You are on page 1of 30

Beberapa definisi dan pendapat dari pakar-pakar bahasa mengenai wacana.

Dalam
pengertian linguistik, wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di
dalam suatu bangun bahasa. Oleh karena itu wacana sebagai kesatuan makna
dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana
itu berhubungan secara padu. Selain dibangun atas hubungan makna
antarsatuan bahasa, wacana juga terikat dengan konteks. Konteks inilah yang
dapat membedakan wacana yang digunakan sebagai pemakaian bahasa dalam
komunikasi dengan bahasa yang bukan untuk tujuan komunikasi. Menurut
Hawthorn (1992) wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai
sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas
personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. Sedangkan Roger
Fowler (1977) mengemukakan bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan
tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang
termasuk di dalamnya. Foucault memandang wacana kadang kala sebagai
bidang dari semua pernyataan, kadang kala sebagai sebuah individualisasi
kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai sebuah praktik regulatif yang
dilihat dari sejumlah pernyataan. Pendapat lebih jelas lagi dikemukakan oleh
J.S. Badudu (2000) yang memaparkan;

wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan dengan, yang menghubungkan proposisi
yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga
terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Selanjutnya
dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan
tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi
yang tinggi yang berkesinambungan,yang mampu mempunyai awal dan akhir
yang nyata,disampaikan secara lisan dan tertulis.

Sementara itu Samsuri memberi penjelasan mengenai wacana, menurutnya;


wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya
terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang
satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan
dapat pula memakai bahasa tulisan.

Lull (1998) memberikan penjelasan lebih sederhana mengenai wacana, yaitu cara objek
atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan
pemahaman tertentu yang tersebar luas. Mills (1994) merujuk pada pendapat
Foucault memberikan pendapatnya yaitu wacana dapat dilihat dari level
konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan.

Berdasarkan level konseptual teoretis, wacana diartikan sebagai domain dari semua
pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan
mempunyai efek dalam dunia nyata. Wacana menurut konteks penggunaannya
merupakan sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam
kategori konseptual tertentu. Sedangkan menurut metode penjelasannya,
wacana merupakan suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah
pernyataan.

Dari uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa wacana merupakan suatu pernyataan atau
rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan dan
memiliki hubungan makna antarsatuan bahasanya serta terikat konteks. Dengan
demikian apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan melalui beragam
media yang memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya dapat dikatakan
sebagai sebuah wacana.

Jenis-Jenis Wacana
Leech mengklasifikasikan wacana berdasarkan fungsi bahasa seperti dijelaskan berikut ini;
Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis
sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato;
Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar
komunikasi, seperti wacana perkenalan pada pesta;
Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti
wacana berita dalam media massa;
Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan
pesan, seperti wacana puisi dan lagu;
Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur
atau pembaca, seperti wacana khotbah.

Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas; wacana lisan dan
wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur,bahasa
yang dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sedangkan
wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan
dan penerapan sistem ejaan.
Wacana dapat pula dibedakan berdasarkan cara pemaparannya, yaitu wacana naratif,
wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif,
wacana hortatoris, dan wacana prosedural.

WACANA BAHASA INDONESIA

Sejarah Singkat Kajian Wacana

Pada mulanya linguistik merupakan bagian dari filsafat. Linguistik modern, yang
dipelopori oleh Ferdinand de Saussure pada akhir abad ke-19, mengkaji bahasa
secara ilmiah. Kajian lingusitik modern pada umumnya terbatas pada masalah
unsur-unsur bahasa, seperti bunyi, kata, frase, dan kalimat serta unsur makna
(semantik). Kajian linguistik rupanya belum memuaskan. Banyak permasalahan
bahasa yang belum dapat diselesaikan. Akibatnya, para ahli mencoba untuk
mengembangkan disiplin kajian baru yang disebut analisis wacana.

Analisis wacana menginterprestasi makna sebuah ujaran dengan memperhatikan


konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran. Konteks meliputi konteks
linguistik dan konteks etnografii. Konteks linguistik berupa rangkaian kata-kata
yang mendahului atau yang mengikuti sedangkan konteks etnografi berbentuk
serangkaian ciri faktor etnografi yang melingkupinya, misalnya faktor budaya
masyarakat pemakai bahasa.
Manfaat melakukan kegiatan analisis wacana adalah memahami hakikat bahasa,
memahami proses belajar bahasa dan perilaku berbahasa.

Pengertian Wacana dan Analisis Wacana

Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian
kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat
transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat
dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa,
sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari
pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana
disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang
meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam
bentuk tulis maupun lisan.

Persyaratan Terbentuknya Wacana

Penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran


(meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa
rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu,
prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).

Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung


satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila
kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan
keruntututan ide yang diungkapkan.
STRUKTUR WACANA BAHASA INDONESIA

Elemen-elemen Wacana

Elemen-elemen wacana adalah unsur-unsur pembentuk teks wacana. Elemen-


elemen itu tertata secara sistematis dan hierarkis. Berdasarkan nilai informasinya
ada elemen inti dan elemen luar inti. Elemen inti adalah elemen yang berisi
informasi utama, informasi yang paling penting. Elemen luar inti adalah elemen
yang berisi informasi tambahan, informasi yang tidak sepenting informasi utama.
Berdasarkan sifat kehadirannya, elemen wacana terbagi menjadi dua kategori,
yakni elemen wajib dan elemen manasuka. Elemen wajib bersifat wajib hadir,
sedangkan elemen manasuka bersifat boleh hadir dan boleh juga tidak hadir
bergantung pada kebutuhan komunikasi.

Relasi Antarelemen dalam Wacana

Ada berbagai relasi antarelemen dalam wacana. Relasi koordinatif adalah relasi
antarelemen yang memiliki kedudukan setara. Relasi subordinatif adalah relasi
antarelemen yang kedudukannya tidak setara. Dalam relasi subordinatif itu
terdapat atasan dan elemen bawahan. Relasi atribut adalah relasi antara elemen
inti dengan atribut. Relasi atribut berkaitan dengan relasi subordinatif karena
relasi atribut juga berarti relasi antara elemen atasan dengan elemen bawahan.

Relasi komplementatif adalah relasi antarelemen yang bersifat saling melengkapi.


Dalam relasi itu, masing-masing elemen memiliki kedudukan yang otonom dalam
membentuk teks. Dalam jenis ini tidak ada elemen atasan dan bawahan.

