You are on page 1of 45

Peter Kasenda

Soekarno, Marx dan Lenin

Adapun dari Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu ! Marx dan Engels
bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala
zaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau zaman ini berubah; teori-teorinya haruslah
diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels
sendiripun mengerti akan hal ini, mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering
menunjukkan perubahan paham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada zaman
mereka masih hidup.
Soekarno, 1926

Semenjak kelahirannya diakhir abad ke-19, Marxisme membawa dampak luar biasa bagi orde
kehidupan umat manusia, terutama sebagai alat bongkar manipulasi ideologi yang
menyembunyikan penipuan massal. Selain membongkar manipulasi, ia sekaligus menawarkan
panduan ideologi massa rakyat yang tertindas. Dalam kurun waktu dimana mayoritas masyarakat
dunia masuk ke gerbang-gerbang proletariat, mengalami anomali dan pewahyuan jerih atas
kapitalisme; Marxisme hadir bukan dengan lelamunan profan namun tindakan kongkrit ke arah
penyelamatan sosial. Para penantang menganggap Marxisme merupakan momok yang
menakutkan. Ia tak hanya di kecam, namun juga diburu dan dikutuk oleh kaum reaksioner yang
bertahan melakukan penghisapan dan pemelaratan orang banyak untuk menyenangkan segelintir
orang. Marxisme yang mampu menciptakan kegelisahan yang mendunia itu, ibarat hantu yang
gentayangan, suatu ajaran yang tidak diberi tempat hanya karena ia menyediakan sarana
terlengkap bagi pembebasan kelas tertindas. Teristimewa, Marxisme memang menawarkan
cahaya dunia baru. Sebuah pijar optimisme historis sebagai antitetis masyarakat kapitalis yang
penuh kontradiksi dan antagonisme kelas, serta menduga adanya keadilan merata secara nyata di
bumi manusia.

Ajaran Karl Marx menyatakan bahwa pertentangan dua kelas utama yang menjadi penggerak
dari perubahan masyarakat secara dialektik. Masyarakat telah berkembang secara dialektik
melalui beberapa tahap – masyarakat perbudakan, masyarakat feodal, masyarakat kapitalis.
Dalam masyarakat terakhir ini terjadi pertentangan dua utama yaitu kapitalis (yang memiliki
alat-alat produksi) dan kaum proletariat (yang hanya memiliki tenaga). Jika masyarakat kapitalis
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

telah berkembang, masyarakat itu akan berubah --sebagai gerakan dilaektik terakhir— menjadi
masyarakat komunis. Kapitalisme akan hancur karena krisis intern dan hanya sosialisasi alat-alat
produksi akan mengakhiri kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Menurut Marx, kaum proletar
akan memainkan peranan historik untuk merombak keadaan masyarakat dengan merebut
kekuasaan dari kaum kapitalis melalui revolusi dan menguasai alat-alat produksi. Pertarungan
antara kaum kapitalis melawan kaum proletar dan akan merupakan pertentatangan kelas yang
terakhir dan dengan demikian gerak dialektik akan berakhir. Revolusi akan mengawali ‘diktatur
proletariat yang revolusioner’ yang merupakan transisi ke masyarakat komunis. Masyarakat
komunis pun mengenal suatu tahap awal (the first phase of communist society) yang kemudian
oleh Lenin disebut ‘tahap sosialisme’ – dimana ‘setiap orang memberi sesuai dengan
kemampuannnya dan menerima ssuai dengan karyanya.’

Pada masyrakat yang telah mencapai komunisme penuh (yang disebut the higher of communist
society) prinsip ekonomi telah meningkat menjadi ‘setiap orang memberi sesuai dengan
kemampuannya, menerima sesuai dengan kebutuhannya.’ Dalam masyarakat komunis ini,
menurut Marx, kelas sosial telah tiada, dan dengan sendirinya pertentangan kelas dengan segala
kekerasannya juga telah berakhir. Tiada lagi eksploitasi, penindasan dan paksaan negara yang
oleh Marx dianggap sebagai alat pemaksa di tangan kelas yang berkuasa tidak lagi perlu ada dan
akan melenyapkan. Tetapi mereka terbagi dalam beberapa kelompok yang memiliki tafsiran
yang berbeda-beda mengenai ajaran Marx. Terdapat perbedaan antara lain mengenai cara
mencapai tujuan (apakah harus melalui revolusi dan tindakan langsung) atau cukup dengan
memperjuangkan perubahan dan perbaikan sepotong-potong seperti misalnya hari kerja delapan
jam dan berbagai jaminan sosial. Di satu pihak ada seorang tokoh sosialis Jerman, Eduard
Bernstein, yang berpendapat bahwa tujuan dapat dicapai tanpa revolusi, melainkan melalui jalan
parlementer. Karena pemikirannya yang begitu menyimpang dari ajaran Marx, ia dinamakan
Revisionis. Di satu pihak lain ada kelompok yang memperjuangkan ‘aksi langsung’ dan revolusi,
termasuk Lenin dan Rosa Luxemburg (Jerman).

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Di tengah-tengah dua ujung ekstrem ini terdapat yang dinamakan The Socialist Center,
diantaranya, Bebel (Jerman), C. V. Plekhanov (Rusia) di mana Karl Kausky seorang pemimpin
keturunan Jerman, memainkan peranan yang sangat penting. Secara formal Kausky tetap
berpegang pada ajaran revolusioner Marx, tetapi dalam tindakannya Kausky dengan SPD-nya
bertindak lebih mirip dengan Breinstein karena tidak berusaha mengadakan revolusi di Jerman,
melainkan mencoba menguasai pemerintah melalui kemenangan dalam pemilihan umum.
Sesudah Perang Dunia I pecah, jurang antara pihak moderat dan pihak revolusioner tak
terjembatani lagi. Di mana-mana golongan kiri memisahkan diri dan membentuk partai komunis.
Partai komunis di bawah Lenin berhasil memimpin Revolusi Oktober di Rusia pada tahun 1917.
Dan dua tahun kemudian Lenin berhasil menggabungkan partai-partai komunis di Eropa dalam
suatu organisasi baru. Internasionale III (yang sering dinamakan Internasionale Komunis atau
Comintern, (1919 – 1943) yang bermarkas di Moskow. Terutama dibawah Joseph Stalin (1879 –
1933). Comintern merupakan suatu organisasi monolitik yang secara ketat menguasai kegiatan
organisasi-organisasi komunis di berbagai negara sehingga sering disebut ‘markas besar
komunisme internasional’.

Sementara itu, dalam kurun waktu antar dua perang dunia (1919 – 1942) partai-partai sosialis di
Eropa Barat berhasil berkembang sekalipun mereka berjuang di dua front, yaitu melawan kaum
borjuis yang takut akan perubahan dalam status quo dan melawan kaum komunis yang
menganggap kaum sosial-demokrat sebagai pengkhianat terhadap perjuangan buruh. Partai-
partai sosialis merasakan perlu untuk mendirikan organisasi internasionale dan pada tahun 1923
Internasionale Buruh dan Sosialis (Labor and Socialist Internasional) didirikan. Internasionale
ini ingin memperjuangkan cara kerja yang demokratis dalam rangka sistem ekonomi yang ada.
Pada tahun 1931, mereka secara resmi menerima perencanaan dan sistem ekonomi campuran
sebagai sarana utama untuk mencapai sosialisme. Internasionale Sosialis ini dibubarkan pada
tahun 1933, ketika sebagian Eropa di kuasai oleh Hitler. Sebenarnya sejumlah pemimpin
Indonesia telah bersentuhan dengan sebuah partai sosialis yang berkembang di negeri kincir
angin yang tertarik pada persoalan rakyat Indonesia serta menentang perluasan kekuasaan
Belanda dengan cara kekerasan di Hindia Belanda. Partai ini adalah Partai Pekerja Sosial
Demokrasi atau Social-Democratische Arbeidersparty (SADP) yang didirikan di Amsterdam

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pada tahun 1894. Sejak awal berdirinya, partai ini mengkampanyekan pengingkatan standar
hidup rakyat Indonesia agar benar-benar mandiri. Pada awal Maret 1901, partai ikut
memperjuangkan ketentuan-ketentuan tentang kesejahteraan dari kebijakan politik etis kolonial.
Di Parlemen, wakil-wakil partai ini berhasil memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia.
Informasi tentang aktivitas partai ini sampai kepada pemimpin Indonesia melalui percetakan-
percetakan Belanda dan lebih sering melalui hubungan dengan para sosialis Belanda yang tinggal
di Indonesia yang beberapa diantaranya adalah anggota SDAP.

Tetapi Marxisme diperkenalkan secara resmi ke Indonesia adalah pada tahun 1914 bersamaan
dengan berdirinya Indische Social Demokratische Vereeinging (Sarekat Sosial Demokrasi
Indonesia) menancapkan akar pertamanya kuat-kuat di tanah Indonesia. Sarekat ini sebagai
organisasi sosialis pertama yang berdiri di Asia Tenggara. Para pendirinya adalah sekelompok
orang Belanda yang dipimpin oleh H. J. F. M. Sneevliet. Hendrikus Josephus Franciscus Marie
Sneevliet datang ke Jawa pada tahun 1913, dan bekerja sebagai pemimpin redaksi harian Soera
Bajasch Handelsblad selama dua bulan. Kemudian ia menjabat sebagai sekretaris Kamar Dagang
(Semarangse Handelsvereniging). Ia juga bergabung dengan Vereeniging van Spoon en
Tramweg Personeel (VSTP) atau perhimpunan buruh Kereta Api dan Trem. Dengan pimpinan
Sneevliet VSTP, yang merupakan organisasi buruh terbesar yang pertama di Indonesia menjadi
radikal. Pada tahun 1914 Sneevliet (yang anggota SDAP) bersama J. A. Brandsteder, H. W.
Dekker dan P. Bergsma mendirikan partai sosialis yang pertama di Hindia Belanda. Melalui
majalah Het Vrije Woord faham sosialisme mulai disebarkan. Tetapi ternyata orang-orang
Indonesia menganggap sebagai oraganisasi bangsa asing.

Untuk mendapat pengikut di kalangan bumi putera, Sneevliet mengembangkan suatu metode
inflitrasi yang baru, yaitu teknik ‘bloc within’ dengan keanggotaan dua partai. ISDV
mengusahakan hubungan dengan Sarekat Islam yang pada waktu itu berkembang pesat sebagai
pergerakan kebangsaan. Berkat hubungan itu, Sneevliet dan Baars berhasil dengan leluasa dalam
sidang-sidangnya tentang soal-soal perburuhan dan pemerintahan. Kontaknya yang erat dengan
Ketua SI Semarang, Semaoen, memberikan kesempatan baginya untuk berceramah dalam

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kursus-kursus kader, sehingga ISDV akhirnya banyak memperoleh pengikut di dalam SI yang
menciptakan keanggotaan ganda. Banyak anggota ISDV menyelundup ke dalam tubuh SI,
sebaliknya, aktivis-aktivis SI menjadi anggota ISDV. Bahkan orang-orang seperti Semaoen,
Dharsono, Alimin Prwirojirdjo dan Tan Malaka adalah sekaligus tokoh dan pimpinan kedua
organisasi yang berlainan pahamnya itu. ISDV menjadi lebih radikal setelah berdirinya Soviet
Rusia pada tahun 1917. Pada waktu yang bersamaan berangsur-angsur anggota-anggota
pengurus Belanda meninggalkan oganisasi ini karena dibuang oleh pemerintah Belanda. Sebab
itu tahun 1919 Semaoen dan Dharsono diangkat menjadi sebagai pimpinan ISDV menggantikan
Sneevliet (yang berdiam di Kanton sebagai Komintern dan berhubungan dengan Komintern Sun
Yat Sen). Sebelumnya, sebagai anggota SI Semarang, pada tahun 1918 keduanya telah diangkat
pula menjadi anggota pengurus sentral SI di Surabaya.

Semaoen dan Dharsono berhasil mempengaruhi SI untuk bergeser kiri. Kongres SI yang ketiga
pada tanggal 29 Oktober 1918 di Surabaya memutuskan menetang pemerintah sepanjang
tindakannya yang melindung kapitalisme; pegawai pemerintah dianggap sebagai alat penyokong
kepentingan kapitalis. Dalam kongres itu ditetapkan tuntutan peratuan sosial kaum buruh, seperti
upah minimum. Maksimal jam kerja dan lain-lain, untuk mencegah penindasan dan perbuatan
sewenang-wenang. Ketika tahun 1918 SDAP di negeri Belanda dirubah menjadi Partai Komunis
Holland, maka di kalangan ISDV rupanya timbul niat yang sama. Dengan demikian dalam
kongres ke VII bulan Mei 1920 terbentuklah Perserikatan Komunis Hindia dengan Semaoen
sebagai ketuanya. Dengan demikian organisasi ini melibatkan diri pada Commintern yang
berpusat di Moskow. Kebijakan yang ditetapkan Komintern bagi anggota-anggotanya (partai-
partai komunis) boleh bekerja sama dengan kaum borjuis nasional dalam usaha menumbangkan
kekuasaan imperialis. Itulah sebabnya di Hindia Belanda dibentuk Persatuan Pergerakan
Kemerdekaan Rakyat dan terdiri dari PKI dan SI. Tetapi segera nampak bahwa persatuan itu
tidak dapat bertahan. Masing-masing organisasi memegang teguh ideologinya sendiri-sendiri.
Selain itu timbul perpecahan antara golongan kanan (Tjokroaminoto) dan golongan kiri
(Semaoen dan Dharsono) dalam Sentrl SI yang berkedudukan di Surabaya itu. Juga dalam
bidang perburuhan timbul pertentangan antara Semaoen (PKI) dan Soeryopanoto (SI).

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pemimpin PKI dituduh mendahulukan kepentingan revolusi dunia ketimbang kepentingan


Indonesia oleh para pemimpin SI yang anti Komunis, sedangkan PKI menuduh Sarekat Islam
mengabdikan diri pada Pan Islamisme dan bukan pada penderitaan yang dihadapi rakyat
Indonesia. Tetapi sesungguhnya yang menjadi pertarungan dalam argumentasi ini ialah
perjuangan kekuasaan dalam gerakan itu. SI sangat sukar kedudukannya, karena sebagai
organisasi Indonesia yang utama ia menghadapi beban akibat kecurigaan dan tindakan
pembalasan pemerintah. Dengan menyempitnya kemungkinan untuk partisipasi politik yang
berarti, dan dengan berulang-ulangnya serikat-serikat buruh menderita kekalahan, para
pemimpin SI mulai mencari dasar kegiatan yang akan menjamim tetapnya kesetiaan rakyat tapi
juga menghindari konfrontasi dengan pemerintah. Tekanan yang lebih besar pada agama
tampaknya merupakan kemungkinan yang terbaik, dan pemimpin utama SI ‘putih’, Haji Agus
Salim mendesak gerakan ke arah ini dan memutuskan hubungan dengan PKI. Pertumbuhan
golongan kiri dalam lingkungan Sarekat Islam pada waktu itu semakin berbahaya sifatnya, sebab
walaupun banyak orang menginggalkan SI karena putus asa, mereka yang masih di dalam
menjadi radikal. Depresi Ekonomi menambah kemelaratan rakyat dan keresahan di kalangan
kaum buruh, dan tampaknya kaum komunis, apabila dibiarkan saja, mungkin aklhirnya akan
menguasasi gerakan itu.

