You are on page 1of 143

KATA PENGANTAR

(Edisi Revisi)

Buku Hukum Waris yang sedang Anda baca ini adalah sebuah buku
yang penulis susun serta diterbitkan pertama kali pada tahun 1984, kemudian
dicetak ulang pada tahun 1995. Sejak saat itu buku ini tidak diterbitkan
karena berbagai pertimbangan. Kini buku tersebut hadir kembali ke hadapan
para pembaca setelah mengalami proses revisi dengan judul yang juga
mengalami perubahan. Pada terbitan pertama dan kedua buku ini berjudul
“Intisari Hukum Waris Indonesia”. Kini setelah materinya mengalami revisi,
judul buku ini pun diubah menjadi “Hukum Waris Indonesia Dalam
Perspektif Islam, Adat, dan BW”.
Bagi para Mahasiswa (S1) Ilmu Hukum yang sedang mengikuti
perkuliahan Hukum Keluarga dan Waris (A1A.301), Hukum
Perkawinan dan Waris Islam (A1A.302), serta mata kuliah Hukum
Perkawinan dan Waris Adat (A10.405), ada baiknya apabila memiliki dan
membaca buku ini. Demikian pula kepada para Mahasiswa (S2)
Pascasarjana Magister Kenotariatan yang sedang mengikuti perkuliahan
Hukum Waris Islam, Hukum Waris BW, dan Hukum Waris Adat,
semoga buku ini dapat membantu anda dalam rangka menelusuri serta
memahami hal ihwal hukum waris yang sedang dikaji.
Ucapan terima kasih tentu saja saya sampaikan kepada Penerbit
Refika Aditama Bandung yang telah bersedia untuk menerima naskah buku
ini untuk diproses penerbitannya.
Last but not least, menyadari segala kekurangan buku ini, sehingga
kritik dan saran dari pembaca, insya Allah akan sangat penulis hargai.
Paling akhir, kepada semua pihak yang telah memungkinkan terbitnya
kembali buku ini, penulis mengucapkan terima kasih.

Taruna Parahiangan, Bandung, 5 Mei 2005

ii
Eman Suparman, Lahir di Kuningan, 23 April 1959. Islam, Laki-laki. Lektor
Kepala Hukum Acara Perdata pada Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung.
Pendidikan: S1 bidang Hukum Perdata,Universitas Padjadjaran,1982; S2 bidang
Hukum Acara Perdata, Universitas Gadjah Mada, 1988; S3 bidang Hukum
Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, Universitas Diponegoro, 2004. Judul
Tesis: Keharusan Mewakilkan Dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara
yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Pembimbing: Prof. Dr. R.M.
Sudikno Mertokusumo, S.H.; Judul Disertasi: Pilihan Forum Arbitrase Dalam
Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan. Promotor: Prof. Dr. I.S.
Susanto,S.H. (alm), Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, S.H. (Ketua Muda
Mahkamah Agung RI), Prof. Dr. Hj. Esmi Warassih Pujirahayu, S.H.,M.S.
Pengalaman tambahan: “Sandwich Programme” untuk studi lanjutan,
penelitian, dan studi perbandingan bidang Hukum Perdata Internasional dan
Hukum Arbitrase di Rijksuniversiteit Leiden, The Netherlands, 1990/1991.
Sebagai “Visiting Scholar for the European Council Session at Strasborough,
France, March 1991.” Awal 1997 dengan ABWPP & Associates stipend kembali
berkesempatan sebagai Visiting Scholar at “de Hoge Raad der Nederlanden”;
The Hague, The Netherlands, March 1997; Visiting Academic and Research
Programme, organised by The Departement of Law The University of
Nottingham, United Kingdom, April 1997; Visiting Scholar at “The 7th Annual
Writers” Festival Prague ’97 at Franz Kafka Centre on Prague’s Old Town
Square, Prague, Czech Republic, May 1997; Participant at The SANGIS
Training Programme: South East Asian Network for a Geological Information
System; International Centre for Training and Exchanges in Geosciences; United
Nations Buildings, Bangkok, Thailand, June 2001.
Buku yang pernah dan sedang dalam proses penerbitan
(1) INTISARI HUKUM WARIS INDONESIA, CV Mandar Maju, Bandung,
1995.
(2) HUKUM DAN BIROKRASI (sebagai salah satu penulis), Semarang:
Walisongo Research Institute, April 2001.
(3) PILIHAN FORUM ARBITRASE DALAM SENGKETA KOMERSIAL
UNTUK PENEGAKAN KEADILAN, PT Tatanusa, Jakarta, 2004.
(4) HUKUM WARIS INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM, ADAT,
DAN BW; (Dalam Proses Penerbitan).
Memperoleh Penghargaan Karya Ilmiah Terbaik Universitas Padjadjaran,
Bandung, 21 September 1998.
Pernah ditugaskan oleh Ditjen Dikti Depdiknas sebagai tenaga Detasering pada
Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Agustus-Desember 2004.
Dari pernikahannya dengan Dra. Ella Dewi Laraswati, dikaruniai 2 (dua) orang
putri. (1) Risa Dewi Angganiawati (Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung) dan (2) Anggiani Dewi Rahmawati (Siswi SMA Negeri 1
Kota Bandung).
DAFTAR ISI

Kata Sambutan ........................................................................................... i


Kata Pengantar .......................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................. iii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Pengertian Istilah dan Batasan Hukum Waris ............1
B. Sifat Hukum Waris .................................................... 5
C. Aneka Ragam Hukum Waris ...................................... 8

BAB II : HUKUM WARIS ISLAM DAN HUKUM WARIS BW


DI INDONESIA
A. Hukum Islam
1. Hukum waris dalam Al Qur'an ............................ 10
2. Warisan dalam sistem hukum waris Islam .......... 13
3. Pewaris dan dasar hukum mewaris ..................... 16
4. Ahli waris dalam Islam ...................................... 16
a. Dzul faraa'idh ................................................. 17
b. Ashabah ......................................................... 18
c. Dzul Arhaam ................................................. 20
5. Bagian masing-masing ahli waris dzul faraa'idh. 20
6. Kelompok keutamaan ahli waris menurut
Al Qur'an ............................................................ 23
7. Ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak men-
dapat warisan ..................................................... 24
B. Hukum Perdata Barat (BW)
1. Hukum waris menurut BW .............................. 25
2. Warisan dalam sistem hukum waris BW ......... 27
3. Pewaris dan dasar hukum mewaris .................. 29
4. Ahli Waris menurut sistem BW ...................... 31
5. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW 36

iii
6. Peranan Balai Harta Peninggalan
dalam pembagian warisan ................................... 40
7. Ahli waris yang tidak patut
menerima harta warisan ..................................... 41