Struktur Wacana Bahasa Indonesia

Struktur wacana adalah bangun konstruksi wacana, yakni organisasi elemen-


elemen wacana dalam membentuk wacana. Struktur wacana dapat diperikan
berdasarkan peringkat keutamaan atau pentingnya informasi dan pola pertukaran.
Berdasarkan peringkat keutamaan informasi ada wacana yang mengikuti pola
segitiga tegak dan ada wacana yang mengikuti pola segitiga terbalik. Berdasarkan
mekanisme pertukaran dapat dikemukakan pola-pola pertukaran berikut: (1) P-S,
(2) T-J, (3) P-T, (4) T-T, (5) Pr-S, dan (6) Pr-T.
REFERENSI DAN INFERENSI SERTA KOHESI DAN KOHERENSI WACANA BAHASA
INDONESIA

Referensi dan Inferensi Wacana Bahasa Indonesia

Referensi dalam analisis wacana lebih luas dari telaah referensi dalam kajian
sintaksis dan semantik. Istilah referensi dalam analisis wacana adalah ungkapan
kebahasaan yang dipakai seorang pembicara/penulis untuk mengacu pada suatu hal
yang dibicarakan, baik dalam konteks linguistik maupun dalam konteks
nonlinguistik. Dalam menafsirkan acuan perlu diperhatikan, (a) adanya acuan yang
bergeser, (b) ungkapan berbeda tetapi acuannya sama, dan (c) ungkapan yang sama
mengacu pada hal yang berbeda.

Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks


penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur.
Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan
oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).

Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia

Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang
ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan
salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi
lebih penting dari kohesi. Namun bukan berarti kohesi tidak penting, Jenis alat
kohesi ada tiga, yaitu substitusi, konjungsi, dan leksikal.

Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi


merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah
menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis
(parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan
menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan
subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara
beruntun.

JENIS-JENIS WACANA BAHASA INDONESIA

Wacana Lisan dan Tulis

Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan


atas wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan berbeda dari wacana tulis.
Wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal), penataan subordinatif
lebih sedikit, jarang menggunakan piranti hubung (alat kohesi), frasa benda tidak
panjang, dan berstruktur topik-komen. Sebaliknya wacana tulis cenderung
gramatikal, penataan subordinatif lebih banyak, menggunakan piranti hubung,
frasa benda panjang, dan berstruktur subjek-predikat.
Wacana Monolog, Dialog, dan Polilog

Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga
jenis wacana, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Bila dalam suatu
komunikasi hanya ada satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari peserta
yang lain, maka wacana yang dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian,
pembicara tidak berganti peran sebagai pendengar. Bila peserta dalam komunikasi
itu dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar
atau sebaliknya), maka wacana yang dibentuknya disebut dialog. Jika peserta
dalam komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, maka wacana
yang dihasilkan disebut polilog.

Wacana Deskripsi, Eksposisi, Argumentasi, Persuasi dan Narasi

Dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi, dikenal ada wacana dekripsi,
eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi. Wacana deskripsi bertujuan
membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal pada penerima pesan. Aspek
kejiwaan yang dapat mencerna wacana narasi adalah emosi. Sedangkan wacana
eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar yang
bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan
logika yang harus diikuti oleh penerima pesan. Oleh sebab itu, untuk memahami
wacana eksposisi diperlukan proses berpikir. Wacana argumentasi bertujuan
mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang
dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logika maupun
emosional. Untuk mempertahankan argumen diperlukan bukti yang mendukung.
Wacana persuasi bertujuan mempengaruhi penerima pesan agar melakukan
tindakan sesuai yang diharapkan penyampai pesan. Untuk mernpengaruhi ini,
digunakan segala upaya yang memungkinkan penerima pesan terpengaruh. Untuk
mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak
rasional. Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Oleh
karena itu, unsur-unsur yang biasa ada dalam narasi adalah unsur waktu, pelaku,
dan peristiwa.
KONTEKS WACANA BAHASA INDONESIA

Hakikat Konteks

Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan
atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik
dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga
berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana
yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur
bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa),
saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau polilog)

Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa


secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna
bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus
diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.

Macam-macam Konteks

Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Secara garis besar,
konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks
ekstralinguistik. Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur
bahasa. Konteks linguistik itu mencakup penyebutan depan, sifat kata kerja, kata
kerja bantu, dan proposisi positif

Di samping konteks ada juga koteks. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan
sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah
teks.Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, pargraf, dan bahkan
wacana.

Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa.


Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau
kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang
berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup
penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta
peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang
digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang
digunakan dalam wacana.

Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat


tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks
linguistik ataupun konteks ekstralinguistik.

Tiga manfaat konteks dalam analisis wancana.

1. Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan


berdasarkan konteks linguistik.

2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa


maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wancana.

3. Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar yaitu bentuk yang
memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya
dapat ditentukan berdasarkan konteks.

ANALISIS WACANA

Prinsip Interpretasi Lokal dan Prinsip Analisis

Dalam analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan
prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi berdasarkan
konteks, baik konteks linguistik atau koteks maupun konteks nonlinguistik.
Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat,
tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan.

Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan


pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai. Dengan interpretasi analogi itu,
analis sudah dapat memahami wacana dengan konteks yang relevan saja. Hal itu
berarti bahwa analis tidak harus memperhitungkan semua konteks wancana.

Skemata dalam Analisis Wacana

Skemata adalah pengetahuan yang terkemas secara sistematis dalam ingatan


manusia. Skemata itu memiliki struktur pengendalian, yakni cara pengaktifan
skemata sesuai dengan kebutuhan. Ada dua cara yang disebut pengaktifan dalam
struktur itu, yakni (1) cara pengaktifan dari atas ke bawah dan (2) cara pengaktifan
dari bawah ke atas. Pengaktifan atas ke bawah adalah proses pengendalian skemata
dari konsep ke data atau dari keutuhan ke bagian. Pengaktifan bawah ke atas
adalah proses pengendalian skemata dari data ke konsep atau dari bagian ke
keutuhan.

Skemata berfungsi baik bagi pembaca/pendengar wacana maupun bagi analis


wacana. Bagi pendengar/pembaca, skemata berfungsi untuk memahami wacana.
Bagi analis wacana, di samping berfungsi untuk memahami wacana, skemata juga
berfungsi untuk melakukan analisis berbagai aspek wacana: elemen wacana,
struktur wacana, acuan kewacanaan, koherensi dan kohesi wacana, dan lain-lain.

Kegagalan pemahaman wacana terjadi karena tiga kemungkinan. Pertama,


pendengar/pembaca mungkin tidak mempunyai skemata yang sesuai dengan teks
yang dihadapinya. Kedua, pendengar/pembaca mungkin sudah mempunyai
skemata yang sesuai, tetapi petunjuk-petunjuk yang disajikan oleb penulis tidak
cukup memberikan saran tentang skemata yang dibutuhkan. Ketiga, pembaca,
mungkin mendapatkan penafsiran wacana secara tetap sehingga gagal memahami
maksud penutur.

Analisis Kohesi dan Koherensi

Praktik analisis wacana dilaksanakan dengan menerapkan prinsip interpretasi


lokal dan prinsip interpretasi analogi. Analisis wacana dapat diarahkan pada:
struktur, kohesi, dan koherensi, yang dapat dioperasionalkan antara lain untuk
menetapkan hubungan antarelemen wacana dan alat-alat kohesi yang berlaku
dalam sebuah teks. Dalam analisis itu diterapkan konteks yang relevan dengan
kebutuhan analisis.
Sumber Buku Wacana Bahasa Indonesia, karya Suparno dan Martutik

DIarsipkan di bawah: Bahasa

SINTAKSIS
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti
“dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi, secara
etimologi berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi
kelompok kata atau kalimat.