Tjokroaminoto, sangat tidak senang putus dengan PKI, sebab ia percaya bahwa persatuan adalah
penting bagi kekuatan pergerakan kemerdekaan. Untuk beberapa waktu ia menentang tuntutan
rekan-rekannya agar Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai --yaitu, agar jangan dibolehkan
anggota partai lain ikut dalam perkumpulan mereka— akan tetapi akhirnya hubungan dengan
para pemimpin PKI menjadi begitu tidak enak sehingga Tjokroaminoto pun tidak mampu
mengatasinya. Baru ketika Tjokroaminoto berada dalam penjara karena Peristiwa Garut, duet
Salim-Moeis yang menguasai persidangan kongres Nasional VI SI di Surabaya, berhasil
melaksanakan tindakan disiplin partai kepada dolongan komunisme yang ternyata telah
mendapatkan dukungan kuat dari cabang Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung.
Salim-Moeis terlibat dalam perdebatan sengit di bidang ideologi dengan Semaoen-Tan Malaka.
Yang pertama mempertahankan ajaran-ajaran sosial Islam dan melawan ajaran-ajaran sosial Karl

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Marx yang dibawakan oleh yang kedua. Dengan demikian anggota-anggota komunis dikeluarkan
dan untuk pertama kalinya mereka mulai berkembang sendiri sebagai sebuah gerakan massa.

Perpecahan antara PKI dan Sarekat Silam sangat memperlemah perjuangan kemerdekaan. Apa
yang masih tinggal dari SI kini terbagi dalam cabang ‘Putih’ dan ‘ Merah’, dengan kelompok-
kelompok SI Merah patuh pada PKI, yang mengubah nama menjadi Sarekat Rakyat dan
menjadikannya organisasi massa yang utama. Penjelasan sebagian besar pengikut SI tertarik
pada PKI ialah karena PKI merupakan suatu tantangan yang militan terhadap Belanda, dan
rakyat tidak lagi akan tertarik apabila aksi tidak ada. SI lebih banyak asap dari api, karena
perkumpulan ini lebih banyak bersifat pawai ketimbang gerakan revolusioner dan memang akan
lenyap seperti suatu gerakan Ratu Adil pada masa-masa lampau. Perkembangan SI kemudian
dievaluasi dalam kogres PKI pada tanggal 4 Maret 1923 di Bandung. Kongres ini dihadiri oleh
16 cabang SI Merah dan perkumpulan sekerja komunis. Perpecahan SI dievaluasi karena SI
dibentuk kepentingan kaum modal bangsa Indonesia dan SI banyak membocorkan uang yang
diterima dari rakyat. Haji Misbach hadir dalam kongres itu dan memberikan uraian dengan
menunjukkan ayat-ayat Qur’an menegaskan tentang relevansi Islam dan Komunisme, dan
mengkritik pimpinan-pimpinan SI Putih yang munafik, dan menjadikan Islam sebagai selimut
untuk memperkaya diri sendiri. Sejak itulah Haji Misbach dikenal sebagai Mubaligh komunis
yang selalu berpropaganda tentang Komunisme dan Islam.

Setahun kemudian, Tjokroaminoto menulis buku Islam dan Sosialisme (1924). Tulisan
Tjokroaminoto bertujuan untuk ‘membuat perhitungan’ terhadap ideologi sosialisme. Ia
menyatakan bahwa seorang Islam sejati dengan sendirinya menjadi sosialis dan kita kaum
Muslimin, jadi kita kaum Sosialis. Sosialisme, sebagai cita-cita kemasyarakatan bagi dia sejalan
dengan Islam, sepanjang ia bertujuan untuk ‘memperbaiki nasibnya golongan manusia yang
termiskin dan terbanyak bilangannya, agar supaya mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai
dengan derajat manusia. Tetapi dia menyadari juga bahwa sosialisme bukan semata sel-sel
ekonomi, melainkan mengandung ajaran filsafat tertentu. Dan ia mempertanyakan, mengapa
orang harus berupaya memusatkan perhatiannya pada ideologi yang sebetulnya datang dari

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Eropa, sedangkan pengetahuan tentang Islam dari anggota dan pimpinan SI ternyata kurang.
Dalam suasana demikian ini, Soekarno tidak lebih daripada sekedar seorang pengamat peristiwa.
Kongres Sarekat Islam yang berturut-turut, masalah-masalah yang diperjuangkan di dalamnya,
dan ketegangan yang lain mengingkat di lingkungan Tjokroaminoto, pastilah menejadi bagian
dari hidupnya sehari-hari. Setelah bergaul dengan berbagai tokoh politik, dari berbagai aliran
politik, tentulah ia merasa prihatin melihat mereka bertengkar di antara mereka sendiri.
Pengamatannya terhadap perpecahan ini, bersama dengan bacaannya tentang sejarah sosial
demokrasi Eropa, memberi kesan kepadanya betapa jahatnya pertengkaran antar-fraksi dan akan
keharusan adanya persatuan. Tetapi untuk sementara waktu ia tetap lebih bersikap seperti
seorang pelajar sekolah menengah yang terlibat dalam kegiatan politik, sebagai suatu minat
akstra kulikuler saja.

Tahun 1921 Soekarno lulus dari HBS Surabaya dan melanjutkan Ke THS Bandung. Bulan-bulan
pertama Soekarno masih merasa mengijak suatu dunia baru. Jika periode Surabaya di bawah
perwalian Tjokroaminoto merupakan suatu variasi dari tradisionalisme Jawa dalam
mempersiapkan seorang remaja memasuki kehidupan dewasa, kepindahannya ke Bandung dan
masuknya ke THS menampilkan kembalinya Soekarno ke dunia sebagai seorang manusia, dalam
suatu nilai baru kebebasan keterangan-keterangan tentang kehidupan Soekarno pada tahun-tahun
itu menunjukkan bahwa kupu-kupu tidak muncul dari kepompongnya dengan sayap yang penuh.
Pada tahun-tahun permulaan di Bandung, ia masih meraba-meraba jalan hidupnya, memusatkan
pikiran pada pelajaran. Meniliti kegiatan politik kota itu mulanya hanya sebagai perhatian
sampingan. Berangsur-angsur ia memperluas keikutsertaannya dalam masalah-masalah umum,
tanpa melibatkan diri sebagai seorang pemimpin suatu gerakan nasionalisme Indonesia yang
belum jelas kelihatan. Pada taraf ini ia belum memutuskan ikatannya dengan keluarga Surabaya
dan sifat kegiatannya yang berkembang selama awal tahun 20-an itu mungkin lebih baik
ditafsirkan dalam pengertian perubahan dengan gurunya. Diperlukan satu atau dua tahun
sebelum ia memutuskan keterangan pada Tjokroaminoto, sehingga ia bebas menegakkan
kepribadiannya sendiri.

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kehidupan politik yang dialami Soekarno selama masa kemahasiswaannya di Bandung sebagian
terdiri dari pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang diselenggarakan oleh konsentrasi Radikal,
sebagian lagi lewat hubungan dengan berbagai organisasi-organisasi Sarekat Islam, dengan Jong
Java (yang diketuainya untuk Bandung) dan organisasi lainnya – tetapi yang lebih khusus ialah
diskusi politik dalam kelompok-kelompok kecil tertutup. Dalam lingkungan seperti inilah
Soekarno dipengaruhi oleh Tjipto dan Douwes Dekker. Berangsur-angsur rumahnya menjadi
pusat pertemuan dan perdebatan di antara para aktivis politik terkemuka di Bandung. Ia
berkenalan dengan mahasiswa-mahasiswa yang baru saja pulang dari laur negeri. Dan yang tidak
sabar untuk memainkan peranan dalam pergerakan politik di tanah airnya. Dalam lingkungan ini
gagasan-gagasan yang mulanya bersifat umum mulai memperoleh bentuknya sendiri. Dan
Soekarno mulai merasakan jalannya sendiri ke arah perumusannya sendiri tentang gagasan-
gagasan itu. Batu loncatan yang dijadikan pangkal tolak melontarkan dirinya ke dalam
kepemimpinan nasional ialah Algemenee Studie Club Bandung yang didirikan pada tahun 1935.
Kelompok studi umum ini diketuai oleh Ishaq Tjokrohadisuryo yang baru saja kembali dari
Belanda dan menjadi teman Soekarno. Walaupun masih sibuk dengan kuliahnya sendiri.
Soekarno sempat memberikan sumbangan berarti dalam pendirian perkumpulan ini. Ia diangkat
menjadi sekretaris dan ia memasukkan perkumpulan kecilnya sendiri, yaitu Jong Java cabang
Bandung. Kelompok studi ini menamakan dirinya ‘umum’ dengan maksud membuka jalan bagi
kelompok studi di Yogyakarta, Solo dan Surakarta untuk bergadung dengan Bandung. Kata
‘umum’ juga dipakai untuk menunjukkan bahwa setiap orang bisa menjadi anggota, berkulit
sawo matang atau putih. Salah seorang yang menjadi anggota dalah mentor Soekarno, P. M. C.
Kocti, yang berasal dari keluarga Marxis dan anggota ISDP Belanda.

Algemeene Studie Club menerbitkan majalahnya sendiri, Indonesia Muda dan halaman-
halamannya Soekarno memaparkan pemikiran-pemikirannya yang semakin matang. Sebuah
karangan berjudul ‘Nasionalisme, Islam dan Marxisme,’ yang dimuat berturut-turut dalam tiga
penerbitannya pada tahun 1926/1927, dapat dianggap sebagai pernyataan dan suatu permulaan
ungkapan gagasannya tentang nasionalisme sekuler baru umumnya. Apa sesungguhnya yang
dipahami Soekarno tentang ketiganya ? Bisa dikatakan apa yang dicita-citakan Soekarno adalah
suatu mission imposible baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Jawaban yang diberikan

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Soekarno tentu bersifat membenarkan. Sesungguhnya hanya dengan jalan ini --hanya dengan
menggabungkan kekuatan-kekuatan yang berbeda-beda itu— sukses dapat dicapai. “Kapal yang
akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka adalah kapal persatuan.” Caranya ia
mengemukakan alasannya yang sangat menarik. Apakah seorang penganut paham kosmopolitan
seperti Marxisme, bisa dianggap seorang nasionalis. Soekarno mengiyahkan. Di negara-negara
jajahan kolonial musuh para nasionalis adalah sama dengan musuh orang Marxis dunia Barat.
Kapitalisme dan Imperialisme. Meneurut dia para pemimpin komunis internasioal lambat laun
sadar bahwa di Asia harus diterapkan taktik-taktik lain daripada yang diterapkan di Eropa dan
amerika. Di dunia Barat mereka yang terlibat dalam perjuangan revolusioner mencari bibit baru
di antara golongan proletariat, di Asia yang dianggap calon baik adalah para ‘underdog’ pribumi.
Di negara-negara jajahan, revolusi sosial baru mulai terpikir kalau para penjajah “upperdog”
sudah terusir. Oleh karena itu, di negara-negara seperti Hindia Belanda kaum nasionalis dan
kaum Marxis dengan sendirinya menjadi teman-teman seperjuangan Nasionalis Cina, Sun Yat
Sen, telah memperlihatkannya dengan bergabung dengan koumintang yang sosialis itu.Soekarno
tidak puas dengan sekedar membujuk orang-orang Islam dan Marx menjadi sekutu orang-orang
nasionalis. Ia malah membujuk orang Islam dan Marxis untuk bersekutu. Kita tidak boleh lupa
ketika tulisan berseri Soekarno terbit, PKI belum menjadi partai terlarang. Kepada kaum
Muslimin yang jumlahnya terbilang banyak, Soekarno mula-mula mengingatkan akan
perpecahan yang timbul pada tahun 1923 akibat pertentangan antara PKI dan Sarekat Islam
tentang persoalan tata-tertib partai, yang waktu itu, masih sebagai menantu Tjokroaminoto, harus
ia saksikan tanpa bisa berbuat apa-apa. Perpecahan ini ia sebut halaman hitam di dalam sejarah
singkat gerakan nasional Indonesia.

Soekarno juga mengingatkan kaum Muslimim tidak boleh lupa bahwa kapitalisme, musuh kaum
Marxis, juga merupakan musuh kaum Islam. Dengan sederhana ia menjelaskan inti ajaran-ajaran
Marx: nilai lebih, akumulasi modal, dan meningkatnya kemelaratan. Bukanlah paham-paham inti
Marxisme ini menunjukkan persamaan yang menarik dengan ajaran sang Nabi ? Bukanlah
larangan di dalam Al-Qur’an, yaitu Surah Al ’Imran ayat 129 mengenai larangan untuk menagih
bunga, sama dengan ajaran Marx yang mengulukan cara penambahan nilai ini ? Bukankah
Qur’an, dengan melarang penganutnya untuk mengumpulkan emas dan perak, sebenarnya

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menentang akumulasi modal ? Dan bukankah zakat, yaitu perintah Nabi untuk membantu kaum
miskin, sebenarnya suatu panggilan untuk membalik arus kemelaratan ? Kaum muslimin
hendaknya jangan cemas terhadap rasa permusuhan Marxisme terhadap agama, karena menurut
Soekarno, pada hakekatnya ialah rasa permusuhan terhadap agama kristen. Di Eropa agama
kristen menjadi sekutu kapitalisme. ‘Marx dan Engles bukan dua orang nabi yang mau membuat
hukum untuk setiap waktu,’ kata Soekarno. Andaikata Marx dan Engles mengembangkan teori
mereka sekarang dan disini, mereka pasti melihat bahwa ajaran Islam bukan sekutu Kapitalisme,
melainkan, sama seperti kaum proletar dari dunia Barat, menjadi korbannya. Di negeri seperti
Indonesia tempat agama kristen menjadi agama dari mereka yang berada di atas, maka Marxisme
dan Islam seharusnya menjadi sekutu yang wajar. Soekarno mengadakan pembedaan antara
filsafat materialisme dan historis materialisme dalam teori Marx, dan menunjukkan bahwa
historis materialisme tidak tergantung pada filsafat materialisme. Karena itu tidak perlu bagi
Marxisme, sebagai teori sosial untuk anti-agama. Marxisme harus mengakui bahwa Islam, dalam
mendukung perjuangan kaum tertindas, dapat menjadi kekuatan yang progresif, dan dalam
beberapa hal upayanya sejajar dengan Marxisme.

