You are on page 1of 15

c c

   

 c 

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan AIDS. HIV
ini merusak sistem kekebalan tubuh manusia karena merusak sel darah putih (sel T/ T
Helper/ sel CD4). HIV terdapat dalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi
seperti di dalam darah, sperma atau cairan vagina. Sedangkan Aids (Acquired
Immunodefiency Syndrome) sendiri adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh Virus
HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi rawan terhadap
serangan penyakit.
Orang Dengan HIV/AIDS atau disingkat ODHA adalah istilah yang digunakan bagi
penderita penyakit mematikan menular seksual HIV/AIDS. HIV/AIDS disebut penyakit
menular seksual disebabkan penularan awal dan yang paling banyak memang
diakibatkan dari aktivitas tersebut. Kegiatan prostitusilah yang menumbuh suburkan
penyebaran penyakit ini. Sedangkan istilah mematikan, disebabkan oleh virus ini
menyerang sistem kekebalan tubuh yang akan membawa kematian pada pasien dan
sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Obat
yang tersedia saat ini hanyalah untuk memperkuat pertahanan tubuh ODHA, bukan
menyembuhkan Odha dari HIV/AIDS.
Odha menjadi bagian penting dalam upaya Penanggulangan HIV/AIDS karena
mereka adalah orang-orang yang hidupnya tersentuh dan terpengaruh secara langsung
oleh virus ini. Mereka adalah sumber pengertian yang paling tepat dan paling dalam
mengenai HIV/AIDS. Pengertian ini penting dimiliki oleh setiap orang, terutama oleh
mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan HIV/AIDS. Bagaimana bisa
merencanakan sesuatu mengenai HIV/AIDS tanpa lebih dulu mengerti dampak virus itu
pada manusia ?
Banyak yang tidak tepat dalam cara orang melihat peranan Odha. Odha diajak
berpartisipasi, tetapi tetap bukan sebagai bagian masyarakat. Odha cenderung dijadikan
obyek untuk memuaskan rasa ingin tahu. Odha dijadikan contoh-dalam konotasi negatif.
Odha dijadikan token (tanda partisipasi saja). Dengan merangkul Odha atau
mendatangkan Odha ke sebuah pertemuan, orang bisa kelihatan politically correct. Odha
dijadikan pemancing rasa iba. Yang menyedihkan juga, Odha dijadikan sebuah komoditi.
Terus terang saja, Odha memang menarik. Odha direndahkan tapi diminati karena ada
gunanya. Orang mencibir padanya, tetapi tetap berusaha mengintip.
Infeksi HIV (?   

 
 ) maupun status AIDS (Aquirred
Immunodeficiency  ) dapat menimbulkan dampak yang kompleks terhadap
aspek bio-psikososial seorang Odha (Orang yang hidup Dengan HIV/AIDS). Tidak
hanya akan mengalami gejala-gejala klinis berupa penyakit semata, tetapi juga berbagai
permasalahan psikis dan sosial.
Odha memiliki kehidupannya sendiri yang tentu saja tidak dapat dihentikan hanya
dengan alasan penyakit mematikan yang dideritanya. Apapun yang terjadi, ODHA tentu
tetap butuh berinteraksi sosial guna mematangkan kisi-kisi sosial kepribadiannya dalam
bermasyarakat. Akan tetapi interaksi Odha dengan yang lain tetap memerlukan ilmu baik
dari sisi medis maupun psikospirit agar interaksi yang berjalan tidak menjadi interaksi
yang negatif terutama bagi Odha sendiri.
Odha agar dapat berinterksi kembali di tengah-tengah kehidupan, kesehatannya
harus tetap dijaga, dan ini membutuhkan perhatian bagi orang-orang yang ada
disekitarnya. Adanya perhatian yang seksama dari orang-orang terdekat, sekitarnya,
sekaligus tenaga medis akan membantu munculnya motivasi dari Odha sendiri untuk
sembuh. Bagaimanapun juga mengetahui diri terinfeksi HIV/AIDS bukan hal yang
mudah. Kecemasan tentu membayangi. Akan tetapi dengan adanya orang-orang di
sekitarnya yang memahami penyakit sekaligus penanganannya menjadi tanda bagi Odha
bahwa masih banyak yang peduli.
Faktanya, stigma terhadap Odha telah menjadi sumber ketakutan bagi sebagian
masyarakat. Acapkali muncul berbagai perdebatan yang mempertentangkan antara
kepentingan masyarakat umum dengan Odha. Akibatnya, hak-hak Odha dalam
kehidupan sehari-hari sering terabaikan. Alasan yang sering digunakan adalah demi
menyelamatkan masyarakat, tetapi apabila dikaji kembali ternyata hanya karena
pemahaman yang salah dari mitos-mitos negatif tentang Odha. Seperti mitos bahwa
AIDS merupakan suatu penyakit yang sangat mematikan, berbahaya, belum dapat
disembuhkan, tidak ada obatnya, mudah menular dan tidak dapat dicegah. Dengan
adanya hal-hal di atas ini penulis mencoba meneliti bagaiman hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan sikap masyarakat terhadap Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA).
c
    
