Professional Documents
Culture Documents
Badan Keamanan Rakyat (BKR) ditetapkan sebagai bagian dari Badan Penolong Keluarga
Korban Perang (BPKKP), yang merupakan induk organisasi yang ditujukan untuk memelihara
keselamatan masyarakat. BKR tugasnya sebagai penjaga keamanan umum di daerah-daerah
di bawah koordinasi KNI Daerah. Para pemuda bekas anggota Peta, KNIL, dan Heiho segera
membentuk BKR di daerah sebagai wadah perjuangannya. Khusus di Jakarta dibentuk BKR
Pusat untuk mengoordinasi dan mengendalikan BKR di bawah pimpinan Kaprawi. Sementara
BKR Jawa Timur dipimpin Drg. Moestopo, BKR Jawa Tengah dipimpin Soedirman, dan BKR
Jawa Barat dipimpin Arudji Kartawinata. Pemerintah belum membentuk tentara yang bersifat
nasional karena pertimbangan politik, mengingat pembentukan tentara yang bersifat nasional
akan mengundang sikap permusuhan dari Sekutu dan Jepang. Menurut perhitungan, kekuatan
nasional belum mampu menghadapi gabungan Sekutu dan Jepang. Sementara itu para
pemuda yang kurang setuju pembentukan BKR dan menghendaki pembentukan tentara
nasional, membentuk badan-badan perjuangan atau laskar bersenjata. Badan perjuangan
tersebut misalnya Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI),
Barisan Pemuda Indonesia (BPI), dan lainnya. Selain itu para pemuda yang dipelopori oleh
Adam Malik membentuk Komite van Actie.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang menyatakan berdirinya
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebagai pimpinan TKR ditunjuk Supriyadi. Berdasarkan
maklumat pemerintah tersebut, maka segera dibentuk Markas Tertinggi TKR oleh Oerip
Soemohardjo yang berkedudukan di Yogyakarta. Di Pulau Jawa terbentuk 10 Divisi dan di
Sumatra 6 Divisi. Berkembangnya kekuatan pertahanan dan keamanan yang begitu cepat
memerlukan satu pimpinan yang kuat dan berwibawa untuk mengatasi segala persoalan akibat
perkembangan tersebut. Supriyadi yang ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi TKR ternyata tidak
pernah muncul. Pada bulan
November 1945 atas prakarsa dari markas tertinggi TKR diadakan pemilihan pemimpin tertinggi
TKR yang baru. Yang terpilih adalah Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V/Banyumas.
Sebulan kemudian pada tanggal 18 Desember 1945, Soedirman dilantik sebagai Panglima
Besar TKR dengan pangkat jenderal.
Oerip Soemohardjo tetap menduduki jabatan lamanya sebagai Kepala Staf Umum TKR dengan
pangkat Letnan Jenderal (Letjen). Terpilihnya Soedirman merupakan titik tolak perkembangan
organisasi kekuatan pertahanan keamanan. Pada bulan Januari 1946, TKR berubah menjadi
Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Pada bulan Juni 1947 nama TRI berubah menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Sampai dengan pertengahan 1947, bangsa Indonesia telah berhasil
menyusun, mengonsolidasikan dan sekaligus mengintegrasikan alat pertahanan dan
keamanan. TNI bukanlah semata-mata alat negara atau pemerintah, melainkan alat rakyat, alat
“revolusi” dan alat bangs
Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan
senjata. TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk
memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI).
Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus
berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa. Untuk
mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan
rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Pada saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai
tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, disamping TNI
menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, TNI menghadapi rongrongan-rongrongan baik yang
berdimensi politik maupun dimensi militer. Rongrongan politik bersumber dari golongan komunis yang
ingin menempatkan TNI dibawah pengaruh mereka melalui “Pepolit, Biro Perjuangan, dan TNI-
Masyarakat:. Sedangkan tantangan dari dalam negeri yang berdimensi militer yaitu TNI menghadapi
pergolakan bersenjata di beberapa daerah dan pemberontakan PKI di Madiun serta Darul Islam (DI) di
Jawa Barat yang dapat mengancam integritas nasional. Tantangan dari luar negeri yaitu TNI dua kali
menghadapi Agresi Militer Belanda yang memiliki organisasi dan persenjataan yang lebih modern.
bersambung
Sadar akan keterbatasan TNI dalam menghadapi agresi Belanda, maka bangsa Indonesia melaksanakan
Perang Rakyat Semesta dimana segenap kekuatan TNI dan masyarakat serta sumber daya nasional
dikerahkan untuk menghadapi agresi tersebut. Dengan demikian, integritas dan eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dipertahankan oleh kekuatan TNI bersama rakyat.
Sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada akhir tahun 1949 dibentuk Republik
Indonesia Serikat (RIS). Sejalan dengan itu, dibentuk pula Angkatan Perang RIS (APRIS) yang
merupakan gabungan TNI dan KNIL dengan TNI sebagai intinya. Pada bulan Agustus 1950 RIS
dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara kesatuan. APRIS pun berganti nama menjadi
Angkatan Perang RI (APRI).
Sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, mempengaruhi
kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya
Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI AD. Di sisi lain,
campur tangan itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik
yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan
Umum tahun 1955.
Periode yang juga disebut Periode Demokrasi Liberal ini diwarnai pula oleh berbagai pemberontakan
dalam negeri. Pada tahun 1950 sebagian bekas anggota KNIL melancarkan pemberontakan di Bandung
(pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil/APRA), di Makassar Pemberontakan Andi Azis, dan di
Maluku pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sementara itu, DI TII Jawa Barat melebarkan
pengaruhnya ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pada tahun 1958 Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) melakukan
pemberontakan di sebagian besar Sumatera dan Sulawesi Utara yang membahayakan integritas nasional.
Semua pemberontakan itu dapat ditumpas oleh TNI bersama kekuatan komponen bangsa lainnya.
Upaya menyatukan organisasi angkatan perang dan Kepolisian Negara menjadi organisasi Angkatan
Bersenjata Republika Indonesia (ABRI) pada tahun 1962 merupakan bagian yang penting dari sejarah
TNI pada dekade tahun enampuluhan.
Menyatunya kekuatan Angkatan Bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai
efektifitas dan efisiensi dalam melaksanakan perannya, serta tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan
kelompok politik tertentu. Namun hal tersebut menghadapi berbagai tantangan, terutama dari Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari komunisme internasional yang senantiasa gigih berupaya
menanamkan pengaruhnya ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia termasuk ke dalam tubuh ABRI
melalui penyusupan dan pembinaan khusus, serta memanfaatkan pengaruh Presiden/Panglima Tertinggi
ABRI untuk kepentingan politiknya.
Upaya PKI makin gencar dan memuncak melalui kudeta terhadap pemerintah yang syah oleh G30S/PKI,
mengakibatkan bangsa Indonesia saat itu dalam situasi yang sangat kritis. Dalam kondisi tersebut TNI
berhasil mengatasi situasi kritis menggagalkan kudeta serta menumpas kekuatan pendukungnya bersama-
sama dengan kekuatan-kekuatan masyarakat bahkan seluruh rakyat Indonesia.
Dalam situasi yang serba chaos itu, ABRI melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan hankam dan sebagai
kekuatan sospol. Sebagai alat kekuatan hankam, ABRI menumpas pemberontak PKI dan sisa-sisanya.
Sebagai kekuatan sospol ABRI mendorong terciptanya tatanan politik baru untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 45 secara murni dan konsekwen.
Sementara itu, ABRI tetap melakukan pembenahan diri dengan cara memantapkan integrasi internal.
Langkah pertama adalah mengintegrasikan doktrin yang akhirnya melahirkan doktrin ABRI Catur
Dharma Eka Karma (Cadek). Doktrin ini berimplikasi kepada reorganisasi ABRI serta pendidikan dan
latihan gabungan antara Angkatan dan Polri. Disisi lain, ABRI juga melakukan integrasi eksternal dalam
bentuk kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang diaplikasikan melalui program ABRI Masuk Desa
(AMD).