Bersamaan dengan meningkatnya jumlah anggota PKI, pemerintah Hindia Belanda bergerak
menjalankan tindakan-tindakan yang lebih ketat untuk mengekang gerakan rakyat. Pada tahun
1924 mereka bertindak lebih keras dengan menangkap beberapa pemimpin pergerakan dan
mengadakan pembalasan dalam hak berserikat dan berkumpul. Di tambah lagi dengan
penderitaan yang disebabkan oleh depresi, membuat orang lebih banyak marah daripada
semangat, dan mereka datang mengajukan protes kepada PKI. Yang mereka harapkan dari kaum
komunis ialah aksi revolusioner; menurut mereka hanya penggulingan pemerintah Belanda yang
akan dapat membawa penyelesaian yang sesungguhnya, dan mereka tidak mau lagi
mendengarkan argumentasi tentang perlunya persiapan yang sabar. Pada waktu yang bersamaan,
PKI telah kehilangan sebagian besar dari para pemimpinnya yang lebih berpengalaman dan
moderat, sehingga gerakan itu semakin jatuh ke tangan mereka yang berkepala panas yang
keinginannya melancarkan suatu revolusi jauh melebihi kemampuan melaksanakannya. Pada
akhir tahun 1924 partai tersebut mengambil sebuah putusan dalam prinsip untuk mempersiapkan
revolusi selama satu setengah tahun berikutnya, PKI semakin dipengaruhi oleh dorongan-

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dorongan anarki, lebih suka menurunkan keinginan naluri untuk memberontak daripada
memperhitungkan realita kekuasaan. Terdapat unsur yang muslim yang kuat dalam proses agitasi
ini; sebab walaupun ada pertikaian antara para pemimpin PKI dan Sarekat Islam, pada waktu itu
tidak begitu dirasakan ketidaksucian antara komunis dan Islam. Pemimpin-pemimpin seperti
Haji Misbach di Jawa Tengah dan Haji Datuk Baluah di Sumatra Barat mencoba untuk
menggabungkan ajaran-ajaran Islam dan komunisme.

Selama tahun 1926, PKI terus menjalankan politik ke kiri-kiriannya, Alimin dan Musso di kerum
ke Moskaw untuk meminta persetujuan Commintern atau rencana pemberontakan mereka.
Penutusan ini gagal, bahkan sebaliknya gagasan pemberontakan mereka mendapat tantangan
yang keras. Tetapi persiapan-persiapan untuk pemberontak telah berjalan sedemikian jauh,
sehingga tidak mungkin bisa dikekang lagi keputusan. Pertemuan Prambanan (1925) untuk
mengadakan pemberontakan, yang terjadi ialah suatu pemberontakan yang serba tanggung di
Jawa Barat pada bulan Desember 1926 dan di Sumatra Barat pada bulan Januari 1927. Kejadian
ini terjadi di dua daerah yang paling kuat Islamnya di Indonesia, dimana kaum tani, para
pengrajin dan pedagang serta para pemimpin agama dan juga kaum pekerja merasa bahwa
mereka tidak akan sanggup lebih lama lagi di bawah pemerintahan kolonial.

Pemberontakan itu lebih merupakan suatu tindakan putus asa daripada suatu percobaan yang
dapat dianggap untuk merebut kekuasaan. ‘Kami menganggap adalah lebih baik mati berjuang
daripada mati tanpa berjuang,’ demikian dikatakan oleh salah seorang pemimpin PKI kemudian
kepada Commintern. Pemberontakan itu dengan mudah ditumpas oleh pemerintah, oleh karena
organisasi komunis pada waktu itu sudah begitu dilemahkan oleh tindakan polisi dan tekanan-
tekanan anarkis sehingga pemberontakan itu tidak terorganisasi dan hanya lokal sifatnya. Namun
demikian ia merupakan bukti betapa meluas dan mendalamnya rasa tidak puas orang Indonesia.
Akan tetapi, pemerintah tidak menanggapi peringatan itu dengan perubahan. Malahan, sebagai
pencerminan dari suasana reaksioner waktu itu, dilakukannya penindasan secara besar-besaran.
PKI hancur dalam proses tersebut: sebuah kamp konsentrasi diadakan di sebuah daerah terpencil
di Irian Barat, Boven Digul, dan banyak kaum pemberontak dan kader-kader komunis

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengakhiri hidup mereka disana. Kegiatan politik, dibatasi lebih lanjut, sehingga hampir tidak
mungkin bagi para pemimpin Indonesia untuk menyebarkan ide-ide yang kritis secara sah. Baru
setelah rezim Belanda dikalahkan oleh Jepang pada tahun 1942 rakyat biasa kembali ke arena
politik.

Walaupun gagal, gerakan komunis di zaman kolonial memang meninggalkan pengaruh yang
dalam pada kehidupan politik di Indonesia. Kita dapat menyaksikan hal ini dengan terus kuatnya
pengaruh konsep-konsep Marxis dan tujuan Sosialisme, dalam cara pendekatan yang lebih
ditekankan untuk orang-orang biasa daripada golongan atas, dan peranan yang dini dan
oraganisasi buruh. Cukup banyak orang yang terkesan oleh ide-ide ini dan oleh perjuangan yang
bersemangat biarpun sia-sia dari partai itu melawan pemerintahan kolonial untuk mempengaruhi
pada perkembangan partai-partai nasionalis setelah tahun 1927 dan memungkin bangkitnya
kembali komunis Indonesia pada tahun 1945. Tersisihnya Partai Komunis Indonesia gara-gara
percobaan pemberontakannya dalam tahun 1926 dan 1927 merupakan suatu keuntungan bagi
Soekarno dalam upaya pemersatuannya. Sekarang persoalannya bukan lagi bagaimana
mempersatukan ketiga pergerakan –Nasionalisme, Islamis dan Marxisme— melainkan
bagaimana menghimpun sekian banyaknya kelompok nasionalis dan muslim ke dalam suatu
front persatuan. Pada bulan-bulan pertama 1927, Soekarno (nasionalis) kembali bahu-membahu
dengan bekas gurunya Tjokroaminoto, suatu kerja sama yang menguntungkan ketika, sesudah
peristiwa-peristiwa 1924 – 1926 di Timur Dekat, gagasan Pan-Islam kembali surut. Kedua orang
itu selalu hadir dalam peristiwa-peristiwa yang sama dalam tahun-tahun berikutnya, dan bahwa
mereka sudah berbicara mengenai tema-tema yang sama.

Dengan cara-cara yang lainnya, Soekarno bekerja dengan penuh gairah untuk menyebarluaskan
gagasan Indonesia karena menurut perkiraannya, di kalangan generasi tua, gagasan ‘Jawa Kaya’
atau ‘Sumatra Merdeka’ hanya secara berangusr-angsur saja mengalah terhadap gagasan
‘Indonesia’, maka ia memusatkan upaya-upayanya kepada golongan pemuda. DI Bandung, ia
memainkan peranan yang penting dalam pembentukan sebuah perhimpunan yang dinamakan
“Jong Indonesia”. Gagasan Indonesia dengan cepat menyebar luas; menjelang Juli 1927,

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menurut sebuah surat kabar, sudah dimulai suatu ‘zaman Indonesia’ yang sesungguhnya.
Perkembangan ini mencapai pengungkapannya yang alami dengan didirikannya, pada tanggal 4
Juli 1927, apa yang nantinya akan menjadi Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno.
Organisasi itu semula bernama ‘Perserikatan Nasional Indonesia’ lebih dikenal dengan
singkatannya, PNI. Yang menjadi titik sentral dari seluruh pemikiran partai ini adalah gagasan
merdeka --kemerdekaan politik bagi Indonesia— dan dalam prinsip ini terkandung gagasan
tentang sutau bangsa Indonesia yang akan dipersatukan oleh perjuangan bersama untuk
mencapai kemerdekaan. Pada bulan yang sama, ketua PKI Tan Malaka, Sugono, Subakat dan
Djamaludin Tamin mendirikan Partai Republik Indonesia. Secara ilegal PARI disiapkan untuk
membangun kembali gerakan bawah tanah kaum kiri dan memuat nilai-nilai nasionalistik dengan
meletakkan garis perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, lebih jauh lagi, partai yang didirikan
di kota kecil Bangkok tersebut dipersiapkan secara khusus untuk mennggantikan kepemimpinan
politik kiri Indonesia yang hancur akibat pemberontakan PKI tersebut. Namun serapat-rapatnya
sebuah partai ilegal, PARI menghadapi jalan buntu ketika jaringan ilegalnya berhasil dibongkar
oleh dinas imperialisme. Dan Tan Malaka yang sering sakit-sakit berada dalam pelarian
panjangnya.

Yang juga mirip dengan PARI adalah organisasi-organisasi bawah tanah komunis yang didrikan
oleh Musso pada tahun 1935 yang secara umum dianggap sebagai ‘PKI ilegal’. Partai ini
menginstruksikan para anggotanya untuk bergabung dengan partai-partai nasionalis non komunis
dan mendorong terbentuknya sebuah front anti Fasis. Tahun-tahun setelah gagalnya
pemberontakan 1926 – 1927, ada juga beberapa upaya yang lebih terbuka dilakukan oleh orang-
orang komunis untuk masuk kembali ke dalam pentas politik Indonesia. Upaya tersebut pertama
kali dilakukan melalui Sarekat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) yang didirikan tqahun 1928 dan
diduga keras sebagai kelompok nonpartai yang menggariskan aktivitas-aktivitasnya dalam
bidang ekonomi terutama organisasi serikat dagang. Sebenarnya SKBI didirikan oleh kelompok
komunis Surabaya yang dikomandoi oleh Sunarjo dan Marzuki. Tujuan mereka adalah
menginflitrasi sejumlah serikat dagang untuk mengambil alih kekuasaan – sebuah upaya untuk
kembali kepada strategi awal PKI yang dipakai dalam usaha mengambil alih SI. SKBI memang
berhasil pada tahun pertama operasinya dan bergabung dengan Liga (League Against

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Imperialism). Pada bulan Juni 1929, pemerintah menangkap pimpinan dan membubarkan SKBI.
Usaha-usaha lain yang dilakukan komunis untuk membangun kembali gerakan komunisme
selama ‘periode ketiga’ ini tidak banyak berhasil. Akan tetapi juga tidak bisa dipungkiri bahwa
sejumlah simpatisan PKI masih ditemukan terutama di beberapa kota besar di Jawa. Seperti yang
dicatat Kahin, banyak pengikut Sokearno di PNI dan Partindo yang dimungkinkan berasal dari
mantan anggota Serikat Rakyat dan Serikat Dagang di mana komunis sebelumnya memainkan
pernanan penting di sana.

Sebenarnya orientasi dan muatan komunis dari ajaran nasionalisme pada masa itu dan dalam
program-program PNI (1927) serta partai-partai penggantinya seperti Partai Indonesia (1931).
Menurut Sutan Sjahrir, tidak syahnya PKI, kurangnya partai Sosialis atau komunis di Indonesia
dari tahun 1926 – 1945, dan kecurigaan yang terus ada bahwa demokrasi sosial Eropa tidaklah
murni menjalankan anti kolonialisme, justru akan menguntungkan pengaruh Moskow.

Sosialisme yang mendapatkan pengaruh dalam kebangkitan politik Indonesia adalah sosialisme
radikal dan revolusioner yang secara umum dianggap diwakili oleh Internasional ketiga…. Oleh
karena itu, sejak awalnya PNI sudah dimasuki oleh kecenderungan-kecenderungan
revolusionernya sosialis dan dalam propagandanya, partai ini dengan bebasnya meminjam
konsep-konsep dan terminologi resmi komunisme, yaitu komintern… juga menghadapi hampir
seluruh teori tentang imperialisme dari komunisme Internasional.

Sifat ekletis sosialisme PNI serta ketergantungannya yang kuat pada komintern dalam kerangka
teoritis pandangan-pandangannya tentang kapitalisme dan imperialisme dengan mudah bisa
dilihat dalam ‘Indonesia Menggugat,’ pidato pembelaan Soekarno yang terkenal pada tahun
1930. Sebagai tambahan untuk menunjukkan luasnya teori Marxis-Leninis yang dipinjam
Soekarno, tulisan ini juga menampilkan pelbagai sumber lainnya yang memberi kontribusi
kepada pengetahuan Soekarno tentang sosialisme dan berisikan salah satu paparan pertama
ajaran tentang Marhaenisme yang beberapa tahun kemudian dimasukkan ke dalam filsafat
pascaperang PNI dan juga dimanfaatkan oleh partai-partai lain. Pidato Soekarno ini penting tidak
15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

hanya karena sumber-sumber dan orientasi politik yang ia sodorkan tetapi juga karena
pandangan-pandangannya mewakili pandangan-pandangan para tokoh nasionalis pada masanya.
Menyadari bahwa ia tidak mungkin lolos dari penjara, dalam pidato pembelaannya itu Soekarno
jelas-jelas menyebutkan sebuah dokumen yang benar-benar ia maksudkan agar tersebar luas di
tengah-tengah rakyat Indonesia. Salah satu poin utamanya adalah untuk menegaskan bahwa
serangannya terhadap pemerintah Hindia-Belanda, karena, ‘Kapitalisme dan Imperialisme
tidaklah sama dengan Belanda atau orang Belanda atau orang-orang asing lainnya. Kapitalisme
dan Imperialisme adalah sistem… Kapitalisme dan Imperialisme tidaklah identik dengan sebuah
rezim. Kami sering menekankan bahwa Kapitalisme dan Imperialisme, kedua-duanya bersifat
Internasional.’ Dalam menjelaskan mengapa partainya perlu mengembangkan sebuah kerangka
teoritik dalam operasinya, Soekarno mengutip panjang lebar dari teori Karl Kautsky tentang
pendidikan massa dan menunjukkan bahwa “Sebuah aksi massa tanpa teori… adalah sebuah aksi
massa tanpa jiwa, tanpa niat, padahal niat inilah yang menjadi tenaga pendorong bagi aksi
tersebut.

Dalam upayanya untuk menunjukkan bahwa PNI bukan komunis atau turunan PKI, Soekarno
menyatakan bahwa kendatipun PNI sama dengan PKI dalam menentang imperialisme dan
menganggap aksi massa sebagai alat untuk merebut kekuasaan, akan tetapi… PNI adalah sebuah
partai nasionalis, revolusioner dan ciri massanya; kromo-ismenya, marhaen-ismenya, bukanlah
hasil dari ajaran komunis manapun, melainkan ia eksis karena masyarakat Indonesia membuat
PNI perlu menganut marhaenisme tersebut. Ini adalah suatu kebutuhan, seperti masyarakat
Eropa yang membuat orang-orang sosialis Eropa perlu menganut proletarianisme. Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat kromonistik, sebuah masyarakat yang terdiri dari para petani kecil,
para buruh kecil, nelayan kecil, singkatnya… dalam semua bidang, adalah seorang kromo atau
seorang marhaen. Belum ada seorang borjuis nasional yang cukup kuat mengangkat senjata
melawan imperialisme. Maka gerakan rakyat Indonesia harus diarahkan kepada orang-orang
kromo tersebut, orang-orang marhaen. Di tangan merekalah terletak nasib bangsa Indonesia, dan
dari organisasi orang-orang kromo dan marhaen inilah kita menyusun kekuatan. Gerakan yang
terlepas dari masyarakat bawah, yang hanya merawat ‘salon’ politik dan semacamnya bukan
saluran politik yang sungguh-sungguh. Pidato Soekarno segera menjadi primbon politik gerakan

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kaum nasionalis. Dalam pidatonya itulah, Soekarno mencanangkan gagasan-gagasan dasar bagi
filsafat serta membangun dasar-dasar yang kokoh bagi masa kepemimpinan nasional selanjutnya.
Pada masa yang sama, ia memberi PNI sebuah tradisi dan pandangan yang dikemudian hari juga
berharga bagi partai-partai yang sama setelah perang kemerdekaan.

