You are on page 1of 8

Mengenang Tragedi Talangsari 1989:

Mengobati Luka Masa Lalu

”Ajaran jama’ah ini bathil! Menentang pemerintah, perkampungannya akan

dihancurkan.” Kata-kata ini merupakan umpatan dari beberapa aparat keamanan yang

masuk ke Musholla Al-Muhajirin di Cihideung, Talangsari, Lampung pada malam 22

Januari 1989. Mereka memaki-maki para jama’ah yang sedang berada di Musholla dan

berusaha memancing emosi para jama’ah. Beberapa diantaranya juga membawa senjata

api. Untungnya, Arifin, Sono, Mardono, Diono, Usman dan beberapa orang jama’ah

lainnya dapat menahan diri mereka sehingga aparat keamanan ini meninggalkan

Musholla tersebut tanpa perlawanan apapun.

Kejadian itu bukanlah ’interaksi’ terakhir Jama’ah Komunitas Muslim Warsidi

dengan aparat keamanan maupun aparat pemerintah. Pukul 11.00 WIB tanggal 6

Februari 1989, kala matahari belum benar-benar tinggi dan sebagian besar jama’ah baru

tiba dari sawah dan ladang, mereka dikagetkan dengan penyerbuan dari rombongan

aparat yang terdiri dari Kasdim bersama Muspika, Kades Rajabasa Lama, Kadus

Talangsari III, Kapten Sutiman (Danramil Way Jepara) bersama 2 regu pasukannya.

Penyerbuan diawali dengan satu kali tembakan peringatan. Selanjutnya rombongan

aparat ini menembaki perkampungan dan disambut dengan pekik takbir oleh para

jama’ah. Pekik takbir itu kemudian dibalas lagi dengan tembakan beruntun oleh

rombongan aparat. Para jama’ah berusaha mempertahankan diri dengan bersenjatakan

cangkul, golok dan parang yang mereka bawa sepulang dari sawah. Pertempuran

berlangsung seru dan dalam pertempuran ini Kapten Sutiman wafat.


Pada beberapa sumber, dikatakan bahwa wafatnya Kapten Sutiman inilah yang

memicu meletuskan penyerbuan yang jauh lebih akbar pada tanggal 7 Februari 1989.

Tetapi beberapa sumber lainnya mengatakan bahwa, rencana penyerbuan dan

penangkapan jama’ah komunitas muslim Warsidi memang sudah tersiar di Dusun

Talangsari sekitar seminggu sebelum Tragedi ini terjadi.

Adalah Kolonel Hendropriyono yang memimpin penyerbuan. Konon, Beliau

kaget mendengar kabar wafatnya Kapten Sutiman. Demi mendengar kabar tak enak itu,

Beliau berencana turun langsung ke lapangan. Beliau membawa serta 3 pleton pasukan

Batalyon 143 Gatam dan 1 pleton Polisi Brimob. Terjadilah penyerbuan yang

direncanakan dengan apik dan dipersenjatai dengan baik. Penyerbuan ini dilakukan

dengan posisi tapal kuda. Pasukan menyerbu dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan

(Kelahang) dan Timur. Sementara arah Barat dibiarkan terbuka.

Pertempuran antara aparat keamanan yang dilengkapi dengan senjata laras

panjang, bahan peledak dan dua buah helikopter, melawan warga yang membentengi

diri dengan senjata seadanya memang sangat tidak imbang. Hal ini tentu saja

mengakibatkan warga Komunitas Muslim Warsidi Cihideung, Talangsari tidak dapat

menyelamatkan diri. Disebutkan bahwa ratusan warga sipil yang kebanyakan

perempuan dan anak-anak menemui maut, luka-luka dan hilang. Mayat-mayat

bergelimpangan menjadi pemandangan memilukan pagi itu. Pondok-pondok warga pun

dirusak dan dibakar aparat hingga Desa Cihideung berubah menjadi lautan api.

Tragedi berdarah Talangsari Lampung yang menewaskan ratusan orang, baik

dewasa, perempuan maupun anak-anak ini telah terjadi dua puluh satu tahun silam.
Namun, usaha untuk menyingkap penyebab tragedi memilukan tersebut belum

sepenuhnya membuahkan hasil. Bahkan kebenaran tentang apa yang terjadi di sana pun

masih simpang siur.

Akibat Takut Berlebihan

Apa yang terjadi pada bulan Januari sampai awal Februari 1989 di Cihideung

Talangsari, Lampung mungkin hanya para pelaku dan korbannya saja yang benar-benar

tahu. Begitu banyak artikel, essay, berita maupun cerita beredar, tetapi banyak juga dari

kisah-kisah itu yang saling berlawanan. Berita yang satu tidak sejalan dengan berita

yang lain. Essay yang satu tidak setuju dengan essay yang lain. Untuk mengetahui lebih

dalam, saya mencari lebih banyak tulisan melalui ’mesin pencari data’ Google.com.