. Bagaiman Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA)
2. Bagaimana tanggapan dan sikap masyarakat terhadap Orang Dengan HIV /AIDS
(ODHA)?
3. Bagaimana kehidupan ODHA dalam masyarakat ?
4. Bagaimana peranan masyarakat dalam kehidupan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)?


    
. Untuk mengetahui bagaimana Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA)
2. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan dan sikap masyarakat terhadap Orang
Dengan HIV /AIDS (ODHA)
3. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan ODHA dalam masyarakat
4. Untuk mengetahui bagaimana peranan masyarakat dalam kehidupan Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA)
c c

c   

         

Pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia (Ham) merupakan unsure yang
paling penting di dalam mengatasi HIV / AIDS. Kita semua mengetahui perkembangan
HIV/ AIDS yang begitu cepat telah memperburuk keadaan yang pada gilirannya
membuka jalan bagi berbagai bentuk pelanggaran Ham yang menimpa orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) .
Menurut Miriam Maluwa, ada paling sedikit tiga jalan yang saling bertautan
dimana pemajuan dan perlindungan Ham mempunyai hubungan penting dengan HIV/
AIDS. Titik-titik taut itu adalah dampak, respon dan sifat mudah kena serangan
(3 

 ) ( Mariam Maluwa, HIV/AIDS and Human Rights: The Role of National
Human Rights Institutions in the Asia Pacific, Melbourne, Australia 200).
Pertama, dampak (
 ). Hal ini berhubungan dengan stigma yang dikenakan
pada HIV/AIDS dan diskriminasi. Sudah banyak dilaporkan para ODHA mengalami
diskriminasi hanya karena mereka diduga atau diketahui terkena HIV/AIDS. Para ODHA
itu diingkari haknya untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, pelayanan kesehatan,
serta hak mereka untuk menikah dan membentuk keluarga. Bahkan ODHA dibunuh
karena serum-positive status.
Pelanggaran Ham ODHA itu dengan sendirinya menambah dampak negatif wabah
tersebut. Warga masyarakat tidak hanya cemas mereka akan
terinfeksi mereka juga cemas akan kehilangan hak asasinya karena statusnya
sebagai pengidap HIV.
Kedua, Mudah kena serang (3 