Dalam banyak hal, mucnulnya PNI sebagai sebuah partai massa telah memprakarsai dan
mendominasi ‘gelombang kedua’ gerakan nasionalis. Sampai Perang Dunia II, prinsip-prinsip
nasionalisme dan Marxisme PNI dimanfaatkan sebagai faedah ideologis aktivitas partai politik di
Indonesia. Kendatipun demikian, tidak satupun sektor kepemimpinan nasional yang menjadi
hegemoni eksekutif atas gerakan-gerakan nasionalis. Sejumlah isu kecil yang tidak bisa
ditentukan apakah itu kiri dan kanan, dan pada masa itu sudah merupakan bagian dari
perpolitikan Indonesia, telah melahirkan organisasi-organisasi nasionalis yang bersemangat dan
menyimpang dari model yang dibuat PNI baik dalam program maupun strukturnya. Varian-
varian semacam ini, dalam tema dasar kemerdekaan, terlalu banyak untuk dibahas secara detail
di sini. Selama berminggu-minggu, saksi utama untuk penuntut umum, yakni Komisaris Polisi
Albneghs dari Bandung, dengan sia-sia untuk membuktikan adanya ‘subversi komunis’ yang
dilakukan oleh partai yang dipimpin Soekarno. Baginya, hubungan yang akrab antara orang-
orang nasionalis dan orang komunis selama masa Algemeenk Studiedub tampak mencurigakan,
seperti juga kenyataan adanya sejumlah bekas anggota PKI yang memasuki PNI setelah partai
komunis itu dilarang. Tetapi bahwasanya dari sekian banyaknya bahan bukti yang telah disita
tidak diketemukan satu pun dokumentasi yang memberatkan.

Tetapi keputusan yang dijatuhkan bernafaskan phobia komunisme. Untuk sebagian besar
keputusan menguraikan tentang pembuktian bahwa PNI menjadi ‘ahli waris’ partai komunis
yang terlarang itu, yaitu PKI dan bahwa para pemimpin PNI sebenarnya adalah orang-orang
komunis gadungan. Dari pertimbangan-pertimbangan yang diajukan, kesimpulan terakhir ini
agaknya ditarik dari diktat-diktat dan soal-soal ujian yang diberikan kepada pengikut kursus PNI,
yang telah disita, dan menjadi sumber yang sering dipakai untuk menimba bukti-bukti. Sang
ketua sendiri dalam salah satu pertimbangan keputusan itu dihadapkan dengan karangan

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Boecharin berjudul ABC Komunisme, yang ditemui almari bukunya di rumah, dan penuh dengan
catatan tulisan tangannya. Menurut keputusan pengadilan tadi dari buku ini Soekarno telah
menyaring pengertian ‘aksi massa’ yang begitu sering ia pakai. Bulan Maret 1933 Soekarno
berlibur ke Pengalengan, kota pegunungan di sebelah selatan Bandung, selama seminggu. Hari-
hari ditempat liburan ia menulis suatu manifesto berapi-api yang pada bulan Mei diterbitkan
dalam bentuk brosur yang berjudul ‘Mencapai Indonesia Merdeka’. Tulisan yang sarat
pandangan historis dan penuh metafora ini, sebagian besar merupakan ulangan dari Indonesia
Menggugat.

Tulisan itu dengan jelas menunjukkan betapa Soekarno terpengaruh oleh pemikiran Lenin.
Apakah penghapusan kapitalisme sebagai tujuan revolusi, perlunya kesadaran radikal dalam
kaum Marhaen, perlunya perspektif ‘sana’ dan ‘sini’, perlu adanya partai pelopor; penolakan
terhadap cara damai atau kooperatif untuk mencapai kemerdekaan. Perang terhadap reformisme
dan ‘anarcho-syndicalisme’, penegasan bahwa sesudah kemerdekaan tercapai, perjuangan belum
selesai karena harus dipastikan bahwa kaum marhaen dan kaum ningrat dan kaum kapitalis yang
memegang kekuasaan, serta bahwa untuk itu demokrasi tidak cocok, semua ini mengikuti garis
pikiran Lenin. Tetapi tidak berarti Soekarno seorang Leninis, ada perbedaan yang sangat
mencolok. Soekarno bukan hanya tidak bicara tentang proletariat, melainkan juga tidak tentang
kelas-kelas. Soekarno hanya berbicara tentang kaum Marhaen. Istilah itu jelas bahwa pemisahan
keras dan terinci antara pelbagai kelas yang khas bagi marxisme tidak sesuai dengan kenyataan
di Indonesia. Di Indonesia yang mencolok adalah pertentangan antara ‘orang kecil’ dan ‘kaum
atas’ dan ‘kaum kecil’ bukan kata dari perbendaharaan marxisme. Disini Soekarno berbeda dari
prinsipnya sendiri – bukan seorang marxis sama sekali. Bagi Karl Marx justeru tidak semua
‘kelas bawah’ di segala zaman bersifat ravolusioner. Agar sebuah kelas dapat diharapkan
menumbangkan kapitalisme, situasi khas kelas itu dalam proses produksi harus kondusif ke arah
perkembangan kesadaran kelas ravolusioner itu. ‘Orang kecil’ bagi analisa Marxis terlalu kabur
tidak dapat dipakai.

Ada perbdaan ‘kecil’ mengenai partai pelopor, antara Lenin dan Soekarno. (1) Partai Pelopor
Soekarno tidak memiliki ciri-ciri partai pelopor Lenin; (2) Tidak ada syarat-syarat keanggotaan,
18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

syarat bahwa anggota harus kaum revolusioner profesioal prunawaktu dan sebaiknya diambil
dari kaum intelektual. Tidak ada ajaran revolusioner ilmiah yang karena itu tidak dapat diketahui
oleh proletariat yang kurang berpendidikan dan karena itu harus dimasukkan dari luar ke dalam
oleh partai. Soekarno lebih dekat dengan Marx daripada dengan Lenin, melihat fungsi partai
membuat sadar apa yang sudah dimiliki massa Marhaen secara tak sadar. ‘Kesadaran’ pada
Soekarno lain daripada kesadaran revolusioner pada Lenin karena yang terakhir dimaksud
sebagai kepercayaan pada sebuah teori dan pandangan dunia, yaitu Materialisme Dialektis dan
Historis. Dan (3) Tak ada sama sekali pada Soekarno padanan terhadap kediktatoran proletariat
yang dalam kenyataan, tetapi juga menurut ucapan Lenin, dilaksanakan sebagai kediktatoran
partai komunis di atas proletariat. Tak ada tanda bahwa Soekarno sesudah revolusi politik
mengharapkan penghancuran total terhadap struktur kepemilikan dalam masyarakat sebagaimana
menjadi program Lenin.

Maka retorika Leninis Soekarno jangan mengecoh kita. Di sini tidak bicara seorang Leninis,
melainkan seorang yang mencita-citakan pembebasan rakyatnya dari penindasan kolonialisme
dan keterpurukan di bawah kaum feodal tradisional serta kapitalisme baru. Bahasa keras Lenin
yang tidak pernah main-main melainkan merupakan cetak biru prinsip-prinsip yang akan
dilaksanakan begitu ia memegang kekuasaan, dipakai Soekarno bukan karena ia seorang Leninis,
melainkan karena menyediakan kamus ungkapan-ungkapan bersemangat yang sangat cocok
untuk menjadi wahana-wahana romantika revolusi yang mempesona. (FMS) Ketika Soekarno
berada di pembuangan ia menyaksikan dengan sedih ketika kebijakan non-kooperasi mulai
ditinggalkan. Salah satunya adalah Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang dibentuk pada
akhir bulan April 1937. Dalam jajaran pimpinannya terdapat sejumlah tokoh nasionalis
terkemuka seperti Sartono yang pernah aktif di PNI dan Partindo; Wikana, orang yang dekat
hubungannya dengan ‘PKI ilegal’ dan Amir Syarifuddin yang dikemudian hari diklaim sebagai
orang komunis sejak pertengahan tahun 1930-an, keanggaotaan partai itu yang cenderung sangat
sosialis, telah memiliki orientasi internasional. Perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan
bangsa dipandang sangat tergantung pada hasil pertentangan antara kekuatan Fasis dan anti
Fasis. Kebanyakan anggotanya merasa bahwa bahaya dikuasainya dunia oleh kekuatan-kekuatan
Fasis merupakan suatu masalah yang langsung dapat dijadikan alasan bagi perjuangan mereka

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

untuk memperoleh kemerdekaan bangsa. Mereka yakin, bahwa pencapaian jangka panjang dari
kemerdekaan Indonesia memerlukan solidaritas sementara terhadap Belanda untuk membela
Indonesia dari ancaman serangan Jepang. Gerindo biasanya bekerja berlandaskan kesediaan
bekerjasama, membantu pemerintah dan berkepentingan dalam Volksraad. Akan tetapi,
berbarengan dengan itu, partai tersebut memberi tekanan yang kuat dan ajeg agar Indonesia
diberi pemerintahan sendiri.

Dua tahun kemudian Gerindo menggabungkan diri dalam Gabungan Politik Indonsia (GAPI),
yang diketuai oleh Amir Syarifuddin (Gerindo), Abikusno (PSII) dan Husni Thamrin (Partindo).
Partai ini berpendapat, bahwa karena meningkatnya ancaman terhadap Hindia Belanda akibat
peristiwa-peristiwa Internasional yang baru-baru ini terjadi maka dirasa perlu untuk mengadakan
kerjasama antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia, dan bahwa kerjasama ini dapat dicapai
hanya jika rakyat Indonesia memperoleh hak-hak demokratis. Tentunya yang paling pokok
adalah perubahan Volksraad menjadi suatu badan perwakilan yang demokratis dan luas
dasarnya, kepada siapa pemerintah harus bertanggung jawab. Slogan utamanya adalah Indonesia
berparlemen. Kemiripan program-program Gerindo dan GAPI dengan garis komintern bisa
dijelaskan. Adanya situasi yang mengancam keberadaan mereka, ‘PKI ilegal’ akhirnya
mengubah taktik, dengan menanggalkan politik non-kooperasi yang menjadi ciri mereka dan
bergabung pada Gerindo (yang merupakan pengelompokan perorangan bekas anggota partai-
partai kiri yang membubarkan diri seperti Partindo, dan kelompok yang mewakili partai bawah
tanah PKI dan PARI). Mereka sangat berhasil dalam membungkus loyalitas politik mereka
disamping menjalankan program-program partai. Segelintir orang Indonesia sesudah itu
tampaknya mulai menyadari adanya hubungan antara oknum-oknum dengan komunisme
Internasional (Comintern). Orang-orang komunis tentu mengetahui bahwa tugas untuk
membangun suatu front anti Imperialis, anti Fasis pada masa-masa setelah tahun 1935 bisa lebih
mudah mengembangkan ciri nasionalisme Indonesia sendiri.

Pada bulan Juni 1940, sebulan setelah Belanda diduduki tentara Jerman, kejaksaan Agung Hindia
Belanda di Jakarta menanggkapi puluhan pemimpin Gerindo di seluruh Indonesia, termasuk
ketua Gerindo Amir Syarifuddin. Tapi, pada akhir Juni semuanya dibebaskan, dan kemudian
20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diketahui, penangkapan itu dimaksudkan untuk menyelidiki penerbitan ‘Menara Merah’ yang
dinyatakan sebagai organ PKI. Polisi Belanda agaknya dicurigai sebagai komunis dalam
Gerindo. Mungkin juga, mereka mencurigai komunis dalam Gerindo.(JL) Pada mulanya,
sebagian besar penduduk Indonesia menerima kekuasaan pendudukan Jepang dengan penuh rasa
ingin tahu dan niat baik. Bagaimanapun juga, Jepang adalah saudara tua Asia yang telah
menggiring keluar serdadu-serdadu Belanda dan dalam hal itu diterima dengan penuh rasa
hormat dan restu yang luas. Cepatnya bala tentara Jepang menghancurkan perlawanan Belanda
menambah kesan rakyat terhadap kejumawaan Jepang yang lebih penting lagi adalah bahwa
Jepang telah mempermalukan Belanda dimata sebagian besar orang Indonesia mereka percaya
bahwa belanda bukan lagi sebuah lawan perang yang hebat seperti yang mereka percaya
sebelumnya. Kekecewaan terhadap majikan baru ini tidak lama muncul juga. Ketika manipulasi
politik dan kebrutalan orang-orang Jepang benar-benar telah mengalienasi rakyat Indonesia,
ternyata ini memberi pembenaran terhadap sikap anti Fasis orang-orang komunis sebelumnya
dan tokoh-tokoh nasionalis sayap kiri.

Pendudukan Jepang yang telah melahirkan empat oragnisasi bawah tanah. Keempat oragnisasi
ini dipimpin oleh orang-orang nasionalis sayap kiri termasuk tokoh-tokoh sosialis yang diakui
atau oleh orang-orang komunis baik dari faksi komunis nasional maupun stalin. Organisasi
bawah tanah yang paling besar dan teroganisir baik adalah yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin
yang sudah dibentuk Belanda di awal invasi jepang. Kebanyakan para pemimpin organisasi ini
diambil dari jajaran ‘PKI ilegal’, meskipun para anggota di tingkat bawah di sebagian besar
cabang gerakan ini bisa jadi bukan orang-orang komunis. Kelompok besar lain yang juga penting
adalah dibuat oleh Sutan Sjahrir. Dan persatuan Mahasiswa, yang sebagian besar terdiri dari
mahasiswa kedokteran Jakarta. Mereka adalah produk langsung Front Rakyat sebelum perang
dan orientasi politik mereka cenderung sayap kiri kelompok besar keempat dipimpin oleh
Soekarni yang ikut didalamnya para tokoh seperti Adam Malik, Chaenul Saleh dan Maruto
Nitimihardjo. Soekarni dan Adam Malik adalah tokoh organisasi sebelum perang yang dipimpin
oleh Tan Malak, yaitu PARI. (JSM – GMR) Balatentara Jepang juga mendirikan sejumlah
sekolah untuk melatih para tokoh politik Indonesia. Dari sekolah-sekolah tersebut yang
terpenting adalah Asrama Indonesia Merdeka yang didirikan di Jakarta pada bulan Oktober 1944

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

di bawah perlindungan Laksda T. Maeda, Kepala Lembaga Inteljen Jepang di Indonesia. Orang
Indonesia yang dipilih mengepalai sekolah ini, Wikana dikenal Jepang sebagai seorang yang
punya hubungan erat dengan PKI ilegal.

Sekolah-sekolah ini juga memberikan tekanan pada pelajaran komunisme. Mereka menekan
pentingnya nasionalisasi produksi, tetapi sebenarnya tema pokok ajaran itu adalah sebaliknya,
yaitu anti imperialisme dan kapitalisme. Para mahasiswa diajar untuk melihat perjuangan
kemerdekaan Indonesia dalam arti suatu perjuangan internasional melawan imperialisme
kapitalis. Keadilan sosial untuk dunia secara keseluruhan, bukan hanya untuk Indonesia, itulah
yang harus menjadi tujuan. Tekanan internasional ini agak sesuai dengan tekanan yang kemudian
digariskan oleh Soviet. Anti Fasisme bukanlah bagian dari anti-kolonialisme, dan tidak ada
kebijakan menunggu kesempatan baik kearah kekuatan-kekuatan kolonial dan Amerika Serikat
seperti yang digariskan dalam kebijaksanaan kesatuan Garis Depan Dimitov yang disebut musuh
adalah kekuatan-kekuatan kolonial dan Amerika, bukan Axis. Pendidikan Marxisme yang
disponsori oleh Jepang menambahi daya tahan orang Indonesia terhadap ajaran tersebut, tetapi
itu bukan tujuan Jepang. Agenda tersembunyi Jepang adalah merembesi dan akhirnya memegang
kendali gerakan bawah tanah PKI lewat para pemuda yang dilatih dalam sekolah-sekolah
tersebut. Setelah merembes secara efektif ke dalam gerakan bawah tanah ini, gerakan tersebut
akan dimasukkan ke dalam oragnisasi bawah tanah. Subardjo (yang pada awal tahun 1930-an
sudah keluar dari pergerakan komunis); dimana mereka dapat diawasi dan akhirnya berbalik
melawan Inggris dan Amerika, dua kekuatan yang paling mungkin bakal menguasai Indonesia.

