

(2) Uji t (Parsial)

Ho: β1, β2, β3, β4, β5 = 0, artinya tidak terdapat pengaruh yang

signifikan secara bersama-sama dari tiap variabel inependen secara satu

persatu (individu) (tingkat likuiditas, tingkat leverage, tingkat

profitabilitas, ukuran perusahaan, dan status modal) mempunyai pengaruh

terhadap variabel dependen (kelengkapan pengungkapan laporan

keuangan). Ha : β1, β2 , β3, β4, β5 ≠ 0, artinya terdapat pengaruh yang

signifikan secara bersama-sama dari seluruh variabel independen terhadap

variabel dependen.

Jika tsig > α maka H0 gagal ditolak. Satu persatu (individu)

variabel independen (tingkat likuiditas, tingkat leverage, tingkat

profitabilitas, ukuran perusahaan, dan status modal) tidak mempunyai

pengaruh terhadap variabel dependen (kelengkapan pengungkapan laporan

keuangan)
49

Jika tsig ≤ α maka H1 diterima dan H0 ditolak. Satu persatu

(individu) variabel independen (tingkat likuiditas, tingkat leverage, tingkat

profitabilitas, ukuran perusahaan, dan status modal) mempunyai pengaruh

terhadap variabel dependen (kelengkapan pengungkapan laporan

keuangan)

You might also like