BAB III : HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA


A. Sistem Kekeluargaan dan hukum adat waris .............. 43
B. Sistem kekeluargaan Patrilineal .................................. 47
1. Hukum waris adat partilineal ................................. 47
2. Pewaris, ahli waris, dan pembagian harta pusaka... 50
3. Beberapa pendapat kesimpulan tentang hukum
adat waris patrilineal ............................................ 54
C. Sistem Kekeluargaan Matrilineal ............................. 55
1. Hukum waris adat Matrilineal .............................. 55
2. Harta warisan dalam hukum adat waris
Minangkabau ........................................................ 57
3. Ahli waris dan hak mewaris menurut adat
Minangkabau ....................................................... 58
4. Kesimpulan hasil penelitian LPHN tahun 1971 .. 63
D. Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral ......... 64
1. Hukum waris adat parental atau Bilateral ......... 64
2. Harta warisan menurut hukum adat waris
Parental .............................................................. 66
a) harta asal ....................................................... 66
b) Harta bersama ............................................... 68
3. Ahli waris dalam hukum adat waris Parental .... 67
a) Sedarah dan tidak sedarah ........................... 67
b) Kepunahan atau nunggul pinang ................. 68
4. Anak angkat dan perkawinan poligami dalam
hukum adat parental ......................................... 68
a) Anak angkat ................................................ 68
b) Ahli waris dalam perkawinan poligami ..... 69

iv
c) Kehilangan hak mewaris ....................................69
d) Penggantian tempat ahli waris ...........................70
e) Penetapan ahli waris ......................................... 71
E. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan ...................... 71
1. Tata cara membagi harta warisan ........................ 71
2. Saat pembagian warisan ...................................... 73
3. Besarnya bagian yang diterima ahli waris .......... 73
4. Hutang Pewaris .................................................. 83
5. Mengesampingkan ahli waris ............................ 83
F. Ihtisar ...................................................................... 84

BAB IV : PERIHAL HIBAH DAN HIBAH WASIAT


A. Pengertian Pokok Hibah ........................................... 89
1. Pengertian Hibah ................................................. 89
2. Hibah menurut Hukum Islam .............................. 90
3. Hibah menurut Hukum Perdata Barat (BW) ...... 94
4. Hibah menurut hukum adat Jawa Barat ............. 95
B. Ihtisar Hibah ............................................................ 103
C. Pengertian Hibah wasiat atau Wasiat ...................... 105
1. Hibah wasiat menurut hukum waris Islam ........ 106
2. Hibah wasiat menurut BW ................................ 109
a) Wasiat Olografis .......................................... 109
b) Wasiat Umum ............................................... 110
c) Wasiat Rahasia ............................................. 111
3. Hibah wasiat menurut hukum Adat Jawa Barat 112
D. Ihtisar Hibah Wasiat .............................................. 114

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 119

v
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Ahli Waris laki-laki, Ahli Waris Perempuan,
Ahli waris yang mempunyai bagian-bagian
Tertentu ........................................................... 120
Susunan Ashabah ........................................... 123
2. Pidato Pengarahan Menteri Kehakiman
RI Pada Simposium Hukum Waris Nasional
(Jakarta,10-12 Pebruari 1983) ........................... 124
3. Kesimpulan Simposium Hukum Waris Nasional 127

Ihwal Penulis ....................................................................................128

vi
KATA SAMBUTAN
Prof. Dr. R. Sri Soemantri Martosoewignjo,S.H.
(Pada Edisi Pertama)

Perguruan Tinggi di Indonesia mempunyai Tridharma, yaitu


dharma dalam bidang pendidikan pengajaran, bidang penelitian, dan dalam
bidang pengabdian kepada masyarakat. Tridharma Perguruan Tinggi
tersebut harus dipenuhi oleh setiap orang pengajar di Perguruan Tinggi, oleh
karena hal itu juga merupakan syarat bukan saja bagi kemajuan dan
perkembangan Perguruan Tinggi akan tetapi juga mempunyai arti penting
dalam jenjang karir seorang anggota staf pengajar.
Oleh karena itu, tulisan yang dikerjakan oleh saudara Eman
Suparman, salah seorang pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
ini harus disambut dengan gembira. Bukan saja karena tulisan ini
merupakan perwujudan Tridharma Perguruan Tinggi, akan tetapi dari isinya
dapat dikaji, bahwa penulis mencoba mengemukakan permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam bidang hukum waris.
Dari tulisan ini saudara Eman Suparman berusaha mengemukakan
buah pikirannya. Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya bagi kita
semua.

Bandung, 27 Maret 1985

Prof. Dr. R. Sri Soemantri M.,S.H.


Dekan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran

i
1
A. Pengertian Istilah dan Batasan Hukum Waris
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata
secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum
kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum
yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian
seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang
1
meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban
sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.
Untuk pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum
Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia,
belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum
waris masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro,
menggunakan istilah “hukum warisan”.2 Hazairin, mempergunakan
istilah “hukum kewarisan”.3 dan Soepomo menyebutnya dengan istilah
“hukum waris”. 4
Memperhatikan ketiga istilah yang dikemukakan oleh ketiga
ahli hukum Indonesia di atas, baik tentang penyebutan istilahnya
maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri, penulis

1
M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib
di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”.
Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta: FHUI,
1982, h. 154.
2
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia. Bandung, Vorkink van
Hoeve, 's-Gravenhage, h. 8.
3
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Qur,an. Jakarta: Tintamas, h. 1.
4
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Penerbitan Universitas, 1996, h.
72.

1
lebih cenderung untuk mengikuti istilah dan pengertian “hukum waris”
sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo. Beliau menerangkan
bahwa “hukum waris” itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tak terwujud benda dari suatu angkatan manusia
kepada keturunannya.5 Oleh karena itu, istilah “hukum waris”
mengandung pengertian yang meliputi “kaidah-kaidah” dan asas-asas
yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia“.
Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk
hukum waris, hampir tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu
memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal. Istilah-
istilah dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut
beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini:
1. Waris:
Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan) orang yang telah meninggal.
2. Warisan:
Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
3. Pewaris:
Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka,
maupun surat wasiat.
4. Ahli waris:
Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang
berhak menerima harta peninggalan pewaris.

5
Soepomo, Loc. Cit., h. 72.

2
5. Mewarisi:
Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah
mewarisi harta peninggalan pewarisnya.6
6. Proses pewarisan:
Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna,
yaitu:
1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris
masih hidup; dan
2) berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.7
Berkaitan dengan beberapa istilah tersebut di atas, Hilman
Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa “warisan
menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang
kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau pun
masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi”.8
Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba
memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun
dalam bentuk batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam upya
memahami pengertian hukum waris secara utuh, beberapa difinisi di
antaranya penulis sajikan sebagai berikut:
Wirjono Prodjodikoro9 mengemukakan:
“Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.
Menurut Soepomo,10
“Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

6
W.J.S. Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud,
Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia, 1982, h. 1148.
7
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat. Bandung : Alumni, 1980, h. 23.
8
Ibid, h. 21.
9
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h. 8.
10
Soepomo, Bab-Bab...Op. Cit., h. 72-73.

