You are on page 1of 33

1

Peter Kasenda

Peran Tentara dan Konsolidasi Demokrasi

Prinsip kita adalah bahwa partailah


yang harus memerintah senapan,dan
senapan tidak akan pernah boleh me
merintah partai

Mao Tse-Tung

Penyataan Ketua Mao , menjelaskan bagaimana seharusnya posisi militer dalam struktur
pemerintahan negara . Seperti dinegara-negara lain yang menjunjung tinggi supremasi
sipil , posisi militer diletakkan dibawah komando-komando pemerintah sipil . Fungsi
militer tidak lebih dari sekedar penjaga keamanan dan pertahanan negara .( Editorial
Diponogoro 74, 2004 )

Namun kebanyakan negara-negara dunia ketiga , militer justru muncul kedalam


pemerintah pretorian tipe penguasa . Dalam terminologi politik yang yang digunakan
oleh Eric Nordlinger , tipe penguasa membuat militer berkuasa penuh dan mendominasi
pemerintahan 1.Mereka melakukan perubahan mendasar kebijakan serta distribusi
kekuasaan yang berbeda dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sipil; Dengan
kata lain , terjadi supremasi militer atas sipil dalam pemerintahan .

Mengenai keterlibatan militer dalam politik , Harlod Crouch menjelaskan ada faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhinya . Faktor-fakltor internal adalah nilai-nilai
dan sikap para perwira militer yang mempengaruhi orientasi mereka terhadap politik
serta kepentingan material dari para pejabat militer . Faktor-faktor eksternal adalah

1
Ada tiga jenis Pretorian . Pertama , Pretorian moderators memiliki hak veto sejumlah keputusan
pemerintah ; Kedua , Pretorian guardian mengambil-alih kekuasaan pemerintah , namun semata-mata untuk
mengatasi sesuatu krisis dan karenanya hanya untuk selama suatu jangka waktu tertentu dan Ketiga,
Pretorian rulers yang memegang kekuasaan yang luar biasa didalam negaranya . :Lihat Eric Nordlinger,.
Militer dan Politik . Jakarta : Rineka Cipta , hlm. 33 – 45 .
2

kondisi-kondisi sosio-ekonomis , situasi-situasi politik dan faktor-faktor internasional .


( Singh , 1996 : 7 – 13 )

Nilai-nilai dan orientasi militer sebagian adalah hasil dari sejarah pengalaman yang
dmiliki para anggota militer . Tradisi dan seperangkat nilai dibentuk dari sejarah
kelahiran militer tersebut , yang didalamnya para perwira militer pendahulu dan
penerusnya cenderung untuk mematuhi dan melestarikannya . Untuk memperoleh
keabsahannya di masyarakat , nilai-nilai dan orientasi militer ini juga dipublikasikan
kepada masyarakat luas , melalui media massa. Kepentingan-kepentingan material
militer adalah Pertama , militer dalam memperjuangkan kepentingan kelompok dan
organisasi , hak untuk memperoleh fasilitas-fasilitas militer maupun untuk memberikan
gaji yang layak kepada anggotanya . Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi ,
maka ada kecenderungan militer yang lebih besar untuk melakukan intervensi dalam
politik: Kedua , korps militer adalah representasi kelas menengah perkotaan dan apabila
kebutuhan-kebutuhan kelas menengah gagal dipenuhi, maka kelompok perwira militer
diduga akan melakukan tekanan-tekanan atau menjatuhkan pemerintah ; Ketiga ; para
pemimpin puncak militer dengan menempatkan mereka didalam kontrol jaringan
patronase-pemerintah .

Dari kondisi sosial-ekonomi , pada umumnya fenomena campur tangan militer dalam
politik tidak terjadi di negara-negara yang secara politik , ekonomi , dan sosial telah maju
dibandingkan di beberapa negara berkembang . Di negara-negara yang telah maju ,
militer berada di bawah supremasi sipil . Sistem politik yang telah mapan , pendapatan
perkapita yang cukup tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang
sangat tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya invensi militer .

Dari segi kondisi politik, ketidakmampuan otoritas sipil untuk memerintah secara efektif
menjadi faktor penting penyebab efektif menjadi militer terjun ke politik . Bahwa
perwira-perwira militer yang berorientasi dan berambisi dalam politik akan melakukan
intervensi jika otoritas sipil gagal menjaga stabilitas politik dan menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang memuaskan kegagalan ini akan mengurangi keabsahannuya
dan melakukan intervensinya .

Dari segi faktor internasional , keterlibatan militer dalam politik terkait dengan masalah
adanya intervensi asing dan integrasi ekonomi negara berkembang dengan ekonomi
internasional . Pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat tanpa bisa dibarengi pendapatan
yang merata, bisa meningkatkan kemarahan massa terhadap dominasi ekonomi asing ,
dan akhirnya kemarahan terhadap pemerintah sipil yang memilih kebijakan ekonomi
tersebut . Keadaan demikian dapat mendorong militer untuk melakukan intervensi .

Harlod Crouch membagi empat kategori besar pengaruhi militer di negara-negara Asia
Tenggara . Pertama, Indonesia dan Birma , di mana para perwira militer jelas dominan,
Kedua , Thailand dan Filipina , di mana militer merupakan kekuasaan politik utama,
tetapi mengontrol pemerintah secara tidak langsung . Di negara-negara ini , meskipun
peran sipil tidak mempunyai pilihan kecuali menanggapi kepentingan piohak militer .
3

Di Indonesia , struktur sosial yang menfasilitasi kemampuan rezim militer yang stabil
memberi peluang bagi munculnya ikatan-ikatan bisnis yang terbuka antara pegawai
pemerintah dan pengusaha perorangan . Ketiadaan kelas pengusaha perorangan .
Ketiadaan kelas pengusaha yang kuat dan mandiri serta kelas memengah perkotaan yang
terdidik dengan kepentingan pada administrasi yang tidak berpihak, struktur sosial ini
sedikit memberikan kontrol pada kekuasaan militer yang mendominasi birokrasi . Para
perwira militer dan birokrat , setidaknya bebas menentukan peraturannya sendiri dengan
pengusaha Cina dan investor asing .

Sistem yang berlaku di Indonesia , kalau boleh menggunakan terminologi Richard


Robinson disebut Kapitalisme birokrat . Kapitalisme jenis ini tidak menghasilkan borjuis
pribumi yang mandiri , tetapi hanya merupakan sasaran untuk menopang negara birokrat
militer dan memberi pemegang kekuasaan negara itu patronase untuk mereka sendiri ,
keluarga mereka, faksi-faksi politik , sumber mereka memperoleh kekuasaan .

Konflik antar jendral tidak mengenai pribadi-pribadi dan kebijakan-kebijakan , melainkan


lebih merupakan pertarungan untuk mengontrol apanage mewah seperti Pertamina, Bulog
, Perhutani serta departemen-departemen pemerintah yang strtaegis seperti departemen
perdagangan , dinas bea dan cukai , serta Badan Koordinasi Penanaman Modal .

Dominasi militer bukan saja karena tidak adanya kelas sosial yang mandiri , tetapi juga
merupakan akibat dari kegagalan eksprimen demokrasi liberal . Ada beberapa negara
dunia ketiga berusaha menegakkan sistem demokrasi yang didasarkan pada modal yang
ditinggalkan oleh kekuasaan kolonial , tetapi dengan sejumlah alasan , biasanya militer
berpartisipasi di dalamnya .

Terciptanya stabilitas politik sering dikaitkan dengan keterlibatan militer dalam politik .
Karena para perwira acapkali ditempatkan dengan politisi sipil yang korup . Beberapa
orang percaya latihan profesional memberikan para perwira etos yang berbeda dengan
para politisi sipil . Pengabdiannya terhadap kepentingan nasional menjadikan para
perwira relatif kebal dari korupsi , sementara mereka tidak memiliki cukup waktu untuk
berkoalisi , berbeda dengan politisi sipil yang lebih mementingkan diri sendiri serta
kompromis pada hal-hal yang tidak prinsipil . Para perwira militer secara tipikal tidak
tertarik pada perpecahan ideologi politik , perhatian utamanya adalah memperoleh apa
yang mereka kerjakan .

Dalam kenyataannya , pada sejumlah negara di mana militer tidak dominan , stabilitas
politik tetap bisa diciptakan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh beberapa negara Asia
sesungguhnya tidak semata-mata karena keterlibatan militer tetapi karena
perekonomiannya yang terbuka dan berkaitan erat dengan perekonomian dunia .
( Irwanto , 1999 : 51 – 54 )

Samuel Huntington menganalisa bahwa intervensi militer dalam politik adalah selalu
menyalahi kode etik keprofesionalnya , bahkan dikatakan sebagai tanda pembusukan
politik , sedangkan peran dan misi militer di luar professinya dikatakan sebagai
4

penurunan profesionalisme , padahal profesionalisme militer adalah faktor utama yang


menjauhkan militer dari campur tangan politik .

Menurutnya , profesionalisme memiliki tiga dimensi ; Pertama , keahlian . Seseorang


bisa dianggap memiliki keahlian bilamana memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam
bidang tertentu . Dimensi ini menunjuk pada tanggung jawab sosial seorang professional .
Dalam konteks ini profesionalisme militer berarti melindungi negara dan masyarakat .
Ketiga , korporasi . Dimensi ini menunjuk kepada kesadaran dan kelompok , atau
lembaga khusus dan terhormat yang mempunyai kompetensi professional berdasarkan
standard formal yang ditetapkan .

Mengutip pendapat Samuel Huntington , semakin tinggi keahlian seseorang tentara,,


semakin tinggi pada tingkat profesionalismenya , dan dengan demikian semakin lecil
keterlibatan mereka dalam politik . Perwira-perwira militer yang professional selalu siap
dalam melaksanakan kebijakan politik yang diputuskan oleh pemerintahan sipil yang
memiliki legitimasi politik . Namun , profesionalisme militer seringkali terganggu karena
adanya politisasi kekuatan politik yang melembaga dengan kuat , sehingga menimbulkan
instabilitas dan kekacauan politik.

Apa yang dikatakan Huntington mendapat kritikan dari Alfred Stephan . Ia mencatat ,
profesionalisme baru militer memiliki dua tugas yaitu penjaga keamanan nasional dan
pembangunan nasional . Oleh sebab itu militer harus peduli dengan masalah-masalah
politik dibandingkan hanya memusatkan perhatian pada ancamnan dari luar

Profesionalisme baru tidak dapat mengundurkan diri .dari perluasan fungsi mereka
kebidang politik . Namun demikian , kecenderungan eskpansi militer ke dalam kehidupan
politik sangat dipengaruhi oleh sistem politik itu sendiri . Semakin lemah legitimasi
pemerintah sipil , semakin besar kecenderungan militer dalam mengontrol pembangunan
nasional suatu negara . Begitu juga semakin kuat. Fragmentasi dalam pemerintahan sipil,
maka semakin besar peluang militer untuk melakukan intervensinya . ( Haramain , 2002 :
52 – 64 )

Fenomena penarik diri militer dari politik , menurut Ulf Sundhaussen , dapat dipahami
dengan memeriksa alasan-alasan dan prasyarat-prasyarat terjadinya pengunduran diri . Ia
menyatakan bahwa rangkaian dasar dari penarikan diri yang pertama berasal dari luar
militer . Pertama, kaum civilion counter – elites akan berkembang dan akan melawan
militer dalam posisi kepemimpinannya . Munculnya kaum elit semacam itu bisa
merupakan akibat perkembangan ekonomi dan politik yang berhasil karena
kepemimpinan militer , yang memberikan kelas menengah dan organisasi tenaga kerja ,
yang pada waktunya menuntut pembagian kekuasaan . Sebagai kemungkinan lain ,
kelompok-kelompok oposisi yang kritis akan terbentuk guna memprotes kegagalan rezim
itu akan melaksanakan kebijakan tertentu dan menuntut agar militer kembali ke barak
mereka .

Alasan kedua bersifat eksogen baik bagi maupun bagi negara . Disini rezim –rezim
militer akan jatuh akibat perang atau intervensi dari luar . Rezim-rezim militer yang tidak
5

terpuji seperti Idi Amin dan Bokassa ditumbangkan oleh kekuatan-kekuataan dari luar .
Juga , penarikan dukungan oleh sekutu-sekutunya tradisional dimana rezim militer
tergabung untuk kelangsungan hidupnya , mungkin akan mengakhiri eksistensi rezim-
rezim semacam itu , sebagaimana terjadi ketika Amerika Serikat menghendaki
bantuannya ke Nikaragua .

Alasan ketiga berasal dari militer sendiri dan terkait langsung dengan sikap para pejabat
baik untuk terus berkuasa atau menjadi warga sipil , Pertama , para pemimpin militer
mungkin percaya bahwa supremasi sipil atas militer adalah hal yang wajar dan karena itu
mereka bisa memutuskan untuk kembali ke barak . Kedua , kalau keterlibatan militer
dalam politik mempertinggi perbedaan politik dan ideologi di antara para anggota akan
bersenjata dan mengancam persatuan maupun kemampuannya untuk bertindak sebagai
kekuatan tempur, militer akan menyadari bahwa dirinya tidak akan mampu suatu negara
dan akan mengembalikan kekuasaan kepada orang-orang sipil .

