You are on page 1of 24

Peter Kasenda

Sarwo Edhie Wibowo


Perintis Orde Baru yang Tersisih

Nama Sarwo Edhie Wibowo tidak terlalu berarti apa-apa bagi kebanyakan orang
sampai sebelum peristiwa kudeta Gerakan 30 September 1965. Namanya menjadi begitu
dikenal ketika dia dengan kedudukan strategis sebagai Komandan RPKAD, melalui
momentun yang tepat berhasil melumpuhkan markas Gestapu di Halim, dan
mengeliminasi PKI di Jawa Tengah. Sarwo Edhie Wibowo mempunyai sikap tanpa
kompromi dalam mempertahankan prinsip-prinsip sehingga menjauh dirinya dari pusat
kekuasaaan. Sebagai Komandan RPKAD yang terlalu keras dalam menurunkan Presiden
Soekarno dari kursi kekuasaannya sehingga Sarwo Edhie Wiwobo harus berpindah
tempat jauh dari Jakarta. Sebagai Pangdam Bukit Barisan sikap Sarwo Edhie Wibowo
yang ingin membubarkan PNI karena dianggap menganut ajaran Marxisme dan dekat
dengan Presiden Soekarno, karena pilihannya itu Sarwo Edhie Wibowo harus berpindah
tempat jauh di ujung Timur Indonesia Keberhasilan Sarwo Edhie Wibowo memenangkan
Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat (Irian Jaya) ternyata hanya mengantar Sarwo
Edhie Wibowo menjadi Gubernur AKABRI Umum dan Darat. Sebuah jabatan tanpa
memiliki pasukan dan tanpa ada alasan yang bisa diketahui dengan pasti, Sarwo Edhie
mengundurkan diri sebelum Indonesia diguncang dengan Persitiwa Lima Belas Januari
1974. Sejak itu Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah terlibat dalam dunia militer dan
perjalanan kariernya lebih banyak dihabiskan dalam Kekaryaan. Ketika Sarwo Edhie
Wibowo menjadi calon anggota DPR mewakili Golkar daereh pemilihan Jakarta dengan
nomor urut 1 pada tahun 1987. Ada dugaan kalau Sarwo Edhie Wibowo akan menjadi
orang nomor satu dalam lembaga legislatif tersebut. Ternyata dugaan tersebut meleset,
Sarwo Edhie Wibowo malahan mengundurkan diri dari DPR yang baru disandang belum
sampai tujuh bulan. Perjalanan waktu telah memperlihatkan bahwa semakin jauhnya dari
peristiwa yang menyebabkan nama Sarwo Edhie Wibowo menjadi sedemikian terkenal,
posisi Sarwo Edhie Wibowo selanjutnya, banyak dinilai orang, tidak sepandan dengan
jasa yang dimiklikinya. Tulisan ini sendiri menyoroti sumbangan Sarwo Edhie Wibowo
dalam ikut menegakkan Orde Baru.

Berawal dari Purworejo


Sarwo Edhie Wibwo, lahir di Purworedjo, Jawa Tengah, Sabtu Pon 25 Juli 1925.
Ia anak bungsu dari empat bersaudara keluarga R. Kartowilogo, kepala rumah gadai di
Zaman Belanda. Pekerjan ayahnya adalah gambaran ideal bagi Sarwo Edhie Wibowo,
model seorang pegawai negeri. Namun cita-cita itu kandas, setelah Sarwo Edhie yang
doyan membaca mulai terpesona akan kemampuan serdadu Jepang mengalahkan Rusia di
Manchuria. Juga karena melihat kenyataan bahwa pasukan Jepang menggulung serdadu
serdadu Belanda yang menduduki Nusantara. Oleh karena itu, Sarwo Edhie Wibowo
setelah tamat MULO mohon izin pada ibunya R.A. Sutini Kartowilogo untuk menjadi
Heiho (pembantu tentara). Ibunya menangis, karena dia merupakan anak bungsu dan
gambaran tentang militer ketika itu, mabuk-mabukan, kasar, tinggal di tangsi dan anak-

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 1
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

anaknya tinggal di kolong ranjang. Ketika Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk dididik
menjadi Heiho, selama beberapa hari ibunda tercinta menangis.1

Di asrama, Sarwo Edhie hanya memotong rumput, membersihkan WC dan


mengatur tempat tidur tentara Jepang. Ia nyaris keluar. Tiga bulan di sana, ajudan Kohara
Butai membawa Sarwo Edhie ke Magelang untuk mengikuti latihan calon bintara
Pembela Tanah Air. Belum selesai dididik di sana, ia diboyong ke Bogor buat megikuti
latihan sebagai calon perwira. Ternyata Sarwo Edhie memang berbakat. Ia menjadi salah
satu lulusan Shodancho (Letnan Dua) terbaik, karena itu ia memperoleh pedang samurai
yang agak berbeda. Ketika dia kembali ke Purwokerto, ibunya merasa senang, karena
anaknya menjadi seorang tentara yang terhormat dan gagah.2

Kemampuan militer Sarwo Edhie diuji, setelah Jepang kalah perang melawan
Sekutu. Ketika itu bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya,
mendapat ancaman dengan akan kembalinya Belanda. Para pemuda Indonesia berusaha
mencegah kedatangan kembali Belanda ke Indonesia, tetapi tidak mempunyai senjata.
Untuk memperoleh senjata para pemuda Indonesia (termasuk Sarwo Edhie) terlibat
dalam bentrokan dengan alat kekuasaan Jepang. Di sinilah pertama kalinya pemuda eks
PETA itu diuji ketrampilan militernya bahkan melawan guru-gurunya .Sesudah itu Sarwo
Edhie mengikuti ajakan sahabatnya semasa pendidikan PETA Achmad Yani agar
bergabung dalam Batalyon III Badan Keamanan Rakyat, yang dikomandani oleh Achmad
Yani sendiri. Kemudian Sarwo Edhie pun terlibat dalam pertempuran melawan Sekutu
(yang datang untuk melucuti bala tentara Jepang) yang diboncengi tentara NICA di
Magelang. Kapten Sarwo Edhie yang ketika itu dikenal sebagai Komandan Batalyon V
Brigade IX/Diponogoro bertempur bukan saja melawan kekuatan asing tetapi dia harus
melakukan penumpasan terhadap Pemberontakan PKI-Madiun dan DI/TII di Jawa
Tengah.

Pada saat perang kemerdekaan, Sarwo Edhie selalu menyelipkan sebilah keris
dipinggangnya dan sekaligus membawa mortir 3 inci dipundaknya. Tembakan Sarwo
Edhie senantiasa tepat mengenai sasran karena lewat perhitungan yang matang, yang
diterimanya ketika dididik menjadi tentara. Karena kebisaan membawa sebilah keris itu
menyebabkan ada orang-orang tertentu yang menganggap kalau Sarwo Edhie sebelum
menembak dengan mortir, terlebih dahulu memutar-mutar keris.3 Keberhasilan tak selalu
berpihak pada Sarwo Edhie , ia pun pernah mengalami kegagalan. Ketika terjadi Agresi
Militer II, daerah Kulon Progo , yang merupakan daerah Achmad Yani bergerilya sudah
dibom. Sarwo Edhie dari Pring Surat mencari Komandan Brigade IX/Diponogoro
Achmad Yani daerah yang disebut Wetan Elo dengan cara memecah-mecah menjadi
kecil pasukannya. Ternyata Sarwo Edhie melakukan kesalahan besar dengan pilihan
semacam itu. Anak buah Sarwo Edhie ternyata belum terlatih untuk bergerilya sehingga
banyak yang menangis, bingung dan minta pulang.4

1
Pertiwi No. 62-5 September 1988.
2
Sarinah No. 48-9 Juli 1984.
3
Ibid.
4
Amelia Yani, Achmad Yani Seorang Prajurit TNI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hal. 52-59.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 2
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam dunia militer, Sarwo Edhie menghadapi cobaan yang nyaris membuat
Sarwo Edhie mengundurkan diri dari dunia ketentaraan. Kejadian pertama terjadi pada
masa perang kemerdekaan. Sarwo Edhie bentrok dengan Sukamdani mengenai
kebijaksanaan, yang mana menyebabkan Sarwo Edhie patah semangat dan meninggalkan
kompinya dan akhirnya menganggur di Purworedjo. Komandan Batalyon III, Kapten
Achmad Yani yang mengetahui peristiwa itu menyusul ke Purworedjo untuk mencari
Sarwo Edhie dan mengajak Sarwo Edhie untuk bergabung kembali. Sarwo Edhie tak
kuasa menampik ajakan teman dan atasannya itu. Kejadian serupa tapi tak sama terjadi
pula pada masa sesudah revolusi Indonesia. Sarwo Edhie yang berpangkat Kapten
diturunkan menjadi Letnan Satu, sebagai hukuman dari komandannya yang menganggap
Sarwo Edhie tak becus mengatasi anak buahnya yang tak berdisiplin. Sarwo Edhie
mengundurkan diri dan keinginan tersebut diurungkan setelah mendapat hadrikan serta
wejangan orang tua.5

Setelah pengakuan kedaulatan, karier Sarwo Edhie Wibowo mulai menanjak.


Sarwo Edhie menjadi Komandan Kompi Bantuan Resimen 13, Tentara dan Teritorium IV
Diponogoro (1952-1953) dan Komandan Balatyon 439, T & T IV Diponogoro (1955-
1957). Sarwo Edhie kemudian terpilih sebagai Wakil Komandan Resimen Taruna,
Akademi Militer Nasional (1957-1958) dan Komandan Sekolah Para Komando (sekarang
Kopassus). Sarwo Edhie akhirnya menjadi Komandan RPKAD, yang merupakan masa
paling gemilang dalam perjalanan pengabdian Sarwo Edhie Wibowo ini terhadap
Republik Indonesia.

Pertikaian TNI-AD versus PKI


Menjelang pertenghan tahun 1960-an, posisi PKI semakin kuat karena salah satu
faktornya adalah adanya perlindungan dari Soekarno.Presiden Soekarno sendiri memakai
PKI untuk mengimbangi kekuatan TNI-AD. PKI mulai menlancarkan gerakan ofensif
revolusionernya dengan menuntut agar SOKSI (saingan SOBSI-PKI) dilarang, dan
mendesak tentara (yang menjalankan program Civic Mission) merampingkan organisasi
teritorialnya, khususnya yang ada di pedesaan. Sementara itu, elite TNI-AD pun dituduh
melakukan korupsi dan mengulur waktu dalam kampanye anti-Malaysia. Kemudian
PKI/BTI melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria melalui aksi sepihak yang sengit
dan paling tidak kenal ampun di Jawa dan Bali. Presiden Soekarno dalam pidato
kenegaraan 17 Agustus 1964, kelihatannya membenarkan kebijaksanaan dan sikap yang
diambil PKI tersebut.

Bulan Februari 1965, PKI melontarkan gagasan mengenai perlunya dibentuk


Angkatan Kelima, milisi rakyat yang dipersenjatai dan terdiri dari buruh dan tani. Mereka
juga mengusulkan supaya dalam TNI dibentuk Komisaris Politik yang lazim terdapat di
negara-negara sosialis. KSAB A.H. Nasution dan KSAD Achmad Yani dengan caranya
sendiri menolak gagasan seperti itu. Posisi TNI-AD kembali semakin terdesak dengan
tersebarnya Dokumen Gilchrist, yang isinya antara lain terdapat kata-kata our local army.
Seolah-olah ada kesan persekongkolan antara TNI-AD dengan Inggris–AS untuk merebut

5
Ibid dan JAKARTA-JAKARTA No. 223, 6-12 Oktober 1989.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 3
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kekuasaan negara. Dan ini mencapai puncaknya ketika munculnya desas desus adanya
sekelompok Jendral TNI-AD, yang tergabung dalam Dewan Jendral, akan mengadakan
perebutan kekuasaan negara dan menghancurkan PKI. Sementara itu, tim dokter RRC
yang memeriksa Soekarno mengeluarkan pernyataan bahwa Soekarno, karena
penyakitnya, umurnya tidak lama lagi. Keadaan ini semakin menimbulkan dugaan baik di
kalangan PKI maupun TNI-AD, ada kemungkinan terjadinya kudeta.