Peran, Fungsi dan Tugas TNI (dulu ABRI) juga mengalami perubahan sesuai dengan Undang-Undang
Nomor: 34 tahun 2004. TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan
tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. TNI sebagai alat pertahanan negara,
berfungsi sebagai: penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar
dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, penindak terhadap
setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud di atas, dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara
yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
bersambung
Sementara dalam bidang reformasi internal, TNI sampai saat ini masih terus melaksanakan reformasi
internalnya sesuai dengan tuntutan reformasi nasional. TNI tetap pada komitmennya menjaga agar
reformasi internal dapat mencapai sasaran yang diinginkan dalam mewujudkan Indonesia baru yang lebih
baik dimasa yang akan datang dalam bingkai tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, sejak tahun 1998 sebenarnya secara internal TNI telah melakukan berbagai perubahan yang
cukup signifikan, antara lain:
Pertama, merumuskan paradigma baru peran ABRI Abad XXI; kedua, merumuskan paradigma baru
peran TNI yang lebih menjangkau ke masa depan, sebagai aktualisasi atas paradigma baru peran ABRI
Abad XXI; ketiga; pemisahan Polri dari ABRI yang telah menjadi keputusan Pimpinan ABRI mulai 1-4-
1999 sebagai Transformasi Awal; keempat, penghapusan Kekaryaan ABRI melalui keputusan pensiun
atau alih status. (Kep: 03/)/II/1999); kelima, penghapusan Wansospolpus dan Wansospolda/Wansospolda
Tk-I; keenam, penyusutan jumlah anggota F.TNI/Polri di DPR RI dan DPRD I dan II dalam rangka
penghapusan fungsi sosial politik; ketujuh; TNI tidak lagi terlibat dalam Politik Praktis/day to day
Politics; kedelapan, pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar dan mengambil jarak yang
sama dengan semua parpol yang ada; kesembilan, komitmen dan konsistensi netralitas TNI dalam
Pemilu; kesepuluh, penataan hubungan TNI dengan KBT (Keluarga Besar TNI); kesebelas, revisi Doktrin
TNI disesuaikan dengan Reformasi dan Peran ABRI Abad XXI; keduabelas, perubahan Staf Sospol
menjadi Staf Komsos; ketigabelas, perubahan Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) menjadi Kepala Staf
Teritorial (Kaster); keempatbelas, penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem dan Sospoldim;
kelimabelas, likuidasi Staf Syawan ABRI, Staf Kamtibmas ABRI dan Babinkar ABRI; keenambelas,
penerapan akuntabilitas public terhadap Yayasan-yayasan milik TNI/Badan Usaha Militer; ketujuhbelas,
likuidasi Organisasi Wakil Panglima TNI; kedelapanbelas, penghapusan Bakorstanas dan Bakorstanasda;
kesembilanbelas, penegasan calon KDH dari TNI sudah harus pensiun sejak tahap penyaringan;
keduapuluh, penghapusan Posko Kewaspadaan; keduapuluhsatu, pencabutan materi Sospol ABRI dari
kurikulum pendidikan TNI; keduapuluhdua, likuidasi Organisasi Kaster TNI; keduapuluhtiga, likuidasi
Staf Komunikasi Sosial (Skomsos) TNI sesuai SKEP Panglima TNI No.21/ VI/ 2005; keduapuluh empat,
berlakunya doktrinTNI “Tri Dharma Eka Karma (Tridek) menggantikan “Catur Dharma Eka Karma
(Cadek) sesuai Keputusan Panglima TNI nomor Kep/2/I/2007 tanggal 12 Januari 2007.
Sebagai alat pertahanan negara, TNI berkomitmen untuk terus melanjutkan reformasi internal TNI seiring
dengan tuntutan reformasi dan keputusan politik Negara
Demokrasi Liberal
Sementara para elit politik sibung dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena
adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian ysng menimbulkan labilnya
sosial-ekonomi. Adapun gangguan-gangguan keamanan tersebut antara lain :
DI TII
B. DI/TII
1. JAWA BARAT
Dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo karena tidak setuj terhadap isi perjanjian
Renville. Sewaktu TNI hijrah ke daerah RI ( Yogyakarta ) ia dan anak buahnya menolak dan
tidak mau mengakui Republik Indonesia dan ingin menyingkirkan Pancasila sebagai dasar
negara. Untuk itu ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia dengan nama Darul
Islam ( DI )
2. JAWA TENGAH
Dipimpin oleh Amir Fatah dan Kyai Sumolangu. Selama Agresi Militer Belanda ke II Amir Fatah
diberi tugas menggabungkan laskar-laskar untuk masuk dalam TNI. Namun setelah banyak
anggotanya ia beserta anak buahnya melarikan diri dan menyatakan bagian dari DI/TII.
