You are on page 1of 44

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, yang

gejalanya sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun.
Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak
sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan
dunia luar secara efektif.
Pemutakhiran Terakhir ( Kamis, 30 April 2009 16:56 ) Baca selengkapnya...

Deteksi Dini Autisme


Minggu, 28 September 2008 23:03 administrator

Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak dini dan kemudian dilakukan penanganan
yang tepat dan intensif, kita dapat membantu anak autis untuk berkembang secara
optimal.
Untuk dapat mengetahui gejala autisme sejak dini, telah dikembangkan suatu
checklist yang dinamakan M-CHAT (Modified Checklist for Autism in Toddlers).
Berikut adalah pertanyaan penting bagi orangtua:
1. Apakah anak anda tertarik pada anak-anak lain?
2. Apakah anak anda dapat menunjuk untuk memberitahu ketertarikannya pada
sesuatu?
3. Apakah anak anda pernah membawa suatu benda untuk diperlihatkan pada
orangtua?
4. Apakah anak anda dapat meniru tingkah laku anda?
5. Apakah anak anda berespon bila dipanggil namanya?
6. Bila anda menunjuk mainan dari jarak jauh, apakah anak anda akan melihat ke
arah mainan tersebut?

Bila jawaban anda TIDAK pada 2 pertanyaan atau lebih, maka anda sebaiknya
berkonsultasi dengan profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan
mendalami bidang autisme.
Pemutakhiran Terakhir ( Kamis, 30 April 2009 16:56 )

Kenali Autisme
Minggu, 28 September 2008 23:10 administrator

Anak-anak penyandang spektrum autisme biasanya memperlihatkan setidaknya


setengah dari daftar tanda-tanda yang disebutkan di bawah ini. Gejala-gejala
autisme dapat berkisar dari ringan hingga berat dan intensitasnya berbeda antara
masing-masing individu.

Hubungi profesional yang ahli dalam perkembangan anak dan mendalami bidang
autisme, jika anda mencurigai anak anda memperlihatkan setidaknya separuh dari
gejala-gejala ini :
Pemutakhiran Terakhir ( Minggu, 24 Mei 2009 23:30 ) Baca selengkapnya...

Mitos Tentang Autisme


Rabu, 28 Januari 2009 00:00 administrator

Mitos: Semua anak dengan autisme memiliki kesulitan belajar.

Fakta: Autisme memiliki manifestasi yang berbeda pada setiap orang. Simtom gangguan ini dapat
bervariasi secara signifikan dan meski beberapa anak memiliki kesulitan belajar yang berat,
beberapa anak lain dapat memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan mampu menyelesaikan
materi pembelajaran yang sulit, seperti persoalan matematika. Contohnya, anak dengan sindrom
Asperger biasanya berhasil di sekolah dan dapat menjadi mandiri ketika ia dewasa.

Mitos: Anak dengan autisme tidak pernah melakukan kontak mata.

Fakta: Banyak anak dengan autisme mampu melakukan kontak mata. Kontak mata yang
dilakukan mungkin lebih singkat durasinya atau berbeda dari anak normal, tetapi mereka mampu
melihat orang lain, tersenyum dan mengekspresikan banyak komunikasi nonverbal lainnya.

Mitos: Anak dengan autisme sulit melakukan komunikasi secara verbal.

Fakta: Banyak anak dengan autisme mampu mengembangkan kemampuan berbahasa yang
fungsional. Mereka mengembangkan beberapa keterampilan berkomunikasi, seperti dengan
menggunakan bahasa isyarat, gambar, komputer, atau peralatan elektronik lainnya.

Mitos: Anak dengan autisme tidak dapat menunjukkan afeksi.

Fakta: Salah satu mitos tentang autisme yang paling menyedihkan adalah miskonsepsi bahwa
anak dengan autisme tidak dapat memberi dan menerima afeksi dan kasih sayang. Stimulasi
sensoris diproses secara berbeda oleh beberapa anak dengan autisme, menyebabkan mereka
memiliki kesulitan dalam menunjukkan afeksi dalam cara yang konvensional. Memberi dan
menerima kasih sayang dari seorang anak dengan autisme akan membutuhkan penerimaan untuk
menerima dan memberi kasih sayang sesuai dengan konsep dan cara anak.

Orang tua terkadang merasa sulit untuk berkomunikasi hingga anak mau mulai membangun
hubungan yang lebih dalam. Keluarga dan teman mungkin tidak memahami kecenderungan anak
untuk sendiri, tetapi dapat belajar untuk menghargai dan menghormati kapasitas anak untuk
menjalin hubungan dengan orang lain.

Mitos: Anak dan orang dewasa dengan autisme lebih senang sendirian dan menutup diri serta
tidak peduli dengan orang lain.

Fakta: Anak dan orang dewasa dengan autisme pada dasarnya ingin berinteraksi secara sosial
tetapi kurang mampu mengembangkan keterampilan interaksi sosial yang efektif. Mereka sering
kali sangat peduli tetapi kurang mampu untuk menunjukkan tingkah laku sosial dan berempati
secara spontan.

Mitos: Anak dan orang dewasa dengan autisme tidak dapat mempelajari keterampilan
bersosialisasi.

Fakta: Anak dan orang dewasa dengan autisme dapat mempelajari keterampilan bersosialisasi jika
mereka menerima pelatihan yang dikhususkan untuk mereka. Keterampilan bersosialisasi pada
anak dan orang dewasa dengan autisme tidak berkembang dengan sendirinya karena pengalaman
hidup sehari-hari.

Mitos: Autisme hanya sebuah fase kehidupan, anak-anak akan melaluinya.

Fakta: Anak dengan autisme tidak dapat sembuh. Meski demikian, banyak anak dengan simtom
autisme yang ringan, seperti sindrom Asperger, dapat hidup mandiri dengan dukungan dan
pendidikan yang tepat. Anak-anak lain dengan simtom yang lebih berat akan selalu membutuhkan
bantuan dan dukungan, serta tidak dapat hidup mandiri sepenuhnya.

Hal itu menyebabkan kekhawatiran bagi sebagian orang tua, terutama ketika mereka menyadari
bahwa mereka mungkin tidak dapat mendampingi anak memasuki masa dewasanya. Oleh karena
itu, anak dengan autisme membutuhkan bantuan.

