You are on page 1of 168

PERSEPSI KLIEN TENTANG KEEFEKTIFAN KONSELOR

DALAM MELAKSANAKAN KONSELING INDIVIDUAL DITINJAU DARI


TINGKAT PENDIDIKAN, PENGALAMAN KERJA DAN GENDER KONSELOR
DI SMA NEGERI SE-KOTA SEMARANG TAHUN AJARAN 2004/2005

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka Penyelesaian Studi Strata 1


untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh
Nama : Kanthi Puji Solehhati
N I M : 1314980978
Program Studi : Bimbingan dan Konseling

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
ABSTRAK

Kanthi Puji Solehhati, 2005. Persepsi Klien tentang Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja, dan Gender Konselor
di SMA Negeri se-Kota Semarang Tahun Ajaran 2004/2005.
Pelaksanaan konseling individual hingga saat ini belum optimal, hal tersebut dapat dilihat
dari masih adanya konselor sekolah dalam melaksanakan konseling individual kurang
berprosedur/tidak sistematis. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
keefektifan dan perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender konselor menurut persepsi klien.
Penelitian ini menggunakan studi populasi, yaitu siswa di SMA Negeri se-Kota
Semarang yang sudah pernah memanfaatkan konseling individual dengan minimal dua kali tatap
muka dalam satu penyelesaian masalah yang berjumlah 99 responden. Variabel penelitian adalah
variabel tunggal yakni keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual. Metode
pengumpul data adalah skala psikologi, dengan alat pengumpul data skala persepsi. Skala
tersebut berisi pernyataan sebanyak 125 item, diberikan kepada 55 responden. Uji validitas
dengan menggunakan rumus Product Moment. Uji reliabilitas dengan menggunakan rumus
Alpha. Analisis data menggunakan Analisis Deskriptif dan Analisis Statistika Inferensial U Mann
Whitney dan Kruskal Wallis.
Hasil perhitungan penelitian mengatakan bahwa (1) Klien mempunyai persepsi yang
positif (baik) terhadap keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau
dari tingkat pendidikan (D3 BK = 2,66/67% dan S1 BK = 3,11/78%), pengalaman kerja (0 – 11
tahun = 2,62/66%, 12 - 23 tahun = 3,07/77%, dan > 24 tahun = 3,19/80%), dan gender konselor
(wanita = 3,01/75% dan pria 3,14/79%). (2) Ada perbedaan keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan konselor D3 dan S1
bimbingan dan konseling menurut persepsi klien (Zhitung = -2,561 < -Ztabel = -1,96) pada taraf
signifikan 5% dengan U = 19. (3) Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja konselor 0 tahun – 11 tahun dengan konselor
dengan masa kerja 12 tahun – 23 tahun dan > 24 tahun menurut persepsi klien (χhitung = 7,532 >
χ²tabel = 5,99) dan (Zhitung = -2,448 < -Ztabel = -1,96) pada taraf signifikan 5% dengan U = 9 dan
(Zhitung = -2,552 < -Ztabel = -1,96) pada taraf signifikan 5% dengan U = 1. (4) Tidak ada
perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari gender
konselor pria dan wanita menurut persepsi klien (Zhitung = -0,849 < Ztabel = 1,96) pada taraf
signifikan 5% dengan U = 87.
Simpulan: (1) Klien mempunyai persepsi yang positif terhadap keefektifan konselor
dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja
dan gender konselor. (2) Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan dan pengalaman kerja konselor menurut persepsi
klien. (3) Tidak ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien. Saran: Untuk meningkatkan
profesionalisme konselor di sekolah khususnya konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK
dapat dilakukan melalui kegiatan ilmiah dalam bidang bimbingan dan konseling seperti seminar,
loka karya, penataran, work shop, diskusi-diskusi melalui MGBK (Musyawarah Guru
Bimbingan dan Konseling), maupun dengan melanjutkan studi ke jenjang S1 bimbingan dan
konseling. Pengetahuan, keterampilan dan kualitas kepribadian akan diperoleh melalui
pengalaman kerja, maka hendaknya konselor di sekolah dapat melaksanakan kegiatan bimbingan
dan konseling, khususnya konseling individual dengan sebaik-baiknya. Sedangkan bagi peneliti
lain sebagai dasar pijakan untuk penelitian lanjutan dengan menambah variabel yang diteliti
seperti motivasi kerja, sarana-prasarana, kerja sama antar konselor dan variabel yang lainnya,
sehingga diperoleh jawaban yang lebih jelas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual.

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Semarang, pada:

Hari : Kamis,

Tanggal : 24 Maret 2005

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Drs. Siswanto Drs. Suharso, M.Pd


NIP. 130515769 NIP. 131754158

Anggota Penguji
Pembimbing I

Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd 1. Drs. Suharso, M.Pd


NIP. 130607619 NIP. 131754158

Pembimbing II 2. Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd


NIP. 130607619

Drs. Supriyo, M.Pd 3. Drs. Supriyo, M.Pd


NIP. 130783045 NIP. 130783045

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO:

1. “Dosa terbesar adalah ketakutan. Rekreasi terbaik adalah bekerja. Musibah terbesar

adalah keputus-asaan. Keberanian terbesar adalah kesabaran. Guru terbaik adalah

pengalaman. Misteri terbesar adalah kematian. Kehormatan terbesar adalah

kesetiaan. Karunia terbesar adalah anak yang soleh. Sumbangan terbesar adalah

berpartisipasi. Modal terbesar adalah kemandirian” (Ali Bin Abi Thalib).

PERSEMBAHAN:

Karya Penelitian Ini Kupersembahkan Kepada:

1. Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

2. Ayahanda (Bp. Sugiyono M.A) & Ibunda (Ny. Sri

Sudartinah), Kakak (Mas Teguh & Mbak Eni),

Adik (Priyo) & Keponakan (Andra) tersayang,

yang telah memberikan kekuatan karena doa dan

harapannya yang sangat besar pada diriku.

3. Mas Ardian Sayogo terkasih, yang menjadi sumber

kekuatan karena kesabaran, doa, semangat dan

dorongan yang telah diberikan pada diriku.

4. Almamater tercinta.

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, inayah dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul: “Persepsi Klien tentang Keefektifan Konselor dalam
Melaksanakan Konseling Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja, dan
Gender Konselor di SMU Negeri se-Kota Semarang Tahun Pelajaran 2004/2005)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi Strata 1 (S1)
pada Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan - Universitas
Negeri Semarang.
Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dan mendukung selama proses penyusunan skripsi dari awal hingga
terselesaikannya skripsi ini, kepada:
1. Dr. A. T. Soegito, SH, MM Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. Siswanto, MM Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang,
yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.
3. Drs. Suharso, M.Pd Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang, yang telah membantu penulis menetapkan
judul skripsi.
4. Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd Dosen Pembimbing I, yang telah
membimbing dan banyak memberikan pengarahan dan motivasi yang sangat berarti
bagi penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Drs. Supriyo, M.Pd, Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan banyak
memberikan pengarahan dan motivasi yang sangat berarti bagi penulis dalam
menyusun skripsi ini.
6. Tim Penguji, yang telah memberikan masukan dan saran guna perbaikan skripsi ini.

v
7. Drs. Sri Santoso, Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang dan Bp/Ibu Kepala SMA
Negeri se-Kota Semarang yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan
penelitian.
8. Bapak/Ibu Guru Pembimbing di SMU Negeri se-Kota Semarang yang membantu
pelaksanaan penelitian dan siswa di SMA Negeri Se-Kota Semarang, sebagai
responden penelitian yang telah bersedia mengisi instrumen penelitian.
5. Kawan-kawan seperjuanganku angkatan 1998 Jurusan Bimbingan & Konseling FIP-
UNNES (khususnya Teguh: Ayo semangat!!!), yang telah bersama bahu membahu
dalam menuntut ilmu dibangku kuliah.
6. Teman-teman terbaikku di PILAR PKBI-JATENG (Staff & Fasilitator), yang telah
memberikan motivasi & perhatian pada diriku.
7. Ibu Kost & teman-teman terbaikku di Kost (Ika Brindil, Ova, Lina, Mba Alfi, Dwita,
Sani, Ika Doo…, You see & Rita), yang telah memberikan suasana kondusif dikost.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah banyak
membantu dalam proses penyusunan skripsi ini, dari awal hingga terselesaikannya
skripsi ini.
Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini dari awal hingga akhir dengan
sebaik-baiknya, namun dengan penuh kesadaran penulis mengakui bahwa skripsi ini
masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu segala bentuk saran
dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan bagi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga hasil skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya dan bagi pembaca yang budiman serta bagi pengembang ilmu
pengetahuan.

Semarang, 24 Maret 2005

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
ABSTRAK ........................................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. iv
KATA PENGANTAR....................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xi

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................... 1
B. Permasalahan ....................................................................... 6
C. Penegasan Istilah .................................................................. 7
D. Tujuan Penelitian ................................................................. 9
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 10
F. Sistematika Skripsi .............................................................. 11

BAB II : LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS


A. Persepsi
1.................................................................................. Pengertian
Persepsi ............................................. 12
2.................................................................................. Faktor-
faktor yang mempengaruhi
terbentuknya
Persepsi ........................................................................... 15
3.................................................................................. Syarat-
syarat Terjadinya Persepsi ................ 17

B. Konselor Sekolah
1.................................................................................. Pengertian
Konselor............................................ 20
2.................................................................................. Persyarata
n Konselor......................................... 20
3.................................................................................. Tugas dan
Tanggung Jawab Konselor................ 28

C. Konseling Individual
1. Pengertian Konseling Individual ..................................... 30

vii
2.................................................................................. Tujuan
Konseling Individual ........................ 32
3.................................................................................. Langkah-
langkah Konseling Individual........... 33
4.................................................................................. Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Konseling Efektif
.......................................................... 35

D. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling


Individual ............................................................................. 37

E. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan


Konseling Individual Ditinjau dari Tingkat Pendidikan,
Pengalaman Kerja, dan Gender Konselor menurut Persepsi
Klien
1.................................................................................. Karakterist
ik Konselor ditinjau dari Tingkat
Pendidikan
a. Pengertian Tingkat Pendidikan ................................... 44
b. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Tingkat
Pendidikan ..................................................................
2.................................................................................. Karakterist
ik Konselor ditinjau dari Pengalaman
Kerja
a. Pengertian Tingkat Pendidikan ...................................
b. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Masa Kerja ..........
3.................................................................................. Karakterist
ik Konselor diTinjau dari Gender
a. Pengertian Tingkat Pendidikan ...................................
b. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Gender .................

D. Hipotesis .............................................................................. 64

BAB III : METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian..................................................................... 66
B. Populasi Penelitian .............................................................. 67
C. Variabel Penelitian .............................................................. 72
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data .................................. 74
E. Validitas dan Reliabilitas ..................................................... 82
F. Metode Analisis Data........................................................... 85

BAB IV : HASIL PENELITIAN


A. Hasil Penelitian
1.................................................................................. Proses
Perijinan................................................................ 89
viii
2.................................................................................. Gambaran
Umum Populasi Penelitian ................................... 89
3.................................................................................. Rancangan
Alat Pengumpul Data ........................................... 93
4.................................................................................. Uji
Coba/Try Out Instrumen....................................... 93
5.................................................................................. Pengumpul
an Data ................................................................. 96
6.................................................................................. Hasil
Analisis Data ........................................................ 97
B. Pembahasan ......................................................................... 115

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan ............................................................................. 127
B. Saran..................................................................................... 127

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 129


DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... 131

ix
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Populasi Penelitian (Jumlah Klien yang sudah pernah Konseling

Individual dengan Konselor yang Mempunyai Tingkat Pendidikan

D3 Bimbingan dan Konseling dan S1 Bimbingan dan Konseling) ............ 71

2. Populasi Penelitian (Jumlah Klien yang sudah pernah Konseling

Individual dengan Konselor yang Mempunyai Masa Kerja 0 – 11 tahun,

12 – 23 tahun, dan > 24 tahun) ................................................................... 71

3. Populasi Penelitian (Jumlah Klien yang sudah pernah Konseling

Individual dengan Konselor Pria dan Wanita) ............................................ 72

4. Kisi-Kisi Instrumen Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan

Konseling Individual .................................................................................. 78

5. Kriteria Tingkat Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual .................................................................................................... 98

6. Rata-rata Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual diTinjau Dari Tingkat Pendidikan Menurut Persepsi Klien ..... 99

7. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual

diTinjau Dari Tingkat Pendidikan Menurut Persepsi Klien pada setiap

Indikator ...................................................................................................... 100

8. Rata-rata Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual diTinjau Dari Pengalaman Kerja Menurut Persepsi Klien......... 102

x
9. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual

diTinjau Dari Pengalaman Kerja Menurut Persepsi Klien pada setiap

Indikator ...................................................................................................... 104

10. Rata-rata Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual diTinjau Dari Gender Menurut Persepsi Klien ....................... 106

11. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual

diTinjau Dari Gender Menurut Persepsi Klien pada setiap Indikator ...... 108

12. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan

Konseling Individual diTinjau dari Tingkat pendidikan menurut Persepsi

Klien (U Mann Whitney) ......................................................................... 110

13. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan

Konseling Individual diTinjau dari Pengalaman Kerja menurut Persepsi

Klien (Kruskall Wallis) ............................................................................. 112

14. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan

Konseling Individual diTinjau dari Pengalaman Kerja menurut Persepsi

Klien (U Mann Whitney) .......................................................................... 113

15. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan

Konseling Individual diTinjau dari Gender menurut Persepsi Klien

(U Mann Whitney) ................................................................................... 114

16. Perbedaan Karateristik Tingkat Pendidikan D3 Bimbingan dan

Konseling dan S1 Bimbingan dan Konseling ........................................... 117

17. Perbedaan Seks dan Gender ..................................................................... 124

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
Halaman
1. Identitas Konselor ....................................................................................... 131

2. Identitas Klien yang di Bimbing ................................................................. 132

3. Rancangan Kisi-Kisi Instrumen .................................................................. 133

4. Rancangan Instrumen Penelitian ................................................................ 137

5. Data dan Hasil Uji Coba Instrumen ............................................................ 153

6. Perhitungan Uji Validitas Instrumen .......................................................... 164

7. Perhitungan Uji Reliabilitas Instrumen ...................................................... 165

8. Kisi-Kisi Instrumen .................................................................................... 166

9. Instrumen Penelitian ................................................................................... 170

10. Data Hasil Penelitian .................................................................................. 185

11. Hasil Analis Deskriptif Data Penelitian ...................................................... 201

12. Hasil Analisis Statistik Data Penelitian (SPSS) .......................................... 205

13. Hasil Analisis Statistik Data Penelitian (Manual) ....................................... 210

14. Surat Ijin Mencari Data Awal Dari Fakultas Ilmu Pendidikan–UNNES ... 243

15. Surat Ijin Penelitian Dari Fakultas Ilmu Pendidikan–UNNES ................... 244

16. Surat Ijin Penelitian Dari Diknas Kota Semarang ...................................... 245

17. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 4 Semarang ............. 246

18. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 12 Semarang ........... 247

19. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 5 Semarang ............. 248

20. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 10 Semarang ........... 249

xii
21. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 2 Semarang ............. 250

22. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 15 Semarang ............................ 251

23. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 11 Semarang ............................ 252

24. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 1 Semarang .............................. 253

25. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 3 Semarang .............................. 254

26. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 7 Semarang .............................. 255

27. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 14 Semarang ............................ 256

28. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 9 Semarang .............................. 257

29. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 6 Semarang .............................. 258

30. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 8 Semarang .............................. 259

31. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 13 Semarang ............................ 260

32. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 16 Semarang ............................ 261

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam rangka usaha layanan bimbingan dan konseling serta pemberian bantuan

melalui usaha layanan konseling adalah merupakan bagian yang sangat penting.

Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa “layanan konseling adalah merupakan

jantung hati dari usaha layanan bimbingan secara keseluruhan (counseling is the

heart of guidance program). Oleh karena itu para petugas dalam bimbingan dan

konseling perlulah kiranya memahami dan dapat melaksanakan usaha layanan

konseling itu dengan sebaik-baiknya.

Konseling adalah merupakan suatu proses usaha untuk mencapai tujuan, dimana

tujuan yang ingin dicapai dalam konseling adalah perubahan pada diri klien, baik

dalam bentuk pandangan, sikap, sifat maupun keterampilan yang lebih

memungkinkan klien itu dapat menerima dirinya sendiri, serta pada akhirnya klien

dapat mewujudkan dirinya sendiri secara optimal (Sukardi, 1985: 11).

Konseling juga merupakan suatu teknik dalam membimbing. Oleh karenanya

setiap konselor selalu dituntut darinya untuk menguasai teknik yang satu ini dengan

tujuan agar konselor dapat secara optimal didalam membantu memecahkan masalah

yang dialami oleh klien.

Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik, sebagaimana tuntutan profesi

tersebut diatas, kunci utamanya tentu adalah konselor itu sendiri. Ini merupakan unsur utama untuk

bisa meraih hasil gemilang, artinya sebagai konselor harus memiliki bobot tertentu yang dapat

memperlancar relasi konseling, yaitu: Memiliki pengetahuan dasar menyangkut teori dan praktik

konseling, keterampilan wawancara konseling, yang bisa diperoleh baik secara pendidikan formal (dari

jurusan bimbingan dan konseling, penataran, kursus-kursus dan latihan berjangka dibidang bimbingan

xiv
dan konseling), maupun pendidikan non formal (dari pengalaman bekerja, usaha dan belajar melalui

bulletin, brosur-brosur yang sesuai dengan bidang bimbingan dan konseling), dan memiliki kualitas

kepribadian, sehingga bisa dikatakan bahwa konselor akan efektif dalam melaksanakan layanan

konseling individual.

Namun persoalannya adalah, dimana kenyataan dilapangan menunjukkan gejala

yang belum semuanya sejalan dengan kondisi-kondisi yang digambarkan diatas.

Berdasarkan pengamatan selama menjalankan tugas-tugas perkuliahan dan survey

pra-penelitian ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri se-Kota Semarang

ditemukan adanya beberapa kesenjangan. Dalam hubungannya dengan pemberian

layanan konseling individual, khususnya yang dititik beratkan pada permasalahan

tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender konselor sekolah dalam penelitian

ini ditemui adanya perbedaan tingkat pendidikan, masa kerja, dan gender konselor

sekolah di SMA Negeri se-Kota Semarang, yaitu konselor dengan tingkat pendidikan

D3 BK dengan jumlah 8 orang dan konselor dengan tingkat pendidikan S1 BK

dengan jumlah 45 orang, dimana antara tingkat pendidikan D3 dan S1 bimbingan dan

konseling mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Konselor dengan masa kerja

konselor 0 tahun - 11 tahun berjumlah 5 orang dan konselor dengan masa kerja 12 -

23 tahun berjumlah 38 orang serta konselor dengan masa kerja > 24 tahun berjumlah

10, dimana konselor dengan masa kerja yang relatif banyak sudah lama

berkecimpung dalam dunia bimbingan dan konseling, sehingga sudah banyak

mendapatkan pengalaman-pengalaman berkaitan dengan pelaksanaan konseling

individual, dibandingkan dengan konselor dengan masa kerja yang relatif sedikit.

Sedangkan konselor dengan jenis kelamin pria dengan jumlah 16 orang dan wanita

berjumlah 37 orang yang mendasarkan pada karakteristik konselor pria dan wanita

yang jelas-jelas mempunyai perbedaan baik dari segi biologis maupun non biologis,

xv
dimana konselor pria yang cenderung dapat berpikir rasional tidak dapat

melaksanakan layanan konseling individual dengan menempuh cara yang sama dari

konselor wanita yang cenderung emosional, begitu pula sebaliknya.

Dengan adanya perbedaan tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender

konselor diatas, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan

persepsi klien yang berbeda (sangat baik, baik, cukup baik, agak kurang baik dan

kurang baik) terhadap keefektifan konselor sekolah dalam melaksanakan layanan

konseling individual, sehingga bisa dikatakan apakah konselor sudah sangat efektif,

efektif, cukup efektif, agak kurang efektif dan kurang efektif dalam melaksanakan

layanan konseling individual. Kenyataan di atas didukung oleh hal-hal seperti

dibawah ini:

Adanya kecenderungan konselor sekolah dalam melaksanakan konseling individual kurang

berprosedur/tidak sistematis.

Adanya siswa yang lebih suka datang untuk memanfaatkan konseling individual dengan konselor

dengan tingkat pendidikan S1 Bimbingan dan Konseling dan konselor yang lebih berpengalaman.

Konselor wanita lebih diminati oleh klien ketika akan memanfaatkan konseling individual.

Terlepas dari bagaimana klien (siswa), konselor sekolah sebagai pihak yang

memberikan bantuan mempunyai posisi yang harus mendapat perhatian dari berbagai

pihak. Perhatian ini terutama diarahkan kepada: apakah konselor sekolah sudah

secara sepenuh hati mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya dalam rangka

membantu mengentaskan permasalahan yang dialami klien (siswa). Dengan kata lain,

apakah konselor sekolah dalam memberikan layanan konseling individual sudah

melaksanakan tugasnya secara efektif. Untuk melihat keefektifan konselor sekolah

dalam memberikan layanan konseling individual kepada klien (siswa) ini bisa

menggunakan suatu alat yang dinamakan Alat Penilaian Kemampuan Konseling

xvi
(APKK), dimana alat ini akan menyoroti kemampuan konselor sekolah dalam hal

keefektifan penggunaan keterampilan-keterampilan dalam melakukan konseling.

Cara lain untuk melihat keefektifan konselor sekolah dalam melaksanakan layanan

konseling individual adalah melalui ungkapan atau pendapat (persepsi) klien (siswa

yang bermasalah) tentang bagaimana konseling individual yang sudah dilaksanakan

oleh konselor. Rasionalnya adalah bahwa klien sebagai orang yang mengalami dan

merasakan langsung bagaimana proses konseling yang sudah dilakukan atau

dijalaninya.

Persepsi adalah penilaian seseorang terhadap peristiwa atau stimulus dengan

melibatkan pengalaman yang berkaitan dengan objek tersebut dengan melibatkan

proses kognisi dan efeksi untuk membentuk konsep tersebut (Hariyadi dkk, 1995:

112). Jadi persepsi dapat terjadi apabila seseorang melihat objek, peristiwa atau

stimulus dengan melibatkan pengalaman yang ada. Maka persepsi yang ada dalam

siswa (klien) akan menimbulkan perbedaan terhadap keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman

kerja dan gender konselor.

Bila dikaitkan dengan penelitian ini adalah jika persepsi klien tentang konseling

individual yang sudah dialaminya dari masing-masing konselor disekolahnya sangat

baik, baik, cukup baik, agak kurang baik atau kurang baik, maka konselor tersebut

sudah sangat efektif, efektif, cukup efektif, agak kurang efektif atau kurang efektif

dalam melaksanakan konseling invidual. Hal ini akan ditunjukan dengan adanya

kepuasan siswa (klien) terhadap konseling individual yang sudah dialaminya, dimana

permasalahan yang dialaminya bisa diselesaikan dengan baik, tuntas dan memuaskan,

sehingga siswa akan lebih terbuka, suka rela dan tidak mempunyai keraguan kepada

xvii
konselor dalam rangka pengentasan permasalahan yang dialaminya untuk dapat

menyelesaikan permasalahan yang sedang dialaminya.

Uraian diatas merupakan salah satu alasan utama yang mendasari penulis

memilih judul penelitian yang dianggap representatif untuk hal tersebut diatas, yaitu:

PERSEPSI KLIEN TENTANG KEEFEKTIFAN KONSELOR DALAM

MELAKSANAKAN KONSELING INDIVIDUAL DITINJAU DARI TINGKAT

PENDIDIKAN, PENGALAMAN KERJA, DAN GENDER KONSELOR DI

SMU NEGERI SE-KOTA SEMARANG TAHUN AJARAN 2004/2005.

Permasalahan

Sesuai dengan latar belakang diatas, maka masalah yang ingin diungkap melalui

penelitian ini adalah perbedaan keefektifan konselor sekolah dalam melaksanakan

konseling individual menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota Semarang tahun

ajaran 2004/2005. Dalam pelaksanaannya, persepsi dari klien tersebut akan dilihat

dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor. Ketiga faktor

tersebut diasumsikan ikut memberi kontribusi pada aktifitas konselor sekolah dalam

melaksanakan tugasnya sehingga mengarahkan pada konselor sangat efektif, efektif,

cukup efektif, agak kurang efektif dan kurang efektif. Atas dasar hal tersebut maka

dapatlah dikembangkan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau

dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien?

2. Apakah terdapat perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien?

3. Apakah terdapat perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari masa konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, > 24 tahun menurut persepsi

klien?

xviii
4. Apakah terdapat perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari jenis kelamin konselor pria dan wanita menurut persepsi klien?

Penegasan Istilah

Agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda tentang istilah yang digunakan
dalam penelitian ini, maka perlu ada penegasan istilah sebagai berikut:
1. Persepsi

Persepsi adalah suatu proses penilaian seseorang atau sekelompok orang terhadap
objek, peristiwa atau stimulus dengan melibatkan pengalaman yang berkaitan
dengan objek tersebut. Dalam penelitian ini persepsi yang dimaksud adalah
proses penilaian siswa terhadap tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan
gender konselor.
2. Klien

Yang dimaksud klien dalam penelitian ini adalah siswa yang lebih ditekankan
pada pelajar yang berada disebuah lembaga pendidikan tingkat atas yaitu SMA
Negeri yang pernah memanfaatkan konseling individual dari guru pembimbing
masing-masing disekolahnya, karena sedang mengalami suatu permasalahan baik
pribadi, sosial, belajar, karier, dan lain-lain, dengan minimal dua kali tatap muka
dalam satu penyelesaian masalah.
3. Perbedaan

Perbedaan berasal dari kata beda yang artinya tidak sama, selisih, beda dan
terpaut antara dua atau lebih mengenai beberapa hal (Poerwardaminto, 1988:
104). Kaitannya dalam penelitian ini perbedaan yang dimaksud yaitu tentang
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual, yang dibagi
menjadi 5 kategori yaitu: sangat efektif, efektif, cukup efektif, agak kurang efektif
dan kurang efektif
4. Keefektifan

Secara etimologi keefektifan berasal dari kata efektif yang berarti tepat guna
(Depdikbud, 1994: 77). Jadi keefektifan adalah suatu hal yang dikerjakan dengan
waktu yang tepat dan tepat guna.
5. Konselor

Yang dimaksud konselor dalam penelitian ini adalah guru pembimbing, yaitu
personil sekolah yang ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan
konseling terhadap sejumlah peserta didik (Prayitno, 1995: 9).
6. Konseling Individual

Adalah layanan yang memungkinkan klien (siswa) dalam hubungan langsung


tatap muka secara perorangan dengan konselor sekolah dalam rangka pembahasan
dan pengentasan masalah pribadinya.
7. Tingkat Pendidikan

Tingkat adalah jenjang tinggi rendah susunan yang berlapis-lapis (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2001: 1197). Dalam UU RI No 2 tahun 1989 mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

xix
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan
datang. Didalamnya juga disebutkan yang termasuk jalur pendidikan sekolah
terdiri dari tiga tingkatan yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan kaitannya dalam penelitian ini yaitu
tingkat pendidikan tinggi konselor sekolah yang kami batasi dalam dua kategori
yaitu: D3 BK dan S1 BK.
8. Pengalaman Kerja

Pengalaman adalah masa kerja sebagai seseorang yang ditandai dengan lamanya
seseorang melaksanakan tugas profesinya. Dalam tulisan ini yang akan dijadikan
penelitian adalah masa kerja konselor sekolah yang kami batasi menjadi tiga
bagian yaitu: 0 tahun - 11 tahun, 12 - 23 tahun, dan > 24 tahun.
9. Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yaitu Gender, yang berarti “jenis
kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku. Dalam tulisan ini yang akan dijadikan penelitian adalah gender
konselor sekolah yang kami batasi menjadi dua karakteristik yaitu: pria dan
wanita.
10. Dari keterangan di atas diperoleh penegasan istilah secara utuh yaitu: “Persepsi

Klien tentang Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual

Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja, dan Gender Konselor di

SMA Negeri se-Kota Semarang”.

D. Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan

masalah sebagaimana yang

dikemukakan pada bagian

sebelumnya, maka tujuan

diadakannya penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Untuk mendeskripsikan tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien.

Untuk mengetahui perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau

dari tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien.

xx
Untuk mengetahui perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau

dari pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23, dan > 24 tahun menurut persepsi

klien.

Untuk mengetahui perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau

dari gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini adalah manfaat praktis, yaitu:

1. Bagi konselor sekolah, yaitu sebagai pijakan untuk melakukan “self evaluation” terhadap

kinerjanya dan lebih meningkatkan profesionalitasnya dalam rangka pemberian layanan

bimbingan dan konseling, khususnya konseling indivdidual. Hal ini sangat penting dalam upaya

meningkatkan dan mengembangkan kinerja atau unjuk kerja konselor yang selama ini mendapat

sorotan tajam dari siswa, personil sekolah dan masyarakat.

2. Bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian dengan masalah yang sejenis, hasil penelitian

ini dapat dijadikan sebagai dasar pijakan penelitian yang akan dilakukan.

F. Sistematika Skripsi

Garis besar sistematika skripsi terdiri atas tiga bagian yaitu bagian awal,
bagian isi, dan bagian akhir skripsi.
Bagian Awal Skripsi, terdiri dari halaman judul, abstrak, halaman pengesahan, motto dan

persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel dan daftar lampiran.