Sementara itu, sejumlah prasyarat juga akan menentukan apakah militer siap untuk
mengakhiri keterlibatannya dalam politik . Pertama, perlunya konsensus nasional ,
pertama dan terutama , pihak militer sebagai suatu kelompok harus setuju untuk kembali
ke barak-barak . Jika tidak , sebuah faksi bisa merebut kekuasaan dari kepemimpinan
militer yang sungguh-sungguh bermaksud kembali ke barak . Kedua , militer hanya akan
meninggalkan politik jika tindakan itu dapat menyelamatkan berbagai kepentingannya .
Melalui kekebalan terhadap tuntutan dan penindasan , kepentingan-kepentingan korps
militer ditinjau kembali dari sudut alokasi anggaran , misalnya harus tidak terancam .
Ketiga , harus ada partai terorganisasi yang mampu menjalankan suatu pemerintahan
yang stabil dan siap menyelamatkan kepentingan militer ( Singh,1996 : 17 – 21 )

Studi tentang pengunduran diri militer dari politik bermunculan sekitar pertengahan
dekade 1980-an . Talukker Maniruzaman melakukan srudi empiris tentang perubahan
kepemimpinan politik dari tangan militer ketangan sipil alias kembalinya militer ke barak
di negara dunia ketiga sejak tahun 1946 hingga 1984 berdasarkan penelitian yang
mendalam dari tujuh puluh satu negara . tentara yang tidak profesional justru
mempertahankan supremasi militer dalam menjalankan roda pemerintahan .

Irak, Suriah dan Benin di mana tentara yang tidak professional memegang tampuk
kekuasaan hingga buku Militer Kembali Ke Barak disusun pada tahun 1984 , militer di
negara-negara tersebut pernah kembali ke barak .tetapi tidak betah berlama-lama .
Perebutan kekuasaan adalah sebab yang menjadi alasan tentara-tentara yang tidak
professional tersebut . Tidak adanya ideologi dan ketaatan ideologi yang mempersatukan
kekuasaan militer semakin mempertdalam tumbuh subur dan sipa melakukan kudeta satu
sama lain . Jika ada satu faksi yang melakukan intervensi itu untuk kepentingannya di
kemudian hari . Lingkaran kedua yang terus berkait .

Tidak ada cara yang manjur untuk memutuskan lingkaran tersebut bahkan oleh perwira
yang sadar akan akibatnya . Beberapa faksi militer yang berhasil melakukan kudeta
dinegara-negara tersebut, ada yang kemudian memutuskan kembali kebarak .
Kemunduran secara mendadak itu bukan karena ingin memperbesar kekuatan sipil tetapi
6

hanya taktik untuk menutup ruang bagi faksi lain didalam tubuh angkatan bersenjata
untuk membalas walau tidak menjamin . Meskipun dinyatakan secara resmi bahwa
militer sudah kembali ke barak , oleh suatu faksi yang berhasil melakukan kudeta , faksi
lain akan mencari jalan lain untuk melakukan kudeta dan mempertahankan hasilnya .

Angkatan bersenjata di Turki , Pakistan , Brazil dan Peru adalah kategori tentara
professional . Tetapi dalam kenyataannya sepanjang tahun 1946 – 1984 , militer
professional pun banyak melakukan intervensi . Argentina lima kali, Barzil lima kali ,
Pakistan tiga kali , Peru tiga kali dan Turki tiga kali . Setiap kali selesai melakukan
intervensi karena friksi ditingkat komando , keterlibatan tentara professional Pertama-
tama tergantiung dari pandangan panglima atau pemimpin militer yang berkuasa terhadap
politisi dan politik . Kedua , ditentukan oleh kepentingan yang mereka mainkan .

Mempertahakan militer tetap tinggal di barak adalah usaha yang lebih sulit ketimbang
mengembalikan mereka ke barak . Hal itu terutama terkait dengan besar atau kecilnya
kontrol masyarakat sipil terhadap preman berseragam tersebut . Semakin besar kekuasaan
sipil adalah kunci mengembalikan militer ke barak dalam jangka waktu panjang . Dalam
arti kongkrit , kekuasaan sipil juga harus diimbangi dengan munculnya pemimpin-
pemimpin yang berkualitas . Kepandaian dan kepemimpinan politisi-politisi sipil juga
berpengaruh besar dalam dalam menyadarkan rakyat untuk menentang militer .

Dari kasus Venezuela dan Kolombia seorang pemimpin sipil yang mampi menggiring
militernya kembali ke barak disebabkan, Pertama ia memiliki ketrampilan mengggalang
opini-opini publik untuk menentang rezim militer . Kedua , pemimpin sipil harus
mencapai konsensus minimum untuk membagi kekuasaan di antara mereka sendiri dan
memiliki garis besar rencana kebijakan sosial ekonomi yang akan dikerjakan dalam rezim
sipil dan Ketiga . ia harus punya pengalaman dan ketrampilan politik baik dalam
menjatuhkan rezim maupun menegakkan supermasi sipil .

Proses demiliterisasi juga tergantung dari tingkat pemahaman dan kesadaran politik perlu
masyarakat sipil . Sistem politik yang adil dan demokratis adalah alat yang manjur untuk
mengontrol senjata . Kita juga harus melihat formasi kelas-kelas yang menyusun
demokrasi sebuah masyarakat . Ada tidaknya , seberapa kuat atau seberapa lemah kelas
yang ada akan menentukan arah pembangunan sebuah demokrasi . Differensiasi kelas
yang tidak lengkap dan tidak adanya kelas ekonomi yang kuat , namun secara politik kuat
akan membawa kearah ketidakstabilan , akibatnya manifestasinya yang terpenting adalah
banyaknya jumlah kudeta militer di negara dunia ketiga . Stuktur sosial yang terpecah-
pecah adalah dasar bagi lembaga-lembaga tertentu dalam negara untuk melakukan
manuver sendiri dan akhirnya mendominasi masyarakat tersebut .

Secara implisit , pendapat itu melihat dibutuhkannya perubahan radikal untuk


membangun struktur sosial yang dapat menghindari kudeta dan intervensi yang besar dari
militer . Dari titik tersebut , Talukder Maniruzzaman bertolak untuk menganalisis
seberapa besarkah revolusi sosial yang dimaksudkan tersebut menghasilkan kekuatan
bagi sipil untuk menundukkan militer . Sebuah penundukkan ditandai dengan
terbangunnya kelas sosial hegemoni ditengah masyarakat . Revolusi sosial yang coba
7

dirangkum tidak sebatas revolusi sosial dari kelas proletariat tetapi juga mencakup kelas
borjuis . Implikasi teoritisnya bahwa revolusi sosial adalah pergantian satu kelas sosial
adalah pergantian satu kelas sosial oleh kelas sosial lainnya sebagai kelompok penguasa
atas seluruh masyarakat .

Terlepas , kelas sosial mana yang melakukan sebuah revolusi , minimal ada dua hal yang
membuat sebuah revolusi sosial dapat dikatakan berhasil dan mampu membuat militer
kembali ke barak . Pertama adalah kemampuannya untuk menghancurkan struktur sosial
dan rezim yang baru . Banyak di negara-negara dunia ketiga , revolusi sosial yang coba
untuk dilakukan tidak berhasil menempuh hal yang kedua .

Hubungan sipil-militer selalu berbicara tentang pembagian peran antara sipil dan militer
dalam penyelenggaraan negara . Lebih luas hubungan sipil-militer adalah hubungan
antara militer dan masyarakat , yang didalamnya berbicara tentang peranan militer di
hadapan masyarakat . Secara konvensional militer mengemban tugas negara mengelola
sarana kekerasaan untuk menciptakan law and order , keamanan dan ketertiban , serta
memberikan perlindungan pada warga negara . Elemen-elemen sipil ( yang terdiri dari
birokrasi sipil , partai politik , dan sektor bisnis ) mempunyai tugas mengelola proses
politik dan kebijakan , mengelola barang-barang publik , serta memberikan layanan
publik , untuk mencapai kesejahteraan masyarakat .

Masalahnya hubungan sipil-militer di suatu negara selalu mengalami pasang surut ,


adakalanya sehat dan adakanya menegangkan , bahkan buruk sekali . Hubungan ini
berlangsung terus-menerus tanpa henti dari masa ke masa . Oleh karena itu , hubungan
sipil militer menjadi permsalahan yang abadi , baik di negara maju maupun di negara
berkembang .

Para analisis politik yang sedang mengakaji hubungan sipil-militer sering tidak mencapai
kata sepakat mengenai kriteria apa yang harus digunakan untuk menandai apakah
hubungan itu baik atau buruk . Di negara maju demokratis , hubungan sipil-militer
biasanya dikatakan baik apabila ditandai militer berada dalam bidang profesinya yang
yang ketat dan dilaksanakan buruk apabila militer berada di luar bidangnya .

Gerakan reformasi sebagai peran menanta kembali kehidupan bernegara dan


bermasyarakat yang mengacu kepada nilai-nilai Demokratis dan Hak-hak azasi manusia
telah menghadapkan Tentara nasional Indonesia pada berbagai tantangan . Diantaranya ,
penataan kembali peran TNI dalam konteks hubungan sipil- militer yang demokratis dan
syarat dasar bagi bangsa ini untuk mampu melewati tradisi menuju demokrasi , tidak bisa
tidak , sangat tergantung pada keberhasilan bangsa ini untuk melakukan penataan
kembali hubungan sipil-militer di Indonesia yang selama Orde Baru berjalan sangat
timpang .

Sebenarnya format relasi sipil-militer di Indonesia sangat ditentukan oleh doktrin yang
diyakini oleh kalangan militer . David Jenkins menyatakan bahwa tiga dekade pertama
setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 , doktrin militer di Indonesia melewati lima
periode yang berbeda .( Irwanto 1999 : 46 – 50 ) Pada periode pertama ( 1945 – 1949 ) ,
8

tidak dihasilkan doktrin yang diterima secara luas di kalangan militer . Pengalaman para
elit militer selama periode formatif ini melahirkan etos yang kuat , sebagaimana
argumentasi yang menyatakan peran militer dalam masyarakat .

Persepsi terpenting yang diterima adalah bahwa TNI dibentuk oleh masyarakat Indonesia,
bukan oleh pemimpin-pemimpin politik sipil . Persepsi bahwa tentara lahir dari
masyarakat , yang berjuang mempertahankan kemerdekaan dan partisipasinya yang
mendalam terhadap persoalan-persoalan sipil pada masa revolusi fisik ini , melahirkan
pemikiran yang membenarkan peran yang meluas dari angkatan bersenjata pada
persoalan non-militer .

Pada periode kedua (1949 – 1957 ) , isyarat-isyarat dan ambisi ini, terutama terhambat
ketika para pemimpin didikan Belanda berusaha merasionalisasi dan memodernisasasi
sejumlah besar tentara sisa-sisa revolusi yang tidak terpakai dan tidak terintegrasi secara
sempurna . Bagaimanapun , ketidakpuasan militer tampak jelas dalam Peristiwa 17
Oktober 1952 yang banyak melibatkan perwira didikan Belanda , yang disebut dengan “
setengah kudeta “.

Periode Demokrasi Parlementer tampak sangat berbeda dengan periode sebelumnya .


Dalam periode ini terjadi pergolakan daerah , merosotnya pamor Demokrtasi Parlementer
, dan diberlakukannya keadaan darurat perang sebagai akibat makin memburuknya
hubungan Jakarta dengan daerah-daerah luar Jawa yang pada akhirnya meledak dalam
pembentukan dan pemberontakan PRRI/Permesta .

Kemenangan atas pemberontakan , melemahnya pamor Demokrasi Parlementer , dan


berlakunya keadaan darurat , secara bersamaan memberi banyak kekuasaan serta
kesempatan keterlibatan politik yang intensif kepada TNI . Perubahan dramatis inilah
yang melatarbelakangi diucapkannya pidato Jalan Tengah Nasution yang kemudian
dipandang sebagai titik awal lahirnya doktrin Dwi Fungsi .

Tiga tahun setelah AH Nasution ditunjuk sebagai KSAD kembali pada tanggal 11
November 1958 , ia memberikan pidato yang amat penting tentang peran militer di dalam
masyarakat . Dalam pidato tanpa teks di Akademi Militer Nasional Magelang , AH
Nasution mengatakan militer di Indonesia tidak seperti dinegara-negara Barat yang
semata-mata menjadi “ alat dari pemerintah “. Tetapi, tidak pula seperti militer di negara-
negara Amerika Latin yang memonopoli kekuasaan TNI adalah kekuataan perjuangan
rakyat yang berangkulan dengan kekuatan lain , seperti partai-partai politik .

Militer sendiri tidaklah aktif secara politik, meskipun ia tidak sekdar sebagai penonton .
Para perwira secara individual harus diberi kesempatan terlibat dalam pemerintahan , dan
mengembangkan kemampuan non-militernya untuk ikut membangun bangsa . Bahkan
jika ini tidak terjadi , Nasution mengingatkan militer mungkin melawan diskriminasi atas
perwira-perwiranya .

Dalam periode keempat ( 1959-1965 ) , pimpinan militer memperluas dan


mempertahankan posisinya dalam wilayah non-militer , doktrin yang digunakan untuk
9

melegitimasi apa yang kemudian dikenal dengan “ Jalan tengah Tentara “ dan jaminan
bagi kelangsungan peran militer dalam masyarakat . Upaya ini sebagian merupakan
bentuk perlawanan terhadap PKI , yang pada tahun 1962-1965 , merupakan salah satu
dari tiga kekuataan besar Soekarno- Angkatan Darat – PKI .

Pada periode kelima (Orde Baru ) , doktrin-doktrin keterlibatan TNI diperkokoh dan
diperluas . Dwi Fungsi ABRI Orde Soeharto dirumuskan di Seskoad dalam seminar
Angkatan darat di Bandung itu dirumuskan bahwa ABRI harus menjadi kekuatan
diominan dan menentukan dalam seluruh percaturan politik nasional Indonesia pasca
Soekarno .