Situasi terus dan semakin memanas ketika Harian Rakyat, surat kabar PKI, secara
terbuka mengecam kenaikkan harga besar yang distribusinya berada di tangan TNI-AD.
Kecaman tersebut diikuti dengan demontrasi besar-besaran yang digerakan oleh Pemuda
Rakyat dan Gerwani. TNI-AD menjadi sasaran massa demontrasi, yang dianggap sebagai
bertanggung jawab dalam pelaksanaan distribusi beras dan bahan pokok lainnya.
Menjelang akhir September 1965, agitasi politik mengecam TNI-AD terus berjalan, dan
semakin meningkat. Jendral-jendral TNI-AD dituduh sebagai pencoleng ekonomi,
kapitalis birokrat, koruptor, rekasioner dan agen Nekolim. Bahkan Soekarno sendiri
dalam rapat umum pada tanggal 29 September 1965, mengatakan bahwa ada beberapa
jendral yang dulunya setia tetapi sekarang telah menjadi pelindung unsur-unsur kontra
revolusioner dan untuk itu mereka semua harus dihancurkan.6

Dinihari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September menculik dan membunuh


sejumlah jendral TNI-AD. Komplotan penculik itu melakukan serangan yang sedemikian
mendadak sehingga dengan mudah melumpuhkan pengawal rumah dari para jendral yang
akan diculik itu. Para jendral itu diculik dari rumahnya dengan dalih dipanggil oleh
Presiden Soekarno agar segera ke Istana .Hanya satu orang yang lolos yakni Menko
Hankam KSAB Jendral A.H. Nasution, meskipun demikian putrinya, Ade Irma Suryani
dan ajudannya, yang disangka Jendral A.H.Nasution, Lettu Piere A. Tendean, ikut
menjadi korban.7

Melumpuhkan Markas G-30-S/PKI


Satu jam setelah kejadian tersebut pada pukul 05.00 W.I.B. 1 Oktober 1965.
Sarwo Edhie dibangunkan dari tidurrnya karena kedatangan tamu Kapten Subardi, ajudan
Men/Pangad Achmad Yani , menghadap dan meminta agar Sarwo Edhie berangkat
kerumah Achmad Yani karena sejam sebelumnya atasannya telah diculik oleh sejumlah
anggota Cakrabirawa setelah terlebih dahulu ditembak. Pada awalnya dia berminat
memenuhi permintaan tersebut, tetapi akhirnya diputuskan untuk mengumpulkan seluruh

6
Mengenai pertikaian TNI-AD versus PKI lebih lengkap. Lihat. Yahya A. Muhaimin, Perkembangan
Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), hal.
121-179.
7
Peristiwa itu telah menimbulkan penafsiran yang berbeda. Ada yang menyebutkan sebagai masalah intern
TNI-AD, didalangi PKI dan Presiden Soekarno yang memprakarsai peristiwa tersebut. Secara bertuurut-
turut periksa. B.R.O’G Anderson and Ruth T. McVey, A Prelimanary Analysis of the October 1, 1965
Coup in Indonesia, (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971): Nugroho Notosusanto dan Ismail
Saleh, Tragedi Nasional – Percobaan Kup G 30 S / PKI di Indonesia, (Jakarta: PT Intermassa, 1989 dan
Antonie A.C. Dake, In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communist Between Moscow and Peking,
(Mouton: The Hague, 1973). Penafsiran Gerakan 30 September 1965 didalangi PKI menjadi versi resmi.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 4
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

para perwira yang tinggal di kompleks Cijantung.8 Dan Yon I RPKAD, Mayor C.I.
Santosa. langsung pergi ke Senayan dan menarik pasukannya yang sedang latihan untuk
menyambut HUT ABRI, 5 Oktober 1965, agar segera kembali ke Cijantung. Memang
ada masalah saat itu karena sebagian besar pasukan RPKAD sedang bertugas dalam
konfrontasi dengan Malaysia di perbatasan.9

Pada pukul 07.00 W.I.B, Sarwo Edhie dan sejumlah perwira berkumpul untuk
mendengarkan siaran berita RRI yang mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.
Sarwo Edhie sendiri saat itu mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi kudeta, dan
menduga Soekarno telah disingkirkan mengingat tidak disebut-sebut dalam dewan
tersebut. Meskipun demikian, Sarwo Edhie tidak mengetahui secara pasti siapa yang
berada di balik pembentukan dewan baru. Akhirnya, Sarwo Edhie memerintahkan
delapan orang perwiranya, dengan pakaian preman, untuk menghubungi markas-markas
yang dianggap paling penting seperti Staf Umum AD, Cakrabirawa, Kodam Jaya dan
Kostrad.10

Pasukan RPKAD yang ditarik dari Senayan kemudian dikumpulkan di Lapangan


Merah. C.I. Santosa memerintahkan kepada mereka untuk tidak bergerak terlebih dahulu
sebelum ada perintah dari Sarwo Edhie Jika ada yang melanggar, maka C.I. Santosa
sendiri yang akan menembaknya di tempat.11 Beberapa saat kemudian Sarwo Edhie
datang dan menjelaskan kepada pasukannya mengenai penculikan para jendral TNI-AD.
Menurutnya, ini adalah akibat fitnah dari salah satu partai politik. Sementara itu
kedudukan baik lawan maupun kawan tampaknya belum diketahui secara jelas. Tetapi
yang pasti, dia menegaskan, pasukan RPKAD siap di tempat dan wajib mencarinya.12

Pada saat yang menegangkan Kapten Herman Sarens Sudiro, dengan memakai
panser, datang menghadap Sarwo Edhie dengan membawa sepucuk surat dari
Pangkostrad Mayor Jendral Soeharto.”Keadaan sangat gawat Untuk sementara
pimpinan Angkatan Darat saya ambil oper. Harap pasukan dikonsinyir dan segera
temui saya.“ demikian isi surat tersebut. Namun demikian, Sarwo Edhi tidak langsung
percaya mengingat Herman Sarens Sudiro bukanlah anggota pasukan Kaveleri yang
memiliki hak memakai kendaraan lapis baja. Dia menduga surat tersebut diperoleh
dengan cara menodong Soeharto, dan akibatnya Herman Sarens Sudiro dilucuti dan

8
Cerita Sarwo Edhie mengenai 1 Oktober 1965, Jawa Pos, 1 Oktober 1987. Ada pendapat yang berbeda
mengenai kedudukan Sarwo Edhie Wibowo di RPKAD ketika itu. Ada yang menyebutkan Sarwo Edhie
Wibowo sebagai Penjabat Komandan RPKAD dan ada pula yang menyebutkan sebagai Komandan
RPKAD. Lihat. Hasya W. Bachtiar, Siapa Dia TNI-AD, (Jakarta: PT Djambatan, 1968) dan Tempo, Apa &
Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984, (Jakarta: Grafitipers, 1984.
9
Sebenarnya Pangkopur IV Kostrad, Brigjen Supardjo menginginkan agar pasukan RPKAD yang tersisa
dikirim ke daerah pervatasan tetapi ditolak RPKAD karena di sama tidak menunjukkan adanya kegiatan
yang berarti. (Wawancara dengan C.I. Santosa - di Jakarta, 23 Oktober 1992). Ketika itu kekuatan TNI-AD
di Jawa terlalu lemah karena ada 47 baralyon infanteri bertugas di Sumatra dan Kalimantan dan 17
batalyon lainnya bertugas di Sulawesi. B. Wibowop dan Banjar Chaerudin, Memori Jendral Yoga, (Jakarta:
PT Bina Rena Pariwara, 1990), hal. 152.
10
Jawa Pos, loc. cit.
11
Wawancara dengan C.I. Santosa.
12
Editor No. 11/Thn III/18 November 1989.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 5
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ditahan.13 Satu jam kemudian, Kapten Daryono, kurir yang diperintah Sarwo Edhie untuk
memantau situasi Kostrad, menghadap dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah Herman Sarens dibebaskan, dengan segera Sarwo Edhie pergi ke Kostrad untuk
menghadap Soeharto.14

Selanjutnya Sarwo Edhie mengadakan pembicaraan dengan Soeharto mengenai


kemungkinan penyerangan ke RRI dan Kantor Telekomunikasi (Telkom - yang diduduki
oleh komplotan Overste. Untung. Kemudian Sarwo Edhie kembali ke Cijantung dan di
sana Sarwo Edhie memerintahkan prajurit RPKAD untuk menyetop truk untuk
mengangkut pasukan. Kira-kira pukul 13.30 pasukan RPKAD (Kompi Urip. Kayak.
Tanjung. Sungkaryo, Muhadi, Sembiring. Edi Sudrajat dan Ramelan). Alasan yang
dikemukakan Sarwo Edhie adalah untuk menjaga semangat para prajurit agar tidak putus
asa.15

Pada sore hari, Sarwo Edhie mendapat perintah untuk menguasai RRI dan Telkom
sebelum pukul tujuh malam. Ketika ditanya oleh Soeharto berapa waktu yang diperlukan
untuk menduduki RRI dan Telkom, dia menjawab sekitar 20 menit. Setelah menjawab
Kol. Sarwo Edhie pun bingung sendiri dengan jawabannya. Bagaimana mungkin mampu
merebut dua obyek vital tersebut dalam waktu sesingkat itu.16 Sementara itu, Batalyon
530/Brawijaya, yang diperalat Overste. Untung untuk menjaga Istana, telah kembali ke
Kostard atas pendekatan Soeharto, meskipun satu kompi telah berada di Halim.
Kemudian, Batalyon 545/Diponogoro menjelang pukul 18.00 W.I.B. meninggalkan
istana menuju ke Halim, namun ada dua kompi akhirnya memisahkan diri dan
selanjutnya bergabung dengan Kostrad. Menjelang magrib, Kompi Kapten Heru
menyerang Telkom, sedangkan Kompi Kapten Urip menyerbu RRI. Ternyata kedua
kompi tersebut, tidak menghadapi perlawanan berarti Anak buah Untung nyatanya telah
melarikan diri. Operasi ini berjalan lebih singkat dari waktu yang diperkirakan dan
ternyata juga tidak ada sebutir peluru pun yang harus dilepaskan.17

Di tengah malam ketika Soeharto sedang memikirkan langkah berikutnya Sarwo


Edhie tiba-tiba muncul dan menanyakan kepastian pelaksanan menguasai Halim. KSAB
A.H. Nasution yang duduk di kursi sambil meletakkan satu kakinya, yang sakit, di atas
meja, menyela, ”Sarwo Edhie, jij mau bikin tweede Mapanget ya?“. Soeharto yang
sedang berpikir saat itu langsung memerintahkan Sarwo Edhie untuk segera melakukan
operasi penyerangan.18 Bersamaan dengan itu, Markas Kostrad dipindahkan ke Senayan
sehubungan adanya informasi kalau AURI akan melakukan pemboman. Dua kompi Para
Pomad di bawah Letkol. Norman Sasono yang mengamankan Kostrad dan keluarga
Pangkostrad sejak pagi hari, mengawal kepindahan pimpinan Kostrad ke Senayan. Di
sana sudah ada sejumlah kompi dari Batalyon 328 Kujang/Siliwangi yang berjaga-jaga.19

