You are on page 1of 12

Analisis laporan Keuangan United Tractors Tbk

A. Sudut Pandang Manajemen

Manajemen adalah pihak yang paling dekat dengan perusahaan dari sudut pandang
sehari-hari yang juga bertanggungjawab untuk prestasi jangka panjang dari perusahaan,baik
apakah mereka manajer professional ataukah pemilik/manajer. Manajer tersebut
bertanggungjawab dan bertanggunggugat atas efisiensi operasi, profitabilitas jangka pendek
dan panjang, dan penggunaan yang efektif atas modal, upaya manusia dan sumber daya
lainnya.

Manajemen mempunyai kepentingan ganda dalam analisis prestasi keuangan


perusahaan, yaitu menilai efisiensi dan profitabilitas operasi, dan menimbang seberapa efektif
penggunaan sumber daya perusahaan. Penilaian atas operasi sebagian besar berdasarkan
analisis atas laporan operasi (laba), sedangkan efektifitas penggunaan sumber daya biasanya
diukur dengan mengkaji ulang baik neraca maupun laporan laba rugi.

Dalam tulisan ini, kami menganalisis laporan keuangan United Tractors Tbk kurun
waktu lima tahun terakhir, yaitu dari tahun 2005-2009, Adapun analisis laporan keuangan
United Tractors Tbk dipandang dari sudut pandang manajemen adalah sebagai berikut :

1) Analisis operasional

a) Gross Profit Margin (GPM) / Marjin laba bruto

Tahun GPM

2005 19,58%

2006 17,35%

2007 17,88%

2008 19,71%

2009 22,81%
Tabel diatas adalah Gross Profit Margin dari United Tractors Tbk selama lima tahun
terakhir. Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa pada tahun 2009, marjin laba bruto united
tractors adalah 22,81%. Ini berarti perusahaan menghasilkan laba kotor sebesar Rp 0,2281
untuk setiap Rp1 penjualannya.

Marjin laba bruto United Tractors dari tahun 2005-2009 mengalami pasang surut yang
berfariatif. Tahun 2005 ke 2006 United Tractors mengalami penurunan laba kotor sebesar
2,23%. Hal ini menunjukkan bahwa efektifitas manajemen dalam menghasilkan laba atas
penjualan menurun pada tahun 2006. Penurunan ini disebabkan karena peningkatan penjualan
pada tahun 2006, tidak lebih besar daripada peningkatan laba kotornya, dan harga pokok
penjualan yang terlalu besar dibandingkan dengan harga pokok produksinya. Solusinya, pihak
manajemen harus mengeluarkan kebijakan mengenai penetapan harga pokok produksi.
Sebaiknya, harga pokok produksi harus ditetapkan seminimal mungkin, namun tidak sampai
membahayakan perusahaan dengan mengurangi jumlah penjualan.

Dan hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya marjin laba kotor/ GPM united
Tractors Tbk yang mengalami peningkatan antara tahun 2006-2009, yang menunjukkan bahwa
efektifitas manajemen dalam menghasilkan laba atas penjualan meningkat dalam kurun waktu
2006-2009.

GPM
25

20

15 GPM

10

0
2005 2006 2007 2008 2009

b). Operating Profit Margin (OPM) / marjin laba operasi


Tahun OPM

2005 12,88%

2006 9,75%

2007 13,20%

2008 14,90%

2009 17,67%

Perbedaan utama dari OPM dan GPM adalah bahwa dalam penghitungan OPM,
melibatkan laba operasi, yaitu laba kotor yang dikurangi dengan beban-beban operasi
perusahaan. Dari tabel diatas,dapat diketahui bahwa pada tahun terakhir, tahun 2009
perusahaan menghasilkan laba operasi sebesar Rp.17,67 untuk setiap Rp.1 penjualannya.