3. SULAWESI SELATAN
Dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar. Dia berambisi untuk menduduki jabatan sebagai
pimpinan APRIS ( Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat ) dan menuntut aga45r
Komando Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS ) dimasukkan ke dalam APRIS dengan nama Brigade
Hasanuddin. Tuntutan tersebut ditolak oleh pemerintah sebab hanya mereka yang memenuhi
syarat saja yang akan menjadi tentara maka terjadilah pemberontakan tersebut.
4. ACEH
Dipimpin oleh Daud Beureueh Gubernur Militer Aceh, karena status Aceh sebagai daerah
Istimewa diturunkan menjadi sebuah karesidenan di bawah propinsi Sumatera Utara. Ia lalu
menyusun kekuatan dan menyatakan dirinya bagian dari DI/TII. Pemberontakan ini dapat
dihentikan dengan jalan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh ( MKRA ).
5. KALIMANTAN SELATAN
Dipimpin oleh Ibnu Hajar, ia menyatakan dirinya bagian dari DI/TII dengan memperjuangkan
kelompok rakyat yang tertindas. Ia dan anak buahnya menyerang pos-pos kesatuan tentara
serta melakukan tindakan pengacauan yang pada akhirnya Ibnu Hajar sendiri ditembak mati.
D. ANDI AZIS
Beliau merupakan komandan kompi APRIS yang menolak kedatangan TNI ke Sulawesi Selatan
karena suasananya tidak aman dan terjadi demonstrasi pro dan kontra terhadap negara
federasi. Ia dan pasukannya menyerang lapangan terbang, kantor telkom, dan pos-pos militer
TNI. Pemerintah mengeluarkan ultimatum agar dalam tempo 4 x 24 jam ia harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya.
F. PRRI/PERMESTA
Setelah Pemilu I dilaksanakan, situasi semakin memburuk dan terjadi pertentangan . Beberapa
daerah merasa seolah-olah diberlakukan secara tidak adil ( merasa dianaktirikan ) sehingga
muncul gerakan separatis di Sumatera yaitu PRRI
( Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia ) dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husen dan
PERMESTA ( Piagam Perjuangan Rakyat Semesta ) di Sulawesi Utara dipimpin oleh D.J. Somba
dan Kolonel Ventje Sumual.
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh
keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.
Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk
bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di "Suara Pemuda
Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan
bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956
dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira
angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di
Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung
Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan
orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara
bebas".
Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh
dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk
adat.
Setelah perjuangan pembebasan Irian Barat melalui cara-cara diplomasi mengalami kegagalan,
pemerintah menempuh cara berikut :
1) Pembatalan secara sepihak perjanjian KMB yang dilakukan dengan UU No.13 Th.1956 tgl 3
Mei1956
2) Pembentukan Propinsi Irian Barat dengan ibukota Sou Siu dan dengan gubernur pertama
Zainal Abidin Syah
3) Sesudah kegagalan di PBB dalam bulan September 1957 maka gerakan pembebasan Irian
Barat dimulai dengan rapat umum di Jakarta pada tgl 18 November 1957, diikuti oleh
pemogokan umum buruh-buruh yang bekerja di perusahaan Belanda pada tgl 2 Desember
1957, dan larangan-larangan terbitan dan film berbahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang
terbang dan mendarat di wilayah Indoensia, serta penutupan kegiatan konsuler Belanda di
Indonesia
4) Pengambil-alihan perusahaan bermodal Belanda mula-mula dilakukan oleh para buruh yang
bekerja di perusahaan itu, kemudian diambil alih oleh Pemerintah dengan PP No.23 Th.1958.