Untuk itu, diperlukan suatu diagnosis yang tepat dan benar untuk seorang anak dikatakan sebagai
autisme. Setelah mendapatkan diagnosis yang tepat, anak tersebut dapat melakukan suatu terapi.
Anak dengan autisme dapat dibantu dengan memberikan terapi yang sesuai dengan kebutuhannya.
Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah dengan terapi okupasi. (Dedy Suhaeri/"PR"/Winny
Soenaryo, M.A., O.T.R./L. Pediatric Occupational Therapist)***

Pemutakhiran Terakhir ( Senin, 28 Desember 2009 21:50 )

Sindrom Gangguan Autisme (Autism Syndrome


Disorder )
Selasa, 06 April 2010 10:35 administrator

Istilah autisme dikemukakan oleh Dr Leo Kanner pada 1943. Ada banyak definisi
yang diungkapkan para ahli. Chaplin menyebutkan: “Autisme merupakan cara
berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri,
menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak
realitas, keasyikan ekstrem dengan pikiran dan fantasi sendiri”.

Pakar lain mengatakan: “Autisme adalah ketidaknormalan perkembangan yang


sampai yang sampai sekarang tidak ada penyembuhannya dan gangguannya tidak
hanya mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar dan berfungsi di dunia luar
tetapi juga kemampuannya untuk mengadakan hubungan dengan anggota
keluarganya.”

Pemutakhiran Terakhir ( Senin, 12 April 2010 08:44 ) Baca

| home | contact us | login email | search | english |


PENCEGAHAN AUTIS PADA ANAK

04/09/2006

Oleh:
Dr Widodo Judarwanto SpA
telp : (021) 70081995 - 4264126 - 31922005
email : wido25@hotmail.com
htpp://www.alergianak.bravehost.com

ABSTRAK

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan
adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan interaksi sosial.

Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan


jumlah anak yang ditemukan terkena Autis akan semakin meningkat pesat.
Jumlah penyandang autis semakin mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini
penyebab autis masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli
dan dokter di dunia. Autis adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial.
Tetapi sejauh ini masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab
dan faktor resikonya.

Dalam keadaan seperti ini, strategi pencegahan yang dilakukan masih belum
optimal. Sehingga saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk
mencegah agar gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk
menghindari kejadian autis.

PENDAHULUAN

Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukanpada
seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada
umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian
yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan
situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak
berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang,
bermain dengan anak lain dan sebagainya).

Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo
Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of
Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11
penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain,
mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.

Autis dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota,
berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di
dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki
kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang
lebih dini dengan hasil yang lebih baik.

Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang
pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun
2002 di-simpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode
diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan
terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat
mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius
dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.Di Amerika
Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun.
Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000
orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal
tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat,
dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan
perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan
menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta,
hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun
diperkirakan jumlah anak austima dapat mencapai 150 -- 200 ribu orang.

PENYEBAB AUTIS

Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis
disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat
gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh
gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh
karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-
zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan
masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.

Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk
mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis
adalah : Genetik (heriditer), teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac),
kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas,
teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin
Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori
kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan
Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin
Protein: Orphanin
Tabel 1. Beberapa teori penyebab Autis

1. Genetik dan heriditer


2. Teori Kelebihan Opioid

o Unsur Opioid-like
o Kekurangan enzyme Dipeptidyl peptidase
o Dermorphin Dan Sauvagine
o Opioids dan secretin
o Opioids dan glutathione
o Opioids dan immunosuppression

3. Gluten/Casein Teori Dan Hubungan gangguan Celiac


o IgA urine
o Teori Gamma Interferon
o Teori Metabolisme Sulfat

4. Kolokistokinin
5. Oksitosin Dan Vasopressin
6. Metilation
7. Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan
8. Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar
9. Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi
10. Teori Sekretin
11. Teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut)
12. Paparan Aspartame
13. Kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu
14. Orphanin Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN ( OFQ/N)

Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya
sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan
dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa
penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan
netabolisme metalotionin.

Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh
dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam
berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas
tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam
metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan


bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah :
defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi
regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk
netalotianin

Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis
yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield,
Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara
vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak
penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas
memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang
tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane
Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika :
kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak
penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh
reaksi dari vaksinasi.

Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya
dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna
secara umum. Namun penelitian secara khusus pada penyandang autis, memang
menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..

Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah
ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan.
Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui
gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara
autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa
kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan
janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena
autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih
kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan
perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada
saat kelahiran bayi.

Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein


otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi
normal mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya
mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan
kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan
mental. Nelson menyimpulkan autis terjadi sebelum kelahiran bayi.

Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian
terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin
pesat dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat
dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi
memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara
genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di
Amerika menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir
yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autis. Temuan ini
mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga
dapat dilakukan tindakan pencegahannya.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan
adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam
bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial,
perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris.

Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan


berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara.
Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim
digunakan.Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat
berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang
lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam
konteks yang sesuai. nEkolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat
atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak
digunakan untuk komunikasi dan imik datar

Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau


menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering
diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan
sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut
melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat
bermain bila didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik
tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu
untuknya.

Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh
misalnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola
pada mainan mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama.
Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling,
terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau
mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang
kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak
spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.
Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin
yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas
sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila
bepergian harus melalui rute yang sama.

Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang
kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat
hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia
akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah.
Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung
terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau
membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat
pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa
alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide,
aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat
agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan
makan dan gangguan perilaku lainnya.

Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri,
menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper
tantrum), terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering
mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya,
bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati)
dengan anak lain

Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya,


pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai
berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila
mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya.
Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau
pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak
menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan
diri dari pelukan.