 ). Dalam konteks ini penting untuk
dikemukakan disini, bahwa pemajuan dan perlindungan Ham adalah suatu jalan untuk
menjawab kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang membuat manusia mudah
diserang infeksi HIV. Sebagaimana kita ketahui bersama kelompok perempuan, anak-
anak, kelompok guy, pekerja sek, pengguna obat, pengungsi dan migrant, narapidana
lebih mudah terkena HIV. Hal itu disebabkan mereka tidak dapat mengaktualisasikan
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka. Misalnya, dalam kasus
dimana kaum perempuan dipaksa untuk melakukan hubungan sex yang tidak mereka
inginkan, atau orang-orang yang diprosekusi karena orientasi seksual mereka, atau
dimana anak-anak tidak dapat mewujudkan haknya untuk memperoleh pendidikan dan
informasi. Kasus-kasus seperti itu menghalangi program pencegahan dan perawatan
HIV.
Ketiga, Tanggapan (÷). Itu berarti pemajuan dan perlindungan Ham
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi kebijakan nasional dalam menjawab
HIV/ AIDS. Kebebasan berbicara, berekspresi, berorganisasi dan hak atas informasi dan
edukasi merupakan faktor yang esensial bagi efektifitas program pencegahan dan
perawatan HIV/ AIDS.
Uraian di atas menunjukkan dengan sangat jelas saling ketertautan antara pemajuan
dan perlindungan Ham dengan efektifitas pencegahan dan perawatan ODHA. Oleh
karena itu program perlindungan Ham ODHA sudah seyogyanya menjadi prioritas
kegiatan advokasi organisasi Ham baik pada for a nasional dan internasional. Sumber
hukum yang mendasari perlinduungan Ham ODHA dapat dirujuk pada berbagai
Kovenan Internasional Ham, seperti, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskrikminasi terhadap Perempuan, Kovenan
Internasional Menentang Penyiksaan, Kovenan Internasional Hak-Hak Anak, Kovenan
Internasional Menentang Diskriminasi Rasial, serta hukum nasional Indonesia seperti,
UUD l945, UU Ham, UU Pengadilan Ham, dan berbagai UU sektoral yang menyentuh
hak-hak masyarakat.
Oleh karena diskriminasi terhadap ODHA menjadi sumber dari segala bentuk
kesewenangan dan kekerasan yang di alami ODHA, saya perlu mengutip disini
pengertian diskriminasi yang dianut oleh UU HAM sebagai berikut :
³Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.´
Konsepsi diskriminasi tersebut di atas jauh lebih luas dari konsepsi diskriminasi
yang dianut oleh Kovenan Interrnasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan
Internasional Menentang Diskriminasi Rasial, dan Kovenan Internasional Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Diskriminasi terhadap ODHA
merupakan diskriminasi terhadap kelompok yang tidak dibenarkan oleh UU Ham.
Berkenaan dengan pemajuan dan perlindungan Ham, termasuk tentunya ODHA kita
perlu mengenali asas-asas dasar UU Ham sebagai berikut :
Pertama, Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dankebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan
tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta
keadilan. (pasal 2)
Kedua, Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang
sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
(Pasal 3)
Ketiga, Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan didepan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun (Y
. (Pasal 4).
Keempat, Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat
kemanusiaannya di depan hukum. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan
perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.Setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususaannya. (pasal 5).
Kelima, Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat dan pemerintah. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas
tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. (Pasal 6).
Keenam, Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional
dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh
hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah
diterima negara Republik Indonesia. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima
negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum
nasional. (Pasal 7).
Ketujuh, Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
terutama menjadi tanggungjawab Pemerintah. (Pasal 8).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dari berbagai negara
didesak untuk mengambil peran aktif dalam menangani kasus-kasus pelangaran ham
ODHA. Dalam pertemuan internasional Komnas-Komnas HAM dari berbagai negara di
Jenewa tahun 200, Direktur Eksekutif UNAID mengidentifikasi lima wilayah praktis di
mana Komnas-Komnas HAM dapat memperkuat kerja mereka berkenaan dengan
HIV/AIDS, sebagai berikut:
. Melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran Ham yang terjadi dalam
konteks HIV/AIDS;
2. Melakukan penyelidikan umum yang dipusatkan pada pelanggaran Ham yang
berkaitan dengan HIV/AIDS;
3. Menerima dan di mana memadai menanggapi pengaduan pelanggaran Ham yang
berkaitan dengan HIV/AIDS;
4. Menyediakan nasihat dan bantuan kepada pemerintah berkenaan dengan masalah
Ham dan HIV/AIDS;
5. Melakukan pendidikan Ham dalam konteks HIV/AIDS.