Akan tetapi, muncul pertanyaan, mengapa seorang pemimpin gerakan bawah tanah seperti
Wikana dipakai oleh Jepang. Lebih-lebih lagi justeru ia menggunakan kedudukan yang diberikan
Jepang untuk mengumpulkan informasi-informasi tentang kegiatan-kegiatan orang Jepang dan
khususnya tentang oraginsasi yang sudah dibentuk oleh Jepang. Informasi yang diperolehnya,
kemudian dilanjutkan kepada gerakan bawah tanah PKI dan gerakan bahwa-tanah pimpinan
Sjahrir. Sejumlah pemimpin nasionalis merasa bahwa Maeda dan banyak perwira angkatan laut
di bawah Maeda, dengan setulus hati menginginkan kemerdekaan Indonesia dan mereka
menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam negeri maupun dunia denga suatu ‘cara yang
22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sangat progresif’. Sementara cendikiawan Indonesia mengembangkan persahabatan dengan


mereka dan merasa kagum akan dalamnya pengetahuan mereka percaya bahwa para periwra
tersebut adalah komunis yang lebih berorientasi komunis internasional. Beberapa orang
Indonesia mengira-ngira tentang kemungkinan hubungan antara para perwira tersebut dengan
Tan Malaka. Mereka menunjuk pada sikap anti Barat Tan Malaka yang konsisten, solidaritas Pan
Asianya, dan kenyataan bahwa beberapa tahun dari masa pembuangannya dijalani di Jepang.

Soekarno dan Hatta yang bekerja sama dengan pemerintahan pendudukan, tidak ada
hubungannya dengan gerakan diatas. Pemerintahan kolonial gaya baru ini, yang oleh orang-
orang Indonesia dirasakan sebagai tidak dapat diramalkan, angkuh, serta ‘luar biasa brutal, bagi
Soekarno sudah tidak ada jalan kembali. Hanya Jepanglah yang memberinya peluang untuk
memerdekakan Indonesia di bawah pimpinannya. Yang pertama, dan pasti yang kedua, tidak
usah diharapkan dari sebuah negara Barat. ’Hidup atau mati dengan Dai Nippon’ kian sering
dipakai Soekarno sebagai slogan penutup pidatonya. Soekarno menunjang Jepang dalam batas-
batas menimum yang diperlukan – agar bisa mengembangkan lebih lanjut tujuan-tujuan nasional
mereka sendiri. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Soekarno telah jauh melangkah
ketimbang para kooperator tahun tiga puluhan yang dahulu ia perintah ia kritik habis-habisan.
(JSM – GMK) Dengan jatuhnya Jepang, gelombang pasang tekanan Indonesia untuk
memerdekakan bangsa telah membobol tanggul yang mengungkungnya dan ini mencapai
puncaknya pada proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan
mereka mengumumkan deklarasi kemerdekaan itu hanya punya sedikit harapan bahwa langkah
ini akan selesai lebih dari sekedar menunjukkan pada dunia luas bagaimana peran orang
Indonesia yang sebenarnya. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik muda ini langsung
berhadapan dengan Belanda yang tidak sudi kehilangan Hindia Belanda – salah satu jajahan
terbesar dan terkaya di dunia. Diperlukan empat tahun pertempuran yang terputus-tupus untuk
akhirnya mengubah pikiran mereka. Orang-orang Indonesia tidak akan pernah melupakan bahwa
kemerdekaan mereka telah dibayar mahal dengan darah – walaupun mereka tidak selalu
mengaku berapa beruntungnya karena harga itu tidak lebih mahal. Itulah sebabnya mengapa
kata-kata yang diucapkan Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, masih dapat membuat air
mata mereka bergenang.

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Revolusi Indonesia diperjuangkan diatas dasar prinsip-prinsip nasionalisme yang amat diwarnai
sosialisme. Baik pemimpin maupun oraganisasi-organisasi sosial politik di masa revolusi pada
umumnya adalah kelompok sayap kiri. Filsafat yang mendominasi pada masa itu adalah sintesa
dari tiga ketegangan. (1) Prinsip-prinsip nasionalis revolusioner dalam tradisi yang pada tahun
1927 diprakarsai oleh PNI dan terhimpun begitu fasihnya dalam Indonesia Menggugat; (2)
Sosialisme elektis yang disodorkan oleh Hatta dan Sjahrir; (3) Sosialisme religius yang berakar
bertahun-tahun sejak Sarekat Islam. Penyimpangan-penyimpangan dari filsafat sosialisme ini
adalah kelompok-kelompok komunis stalinis dan kelompok-kelompok komunis nasionalis Tan
Malaka disebelah kiri. Hakekat pandangan politik yang lazim pada masa itu dapat diketemukan
dalam Pancasila pertama kali disampaikan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Konsep-
konsep itu telah membimbing para pembimbing bangsa ini selama msa-masa revolusi. Kendati
Pancasila --khususnya prinsip tentang Nasionalisme— mungkin amat mewakili keseluruhan
revolusi bangsa Indonesia, masih terdapat tulisan-tulisan lain pada masa itu yang meskipun
hanya beredar dikalangan terbatas, akan tetapi cukup mendukung revolusi. Misalnya pernyataan
singkat Wakil Presiden Moh. Hatta yang berjudul ‘cita-cita Bangsa Indonesia’. Dalam tulisan
yang lebih ditujukan kepada pihak luar dipenghujung tahun 1945 itu, Hatta menyatakan bahwa
rakyat Indonesia ‘menentang semua bentuk pemerintahan oto kritik dan Fasis, ingin membangun
sebuah kehidupan berbangsa atas dasar kerja sama yang kokoh dan penuh dengan rasa aman bagi
masyarakat apa yang ingin kamu wujudkan sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah
‘persemakmuran kerja sama’.

Manifesto politik tanggal 1 November 1945 yang ditulis Sjahrir yang mewakili pandangan
pemerintahan pada masa itu, pada dasarnya juga ditujukan kepada pihak luar. Dokumen itu
antara lain menyatakan bahwa mengambil perusahaan-perusahaan swasta asing segera setelah
pengakuan kemerdekaan diperoleh. Catatan lain dari masa ini adalah serangkaian artikel yang
berisikan analisis yang lebih detail tentang substansi nasionalisme Indonesia. Muncul pertama
kali dalam majalah milik Departemen Penerangan, Het Inzicht di awal tahun 1946, artikel-artikel
ini mengakui dan menyebutkan ada unsur-unsur yang negatif dan reaksioner yang mendukung
24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

revolusi serta menjelaskan bahwa anti perang unsur-unsur itu menjadi terpinggirkan ketika
dihadapkan pada besarnya semangat yang mendorong sebagian besar rakyat Indonesia untuk
mendapatkan lemerdekaan. Kekuasaan dominan ketiga dalam pemikiran politik Revolusi
Indonesia diwakili oleh sebuah kelompok yang disebut sosialis religius yang memanfaatkan
ajaran-ajaran Islam modernis sebagai dasar dari gerakan mereka. Orang-orang sosialis religius
ini mendefinisikan konsep ‘Sosialisme’ mereka sebagai sesuatu yang tidak memiliki hubungan
spiritual dengan sosialisme Marxisme’ yang mereka anggap berbau kekerasan dan pemaksaan.
Menurut mereka, sosialisme religius ‘telah menghapuskan individualisme, inisiatif individu dan
tanggung jawab individu’. Sosialisme religius berbeda dengan ‘penghapusan kelas atau
kelompok-kelompok tertentu. Pandangan ini dimasukkan ke dalam doktrin dam program partai
Masyumi.

Kelompok komunis stalin masuk dalam masa revolusi dengan kepentingan-kepentingan tertentu.
Sejak masa ‘PKI ilegal’ tahun 1935, mereka telah memainkan permainan politik yang lihai.
Mereka bekerja sama dengan orang-orang nasionalis dalam sebuah front anti Fasis, anti
imperialis, mereka menahan diri agar tidak mendukung lini stalin secara terbuka selama era
Pakta Nazi-Soviet; para pemimpin mereka di Indonesia, ikut aktif dalam gerakan bawah tanah
yang sudah punya reputasi. Bubarnya komintern pada tahun 1943 dan lini front persatuan
‘kanan’ yang diikuti oleh kremlin selama masa-masa perang dan pasca-perang telah membuat
orang komunis di Indonesia memainkan peranan penting dalam revolusi meskipun dengan awal
yang kacau. Kekacauan mulai hilang, ketika garis partai menjadi lurus dan kedua kelompok
orang-orang komunis lama --baik yang diluar maupun yang masih di dalam negeri— tidak lagi
menampakkan keraguan tentang penggunaan kembali strategi masa perang front persatuan yang
kali ini demi kepentingan kemerdekaan untuk meraih tujuan ini, beberapa orang bergabung
dengan partai sosialis atau dengan salah satu partai kecil sayap kiri dalam orbit yang sama.
Sementara yang lain terutama Sarjono dan Alimin, mengambil alih PKI dan mengorganisasi
kembali komando sentralnya.

Kebijakan politik yang diciptakan oleh kebijaksanaan front persatuan memungkinkan orang-
orang komunis dan kripto komunis meraih posisi-posisi kekuasaan yang tinggi dalam pemerintah
25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

republik bahkan sampai pada posisi Perdanan Menteri yang dipegang oleh Amir Syarifuddin. ini
juga memungkinkan partipasi mereka dalam sebuah koalisi sayap kiri yang terdiri orang-orang
sosialis, orang-orang stalin dan orang-orang komunis nasional. Koalisi ini disebut sayap kiri
yang kemudian menjadi instrumen massa bagi PKI untuk menuju Pemberontakan Madiun 1948.
Tanggal 23 Januari 1948, Amir mengundurkan diri, karena desakan lawan politiknya terutama
Masyumi. Seminggu kemudian Hatta menggantikannya sebagai pemimpin kabinet presidentil.
Hatta yang sejak proklamasi kemerdekaan menentang sistem presidensial, menerima dengan
baik ketika ia sendiri mendapat kesempatan untuk memanfaatkan. Tapi kekalahan Amir juga
merupakan kegagalan Sjahrir. Beberapa hari setelah pengambilan alih kekuasaan oleh Hatta,
Sjahrir dan kawan-kawannya keluar dari Partai Sosialis dan membentuk PSI, untuk mendukung
Hatta. Namun peranan politik Sjahrir hanya sekundir saja. Dan ketika itu seluruh aliran sosialis
berada dalam krisis suatu jalan terbuka bagi aliran ekstrim kiri dari kelompok sosialis untuk
masuk ke dalam PKI.

Awal September, berbagai unsur di dalam Front Demokrasi Rakyat (Partai Sosialis, Partai
Buruh, PKI, Pasindo) mengumumkan bahwa mereka akan berfusi dengan PKI. Beberapa
pimpinan partai --selain PKI-- menyatakan bahwa mereka juga sudah komunis sejak lama.
Beberapa hari sudah cukup untuk menggagalkan usaha FDR berubah menjadi partai persatuan
dan bersentral. Soekarno pada tanggal 19 September menuduh ‘Musso dan PKI-nya’ telah
mengambil kekuasaan di Madiun dan akan melakukan pengambilalihan kekuasaan dimana-
mana. Ia mengundang angkatan bersenjata untuk melakukan penertiban. Dan penertiban itu
segera terlaksana. Tapi ketika Belanda pada tanggal 19 September memasuki Yogya, ketertiban
itu tidak menghalangi mereka. Mengapa pemberontakan Madiun gagal ? Menurut orang
komunis, Soeripno yang meninggalkan kenang-kenangan berupa sebuah memori yang mencoba
melihat Peristiwa Madiun dari pandangan pribadinya.

Faktor yang paling besar yang menyebabkan kekalahan kami ialah bahwa sokongan ada malahan
boleh dikatakan besar dibeberapa tempat, akan tetapi di luar Madiun sokongan kecil sekali dan
beberapa kali rakyat di desa malahan disiapkan untuk menangkap kami apakah ini berarti bahwa
politik salah, atau program kami salah ? Tentu tidak, kami masih yakin, bahwa politik kami
26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

benar dan program kami benar. Kesalahan ialah justeru kami tidak menjalankan program dan
politik kami dengan betul-betul.

Pengakuan yang jujur dari tokoh komunis menyoroti secara kritis tentang meletusnya
perhitungan organisasi PKI. Karena kekejaman-kekejaman mereka sendiri akhirnya rakyat tidak
saja mendukung tetapi malah menentangnya. Kisah ini berakhir dengan ditembaknya tawanan
politik termasuk Amir Syarifuddin. Sebelum mereka ditembak mati mereka menyanyikan lagu
Indonesia Raya dan Internasional. Mantan Perdana Menteri tidak bisa lagi merayakan Malam
Natal 1948, tiga hari sebelumnya ia harus mati sebagai penghianat bangsa yang dicintainya.
Peristiwa pertentangan politik selama revolusi, Peristiwa Madiun serta operasi-operasi militer
penumpasan pemerintahan Front Nasional telah menjadi peristiwa-peristiwa sejarah di masa
lampau. Kelompk-kelompok yang berkepentingan mencoba untuk menjelaskan latar belakang
peristiwa-peristiwa tersebut. Sebagian mencoba melihat peristiwa-peristiwa tadi sebagai usaha
kaum komunis untuk merebut pimpinan Republik Indonesia. Sebagian lagi melihatnya sebagai
usaha kaum anti komunis untuk menjebak kaum komunis dan menumpasnya atas nama
keselamatan revolusi. Tetapi tentang sebab-sebabnya yang pasti, obyektif, barang kali tak pernah
diketahui. Ia hilang bersama hari yang terbenam.

Gerakan pembangkangan kedua yang dijalankan untuk menandingi watak dan perilaku ideologis
yang umum berlaku selama revolusi berasal dari para pengikut Tan Malaka yang sering disebut
orang-orang komunis nasional. Pada kongres komintern keenam, Tan Malaka disebut Bukharin
sebagai pengikut Trotsky. Namun tentu saja bisa dipertanyakan. Bila Tan Malak memang pernah
menjadi pengikut Trotsky, pandangan-pandangan dan perilakunya selama tiga dekade dan
aktifitas politiknya tentu menunjukkan semacam konsistensi internal bahkan ketika ia bertugas
sebagai agen kantor komintern tahun 1948. Tan Malaka adalah seorang komunis, ia berasal dari
tradisi Marxis-Leninis, ia jelas-jelas seorang pengikut yang memiliki dedikasi. Tetapi, unsur
yang mungkin paling penting dalam konsistensinya dan juga kemampuannya untuk menarik
pengikut adalah kenyataan bahwa ia merupakan: pertama, seorang nasionalis; kedua, seorang
ahli wilayah Asia; dan ketiga, seorang pembela Pan Islamisme sekaligus komunis. Pada tahun
1946, Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan yang bersemboyan Diplomasi bambu
27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

runcing ! Tidak ada kompromi dengan penjajah ! Namun jawaban pemerintah Sjahrir yang
menyukai jalan diplomasi atas disposisi politik dari kubu komunis nasional, adalah apa yang
terjadi pada tanggal 17 Maret 1946 di mana tokoh-tokohnya ditangkapi tanpa alasan yang jelas.
Hal ini secara langsung meneguhkan pertentangan runcing antara kubu Sutan Sjahrir dan Tan
Malaka.