Dengan memasukkan keyword ’Tragedi Talangsari Lampung’ muncullah banyak sekali

artikel, berita atau jenis tulisan lain yang berhubungan dengan tragedi ini. Dan semakin

banyak tulisan saya baca, semakin bingung juga saya jadinya.

Akhirnya, sebelum saya mulai menulis essay ini, saya memutuskan untuk

bertanya dahulu kepada Ibu. Mengingat Tragedi ini terjadi ketika saya baru berusia 9

bulan, agaknya Beliau sedikit banyak pernah mendengar kabar tentang apa yang terjadi

di sana ketika itu. Tetapi, ternyata Beliau belum pernah mendengar kabar tragedi ini.

Dan istilah ’Tragedi Talangsari’ nampaknya merupakan istilah baru di telinga Beliau.

Muncul pertanyaan di benak saya. Apakah berita mengenai Tragedi ini memang

tidak disiarkan dengan baik? Ataukah berita Tragedi Talangsari di masa itu sengaja
disembunyikan? Ataukah memang Ibu saya yang tidak memperhatikan pemberitaan

kala itu?

Begitu banyak peristiwa kekerasan yang terjadi di Pemerintahan Orde Baru dan

banyaknya pula usaha untuk memutar-balikan fakta atas peristiwa kekerasan tersebut,

membuat saya agaknya ber-negative thinking pula untuk Tragedi Talangsari Lampung

ini. Mengapa Pemerintahan Orde Baru selalu terlihat ”takut berlebihan” terhadap

gerakan-gerakan masyarakat yang ’menyentil’ masa pemerintahannya? Saya

menyebutnya ”takut berlebihan”, karena seringkali cara bersikap pemerintah saat itu

seperti cara bersikap orang yang ketakutan. Secara membabi buta dan terburu-buru,

mereka melakukan tindakan agresi kepada orang atau kelompok yang dianggap

membahayakannya. Bahkan hanya komentar pribadi seorang rakyat yang bersifat

guyonan sekalipun ditanggapi secara keras. Kasus-kasus seperti orang hilang dan

kekerasan serta Pelanggaran HAM menjadi amat banyak terjadi dengan berlandaskan

ketakutan-ketakutan ini.

Begitu pula yang saya lihat terjadi pada Kasus Talangsari ketika itu. Kegiatan

yang dilaksanakan Warsidi dan jama’ahnya rupanya menimbulkan perasaan ’takut’

bahwa mereka akan melakukan pemberontakan dan bahkan mendirikan negara di dalam

negara, seperti yang dipaparkan Riyanto dalam bukunya yang berjudul ’Tragedi

Lampung Peperangan yang Direncanakan’ (2005).

Jika pun memang benar, bahwa Warsidi dan jama’ahnya berniat untuk membuat

sebuah negara Islam dalam Negara Indonesia, tidak bisakah mereka diadili secara lebih
adil dan ber-perikemanusiaan? Bukankah lebih baik kita mengambil tindakan tepat,

yang menunjukkan bahwa Negara ini adalah negara hukum?

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, bukti apa yang telah ditemukan

yang mengarahkan anggapan bahwa komunitas muslim Warsidi merencanakan

pembentukan negara ataupun pemberontakan?

Kealpaan Warsidi untuk melaporkan transmigran yang datang ke Talangsari

memang merupakan suatu kesalahan. Hal ini rupanya menimbulkan kecurigaan Kepala

Dusun Talangsari, Sukidi yang selanjutnya melaporkan kecurigaannya kepada Camat

Way Jepara. Kemudian tersiar kabar, ada pembuatan panah beracun di Permukiman

Muslim tersebut. Kabar tentang kegiatan itu memperkuat kecurigaan aparat setempat.

Tetapi rasa curiga saja tidak cukup sebagai dasar untuk menindak mereka begitu keras,

hingga jatuh banyak korban dari warga sipil. Kalaupun dapat dibuktikan bahwa ada

pergerakan yang menyimpang atau melanggar hukum, alangkah baiknya bila kasus-

kasus seperti ini diselesaikan secara hukum. Karena tegas secara hukum tidak akan

pernah sama dengan keras secara militer.

Mengobati Luka Masa Lalu

Sejak tahun 2001, beberapa LSM termasuk Kontras dan juga Komnas HAM

telah berusaha untuk mencari keadilan atas korban dan keluarga korban, juga keadilan

bagi pelaku yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Namun, usaha itu rupanya

memerlukan proses panjang hingga bertahun-tahun. Bahkan penyelesaian kasus ini


mandek di meja Kejaksaan Agung. Dan sampai sekarang, hak-hak korban belum

sepenuhnya dipenuhi oleh negara.

Memang, kasus ini adalah luka masa lalu yang dihadapi negara kita tercinta,

Indonesia. Dan berakhirnya rezim Orde Baru nampaknya dapat membuka keberanian

rakyat Indonesia untuk lebih ’bersuara’. Untuk itu, alangkah indahnya bila semua

elemen masyarakat negara Indonesia bisa bersama-sama mengobati luka-luka masa lalu.