Dengan demikian, perusahaan Belanda dinyatakan menjadi milik negara Republik Indonesia
5) Pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat pada tgl 10 Februari 1958 untuk
menggalang kesatuan gerak rakyat alam perjuangan pembebasan Irian Barat.
6) Pemutusan hubungan diplomatic dengan Belanda pad tgl 17 Agustus 1960 sebagai jawaban
terhadap Belanda yang pada awal Agustus 1960 mengadakan “pameran bendera” dengan
mengirimkan kapal induk “Karel Doorman” untuk memperkuat militer Belanda di Irian Barat.
Dengan demikian, perjuangan pembebasan Irian Barat memasiki fase baru, yakni perjuangan di
bidang militer.
7) Sejalan dengan langkah di atas, dilakukan pembelian senjata dari Uni Soviet
8) Pada tgl 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora)
:
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air
dan Bangsa!
9) Sebagai tindak lanjur dari Trikora, dibentuklah Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
yang terdiri atas :
Untuk melaksanakan operasi pembebasan Irian Barat secara militer dibentuklah Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat dengan susunan :
2) Mengembalikan situasi militer di wilayah Propinsi Irian Barat sesuai dengan taraf-taraf
perjuangan di bidang diplomasi, dan menciptakan secara de facto di wilayah Irian Barat daerah-
daerah yang bebas dari kekuasaan Belanda atau mendudukkan untsur
kekuasaan/pemerintahan RI
Dalam pertempuran laut melawan Belanda di Laut Aru, 15 Januari 1962, Komodor Yos Sudarso
gugur bersama Kapten Wiratno. Mereka tenggelam bersama MTB Macan Tutul.
Perkembangan sikap diplomasi dan konfrontasi militer akhirnya berhasil mengubah sikap
Belanda menjadi bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Akhirnya pada tgl 15 Agustus 1962 tercapailah Perjanjian New York antara Indonesia dengan
Belanda yang isi pokoknya :
1) Belanda mengakhiri penjajahannya di Irian Barat dan menyerahkannya kepada PBB paling
lambat tgl 1 Oktober 1962. Pada 1 Januari 1963 bendera Belanda diturunkan dari Irian Barat
sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan.
2) Setelah enam bulan di bawah kekuasaan PBB, Irian Barat diserhkan kepada Pemerintah
Republik Indoensia paling lambat tanggal 1 Mei 1963. Untuk melaksanakan tugas itu, PBB
membentuk United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)
Irian Barat menjadi propinsi ke-26 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan nama
Irian Jaya. Pada tahun 1969 diselenggarakan pepera dalam tiga tahap dari 24 Maret 1969 - 4
Agustus 1969. Lewat pepera, penduduk Irian Barat memilih tetap menjadi bagian dari Republik
Indonesia.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
pendudukan Belanda di wilayah Irian Barat. Lingkungan strategis Indonesia padaperiode ini
Komando Ganyang Malaysia.
Pembahasan kelompok kami dalam makalah ini akan berdasarkan pada dua pertanyaan:
(a) bagaimanakah operasi militer Indonesia dilakukan di Indonesia; dan (b) apakah
Indonesia.
Dalam tulisan ini kami akan mengambil dua studi kasus, yaitu terhadap
militernyasecara disintegratif terhadap doktrin. Ada ruang bagi inovasi terhadap penyesuaian
bentukoperasi militer Indonesia dengan kondisi keadaan dan kalkulasi lapangan, namun
semuanyamasih sesuai dengan idealisasi strategi pertahanan semesta yang dimiliki Indonesia
AngkatanBersenjata yang lebih kuat daripada kekuatan Belanda di Irian Barat agar Belanda
secarasukarela menyerahkan hak mutlak Indonesia atas wilayah Irian Barat serta ABRI yang
bahwa
concern Indonesia bukanlah strategi perang gerilya yang tidak bertempur di lapangan terbuka
dan frontal, melainkan strategi decisive battle yang menekankan penghancuran center of
gravity.