Setelah bebas dari penjara, para pemimpin PP melancarkan kudeta pada bulan Juni 1946 yang
melibatkan peristiwa penculikan Sjahrir yang menjadi pemerintah pada saat itu. Dua hari
kemudian, dalam pidato Radio 30 Juni sore, Soekarno, mengambil alih semua kekuasaan
ditangannya. Ia mengutuk mereka menjadi kolone-5 Belanda, mereka yang merupakan ultra-kiri
dan ultra radikalis. Ia mengingatkan kutukan Lenin terhadap apa yang disebut dalam Bahasa
Belanda Linksradikalisme dan mengatakan “Der Radikalismus, eine kinderkrankheit des
kommunismus.” Oposisi adalah satu hal, kata Sokearno, dengan pengrusakan adalah hal yang
lain sama sekali. Demokrasi takkan jalan dengan gontok-gontokkan. Celaan Soekarno yang keras
terhadap tindakan penculikan itu, bergabung dengan kata-kata yang agak ramah untuk para
pemuda yang melakukannya, ternyata memperoleh hasil yang diharapkan. Pada malam itu
Sjahrir dibebaskan dan dikawal ke Surakarta. Dari sana ia terbang langsung kembali ke Jakarta.
Pada 4 Juli peristiwa itu telah reda dan dapat diselesaikan. Untuk bisa memusatkan diri pada
masa depan, pemimpin tentara memutuskan untuk tidak menguber pelakunya dan karena itu
kelompok Tan Malakalah yang tinggal menanggung akibatnya.

Tetapi tiga bulan sebelum komunis nasional menggabungkan diri dalam Partai Murba yang
berbeda dengan Front Demokrasi Rakyat. Partai Murba pada hakekatnya juga mendukung
program yang sama seperti halnya orang-orang komunisme Stalin, hanya saja partai Murba
melepaskan semua ikatan dengan Uni Soviet. Pada pemberontakan Madiun, partai Murba
berjuang keras melawan pasukan dipimpin PKI. Tidak lama sesudah itu, nasib malang menimpa
dirinya. Pada tanggal 19 Februari 1949, Tan Malaka ditembakmati dihadapan senapan
sekelompok tentara republik sendiri di tepian sungai. Dengan luka-luka tembak di sekujur
tubuhnya, mayat pejuang revolusioner sejati itu dibuang begitu saja ke sungai Brantas kutukan
sekaligus batu nisan abadinya. Kedua kelompok ini --satu dipimpin oleh PKI yang mengikuti
28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kebijakan Comintern dan satu lagi dipimpin oleh Tan Malaka yang melepaskan diri dari Moskow
— adalah dua kekuatan prinsipil dari kiri yang dalam program dan perilaku politiknya melawan
arus tema-tema besar era revolusi. Meskipun ancaman-ancaman yang diterima dari kedua
kelompok ini berbeda menurut ruang dan waktu, Republik tetap berperang melawan Belanda
sampai berhasil dan pemerintahan Soekarno-Hatta mendapat pengakuan sebagaimana mestinya
dalam peralihan kekuasaan pada tanggal 27 Desember 1949.

Hampir satu tahun Pemberontakan Madiun kaum komunis mendapat kepastian tentang nasib
mereka dan partai. Pemerintah memutuskan bahwa pelaku yang terlibat dalam peristiwa Madiun
tidak akan dituntut kecuali bagi mereka yang terlibat tindak kriminal dan partai diberi peluang
kembali untuk melakukan aktivitasnya keputusan itu diterima secara luas dalam kabinet.
Meskpiun banyak pihak yang merasakan bahwa keputusan ini tidak memuaskan, tetapi
pemerintah mempunyai alasan tertentu. Presiden Soekarno mempunyai pertimbangan tersendiri
sehingga tidak menumpas anasir komunis. Boleh jadi sebagai upaya untuk memelihara persatuan
dan ketutuhan bangsa dalam menghadapi imperialisme Belanda. Ini juga menadakan konsistensi
pemikiran Soekarno yang telah mengumandangkan ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’.
Kebijakan itu bisa jadi dianggap lunak tetapi tampaknya bahwa pemerintah RI sebetulnya
menunjukkan sikap toleran. Hal ini memberi indikasi bahwa Indonesia siap memasuki gerbang
kemerdekaan yang bebas, mempraktekkan sistem demokrasi, dan mampu menggalang berbagai
kekuatan politik. Sebagai negara baru hampir semua kekuatan yang ada masih sangat
diperhitungkan dalam revolusi menghadapi kekuasatan asing. Ihwal dan nasib PKI serta kaum
komunis menjadi jelas ketika pada tanggal 4 Februari 1950 pemerintah menegaskan kembali
bahwa PKI tidak dilarang dengan catatan apabnila mau mematuhi hukum dan tata tertib negara.

D. N. Aidit yang berhasil lolos dari kejaran adalam Peristiwa Madiun, pada bulan Januari 1951
kembali ke panggung politik. Alimin, Aidit, Nyoto, Sudisman menjadi pimpinan harian PKI.
Alimin yang dikenal sebagai ‘great old man’ gerakan komunisme Indonesia, sebagai orang yang
kaya pengalaman, yang namanya sudah masuk dalam sejarah dan diberi tempat kehormatan di
dalam daftar pimpinan. Tapi yang jelas orang pertama adalah Aidit, tokoh muda PKI. Aidit
berpendapat bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang bersifat semikolonial dan
29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

semifeodal, dan bahwa sasaran pertama partai ini harus mencari kerjasama dengan kekuatan-
kekuatan non-komunis yang anti penjajah. Sebenarnya, dia malu-malu mengharapkan dukungan
dari PNI. Strategi partai ini terselubung dalam terminologi Marxis-Leninis yang ortodox. Di
dalam uraian-uraian Aidit orientasi politik lebih menjadi faktor penentu kelas sosial ketimbang
kelas sosial itu sendiri menentukan orientasi politik. Jadi, dia menyatakan bahwa kaum komunis
dapat bekerja sama dengan kaum borjuis kecil dan kaum borjuis nasional melawan kelas borjuis
komparador dan kelas feodal. Akan tetapi, partai politik utama yang didukung oleh kaum borjuis
pribumi adalah Masyumi oleh karena itu, maka Masyumi bersama-sama dengan PSI dicap
sebagai partai borjuis komparador. PNI yang lebih bersifat feodal ketimbang borjuis ternyata
lebih dapat menerima rayuan PKI dan oleh karenanya PNI diidentikkan oleh Aidit sebagai partai
kaum borjuis nasional ketika Nahdatul Ulama memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952,
maka Aidit merasa lega untuk dapat memandang NU sebagai partai borjuis, yang dalam
beberapa hal memang demikian adanya. Strategi Aidit dalam mencari sekutu PKI menyesuaikan
diri dengan suatu struktur sosial yang didalamnya kesetiaan budaya, agama dan politik lebih
bersifat vertikal atau komunal (apa yang disebut aliran) daripada horizontal seperti dalam suatu
masyarakat yang sadar-kelas. Dengan menyesuaikan diri dengan cara itu, maka pada dasarnya
PKI menghalangi setiap usaha untuk merangsang suatu kesadaran kelas yang lebih besar yang
akan mengabaikan kesetian komunal dan partai yang ada.

Strategi Aidit bersifat defensif dengan maksud melindungi partai ini dari pihak-pihak yang
mengharapkan kehancurannya, apapun penyesuaian-penyesuaian teoritis atau aliansi-aliansi
politik yang mungkin di tuntut untuk itu. Apa yang dipertahankan PKI lebih merupakan masa
depan PKI sebagai ideologi politik. Bagaimanapun juga sebagian besar lawan-lawan partai ini
memandangnya dalam rangka sikap ideologisnya yang eksklusif dan ancaman-ancaman yang
menurut keyakinan mereka ditimbulkan oleh komunisme terhadap agama dan politik yang masih
mapan. Bagi lawan-lawan partai tersebut harus diakui bahwa tak seorang pun dapat mengetahui
langkah apa yang akan diambil oleh PKI seandainya partai ini berhasil berkuasa. Perdana
Menteri Sukiman, yang pernah menjadi menteri dalam negeri pada zaman peristiwa Madiun,
menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha yang serius pada masa itu
untuk menumpas PKI. Kaum komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

suatu koalisi dengan Masyumi, karena strategi mereka tergantung pada kedua partai itu masih
terus bertikai satu sama lain. Pada bulan Juni-Agustus 1951 timbul serangkaian pemogokan,
sebuah granat tangan di lempar kepada suatu kerumunan massa di Bogor, dan suatu gerombolan
bersenjata yang berlencana palu arit menyerang sebuah pos polisi. Pemerintah memutuskan
bahwa PKI-lah yang bersalah, suatu tuduhan yang diingkari oleh kepemimpinan Aidit tetapi sia-
sia. Tanpa berkonsultasi dengan tentara, pemerintah memerintahkan penangkapan besar-besaran.
Pada tanggal 15 Agustus 1951 terjadi suatu gelombang penangkapan besar-besaran di Jakarta,
termasuk enam belas anggota parlemen (antara lain ayah Aidit yang menjadi anggota sebuah
partai kecil). Tidak jelas berapa banyak orang yang ditangkap pada waktu itu, tetapi pada akhir
bulan Oktober pemerintahlah menyebut jumlah 15.000 orang. Tak seorang pun pernah diajukan
ke pengadilan dan semuanya dibebaskan oleh kebinet berikutnya, kabinet Wilopo, Aidit,
Lukman dan Nyoto menyembunyikan diri dan mempertimbangkan kembali strategi mereka.

Dari peristiwa itu juga pemimpin PKI menyimpulkan bahwa para politisi Jakarta tidak akan
membiarkan mereka memainkan politik atas dasar yang sama dengan partai-partai lainnya. Oleh
karena itu, mereka memilih suatu strategi jangka panjang untuk membentuk suatu basis massa
yang bebas yang begitu besar sehingga partai tersebut tidak dapat diabaikan ataupun tumpuh
karena penangkapan terhadap para pemimpinannya, sementara pada waktu yang sama bekerja
paling tidak untuk realitas kekuatan-kekuatan yang non komunis. Dengan demikian, dianut
kebijakan ‘front persatuan nasional’ dan slogan-slogan nasionalis lebih diutama kan daripada
tuntutan-tuntutan kelas kini mulai dilakukan suatu kampanye untuk memperoleh anggota,
terutama di Jawa. Karena merasa tidak pasti terhadap PNI sebagai sekutu, maka PKI mulai
mencari dukungan Soekarno. Meskipun segala kebencian pribadi mereka terhadap Presiden,
maka mulai saat itu para pemimpin PKI tidak lagi menyebutnya sebagai kolaborasi Jepang atau
Fasis, dan tidak lagi menyalahkannya memancing meletusnya Peristiwa Madiun, mereka kini
melemparkan semua kesalahan dari episode itu kepada Hatta, Sukiman dan Natsir (kesemuanya
adalah anggota kabinet pada saat itu). Untuk menenangkan sekutu-sekutu yang potesial, pantai
tersebut mengikuti peranan yang kurang bersifat, militan dengan memberi tahu SOBSI pada
bulan pada bulan Maret 1952 bahwa melakukan pemogokan untuk menuntut upah yang lebih
tinggi adalah sekretarian yang mengancam strateg front persatuan nasional.

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Selama masa pemerintahan Wilopo terdapat tanda-tanda tumbuhnya saling pengertian antara
sayap radikal PNI dan PKI yang baru bangkit kembali, mengembangi jurang perpisahan yang
makin mendalam antara PNI dan Masyumi. Sebenarnya Presiden Soekarno masih menunjukkan
ketidaksenangannya terhadap PKI. Karena adanya trauma politik peristiwa Madiun 1948 dan
adanya peran PKI dalam aksi-aksi pemogokan ketidaksenangan Presiden Soekarno itu
ditanggappi tidak secara frontal oleh PKI, melainkan dengan cara-cara persuasif. Pada peringatan
hari jadi PKI ke-32 tanggal 23 Mei 1952, Aidit dan Alimin mengeluarkan slogan atau yel “Hidup
Bung Karno, Hidup PKI.” Slogan yang tidak diduga ini paling tidak dimaksudkan untuk
merealisasi sikap keras Presiden Soekarno terhadap PKI. Rupanya Soekarno tidak terlambat
memberikan reaksi terhadap perubahan ini. Bagaimanapun ia cenderung melihat PKI sebagai
unsur yang sah dalam melihat PKI sebagai unsur yang sah dalam kesepakatan persatuan
Indonesia yang ingin dibangunnya. Selama partai itu setia kepada Republik dan selama partai itu
bersedia berbicara sebagai nasionalis dan sebagai partai komunis ia siap untuk menerimanya. Ini
akan memperkuat radikalisme yang disenanginya dan akan mengubah persaingan kekurangan
partai-partai yang ada sehingga perjuangan politik akan lebih lancar.

Bagi PNI, sikap rukun kaum komunis itu akan membuka kemungkinan-kemungkinan tertentu
yang menarik. PKI dalam perbandingannya, tetap partai kecil. Ia masih harus menunggu saat
untuk mendapatkan daya geraknya, yang akan mengejutkan lawan-lawannya dalam beberapa
tahun mendatang. Pada tahun 1953 itu, partai ini adalah sekutu yang dapat diatur, serta dapat
dijadikan saingan besar yang berguna dalam menghadapi Masyumi. Masyumi sendiri sudah
menjadi lemah dengan keluarnya Nahdatul Ulama dari barisannya. Sekarang, dengan bantuan
dukungan PKI di parlemen akan memungkinkan PNI membentuk pemerintahan tanpa
mengikutsertakan Masyumi sama seklai. Sampai sejauh ini, kemungkinan yang demikian akan
cocok dengan strategi politik Soekarno. (JDL 292 – 293 – SS, 54 ) Pemilu September 1955 telah
menjadi ajang demonstrasi kekuatan massa PKI. PNI (22%), Masyumi (20%), NU (18%) dan
PKI (16%) menjadi empat partai terkuat, sejumlah partai satu kursi di parlemen dan sejumlah
partai-partai kecil lain terlempar dari arena. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elite
Jakarta dan membuat PNI semakin cemas akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh mitra

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mudanya itu. Terungkapnya kelemahan Masyumi dalam pemilihan umum (yang diperkirakan
akan menguasai hasil suara), dan PSI, dalam perbandingan dengan kekuatan PNI dan PKI,
berarti bahwa posisi Presiden telah diperkuat dalam menghadapi lawan-lawannya. Pentas telah
disiapkan untuk adegan-adegan baru.