13
Sarinah, loc. cit.
14
Ibid.
15
G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto – Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT Citra
Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 123-125.
16
Jawa Pos, loc. cit.
17
G. Dwipayana dan Ramdhan KH, ibid., hal. 127.
18
Cerita Sarwo Edhie Wibowo mengenai1 Oktober 1965, Sinar Harapan, 28 September 1984.
19
Cerita Norman Sasono mengenai 1 Oktober 1965, Merdeka, 1 Oktober 1990.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 6
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dan Yon I RPKAD, Mayor C.I. Santosa, sebagai komandan penyergap, segera
mengatur strategi. Batalyon 328 Kujang dan pasukan tank diperintahkan lalu-lalang di
jalan utama untuk menarik perhatian. Penyerangan itu sendiri dilakukan lewat Klender
karena jika melalui Bogor di sana ada beberapa markas militer yang belum ketahuan
sikap kesatuannya terhadap Gerakan 30 September. Di Klender ada jalan sejajar menuju
Halim yang biasanya dipakai latihan militer oleh RPKAD. Mayor C.I. Santosa
memerintahkan pasukannya untuk melakukan manuver menghambat kemungkinan
digunakannya pesawat-pesawat terbang oleh pihak musuh.20 Pasukan itu sendiri, yang
diangkut dengan truk, mendapat kawalan ketat dari beberapa panser.21 Akhirnya
pertempuran antara RPKAD dan pendukung Gerakan 30 September, tidak dapat dihindari
lagi. Di saat pertempuran masih berlangsung dan pasukan Untung mulai terdesak, Sarwo
Edhie ingin menemui Presiden Soekarno. Keinginan ini menimbulkan dillema bagi C.I.
Santosa karena di satu pihak, dia harus memimpin pertempuran, namun di pihak lain, dia
harus juga menjaga keselamatan atasannya.22 Ketika panser yang dinaiki Sarwo Edhie
baru saja bergerak beberapa menit, tiba-tiba dari arah yang berlawanan datang Jeep
Toyota, mengibarkan bendera putih, dengan penumpangnya Komodor Dewanto.
Kemudian terjadi pembicaraan yang intinya Komodor Dewanto menginginkan adanya
gencatan senjata, sedangkan Sarwo Edhie mangatakan bahwa pasukan hanya tunduk pada
pimpinan tertinggi. Akhirnya Sarwo Edhie setuju untuk memenuhi permintaan Dewanto
agar menemui Laksamana Muda Sri Mulyono Herlambang. Melalui Sri Mulyono
Herlambang, Sarwo Edhie mendapat penjelasan bahwa ada panggilan dari Presiden
Soekarno. Kemudian, Sarwo Edhie, Dewanto, Sri Mulyono Herlambang dan dua pilot,
dengan memakai helikopter, menuju ke istana menemui Presiden Soekarno yang telah
meninggalkan Halim pada malam hari.23

Sarwo Edhie menunggu selama satu jam karena Presiden sedang menerima
Panglima Divisi Siliwangi, Ibrahim Adjie. Setelah bertemu, Sarwo Edhie mendapat
penjelasan dari Soekarno bahwa saat ini Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata berada
di tangannya. Selanjutnya, Soekarno menjelaskan bahwa apa yang terjadi terhadap para
jendral TNI-AD tersebut hanyalah setitik ombak di lautan revolusi. Di saat Sarwo Edhie
menyatakan bahwa Komandan Batalyon 545 akan meletakkan senjata jika ada surat dari
presiden, maka Soekarno melalui ajudannya Brigjen Sabur, memerintahkan untuk
menyiapkan nota kepada Brigjen Supardjo, yang dalam Gerakan 30 September bertindak
sebagai Wakil Komandan . Sarwo Edfhie setengah tidak percaya mendengar apa yang
20
Wawancara dengan C.I. Santosa.
21
Di daerah Pangkalan Udara Halim ada beberapa pos. Kelompok Central Komando yang semula
menganbil menepati gedung Penas, dan kemudian pindah ke rumah Srsan Udara Anis Sujatno. Kelompok
Aidit dan pembantu-pembantunya menempati rumah Sersan Satu Udara Suwardi. Kelompok Presiden
Soekarno dan pembantu-pembantunya, yang baru tiba pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari dan
menempati rumah Komdor Udara Susanto. Kelompok Omar Dhani yang menempati Kops AU dan
Kelompok Lettu Dul Arief dengan pasukan penculiknya berada di daerah Lubang Buaya.
22
Wawancara dengan C.I. Santosa. Kepergian Sarwo Edhie Wibowo menemui Presiden Soekarno pernah
menjadi bahan pembicaraan dan menyebabkan Sarwo Edhie mencoba meluruskan masalahnya (wawancara
dengan Marsilam Simandjuntak, di Jakarta, 23 Oktober 1992). Sebenarnya Sarwo Edhie tak mengetahui
kalau Presiden Soekarno telah meninggalkan Halim menuju ke Istana Bogor.
23
Penjelasan Sarwo Edhie mengenai Film Pengkhianatan G 30 S / PKI, Sinar Harapan, 30 September
1984.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 7
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

baru didengarnya. Dia menanyakan kepada Soekarno mengenai bagaimana hirarkinya


sehingga perintah tersebut diberikan kepada Supardjo? Soekarno menjawab bahwa
masalah hirarki itu bukan soal, karena Supardjo adalah komandan dari seluruh pasukan
yang ada di Halim. Akhirnya, Sarwo Edhie mendapat tembusan surat perintah dari
Presiden Soekarno, sedangkan aslinya diberikan kepada Sri Mulyono Herlambang untuk
diserahkan kepada Supardjo.24

Kolonel Sarwo Edhie yang kecewa dengan perkataan Soekarno yang menganggap
ringan nasib para jendral tersebut, kembali ke Halim. Setibanya di sana kegiatan tembak-
menembak telah berhenti. Sebagian Batalyon 454 menyerahkan diri, dan sisanya lari dari
Halim. Di saat pasukan pendukung Gerakan 30 September yang menyerah tahu bahwa
lawan mereka adalah bekas instruktur yang baru saja melatih mereka di Batujajar, mereka
kelihatan terkejut dan kemudain saling berangkulan. Sebagai anak buah memang sulit
bagi mereka untuk menolak perintah atasannya yang terlibat dalam gerakan tersebut
Dalam pertempuran yang baru berlangsung ini, telah gugur satu orang dari pasukan
penyergap, sedangkan dari pihak Angkatan Udara meninggal dua orang.25

Pada hari yang sama, di Istana Bogor terjadi pembicaraan antara Presiden
Soekarno dengan Pangkostrad Soeharto dan merupakan permulaan dari serangkaian
panjang pertentangan-pertentangan yang berlangsung selama dua tahun selanjutnya.
Walaupun Soekarno berusaha mengecilkan arti peristiwa berdarah itu itu sebagai suatu
kejadian yang biasa dalam revolusi, namun inti persoalan itu sesungguhnya adalah
pertentangan politik dengan segala akibat-akibatnya yang jauh. Pada hari berikutnya
wakil dari partai-partai politik dan organisasi massa diundang rapat, bertempat di Mabes
KOTI. PKI, Partindo dan PNI golongan Ali-Surachman tak hadir. Mayjen Sutjipto S.H.
Ketua Gabungan V KOTI, memberi penjelasaan kepada hadirin. Kemudian menanyakan
pilihan, apakah memilih Komunis atau Angkatan Darat. Dan kebulatan tekad tercapai
untuk berdiri di belakang Mayor Jendral Soeharto dan Angkatan Darat.26

Tanggal 3 Oktober 1965 siang hari, pasukan RPKAD mulai mencari jenazah para
jendral; TNI-AD. Pencarian ini dibantu oleh seorang polisi, Sukitman yang pernah ikut
ditawan tetapi dapat meloloskan diri dari pasukan Gerakan 30 September. Akhirnya
diketemukan markas komplotan gerakan, tempat yang digunakan untuk membunuh para
jendral itu, di sekitar Lubang Buaya, pinggiran Pangkalan Udara Halim. Demikian juga
dengan sumur kecil yang dipakai untuk mengubur para jendral. Mengingat sudah larut
malam. Upacara pencarian tersebut ditunda. Besoknya, di bawah komando C.I. Santosa,
operasi pencarian dan penggallian terus dilanjutkan, dengan mendapat bantuan dari
Kesatuan Inti Para Amphibi dari KKO AL.27
Penggalian jenazah para jendral TNI-AD itu diliput televisi tentunya dengan
harapan agar massa rakyat yang terbakar menaruh simpati dan berpihak kepada TNI-AD.
Pada hari HUT ABRI iring-iringan jenazah para jendral TNI-AD disaksikan oleh ratusan
24
A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 6, (Jakarta: CV Gunung Agung, 1989), hal. 248-250.
25
Sinar Harapan, 28 September 1984. Menurut Sarwo Edhie Wibowo pada tahun 1969, sebenarnya korban
pertempuran di Halim tidak pernah diumumkan langsung setelah kejadian itu. O.G. Roeder, Anak Desa
Biografi Presiden Soeharto, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1976), hal. 48.
26
O.G. Roeder, ibid., hal. 48-49.
27
Wawancara dengan C.I. santosa.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 8
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ribu yang sedih sepanjang jalan menuju Taman Makam Pahlawan. Pada hari yang sama,
NU di Jakarta menuntut agar PKI dengan ormas bawahannya dilarang serta dibubarkan
dan kemudian diikuti oleh Perti, Partai Katolik dan PNI pimpinan Hardi. Presiden
Soekarno dalam sidang kabinet yang diadakan pada tanggal 6 Oktober 1965 di Bogor,
mencoba membendung gelombang perasaan anti PKI dengan menyatakan harapannya
agar rakyat tidak saling tuduh sehingga membahayakan persatuan nasional, karena itu
yang diharapkan oleh Nekolim. Kematian para jendral yang dianggap Presiden Soekarno
sebagai riak gelombang dalam Samudra Revolusi hanya membuah marah TNI-AD saja.
Setelah sidang kabinet, TNI-AD melancarkan kampanye tanpa mengindahkan sama
sekali imbauan Soekano untuk memilihara ketenangan. Untuk membuat emosi kian
mendidih. Dikabarkan bahwa para jendral yang terbunuh itu dicukil matanya dan
dipotong kemaluannya dan mereka menuntut digunakan kekerasaan untuk menegakkan
keadilan.28

Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu pada tanggal 8 Oktober 1965


mengadakan rapat umum dan dikabarkan dihadiri setengah juta orang. Mereka menuntut
PKI dilarang dan orang Komunis dibersihkan dari semua lembaga negara. Sejumlah
pendukung KAP Gestapu mendatangi kantor CC PKI dan membakarnya, dan hari-hari
berikutnya kantor-kantor PKI serta rumah tokoh komunis dihancurkan. Sementara itu
tuntutan agar PKI dilarang, terus mengalir dari berbagai pelosok daerah. Ketika itu
Presiden Soekarno berhadapan dengan massa yang anti Komunis yang terbakar suasana
yang panas yang sudah siap untuk menentang dia dan kebijaksaannya untuk melindungi
PKI. Bersamaan dengan itu TNI-AD tidak lagi mengindahkan Presiden Soekarno dan
terus memburu orang-orang Komunis dan yang dicurigai terlibat atau yang bersimpati
terhadap Gerakan 30 September. Bisa jadi PKI sebagai partai masih bisa diselamatkan
seandainya Soekarno segera mengambil tindakan terhadap pimpinan PKI yang terlibat
dalam Gerakan 30 September. Menjelang pertengahan Oktober, sentimen anti Komunis
semakin menjadi-jadi, PKI tidak dapat diselamatkan lagi dengan cara apa pun. Aksi-aksi
kekerasaan oleh massa terhadap PKI telah dimulai di Aceh setelah kabar angin yang
menyatakan orang-orang Muslim telah dibunuh komunis di Yogyakarta. Mereka
membunuh orang komunis di Aceh. Kekerasan-kekerasan kemudian pindah ke Jawa
Tengah dan Jawa Timur .29

Penumpasan PKI
Jawa Tengah merupakan pusat kegiatan komunis di Indonesia. Stasiun radio di
Semarang, Yogyakarta dan Surakarta, menyiarkan pengumuman Gerakan 30 September
Dewan Revolusi Daerah kemudian dibentuk. Walikota Surakarta yuang komunis
menyatakan dukungannya terhadap pembunuhan para jendral TNI-AD. Di Yogakarta,
kaum komunis segera turun ke jalan-jalan memberi dukungan terhadap Gerakan 30
September. Sementara itu, di Semarang, kaum komunis mengambil alih pimpinan Kodam
VIII Diponogoro. Panglima Diponogoro, Brigjen Suryo Sumpeno, berhasil meloloskan
diri, tetapi kedudukannya diambil alih oleh perwira intlejen, Kolonel Sahirman yang

28
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 – 1867, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 376-380.
29
Ibid .