Bagian Isi Skripsi, terdiri dari lima bab yang meliputi:

Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, permasalahan, penegasan istilah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Landasan Teori, berisi tentang Persepsi (terdiri dari: pengertian persepsi,

faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi, syarat-syarat terjadinya

persepsi), Konselor sekolah (terdiri dari pengertian konselor, persyaratan konselor,

tugas dan tanggung jawab konselor), Konseling individual (terdiri dari pengertian

konseling individual, tujuan konseling individual, langkah-langkah konseling

individual dan faktor-faktor yang mempengaruhi konseling efektif), Keefektifan

xxi
konselor dalam melaksanakan konseling individual, dan Perbedaan keefektifan

konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan,

pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien (terdiri dari

karakteristik konselor ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender),

serta Hipotesis penelitian.

Bab III Metode Penelitian, yang meliputi jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian,

variabel penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas, serta metode analisis

data.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang berisi tentang proses perijinan, gambaran umum

populasi penelitian, rancangan alat pengumpul data, hasil uji coba instrumen, pengumpulan data, hasil

analisis data dan pembahasan.

Bab V Simpulan dan Saran, berisi simpulan dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian.

Bagian Akhir Skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

xxii
BAB II
LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan menguraikan landasan teori penelitian mengenai perbedaan

keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat

pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien. Hal-hal yang

akan dikemukakan dalam bab ini adalah: Persepsi (terdiri dari: pengertian persepsi,

faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi, syarat terjadinya persepsi),

Konselor sekolah (terdiri dari pengertian konselor, persyaratan konselor, tugas dan

tanggung jawab konselor), Konseling individual (terdiri dari pengertian konseling

individual, tujuan konseling individual, langkah-langkah konseling individual dan factor-

faktor yang mempengaruhi konseling efektif), Keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual, dan Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor

menurut persepsi klien (terdiri dari karakteristik konselor ditinjau dari tingkat

pendidikan, pengalaman kerja dan gender), serta Hipotesis penelitian.

A. Persepsi

1. Pengertian persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan.

Sedangkan penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh

individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Stimulus yang mengenai alat

individu tersebut kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu

menyadari tentang apa yang diinderanya itu (Walgito, 1978: 53).

xxiii
Persepsi seseorang selalu didasarkan pada aktifitas kejiwaan berdasarkan

rangsang yang diterima oleh inderanya. Disamping itu persepsi juga didasarkan

pada pengalaman dan tujuan seseorang pada saat terjadi persepsi. Hal senada juga

dikatakan bahwa persepsi adalah suatu pengalaman tentang objek, peristiwa atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan

menafsirkan pesan. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (objek-

objek dari luar, peristiwa dan lain-lain) dan organisme itu merespon dan

menggabungkan masukan itu dengan salah satu kategori objek-objek atau

peristiwa-peristiwa.

Objek disekitar kita, kita tangkap dengan alat indera dan diproyeksikan

pada bagian-bagian tertentu diotak, sehingga kita dapat mengamati objek tersebut.

Sebagian besar tingkah laku dan penyesuaian diri individu ditentukan oleh

persepsinya. Individu berbuat tersebut menanggapi suatu hal itu dengan

persepsinya. Jadi yang membuat orang lain bahagia atau sengsara dikarenakan

persepsi dan sikap dirinya tentang kejadian diluar dirinya.

Teori diatas diperjelas bahwa persepsi merupakan proses aktif, dimana

yang memegang peranan bukan hanya stimulus yang mengenai, tetapi juga

individu sebagai kesatuan dengan pengalaman-pengalaman (Walgito, 1986: 11-

12).

Individu dalam melakukan pengamatan untuk mengatakan rangsang yang

diterima, agar proses pengamatan tersebut terjadi, maka perlu obyek yang

diamati, alat indera yang cukup baik dan perhatian. Itu semua merupakan

langkah-langkah sebagai suatu persiapan dalam pengamatan yang ditujukan

dengan tahap demi tahap, yaitu tahap pertama merupakan tahapan yang dikenal

xxiv
dengan proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya

stimulus oleh alat indera manusia. Sedangkan tahap kedua adalah tahap yang

dikenal orang dengan proses fisiologi merupakan proses diteruskannya stimulus

yang diterima oleh persepstor keotak melalui syaraf-syaraf sensorik, dan tahap

ketiga dikenal dengan proses psikologi merupakan proses timbulnya kesadaran

individu tentang stimulus yang diterima oleh persepstor.

Persepsi merupakan dinamika yang terjadi dalam diri individu disaat ia

menerima stimulus dari lingkungan dengan melibatkan panca indera dan aspek

kepribadian yang lain. Dalam proses persepsi, individu mengadakan penyeleksian

apakah stimulus itu berguna atau tidak baginya, serta menentukan apakah yang

terbaik untuk dilakukan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi

Terbentuknya persepsi pada diri individu dipengaruhi oleh banyak hal

seperti dibawah ini:

a. Perhatian, biasanya tidak menangkap seluruh rangsang yang ada disekitar kita

sekaligus, tetapi memfokuskan perhatian pada satu atau dua objek saja.

Perbedaan fokus perhatian antara satu orang dengan orang yang lain akan

menyebabkan perbedaan persepsi.

b. Set, adalah harapan seseorang akan rangsang yang akan timbul. Perbedaan set

akan menyebabkan adanya perbedaan persepsi.

c. Kebutuhan, baik kebutuhan sesaat maupun menetap pada diri individu akan

mempengaruhi persepsi orang tersebut. Kebutuhan yang berbeda akan

menyebabkan persepsi bagi tiap individu.

xxv
d. Sistem Nilai, dimana sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat juga

berpengaruh pula terhadap persepsi.

e. Ciri Kepribadian, dimana pola kepribadian yang dimiliki oleh individu akan

menghasilkan persepsi yang berbeda.

Dikutip dari beberapa pendapat para ahli antara lain: David Krench dan

Richard S. Crutchfield (1977) membagikan faktor-faktor yang menentukan

persepsi menjadi dua, yaitu:

a. Faktor Fungsional, adalah faktor yang berasal dari kebutuhan,

pengalaman masa lalu dan hal-hal yang termasuk apa yang kita

sebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor personal yang

menentukan persepsi adalah objek-objek yang memenuhi tujuan

individu yang melakukan persepsi.

b. Faktor Struktural, adalah faktor yang berasal semata-mata dari

sifat. Stimulus fisik efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem

saraf individu. Faktor struktural yang menentukan persepsi

menurut teori Gestalt bila kita ingin mempersepsi sesuatu, kita

mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan. Bila kita ingin

memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor

yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan

keseluruhan (Rakhmad, 1989: 52).

Menurut Kenneth, perhatian juga sangat berpengaruh terhadap


persepsi. Dimana perhatian merupakan proses mental ketika stimulus

xxvi
atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat
stimulus yang lainnya melemah (dalam Rakhmad, 1989: 52).
Tertarik tidaknya individu untuk memperhatikan satu stimulus
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: a. faktor internal (kebiasaan, minat,
emosi, dan keadaan biologis), dan b. faktor eksternal (intensitas,
kebaruan, gerakan dan pengulangan stimulus). Proses terbentuknya
persepsi sangat kompleks dan ditentukan oleh dinamika yang terjadi
dalam diri seseorang. Ketika ia mendengar, mencium, melihat, merasa
atau bagaimana ia memandang suatu objek yang melibatkan aspek
psikologis dan panca inderanya.
3. Syarat-syarat terjadinya persepsi

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa syarat sebelum


individu mengadakan persepsi, yaitu:
a. Adanya objek (sasaran yang diamati)

Objek atau sasaran yang diamati akan menimbulkan stimulus atau


rangsangan yang mengenai alat indera. Objek dalam hal ini adalah
kegiatan konseling individual, dimana konseling individual atau
stimulus mengenai alat indera atau merupakan reseptor yang bisa
berasal dari dalam maupun dari luar.
b. Adanya indera yang cukup

Alat indera yang dimaksud adalah alat indera yang menerima


stimulus yang kemudian diterima dan diteruskan oleh syaraf
sensorik yang selanjutnya akan disampaikan kesusunan saraf pusat
sebagai kesadaran. Oleh karena itu siswa diharapkan mempunyai
panca indera yang cukup baik sehingga stimulus yang diterima
akan diteruskan kesusunan saraf otak.
c. Adanya perhatian

Perhatian adalah langkah awal atau yang kita sebut sebagai


persiapan untuk mengadakan persepsi, sehingga perhatian siswa
kepada kegiatan konseling individual adalah fokus utama yang kita
laksanakan karena tanpa perhatian persepsi tidak akan terjadi
(Walgito, 1989: 42).
Pada proses persepsi terdapat bagian-bagian dan komponen
kognisi yang memberikan informasi mengenai stimulus tersebut.
Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur
bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan
cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap atau

xxvii
dipersepsikan individu dan akhirnya komponen konasi individu akan
berperan dalam menentukan terjadinya jawaban yang berupa sikap
dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada (Mar’at, 1981: 30).
Dalam kaitan dengan tingkah laku individu, persepsi
merupakan faktor yang menentukan terbentuknya sikap terhadap
sesuatu manapun perilaku tertentu. Kesan yang diterima sangatlah
tergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperolehnya pada
masa lalu melalui proses berpikir dan belajar.
Persepsi klien di SMA Negeri se-Kota Semarang terhadap
tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan
gender konselor akan berbeda, karena pada hakikatnya siswa adalah
individu yang mandiri dengan “Individual Deferences”, baik
pengalaman, kemampuan dan cara berpikir, maka setiap klienpun
akan mempersepsi secara berbeda pula terhadap apa yang
dirasakannya ketika mengikuti konseling individual.

B. Konselor Sekolah

Pada prinsipnya bimbingan dan konseling adalah suatu profesi, karena bimbingan dan

konseling adalah suatu pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya dan

tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan

secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.

Seorang konselor sekolah di dalam menjalankan tugasnya harus mampu melakukan

peranan yang berbeda-beda dari situasi ke situasi yang lainnya. Pada situasi tertentu

kadang-kadang harus berperan sebagai seorang teman dan pada situasi berikutnya

berperan sebagai pendengar yang baik atau sebagai pengobar/pembangkit semangat,

atau peranan-peranan lain yang dituntut oleh klien dalam proses konseling. Oleh

karena itu seorang konselor sekolah profesional harus memenuhi persyaratan

pengetahuan meliputi: keterampilan, dan sikap/kepribadian. Berikut akan dijelaskan

tentang pengertian konselor, persyaratan konselor, tugas dan tanggung jawab

konselor:

xxviii
1. Pengertian konselor

Konselor merupakan petugas profesional yang mempunyai pendidikan khusus di

Perguruan Tinggi dan mencurahkan waktunya pada layanan bimbingan dan konseling (Wibowo,

1986: 4).

Selain itu dikatakan

bahwa konselor merupakan

petugas profesional, yang

artinya secara formal mereka

telah disiapkan oleh lembaga

atau institusi pendidikan yang

berwenang. Mereka dididik

secara khusus untuk untuk

menguasai seperangkat

kompetensi yang diperlukan

bagi pekerjaan bimbingan dan

konseling. Jadi dengan

demikian dapatlah dikatakan

bahwa konselor sekolah

memang sengaja dibentuk atau

disiapkan untuk menjadi

tenaga-tenaga yang profesional

dalam pengetahuan,

pengalaman dan kualitas

pribadinya (Sukardi, 1984: 19).

xxix
2. Persyaratan konselor

Konselor sebagai

jabatan profesional, oleh karena

itu orang yang menjabat

konselor harus memiliki atau

memenuhi persyaratan khusus

untuk menjadi konselor, yaitu:

pengetahuan, keterampilan, dan

sikap/kepribadian sebagai

berikut:

a. Pengetahuan konselor, yang diperoleh secara:

1). Pendidikan Formal

Yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui program pendidikan formal

dari jurusan bimbingan dan konseling ataupun penataran, kursus-kursus,

dan latihan berjangka dibidang tersebut. yang juga meliputi berbagai ilmu

pengetahuan, psikologi, bimbingan dan konseling (Hendrarno, dkk, 1987:

110).

Persyaratan formal yang harus dimiliki oleh setiap konselor sekolah

adalah:

a). Secara umum seorang konselor sekolah serendah-rendahnya harus

memiliki ijazah sarjana muda dari suatu pendidikan yang sah dan

memenuhi syarat untuk menjadi guru (memiliki sertifikat mengajar)

dalam jenjang pendidikan dimana ia ditugaskan.

xxx
b). Secara profesional seorang konselor sekolah hendaknya telah

mencapai tingkat pendidikan sarjana bimbingan. Dalam masa

pendidikannya pada institusi bersangkutan seorang konselor harus

menempuh mata kuliah atau bidang studi tentang prinsip-prinsip dan

praktik bimbingan. Dan bidang yang harus dikuasai meliputi antara

lain: proses konseling, pemahaman individu, informasi dalam bidang

pendidikan, pekerjaan, jabatan, atau karir, administrasi dan kaitannya

dengan program bimbingan, dan prosedur penelitian dan penilaian

bimbingan. Di samping bidang tersebut diatas, perlu juga dikuasai

bidang-bidang lainnya seperti: psikologi, ekonomi dan sosiologi

(Wibowo, 1986: 95).

2). Pendidikan Non formal

yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh dengan cara pengalaman

bekerja, usaha dan belajar melalui bulletin, surat kabar, brosur-brosur

yang sesuai dengan bidang bimbingan dan konseling, yang juga

meliputi berbagai ilmu pengetahuan, psikologi, bimbingan dan

konseling (Hendrarno, dkk, 1987: 110).

Seorang konselor sekolah profesional dalam bidangnya, hendaknya

telah memiliki pengalaman mengajar atau melaksanakan praktik

konseling selama dua tahun; ditambah satu tahun pengalaman bekerja

diluar bidang persekolahan; tiga bulan sampai enam bulan praktik

konseling yang diawasi team pembimbing atau praktik internship, dan

pengalaman-pengalaman yang ada kaitannya dengan kegiatan sosial

seperti misalnya: kegiatan sukarela dalam masyarakat, bekerja dengan

xxxi
orang lain dan menunjukkan kemampuan memimpin yang baik

(Wibowo, 1986: 95).

b. Keterampilan Konselor

Seorang konselor harus memiliki keterampilan-keterampilan yang mencukupi.

Keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap konselor yakni: a). keterampilan antar pribadi

yaitu semua keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun relasi dengan klien sehingga

klien dapat terlibat dalam proses konseling, yang terdiri dari keterampilan verbal (kualitas

vokal, alur verbal/menyesuaikan diri dengan topik pembicaraan klien, dan tanggapan verbal

meliputi: parafrase, pencerminan perasaan-perasaan, penafsiran, peringkasan, penajaman,

pertanyaan tertutup dan terbuka), keterampilan non verbal (menghadapi klien secara sejajar,

memperlihatkan sikap tubuh terbuka, posisi tubuh ke depan, memperhatikan kontak mata, dan

bersikap rileks. b). keterampilan mengamati yaitu dimana konselor dituntut untuk sungguh-

sungguh sadar akan apa yang sedang dikatakan klien khususnya melalui gerakan-gerakan

tubuh mereka, raut wajah, kualitas vokal, dan ketidak sesuaian antara bahasa tubuh dengan

ungkapan-angkapan verbal klien. c). keterampilan intervensi yaitu dimana konselor mampu

melibatkan klien dalam pemecahan masalah. Dan d). keterampilan integrasi yaitu dimana

konselor mampu menerapkan strategi-strategi pada situasi-situasi khusus, sambil mengingat

konteks budaya dan sosio ekonomis klien (Yeo, 1994: 62-83).

Dapat dijelaskan pula bahwa keterampilan yang sangat diperlukan untuk melakukan

tugas bimbingan dan konseling adalah: keterampilan untuk ikut merasakan (empati) keadaan

klien, ikut menghayati jalan pikiran klien, ikut memperhatikan (simpati) terhadap klien, dapat

menerima dan mengerti keadaan klien, berkomunikasi secara verbal, dan menggunakan alat

bimbingan baik yang tes maupun yang non tes (Hendrarno, dkk, 1987: 110).

Hal ini didukung pula bahwa keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor sekolah

mencakup keterampilan memahami sifat-sifat klien, menilai situasi apakah persoalan klien

mampu dibantu atau tidak, menciptakan rapport, melaksanakan proses konseling secara

efektif, atending meliputi: posisi badan yang baik, kontak mata yang baik dan mendengarkan

klien dengan baik, mengundang pembicaraan terbuka meliputi membantu memulai

wawancara, membantu klien menguraikan masalahnya dan membantu memunculkan contoh-

xxxii
contoh perilaku khusus sehingga penjelasan klien dapat dipahami dengan lebih baik,

paraprase yaitu menyatakan kembali suatu kata atau prase secara sederhana. Tujuannya

adalah untuk mengatakan kembali kepada klien esensi dari klien dari apa yang telah

dikatakan klien, identifikasi perasaan yaitu membantu klien untuk menjelaskan perasaan-

perasaannya sendiri, refleksi perasaan yaitu membantu klien dengan cara memahami

perasaanya dan sebagai pemeriksa persepsi yang yang baik, konfrontasi yaitu guna membantu

orang klien agar mengubah pertahanan yang telah dibangunnya guna menghindari

pertimbangan bidang tertentu dan untuk meningkatkan komunikasi terus terang,

meringkaskan yaitu suatu proses untuk memadu berbagai ide dan perasaan dalam satu

pernyataan pada akhir suatu wawancara konseling, menafsirkan, penerimaan, memberi

ketenangan, memimpin secara umum, mendengarkan, mengarahkan, memberi informasi,

menghayati pikiran, perasaan, dan cita-cita klien, menyimpulkan, memberikan dorongan,

menggunakan alat atau teknik pengumpulan data, memecahkan masalah dan pengambilan

keputusan, menggunakan teknik pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai

pendekatan konseling (Wibowo, 1986: 95-96).

c. Sikap/kepribadian

Seorang konselor di dalam mengadakan kontak dengan klien haruslah

memiliki sifat-sifat kepribadian tertentu, di antaranya:

1). Kepribadian yang matang dan penyesuaian diri yang baik.

2). Memiliki pemahaman terhadap orang lain secara objektif dan simpatik.

3). Memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik

dan lancar.

4). Memahami batas-batas kemampuan yang ada pada dirinya sendiri.

5). Memiliki minat yang mendalam mengenai murid-murid, dan berkeinginan

sungguh-sungguh untuk memberikan bantuan kepada mereka.

6). Memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental, sosial, dan fisik.

7). Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi.

xxxiii
8). Respek terhadap orang lain.

9). Memiliki kemampuan berkomunikasi.

10). Tidak mementingkan diri sendiri (Wibowo, 1986: 97-98).

Menurut Munro dkk, kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor

sekolah yaitu: luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka, dapat

merasakan penderitaan orang lain, tidak berpura-pura, menghargai orang lain,

tidak mau menang sendiri, dan objektif, (dalam Prayitno, 1985: 29).

Ada beberapa kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor sekolah,

yaitu bijaksana, jujur, dan tulus, ramah, akrab, tidak berpura-pura, menghargai

siswa, tutur bahasanya enak didengar, perhatian, luwes/fleksibel, dapat

menjadi contoh, rela berkorban, dapat menjaga rahasia/dapat dipercaya, selalu

kelihatan gembira, bertanggung jawab, dan sabar (Slameto, 1990: 80)

Selain itu kepribadian konselor yang diharapkan yaitu: memiliki

pribadi yang matang (emosi yang stabil, tidak mudah terbawa/tenggelam

dalam perasaan dan masalah klien, tenang dalam menghadapi masalah, dan

cinta pada tugasnya), pribadi yang hangat, identitas pribadi, toleransi

(menanggapi secara positif dan tidak mudah tersinggung), pribadi yang bebas

dari kecemasan, pribadi penuh penerimaan, tidak mementingkan diri

sendiri/penuh pengertian pada klien (tidak banyak bicara/bicara berlebihan),

pribadi sebagai ibu, humoris, sederhana, rendah hati, hormat dan dapat

dipercaya (Hendrarno dkk, 1987: 110-111).

Sedangkan dalam National Vocational Guidance Association

(NVGA), Washington D.C, dalam journalnya yang berjudul “Counselor

Preparation”, (1949), mengemukakan persyaratan ideal yang dituntut dari

xxxiv
konselor berkaitan dengan karakter konselor ialah: interest terhadap orang

lain, sabar, peka terhadap berbagai sikap dan reaksi, memiliki emosi yang

stabil dan objektif, serta ia sungguh-sungguh respek terhadap orang lain,

dapat dipercaya, dan sebagainya (Sukardi, 1984: 22-28).

3. Tugas dan tanggung jawab konselor

Dalam Pedoman BP, Buku IIIC (1975) konselor sekolah dalam

hubungannya dengan program bimbingan dan konseling di sekolah

mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:

a. Menyusun program bimbingan dan konseling bersama kepala sekolah.

b. Memberi garis-garis kebijaksanaan umum mengenai kegiatan bimbingan

dan konseling.

c. Bertanggung jawab terhadap jalannya program bimbingan dan konseling.

d. Mengkoordinasikan laporan kegiatan pelaksanaan program sehari-hari.

e. Memberikan laporan kegiatan bimbingan dan konseling kepada kepala

sekolah.

f. Membantu siswa untuk memahami dan mengadakan penyesuaian pada

diri sendiri, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial yang makin lama

makin berkembang.

g. Menerima dan mengklasifikasikan informasi pendidikan dan informasi

lainnya yang diperoleh dan mengirimkannya sehingga menjadi catatan

kumulatif siswa.

h. Menganalisis dan menafsirkan data siswa guna mendapatkan suatu

rencana tindakan positif terhadap siswa.

i. Menyelenggarakan pertemuan staf.

xxxv
j. Melaksanakan bimbingan dan konseling baik secara kelompok maupun

secara perorangan/individual.

k. Memberikan informasi pendidikan dan jabatan kepada siswa-siswa dan

menafsirkannya untuk keperluan perencanaan pendidikan dan jabatan.

l. Mengadakan konsultasi dengan instansi-instansi yang berhubungan

dengan program bimbingan dan konseling dan memimpin usaha

penyelidikan masyarakat di sekitar sekolah, untuk mengetahui lapangan

kerja yang tersedia.

m. Bersama guru membantu siswa memilih pengalaman/kegiatan-kegiatan

kurikuler yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

n. Membantu guru menyusun pengalaman belajar dan membuat penyesuaian

metode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran dan keadaan

masing-masing siswa.

o. Mengadakan penelaah lanjutan terhadap siswa-siswa tamatan sekolahnya

dan terhadap siswa yang keluar sebelum tamat serta melakukan usaha

penilaian yang lain secara tepat.

p. Mengadakan konsultasi dengan orang tua siswa dan mengadakan

kunjungan rumah.

q. Menyelenggarakan pembicaraan kasus (case conference)

r. Mengadakan wawancara konseling dengan siswa.

s. Mengadakan program latihan bagi para petugas bimbingan dan konseling.

t. Melakukan referal kepada lembaga atau ahli yang lebih berwenang (dalam

Wibowo, 1986: 89-90).

C. Konseling individual

xxxvi
Konseling individual merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk

“guidance services” (layanan bimbingan). Layanan ini bahkan disebut-sebut sebagai

layanan yang paling utama dari semua bentuk layanan bimbingan yang ada. Untuk

memperoleh gambaran yang lebih luas, dibawah ini akan dibahas tentang pengertian

konseling individual dan langkah-langkah konseling individual, sebagai berikut:

1. Pengertian konseling individual

Konseling adalah serangkaian

kegiatan paling pokok

bimbingan dalam membantu

klien/konseli secara tatap muka,

dengan tujuan agar klien dapat

mengambil tanggung jawab

sendiri terhadap berbagai

persoalan/masalah (Winkel,

1997: 72).

Konseling adalah proses

pemberian bantuan yang

dilakukan melalui wawancara

konseling oleh seprang ahli

(disebut konselor) kepada

individu yang bermasalah

(disebut klien) yang bertujuan

untuk dapat merubah perilaku

klien serta terbebas dari dari

masalah yang sedang

xxxvii
dihadapinya (Prayitno dan

Amti, 1994: 106).

Konseling merupakan bantuan

yang diberikan kepada individu

dalam memecahkan masalah

kehidupannya dengan

wawancara, dengan cara yang

sesuai dengan keadaan individu

yang dihadapi untuk mencapai

kesejahteraan hidupnya

(Walgito, 1989: 5).

Konseling adalah hubungan

timbal balik antara dua

individu, yang seorang krn

keahliannya (konselor) dapat

membantu klien yang

mempunyai masalah melalui

pertemuan/hubungan timbal

balik itu konselor berupaya

menolong klien untuk

memahaami dirinya dan

problemnya agar klien dapat

mengatasi masalah yang sedang

xxxviii
dihadapinya (Thamtawy, 1993:

46).

Menurut Rogers (1942) konseling adalah serangkaian hubungan langsung

dengan individu yang tujuannya adalah memberikan bantuan kepadanya dalam

merubah sikap (dalam Hendrarno dkk, 2003: 24).

Sedangkan menurut Mortensen dan Schumuller (1964) konseling adalah

suatu proses interaksi antara seorang dengan seseorang , orang yang satu dibantu

oleh yang lain, bantuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan

kesanggupan dalam menghadapi masalah (dalam Hendrarno dkk, 2003: 24).

Dari beberapa rumusan tentang pengertian konseling diatas dapat

disimpulkan bahwa konseling merupakan proses pemberian bantuan yang

dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor)

kepada individu yang sedang mengalami masalah (disebut klien) yang bermuara

pada teratasinya masalah yang dihadapi klien untuk mencapai kesejahteraan

hidupnya.

2. Tujuan konseling individual

Bila kita perhatikan secara seksama konseling individual mempunyai tujuan sebagai

berikut:

a. Agar para siswa memperoleh perubahan tingkah laku dalam berhubungan dengan orang lain,

situasi keluarga, prestasi akademik, sehingga para siswa menjadi lebih self actualited dan

lebih produktif.

b. Agar perkembangan mental murid-murid (individu) dapat berlangsung secara sehat tanpa

mengalami gangguan yang berarti, sehingga dapat terbentuk kepribadian yang sehat pula.

c. Agar murid memecahkan masalah yang dihadapi dengan kemampuan sendiri.

xxxix
d. Agar murid mampu memahali potensi, bakat dan minat serta kecakapan, sehingga dapat

membuat keputusan dan memnentukan program studi, bidang pekerjaan sesuai dengan

keadaan dirinya.

e. Agar murid mempunyai keefektifan personal atau pribadi yang efektif, artinya pribadi yang

sanggup memperhitungkan diri, waktu dan tenaganya dan bersedia memikul resiko-resiko

ekonomis, psikologi dan fisik, ia mempunyai kompetensi untuk mengenal, mendefinisikan

dan memecahkan masalah (Hendrarno dkk, 2003: 42-43).

Sedangkan menurut Ellis (1950) “Tujuan utama konseling adalah


memperbaiki sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan, serta pandangan-
pandangan konseli yang irrasional dan illogis menjadi rasional dan logis agar
konseli dapat mengembangkan diri, meningkatkan aktualisasi dirinya seoptimal
mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif” (dalam Hariyadi,
2000: 11).

Kemudian ditambahkan lagi bahwa konseling juga bertujuan untuk

menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti:

rasa benci, rasa takut, rasa bersalah, rasa cemas, sebagai konsekuensi dari cara

berfikir dan sistem keyakinan yang keliru dengan jalan melatih dan mengajar

klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan

membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri.

Dari dua rumusan tentang tujuan konseling individual diatas dapat diambil makna bahwa

konseling pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan bantuan kepada konseli sehingga

hubungan yang terjadi dalam konseling adalah merupakan “helping relationship” (hubungan yang

bersifat membantu). Dalam proses pemberian bantuan ini berlangsung suasana yang menunjang

pencapaian tujuan melalui pertalian antara kepribadian dan keterampilan konselor dengan konseli.

3. Langkah-langkah konseling individual

Langkah-langkah dalam

konseling individual yaitu

sebagai berikut:

xl
a. Persiapan, meliputi: kesiapan fisik dan psikis konselor, tempat dan lingkungan

sekitar, perlengkapan, pemahaman klien dan waktu.

b. Rapport, yaitu menjalin hubungan pribadi yang baik antara konselor dan klien

sejak permulaan, proses, sampai konseling berakhir, yang ditandai dengan

adanya rasa aman, bebas, hangat, saling percaya dan saling menghargai.

c. Pendekatan masalah, dimana konselor memberikan motivasi kepada klien

agar bersedia menceritakan persolan yang dihadapi dengan bebas dan terbuka.

d. Pengungkapan, dimana konselor mengadakan pengungkapan untuk

mendapatkan kejelasan tentang inti masalah klien dengan mendalam dan

mengadakan kesepakatan bersama dalam menentukan masalah inti dan

masalah sampingan, serta masalah yang dihadapi klien sendiri maupun yang

melibatkan pihak lain. Sehingga klien dapat memahami dirinya dan

mengadakan perubahan atas sikapnya.

e. Diagnostik, adalah langkah untuk menetapkan latar belakang atau faktor

penyebab masalah yang dihadapi klien.

f. Prognosa, adalah langkah dimana konselor dan klien menyusun rencana-

rencana pemberian bantuan atau pemecahan masalah yang dihadapi klien.

g. Treatment, merupakan realisasi dari dari langkah prognosa. Atas dasar

kesepakatan antara konselor dengan klien dalam menangani masalah yang

dihadapi, klien melaksanakan suatu tindakan untuk mengatasi masalah

tersebut, dan konselor memberikan motivasi agar klien dapat

mengembangkan dirinya secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.

h. Evaluasi dan tindak lanjut, langkah untuk mengetahui keberhasilan dan

efektifitas konseling yang telah diberikan. Berdasarkan hasil yang telah

xli
dicapai oleh klien, selanjutnya konselor menentukan tindak lanjut secara lebih

tepat, yang dapat berupa meneruskan suatu cara yang sedang ditempuh karena

telah cocok maupun perlu dengan cara lain yang diperkirakan lebih tepat

(Wibowo, 1986: 55-62).