Menegakkan diagnosis autis memang tidaklah mudah karena membutuhkan


kecermatan, pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk
pengamatan. Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosis
langsung autis. Diagnosis Autis hanyalah melalui diagnosis klinis bukan dengan
pemeriksaan laboratorium. Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan DSM-IV.
Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autis yang disebabkan oleh adanya
gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya mungkin
diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.
FAKTOR RESIKO

Karena penyebab Autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang


mempengaruhi.Sehingga banyak teori penyebab yang telah diajukan oleh banyak
ahli. Hal ini yang menyulitkan untuk memastikan secara tajam faktor resiko
gangguan autis. Faktor resiko disusun oleh para ahli berdasarkan banyak teori
penyebab autris yang telah berkembang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang
membuat resiko anak menjadi autis lebih besar. Dengan diketahui resiko tersebut
tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi
sejak dini pada anak yang beresiko. Adapun beberapa resiko tersebut dapat
diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan
dan periode usia bayi.

PERIODE KEHAMILAN

Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya.


Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat
terjadi pada periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau gangguan pada
ibu tentunya sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan
mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko
terjadinya autisme.

Beberapa keadaan ibu dan bayi dalam kandungan yang harus lebih diwaspadai
dapat berkembang jadi autism adalah infeksi selama persalinan terutama infeksi
virus. Peradarahan selama kehamilan harus diperhatikan sebagai keadaan yang
berpotensi mengganggu fungsi otak janin. Perdarahan selama kehamilan paling
sering disebabkan karena placental complications, diantaranya placenta previa,
abruptio placentae, vasa previa, circumvallate placenta, and rupture of the
marginal sinus. Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen
dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan
awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat
rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah tampaknya juga merupakan resiko
tinggi terjadinya autis perilaku lain yang berpotensi membahayakan adalah
pemakaian obat-obatan yang diminum, merokok dan stres selama kehamilan
terutama trimester pertama. Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu
kondisi alergi pada janin yang diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi
melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, hal ini dapat dilihat adanya Gerakan
bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam
kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi
terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi
ataupun bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan.
Infeksi saluran kencing, panas tinggi dan Depresi. Wilkerson dkk telah melakukan
penelitian terhadap riwayat ibu hamil pada 183 anak autism dibandingkan 209
tanpa autism. Ditemukan kejadian infeksi saluran kencing, panas tinggi dan
depresi pada ibu tampak jumlahnya bermakna pada kelompok ibu dengan anak
autism.

PERIODE PERSALINAN

Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi


selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat
menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam
persalinan maka yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen
ke seluruh organ tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling
sensitif dan peka terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat
mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak
nantinya.

Gangguan persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah :


pemotongan tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE
rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi
bayi saat lahir dan erat lahir rendah ( < 2500 gram).

PERIODE USIA BAYI

Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan yang
terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya dapat beresiko
untuk terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk
terjadinya autism adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan kenaikan berat
badan, kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan
metabolik, gangguan pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar,
sering buang air besar dan gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang, otot
atipikal, kelemahan otot.

PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko


terjadinya gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan
dapat dilakukan strategi pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan
faktor resiko dapat diketahui dengan jelas. Berbeda dengan kelainan autis, karena
teori penyebab dan faktor resiko belum masih belum jelas maka strategi
pencegahan mungkin tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam kondisi seperti
ini upaya pencegahan tampaknya hanya bertujuan agar gangguan perilaku yang
terjadi tidak semakin parah bukan untuk mencegah terjadinya autis. Upaya
pencegahan tersebut berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian faktor resiko
autis.

Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan kehamilan,


saat kehamilan, persalinan dan periode usia anak.

PENCEGAHAN SEJAK KEHAMILAN

Untuk mencegah gangguan perkembangan sejak kehamilan , kita harus melihat


dan mengamati penyebab dan faktor resiko terjadinya gangguan perkembangan
sejak dalam kehamilan. Untuk mengurangi atau menghindari resiko yang bisa
timbul dalam kehamilan tersebut dapat melalui beberapa cara.

Adapun cara untuk mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang sejak dalam
kehamilan tersebut diantaranya adalah periksa dan konsultasi ke dokter spesialis
kebidanan dan kandungan lebih awal, kalu perlu berkonsultasi sejak
merencanakan kehamilan. Melakukan pemeriksaan skrening secara lengkap
terutama infeksi virus TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, herpes
atau hepatitis). Periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan
kandungan secara rutin dan berkala, dan selalu mengikuti nasehat dan petunjuk
dokter dengan baik.

Bila terdapat peradarahan selama kehamilan segera periksa ke dokter kandungan.


Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan karena kelainan plasenta.
Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi
yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan pada awal kehamilan
juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat rendah.
Prematur dan berat bayi lahir rendah juga merupakan resiko tinggi terjadinya
autism dan gangguan bahasa lainnya.

Berhati-hatilah minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke


dokter terlebih dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan terutama
trimester pertama. Peneliti di Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide
pada awal kehamilan dapat mengganggu pembentukan sistem susunan saraf pusat
yang mengakibatkan autism dan gangguan perkembangan lainnya termasuk
gangguan berbicara. Bila bayi beresiko alergi sebaiknya ibu mulai menghindari
paparan alergi berupa asap rokok, debu atau makanan penyebab alergi sejak usia
di atas 3 bulan. Hindari paparan makanan atau bahan kimiawi atau toksik lainnya
selama kehamilan. Jaga higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan lingkungan.
Konsumsilah makanan yang bergizi baik dan dalam jumlah yang cukup. Sekaligus
konsumsi vitamin dan mineral tertentu sesuai anjuran dokter secara teratur.

Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang
diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan
penulis, bila dilihat adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial
(hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi
malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan
aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik
lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan gerakan hiccups/cegukan pada
janin yang berlebihan terutama pada malam hari serta terdapat gejala alergi atau
sensitif pencernaan salah satu atau kedua orang tua. Sebaiknya ibu menghindari
atau mengurangi makanan penyebab alergi sejak usia kehamilan di atas 3 bulan.
Hindari asap rokok, baik secara langsung atau jauhi ruangan yang dipenuhi asap
rokok. Beristirahatlah yang cukup, hindari keadaan stres dan depresi serta selalu
mendekatkan diri dengan Tuhan.

PENCEGAHAN SAAT PERSALINAN

Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi


selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat
menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam
persalinan maka yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen
ke seluruh organ tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling
sensitif dan peka terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat
mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak
nantinya

Beberapa hal yang terjadi saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya perkembangan dan perilaku pada anak, sehingga harus diperhatikan
beberapa hal penting. Melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan
dan kebidanan tentang rencana persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan
lengkap tentang resiko yang bisa terjadi selama persalinan. Bila terdapat resiko
dalam persalinan harus diantisipasi kalau terjadi sesuatu. Baik dalam hal bantuan
dokter spesialis anak saat persalinan atau sarana perawatan NICU (Neonatologi
Intensive Care Unit) bila dibutuhkan.