Meskipun partai-partai politik selain PKI mulai berkurang arti penting sejak pemilu, masih
relevan untuk melihat sekilas partai-partai yang muncul setelah pemilu 1955 serta memiliki
kedudukan kuat, juga partai kecil. Ada empat partai yang mengklaim dirinya mewakili bentuk
Marxisme. Kita akan memeriksa pemenang dan pembawa Marhaenisme yang sebenarnya, yaitu
PNI PSI dan Murba yang tersingkir dalam Pemilu dan satu yang tetap bertahan dan bertambah
kuat dan subur, yaitu PKI. Kesan rakyat bahwa PNI baru ini benar-benar penerus PNI sebelum
perang lagi-lagi menguat ketika PNI mengambil alih filsafat Marhaenisme sebagai dasar prinsip
dan progrom partai yang dijabarkan dengan fasihnya oleh Presiden. Sebenarnya semua orang
pada saat itu adalah Marhaen atau setidak-tidaknya mau menerima Marhaenisme. Tapi PNI-lah
yang berupaya dan sampai taraf tertentu berhasil mengambil Marhaenisme untuk diri mereka.
Dengan mengidentifikasikan untuk diri mereka pada setiap kesempatan dengan filsafat yang
akrab dengan Presiden ini, mereka meraih kemenangan besar pada pemilu lalu.

Di dalam partai, perpecahan muncul antara tokoh yang mendukung Presiden sebagai
perpanjangan partai dengan orang-orang yang enggan menempatkan partai di bawah ketiak
Presiden. Mereka yang karena satu dan alasan lain tidak mengambil kesempatan untuk
mendekatkan diri dengan semakin tersentralisasikannya kekuasaan di istana, mendapatkan diri
mereka tersingkir dari jalur utama sejarah. Pada masa Presiden berjalan di atas rel demokrasi
terpimpin, jelas pula bahwa sebagai partai, PNI yang karena penampilan impersif mereka selama
Pemilu, tidak lagi menjadi faktor menentukan dalam perebutan kekuasaan. PNI telah kehilangan
apa yang pernah mereka miliki. Di penghujung tahun 1950-an, partai ini bukan lagi pembuat
kebijaksanaan, tapi pengikut. Partai Sosialis Indonesia adalah partai kecil bahkan nyaris
tersingkir pada pemilu 1955 dan dihapuskan oleh Dekrit Presiden 1960, namun masih memiliki
pengaruh luas dalam kehidupan politik kapasitasnya untuk mempengaruhi pandangan dan
keputusan-keputusan orang-orang yang jauh di luar lingkaran keanggotaannya sudah merupakan
33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kenyataan partai ini sejak lahirnya di masa-masa awal revolusi. Luas pengaruh PSI bisa dikaitkan
dengan pribadi pemimpinannya, Sjahrir dan beberapa pembantu utamanya. Namun, seberapa pun
luas dan dalamnya, kapasitas partai ini sangat rendah untuk merebut pendukung-pendukung lokal
dari kalangan intelektual, apalagi dari massa, dan ini terbukti sejak awal partai ini berdiri.
Banyaknya kegagalan untuk memperbesar baris partai adalah akibat dan keputusan
pemimpinannya sendiri untuk mempertahankan partai sebagai partai kader selama dua tahun
pertama setelah revolusi.

Di masa-masa awal pasca revolusi, energi partai diarahkan tidak untuk menarik anggota-anggota
baru melainkan untuk memperkuat dan mempertegas basis ajarannya. Kongres Pertama PSI yang
diselenggarakan pada bulan Januari 1952, tetap mempertahankan Marxisme. Ajaran-ajaran
Marxisme harus dianggap bukan sebagai ‘sebuah kredo atau obat, melainkan sebagai salah satu
alat solusi pelbagai persoalan yang dihadapi partai dalam kerangka realiatas masyarakat
Indonesia,’ dan mempertahankan referensi ini merupakan ‘sebuah pernyataan keyakinan partai
dan pengakuan apresiasi partai terhadap arti penting sejarah Marx dan Engels dalam
memperjuangkan sosiliasme dan emansipasi buruh.’ Seperti halnya partai sosialis Eropa, PSI
mulai mendefinisikan Marxisme dalam tema-tema yang humanistis. Dengan membedakan
dirinya dari sosialisme nasionalnya Hitler dan sosiallisme yang diajarkan oleh Moskow atau
Comintern ‘dalam sikap ajarannya, PSI mempertegas dedikasinya untuk sosialisme demokratik
yaitu ‘pengejawantahan dari semua cita-cita demokrasi…… Sosialisme akan berhasil
menciptakan kondisi-kondisi dimana syarat ekonomi materi tidak lagi merupakan kendala bagi
kemajuan dan pembangunan seluruh kemampuan manusia untuk meraih kebaikan dan
keindahan.’ Dalam Sosialisme sebagai gerakan internasional harus melibatkan siapa saja yang
mendukung sosialisme humanis, yaitu orang-orang berbuat atas dasar kekuatan dan perasaan
keagamaan mereka serta ‘sebagian besar orang yang meletakkan dirinya diatas dasar kebenaran
teori-teori dan analisis Marx dan Engels.’

Bagi PSI dan Masyumi Pemberontakan PRRI/Permesta yang pecah pada tahun 1958 adalah
tragedi pribadi dan bencana bagi partai. Meskipun banyak simpati kalangan PSI terhadap
pandangan-pandangan pemberontak, para pemimpin PSI cepat-cepat mengutuk cara-cara
34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pemberontak. Akan tetapi, meski penolakan-penolakan terhadap pemberontakanm cukup gencar,


dalam banyak hal PSI dituduh terlibat dalam perang saudara itu. Setelah perang saudara
menyusul Dekrit Presiden bulan Agustus 1960 yang memerintahkan pembubaran PSI, maka
sampailah PSI diakhir hayatnya. Seperti halnya PSI, partai Murba juga mempunyai pengaruh
yang konstan melampaui batas-batas anggotanya yang terdaftar. Para pemimpin partai sebagian
besar juga adalah orang-orang muda yang banyak memainkan peran militer yang aktif dalam
revolusi. Masih seperti halnya PSI, dukungan massa yang diperkirakan masuk Ke Murba
ternyata sebelum Pemilu berlangsung pada bulan September 1955, yaitu hanya setengah persen
dari total suara. Meskipun kalah dalam pemilu, Murba tetap memiliki arti posisinya sebagai
partai pinggiran yang militan tapi kecil menjadi faktor signifikan di pusat struktur kekuasaan
pada saat itu.

Perbedaan antra basis massa Murba yang kecil dengan pengaruhnya yang luas ditingkat atas
pemerintahan adalah suatu paradox. Orang-orang Murba memegang pos penting dalam
pemerintahan. Kedudukan mereka tampaknya berasal dari dua sumber. Satu adalah bahwa para
tokoh Murba selalu punya hubungan pribadi dengan Presiden. Yang lain adalah hubungannya
dengan pendukung-pendukung bersenjata mereka. Mungkin saja dukungan militer yang didapat
Murba datang dari Unit-unit tertentu didalam tubuh Angkatan Bersenjata yang dipimpin oleh
orang-orang dekat dengan para pemimpin Murba. Karena Murba diberi posisi penting dalam
perpolitikan Indonesia, adalah perlu mengetahui basis ideologinya. Ada juga rujukan mengenai
pernyataan dalam spektrum politik di antara oang-orang komunis. Akan tetapi, peristiwa-
peristiwa sejak tahun 1950 menunjukkan bahwa doktrin tidaklah terlalu penting bagi komando
tinggi partai ketimbang yang bisa diharapkan dari sebuah partai Marxis-Leninis, atau paling
tidak bahwa kepemimpinan partai itu menunjukkan kemampuan fleksibelitas yang cukup maju
ketika berhadapan dengan sebuah pilihan antara ideologi dan manfaat.

Sampai lahirnya demokrasi terpimpin, partai Murba ini masih mampu dan benar-benar sanggup
memanfaatkan kesempatan untuk menjadi oposan yang galak tanpa memandang siap yang
memerintah. Murba juga tidak menderita kegagalan; pada saat yang sama, Murba juga mampu
memberi sedikit kontribusi untuk menghancurkan atau setidaknya menghentikan pemerintahan
35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kabinet saat itu. Sementara itu, oposisi terang-terangan partai terhadap komunisme yang didikte
Moskow atau Peking tidak menghalanginya untuk bersekutu dengan musuhya, yaitu PKI. Murba
juga memutar jalan dengan cara keluar masuk sejumlah persekutuan, kadang diam-diam dan
kadang-terang-terangan, baik itu dengan sayap kiri PNI, PSII atau partai-partai kecil seideologi.
Selain mendapatkan kembali pengaruh yang pernah dimiliki sebelum insiden Madiun, PKI telah
berkembang pesat sedemikian rupa sehingga kehadirannya di Indonesia pada saat itu menjadi isu
yang paling penting dalam kehidupan politik bangsa. Di awal tahun 1950, PKI harus menempuh
jalan panjang untuk membangun kembali dirinya sebagai sebuah partai politik serta membuang
semua kejelekan yang masih disangkutpautkan dengan nama partai akibat pemberontakan
Madiun. Menjelang tahun 1951, PKI jelas-jelas di antara partai-partai kuat di dalam negeri. Hasil
Pemilu menunjukkan bahwa PKI tidak hanya sebagai partai besar keempat di Indonesia, tapi
juga bahwa dengan afiliasi serikat dagangnya dan partai-partai kecil disekitarnya, PKI telah
meraih tingkat kekuatan politik dan kemampuan bergerak yang tinggi dan tidak terduga
sebelumnya.

Orang-orang komunis kembali mendapatkan posisinya dengan berbagai cara. Dengan


memperluas kontrol dan pengaruh mereka pertama-tama terhadap gerakan-gerakan serikat
dagang (SOBSI), lalu terhadap organisasi-organisasi petani dan pemuda serta sejumlah partai
kecil yang mewakili isu-isu daerah atau ras tertentu (seperti Cina), dengan bermesra-mesraan
dan bermain-main dengan sayap kiri PNI, dengan tiada henti-hentinya berkempanye untuk
menyingkirkan Masyumi di samping juga berusaha mengangkat nama PSI, dengan
mengeksploitir sejumlah krisis dan perpecahan yang menimpa para pemimpin nasional termasuk
yang terjadi di dalam tubuh angkatan bersenjata, dengan memelihara hubungan baik dengan
Presiden Soekarno. Selain itu kendatipun masih terus mencela sebagian besar partai-partai
nasionalis dan keagamaan sebagai partai-partai kamp imperialis. Terhalangi dalam kegiatannya
gara-gara larangan pemerintah pada bulan Februari 1951 tentang pemogokan diperusahaan-
perusahaan vital seperti perkebunan dan perkapalan, serta dihadapkan pada penahanan yang
dilakukan oleh pemerintahan Sukiman terhadap sejumlah besar orang-orang komunis dan
asosiasi-asosiasi mereka pada tahun 1951, PKI mulai merancang panggung untuk permainan
berikutnya. Pembelaan rakyat terhadap peran PKI dalam peristiwa isu tersebut dari perpolitikan

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

masa dengan. Usaha partai ini dilakukan dengan menerbitkan sebuah ‘buku putih’ tentang
Madiun.

Dokumen ini adalah sebuah usaha yang menarik dalam penulisan ulang sejarah. Pemberontakan
tersebut diganti dengan namanya menjadi ‘provokasi’ Madiun. Dokumen ini mengklaim bahwa
peristiwa-peristiwa yang melahirkan pemberontakan Madiun juga meliputi serangan-serangan
terhadap orang-orang PKI dan penculikan yang dilakukan oleh Divisi Siliwangi Kesiapan untuk
menyerang Divisi ini mendorong keyakinan sebagian tokoh PKI untuk selanjutnya membuat
serangan terhadap Presiden soekarno. Dokumen ini menyebutkan bahwa persiapan terakhir
dibantu oleh Soekarno sendiri yang ‘mempercepat’ pertempuran yang dimulai pada tanggal 19
September. ‘Rakyat dan tentara yang tetap anti imperialis akhirnya dipaksa untuk melindungi
dirinya akibat pidato Presiden Soekarno pada malam 19 Desember 1948. Dalam pidatonya itu,
Presiden memerintahkan sebuah serangan umum bersenjata dan menahan serta membrantas
secara brutal orang-orang dicap sebagai pengacau. “Pertanyaan ini adalah sebuah tantangan
sudah menduga bahwa pada masa itu, tatkala wibawanya masih belum tertandingi, orang-orang
komunis akan merasa cukup kuat untuk mengkritiknya. Pada saat yang sama, orang-orang
komunis mundur dari jalur propaganda sebelumnya yang menyebut Soekarno sebagai seorang
‘kolaborawa’ Fasis Jepang.

Di tengah-tengah krisis tahun 1957 diambillah langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk
pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin
didominasi oleh kepribadian Soekarno, walaupun prakarsa untuk pelaksanaannya diambilnya
bersama-sama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Dia menawarkan sesuatu untuk diyakini
kepada bangsa Indonesia, sesuatu yang diharapkan banyak orang akan memberi mereka dan
negara mereka martabat atau kebangsaan, kekuatan-kekuatan besar lainnya berpaling kepadanya
untuk mendapatkan bimbingan, legitimasi atau perlindungan. Dengan menampilkan dirinya
kedepan dalam krisis tahun 1957, maka para pemimpin lainnya bergabung dengannya dalam
mempertahan posisi sentralnya. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno, yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manipol. Dia
menyerukan dibangkitnya kembali revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960
37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

keyakinan yang samar-samar ini menjadi semakin samar-samar ini menjadi semakin rumit
karena ditambahnya kata USDEK, yang berarti Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan kepribadian Indonesia.

Mengenai Sosialisme Indonesia, Soekarno terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud
dengan Sosialisme. “Sosialisme.” Kata Presiden Soekarno, “adalah usaha untuk mendapatkan
kebahagian untuk semua manusia… keadilan ditengah-tengah manusia, tanpa eksploitasi satu
sama lain, dan kebahagian yang sama.” Soekarno menjelaskan ada bermacam-macam
sosialisme-sosialisme religius. Sosialisme Utopia, Sosialisme nihilistik, sosialisme ilmiah dan
ada juga komunisme. Karena sosialisme Indonesia adalah salah satu komponen penting dari
bentuk pemerintahan baru, dan karena Presiden adalah pengarang filsafat baru tentang negara ini,
maka untuk memahami apa yang dimaksud dengan sosialisme Indonesia, orang harus memeriksa
pandangan-pandangan presiden tentang hal ini. Presiden kerap kali mendefinisikan sosialisme
Indonesia sebagai Marhaenisme. Marhaenisme adalah, ‘Marxisme yang dipraktekkan atau
diterapkan di Indonesia… Barangsiapa yang menyebut dirinya Marxisme tapi tidak
mempraktekkan Marxisme di Indonesia… ia hanya seorang pseudo Marhaenis.’ Soekarno
menjelaskan bahwa seorang Marxis sejati, adalah seorang revolusioner radikal; Maka, siapa yang
menyebut dirinya revolusioner radikal, tapi bukan Marxis,’ ia bukanlah revolusioner radikal dan
oleh karena itu ia hanya seorang pseudo-Marxis. ‘Akhirnya, seorang Marxis sejati tiddaklah
menderita komunis phobia.’