Selain langkah-langkah diatas, berikut dua langkah dalam proses konseling

individual, yaitu: a. persiapan, yaitu tahapan dimana konselor mempersiapkan konseli untuk

masuk kedalam konseling. Tujuan dari persiapan ini ialah menciptakan perasaan-perasaan

tenang, bebas, tanpa tekanan dalam diri klien dan untuk membangun hubungan yang baik

dengan klien. Keterampilan dalam langkah ini yang harus dimiliki oleh konselor untuk

penyelenggaraan konseling individual yaitu: attending/menunjukkan kehadiran secara penuh

dengan tujuan melibatkan konseli dalam proses konseling, yang terdiri dari: menunjukkan

perhatian lewat tanda-tanda lahiriah, mengamati dan mendengarkan. b. Pertolongan, yaitu

tahapan dimana konselor mulai memberi bantuan-bantuan konseling dalam arti yang

sesungguhnya. Keterampilan yang diperlukan dalam tahap ini yaitu: responding/menanggapi

dimana konselor mampu mengartikulasikan pengalaman dan alasan dari perasaan tersebut,

serta mampu membahasakan konten dari ekspresi konseli, ketika konselor menyampaikan

kembali kepada konseli alasan dari perasaannya, dengan tujuan menunjukkan pemahaman

yang empatik terhadap pengalaman perasaan konseli dan membangun kontak psikologis yang

baik dengan konseli, memfasilitasi penelitian diri oleh konseli sendiri dengan

mengidentifikasi perasaan yang dinyatakan oleh konseli dan sebab-sebab yang ia sampaikan,

mencek taraf kemampuan konselor dalam hal memahami perasaan konseli, membangun dasar

dimana konselor dapat mempersonalisasi pemahaman konseli mengenai dirinya pada langkah

konseling berikutnya; personalization/personalisasi yaitu dimana konselor mampu

melakukan pendalaman terhadap hal-hal yang diekspresikan konseli dengan menambahkan

secara tepat pemahaman-pemahamannya terhadap materi-materi yang disajikan konseli,

dengan tujuan untuk memungkinkan konseli memahami tujuan yang ingin ia capai dan apa

yang menjadi kebutuhannya berkenaan dengan situasinya, yang terdiri dari: meletakkan dasar

bagi tukar menukar tanggapan, personalisasi arti/maksud, masalah, perasaan dan tujuan (goal)

; Initating/menginisasi yaitu dimana konselor mampu mengidentifikasi rangkaian tindakan

xlii
yang akan menghantarkan konseli dari tempat dia berada ke tempat dimana ia akan menjadi,

dengan tujuan memotivasi konseli untuk bertindak memecahkan masalah dengan

menunjukkan hal-hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dan dengan meletakkan

langkah-langkah spesifik sedimikian rupa sehingga konseli sadar bahwa tujuan yang mau

dicapainya dapat diraih (Konseng, 1996: 87-141).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konseling efektif

Keberhasilan konseling/efektifitas konseling sangat tergantung dari

tiga faktor/unsur yang saling terkait yaitu kemampuan yang meliputi:

sikap/kepribadian konselor (seperti empati, respek, otentik, konkret,

konfrontasi dan imediasi), dan keterampilan konselor (seperti: menempatkan

dan menampilkan diri secara penuh ketika menerima dan berhadapan dengan

konseli, mendengarkan, menangkap arti dari bahasa yang dikemukakan

konseli baik secara verbal maupun non verbal, peka dalam menangkap dan

mengartikan perasaan konseli, memberikan tanggapan terhadap reaksi

konseli), dan upaya belajar dari konseli dalam memberikan umpan balik

(Konseng, 1996: 49-53).

Ada lima hal yang yang harus disiapkan untuk keefektifan konseling

yaitu:

a. Kesiapan dari segi masalah, yang meliputi: 1) sifat masalah

(keunikannya), 2) bidang masalah (pribadi, sosial, belajar, karier dan

lainnya) dan 3) berat atau ringannya masalah.

b. Kesiapan dari segi konselor, yang yang meliputi: 1) kepribadian konselor

yang menunjang dalam melaksanakan konseling individual

(berkomunikasi dan memahami klien, menjaga jarak emosi dengan klien,

memahami statusnya sebagai konselor, tetapi dapat menjaga hubungan

xliii
dengan konseli, toleransi terhadap klien, menunjukkan kematangan, sabar.

Tidak agresif, memiliki self control dan mampu mengamati serta

mengukur perubahan-perubahan/kemajuan yang dicapai klien), 2)

pengetahuan konselor yang memadai baik diperoleh secara formal

maupun secara non formal, 3) pengalaman konselor dalam konseling

individual sehingga konselor bisa lebih memahami konsep-konsep terapi

yang ideal dan hubungan terapiutik akan lebih rapat dan 4) keterampilan

atau kecakapan konselor yang diperoleh melalui latihan-latihan yang

menunjang proses konseling individual.

c. Kesiapan dari segi klien, yang meliputi: 1) kepribadian klien terhadap

masalah (yaitu adanya motivasi yang kuat untuk menyelesaikan masalah

bersama konselor, mempunyai system pertahanan diri yang baik sehingga

klien akan memilih jalan yang yang baik untk mengatasi masalahnya,

mempunyai harapan terhadap peranan konselor sehingga klien akan siap

untuk melakukan konseling bersama konselor), 2) pengetahuan klien

tentang konseling seperti maksud dan tujuan, proses, hasil, pelaksanaan

dan manfaat bagi diri klien, 3) kecakapan intelektual klien, dimana makin

tinggi kecakapannya maka klien akan semakin menyadari pentingnya

menyelesaikan bersama konselor, 4) tingkat tilikan terhadap masalah dan

dirinya sendiri, dimana klien yang mengerti masalah yang sedang

dihadapinya beserta akibatnya yang mungkin timbul dan merugikan

perkembangan dirinya, maka klien perlu untuk segera menyelesaikan

masalahnya bersama konselor.

xliv
d. Kesiapan dari segi tempat dan lingkungan yang meliputi kondisi dan

keadaan sekeliling yang mendukung proses konseling individual berjalan

dengan baik.

e. Kesiapan dari segi waktu yang meliputi kapan konseling akan dilakukan

dan berapa lama dalam setiap pertemuannya, yang ditentukan secara

bersama-sama antara klien dan konselor (Wibowo, 1986: 126-133).

D. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual

Untuk menentukan apakah seorang konselor dapat dikatakan sebagai konselor yang efektif,

kurang efektif dan tidak efektif dalam melaksanakan konseling individual tidak sesederhana dan

semudah ungkapannya. Hal ini dikarenakan banyak sekali faktor yang mendukung dalam proses

konseling itu sendiri. Kualitas pribadi, sikap dasar, pengetahuan dan ketrampilan konselor sekolah

merupakan prasyarat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual.

Keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor sekolah mencakup keterampilan memahami

sifat-sifat klien, menilai situasi apakah persoalan klien mampu dibantu atau tidak, menciptakan

rapport, melaksanakan proses konseling secara efektif, atending meliputi: posisi badan yang baik,

kontak mata yang baik dan mendengarkan klien dengan baik, mengundang pembicaraan terbuka

meliputi membantu memulai wawancara, membantu klien menguraikan masalahnya dan membantu

memunculkan contoh-contoh perilaku khusus sehingga penjelasan klien dapat dipahami dengan lebih

baik, paraprase yaitu menyatakan kembali suatu kata atau prase secara sederhana. Tujuannya adalah

untuk mengatakan kembali kepada klien esensi dari klien dari apa yang telah dikatakan klien,

identifikasi perasaan yaitu membantu klien untuk menjelaskan perasaan-perasaannya sendiri, refleksi

perasaan yaitu membantu klien dengan cara memahami perasaanya dan sebagai pemeriksa persepsi

yang yang baik., konfrontasi yaitu guna membantu klien agar mengubah pertahanan yang telah

dibangunnya guna menghindari pertimbangan bidang tertentu dan untuk meningkatkan komunikasi

terus terang, meringkaskan yaitu suatu proses untuk memadu berbagai ide dan perasaan dalam satu

pernyataan pada akhir suatu wawancara konseling, menafsirkan, penerimaan, memberi ketenangan,

xlv
memimpin secara umum, mendengarkan, mengarahkan, memberi informasi, menghayati pikiran,

perasaan, dan cita-cita klien, menyimpulkan, memberikan dorongan, menggunakan alat atau teknik

pengumpulan data, memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, menggunakan teknik

pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai pendekatan konseling (Wibowo, 1986: 95-96).

Sedangkan sikap/kepribadian yang harus dimiliki konselor ketika melakukan

kontak dengan klien yaitu: kepribadian yang matang dan penyesuaian diri yang baik,

memiliki pemahaman terhadap orang lain secara objektif dan simpatik, memiliki

kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik dan lancar, memahami

batas-batas kemampuan yang ada pada dirinya sendiri, memiliki minat yang

mendalam mengenai murid-murid dan berkeinginan sungguh-sungguh untuk

memberikan bantuan kepada mereka, memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental,

sosial, dan fisik, peka terhadap berbagai sikap dan reaksi, respek terhadap orang lain,

memiliki kemampuan berkomunikasi, tidak mementingkan diri sendiri (Wibowo,

1986: 97-98).

Dalam suatu studi di Florida (USA) mengenai nilai dan kualitas-kualitas


pribadi mengemukakan bahwa yang membuat konselor efektif yaitu: konselor yang
memandang manusia sebagai pribadi, dan memiliki kapasitas untuk menangani
masalah-masalahnya; memandang manusia sebagai orang yang ramah, yang bersedia
menerima orang orang lain, dan bertujuan baik; menganggap manusia mempunyai
pembawaan yang bernilai dan perlu dihargai; memandang manusia sebagai pribadi
yang berkembang dari dalam, sebagai pribadi yang kreatif dan dinamis; memandang
manusia sebagai pribadi yang dapat dipercaya, dapat digantungi, dapat bertanggung
jawab, dan tingkah lakunya dipahami; memandang manusia sebagai pribadi yang
secara potensial dapat mencapai kebahagiaan, mampu mengembangkan diri, serta
dapat pula menjadi sumber bagi orang lain untuk memperoleh kepuasan dan
kebahagiaan (Kartono, 1985: 28-30).
Geroge dan Cristiani (1981) mengemukakan ciri-ciri konselor yang efektif
yaitu: “Konselor yang membukakan diri, dan menerima pangalaman sendiri,
menyadari akan nilai dan pendapatnya sendiri, bisa membina hubungan hangat dan
mendalam dengan orang lain, bisa membiarkan diri sendiri dilihat orang lain
sebagaimana adanya, menerima tanggung jawab pribadi dari perilakunya sendiri, dan
mengembangkan tingkatan aspirasi yang realistik”(dalam Gunarsa, 1992: 66-68).

Beberapa ahli, Brammer (1979), Carkhuf (1969), Shertzer dan Stone (1980) memberikan

rumusan yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, menyatakan bahwa ada indikasi

xlvi
yang kuat, bahwa: “Keefektifan konseling yang dilakukan oleh konselor yang efektif berhubungan

dengan ciri-ciri kepribadian konselor itu sendiri” (dalam Hariyadi, 2000: 7). Lebih lanjut Brammer

mengemukakan ciri-ciri kepribadian konselor yang hendaknya dimiliki adalah: kesadaran akan nilai-

nilai, kemampuan menganalisis perasaan sendiri, kemampuan untuk berfungsi sebagai model dan

influencer, altruisme, perasaan yang kuat terhadap etika, dan tanggung jawab. Sedangkan hasil

penelitian Shertzer dan Stone menyimpulkan bahwa efektifitas konseling berkaitan erat dengan

karakteristik kepribadian konselor yakni: toleransi terhadap ambigiutas, kematangan, pemahaman diri,

kemampuan untuk memelihara jarak emosional dengan klien, dan kemampuan untuk memelihara

hubungan interpersonal yang baik.

Brammer (1979), Carkhuf (1969), Shertzer dan Stone (1980) mengemukakan

bahwa “Pada umumnya disepakati ada ciri-ciri pribadi yang berhubungan dengan

keberhasilan melaksanakan konseling” (dalam Hariyadi, 2000: 7). Akan tetapi tidak

disebutkan secara rinci pola kepribadian yang mana yang disepakati itu. Tyler sendiri

berpendapat bahwa sifat pribadi yang paling penting bagi konselor adalah sikap-

sikapnya yang memungkinkan memahami dan menerima klien.

Dibawah ini akan di kemukakan tentang ciri-ciri konselor yang efektif sebagai

berikut:

1. Tujuan konseling (mengupayakan untuk membantu klien mencapai tujuannya

dan mengikuti agenda klien serta memberikan alternatif-alternatif sarana dan arah

terhadap kasus).

2. Pengembangan respon (mengembangkan dan menciptakan banyak respon yang

bervariasi sesuai dengan situasi dan issue-issue yang ada).

3. Pandangan/wawasan (memahami dan melakukan dengan pandangan/wawasan

yang luas).

4. Teori-teori psikologi dan konseling (memahami teori-teori dan bekerja atas dasar

teori itu serta memilih banyak alternatif pendekatan).

xlvii
5. Pemahaman budaya (mampu berkomunikasi dengan klien dari berbagai latar

belakang budaya).

6. Kerahasiaan (memelihara kerahasiaan klien).

7. Keterbatasan (mengetahui keterbatasan dalam bekerja, berbagai teori, konsep dan

pandangan dengan konselor lain).

8. Pengumpulan informasi (terfokus pada pemikiran, perasaan, dan pengalaman

klien dalam wawancara dan tidak menyimpang ke hal-hal yang tidak relevan).

9. Martabat manusia (menghargai manusia, memperlakukan klien dengan respek,

bermartabat dan keikhlasan).

10. Teori umum (dengan aktif terlibat kedunia klien, dengan menguasai teori,

pengembangan individu, konsisten terhadap pendekatan teori (Mappiare, 1992:

135-137)

Dari beberapa pendapat mengenai keefektifan konseling (konselor yang efektif dalam

melaksanakan konseling individual) sebagaimana dikemukakan di atas maka dapat diambil

kesimpulan secara umum dan luas bahwa: konselor yang efektif dalam melaksanakan konseling

individual ialah apabila konselor dapat melaksanakan tugas membantu klien dengan baik, dengan

mengerahkan segala kemampuan meliputi: keterampilan serta sikap/kepribadian yang dimilikinya,

sehingga masalah yang dihadapi klien (siswa) dapat terpecahkan secara memuaskan. Mengenai hal ini

maka dapat disusun tentang Konselor yang Efektif yang berdasarkan pada pengelompokkan atribut-

atribut keterampilan dan sikap/kepribadiaan konselor, sebagai berikut:

1. Keterampilan konselor

a. Memahami sifat-sifat klien, yang meliputi tahu gerak-gerik/tingkah laku klien, dan karakter

klien.

b. Menilai situasi apakah persoalan klien mampu dibantu atau tidak.

c. Menciptakan rapport yaitu menjalin hubungan pribadi yang baik antara konselor dan klien

sejak permulaan sampai konseling berakhir.

xlviii
d. Melaksanakan proses konseling (persiapan, pendekatan masalah, pengungkapan masalah,

diagnosa, prognosa, treatment, evaluasi dan tindak lanjut) secara efektif.

e. Atending yaitu menunjukkan kehadiran secara penuh dengan tujuan melibatkan konseli

dalam proses konseling yang meliputi: kualitas vokal, posisi badan yang baik, kontak mata

yang baik dan rileks.

f. Mengundang pembicaraan terbuka meliputi membantu memulai wawancara, membantu klien

menguraikan masalahnya dan membantu memunculkan contoh-contoh perilaku khusus

sehingga penjelasan klien dapat dipahami dengan lebih baik.

g. Paraprase yaitu menyatakan kembali suatu kata atau prase secara sederhana. Tujuannya

adalah untuk mengatakan kembali kepada klien esensi dari klien dari apa yang telah

dikatakan klien.

h. Identifikasi perasaan yaitu membantu klien untuk menjelaskan perasaan-perasaannya sendiri.

i. Refleksi perasaan yaitu membantu klien dengan cara memahami perasaanya dan sebagai

pemeriksa persepsi yang yang baik.

j. Konfrontasi yaitu guna membantu klien agar mengubah pertahanan yang telah dibangunnya

guna menghindari pertimbangan bidang tertentu dan untuk meningkatkan komunikasi terus

terang.

k. Meringkaskan yaitu suatu proses untuk memadu berbagai ide dan perasaan dalam satu

pernyataan pada akhir suatu wawancara konseling.

l. Menafsirkan, penerimaan, memberi ketenangan, memimpin secara umum, mendengarkan,

mengarahkan, memberi informasi, menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita klien,

menyimpulkan, memberikan dorongan, menggunakan alat atau teknik pengumpulan data,

memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, menggunakan teknik pengubahan tingkah

laku dan menggunakan berbagai pendekatan konseling.

2. Sikap/Kepribadian konselor

Seorang konselor di

dalam mengadakan kontak

dengan klien haruslah memiliki

xlix
sifat-sifat kepribadian tertentu,

di antaranya:

a. Kepribadian yang matang (seperti mawas diri/hati-hati, self control/sadar diri,

optimis, tanggung jawab, jujur, apa adanya, menyenangkan, pengaruh positif,

terbuka) dan penyesuaian diri yang baik.

b. Memiliki pemahaman terhadap orang lain secara objektif dan simpatik.

c. Memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik dan

lancar.

d. Memahami batas-batas kemampuan yang ada pada dirinya sendiri.

e. Memiliki minat yang mendalam mengenai murid-murid, dan berkeinginan

sungguh-sungguh untuk memberikan bantuan kepada mereka.

f. Memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental, sosial, dan fisik, seperti

kalem/tenang, rendah hati, sabar, humoris, cerdas, kuat etika, wawasan luas,

sederhana, hangat, dan figur ibu.

g. Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi.

h. Respek terhadap orang lain.

i. Memiliki kemampuan berkomunikasi.

Dari uraian di atas diketahui bahwa konselor yang efektif terletak pada

dimiliki dan dilaksanakannya secara baik atau tidak dari kedua atribut yakni:

keterampilan dan sikap/kepribadian konselor.

E. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja,

dan Gender Konselor menurut Persepsi Klien


1. Karakteristik konselor ditinjau dari tingkat pendidikan

l
a. Pengertian tingkat pendidikan

Tingkat mempunyai pengertian sesuatu yang disusun menurut tinggi


rendahnya martabat (Poerwodarminto, 1986: 107). Sedangkan pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang/kelompok orang
dalam usaha mendewasakan melalui upaya pengajaran dan pelatihan
(Suwardi, 2001: 5). Dalam UU RI No 2 tahun 1989 mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa
yang akan datang.
Tingkat pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pada umumnya mengarah pada

satu arah yang sama. Jika pengertian tersebut diperhatikan dan dibandingkan, maka dapat

dianalisis: Tingkat pendidikan adalah usaha seorang individu untuk memperoleh ilmu

pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang diperoleh di bangku sekolah. Hal tersebut

diharapkan setelah lulus individu dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki ilmu,

cerdas, terampil, kreatif, penuh tanggung jawab, berbudi luhur, mencintai sesama manusia

dan mencintai bangsanya.

Dalam pelaksanaannya kegiatan pendidikan dapat berlangsung secara formal dan

non formal, dimana keduanya sama-sama berperan membentuk sikap dan tingkah laku

manusia, hanya medianya saja yang berbeda.

1). Pendidikan formal adalah pendidikan dari satuan pendidikan, lembaga pendidikan yang

didirikan oleh pemerintah/masyarakat dengan pemenuhan syarat-syarat tertentu yang

diatur dalam Undang-Undang yang berlaku saat ini (UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem

Pendidikan Nasional) dengan tingkatan-tingkatan/ jenjang: pendidikan dasar, pendidikan

menengah dan pendidikan tinggi.

2). Pendidikan non formal adalah pendidikan yang diperoleh tidak melalui lembaga

pendidikan resmi yang didirikan pemerintah maupun masyarakat. Misalnya latihan

keterampilan komunikasi efektif antara orang tua dan remaja di organisasi PKK.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini yang dimaksud dengan tingkat pendidikan

adalah tingkat pendidikan formal yang ditempuh oleh konselor dalam jenjang pendidikan

tinggi. Adapun pendidikan tinggi jurusan bimbingan konseling FIP-UNNES meliputi: D3, S1,

S2, dan S3 bimbingan dan konseling.

Selanjutnya dalam pasal 17 UU RI No 2 tahun 1989 dijelaskan tentang pendidikan

tinggi sebagai berikut, yaitu:

li
a). Pendidikan terdiri dari akademik dan profesional.

b). Sekolah tinggi, Institut, Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan atau

profesional.

c). Akademik dan politeknik menyelenggarakan profesional (Ekosusilo dan Kasiadi, 1993:

130).

b. Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien

Kompetensi profesional dari konselor sekolah selain berdasarkan bakat konselor

sekolah pada diri seseorang, juga unsur pendidikan dan pengalaman kerja memegang peranan

yang sangat penting.

Konselor sekolah (School Counselor), ialah tenaga profesional, pria atau wanita

yang mendapat pendidikan khusus Bimbingan dan Konseling, secara ideal berijazah sarjana

dari FIP-IKIP, Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling atau Jurusan Psikologi

Pendidikan dan Bimbingan, serta jurusan-jurusan/Program Studi yang sejenis. Para tamatan

tersebut setelah disekolah adalah menjadi tenaga khusus. Tenaga ini dapat disebut “Full-time

guidance counselor”, karena seluruh waktu dan perhatiannya dicurahkan pada pelayanan

bimbingan dan karena dialah menjadi penyuluh utama disekolah”, W.S Winkel, 1981 (dalam

Sukardi, 1984: 19).

Persyaratan formal/pendidikan seorang guru pembimbing sekurang-kurangnya harus

telah memiliki pendidikan setingkat sarjana muda dari suatu lembaga pendidikan yang sah

dan memenuhi syarat untuk menjadi guru dalam tingkat sekolah di tempat dia ditugaskan.

Secara profesional seorang guru pembimbing hendaknya telah mencapai tingkat sarjana

pendidikan dengan mengikuti studi dalam bidang bimbingan. Dalam masa pendidikannya

seorang guru pembimbing harus menempuh mata kuliah tentang prinsip-prinsip dan praktik

bimbingan. Bidang yang harus dikuasainya meliputi bidang utama yang terdiri atas proses

konseling, pemahaman individu, informasi dalam bidang pendidikan dan jabatan, administrasi

bimbingan, prosedur penelitian, dan penilaian bimbingan. Bidang lain yang harus pula

dikuasai oleh seorang guru pembimbing sebagai bidang tambahan meliputi psikologi,

ekonomi, dan sosiologi (Wijaya, 1988: 127).

lii
Kaitannya dengan penelitian ini hanya akan dibahas lebih luas tentang pendidikan

formal. Lebih khusus lagi adalah pendidikan formal yang memiliki jenjang/tingkatan-

tingkatan tertentu seperti yang diatur dalam UU No. 2 tahun 1989. Inipun dibatasi hanya satu

jenjang pendidikan yaitu jenjang pendidikan tinggi yang terdiri dari:

1). D3 BK, yang mempunyai karakteristik/ciri-ciri sebagai berikut:

a). Lama pendidikan: 3 tahun (minimal)

b). Jumlah SKS yang harus ditempuh: 105 SKS

c). Syarat kelulusan: menyusun tugas akhir (TA)

d). Tujuan: menyelenggarakan pendidikan akademik yang diarahkan terutama pada

penguasaan ilmu pengetahuan.

2). S1 BK, yang mempunyai karakteristik/ciri-ciri sebagai berikut:

a). Lama pendidikan: 4 tahun (minimal)

b). Jumlah SKS yang harus ditempuh: 152 SKS

c). Syarat kelulusan: menyusun skripsi

d). Tujuan: menyelenggarakan pendidikan akademik yang diarahkan terutama pada

penguasaan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam.

Mengacu pada teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa persyaratan formal dari

seorang konselor sekolah ada 2 yaitu minimal sarjana muda BK (D3 BK), dan sarjana BK (S1

BK) itu sendiri, dimana dilihat dari lama pendidikan, SKS yang harus ditempuh, persyaratan

kelulusan dan tujuan pendidikan antara D3 BK dan SI BK berbeda. Maka diasumsikan akan

berbeda pula keefektifan konselor dalam melaksanakan layanan konseling antara konselor

dengan tingkat pendidikan D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien. Dimana konselor

dengan tingkat pendidikan S1 BK akan lebih efektif dalam melaksanakan layanan konseling

dibandingkan dengan konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK.

2. Karakteristik konselor ditinjau dari pengalaman kerja.

a. Pengertian pengalaman kerja

Pengalaman yang dimiliki seseorang memberikan dasar kepada seseorang dalam

melakukan kegiatan atas dasar pengalaman yang telah dimilikinya, seseorang akan

memiliki kemampuan dan menjadi ahli.

liii
Pengalaman-pengalaman itu menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan yang

selalu memberitahukan kepada diri untuk menentukan sikap perilaku yang diinginkan

atas dasar pengalaman masa lalunya. Namun demikian pengalaman seseorang bisa

menjadi guru dalam hidupnya dan bisa pula hanya menjadi sekedar kenangan sehingga

tidak merubah perilaku dan kemampuannya.

Pengalaman kerja sebagai konselor sekolah adalah masa kerja yang ditandai

dengan lamanya seorang konselor sekolah melaksanakan tugas profesinya. Masa kerja

ini memiliki peranan penting terhadap keefektifan konselor dalam melaksanakan tugas-

tugasnya.

Menurut Middlebrook “Tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu

objek psikologis cenderung akan membentuk suatu sikap negatif terhadap objek tersebut”

(dalam Hariyadi, 2000: 10).

Baron (1988) mengemukakan “Sikap yang negatif akan melahirkan perilaku

atau unjuk kerja yang negatif, karena perilaku pada umumnya merupakan manifestasi

dari sikap seseorang. Perilaku yang negatif ini akan melahirkan ketidakefektifan konselor

dalam melaksanakan tugas-tugasnya” (dalam Hariyadi, 2000: 10).

Fazio dan Zana (1978) juga mengemukakan “Sikap yang terbentuk melalui

pengalaman langsung mengenai suatu objek hasilnya lebih kuat dan lebih melekat”

(dalam Hariyadi, 2000: 10).

Sedangkan menurut Wu dan Schaffer (1987) “Sikap yang terbentuk melalui

pengalaman langsung ternyata lebih tahan terhadap perubahan daripada sikap yang

terbentuk melalui pengalaman tidak langsung”, (dalam Hariyadi, 2000: 10).

b. Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun

menurut persepsi klien

Selama menjalankan profesinya ini berarti konselor sekolah akan selalu

berinteraksi dengan pekerjaannya maupun dengan teman-teman sejawatnya yang pada

akhirnya akan mempengaruhi kehidupan individu dalam menekuni profesinya itu.

Interaksi sosial dalam suatu organisasi berpengaruh signifikan terhadap kehidupan

liv
individu, termasuk didalamnya pembentukan sikap dan perilaku. Interaksi sosial yang

positif akan melahirkan sikap dan perilaku yang positif. Jika sikap dan perilaku kerjanya

positif maka hal ini akan mengantarkannya kepada konselor yang efektif, begitu juga

sebaliknya (Johnson, 1970: 141).

Seorang konselor sekolah yang profesional hendaknya telah memiliki

pengalaman mengajar atau praktik bimbingan dan konseling selama dua tahun, ditambah

satu tahun pengalaman kerja diluar bidang persekolahan, tiga bulan sampai enam bulan

praktik konseling yang diawasi dan pengalaman-pengalaman yang baik dalam kegiatan

sosial seperti kegiatan sukarela dalam masyarakat (Wijaya, 1988: 27-28).

Kaitannya dalam penelitian ini, pengalaman kerja langsung bisa dilihat dari

masa kerja konselor di sekolah. Masa kerja adalah menunjuk kepada berapa lama

seseorang mengabdikan diri menjalankan profesinya sebagai konselor di sekolah.

Menurut Chamberlin (1969) pengajaran dilaksanakan oleh tenaga-tenaga

profesional dengan tingkat persiapan yang berbeda-beda. Tingkat-tingkat profesional itu

bermacam-macam, yang terdiri dari: “Cadet Teacher, Executive Teacher, Lead Teacher,

Master Teacher, Provisional Teacher, Profesional Teacher, Regullar Teacher, Senior

Teacher, Special Teacher, Teacher Assiten, Teacher Intern dan Team Leader”,

Chamberlin, 1969 (dalam Hamali, 1991: 90).

Semua jenis guru mata pelajaran tersebut bertanggung jawab untuk mengajar,

kendati tingkat otoritasnya tidak sama. Dari semua jenis staf profesional tersebut dibagi

menjadi tiga kategori, dengan masa kerja masing-masing sebagai berikut:

1). Guru Provisional (Provisional Teacher), merupakan anggota staf yang telah

menempuh program pendidikan guru, tetapi belum memiliki atau masih kurang

pengalaman mengajar. Tingkatan guru ini sering disebut sebagai regular teacher,

guru baru (beginning teacher), atau teacher provisional. Guru mata pelajaran yang

masuk pada kategori ini yaitu guru dengan masa kerja 0 tahun - 14 tahun.