3
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini
telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak
menjadi “akuut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi
proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara
radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan
benda tersebut.
R. Santoso Pudjosubroto, 11 mengemukakan,
“Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur
apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih
kepada orang lain yang masih hidup”.
Seperti halnya Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah
"hukum warisan", R. Santoso Pudjosubroto juga memakai istilah
serupa di dalam rumusannya, yakni menggunakan istilah "hukum
warisan" untuk menyebut "hukum waris". Selanjutnya beliau
menguraikan bahwa sengketa pewarisan timbul apabila ada orang
yang meninggal, kemudian terdapat harta benda yang ditinggalkan,
dan selanjutnya terdapat orang-orang yang berhak menerima harta
yang ditinggalkan itu; kemudian lagi tidak ada kesepakatan dalam
pembagian harta warisan itu.
B. Ter Haar Bzn12 dalam bukunya "Azas-azas dan Susunan
Hukum Adat" yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto
memberikan rumusan hukum waris sebagai berikut : "Hukum waris
adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad
ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi ke generasi".

11
R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari. Yogyakarta: Hien Hoo
Sing, 1964, h. 8.
12
K.Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1960, h. 197.

4
"Hukum waris, adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam
hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan
antara mereka dengan pihak ketiga". 13
Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat
rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada
umumnya para penulis hukum sependapat bahwa "Hukum waris itu
merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses
peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli
warisnya".

B. Sifat Hukum Waris


Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini
masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum
waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang
ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat
keseragaman.
Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan
bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem
kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada
sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan
garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum
setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.14 Untuk
mengetahui serta mengelaborasi perihal hukum waris di Indonesia,
sudah barang tentu terlebih dahulu perlu diketahui bentuk masyarakat
serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut
sistem keturunan yang dikenal itu.
13
A. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.
Terjemahan M.Isa Arief, Jakarta: Intermasa, 1979, h. 1.
14
M. Idris Ramulyo, Op.Cit, h. 155.

5
Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang
unik serta sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi
perbedaannya amat mencolok, selanjutnya dapat disimak dalam
paparan singkat berikut ini sekaligus pula dengan contoh lokasi
geografis lingkungan adatnya.
1. Sistem patrilineal / sifat kebapaan
Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis
keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki.
Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada masyarakat-
masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor,
dan Bali.15
2. Sistem matrilineal/ sifat keibuan
Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis
keturunan ibu dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari
nenek moyang perempuan. Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di
Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu Minangkabau.16
3. Sistem bilateral atau parental / sifat kebapak-ibuan.
Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik
melalui garis bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan
semacam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan
pihak ayah. Sistem ini di Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara
lain: di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan,
seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
Memperhatikan perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem
keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di
atas, kiranya semakin jelas jelas menunjukkan bahwa sistem hukum
warisnya pun sangat pluralistik. Kondisi tersebut sudah tentu sangat
menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut. Dari kajian saksama
itulah akan dapat dipahami betapa pluralisme hukum yang menghiasi

15
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, h. 10.
16
Ibid, h. 10.

6
bumi Indonesia ini masih sangat tampak dan akan terus ada bahkan
mungkin sampai akhir zaman, terutama dalam sistem hukum warisnya.
Namun demikian pluralistiknya sistem hukum waris di Indonesia
tidak hanya karena sistem kekeluargaan masyarakat yang beragam,
melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat Indonesia yang
juga dikenal sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran kalau sistem
hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam serta memiliki corak
dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan sistem kekeluargaan dari
masyarakat adat tersebut.
Melengkapi pluralistisnya sistem hukum waris adat yang
diakibatkan beraneka ragamnya masyarakat adat di Indonesia, dua sistem
hukum lainnya yang juga cukup dominan hadir bersama serta berlaku
terhadap masyarakat dalam wilayah hukum Indonesia. Kedua macam
sistem hukum waris yang disebut terakhir itu memiliki corak dan sifat
yang berbeda dengan corak dan sifat hukum waris adat. Sistem hukum
waris yang dimaksud adalah Hukum Waris Islam yang berdasar dan
bersumber pada Kitab Suci Al-Qur’an dan Hukum Waris Barat
peninggalan zaman Hindia Belanda yang bersumber pada BW (Burgerlijk
Wetboek).
Buku kecil ini penulis sajikan ke hadapan sidang pembaca dengan
segala kekurangannya, tidak lain kecuali dalam rangka memahami
pengaturan ketiga jenis sistem hukum waris yang bersumber pada
ketentuan yang berbeda-beda itu. Selanjutnya diharapkan akan dapat
memahami baik segi-segi perbedaannya maupun segi-segi persamaannya
dari masing-masing sistem hukum waris dimaksud. Setelah dipahami,
berikutnya diharapkan para pembaca akan dapat mengetahui dengan
sendirinya tentang hukum waris manakah yang seyogianya dan bahkan
semestinya diberlakukan kepada kita masing-masing. Tugas selanjutnya
adalah berupaya untuk memahami masing-masing ketentuan hukum waris
tersebut dalam mengatur kedudukan baik harta benda warisan, pewaris,
maupun para ahli waris; masing-masing menurut Hukum Waris Adat,

7
Hukum Waris Islam, maupun menurut Hukum Waris Barat yang
bersumber pada BW.

C. Aneka Ragam Hukum Waris


Tampaknya sampai kapan pun usaha ke arah unifikasi hukum
waris di Indonesia merupakan suatu upaya yang dapat dipastikan sulit
untuk diwujudkan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Satu di
antaranya seperti yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa
“...bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang
berada di luar "bidang-bidang yang bersifat "netral" seperti hukum
perseroan, hukum kontrak (perikatan), dan hukum lalu-lintas (darat, air
dan udara)".17 Dengan demikian, bidang hukum waris ini menurut kriteria
Mochtar Kusumaatmadja, termasuk "bidang hukum yang mengandung
terlalu banyak halangan, adanya komplikasi-komplikasi kultural,
keagamaan dan sosiologi".18
Di samping itu beliau juga menyadari bahwa terdapat beberapa
masalah dalam pelaksanaan konsepsi "hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat". Di Indonesia dimana undang-undang merupakan cara
pengaturan hukum yang utama, pembaharuan masyarakat dengan jalan
hukum berarti pembaharuan hukum terutama melalui perundang-
undangan.19 Hukum waris sebagai salah satu bidang hukum yang berada
di luar bidang yang bersifat netral kiranya sulit untuk diperbaharui dengan
jalan perundang-undangan atau kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi
hukum. Hal itu disebabkan upaya ke arah membuat hukum waris yang
sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan senantiasa
mendapat kesulitan, mengingat beranekaragamnya corak budaya, agama,

17
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional.
Bandung: Binacipta, 1976, h.14.
18
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional.
Bandung: Binacipta, 1975, h. 12.
19
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, h. 14.