Sejumlah doktrin yang membenarkan dan mengatur peran politik tentara , semuanya
diciptakan setelah secara realitas militer sudah mendapat kesempatan untuk terlibat dalam
aturan-aturan legal bagi peran politik tentara ini tampaknya harus dimengerti dalam
hubungannya dengan watak Nasution yang legalistik . Sejarah pun mencatat bahwa
tingkah laku politik Panglima Besar Sudirman dan gaya kepemimpinannya , semasa
hidup Jendral itu , tidak pernah dikaitkan dengan peran politik mereka . Di kemudian hari
, ketika tentara makin terlibat dalam politik kepada tingkah laku politik Panglima Besar
Sudirman tersebut , menyebutkan sebagai peletak dasar peran politik tentara ,
menjadikannya model dan sekaligus salah satu alasan pembenaran Dwifungsi . Demikian
juga dengan keputusan tentara melakukan perang gerilya dan pengalaman yang diperoleh
dalam perang itu , semuanya mendapatkan tafsiran politik dikemudian hari , yakni ketika
diperlukan untuk mendukung keterlibatan politik tentara yang sudah sulit dihindarkan .

Konsep Jalan Tengah Nasution yang demikian konsep tersebut dicetuskan ketika dalam
kenyataan tentara sudah menerabas ke wilayah politik Nasuition untuk duduk di Dewan
Nasional waktu itu – bahkan pemerintah . Seminar Angkatan Bersenjata ke I ( 1965 ) ,
memutuskan bahwa militer Indonesia adalah “ kekuatan sosial dan kekuataan militer “ ,
setelah secara nyata TNI telah merupakan suatu dari tiga kekuatan politik formal reaim
Demokrasi Terpimpin , di samping PKI dan Soekarno . Seminar Angkatan Darat ke II
( 1966) , ketika dalam realitasnya Jendral Soeharto waktu itu sudah menduduki kursi
Ketua Presidium Ampera . ( Said, 2003 : 2003 – 2004 ) .

Dominasi sesungguhnya dari militer dalam politik Indonesioa diperkukuh sejak Soeharto
mengambil alih kekuasaann pada tahun 1966 , dan menjadi presiden pada tahun 1968
selama awal periode awal Orde Baru , Soeharto banyak menyebabkan perwira-perwira
militer di dalam kabinetnya , juga dalam insitusi politik serta ekonomi yang strategis.

Intervensi TNI/ABRI

Penetapan tentang lapangan pekerjaan untuk personel ABRI bertahan sebagai issu yang
menjadi pusat perhatian setelah militer mengambil alih kekuasaan . Tahun-tahun awal
Orde Baru memperlihatkan suatu peningkatan yang luar biasa dalam hal diperbantukan
personil militer pada posisi –posisi sipil . Pada tahun 1977 , satu dekade setelah
mapannya Orde Baru , terdapat lebih dari 21.000 personil militer yang diperbantukan
10

pada birokrasi negara , industri milik negara , dan posisi-posisi dicabang-cabang legislatif
dan eksekutif . Pada 1980 jumlah personil ABRI yang ditugaskan untuk tugas kekaryaan
turun sampai 16.800 , suatu tingkat yang mungkin bertahan hingga satu setengah dekade
setelah itu .

Dari wakltu ke waktu fungsi ganda ABRI dan praktek semakin terbelah dalam kubu-
kubu, baik dalam hukum dan praktek . Selama Orde Baru jumlah kursi di DPR
menyediakan peningkatan bagi militer dari 12 % pada 1967 menjadi 20 % pada 1985
kuota yang sama yaitu 20 % disediakan untuk DRPD I dan DRPD II . Pada tahun 1995 ,
dengan gerakan yang mengejutkan , Presiden Soeharto mengurangi jumlah jatah kursi
legislatif di DPR dari 100 ( 20 % ) menjadi 75 orang ( 15 % ) . Akan tetapi hal ini tidak
diikuti dengan diskusi serius apapun tentang kelanjutan dari pengurangan ini ke tingkat
DPRD I dan DPRD II . Alasannya , cukup sederhana , yaitu apakah pemotongan junmlah
keberadaan legislatif dari ABRI pada tingkatan ini akan berarti hilangnya 2800 kursi
yang diperuntukkan bagi personil militer secara nasional keseluruhan . Ancaman
kehilangan yang besar itu secara tidak meragukan lagi telah memicu protes keras yang
serius dari kestuan-kesatuan perwira .

Terbentuknya kubu-kubu dalam kekayaan terbukti sama dengan yang ada pada eksekutif-
ekskutif regional . Selama Orde Baru , posisi dari kepala adminsitratif distrik secara cepat
dilabeli sebagai “ militer “ atau “sipil “ . Sekali jabatan walikota diberikan kepada
perwira militer , maka posisi itu dianggap sebagai jatah militer , dan sangat besar
diharapkan agar tahun berikutnya pejabat terpilih juga dari militer . Pada tahun 1969 ,
147 dari 271 ( 54 % ) walikota dan bupati adalah orang-orang militer . Dalam tahun
1996 .
Terbentuknya kubu-kubu dalam kekayaan terbukti sama dengan yang ada pada eksekutif-
Ekskutif regional . Selama Orde Baru , posisi dari kepala adminsitratif distrik secara
cepat dilabeli sebagai “ militer “ atau “sipil “ . Sekali jabatan walikota diberikan kepada
perwira militer , maka posisi itu dianggap sebagai jatah militer , dan sangat besar
diharapkan agar tahun berikutnya pejabat terpilih juga dari militer . Pada tahun 1969 ,
147 dari 271 ( 54 % ) walikota dan bupati adalah orang-orang militer . Dalam tahun
1996 .presentase itu telah yatiu menjadi 44 % walaupun jumlah absolut dari posisi-posisi
telah hanya berkurang menjadi 132 dari 300 . Kompetisi antara birokrasi militer dan sipil
umumnya menjadi intensif ketika menyangkut posisi yang secara eufimis , dikenal
sebagai daera “basah “ , yaitu daerah dengan sumber-sumber daya alam yang penting
atau di daerah dimana terdapat tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkonsekuensi
tersedianya kesempatan untuk melakukan perilaku pemburu rente , walaupun distribusi
berdasar perkoncoan itu bersifat tidak resmi dan diketahui secara umum . ( Kammen ,
2004 : 14 – 20 ) .

Richard Robinson menyebut Indonesia sebagai negara birokratik militer . Dalam negara
ini perangkat negara telah didominasi oleh pejabat-pejabat militer dan birokrasi pun
membengkak : fungsi partai-partai politik , ormas dan lembaga-lembaga politik lainnya
juga sudah dirombak . Jika dulu lembaga-lembaga politik tersebut jalur rakyat yang
beraspirasi dan berpartisipasi dalam politik , masa sekarang sebaliknya lembaga-lembaga
11

itu sudah menjadi alat kontrol korporatis negara atas rakyat : kehidupan rakyat sudah di
politisasi .

Sesungguhnya keterlibatan militer dalam dunia politik merupakan ciri khas negara-
negara dunia ketiga atau baru mereka , yang merupakan potret “hitam-putih “
dibandingkan dengan peranan militer di negara-negara maju . Yang belakangan ini sangat
jelas yakni adanya supremasi sipil atau militer tempatnya di barak . Ia merupakan alat
sipil atau peranannya hanya sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan .

Keterlibatan atau tidaknya militer dalam politik di Indonesia , sebagaimana yang terjadi
di negara-negara dunia ketiga , sangat berkaitan dengan krisis sosial politik dan ekonomi
yang terjadi krisis ini bisa mengambil berbagai bentuk seperti lemahnya , legitimasi
pemerintahan sipil , sukarnya di capai konsensus di kalangan elit , pemberontakan atau
bahkan gerakan separatis seperti DI/TII , kemacetan sistem parlementer . Sementara itu ,
negara pun juga bangkrut yang ditujukan dengan defisit anggaran negara , utang yang
menumpuk , investasi yang rendah bahkan nol, dan seterusnya . Berbagai krisis yang
melanda Indonesia yang pada gilirannya mengundang keterlibatan militer dalam dunia
politik .

Ada dua perbedaan yang secara sederhana bisa diungkapkan seperti ini , Pertama, krisis
yang berkepanjangan tersebut memperlihatkan bahwa kalangan sipil , dan khususnya
pemerintahan sipil memang tidak mampu mengelola negeri ini . Singkat kata , krisis
tersebut akibat kegagalan elit sipil dalam memelihara kesatuan bangsa , stabilitas politik ,
dan pembangunan ekonomi. Dengan demikian , keterlibatan militer dalam politik hanya
sebagai konsekuensi logis saja dari kegagalan tersebut . Militer masuk dalam dunia
politik sebagai reaksi semata terhadap krisis sosial-politik dan ekonomi yang terjadi .

Sementara itu , penjelasan kedua berkaitan dengan ambisi militer sudah sejak awalnya .
Artinya dalam diri militer sendiri , baik individu , kelompok maupun kelembagaan ,
dorongan untuk terlibat dalam politik memang sudah kuat . Ada rasa ketidakpercayaan
dan bahkan sinisme pada politisi sipil atas kiprah dan kapasitas mereka dalam mengelola
negeri ini . Sebaliknya golongan militer itu sendiri memainkan peran yang aktif dalam
kegagalan bahklan keambrukan sistem politik yang kemudian digantikan .

TNI sebagai Tentara Politik

Sebagai tentara politik , TNI memiliki karakter inti yang dipopulerkan oleh Finer dan
Janowitz, yaitu militer secara sistematis mengembangkan keterkaitan yang erat dengan
sejarah perkembangan bangsa serta arah evolusi negara . Hal ini dilakukan dengan
mengkombinasikan brightright principle dan competence principle .

Birthright principle di dasarkan suatu interprestasi sejarah bahwa militer berperan besar
dalam sejarah pembentukan bangsa dan telah melakukan pengorbanan tidak terhingga
untuk membentuk dan mempertahankan negara . Inteprestasi sejarah ini pada bersumber
dari empat situasi histories . Pertama, , tentara yang berperan besar dalam pembentukan
12

negara baru dari suatu negara yang telah runtuh . Tentara Turki masa Kemal Ataturk
( 1917 – 1938 ) dan Tentara Kuomintang Cina-Taiwan (1949) merupakan contoh dari
situasi sejarah ini. Kedua, tentara yang dibentuk oleh suatu pemerintahan setelah insitusi
nasional dan ideologi negara berhasil dirumuskan . Tentara-tentara yang masuk dalam
kategori Janowitz”s post-liberalition armies adalah Tentara Korea Selatan , dan tentara
tentara bekas negara kolonial Inggris dan Perancis di Afrika . Ketiga , tentara yang
terbentuk dalam proses perlawanan misili rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan
melawan negara kolonial . Tentara-tentara Aljazair , Burma, dan Indonesia dapat
dimasukkan dalam kategori ini . Terakhir, tentara yang berperan besar dalam aksi
revolusi dalam negara , baik yang berhasil mempertahankan rezim pemerintahan lama,
maupun yang berhasil menghancurkan rezim lama serta membentuk rezim baru . Tentara
Pembebasan Rakyat Cina , Tentara Kuba masa Castro , Sandinista Nicaragua . Tentara
Ethopia masa Mengistu, Tentara Burma masa Ne Win , dan ABRI masa Soeharto (1965 )
terbentuk sebagai tentara politik karena adanya situasi revolusi ini .

Competence principle didasarkan pada ide bahwa militer merupakan insitusi terbaik yang
dimiliki negara untuk mempertahankan dan mencapai kepentingan nasional bangsa .
Penilaian militer sebagai insitusi terbaik ini didasarkan pada beberapa faktor seperti :
struktur komando yang padu , efisisnesi kerja , dan kendali yang efektif pada
penggunaan instrumen kekerasaan . Satu faktor lagi yang yang mendasari penilaian ini
adalah ketidakmampuan insitusi sipil untuk mengelola negara ditandai dengan
merebaknya berbagai krisis nasional seperti runtuhnya legitimasi pemerintah ,
ketidakmampuan pemerintah unmtuk memerintah , munculnya masalah sosial-ekonomi
akut , serta munculnya empat tipe konflik-konflik internal ( kerusuhan sosial , konflik
komunal , separatisme , dan teroriome domestic ) .

Untuk Indonesia , TNI menjelma menjadi tentara politik dengan mengkombinasikan


birthright principle dan competence principle . Perpaduan antara kedua prinsip tersebut
dilakukan dalam tiga tahap :

Militer Indonesia berkosentrasi untuk mengendepankan bright principle terutama dengan


(a) mengindentifikasi diri sebagai aktor yang berperan penting sebagai aktor yang
berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan ; dan (b) mendukung penuh kebijakan
nasionalistik pemerintah untuk meredam gerakan-gerakan separatis serta upaya untuk
mewujudkan kedaulatan territorial Indonesia . Di tahap pertama ini , perjuangan merebut
kemerdekaan serta integrasi nasional merupakan dua kontruksi wacana yang
dipergunaklan untuk memperkuat birthright principle . Wacana ini berusaha untuk
membentuk pemahaman bahwa ABRI merupakan suatu entitas yang lahir dengan
sendirinya (self-creating entity ) dan memiliki kemanunggalan dengan rakyat .