KOMNAS-HAM Indonesia berdasarkan UU No. 39 Tahun l999 tentang HAM,


mempunyai kompetensi untuk menjalankan fungsi-fungsi pemantauan, mediasi,
penyuluhan dan pengkajian di bidang Ham. Lima wilayah yang didentifikasi tersebut
tentu dapat dilakukan oleh Komnas-Ham Indonesia, dalam hal ini Sub-Komisi
Perlindungan Kelompok Masyarakat khusus, termasuk namun tidak terbatas masyarakat
ODHA.

B.      



Orang Dengan HIV/AIDS atau disingkat ODHA adalah istilah yang digunakan bagi
penderita penyakit mematikan menular seksual HIV/AIDS. HIV/AIDS disebut penyakit
menular seksual disebabkan penularan awal dan yang paling banyak memang
diakibatkan dari aktivitas tersebut. Kegiatan prostitusilah yang menumbuh suburkan
penyebaran penyakit ini. Sedangkan istilah mematikan, disebabkan oleh virus ini
menyerang sistem kekebalan tubuh yang akan membawa kematian pada pasien dan
sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Obat
yang tersedia saat ini hanyalah untuk memperkuat pertahanan tubuh ODHA, bukan
menyembuhkan Odha dari HIV/AIDS.
Odha menjadi bagian penting dalam upaya Penanggulangan HIV/AIDS karena
mereka adalah orang-orang yang hidupnya tersentuh dan terpengaruh secara langsung
oleh virus ini. Mereka adalah sumber pengertian yang paling tepat dan paling dalam
mengenai HIV/AIDS. Pengertian ini penting dimiliki oleh setiap orang, terutama oleh
mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan HIV/AIDS. Bagaimana bisa
merencanakan sesuatu mengenai HIV/AIDS tanpa lebih dulu mengerti dampak virus itu
pada manusia ?
Banyak yang tidak tepat dalam cara orang melihat peranan Odha. Odha diajak
berpartisipasi, tetapi tetap bukan sebagai bagian masyarakat. Odha cenderung dijadikan
obyek untuk memuaskan rasa ingin tahu. Odha dijadikan contoh-dalam konotasi negatif.
Odha dijadikan token (tanda partisipasi saja). Dengan merangkul Odha atau
mendatangkan Odha ke sebuah pertemuan, orang bisa kelihatan politically correct. Odha
dijadikan pemancing rasa iba. Yang menyedihkan juga, Odha dijadikan sebuah komoditi.
Terus terang saja, Odha memang menarik. Odha direndahkan tapi diminati karena ada
gunanya. Orang mencibir padanya, tetapi tetap berusaha mengintip.
Infeksi HIV (?   

 
 ) maupun status AIDS (Aquirred
Immunodeficiency  ) dapat menimbulkan dampak yang kompleks terhadap
aspek bio-psikososial seorang Odha (Orang yang hidup Dengan HIV/AIDS). Tidak
hanya akan mengalami gejala-gejala klinis berupa penyakit semata, tetapi juga berbagai
permasalahan psikis dan sosial.
Odha memiliki kehidupannya sendiri yang tentu saja tidak dapat dihentikan hanya
dengan alasan penyakit mematikan yang dideritanya. Apapun yang terjadi, ODHA tentu
tetap butuh berinteraksi sosial guna mematangkan kisi-kisi sosial kepribadiannya dalam
bermasyarakat. Akan tetapi interaksi Odha dengan yang lain tetap memerlukan ilmu baik
dari sisi medis maupun psikospirit agar interaksi yang berjalan tidak menjadi interaksi
yang negatif terutama bagi Odha sendiri.
Odha agar dapat berinterksi kembali di tengah-tengah kehidupan, kesehatannya
harus tetap dijaga, dan ini membutuhkan perhatian bagi orang-orang yang ada
disekitarnya. Adanya perhatian yang seksama dari orang-orang terdekat, sekitarnya,
sekaligus tenaga medis akan membantu munculnya motivasi dari Odha sendiri untuk
sembuh. Bagaimanapun juga mengetahui diri terinfeksi HIV/AIDS bukan hal yang
mudah. Kecemasan tentu membayangi. Akan tetapi dengan adanya orang-orang di
sekitarnya yang memahami penyakit sekaligus penanganannya menjadi tanda bagi Odha
bahwa masih banyak yang peduli.
Faktanya, stigma terhadap Odha telah menjadi sumber ketakutan bagi sebagian
masyarakat. Acapkali muncul berbagai perdebatan yang mempertentangkan antara
kepentingan masyarakat umum dengan Odha. Akibatnya, hak-hak Odha dalam
kehidupan sehari-hari sering terabaikan. Alasan yang sering digunakan adalah demi
menyelamatkan masyarakat, tetapi apabila dikaji kembali ternyata hanya karena
pemahaman yang salah dari mitos-mitos negatif tentang Odha. Seperti mitos bahwa
AIDS merupakan suatu penyakit yang sangat mematikan, berbahaya, belum dapat
disembuhkan, tidak ada obatnya, mudah menular dan tidak dapat dicegah. Dengan
adanya hal-hal di atas ini penulis mencoba meneliti bagaiman hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan sikap masyarakat terhadap Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA).