8
sosial, dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai akibat dari keadaan masyarakat seperti dikemukakan di
atas, hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung
pada hukumnya si pewaris. Yang dimaksud dengan hukumnya si pewaris
adalah “hukum waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal
dunia”. Oleh karena itu, apabila yang meninggal dunia atau pewaris
termasuk golongan penduduk Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum
waris adat. Sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk
Eropa atau Timur Asing Cina, bagi mereka berlaku hukum waris Barat".20
Di lain pihak masih ada hukum yang juga hidup dalam masyarakat
yang berdasarkan kaidah-kaiadah agama, khususnya Islam (Al-Qur’an),
sehingga apabila pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang
beragama Islam, maka tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal
mereka akan mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum
waris Islam." Sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk
Timur Asing lainnya (seperti: Arab, Pakistan atau India), maka terhadap
mereka berlaku hukum adat mereka masing-masing".21
Bertolak dari uraian pendahuluan ini, paparan dalam Bab-Bab
selanjutnya akan berkisar pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam
masing-masing ketentuan hukum waris yang secara bersama-sama berlaku
di Indonesia. Dari prinsip-prinsip hukum waris Indonesia existing yang
pluralistik itulah kiranya dapat dipahami betapa sulitnya upaya untuk
menyatukan sistem hukum waris dalam bentuk Sistem Hukum Waris
Nasional Indonesia yang dicita-citakan (ius Constituendum).

20
Ny. Retnowulan Sutantio, Wanita dan Hukum. Bandung: Alumni, 1979, h. 84-85.
21
Ibid, h. 85.

9
2
A. Hukum Islam

1. Hukum waris dalam Al-Qur’an

Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan


hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah
Al-Qur’an dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah
Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad atau upaya para ahli hukum
Islam terkemuka. Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini akan
diuraikan beberapa ayat suci Al-Qur’an yang merupakan sendi utama
pengaturan warisan dalam Islam. Ayat-ayat tersebut secara langsung
menegaskan perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an,
masing-masing tercantum dalam surat An Nissa (Q.S. IV), surat Al-
Baqarah (Q.S. II), dan terdapat pula pada dalam surat Al-Ahzab (Q.S.
XXXIII).
Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan hukum waris dalam Al-
Qur’an, sebagian besar terdapat dalam surat An Nisaa (Q. S. IV) di
antaranya sebagai berikut:
a) Q.S. IV : 7- “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta sepeninggalan Ibu-Bapak, dan kerabatnya , dan
bagi wanita ada pula dari harta peninggalan Ibu-Bapak,
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah di tetapkan”. Dalam ayat ini secara tegas
Allah menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan merupakan ahli waris.
b) Q.S. IV : 11-“Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu; bagian

10
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan;12 dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua,13 maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-
bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak amempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Tentang
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah..
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. Dari ayat ini dapat diketahui tentang
bagian anak, bagian ibu dan bapa, di samping itu juga
diatur tentang wasiat dan hutang pewaris.
c) Q.S. IV : 12- “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari
harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang

12
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan karena kewajiban laki-laki lebih berat
dari perempuan, seperti kewajiban membayar mas kawin dan memberi nafkah
(lihat Surat An Nisaa ayat 34).
13
Lebih dari dua maksudnya: dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

11
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu...”. Di dalam ayat ini juga ditentukan secara
tegas mengenai bagian duda serta bagian janda.
d) Q.S. IV : 33-“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat,
Kami jadikan pewaris-pewarisnya.14...”. Secara rinci
dalam ayat 11 dan 12 surat An Nisaa di atas, Allah
menentukan ahli waris yang mendapat harta
peninggalan dari ibu-bapaknya, ahli waris yang
mendapat peninggalan dari saudara seperjanjian.
Selanjutnya Allah memerintahkan agar pembagian itu
dilaksanakan.
e) Q.S. IV : 176- “...Katakanlah: Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,
dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itudua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
atas) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. Ayat ini berkaitan dengan
masalah pusaka atau harta peninggalan kalalah, yaitu
seorang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan
ayah dan juga anak.

14
Lihat orang-orang yang termasuk ahli waris dalam ayat 11 dan 12 surat An Nisaa.

12
2. Warisan dalam Sistem Hukum Waris Islam
Wujud warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam
sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris barat
sebagaimana diatur dalam BW maupun menurut hukum waris adat.
Warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam yaitu “sejumlah
harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan
bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris
adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi
dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-
pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal
waris”.15
Wujud harta peninggalan menurut hukum perdata barat yang
tercantum dalam BW meliputi “seluruh hak dan kewajiban dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang”.16
Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak
hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau
keuntungan, melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang
merupakan pasiva dari harta kekayaan yang ditinggalkan, sehingga
“kewajiban membayar hutang pada hakikatnya beralih juga kepada
ahli waris”.17 Demikian pula dalam hukum adat, pembagian harta
warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang si peninggal
warisan dibayar. Artinya, harta warisan yang dapat beralih kepada para
ahli waris tidak selalu harus dalam keadaan bersih setelah dikurangi
hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli waris menerima
harta warisan yang di dalamnya tercakup kewajiban membayar
hutang-hutang pewaris. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan
oleh B. Ter Haar Bzn dalam bukunya, bahwa ”kewajiban-kewajiban
untuk membayar hutang yang ada atau yang timbul pada waktu
matinya atau karena matinya si peninggal warisan itu; akhirnya
15
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, h. 17.
16
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa. 1977, h. 78.
17
Wirjono Prodjodikoro,Op. Cit, h. 17.

13
termasuk juga bagian-bagian dari harta peninggalan walaupun sebagai
bagian negatif”.18 Selanjutnya, Ter Haar mengemukakan bahwa “ahli
waris bertanggung jawab atas hutang-hutang peninggal warisan
sepanjang mereka sudah mendapat laba dari pembagian harta
peninggalan itu, serta barang-barang warisan yang mereka terima
kiranya dapat mencukupi untuk membayar hutang-hutang itu”.19
Jadi apabila harta peninggalan pewaris tidak mencukupi, maka
hutang-hutang pewaris sebagian kadang-kadang dibiarkan tetap tidak
dibayar. Namun kenyataan dalam praktik di berbagai lingkungan
hukum adat di Indonesia menunjukkan keadaan yang berbeda sebab
walaupun harta peninggalan pewaris ternyata tidak mencukupi untuk
membayar hutang-hutangnya, akan tetapi hutang-hutang tersebut akan
dibayar lunas oleh para ahli waris tanpa memperhatikan jumlah harta
peninggalan pewaris. Hal ini umumnya didasarkan pada suatu
penghormatan kepada yang meninggal dunia, serta keyakinan bahwa
diharapkan pewaris dapat menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa
dengan tenang tanpa suatu beban yang akan dapat memberatkannya.

Sistem Hukum Waris Islam


Hazairin dalam bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Al-Qur’an” mengemukakan bahwa “sistem kewarisan Islam adalah
sitem individual bilateral”.20 Dikatakan demikian, atas dasar ayat-ayat
kewarisan dalam Al-Qur’an antara lain seperti yang tercantum masing-
masing dalam surat An Nissa (Q.S. IV) ayat 7, 8,11, 12, 33, dan ayat
176 serta setelah sistem kewarisan atau sistem hukum waris menurut
Al-Quran yang individual bilateral itu dibandingkan dengan sistem
hukum waris individual bilateral dalam masyarakat yang bilateral.
18
K.Ng. Soebakti Poesponoto, Op. Cit., ,h. 215.
19
Ibid, h. 217.
20
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Tintamas, TT, h.
14-15.