Salah satunya adalah luka dalam Tragedi Talangsari. Penyelesaian kasus dengan adil

dan baik adalah harapan semua orang yang terlibat dalam kisah tragedi ini. Begitu pula

untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan kekerasan lainnya. Namun,

seperti kita saksikan sendiri, banyak sekali benturan yang harus dihadapi untuk dapat

menegakkan keadilan dan menyelesaikan kasus-kasus ini.

Tetapi, marilah kita mencoba ber-positive thinking, dan tidak terus-menerus

melimpahkan kesalahan kepada pemerintah. Untuk itu, saya mencoba membayangkan

adanya sebuah lembaga pemerintah yang memiliki kekuatan hukum, dimana lembaga

itulah yang bertugas untuk menyelesaikan konflik-konflik kekerasan dan pelanggaran

HAM yang berskala besar di Indonesia, termasuk di dalamnya semua kasus

Pelanggaran HAM dan kekerasan, baik di masa lalu maupun sekarang. Ya, kita memang

telah memiliki Komnas HAM. Tetapi, Komnas HAM nampaknya juga memerlukan

bantuan dan dukungan dari lembaga lain yang memiliki kekuatan hukum lebih besar.

Lembaga inilah yang mendampingi Komnas HAM dan juga kepolisian serta TNI dalam

menyelesaikan konflik-konflik yang melibatkan SARA. Lembaga ini tidak

menyelesaikan pelanggaran HAM yang hanya melibatkan perorangan, tetapi


dikhususkan pada pelanggaran HAM yang melibatkan banyak orang. Sehingga

penyelesaian kasus-kasus besar ini bisa dilakukan dengan lebih cepat dan baik. Saya

berharap dengan adanya lembaga ini yang bekerja sama dengan Komnas HAM, kita

dapat menekan tingkat kekerasan dan Pelanggaran HAM yang bisa terjadi.

Atau, bila memungkinkan kita tidak perlu membentuk Lembaga baru lagi. Kita

hanya perlu meng-upgrade Komnas HAM. Sehingga Komnas HAM memiliki kekuatan

hukum lebih besar. Dan berkedudukan lebih strategis dalam pemerintahan. Lembaga ini

diharapkan menjadi lembaga yang berkekuatan hukum besar tetapi tetap mampu ramah

melayani. Maka orang-orang yang mengisi lembaga ini harus berasal dari beberapa

lapisan masyarakat dan dari beberapa bidang. Lembaga ini tidak hanya berasal dari

lingkungan militer ataupun sipil saja. Melainkan berasal dari kedua lingkungan itu. Di

dalamnya ada ahli psikologi, ahli hukum, ahli ekonomi, ahli lingkungan, ahli kesehatan,

ahli krimonologi, pakar keamanan nasional, ahli politik, ahli komunikasi dan ahli-ahli

lain yang diperlukan, juga di dalamnya terdapat aktivis-aktivis LSM. Sehingga suatu

permasalahan dapat dilihat dari berbagai kacamata ahli dan masyarakat.

Selain itu, agar kejadian serupa ini tidak terjadi lagi, kita juga perlu

mengevaluasi diri kita sebagai masyarakat dan juga pemerintah sebagai aparat.

Diperlukan hubungan yang baik dan tatanan serta aturan yang jelas agar tidak lagi ada

miss-communication ataupun keadaan saling curiga. Pemerintah perlu memperjelas

aturan-aturan yang ada mengenai kependudukan dan kegiatan-kegiatan masyarakat.

Dimana dalam aturan itu diatur juga sanksi apa yang dikenakan bila ada rakyat yang

melanggarnya. Sehingga segala sesuatunya dapat kita tempatkan pada hukum yang
benar, bukan hukum yang brutal. Dan kekerasan serta Pelanggaran-pelanggaran HAM

tidak perlu lagi menodai perjalanan negara Indonesia dan melukai senyum rakyat

Indonesia. Dan akhirnya, seperti harapan kita semua, kita dapat hidup dalam Negara

yang nyaman, mendamaikan, memuliakan dan mensejahterakan. Semoga.

Hamparan Sabang sampai Merauke adalah gugusan hijau kecintaanku


Maka peluklah hatiku dengan senyummu
Karena tiap langkahku di bumimu
Adalah usahaku untuk memahami tanahmu
Adalah janjiku untuk meninggikanmu
Adalah puisiku untuk memperindah khatulistiwamu

Dan bila nasib seluruh pulau ini ada di beberapa gedung tinggi itu
Jangan biarkan mereka menginjak-injak kehormatanmu
Maka akan ku kirimkan bunga edelweiss paling indah
Pada siapapun yang memperjuangkan hati rakyatmu

Sajak Rahmah Amalyah, 02 Agustus 2010


(Ditulis untuk Indonesiaku: Gugusan Hijau)

Sumber:

 Http://tribunlampung.co.id
 Http://pakarbisnisonline.blogspot.com
 Http://lampungpost.com
 Http://alchaidar.blogspot.com
 Riyanto. 2005. Tragedi Lampung Peperangan Yang Direncanakan. Jakarta. PT
Toko Gunung Agung Tbk

You might also like