Militer Indonesia menjelma menjadi penjaga sekaligus penyelemat bangsa ( the guardian
and the savior of the nation ) . Hal ini dilakukan dengan menempatkan militer Indonesia
sebagai pelindung Pancasila . Penempatan ini mulai dirintis oleh Nasution melalui
perumusan doktrin dwifungsi di tahun 1960-an dan mendapat kulminasinya dalam
penumpasan PKI tahun 1965 .
13

Brightright principle dipadukan dengan comptence principle dengan menempatkan


militer Indonesia sebagai satu-satunya aktor yang mampu menegakkan integritas bangsa
sekaligus sebagai motor pembangunan nasional . Perpaduan ini dilakukan dengan
memperkenalkan strategi pembangunan politik-ekonomi yang menggabungkan tahapan
pertumbuhan lima tahunan yang diperkenalkan oleh Rostow dengan strategi stabilisasi
politik –keamanan yang diungkapkan oleh Huntington . Kombinasi model Rostow-
Huntington ini menghasilkan strategi pembangunan terencana jangka panjang yang
menempatkan stabilitas politik keamanan sebagai prasyarat utama pembangunan
ekonomi . Strategi ini menempatkan ABRI di titik sentral pembangunan nasional .
( Alaxandra , 2004 : 115 – 117 )

Hak Istimewa Militer

Dalam Kamus Bahasa Inggris Oxford mendefinisikan hak istimewa sebagai “ hak yang
utama , eksklusif , atau khusus , “ dan sebagai “ suatu kemampuan atau hak milik yang
secara khusus dan menguntungkan membedakan seseorang lebih tinggi dari yang lain .”.
Untuk tujuan kita , dimensi hak istimewa kelembagaan militer menunjuk pada wilayah
yang militernya sebagai lembaga , apakah ditentang atau tidak , menganggap bahwa
mereka memiliki hak atau hak istimewa , formal atau tidak informal . untuk mrnjalankan
kontrol yang efektif atas pemerintahan internalnya , untuk memainkan peranan dalam
wilayah-wilayah ekstramiliter dalam aparat negara , atau bahkan untuk menyusun
hubungan antara negara dan masyarakat politik serta masyarakat sipil .

Ada beberapa hak istimewa militer potensial yang terpenting , dan menunjukkan apa
yang dapat menghasilkan hak istimewa tingkat “rendah “,”moderat” , dan “ tinggi”
Perhatikan bahwa ketika militer diklasifikasikan sebagai hak istimewa tingkat “rendah “ ,
ini disebabkan karena kontrol efektif de jure dan de facto atas hak istimewa ini dijalankan
oleh para pejabat , prosedur-prosedur , dan lembaga-lembaga yang didukung oleh rezim
demokratis. Dalam kasus militer de jure tidak memiliki hak istimewa , akan tetapi
pemerintahan dempokratis baru , karena penolakan aktif atau pasif militer, tidak mampu
melaksanakan hak istimewa ini secara efektif , maka hak istimewa militer tida bisa
diklasifikasikan sebagai “rendah “ melakikan “moderat “.

Secara empiris , setiap hak istimewa dapat dipertentangkan . Jika militer sangat
menentang setiap upaya pemerintahan demokratis baru untuk mengurangi hak istimewa
militer , maka penentangan militer seperti ini akan tercermin dalam dimensi konflik .
Secara analistis , hal ini berguna untuk untuk membedakan antara dimensi konflik dan
dimensi hak istimewa , karena sejumlah hubungan yang sangat berbeda antara kedua
dimensi terbut merupakan hal yang mungkin dalam sebuah demokrasi . Dalam suatu
model kontrol sipil atas militer tanpa adanya kontestati , baik hak istimewa militer
maupun konflik terbuka berada pada tingkat yang rendah .

Bisa dibayangkan bahwa militer dapat bergerak dari satu posisi dengan hak istimewa
yang tinggi ke posisi dengan hak istimewa yang tinggi ke posisi dengan hak istimewa
yang relatif rendah tanpa kontestasi . Secara empiris , tiadanya kontestasi militer seperti
14

itu kemungkinan besar akan terjadi dalam konteks keseluruhan dari sutuasi sosiopolitik
yang mendekati apa yang disebut sebagai proses restorasi jalan redemokratisasi . Dalam
proses seperti ini , militer mungkin dapat menerima pengurangan hak istimewa mereka
tanpa kontestasi , jika pola istimewa tingkat rendah ini dilihat , baik oleh pemimpin
militer maupun pemimpin sipil , sebagai bagian integral dari keseluruhan model
pemerintahan dan hubungan sipil-militer yang akan direstorasi .

Namun demikian , mungkin juga timbul sebuah situasi di mana terdapat tingkat konflik
yang rendah sedangkan tingkat hak istimewa militer tinggi . Tingkat hak istimewa militer
yang tinggi dapat dipertahankan jika tidak ditentang oleh para pemimpin politik rezim
demokratis . Tidak berimbangnya kekuasaan antara militer dan rezim yang baru bisa
sedemikian rupa sehingga di sana tidak pernah ada kontestasi terbuka terhadap
alternative kebijakan yang jelas ; berbagai isu potensial menjadi “nonisu”, dan politikus
demokratis yang baru dapat “ mengakomodasi “ diri mereka terhadap realitas ini karena
berbagai alasan .

Dimensi konflik terbuka mengandung sejenis kontestasi terbuka yang menyatu dengan
konseptualisasi Robert Dahl tentang kekuasaan ( yang tersingkap melalui kontestasi
terbuka ) , serta merupakan sebuah dimensi yang sangat penting dalam hubungan sipil-
militer . Namun , karena kekuasaan militer dapat berasal dari serangkaian hak istimewa
yang diperolehnya secara ideologis ataupun politis , kita harus mengakui hak istimewa ini
sebagai satu bentuk kekuasaan struktural indenpeden yang laten di dalam masyarakar
bernegara bahkan juga dalam kasus di mana hampir yidak ada konflik terbuka .

Terjadinya kontestasi militer rendah dan hak istimewa militer rendah bersama-sama dapat
disebut sebagai “kontrol sipil “ Tetapi ini tidaklah berarti bahwa tidak mungkin ada
perkembangan yang pada akhirnya dapat mengguncangkan kontrol sipil dan mengancam
demokrasi . Hubungan-hubungan yang terjadi tidaklah mungkin statis , tetapi tergantung
pada permainan kekuatan-kekuatan yang konstan , dan oleh karenanya secara inheren
dinamis . Tidak ada satu pun negara demokrasi di dunia ini yang secara teoritis maupun
empiris dapat dianggap kembal terhadap krisis yang pada akhirnya mungkin
menumbangkan model kontrol sipil yang telah konsolidasikan . Akan tetapi , untuk
mengatakan bahwa kontrol sipil itu ada . bukanlah berarti suatu pernyataan yang sepele .
Artinya model yang ada itu sendiri – sebagaimana diakui baik oleh pemimpin militer
maupun pemimpin sipil – tidak memberikan sumber-sumber ketidakstabilan bagi
berfungsinya demokrasi .

Kontestasi militer rendah dan hak istimewa militer tinggi , dapat disebut sebagai “
akomodasi sipil yang tak seimbang “. Dari perspektif teori demokrati , sebuah masyarakat
bernegara dalam posisi seperti ini memiliki kerentanan –kerentanan yang penting karena
kekuataan struktural militer laten merasa sah dalam penmguasaan mereka atas hak
istimewa yang sangat banyak . Salah satu kerentanan yang serius ialah bahwa proses
kebijakan mungkin menjadi sangat konfliktual , dan militer, yang didukung oleh sekutu-
sekutu yang kuat dalam masyarakat sipil dan masyarakat politik , dapat menggunakan
seluruh hak istimewanya untuk memaksakan serangkaian hasil kebijakan yang terpaksa
15

diterima oleh para pemimpin rezim demokrtatis guna menghindari munculnya kudeta .
Hasil “ kudeta putih “ ini akan membentuk sistem nondemokratis .

Kerentanan lainnya dari posisi “akomodasi sipil yang tak seimbang “ ialah negara bahwa
suatu masyarakat bernegara dapat ditransfomrasikan ke dalam sebuah negara garnisum di
bawah pemimpin sipil nondemokratis sebagai akibat dari eksploitasi yang dilakukan oleh
pihak ekskutif atas hak istimewa militer yang tetap tertanam dalam sistem . Kelemahan
dapat tambahan posisi ini ialah rendahnya tingkat otonomi rezim daripada militer , yang
terimplikasikan dalam tingkat hak istimewa militer yang tinggi, dapat mengurangi
legitimasi demokrasi baru di mata masyarakat sipil dan bahkan masyarakat politik .

Yang tak terpisahkan dalam pola “alomodasi sipil yang tak seimbang “ ini ialah bahwa di
masa depan proses pemilihan umum dapat menghasilkan seorang pemimpin eksekutif
dan suatu badan pembuat undang-undang yang diberi mandat untuk melakukan berbagai
pembaruan yang mampu menentang hak istimewa militer . Pihak sipil mungkin menang,
dalam kasus di mana hubungan sipil-militer tidak lagi diketegorikan sebagai “ akomodasi
sipil tak seimbang :”. Namun demikian , usaha-usaha pemerintah untuk melakukan upaya
demokratis guna mengurangi hak istimewa militer dapat menghasilkan perlawanan yang
keras dari militer , dan militer berhasil menang dalam krisis tersebut . Ini bebarti bahwa
hubungan sipil-militer akan bergerak ke situasi dengan konflik tinggi – hak istimewa
tinggi .

Bagaimana sistem politik sampai pada posisi konflik tinggi – hak istimewa tinggi ini
tidaklah menjadi persoalan , yang jelas posisi ini penuh dengan bahaya bagi konsolidasi
yang demokratis . Karena tergantung pada perimbangan kekuataan , posisi ini dapat
menuju kehancuran demokrasi, atau , setelah usaha mempertahankan diri , kearah
pemerintahan demokratis dengan hasil aliansi sipil-militer yang akan mengurangi hak
istimewa dan mengurangi konflik .

Ada hak istimewa sedangkan konflik tinggi . Dalam pengertian paling murni, posisi ini
secara analistis mungkin , namun secara empiris tidak mungkin , khsusunya bila kita
ingat bahwa “rendahnya “ hak istimewa militer mengandung arti adanya kontrol sipil de
facto dan de jure . Jika posisi hak istimewa rendah – konflik tinggi seperti itu tercapai ,
posisi tersebut barangkali akan terjadi dalam waktu yang relatif singkat , dan
pemerintahan sipil akan berada dalam posisi dengan kekuatan yang cukup untuk
merintangi berkembangnya konflik dengan penggantian para pemimpin militer .( Stepan ,
1996 : 127 – 136 )

Reformasi Militer

Secara empirik militerisasi dan kebangkitan otoritariansme di belahan dunua ternyata


diikuti dengan kemajuan proyek modernisasi ekonomi dan politik , sehingga muncul
ortodoksi bahwa otoriatarianisme adalah pilar yang kokoh bagi stabilitas politik ,
integrasi nasional dan pembangunan ekonomi yang bercorak kapitalistik . Sejarah juga
mencatat prestasi modernisasi di Amerika Latin dan beberapa negara di Asia seperti
16

Korea Selatan , Taiwan , Singapura dan sebagainya . Bahkan model pembangunan


ekonomi kaputalistik yang ditopang oleh pemerintahan militer tersebut dijadikan model
pembangunan dibanyak negara seperti Argentina , Brazil , Mexico , Thailand , Indonesia
dan lain-lain .

Akan tetapi memasuki dekade 1970-an dan tahun-tahun berikutnya ortodoksi pada
pemerintahan militer di atas mulai kehilangan pengaruh . Beberapa penelitian empirik
memperlihatkan bahwa keunggulan pemerintahan otoritarian dibawah komando militer
merupakan mitos menyesatkan . Dengan kata lain, sebenarnya tidak ada korelasi anatara
pemerintahan otoritarian dengan stabilitas politik , integrasi nasional dan pembangunan
ekonomi .

Kinerdja pemerintahan militer di banyak negara makin mengalami delegitimasi setelah


bangkit semangat zaman baru demokratisasi . Mulai tahun 1970-an , dunia menyatakan
perang terhadap otoritarianme dan pemerintah militer . Masyarakat internasional
menyaksikan betapa dashyatnya angin perubahan yang meruntuhkan rezim
otoriatarianisme di belahan dunia , dari Eropa Timur , sampai pada beberapa negara di
Asia dan Afrika . Samuel Huntington merekam peristiwa ini dengan menyebutkan
sebagai gelombang demokratisasi ketiga , yang menyebabkan demokrasi menjadi
alternatif yang mungkin dan absah atas berbagai bentuk otoritarianisme .

Gelombang demokratisasi ternyata juga di ikuti dengan demiliterisasi di berbagai negara .


Samuel Huntington mencatat bahwa salah satu problem serius yang dihadapi oleh negara-
negara demokrasi baru adalah membatasi kekuasaan politik pihak militer , membuat
militer tunduk pada pemerintahan sipil demokratis dan menjadikan angkatan bersenjata
suatu badan professional yang mempunyai komitmen untuk melindungi keamanan
negeri .
Penarikan militer dari politik ( demiliterisasi ) dan penegakan pemerintahan sipil
menandai proses demokratisasi di sejumlah dengan demokrasi baru . Dunia internasional
bisa melihat prestasi demiliterisasi di Portugal , Spanyol, Yunani , Turki, Arnetina , Peru ,
Chile , Korea Selatan , dan sebagainya . Ketika negara-negara demokrasi baru bangkit
selama dua dekade terakhir , kecuali Nigeria dan Sudan , tidak ada pemerintahan
demokratis yang digulingkan melalui kudeta militer . Percobaan kudeta militer sering
terjadi tetapi selalu gagal karena cara-cara seperti itu tidak lagi legitimat di dalam
masyarakat baru yang demokratis . ( Eko, 2002 : 1 – 8 )

Selama 32 tahun rezim Soeharto telah memberi ruang yang tidak terbatas pada tentara ,
menyediakan alasan sejarah yang sngat sosial bagi peran politik tentara . Perluasan yang
bersifat total ke lahan sosial, ekonomi dan politik yang dilakukan oleh tentara selama
periode ini lewat aneka konsep dan doktrin yang dikembangkan , menyisahkan banyak
persoalan , mulai dari pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius yang menyeret
kemanusian ke perusahaan , perdebatan hingga pada isu-isu semisal akuntabilitas ,
transparasi , partisipasi , dan masih banyak lainnya yang merupakan wilayajh-wilayah
klasik dalam wacana perdebatan ilmu politik .
17

Setelah Soeharto lengser ke prabon , hadir sebagai fakta sejarah baru yang
membudayakan argumen romantisme sejarah yang dirumuskan sendiri oleh tentara bagi
dirinya tentang kepahlawanan tentang rakyat yang memberikan legitimasi moral dan
sosial bagi militer Indonesia untuk hadir sebagai fakta baru yang menghapus hampir
semua argumentasi sejarah manis tentang peran TNI selama pertiode formatif bangsa dan
negara Indonesia didendangkan lewat lagu Kopral Djono , Pilih Menantu dan Letnan
Hadi .