Pada tahun 2005-2006 marjin laba operasi/ OPM United Tractors mengalami
penurunan sebesar 3,13%, yang menunjukkan bahwa efektifitas manajemen United Tractors
dalam menghasilkan laba usaha atas penjualan menurun. Penurunan ini dapat terjadi karena
harga pokok produksi dan beban-beban operasi yang terjadi terlalu tinggi, sehingga laba
operasi tahun 2006 menjadi terlalu kecil, jika dibandingkan dengan tahun 2005. Sebaiknya
pihak manajemen harus meminimalkan harga pokok produksi dan beban-beban operasi,
namun tidak sampai membahayakan perusahaan dengan mengurangi volume penjualan.

Setelah tahun 2006, operating profit margin perusahaan mengalami kenaikan, yaitu
pada tahun 2007 OPM United Tractors tbk sebesar 3,45%, tahun 2008 mengalami kenaikan ,
tetapi tidak sebesar kenaikan pada tahun 2007, yaitu sebesar 1,7%, dan pada tahun 2009
mengalami kenaikan yang cukup, yaitu sebesar 3,1%. Hal ini menunjukkan bahwa setelah
tahun 2006, perusahaan mengalami kenaikan laba usaha
OPM
20
18
16
14
12 OPM
10
8
6
4
2
0
2005 2006 2007 2008 2009

c). Net Profit Margin (NPM) / Marjin laba bersih

Perhitungan rasio profit margin yang ketiga dan yang paling efektif untuk menghitung
tingkat profit margin adalah Net Profit Margin (NPM), karena merupakan hubungan antara laba
bersih setelah pajak dan penjualan bersih, yang menunjukkan kemampuan manajemen untuk
mengemudikan perusahaan secara cukup berhasil tidak hanya untuk memulihkan harga pokok
persediaan atau jasa, beban operasi (termasuk penyusutan) dan biaya bunga pinjaman, tetapi
juga untuk menyisakan margin tertentu sebagai kompensasi yang wajar bagi pemilik yang telah
menyediakan modalnya dengan suatu risiko Rasio Net Profit Margin pada dasarnya
mencerminkan efektifitas biaya / harga dari kegiatan perusahaan.

Tabel berikut adalah NPM United Tractors selama lima tahun terakhir

Tahun NPM

2005 7,91%

2006 6,78%

2007 8,22%

2008 9,54%

2009 13,05%
Dari tabel diatas, diketahui bahwa united tractors mengalami pasang surut dalam
usahanya, yaitu pada tahun 2006 perusahaan tersebut mengalami penurunan laba bersih,
yang dapat dilihat dari menurunnya NPM dari United Tractors, yaitu sebesar 1,13%. Namun
setelah itu mengalami kenaikan laba bersih pada tahun-tahun berikutnya, yang dapat dilihat
dari kenaikan NPMnya, yaitu pada tahun 2007 meningkat sebesar 1,44%, tahun 2008
meningkat sebesar 1,32% (menurun jika dibandingkan kenaikan NPM pada tahun 2007), dan
pada tahun 2009 NPMnya meningkat sebesar 3,51% menjadi 13,05% yang mempunyai arti
bahwa perusahaan menghasilkan laba bersih sebesar Rp.0,0351 untuk setiap Rp.1
penjualannya.

NPM
14
12
10
8 NPM

6
4
2
0
2005 2006 2007 2008 2009

d). Analisis beban operasi

Berbagai kategori beban secara rutin dihubungkan dengan penjualan bersih.


Perbandinagn ini mencakup antara lainbeban administrasi, beban penjualan dan promosi, dan
beban-beban lain yang merupakan karakteristik dari suatu perusahaan.

Analisis beban operasi dari United Tractors selama lima tahun terakhir adalah
Tahun Rasio beban terhadap penjualan