Bila terdapat faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu cepat,
asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR SCORE
rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, persalinan lama, letak presentasi bayi
saat lahir tidak normal, berat lahir rendah ( < 2500 gram) maka sebaiknya
dilakukan pemantauan perkembangan secara cermat sejak usia dini.

PENCEGAHAN SEJAK USIA BAYI

Setelah memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus
diwaspadai dan dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan terapi dan
intervensi secara dini bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala atau tanda
gangguan perkembangan. Adapun beberapa tindakan pencegahan yang dapat
dilakukanl
Amati gangguan saluran cerna pada bayi sejak lahir. Gangguan teresebut
meliputi : sering muntah, tidak buang besar setiap hari, buang air besar sering (di
atas usia 2 minggu lebih 3 kali perhari), buang air besar sulit (mengejan), sering
kembung, rewel malam hari (kolik), hiccup (cegukan) berlebihan, sering buang
angin. Bila terdapat keluhan tersebut maka penyebabnya yang paling sering
adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Jalan terbaik mengatasi
ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari dan menghindari
makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna yang
berkepanjangan akan dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya
mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak.

Bila terdapat kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian


vitamin nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi
harus dicari penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan jantung
bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, maka harus dilakukan perawatan
oleh dokter ahli. Harus diamati tanda dan gejala autism secara cermat sejak dini.

Demikian pula bila terjadi gangguan neurologi atau saraf seperti trauma kepala,
kejang (bukan kejang demam sederhana) atau gangguan kelemahan otot maka kita
harus lebih cermat mendeteksi secara dini gangguan perkembangan.

Pada bayi prematur, bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi),


infeksi berat saat usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat
bayi harus dilakukan monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat
terutama gangguan perkembangan dan perilaku pada anak.

Bila didapatkan penyimpangan gangguan perkembangan khususnya yang


mengarah pada gangguan perkembangan dan perilaku maka sebaiknya dilakukan
konsultasi sejak dini kepada ahlinya untuk menegakkan diagnosis dan intervensi
sejak dini.

Pada bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai gejala alergi atau terdapat
riwayat alergi pada orang tua, sebaiknya menunda pemberian makanan yang
beresiko alergi hingga usia diatas 2 atau 3 tahun. Makanan yang harus ditunda
adalah telor, ikan laut, kacang tanah, buah-buahan tertentu, keju dan sebagainya.

Bayi yang mengalami gangguan pencernaan sebaiknya juga harus menghindari


monosodium glutamat (MSG), amines, tartarzine (zat warna makanan), Bila
gangguan pencernaan dicurigai sebagai Celiac Disease atau Intoleransi Casein dan
Gluten maka diet harus bebas casein dan Gluten, Ciptakan lingkungan keluarga
yang penuh kasih sayang baik secara kualitas dan kuantitas, hindari rasa
permusuhan, pertentangan, emosi dan kekerasan.

Bila terdapat faktor resiko tersebut pada periode kehamilan atau persalinan maka
kita harus lebih waspada. Menurut beberapa penelitian resiko tersebut akan
semakin besar kemungkinan terjadi autism. Selanjutnya kita harus mengamati
secara cermat tanda dan gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan gejala
autism pada usia dini, kalau perlu dilakukan intervensi sejak dini dalam hal
pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita melakukan intervensi kejadian autism
dapat kita cegah atau paling tidak kita minimalkan keluhan yang akan timbul. Bila
resiko itu sudah tampak pada usia bayi maka kondisi tersebut harus kita
minimalkan bahkan kalau perlu kita hilangkan. Misal kegagalan kenaikkan berat
badan harus betul-betul dicari penyebabnya, pemberian vitamin bukan jalan
terbaik untuk mencari penyebab kelainan tersebut.

Demikan pula gangguan alergi makanan dan gangguan pencernaan pada bayi,
harus segera dicari penyebabnya. Yang paling sering adalah karena alergi
makanan atau intoleransi makan, penyebabnya jenis makanan tertentu termasuk
susu bayi. Pemberian obat-obat bukanlah cara terbaik untuk mencari penyebab
gangguan alergi atau gangguan pencernaan tersebut. Yang paling ideal adalah kita
harus menghindari makanan penyebab gangguan tersebut tanpa bantuan obat-
obatan. Obat-obatan dapat diberikan sementara bila keluhan yang terjadi cukup
berat, bukan untuk selamanya.

PENUTUP

Autis adalah gangguan yang dipengaruhi oleh multifaktorial. Tetapi sejauh ini
masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor
resikonya. Sehingga strategi pencegahan yang dilakukan masih belum optimal.
Saat ini tujuan pencegahan mungkin hanya sebatas untuk mencegah agar
gangguan yang terjadi tidak lebih berat lagi, bukan untuk menghindari kejadian
autis. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap secara jelas misteri
penyebab gangguan autis sehingga nantinya dapat dilakukan strategi pencegahan
agar seorang anak dapat tercegah gangguan autis.

DAFTAR PUSTAKA

1. American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical


Report : The Pediatrician's Role in Diagnosis and Management of Autistic
Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001)

2. Anderson S, Romanczyk R: Early intervention for young children with autism:


A continuum-based behavioral models. JASH 1999; 24: 162-173.

3. APA: Diagnostic and statistic manual of mental disorders. 4th ed. Washington,
DC: American Psychiatric Association; 1994.

4. Bettelheim B: The Empty Fortress: Infantile Autism and the Birth of the Self.
New York, NY: Free Press; 1977.
5. Brett EM: Paediatric Neurology. 2nd ed. London: Churchill Livingstone; 1991.

6. British Medical Journal: Childhood autism and related conditions. Br Med J


1980 Sep 20; 281(6243): 761-2.

7. Buka SL, Tsuang MT, Lipsitt LP: Pregnancy/delivery complications and


psychiatric diagnosis. A prospective study. Arch Gen Psychiatry 1993 Feb; 50(2):
151-6.