2). Guru Pelaksana (Executive Teacher). Executive teacher bertanggung jawab

melaksanakan kegiatan-kegiatan instruksional, mereka bertanggung jawab

menyusun rencana dan melaksanakan pekerjaan sehari-hari yang menjadi tugas staf

lv
pengajar. Guru dalam jenis ini harus memiliki pengalaman mengajar dikelas. Guru

mata pelajaran yang masuk pada kategori ini yaitu guru dengan masa kerja 15 tahun

- 24 tahun.

3). Guru Profesional (Professional Teacher), senior teacher, master teacher dan

profesional teacher dikelompokkan kedalam kategori ini. Guru profesional

merupakan seseorang yang telah menempuh program pendidikan guru dan telah

berpengalaman dalam mengajar dalam waktu yang lama. Guru-guru ini diharapkan

dan dikulifikasikan untuk mengjar dikelas yang besar dan bertindak sebagai

pimpinan bagi para anggota staf lainnya. Guru mata pelajaran yang masuk dalam

kategori ini yaitu guru dengan masa kerja > 24 tahun.

Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, masa kerja kerja konselor

dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

1). Konselor dengan masa kerja rendah, yaitu konselor sekolah dengan masa kerja 0

tahun - 11 tahun.

2). Konselor dengan masa kerja sedang, yaitu konselor sekolah dengan masa kerja 12

tahun - 23 tahun.

3). Konselor dengan masa kerja tinggi, yaitu konselor sekolah dengan masa kerja > 24

tahun.

Rasional dibagi menjadi tiga kategori masa kerja konselor (rendah, sedang dan

tinggi) dengan jarak masing-masing masa kerja selama 11 tahun, yaitu dihitung dari

masa kerja konselor seluruhnya selama 35 tahun, yang diperoleh dari masa kerja

terakhir/masa pensiun konselor (65 tahun), dikurangi dengan masa kerja pertama

konselor (25 tahun), setelah mahasiswa berada pada semester terakhir (semester XIV)

dan mempunyai kesempatan yang terakhir untuk menuntut ilmu S1 dalam sebuah

Perguruan Tinggi.

Dari keterangan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seorang

konselor sekolah meskipun mempunyai pengertian yang sama, namun dari segi masa

kerjanya konselor sekolah mempunyai banyak golongan. Masing-masing mempunyai

tanggung jawab dan tugas pekerjaan sendiri-sendiri, dan menuntut kompetensi yang

lvi
serasi dengan tugasnya, maka diasumsikan akan berbeda pula keefektifan konselor dalam

melaksanakan layanan konseling individual antara konselor sekolah dengan masa kerja 0

tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun menurut persepsi klien. Dimana

konselor sekolah dengan masa kerja tinggi yaitu > 24 tahun akan lebih efektif dalam

melaksanakan konseling individual bila dibandingkan dengan konselor sekolah dengan

masa kerja sedang yaitu 12 tahun - 23 tahun, dan dengan konselor sekolah dengan masa

kerja rendah yaitu 0 tahun -11 tahun.

3. Karakteristik konselor ditinjau dari gender

a. Pengertian gender

Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan

yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.

Sedangkan didalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa: “gender adalah

suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran,

perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat” (Umar, 1999: 33). Pendapat ini sejalan dengan pendapat

H.T Wilson dalam Sex and Gender yang mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk

menentukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan

kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini

Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan

perempuan dilihat dari konstruksi sosial dan budaya. Ia menekankannya sebagai konsep

analisis (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Berbeda

halnya dengan pendapat Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender:

an introduction, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki

dan perempuan (Cultural Expectations For Women and Men) (Umar, 1999: 40).

Meskipun kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar

Bahasa Indonesia, namun istilah tersebut sudah lazim digunakan khususnya di kantor

Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Gender disini diartikan

sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yaitu laki-laki dan

lvii
perempuan. Gender biasanya digunakan untuk menunjukan pembagian kerja yang

dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

b. Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien

Bahwa banyak orang berusaha untuk menghilangkan perbedaan hakiki dan

karakteristik antara antara laki-laki dan wanita, terutama orang berusaha

memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban, yaitu sebagai wanita yang

kedudukannya sebagai warga negara. Namun betapapun hebat perjuangan feministis ini,

orang tetap senantiasa menyadari akan perbedaan-perbedaan dan karakteristik yang

fundamental antara kaum pria dan wanita (Kartono, 1992: 177). Perbedaan-

perbedaan/karakteristik tersebut dinyatakan antara lain dalam peristiwa sebagai berikut:

1). Betapapun baik dan cemerlangnya intelengensi wanita, namun pada intinya wanita

itu hampir tidak pernah mempunyai intersse menyeluruh pada soal-soal seperti

kaum laki-laki. Hal ini antara lain bergantung pada struktur otaknya serta misi

hidupnya. Jadi wanita itu pada umumnya lebih tertarik pada hal yang praktis dari

pada teoritis.

2). Kaum wanita lebih praktis, lebih langsung dan meminati segi-segi kehidupan

konkrit, serta segera. Misalnya ia sangat menikmati masalah rumah tangga,

kehidupan sehari-hari dan kejadian yang berlangsung di sekitar rumah tangganya.

Sedang kaum pria pada umumnya cuma mempunyai interesse, jika peristiwanya

mengandung latar belakang teoritis untuk difikirkan lebih lanjut, mempunyai

tendensi tertentu, sesuai dengan minat pria, atau ada kaitannya dengan diri sendiri.

Ringkasnya wanita lebih dekat pada masalah-masalah kehidupan yang praktis

konkrit, sedang kaum laki-laki lebih tertarik pada segi-segi kejiwaan yang bersifat

abstrak.

3). Wanita pada umumnya sangat bergairah, vivid dan penuh vitalitas hidup, karena

itu wanita lebih spontan dan impulsif. Sehubungan dengan hal ini mereka disebut

sebagai makhluk yang memiliki keremajaan dan penuh kelincahan hidup. Sehingga

tepat kiranya bila wanita berfungsi sebagai teman bergaul bagi kaum laki-laki,

lviii
karena laki-laki pada umumnya selalu tertarik pada keremajaan dan kesegaran

sifat-sifat wanita.

4). Wanita pada hakikatnya lebih bersifat hetero-sentris dan lebih sosial, karena itu

lebih ditonjolkan sifat kesosialannya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

terutama pada “penderitaan” orang lain. Karena itu mencari obyek perhatiannya

diluar dirinya sendiri, terutama suami dan anak-anaknya, juga berminat pada

lingkungannya. Sebaliknya kaum laki-laki, mereka lebih bersifat egosentris, dan

lebih suka berfikir pada hal-hal yang zakelijk. Mereka lebih obyektif dan essensial.

Memang adakalanya kaum pria mengerahkan dirinya pada partnernya (Aku lain),

misalnya dalam kegiatan relasi seksual. Namun ini hanya berlangsung

sekejap/sebentar saja selanjutnya kembali pada diri sendiri, yakni memikirkan diri

sendiri.

5). Wanita lebih mengarah keluar, kepada subyek lain. Pada setiap kecenderungan

kewanitaannya, misalnya pada caranya bergaya dan berhias, secara primer wanita

mengarahkan aktifitasnya keluar, untuk menarik perhatian pihak lain, terutama

seks lain. Karena itu kebebasan dan suka berhias dalam batas-batas normal

merupakan bukti bahwa dalam dirinya terdapat instelling sosial yang murni

feminim dan sehat. Sebab wanita yang sudah tidak berhasrat lagi untuk

memperindah dirinya, dan tidak mau berhias sama sekali, lagi pula acuh tak acuh

penampakan dirinya, wanita semacam ini tidak memiliki daya tarik lagi. Ia adalah

wanita yang goyah, dan tengah mengalami dekadensi/kemunduran psikis yang

serius. Pada banyak segi, wanita menganggap orang laki-laki/suaminya sebagai

anaknya harus dituntun dengan penuh rasa keibuan dan diarahkan. Oleh karena itu

wanita senantiasa terbuka hatinya bagi orang lain dan lebih mudah mengakseptir

(Aku lain). Sehubungan dengan sosialitasnya ini, wanita cepat bersedia membuka

diri bagi aku lain. Karena itu ia dikenal dengan sebutan “terminus terpercaya”

(tempat pemberhentian akhir yang bisa dipercaya).

6). Kaum laki-laki disebut lebih egosentris/self oriented. Pria cenderung berperan

sebagai pengambil inisiatif untuk memberikan stimulasi dan pengarahan,

lix
khususnya bagi kemajuan, dan menganggap dunia ini sebagai miliknya, sebagai

ruang untuk berprestasi dan siap kerja. Segenap kegiatan dan hidupnya senantiasa

dikaitkan pada macam-macam proyek dan material dari karyanya. Dia selalu

berusaha mengejar cita-citanya dengan segala macam sarana dan upaya, baik upaya

yang luhur maupun yang jahat. Oleh karena itu hidupnya dianggap sebagai

substansi yang otonom; juga dilihat sebagai satu prospek yang mengarah pada

masa jauh ke depan. Berkaitan dengan ini kegiatan kaum laki-laki itu bersifat

ekspanif dan agresif; yaitu penuh daya serang untuk menguasai situasi dan ruang

lingkup hidupnya, serta lebih bernapsu memperluas kekuasaannya. Wanita adalah

sebaliknya biasanya ia tidak agresif. Sifatnya lebih pasif, lebih “besorgent”, lebih

“open”, suka melindungi, memelihara, dan mempertahankan. Ringkasnya bersifat

“conserverend”, memupuk, memelihara, mengawetkan terhadap barang-barang dan

manusia lain. Oleh fungsinya sebagai “pemelihara” itu wanita dibekali oleh alam

dengan sifat-sifat kelembutan dan keibuan, tanpa mementingkan diri sendiri, dan

tidak mengharapkan balas jasa bagi segala perbuatannya.

7). Menurut Prof. Heymans, perbedaan antara laki-laki dan perempuan terletak pada

sifat-sifat sekunderitas, emosionalitas, dan aktifitas dari fungsi-fungsi kejiwaan.

Pada kaum wanita fungsi sekunderitasnya tidak terlihat dibidang intelek, akan

tetapi pada perasaan. Oleh karena itu nilai perasaan dari pengalaman-

pengalamannya jauh lebih lama mempengaruhi struktur kepribadian, jika

dibandingkan dengan nilai perasaan kaum laki-laki (Kartono, 1992: 181).

8). Kebanyakan wanita kurang berminat pada masalah politik; terlebih-lebih politik

yang menggunakan cara-cara licik, munafik, dan kekerasan. Sikap tidak berminat

ini disebabkan oleh karena tindak politik itu di anggap kurang sesuai dengan nilai-

nilai etis dan perasaan halus wanita. Juga dari bidang intelek, kaum wanita lebih

banyak menunjukkan tanda-tanda emosionalnya. Karena itu, biasanya wanita

memilih bidang dan pekerjaan yang banyak mengandung unsur relasi emosional

dan pembentukan perasaan. Misalnya pekerjaan guru, juru rawat, pekerja sosial,

bidan, dokter, seni, dan lain sebagainya. Oleh emosi yang kuat, wanita lebih cepat

lx
mereaksi dengan penuh ketegasan; dia lebih cepat berkecil hati, bingung, takut, dan

cemas. Akan tetapi jika menghadapi bahaya yang benar-benar laten, apalagi jika

bahaya tersebut mengancam keselamatan anaknya, suami/orang yang dicintai,

dalam menghadapi bahaya tersebut biasanya bersifat tabah dan kuat. Sehubungan

dengan hal ini tampaknya seperti terdapat “kontra indikasi” pada kehidupan

perasaan wanita. Yaitu ada kalanya bersifat mudah tegang, cemas, akan tetapi juga

bisa tabah, berani, dan keras.

9). Wanita juga sangat peka terhadap nilai estetis. Hanya saja pada umumnya mereka

kurang produtif. Hal ini terutama disebabkan oleh sangat kurangnya kesempatan

untuk memperdalam suatu ketrampilan seni, banyaknya tugas-tugas rumah tangga,

dan beratnya kewajiban mendidik anak-anaknya. Sehubungan dengan perasaan

halus dan unsur keibuan yang penuh kelembutan, pada umumnya wanita kurang

berminat pada pelontaran kritik-kritik tajam dibidang politik, kesenian, dan budaya.

Mereka lebih suka menikmati hasil seni yang “indah” dari ketiga bidang itu.

10). Dalam kehidupan sehari-hari, wanita lebih aktif dan resolut tegas. Diantara

kehidupan, kemauan dan aktifitasnya terhadap penyesuaian yang harmonis, jika

seorang wanita sudah memilih sesuatu dan telah memutuskan untuk melakukan

sesuatu, ia tak banyak berbimbang hati untuk melakukan langkah-langkah

selanjutnya. Hal ini berbeda sekali dengan kaum laki-laki yang masih saja bimbang

hati, dan masih saja terombang ambing diantara pilihan menolak dan menyetujui.

Dengan begitu, wanita pada hakikatnya lebih spontan, dan lebih mempunyai

kepastian jiwa terhadap keputusan-keputusan yang telah diambil. Pada umumnya

wanita lebih antusias memperjuangkan pendiriannya dari pada kaum laki-laki.

11). Pada kaum pria terdapat garis pemisah yang jelas, antara kehidupan psikis dengan

kehidupan indrawi, dan antara interesse pribadi dengan tugas kewajiban yang

formal sehari-hari. Dia menghayati pemisahan ini sebagai elemen yang terintegrasi

demi kepribadiannya. Ia menyadari, betapa eratnya diri sendiri itu terkait pada

strutur-struktur psikis yang tampaknya kontraindikatif satu dengan yang lainnya.

Oleh kesadaran itu ia ingin lebih berdiri diluar pagar sebagai “pengamat” dan

lxi
ingin lebih otonom. Bahkan seringkali bersikap agresif menghadapi kontraindikasi-

kontraindikasi dan nasib hidupnya.

12). Kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita bukan terletak pada kesadaran obyektif

menuju pada satu tujuan, akan tetapi lebih terletak pada pada kehidupan

perasaannya, yang didorong oleh efek-efek dan sentimen-sentimen yang kuat. Jika

wanita tidak menyukai/membenci seseorang ia cenderung menolak, menghukum

dan mengadili semua tingkah laku serta pribadi yang dibencinya. Dia tidak

bisa/tidak mau membedakan antara person/pribadi orang yang dibenci itu dengan

tingkah laku/perbuatan orang tersebut. Dari segala sesuatu yang keluar dari orang

yang dibencinya itu, baik/buruk, pasti diterima dengan prasangka dan rasa antipati.

13). Wanita pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetil

14). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, perbedaan kaum laki-laki dan wanita itu

bukan terletak pada adanya perbedaan yang essential dari temperamen karaternya,

akan tetapi pada perbedaan struktur jasmaniahnya. Perbedaan tersebut

mengakibatkan adanya perbedaan alam aktifitas sehari-hari. Dan hal ini

menyebabkan timbulnya perbedaan pula pada fungsi sosialnya ditengah

masyarakat. Jadi ada perbedaan dalam nuansa kualitatif dan bukan perbedaan

secara kuantitatif saja.

15). Untuk menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan

dikatakan bahwa: “Perbedaan antara laki-laki dan perempuan

semakin jauh antara lain terlihat pada laki-laki dan perempuan

cenderung tumbuh dengan keahlian berhubungan dengan orang lain

yang berbeda dalam hal sumber dan kekurangannya”, Michael

Argyle (dalam Prihatono, 1986: 36). Argyle lebih lanjut mengatakan

bahwa banyak studi riset yang menunjukkan bagaimana wanita lebih

suka membentuk persahabatan erat dengan sesamanya. Namun

mereka nampak lebih sulit daripada pria dalam menyatakan hierarki

lxii
(tingkatan), grup-grup terstruktur, yang berkaitan dengan tugas

gabungan. Lebih jauh mereka jarang muncul sebagai pemimpin dari

kelompok semacam ini (Prihatono, 1986: 37). Hal yang sama juga

disampaikan bahwa perbedaan perilaku antara jenis kelamin sebagai

akibat interaksi antara keadaan biologis dan masyarakatnya

(Satmoko,1995: 449).

Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang

timbul akibat perbedaan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologi (sex)

melahirkan seperangkat konsep budaya, interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis

kelamin inilah yang disebut gender. Adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki

tidak dapat disangkal, itulah kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari

segi biologis, Al-Quran mengingatkan: “Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan

yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain. Laki-laki

mempunyai hak atas apa atas apa yang diusahakannya” (Q.S An-Nisa/4: 32).

Ayat diatas mengisyaratkan perbedaan masing-masing memiliki keistimewaan.

Perbedaan yang ada tentu mengakibatkan perbedaan fungsi utama yang harus masing-

masing emban. Secara umum Al-Quran mengakui adanya perbedaan (distinction) antara

laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan/membedakan

(diskrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lainnya.

Dengan demikian secara fisik-biologis laki-laki dan perempuan tidak saja

dibedakan oleh identitas jenis kelamin, bentuk, anatomi biologis lainnya, melainkan juga

faktor interaksi sosial budaya dalam masyarakat. Pengaruh perbedaan ini sangat

mempengaruhi pola kehidupan dan sikap dari masing-masing, bahwa laki-laki memiliki

harapan/keinginan yang lebih tinggi dari perempuan dalam jalan kehidupannya adalah

sah saja, begitu pula sebaliknya. Seorang laki-laki karena pertimbangan struktur sosial

budaya dalam masyarakat dituntut untuk memiliki harapan terhadap peran sosial yang

berbeda dengan perkembangan dikemudian hari. Di katakan bahwa perbedaan antara

laki-laki dan perempuan didalam mayarakat secara umum diklasifikasikan dalam 2

lxiii
kelompok. Pertama teori yang mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan

perempuan ditentukan oleh faktor biologis atau biasa disebut teori nature. Perbedaan

tersebut melahirkan pemisahan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan

perempuan. Kedua teori yang mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan

perempuan ditentukan oleh faktor budaya atau biasa disebut dengan teori nurture (Umar,

1999: 31-39).

Mengacu pada kedua teori yang disampaikan oleh Nasaruddin Umar dapat

ditarik kesimpulan bahwa perbedaan kedua jenis kelamin antara pria dan wanita bukan

semata-semata ditentukan oleh faktor biologis, tetapi lebih dari itu sesungguhnya

perbedaan kedua jenis kelamin antara pria dan wanita dikonstruksikan oleh budaya

masyarakat, sehingga diasumsikan akan menimbulkan perbedaan keefektifan konselor

dalam melaksanakan konseling individual antara konselor pria dan wanita menurut

persepsi klien.

Berbicara tentang keefektifan konselor sekolah dalam melaksanaan tugasnya adalah berbicara

“performance” (unjuk kerja konselor). Tentang bagaimana “performance” (unjuk kerja) seorang konselor

di sekolah akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

Faktor internal ialah semua hal yang bersumber dari dalam diri konselor itu sendiri, sedangkan faktor

eksternal adalah semua hal yang bersumber dari luar diri konselor.

Disamping kedua atribut yang menandai konselor yang efektif seperti tersebut
diatas, beberapa faktor internal yang menurut penulis ikut memberi kontribusi terhadap
unjuk kerja konselor, sehingga mengantarkannya sebagai konselor yang sangat efektif,
efektif, cukup efektif, agak kurang efektif dan kurang efektif yaitu: tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, dan gender konselor.
F. Hipotesis Penelitian

Atas dasar kajian teoritis sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah

dikemukakan beberapa hipotesis penelitian yang merupakan kesimpulan yang

bersifat sementara dan masih harus dibuktikan kebenarannya, sebagai berikut :

1. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien.

2. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari masa

kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun menurut persepsi klien.

lxiv
3. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien.

lxv
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam melaksanakan

penelitian. Penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data secara obyektif dan dilakukan

dengan prosedur yang jelas dan dapat dilacak secara empiris berdasarkan pada bukti-

bukti yang memungkinkan. Bukti-bukti tersebut dikumpulkan melalui metode yang jelas

dan sistematis. Metode penelitian sebagaimana kita kenal sekarang memberikan garis-

garis yang sangat cermat dan mengajukan syarat-syarat yang keras pula. Maksudnya

adalah untuk menjaga agar pengetahuan yang dicapai dari suatu penelitian mempunyai

harga ilmiah yang setinggi-tingginya. (Hadi, 1994: 4).

Peranan metode sangat menentukan dalam upaya menghimpun data yang

diperlukan dalam penelitian. Dengan kata lain, metode penelitian akan memberikan

petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau petunjuk bagaimana penelitian itu

dilaksanakan (Sudjana dkk, 1989: 16).

Penggunaan metode penelitian harus tepat dan mengarah pada tujuan penelitian,

serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berikut akan dibahas mengenai jenis

penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, metode dan alat pengumpulan data,

validitas dan reliabilitas, serta analisis data.

A. Jenis Penelitian

Pada dasarnya jika melihat judul penelitian ini maka tergolong penelitian

komparatif sebab bertujuan guna membandingkan dua atau tiga jenis kelompok,

dibawah ini akan diuraikan secara rinci mengenai penelitian komparasi.

lxvi
Penelitian komparasi adalah jenis penelitian deskriptif yang ingin menjawab

secara mendasar tentang sebab akibat yang dijadikan dasar pembanding, namun

penelitian ini tidak mempunyai kelompok kontrol (Nazir, 1999: 70).

Penelitian komparasi akan dapat menemukan persamaan-persamaan atau

perbedaan-perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide, kelompok terhadap

suatu ide atau suatu prosedur. Dapat juga membedakan pandangan group atau negara

terhadap kasus, peristiwa atau objek tertentu (Arikunto, 1997: 248).

Dalam penelitian ini adalah mencari jawaban secara mendasar sebagai dasar

pembanding keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual menurut

persepsi klien pada:

1. Dua kelompok tingkat pendidikan konselor yaitu D3 Bimbingan dan Konseling dan S1

Bimbingan dan Konseling.

2. Tiga kelompok masa kerja konselor yaitu 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan >

24 tahun.

3. Dua kelompok jenis kelamin konselor yaitu pria dan wanita.

Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki dan

populasi dibatasi sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai

sifat yang sama (Hadi, 1988: 220). Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian

(Arikunto, 1998: 115). Disebutkan pula bahwa populasi maknanya berkaitan dengan

elemen, yaitu unit tempat diperolehnya informasi. Elemen tersebut bisa berupa

individu, keluarga, rumah tangga, kelompok sosial, sekolah, kelas, maupun

lxvii
organisasi. Dengan kata lain populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen

(Sudjana dkk, 1989: 83).

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi adalah sejumlah individu dalam

wilayah individu penelitian yang mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama.

Populasi dapat dibedakan berdasarkan keanggotaanya, sifatnya, dan idealismenya, antara lain

sebagai berikut:

a. Berdasarkan keanggotannya, populasi dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1). Populasi finit, yaitu populasi dengan jumlah individu tertentu dan pasti.

2). Populasi infinit, yaitu populasi dimana jumlah anggota dalam populasi tidak pasti.

b. Berdasarkan sifatnya, populasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1). Populasi homogen yaitu sumber data yang unsurnya memiliki sifat yang sama sehingga tidak

perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif.

2). Populasi heterogen yaitu sumber data yang unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang

bervariasi sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

c. Berdasarkan idealismenya, populasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1). Populasi target yaitu populasi dimana peneliti ingin menggeneralisasikan hasil penelitian

secara ideal.

2). Populasi realistis yaitu populasi dimana peneliti memilih objek penelitian.

Dalam penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan populasi

sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, yaitu penelitian dengan

menggunakan anggota populasi, dengan alasan sebagai berikut:

a. Jumlah subjek penelitian terjangkau oleh peneliti.

b. Studi populasi akan memberikan hasil penelitian yang lebih akurat, karena semua

sekolah diteliti.

Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah seluruh siswa di SMA Negeri se-Kota

Semarang tahun ajaran 2004/2005. Adapun ciri-ciri tentang siswa yang dimaksud, sebagai berikut:

a. Siswa sudah pernah mengikuti konseling individual dikarenakan sedang mengalami permasalahan

baik pribadi, sosial, karir dan lainnya dari masing-masing konselor disekolahnya.

lxviii
b. Kelas bebas, jenis kelamin bebas, masalah yang diatasi bebas, prosedur konseling bebas.

c. Dalam proses konseling individual minimal siswa sudah dua kali (2X) pertemuan/tatap muka

dalam satu penyelesaian masalah. Hal ini dimaksudkan supaya siswa telah memiliki pengalaman

berinteraksi secara ‘face to face’ dengan konselor disekolahnya.

Adapun pemilihan subjek penelitian (siswa = klien) yang pernah mendapatkan

layanan konseling individual, dilakukan oleh konselor masing-masing. Hal ini

ditempuh karena hanya guru pembimbimbinglah yang mengetahui secara pasti siapa-

siapa siswa yang telah mendapatkan layanan konseling individual.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan lengkap mengenai jumlah

populasi siswa dengan ciri-ciri yang sudah disebutkan diatas yang tersebar di 16

SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran 2003/2004 dapat dilihat pada tabel 1, 2

dan 3 dibawah ini:

Tabel 1. Populasi Penelitian


Siswa yang pernah konseling Individual dengan konselor
yang mempunyai tingkat pendidikan D3 BK dan S1 BK
Jmlh siswa yang pernah konseling Individual
No Nama dengan konselor yang mempunyai Jumlah
Sekolah tingkat pendidikan D3 BK dan S1 BK
D3 BK S1 BK

1. SMA N 1 Semarang - 19 siswa 19


2. SMA N 2 Semarang - 16 siswa 16
3. SMA N 3 Semarang 9 siswa 1 siswa 10

lxix
4. SMA N 4 Semarang 6 siswa 6 siswa 12
5. SMA N 5 Semarang - 18 siswa 18
6. SMA N 6 Semarang - 6 siswa 6
7. SMA N 7 Semarang - 9 siswa 9
8. SMA N 8 Semarang 3 siswa - 3
9. SMA N 9 Semarang - 9 siswa 9
10. SMA N 10 Semarang - 6 siswa 6
11. SMA N 11 Semarang - 15 siswa 15
12. SMA N 12 Semarang - 3 siswa 3
13. SMA N 13 Semarang 6 siswa - 6
14. SMA N 14 Semarang - 9 siswa 9
15. SMA N 15 Semarang - 10 siswa 10
16. SMA N 16 Semarang - 3 siswa 3
J u m l a h 24 siswa 130 siswa 154

Tabel 2. Populasi Penelitian


Siswa yang pernah konseling Individual dengan konselor
yang mempunyai masa kerja 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun
No Nama Jumlah siswa yang pernah konseling Jumlah
Sekolah Individual dengan konselor yang
mempunyai masa kerja 0 tahun - 11 thn,
12 tahun - 23 thn, dan > 24 thn
0 th-11th 12 th-23 th > 24 th
1. SMA N 1 Semarang 4 siswa 12 siswa 3 siswa 19
2. SMA N 2 Semarang - 16 siswa - 16
3. SMA N 3 Semarang - 1 siswa 9 siswa 10
4. SMA N 4 Semarang - 6 siswa 6 siswa 12
5. SMA N 5 Semarang 3 siswa 15 siswa - 18
6. SMA N 6 Semarang - - 6 siswa 6
7. SMA N 7 Semarang - 9 siswa 9
8. SMA N 8 Semarang - 3 siswa - 3
9. SMA N 9 Semarang - 6 siswa 3 siswa 9
10. SMA N 10 Semarang - 6 siswa - 6
11. SMA N 11 Semarang - 12 siswa 3 siswa 15
12. SMA N 12 Semarang - 3 siswa - 3
13. SMA N 13 Semarang - 6 siswa - 6
14. SMA N 14 Semarang 3 siswa 6 siswa - 9
15. SMA N 15 Semarang 4 siswa 3 siswa 3 siswa 10
16. SMA N 16 Semarang 3 siswa - - 3
J u m l a h 17 siswa 104 siswa 33 siswa 154

Tabel 3. Populasi Penelitian


Siswa yang pernah konseling Individual dengan konselor pria dan wanita
Jml siswa yang pernah
No. Nama konseling Individual
Sekolah dengan konselor pria dan wanita Jumlah
Pria Wanita
1. SMA N 1 Semarang 10 siswa 9 siswa 19
2. SMA N 2 Semarang 6 siswa 10 siswa 16
3. SMA N 3 Semarang - 10 siswa 10
4. SMA N 4 Semarang 3 siswa 9 siswa 12

lxx
5. SMA N 5 Semarang 6 siswa 12 siswa 18
6. SMA N 6 Semarang 3 siswa 3 siswa 6
7. SMA N 7 Semarang 3 siswa 6 siswa 9
8. SMA N 8 Semarang - 3 siswa 3
9. SMA N 9 Semarang 6 siswa 3 siswa 9
10. SMA N 10 Semarang - 6 siswa 6
11. SMA N 11 Semarang 6 siswa 9 siswa 15
12. SMA N 12 Semarang - 3 siswa 3
13. SMA N 13 Semarang - 6 siswa 6
14. SMA N 14 Semarang 3 siswa 6 siswa 9
15. SMA N 15 Semarang - 10 siswa 10
16. SMA N 16 Semarang - 3 siswa 3
J u m l a h 46 siswa 108 siswa 154

C. Variabel Penelitian

Setiap masalah dalam

penelitian harus mengandung

variabel yang jelas, sehingga

memberikan gambaran data dan

informasi yang diperlukan

untuk memecahkan masalah

tersebut. Variabel adalah ciri

atau karakteristik dari individu,

objek, peristiwa yang di

nilainya bisa berubah-ubah.