2005 6,70%

2006 7,61%

2007 4,68%

2008 4,80%

2009 5,14%

Seperti diketahui bahwa beban sifatnya adalah mengurangi pendapatan, maka


semakin banyak beban yang terjadi, semakin menurun laba yang akan kita peroleh. Jadi dari
tahun 2005 ke 2006 rasio beban terhadap penjualan meningkat sebesar 0,91% menunjukkan
bahwa beban yang terjadi waktu tersebut cukup besar tanpa dimbangi oleh peningkatan
penjualan yang malah cenderung menurun dan hal tersebut mempengaruhi laba usaha yang
menjadi turun. Solusinya manajemen perusahaan harus sedapat mungkin meminimalkan
beban-beban yang terjadi dalam roda usahanya. Beban-beban yang dirasa kurang bermanfaat
harus dihapuskan agar laba usaha meningkat. Dan hal ini dapat terlihat pada tahun 2007
dimana rasio beban operasi terhadap penjualan turun sebesar 2,93%, ditahun 2008 naik
namun tidak secara signifikan yaitu 0,12% yang menunjukkan bahwa kenaikan beban juga
diimbangi oleh kenaikan presentase dari penjualan yang menyebabkan laba usaha masuh
mengalami kenaikan, dan pada tahun 2009 naik sebesar 0,34% namun laba masih mengalami
peningkatan, karena kenaikan yang terjadi pada beban-beban juga diimbangi oleh kenaikan
penjualan pada tahun 2009.
Rasio beban terhadap penjualan
8
7
6
5 Rasio beban terhadap
penjualan
4
3
2
1
0
2005 2006 2007 2008 2009

2). Manajemen Sumber Daya

Disini kita akan membahas kefektifan manajemen dalam menggunakan aktiva yang
dipercayakan kepadanya oleh pemilik perusahaan.

a). Asset turnover ratio / perputaran aktiva

Tahun Asset turnover ratio

2005 1,25 kali

2006 1,22 kali

2007 1,39 kali

2008 1,22 kali

2009 1,19 kali

Asset turnover ratio menunjukkan seberapa efektif kemampuan profitabilitas


perusahaan dalam menggunakan aktiva-aktivanya, semakin tinggi rasio ini maka semakin
baik kemampuan perusahaan dalam menggunakan aktivanya untuk memperoleh hasil yang
maksimal.
Dari tabel diatas diketahui bahwa asset turnover ratio perusahaan mengalami naik
turun yang fluktuatif. Pada tahun 2005 ke 2006 perusahaan mengalami penurunan sebesar
0,003 kali menjadi 1,22 kali yang berarti bahwa perusahaan menghasilkan Rp1,22 penjualan
untuk setiap Rp.1 aktivanya. Hali ini menunjukkan sedikit berkurangnya efisiensi perusahaan
dalam menggunakan aktivanya untuk menghasilkan penjualan. Dan pada tahun 2007 asset
turnover ratio perusahaan mengalami kenaikan sebesar 0,17 menjadi 1,39 kali yang berarti
bahwa perusahaan menghasilkan Rp 1,39 penjualan untuk setiap Rp.1 aktivanya. Hal ini
menunjukkan bahwa manajemen dapat mengelola aktivanya secara efisien, sehingga
penjualan dapat meningkat lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan aktivanya.
Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 2008 dan tahun 2009, asset
turnover ratio perusahaan mengalami penurunan menjadi 1,22 kali pada 2008 dan 1,19 kali
pada tahun 2009. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan kurang efektif mengelola
aktivanya sehingga seiring dengan meningkatnya aktiva perusahaan tidak sebanding dengan
peningkatan penjualannya.

Asset turnover ratio


1.45
1.4
1.35
1.3 Asset turnover ratio
1.25
1.2
1.15
1.1
1.05
2005 2006 2007 2008 2009