14
Hazairin juga mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri
atau spesifikasi sistem hukum waris Islam menurut Al-Qur’an, yaitu
sebagai berikut:
a) Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang
tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan
dalam sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu
tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin menjadi
ahli waris jika pewaris meninggal dunia tanpa
keturunan; mati punah.
b) Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada
kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak
bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang
tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya. Prinsip di
atas maksudnya ialah jika orang tua pewaris, dapat
berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila
dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh
dari anak-anaknya. Menurut sistem hukum waris di
luar Al-Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab
saudara si pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.
c) Bahwa suami-isteri saling mewaris; Artinya, pihak
yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak
lainnya.
Sistem kewarisan Islam menurut Al-Qur’an sesungguhnya
merupakan perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris
yang berlaku di negeri Arab sebelum Islam, dengan sistem
kekeluargaannya yang patrilineal. Pada dasarnya sebelum Islam telah
dikenal tiga prinsip pokok dalam hukum waris, yaitu:
(1) Anggota keluarga yang berhak mewaris pertama
adalah kaum kerabat laki-laki dari pihak bapak yang
terdekat atau disebut ashabah;

15
(2) Pihak perempuan dan anggota keluarga dari garis ibu,
tidak mempunyai hak waris;
(3) Keturunannya yaitu anak, cucu, canggah, pada
dasarnya lebih berhak mewaris dari pada leluhur
pewaris, yaitu, ayah, kakak, maupun buyutnya.
Setelah Islam datang, Al-Qur’an membawa perubahan dan
perbaikan terhadap ketiga prinsip di atas sehingga pokok-pokok
hukum waris Islam dalam Al-Qur’an sebagaimana ditentukan dalam
surat An-Nisaa ayat-ayat tersebut di atas.

3. Pewaris dan Dasar Hukum Mewaris.


Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-laki
maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun
hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat
maupun tanpa surat wasiat.
Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk
mendapat bagian harta peninggalan menurut Al-Qur’an yaitu:
a. Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam
(Q.S. An-Nisaa: 7, 11, 12, 33, dan 176).
b. Hubungan semenda atau pernikahan.
c. Hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh
Al-Qur’an bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris (Q.S.
Al-Ahzab: 6).
d. Hubungan kerabat karena sesama hijrah pada permulaan
pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah
(Q.S Al-Anfaal: 75).

4. Ahli waris dalam Islam


Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak
mendapat bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar golongan

16
ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan,
yaitu :
a) Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah di
tentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul faraa’idh.
b) Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut
ashabah.
c) Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam.

a) dzul Faraa’idh
“Yaitu ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an,
yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap
tertentu yang tidak berubah-ubah”.21 Adapun rincian masing-masing
ahli waris dzul faraa’idh ini dalam Al-Qur’an tertera dalam surat An-
Nisaa ayat 11, 12, dan 176 yang dielaborasi secara akademis oleh Th.
N. Juynboll dalam bukunya ”Hanleiding tot de kennis van den
Mohammedaansche School”. Sementara itu, Komar Andasasmita,
dengan mengutip buku karya Juynboll di atas, menguraikan jumlah
ahli waris menurut atau berdasarkan Al-Qur’an yang terdiri atas dua
belas jenis, yaitu :
(1) Dalam garis ke bawah:
1. (1) anak perempuan
2. (2) anak perempuan dari anak laki-laki (Q.S.IV : 11)
(2) Dalam garis ke atas:
3. (1) ayah
4. (2) ibu
5. (3) kakek dari garis ayah
6. (4) nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S.
IV : 11).
(3) Dalam garis ke samping:

21
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968, h. 38.

17
7. (1) Sauadara perempuan yang seayah dan seibu dari garis
ayah.
8. (2) Saudara perempuan tiri (halfzuster) dari garis ayah
(Q.S. IV : 176)
9. (3) Saudara lelaki tiri (halfbroeder) dari garis ibu (Q.S.
IV : 12)
10. (4) Saudar perempuan tiri (halfzuster) dari garis ibu
(Q.S. IV : 12)
(4). 11. Duda
(5). 12. Janda (Q.S. IV : 12)

b) Ashabah
Ashabah dalam bahasa Arab berarti “Anak lelaki dan kaum
kerabat dari pihak bapak”.22 Ashabah menurut ajaran kewarisan
patrilineal Sjafi’i adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian
terbuka atau bagian sisa. Jadi bagian ahli waris yang terlebih dahulu
dikeluarkan adalah dzul faraa’idh, yaitu bagian yang telah ditentukan
di dalam Al-Qur’an, setelah itu sisanya baru diberikan kepada
ashabah. Dengan demikian, apabila ada pewaris yang meninggal tidak
mempunyai ahli waris dzul faraa’idh (ahli waris yang mendapat
bagian tertentu), maka harta peninggalan diwarisi oleh ashabah. Akan
tetapi jika ahli waris dzul faraa’idh itu ada maka sisa bagian dzul
faraa’idh menjadi bagian ashabah.
Ahli waris ashabah ini menurut pembagian Hazairin dalam
bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an,”
dinamakan ahli waris bukan dzul faraa’idh, yang kemudian beliau
membagi ahli waris ashabah menjadi tiga golongan yaitu ”ashabah
binafsihi, ashabah bilghairi, dan ashabah ma’al ghairi”.23 Ashabah-

22
M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h. 26.
23
Hazairin, Op. cit., h. 15.

18
ashabah tersebut menurut M. Ali Hasan dalam bukunya “Hukum
Warisan dalam Islam”, 24 terdiri atas:
(1) Ashabah binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang berhak
mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya
sebagai berikut:
1. Anak laki-laki;
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
asal saja pertaliannya masih terus laki-laki;
3. Ayah;
4. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja
pertaliannya belum putus dari pihak ayah;
5. Saudara laki-laki sekandung;
6. Saudara laki-laki seayah;
7. Anak saudara laki-laki sekandung;
8. Anak saudara laki-laki seayah;
9. Paman yang sekandung dengan ayah;
10. Paman yang seayah dengan ayah;
11. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah;
12. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah.
(2) Ashabah bilghairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain,
yakni seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik
oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam ashabah
bilghairi ini adalah sebagai berikut:
1. Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-
laki;
2. Saudara perempuan yang didampingi oleh saudara
laki-laki.