Ciri tersebut memungkinkan

untuk dilakukan pengukuran,

baik secara kuantitatif maupun

secara kualitatif (Sudjana dkk,

1989: 11). Variabel adalah

subyek penelitian, atau apa


lxxi
yang menjadi perhatian suatu

penelitian (Arikunto, 1998: 99).

Berikut dibawah ini akan

dibahas mengenai jenis

penelitian dan hubungan antar

variabel:

1. Jenis Variabel

Variabel dalam sebuah penelitian dapat dikategorikan menjadi dua yaitu variabel

bebas (independen variable) dan variabel tergantung (dependen variable), yang masing-

masing diberikan lambang “X” dan “Y” (Suharsimi Arikunto, 1998: 101). Variabel

bebas atau “X” adalah variabel yang menjadi sebab terjadinya variabel tergantung atau

“Y” (Sigiarto, dkk, 2001: 15).

Berdasarkan pada pengertian variabel diatas dan judul dalam penelitian ini, maka

dalam penelitian ini tidak ada variabel bebas maupun variabel terikatnya, karena variabelnya

tunggal. Selain itu penelitian ini hanya ingin meneliti tentang Perbedaan, dan bukan meneliti

tentang ada tidaknya hubungan ataupun meneliti tentang ada tidaknya pengaruh. Variabel yang

dimaksud yaitu : “Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual.

2. Hubungan antar Variabel

Seperti diuraikan diatas bahwa dalam penelitian ini hanya ada satu veriabel yakni

Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual, dimana variabel

tersebut dalam penelitian ini akan menjadi bahasan yang akan diungkap dari populasi

penelitian yakni siswa yang sudah pernah mendapatkan konseling individual dari

masing-masing konselor disekolahnya, karena sedang mengalami permasalahan baik

pribadi, sosial, belajar dan karier, dengan minimal 2X tatap muka dalam satu

penyelesaian masalah. Jadi dalam penelitian ini tidak ada hubungan antar variabel.

lxxii
D. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

1. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data merupakan suatu cara yang ditempuh oleh peneliti

untuk memperoleh data yang akan diteliti. Data merupakan faktor yang penting, karena

dengan adanya data dapat ditarik suatu kesimpulan. Untuk memperoleh dan

menyimpulkan data digunakan suatu cara atau alat yang tepat agar kesimpulan yang

diambil tidak menyesatkan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk

pengumpulan data adalah skala psikologi.

Skala psikologi sebagai skala untuk pengukuran di bidang psikologis. Skala

psikologi merupakan alat ukur aspek psikologis atau atribut afektif (Azwar, 2000: 2).

Dalam skala psikologi dapat mengungkap tentang:

a. Data yang diungkap berupa kontrak atau konsep psikologis yang

menggambarkan kepribadian individu.

b. Pertanyaan-pertanyaan sebagai stimulus tertentu pada indikator perilaku guna

memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subyek yang

biasanya tidak disadari responnya. Pertanyaan/pernyataan yang diajukan

memang dirancang untuk mengumpulkan sebanyak mungkin indikasi dari

aspek kepribadian yang lebih abstrak.

c. Respon tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan dari

pertanyaan/pernyataan.

d. Respon terhadap skala psikologi diberi skor lewat penskalaan.

e. Skala psikologi hanya diperuntukkan untuk mengungkap atribut tunggal.

2. Alat pengumpulan data

Karena penelitian ini akan mengungkap aspek psikologis yakni persepsi, maka

alat pengmpulan datanya menggunakan skala persepsi. Skala persepsi berujud kumpulan

lxxiii
pernyataan-pernyataan persepsi yang ditulis, disusun, dan dianalisis sedemikian rupa,

sehingga respon seseorang terhadap pernyataan tersebut dapat diberi skor atau angka

yang kemudian dapat diinterpretasikan. Skala persepsi tidak hanya terdiri dari satu

stimulus atau satu pernyataan saja, namun bisa selalu berisi banyak item (Azwar, 2000:

105).

Skala persepsi harus dirancang dengan hati-hati, metode kontruksi yang benar dan

ketepatan memberikan skor atas respon. Karena sebagai instrumen psikologis skala

persepsi dituntut memenuhi kualitas dasar alat ukur yang standar, baik validitas,

reliabilitas, maupun karakteristik berkenaan dengan penyajian dan administrasinya.

Dalam penelitian ini skala persepsi yang digunakan adalah skala persepsi model

Likert, yaitu merupakan penskalaan pernyataan persepsi yang menggunakan distribusi

respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya.

Skala persepsi berisikan seperangkat pernyataan yang merupakan pendapat

mengenai subyek persepsi. Sebagian dari pernyataan-pernyataan itu memperlihatkan

pendapat yang positif dan negatif. Dalam penskalaan yang akan dikembangkan adalah

mengikuti model Skala Likert dengan lima buah pilihan alternatif jawaban atas

pernyataan yang ada, yakni: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Kurang Sesuai (KS) Tidak

Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Sementara dalam penelitian ini guna

menghindari responden yang cenderung pasif dan cenderung memilih posisi aman tanpa

memberikan jawaban yang pasti, maka pilihan jawaban “Kurang Sesuai” (KS) tidak

dijadikan salah satu bagian pilihan, sehingga responden akan menilai pernyataan dengan

jawaban, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai

(STS). Adapun jawaban untuk masing-masing soal dibuat skalanya menurut rangkaian

kesatuan (kontinum) yang terdiri dari empat point dengan memberikan skor tertentu, dan

lxxiv
penskorannya sangat tergantung kepada jenis pernyataan, apakah unfavorable (negatif)

atau favorable (positif). Jika pernyataan unfavorable (negatif) skornya dari nilai yang

paling rendah ke nilai yang paling tinggi, yaitu jika jawaban:

Sangat Sesuai (SS) :1

Sesuai (S) :2

Tidak Sesuai (TS) :3

Sangat Tidak Sesuai (STS) : 4

Sedangkan apabila pertanyaan/pernyataan yang favorable (positif) skornya dari nilai

yang paling tinggi ke nilai yang paling rendah, yaitu jika jawaban:

Sangat Sesuai (SS) :4

Sesuai (S) :3

Tidak Sesuai (TS) :2

Sangat Tidak Sesuai (STS) : 1

Dengan dasar obyek persepsi dalam penelitian ini serta rambu-rambu penyusunan

skala persepsi tersebut diatas, maka dapat disusun rancangan atau kisi-kisi instrumen

penelitian seperti pada tabel 4 berikut ini:

lxxv
lxxvi
lxxvii
lxxviii
lxxix
E. VALIDITAS DAN RELIABILITASI

Agar memenuhi kriteria instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting

yaitu: valid dan reliabel. Validitas dan reliabilitas merupakan dua hal yang seiring berkaitan dan sangat

berperan dalam menentukan kualitas alat ukur.

Validitas merujuk pada suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan

atau kesahihan suatu instrumen, maka dengan ini suatu instrumen valid atau sahih

juga dikatakan mempunyai validitas yang tinggi (Arikunto, 1998: 160). Untuk

mendapatkan alat pengumpul data yang baik khususnya skala psikologi perlu

dilakukan perhitungan validitas terhadap skala psikologi yang akan digunakan

sebagai metode data.

Untuk mengetahui kevalidan suatu instrumen yang akan diberikan kepada

responden sesungguhnya sebagai obyek penelitian, maka instrumen yang telah

disusun diuji cobakan. Suatu instrumen disebut valid jika data yang dihasilkan

menunjukkan adanya kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen

secara keseluruhan. Jenis validitas dalam penelitian ini adalah validitas konstruksi

karena item diturunkan dari teori. Dengan kata lain ditetapkan terlebih dahulu definisi

aspek yang ingin diukur berdasarkan landasan teori.

Reliabilitas adalah tingkat konsistensi hasil yang dicapai oleh

sebuah alat ukur, meskipun digunakan secara berulang-ulang pada

subjek yang sama atau berbeda (Danim, 1997: 199). Reliabilitas juga

merujuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen dapat dipercaya

untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut

sudah baik. Jadi, makin tinggi reliabilitas sebuah instrumen semakin

lxxx
dipercaya dan diandalkan sebagai alat pengumpul data (Arikunto, 1998:

171).

Untuk menentukan validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini, maka dapat dilakukan

seperti yang akan dijelaskan dibawah ini:

1. Uji Validitas

Dalam penelitian ini uji validitas yang digunakan adalah validitas internal, yaitu

suatu instrumen disebut valid jika data yang dihasilkan menunjukkan adanya kesesuaian

antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan. Adapun jenis uji

validitas internal yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validitas butir, yaitu sebuah

instrumen yang memiliki validitas tinggi jika butir-butir yang membentuk instrumen

tidak menyimpang dari fungsi instrumen.

Validitas instrumen sebagai alat ukur diuji dengan homogenitas item yaitu dengan

mengkorelasikan antara skor item/butir dengan skor total, dan mengkorelasikan skor faktor

dengan skor total. Untuk itu rumus yang digunakan yaitu rumus korelasi “Product Moment” oleh

Karl Pearson, sebagai berikut:

N (Σ XY) – (ΣXY)
rxy = 
[ NΣ X2 – (ΣX)2 ] [ NΣY2 – (ΣY)2 ]

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi antara X dan Y

ΣX = Jumlah skor masing-masing item

ΣY = Jumlah skor seluruh item (total)

ΣXY = Jumlah skor antara X dan Y

N = banyaknya subyek

X² = Kuadrat dijumlah skor tiap item

lxxxi
Y² = Kuadrat dari skor total (Arikunto, 1996 : 160)

Kriteria : Bila r hitung > r tabel, maka perangkat angket valid.

2. Uji Reliabilitas

Dalam penelitian ini reliabilitas instrumen hanya item-item

yang valid diuji dengan reliabilitas internal karena perhitungan

didasarkan dari instrumen saja. Teknik mencari reliabilitas yang

digunakan peneliti adalah rumus alpha, karena dalam penelitian ini

instrumen yang dipakai menggunakan skala penilaian, selain itu skor

yang digunakan bukan 1 dan 0 melainkan rentangan 1 sampai 4 atau

bertingkat seperti angket atau soal uraian (Arikunto, 1997: 192).

Rumus Alpha tersebut adalah:

k Σσb2
r11 = [  ] [ 1 −  ]
2
(k–1) σt

Keterangan:

r11 = Reliabilitas instrumen

k = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

Σσb2 = Jumlah varians butir

2
σt = Varians total (Suharsimi Arikunto, 1996: 191)

Hasil perhitungan reliabilitas yang telah diperoleh kemudian dikonsultasikan dengan r tabel,

sehingga apabila r11 > r tabel maka instrumen reliabel.

Kriteria reliabilitas:

0,800 – 1,000 kriteria sangat tinggi

0,600 – 0,799 kriteria tinggi

lxxxii
0,400 – 0,599 kriteria cukup

0,200 – 0,300 kriteria rendah

< 0,200 kriteria sangat rendah (Arikunto, 1989: 165).

E. METODE ANALISIS DATA

Analisis data adalah proses pemecahan data dalam kelompok-kelompok

kategorisasi sehingga data tersebut mempunyai makna untuk memecahkan masalah

penelitian dan menguji hipotesis (Nasir, 1999: 405).

Metode analisis data merupakan salah satu cara yang digunakan untuk

mengolah data hasil penelitian guna memperoleh kesimpulan. Ada dua analisis yang

dapat digunakan yaitu analisis statistik dan analisis non statistik (Hadi, 1984: 221).

Sesuai dengan tujuan penelitian, jenis pengukuran skala variabel, instrumen yang

dikembangkan, serta hipotesis yang dikembangan maka penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian

yang jenis datanya bersifat kuantitatif yang sifatnya numerikal. Maknanya belum menggambarkan apa

adanya sebelum dilakukan pengolahan dan analisis lebih lanjut. Salah satu cara untuk mengolah dan

menganalisis data kuantitatif adalah statistika. Menurut Hadi (1984: 221) analisis statistika adalah

cara-cara ilmiah yang dipersiapkan untuk penyelidikan yang berwujud angka.

Kedua analisis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). Analisis Data Secara Deskripsi

Analisis ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran mengenai

hasil penelitian, bagaimana karakteristik subyek penelitian sehubungan dengan variabel-

variabel yang diteliti. Dalam hal ini variabel yang akan diteliti dengan menggunakan

analisis deskripsi adalah sebagai berikut:

a). Bagaimanakah keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien.

b). Bagaimanakah keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, > 24 tahun menurut

persepsi klien.

lxxxiii
c). Bagaimanakah keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien.

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis persentase dengan

penskoran model Likert, dengan skor tertinggi 4 dan skor terendah 1, yang digunakan

untuk mendeskripsikan perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan layanan

konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender

konselor menurut persepsi klien seperti pada tabel 5 dibawah ini:

Mean tertinggi = 4

Mean terendah = 1

Rentang = Mean tertinggi – mean terendah = 4 – 1 = 3

Banyak kelas = 5 (kurang efektif, agak kurang efektif, cukup efektif, efektif dan sangat

efektif)

Panjang kelas = Rentang : banyak kelas = 3 : 5 = 0,60

Tabel 5.
Teknik persentase untuk analisis Desakriptif tentang Tingkat
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual
No Interval Mean Interval persentase skor Kriteria
1 1,0 – 1,6 25,00% - 40,00% Kurang efektif
2 1,7 – 2,2 40,01% - 55,00% Agak kurang
efektif
3 2,3 – 2,8 55,01% - 70,00% Cukup efektif
4 2,9 – 3,4 70,01% - 85,00% Efektif
5 3,5 – 4,0 85,01% - 100,00% Sangat efektif

2). Analisis Data Secara Statistik

Analisis ini dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebagaimana

dijelaskan pada bab sebelumnya. Mengenai uji hipotesis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Hipotesis pertama

lxxxiv
“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien di

SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005”.

Untuk menguji hipotesis tersebut diatas digunakan uji statistik U Mann Whitney, dengan

rumus:

U – (1/2.n1.n2)

z = 
1/12.n1.n2.(n1 + n2 + 1)

b. Hipotesis kedua

”Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, > 24

tahun menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran

2004/2005”.

Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan uji statistik Kruskal Wallis yang dilanjutkan

dengan uji statistik U Mann Whitney, dengan rumus:

12
U =  + [ Σ Rj² / nj ] – 3 [n + 1]
n (n + 1)

Yang kemudian dilanjutkan dengan uji statistik U Mann Whitney, dengan rumus:

U – (1/2.n1.n2)
z = 
1/12.n1.n2.(n1 + n2 + 1)

c. Hipotesis ketiga

“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien di SMA Negeri se-

Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005”. Untuk menguji hipotesis tersebut diatas

digunakan uji statistik U Mann Whitney, dengan rumus:

U – (1/2.n1.n2)
z = 
1/12.n1.n2.(n1 + n2 + 1)

lxxxv
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan dan dilaporkan hasil penelitian yang

dilaksanakan pada bulan Desember 2004 dan Januari 2005 di SMA Negeri

se-kota Semarang tahun ajaran 2004-2005. Laporan ini terdiri dari dua

bagian penting yaitu: pertama, hasil penelitian yang meliputi proses

perijinan, gambaran umum populasi penelitian, rancangan alat pengumpul

data, hasil uji coba instrumen, pengumpulan data dan hasil analisis data, dan

kedua pembahasan. Secara berturut-turut dua hal penting dalam penelitian

ini akan dijelaskan sebagai berikut:

A. Hasil Penelitian

1. Proses Perijinan

Peneliti melakukan studi pendahuluan, guna mencari data pasti

tentang tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor

di SMA Negeri se-kota Semarang. Hal ini penting untuk dilakukan

guna mengetahui populasi dari penelitian ini. Setelah diketahui

selanjutnya peneliti mengajukan permohonan ijin penelitian dari

Fakultas Ilmu Pendidikan dan Dinas Pendidikan Kota Semarang

sebagai bekal peneliti untuk mengadakan penelitian di SMA Negeri se-

kota Semarang.

2. Gambaran Umum Populasi Penelitian

lxxxvi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian Populasi. Dalam penelitian

ini ada 2 yaitu populasi lokasi dan populasi responden yang sudah pernah

memanfaatkan konseling individual dengan minimal 2X tatap muka dalam satu

penyelesaian masalah, yang akan ditanya tentang bagaimana persepsinya terhadap

keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor. Populasi ini sekaligus

dijadikan sebagai wilayah penelitian, sehingga penelitiannya merupakan

penelitian populasi. Populasi lokasinya adalah SMA N 1, SMA N 11, SMA N 9,

SMA N 15 (wilayah Semarang Selatan), SMA N 14 (wilayah Semarang Utara),

SMA N 3 (wilayah Semarang Tengah), SMA N 6, SMA N 7, SMA N 8, SMA N

13, SMA N 16 (wilayah Semarang Barat). Sedangkan populasi respondennya

berjumlah 99 siswa (klien) dengan rincian: jumlah klien yang konseling

individual dengan konselor yang mempunyai tingkat pendidikan D3 BK = 18

orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor yang mempunyai

tingkat pendidikan S1 BK = 81. Sedangkan jumlah klien yang konseling

individual dengan konselor yang mempunyai masa kerja 0 tahun - 11 tahun = 14

orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor yang mempunyai

masa kerja 12 tahun - 23 tahun = 58 orang, dan jumlah klien yang konseling

individual dengan konselor yang mempunyai masa kerja > 24 tahun = 27 orang.

Dan jumlah klien yang konseling individual dengan konselor jenis kelamin pria =

37 orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor jenis kelamin

wanita = 62 orang.

Tentang keadaan populasi responden/klien diperoleh informasi tentang

karakteristiknya sebagai berikut:

a. Dilihat dari komposisi jenis kelamin: laki-laki = 46 orang, perempuan = 53

orang

lxxxvii
b. Dilihat dari kelas klien: kelas I = 23, kelas II = 43, kelas III IPA = 19, kelas III

IPS = 13, kelas III Bahasa = 1

c. Dilihat dari jumlah konseling dalam satu penyelesaian masalah: satu kali (1X)

= 3, dua kali (2X) = 15, tiga kali (3X) = 51, empat kali (4X) = 22, lima kali

(5X) = 8

d. Dilihat dari jenis masalah: Masalah pribadi = 20 0rang, Masalah sosial, = 7

orang, Masalah belajar = 11 orang, Masalah karier = 4 orang, Masalah pribadi,

sosial = 13 orang, Masalah pribadi, belajar = 16 orang, Masalah sosial, belajar

= 9 orang, Masalah pribadi, sosial, belajar = 14 orang, Masalah pribadi, sosial,

karier = 2 orang, Masalah pribadi, belajar, karier = 1 orang, Masalah pribadi,

sosial, dan karier = 2 orang

e. Dilihat dari prosedur konseling: Datang sendiri = 49 orang, Dipanggil guru

pembimbing = 38 orang, Dikirim oleh personil lain = 8 orang, Semula

dipanggil selanjutnya datang sendiri = 4 orang

Data-data diatas memberi informasi dan pemahaman bahwa: pertama,

komposisi responden hampir seimbang dilihat dari jenis kelaminnya. Dilihat dari

kelasnya diperoleh informasi bahwa sebagian besar responden yang konseling

individual adalah II, III, dan I. Hal ini menunjukkan bahwa responden dari kelas

II sangat rentan mengalami permasalahan. Dilihat dari jumlah tatap muka dalam

setiap penyelesaian masalah diperoleh informasi, bahwa sebagian besar

responden membutuhkan 3X tatap muka dalam penyelesaian masalah secara

tuntas. Keempat, dilihat dari masalah yang dikonsultasikan bahwa sebagaian

besar adalah masalah pribadi dan masalah pribadi, belajar. Hal ini merupakan

indikasi bahwa masalah pribadi merupakan masalah aktual disekolah, dan

seringkali masalah pribadi ini terkait erat dengan masalah belajar. Kelima, dilihat

dari bagaimana prosedur konseling individual, diperoleh informasi bahwa

lxxxviii
sebagian besar responden mempunyai kemauan sendiri untuk menemui konselor

di sekolahnya. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan yang cukup

menggembirakan, dimana siswa sudah mempunyai kesadaran akan keberadaan

layanan bimbingan dan konseling disekolah, khususnya konseling individual.

Konselor sekolah dipahaminya mempunyai kedudukan yang sama dengan guru

bidang studi dengan penekanan tugas yang berbeda. Lebih dari itu hal tersebut

akan memberikan dampak yang positif bagi siswa yang lain untuk memiliki

persepsi yang sama (positif) tentang keberadaan bimbingan dan konseling,

khususnya konseling individual. Sementara itu siswa yang dipanggil konselor

juga cukup besar, hal ini menunjukkan bahwa konselor sekolah sangat peduli

dengan keadaan atau permasalahan siswanya.

Gambaran konselor sekolah di SMA N se-Kota Semarang yang

dipersepsi tingkat keefektifannya dalam melaksanakan konseling

individual yang berjumlah 33 konselor sekolah dengan rincian sebagai

berikut:

a. Jumlah dan komposisi jenis kelamin konselor: pria = 9 orang,

wanita = 24 orang

b. Tingkat pendidikan konselor: D3 Bimbingan dan Konseling = 5

orang, S1 Bimbingan dan Konseling = 28 orang

c. Pengalaman kerja konselor: 0 tahun - 11 tahun = 4 orang, 12 tahun

- 23 tahun = 21 orang, > 24 tahun = 8 orang

Atas dasar data tersebut dapat dipahami bahwa sebagian besar

jenis kelamin konselor sekolah yang dipersepsi oleh klien tentang

bagaimana keefektifannya dalam melaksanakan konseling individual

adalah konselor wanita. Sedangkan tingkat pendidikannya adalah S1


lxxxix
bimbingan dan konseling, dengan masa kerja yang cukup lama yaitu

berkisar 12 tahun - 23 tahun. Dari keterangan tersebut dapat

diketahui bahwa konselor sekolah telah memiliki kompetensi yang

cukup memadai yaitu kompetensi pengetahuan yang meliputi

kompetensi keterampilan dan kepribadiannya.

3. Rancangan Alat Pengumpul Data

Dalam penelitian ini yang akan diukur oleh peneliti adalah

keefektifan konselor dalam melaksanakaan konseling individual

menurut persepsi klien. Setelah ditentukan variabelnya maka

selanjutnya ditentukan sub varibel dan indikatornya, ada dua

komponen yang diukur menggunakan skala persepsi yaitu

keterampilan dan kepribadian konselor. Berdasarkan kisi-kisi

instrumen yang dijabarkan dari kajian teori maka final dari alat

pengumpul data yang berupa skala persepsi ini adalah 139 item

pernyataan.

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur (Try Out)

Uji coba alat ukur yakni skala persepsi digunakan untuk

mengetahui validitas dan reliabilitas sebuah alat ukur. Uji coba

instrumen diberikan pada individu yang segolongan atau mempunyai

karakteristik yang sama dengan subjek penelitian, yang selanjutnya

tidak akan diikutsertakan dalam penelitian. Karena dalam penelitian

ini adalah penelitian populasi yaitu SMA Negeri se-Kota Semarang

dengan jumlah responden 154 orang, maka uji coba intrumen yang

diberikan pada responden dengan jumlah 55 orang, diambil dari

xc
beberapa sekolah yang merupakan perwakilan dari masing-masing

wilayah, yaitu: SMA Negeri 4 (perwakilan wilayah selatan) dengan

jumlah konselor 4 dan jumlah klien 12, SMA Negeri 5 (perwakilan

wilayah tengah) dengan jumlah konselor 6 dan jumlah klien 18, SMA

Negeri 12 (perwakilan wilayah barat) dengan jumlah konselor 1 dan

jumlah klien 3, dan SMA 2 (perwakilan wilayah timur) dengan

jumlah konselor 7 dan jumlah klien 16, sehingga populasi dalam

penelitian ini berjumlah 99 responden.

Jumlah responden yang akan dijadikan uji coba instrumen

penelitian adalah sebagai berikut: jumlah klien yang konseling

individual dengan konselor yang mempunyai tingkat pendidikan D3

BK = 6 orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor

yang mempunyai tingkat pendidikan S1 BK = 49. Sedangkan jumlah

klien yang konseling individual dengan konselor yang mempunyai

masa kerja 0 tahun - 11 tahun = 3 orang, jumlah klien yang konseling

individual dengan konselor yang mempunyai masa kerja 12 tahun - 23

tahun = 46 orang, dan jumlah klien yang konseling individual dengan

konselor yang mempunyai masa kerja > 24 tahun = 6 orang. Dan

jumlah klien yang konseling individual dengan konselor jenis kelamin

pria = 18 orang, jumlah klien yang konseling individual dengan

konselor jenis kelamin wanita = 37 orang.

Uji coba dilaksanakan di beberapa SMA Negeri di kota

Semarang pada tanggal 20 Desember 2004 di SMA N 4, tanggal 21

Desember 2004 di SMA N 12, tanggal 22 Desember 2004 di SMA N 5,

xci
tanggal 23 Desember 2004 di SMA N 10, dan tanggal 24 Desember di

SMA N 2 kota Semarang.

a. Validitas

Validitas dalam penelitian ini adalah validitas konstruk yaitu

kebenaran dari alat ukur ditinjau dari segi kecocokan dengan teori

fundamentalnya, atau bertitik tolak dari konstruksi teori. Selain

validitas kontruks juga digunakan validitas empiris yaitu validitas

yang dilihat dari hasil ujicoba secara empiris. Untuk mengetahui

kevaliditan instrumen penelitian dan untuk mengungkap data

keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

menurut persepsi klien menggunakan rumus product moment,

sehingga dapat diketahui item yang valid dan tidak valid setelah

melakukan uji coba/try out instrumen (lampiran 5 hal 138-148.

Dari skala persepsi yang disusun sebanyak 139 item yang

diajukan terhadap 55 responden (klien) terdapat 14 item yang

dinyatakan tidak valid yaitu nomor 2, 8, 10, 16, 17, 20, 24, 27, 31,

32, 37, 54, 98, dan 119, dengan masing-masing rhitung sebesar 0,262,

0,248. 0,207, -0,037, -0,027, 0,249, 0,130, 0,130, -0,260, 0,222, 0,253, -

0,005, 0,048, dan 0,083 kurang dari rtabel 0,266, yang selanjutnya

akan dibuang karena masing-masing indikator variabel telah

terwakili. Sedangkan item yang dinyatakan valid berjumlah 125

item yang akan dipertahankan untuk menjadi instrumen

penelitian, karena dengan 125 tersebut semua indikator variebel

telah terwakili.

xcii
b. Reliabilitas

Alat pengukuran sebagai alat pengumpul data penelitian ini

adalah skala persepsi. Untuk mengetahui tingkat reliabilitasnya

skala persepsi ini digunakan rumus Alpha. Dengan menggunakan

rumus Alpha dapat diketahui reliabilitas dari hasil try out

instrumen skala persepsi klien terhadap keefektifan konselor

dalam melaksanakan konseling individual (lampiran 7 hal. 150).

Hasil try out reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha

diperoleh r11 = 0.963 > r tabel = 0.266 pada taraf kesalahan 5%,

sehingga instrumen tersebut dinyatakan reliabel.

5. Pengumpulan Data

Setelah hasil uji coba instrumen diketahui, maka barulah peneliti

melaksanakan penelitian di SMA Negeri 1, SMA Negeri 3 SMA Negeri 6, SMA

Negeri 7, SMA Negeri 8, SMA Negeri 9, SMA Negeri 10, SMA Negeri 11, SMA

Negeri 13, SMA Negeri 14, SMA Negeri 15 dan SMA Negeri 16 di Kota

Semarang.

Sebelum penyebaran instrumen dilakukan, terlebih dahulu peneliti

melakukan konsultasi dengan guru BK masing-masing SMA di kota Semarang,

berkaitan dengan siswa yang sudah pernah memanfaatkan konseling individual,

mekanisme pelaksanaan penelitian, maupun waktu pelaksanaan penelitian. Untuk

menjaga objektifitas persepsi klien terhadap keefektifan konselor dalam

melaksanakan layanan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan,

pengalaman kerja dan gender konselor, maka proses penyebaran instrumen

penelitian, yakni skala persepsi siswa terhadap keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual dilakukan oleh peneliti sendiri.

xciii
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 Desember di SMA N 15 dan

SMA N 11, tanggal 29 Desember 2004 di SMA N 1 dan SMA N 3, tanggal 30

Desember 2004 di SMA N 7 dan SMA N 14, tanggal 10 Januari 2005 di SMA N

9, tanggal 11 Januari 2005 di SMA N 6 dan SMA N 8, dan pada tanggal 12

Januari 2005 di SMA N 13 dan 16 Semarang. Sebelum siswa mengisi instrumen

terlebih dahulu peneliti menguraikan tujuan, ketidakterkaitan instrumen dengan

prestasi belajar, prosedur atau cara pengisian, seperti tercantum dalam instrumen

penelitian. Rata-rata siswa mengisi instrumen penelitian selama 30 menit dan

semuanya berjalan dengan lancar.

6. Hasil Analisis Data

Dalam penelitian ini analisis data ditempuh dengan metode: analisis deskriptif

dan analisis statistik inferensial dengan menggunakan analisis U Mann Whitney

dan analisis Kruskal Wallis. Berikut akan disajikan kedua analisis tersebut:

xciv
a. Analisis Deskriptif

Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja

dan gender menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota

Semarang tahun 2004/2005 dapat diketahui dari hasil

pengisian skala persepsi dengan penskoran model Likert,

dengan skor tertinggi 4 dan skor terendah 1 dapat dibuat

tingkat keefektifan seperti pada tabel 6.