b). Inventory turnover ratio / perputaran persediaan


Tahun Inventory turnover ratio

2005 6,19 kali

2006 6,04 kali

2007 8,01 kali

2008 6,08 kali

2009 4,89 kali

Rasio perputaran persediaan mengukur berapa kali perusahaan dapat menjual tingkat
rata-rata persediaanya dalam setahun. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa trend perputaran
persediaan cenderung naik turun tiap tahun. Dari tahun 2005 ke 2006 perputaran persediaan
mengalami penurunan sebesar 0,15, berarti bahwa peningkatan persediaan tidak diimbangi
dengan peningkatan harga pokok penjualan, yang disebabkan manajemen kurang efektif
dalam mengelola persediaan. Pada tahun 2007 inventory turnover ratio perusahaan naik
sebesar 1,97 menjadi 8,01 kali per tahun, atau dengan kata lain perusahaan menjual
persediaan rata-rata dalam 44,94 hari (360/8,01). Ini berarti manajemen sudah efektif dalam
mengelola persediaannya, dimana peningkatan persediaan sebanding dengan peningkatan
harga pokok penjualan. Namun setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya perputaran
persediaan mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2008 turun sebesar 1,93 menjadi 6,08
kali dan pada tahun 2009 turun sebesar 1,19 menjadi 4,89 kali per tahun yang berarti
penjualan persediaan rata-rata turun, dan jika dilihat pada tahun 2009 perusahaan menjual
persediaan rata-rata dalam 73,61 hari (360/4,89). Hal ini berarti selama dua tahun terakhir
manajemen kurang efektif dalam mengelola persediaannya, sehingga banyak persediaan
yang menganggur digudang perusahaan.
Inventory turnover ratio
9
8
7
6
Inventory turnover
5 ratio
4
3
2
1
0
2005 2006 2007 2008 2009

c). Average Receivable ratio / periode penagihan rata-rata

Tahun Average receivable ratio

2005 65,32 kali

2006 54,10 kali

2007 59,60 kali

2008 44,77 kali

2009 56,01 kali

Berdasarkan perhitungan pada tabel diatas, diketahui bahwa united tractors


mengalami masa naik turun dalam periode penagihan piutangnya. Tahun 2005 average
receivable ratio adalah 65,32 kali, artinya perusahaan membutuhkan waktu rata-rata 65,32
hari untuk menagih piutangnya, dan di tahun 2006 menurun menjadi 54,10 berarti perusahaan
membutuhkan waktu rata-rata 54,10 hari untuk menagih piutangnya, yang menunjukkan
bahwa perusahaan memiliki kinerja yang baik dalam hal penagihan piutangnya. Namun di
tahun 2007 rasio periode penagihan rata-rata naik menjadi 59,60 kali, yang menunjukkan
bahwa kinerja perusahaan dalam hal penagihan piutangnya menurun. Akibatnya tingkat
likuiditas perusahaan menurun. Peningkatan periode penagihan rata-rata ini disebabkan oleh
peningkatan piutang usaha serta peningkatan penjualan. Hal tersebut tidak berlangsung lama,
karena pada tahun 2008 periode penagihan rata-rata turun lagi menjadi 44,77 yang
menunjukkan manajemen dapat secara efektif mengelola piutangnya sehingga perusahaan
membutuhkan waktu rata-rata 44.77 hari untuk menagih piutangnya. Namun di tahun terakhir,
tahun 2009 perusahaan kembali mengalami kenaikan periode penagihan rata-ratanya yang
menunjukkan manajemen kembali memperlihatkan kinerja yang buruk dalam mengelola
piutangnya.

Average receivable ratio


70
60
50 Average receivable
40 ratio
30
20
10
0
2005 2006 2007 2008 2009

3). Profitabilitas

a). Return On assets (ROA) / hasil pengembalian aktiva

Tahun ROA

2005 14,72%

2006 12,02%

2007 15,75%

2008 16,86%

2009 22,31%
Tabel tersebut memperlihatkan tingkat pengembalian aktiva dari perusahaan. Dapat
dilihat bahwa pada tahun 2005 ke 2006 perusahaan mengalami penurunan ROA sebesar
2,7% menjadi 12,02%. Hal ini berarti bahwa peningkatan aktiva tidak sebanding dengan
peningkatan laba bersih, dan perusahaan mengalami penurunan pengembalian aktiva.
Namun setelah itu, manajemen menunjukkan kinerja yang baik dalam pengelolaan aktiva
yang dapat dilihat dari tahun 2006 sampai ke tahun 2009, perusahaan menunjukkan trend
ROA yang selalu mengalami peningkatan. Terakhir pada tahun 2009, dengan ROA sebesar
22,31%, yang berarti bahwa perusahaan mendapatkan 22,31% pengembalian atas
aktivamya. Hal ini disebabkan karena meningkatnya laba sebelum pajak perusahaan, akibat
adanya peningkatan penjualan perusahaan. Tentunya hal ini dinilai positif bagi perusahaan.

ROA
25
20
15 ROA

10
5
0
2005 2006 2007 2008 2009

You might also like