Untuk Rencana Operasi Gabungan Irian Barat, Indonesia juga memilih Operasi B-1,
dimana Indonesia merebut dan mempertahankan seluruh Irian Barat dalam waktu secepat-
manaIndonesia merebut dan mempertahankan suatu bagian di daerah Irian Barat dengan
tujuanmenimbulkan suasana politik yang menguntungkan serta mendapatkan basis terdepan
seranganselanjutnya. Hal ini disebabkan Operasi B-2 hasilnya tidak menentukan, sementara
OperasiB-3 risikonya sulit diperhitungkan, sehingga GKS menyarankan agar Operasi B-1
Bukti lain dari inovasi baru militer Indonesia untuk mengandalkan strategi
perangkonvensional terlihat dari penahapan operasi militer dalam Komando Mandala untuk
secaraberangsur-angsur menduduki bagian-bagian dari wilayah Irian Barat dalam jangka waktu
1.Tahap infiltrasi: Infiltrasi dalam jangka waktu 10 bulan dimulai awal 1962 sampaiakhir 1962,
secara besar-besaran untuk merebut dan menduduki pulau Biak sebagai pusatpertahanan
strategis Belanda di Irian Barat dimulai awal 1963 untuk melumpuhkaninti kekuatan militer
musuh sedemikian rupa, sehingga seluruh wilayah Irian Baratdapat dikembalikan pada
kekuasaan Republik Indonesia. Operasi terbuka yangdimaksudkan dalam tahap ini pada
Penahapan operasi militer dalam tiga tahun ini merupakan inovasi baru militerIndonesia,
yang selama ini mengandalkan strategi gerilya dengan organisasi pertahananmelingkar yang
negeri.9
Operasionalisasi Konsep Force-to-Space Ratio Liddell Hart
kuat,di mana secara teoritis, sistem pertahanan Belanda nampak kuat, ketat, dan sukar
ditembus.Terdapat jumlah unsur-unsur militer Belanda yang besar yang ditempatkan di Irian
Barat,namun itu baru sebagian kecil dari kekuatan militer seluruhnya yang dimiliki,
IrianBarat. Belanda juga telah membagi daerah pertahanan menjadi lini pertama, lini kedua,
Sorong,Kaimana, dan Biak, patroli kapal-kapal jenis fregat, perusak, dan kapal selam di Biak
danSorong atau Kaimana, kesatuan buru-sergap pesawat-pesawat terbang jenis Hawker Hunter
Liddell Hart mengungkapkan bahwa apabila front line musuh kuat, berlaku rumus 3:1,
yaituketika suatu pasukan ingin menyerang dengan force to force, pasukan tersebut harus tiga
kalilipat lebih kuat daripada pasukan lawan. Dalam hal ini, Komando Mandala menjadi suatu
theatre campaign, sebuah upaya kontestasi pada area dan skala besar dengan komitmen
geografis dan operasional strategis yang terbatas pada wilayah Irian Barat. Sayangnya,kegiatan-
Perjanjian New York yang secara resmi mengakhiri sengketa Indonesiadengan Belanda
mengenai masalah Irian Barat. Sehingga, perang decisive battle antaraIndonesia dan Belanda
tidak terjadi.
yang dapat mengancam Indonesia di kemudian hari‟. Konflik ini sebetulnya bermula dari
ketidaksukaan Indonesia terhadap tindakan Malaysia yang dianggap melanggar
perjanjiankesepakatan dengan Indonesia perihal masa depan wilayah kekuasaanya dimana
Mayasiatidak menunggu hasi referendum para penduduk di daerah kalimantan
sebelummemasukannya menjdai bagian dari negara federasi Malaysia.12
Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963, mendeklarasikanbahwa
Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia, dan bersiap memasukfase konflik
bersenjata. Pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar diJakarta, Presiden
Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora)13yang isinya:
(a)Tingkatkan ketahanan revolusi Indonesia
(b)Membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah,
untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang
Malaysia".Operasionalisasi perang yang dilakukan oleh Indonesia berdasarkan pada dua macam
strategi:(a)penggunaan strategi perang gerilya dengan memanfaatkan mobilisasi masyarakat
sebagai
pasukan ‟tidak resmi‟; dan (b)penggunaan pasukan resmi, dalam proyeksi perang untuk
merebut beberapa obyek vital-strategis, terutama untuk meraih center of gravity dari konflik
antara dua negara ini.