STRUKTUR SINTAKSIS

Secara umum struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S),


predikat (P), objek (O), dan keterangan (K) yang berkenaan dengan
fungsi sintaksis. Nomina, verba, ajektifa, dan numeralia berkenaan
dengan kategori sintaksis. Sedangkan pelaku, penderita, dan
penerima berkenaan dengan peran sintaksis.

Eksistensi struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata,


bentuk kata, dan intonasi; bisa juga ditambah dengan konektor yang
biasanya disebut konjungsi. Peran ketiga alat sintaksis itu tidak sama
antara bahasa yang satu dengan yang lain.

KATA SEBAGAI SATUAN SINTAKSIS

Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai


pengisi fungsi sintaksis, penanda kategori sintaksis, dan perangkai
dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan
sintaksis.

Kata sebagai pengisi satuan sintaksis, harus dibedakan adanya


dua macam kata yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh adalah
kata yang secara leksikal mempunyai makna, mempunyai
kemungkinan untuk mengalami proses morfologi, merupakan kelas
terbuka, dan dapat berdiri sendiri sebagai sebuah satuan. Yang
termasuk kata penuh adalah kata-kata kategori nomina, verba,
adjektiva, adverbia, dan numeralia. Misalnya mesjid memiliki makna ‘
tempat ibadah orang Islam ’. Sedangkan kata tugas adalah kata yang
secara leksikal tidak mempunyai makna, tidak mengalami proses
morfologi, merupakan kelas tertutup, dan di dalam peraturan dia tidak
dapat berdiri sendiri. Yang termasuk kata tugas adalah kata-kata
kategori preposisi dan konjungsi. Misalnya dan tidak mempunyai
makna leksikal, tetapi mempunyai tugas sintaksis untuk
menggabungkan menambah dua buah konstituen.

Kata-kata yang termasuk kata penuh mempunyai kebebasan


yang mutlak, atau hampir mutlak sehingga dapat menjadi pengisi
fungsi-fungsi sintaksis. Sedangkan kata tugas mempunyai kebebasan
yang terbatas, selalu terikat dengan kata yang ada di belakangnya
(untuk preposisi), atau yang berada di depannya (untuk posposisi),
dan dengan kata-kata yang dirangkaikannya (untuk konjungsi).

FRASE

Pengertian Frase

Frase lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa


gabungan kata yang bersifat nonpredikatif (hubungan antara kedua
unsur yang membentuk frase tidak berstruktur subjek - predikat atau
predikat - objek), atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi
salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat.

Jenis Frase

Frase Eksosentrik

Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak


mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya.

Frase eksosentris biasanya dibedakan atas frase eksosentris yang


direktif atau disebut frase preposisional ( komponen pertamanya
berupa preposisi, seperti di, ke, dan dari, dan komponen keduanya
berupa kata atau kelompok kata, yang biasanya berkategori nomina)
dan non direktif (komponen pertamanya berupa artikulus, seperti si
dan sang sedangkan komponen keduanya berupa kata atau kelompok
kata berkategori nomina, ajektifa, atau verba).

Frase Endosentrik

Frase Endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau


komponennya memiliki perilaku sintaksias yang sama dengan
keseluruhannya. Artinya, salah satu komponennya dapat
menggantikan kedudukan keseluruhannya. Frase ini disebut juga frase
modifikatif karena komponen keduanya, yaitu komponen yang bukan
inti atau hulu (Inggris head) mengubah atau membatasi makna
komponen inti atau hulunya itu. Selain itu disebut juga frase
subordinatif karena salah satu komponennya, yaitu yang merupakan
inti frase berlaku sebagai komponen atasan, sedangkan komponen
lainnya, yaitu komponen yang membatasi, berlaku sebagai komponen
bawahan.

Dilihat dari kategori intinya dibedakan adanya frase nominal


(frase endosentrik yang intinya berupa nomina atau pronomina maka
frase ini dapat menggantikan kedudukan kata nominal sebagai pengisi
salah satu fungsi sintaksis), frase verbal (frase endosentrik yang
intinya berupa kata verba, maka dapat menggantikan kedudukan kata
verbal dalam sintaksis), frase ajektifa (frase edosentrik yang intinya
berupa kata ajektiv), frase numeralia (frase endosentrik yang intinya
berupa kata numeral).

Frase Koordinatif

Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri


dari dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat dan secara
potensial dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif. Frase
koordinatif tidak menggunakan konjungsi secara eksplisit disebut frase
parataksis.

Frase Apositif

Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling


merujuk sesamanya, oleh karena itu urutan komponennya dapat
dipertukarkan.

Perluasan Frase

Salah satu ciri frase adalah dapat diperluas. Artinya, frase dapat diberi
tambahan komponen baru sesuai dengan konsep atau pengertian yang
akan ditampilkan.

Dalam bahasa Indonesia perluasan frase tampak sangat produktif.


Antara lain karena pertama, untuk menyatakan konsep-konsep
khusus, atau sangat khusus, atau sangat khusus sekali, biasanya
diterangkan secara leksikal. Faktor kedua, bahwa pengungkapan
konsep kala, modalitas, aspek, jenis, jumlah, ingkar, dan pembatas
tidak dinyatakan dengan afiks seperti dalam bahasa-bahasa fleksi,
melainkan dinyatakan dengan unsur leksikal. Dan faktor lainnya
adalah keperluan untuk memberi deskripsi secara terperinci dalam
suatu konsep, terutama untuk konsep nomina.

KLAUSA

Pengertian Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata


berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada
komponen, berupa kata atau frase, yang berungsi sebagai predikat;
dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan.

Klausa berpotensi untuk menjadi kalimat tunggal karena di


dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat.
Frase dan kata juga mempunyai potensi untuk menjadi kalimat kalau
kepadanya diberi intonasi final; tetapi hanya sebagai kalimat minor,
bukan kalimat mayor; sedangkan klausa berpotensi menjadi kalimat
mayor.

Jenis Klausa

Berdasarkan strukturnya klausa dibedakan klausa bebas ( klausa yang


mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai
subjek dan predikat; dan mempunyai potensi menjadi kalimat mayor)
dan klausa terikat (klausa yang unsurnya tidak lengkap, mungkin
hanya subjek saja, objek saja, atau keterangan saja). Klausa terikat
diawali dengan konjungsi subordinatif dikenal dengan klausa
subordinatif atau klausa bawahan, sedangkan klausa lain yang hadir
dalam kalimat majemuk disebut klausa atasan atau klausa utama.

Berdasarkan kategori unsur segmental yang menjadi predikatnya


dapat di bedakan: klausa verbal (klausa yang predikatnya berkategori
verba). Sesuai dengan adanya tipe verba, dikenal adanya (1) klausa
transitif (klausa yang predikatnya berupa verba transitif); (2) klausa
intransitif (klausa yang predikatnya berupa verba intransitif); (3)
klausa refleksif (klausa yang predikatnya berupa verba refleksif); (4)
klausa resiprokal (klausa yang predikatnya berupa verba resiprokal.
Klausa nominal (klausa yang predikatnya berupa nomina atau frase
nominal). Klausa ajektifal (klausa yang predikatnya berkategori
ajektifa, baik berupa kata maupun frase). Klausa adverbial (klausa
yang predikatnya berupa frase yang berkategori preposisi). Klausa
numeral (klausa yang predikatnya berupa kata atau frase numeralia).