24
M. Ali Hasan, Op., Cit., h. 27.

19
(3) Ashabah ma’al ghairi yakni saudara perempuan yang
mewaris bersama keturunan dari pewaris, mereka itu adalah:
1. Saudara perempuan sekandung, dan
2. Saudara perempuan seayah.

c) dzul Arhaam
Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan
darah dengan pewaris melalui puhak wanita saja”.25 Hazairin dalam
bukunya “Hukum Kewarisan Bilateral” memberikan perincian
mengenai dzul arhaam, yaitu: “semua orang yang bukan dzul
faraa’idh dan bukan ashabah, umumnya terdiri atas orang yang
temasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki
atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga
pihak ayah dan ibu”.26
Sajuti Thalib dalam bukunya menguraikan pula tentang dzul
arhaam, antara lain cucu melalui anak perempuan, menurut kewarisan
patrilineal tidak menempati tempat anak, tetapi diberi kedudukan
sendiri dengan sebutan dzul arhaam atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dengan pewaris, tetapi telah agak jauh. Akibat dari
pengertian ini maka dzul arhaam mewaris juga, tetapi telah agak di
belakang. Artinya, dzul arhaam akan mewaris kalau sudah tidak ada
dzul faraa’idh dan tidak ada pula ashabah. Selain cucu melalui anak
perempuan, yang dapat digolongkan sebagai dzul arhaam adalah
anggota keluarga yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang
wanita.

5. Bagian masing-masing ahli waris dzul faraa’idh


Di antara ahli waris yang ditentukan bagiannya di dalam Al-
Qur’an hanya ahli waris dzul faraa’idh, sehingga bagian mereka
25
Sajui Thalib, Op., Cit., h. 15.
26
Hazairin, Op. Cit., h. 15.

20
selamanya tetap tertentu dan tidak berubah-ubah. Berbeda halnya
dengan para ahli waris lain yang bukan dzul faraa’idh, seperti ahli
waris ashabah dan dzul arhaam. Bagian mereka yang disebut terakhir,
merupakan sisa setelah dikeluarkan hak para ahli waris dzul faraa’idh.
Adapun bagian tetap para ahli waris dzul faraa’idh secara terrinci
dapat disimak lebih lanjut dalam uraian dibawah ini:
a. Mereka yang mendapat ½ dari harta peninggalan terdapat lima
golongan.
1. seorang anak perempuan bila tidak ada anak laki-laki.
(Q.S. IV : 11);
2. seorang anak perempuan (dari anak laki-laki), bila tidak
ada cucu laki-laki, anak perempuan;
3. seorang saudara perempuan kandung, bila tidak ada
saudara laki-laki (Q.S. IV : 176);
4. seorang saudara perempuan seayah, bila tidak ada
saudara laki-laki (Q.S. IV : 176);
5. suami bila isteri yang meninggal tidak meninggalkan
anak atau cucu (Q.S. IV: 12).
b. Mereka yang mendapat ¼ bagian dari harta peninggalan
terdapat dua golongan:
1. Suami, bila isteri yang meninggal mempunyai anak atau
cucu (Q.S. IV : 12);
2. Isteri, bila suami yang meninggal tidak meninggalkan
anak atau cucu. (Q.S. IV : 12).
c. Ahli waris yang mendapat ¼ dari harta peninggalan hanya
satu golongan, yaitu:
1. Isteri, bila suami yang meninggal dengan meninggalkan
anak atau cucu. (Q.S. IV : 12)

21
d. Ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan,
27
hanya isteri (zaujah), baik seorang ataupun lebih. Bagian
ini akan diperoleh isteri apabila suaminya yang meninggal
dunia meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan (Q.S. IV :12). Demikian pula jika suaminya itu
meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun
perempuan.
e. Ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan ada
dua golongan, yaitu:
1. Ibu, bila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau
cucu, atau dua orang saudara atau lebih. (Q.S. IV: 11);
2. Dua orang atau lebih saudara seibu baik laki-laki
maupun perempuan, dengan pembagian yang sama.
f. Ahli waris yang memperoleh bagian dari harta peninggalan
terdapat 4 (empat) golongan:
1. Dua orang atau lebih anak perempuan, bila tidak ada
anak laki-laki (Q.S. IV :11);
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih, dari anak laki-
laki bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan;
3. Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, bila
tidak ada saudara laki-laki. (Q.S. IV :176);
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bila
ada saudara laki-laki. (Q.S. IV :176).
g. Para ahli waris yang meninggal memperoleh 1/6 dari harta
peninggalan, terdapat tujuh golongan :
1. Ibu, jika yang meninggal dunia meninggalkan anak,
cucu, dua atau lebih saudara. (Q.S. IV :11);
2. Ayah, jika yang meninggal dunia mempunyai anak atau
cucu ( Q.S. IV : 11);
27
H.Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Attahiryah, Cetakan Ketujuh
belas. 1976. h. 338; Bdgk. A. Shohibul Munir, Ilmu Faraidh (Tanatun Nawahidh).
Bandung : PT. Alma’arif. Cetakan kedua 1984, h. 18.

22
3. Nenek, ibu dari ibu-bapak;
4. Seorang cucu perempuan, dari anak laki-laki,
bersamaan dengan anak perempuan (H.R. Buchari);
5. Kakek, bapak dari bapak, bersamaan dengan anak atau
cucu, bila ayah tidak ada;
6. Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan. (Q.S.
IV :12);
7. Saudara perempuan, seorang atau lebih bersamaan
dengan saudara kandung.

6. Kelompok keutamaan ahli waris menurut Al-Qur’an


Dalam sistem hukum waris Islam menurut Al-Qur’an yang
merupakan sistem hukum waris bilateral, di samping dikenal adanya
ahli waris dzul faraa’idh yang bagiannya tetap, tertentu serta tidak
berubah-ubah berdasarkan ketetapan yang ada di dalam Al-Qur’an,
juga terdapat ahli dari waris ashabah dan ahli waris dzul arhaam.
Kedua macam ahli waris tersebut memperoleh bagian sisa dari harta
peninggalan setelah dikurangi hutang-hutang pewaris termasuk
ongkos-ongkos biaya kematian, wasiat, dan bagian para ahli waris dzul
faraa’idh.
Di samping itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para
ahli waris, yaitu “ahli waris yang didahulukan untuk mewaris”28 dari
kelompok ahli waris lainnya. Mereka yang menurut Al-Qur’an
termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris atau disebut
dengan “kelompok keutamaan”29 terdiri atas empat macam, yaitu:

28
Sajuti Thalib, Op. Cit., h. 68.
29
Hazairin, Op. Cit., h. 33.

23
a. Keutamaan pertama, yaitu:
1) Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris
pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia;
2) Ayah, ibu, dan duda atau janda, bila tidak terdapat anak.
b. Keutamaan kedua:
1) Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli
waris pengganti kedudukan saudara;
2) Ayah, ibu, dan janda atau duda, bila tidak ada saudara.
c. Keutamaan ketiga:
1) Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah
satu, bila tidak ada anak dan tidak ada saudara;
2) Janda atau duda.
d. Keutamaan keempat:
1) Janda atau duda;
2) Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris
pengganti kedudukan ayah.

7. Ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak mendapat


warisan

Di antara ahli waris ada yang tidak patut dan tidak berhak
mendapat bagian waris dari pewarisnya karena beberapa penyebab,
yaitu:
a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat
warisan dari keluarga yang dibunuhnya;
b. Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari
keluarganya yang beragama Islam, demikian pula sebaliknya;
c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga
yang beragama Islam.
Orang-orang yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti
yang disebutkan di atas, apabila ternyata telah berpura-pura dan

24
menguasai sebagian atau seluruh harta peninggalan pewaris, maka dia
berkewajiban mengembalikan seluruh harta yang dikuasainya.
“Tidak patut dan tidak berhak mendapat warisan” berbeda
dengan “penghapusan hak waris” atau “hijab,” karena yang
menyebabkan timbulnya dua persoalan itu pun berbeda. Hal tersebut
dapat terlihat dalam tabel di bawah ini.

Tidak patut dan tidak berhak Penghapusan hak waris


mewaris

1. Disebabkan tindakan melawan 1. Karena ada ahli waris yang


hukum. mewaris bersama-sama dia,
Contohnya: Orang yang sehingga bagian warisnya
membunuh pewaris dengan dikurangi.
sengaja. Contohnya: ibu memperoleh 1/6
bagian jika mewaris bersama
anak atau cucu atau beberapa
saudara..
2. Disebabkan berlainan agama 2. Karena ada ahli waris yang lebih
dengan pewaris yang beragama dekat hubungan dengan orang
Islam. yang meninggal (pewaris).
Contohnya: ahli waris yang Contohnya: cucu laki-laki tidak
murtad atau kafir. mendapat bagian selama
ada anak laki-laki.

B. Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek/BW)

1. Hukum waris menurut BW

Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat yang


bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan.
Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta
kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak
dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul
dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula
halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum
keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.

25
Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan
hukum waris yang diberikan oleh Pitlo di bawah ini, rumusan tersebut
menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari
kenyataan, yaitu :
“Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur
hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu
mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati
dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan
mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak
ketiga”.30

Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah


sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal
dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva.
Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang
kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena
kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi
tiga persyaratan, yaitu :
a. ada seseorang yang meninggal dunia;
b. ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan
memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
c. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa
“apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak
dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”.31 Hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah
sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya
hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain
“adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewktu-

30
A. Pitlo, Op. Cit., h. 1.
31
R. Subekti, Op. Cit., h. 79.

26
waktu menuntut pembagian dari harta warisan”.32 Ini berarti, apabila
seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan
pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang
lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:
a. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta
peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta
benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di
antara para ahli waris yang ada;
b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut
walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat
saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;
d. Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat
selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih
dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang pemisahan harta
peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa sistem
hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari
hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya hukum
waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan seorang
pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas
harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih
dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.

2. Warisan dalam sistem hukum waris BW


Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut
kedua sistem hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta
peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam
keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang
pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh

32
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., h. 12.

27
meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli
waris menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benar-
benar hak mereka yang bebas dari tuntutan kreditur pewaris.
Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber
pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan
kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan
yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap ketentuan
tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak
dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus
dilakukan bersifat pribadi;
c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk
maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab
perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang
anggota/persero.
Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang
walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi
dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan
sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut
BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika
itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam
pasal 833 ayat (1) BW, yaitu “sekalian ahli waris dengan sendirinya
karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak,
dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan
kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut

28
“saisine”.33 Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu: ahli waris
memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia
tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli
waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun
harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan,
sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan
“kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih
dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya,
dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau
asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan
dalam pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan
sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan
untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW
mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan
“macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris. Dalam hukum
adat jika seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah harta,
harta peninggalan tersebut senantiasa ditentukan dahulu, mana yang
termasuk harta asal yang dibawa salah satu pihak ketika menikah dan
mana yang termasuk harta gono-gini, yaitu harta yang diperoleh
bersama suami-istri selama dalam perkawinan. Sedangkan sistem BW,
tidak mengenal hal tersebut, melainkan sebaliknya yaitu harta asal
yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang
diperoleh selama dalam perkawinan digabungkan menjadi satu
kesatuan bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli
warisnya.

3. Pewaris dan dasar hukum mewaris


Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki
maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan

33
Lihat R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1977, h. 79.

29
maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun
tanpa surat wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta
pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
a. menurut ketentuan undang-undang;
b. ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).34
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan
kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-
undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan
kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika
ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya
maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan
perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi
harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat
wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah “suatu pernyataan tentang
apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”.35 Sifat utama surat
wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat
wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali.
Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih
dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat
meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun
ditarik kembali oleh siapa pun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya
dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian
dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian

34
R. Subekti, Op. Cit., h. 78.
35
Ibid., h. 88.

30
ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi,
pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak
bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab
intestato.

4. Ahli waris menurut sistem BW


Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi
ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah
atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau
ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat
golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah,
meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami
atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama.
Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini
baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan
sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi
orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan,
serta keturunan mereka.
Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa
bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian
dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-
sama saudara pewaris;
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris;
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan
perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada
ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka

31
akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus
ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi
derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli
waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab
ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau
beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian
dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-
undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli
waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban
dari pewaris.
Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan
ahliwaris yang manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris
menurut undang-undang atau ahli waris menurut surat wasiat?
Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam BW
tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan
adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa
peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat
wasiat agar tidak sekehendak hatinya.
Ketentuan yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi
seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris
menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi pasal
881 ayat (2), yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris atau
pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh
merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian
mutlak”.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “legitime
portie”36 ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka
adalah para ahli waris dalam garis lurus ke atas maupun dalam garis
36
Legitime portie, yaitu: suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat
dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Lihat, R. Subekti, Op. Cit., h.
93.

32
lurus ke bawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta
peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, R. Subekti, mengemukakan
dalam bukunya, bahwa “peraturan mengenai legitime portie oleh
undang-undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan
seseorang untuk membuat wasiat atau testamen menurut sekehendak
hatinya sendiri”.37
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seseorang yang akan
menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi
syarat-syarat, sebagai berikut:
a) Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW);
b) Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat
pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti
mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak yang
ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai
telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak
menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia
dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi
dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum
sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris;
c) Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris,
dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai
seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak
dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris
diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan
sikap terhadap suatu harta warisan. Ahli waris diberi hak untuk
berfikir selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan sikapnya
apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia
menerima warisan dengan syarat yang dinamakan “menerima warisan

37
R. Subekti, Op. Cit., h. 94.

33
secara beneficiaire”,38 yang merupakan suatu jalan tengah antara
menerima dan menolak warisan.
Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna
menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi
kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama
empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka waktu yang ditetapkan
undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga
kemungkinan, yaitu:
a. Menerima warisan dengan penuh;
b. Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak
akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang
melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan
istilah ”menerima warisan secara beneficiaire”;
c. Menolak warisan.
Baik menerima maupun menolak warisan, masing-masing
memiliki konsekuensi sendiri-sendiri terhadap ahli waris. Untuk
memahami konsekuensi dimaksud, di bawah ini akan diuraikan akibat-
akibat dari masing-masing pilihan yang dilakukan oleh ahli waris,
yaitu sebagai berikut:

(1) Akibat menerima secara penuh;


Ahli waris atau para ahli waris yang menerima warisan
secara penuh, baik secara diam-diam maupun secara tegas
bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban yang
melekat pada harta warisan. Artinya, ahli waris harus
menanggung segala macam hutang-hutang pewaris. Penerimaan
warisan secara penuh yang dilakukan dengan tegas yaitu melalui

38
Akibat terpenting dari menerima warisan secara beneficiaire adalah bahwa kewajiban
si waris untuk melunasi hutang-hutangnya dan beban-beban lainnya dibatasi
sedemikian rupa bahwa pelunasan itu hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan,
sehingga si waris itu tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang itu dengan
kekayaan sendiri. Lihat R. Subekti, Op. Cit., h. 85-86.