 c       
Terkait dengan upaya pemberdayaan Odha, secara umum kegiatan yang dilakukan
oleh LSM antara lain ;
. KIE/Kampanye ( poster, stiker, talkshow, media massa, dsb ),
2. Konseling,
3. Advokasi,
4. Pelatihan,
5. Diskusi rutin,
6. Klinik,
7. Penelitian,
8. Sanggar kerja, dsb.
Oleh LSM, kegiatan tersebut diatas dimaksudkan untuk membela orang atau golongan
yang powerless²orang/golongan yang tidak berdaya. Namun jika kita mau introspeksi
diri ( lembaga ) : Apakah dalam proses upaya pemberdayaan, kita sebenarnya sekaligus
juga turut melakukan ³hegemoni´ terhadap kelompok dampingan ?
Pada dasarnya seluruh upaya dukungan LSM dan pemerhati AIDS lain tertuju pada
pemulihan persepsi keliru masyarakat terhadap Odha yang bermuara pada diterimanya
mereka hidup secara wajar. Menerima Odha adalah menerima diri sendiri dengan segenap
persoalan struktural. Prinsip perjuangan tersebut terkadang terasa hilang akibat
obyektivikasi-komodivikasi yang berlebihan terhadap epidemi dan sosok Odha, baik yang
dilakukan oleh sebagian kalangan aktivis LSM maupun terutama sekali adalah pelaku
media.
LSM sebagai institusi yang melakukan advokasi untuk kelompok dampingannya,
sudah semestinya bertindak apabila media sebagai penyebar informasi dapat menghambat
proses pemberdayaan. Namun sangat jarang LSM menampilkan sosok Odha sebagai
tokoh pemerhati masalah sosial. Odha hanya boleh tampil sebagai sosok yang rapuh
dengan segudang persoalan medis dan sosial. Kalau tidak dikutuk, ya dikasihani. Kalau
tidak sakit, ya disakiti. Biasanya oleh orang LSM Peduli AIDS Odha bukannya dijadikan
partner tapi lebih disikapi sebagai binaan. Jangan heran jika kemudian muncul istilah
µmanager¶ Odha. LSM yang satu dengan yang lain cenderung bersaing memberdayakan
Odha. Kepedulian orang LSM terkadang identik dengan cat altruisme. Sementara media
salah menggambarkan sosok Odha. Odha dianggap makhluk yang pesimis terhadap
kehidupan, sehingga tercipta persepsi publik bahwa menemani hidup Odha adalah
pekerjaan sia-sia.
Fakta obyektif publik yang belum bersedia menerima sepenuh hati keberadaan Odha
dalam kehidupan mereka telah melemahkan posisi tawar Odha terhadap Institusi
pelayanan sosial yang dikelola negara. Masih banyak rumah sakit yang menolak pasien
HIV positif. Tes HIV dilakukan secara paksa tanpa konseling dan informed consent.
Pasien HIV diping-pong oleh dokter dan spesialis, serta perawat memberi informasi
keliru sehingga Odha didiskriminasi keluarganya.
Selain dirumah sakit, kenyataan serupa juga ditemui di institusi pelayanan medis lain.
Rasanya sehebat dan seenak apapun kehidupan Odha didalam lingkungan yang dibangun
secara mekanistik oleh LSM, akan tetap ³lebih nyaman´ bagi mereka, jika hidup
dilingkungan masyarakat yang sebenarnya. Hanya disanalah mereka akan menerima
ketulusan dalam arti yang sesungguhnya. Menurut hemat penulis, sudah seharusnya setiap
Odha dengan hati terbuka bangkit berbicara kepada dunia karena kesediaan menerima
sosok Odha sebagai manusia biasa, menjadi isu kampanye paling mutakhir guna
mengakhiri perilaku diskriminatif publik. Penolakan masyarakat terhadap Odha
sesungguhnya bukan sikap permanen yang muncul dari lubuk hati mereka, tetapi output
dari rekayasa sosial media atau kultur tertentu yang bertumbuh secara reaktif.
Pemecahan persoalan krusial penyebaran HIV, tidak bisa dilakukan dengan
menempatkan
eksternal Odha sebagai penyelamat dan Odha sebagai korban semata. Sejak 986 (di
Indonesia) Odha ditempatkan sebagai ³korban´ yang didislokasi secara aktif dan
diobyekkan sebagai bahan berita oleh media atau studi kasus penelitian LSM. Karena
tiadanya kesempatan yang aman untuk tampil ke publik, Odha berada dalam kurungan
aktor sosial yang sama-sama bermotif ³kapitalis. Dalam struktur kuasa sosial yang tidak
imbang itu, ketika Odha hanya diberi kesempatan tampil secara simbolis, segala upaya
penanggulangan masalah HIV sebetulnya berhenti sebagai aksi kosmetik semata, untuk
menjaring simpati politik dan dana internasional.
Karena ditempatkan sebagai korban dan pusat masalah, Odha secara psikologis
merasa tidak nyaman. Ditengah suasana itu, merekapun tidak diberi kesempatan bersuara
untuk turut menjadi bagian dari solusi. Program dukungan semestinya adalah melibatkan
Odha, memberi kesempatan mereka menyelesaikan sendiri persoalan privatnya,
mengajukan tuntutannya, dan memberi akses suara yang lebih memadai.
Suara mereka selama ini jarang muncul di media terutama suara yang bersumber dari
persoalan faktual empiris, bukan realitas psikologis yang sudah dikonstruksi sedemikian
rupa oleh media, sehingga membuat mereka terpasung.
Penyikapan terhadap Odha sebagai cermin kesediaan hidup bersama dimulai sejak
proses pendampingan di rumah sakit, bantuan pengobatan secara massal, dll. Model
penyikapan yang identik dengan program LSM itu, harus mewujudkan sikap murni
masyarakat tanpa berdasarkan dorongan eksternal apapun. Dalam proses upaya
pemberdayaan, ternyata ada sejumlah tantangan yang dapat menghambat upaya tersebut,
antara lain :
     