8. Burd L, Kerbeshian J: Psychogenic and neurodevelopmental factors in autism. J


Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1988 Mar; 27(2): 252-3.

9. Burd L, Severud R, Kerbeshian J, Klug MG: Prenatal and perinatal risk factors
for autism. J Perinat Med 1999; 27(6): 441-50.

10. Cohen DJ, Volkmar FR: Handbood of Autism and Pervasive Developmental
Disorders. NY: Wiley; 1996.

11. Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, et al: Gastrointestinal


abnormalities in children with autistic disorder. J Pediatr 1999 Nov; 135(5): 559-
63.

12. Hoshino Y, Yashima Y, Tachibana R, et al: Sex chromosome abnormalities in


autistic children--long Y chromosome. Fukushima J Med Sci 1979; 26(1-2): 31-
42.

13. Hutt SJ, Hutt C, Lee D, Dunstead C: A behavioural and


electroencephalographic study of autistic children. J Psychiatr Res 1965 Oct; 3(3):
181-97.

14. Johnson MH, Siddons F, Frith U, Morton J: Can autism be predicted on the
basis of infant screening tests? Dev Med Child Neurol 1992 Apr; 34(4): 316-20.

15. Lainhart JE, Piven J: Diagnosis, treatment, and neurobiology of autism in


children. Curr Opin Pediatr 1995 Aug; 7(4): 392-400.

16. Lamb JA, Moore J, Bailey A: Autism: recent molecular genetic advances.
Hum Mol Genet 2000 Apr 12; 9(6): 861-8.

17. Lovaas I: The Autistic Child: Language Development through Behavior


Modification. NY: Irvington Press; 1977.

18. Lovaas OI, Koegel RL, Schreibman L: Stimulus overselectivity in autism: a


review of research. Psychol Bull 1979 Nov; 86(6): 1236-54.
19. Martineau J, Barthelemy C, Garreau B, Lelord G: Vitamin B6, magnesium,
and combined B6-Mg: therapeutic effects in childhood autism. Biol Psychiatry
1985 May; 20(5): 467-78.

20. Poustka F, Lisch S, Ruhl D, et al: The standardized diagnosis of autism,


Autism Diagnostic Interview- Revised: interrater reliability of the German form of
the interview. Psychopathology 1996; 29(3): 145-53.

21. Prior MR, Tress B, Hoffman WL, Boldt D: Computed tomographic study of
children with classic autism. Arch Neurol 1984 May; 41(5): 482-4.

22. Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord
1998; 13 (Suppl 2): 17.

23. Skjeldal OH, Sponheim E, Ganes T, et al: Childhood autism: the need for
physical investigations. Brain Dev 1998 Jun; 20(4): 227-33.

24. Stern JS, Robertson MM: Tics associated with autistic and pervasive
developmental disorders. Neurol Clin 1997 May; 15(2): 345-55.

25. Taylor B, Miller E, Farrington CP, et al: Autism and measles, mumps, and
rubella vaccine: no epidemiological evidence for a causal association. Lancet
1999 Jun 12; 353(9169): 2026-9.

26. Teitelbaum P, Teitelbaum O, Nye J, et al: Movement analysis in infancy may


be useful for early diagnosis of autism. Proc Natl Acad Sci U S A 1998 Nov 10;
95(23): 13982-7.

27. Volkmar FR: DSM-IV in progress. Autism and the pervasive developmental
disorders. Hosp Community Psychiatry 1991 Jan; 42(1): 33-5.

28. Volkmar FR, Cicchetti DV, Dykens E, et al: An evaluation of the Autism
Behavior Checklist. J Autism Dev Disord 1988 Mar; 18(1): 81-97.

29. Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988
May 26; 318(21): 1390-2.

30. Vostanis P, Smith B, Chung MC, Corbett J: Early detection of childhood


autism: a review of screening instruments and rating scales. Child Care Health
Dev 1994 May-Jun; 20(3): 165-77.

31. Vostanis P, Nicholls J, Harrington R: Maternal expressed emotion in conduct


and emotional disorders of childhood. J Child Psychol Psychiatry 1994 Feb;
35(2): 365-76.

32. Vrono MS, Bashina VM: [Problem of adaptation of patients with the
syndrome of early childhood autism]. Zh Nevropatol Psikhiatr Im S S Korsakova
1987; 87(10): 1511-6.

33. Werner E, Dawson G, Osterling J, Dinno N: Brief report: Recognition of


autism spectrum disorder before one year of age: a retrospective study based on
home videotapes. J Autism Dev Disord 2000 Apr; 30(2): 157-62.

34. Wilkerson DS, Volpe AG, Dean RS, Titus JB. Perinatal complications as
predictors of infantile autism. Int J Neurosci 2002 Sep;112(9):1085-98

35. Wolraich M, Bzostek B, Neu RL, Gardner LI: Lack of chromosome


aberrations in autism. N Engl J Med 1970 Nov 26; 283(22): 1231.

36. Yirmiya N, Sigman M, Freeman BJ: Comparison between diagnostic


instruments for identifying high- functioning children with autism. J Autism Dev
Disord 1994 Jun; 24(3): 281-91.

37. Zeanah CH, Davis S, Silverman M: The question of autism in an atypical


infant. Am J Psychother 1988 Jan; 42(1): 135-50.

38. Zwaigenbaum L, Szatmari P, Jones MB: Decreased obstetric optimality in


autism is a function of genetic liability to the broader autism phenotype. J Dev
Behav Pediatr 1999; 20 (5): 398-399

| home | contact us | login email | search | english |

Total visitors from 2000 to August 2010 : 1,538,724 - © Puterakembara 2010


interaction with this site is in accordance with our site policy

• Home
• Misi kami
• Informasi Autisme
• Lokasi Rekan
• Rubrik foto
• Puisi & Prosa
• Makalah autisme
• Family Gathering
• Support Group
• Info Buku
• Situs English
• Buku Tamu

• Siap kesekolah umum?