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 9
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

komunis.30 Namun dalam perkembangannya, lima dari tujuh batalyon infanteri yang ada
di Jawa Tengah, kemudian menyatakan kesetiannya kembali ke Suryo Sumpeno dan
Presiden Soekarno. Tetapi Suryo Sumpemo meragukan loyalitas mereka sehingga dia
bermaksud mengirim pasukan-pasukan tersebut ke posisi tempur di Sumatra dalam
menghadapi Malaysia. Dalam pelaksaannya tidak dapat segera terwujud karena tidak
tersedianya sarana angkutan. Akibatnya kewibawaan Suryo Sumpeno masih tetap lemah.
Mendengar keadaan seperti ini, Soeharto di Jakarta memutuskan segera mengambil
keputusan untuk mengirim RPKAD ke Jawa Tengah.31

Tanggal 17 Oktober 1965, RPKAD di bawah Komando C.I. Santosa bergerak


menuju Semarang. Keesokan harinya, mereka sampai di Semarang dan langsung
melakukan pameran kekuatan. Yon III RPKAD di bawah Komandan Mayor Kosasih
dibebani tugas, dengan nama Operasi Muria, di daerah Demak – Purwodadi. Daerah
Banyumas menjadi tanggung jawab KKO di bawah komando tanggung jawab KKO di
bawah komando Kapten Sukarno, sedangkan Yon 431 PARA menempati posisi di daerah
Pekalongan. Tanggal 19 Oktober 1965, kelompok komando RPKAD di bawah Sarwo
Edhie dengan kawalan pasukan Letda Sintong Pandjaitan tiba di Semarang. Selanjutnya,
dengan menumpang kereta api, telah tiba Yon Kavaleri di bawah pimpinan Mayor Kav.
Sunarjo.32

Pada hari yang sama, pasukan RPKAD mulai bergerak menuju rumah dan gedung
yang diduga menjadi sarang pendukung Gerakan 30 September. Dalam gebrakan pertama
berhasil ditahan sekitar 1.050 orang yang dicurigai dan berbagai barang bukti juga disita.
Adanya gerakan RPKAD ini mendorong kaum anti-komunis mulai juga mengadakan
pengrusakan dan pembakaran terhadap gedung PKI, Gerwani, Baperki, RRT dan
pabrik rokok yang pemiliknya mendukung Gerakan 30 September. Menghadapi situasi
seperti ini, pihak komunis pun tidak tinggal diam. Mereka mencoba membangkitkan
sentimen anti-Cina dengan cara membakar toko dan rumah Cina di kompleks Pekojan.
Situasi yang semakin tegang dan panas tersebut menyebabkan pasukan RPKAD secara
terus menerus melakukan patroli, di samping tetap menjalankan operasi pembersihan.
Ternyata operasi ini kurang mendapat perlawanan. Diduga para pendukung Gerakan 30
Seprember telah melarikan diri ke arah Barat Daya dan Timur.33

Pada tanggal 21 Oktober RPKAD menuju Magelang. Tugas RPKAD di Semarang


menjadi tanggung jawab Mayor Subechi, Wa Dan Yon III dengan kekuatan Ki Urip, Ki
Ramelan dan Ki Dakso. Sedangkan pasukan yang bergerak ke Magelang kemudian
diperkuat oleh pasukan Ki Tejo dari Yon II RPKAD Magelang. Sebagaimana
sebelumnya, kembali RPKAD melakukan pameran kekuatan bersenjata. Seperti di
Semarang masyarakat yang anti-komunis memakai kesempatan ini membakar milik
PKI, Baperki dan bahkan rumah Walikota Argo Ismojo yang komunis turut menjadi
sasaran.34

30
Sejarah Militer Kodam VII/Diponogoro, (Semarang: Sendam VII/Diponogoro, 1971), hal. 190-212.
31
Harlod Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 159-162.
32
Sejarah Militer Kodam VII/Diponogoro, op.cit..
33
Ibid.
34
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 10
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Adanya keputusan pembekuan PKI serta ormas-ormas yang bernaung dibawahnya


oleh Suryo Sumpeno selaku penguasa pelaksana Dwikora pada tanggal 20 Oktober,
menyebabkan pendukung Gerakan 30 September mengadakan gerakan pemogokan.
Mulai pukul 20.000, pegawai DKA (SBKA) Balapan Solo mogok sehingga KA Jurusan
Solo – Semarang, Solo – Jakarta, Solo – Surabaya, tak ada yang jalan. Sampai pagi KA
tidak ada yang keluar masuk statsiun. Bus-bus tak bisa jalan karena dihalangi oleh
Pemuda Rakyat. Pemogokan terjadi pula di pabrik Karung Delanggu. PN
Gondangwinangun Klaten, PN Infietx Tembakau Klaten. Demikian pula jalan antara
Delanggu – Gondang dirintangi dengan batang pohon.35

Ada informasi Kodim Boyolali sedang dikepung oleh ribuan Pemuda Rakyat yang
bersenjatakan bambu runcing. Pada tanggal 22 Oktober, pikul 00.00 W.I.B, RPKAD
langsung ke Boyolali. Satu kompi ditinggalkan di Yogyakarta untuk mengikuti upacara
pemakaman Kol. Katamso (Dan Rem 072) dan Letkol. Sugijono (Kas Rem 072) yang
menjadi korban Gerakan 30 Sepember. Pukul 05.30, Satu Ton Panser dan Ki Kajat
bergerak menuju Boyolali. Sisa-sisa pasukan bergerak ke Surakarta dan kemudian
mengadakan pameran kekuatan. Pasukan RPKAD bergerak menuju ke stasiun Balapan
untuk membubarkan pemogokan. Di depan para pemogok, Sarwo Edhie mengatakan
“Siapa yang mau mogok ke sebelah kiri saya, dan yang tidak mau mogok ke sebelah
kanan. Saya beri waktu lima menit“. Belum lima menit berselang, semua pemogok
pindah ke sebelah kanan. Sarwo Edhie kemudian melanjutkan berkata, ”Kalau begitu
tidak ada alasan kalian untuk tidak bekerja, dan silahkan bekerja seperti biasa.’
Selanjutnya Sarwo Edhie mengatakan agar mereka jangan terpengaruh oleh Gerakan 30
September dan diminta untuk tidak usah ragu-ragu membantu ABRI menghancurkan
gerakan tersebut sampai ke antek-anteknya. Setelah itu, gerakan pengejaran dan
penggeledahan di tempat yang dicurigai terus berlangsung.36

Boleh dibilang RPKAD cepat bergerak dan bertindak ketika mendengar informasi
di daerah-daerah tertentu terjadi kerusuhan. Kehadiran RPKAD secara umum membuat
rakyat senang. Menghadapi pemberontakan di Boyolali, Sarwo Edhi mengadakan rapat
umum. Dia berkata, ”Siapa mau dipotong kepalanya, saya bayar lima ribu.” Karena
tidak ada yang tunjuk tangan, dia melanjutkan bertanya, ”Siapa yang mau dipotong
kepalanya saya bayar seratus ribu.” Karena tetap tidak ada reaksi, dia melanjutkan lagi,”
Dibayar seratus ribu saja tidak ada yang mau dipotong kepalanya, dan agar kepala
masaa pendengar tidak dipotong dengan gratis, maka PKI harus dilawan“.37

Meskipun demikian, dengan gerak cepat pasukannya bukan berarti Sarwo Edhie
dapat menanamkan kewibawaannya ke seluruh daerah dan mampu menyapu bersih desa-
desa untuk menangkap para aktifis PKI. Sarwo Edhie sadar dengan pasukan yang ada tak
mungkin bisa mencapai tujuan Untuk itu, Sarwo Edhie minta bantuan tambahan dari
Jakarta. Namun permintaan ditolak karena kebanyakan pasukan tentara masih berada di
luar Jawa. Meskipun begitu dia mendapatkan izin untuk mempersenjatai sukarelawan
dari kelompok Pemuda PNI dan NU. Para sukarelawan tersebut diberi latihan selama dua
35
Ibid .
36
Cerita Hendro Subroto, yang meliput operasi RPKAD di Jawa Tengah, Suara Pembaruan, 10 November
1989.
37
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 11
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

atau tiga hari sebelum di kirim ke desa-desa dalam kesatuan yang dipimpin oleh anggota
baret merah. Tugas mereka dalah menghancurkan PKI.38

Pada perkembangannya, operasi yang dipimpin RPKAD tidak mendapat


perlawanan dari para pendukung Gerakan 30 September. Sesudah diadakan pemeriksaan
singkat mereka yang dipandang sebagai aktivis dibunuh dan para pendukung pasif
ditempatkan di kamp-kamp tahanan serta penjara.39 Lagi pula kepulangan Brigade
Infanteri 4/Diponogoro dari wilayah perbatasan, pimpinan Kol. Jasir Hadibroto, lebih
meringankan beban yang dipikul oleh RPKAD. Brigif 4 ini berhasil menangkap dan
membunuh D.N. Aidit dan Ir. Surachman. Selanjutntya, Brigif ini juga turut serta
membantu RPKAD dalam melancarkan Operasi Merapi yang pelaksanaannya di bawah
komando C.I. Santosa, yang akhirnya berhasil menghabisi Kol.Sahirman dan kawan-
kawan.40

Pertengahan bulan Nomber 1965, para pemimpin AD di Jawa Tengah mulai


kuatir atas pembunuhan massal yang berlangsung dan cenderung tidak terkendali. Para
Pemuda PNI dan NU seakan-akan sudah tidak bisa mengekang diri, sehingga
menghantam akrtivis-aktivis PKI, mereka melanjutkan ke korban-korban lain yang
dianggap memiliki hubungan dekat dengan PKI Sarwo Edhie sendiri mulai ngeri dan
kuatir melihat bagaima mereka mengamuk. Akhirnya dia memberi peringatan, “Kita
tidak boleh menjawab teror dengan teror, karena Al-Qouran sendiri memperingatkan
kita untuk tidak melampui batas …… kita semua adalah manusia yang percaya kepada
Tuhan dan kelima sila dari Pancasuila. Sebab itu, tidaklah baik jika membalas kejahatan
dengan kejahatan.” 41 Tujuan Sarwo Edhie ke Jawa Tengah sendiri sebetulnya bukan
untuk mencari kemenangan, tetapi mencoba membangkitkan semangat rakyat untuk
melawan Gestapu /PKI dan menunjukkan siapa sebenarnya yang berada dibalik peristiwa
Gerakan 30 September. Sarwo Edhie mengatakan lebih lanjut bahwa pasukannya
bertindak sejalan dengan permintaan Presdein yang meminta fakta sebanyak mungkin
tetang keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September.42