Kisah pertempuran heroik telah semakin menipis dalam ingatan kolektif bangsa dan
gambaran romantik militer telah kehilangan otensitasnya . Image militer yang tampil
hanyalah salinan dari pengalaman langsung yang dirasakan atau berita disampaikan .
Berbargai tragedi berdarah – pembersihan anasir 30 September 1965 , Talangsari
Lampung , Tanjung Priok , DOM di Aceh , Trisakti , Semanggi I dan II dan sekian
banyak lagi – seakan-akan telah menjadi realitas kekinian saja , bukan pengawalan yang
telah terlewati . Jika disalin dalam proses penciptaan citra maka kesemuanya terwujud
dalam kata-kata sederhana tetapi menyakitkan hati “ pelanggaran hak asasi manusia “ ,
ABRI juga dipersalahkan dengan terjadiunya dan sukarnya di atasi kerusuhan di Ambon ,
Maluku Utara , Kalimantan Barat dan Tengah , Poso dan lainnya .

Keterlibatan militer dalam bisnis mendapat kecaman , yang di ikuti dengan tuduhan
adanya KKN lewat jalur -jalur kekuasaan yang dipunyai sampai dengan usaha pungutan
liar , yang merugikan masyarakat , dan pemberian backing kepada usaha yang kelabu dan
bahkan hitam . Dan seterusnya dan sebagainya , daftar panjang bisa juga dibuat .
Reformasi politik yang dijalankan setelah kejatuhan Presiden Soeharto hanya
memperkuat kedudukan realitas yang dialami dan yang diketahui sebagai pasangan kesan
subyektif dalam proses pembentukan image . Serangan realitas obyektif yang frontal dan
terus-menerus telah semakin menyudurkan apa pun tanggapan subyektif yang positif
terhadap militer .

Mengapa sedemikian terbalik terjadinya proses pembentukan image dalam kesadaran


masyarakat tentang tentara kita ? Jika dulu image tentara terbentuk dari pilihan pada
aspek-aspek yang positif , kini image terbentuk oleh tanggapan-tanggapann yang negatif .
Barangkali kesemuanya berpangkal bukan saja dari keterlepasan militer dari apa yang
secara keren disebut sebagai civilian supremacy tetapi juga dominasi politik dipunyainya
dan hegemoni wacana yang dipaksakannya . ( Abdullah , 2003 ; 235 – 250 )

Di bawah tekanan-tekanan berat dalam dan luar negeri serta penghujatan berkelanjutan
dari publik , ABRI mulai sadar bahwa mereka harus meninjau kembali Dwifungsi , baik
substansi bentuk maupun implementasinya . Dalam semangat baru demikian itulah ABRI
mencoba menemukan cara-cara menyesuaikan Dwifungsi dengan kondisi bangsa yang
berubah .

Reformasi internal itu dirumuskan atas 12 langkah yaitu (1) sikap dan pandangan politik
tentang paradigma baru ABRI di abad 21 ; (2) Sikap dan pandangan politik tebntang
peran Sospol Pusat dan Tingkat (I ) ; (3) Pemisahan Polri dari tubuh ABRI ; (4)
Penghapusan Dewan Sospol Pusat dan Tingkat I ; (5) Perubahan Staf Sospol menjadi Staf
18

Territorial ; (6) Kedudukan Staf Karyawan ABRI, Kamtibmas dan Badan Pembinaan
Kekaryaan ABRI ; (7) Penghapusan Sospol dan Babinkodam , Sospolrem dan
Sospoldim ; (8 ) Penghapusan kekaryaan ABRI melalui pensiunan atau alih status ; (9)
pengurangan jumlah fraksi ABRI di DPR , DPRD I dan II ; (10) ABRI tidak akan pernah
lagi terlibat dalam politik praktis ; (11 ) Pemutusan hubungan organisatoris dengan
Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik yang ada ; (12)
Komitmen dan konsekuensi netralitas ABRI dalam Pemilu .

Apabila langkah-langklah tersebut , di atas merupakan perubahan-perubahan nyata dan


telah mulai di lakasanakan , beberapa langkah perubahan lainnya lebih bersifat kosmestik
dan simbolik . Perubahan yang dirasa cukup mencolok , dan disosialisasikan secara
cukup intensif , ialah dihapusnya istilah Dwifungsi dan diganti dengan istilah peran .
Pertimbangan utamanya dikatakan ialah untuk menghilangkan kesalahan pengertian
istilah Dwifungsi itu diartikan sebagai kekaryaan , dan untuk mencegah dipertentangkan
fungsi satu dan fungsi kedua . Istilah baru peran itu dianggap lebih tepat mencerminkan
konsep peran dan tanggung jawab TNI secara holistik dan utuh , yang dipandang
memang mencakup hankam dan sospol . Dijelaskan , bahwa kedua fungsi dari
Dwifungsi itu dalam realita sesungguhnya satu fungsi saja . Dalam fungsi yang satu itu
hankam , khususnya keamanan internal dan peran sospol menjadi satu (fusi ) dan tidak
dapat dipisahkan . Dengan demikian , dalam kenyataannya tak ada yang berubah , hanya
istilah peran menggantikan istilah Dwifungsi .

Sebagai pedoman dalam melaksanakan peran sosplonya , ABRI telah merumuskan apa
yang mereka namakan Paradigma Baru , yang berisi empat pedoman : (1) Tak perlu harus
selalu memimpin dari depan , dari belakang juga dapat ; (2) Tak perlu harus menduduki
posisi-posisi kritikal , tetapi juga dapat hanya dengan mempengaruhi ; (3) Tak usah selalu
mempengaruhi langsung , tetapi juga dapat secara tidak langsung ; (4) Bersedia berbagai
kekuasaan dan atau peran mitra-mitra sospol lainnya ( Habib , 2004 : 14 – 33 )

Pada penjelasan Markas Besar ABRI mengemukakan enam kondisi faktual yang
menyebabkan peran ABRI yang tidak lagi secara teknis dan operasional pantas
dinyatakan sebagai peran sosial-politik ABRI tetapi lebih tepat sebagai peran dan dhrma
bakti dalam kehidupan bangsa . Keenam kondisi faktual itu adalah (1) Kondisi dan
persepsi keadaan darurat telah kita lalui , (2) Kecenderungan perkembangan lingkungan
strategis adalah demiliterisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia ‘ (3) Tingkat
pendidikan masyarakat membuat mereka sadar akan hak partisipasinya dalam politik ; (4)
Era globalisasi yang menuntut keunggulan manajemen nasional ; (5) Sebagai akibat dari
penciptaan modernisasi masyarakat Indonesia , dan (6) Penduduk Indonesia semakin
dibentukoleh generasi yang tidak mengalami dan tidak memahami berbagai peristiwa
sejarah yang menopang legitimasi sejarah Dwifungsi ABRI .

Kendati demikian , dengan segala perubahan serta segala kecaman dan kritik , TNI masih
merasa mungkin , berharap mendapatkan peran politik dalam masyarakat Indonesia . Ada
kecemasan militer terhadap masyarakat Indonesia yang mereka lihat sebagai berpotensi
melemahkan wawasan nusantara, dan karena itu mengancam persatuan bangsa.
19

Maka jika kita mencari hal yang paling konsisten dalam pemikiran TNI , yang paling
mudah diketemukan alah kebencian kepada liberalisme danm sikap tidak percaya militer
kepada sipil . Kebanyakan generasi pendahulu dan generasi penerus pada dasarnya
mempunyai kesimpulan yang sama , melihat sipil sebagi masih kurang memiliki disiplin
serta masih mengandung potensi yang dapat mengancam persatuan .

Kendati kepercyaaan tentara kepada sipil yang akhirnya yang mendorong TNI membuat
putusan yang paradoksal di awal masa Orde Baru . Di satu pihak mereka terdesak
menghapus Dwifungsi , tapi di pihak lain mereka tidak percaya kekuatan sipil , dank
arena itu mereka terpaksa mempertahankan peran politik tentara (Said, 2003 : 171 – 175 )

Meskipun terdapat tuntutan publik agar militer tidak lagi berpolitik , namun masih ada
saja golongan yang berpendapat lain . Golkar , pemenang terbesar menuju nomor dua
diantara 48 partai peserta pemilu , menjelang pemilihan presiden secara resmi
mengumumkan keputusannya untuk menominasikan Wiranto , Menhankam / Pangab ,
sebagai Wapres bagi calon Presiden Habibie . Jendral Wiranto mula-mula bimbang ,
tetapi kemudian menolak pencalonan itu setelah fraksi ABRI di DPR dan MPR ,
menyampaikan pendapat mereka kepada Jendral tersebut bahwa mereka tidak mungkin
memenangkan .

Kebijaksaaan Presiden Habibibie dalam menata peran militer pasca – Orde Baru lebih
banyak diserahkan langsung kepada Panglima ASBRI Jendral Wiranto . Tidak seperti
pada masa Presiden Soeharto , segala perubahan yang menyangkut manajemen internal
militer , dipercayakan kembali kepada militer sebagai organisasi yang memang
professional dalam bidangnya untuk melakukan perubahan baik dalam dataran doktrin ,
maupun implemntasi di lapangan . Oleh karena itu pada masa pemerintahan Habibie
peluang yang relatif terbuka untuk menjadikan intervensi militer menjadi professional
tanpa adanya kontrol sipil subyektif , namun lebih cenderung mengacu pada kontrol sipil
obyektif . ( Yulianto , 2002 : 346 – 348 )

Ada dua perubahan signifikan dalam militer yang dilakukan oleh Presiden Abdurrachman
Wahid dalam bulan Okrtober tanpa sedikitpun menimbulkan masalah , yang
menimbulkan optimis umum bahwa TNI ternyata bersedia apa yang dirasakan terbaik
bagi negara dan rakyat . Perubahan-perubahan itu ialah (1) Pengangkatan seorang perwira
tinggi TNI AL, Laksamana Widodo AS , sebagai Panglima TNI .

Panglima TNI pertamma bukan dari Angkatan Darat sejak jabatan itu diadakan pada
tahun 1969, dan (2) Pengangkatan seorang sipil sebagai Menteri Pertahanan , pertama
kali terjadi di dalam 40 Tahun . Kedua langkah itu seharusnya tidak pernah terpikirkan
akan bisa terjadi .

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid , kebijakan yang telah diusulkan
dan dilaksanakan dari kalangan militer itu sendiri justru mendapat undangan dari
pemerintah sipil untuk kembali berkiprah di jabatan sipil . Meskipun jabatan Menteri
Pertahanan yang sejak pemerintahan Orde Baru selalu dipegang oleh militer sudah
diserahkan kepada sipil , namun kebijakan Abdurrahman Wahid yang menaarik militer
20

untuk duduk dijabatan sipil merupakan langkah mundur . Susilo Bambang Yudhoyono ,
Agum Gumelar , Fredy Numberi , Wiranto dan Luhur Binsar Panjaitan yang merupakan
perwira tinggi menempati jabatan sipil di Kabinet Persatuan Nasional .

Dengan dilantiknya para jendral menjadi menteri dalam kabinet , maka surat pengajuan
pensiun bagi para jendral tersebut diajukan ke presiden untuk ditandatangani , mengingat
peraturan tidak memperbolehkan jendral aktif duduk dalam kabinet . . Sehingga mau
tidak mau harus dipensiunkan dini dan dinas aktif dan menjadi warga sipil . Dengan
demikian habis sudah karir mereka dalam bidang militer , padahal calon kuat untuk
nenempati (menduduki ) KSAD, bahkan kemungkinan besar sampai ke jenjang Panglima
TNI . ( Yulianto, 2002 : 441 – 446 )

Panglima TNI, Laksamana Widodo AS , bersama ketiga para Kepala Staf Anfkatan ,
melaporkan kepada Presiden Abdurrachman Wahid tujuh keputusan hasil rapim TNI
2000, keputusan terpenting yang hampir tidak pernah dibayangkan , sebelumnya akan
terjadi ialah keputusan yang menghaous Dwifungsi, suatu doktrin yang praktis menjadi
ideologi , yang telah memungkinkan TNI, khususnya TNI-AD berkuasa selama lebih dari
30 tahun . Untuk selanjutnya akan menfokuskan diri kepada fiungsi utamanya , yaitu
pertahanan terhadap ancaman-ancaman dari luar . Keamanan internal akan merupakan
tanggung jawab Polri , dengan TNI selalu sedia membantu , khususnya dalam mengatasi
terorisme dan pemberontakan bersenjata , jika diperlukan dan sesuai dengan perundang-
undangan . utusan lainnya juga yang sangat penting ialah , bahwa TNI menyatakan
komitmennya untuk untuk melanjutkan reformasi intern dan berusaha memperoleh
kembali kepercayaan rakyat yang praktis telah hilang sejak jatuhnya Soeharto .