• Peran Utama Keluarga
• Peran Saudara Kandung
• Seksualitas Masa Puber
• Pengalaman Disekolah Umum

oleh: LudiPNK
Pengarang : Dr Widodo Judarwanto SpA

• Summary rating: 4 stars (3 Tinjauan)


• Kunjungan : 364
• kata:900

More About : teori genetik dan heriditer

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak


yang ditandai danya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Kata autis berasal dari bahasa Yunani
"auto" berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang yang menunjukkan gejala
"hidup dalam dunianya sendiri". Pemakaian istilah autis kepada penyandang
diperkenalkan pertama kali Leo Kanner, psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic
Disturbance of Affective Contact) tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap
11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang
lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang
aneh.

Di Kanada dan Jepang penderita bertambah 40 persen sejak 1980. Di California


tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat
disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun.
Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 4 : 1, anak perempuan yang
terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang
berpenduduk 200 juta, belum diketahui jumlah penyandang namun diperkirakan
jumlah anak austima dapat mencapai 150 -- 200 ribu orang.

Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, selain itu autisme


disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Lainnya berpendapat autisme
disebabkan kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi
zat-zat beracun mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan
masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.

Beberapa teori penyebab Autis


1. Genetik dan heriditer
2. Kelebihan Opioid
o Unsur Opioid-like
o Kekurangan enzyme Dipeptidyl peptidase
o Dermorphin Dan Sauvagine
o Opioids dan secretin
o Opioids dan glutathione
o Opioids dan immunosuppression
3. Gluten/Casein Teori Dan Hubungan gangguan Celiac
o IgA urine
o Gamma Interferon
o Metabolisme Sulfat
4. Kolokistokinin
5. Oksitosin Dan Vasopressin
6. Metilation
7. Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan
8. Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar
9. Infeksi Karena virus Vaksinasi
10. Sekretin
11. Kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut)
12. Paparan Aspartame
13. Kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu
14. Orphanin Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN ( OFQ/N)

Irfansiswanto's Blog
Just another WordPress.com weblog
« Perjuangan Menghadapi Pergolakan Dalam Negeri
Peranan Remaja Kristen Dalam Pembangunan Nasional »

Autisme
By irfansiswanto

Autisme
Autisme adalah suatu keadaan (kondisi) mengenai seseorang yang sejak lahir
ataupun saat balita yang mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan sosial
atau komunikasi yang normal dengan sesamanya.
Akibatnya si anak tersebut merasa terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam
dunia repetitive, aktivitas, dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen,1993)
Untuk memeriksa apakah seseorang anak menderita autis atau tidak digunakan
standar International tentang autis, ICD-10 (International Classification Of
Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994
merumuskan kriteria diagnosis untuk Autis Infantil yang isinya sama, yang saat
ini dipakai di seluruh dunia.
Kriteria tersebut adalah : Untuk hasil diagnosa, diperlukan total 6 gejala atau lebih
dari no. (1), (2), dan (3), termasuk setidaknya 2 gejala dari no. (1) dan masing-
masing 1 gejala dari no.(2) dan (3).
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik : Tidak mampu
menjalin interaksi sosial yang cukup memadai; Kontak mata sangat kurang;
Ekspresi wajah mati; Gerak-gerik kurang tertuju.
Tidak mampu menjalin persahabatan dengan sesamanya. Tidak ada rasa simpati
dan empati di dalam dirinya (tidak dapat merasakan apapun yang dirasakan oleh
orang lain)
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi : Perkembangan bicara terlambat
atau sama sekali tidak berkembang. Anak tidak berusaha berkomunikasi secara
non-verbal. Bila anak bisa berbicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk
berkomunikasi. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan sering mengulang-
ulang kata-kata yang sama. Lalu cara bermainnya kurang variatif, kurang
imajinatif, dan tidak dapat meniru pembicaraan orang lain.
3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dalam hal minat, perhatian, dan
kegiatan. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas
dan berlebihan. Fokus dan hanya memikirkan kegiatan yang ritualistic atau
rutinitas yang tidak berguna.
Sering memperhatikan benda-benda yang aneh.

Penyebab Autis

Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis
disebabkan karena multifaktor. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat
gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh
gangguan psikiatri/kejiwaan. Ahli lainnya berpendapat bahwa autism disebabkan
oleh penggabungan makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi
dengan zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar sehingga
menyebabkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah yang telah dikemukakan
untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab
autis adalah :
- Teori Kelebihan Opiloid - Teori Kolokistokinin
- Teori Gulten-Casein - Teori Oksitosin Dan Vasopressin
- Teori Genetik (Heriditer) - Teori Metalotionin
- Teori Imunitas - Teori Autoimun dan Alergi Makanan
- Teori Zat Darah - Teori Infeksi
- Teori Sekretin - Teori Kelainan Saluran Cerna
- Teori Paparan Aspartame - Teori Kekurangan Vitamin
Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya
sebagian kecil saja yang mengalami gejala autis. Hal ini sangat berkaitan dengan
teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa
penelitian anak autis tampaknya ditemukan adanya gangguan metabolism
metalotionin.
Metalotionin merupakan sistem utama yang dimiliki oleh tubuh dalam
mendoktisifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat
memiliki afinitas yang berbeda terhadap Metalotionin. Berdasarkan afinitas
tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuat terhadap Metalotionin
daripada logam yang lainnya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan
bahwa gangguan Metalotionin disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
- Difisiensi Zinc (Zn)
- Jumlah Logam Berat yang berlebihan
- Difisiensi Sistein
- Malfungsi regulasi element Logam
- Kelainan genetic
Perdebatan yang terjadi berkisar tentang kemungkinan penyebab autis disebabkan
oleh vaksinasi anak. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Andrew Wakefield
(Inggris), Bernand Rimland (AS) mengenai hubungan antara vaksinasi terutama
MMR (Measles, Mumps, Rubella) dan autis. Didapat bahwa pemberian MMR
tidak menyebabkan autis. Tetapi penelitian ini mendapat banyak pertentangan dari
masyarakat Amerika Serikat.
Banyak pula ahli yang mengatakan bahwa bibit autis telah ada sebelum bayi
dilahirkan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa
keluarga melalui gen autism. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika Serikat
mengatakan korelasi antara autisme dan cacat lahir disebabkan oleh thalidomide,
menyimpulkan bahwa kerusakan otak terjadi paling awal 20 hari pada saat
pembentukan janin.
Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autis ada
bagian otak yang mengendalikan pusat memori dan emosi menjadi lebih kecil
daripada anak normal. Peneliti ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan
otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran
bayi.
Karin Nelson, ahli neoroly Amerika menyelidiki proten otak dari contoh darah
bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar
protein yang lebih kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein
tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini
berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan
autism terjadi sebelum kelahiran bayi.