Ketika pembunuhan yang kelewat batas tetap berlangsung, Presiden Soekarno


menentang kejadian-kejadian yang merupakan ‘epilog‘ Gerakan 30 Septmber dan
Soekarno menyatakan.”tejadi Epilog ini telah mengganggu sukmaku, telah membuatku
sedih, membuatku khawatir …Dengan terus terang kukatakan aku meratap kepada Allah,
bertanya kepada Tuhan, bagaimana ya Allla, robbi, bagaimana semua ini dapat
terjadi?”. Presiden Soekarno benar-benar ngeri melihat suatu bangsa yang bersatu dan
cintai damai diremukkan oleh pemandangan di mana orang-orang Indonesia membunuh
secara kejam orang Indonesia lainnya.Dari sudut Soekarno sendiri disadari sepenuhnya
implikasi dan semangat anti PKI ini. Lenyapnya PKI sebagai suatu kekuatan politik,
dapat diartikan Angkatan Darat telah berhasil menumbangkan sistem yang memberikan
38
Berdasarkan wawancara dengan Sarwo Edhie Wibowo, 5 September 1970, sebagaimana dikutip oleh
Harlod Crouch, hal. 166-167.
39
Harlod Crouch, ibid, hal. 167-168.
40
Tiga Puluh Tahun Divisi Infanteri I/Kostrad 1961-1991, (Malang: Tim Penyusun Sejarah Divif
2/Kostrad, 1991, hal. 237-240.
41
Ulf Sundhaussen, op.cit., hal. 385-386.
42
John Hughes, Indonesia Upheaval, (New York: Fawcett Publication Inc, 1967) , hal. 130-131.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 12
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kekuasaan kepada Soekarno. Tanpa adanya PKI untuk mengimbangi kekuatan Angkatan
Darat, maka kekuasaan Soekarno menjadi terbatas.43

Setelah menghancurkan PKI di Jawa Tengah dengan kompi Benhurnya dikirim ke


Bali untuk memulihkan keamanan atas situasi pembunuhan massal yang semakin tidak
terkendali. Tugas Sarwo Edhie di sana, sebagaimana dikatakannya, adalah untuk
mengekang mereka terutama Pemuda PNI, agar tidak melakukan perbuatan yang kelewat
batas. Kehadiran RPKAD tetap diwarnai dengan pembunuhan, tetapi sekarang di bawah
koordinasi dan hanya aktifis-aktifis PKI-nya saja yang dieksekusi.44

Menggeser Soekarno
Kepopuleran Sarwo Edhie atas keberhasilannya menumpas PKI di Jawa Tengah
menyebabkan dia diundang untuk menyemarakkan acara rapat umum yang diadakan
Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia di halaman FKUI pada tanggal 10 Januari 1966.
Sarwo Edhie disodori konsep awal Tritura yang berisi; Bubarkan PKI, Susun Kembali
Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga Sangan Pangan. Mengomentari konsep tersebut
Sarwo Edhi mengatakan, ”Tritura adalah hati nurani rakyat. Seandainya mahasiswa
merasa yakin dengan rumusan tersebut ,maka saya anjurkan jalan terus. Kalau tidak,
ada baiknya pulang saja, sebab perjuangan tanpa keyakinan percuma saja dilakukan.“ 45

Dalam rapat umum tersebut Sarwo Edhi diminta berbicara. Setelah


memperkenalkan staf perwiranya, Mayor C.I. Santosa dan Mayor Gunawan Wibisono,
dia mengatakan bahwa kehormatan besar baginya selaku komandan pasukan dapat
berbicara di hadapan massa KAMI. Ia pun menyatakan terima kasih kepada Aidit dengan
Gestapu yang telah membuat huru-hara, dan akibatnya dapat mempersatukan mahasiswa
kembali. Kemudian terjadi dialog antara Sarwo Edhie Wibowo sebagai berikut :

Sarwo Edhie:
“Apakah masih ada yang belum diamankan ?”
Mahasiswa:
“Aidit, Pak ….!”
Sarwo Edhie:
“Lho, kok di mana-mana banyak orang masih kangen sama Aidit itu?’
Mahasiswa:
“Biar mampus Pak….!”
Sarwo Edhie:
“Biar seribu Aidit, kalau bumi Indonesia subur dengan Pancasila,
mereka tidak mungkin melakukan kup. Apa lagi satyu Aidit. Dan

43
Harlod Crouch, op. cit, hal. 172-174.
44
John Hughes, op.cit., hal. 150-158.
45
Ceriuta Sarwo Edhie Wibowo mengenai 10 Januari 1966, Estafet No. 39, Th. V, Jan 1090. Sebenarnya
konsep Tritura tidak orsinil dari KAMI. Ketika KAMI akan mengadakan demonstrasi, Kas Dam Jaya
Witono memperbolehkan asal masalah pembubaran PKI dan reoo; ing kabinet dimasukan sebagai tuntutan
KAMI. Witono menganggap kalau masalah ekonomi saja yang menjadi tuntutan, fokus perhatian
penggayangan PKI akan berpindah dan terabaikan, (wawancara dengan Warsilam Simandjuntak).

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 13
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kamu tidak perlu merisaukan Aidit. Biarlah dia istirahat di tempat


lain“46

Pernyataan Sarwo Edhie ini pada dasarnya merupakan konfirmasi resmi atas
desas-desus telah meninggalnya D.N. Aidit. Terlepas apakah pembunuhan tersebut
bermoral atau tidak, tetapi yang pernyataan Sarwo Edhie tersebut telah menaikkan
semangat mahasiswa yang tergabung dalam KAMI.47 Usai rapat umum, massa
mahasiswa mulai bergerak menuju gedung Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan dan
kemudian ke Sekretariat Negara guna menyampaikan pernyataan Tritura. Pernyataan
tersebut dibacakan di depan Waperdam Chaerul Saleh yang menangani masalah
ekonomi. Setelah itu, KAMI menyatakan mogok kuliah sampai tuntutan Tritura
dipenuhi.48

Pada tanggal 15 Januari 1966, ribuan mahasiswa dengan truk-truk yang


disediakan oleh Kepala Staf Kodam Jaya, Kol. Witono dan Kepala Staf Kostrad, Kemal
Idris, mendatangi Istana Bogor untuk mengikuti sidang kabinet.49 Soekarno dalam sidang
kabinet tersebut, berpidato yang mengandung kemarahan dan kritik keras atas cara-cara
mahasiswa menyampaikan tuntutannya. Akhirnya Soekarno menyeruhkan kepada siapa
saja yang membutuhkan dan setuju dengannya, supaya membentuk Barisan Soekarno.
Keinginan ini dapat dukungan dari Subandrio yang disampaikan melalui siaran RRI
keesokan harinya. Bahkan dia pun mencoba menghasut Soekarno agar menyeret
Soeharto, Nasution dan Sarwo Edhie ke depan Mahmillub, karena mereka bertanggung
jawab terhadap pembunuhan 250.000 orang komunis.50

Ketika berlangsung pelantikan kabinet Dwikora pada tanggal 24 Februari 1966,


mahasiswa kembali berdemontrasi di depan istana. Pada saat itu meletus tembakan dari
pasukan Cakrabirawa yang menewaskan salah seorang demonstran, bernama Arief
Rachman Hakim, anggota Gerakan Pemuda Marhaenis. Esok harinya kematian Arief
Rachman Hakim telah mengundang lautan api di jalan-jalan yang dilalui mobil jenazah
mahasiswa FKUI tersebut. Langkah berikutnya, setelah konsultasi dengan Sarwo Edhie
dan Kemal Idris , mahasiswa KAMI membentuk Laskar Arief Rachman Hakim . Ada pun
nama ketujuh batalyonnya masing-masing diberi nama para perwira yang terbunuh pada
tanggal 1 Oktober 1965. Secara simbolis ini mengingatkan perjuangan mereka melawan
G-30-S/PKI.51

46
Yozar Anwar, Angkatan 66 Catatan Harian Seorang Mahasiswa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 4-
12.
47
Editor, loc. cit.
48
Christianto Wibisono, Aksi-aksi Tritura, (Jakarta: Deperatemen Pertahanan – Keamanan, Pusat Sejarah
Angkatan Bersenjata, 1970), hal. 11-19. Demonstrasi KAMI itu mendapat dukungan moral dari Soeharto,
yang dikatakan bahwa aksi-aksi itu sebagai perwujudan dari kontrol sosial. Lihat Kata Sambutan
MenPangad Soeharto, dalam The leader, the man dan the gun, (Jakarta: PT Matos, 1066), hal. 20-24.
49
Harlod Crouch, op.cit., hal. 187-188 dan Ulf Sundhaussen, op,.cit , hal. 398-399.
50
O.G Roeder, op.cit., hal. 81-82. Barisan Soekarno yang diharapkan akan dapat menunjang dan
mengokohkan kembali kedudukan Soekarno, ternyata tak berjalan sebagaimana mestinya. Karena penguasa
militer daerah kuatir adanya front semacam itu hanya memperuncing situasi yang ada maka tak dijinkan
front itu bergerak di daerah kekuasaannya.
51
Harlod Crouch, op.cit., hal. 206-208.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 14
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tanggal 8 Maret 1966, Laskar Arief Rachman Hakim menyerang dan menduduki
Departemen Luar Negeri. Besoknya, bersama KAPPI, mereka menduduki gedung
departemen gedung Departemen P dan K, dan kemudian menyerang Kantor Berita Hsin
Hua. Hari selanjutnya, Kantor Konsulat RRT dan Gedung Kebudayaan Cina, menjadi
sasaran berikutnya. Pada hari yang sama, di istana, Soekarno meminta dukungan para
pimpinan partai politik untuk mendatangani suatu pernyataan yang mengutuk demontrasi
tersebut. Permintaan tersebut disetujui oleh para pemimpin partai. 52 Tetapi sehari
kemudian semua partai politik, kecuali PNI dan Partindo, mencabut kembali dukungan
terhadap pernyataan tersebut.53

Selama ini TNI-AD menghendaki agar Soekarno melarang PKI secara resmi, dan
kemudian memberhentikan para menteri seperti Subandrio dan lainnya yang pro-PKI atau
anti Angkatan Darat. Namun perombakan kabinet yang dilakukan Soekarno masih
mempertahankan para menteri yang tidak dikehendaki TNI-AD. Pada saat yang
bersamaan, TNI-AD juga menyadari ketidakmungkinannya untuk berhadapan frontal
secara langsung dengan Soekarno. Jika dilakukan ini hanya akan melahirkan dukungan
terhadap Soekarno, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping itu, ada
kemungkinan AU, AL dan Kepolisian akan berada di belakang Soekarno. Ini belum lagi
TNI-AD memperhitungkan perwira AD yang Soekarnois seperti Ibrahim Adjie dan Suryo
Sumpeno. Untuk itu, Sarwo Edhie dan Kemal Idris, mendorong mahasiswa untuk terus
bergerak sebagai salah satu cara menekan Soekarno memenuhi harapan mereka.54

Menjelang sidang kabinet, Soeharto memberikan perintah kepada Kemal Idris


untuk menangkap Subandrio dengan mempercayakan pelaksanaannya pada dirinya.
Kemal Idris merencanakan untuk memasang pasukan tanpa insial untuk mengelilingi
istana pada saat sidang kabinet, dan untuk itu RPKAD mendapat tugas untuk
menjalankan operasi tersebut.55 Kemudian C.I. Santosa memilih kompi Bnehur (yang
dikenal dengan julukan “Pasukan Jenggo“ karena kepiawaian dalam bertempur)
sebanyak 3 kompi. Pada tanggal 10 Maret 1966, sekitar jam sebelas malam pasukan
Jenggo dikumpulkan. Kepada mereka ditawarkan siapa yang berminat menjadi anggota
pasukan tanpa inisial. Ternyata hampir semua menawarkan diri dan kemudian dipilih 15
prajurit untuk tugas itu, sebenarnya tugas ini berat karena bukan pasukan resmi maka
jika gagal bisa saja RPKAD lepas tangan untuk tidak bertanggung jawab.56