Tantangan internal yang dimaksud dapat dilihat melalui proses hegemoni dalam suatu
institusi, baik formal maupun informal. Hegemoni itu bisa saja dilakukan oleh Odha
sendiri terhadap anggota kelompok persahabatannya, sebagaimana yang terjadi
dikebanyakan kelompok dukungan yang tidak jelas dinamika kegiatannya, dalam artian
dinamika kegiatannya tidak diatur dalam AD/ART, sehingga hak dan kewajiban
pengurus, anggota dan relawannya menjadi kacau serta banyak melahirkan berbagai
ketegangan serta konflik kepentingan.
Dalam lingkup ini, proses hegemoni merupakan upaya menciptakan kepatuhan
dengan cara pihak yang dikuasai harus mempunyai dan menginternalisasikan nilai-nilai
dan norma yang
menguasai, serta juga harus memberi persetujuan terhadap subordinasinya. Kelompok
dampingan yang dalam struktur sosialnya sebagai powerless, bisa saja memperoleh
supremasi melalui dominasi atau paksaan serta kepemimpinan intelektual dan moral,
yang menurut Gramsci disebut hegemoni. Ada tiga ciri hegemoni yang dilakukan oleh
µoknum¶ LSM (baik Odha maupun non Odha) dalam proses upaya pemberdayaan;
. Devaluation : penurunan derajat/martabat/ gradasi seseorang. Sebagai contoh, IDUµs
yang oleh masyarakat sering dianggap sampah masyarakat (junkies).
2. Marginalisasi : proses peminggiran. Pada kasus IDUs yang oleh masyarakat dianggap
sampah, sebenarnya dia juga dipinggirkan akibat stigma yang diterimanya, sehingga
dia akan terus menyandang gelar IDUs dan sulit untuk berinteraksi dengan aktivis
LSM tertentu.
3. Silencing : pembungkaman. Orang yang seharusnya bersuara menjadi tidak bersuara
alias dibungkam. Contoh kasus: Odha, dalam struktur sosial masuk ke dalam
kelompok powerless, harus diberdayakan. Namun pada kasus tertentu yang
sebenarnya dia mampu bersuara, tetapi dia tidak boleh bersuara alias dibungkam.
4. Hegemoni dapat terjadi tanpa disadari oleh yang melakukan dan yang diperlakukan.
Dalam proses hegemoni, akhirnya mampu menggiring kebenaran orang yang
melakukan hegemoni menjadi sebuah pembenaran (common sense).