Perlu dicatat juga istilah klausa berpusat dan klausa tak berpusat.
Klausa berpusat adalah klausa yang subjeknya terikat di dalam
predikatnya, meskipun di tempat lain ada nomina atau frase nomina
yang juga berlaku sebagai subjek.

KALIMAT

Pengertian Kalimat
Dengan mengaitkan peran kalimat sebagai alat interaksi dan
kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan, kalimat
didefinisikan sebagai “ Susunan kata-kata yang teratur yang berisi
pikiran yang lengkap ”. Sedangkan dalam kaitannya dengan satuan-
satuan sintaksis yang lebih kecil (kata, frase, dan klausa) bahwa
kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar,
yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila
diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.

Sehingga disimpulkan, bahwa yang penting atau yang menjadi dasar


kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final, sedangkan
konjungsi hanya ada kalau diperlukan. Intonasi final yang ada yang
memberi ciri kalimat ada tiga, yaitu intonasi deklaratif, yang dalam
bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik; intonasi interogatif,
yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda tanya; dan
intonasi seru, yang dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda
seru.

Jenis Kalimat

Kalimat Inti dan Kalimat Non-Inti

Kalimat inti, biasa juga disebut kalimat dasar, adalah kalimat yang
dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau
netral, dan afirmatif. Misalnya:

FN + FV + FN + FN : Nenek membacakan kakek komik

Ket : FN=Frase Nominal (diisi sebuah kata nominal); FV=Frase Verbal; FA=Frase
Ajektifa; FNum=Frase Numeral; FP=Frase Preposisi.

Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti dengan berbagai


proses transformasi:

KALIMAT INTI + PROSES TRANSFORMASI = KALIMAT NONINTI

Ket : Proses Transformasi antara lain transformasi pemasifan, transformasi


pengingkaran, transformasi penanyaan, transformasi pemerintahan, transformasi
pengonversian, transformasi pelepasan, transformasi penambahan.

Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk

Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya mempunyai satu klausa.


Sedangkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdapat lebih dari
satu klausa.
Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa dalam kalimat,
dibedakan: (1) kalimat majemuk koordinatif/ kalimat majemuk setara
yaitu kalimat majemuk yang klausa-klausanya memiliki status yang
sama, yang setara, atau yang sederajat. Secara eksplisit dihubungkan
dengan konjungsi koordinatif dan biasanya unsur yang sama
disenyawakan atau dirapatkan sehingga disebut kalimat majemuk
rapatan. (2) Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk
yang hubungan antara klausa-klausanya tidak setara atau sederajat.
Klausa yang satu merupakan klausa atasan dan yang lain disebut
klausa bawahan. Kedua klausa itu dihubungkan dengan konjungsi
subordinatif. Proses terbentuknya kalimat ini dapat dilihat dari dua
sudut bertentangan. Pertama, dipandang sebagai hasil proses
menggabungkan dua buah klausa atau lebih, dimana klausa yang satu
dianggap sebagai klausa atasan dan yang lain disebut klausa
bawahan. Pandangan kedua, konstruksi kalimat subordinatif dianggap
sebagai hasil proses perluasan terhadap salah satu unsur klausanya.
(3) Kalimat majemuk kompleks yaitu kalimat majemuk yang terdiri
dari tiga klausa atau lebih, dimana ada yang dihubungkan secara
koordinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Jadi,
kalimat ini merupakan campuran dari kalimat majemuk koordinatif dan
subordinatif sehingga disebut juga kalimat majemuk campuran.

Kalimat Mayor dan Kalimat Minor

Kalimat mayor mempunyai klausa lengkap, sekurang-kurangnya ada


unsur subjek dan predikat. Sedangkan kalimat minor klausanya tidak
lengkap, entah hanya terdiri subjek saja, predikat saja, objek saja,
atau keterangan saja; konteksnya bisa berupa konteks kalimat,
konteks situasi, atau juga topik pembicaraan.

Kalimat Verbal dan Kalimat non-Verbal

Kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal, atau
kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase berkategori verba.
Sedangkan kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan
kata atau frase verbal; bisa nominal, ajektifal, adverbial, atau juga
numeralia.

Berkenaan dengan banyaknya jenis atau tipe verbal, biasanya


dibedakan: (1) kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya
berupa verba transitif, yaitu verba yang biasanya diikuti oleh sebuah
objek kalau verba tersebut bersifat monotrasitif, dan diikuti oleh dua
buah objek kalau verba tersebut bersifat bitransitif. (2) kalimat
intransitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba intransitif,
yaitu verba yang tidak memiliki objek. (3) kalimat aktif adalah kalimat
yang predikatnya kata kerja aktif. Verba aktif biasanya ditandai
dengan prefiks me- atau memper- biasanya dipertentangkan degan
kalimat pasif yang ditandai dengan prefiks di- atau diper- . Ada juga
istilah kalimat aktif anti pasif dan kalimat pasif anti aktif sehubungan
dengan adanya sejumlah verba aktif yang tidak dapat dipasifkan dan
verba pasif yang tidak dapat dijadikan verba aktif (4) kalimat dinamis
adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis
menyatakan tindakan atau gerakan. (5) kalimat statis adalah kalimat
yang predikatnya berupa verba yang secara semantis tidak
menyatakan tindakan atau kegiatan. (6) kalimat nonverbal adalah
kalimat yang predikatnya bukan verba.

Kalimat Bebas dan Kalimat Terikat

Kalimat bebas adalah kalimat yang mempunyai potensi untuk menjadi


ujaran lengkap, atau dapat memulai sebuah paragraf atau wacana
tanpa bantuan kalimat atau konteks lain yang menjelaskannya.
Sedangkan kalimat terikat adalah kalimat yang tidak dapat berdiri
sendiri sebagai ujaran yang lengkap, atau menjadi pembuka paragraf
atau wacana tanpa bantuan konteks. Biasanya kalimat terikat
menggunakan salah satu tanda ketergantungan, seperti penanda
rangkaian, penunjukan, dan penanda anaforis.

Dari pembicaraan mengenai kalimat terikat, dapat disimpulkan bahwa


sebuah kalimat tidak harus mempunyai struktur fungsi secara lengkap.
Kelengkapan sebuah kalimat serta pemahamannya sangat tergantung
pada konteks dan situasinya.

Intonasi Kalimat

Intonasi merupakan ciri utama yang membedakan kalimat dari sebuah


klausa, sebab bisa dikatakan: kalimat minus intonasi sama dengan
klausa; atau kalau dibalik; klausa plus intonasi sama dengan kalimat.
Jadi, kalau intonasi dari sebuah kalimat ditanggalkan maka sisanya
yang tinggal adalah klausa.