Mean tertinggi = 4

Mean terendah = 1

Rentang = Mean tertinggi – mean terendah = 4 – 1 = 3

Banyak kelas = 5 (kurang efektif, agak kurang efektif,

cukup efektif, efektif dan sangat efektif)

Panjang kelas = Rentang : banyak kelas = 3 : 5 = 0,60

Tabel 6.
Kriteria Tingkat Keefektifan Konselor
dalam melaksanakan konseling individual

No Interval Interval persentase Kriteria


Mean skor
1 1,0 – 1,6 25,00% - 40,00% Kurang efektif
2 1,7 – 2,2 40,01% - 55,00% Agak kurang
efektif
3 2,3 – 2,8 55,01% - 70,00% Cukup efektif
4 2,9 – 3,4 70,01% - 85,00% Efektif
5 3,5 – 4,0 85,01% - 100,00% Sangat efektif

xcv
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa,

apabila persepsi klien terhadap keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual memperoleh rentang 1,00

– 1,60, maka dapat dikategorikan bahwa konselor tersebut

kurang efektif. Apabila rentang skor 1,7 – 2,2 dalam kategori

agak kurang efektif, pada rentang skor 2,3-2,8 dalam

kategori cukup, 2,9 – 3,4 kategori efektif dan pada rentang

skor 3,5 – 4,0 dalam kategori sangat efektif. Pada tahap

selanjutnya kriteria ini digunakan untuk mendeskripsikan

keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual menurut persepsi klien dari setiap variabel, sub

variabel dan indikator yang akan diukur. Berturut-turut

dapat dilaporkan gambaran secara umum sebagai berikut:

1). Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual ditinjau dari Tingkat Pendidikan

Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari tingkat pendidikan menurut

persepsi klien dapat dilihat pada tabel 7 dibawah ini:

Tabel 7.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien
pada setiap sub variabel

xcvi
Sub Variabel Tingkat Jumlah Mean % Kriteria
Pendidikan konselor
D3 5 2,59 65% Cukup efektif
Keterampilan
S1 28 3,07 77% Efektif
Kepribadian D3 5 2,73 68% Cukup efektif
S1 28 3,15 79% Efektif
Efektivitas D3 5 2,66 67% Cukup efektif
S1 28 3,11 78% Efektif

Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa dari 5


konselor dengan tingkat pendidikan D3 bimbingan dan
konseling diperoleh rata-rata keefektifan dalam
melaksanakan konseling individual sebesar 2,66 atau 67%
berada pada interval 2,3 – 2,8 dalam kategori cukup
efektif, dan dari 28 konselor dengan tingkat pendidikan S1
bimbingan dan konseling mempunyai rata-rata 3,11 atau
78% pada interval 2,9 – 3,4 dalam kategori efektif.
Ditinjau dari sub variabel keterampilan dalam
melaksanakan konseling individual, rata-rata skor untuk
konselor dengan tingkat pendidikan S1 bimbingan dan
konseling sebesar 3,07 atau 77% sedangkan untuk
konselor dengan pendidikan D3 bimbingan dan konselor
sebesar 2,59 atau 65%. Rata-rata skor sub varibel
kepribadian pada konselor dengan tingkat pendidikan S1
bimbingan dan konseling sebesar 3,15 atau 79% dan
untuk tingkat pendidikan D3 bimbingan dan konseling
sebesar 2,73 atau 68%. Berdasarkan kriteria pada tabel 6,
tampak bahwa keterampilan dan kepribadian konselor
dengan tingkat pendidikan D3 bimbingan dan konseling

xcvii
dalam melaksanakan konseling individual dalam kategori
cukup efektif, sedangkan untuk tingkat pendidikan S1
bimbingan dan konseling dalam kategori efektif. Untuk
lebih jelasnya keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual dapat dilihat pada setiap indikator
yang tercantum pada tabel 8 dibawah ini:

xcviii
Tabel 8.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien
pada setiap indikator

D3 S1
No Indikator
Mean Ket Mean Ket
1 Paham sifat-sifat klien 2,18 AKE 2,96 E
2 Menilai situasi 2,63 CE 3,11 E
3 Raport 2,38 CE 3,16 E
4 Proses konseling 2,69 CE 3,11 E
5 Attending 2,56 CE 3,06 E
6 Mengundang pembicaraan terbuka 2,45 CE 2,89 E
7 Paraprase 2,80 CE 3,17 E
8 Identifikasi perasaan 2,83 E 3,12 E
9 Refleksi perasaan 2,90 E 3,13 E
10 Konfrontasi 2,60 CE 3,19 E
11 Meringkaskan 2,70 CE 3,06 E
12 Menafsirkan 2,60 CE 3,10 E
13 Penerimaan 2,83 E 3,36 E
14 Memberi ketenangan 2,80 CE 3,17 E
15 Memimpin secara umum 2,83 E 3,19 E
16 Mendengarkan 2,00 AKE 2,75 CE
17 Mengarahkan 2,80 CE 3,26 E
18 Memberi informasi 2,67 CE 3,16 E
19 Menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita 2,77 CE 3,14 E
20 Menyimpulkan 2,90 E 3,15 E
21 Memberi dorongan 2,70 CE 3,26 E
22 Menggunakan alat/ teknik pengumpul data 2,73 CE 3,01 E
23 Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan 2,52 CE 3,14 E
24 Menggunakan teknik pengubahan tingkah laku 2,41 CE 2,96 E
25 Menggunakan berbagai pendekatan konseling 2,37 CE 2,87 E
26 Kepribadian matang dan penyesuaian diri 2,83 E 3,22 E
27 Pemahaman terhadap orang lain 2,97 E 3,28 E
28 Mengadakan hubungan dan kerjasama 3,04 E 3,19 E
29 Batas kemampuan 2,58 CE 3,05 E
30 Perhatian dan minat pada masalah klien 2,81 E 3,20 E
31 Kedewasaan pribadi, mental, sosial dan fisik 2,58 CE 3,09 E
32 Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi 2,70 CE 3,19 E
33 Respek terhadap orang lain 2,57 CE 3,12 E
34 Kemampuan komunikasi 2,59 CE 3,08 E
35 Tidak mementingkan diri sendiri 2,62 CE 3,08 E

Berdasarkan tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa

sebagian besar indikator kefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual dengan tingkat

xcix
pendidikan D3 bimbingan dan konseling menurut

persepsi klien berada pada kategori efektif, namun ada

beberapa indikator yang termasuk dalam kategori cukup

efektif (yaitu berkaitan dengan menilai situasi, rapport,

proses konseling, attending, mengundang pembicaraan

terbuka, paraprase, konfrontasi, meringkaskan,

menafsirkan, memberi ketenangan, mengarahkan,

memberi informasi, menghayati pikiran, perasaan dan

cita-cita, memberi dorongan, menggunakan alat/teknik

pengumpulan data, pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan, menggunakan teknik

pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai

pendekatan konseling, batas kemampuan, kedewasaan

pribadi, mental, sosila, dan fisik, peka terhadap berbagai

sikap dan reaksi, respek terhadap orang lain,

kemampuan komunikasi dan tidak mementingkan diri

sendiri) dan agak kurang efektif (yaitu berkaitan dengan

paham sifat-sifat klien dan mendengarkan). Sedangkan

sebagian besar indikator keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual dengan tingkat

c
pendidikan S1 bimbingan dan konseling menurut

persepsi klien, dalam kategori efektif dan ada indikator

cukup sangat efektif yaitu mendengarkan.

2). Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual ditinjau dari Masa Kerja Konselor

Rata-rata persepsi klien terhadap keefektifan

konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari pengalaman kerja dapat dilihat pada tabel 9

dibawah ini:

Tabel 9.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien
Sub Pengalaman Jumlah Mean % Kriteria
Variabel kerja konselor

ci
0-11 th 4 2,57 64% Cukup Efektif
Keterampila
12-23 th 21 3,03 76% Efektif
n
> 24 th 8 3,14 79% Efektif
0-11 th 4 2,66 67% Cukup Efektif
Kepribadian 12-23 th 21 3,11 78% Efektif
> 24 th 8 3,23 81% Efektif
0-11 th 4 2,62 66% Cukup Efektif
Efektivitas 12-23 th 21 3,07 77% Efektif
> 24 th 8 3,19 80% Efektif

Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa dari 4

konselor dengan masa kerja 0-11 tahun diperoleh rata-

rata keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual menurut persepsi klien sebesar 2,62 atau 66%

berada pada interval 2,3 – 2,8 dalam kategori cukup

efektif. Dari 21 konselor dengan masa kerja antara 12-23

dengan rata-rata 3,07 atau 77% pada interval 2,9 – 3,4

dalam kategori efektif, demikian juga dari 8 konselor

yang mempunyai masa kerja lebih dari 24 tahun dengan

rata-rata 3,19 atau 80% pada interval 2,9 – 3,4 dalam

kategori efektif.

Dilihat dari sub variabel keterampilan dalam

melaksanakan konseling individual, rata-rata konselor

dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun sebesar 2,57 atau

64%, rata-rata skor pada konselor dengan masa kerja 12

tahun – 23 tahun sebesar 3,03% atau 76%, sedangkan


cii
rata-rata skor pada konselor dengan masa kerja > 24

tahun sebesar 3,14 atau 79%. Untuk kelompok konselor

dengan masa kerja 0-11 tahun mempunyai keterampilan

dalam melaksanakan konseling individual dalam kategori

cukup efektif sedangkan untuk masa kerja 12-23 tahun

dan lebih dari 24 tahun dalam kategori efektif.

Dilihat dari sub variabel kepribadian, rata-rata

konselor dengan masa kerja antara 0 tahun - 11 tahun

sebesar 2,66 atau 67%, untuk konselor dengan masa

kerja 12 tahun - 23 tahun dengan rata-rata 3,11 atau

78%, dan konselor dengan masa kerja > 24 tahun

mempunyai rata-rata skor kepribadian 3,23 atau 81%.

Untuk kelompok konselor dengan masa kerja 0-11 tahun

mempunyai kepribadian dalam melaksanakan konseling

individual dalam kategori cukup efektif sedangkan untuk

kelompok konselor dengan masa kerja 12-23 tahun dan

lebih dari 24 tahun dalam kategori efektif. Untuk lebih

jelasnya keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja

ciii
menurut persepsi klien pada setiap indikator dapat

dilihat pada tabel 10 dibawah ini:

civ
Tabel 10.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien
pada setiap indikator

0 - 11 th 12- 23 th > 24 tahun


No Indikator
Mean Ket Mean Ket Mean Ket
1 Paham sifat-sifat klien 2,35 CE 2,92 E 2,88 E
2 Menilai situasi 2,85 E 3,00 E 3,21 E
3 Raport 2,53 CE 3,11 E 3,12 E
4 Proses konseling 2,62 CE 3,07 E 3,19 E
5 Attending 2,45 CE 3,01 E 3,19 E
6 Mengundang pembicaraan terbuka 2,25 CE 2,87 E 2,99 E
7 Paraprase 2,75 CE 3,07 E 3,41 SE
8 Identifikasi perasaan 2,33 CE 3,10 E 3,39 E
9 Refleksi perasaan 2,83 E 3,05 E 3,36 E
10 Konfrontasi 2,85 E 3,11 E 3,19 E
11 Meringkaskan 2,54 CE 2,99 E 3,26 E
12 Menafsirkan 2,63 CE 2,98 E 3,36 E
13 Penerimaan 2,73 CE 3,29 E 3,51 SE
14 Memberi ketenangan 2,69 CE 3,19 E 3,14 E
15 Memimpin secara umum 2,67 CE 3,14 E 3,37 E
16 Mendengarkan 2,25 CE 2,66 CE 2,75 CE
17 Mengarahkan 2,90 E 3,21 E 3,28 E
18 Memberi informasi 2,85 E 3,07 E 3,24 E
19 Menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita 2,64 CE 3,09 E 3,29 E
20 Menyimpulkan 2,94 E 3,10 E 3,21 E
21 Memberi dorongan 2,94 E 3,15 E 3,37 E
22 Menggunakan alat/ teknik pengumpul data 2,58 CE 3,02 E 3,02 E
23 Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan 2,79 CE 3,08 E 3,10 E
24 Menggunakan teknik pengubahan tingkah laku 2,42 CE 2,95 E 2,89 E
25 Menggunakan berbagai pendekatan konseling 2,27 CE 2,84 E 2,93 E
26 Kepribadian matang dan penyesuaian diri 2,82 E 3,17 E 3,30 E
27 Pemahaman terhadap orang lain 2,81 E 3,27 E 3,35 E
28 Mengadakan hubungan dan kerjasama 2,58 CE 3,22 E 3,32 E
29 Batas kemampuan 2,69 CE 2,94 E 3,23 E
30 Perhatian dan minat pada masalah klien 2,70 CE 3,13 E 3,38 E
31 Kedewasaan pribadi, mental, sosial dan fisik 2,60 CE 3,06 E 3,11 E
32 Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi 2,52 CE 3,20 E 3,19 E
33 Respek terhadap orang lain 2,56 CE 3,08 E 3,18 E
34 Kemampuan komunikasi 2,57 CE 3,05 E 3,12 E
35 Tidak mementingkan diri sendiri 2,50 CE 3,08 E 3,10 E

Berdasarkan tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa

sebagian besar indikator dari konselor dengan masa

kerja 0 tahun - 11 tahun dalam kategori cukup efektif

cv
(yaitu berkaitan dengan paham sifat-sifat klien, rapport,

proses konseling, attending, mengundang pembicaraan

terbuka, paraprase, identifikasi perasaan, meringkaskan,

menafsirkan, penerimaan, memberi ketenangan,

memimpin secara umum, mendengarkan, menghayati

pikiran, perasaan dan cita-cita, menggunakan alat/teknik

pengumpulan data, pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan, menggunakan teknik

pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai

pendekatan konseling, mengadakan hubungan dan kerja

sama, batas kemampuan, perhatian dan minat pada

masalah klien, kedewasaan pribadi, mental, sosila, dan

fisik, peka terhadap berbagai sikap dan reaksi, respek

terhadap orang lain, kemampuan komunikasi dan tidak

mementingkan diri sendiri). Sedangkan untuk konselor

dengan masa kerja 12 tahun – 23 tahun, sebagian besar

indikator keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual juga dalam kategori efektif. Namun

ada beberapa indikator dengan kategori cukup efektif

yaitu: mendengarkan. Konselor dengan masa kerja > 24

tahun, sebagian besar indikator keefektifan keefektifan

cvi
konselor dalam melaksanakan konseling individual

menurut persepsi klien dalam kategori efektif, namun

ada beberapa indikator dengan kategori sangat efektif

(yaitu: paraprase dan penerimaan) dan ada indikator

dengan kategori cukup efektif yaitu mendengarkan.

3). Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling

Individual ditinjau dari Gender Konselor

Rata-rata persepsi klien terhadap keefektifan

konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari gender dapat dilihat pada tabel 11 dibawah

ini.

Tabel 11.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender menurut persepsi klien

Sub Variabel Jenis kelamin Jumlah konselor Mean % Kriteria


Wanita 24 2,97 74% Efektif
Keterampilan
Pria 9 3,09 77% Efektif
Kepribadian Wanita 24 3,05 76% Efektif
Pria 9 3,17 79% Efektif
Efektivitas Wanita 24 3,01 75% Efektif
Pria 9 3,14 79% Efektif

Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa dari 24

konselor wanita mempunyai rata-rata keefektifan dalam

melaksanakan konseling individual menurut persepsi


cvii
klien sebesar 3,01 atau 75% berada pada interval 2,9 –

3,4 dalam kategori efektif dan dari 9 konselor pria, rata-

rata skornya mencapai 3,14 atau 79% pada interval 3,5 –

4,0 dalam kategori efektif. Dilihat dari keterampilan

dalam melaksanakan konseling individual, rata-rata

konselor wanita sebesar 2,97 atau 74% dalam kategori

efektif, sedangkan rata-rata skor pada konselor pria

sebesar 3,09 atau 77% dalam kategori efektif.

Dilihat dari sub variabel kepribadian, rata-rata

konselor wanita sebesar 3,05 atau 76% dan untuk

konselor pria rata-ratanya 3,17 79%. Kedua kelompok

konselor ditinjau dari gender mempunyai kepribadian

dalam melaksanakan konseling individual dalam kategori

efektif. Untuk lebih jelasnya keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling ditinjau dari gender menurut

persepsi klien pada setiap indikator dapat dilihat pada

tabel 12 dibawah ini:

cviii
Tabel 12.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender menurut persepsi klien
pada setiap indikator

Wanita Pria
No Indikator
Mean Ket Mean Ket
1 Paham sifat-sifat klien 2,76 CE 3,06 E
2 Menilai situasi 2,98 E 3,19 E
3 Raport 2,95 E 3,27 E
4 Proses konseling 3,02 E 3,10 E
5 Attending 2,96 E 3,06 E
6 Mengundang pembicaraan terbuka 2,78 CE 2,96 E
7 Paraprase 3,09 E 3,19 E
8 Identifikasi perasaan 3,06 E 3,12 E
9 Refleksi perasaan 3,09 E 3,12 E
10 Konfrontasi 3,09 E 3,12 E
11 Meringkaskan 2,95 E 3,15 E
12 Menafsirkan 3,05 E 2,97 E
13 Penerimaan 3,22 E 3,43 SE
14 Memberi ketenangan 3,05 E 3,30 E
15 Memimpin secara umum 3,08 E 3,30 E
16 Mendengarkan 2,57 CE 2,81 E
17 Mengarahkan 3,16 E 3,27 E
18 Memberi informasi 3,09 E 3,08 E
19 Menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita 3,06 E 3,15 E
20 Menyimpulkan 3,11 E 3,12 E
21 Memberi dorongan 3,10 E 3,39 E
22 Menggunakan alat/ teknik pengumpul data 2,94 E 3,03 E
23 Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan 2,98 E 3,22 E
24 Menggunakan teknik pengubahan tingkah laku 2,87 E 2,87 E
25 Menggunakan berbagai pendekatan konseling 2,76 CE 2,89 E
26 Kepribadian matang dan penyesuaian diri 3,13 E 3,22 E
27 Pemahaman terhadap orang lain 3,20 E 3,32 E
28 Mengadakan hubungan dan kerjasama 3,18 E 3,14 E
29 Batas kemampuan 2,94 E 3,09 E
30 Perhatian dan minat pada masalah klien 3,08 E 3,30 E
31 Kedewasaan pribadi, mental, sosial dan fisik 2,97 E 3,13 E
32 Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi 3,05 E 3,29 E
33 Respek terhadap orang lain 3,01 E 3,12 E
34 Kemampuan komunikasi 2,97 E 3,09 E
35 Tidak mementingkan diri sendiri 2,98 E 3,11 E

Berdasarkan tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa

semua indikator keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual pada konselor wanita

cix
dalam kategori efektif, namun ada beberapa indikator

dengan kategori cukup efektif yaitu paham sifat-sifat

klien, mengundang pembicaraan terbuka,

mendengarkan, menggunkan berbagai pendekatan

konseling. Sedangkan sebagian besar indikator

keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual menurut persepsi klien pada konselor pria

dalam kategori efektif. Namun ada beberapa indikator

dalam kategori sangat efektif, yaitu: penerimaan.

b. Analisis Statistik Inferensial

Analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis yang

dilakukan dengan menempuh prosedur, langkah serta serta teknnik statistik

seperti yang dikemukakan pada bab III. Hasil pengujian hipotesis tersebut

dapat dilaporkan secara berturut-turut sebagai berikut:

1). Hipotesis pertama

“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari tingkat pendidikan konselor menurut persepsi

klien”

Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan U Mann Whitney

diperoleh hasil seperti pada tabel 13 di bawah ini:

cx
Tabel 13.
Hasil analisis perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan
menurut persepsi klien menggunakan U Mann-Whitney

Test Statistics b

Keterampilan Kepribadian Keefektifan


Mann-Whitney U 16.000 22.000 19.000
Wilcoxon W 31.000 37.000 34.000
Z -2.711 -2.410 -2.561
Asymp. Sig. (2-tailed) .007 .016 .010
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .004a .013a .008a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Tingkat Pendidikan

Berdasarkan hasil uji U Mann-Whitney diperoleh nilai U = 19,

dengan Z hitung = –2,561 dan signifikansi 0,010. Pada taraf kesalahan 0,05

diperoleh nilai Ztabel sebesar 1,96. Tampak bahwa nilai Z hitung (–2,561) <

dari -Ztabel (-1,96) dan nilai signfikansi < dari α = 0,05, sehingga

hipotesis yang berbunyi ada perbedaan keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individu ditinjau dari tingkat pendidikan

menurut persepsi klien diterima. Dengan kata lain ada perbedaan

keefektifan yang signifikan antara konselor dengan tingkat pendidikan

D3 bimbingan dan konseling dan S1 bimbingan dan konseling dalam

melaksanakan konseling individual menurut persepsi klien. Rata-rata

skor keefektifan konselor dengan tingkat pendidikan S1 bimbingan dan

konseling lebih besar daripada konselor dengan tingkat pendidikan D3

bimbingan dan konseling dalam melaksanakan konseling individual.

Dilihat dari sub variabel keterampilan berdasarkan uji U Mann

Whitney diperoleh nilai Zhitung sebesar –2,711 dengan probabilitas 0,007.

Tampak bahwa nilai Z hitung (-2,711) < dari -Z tabel (-1,96) dengan taraf

cxi
kesalahan 5% yaitu –1,96 dan nilai probabilitasnya < dari 0,05, yang

berarti signifkan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang

signifikan keterampilan konselor dalam melaksanakan konseling

individual antara konselor dengan tingkat pendidikan D3 dan S1

bimbingan dna konseling. Dilihat dari rata-ratanya tampak bahwa

keterampilan konselor dengan tingkat pendidikan S1 lebih besar daripada

keterampilan konselor dengan tingkat pendidikan D3. Sedangkan dilihat

dari kepribadiannya, diperoleh nilai Z hitung sebesar –2,410 dengan

probabilitas 0,16 < 0,05, yang berarti signifikan. Hal ini menunjukkan

bahwa antara konselor dengan tingkat pendidikan S1 dan D3 ada

perbedaan kepribadiannya dalam melaksanakan konseling individual,

dimana rata-rata kepribadian konselor dengan tingkat pendidikan S1

lebih baik daripada konselor dengan tingkat pendidikan D3.

2). Hipotesis kedua

“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari pengalaman kerja konselor menurut persepsi

klien”

Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan Kruskal

Wallis diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 14.
Hasil analisis perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari masa kerja
menurut persepsi klien menggunakan Uji Kruskall Wallis

cxii
Test Statistics a,b

Chi-Square df Asymp. Sig.


Keterampilan 6.554 2 .038
Kepribadian 7.561 2 .023
Keefektifan 7.532 2 .023
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Masa Kerja

Berdasarkan hasil uji Kruskall Wallis tersebut diperoleh nilai chi

kuadrat untuk keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari masa kerja sebesar 7,532 dengan signifikansi

0,023 < taraf kesalahan 0,05, yang berarti hipotesis yang menyatakan ada

perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien

diterima.

Dilihat dari sub variabel keterampilan diperoleh nilai chi kuadrat

6,554 dengan probabilitas 0,038 < 0,05, yang berarti signifikan dan

menunjukkan bahwa ada perbedaan keterampilan konselor dalam

melaksanakan konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja

konselor.

Hasil uji Kruskall Wallis untuk sub variabel kepribadian

diperoleh nilai chi kuadrat sebesar 7,561 dengan probabilitas 0,023 <

0,05, yang berarti ada perbedaan yang signifikan kepribadian dalam

melaksanakan konseling individual ditinjau dari pengalaman kerjanya.

Ada kecenderungan bahwa konselor dengan pengalaman kerja yang

lebih lama, mempunyai keterampilan dan kepribadian yang lebih baik

daripada konselor yang pengalaman kerjanya lebih rendah.

Untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan keefektifan konselor

dalam melaksanakan konseling individual antara konselor dengan masa

cxiii
kerja 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 24 tahun dan > 24 tahun dapat dilihat

dari hasil uji U Mann Whitney pada tabel 15 berikut:

Tabel 15.
Hasil Uji U Mann Whitney
Perbedaan Sumber variasi Keterampilan Kepribadian Keefektifan
antara
Nilai U 9 11 9
0-11 tahun
Z -2.448 -2.298 -2.446
dengan
Sign. 0.014 0.022 0.014
12-23 tahun
Kriteria Berbeda Berbeda Berbeda
Nilai U 1 2 1
0-11 tahun
Z -2.552 -2.378 -2.548
dengan
Sign. 0.011 0.017 0.011
> 24 tahun
Kriteria Berbeda Berbeda Berbeda
Nilai U 69 71 68.5
12-23 tahun
Z -0.732 -0.634 -0.756
dengan
Sign. 0.464 0.526 0.449
> 24 tahun
Kriteria Tidak berbeda Tidak berbeda Tidak berbeda

Berdasarkan tabel hasil analisis tersebut tampak bahwa, antara

konselor dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun dan 12 tahun - 23 tahun,

serta antara konselor dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun dan > 24 tahun

ada perbedaan keefektifan dalam melaksanakan konseling individual

menurut persepsi klien, yang ditunjukkan dari nilai probabilitas < dari

0,05, namun antara konselor dengan masa kerja 12 tahun - 23 tahun dan >

24 tahun tidak ada perbedaan keefektifan dalam melaksanakan konseling

individual, ditunjukkan dari nilai probabilitas > dari 0,05.

3). Hipotesis ketiga

“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien”

Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan U Mann

Whitney diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 16

cxiv
Hasil analisis perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau gender menurut persepsi klien
menggunakan U Mann-Whitney

Test Statistics b

Keterampilan Kepribadian Keefektifan


Mann-Whitney U 87.000 87.000 87.000
Wilcoxon W 387.000 387.000 387.000
Z -.849 -.849 -.849
Asymp. Sig. (2-tailed) .396 .396 .396
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .414a .414a .414a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Jenis kelamin

Berdasarkan hasil uji U Mann-Whitney diperoleh nilai U = 87,

dengan Z hitung = –0,849 dan signifikansi 0,396. Pada taraf kesalahan 0,05

diperoleh nilai Ztabel sebesar 1,96. Tampak bahwa nilai Z hitung pada daerah

–1,96 sampai 1,96 dan nilai signfikansi > dari α = 0,05, sehingga hipotesis

yang berbunyi ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individu ditinjau dari gender menurut persepsi klien ditolak.

Dengan kata lain tidak ada perbedaan keefektifan yang signifikan antara

konselor wanita dan pria dalam melaksanakan konseling individual

menurut persepsi klien. Hasil uji U-Mann Whitney untuk sub variabel

keterampilan dan kepribadian diperoleh Z hitung = -0,849 dengan

probabilitas 0,396 > 0,05, yang berarti tidak ada perbedaan keterampilan

dan kepribadian konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari gender.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data untuk menguji hipotesis yang telah

dirumuskan diatas ternyata dari ketiga hipotesis yang diajukan terdapat dua hipotesis

cxv
yang teruji kebenarannya/diterima secara signifikan, dan satu hipotesis yang tidak

teruji kebenarannya/ditolak secara signifikan. Dengan demikian maka dapat

dikatakan bahwa secara empirik, bahwa:

1. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien.

Dari hasil penelitian dengan menggunakan U Mann Whitney telah terbukti

bahwa Z hitung (-2,561) < -Ztabel (-1,96). Dengan demikian hipotesis kerja diterima

yang berarti ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan konselor

menurut persepsi klien.

Sehubungan dengan hal tersebut tidak ada kesenjangan antara teori dengan

hasil penelitian karena telah terbukti ada perbedaan yang signifikan keefektifan

konselor dalam melaksanakan layanan konseling individual ditinjau dari tingkat

pendidikan konselor menurut persepsi klien. Hal ini sejalan dengan pendapat

Winkel, 1981 yang menyatakan bahwa konselor sekolah (School counselor), ialah

tenaga profesional, pria atau wanita yang mendapat pendidikan khusus

Bimbingan dan Konseling, secara ideal berijazah sarjana dari FIP-IKIP,

Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling atau Jurusan Psikologi

Pendidikan dan Bimbingan, serta jurusan-jurusan/Program Studi yang sejenis.

Para tamatan tersebut setelah disekolah adalah menjadi tenaga khusus. Tenaga ini

dapat disebut “Full-time guidance counselor”, karena seluruh waktu dan

perhatiannya dicurahkan pada pelayanan bimbingan dan karena dialah menjadi

penyuluh utama disekolah (dalam Sukardi, 1984: 19).

cxvi
Secara profesional seorang konselor sekolah hendaknya telah mencapai

tingkat pendidikan sarjana bimbingan. Dalam masa pendidikannya pada institusi

bersangkutan seorang konselor harus menempuh mata kuliah atau bidang studi

tentang prinsip-prinsip dan praktik bimbingan. Dan bidang yang harus dikuasai

meliputi antara lain: proses konseling, pemahaman individu, informasi dalam

bidang pendidikan, pekerjaan, jabatan, atau karir, administrasi dan kaitannya

dengan program bimbingan, dan prosedur penelitian dan penilaian bimbingan. Di

samping bidang tersebut diatas, perlu juga dikuasai bidang-bidang lainnya seperti:

psikologi, ekonomi dan sosiologi (Wibowo, 1986: 95).