Tanggal 11 Maret 1966, sebelum pasukan RPKAD tanpa inisial berangkat ke


istana, Sarwo Edhie berpesan kepada pasukannya bahwa mereka boleh menembak “Si
Tikus“ (Subandrio), asal tidak dekat dengan Soekarno. Tim pertama yang terdiri dari 7
prajurit mengambil posisi di pintu masuk Istana di Jalan Merdeka Utara. Sementara tim
yang lain berjaga-jaga di sekitar Harmoni.57 Pada saat bersamaan, menjelang pasukan
bergerak, Kemal Idris diperintahkan Pangkostrad, Umar Wirahadikusuma, atas perintah
Wakil Panglima AD, Maraden Panggabean, untuk menarik kembali pasukannya
52
Ibid.
53
Ulf Sundhaussen, op.cit., hal. 408.
54
Harlod Crouch, op.cit., hal. 193-197.
55
Memoar Achmad Kemal Idris, Tempo, 20 Oktober 1990, hal. 51-64.
56
Editor, loc. cit.
57
Ibid.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 15
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

.Meskipun Kemal Idris dikatakan sebagai petualangan dan akan dilaporkan pada Pangad
Soeharto, Kemal Idris menolak perintah penarikan pasukan tersebut.58

Ketika Soekarno mengetahui adanya pasukan liar istana, dengan segera bersama
Subandrio dan Chaerul Saleh meninggalkan sidang kabinet menuju helikopter yang ada
di halaman Istana. Ketika itu Prajurit Ngadiri yang berada di posisi pintu masuk Istana
nyaris menembak Subandrio yang berdekatan dengan Soekarno, dengan menggunakan
Roket Launcher. Seandainya prajurit Suwarso tak mendekap Ngadri dan mengeluarkan
isi peluru dari moncongnya, bisa jadi helikopter akan hancur dan demikian pula sebagian
istana. Pertempuran antara pasukan baret merah dengan Cakrabirawa tak akan terelakkan
lagi.59 Mungkin jalan sejarah bangsa Indonesia tidak sebagaimana yang diketahui pada
saat ini.

Keesokan harinya, Men/Pangad Soeharto berdasarkan Surat Perintah Presiden


Soekarno, Jakarta 11 Maret 1966, yang kemudian dikenal dengan Super Semar,
mengeluarkan surat perintah mengenai pembubaran PKI beserta ormas bawahannya.60
Untuk menyambut pembubaran ini, Sarwo Edhie memprakarsai diadakan pameran
kekuatan. Ketika dia dengan pasukannya beserta tank-tank siap bergerak, dia mendapat
perintah membatalkan pawai tersebut dan pasukannya diminta untuk menempati pos-pos
tertentu di Ibukota Jakarta. Situasi dilemma ini menimpa diri Sarwo Edhie. Kalau
dilanggar berarti mempertaruhkan pangkat dan jabatannya. Sebaliknya kalau dibatalkan
akan menurunkan semangat Orde Baru dan juga memalukan dirinya, pada akhirnya dia
menolak perintah tersebut.61 Peserta pawai terdiri dari RPKAD, Brigade Para Kostrad,
Yonif 314 dan 315 Siliwangi, Batalyon Raider 328 Siliwangi, Yonif 527 Brawijaya,
Brigade Kaveleri, satuan penerbang TNI-AD dan ribuan pelajar-mahasiswa Pawai
bergerak dari lapangan Pakrir Timur Senayan. Pawai kemenangan itu berlangsung
semarak, meskipun diakui oleh Sarwo Edhie sendiri, sebagai pawai yang paling kacau
yang pernah dipimpinnya.62

Meskipun secara resmi PKI dan ormas bawahannya sudah dilarang , tetapi
Soekarno masih belum juga memecat Subandrio dan menteri lainnya yang bergaris kiri.
Untuk itu, anggota Laskar Arief Rachman Hakim dan KAPPI yang mulai resah, setelah
berkonsultasi dengan Kemal Idris dan Sarwo Edhie melakukan aksi menculik para
menteri tersebut seperti Astrawinata, Sudibjo dan Prijono. Hari-hari berikutnya, Sarwo
Edhie dan RPKAD mendapat tugas mengepung Istana. Pangdam Jaya V Amir Machmud,
meminta Soekarno merelakan Subandrio untuk ditangkap. Soekarno memberikannya
58
Memoar Achmad Kemal Idris, ibid.
59
Editor, loc. cit. Pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno mendapat informasi dari Brigjen Suadi,
duta besar Indonesia untuk Ethiopia yang baru saja pulang ke Jakarta, yang mengabarkan bahwa pasukan
RPKAD akan menyergap istana. Karena itu Soekarno kemudian menghubungi Panglima KKO, Hartono,
yang mengulangi jaminan bahwa KKO siap menghadapi RPKAD (Harlod Crouch, hal. 208).
60
Adanya penafsiran yang berbeda mengenai Surat Perintah Presiden Soekarno (Surat Perintah Sebelas
Maret). Ada yang menyebutkan Surat Perintah Sebelas Maret itu dibuat di Bogor dan ada pula yang
menyatakan telah disiapkan dari Jakarta. Secara berturut-turut periksa. Amir Machmud, Amir Machmud
Menjawab, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987), hal. 50-63 dan John Hughes, op.cit., hal. 201-202. Versi
Amir Machmud menjadi versi resmi.
61
Artini, Pelita, 5 Oktober 1985.
62
Kompas, 10 November 1989.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 16
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dengan pesan kepada Amir Machmud untuk tidak membunuhnya. Penangkapan tersebut,
terus berlangsung, baik di istana maupun tempat lain, kecuali Achmadi dan Surachman
yang sempat meloloskan diri.63 Akhirnya, Soekarno mau mengadakan pembaruan
kabinet pada akhir bulan Maret 1966 dan komposisi keanggotannnya mencerminkan hasil
kompromi antara Soekarno dan Soeharto.

Paruh kedua tahun 1966, Yusuf Muda Dalam, Subandrio dan Omar Dhani
diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa. Dalam kesaksian mereka muncul pernyataan
yang menjelaskan bahwa Soekarno sudah mengetahui akan terjadinya G-30-S. Sebagai
reaksi, kesatuan aksi yang didukung oleh Sarwo Edhie, Keml Idris dan H.R. Dharsono,
mengeluarkan pernyataan kekurangpercayaan mereka terhadap Soekarno. Mereka
menuntut agar Soekarno diturunkan dari jabatnnya dan kemudian diadili. 64 H.R.
Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhie mengadakan pertemuan di Cipanas untuk
mengantisipasi semua kemungkinan yang akan terjadi. Mereka sepakat untuk
mengjhancurkan Orde Lama secepat mungkin, dan mulai terlihat bahwa tuntutan
diturunkannya Soekarno dibarengi dengan adanya tanda-tanda dukungan militer terhadap
Soekarno di Jawa Tengah dan Jawa Timur.65

Akhirnya, bulan Maret 67, diselenggarakan sidang MPRS yang memutuskan


mengenai larangan terhadap Soekarno mengambil bagian dalam kegiatan politik sampai
pemilihan umum. Untuk memberlakukan keputusan ini maka mandat MPRS dan semua
kekuasaan Soekarno dicabut sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Kemudian MPRS
mengangkat Jendral Soeharto sebagai Penjabat Presiden RI. Meskipun Soekarno sudah
dicopot dari kekuasaannya, Sarwo Edhie, Kemal Idris dan HR Dharsono masih bersikeras
menghendaki agar Soekarno diadili. Untuk menghindari situasi yang lebih buruk lagi,
khususnya pertikaian antara pro dan anti – Soekarno, maka dalam melangkah, dilakukan
mutasi terhadap faksi-faksi yang berseteru.66 Tidak lama setelah Soekarno diturunkan dari
kekuasaanya, pada bulan Juni 1967, Sarwo Edhie pun dipindahtugaskan menjadi
Panglima Kodam II/ Bukit Barisan.67

Membekukan PNI
Keruntuhan kekuasaan Soekarno ternyata telah menyeret PNI .Karena kedekatan
partai berlambang kepala banteng dengan Soekarno, PNI di berbagai daerah mengalami
cobaan dalam mempertahankan eksitensinya. Di satu pihak PNI menghadapi tekanan

63
Harlod Crouch, op.cit., hal. 215-216.
64
Ulf Sundhaussen, op.cit., hal. 427-431.
65
Harlod Crouch, op.cit., hal. 235-238.
66
Ketika itu dalam tubuh TNI-AD terdapat 4 faksi. Faksi Soeharto, yang paling kuat didasarkan pada
rumpun Diponogoro. Faksi Panglima Se-Jawa yang dipimpin oleh perwira perwira Siliwangi (termasuk
Sarwo Edhie). Faksi Nasution yang berjumlah lebih kecil dan tak mempunyai basis Kodam. Faksi
paraperwira yang dekat dan setia pada Soekarno Lihat. Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik,
(Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 154-155.
67
Kepindahan Sarwo Edhie sebagai awal tergesernya Faksi Panglima Se-Jawa, yang mana kemudian
diikuti oleh Dharsono yang ditunjuk sebagai duta besar Indonesia untuk Thailand dan Kemal Idris yang
dipromosikan menjadi Kopmandan Wilayah Indonesia Timur, karena radikalisme politiknya. Dengan
demikian tulang punggung posisi ‘radikal‘ telah patah dan keunggulan Faksi Soeharto bertambah pasti
(Harlod Crouch, hal. 263-264).

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 17
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang dilakukan kesatuan aksi maupun partai politik yang menginginkan agar PNI
dibubarkan saja. Di lain pihak PNI menghadapi begitu kuatnya posisi penguasa daerah
khususnya Panglima Kodam (TNI-AD). Eksistensi PNI tergantung sekali dengan
kebijaksanannya yang diambil oleh penguasa daerah itu.