Intonasi dapat diuraikan atas ciri-ciri yang berupa tekanan, tempo,


dan nada. Tekanan adalah ciri-ciri suprasegmental yang menyertai
bunyi ujaran. Tempo adalah waktu yang diperlukan untuk melafalkan
suatu arus ujaran. Nada adalah suprasegmental yang diukur
berdasarkan kenyaringan suatu segmen dalam suatu arus ujaran.
Dalam bahasa Indonesia dikenal tiga macam nada, yang biasa
dilambangkan dengan angka “1”, nada sedang dilambangkan dengan
angka “2”, dan nada tinggi dilambangkan dengan angka “3”.

contoh: Bacálah buku itu !

2 – 32t / 2 11t #

Ket: n=naik; t=turun; tanda - di atas huruf=tekanan

Tekanan yang berbeda menyebabkan intonasinya juga berbeda;


akibatnya keseluruhan kalimat itu pun akan berbeda.

Modus, Aspek, Kala, Modalitas, Fokus, dan Diatesis

Modus

Modus adalah pengungkapan atau penggambaran suasana psikologis


perbuatan menurut tafsiran si pembaca atau sikap si pembicara
tentang apa yang diungkapkannya.

Ada beberapa macam modus, antara lain (1) modus indikatif atau
modus deklaratif, yaitu modus yang menunjukkan sikap objektif atau
netral; (2) modus optatif, yaitu modus yang menunjukkan harapan
atau keinginan; (3) modus imperatif, yaitu modus yang menyatakan
perintah, larangan, atau tengahan; (4) modus interogatif, yaitu modus
yang menyatakan pertanyaan; (5) modus obligatif, yaitu modus yang
menyatakan keharusan; (6) modus desideratif, yaitu modus yang
menyatakan keinginan atau kemauan; dan (7) modus kondisional,
yaitu modus yang menyatakan persyaratan.

Sesungguhnya yang menjadi pembeda antara kalimat deklaratif,


interogatif, imperatif, dan interjektif, adalah modus.

Aspek

Aspek adalah cara untuk memandang pembentukan waktu secara


internal di dalam suatu situasi, keadaan, kejadian, atau proses. Dalam
berbagai bahasa aspek merupakan kategori gramatikal karena
dinyatakan secara morfemis. Dalam bahasa Indonesia aspek
dinyatakan tidak secara morfemis melainkan dengan berbagai cara
dan alat leksikal. Dalam bahasa Indonesia aspek juga ada yang sudah
dinyatakan secara inhern oleh tipe verbanya.

Berbagai macam aspek dari berbagai bahasa, antara lain: (1) aspek
kontinuatif, yaitu yang menyatakan perbuatan terus berlangsung; (2)
aspek inseptif, yaitu yang menyatakan peristiwa atau kejadian yang
baru mulai; (3) aspek progresif, yaitu aspek yang menyatakan
perbuatan sedang berlangsung; (4) aspek repetitif, yaitu yang
menyatakan perbuatan itu terjadi berulang-ulang; (5) aspek
perefektif, yaitu yang menyatakan perbuatan sudah selesai; (6) aspek
imperfektif, yaitu yang menyatakan perbuatan berlangsung sebentar;
dan (8) aspek sesatif, yaitu yang menyatakan perbuatan berakhir.

Kala

Kala atau tenses adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan


waktu terjadinya perbuatan, kejadian, tindakan, atau pengalaman
yang disebutkan di dalam predikat. Kala ini lazimnya menyatakan
waktu sekarang, sudah lampau, dan akan datang. Beberapa bahasa
menandai kala itu secara morfemis; artinya, pertanyaan kala itu
ditandai dengan bentuk kata tertentu pada verbanya.

Bahasa Indonesia tidak menandai kala secara morfemis, melainkan


secara leksikal.

Dalam bahasa Indonesia banyak orang yang mengelirukan konsep kala


dengan konsep keterangan waktu sebagai fungsi sintaksis; sehingga
mereka mengatakan kala sudah, sedang, dan akan adalah keterangan
waktu. Padahal keterangan waktu, dan keterangan lainnya, sebagai
fungsi sintaksis memberi keterangan terhadap keseluruhan kalimat.
Posisinya pun dapat dipindahkan ke awal kalimat atau ke tempat lain;
sedangkan kala terikat pada verbanya atau predikatnya. Penyebab
kekeliruan itu barangkali karena kata-kata seperti sudah, sedang, dan
akan itu “sejenis” dengan kata-kata kemarin, tadi, dan besok yang
menyatakan waktu; dan kata yang terakhir ini memang dapat mengisi
fungsi keterangan. Mungkin juga karena dalam tata bahasa
tradisional, istilah keterangan digunakan untuk dua macam konsep,
yaitu konsep fungsi sintaksis, dan konsep kategori sintaksis.

Modalitas

Modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap


pembicara terhadap hal yang dibicarakan, yaitu mengenai perbuatan,
keadaan, dan peristiwa; atau juga sikap terhadap lawan bicaranya.
Sikap ini dapat berupa pernyataan kemungkinan, keinginan, atau juga
keizinan. Dalam bahasa Indonesia dan sejumlah bahasa lain,
modalitas dinyatakan secara leksikal.
Dalam kepustakaan linguistik dikenal adanya beberapa jenis
modalitas; antara lain (1) modalitas intensional, yaitu modalitas yang
menyatakan keinginan, harapan, permintaan, atau juga ajakan; (2)
modalitas epistemik, yaitu modalitas yang menyatakan kemungkinan,
kepastian, dan keharusan; (3) modalitas deontik, yaitu modalitas yang
menyatakan keizinan atau keperkeaan; dan (4) modalitas diamik,
yaitu modalitas yang menyatakan kemampuan.

Fokus

Fokus adalah unsur yang menonjolkan bagian kalimat sehingga


perhatian pendengar atau pembaca tertuju pada bagian itu. Ada
bahasa yang mengungkapkan fokus ini secara morfemis, dengan
menggunakan afiks tertentu; tetapi ada pula yang menggunakan cara
lain.

Dalam bahasa Indonesia fokus kalimat dapat dilakukan dengan


berbagai cara, antara lain: Pertama, dengan memberi tekanan pada
bagian kalimat yang difokuskan. Kedua, dengan mengedepankan
bagian kalimat yang difokuskan. Ketiga, dengan cara memakai partikel
pun, yang, tentang, dan adalah pada bagian kalimat yang difokuskan.
Keempat, dengan mengontraskan dua bagian kalimat. Kelima, dengan
menggunakan konstruksi posesif anaforis beranteseden.

Diatesis

Diatesis adalah gambaran hubungan antara pelaku atau peserta dalam


kalimat dengan perbuatan yang dikemukakan dalam kalimat itu.