Keputusan-keputusan itu adalah penting sangat fiundamental , dan merupakan puncak


dari perubahan-perubahan cukup berarti yang telah terjadi dalam tubuh ABRI selama
dua-tiga tahun terakhir yang berimplikasi luas mengenai peran dan fungsi militer . Ia
menjanjikan suatu hubungan sipil-militer yang sama sekali berbeda dari sebelumnya .
sewaktu militer sangat terlibat dalam politik dengan segala ekses dan akibat yang tidak
dikehendaki . Jika keputusan-keputusan itu dilaksanakan , dan jika dosa-dosa masa silam
juga dikoreksi , hal itu juga akan melicinkan proses demokratisasi serta pembangunan
suatu pemerintahan sipil yang memiliki wewenang penuh terhadap militer . Danm
akhirnya ,. Hal ini juga akan mengakhiri suatu hubungan sipil-militer yang selama lebih
dari empat dasawarsa ditentukan oleh Dwifungsi . ( Habib , 2002 : 14 – 33 )

Untuk meneguhkan secara legalitas formal peran TNI sebagai alat pertahanan , maka
pada tanggal 19 Agustus 2000 melalui TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 ditetapkan
bahwa di samping perannya sebagai alat negara dalam pertahanan , TNI juga ikut serta
dalam penyelenggaraan negara .

Ketetapan MPR yang sama ternyata telah menimbulkan kontroversi berkaitan dengan
keikutsertaan TNI dalam MPR paling lama sampai tahun 2009 . Keputusan
mempertahankan lebih lama peran politik tentara ketika militer sendiri sudah
meninggalkan Dwifungsi beberapa bulan sebelumnya , mendapat sambutan yang keras
dari pada aktivitas mahasiswa , tokoh-tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat , pakar
21

politik , bahkan Menteri Pertahanan Yuwono Sudarsono . Mereka menunjukkan


keputuisan MPR tersebut sebagai bukti betapa politisasi sipil menderita inferiority
complex terhadap tentara . Mereka juga menuduh MPR menghianati cita-cita dan gerakan
reformasi yang salah satu tuntutannya adalah depolitisasi militer . ( Said , 2003 : 208 )

Namun demikian , masih ada rasa keengganan di antara para petinggi militer untuk
mengakui pola hubungan sipil-militer yang cenderung kearah supremasi sipil yang telah
dijalankan . Di antara mereka memilih berpendapat netral yang tidak menimbulkan
dikhotomi sipil – militer . Supremasi sipil itu bukan berarti sipil mengontrol militer , atau
militer mengontrol sipil , namun supremasi sipil adalah supremasi hukum . Militer hanya
tunduk dan patuh kepada hukum yang berlaku yang dibuat oleh pemerintah sipil . Jadi
tidak ada istilah siapa yang dominan atau siapa yang menguasai . ( Yulianto : 2002 : 377
– 380 )

Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Abdurrachman Wahid


kemudian terlibat berusaha menimba pelajaran dari cara kurang hati-hati pendahulunya
mengurus tentara . begitu berhati-hatinya Megawati Soekarnoputri sehingga bukan saja
nyaris tak berbuat dalam mengelola tentara , ia bahkan memberi kesan bingung dalam
menghadapi urusan pergantian pimpinan mereka . Akibatnya , perwira yang sudah harus
diganti , tidak kunjung pensiun , dan yang harus mendapat promosi .

Dari pengalaman Presiden Abdurrachman Wahid yang kehilangan dukungan militer


hingga Presiden Megawati yang gamang menghadapi tentara , nampaknya hanya satu
kesimpulan yang harus dipetik : TNI ternyata masih suatu kekuatan politik yang kuat dan
karena itu tetap diperhitungkan untuk mengerti peran politik militer tersebut , marilah
kita tempatkan pengalaman para politisi itu dengan tentara dalam perspektif sejarah
politik TNI . Pengalaman Abdurrachman Wahid yang tersandung dalam urusan Agus
Wirahadikusumah , bukanlah suatu hal yang baru . Di pertengahan tahun lima puluhan ,
Menteri Pertahanan yang sipil Iwa Kusumasumantri mencoba memaksa TNI AD Kolonel
Bambang Utoyo sebagai KSAD . Keputusan yang melanggar persyaratan senioritas ,
ditolak Angkatan Darat . Insiden penolakan berakhir fatal bagi pemerintah.

Pada sidang MPRS 1967 . fraksi ABRI menarik dukungan dari Presiden Soekarno .
Akibatnya Indonesia terjadi pergantian kepala negara untuk pertama kalinya sejak
merdeka . Dilihat dari perspektif ini maka penolakan TNI AD kepada keinginan
Abdurrachman Wahid menjadikan Wirahadikusuma, mirip denmgan penolakan Bambang
Utoyo . Sebelumnya dan dukungan fraksi ABRI kepada Memorandum DPRGR pada
tahun 1967 , yang menjadi titik tolak jatuhnya Presiden Soekarno .

Tidak sulit untuk dimengerti kalau Megawati Soekarnoputri berusaha keras menghindari
nasib buruk Presiden Soekarno serta pengalaman tragis Presiden Abdurrachman Wahid .
Pengalaman Iwa Kusumasumatri , Soekarno dan Abdurrachman Wahid , semua
menunjukkan adanya garis merah kekuatan politik tentara yang kini masih belum
terputus-putus . Dan sikap gamang Presiden Megawati Soekarnoputri dalam urusan
tentara sudah seharusnya tidak ditafsirkan kecuali sebagai pembuktian bahwa Presiden
Megawati Soekarnoputri sangat sadar dan peka , terhadap kekuatan politik TNI , suatu
22

hal yang juga terlihat jelas dalam susunan kabinetnya . Kabinet Megawati Soekarnoputri ,
Abdurrachman Wahid maupun Habibie . Sebelumnya , jabatan-jabatan Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan , semua diberikan kepada pihak
militer . ( Said, 2003 : 213 – 215 )

Pada masa ketiga pemerintahan sipil baru , terdapat beberapa kebijakan –kebijakan yang
mampu mengurangi hak-hak istimewa militer . Keberhasilan mengurangi hak-hak
istimewa kelembagaan militer ini pada (1) Militer secara de jure tidak lagi mempunyai
hak istimewa dalam berpolitik ; (2) Menteri Pertahanan telah diisi oleh kalangan sipil ;
(3) Tidak adanya partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet : (4) Duduknya sejumlah
orang sipil di tingkat eselon 1 Departemen Pertahan dan juga duduknya pejabat sipil
menjadi orang nomor satu Lemhanas; (5 ) Pisahnya militer secara organisatoris dengan
polisi yang berarti peran militer terbtas hanya pada bidang pertahanan , sedangkan peran
polisi hanya dalam bidang keamanan dan keterlibatan masyarakat .

Dengan demikian , dapat dikatakan bahwa pemerintah sipil pasca Orde Baru meskipun
dalam hal beberapa kebijakan mampu mengurangi hak-hak istimewa kelembagaan
militer, namun pengurangan tersebut relatif tidak berpengaruh siginikan terhadap
penurunan kekuatan politik militer . Singkat kata , kebijakan pemerintahan sipil baru
dalam rangka penegakan supremasi sipil relatif kurang berhasil .

Kebijakan-kebijakan pemerintahan sipil baru yang menimbulkan kontestasi militer relatif


tinggi dan militer mampu mempertahankan hak-hak istimewa berkisar pada (1) Sejumlah
anggota militer masih berada di MPR sampai 2009 ; (2) Keberadaan anggota militer
dalam posisi-posisi penting dalam struktur organisasi Departemen Pertahananan, karena
pihak sipil relatif belum mampu menjalankan secara efektif hak istimewanya dalam
bidang ini ; (3) Dominasi lembaga inteljen militer dalam tugas bantuan terhadap polisi
yang bertugas dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat ;(4) peran lembaga
sipil inteljen negara yang relative belum mampu menjadi intelgence community yang
mempunyai wewenang rantai komando atas bandan-badan intelejen lainnya (5)
Terdapat sejumlah perwira tinggi , yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM , masih
relatif sulit untuk disentuh hukum , karena sistem pengadilan militer mencakup masalah
yang sangat luas dari masyarakat sipil sehingga tindak pelanggaran pidana criminal
murnipun yang seharusnya diadili di pengadilan umum dapat diadili di pengadilan militer
dan (6) Peran militer dalam bisnis, dimana militer masih tetap menjalankan misi ini
dengan alsan untuk keperluan biaya tuhas operasional dan pemeliharaan alutsista dari
terbatasnya anggaran belanja militer yang diberikan negara ( Yulianto 2002 : 611 – 613 )

Issu yang telah lama mewarnai perdebatan publik dalam mewujudkan profesionalisme
TNI dalam demokrasi selama ini adalah fenomena kemandirian finansial militer . Mantan
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengemukakan bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara ( APBN ) selama ini hanya mampu menyediakan alokasi anggoran
sebesar 30 % untuk membiayai seluruh kegiatan operasional TNI sedangkan selebihnya ,
yaitu 70 persen untuk membiayai operasional TNI itu dibiayai di luar APBN . Publik
selama ini tidak dapat memperoleh informasi yang lengkap mengenai sumber-sumber
23

pendanaan untuk menuntup kegiatan operasional itu . Fenomena itu membawa implikasi
yang luas , terutama dalam melembagakan fungsi pertahanan kepada publik .

Demokrasi mengisyaratkan pentingnya aspek transparansi dan akuntabilitas pada setiap


aspek penyelenggaraan kekuasaan negara kepada publik . Isu tentang pembiayaan
finansial bagi pertahanan dan keamanan itu semakin menjadi pembicaraan publik seiring
dengan pemberitaan media massa bahwa PT Freepot Indonesia telah menyalurkan dana
sebesar $ 5,.6 juta ( sekitar Rp. 50 milyard ) dalam membantu TNI menjalankan tugasnya
dipropinsi yang tengah bergejolak . Substansi persoalan adalah berapa pun jumlah serta
dari mana pun sumber –sumber pendanaan pembiayaan pelaksanaan fungsi pertahanan
itu selalu menuntut adanya mekanisme pertanggung jawaban kepada publik .
Kemandirian finansial militer dalam membiayai kegiataan operasional itu saja
melemahkan pelembagaan akuntanbilitas penyelenggaraan fungsi pertahanan kepada
publik tetapi upaya peningkatan profesionalisme militer sendiri . Suatu yang orinis pula ,
jika tuntutan profesionalisme militer itu tidak didukung oleh anggaran yang memadai .
( Ismanto , 2003 : 3 – 15 )

Kendati militer tidak berpolitik praktis, tetapi ada fenomena anggota militer
menyalurkan aspirasi politiknya lewat partai politik . Namun adanya kekhawatiran dari
berbagai kalangan , baik dari akademisi maupun pengamat yang menganggap masuknya
pensiunan militer sebagai upaya untuk mengontrol kehidupan politik sipil . Itu setidaknya
tergambar dari ungkapan para pengamat politik dalam menyikapi masuknya para jendral
purnawirawan tersebut ke dalam partai politik .

Kustanto Anggoro mencatat beberapa ekses negatif bergabungnya pensiunan militer ke


partai politik (1) Dengan masuknya pensiunan militer , setidaknya penyelesaian masalah
intern partai akan menggunakan gaya militer yang mendasarkan pengambilan keputusan
secara hirarki ; (2) Adanya pandangan politik yang menunjukkan kecenderungan bahwa
militer lebih mampu menjalankan roda perpolitikan bangsa dibandingkan sipil ; (3)
Dalam menyelesaikan konflik-konflik lokal , kebijakan yang diambil akan cenderung
menggunakan pendekatan militer .

Beberapa hal yang penting yang perlu dicermati mengapa pensiunan militer bermotivasi
untuk bergabung dengan partai politik : (1) Kepentingan individu , yakni ambisi-ambisi
pribadi militer untuk merebut posisi penting dalam sebuah jaringan kekuasaan politik ;
(2) Kepentingan kelompok , yaitu keinginan untuk mendominasi kelompok lain melalui
kekuasaan yang diperoleh ; dan (3) Kepentingan nasional , yakni mempertahankan dan
membangun keamanan negara dan masyarakat . dengan harapan mereka tetapi di catat
sebagai satu-satunya kelompok yang mampu menjaga persatuan bangsa dari ancaman
disintegrasi .

Terlepas dari sisi baiknya dan ekses negatif pensiunan militer tetap berkiprah dalam
kehidupan politik . Ada keraguan akan kemampuan pimpinan-pimpinan sipil dalam
melakukan kontrol dan menerapkan prinsip supremasi sipil atas militer . Padahal
perkembangan hubungan sipil-militer menurut Huntington , sangat bergantung pada
tindakan kepemimpinan sipil dalam sebuah negara demokrasi baru . Yang terjadi justrui
24

ketergantungan sipil terhadap militer semakin besar . Setidak-tidaknya terlihat pada


besarnya pengaruh militer dalam merumuskan kebijakan nasional . ( Ramdhany , 2003 :
44 – 51 )

Penutup

Sejak berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 , Indonesia di


hadapkan pada serangkaian perubahan politik mendasar dalam membangun sendi-sendi
kehidupan politik yang demokratis . Salah satu aspek dari serangkaian perubahan politik
itu adalah upaya untuk mendefinisikan kembali peran politik militer dalam konstelasi
politik yang telah berubah itu . Redefinisi itu pada hakekatnya dimaksudkan untuk
membangun profesionalisme dalam menjalankan fungsi utamanya , yaitu
mempertahankan eksistensi negara dalam menghadapai ancaman eksternal . Pengetahuan
profesionalisme militer merupakan aspek penting dalam mendukung transisi demokrasi .
Profesionalisme militer tidak saja akan memperkuat insitusi militer sebagai alat negara ,
tetapi juga menghindarkan militer dari arena tarik-menarik kepentingan politik yang pada
gilirannya justru hanya menempatkan militer sebagai alat kekuasaan militer berlaku .

Konsep supremasi sipil atas militer telah diterima secara luas sebagai acuan dalam
membangun sipil-militer bagi penegakkan demokrasi . Suatu masyarakat yang
demokratis hanya mungkin dapat dipertahankan bila setiap komponen bangsa , termasuk
militer yang memiliki kewenangan formal dalam menggunakan kekuataan fisik, tunduk
pada insitusi kenegaraan yang dihasilkan secara demokratis serta kebijakan-kebijakan
negara yang dihasilkannya . Hubungan sipil-militer yang mengacu pada konsep
supremasi sipil atas militer yang dikenal dengan kontrol sipil objektif ( objective civilian
control ) itu membawa beberapa konsekwensi : (1) Subordinasi militer kepada pimpinan
politik yang dipilih secara demokratis oleh rakyat ; (2) Pengakuan otonomi bagi militer
serta profesionalisme militer dan (3) menimbulkan intervensi militer dalam politik .

