Mengalirnya dana talangan pemerintah kepada bank Century, akhirnya memunculkan
banyak polemik di masyarakat. Berawal dari ketidakjelasan dasar hukum pencairan dana talangan tersebut sampai kepada dugaan mengalirnya dana tersebut ke tubuh Partai Demokrat. Tidak tanggung-tanggung, SBY pun sampai merasa kuatir kasus ini sengaja akan dipolitisasi untuk mengganggu kedudukan pemerintahannya. Tapi tidak mengherankan, mengapa kasus ini bisa menggelinding liar seperti ini. Sebab faktanya, kebijakan-kebijakan yang kontroversial selalu berujung pada kaburnya fakta yang benar dan salah. Bahkan, Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani pun yang diyakini sebagai pihak yang paling bertanggung jawab belum berani angkat bicara. Lantas bagaimana sebenarnya keabsahan dan relevansi dari kebijakan yang diambil pemerintah? Dasar Hukum Kebijakan Melihat perkembangan kasus dana talangan bank Century ini, masih ada dua hal yang amat mengganjal. Pertama, dasar hukum dari terbitnya peraturan Bank Indonesia yang dijadikan dasar oleh LPS untuk mencairkan dana talangan sebesar 6,7 trilyun. Kedua, Aspek kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Dari segi hukum, maka kedua hal tersebut dikenal dengan asas rechtmatigeheid (sah/benar menurut hukum) dan asas doelmatigeheid (benar menurut kemanfaatannya). Asas rechtmatigeheid menghendaki keabsahan secara yuridis formal dan kepastian hukum. Asas ini sebenarnya menginginkan agar pemerintah tidak mengambil keputusan secara semena-mena. Setiap tindakan atau keputusan yang diambil pemerintah harus mempunyai dasar hukum yang benar. Pelanggaran terhadap asas ini, mengakibatkan setiap keputusan atau perbuatan hukum pemerintah menjadi cacat hukum. Pembatasan inilah yang menjadi ciri utama sebuah negara dapat dikatakan menganut supremasi hukum (rule of law). Di dalam kasus ini, terlihat bahwa dasar hukum dikeluarkannya keputusan pencairan dana talangan untuk bank Century masih diragukan. Sebab, DPR sempat menyatakan bahwa rapat pemerintah dan DPR tidak menghasilkan kesepakatan mengenai pencairan dana talangan tersebut. Padahal, pengesahan perbuatan pemerintah untuk menggunakan setiap ‘logam’ dari APBN haruslah berdasarkan persetujuan DPR. Hal ini sebagai konsekuensi dari fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR untuk mengawasi setiap kebijakan yang hendak atau sudah diambil oleh pemerintah. Aspek Kemanfaatan Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum itu seperti mata uang logam. Sebelah kiri dan kanan berbeda, tetapi tidak bisa saling mengabaikan. Secara ideal, setiap keputusan atau kebijakan yang diambil haruslah memenuhi asas sah menurut hukum dan memenuhi aspek kemanfaatan. Artinya, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak boleh hanya didasarkan pada aspek sah yuridis formal belaka, tetapi juga harus memperhitungkan dampak positif atau kemanfaatannya (cost and benefit) kepada masyarakat. Jeremy Bentham, sebagai penganut teori utilitas, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good for the greatest number). Pada hakikatnya, hukum dimanfaatkan untuk mengahasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak. Oleh karena itu, apabila menilik kasus ini, maka dapat dipastikan bahwa tujuan hukum tersebut sangat terabaikan. Pemerintah sepertinya lepas tangan dan tidak peduli dengan nasib para nasabah yang sudah kehilangan ratusan bahkan milyaran uang simpanannya. Bukan hanya itu, polemik kasus ini pun membawa dampak sosial, ekonomi dan psikologis yang besar bagi para nasabahnya. Bukan hanya kehilangan harta tetapi juga kehilangan nyawa. Selain itu, apabila ditinjau dari segi kemanfaatan ekonomi, banyak ekonom masih meragukan argumen Menkeu Sri Mulyani. Apalagi audit BPK dan penelusuran PPATK meragukan hal itu. Untuk ukuran bank komersil, Century bukan tergolong bank yang besar, sehingga masih diragukan apakah benar kehancuran bank Century akan berdampak sistemik pada kondisi perekonomian dan perbankan saat itu. Lantas sepenting apakah bank Century, sehingga harus ditalangi dengan dana yang menggelembung? Pertanggungjawaban Pemerintah Bagaimanapun juga pemerintah harus bertanggung jawab. Sebab, dalam kasus ini terlihat, keputusan yang diambil pemerintah belum didukung dengan dasar hukum dan aspek kemanfaatan yang jelas. Ada dua kondisi mengapa pemerintah sepatutnya harus bertanggung jawab. Pertama, apabila keputusan pemerintah tersebut memang sesuai dengan dasar hukum yang benar. Maka dapat dikatakan bahwa, keputusan tersebut sah secara hukum. Tetapi dalam hal ini, aspek kemanfaatan tidak terpenuhi sebab, secara riil bahwa dana talangan tersebut hilang entah kemana dan pemerintah pun tidak mengetahui kemana mengalirnya. Akibatnya, para nasabah telah dirugikan baik secara sosial, hukum, ekonomi maupun psikologis. Dalam hal ini, pemenuhan asas sah menurut hukum tidak membawa kemanfaatan bagi para nasabah. Kedua, apabila terbukti bahwa perbuatan pemerintah sangat lemah dari segi dasar hukum maupun kemanfaatan. Pemerintah harus mempertanggungjawabkannya kedua- duanya. Dari segi dasar hukum, bisa diselidiki apakah keputusan tersebut mempunyai potensi perbuatan pidana (korupsi) atau pelanggaran administratif. Dalam area ini KPK dan unsur penegak hukum lain adalah pihak yang paling berwenang. Dari segi kemanfaatan, kiranya DPR merupakan pihak yang paling relevan untuk mempertanyakannya. Sebab, pertanggungjawaban aspek ini lebih kepada pertanggungjawaban politik. Bukan tidak mungkin pula bisa mengarah pada inisiasi pemakzulan (impeachment) jika mengacu pada kewenangan DPR dalam konstitusi. Apabila memang unsur-unsur dalam pasal 7A UUD 1945 telah terpenuhi, maka insiasi tersebut bisa dilakukan. Hal ini akan tergantung pada bagaimana perdebatan penafsiran nanti. Oleh karena itu, sudah sewajarnya institusi-instusi terkait rela dan sungguh-sungguh menyelesaikan kasus ini. Supaya tidak mengudang polemik yang berkepanjangan. Masyarakat juga harus tahu, siapa yang bertanggung jawab atas keputusan pencairan dana talangan tersebut. Dan, usut tuntas pula kemana dana talangan bank Century ini mengalir. Supaya tidak membangun kecurigaan dan sikap yang lebih apatis di masyarakat.