Ada beberapa macam diatesis, antara lain, (1) diatesis aktif, yakni jika
subjek yang berbuat atau melakukan suatu perbuatan; (2) diatesis
pasif, jika subjek berbuat atau melakukan sesuatu terhadap dirinya
sendiri; (3) diatesis refleksi, yakni jika subjek berbuat atau melakukan
sesuatu terhadap dirinya sendiri; (4) diatesis resiprokal, yakni jika
subjek yang terdiri dari dua pihak berbuat tindakan berbalasan; dan
(5) diatesis kausatif, yakni jika subjek menjadi penyebab atas
terjadinya sesuatu.

WACANA

Pengertian wacana

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki


gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti
terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa
dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam
wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang
memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan
lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana
itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan
antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik
dan benar.

Alat Wacana

Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah


wacana menjadi kohesif, antara lain: Pertama, konjungsi, yakni alat
untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau
menghubungkan paragraf dengan paragraf. Kedua, menggunakan kata
ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis sehingga
bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan
menggunakan kata ganti. Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu
penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang
lain.

Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan


koheren dapat juga dibuat dengan bantuan berbagai aspek semantik,
antara lain: Pertama, menggunakan hubungan pertentangan pada
kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Kedua,
menggunakan hubungan generik - spesifik; atau sebaliknya spesifik -
generik. Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi
kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu
wacana. Keempat, menggunakan hubungan sebab - akibat di antara
isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu
wacana. Kelima, menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah
wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang sama pada
dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.

Jenis Wacana

Berkenaan dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa


tulis, dilihat adanya wacana lisan dan wacana tulis.

Dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian


ataukah bentuk puitik dibagi wacana prosa dan wacana puisi.
Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari penyampaian isinya dibedakan
menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan
wacana argumentasi.

Subsatuan Wacana

Dalam wacana berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau


sub-subsatuan wacana yang disebut bab, subbab, paragraf, atau juga
subparagraf. Namun, dalam wacana –wacana singkat sub-subsatuan
wacana tidak ada.

CATATAN MENGENAI HIERARKI SATUAN

Urutan hierarki satuan-satuan linguistik bahwa satuan yang satu


tingkat lebih kecil akan membentuk satuan yang lebih besar yaitu :
wacana, kalimat, klausa, frase, kata, morfem, fonem. Urutan hierarki
tersebut adalah urutan normal teoritis. Dalam praktek berbahasa
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan urutan.
Kalau dalam urutan normal kenaikan tingkat atau penurunan tingkat
terjadi pada jenjang berikutnya yang satu tingkat ke atas atau satu
tingkat ke bawah, maka dalam pelompatan tingkat terjadi peristiwa,
sebuah satuan menjadi konstituen dalam jenjang, sekurang-
kurangnya, dua tingkat di atasnya. Kasus pelapisan tingkat terjadi
kalau sebuah konstituen menjadi unsur konstituen pada konstruksi
yang tingkatannya sama. Dan kasus penurunan tingkat terjadi apabila
sebuah konstituen menjadi unsur konstituen lain yang tingkatannya
lebih rendah sari tingkatan konstituen asalnya.

Sejarah Singkat Kajian Wacana


Pada mulanya linguistik merupakan bagian dari filsafat. Linguistik modern, yang
dipelopori oleh Ferdinand de Saussure pada akhir abad ke-19, mengkaji bahasa secara
ilmiah. Kajian lingusitik modern pada umumnya terbatas pada masalah unsur-unsur
bahasa, seperti bunyi, kata, frase, dan kalimat serta unsur makna (semantik). Kajian
linguistik rupanya belum memuaskan. Banyak permasalahan bahasa yang belum dapat
diselesaikan. Akibatnya, para ahli mencoba untuk mengembangkan disiplin kajian baru
yang disebut analisis wacana.
Analisis wacana menginterpretasi makna sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks,
sebab konteks menentukan makna ujaran. Konteks meliputi konteks linguistik dan
konteks etnografi. Konteks linguistik berupa rangkaian kata-kata yang mendahului atau
yang mengikuti, sedangkan konteks etnografi berbentuk serangkaian ciri faktor etnografi
yang melingkupinya, misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa.
Manfaat melakukan kegiatan analisis wacana adalah memahami hakikat bahasa,
memahami proses belajar bahasa dan perilaku berbahasa.

Kegiatan Belajar 2:

Pengertian Wacana dan Analisis Wacana


Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat
atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau
interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana
sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi
secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa.
Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana
merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara
alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.

Kegiatan Belajar 3:

Persyaratan Terbentuknya Wacana


Penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun
wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat
atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity)
dan kepaduan (coherent).
Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik
yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya
disusun secara teratur dan sistematis sehingga menunjukkan kerunutan ide yang
diungkapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian dan George Yule. (1983). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.

Clark, Herbert H. dan Eve V. Clark. (1977). Psychology and Language. New York:
Harcourt Brace Jovanovich.

Cook,Guy. (1989). Discourse. Oxford: University Press.

Ellis.(1986). Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University.

Hatch, Evelyn dan Michael H. Long. (1980). Discourse Analysis, What’s That dalam
Larsen-Freeman, Diane (ed). Discourse Analysis in Second Language Research. Rowly:
New Bury House Pub.

Keenan, E. Ochs. (1983). Conversational Competence in Children dalam Ochs, Elinor


dan Bambi B. Schieffelin (ed) Acquiring Conversational Competence. London: Rutledge
& Kegan Paul.
Keneavy, James L. (1971). A Theory of Discourse. London: WW Norton and Company.

Martutik. (1992). Analisis Wacana Iklan Radio yang Berbahasa Indonesia. (tesis).

Poerwadarminta, W.J.S. (1986). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rani, Abdul, (1992). Analisis Wacana Percakapan Anak-anak Usia Prasekolah. Malang:
PPS IKIP Malang (tesis tidak diterbitkan).

Rani, Abdul. (1996). Analisis Wacana Interaktif. (Bahan Ajar di Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya).
Samsuri. (1998). Analisis Wacana. Malang: IKIP Malang.

Sinclair, J. Mch. dan R.M. Coulthard. (1979). Towards on Analysis of Discourse. Oxford:
Oxford University Press.

Stubbs, Michael. (1983) Discourse Analysis. Chicago: The University at Chicago Press.

Modul 2: STRUKTUR WACANA BAHASA INDONESIA


Kegiatan Belajar 1:

Elemen-elemen Wacana
Elemen-elemen wacana adalah unsur-unsur pembentuk teks wacana. Elemen-elemen itu
tertata secara sistematis dan hierarkis. Berdasarkan nilai informasinya ada elemen inti dan
elemen luar inti. Elemen inti adalah elemen yang berisi informasi utama, informasi yang
paling penting. Elemen luar inti adalah elemen yang berisi informasi tambahan, informasi
yang tidak sepenting informasi utama.
Berdasarkan sifat kehadirannya, elemen wacana terbagi menjadi dua kategori, yakni
elemen wajib dan elemen mana suka. Elemen wajib bersifat wajib hadir, sedangkan
elemen mana suka bersifat boleh hadir dan boleh juga tidak hadir bergantung pada
kebutuhan komunikasi.