Pada saat Sarwo Edhie menjadi penguasa militer di Sumatra Uatara, dia
menyatakan perang terhadap para pendukung dan simpatisan Orde Lama. Untuk itu, dia
melakukan pembekuan terhadap eksistensi PNI di wilayah kekuasaannya. Memang sukar
buat partai politik berkepala banteng ini, mengingat dalam perjalanan sejarahnya partai
tersebut sangat dekat mantan Presiden Soekarno. Adapun alasan digunakan Sarwo Edhie
dalam membekukan partai PNI adalah, karena tuntutan dari bebagai organisasi massa,
partai politik dan kesatuan-kesatuan aksi. Di samping itu, Marhaenisme ajaran Soekarno
pada hakekatnya adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia, dan ini sama sekali tidak
sejalan dengan Pancasila. Menurut Sarwono Edhie, pembekuan tersebut, akan
berlangsung terus selama PNI masih berpegang pada ajaran-ajaran marxisme-
marhaenisme tersebut, dan tidak ada itikad baik untuk menyesuaikan diri dengan
perjuangan Orde Baru. Konon ada informasi yang mengungkapkan bahwa Sarwo Edhie
akan berusaha keras untuk memotong keanggotaan massa PNI, dan kemudian
menyalurkan mereka ke dalam partai-partai politik yang lain, khususnya IPKI (partai
yang didirikan oleh sejumlah perwira TNI-AD menjelang pemilu 1955). Tampaknya
Sarwo Edhie memiliki alasan yang cukup kuat untuk membubarkan keberadaan PNI
secara permanen.68

Sikap anti terhadap PNI ini ditunjukkan Sarwo Edhie ketika menolak permohonan
audiensi dari pimpinan PNI di Sumatra Utara. Bahkan dia pun menolak permohonan
serupa yang diajukan oleh Sunawar Sukawati, yang saat itu adalah pimpinan pusat PNI.69
Ternyata sikap Sarwo Edhie ini memperoleh dukungan dari Penjabat Panglima Angkatan
Darat. Jendral Maraden Panggabean. Bahkan dinyatakan bahwa kebijaksaaan Sarwo
Edhie ini juga sejalan dengan keinginan Panglima Antar Daerah Pertahanan Sumatra.
Mayjen Kusno Utomo. Dia menyatakan keraguannya mengenai itikad baik PNI terhadap
Orde Baru, dan baginya, marxisme-marhaenisme sudah tidak memiliki tempat lagi dalam
masyarakat. Meskipun demikian, dia mengusulkan agar PNI lebih baik meneruskan
perjuangannya dalam bidang kekaryaan-keormasan saja.70

Pada akhirnya PNI memenuhi keinginan pemerintah untuk meniadakan gelar


Bapak Marhaeinisme atas diri Soekarno, dan sepakat untuk tidak menghendaki
kembalinya Soekarno sebagai pimpinan nasional.71 Pada tanggal 21 Desember 1967,
Penjabat Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi kepada para penguasa daerah agar
membantu dan memberikan kesempatan kepada PNI untuk mengadakan konsolidasi dan
kristalisasi di dalamnya, dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan yang
digariskan pusat. Sarwo Edhie sebagai penguasa menerima dan menjalankan instruksi itu,
meskipun dia tidak terlalu setuju dengan kebijaksanaan pemerintah pusat terhadap
keberadaan PNI tersebut. Baginya, merangkul PNI yang menganut ajaran-ajaran
68
Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984), hal. 180-191.
69
Wawancara dengan J. Mailoa di Cipayung, 30 Oktober 1991.
70
Nazaruddin Sjamsuddin, ibid.
71
Hardi, Api Nasionalisme – Cuplikan Pengalaman, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 49-53.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 18
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Soekarno adalah suatu hal yang kontradiktif dalam memenangkan Orde Baru. Dia tetap
yakin bahwa PNI masih tetap menganut ajaran yang bersumber dari marxisme,
sebagaimana yang dianut oleh PKI yang ditumpasnya.72

Dengan sikap Sarwo Edhie ini maka akhir bulan Desember 1967, Kepala Staf
Komando Wilayah di Sumatra, Brigjen J. Muskita, merasa perlu mengambil-alih secara
pribadi kepemimpinan Sarwo Edhie untuk lebih menjamin terlaksananya kebijaksanaan
pemerintah pusat. Tak lama kemudian, pada tahun 1968, Sarwo Edhie dipindahkan ke
Irian Barat (Irian Jaya).73

Kebijaksaan pemerintah yang didominasi TNI-AD tak membubarkan PNI,


meskipun terdapat desakan yang begitu kuat dari kesatuan aksi maupun partai politik
yang menginginkan agar PNI yang mempunyai hubungan dekat dengan Presiden
Soekarno dibubarkan saja, karena TNI AD mempunyai kepentingan. PNI yang
mempunyai basis di kalangan abangan dan pamong praja, bisa digunakan TNI-AD dalam
rangka perimbangan kekuataan antara golongan nasionalis dan Islam. Mengenai politik
balance of power itu dianggap oleh Sarwo Edhie sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
pada saat itu. Jaman itu tidak mengingikan cara-cara devide et impera, memecah belah
masyarakat agar mudah dikuasai, karena kita semua merasa menerima Pancasila.74

Masalah Irian Barat


Salah satu prestasi Sarwo Edhie yang patut diketengahkan adalah peranannya
dalam soal integrasi Irian Barat ke dalam negara kesatuan Republik Indopnesia. Kisahnya
dimulai ketika pada kuartal pertama tahun 1968, Kepala Suku Arfak, Lodewijk
Mandatjan dan rakyatnya memutuskan kembali ke gunung-gunung di Irian Barat. Sejak
saat itu gangguan terhadap keamanan mulai meningkat. Padahal sesuai dengan New York
Agreement, pada akhir tahun 1969 akan diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
untuk menentukan apakah masyarakat Irian akan atau tidak bergabung ke dalam
jurisdikasi negara kesatuan Indonesia. Sementara itu, pemerintah Orde Baru melihat apa
yang dilakukan oleh gerakan Lodewijk sebagai gerakan separatis, dan sudah pasti akan
membahayakan pelaksaan Pepera. Keberhasilan akan kelangsungan Penentuan Pendapat
Rakyat, tentunya akan mengangkat citra pemerintah Orde baru yang didominasi milier di
mata internasional.

Untuk meredam gangguan keamanan tersebut, Sarwo Edhie yang saat itu
menjabat sebagai Panglima Kodam XVII/Cendrawasih, memutuskan menggerakan
pasukannya untuk menghancurkan basis pasukan Lodewijk Mandatjan. Namun disadari,
bahwa operasi ini akan berjalan tidak terlalu mulus. Masalahnya jelas, medan Irian Barat
yang bergunung-gunung dan berhutan-hutan lebih memberikan keuntungan pada
organisasi Papua Merdeka yang memang telah terbiasa dengan medan seperti itu. Namun
demikian, melalui berbagai serangan yang dibangun Sarwo Edhie dan pasukan lambat
laun daya tempur pasukan Lodewijk semakin merosot dan posisi mereka semakin
72
Nazaruddin Sjamsuddin, ibid.
73
Harlod Crouch, op.cit., hal. 263-264.
74
Nazaruddin Sjamsuddin, op.cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 19
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terdesak. Ruang gerak mereka menjadi terjepit dan akhirnya mereka hanya bergerak
untuk melarikan diri.

Di samping melalui pertempuran untuk menghindari lebih banyak korban, Sarwo


Edhie melalui pasukannya menyebarkan selebaran ke berbagai tempat, yang berisi
anjuran bagi mereka untuk bersedia turun dari hutan dan gunung, dan kemudian kembali
ke kampung halaman mereka. Dijamin mereka tidak akan mendapat tuntutan atas apa
yang telah mereka kerjakan selama ini. Seruan tersebut berlaku dari tanggal 1-30
November 1968. Akhir bulan November, telah turun sebanyak 1.869 orang, di antaranya
257 orang pasukan dengan kekuatan 99 pucuk senjata.

Langkah berikutnya, Sarwo Edhie menugaskan Mayor Heru dan Serrsan Mayor
Udara Djon Seleky (keduanya anak angkat Lodewijk Mandatjan) untuk memanggil
mereka yang masih ada di hutan-hutan dan gunung-gunung. Tanggal 28 November 1968,
terjadi pertemuan yang mengharukan antara anak dan ayahnya. Akhirnya Lodewijk
Mandatjan setuju untuk turun dari persembunyiannya bersama kedua anak angkatnya,
dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tanggal 7 Januari 1969, Lodewijk Mandatjan,
Barrent Madatjan, Heru, Djon Seleky, Sarwo Edhie dan R. Askari (Pangda Indonesia
Timur) berangkat ke Jakarta untuk menemui Presiden Soeharto, KASAD dan penjabat
pemerintah lainnya.75

Harus diakui gerakan Lodewijk ini ternyata memang membawa inspirasi bagi
sejumlah penduduk Irian Barat penduduk Irian Barat di berbagai tempat untuk
menyatakan dukungannya kepada Organisasi Papua Merdeka. Menurut beberapa
informasi, basis dukungan gerakan tersebut tersebar sekitar Sukarnapura, Fakfak,
Kaimana, Sorong dan Merauke.76 Untuk mengantisipasi hal ini, diperkenalkan Operasi
Wibawa yang merupakan panduan antara operasi tempur, teritorial dan inteljen. Operasi
tempur bertujuan untuk menghancurkan kekuatan fisik musuh, sedangkan operasi
teritorial dipakai untuk melakukan seruan kepada pihak lawan agar membawa kembali ke
kampung halaman masing-masing, dan bersamaan dengan itu diupayakan peningkatan
kesadaran masyarakat. Ini terutama diarahkan untuk memenangkan Pepera dengan dasar
keyakinan bahwa Irian Barat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Republik
Indonesia. Sementara itu, operasi inteljen diarahkan untuk membongkar dan sekaligus
menetralisir organ-organ pendukung gerakan separatis. Di samping paduan operasi
tersebut, Sarwo Edhie juga melakukan pendekatan psikologis melalui unsur zending dan
missi, yang diminta bantuannya untuk menghubungi tokoh-tokoh utama gerakan separatis
75
Sejarah Militer Kodam XVII /Cendrawasih, (Jayapura: Pradja Gupta Wira, 1971), hal. 158-168. Ketika
masa pendudukan Jepang, Suku Arfak menolak kerja paksa yang diadakan tentara Jepang dan melawan
Jepang. Perlawanan yang dilakukan mengakibatkan banyak korban dari suku Arfak. Ketika Perang Dunia
Kedua Suku Arfak membantu Sekutu melawan Jepang dengan menggunakan panah dan senjata api milik
tentara Sekutu. Karena jasanya itu, Kepala Suku Arfak, Hotmoes Mandatjan diberi pangkat kehormatan
sebagai Kapten dan bergelar Lodewijk. Pada pertengahan tahun 1965, suku Arfak meninggalkan kampung
halaman dan bergabung dengan oprganisasi Papua Merdeka. Tak lama kemudian Lodewijk Mandatjan
beserta rakyatpulang ke kampung halamannya untuk memenui uluran tangan damai dari pemerintah. Ia
medapat pangkat Mayor Tituler dari pemerintah RI dan kecewa dengan pemerintah RI pada awal tahun
1967, Lodewijk Mandatjan beserta rakyatnya kembali ke hutan.
76
Robin Osborne, Indonesia‘s Secret War – The Guerilla Struglle in Irian Jaya, (Sidney: Allen & Unwin,
1985, hal. 37.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 20
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan sekaligus menetramkan daerah-daerah yang belum diatasi. Tokoh-tokoh berpengaruh


di berbagai daerah, tempat pendukung gerakan separatis beroperasi, diminta untuk
membantu memadamkan gerakan-gerakan separatis yang ada.77

Berbagai upaya yang dilakukan Sarwo Edhie ternyata membuahkan hasil positif
Pelaksaaan Pepera dapat berjalan dengan relatif aman, dan uniknya Pepera ini tidak
dijalankan sebagaimana yang berlaku dalam praktek internasional, tetapi berdasarkan
tradisi masyarakat Indonesia. Pepera dilaksanakan berdasarkan perwakilan dari wakil-
wakil kabupaten Jayapura, Cendrawasi, Manokwari, Sorong, Fakfak, Merauke, Paniai
dan Jayawijaya Tercatat 1.025 wakil yang duduk sebagai anggota Dewan Musyawarah
Pepera, dan mereka mewakili sekitar 800.000 orang Irian Barat. Keputusan mereka jelas
yakni tetap bersatu dalam wilayah Rtepublik Indonesia. Atas segala upaya Sarwo Edhie
dan pasukannya dalam meredam gangguan keamanan, yang memungkinkan
terlaksananya Pepera, dia mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah dan DPR.78

Kekaryaan
Pada tahun 1970, tidak sampai dua tahun bertugas di Irian Barat (sekarang Irian
Jaya), Sarwo Edhie dipindahkan ke Magelang menjadi Gubernur AKABRI Umum dan
Darat. Di sana, pengaggum Mac Arthur dan Rommel ini, tidak memiliki pasukan yang
langsung berada di bawah kepemimpinnya. Pada masa awal jabatannya, dia sempat
mengeluarkan pernyataan bahwa dia mempunyai sikap anti terhadap Operasi Karya, dan
saat itu pernyataannya sempat menjadi head-line dan berbagai surat kabar. Meskipun
kemudian dia meralatnya dengan menyatakan bahwa yang dimaksud adalah
ketidaksetujuannya terhadap para militer yang menggunakan kendaraan kantor atau dinas
untuk kepentingan pribadi.79