Berdasarkan perhitungan besarnya rata-rata keefektifan

konselor dalam melaksanakan konseling individual dari konselor

dengan tingkat pendidikan D3 bimbingan dan konseling sebesar

2,66 atau 67% dengan ketegori cukup efektif, sedangkan

besarnya rata-rata keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual dari konselor dengan tingkat pendidikan S1

bimbingan dan konseling sebesar 3,11 atau 78% dengan ketegori

efektif, yang berarti bahwa selama ini siswa-siswi di SMA Negeri

se-Kota Semarang mempunyai persepsi yang positif terhadap

keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari tingkat pendidikan konselor.

Secara nyata keefektifan konselor dengan tingkat

pendidikan S1 BK dalam melaksanakan konseling individual

cxvii
berada pada kategori efektif, sedangkan secara nyata keefektifan

konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK dalam melaksanakan

konseling individual berada pada kategori cukup efektif.

Perbedaan ini juga dapat dilihat dari rata-rata kualitas

keterampilan dan kepribadian konselor, di mana konselor dengan

tingkat pendidikan S1 BK lebih baik daripada konselor dengan

tingkat pendidikan D3 BK. Hal ini disebabkan karena adanya

perbedaan karakteristik antara tingkat pendidikan D3 BK dan S1

BK yang berpengaruh terhadap keterampilan dan

kepribadiannya.

Tabel 17.
Perbedaan Karakteritik Tingkat Pendidikan D3 BK dan S1 BK
Karakteristik D3 BK S1 BK
Lama pendidikan 3 tahun (minimal) 4 tahun (minimal)
Jumlah SKS yang 105 152
harus ditempuh
Syarat kelulusan Menyusun TA Menyusun skripsi
Tujuan Menyelenggarakan Menyelenggarakan
pendidikan akademik yang pendidikan akademik yang
diarahkan terutama pada diarahkan terutama pada
pengusaan ilmu pengetahuan pengusaan ilmu pengetahuan
yang lebih mendalam

Lama pendidikan D3 BK ditempuh minimal 3 tahun

dengan 105 SKS yang lebih rendah daripada S1 BK yang harus

menempuh minimal 4 tahun dengan 152 SKS. Adanya perbedaan

ini menyebabkan pengetahuan dan keterampilan konselor dengan

lulusan S1 BK secara nyata lebih tinggi daripada D3 BK,

cxviii
sehingga konselor dengan tingkat pendidikan S1 BK mampu

melaksanakan konseling individual lebih baik daripada konselor

dengan tingkat pendidikan D3 BK. Berdasarkan hasil penelitian

ternyata konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK kurang

efektif dalam memahami sifat-sifat klien, mendengarkan klien,

menggunakan teknik pengubahan tingkah laku dan

menggunakan berbagai pendekatan konseling.

Persepsi adalah suatu pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan

yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi serta menafsirkan pesan

(Rakhmad, 1998: 51). Dalam persepsi ini klien dirangsang oleh suatu masukan

atau stimulus dari konselor, sehingga klien akan memberikan respon dan

bersikap. Klien yang mendapat stimulus tentang konseling individual untuk

meyelesaikan permasalahan yang diberikan dari konselor dengan tingkat

pendidikan D3 bimbingan dan konseling dan S1 bimbingan dan konseling, akan

merespon dengan mengambil sikap yang selanjutnya menanggapi stimulus yang

ada.

Di samping itu persepsi merupakan dinamika yang terjadi

dalam diri individu di saat ia menerima stimulus dari lingkungan

dengan melibatkan panca indra dan aspek kpribadian yang lain.

Adapun persepsi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Persepsi dipengaruhi oleh: a) Perhatian, biasanya tidak

menangkap seluruh rangsangan yang ada disekitar kita secara

cxix
sekaligus, tetapi hanya memfokuskan pada satu atau dua objek

saja. b) Set, adalah harapan seseorang akan rangsang yang akan

timbul, sehingga individu mempunyai harapan pada setiap apa

yang ia lakukan. c) Kebutuhan, kebutuhan sesaat maupun

menetap pada diri individu akan mempengaruhi persepsi orang

tersebut. Dengan adanya kebutuhan yang berbeda akan

menyebabkan persepsi bagi tiap individu. d) Sistem Nilai, sistem

nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat juga berpengaruh

pula terhadap persepsi. e) Ciri Kepribadian, pola kepribadian

atau karakter yang dimiliki oleh individu akan menghasilkan

baik/buruk persepsi seseorang terhadap suatu objek (Wirawan,

1982: 49).

Persepsi yang baik dari klien tentang konseling individual

yang sudah pernah dijalaninya dari konselor disekolahnya dalam

rangka mengentaskan permasalahan baik pribadi, sosial, belajar,

karier, dan lain-lain, sehingga gejala-gejala yang timbul dari

siswa yang sedang mengalami permasalahan dapat segera

memanfaatkan program layanan yang ada yaitu konseling

individual.

Selain itu dengan adanya persepsi yang baik dari klien tentang konseling

individual yang sudah dijalaninya, klien akan bersikap proaktif terhadap

cxx
berjalannya program layanan bimbingan dan konseling pada umumnya dan

layanan konseling individual pada khususnya, sehingga wawasan klien tentang

bagaimana keluar dari permasalahan yang sedang dialaminya akan bertambah,

yang nantinya akan bermuara pada tercapainya aktualisasi pada dirinya, dengan

terentaskannya permasalahan yang dihadapi, tergalinya potensinya yang dimiliki

dan berkembangnya kemampuan yang dimilikinya.

Akhirnya berdasarkan uraian di atas dinyatakan bahwa ada perbedaan

yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari tingkat pendidikan konselor menurut persepsi klien di SMA Negeri

se-Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005.

2. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien.

Dari hasil analisis data dengan menggunakan Kruskall Wallis diperoleh

chi kuadrat 7,532 dengan probabilitas 0,023 < 0,05, dengan demikian hipotesis

kerja diterima yang berarti ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor

dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari pengalam kerja menurut

persepsi klien.

Dengan demikian tidak ada kesenjangan teori dengan hasil penelitian,

karena telah terbukti ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual ditinjau dari masa kerja konselor menurut persepsi klien. Hal

ini sejalan dengan pendapat Middlebrook yang menyatakan bahwa tidak adanya

pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan

membentuk suatu sikap negatif terhadap objek tersebut (dalam Hariyadi, 2000:

10).

cxxi
Sedangkan menurut Baron (1988) sikap yang negatif akan melahirkan

perilaku atau unjuk kerja yang negatif, karena perilaku pada umumnya

merupakan manifestasi dari sikap seseorang. Perilaku yang negatif ini akan

melahirkan ketidakefektifan konselor dalam melaksanakan tugas-tugasnya (dalam

Hariyadi, 2000: 10).

Fazio dan Zana (1978) mengemukakan bahwa sikap yang terbentuk

melalui pengalaman langsung mengenai suatu objek hasilnya lebih kuat dan lebih

melekat (dalam Hariyadi, 2000: 10).

Wu dan Schaffer (1987) juga mengemukakan bahwa sikap yang terbentuk

melalui pengalaman langsung ternyata lebih tahan terhadap perubahan daripada

sikap yang terbentuk melalui pengalaman tidak langsung (dalam Hariyadi, 2000:

10).

Berdasarkan perhitungan besarnya rata-rata keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual dari konselor yang mempunyai masa kerja 0

tahun - 11 tahun sebesar 2,62 atau 66% dengan ketegori cukup efektif, konselor

dengan masa kerja 12 tahun - 23 tahun sebesar 3,07 atau 77% dengan kategori

efektif dan konselor dengan masa kerja > 24 tahun sebesar 3,19 atau 80% dengan

kategori efektif. Hal ini berarti bahwa siswa dan siswi di SMA Negeri se-Kota

Semarang mempunyai persepsi yang positif terhadap keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual ditinjau dari masa kerja konselor.

Secara nyata keefektifan konselor dengan masa kerja antara 0 tahun - 11

tahun lebih rendah daripada keefektifan konselor dengan masa kerja antara 12

tahun - 23 tahun dan > 24 tahun dalam melaksanakan konseling individual. Hal

ini juga dapat dilihat dari rata-rata kualitas keterampilan dan kepribadian konselor

cxxii
dengan masa kerja > 24 tahun dan konselor dengan masa kerja 11 tahun - 23

tahun lebih baik daripada konselor dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun.

Perbedaan ini disebabkan karena semakin tinggi masa kerja konselor, semakin

banyak pula jumlah dan jenis-jenis permasalahan yang sudah ditangani, sehingga

konselor lebih banyak melakukan evaluasi untuk peningkatan kualitas

pelaksanaan konseling individual.

Akhirnya berdasarkan uraian di atas dinyatakan bahwa ada perbedaan

yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota

Semarang tahun ajaran 2004/2005.

3. Tidak ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien.

Dari hasil penelitian dengan menggunkan U Mann Whitney telah terbukti

bahwa Z hitung (-0,849) berada di antara -Ztabel (-1,96) dan Z tabel (1,96). Dengan

demikian hipotesis kerja yangh berbunyi ada perbedaan keefektifan konselor

dalam melaksanakaan konseling individual ditinjau dari gender konselor menurut

persepsi klien ditolak yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan

keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari

gender menurut persepsi klien.

Sehubungan dengan hal tersebut ada kesenjangan antara teori dengan hasil

penelitian karena telah terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan keefektifan

konselor dalam melaksanakan layanan konseling individual ditinjau dari gender

menurut persepsi klien, yaitu teori yang menyatakan bahwa wanita cenderung

lebih tertarik pada hal praktis dan teoritis, wanita lebih dekat dengan masalah-

cxxiii
masalah kehidupan yang praktis konkrit, wanita pada umumnya penuh kelincahan

hidup. Wanita mempunyai sifat heterosentris dan lebih sosial terutama pada

penderitaan orang lain, wanita bersifat feminim, lembut, keibuan, perasa,

mementingkan orang lain dan ikhlas dalam memberikan pertolongan. Wanita juga

lebih peka terhadap nilai estetis, lebih akurat dan mendetail (Kartono,1992: 177),

sehingga dalam melaksanakan konseling individual konselor wanita akan

cenderung lebih efektif dibandingkan dengan konselor pria.

Hasil penelitian ini ternyata lebih sejalan dengan teori

tentang perbedaan seks dan gender. Seks adalah pembagian jenis

kelamin yang telah ditentukan oleh Tuhan (disebut sebagai

kodrat Tuhan), maka fungsinya tidak bisa diubah. Misalnya laki-

laki memiliki sperma, penis dan jakun. Perempuan hamil,

memiliki alat kelamin reproduksi seperti rahim, vagina, dan

indung telur. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu, dan akan

berlaku sampai kapan saja, dimana saja, suku bangsa apa saja,

dan warna kulit apa saja. Sedangkan gender adalah pembagian

peran serta tanggung jawab baik laki-laki maupun perempuan

yang ditetapkan oleh masyarakat dan budaya. Misalnya

keyakinan bahwa laki-laki kuat, dan rasional, sedangkan

perempuan lemah dan emosional, bukanlah ketentuan kodrat

Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang.

Karena di dalam kenyataannya ada perempuan yang kasar, kuat

cxxiv
dan rasional, sementara banyak sekali laki-laki yang lembut,

lemah dan emosional (Imran dkk, 2000: 13). Dengan demikian

perbedaan seks dan gender bisa dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 18
Perbedaan Seks dan Gender
Seks Gender
Tidak bisa berubah Bisa berubah
Tidak bisa dipertukarkan Bisa dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa Tergantung musim
Berlaku dimana saja Bergantung budaya
Berlaku bagi kelas dan warna Berbeda antara satu kelas
kulit apa saja. dengan kelas lain
Ditentukan oleh Tuhan atau Bukan kodrat Tuhan, tapi
kodrat. buatan masyarakat.

(Imran, 2000:

19)

Selain itu dijelaskan pula bahwa konsep gender adalah sifat

yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk

oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir

beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan

perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu

antara lain: kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang

lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-

laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat

diatas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu

(Handayani dan Sugiarti, 2002: 5-6).

cxxv
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat tokoh

aliran feminisme liberial yang mempunyai pemikiran bahwa

semua manusia diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya

tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Laki-laki dan

perempuan sama-sama mempunyai hal-hal khusus. Secara

ontologis keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya

juga menjadi hak-hak perempuan. Laki-laki dan perempuan

hanya dibedakan pada reproduksinya saja, karena walau

bagaimanapun juga fungsi organ reproduksi bagi perempuan

membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.

Namun demikian organ reporduksi bukan merupakan

penghalang terhadap sikap, perilaku maupun peranannya (dalam

Umar, 1999: 64). Berkaitan dengan hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa meskipun organ reproduksi berbeda tidak

akan mempengaruhi seseorang yaitu konselor untuk mempunyai

sikap, perilaku, peran maupun harapan tertentu.

Berdasarkan perhitungan besarnya rata-rata keefektifan konselor dalam

melaksanakan konseling individual dari konselor dengan jenis kelamin wanita

sebesar 3,01 atau 75% dengan ketegori efektif, sedangkan konselor dengan jenis

kelamin pria sebesar 3,14 atau 79% dengan kategori efektif. Hal ini berarti bahwa

siswa dan siswi di SMA Negeri se-Kota Semarang mempunyai persepsi yang

cxxvi
positif terhadap keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual

ditinjau dari gender konselor.

Dengan adanya persepsi yang baik pada diri klien tentang pelaksanaan

konseling individual yang sudah dijalaninya dari konselor dengan jenis kelamin

baik wanita maupun pria, maka konselor tersebut dikatakan efektif dalam

melaksanakan konseling individual.

Akhirnya berdasarkan uraian di atas dinyatakan bahwa tidak ada

perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual ditinjau dari gender menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota

Semarang tahun ajaran 2004/2005.

cxxvii
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penelitian yang berjudul

Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual ditinjau dari

Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja dan Gender Konselor menurut Persepsi Klien di

SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005 dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Menurut persepsi klien, konselor dengan tingkat pendidikan S1 BK dan masa

kerja 12-23 tahun serta lebih dari 24 tahun lebih efektif daripada konselor dengan

tingkat pendidikan D3 BK dan masa kerja 0-11 tahun dalam melaksanakan

konseling individual. Menurut persepsi klien antara konselor pria dan wanita

sama-sama efektif dalam melaksanakan konseling individual.

2. Ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien.

3. Ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien.

4. Tidak ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan

konseling individual ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien.

B. Saran

Berdasarkan temuan dalam penelitian ini maka dapat diajukan saran-saran yang

bisa diterapkan untuk masukan kepada konselor sekolah di SMA Negeri se-Kota

Semarang, Ilmu Bimbingan dan Konseling dan peneliti lain sebagai berikut:

cxxviii
1. Bagi konselor di SMA Negeri se-Kota Semarang

Untuk meningkatkan profesionalisasi konselor di sekolah, khususnya konselor

dengan tingkat pendidikan D3 BK dapat dilakukan melalui kegiatan ilmiah dalam

bidang bimbingan dan konseling seperti seminar, loka karya, penataran, work

shop, diskusi-diskusi melalui MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan

Konseling), maupun dengan melanjutkan studi ke jenjang S1 bimbingan dan

konseling.

Pengetahuan, keterampilan dan kualitas kepribadian akan diperoleh melalui

pengalaman kerja, maka hendaknya konselor di sekolah dapat melaksanakan

kegiatan bimbingan dan konseling, khususnya konseling individual dengan

sebaik-baiknya.

2. Peneliti Lain

Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menambah variabel yang diteliti

seperti motivasi kerja, sarana-prasarana, kerja sama antar konselor dan variabel

yang lainnya, sehingga diperoleh jawaban yang lebih jelas tentang faktor-faktor

yang mempengaruhi keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling

individual.

cxxix
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Azwar Syaifudin. 2000. Sikap Manusia dan teori pengukurannya. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar

Depdikbud, 1994. Pedoman Pembimbing dan Penyuluhan Siswa di Sekolah Dasar.


Jakarta: Dirjen Dikdasmen

Gunarsa, D Singgih, 1992. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia

Hadi Sutrisno. 1989. Metode Research. Jojakarta: Fakultas Psikologi UGM

Hamali Oemar. 1991. Pendidikan Guru. Bandung: Mandar Maju

Handayani, Tri Sakti dan Sugiarti, 2002. Konsep dan Penelitian Gender. Malang:
UMM Press

Hariyadi Sugeng. 1999. Laporan Penelitian tentang Persepsi Siswa SMA terhadap
tingkat keefektifan konselor dalam memberikan layanan Konseling
Individual (Penelitian di SMA Negeri se-Kodia Semarang)

______________ dkk. 1995. Perkembangan Peserta Didik. Semarang: IKIP Semarang


Press

Hendrarno, Eddy dkk. 1987. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Semarang: Bina
Putra

__________________, 2003. Bimbingan dan Konseling (edisi revisi). Semarang:


Swadaya Manunggal

Imran, Irawati dkk. 2000 Seksualitas Remaja. Jakarta: PKBI Pusat

Kartono Kartini. 1992. Psikologi Wanita. Bandung: Mandar Maju

Kongseng A. 1996. Konseling Pribadi. Jakarta: Obor

Mar’at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia


Indonesia

Mappiare, Andi AT. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: CV


Rajawali

Nasir Muhammad. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Prayitno, 1985. Penyuluhan. Jakarta: Ghalia Indonesia

cxxx
Prayito dan Amti Erman. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Depdikbud

Poewardaminto, 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Rakhmad Jalaludin. 1989. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Santoso Singgih. 2001. Buku Latihan SPSS Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo

Sudjana dkk, 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru

Slameto, 1990. Perspektif Bimbingan Konseling dan Penerapannya diberbagai


institusi. Semarang: Satya Wacana

Sukardi, Ketut Dewa. 1984. Pengantar Teori Konseling, Jakarta: Ghalia Indonesia

________________, 1985. Ilmu Psikologi. Jakarta: Ghalia Indonesia

Thamtawy. 1993. Kamus Bimbingan dan Belajar. Jakarta: IKIP Jakarta

Umar Nasaruddin 1999. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina

UU RI No. 2 tahun 1989. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika

Walgito Bimo. 1989. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jogjakarta: Fakultas


Psikologi UGM

Wibowo, Mungin Eddy. 1986. Konseling di Sekolah. FIP IKIP Semarang

Winkel. 199. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta:
PT Gramedia Wediasmara Indonesia

Yeo Anthony. 1994. Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Jakarta:


Gunung Mulia

cxxxi
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5

Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10

Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15

Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20

Lampiran 21 Lampiran 22 Lampiran 23 Lampiran 24 Lampiran 24

Lampiran 25 Lampiran 26 Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29

Lampiran 30 Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33 Lampiran 34

ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii

51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66

67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82

83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98

99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111

112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124

125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137

138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150

151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163

164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176

177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189

190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202

203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215

216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228

229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241

242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254

255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267

cxxxii
Identitas Bp/Ibu Guru Pembimbing

1. Nama : ………………………………………………..

2. Jenis Kelamin : (Pilih dan lingkari salah satu)


a. Pria
b. Wanita

3. Pendidikan : (Pilih dan lingkari salah satu)


a. D3 Bimbingan dan Konseling
b. S1 Bimbingan dan Konseling

2. Masa Kerja : (Pilih dan lingkari salah satu)


a. 0 s/d 11 tahun
b. 12 s/d 23 tahun
c. > 24 tahun

3. Asal Sekolah : SMA N…………………………..…Semarang

4. Tugas lain selain-


sebagai Guru Pembimbing : a..….…………………………….…………….
b…...…………………………………………..
c……………………………………………….

5. Identitas Klien yang- : (Lihat tabel dibawah ini)


pernah Konsultasi
dengan Bp/Ibu Guru
Pembimbing

cxxxiii
SKALA PSIKOLOGI

PERBEDAAN KEEFEKTIFAN KONSELOR DALAM MELAKSANAKAN KONSELING


INDIVIDUAL DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN, PENGALAMAN KERJA DAN
GENDER KONSELOR MENURUT
PERSEPSI KLIEN DI SMA NEGERI SE-KOTA SEMARANG
TAHUN AJARAN 2004/2005

cxxxiv
IDENTITAS SISWA

A. Nama : ………………………………………………..

B. Kelas : ………………………………………………..

C. Asal Sekolah : SMA N……………………………..Semarang


D. Nama Guru Pembimbing : ………………………………………………..

PETUNJUK MENGERJAKAN

Di bawah ini terdapat pernyataan-pernyataan yang menggambarkan


keefektifan konselor (guru pembimbing) dalam melaksanakan
konseling individual. Anda dimohon untuk membaca dengan cermat
supaya dapat menentukan pilihan jawaban dengan tepat dengan
cara memberikan tanda silang (X) pada salah satu kolom yang telah
disediakan pada tiap-tiap nomor secara obyektif dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya sewaktu Anda mengikuti proses konseling
individual.

Pilihan jawaban Anda berupa:


SS : Apabila pernyataan dibawah Sangat Sesuai
S : Apabila pernyataan dibawah Sesuai
TS : Apabila pernyataan dibawah Tidak sesuai
STS : Apabila pernyataan dibawah Sangat Tidak Sesuai

Pernyataan-pernyataan dibawah ini bukan tes, jadi tidak berpengaruh


terhadap nilai raport Anda. Oleh karena itu Anda dapat
menjawabnya dengan bebas sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Jawaban Anda akan kami jamin kerahasiaannya.

Demikian harapan kami, semoga jawaban-jawaban Anda akan menjadi


sesuatu yang sangat berguna bagi kami, bagi Anda, dan bagi sekolah
Anda pada umumnya.

Kerjakan sesuai dengan petunjuk,

cxxxv
selamat bekerja dan terima kasih atas partisipasinya !
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Berdasarkan pengalaman saya selama proses
konseling, guru pembimbing bisa mengetahui gerak-
gerik/tingkah laku saya.
2. Guru pembimbing sok tahu dalam mengartikan tingkah
laku dan permasalahan saya.
3. Perlakuan guru pembimbing kepada saya sesuai
dengan karakter saya.
4. Guru pembimbing bisa menilai dengan tepat bahwa
permasalahan saya termasuk dalam kategori sedang
(tidak berat), sehingga bisa diselesaikan dengan baik.
5. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing sangat dekat dan akrab sehingga saya
merasa nyaman.
6. Selama proses konseling, guru pembimbing menjaga
jarak dengan saya.
7. Tempat/Ruang konseling sangat kondusif sehingga
membuat saya merasa nyaman selama proses
konseling.
8. Ketika proses konseling guru pembimbing tidak fokus
krn sering berbicara dengan orang lain.

9. Guru pembimbing dan saya membuat kesepakatan


pertemuan dan waktu pertemuan(sekitar 45 menit
dalam sekali tatap muka) yang akan di tempuh selama
proses konseling.

No. Pernyataan SS S TS STS


10. Ketika proses konseling guru pembimbing juga tidak
fokus krn mengerjakan pekerjaan lain.
11. Guru pembimbing selalu
mendorong/memotivasi saya untuk
menceritakan masalah saya secara
bebas dan terbuka.
12. Ruang/lingkungan konseling acak-acakan dan rame
sehingga selama proses konseling, saya tidak bisa

cxxxvi
konsentrasi.
13. Guru pembimbing membantu saya untuk menentukan
orang-orang yang terlibat dalam masalah saya.
14. Pertemuan konseling/sekali tatap muka sangat lama (>
1 jam) sehingga saya jadi bosan dan jemu.
15. Guru pembimbing dan saya menyusun rencana
alternatif-alternatif pemecahan masalah yang sedang
saya hadapi
16. Setelah mengikuti proses konseling saya merasakan
permasalahan saya jadi semakin ruwet.
17. Guru pembimbing dan saya juga menyusun beberapa
konsekwensi/resiko yang akan dihadapi dari beberapa
alternatif bagi pemecahan masalah saya.
18. Setelah mengikuti proses konseling saya menjadi
semakin bingung dan pusing menghadapi
permasalahan saya.

No. Pernyataan SS S TS STS


19. Guru pembimbing memotivasi saya untuk
mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan
kemampuan saya.
20. Langkah-langkah dalam proses konseling (dari awal
hingga akhir) yang ditempuh guru pembimbing asal-
asalan/tidak sistematis.
21. Saya tidak puas dengan proses konseling yang sudah
diberikan oleh guru pembimbing, karena permasalahan
saya tidak terselesaikan dengan baik.
22. Guru pembimbing tidak membantu saya, ketika saya
akan memilih dan melaksanakan rencana alternatif-
alternatif pemecahan permasalahan yang sudah saya
sepakati.
23. Selama proses konseling suara guru pembimbing
sangat teratur sehingga enak didengar dan mudah
dipahami.
24. Posisi badan/bahasa tubuh guru pembimbing
seenaknya sendiri sehingga saya tidak kerasan.
25. Guru pembimbing mengatur jarak duduk dengan saya,
sehingga selama proses konseling saya merasa nyaman.

cxxxvii
26. Guru pembimbing tidak memperhatikan saya, dimana
guru pembimbing sering melihat kesana-kemari (tidak
mengadakan kontak mata dengan saya).
27. Guru pembimbing melontarkan beberapa pertanyaan
untuk merangsang berfikir saya.

No. Pernyataan SS S TS STS


28. Guru pembimbing tidak bisa membantu menguraikan
masalah saya dengan memberikan contoh perilaku-
perilaku khusus.
29. Guru pembimbing bisa mengulang suatu kata dari saya
dengan tepat, menggunakan bahasanya sendiri secara
sederhana.
30. Guru pembimbing membantu saya memahami
perasaan-perasaan pada diri saya sendiri.
31. Guru pembimbing membantu saya untuk menjelaskan
perasaan-perasaan yang ada pada diri saya.
32. Guru pembimbing membantu saya mempertegas
kejelasan antara kata dan tingkah laku saya yang tidak
sesuai.
33. Guru pembimbing meringkas
permasalahan yang sudah saya
ceritakan dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
34. Guru pembimbing menafsirkan permasalahan yang
sedang saya alami dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
35. Guru pembimbing menerima saya dengan tangan
terbuka dan kapanpun saya mau.

36. Disaat saya sedang kalut karena sedang


dilanda masalah, guru pembimbing tidak
bisa memberikan ketenangan sehingga
beban saya jadi semakin berat.

No. Pernyataan SS S TS STS

cxxxviii
37. Guru pembimbing tidak bisa memimpin/memandu
proses konseling dengan baik, sehingga membuat saya
malas selama proses konseling.
38. Selama proses konseling, guru pembimbing
mendengarkan pembicaraan saya dengan baik,
sehingga tahu permasalahan yang sedang saya alami.
39. Selain itu guru pembimbing juga lebih
banyak berbicara dari pada memberikan
rangsangan supaya saya bisa bercerita
dengan lengkap.
40. Selama proses konseling, guru pembimbing
mengarahkan saya dengan baik, sehingga proses
konseling berjalan dengan lancar.
41. Guru pembimbing memberikan
informasi yang sesuai dengan
pemecahan bagi permasalahan yang
sedang saya alami.
42. Selama proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pemikiran-pemikiran saya
yang sebenarnya.
43. Dalam proses konseling, guru pembimbing
banyak memperhatikan data, informasi
dan keterangan yang tidak penting dari
saya.
44. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada perasaan-perasaan saya
yang sebenarnya.

45. Guru pembimbing mengabaikan pemikiran, perasaan,


cita-cita dan pengalamannya saya.

No. Pernyataan SS S TS STS


46. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada cita-cita saya yang
sesungguhnya.

cxxxix
47. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman
saya yang sesungguhnya.
48. Guru pembimbing menyimpulkan permasalahan yang
sudah saya ceritakan dengan benar menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
49. Guru pembimbing memberikan dorongan/motivasi
kepada saya kearah terpecahkannya masalah saya.
50. Guru pembimbing mengerti dan mengetahui diri saya
dengan baik dan benar.
51. Guru pembimbing menyerahkan sepenuhnya kepada
saya untuk mengambil keputusan/pemecahan bagi
masalah saya.
52. Guru pembimbing memaksakan saya untuk mengikuti
kemauan/pilihannya.
53. Guru pembimbing menggunakan berbagai macam
teknik pengubahan tingkah laku.
54. Guru pembimbing kurang terampil/kurang menguasai
ketika menggunakan teknik pengubahan tingkah laku.
55. Teknik pengubahan tingkah laku yang diberikan oleh
guru pembimbing pada saya sangat cocok.
56. Guru pembimbing hanya menggunakan
satu macam saja pendekatan konseling.
No. Pernyataan SS S TS STS
57. Guru pembimbing sangat terampil (menguasai)
menggunakan beberapa pendekatan konseling.
58. Pendekatan konseling yang diberikan oleh guru
pembimbing terhadap permasalahan yang sedang saya
alami tidak cocok.
59. Guru pembimbing menunjukkan sikap
fleksibel (tidak kaku) dengan teknik
pengubahan tingkah laku yang dipilihnya.
60. Guru pembimbing menunjukkan sikap
yang kaku (tidak fleksibel) dengan
pendekatan konseling yang dipilihnya.
61. Guru pembimbing mempunyai sikap mawas diri/hati-

cxl
hati dalam membantu penyelesaian masalah saya.
62. Menurut saya guru pembimbing sering
berbohong/ingkar janji.
63. Menurut saya guru pembimbing mempunyai sadar diri
(self control) yang bagus.
64. Saya juga merasa tidak nyaman karena perilaku guru
pembimbing tidak wajar/dibuat-buat.
65. Guru pembimbing mempunyai sikap optimis dalam
membantu pemecahan masalah saya, dimana saya bisa
mengalami perubahan dalam diri saya kearah yang
lebih baik.
66. Selama proses konseling saya merasa tidak nyaman
karena guru pembimbing tidak menyenangkan.