Kegiatan Belajar 2:
Relasi Antarelemen dalam Wacana
Ada berbagai relasi antarelemen dalam wacana. Relasi koordinatif adalah relasi
antarelemen yang memiliki kedudukan setara. Relasi subordinatif adalah relasi
antarelemen yang kedudukannya tidak setara. Dalam relasi subordinatif itu terdapat
atasan dan elemen bawahan. Relasi atribut adalah relasi antara elemen inti dengan atribut.
Relasi atribut berkaitan dengan relasi subordinatif karena relasi atribut juga berarti relasi
antara elemen atasan dengan elemen bawahan.
Relasi komplementatif adalah relasi antarelemen yang bersifat saling melengkapi. Dalam
relasi itu, masing-masing elemen memiliki kedudukan yang otonom dalam membentuk
teks. Dalam jenis ini tidak ada elemen atasan dan bawahan.

Kegiatan Belajar 3:
Struktur Wacana Bahasa Indonesia
Struktur wacana adalah bangun konstruksi wacana, yakni organisasi elemen-elemen
wacana dalam membentuk wacana. Struktur wacana dapat diperikan berdasarkan
peringkat keutamaan atau pentingnya informasi dan pola pertukaran. Berdasarkan
peringkat keutamaan informasi ada wacana yang mengikuti pola segitiga tegak dan ada
wacana yang mengikuti pola segitiga terbalik. Berdasarkan mekanisme pertukaran dapat
dikemukakan pola-pola pertukaran berikut: (1) P-S, (2) T-J, (3) P-T, (4) T-T, (5) Pr-S,
dan (6) Pr-T

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. (1993). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Akhadiah, Sabarti, dkk. (1995). Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia.


Jakarta: Erlangga.

Brown, Gillian & George Yule. (1983). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge,
University Press.

Cook, Guy. (1989). Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. (1985). Elemen dalam Wacana dan Penerapannya pada Bahasa
Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia di Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta

de Beaugrande, R. (1980). Text, Discourse dan Process. London: Longman.

Halliday, M.A.K. dan Hasan R. (1976). Cohesion in English. London: Longman.

Modul 3: REFERENSI DAN INFERENSI SERTA KOHESI DAN KOHERENSI


WACANA BAHASA INDONESIA
Kegiatan Belajar 1:

Referensi dan Inferensi Wacana Bahasa Indonesia


Referensi dalam analisis wacana lebih luas dari telaah referensi dalam kajian sintaksis
dan semantik. Istilah referensi dalam analisis wacana adalah ungkapan kebahasaan yang
dipakai seorang pembicara/penulis untuk mengacu pada suatu hal yang dibicarakan, baik
dalam konteks linguistik maupun dalam konteks nonlinguistik. Dalam menafsirkan acuan
perlu diperhatikan, (a) adanya acuan yang bergeser, (b) ungkapan berbeda, tetapi
acuannya sama, dan (c) ungkapan yang sama mengacu pada hal yang berbeda.
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya.
Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna
tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur).
Kegiatan Belajar 2:

Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia


Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh
penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur
pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting dari
kohesi. Namun bukan berarti kohesi tidak penting, Jenis alat kohesi ada 3, yaitu
substitusi, konjungsi, dan leksikal.
Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan salah
satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan bentuk-bentuk
yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis).
Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan
yang sejajar (coordinative) dan subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang
sejajar secara beruntun.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian dan George Yule. (1983). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.

Cook,Guy. (1989). Discourse. Oxford: University Press.

Coulthard, M. Montgomery and Bazil, D. (1981).“Developing a Description of Spoken


Discourse dalam Coulthard, Malcolm dan Martin Montgomery (ed). Studies in Discourse
Analysis London: Rutledge and Kegan Paul Ltd.

Green, J. dan Wallat C. (ed). (1981). Ethnography and Language in Educational setting.
Norwood, New Jersey: Ablex Publishing Corporation.

Samsuri. (1988). Analisis Wacana. Malang: IKIP Malang.

Samsuri. (1985). Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.

Stubbs, Michael. (1983) Discourse Analysis. Chicago: The University at Chicago Press.

Modul 4: JENIS-JENIS WACANA BAHASA INDONESIA


Kegiatan Belajar 1:

Wacana Lisan dan Tulis


Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas
wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan berbeda dari wacana tulis. Wacana lisan
cenderung kurang terstruktur (gramatikal), penataan subordinatif lebih sedikit, jarang
menggunakan piranti hubung (alat kohesi), frasa benda tidak panjang, dan berstruktur
topik-komen. Sebaliknya wacana tulis cenderung gramatikal, penataan subordinatif lebih
banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan berstruktur subjek-
predikat.

Kegiatan Belajar 2:

Wacana Monolog, Dialog, dan Polilog


Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada 3 jenis
wacana, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Apabila dalam suatu komunikasi
hanya ada satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain maka
wacana yang dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak berganti
peran sebagai pendengar. Apabila peserta dalam komunikasi itu 2 orang dan terjadi
pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya) maka wacana yang
dibentuknya disebut dialog. Jika peserta dalam komunikasi lebih dari dua orang dan
terjadi pergantian peran maka wacana yang dihasilkan disebut polilog.

Kegiatan Belajar 3:

Wacana Deskripsi, Eksposisi, Argumentasi, Persuasi dan Narasi


Dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi, dikenal ada wacana deskripsi,
eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi. Wacana deskripsi bertujuan membentuk
suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal pada penerima pesan. Aspek kejiwaan yang
dapat mencerna wacana narasi adalah emosi. Sedangkan wacana eksposisi bertujuan
untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar yang bersangkutan memahaminya.
Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh
penerima pesan. Oleh sebab itu, untuk memahami wacana eksposisi diperlukan proses
berpikir. Wacana argumentasi bertujuan mempengaruhi pembaca atau pendengar agar
menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan
logika maupun emosional. Untuk mempertahankan argumen diperlukan bukti yang
mendukung. Wacana persuasi bertujuan mempengaruhi penerima pesan agar melakukan
tindakan sesuai yang diharapkan penyampai pesan. Untuk mempengaruhi ini, digunakan
segala upaya yang memungkinkan penerima pesan terpengaruh. Untuk mencapai tujuan
tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Wacana
narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Oleh karena itu, unsur-unsur yang
biasa ada dalam narasi adalah unsur waktu, pelaku, dan peristiwa.

DAFTAR PUSTAKA
Allwright, R.L. (1980). Turns, Topic, and Tasks: Pattern of Participation in Language
Learning and Teaching dalam Larsen-Freeman, Diane (ed). Discourse Analysis in Second
Language Research. Rowley: Newbury House Pub.

Brown, Gillian dan George Yule. (1983). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.

Cook,Guy. (1989). Discourse. Oxford: University Press.

Coulthard, M. Montgomery and Bazil, D. (1981). Developing a Description of Spoken


Discourse dalam Coulthard, Malcolm dan Martin Montgomery (ed). Studies in Discourse
Analysis London: Rutledge and Kegan Paul Ltd.

Ellis. (1986). Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University.

Keenan, E. Ochs. (1983). Conversational Competence inf Children dalam Ochs, Elinor
dan Bambi B. Schieffelin (ed) Acquiring Conversational Competence. Londan: Rutledge
& Kegan Paul.