Sosialisme, kata Soekarno, tidak sama dengan komunisme, melainkan oleh beberapa macam
sosialisme seperti yang disebut diatas, dan komunisme ‘seperti yang digariskan Lenin’ adalah
salah satu ‘trend’-nya. Oleh karena itu, jelas Soekarno, karena komunsime sama halnya dengan
sosialisme, maka ia juga ‘membutuhkan keadilan, kebahagian, tanpa eksploitasi.’ Soekarno juga
menyebutkan kriterianya untuk menentukan siapa yang sosialis dan siapa yang tidak: Siapa yang
percaya kepada keadilan di tengah-tengah manusia, tidak ada eksploitasi sesama manusia, maka
ia adalah sosialis. Siapa saja yang memandu kriteria ini adalah Karl Marx, Engels, Lenin yang
dianggap gurunya dalam sosialisme. Selain itu Tjokroaminoto, sosialis kristen Feliate de
Lemannais dari Perancis dan Domela Nieuwentruis dari Belanda; orang-orang Utopis seperti
38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Louis Blanc dan Charles Fourier; Jean Jaures (orang yang dikaguminya dan Mikhail Bakukun).
Sedang sarana untuk mencapai sosialisme, kata Soekarno, meski memang Marx dan Engels
berkata bahwa sosialisme adalah keharusan sejarah, adalah keliru menganggap bahwa sosialisme
akan muncul dengan sendirinya. “Marx sendiri berkata bahwa anggapan semacam itu salah
bahkan para pemimpin komunis juga berkata bahwa itu keliru.” Tjokroaminoto, ketua Sarekat
Islam juga mendukung sosialisme mencatat dan Soekarno menyadari bahwa ‘agama Islam juga
menyatakan bahwa sosialisme tidak akan turun dari langit seperti embun di malam hari.’ Alat
untuk menjalankan sosialisme adalah sebuah ‘instrumen super’ dan bukan sekedar ‘gagasan yang
sudah jadi kenyataan.’

Menurut Soekarno, negara mempunyai dua pekerjaan yang terpisahkan. Fungsi pertama negara
adalah menekan, melawan, menghancurkan, merusak apa saja yang mengancam akan merugikan
kehidupan kita sebagai bangsa dan keberadaan kita sebagai sebuah negeri. Fungsi kedua negara
adalah mempunyai unsur kreatif untuk membangun, untuk bangkit dan mencipta. Di satu sisi
menghancurkan dan disi lain menciptakan. Karena negara adalah sebuah alat, para pejabat
begara sebenarnya membentuk sebuah organisasi riil dan tidak ada satu organisasi pun yang bisa
berfugsi tanpa pemimpin. Itulah mengapa banyak sekali ditekankan istilah ‘terpimpin’ karena
‘negara-dalam pimpinannya sendiri-adalah memimpin… dalam menjalankan sosialisme,
ekonomi harus dipimpin dalam jalur yang sudah digariskan negara, yaitu negara yang menjadi
alat untuk menjalankan sosialisme. Sosialisme Indonesia, sebagaimana yang didefinisikan
Soekarno, tentu saja mempunyai dasar-dasar hukum yang cukup. Karena UUD 1945 adalah
Undang-Undang Sosialis, Presiden dan para pejabatnya yang diwajibkan untuk mengikuti dan
menjalankan undang-undang sebagai sarana penerapan sosialisme Indonesia. Dan seperti unsur-
unsur lain dalam doktrin sebuah negara baru, sosialisme Indonesia juga memiliki batas-batas
yang dibuat oleh sumber filsafat Indonesia tidak beda dengan demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin, kepribadian Indonesia dan UUD 1945, semacam daya tarik yang biasa dibuat di
slogan-slogan.

Sejak permulaan Demokrasi Terpimpin tidak dapat diragukan hangatnya perhatian Soekarno
terhadap PKI. Kemajuan serta tempat PKI yang terhormat sesudah itu, sebagaian besar telah
39
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

turut ditingkatkannya. Presidenlah yang dengan gigih berkampanye untuk memasukkan PKI ke
dalam kabinet pasca pemilu dan selalu menegaskan bahwa ia tidak akan menunggangi, ‘kuda
berkaki tiga’, yaitu sebuah pemerintahan yang hanya mewakili tiga dari empat pemenang utama
pemilu yaitu PNI, Masyumi dan NU. Presidenlah yang mengusahakan hak orang-orang komunis
untuk berpartisipasi dalam kabinet Ali, dan kemudian Presiden pula yang memberi ruang bagi
mereka dalam kabinet selanjutnya. Menghadapi permusuhan tentara terhadap PKI ia
menjalankan peranan sebagai pelindung partai ini. Pada bulan Seeptember 1959 tentara mencoba
mencegah PKI mengadakan kongresnya. Soekarno memutarbalikkan keputusan itu secara
demonstratif ia memperlihatkan sikap secara terbuka yakni menghadiri dan menyambut kongres
itu dengan pidatonya.

Meskipun bukan ahli waris partai nasionalis seperti PNI dulu pernah diketuai Soekarno pada
masa pergerakan kebangsaan, PNI memanfaatkan betul hubungan mereka dengan Soekarno ?
Bahkan ketika beberapa tokoh sayap kanan PNI mulai kuatir terhadap hubungan yang semakin
erat antara Soekarno dengan orang-orang komunis, mereka masih punya pilihan yaitu dengan
cara mengorbankan masa depan politik pribadi mereka atau dengan cara meredam kekuatan
mereka. Angkatan bersenjata juga sudah belajar bahwa Presiden Soekarno, bila ditekan sedikit ia
kemudian akan bergerak ke arah lain, menghindari dari tekanan orang-orang yang berusaha
merencanakan suatu aksi terhadap dirinya. Jendral Nasution misalnya, juga belajar bahwa
kedudukan dalam kabinet sebagai kepala staf tidak berarti apa-apa ketimbang pendengar
presiden. Bila Nasution terlalu keras menyerang PKI, maka ia mendapatkan beberapa pejabatnya
yang taat akan kehilangan kursi di samping Presiden.

Hubungan Presiden dengan PKI adalah salah satu yang paling rumit dan ruwet dari segala
macam manuver politik. Dari kutipan-kutipan tulisan Soekarno dan pidato-pidatonya terbukti
bahwa kekuatan dan latar belakang intelektual Soekarno lebih banyak dibangun oleh berbagai
sumber sosialis dan menunjukkan minatnya yang besar terhadap pemikiran-pemikiran yang
berbau Marxis-Leninis. Akan tetapi, juga ada bukti dari perilaku politiknya, selama beberapa
tahun bahwa komitmen terbesar Presiden Soekarno adalah pandangan-pandangan nasionalisnya.
Ini barangkali bisa menjelaskan mengapa, meskipun terjadi insiden peristiwa itu, seperti halnya
40
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

orang-orang Indonesia lain. Presiden tampaknya menganggap bahwa bersama dengan orang-
orang komunis dan orang Indonesia lainnya, nasionalisme harus didahulukan, dan bahwa
ideologi politik apa pun yang mencoba mengganti cita-cita nasionalis harus diabaikan. Atau
meungkin juga, seperti halnya orang Indonesia lain, Soekarno tidak pernah menganggap PKI
sebagai peluang yang lebih besar daripada kelompok politik lain untuk mendapatkan kedudukan
yang bisa menentang wibawa Presiden.

Apapun alasannya, ketika PKI mulai menaruh genderang perang untuk merebut kekuasaan.
Soekarno tidak memilih untuk melawan kekuasaan komunis tersebut. Sebaliknya Presiden tidak
hanya memanfaatkan slogan-slogan PKI, tetapi juga perangkat dari posisinya yang kuat, ia
tampaknya merasa cukup aman untuk mendorong PKI dan kelompok lain untuk berhadapan
dengan Masyumi, PSI dan kelompok-kelompok lain yang mengeritik kebijaksanaannya. Kendati
pun tumbuh rasa was-was dikalangan yang dekat dengan istana, Presiden terus saja menyambut
cumbu rayu PKI bahkan ketika orang-orang komunis dengan tetap menjaga perluasan
kekuatannya pelan-pelan berubah dari sesuatu yang tidak membahayakan menjadi sebagai
kekuatan yang mengancam sekalipun. Sebenarnya dapat dinyatakan bahwa tujuan Soekarno
adalah membawa PKI pada gengsi yang lebih besar, tetapi sekali-kali tidak membawanya lebih
dekat pada kekuasaan yang nyata. Untuk PKI, langkah terakhir ini tertahan macet selamanya,
sehingga kemajuan-kemajuan yang didapatnya setahap demi setahap selama tahun-tahun
Demokrasi Terpimpin, jika dibanding, tidak banyak berarti. Sekiranya mencapai kekuasaan,
seharusnya sekarang mereka sudah termasuk dalam rezim itu. Secara ideologis mereka
terkurung, menyokong Soekarno dengan imbalan dijinakkan dalam prosesnya. Tahun-Tahun
terakhir demokrasi terpimpin, PKI semakin kuatir, meningkatnya jumlah anggota dan
bertambahnya gengsi telah disertai pula dengan lunturnya disiplin partai, merosotnya moral dan
sirnanya elan revolusionernya.

Apakah dukungan yang begitu kuat Presiden Soekarno terhadap PKI dan seringnya ia mengecam
‘komunis-phobia’ menunjukkan bahwa ia benar-benar menganut ajaran-ajaran komunis dan
bersungguh-sungguh pendukung PKI ? Ataukah Soekarno hanya tampak antusias terhadap PKI
menunjukkan dukungan terhadap pandangannya mengenai realitas situasi, sebagaimana kata
41
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pepatah dunia: Bila kau tidak bisa mengatasi mereka, maka bergabunglah ? Meskipun ini, yang
mendukung kedua kemungkinan ini, catatan menunjukkan bahwa Soekarno sebagai ahli strategi,
tidak akan membiarkan situasi tersebut disederhanakan menjadi sekedar konfrontasi antara
komunis dan anti komunis. Apa pun kesalahperhitungan orang pada tahun 1950 tentang
kemajuan komunis untuk berkembang, Soekarno saat itu sudah menunjukkan bahwa ia tidak lagi
meragukan kekuatan PKI sebagai lawan. Laksana seorang dalang yang berbakat, dengan satu
tangan ia terus memanfaatkan kekuatan PKI dan angkatan bersenjata.

Sebenarnya kesimbangan Soekarno-tentara-PKI sebagai kekuatan segitiga yang terus bergeser


dan berubah bentuknya semula. Soekarno dan tentara menjadi unsur pokok dan kekuatan
keduanya agak seimbang. Kemudian dengan sejumlah kelihaian, Soekarno memegang PKI yang
memerlukan perlindungannya di satu tangan dan tangan lain memegang tentara yang ragu dan
tidak mempunyai kepastian tujuan. Ia berhasil menempatkan diri pada posisi sentral yang
unggul, memainkan dua kekuasaan lainnya dalam suatu keseimbangan kemudian segitiga ini
berubah lagi bentuknya, posisi tentara agak merosot, dan PKI naik hampir mendekati tingkat
puncak Soekarno. Ada yang mengatakan bahwa apabila Soekarno meninggalkan pentas, tentara
akan memberlakukan PKI sebagai musuh dan tidak menolak kemungkinan bahwa PKI akan
berkuasa dan menjadi pertanyaan apakah ini pada mulanya yang dimaksud Soekarno. Peristiwa
G 30 S menyebutkan PKI diutuduh oleh musuhnya, TNI-AD sebagai dalang pembunuhan atas
sejumlah Jendral TNI-AD. Tuduhan yang disertai dengan pembantaian orang-orang komunis
mengakibatkan yang tinggal hanya Soekarno dan TNI-AD sebagai pusat kekuatan yang saling
bersaing. Segera menjadi jeelas bahwa tanpa dukungan PKI, peran Presiden Soekarno menjadi
terbatas. Kegigihannya mempertahankan PKI sebagai bagian integral dari sistem politik yang
menjadi dasar pemerintahan Soekarno mengakibatkan sang presiden dituduh terlibat dalam
peristiwa berdarah dan menyerahkan kekuasaannya pada sang pembunuh orang-orang komunis.

42
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Roeslan, 1965, Sosialisme Indonesia, Jakarta: Prapanca.

Anderson, Ben, 1988, Revolusi Pemuda Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 –
1946, Jakarta: Sinar Harapan.

Brackman, Arnoldc, 1969, The Communist Collaps in Indonesia, New York: W. W. Norton co.
Inc.

Budiardjo, Miriam (ed), 1984, Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi, Jakarta:


Gramedia.

Gebels, Lambert, 2001, Soekarno. Biografi 1901 – 1950, Jakarta: Grasindo.

Gie, Soe Hok, 1999, Di Bawah Lentera Merah, Yogyakarta: Bentang Budaya.

1997, Orang-orang di Persimpangan kiri Jalan. Kisah Pemberontakan Madiun September 1948,
Yogyakarta: Bentang Budaya.

Higmah, Nor, 2000, H. M. Misbach Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta: Litera
Indonesia.

Ingelson, John, 1993, Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.

1983, Jalan ke Pengasingan Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927 – 1934, Jakarta:
LP3ES.

Kahin, George Mc Turnan, 1995, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Nasionalisme dan
Revolusi Indonesia, Jakarta-Solo: Pustaka Sinar Harapan-Sebelas Maret University Press.

Leclere, Jacgues, Aidit dan Partai Pada Tahun 1950, Prisma, No. 2/Tahun XI/Juli 1982.

43
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kondisi Kehidupan Partai: Kaum Revolusioner Indonesia dalam Mencari Identitas (1928 –
1948), Prisma, No. 8/Tahun VII/1979.

Amir Syarifuddin 75 Tahun, Prisma, No. 12/Tahun XI/ Desember 1982.

Gerakan-Gerakan Kiri dan Kemerosotannya, Tanah Air, No. 3, Agustus 1988.

Legge, John D, 1985, Sukarno. Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan.

1993, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompok Sjahrir, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Leiressa, RZ, 1985, Terwujudnya Suatu Gagasan. Sejarah Masyarakat Indonesia 1900 – 1950,
Jakarta: Akademika Pressindo.

Mintz, Jeanne S, 2002, Muhammad, Marx, Marhaen. Akar Sosialisme Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Prabowo, Harry, 2002, Perspektif Marxisme Tan Malaka: Teori dan Praxis Menuju Republik,
Yogyakarta: Jendela.

Poespowardoyo, Soerjanto, 1993, Strategi Kebudayaan. Suatu Pendekatan Filosofis, Jakarta:


Gramedia Pusatakan Utama.

Ricklefs, Mc, 1991, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Roch, DMG, Menuju Kemerdekaan. Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia Sampai 1942,
Jakarta: Pembangunan.

Sahrasad, Herdi (ed), 2000, Islam Sosialisme dan Kapitalisme, Madani Press.

Sanit, Arbi, 2000, Badai Revolusi. Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa timur,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sd, Subhan, 1996, Langkah Merah. Gerakan PKI 1950 – 1955, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Skeraishi, Takashi, 1997, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 –1926, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

44
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Soewarsono, 2000, Berbaring Bergerak. Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen,


Yogyakarta: LkiS.

Suseno, Frans Magnis, 1999, Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tumaka, TK, 1961, Sosialisme Indonesia, Jakarta: Departemen Penerangan.

Onghokham, Negara, Rakyat dan Golongan Kiri, Tanah Air, No 3, Agustus 1988.

Wild, Colin dan Peter Carey (ed), 1986, Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah, Jakarta:
Gramedia.

Yudotomo, Imam, 2000, Quo-Vadis Golongan Kiri Indonesia, Yogyakarta: CSDS.

45
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like