Dalam jabatannya ini, Sarwo Edhie yang pernah mengikuti berbagai pendidikan
sepertyi Infantery Officier’s Advanced Collge, Fort Benning, USA dan Command and
General Saff Collge, Queensciff, Australia, memutuskan untuk menghapuskan tradisi
perpeloncoan yang dianggap tidak berperikemanusian. Dia pun menulis falsahah
hidupnya, Hidupku adalah untuk negara dan bangsa, dalam buku tahun AKABRI, yang
kemudian dijadikan pegangan bagi setiap taruna.80 Sebagai orang yang akrab dengan
mahasiswa, Sarwo Edhie berusaha mendekatkan para calon pemimpin sipil dan militer
dengan cara mengundang mahasiswa untuk mengadakan pertandingan olahraga
persahabatan dan juga temu diskusi. Harapannya agar mereka, sebagai calon pemimpin
masa depan, tidak saling asing satu sama lain .satu sama lain. Namun demikian,
kebijaksanaan ini sendiri banyak ditafsirkan sebagai upaya Sarwo Edhie untuk

77
Sejarah Militer Kodam XVII/Cendrawasih.
78
Ibid.
79
Operasi Karya (Bakti) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua kegiatan ABRI non-
militer, terutama apa yang dikerjakan oleh unit eingineering (Zeni). Ia mencoba memberi kontribusi
terhadap stabilitas politik dengan cara membantu mengubah kondisi yang mengarah kearah kekacauan
sosial serta diharapkan memberi image lebih baik terhaap ABRTI dan perananya dalam masyarakat.
80
Sarinah. loc. cit.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 21
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengumpulkan mahasiswa demi kepentingannya sendiri. Pada kenyataannya,


kebijaksaaan ini kemudian tidak pernah diteruskan oleh para penggantinya.81

Pada akhir tahun 1973, Sarwo Edhie menyatakan akan mengundurkan sebagai
Gubernur AKABARI. Tidak pernah ada penjelasan resmi mengapa dia berbuat
demikian.82 Namun yang pasti, pada bulan Januari 1974, sesudah peristiwa Malari, dia
diberhentikan dari jabatan Gubernur AKABRI dan selanjutnya diangkat sebagai Duta
Besar Indonesia untuk Korea Selatan.83 Bisa jadi jabatan sipil yang pertama ini semakin
menjauhkan dirinya dari pusat kekuasaan, dan konon kabarnya pernah menimbulkan
pikiran dalam dirinya untuk meninggalkan dunia ketentaraam.

Pada bulan Agustus 1978, dia diangkat sebagai Inspektur Jendral Departemen
Luar Negeri. Ketika ia melakukan inspeksi ke perwakilan Republik Indonesia di Timur
Tengah pada bulan Desember 1978, Sarwo Edhie meluangkan waktunya untuk
melakukan ibadah Umroh. Dalam masa jabatannya ini, dia kembali menunjukkan
reputasinya dengan mengungkapkan berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan
jabatan, dan sekaligus menertibkan dan menindak para pelakunya dengan tegas. Seperti
biasa tindakannya menjadi berita besar dalam media massa. Selanjutnya, bulan juni 1984,
dia kembali menduduki jabatan baru sebagai sebagai Kepala BP7. Dalam jabatannya ini
dia lebih memiliki kesempatan berbicara mengenai berbagai aspek kehidupan bangsa dan
negara.84 Halaman-halaman di media massa memberi tempat baginya untuk
mengartikulasikan pemikiran-pemikirannya selama ini yang terutama berkaitan dengan
pekerjaannya yang dianggap begitu strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karier selanjutnya, dan yang terakhir, pada tanggal 1 Oktober 1987, dia dilantik
menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar dari daerah pemilihan kota Jakarta. Namun
kemudian, Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI menjadi bahan berita media
massa, ketika dia memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai anggota DPR dengan
alasan merasa tidak bisa berbuat banyak untuk kepentingan rakyat jika tetap di DPR.
Surat pengunduran dirinya disampaikan pada tanggal 15 Maret 1988, empat hari setelah
usainya Sidang Umum MPR . Konon kabarnya 14 hari setelah dilantik menjadi anggota
DPR/MPR, ia telah menyampaikan permohonan mundur dari DPR. Ketika itu Ketua
Umum Golkar Sudharmono menghendaki agar keinginan itu dibicarakan setelah Sidang
Umum usai. Pengunduran dirinya ini memang menimbulkan berbagai dugaan. Salah satu
yang santer adalah karena urungnya dia menjadi Ketua DPR/MPR. Sarwo Edhie sendiri
81
Julius Pour, Kompas, 10 November 1989 dan keterangan yang diberikan oleh Ketut Surajaya, di Depok,
25 Oktober 1991.
82
Abadi, 17 November 1973.
83
Menurut Harlod Crouch, Pendubesan Sarwo Edhie ini merupakan akibat kekalahan kelompok militer
profesional (Hankam) yang dimotori oleh Soemitro melawan kelompok Jendral ‘politik‘ dan ‘uang’ yang
dimotori oleh Ali Mertopo. Kedua kelompok ini bersaing untuk mendapat perhatian Presiden dan
memaksakan strategi ekonomi mereka, paling tidak dominasi polityik mereka. Pertarungan yang mencapai
puncaknya pada terjadinya Peristiwa Malari itu diakhiri dengan dibebastugaskan sejumlah kelompok
militer profesional. Soemitro menolak pengangkatannya selaku duta besar di Washington, Sutopo Yuwono
diangkat sebagai duta besar di Negeri Belanda, Kharis Suhud diangkat sebagai Kepala Kontingen Indonesia
di Vietnam dan Sayidiman dipindahkan ke Lembaga Pertahanan Nasional. Dan Sarwo Edhie menerima
pengangkatan sebagai duta besar di Korea Selatan (Harlod Crouch, hal. 343-356).
84
Kompas, 15 Juni 1984.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 22
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menolak dugaan seperti itu. Dengan tegas dia menyatakan bahwa jika ada dugaan
semacam itu maka datangnya pasti dari PKI. Kalau melihat sumbangannya pada
pemerintah Orde Baru sebenarnya jabatan sebagai ketua DPR/MPR rasanya layak untuk
berikan kepada Sarwo Edhie Wibowo. Tetapi pemerintah Soeharto tentu punya alasan
lain untuk tidak memberikan kepada perintis pemerintah Orde Baru.

Apapun alasan di balik pengunduran dirinya, Sarwo Edhie adalah figur yang
sudah terlanjur diselubungi mitos tertentu, dan bahkan juga diselimuti tragedi. Dia tidak
pernah diperhitungkan orang sebelum peristiwa G-30-S/PKI, tiba-tiba namanya mencuat
karena keberhasilannya menampilkan dirinya sebagai Komandan RPKAD yang maupun
menyerbu Halim dan menumpas PKI di Jawa Tengah. Dia berada dalam kedudukan
strategis dan momentum yang tepat, tidak menyia-nyiakan kesempatan sejarah yang
diberikan kepadanya. Untuk itu dia memang berhasil dan mencatatkan namanya dalam
Sejarah Indonesia. Tetapi dari sini juga mitos dan tragedi muncul. Figur dirinya
seringkali dilebih-lebihkan oleh berbagai pihak, dan akibatnya penempatan dirinya dalam
aktor sejarah Indonesia pun kadangkala di luar proposinya. Sudah pasti, hal seperti ini
pun tidak disukai oleh Sarwo Edhie sendiri. Mungkin benar kata Mircae Elaide: ‘Setelah
sesesuatu peristiwa penting berlalu biasanya memang terjadi pembesaran makna. Fakta
berubah menjadi legenda, pesan berubah menjadi mitos. Dan bukan liku-liku
peristiwanya yang penting, tetapi kesan yang hendak disampaikan lewat kenangan
peristiwa itulah yang penting“. Jika pembicaran diarahkan ke soal keberhasilan Sarwo
Edhie dan RPKAD menyerbu Halim dan menumpas PKI di Jawa Tengah, maka
seharusnya orang tidak pernah melupakan peranan yang dimainkan oleh C.I. Santosa. Dia
dijuluki jagoan perang dan juga sangat disegani mahasiswa demontran. Selanjutnya jika
soal kedekatan hubungan RPKAD dengan mahasiswa KAMI diangkat ke permukaan,
maka seharusnya orang pun tdak bisa melupakan jasa yang dilakonkan oleh Kepala Staf
RPKAD, Prioyo Pranoto, dan Asisten intel RPKAD, Mayor Rudy Manoppo.

Sarwo Edhie, harus diakui, memang telah berhasil menfaatkan dengan baik
kesempatan sejarah, yang diberikan kepadanya. Namun keberhasilan itu pula yang
selanjutnya mengakhiri peranannya dalam menentukan jalannya Orde Baru. Promosi
jabatan yang selama ini diterimanya, semakin menjauhkan dirinya dari pusat kekuasaan.
Karier dirinya selama Orde Baru lebih banyak dihabiskan dalam bidang kekaryaan ABRI
dibandingkan dengan dunia milkiter, tempat digumulinya sejak perang kemerdekaaan.

Hari-hari Terakhir
Setelah mengundurkan diri secara resmi dan dunia pemerintahan pada
pertengahan tahun1988, Sarwo Edhie tidak bersikap oposisi terhadap pemerintah.
Sebagai orang yang mengagumi tokoh wayang, Bima. Dia memang tidak mengikuti
jejak beberapa pensiunan militer yang memilih jalan oposisi terhadap pemerintah. Sarwo
Edhie pun tidak memiliki naluri menjadi pengusaha dan kemudian menjadi kaya raya.
Kesederhanan hidupnya tercermin dari rumahnya di Cijantung, tempat di mana dia
pernah menjadi Komandan RPKAD. Meskipun telah mengundurkan diri, bukan berarti
dia sepi dan kesibukan. Sebaliknya, kesibukannya masih menyertai dirinya. Dia masih
menjadi Ketua Umum Pengawas Bank Bumi Daya, Dewan Penyantun Universitas

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 23
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pancasila. Pelindung Universitas Proklamsi, Saat yang bersamaan, dia pun menjabat
Ketua Bidang Pembina Generasi Muda Lembaga Veteran Republik Indonesia, Ketua
Umum Taekwondo Indonesia, Pelindung Pamor (Perguruan Silat yang berpusat di
Madura) dan Pelindung Organisasi Pencita Alam Wanadri.

Meskipun tetap sibuk, tetapi dia pun menyempatkan diri dan meluanghkan waktu
untuk menggarap seri biografinya, yaitu Buku Kapten Sarwo Edhie, Buku Harian
Kolonel Sarwo Edhie dan buku Letnan Jendral Sarwo Edhie, yang semuanya didasarkan
pada catatan harian pribadi yang sudah mulai ditulis sejak tahun 1943. Melalui biografi
ini harapannya, dapat dibaca oleh generasi muda. Tentu saja berbagai teka-teki dan
informasi yang belum terungkap selama ini dari peranannya dalam pembentukan Orde
Baru, bisa jadi akan terungkap secara tuntas. Namun harapan tersebut, tinggal menjadi
harapan. Sarwo Edhie, tanggal 9 November 1989 dini hari, telah menghembuskan nafas
terakhir di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dia meninggalkan seorang istri, Sunarti Sri
Hadiyah, lima putri dan dua putra, serta delapan cucu. Dia dimakamkan di tempat
kelahirannya, di desa Ngupasan Puworejo, tepat bersamaan dengan peringatan Hari
Pahlwan 10 November 1989.

Web: www.peterkasenda.wordpress.com 24
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like