Samsuri. (1998). Analisis Wacana. Malang: IKIP Malang.

Sinclair, J. Mch. dan R.M. Coulthard. (1979). Towards on Analysis of Discourse. Oxford:
Oxford University Press.

Stubbs, Michael. (1983) Discourse Analysis. Chicago: The University at Chicago Press.

Modul 5: KONTEKS WACANA BAHASA INDONESIA


Kegiatan Belajar 1:

Hakikat Konteks
Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau
situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat
pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau
bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut
konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan,
topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis),
bentuk komunikasi (dialog, monolog atau polilog)
Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara
tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa
senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan
adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.

Kegiatan Belajar 2:

Macam-macam Konteks
Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Secara garis besar,
konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks
ekstralinguistik. Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa.
Konteks linguistik itu mencakup penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan
proposisi positif
Di samping konteks ada juga koteks. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan
sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks. Wujud
koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana.
Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks
ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar,
saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam
peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan
pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran
adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah
bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.

Kegiatan Belajar 3:

Penggunaan Konteks dalam Analisis Wacana


Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada
status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun
konteks ekstralinguistik.
Tiga manfaat konteks dalam analisis wacana.
1. Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan
konteks linguistik.
2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah
tuturan ditentukan oleh konteks wacana.
3. Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki
unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan
berdasarkan konteks.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. (1993). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Brown, Gillian dan George Yule. (1983). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.

Cook,Guy. (1989). Discourse. Oxford: University Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. (1985). Elemen dalam Wacana dan Penerapannya pada Bahasa
Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia di Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta

de Beaugrande, R. (1980). Text, Discourse dan Process. London: Longman.

Halliday, M.A.K. dan Hasan R. (1976). Cohesion in English. London: Longman.

Kartomihardjo, Soeseno. (1976). Analisis Wacana dan Penerapannya. Orasi Ilmiah dalam
Rangka Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang.

Modul 6: ANALISIS WACANA

Kegiatan Belajar 1:
Prinsip Interpretasi Lokal dan Prinsip Analisis
Dalam analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip
analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi berdasarkan konteks, baik
konteks linguistik atau koteks maupun konteks nonlinguistik. Konteks nonlinguistik yang
merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu,
ranah penggunaan wacana, dan partisipan.
Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan
pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai. Dengan interpretasi analogi itu, analis
sudah dapat memahami wacana dengan konteks yang relevan saja. Hal itu berarti bahwa
analis tidak harus memperhitungkan semua konteks wacana.

Kegiatan Belajar 2:

Skemata dalam Analisis Wacana


Skemata adalah pengetahuan yang terkemas secara sistematis dalam ingatan manusia.
Skemata itu memiliki struktur pengendalian, yakni cara pengaktifan skemata sesuai
dengan kebutuhan. Ada 2 cara yang disebut pengaktifan dalam struktur itu, yakni (1) cara
pengaktifan dari atas ke bawah dan (2) cara pengaktifan dari bawah ke atas. Pengaktifan
atas ke bawah adalah proses pengendalian skemata dari konsep ke data atau dari
keutuhan ke bagian. Pengaktifan bawah ke atas adalah proses pengendalian skemata dari
data ke konsep atau dari bagian ke keutuhan.
Skemata berfungsi baik bagi pembaca/pendengar wacana maupun bagi analis wacana.
Bagi pendengar/pembaca, skemata berfungsi untuk memahami wacana. Bagi analis
wacana, di samping berfungsi untuk memahami wacana, skemata juga berfungsi untuk
melakukan analisis berbagai aspek wacana, yaitu elemen wacana, struktur wacana, acuan
kewacanaan, koherensi dan kohesi wacana, dan lain-lain.
Kegagalan pemahaman wacana terjadi karena tiga kemungkinan. Pertama,
pendengar/pembaca mungkin tidak mempunyai skemata yang sesuai dengan teks yang
dihadapinya. Kedua, pendengar/pembaca mungkin sudah mempunyai skemata yang
sesuai, tetapi petunjuk-petunjuk yang disajikan oleb penulis tidak cukup memberikan
saran tentang skemata yang dibutuhkan. Ketiga, pembaca, mungkin mendapatkan
penafsiran wacana secara tetap sehingga gagal memahami maksud penutur.

Kegiatan Belajar 3:

Analisis Kohesi dan Koherensi


Praktik analisis wacana dilaksanakan dengan menerapkan prinsip interpretasi lokal dan
prinsip interpretasi analogi. Analisis wacana dapat diarahkan pada struktur, kohesi, dan
koherensi yang dapat dioperasionalkan, antara lain untuk menetapkan hubungan
antarelemen wacana dan alat-alat kohesi yang berlaku dalam sebuah teks. Dalam analisis
itu diterapkan konteks yang relevan dengan kebutuhan analisis.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. (1993). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Brown, Gillian dan George Yule. (1983). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.

Cook, Guy. (1989). Discourse. Oxford: University Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. (1985). Elemen dalam Wacana dan Penerapannya pada Bahasa
Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia di Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta

de Beaugrande, R. (1980). Text, Discourse dan Process. London: Longman.

Halliday, M.A.K. dan Hasan R. (1976). Cohesion in English. London: Longman.

Kartomihardjo, Soeseno. (1976). Analisis Wacana dan Penerapannya. Orasi Ilmiah dalam
Rangka Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang.

Pengertian Paragraf / Alinea dan Bagian dari Paragraf - Bahasa


Indonesia
Mon, 08/05/2006 - 12:24am — godam64

Paragraf adalah suatu bagian dari bab pada sebuah karangan atau karya ilmiah yang mana
cara penulisannya harus dimulai dengan baris baru. Paragraf dikenal juga dengan nama
lain alinea. Paragraf dibuat dengan membuat kata pertama pada baris pertama masuk ke
dalam (geser ke sebelah kanan) beberapa ketukan atau spasi. Demikian pula dengan
paragraf berikutnya mengikuti penyajian seperti paragraf pertama.

- Syarat sebuah paragraf


Di setiap paragraf harus memuat dua bagian penting, yakni :
1. Kalimat Pokok
Biasanya diletakkan pada awal paragraf, tetapi bisa juga diletakkan pada bagian tengah
maupun akhir paragraf. Kalimat pokok adalah kalimat yang inti dari ide atau gagasan dari
sebuah paragraf. Biasanya berisi suatu pernyataan yang nantinya akan dijelaskan lebih
lanjut oleh kalimat lainnya dalam bentuk kalimat penjelas.
2. Kalimat Penjelas
Kalimat penjelas adalah kalimat yang memberikan penjelasan tambahan atau detail
rincian dari kalimat pokok suatu paragraf.

- Bagian-Bagian Suatu Paragraf yang Baik


A. Terdapat ide atau gagasan yang menarik dan diperlukan untuk merangkai keseluruhan
tulisan.
B. Kalimat yang satu dengan yang lain saling berkaitan dan berhubungan dengan wajar.

• bahasa indonesia

You might also like