No. Pernyataan SS S TS STS


67. Guru pembimbing mempunyai tanggung jawab yang
besar dengan menyelesaikan masalah saya sebaik-
baiknya.
68. Saya merasakan selama proses konseling, guru
pembimbing memberikan pengaruh yang negatif
kepada saya.
69. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan budaya saya.
70. Guru pembimbing sangat tertutup/tidak mau terbuka
terhadap saya.
71. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan agama saya.
72. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung
dengan adanya perbedaan budaya antara saya dengan
guru pembimbing.
73. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan jenis kelamin antara saya dan guru
pembimbing.
74. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung
dengan adanya perbedaan agama antara saya dengan
guru pembimbing.
75. Ketika proses konseling, guru pembimbing
canggung dengan adanya perbedaan jenis

cxli
kelamin antara saya dengan guru
pembimbing.
76. Guru pembimbing menerima saya apa adanya
(objektif).
77. Guru pembimbing pilih-pilih dalam membantu
pemecahan permasalahan siswa.

No. Pernyataan SS S TS STS


78. Selama proses konseling, kerjasama antara guru
pembimbing dengan saya sangat bagus (saling
membantu).
79. Guru pembimbing menceritakan
kehidupan saya kepada orang lain
tanpa seijin saya.
80. Guru pembimbing menampakkan usaha yang sungguh-
sungguh untuk meyakinkan saya bahwa segala sesuatu
yang dibicarakan akan dirahasiakan dan hanya milik
berdua saja.
81. Guru pembimbing menceritakan masalah saya pada
orang lain tanpa seijin saya.
82. Dalam kenyataannya, guru pembimbing benar-benar
dapat menjaga kerahasiaan masalah saya (tidak ada
satupun orang yang mengetahuinya selain guru
pembimbing).
83. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
tertib.
84. Guru pembimbing menjelaskan kepada saya, bahwa
walaupun ia siap membantu memecahkan masalah
saya, ia juga memiliki keterbatasan-keterbatasan
tertentu.

85. Guru pembimbing sangat yakin terhadap keberhasilan


alternatif bagi pemecahan masalah saya.

86. Guru pembimbing juga menawarkan bantuan kepada


ahli yang lainnya, jika seandainya ia tidak dapat
membantu masalah saya.

cxlii
No. Pernyataan SS S TS STS
87. Dalam membantu memecahkan masalah saya, guru
pembimbing menampakkan adanya sikap memaksakan
diri dengan segala daya upaya sekalipun sudah tidak
mampu lagi.
88. Menurut saya guru pembimbing sangat menaruh
perhatian pada permasalahan yang sedang saya alami.
89. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing terlihat sangat terpaksa.
90. Saya merasa nyaman ketika mengikuti konseling
karena guru pembimbing sangat ramah.
91. Menurut saya konselor tidak bersungguh-sungguh
dalam membantu pemecahan masalah saya.
92. Menurut saya guru pembimbing tulus memberikan
konseling kepada saya.
93. Selama proses konseling, rasa ingin tahu guru
pembimbing terhadap permasalahan saya sangat kecil.
94. Guru pembimbing sangat ulet ketika membantu
pemecahan bagi masalah saya.
95. Saya merasakan kalau guru pembimbing kurang
berminat membantu pemecahan masalah saya.
96. Guru pembimbing juga sangat teliti dalam membantu
pemecahan saya.
97. Selama mengikuti konseling saya merasa nyaman
karena guru pembimbing kalem dan tenang.
No. Pernyataan SS S TS STS
98. Ketika proses konseling, guru pembimbing sering
marah-marah.
99. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikapnya yang rendah hati.
100. Saya merasa jemu konselor tidak bisa membuat proses
konseling lebih kreatif/tidak monoton.
101. Guru pembimbing sangat sabar selama membantu saya
menyelesaikan masalah.
102. Penampilan guru pembimbing yang kurang rapi dan
bersih membuat saya merasa tidak nyaman ketika
mengikuti konseling.

cxliii
103. Saya sangat senang mengikuti konseling karena guru
pembimbing humoris sehingga suasananya tidak
menegangkan.
104. Guru pembimbing tidak nyambung dengan
permasalahan yang saya ceritakan.
105. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing mempunyai kecerdasan yang baik,
sehingga proses konseling berjalan dengan lancar.
106. Menurut pandangan saya, guru pembimbing tidak
memiliki wawasan yang cukup luas ketika memberikan
konseling kepada saya, sehingga konseling berjalan
tidak lancar.
107. Selama proses konseling, guru pembimbing memegang
kuat etika/norma yang ada.
108. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing terjalin sangat dingin dan kaku.
No. Pernyataan SS S TS STS
109. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikap yang sederhana.
110. Selama proses konseling, guru pembimbing adalah
figur ibu yang baik bagi saya.
111. Menurut saya, guru pembimbing turut merasakan
(empati) permasalahan yang sedang saya alami.
112. Guru pembimbing cuek dengan permasalahan yang
sedang alami.
113. Guru pembimbing sangat peduli dengan permasalahan
yang sedang alami.
114. Saya merasa guru pembimbing tidak bisa menghargai
dan mengerti saya.
115. Selama proses konseling, guru pembimbing sangat
peka (sensitif) dengan perilaku dan keinginan saya.
116. Guru pembimbing tidak menghormati saya.
117. Guru pembimbing memberikan tanggapan yang positif
terhadap apa yang saya kemukakan.
118. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyalahkan saya.
119. Guru pembimbing juga memberikan tanggapan-
tanggapan yang sesuai dengan masalah/ungkapan yang

cxliv
saya sampaikan
120. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyudutkan saya.
121. Selama proses konseling, pertanyaan guru pembimbing
sangat relevan/sesuai dengan permasalahan saya.
No. Pernyataan SS S TS STS
122. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya
selalu mengadili saya.
123. Selama proses konseling guru pembimbing sangat
menguatamakan kepentingan saya
124. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
toleransi terhadap pilihan saya pada alternatif
pemecahan masalah saya.
125. Selama proses konseling perilaku guru pembimbing
sangat kaku/tidak luwes.

cxlv
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Berdasarkan pengalaman saya selama proses
konseling, guru pembimbing bisa mengetahui gerak-
gerik/tingkah laku saya.
2. Guru pembimbing menyamaratakan karakter saya
dengan teman-teman yang lain.
3. Perlakuan guru pembimbing kepada saya sesuai
dengan karakter saya.
4. Guru pembimbing sok tahu dalam mengartikan tingkah
laku dan permasalahan saya.
5. Guru pembimbing bisa menilai dengan tepat bahwa
permasalahan saya termasuk dalam kategori sedang
(tidak berat), sehingga bisa diselesaikan dengan baik.
6. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing sangat dekat dan akrab sehingga saya
merasa nyaman.
7. Selama proses konseling, guru pembimbing menjaga
jarak dengan saya.
8. Selama proses konseling guru pembimbing tampak
benar-benar sangat ahli (profesional).
9. Ketika proses konseling guru pembimbing tidak fokus
krn sering berbicara dengan orang lain.

10. Selama proses konseling kondisi guru


pembimbing sangat prima (tidak sakit)
sehingga konseling bisa berjalan
dengan lancar.

No. Pernyataan SS S TS STS


11. Ketika proses konseling guru pembimbing juga tidak
fokus krn mengerjakan pekerjaan lain.
12. Tempat/Ruang konseling sangat kondusif sehingga
membuat saya merasa nyaman selama proses
konseling.
13. Ruang/lingkungan konseling acak-acakan dan rame
sehingga selama proses konseling, saya tidak bisa
konsentrasi.

cxlvi
14. Guru pembimbing dan saya membuat kesepakatan
pertemuan dan waktu pertemuan(sekitar 45 menit
dalam sekali tatap muka) yang akan di tempuh selama
proses konseling.
15. Pertemuan konseling/sekali tatap muka sangat lama (>
1 jam) sehingga saya jadi bosan dan jemu.
16. Guru pembimbing menjelaskan tujuan yang akan
dicapai yaitu untuk membantu mengatasi/memecahkan
masalah saya dengan menggunakan potensi yang saya
miliki.
17. Pertemuan konseling/sekali tatap muka sangat singkat
(< 1 jam) sehingga saya tidak bisa mengungkapkan
permasalahan saya dengan baik.
18. Guru pembimbing selalu
mendorong/memotivasi saya untuk
menceritakan masalah saya secara
bebas dan terbuka.

No. Pernyataan SS S TS STS


19. Setelah mengikuti proses konseling saya merasakan
permasalahan saya jadi semakin ruwet.
20. Guru pembimbing membantu saya menetapkan
permasalahan inti dan permasalahan sampingan yang
sedang saya hadapi.
21. Setelah mengikuti proses konseling saya menjadi
semakin bingung dan pusing menghadapi
permasalahan saya.
22. Guru pembimbing membantu saya untuk menentukan
orang-orang yang terlibat dalam masalah saya.
23. Langkah-langkah dalam proses konseling (dari awal
hingga akhir) yang ditempuh guru pembimbing asal-
asalan/tidak sistematis.
24. Guru pembimbing membantu saya menetapkan
penyebab permasalahan yang sedang saya alami.
25. Saya tidak puas dengan proses konseling yang sudah
diberikan oleh guru pembimbing, karena permasalahan
saya tidak terselesaikan dengan baik.

cxlvii
26. Guru pembimbing dan saya menyusun rencana
alternatif-alternatif pemecahan masalah yang sedang
saya hadapi

27. Selama proses konseling, guru pembimbing tiada henti-


hentinya memberikan nasehat.

No. Pernyataan SS S TS STS


28. Guru pembimbing dan saya juga menyusun beberapa
konsekwensi/resiko yang akan dihadapi dari beberapa
alternatif bagi pemecahan masalah saya.
29. Guru pembimbing tidak membantu saya, ketika saya
akan memilih dan melaksanakan rencana alternatif-
alternatif pemecahan permasalahan yang sudah saya
sepakati.
30. Guru pembimbing memotivasi saya untuk
mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan
kemampuan saya.
31. Guru pembimbing tidak memantau
perkembangan/perubahan tingkah laku saya dengan
cermat.
32. Guru pembimbing juga menindak-lanjuti
perkembangan/perubahan yang terjadi pada saya.
33. Selama proses konseling suara guru pembimbing
sangat teratur sehingga enak didengar dan mudah
dipahami.
34. Posisi badan/bahasa tubuh guru pembimbing
seenaknya sendiri sehingga saya tidak kerasan.
35. Guru pembimbing mengatur jarak duduk dengan saya,
sehingga selama proses konseling saya merasa nyaman.
36. Guru pembimbing tidak memperhatikan saya, dimana
guru pembimbing sering melihat kesana-kemari (tidak
mengadakan kontak mata dengan saya).
No. Pernyataan SS S TS STS
37. Ketika proses konseling, guru pembimbing terlihat
sangat santai (tidak cemas).
38. Guru pembimbing melontarkan beberapa pertanyaan
untuk merangsang berfikir saya.

cxlviii
39. Guru pembimbing tidak bisa membantu menguraikan
masalah saya dengan memberikan contoh perilaku-
perilaku khusus.
40. Guru pembimbing bisa mengulang suatu kata dari saya
dengan tepat, menggunakan bahasanya sendiri secara
sederhana.
41. Guru pembimbing membantu saya memahami
perasaan-perasaan pada diri saya sendiri.
42. Guru pembimbing membantu saya untuk menjelaskan
perasaan-perasaan yang ada pada diri saya.
43. Guru pembimbing membantu saya mempertegas
kejelasan antara kata dan tingkah laku saya yang tidak
sesuai.
44. Guru pembimbing meringkas
permasalahan yang sudah saya
ceritakan dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
45. Guru pembimbing menafsirkan permasalahan yang
sedang saya alami dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.

46. Guru pembimbing menerima saya dengan tangan


terbuka dan kapanpun saya mau.

No. Pernyataan SS S TS STS


47. Disaat saya sedang kalut karena sedang
dilanda masalah, guru pembimbing tidak
bisa memberikan ketenangan sehingga
beban saya jadi semakin berat.
48. Guru pembimbing tidak bisa memimpin/memandu
proses konseling dengan baik, sehingga membuat saya
malas selama proses konseling.
49. Selama proses konseling, guru pembimbing
mendengarkan pembicaraan saya dengan baik,
sehingga tahu permasalahan yang sedang saya alami.
50. Selain itu guru pembimbing juga lebih

cxlix
banyak berbicara dari pada memberikan
rangsangan supaya saya bisa bercerita
dengan lengkap.
51. Selama proses konseling, guru pembimbing
mengarahkan saya dengan baik, sehingga proses
konseling berjalan dengan lancar.
52. Guru pembimbing memberikan
informasi yang sesuai dengan
pemecahan bagi permasalahan yang
sedang saya alami.
53. Selama proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pemikiran-pemikiran saya
yang sebenarnya.

54. Dalam proses konseling, guru pembimbing


memusatkan perhatian pada pemikiran-pemikiran,
perasaan, cita-cita dan pengalamannya sendiri.

No. Pernyataan SS S TS STS


55. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada perasaan-perasaan saya
yang sebenarnya.
56. Dalam proses konseling, guru pembimbing
banyak memperhatikan data, informasi
dan keterangan yang tidak penting dari
saya.
57. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada cita-cita saya yang
sesungguhnya.
58. Guru pembimbing mengabaikan pemikiran, perasaan,
cita-cita dan pengalamannya saya.
59. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman
saya yang sesungguhnya.
60. Guru pembimbing menyimpulkan permasalahan yang
sudah saya ceritakan dengan benar menggunakan

cl
bahasanya sendiri secara sederhana.
61. Guru pembimbing memberikan dorongan/motivasi
kepada saya kearah terpecahkannya masalah saya.
62. Guru pembimbing mengerti dan mengetahui diri saya
dengan baik dan benar.
63. Guru pembimbing menyerahkan sepenuhnya kepada
saya untuk mengambil keputusan/pemecahan bagi
masalah saya.
64. Guru pembimbing memaksakan saya untuk mengikuti
kemauan/pilihannya.
65. Guru pembimbing menggunakan berbagai macam
teknik pengubahan tingkah laku.
No. Pernyataan SS S TS STS
66. Guru pembimbing kurang terampil/kurang menguasai
ketika menggunakan teknik pengubahan tingkah laku.
67. Teknik pengubahan tingkah laku yang diberikan oleh
guru pembimbing pada saya sangat cocok.
68. Guru pembimbing hanya menggunakan
satu macam saja pendekatan konseling.
69. Guru pembimbing sangat terampil (menguasai)
menggunakan beberapa pendekatan konseling.
70. Pendekatan konseling yang diberikan oleh guru
pembimbing terhadap permasalahan yang sedang saya
alami tidak cocok.
71. Guru pembimbing menunjukkan sikap
fleksibel (tidak kaku) dengan teknik
pengubahan tingkah laku yang dipilihnya.
72. Guru pembimbing menunjukkan sikap
yang kaku (tidak fleksibel) dengan
pendekatan konseling yang dipilihnya.
73. Guru pembimbing mempunyai sikap mawas diri/hati-
hati dalam membantu penyelesaian masalah saya.
74. Menurut saya guru pembimbing sering
berbohong/ingkar janji.
75. Menurut saya guru pembimbing mempunyai sadar diri
(self control) yang bagus.

cli
76. Saya juga merasa tidak nyaman karena perilaku guru
pembimbing tidak wajar/dibuat-buat.
No. Pernyataan SS S TS STS
77. Guru pembimbing mempunyai sikap optimis dalam
membantu pemecahan masalah saya, dimana saya bisa
mengalami perubahan dalam diri saya kearah yang
lebih baik.
78. Selama proses konseling saya merasa tidak nyaman
karena guru pembimbing tidak menyenangkan.
79. Guru pembimbing mempunyai tanggung jawab yang
besar dengan menyelesaikan masalah saya sebaik-
baiknya.
80. Saya merasakan selama proses konseling, guru
pembimbing memberikan pengaruh yang negatif
kepada saya.
81. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan budaya saya.
82. Guru pembimbing sangat tertutup/tidak mau terbuka
terhadap saya.
83. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan agama saya.
84. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung
dengan adanya perbedaan budaya antara saya dengan
guru pembimbing.
85. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan jenis kelamin antara saya dan guru
pembimbing.

86. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung


dengan adanya perbedaan agama antara saya dengan
guru pembimbing.

No. Pernyataan SS S TS STS


87. Ketika proses konseling, guru pembimbing
canggung dengan adanya perbedaan jenis
kelamin antara saya dengan guru
pembimbing.

clii
88. Guru pembimbing menerima saya apa adanya
(objektif).
89. Guru pembimbing pilih-pilih dalam membantu
pemecahan permasalahan siswa.
90. Selama proses konseling, kerjasama antara guru
pembimbing dengan saya sangat bagus (saling
membantu).
91. Guru pembimbing menceritakan
kehidupan saya kepada orang lain
tanpa seijin saya.
92. Guru pembimbing menampakkan usaha yang sungguh-
sungguh untuk meyakinkan saya bahwa segala sesuatu
yang dibicarakan akan dirahasiakan dan hanya milik
berdua saja.
93. Guru pembimbing menceritakan masalah saya pada
orang lain tanpa seijin saya.
94. Dalam kenyataannya, guru pembimbing benar-benar
dapat menjaga kerahasiaan masalah saya (tidak ada
satupun orang yang mengetahuinya selain guru
pembimbing).
95. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
tertib.
96. Guru pembimbing menjelaskan kepada saya, bahwa
walaupun ia siap membantu memecahkan masalah
saya, ia juga memiliki keterbatasan-keterbatasan
tertentu.

No. Pernyataan SS S TS STS


97. Guru pembimbing sangat yakin terhadap keberhasilan
alternatif bagi pemecahan masalah saya.
98. Guru pembimbing menawarkan bantuan dari guru
pembimbing yang lainnya, jika seandainya nanti ia
tidak dapat membantu masalah saya.
99. Dalam membantu memecahkan masalah saya, guru
pembimbing menampakkan adanya sikap memaksakan
diri dengan segala daya upaya sekalipun sudah tidak
mampu lagi.

cliii
100. Guru pembimbing juga menawarkan bantuan kepada
ahli yang lainnya, jika seandainya ia tidak dapat
membantu masalah saya.
101. Menurut saya guru pembimbing sangat menaruh
perhatian pada permasalahan yang sedang saya alami.
102. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing terlihat sangat terpaksa.
103. Saya merasa nyaman ketika mengikuti konseling
karena guru pembimbing sangat ramah.
104. Menurut saya konselor tidak bersungguh-sungguh
dalam membantu pemecahan masalah saya.
105. Menurut saya guru pembimbing tulus memberikan
konseling kepada saya.
106. Selama proses konseling, rasa ingin tahu guru
pembimbing terhadap permasalahan saya sangat kecil.
No. Pernyataan SS S TS STS
107. Guru pembimbing sangat ulet ketika membantu
pemecahan bagi masalah saya.
108. Saya merasakan kalau guru pembimbing kurang
berminat membantu pemecahan masalah saya.
109. Guru pembimbing juga sangat teliti dalam membantu
pemecahan saya.
110. Selama mengikuti konseling saya merasa nyaman
karena guru pembimbing kalem dan tenang.
111. Ketika proses konseling, guru pembimbing sering
marah-marah.
112. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikapnya yang rendah hati.
113. Saya merasa jemu konselor tidak bisa membuat proses
konseling lebih kreatif/tidak monoton.
114. Guru pembimbing sangat sabar selama membantu saya
menyelesaikan masalah.
115. Penampilan guru pembimbing yang kurang rapi dan
bersih membuat saya merasa tidak nyaman ketika
mengikuti konseling.

116. Saya sangat senang mengikuti konseling karena guru


pembimbing humoris sehingga suasananya tidak

cliv
menegangkan.

117. Guru pembimbing tidak nyambung dengan


permasalahan yang saya ceritakan.

No. Pernyataan SS S TS STS


118. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing mempunyai kecerdasan yang baik,
sehingga proses konseling berjalan dengan lancar.
119. Selama proses konseling, guru pembimbing mudah
terbawa/tenggelam dengan perasaan dan masalah saya.
120. Selama proses konseling, guru pembimbing memegang
kuat etika/norma yang ada.
121. Menurut pandangan saya, guru pembimbing tidak
memiliki wawasan yang cukup luas ketika memberikan
konseling kepada saya, sehingga konseling berjalan
tidak lancar.
122. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikap yang sederhana.
123. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing terjalin sangat dingin dan kaku.
124. Selama proses konseling, guru pembimbing adalah
figur ibu yang baik bagi saya.
125. Menurut saya, guru pembimbing turut merasakan
(empati) permasalahan yang sedang saya alami.
126. Guru pembimbing cuek dengan permasalahan yang
sedang alami.
127. Guru pembimbing sangat peduli dengan permasalahan
yang sedang alami.
128. Saya merasa guru pembimbing tidak bisa menghargai
dan mengerti saya.

No. Pernyataan SS S TS STS


129. Selama proses konseling, guru pembimbing sangat
peka (sensitif) dengan perilaku dan keinginan saya.
130. Guru pembimbing tidak menghormati saya.
131. Guru pembimbing memberikan tanggapan yang positif
terhadap apa yang saya kemukakan.

clv
132. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyalahkan saya.
133. Guru pembimbing juga memberikan tanggapan-
tanggapan yang sesuai dengan masalah/ungkapan yang
saya sampaikan
134. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyudutkan saya.
135. Selama proses konseling, pertanyaan guru pembimbing
sangat relevan/sesuai dengan permasalahan saya.
136. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya
selalu mengadili saya.
137. Selama proses konseling guru pembimbing sangat
menguatamakan kepentingan saya
138. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
toleransi terhadap pilihan saya pada alternatif
pemecahan masalah saya.
139. Selama proses konseling perilaku guru pembimbing
sangat kaku/tidak luwes.

clvi
Tabel Kisi-Kisi Instrumen
Keefektifan Konselor Dalam Melaksanakan Konseling Individual
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah
+ − + − Total
Keefektifan Konselor A. Keterampila a. Paham sifat-sifat 1,3 2 2 1 3
dalam melaksanakan n Konselor klien
Konseling Individual
b. Menilai situasi 4 - 1 - 1

c. Rapport 5 6 1 1 2

d. Proses konseling 7,9,11,13,15,17,19, 8,10,12,14,16,18, 7 9 16


a. Profesional 20,21,22
b. Siap fisik dan
psikis konselor
c. Tempat/
lingkungan
d. Paham waktu
e. Paham tujuan
f. Pendekatan
masalah
g. Pengungkapan
masalah
h. Diagnosa
i. Prognosa
j. Treatment
k. Evaluasi dan
tindak lanjut

e. Attending 23,25 24,26 2 2 4

f. Mengundang 27 28 1 1 2
pembicaraan terbuka

Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah


+ − + − Total

ii
g. Paraprase 29 - 1 - 1

h. Identifikasi perasaan 30 - 1 - 1

i. Refleksi perasaan 31 - 1 - 1

j. Konfrontasi 32 - 1 - 1

k. Meringkaskan 33 - 1 - 1

l. Menafsirkan 34 - 1 - 1

m. Penerimaan 35 - 1 - 1

n. Memberi ketenangan - 36 - 1 1

o. Memimpin secara - 37 - 1 1
umum

p. Mendengarkan 38 39 1 1 2

q. Mengarahkan 40 - 1 - 1

r. Memberi informasi 41 - 1 - 1

s. Menghayati pikiran, 42,44,46,47 43,45 4 2 6


perasaan dan cita-
cita klien

t. Menyimpulkan 48 - 1 - 1

Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah

iii
+ − + − Total
u. Memberi dorongan 49 - 1 - 1

v. menggunakan alat/ 50 - 1 - 1
teknik pengumpulan
data

w. Pemecahan masalah 51 52 1 1 2
dan pengambilan
keputusan

x. Menggunakan teknik 53,55 54,56 2 2 4


pengubahan tingkah
laku

y. Menggunakan 57,59 58,60 2 2 4


berbagai pendekatan
konseling

B. Kepribadian 1. Kepribadian matang 61,63,65,67,69,71,73 62,64,66,68,70, 7 8 15


Konselor dan penyesuaian diri 72,74,75
a. Mawas diri
b. Self control
c. Optimis
d. Tanggung jawab
e. Jujur
f. Apa adanya
g. Menyenangkan
h. Pengaruh positif
i. Terbuka
j. Fleksibel/
menyesuaikan

iv
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah
+ − + − Total
2. Pemahaman 76 77 1 1 2
terhadap orang lain
3. Mengadakan hub. 78,80,82 79,81,83 3 3 6
dan kerjasama
4. Batas kemampuan 84,86 85,87 2 2 4
5. Perhatian dan minat 88,90,92,94,96 89,91,93,95 5 4 9
pada masalah klien
6. Kedewsaan pribadi, 97,99,101,103,105, 98,100,102,104, 8 6 14
mental, sosial, dan 107,109,110 106,108
fisik
a. Kalem/tenang
b. Rendah hati
c. Sabar
d. Humoris
e. Cerdas
f. Kuat etika
g. Wawasan luas
h. Sederhana
i. Hangat
j. Figur ibu
7. Peka terhadap 111 112 1 1 2
berbagai sikap dan
reaksi
8. Respek terhadap 113,115 114,116 2 2 4
orang lain
9. Kemampuan 117,119,121 118,120,122 4 2 6
komunikasi
10. Tidak 123 124,125 1 2 3
mementingkan diri
sendiri

v
J u m l a h 74 51 125

Tabel Identitas Klien Yang Dibimbing


No. Nama Klien Jenis Kelas: Jumlah pertemuan Jenis Prosedur konsultasi:
Kelamin: I/II/III (IPA, IPS, dalam penanganan masalah yang Datang sendiri,/
L/P BAHASA) masalah untuk dikonsultasikan: Dipanggil Guru BK/
setiap klien: Pribadi/Sosial,/ Disuruh guru mata
2 kali/3 kali/4 kali Belajar/karier pelajaran dan wali
kelas
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

vi
Tabel Kisi-Kisi Instrumen
Keefektifan Konselor Dalam Melaksanakan Konseling Individual
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah
+ − + − Total

vii
Keefektifan Konselor A. Keterampila 1. Paham sifat-sifat 1,3 2,4 2 2 4
dalam melaksanakan n Konselor klien
Konseling Individual
2. Menilai situasi 5 - 1 - 1

3. Rapport 6 7 1 1 2

4. Proses konseling 8,10,12,14,16,18, 9,11,13,15,17,19, 13 12 25


a. Profesional 20,22,24,26,28, 21 23,25,27,29,31
b. Siap fisik dan 30,32,
psikis konselor
c. Tempat/
lingkungan
d. Paham waktu
e. Paham tujuan
f. Pendekatan
masalah
g. Pengungkapan
masalah
h. Diagnosa
i. Prognosa
j. Treatment
k. Evaluasi dan
tindak lanjut

5. Attending 33,35,37 34,36 3 2 5

6. Mengundang 38 39 1 1 2
pembicaraan terbuka
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah
+ − + − Total

viii
7. Paraprase 40 - 1 - 1

8. Identifikasi perasaan 41 - 1 - 1

9. Refleksi perasaan 42 - 1 - 1

10. Konfrontasi 43 - 1 - 1

11. Meringkaskan 44 - 1 - 1

12. Menafsirkan 45 - 1 - 1

13. Penerimaan 46 - 1 - 1

14. Memberi ketenangan - 47 - 1 1

15. Memimpin secara - 48 - 1 1


umum

16. Mendengarkan 49 50 1 1 2

17. Mengarahkan 51 - 1 - 1

18. Memberi informasi 52 - 1 - 1

19. Menghayati pikiran, 53,55,57,59 54,56,58 4 3 7


perasaan dan cita-
cita klien

20. Menyimpulkan 60 - 1 - 1

Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah

ix
+ − + − Total
21. Memberi dorongan 61 - 1 - 1

22. menggunakan alat/ 62 - 1 - 1


teknik pengumpulan
data

23. Pemecahan masalah 63 64 1 1 2


dan pengambilan
keputusan

24. Menggunakan teknik 65,67 66,68 2 2 4


pengubahan tingkah
laku

25. Menggunakan 69,71 70,72 2 2 4


berbagai pendekatan
konseling

B. Kepribadian 1. Kepribadian matang 73,75,77,79,81,83,85 74,76,78,80,82, 7 8 15


Konselor dan penyesuaian diri 84,86,87
a. Mawas diri
b. Self control
c. Optimis
d. Tanggung jawab
e. Jujur
f. Apa adanya
g. Menyenangkan
h. Pengaruh positif
i. Terbuka
j. Fleksibel/
menyesuaikan

x
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah
+ − + − Total
2. Pemahaman 88 89 1 1 2
terhadap orang lain
3. Mengadakan hub. 90,92,94 91,93,95 3 3 6
dan kerjasama
4. Batas kemampuan 96,98,100 97,99 3 2 5
5. Perhatian dan minat 101,103,105,107,109 102,104,106,108 5 4 9
pada masalah klien
6. Kedewsaan pribadi, 110,112,114,116,118, 111,113,115,117, 8 7 15
mental, sosial, dan 120,122,124 119,121,123
fisik
a. Kalem/tenang
b. Rendah hati
c. Sabar
d. Humoris
e. Cerdas
f. Kuat etika
g. Wawasan luas
h. Sederhana
i. Hangat
j. Figur ibu
7. Peka terhadap 125 126 1 1 2
berbagai sikap dan
reaksi
8. Respek terhadap 127,129 128,130 2 2 4
orang lain
9. Kemampuan 131,133,135 132,134,136 3 3 6
komunikasi
10. Tidak 137 138,139 1 2 3
mementingkan diri
sendiri

xi
J u m l a h 77 62 139

xii

You might also like