Makin menurunnya peran politik militer sejak jatuhnya Soeharto 21 Mei 1998 , bisa
ditafsirkan sebagai akibat menguatnya secara relatif peran politik sipil dan tekanan
internasional atas tentara . Penting untuk dicermati kenyataan bahwa bahkan sebelum
MPR dan DPR memutuskan sesuatu mengenai peran dan fungsi tentara pada pertengahan
Agustus 2000. Rapim Mabes TNI itu sendirilah yang menghapus peran politik mereka
dan memutuskan tenaga hanya pada pertengahan negara .

Sebaliknya jangan dilupakan , bahwa kemenangan sipil atas militer di era pasca Orde
Baru ini sebenarnya juga tidak terutama disebabkan oleh bertambahnya sumber daya
politik sipil , melainkan sebaliknya yang terjadi , yakni terus merosotnya secara drasis
sumber daya politik militer dari berbagai hujatan serta tekanan internasional atas
kesalahan-kesalahan masa lalu mereka yang dianggap penyelenggaran HAM. ( Said,
2003 : 205 – 207 )

Pemerintahan sipil baru dalam pengelolan konflik yang terjadi akibat penerapan
kebijakan-kebijakan barunya , relatif lebih bersikap akomodatif dan kompromistis .
25

Kebijakan-kebijakan pemerintah sipil baru yang berusaha mengontrol militer dilakukan


secara bertahap mengingat kekuataan dan pengaruh militer masih dalam peta perpolitikan
di Indonesia . Sikap akomodatif dan kompromis pemerintahan sipil juga diimbangi sikap
yang yang sama dipihak militer . Sikap ini dilakukan oleh kedua belah pihak yang
membawa dampak pada instabilitas sosial , politik dan ekonomi dan keamanan .

Dengan demikian , penyelesaian konflik dengan model akomodatif dan kompromi di


kedua belah pihak itu menunjukkan bahwa pemerintah sipil baru relatif masih
memberikan kesempatan atau peluang bagi militer untuk berkiprah dalam dunia politik
meskipun peraturan menyebutkan dalam batasan relatif peran tersebut dijalankan .
Penyelesaian model ini memang pada satu pihak meniadakan konflik yang
berkepanjangan namun di pihak lain tidak menuntaskan konflik yang berlangsung .
Dalam konteks inilah kekompleksan masalah-masalah di era transisi menuju konsolidasi
demokrasi terjadi .

Pihak militer yang sebelumnya mempunyai hak-hak istimewanya yang tertinggi dengan
posisi yang mapan dan nyaman yang kemudian di ungkit-ungkit kembali bahkan
diturunkan dari posisi yang tinggi ketingklat yang lebih rendah , secara sosiologis jelas
akan melakukan berbagai bentuk perlawanan dan tantangan dalam rangka
mempertahankan kemampannya. Oleh karena itu, tidak semudah untuk mengubah waktu
tradisi dan budaya kemampanan militer yang sudah mengakar ini waktu yang singkat dan
frontal .

Penyelesaian konflik dalam rangka penyelesaian kebijakan-kebijakan pemerintahan sipil


baru dengan jalan kompromi dan akomodatif relatif lebih aman mengingat pihak
pemerintahan sipil baru , begitu juga pejabat-pejabat politik sipil sipil masih belum
tumbuh rasa percaya diri untuk mampu mengontrol militer . Militer relatif masih
mempunyai kekuatan politik yang signifikan yang diperebutkan oleh pejabat-pejabat
politik sipil untuk mencari dukungan bagi kepentingan politik dan kekuasaan .

Dengan demikian , insitusi militer yang mempunyai struktur organisasi yang kuat dengan
disiplin , hirarki , dan semangat esprit de corps tinggi merupakan kekuatan laten yang
relatif dianggap pihak pemerintah sipil baru merupakan ancaman bagi proses
demokratisasi yang sedang berlangsung jika mereka gagal dalam mengawal transisi
demokrasi ini . Ketakutan atau semacam inferior complex dari pejabat-pejabat politik
sipil inmilah yang membuatnya lebih memilih jalan kompromi dan akomodasi dalam
upaya kebijakan-kebijakannya , khususnya kebijakan pemerintah sipil baru yang
melakukan pengurangan hak-hak istimewa militer . ( Yulianto, 2002 : 614 – 615 )

Alfred Stepan ada 11 ( sebelas ) hak-hak istimewa militer dalam sebuah rezim-rezim
demokratis baru ( masa transisi ) : Pada masa pasca Orde Baru telah terjadi perubahan
luar biasa terhadap hak-hak istimewa militer yang sangat dratis jika dibandingkan dengan
masa Orde Baru .

(1) Peranan Indenpeden Militer dalam Sistem Politik dijamin oleh konsitusi .
26

Dalam negara demokratis militer tidak mempunyai peranan independen dalam sistem
politik . Militer dalam menjalankan perannya menjain keamanan dalam negeri dan tertib
hukum hanya atas perintah pejabat ekskutif atau berdasarkan undang-undangan .

Militer Indonesia secara de jure dikatakan hanya sebagai pelaksana dari kebijakan
politik . Negara seperti yang tercantum dalam ketetapan MPR RI Nomor VII /MPR/ 2000
/pasal 5 , ayat 1. dengan demikian militer hanya akan menjalankan peran menjamin
keamaman negara jika diperintahkan oleh pejabat eksekutif berdasarkan undang-undang
kebijakan politik negara berada di tangga pemerintahan sipil yang dipilih secara sah dan
demokratis. Ataupun kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka
menjamin stabilitas keamanan negara , menjadi tanggung jawab militer sebagai aparat
keamanan untuk melaksanakannya .

Keterlibatan militer Indonesia dalam masalah keamanan dalam negeri dan tertib hukum
juga di atur dalam bentuk peraturan hukum . Dalam TAP MPR Nomor VII/MPR/2000
pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa TNI mempunyai peran ganda , disamping peran
eksistensial di bidang pertahanan juga berarti peran internal dalam hal keamanan dalam
negeri . Adanya peraturan ini membuka peluang kembali militer melakukan intervensi
dalam politik . Semakin jauh militer meninggalkan peran ekstrenalnya dan semakin
banyak ikut mencampuri urusan internal yang menjadi tanggung jawab kepolisian , di
samping dapat menurunkan profesionalismenya, juga semakin terbuka lebar kesempatan
ikut campur tangan dalam bidang politik , bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya
banyak pelanggaran tindak kekerasaan maupun pelanggaran HAM.

Ada hal lain yang menunjukkan bahwa militer masih mempunyai peran dalam sistem
politik , yaitu keberadaan anggota militer di DPR dan MPR . Dengan masih adanya jatah
kursi untuk anggota TNI dan Polri di DPR sampai tahun 2004 dan di MPR sampai
dengan tahun 2009 , hal ini menunjukkan bahwa hak-hak istimewa militer relatif tinggi ,
meskipun dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/ 2000 mengatakan bahwa militer tidak
akan melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis . Namun demikian dalam ketetapan
tersebut juga mengatur bahwa keterlibatan militer dalam menentukan arah kebijaksanaan
nasional disalurkan melalui MPR paling lama sampai dengan tahun 2009 , dari sini
terjadi ambivalensi mengenai keikutsertaan TNI dalam penyelenggaraan negara , di satu
pihak TNI sebagai pelaksana kebijakan politik negara , namun di sisi lain TNI masih ikut
terlihat di MPR sampai 2009 .

(2) Hubungan Militer dengan Kepala Eksekutif

Dalam rezim negara demokratis , hak-hak istiomewa lembaga militer dikatakan


rendah jika Kepala Eksekutif de jure dan de facto merupakan Panglima Tertinggi ,
sedangkan jika de facto , kontrol angkatan besernjata ada di tangan Panglima Angkatan
Bersenjata aktif maka hak-hak istimewa militer tinggi .

Dalam kasus Indonesia , secara de jure Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas
Angkatan Darat , Angkatan Laut , dan Angkatan Udara ( Pasal 10 UUD 1945 ) . . Secara
de jure presiden juga mempunyai wewenang untuk memberhentikan dan mengangkat
27

Kepala Staf Angkatan , namun demikian hal itu juga harus berdasar atas usulan dari
Panglima TNI melalui prosedur Wanjakti . Bahkan , Presiden juga menetapkan kenaikan
pangkat menjadi Kolonel dan yang lebih tinggi , namun demikian hal ini juga harus
berdasarkan usulan dari Wanjakti masing-masing angkatan . Pasal 11 UUD 1945
disebutkan pula bahwa persiden menyatakan perang dan membuat perdamaian atas
persertujuan DPR , begitu juga pasal 12 UUD 1945 menyatakan bahwa presiden
menyatakan keadaan bahaya yang syarat dan akibatnya di atur oleh undang-undang .

( 3 ) Koordinasi Sektor Pertahanan

Dalam rezim demokratis , hak-hak istimewa militer rendah jika de jure dan de facto
koordinasi pertahanan dilakukan oleh pejabat tingkat kabinet biasanya orang sipil yang
ditunjuk oleh pejabat eksekutif yang mengontrol staf yang melibatkan banyak pegawai
negeri professional atau pemimpin politik sipil , sedangkan hak-hak istimewa militer di
klasifikasikan tinggi jika de jure dan de facto koordinasi pertahanan dilakukan oleh
Kepala-kepala Staf Angkatan secara terpisah dengan pengawasan yang lemah dari pihak
Markas Besar gabungan dan perencanaan yang lemah dari Kepala Eksekutif .

Dalam kasus Indonesia pada masa pasca Orde Baru , koordinasi sektoir pertahanan mulai
Dilakukan oleh sesorang menteri pertahanan dari sipil yang dibantu oleh beberapa
stafnya yang berasal dari militer dan juga pegawai negeri sipil yang dibantu oleh
beberapa stafnya yang berasal dari militer dan juga pegawai negeri sipil professional .
Kedudukan menteri pertahanan seperti juga menteri lainnya kepada di bawah presiden
dan bertanggung jawab kepada Presiden . Namun demikian , Menteri Pertahanan tidak
mempunyai fiungsi komando atas militer melainkan melaksanakan fungsi umum
pemerintahan dengan cakupan tugas pembinaan kemampuan pertahanan dan upaya
pendayagunaan sumber daya nasional yang tersedia untuk kepentingan pertahanan .
Wewenang komando dalam penyelenggaraan pertahanan dipegang oleh Presiden dibantu
Panglima TNI .

(4) Partisipasi Militer Dinas Aktif Dalam Kabinet

Dalam rezim demokratis de jure dan de facto partisipasi militer kabinet cenderung
tidak ada , kalaupun ada partisipasi militer dalam kabinet hanya mewakili atau sebagai
menteri angkatannya sendiri-sendiri , jika di perlukan . Dalam kasus Indonesia pada masa
pasca Orde Baru , partisipasi militer dinas aktif dalam kabinet tidak ada . Kalau pun ada ,
pejabat militer yang menduduki jabatan menteri sudah alih status atau pensiun dini .

Terlepas dari adanya pro dan kontra masalah partisipasi kalangan militer dalam kabinet ,
yang jelas perangkat hukum telah mengatur bahwa persiden mempunyai hak prerogatif
untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri dalam kabinet , tanpa harus
mendapat persetujuan dari DPR , baik itu dari kalangan militer atau sipil . Namun
demikian , ada peraturan juga yang mengatur bahwa jika militer duduk di luar struktur
porganisasi militer , kecuali lembaga DPR/MPR , maka militer harus pensiun dan alih
status selama prosedur-prosedur hukum tersebut tidak menyalahi agenda demokrasi yang
salah satunya adalah penegakkan supremasi hukum itu sendiri.
28

( 5 ) Peran Badan Pembuat Undang-Undang dalam Bidangh Pertahanan

Dalam negara demokratis sebagian besar isu-isu kebijakan penting yang


mempengaruhi anggaran belanja militer , struktur militer , serta prakarsa persenjataan
baru militer dipantau oleh badan pembuat undang-undang Pejabat tingkat kabinet dan
para pembantu pimpinan secara rutin hadir di dalam komisi legislative untuk
mempertahankan menjelaskan prakarsa kebijakan dan mempresentasikan undang-undang
.
Pada pasca Orde Baru , hak-hak istimewa militer relatif berada pada tingkat rendah ,
karena fungsi DPR dalam membuat UU , khususnya bidang pertahanan , dilaksanakan
secara serius dengan mempertahankan aspirasi dan suara dari berbagai kalangan sipil
maupun militer . Hal ini mencerminkan bahwa kecenderungan pola hubungan sipil-
militer pada saat ini relatif menuju kearah kontrol sipil . Di masa Orde Baru , militer lebih
dominan dalam penentuan masalah pembuatan produk hukum di bidang pertahanan
keamanan . Sekarang militer cenderung mulai mengakui dan memberikan kesempatan
kepada kalangan sipil untuk ikut serta terlibat dalam masalahj-masalah pertahanan ,
karena masalah-masalah pertahanan bukan mitlak milik militer , namun juga semua
warga negara .

(6) Peranan Pegawai Negeri Sipil atau Pejabat Politik Sipil Senior dalam Permususan Ke
bijakan memainkan peranan penting dalam membantu badan eksekutif dalam meran
cang dan menerapkan kebijakan pertahanan nasional .