Ciri-ciri Anak Autis


A. Komunikasi
Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat
berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang
lazim digunakan. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan hanya dapat
berkomunikasi dalam waktu sangat singkat.
B. Bergaul
Lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan temannya. Tidak
suka berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat dalam bersosialisasi.
C. Kelainan Pada Alat Indera
Sangat sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa
D. Bermain
Tidak reflek dan tidak berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan
temannya.
E. Tingkah Laku
Orangnya hiperaktif. Suka marah tanpa alasan yang jelas dan masuk akal. Tidak
dapat menunjukkan akal sehatnya. Sangat agresif terhadap orang lain atau dirinya
sendiri. Suka melakukan tindakan yang berulang-ulang yang tidak berguna.

Penyembuhan
Penyakit autis kemungkinan besar dapat disembuhkan, tergantung dari kadar
penderitanya. Kabar terakhir di Indonesia, dua orang penderita autis dapat
disembuhkan dan anehnya mereka berprestasi, di Amerika penderita autis sangat
ditangani dengan serius oleh pemerintah.

This entry was posted on February 28, 2010 at 7:45 am and is filed under Uncategorized. You can
follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or
trackback from your own site.

One Response to “Autisme”

1. irfansiswanto Says:
February 28, 2010 at 7:46 am | Reply

ini karya original

Leave a Reply

Name (required)

E-mail (will not be published) (required)

Website
Submit Comment

Notify me of follow-up comments via email.

Notify me of new posts via email.

Blog at WordPress.com.
Entries (RSS) and Comments (RSS).

Autisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel.
Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Wikipedia Indonesia tidak dapat bertanggung jawab dan tidak bisa
menjamin bahwa informasi kedokteran yang diberikan di halaman
ini adalah benar.
Mintalah pendapat dari tenaga medis yang profesional sebelum melakukan pengobatan.
Autisme
Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal

Repetitively stacking or lining up objects may indicate autism.


ICD-10 F84.0
ICD-9 299.00
OMIM 209850
DiseasesDB 1142
MedlinePlus 001526
eMedicine med/3202 ped/180
MeSH D001321

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa
balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau
komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan
masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen,
1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6
gangguan dalam bidang:

• interaksi sosial,
• komunikasi (bahasa dan bicara),
• perilaku-emosi,
• pola bermain,
• gangguan sensorik dan motorik
• perkembangan terlambat atau tidak normal.

Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak
berusia 3 tahun.

Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV


merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive
Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD)
adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan
perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan


adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan
bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan
aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan
adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan
keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-
rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-
NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku
bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa
tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang
terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal
kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya;
kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan
gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4
tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan
yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-
tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD –


NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan
adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79).
National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY)
di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah
gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan
gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang
bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman
bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain.
Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang
tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada
gejala autisme.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV


• 2 Gejala
• 3 Prevalensi Individu dengan autisme
• 4 Implikasi Diagnosa Autisme
• 5 Perkembangan Penelitian Autisme
• 6 Penanganan Autisme di Indonesia
• 7 Terapi Bagi Individu dengan Autisme

• 8 Pranala luar

[sunting] Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV


A. Interaksi Sosial (minimal 2):

1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak


mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan
emosional 2 arah

B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non


verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi
social

C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang


sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak
berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang.
Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu
benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah
(severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya.
Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan
keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan
tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal),
memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya
minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low
functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan
intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif
serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan
sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan
sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun
model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya
melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang
autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik
pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil
penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki
intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi,
apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera
diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan
kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis


gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of
Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual)
Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori
Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD):
Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu
pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti


dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral
maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa
instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk
mendiagnosa autisme:
• Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa
kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang
didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15;
anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan
gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan
komunikasi verbal
• The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan
autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur
18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
• The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri
dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk
mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
• The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme
bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di
Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain,
imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang
berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak,
kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat
sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat.
Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam
mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan
adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog,
psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi,
pekerja sosial dan lain sebaginya.

[sunting] Gejala
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua
dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan
kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat
sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima
panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan).
Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-
goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku
dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah
sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap
normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-
ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang
juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang
tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-
suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan
rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati
pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang
teringan hingga terberat sekalipun.

1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.


2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya
serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang
tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam


kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa
diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin
terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat
(echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya
menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang
abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-
individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi
para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-
gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang
harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan


2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada,
menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24
bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia
tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut
menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat
beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner
yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan
profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

[sunting] Prevalensi Individu dengan autisme


Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak
tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan
disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips,
seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250
contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari
anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for
Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme
dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian
Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme
beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best
current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18
tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD.
Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak
laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini
penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus
mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka
pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-
bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan
secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr.
Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004,
menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:

• Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different


families
• Chromosome 7 – speech / language chromosome
• Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth

Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat
menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal
terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah
bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat
psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan


yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran
Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan
Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila
sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000
anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun
2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak
penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus
meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia
saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-
sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

[sunting] Implikasi Diagnosa Autisme


Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan
peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini
para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang
disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan
adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif
dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh
di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-
taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak
dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman
sebaya mereka yang ‘normal’.

Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga


muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan
atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja
merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala
dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab
mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan
perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian
adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten
sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang
semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan
keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak
sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-
keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para
profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area,
misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan
perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan
konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan
lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme
bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama
dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning.
Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam
penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu
perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga
perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai
inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu
mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple
Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir
yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan,
Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat
seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson
seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan
kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan
mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita
bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna
bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai
kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan
kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan
membawa manfaat apapun.

[sunting] Perkembangan Penelitian Autisme


Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada
model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential
manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap
tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan
penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka
janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa
ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target
khusus lainnya, seperti:

• Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak


dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia
juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor
biologis.
• Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari
orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak
memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh,
maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari
stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil
pekerjaannya tersebut.
• Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang
Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris.
Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari
mengembangkan metode Gleen Doman.
• Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior
Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak
dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi
bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari
hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan
program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara
professional dalam jurnal-jurnal psikologi.

Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan
autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-
pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan.
Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally
J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:

• 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism


• 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on
treatment
• 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-
based services
• 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based
services
• 2000s Litigation, school-based services

[sunting] Penanganan Autisme di Indonesia


Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal
penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi
sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain,
beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah
autisme di Indonesia diantaranya adalah:

1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu


menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-
pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan
kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak
mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup
dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang
penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak
Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini
sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula
persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu
mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik
autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan
pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di
seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme
di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini
membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk
dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri
telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya
pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan
validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari
penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan
penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus
didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada
orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu
metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak
merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu
jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab
melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi
masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat
klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di
Indonesia.

[sunting] Terapi Bagi Individu dengan Autisme


Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas
pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan
autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan
proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi
bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya
mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak
banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang
standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat
bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan
maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis,
misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang
komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi
Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk
mengubah serta memodifikasi perilaku.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan
ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui
saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali
treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional
dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang
lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para
penyandangnya.

• Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied


Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam
penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial
Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
• Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang
dikenal sebagai Floortime.
• TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related
Communication – Handicapped Children).
• Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian
vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku
tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
• Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas
pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses
auditory/pendengaran.
• Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture
Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual
menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung
komunikasi lainnya.
• Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin
ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun
lngkungan sosial lainnya.
• Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada
Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan
Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka
sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat
meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan
autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung
berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta
menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme.
Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan
gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada
didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol.
Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang
dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak
akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus
disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya
dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara
multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan
terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu
mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini.
Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga
sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu
jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau
kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi.
Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara
konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk
intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan
kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

[sunting] Pranala luar


• Rumah Autis
• Yayasan Autisma Indonesia (YAI)
• Autisme
• Autisme di Proyek Direktori Terbuka
• Terapi untuk Anak Autis

Wikimedia Commons memiliki kategori mengenai Autisme

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme"


Kategori: Autisme | Kecacatan
Kategori tersembunyi: Artikel yang belum dirapikan September 2010

Peralatan pribadi

• Fitur baru
• Masuk log / buat akun

Ruang nama

• Halaman
• Pembicaraan

Varian

Tampilan

• Baca
• Sunting
• Versi terdahulu

Tindakan

• ↑

Cari

Navigasi

• Halaman Utama
• Perubahan terbaru
• Peristiwa terkini
• Halaman sembarang

Komunitas
• Warung Kopi
• Portal komunitas
• Bantuan

Wikipedia

• Tentang Wikipedia
• Pancapilar
• Kebijakan
• Menyumbang

Cetak/ekspor

• Buat buku
• Unduh sebagai PDF
• Versi cetak

Kotak peralatan

• Pranala balik
• Perubahan terkait
• Halaman istimewa
• Pranala permanen
• Kutip halaman ini

Bahasa lain

• Afrikaans
• ‫العربية‬
• Azərbaycanca
• Žemaitėška
• Беларуская
• Български
• বাংলা
• Brezhoneg
• Bosanski
• Català
• Česky
• Cymraeg
• Dansk
• Deutsch
• ް ަ‫ދިވެހިބ‬
‫ސ‬
• Ελληνικά
• English
• Esperanto
• Español
• Eesti
• Euskara
• ‫فارسی‬
• Suomi
• Français
• Gaeilge
• Galego
• ‫עברית‬
• िहनदी
• Hrvatski
• Magyar
• Հայերեն
• Interlingua
• Ido
• Italiano
• 日本語
• Lojban
• ქართული
• 한국어
• Kurdî
• Latina
• Lietuvių
• Latviešu
• Македонски
• മലയാളം
• Bahasa Melayu
• Nederlands
• Norsk (bokmål)
• Polski
• Português
• Română
• Русский
• Srpskohrvatski / Српскохрватски
• Simple English
• Slovenčina
• Slovenščina
• Shqip
• Српски / Srpski
• Svenska
• Kiswahili
• தமிழ்
• ไทย
• Tagalog
• Türkçe
• Українська
• Tiếng Việt
• Walon
• 中文

• Halaman ini terakhir diubah pada 13:14, 17 Oktober 2010.


• Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative
Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan
Penggunaan untuk lebih jelasnya.

• Kebijakan privasi
• Tentang Wikipedia
• Penyangkalan

Tabel 1 Beberapa teori penyebab Autis


1. Genetik dan heriditer
2. Teori Kelebihan Opioid
o Unsur Opioid-like
o Kekurangan enzyme Dipeptidyl peptidase
o Dermorphin Dan Sauvagine
o Opioids dan secretin
o Opioids dan glutathione
o Opioids dan immunosuppression
3. Gluten/Casein Teori Dan Hubungan gangguan
Celiac
o IgA urine
o Teori Gamma Interferon
o Teori Metabolisme Sulfat
4. Kolokistokinin
5. Oksitosin Dan Vasopressin
6. Metilation
7. Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan
8. Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein
Basis dasar
9. Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi
10. Teori Sekretin
11. Teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas
Intestinal/Leaky Gut)
12. Paparan Aspartame
13. Kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu
14. Orphanin Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN
( OFQ/NTabel 1 Beberapa teori penyebab Autis
1. Genetik dan heriditer
2. Teori Kelebihan Opioid
o Unsur Opioid-like
o Kekurangan enzyme Dipeptidyl peptidase
o Dermorphin Dan Sauvagine
o Opioids dan secretin
o Opioids dan glutathione
o Opioids dan immunosuppression
3. Gluten/Casein Teori Dan Hubungan gangguan
Celiac
o IgA urine
o Teori Gamma Interferon
o Teori Metabolisme Sulfat
4. Kolokistokinin
5. Oksitosin Dan Vasopressin
6. Metilation
7. Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan
8. Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein
Basis dasar
9. Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi
10. Teori Sekretin
11. Teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas
Intestinal/Leaky Gut)
12. Paparan Aspartame
13. Kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu
14. Orphanin Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN
( OFQ/N

You might also like