You are on page 1of 5

Melawan dengan Kincir Air Dusun

(Kompas, Rabu 8 September)

Awalnya menjadi cibiran dan sinis dipandang. Namun, setelah dusun


di tengah perkebunan dan persawahan itu terang-benderang di
tengah gelap malam, warga pun memberi dukungan. Mahasiswa
dan pihak yang ingin belajar pun berdatangan, mengalir seperti air
yang menggerakan kincir penghasil energi untuk penerangan.

Ketidakpastian dan ketidakberdayaan berhadapan dengan


pemerintah yang secara periodik menaikkan tarif dasar listrik tanpa
persiapan membuat warga Dusun Singosaren, Desa Wukirsari,
Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, berpikir soal kemandirian. Tidak total
memang, tetapi upaya itu cukup meringankan.
Dengan perkakas-perkakas bekas, seperti drum, gir, gardan mobil,
dan rantai motor, telah diproduksi listrik 1.700 watt. Kini, sekitar 100
titik lampu mampu dinyalakan saat malam hari. Dengan penerangan
memadai, keamanan dusun yang terletak di perkebunan dan
persawahan itu bisa diandalkan.
“Jika dinominalkan, modal awal untuk pembangunan kincir air sekitar
Rp 20 juta. Sumbangan warga bisa berupa uang dan barang bekas
yang kemudian bisa kami pakai,” kata Mutohar (50), ketua pengelola
kincir air Dusun Singsosaren, Bantul, akhir Juli.
Warga dusun mengawali proyek kemandirian itu pada pertengahan
tahun 2007. Saat harga minyak mentah melambung tinggi dan
membuat pemerintah minta dimaklumi untuk menaikkan tarif dasar
listrik, warga Dusun Singosaren bersiasat tanpa banyak mengeluh.
Warga Dusun sadar, kenaikan tarif dasar listrik akan terjadi terus-
menerus.
“Dari kesadaran itu, kami mulai berpikir mencari energi listrik
alternatif. Setelah melihat kondisi anak sungai dari irigasi Sungai
Opak, kami pun berpikir membuat kincir air,” kata Mutohar.

TANPA INSINYUR
Meski tak ada insinyur di antara warga dusun, kincir air mampu
diciptakan dalam waktu tiga bulan. Kerja kemandirian 12 warga
dusun ini dituntun logika. Teori-teori khusus tentang pembangkit
energi yang dipelajari para insinyur di bangku kuliah tidak mereka
kenal. Sejumlah percobaaan dilakukan hingga energi listrik dihasilkan
setelah tiga bulan.
Untuk percobaan dengan bimbingan logika itu, mereka sempat gagal
dua kali. Saat pertama kincir air dibangun dan diuji coba, tidak
dihasilkan listrik meski kincir bisa berputar. Setelah dilakukan
sejumlah perbaikan, kemajuan didapat. Meskipun demikian, energi
listrik yang dihasilkannya masih sangat kecil, yakni 10 watt. Energi
listrik yang dihasilkan pada uji coba kedua dinilai tidak banyak
memberi manfaat.
Masih bertumpu pada dua kegagalan, percobaan ketiga dilakukan.
Dua kali kegagalan tak membuat mereka menyerah. Usaha mereka
tidak sia-sia. Pada percobaan ketiga, listrik hingga 1.700 watt mampu
dihasilkan dari kincir air.
Kelegaan hadir mendapati hasil. Sesuai dengan kesepakatan warga
dusun, listrik yang dihasilkan dimanfaatkan untuk penerangan dusun,
bukan untuk keperluan rumah tangga. “Kalau dipakai rumah tangga,
kami khawatir menimbulkan kecemburuan satu sama lain karena
penggunaan listriknya tidak sama, “ ujar Mutohar.
Karena penggunaannya untuk penerangan dusun, kincir air mulai
dioperasikan sekitar pukul 18.00 atau setelah matahari terbenam
sampai subuh. Pada siang hari, kincir air juga dioperasikan jika ada
permintaan warga memarut kelapa dengan mesin atau membubut
kayu. Dengan layanan jasa itu, biaya operasional dan perawatan
kincir air dapat ditutupi. Alat pemarut kelapa dan mesin bubut kayu
merupakan bantuan Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Karena sudah ada sumber pendapatan untuk operasional dan
perawatan, kami tak pernah minta iuran apa pun dari warga, pihak
dusun, ataupun pihak desa,” ujarnya.
Alat bubut kayu dari UGM juga menciptakan lapangan kerja bagi
sebagian warga dusun. Dengan alat itu, usaha kerajinan dari bahan
dasar kayu sono keling dikembangkan. Aneka aksesori, seperti asbak,
pigura, dan tempat tisu, mereka buat sebagai pekerjaan untuk
penghasilan tambahan.

