Professional Documents
Culture Documents
TANPA INSINYUR
Meski tak ada insinyur di antara warga dusun, kincir air mampu
diciptakan dalam waktu tiga bulan. Kerja kemandirian 12 warga
dusun ini dituntun logika. Teori-teori khusus tentang pembangkit
energi yang dipelajari para insinyur di bangku kuliah tidak mereka
kenal. Sejumlah percobaaan dilakukan hingga energi listrik dihasilkan
setelah tiga bulan.
Untuk percobaan dengan bimbingan logika itu, mereka sempat gagal
dua kali. Saat pertama kincir air dibangun dan diuji coba, tidak
dihasilkan listrik meski kincir bisa berputar. Setelah dilakukan
sejumlah perbaikan, kemajuan didapat. Meskipun demikian, energi
listrik yang dihasilkannya masih sangat kecil, yakni 10 watt. Energi
listrik yang dihasilkan pada uji coba kedua dinilai tidak banyak
memberi manfaat.
Masih bertumpu pada dua kegagalan, percobaan ketiga dilakukan.
Dua kali kegagalan tak membuat mereka menyerah. Usaha mereka
tidak sia-sia. Pada percobaan ketiga, listrik hingga 1.700 watt mampu
dihasilkan dari kincir air.
Kelegaan hadir mendapati hasil. Sesuai dengan kesepakatan warga
dusun, listrik yang dihasilkan dimanfaatkan untuk penerangan dusun,
bukan untuk keperluan rumah tangga. “Kalau dipakai rumah tangga,
kami khawatir menimbulkan kecemburuan satu sama lain karena
penggunaan listriknya tidak sama, “ ujar Mutohar.
Karena penggunaannya untuk penerangan dusun, kincir air mulai
dioperasikan sekitar pukul 18.00 atau setelah matahari terbenam
sampai subuh. Pada siang hari, kincir air juga dioperasikan jika ada
permintaan warga memarut kelapa dengan mesin atau membubut
kayu. Dengan layanan jasa itu, biaya operasional dan perawatan
kincir air dapat ditutupi. Alat pemarut kelapa dan mesin bubut kayu
merupakan bantuan Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Karena sudah ada sumber pendapatan untuk operasional dan
perawatan, kami tak pernah minta iuran apa pun dari warga, pihak
dusun, ataupun pihak desa,” ujarnya.
Alat bubut kayu dari UGM juga menciptakan lapangan kerja bagi
sebagian warga dusun. Dengan alat itu, usaha kerajinan dari bahan
dasar kayu sono keling dikembangkan. Aneka aksesori, seperti asbak,
pigura, dan tempat tisu, mereka buat sebagai pekerjaan untuk
penghasilan tambahan.
CIBIRAN
Pada awalnya, proyek warga Dusun Singosaren dilihat sinis oleh
warga. Tim pembuat kincir sering kali dicibir karena dinilai aneh.
“Mereka tidak yakin dengan usaha kami. Namun, setelah kami
berhasil membuktikannya, mereka pun sangat antusias memberi
dukungan,” katanya.
Kini keberadaan kincir air di Dusun Singosaren sering menjadi tujuan
bagi mahasiswa yang ingin menggelar kuliah kerja nyata. Mereka
ingin menggali informasi soal teknologi kincir air. Tak hanya
mahasiswa strata satu, tetapi juga strata dua. “Kemarin ada
mahasiswa S-2 UGM yang tesisnya soal kincir air. Dia meminta kami
membuat kincir sesuai teori yang dipelajarinya. Meski tenaganya
lebih besar, kincir yang lama kami pensiunkan sebagai bentuk
penghargaan bagi mahasiswa UGM tersebut,” paparnya.
Upaya masyarakat Dusun Singosaren adalah bentuk kemandirian
yang lahir dari perlakuan semena-mena pemerintah menaikkan TDL
seperti Juli lalu. Kenaikan itu tentunya makin menambah beban.
Namun, bagi warga Dusun Singosaren, beban tersebut sedikit
berkurang karena teknologi kincir air yang dibangun dari
kemandirian.
Tidak ada keluhan, apalagi minta pemakluman karena
ketidakberdayaan, seperti dipertontonkan pemilik kekuasaan dan
pengambil kebijakan. Warga Dusun Singosaren melawan dengan
kemandirian. (ENY)