Dalam negara demokratis yang menganut paham, supremasi sipil , kader professional
dari pegawai negeri sipil yang berpendidikan atau pejabat politik sipil yang membuat
kebijakan memainkan peranan penting dalam membantu badan eksekutif dalam
merancang dan menerapkan kebijakaan pertahanan nasional .

Pada masa Orde Baru struktur organisasi di sektor pertahanan relatif hampir semua diisi
oleh pejabat militer dinas aktif . Sekarang pejabat sipil yang mulai banyak dalam jajaran
Departemen Pertahanan turut aktif berperan dalam membantu merumuskan kebijakan-
kebijakan pemerintah . Begitu juga dalam tubuh ketiga angkatan , pegawai negeri sipil
mulai diberikan kesempatan untuk menduduki jabatan struktural bagi mereka yang sudah
mencapai golongan III keatas . Pejabat-pejabat politik sipil juga turut aktif membantu
pemerintahan dalam merancang kebijakan-kebijakan pertahanan .

(7 ) Peran Militer dalam Dunia Inteljen Negara

Dalam negara demokratis , peran dinas iunteljen secara de jure dan de facto
dikendalikan oleh rantai komando sipil . Pada masa Orde Baru . peran dinas intejen
puncak berada ditangan-tangan para pejabat militer aktif . Ada Bakin , BAIS ( BIA ),
Kopkamtip dan Opsus . Tindakan aparat inteljen pada masa Orde Baru sungguh relatif
sangat kejam , sehingga benar-benar ditakuti oleh masyarakat .

Sekarang , secara de jure , peran dinas inteljen . Negara berpusat pada masa rantai
komando sipil yakni Badan Koordinasi Inteljen Negara ( Bakin ) yang saat ini berganti
29

nama dengan Badan Inteljen Nasional ( BIN ) secara de jure adalah lembaga sipil yang
dipimpin oleh pejabat sipil pula yang bertugas mengkoordinasikan seluruh lembaga
inteljen yang ada di Indonesia , seperti BIA , badan inteljen yang ada di kejaksaaan agung
, kepolisian negara RI , Imigrasi Bea Cukai , Dirjen Khusus Departemen Dalam Negeri
dan Dirjen Khusus Departemen Luar Negeri .

Hak-hak istimewa dalam peran dinas inteljen relatif tinggi . Peran BIN belum mampu
menjadi loordinator dari semua badan inteljen yang ada di Indonesia , meskipun secara
stuktural BIN sudah di isi oleh beberapa pejabat sipil . Peran dinas inteljen saat ini masih
didominasi oleh inteljen militer .

(8) Tugas Bantuan Militer dalam Kepolisian

Dalam negara demokratis , kepolisian kedudukan berada di tangan kementerian non-


militer atau pejabat lokal/daerah . Di Indonesia pada masa Orde Baru , kepolisian
merupakan bagian dari ABRI sesuai dengan UU No. 20 /1982 , bergabungnya polisi
dalam ABRI ternyata membawa dampak negatif. Banyak terjadi pelanggaran –
pelanggaran kekerasaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terutama dalam persoalan
penanggulangan huru-hara . Tindakan kekerasaan ini diakibatkan oleh pengaruh doktrin
militer selama menjalankan menjalankan pendidikan AKABRI . Doktrtin polisi sebagai
pengayom , pelindung serta pelayan masyarakat terkontaminasi dengan doktrin militer
yang memang bercirikan kekerasaan dan penghancuran musuh . Oleh karena itu
berdasarkan pertimbangan profesionalisme dan untuk memberikan otonomi yang lebih
luas bagi Polri maka pada tanggal 1 April 1999 , Polri secara organisasi terpisah kembali
dari ABRI , yang berganti nama menjadi TNI . Jadi kedudukan Panglima TNI dan
Kalpolri uni adalah sejajar .

( 9 ) Peran Militer dalam Promosi

Dalam negara yang demokratis , badan pembuat undang-undang membahas dan


menyetujui undang-undang tentang promosi . Dewan promosi militer yang profesional
membuat rekomendasi kepada menteri dan selanjutnya menteri merekomendasikan
kepada Kepala Eksekutif pihak eksekutif tidak terhalang dalam penemuan kebijakan
penting .

Dimana Orde Baru , masalah promosi militer pada tingkat tertinggi sangat tergantung
dari presiden , meskipun de jure dalam UU No 2 / 1982 pasal 23 sudah mengatur
kewenangan presiden terbatas dalam promosi pengangkatan Panglima TNI , para Kepala
Staf Angkatan dan juga Kapolri . Pengangkatan diluar jabatan tersebut di atur lebih lanjut
oleh Panglima TNI . Namun demikian , de facto menunjukkan bahwa Presiden Soeharto
menjadi satu-satunya penentu dalam karir jabatan seseorang perwira tinggi militer .
Kontrol presiden kepada militer begitu kuat sehingga militer tidak lagi menjadi alat
negara namun lebih cenderung menjadi alat kekuasaan .

Pada masa pasca Orde Baru , pola promosi tidak lagi bertumpu kepeda presiden namun
lebih mengandalkan pada sistem dan prosedur profesionalisme yang berlaku dalam
30

lingkungan TNI , yaitu melalui Wanjakti . Kedudukan Panglima RNI menjadi sangat
penting dalam proses mutasi maupun promosi kenaikan pangkat terutama untuk perwira
tinggi dibawah kepada Kepala Staf Angkatan . Hanya Presiden Abdurrachman Wahid
yang turut campur tangan dalam urusan tersebut . Promosi Letjen Agus
Wirahadikusumah menjadi Pangkostrad tidak terlepas dari intervensi Presiden
Abdurrachman Wahid .

( 10 ) Keterlibatan Militer dalam Perusahaan Negara/Swasta ( Bisnis Militer )

Hak-hak militer dikatakan rendah jika dalam suatu negara tidak diketemukan
perwira dinas aktif mempimpin sebuah perusahaan negara atau swasta (berbisnis ) .
Sedangkan hak-hak istimewa militer tinggi jika dalam negara tersebut , karena hukum
dan juga tradisi , perwira dinas aktif justru mempimpin perusahaan negara atau swasta .
Realitas bahwa militer sampai saat ini masih melakukan bisnis yang dimulai sejak Orde
Lama , sebenarnya secara logika masih dapat diterima karena memang alokasi anggaran
belanja militer dari pemerintah tidak mampu mendukung biaya pemeliharaan alat
alutsista , apalagi jika dilihat dari tingkat kesejahteraan prajuritnya yang masih jauh dari
standard hidup sederhana .

Secara de jure mengatur bahwa militer aktif tidak boleh melakukan kegiatan bisnis ,
namun de facto sampai masa Orde Baru militer Indonesia masih melakukan kegiatan-
kegiatan bisnis . Namun demikian bisnis militer ini memang ditanggapi oleh pemerintah
sipil secara akomodatif , karena pemerintah sipil menyadari ketidakmampuannya
mendukung sepenuhnya alokasi anggaran belanja militer . Disamping itu , jika
persoalannya seberapa jauh tingkat keterlibatan militer aktif dalam perusahaan , maka
pada masa Orde Baru , tidak ada perwira militer aktif menduduki jabatan dalam struktur
kepengurusan negara , karena de jure melarang hal ini . Keterlibatan militer aktif sejauh
ini hanya pada tingkat urusan internal militer, baik yang menyangkut yayasan militer dan
koperasi .

( 11 ) Peran Militer dalam Struktur Hukum

Dalam negara demokratis hak-hak istimewa dapat dikatakan rendah jika militer
tidak mempunyai yuridiksi , legal diluar wilayah yang terbatas mengenai pelanggaran
internal atas disiplin militer . Di luar wilayah ini sipil maupun militer harus tunduk pada
hukum sipil dan pengadilan sipil .Sedangkan hak-hak istimewa militer dikatakan tinggi
jika undang-undang keamanan nasional dan sistem pengadilan militer mencakup bidang
yang khas dari masyarakat politik dan masyarakat sipil . Kemungkinan bahwa militer
dapat diadili di pengadilan sipil angat kecil

Dalam kasus militer di Indonesia , bahwa kemungkinan militer di adili di pengadilan sipil
adalah sangat kecil . Pelanggaran-pelanggaran anggota militer di luar wilayah internal
militer ( disiplin militer , seperti pelanggaran HAM dan pelanggaran kriminal ) , sulit
untuk diadili melalui pengadilan sipil . Kasus-kasus semacam itu hingga saat ini lebih
banyak ditangani melalui pengadilan militer militer dan atau pengadilan koneksitas
daripada di pengadilan sipil . Sehingga hukum yang dijatuhkan dari pengadilan-
31

pengadilan tersebut atas tindak pelanggaran anggota militer relative tidak mencerminkan
keadilan dan bertentangan dengan filosofi dari sistem hukum militer . Hal ini berarti
sistem hukum peradilan militer mencakup aspek yang sangat luas di luar masalah internal
pelanggaran disiplin militer . ( Yulianto , 2003 : 509 – 596 )

Beberapa tantangan terhadap reformasi internal dan menuju tentara professional .


Beberapa tantangan terhampar yang harus ditempuh dalam melakukan reformasi dan
mencapai tentara yang lebih professional dalam suatu negara demokratis .

( 1) Terjadi salah tafsir di kalangan internal militer tentang susunan negara ; (2) Kurang
jelasnya persoalan antara bidang pertahanan dan keamaman ; ( 3) Keterbatasan anggaran
TNI ; ( 4) Keterlibatan militer dalam bisnis ; (5) Belum adanya platform yang jelas dan
tegas Dari kekuatan sipil untuk bersama-sama membatasi ruang gerak militer dari politik
; (6) TNI belum mempunyai suatu konsep yang disepakati bersama menganai reformasi
(internal ) ; (7) Belum ada kesepakatan mengenai reformasi pengertian hubungan sipil-
militer , khususnya apa yang disebut dengan supremasi sipil ; (8) Tantangan budaya dan
penyesuaian mental ; (9) Doktrin-doktrin perlu di tinjau dan di ubah ; ( 10 ) Sistem
komando teritorial ini harus disesuaikan dengan fungsi utama TNI; (11) Belum adanya
kesepakatan mengenai pengertian hubungan sipil-militer , khususnya apa yang di sebut
dengan supermasi sipil dan (12) Adanya sikap saling hrmat – menghormati dan saling
percaya antara pihak militer dan sipil .

Dengan jatuhnya Orde Baru membawa perubahan Indonesia ke alam demokrasi . Dalam
alam demokrasi terjadi banyak perubahan . Di antaranya digugatnya peran militer dan
tidak boleh lagi terlibat dalam politik . Peran militer adalah sebagai alat pertahanan .
Profesionalisme militer sesungguhnya tergantung pada membangun visi dan keamanan
politik semua kekuatan sipil untuk membangun profesionalisme militer yang sungguh-
sungguh mengakui supremasi sipil .
32

Bibliografi

Abdullah , Taufik ,” Purnakata II,: dalam Salim Said . Tumbuh dan Tumbangnya Dwi
fungsi . Jakarta . Aksara Karunia , 2003 . hlm, 235 – 250 .

Alexandra , Lina A dan ASndi Widjayanto .” Militer dan Pemilu 2004 “ Analisis CSIS ,
VO. 33 , No. 1 , Maret 2004 . hlm. 106 – 204

Azca , M Najib . 1998 . Hegemoni Tentara . Yogyakarta : LKIS

“ Editorial “ Diponogoro 74 , No. 7 /Tahun III/April 2004 .

Eko, Sutoro 2002 Demiliterisasi , Demokratisasi dan Desentralisasi.Yogyakarta Institute


For Reseach and Empowerement ( IRE ) , hlm. 1 – 8 .

Habib, A Hasnan ,” Hubungan Sipil-Militer Pasca Orde Baru dan [rospektifnya di Masa
Depan .” Progresif ,Vol I No 1 , Oktober 2002 , hlm. 14 – 33 .

Haramain , A Malik ,” Sejumlah Agenda Reposisi Militer ,”Progresif , Vol 1 No. 1 ,Okto
ber 2002, hlm. 52 – 64 .

Irwanto , Budi .1999 Film, Ideologi dan Militer . Hegemoni Militer dalam Sinema Indo
nesia . Yogyakarta : Media Pressindo .

Ismanto, Ignasius .” Tinjauan Perkembangan Politik : Dinamika Politik Memasuki Tahap


Persiapan Pemilu ,” Analisis CSIS , Tahun XXXII/2—3/ No.1 ,hlm. 3 – 15 .

Kammen , Douglas A .” Politik ABRI dan Kekaryaan .” Diponogoro 74,No.7 /Tahun III/
April 2004 .

Maniruzzaman , Takulder . 1998 . Militer Kembali Ke Barak . Sebuah Studi Komparatif .


Yogyakarta ; Tiara Wacana .

Nordlinger , Eric A . 1990 . Militer dalam Politik . Jakarta : Rineka Cipta.

Ramdhany , Romy ,” Militer Indonesia Di Era Transisi Politik, “ Progresif , Vol I No. 1 ,
Oktober 2002, hlm. 44 – 51 .

Said, Salim . 2003 . Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi . Jakarta : Aksara Karunia .

Singh, Bilveer . 1996 . Dwifungsi ABRI , Asal-Usul , Aktuaklisasi dan Implikasinya bagi
Stabilitas dan Pembangunan . Jakarta : Gramedia .

Stepan, Alefred . 1996 . Militer dan Demokratisasi . Pengalaman Brazil dan Beberapa
Negara Lain . Jakarta : Pustakla Utama Grafiti .
33

Supriyanto ,, Hendri . 1994 . Nasution , Dwifungsi ABRI dan Kontribusi Ke Arah


Reformasi Politik . Surakarta : Sebelas Maret University Press .

Yulianto, Arief .2002. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru . Di


Tengah
Pusaran Demokrasi . Jakarta : Raja Grafiondo Persada , hlm. 346 – 348 .

You might also like