100 TITIK LAMPU


Dari kincir air yang dioperasikan, 100 titik lampu di jalan-jalan umum
mampu menyala terang. Untuk jaringan lampu jalan itu, warga dusun
menggunakan kabel telepon karena harganya lebih murah. Tiga rol
atau sepanjang 1.500 meter kabel dihabiskan.
Untuk membuat kincir air berdiameter dua meter, mereka
menghabiskan tujuh drum. Untuk dinamo, mereka meminjam pada
kelompok peternak kambing. Kincir berputar setelah sungai yang
lebarnya sekitar 1,5 meter dibendung menggunakan dua pintu
penutup air. Pintu sengaja dibuat dua supaya putaran kincirnya lebih
kencang agar energi listrik yang dihasilkan juga besar.
Karena memanfaatkan kincir air, lampu penerangan jalan dusun tak
pernah padam seperti listrik produksi Perusahaan Listrik Negara
(PLN). Suasana yang selalu terang di malam hari membuat situasi
keamanan di Dusun Singosaren terjaga. Di setiap ruas jalan, meski di
daerah perkebunan atau persawahan, lampu menyala benderang.
Mugiyono, sekretaris pengelola kincir air, mengatakan, sebelumnya,
suasana Dusun Singosaren gelap gulita pada malam hari karena
minimnya penerangan. Warga enggan memasang penerangan di
jalan umum (PJU) karena tagihan listriknya memberatkan.
Pemasangan penerangan jalan umum oleh Pemerintah Kabupaten
Bantul juga sangat minim. Padahal, setiap kali membayar rekening
listrik, warga dibebani pajak 8 persen dari nilai rekening untuk
penerangan jalan.
Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bantul
Suharso mengaku, pengadaan PJU terakhir diadakan 2008. Pihaknya
baru fokus di daerah perkotaan dan daerah wisata. Saat ini terdapat
2.439 titik PJU dengan daya berkisar 150-250 watt. Jumlah PJU
tersebut sangat minim dibandingkan daerah lain. Di Sleman,
misalnya, jumlahnya berkisar 10.000 titik.
Penerimaan pajak penerangan PJU di Bantul tercatat Rp 13,8 miliar
per tahun. Dari uang itu, biaya untuk membayar rekening PJU dan
gedung-gedung pemerintah hanya habis Rp 8,8 miliar. Padahal, pajak
PJU seharusnya dikembalikan sepenuhnya untuk penerangan jalan
yang menjadi hak masyarakat.
Minimnya pengadaan PJU oleh pemkab memicu munculnya PJU-PJU
ilegal dengan nyantol kabel PLN, khususnya di daerah pedesaan. PLN
Area Bantul mengklaim kerugian Rp 40 juta per bulan akibat PJU
ilegal. “Hal itu bisa diketahui dari tingginya PJU ilegal. Sebagian besar
terjadi di wilayah dusun-dusun yang memang situasinya gelap.
Warga membuat penerangan dengan mencuri aliran listrik sehingga
biayanya tidak masuk dalam rekening mereka,” kata Yudono, staf
pelayanan pelanggan PLN area Bantul.
Mugiyono mengatakan, penerangan PJU sangat penting bagi
masyarakat desa karena banyak mengembangkan usaha ternak.
Suasana terang di tengah malam karena lampu jalan sangat
dibutuhkan untuk menekan tindak pencurian.

CIBIRAN
Pada awalnya, proyek warga Dusun Singosaren dilihat sinis oleh
warga. Tim pembuat kincir sering kali dicibir karena dinilai aneh.
“Mereka tidak yakin dengan usaha kami. Namun, setelah kami
berhasil membuktikannya, mereka pun sangat antusias memberi
dukungan,” katanya.
Kini keberadaan kincir air di Dusun Singosaren sering menjadi tujuan
bagi mahasiswa yang ingin menggelar kuliah kerja nyata. Mereka
ingin menggali informasi soal teknologi kincir air. Tak hanya
mahasiswa strata satu, tetapi juga strata dua. “Kemarin ada
mahasiswa S-2 UGM yang tesisnya soal kincir air. Dia meminta kami
membuat kincir sesuai teori yang dipelajarinya. Meski tenaganya
lebih besar, kincir yang lama kami pensiunkan sebagai bentuk
penghargaan bagi mahasiswa UGM tersebut,” paparnya.
Upaya masyarakat Dusun Singosaren adalah bentuk kemandirian
yang lahir dari perlakuan semena-mena pemerintah menaikkan TDL
seperti Juli lalu. Kenaikan itu tentunya makin menambah beban.
Namun, bagi warga Dusun Singosaren, beban tersebut sedikit
berkurang karena teknologi kincir air yang dibangun dari
kemandirian.
Tidak ada keluhan, apalagi minta pemakluman karena
ketidakberdayaan, seperti dipertontonkan pemilik kekuasaan dan
pengambil kebijakan. Warga Dusun Singosaren melawan dengan
kemandirian. (ENY)

You might also like