Sehingga tidak bisa dipungkiri dalam upaya pemberdayaan yang dilakukan LSM,
masih perlu dilihat kembali apakah upaya yang dilakukan selama ini termasuk melakukan
hegemoni terhadap kelompok dampingannya ataukah tidak?
c c
 

  
Ada beberapa beberapa factor penyebab ODHA terinfeksi yaitu melalui melalui
anus, teransfusi darah, penggunaan bersama jarum terkontaminasi melalui injeksi
obatdan dalam masa perawatan kesehatan, dan antara ibu dan bayinya selama masa
hamil, kelahiran dan masa menyusui. Perilaku ODHA awalnya terjadi kecendrungan
untuk menutup diri dari lingkungan baik keluarga, teman dan masyarakat. Para ODHA
sering diasingkan, mendapatkan pandangan sinis dan menghindar jika bertemu bahkan
dengan pihak keluarga. Respon ODHA terhadap reasi sosial dari masyarakat adalah
ODHA merasa tertekan, rendah diri dan menyendiri, namun pada akhirnya ODha dapat
kembali ketengah masyarakat. Strategi yang digunakan ODHA dalam menghadapi
masyarakat dengan mensosialisasikan HIV/AIDS mengenai cara penularanya dan
bahayanya, hal ini dilakukan agar ODHA dapat diterima lingkungan.

c
  
Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak-pihak terkait harus lebih
berusaha lagi dalam mensosialisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan HIV/AIDS.
Agar dapat meminimalkan pendiskriminasian ODHA dalam masyarakat. Tetapi tujuan
tersebut tidak akan terwujud jika tidak dibarengi dengan peran serta pihak ODHA
sendiri.
   

Oktaviarni, Vivi . 
 
?
3 
 

 
 
  

Faraj . 2005.    . Majalah Sahabat Senandika,
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha Edisi 35 Oktober 2005 hal 3;
Bandung

Nusantara, Abdul Hakim G. 2005. 


  ? 
   ?
3 
  ;
Jakarta

Widiyanto ,Wahyu . 2009. 


!
 
?
3 
 . Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta; Surakarta

Mahardini , Fina .2009. ?    


   "  
 
    
 !
 ?
3 
 
 ÷  
  # ÷   "

 $Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta ; Surakarta

Masudin. Arie Sudjito. Mubasysyir Hasanbasri. 2008. !


   ? 

!!
%   ? & Kendari Propinsi
Sulawesi Tenggara

Purwaningtias, Andris. Yanri Wijayanti Subronto. Mubasysyir Hasanbasri. 2007.
YY? ÷% ÷$÷'!÷. Universitas Gajah
Mada ; Jakarta


      












Oleh :

ANDI MURNI AP

K08302

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

200

You might also like