34
akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan penerimaan
secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan cara
mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya
penerimaan secara penuh.

(2) Akibat menerima warisan secara beneficiaire;


(a) seluruh warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli
waris;
(b) ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran hutang-
hutang pewaris dengan kekayaan sendiri sebab pelunasan
hutang-hutang pewaris hanya dilakukan menurut
kekuatan harta warisan yang ada;
(c) tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara harta
kekayaan ahli waris dengan harta warisan.
(d) Jika hutang-hutang pewaris telah dilunasi semuanya dan
masih ada sisa peninggalan, maka sisa itulah yang
merupakan bagian ahli waris.

(3) Akibat menolak warisan


Ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah
menjadi ahli waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari
pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh anak-
anaknya yang masih hidup. Menolak warisan harus dilakukan
dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan negeri
wilayah hukum tempat warisan terbuka. Penolakan warisan
dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak meninggalnya pewaris.
Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara
beneficiaire atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta
peninggalan, mempunyai beberapa kewajiban yaitu:

35
(a) wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan
dalam waktu empat bulan setelah ia menyatakan
kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri;
(b) wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya;
(c) wajib membereskan urusan waris dengan segera;
(d) wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur
benda bergerak maupun kreditur pemegang hipotik;
(e) wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh
kreditur pewaris, maupun kepada orang-orang yang
menerima pemberian secara “legaat”;
(f) wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal
melalui surat kabar resmi.

Pengertian Legaat 39
R. Subekti, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata”
menerangkan pengertian legaat yaitu suatu pemberian kepada
seseorang yang bukan ahli waris melalui surat wasiat, berupa :
(1) satu atau beberapa benda tertentu;
(2) seluruh benda dari satu macam atau satu jenis, misalnya
memberikan seluruh benda bergerak;
(3) hak memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan;
(4) sesuatu hak lain terhadap harta peninggalan.
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris, karena ia
bukan ahli waris maka ia tidak diwajibkan membayar hutang-hutang
pewaris, ia hanya mempunyai hak untuk menuntut legaat yang
diberikan kepadanya.

5. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW


Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan
ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya,

39
R. Subekti, Op. Cit., h. 88.

36
apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan
seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika
golongan pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan
kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian
masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
a) Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga
dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta
keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling
lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama.
Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka
masing-masing mendapat 1/5 bagian.
Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih
dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang
anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi
di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya
yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga
masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian.
Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris
hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka
cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih
ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih
dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anak-
anaknya atau cucu pewaris.
b) Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga
dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta
saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan
mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun
sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian
yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa
diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼
bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga

37
orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan
ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼
bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari
harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara,
masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian.
Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia,
yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai
berikut:
- ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia
mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-
laki maupun perempuan, sama saja;
- bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris
bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia
mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih
saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan
seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih
ada.

Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu


ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan
pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua,
bagian yang satu bagian saudara seibu.
Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di
samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu
diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c) Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan
leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris
sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama
maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta
warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving).
Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak

38
keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang
separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari
pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh
hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris
untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari
pancer ibu harus diberikan kepada nenek.
d) Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga
dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila
pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga
sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh
dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudara-
saudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau
saudara senenek dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli
waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh
kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula
sebaliknya.
Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila ahli
waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak
ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik
negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang
peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara
lain diatur sebagai berikut :
- dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di uar
perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak yang sah
serta janda atau duda yang hidup paling lama;
- ½ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar
perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli waris
golongan kedua dan golongan ketiga;

39
- ¾ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar
perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris golongan
keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat
keenam.
- ½ dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersama-
sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi
kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir di
luar nikah bukan ¾, sebab untuk ahli waris golongan
keempat ini sebelum warisan dibuka terlebih dahulu diadakan
kloving/ dibagi dua, sehingga anak yang lahir di luar nikah
akan memperoleh ¼ dari bagian anak sah dari separoh
warisan pancer ayah dan ¼ dari bagian anak sah dari separoh
warisan pacer ibu, sehingga menjadi ½ bagian. Apabila
pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai
derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir di
luar nikah, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada
tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagai ahli waris
satu-satunya.
Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua
yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat
hubungan kekeluargaannya, menurut sistem BW sama sekali
tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak-anak
tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah
untuk hidup seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).

6. Peran Balai Harta Peninggalan dalam pembagian


warisan

Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun


ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun
yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta
warisan yang tidak terurus.

40
Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim,
Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut.
Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri
setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta
peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh
hakim.
Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan Balai Harta
Peninggalan dalam tugasnya mengurus harta warisan yang tak terurus
meliputi :
a) wajib membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan
harta peninggalan, yang didahului dengan penyegelan
barang-barang;
b) wajib membereskan warisan, dalam arti menagih piutang-
piutang pewaris dan membayar semua hutang pewaris.
Apabila diminta oleh pihak yang berwajib, Balai Harta
Peninggalan juga wajib memberikan pertanggung jawaban;
c) wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada
melalui surat kabar atau panggilan resmi lainnya.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat
terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka,
Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban atas
pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan
diwarisi dan menjadi hak milik negara.

7. Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan


Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan
seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena kematian,
yaitu sebagai berikut:
a) seorang ahli warais yang dengan putusan hakim telah
dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidak-
tidaknya mencoba membunuh pewaris;

41
b) seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana
karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewaris
bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam
pidana penjara empat tahun atau lebih;
c) ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata
menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau
menarik kembali surat wasiat;
d) seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan,
dan memalsukan surat wasiat.
Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut itu menguasai
sebagian atau seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai
ahli waris, ia wajib mengembalikan semua yang dikuasainya termasuk
hasil-hasil yang telah dinikmatinya.

42
3
A. Sistem Kekeluargaan dan Hukum Adat Waris

Seperti telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan


salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia.
Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat
bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang
terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem
keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki
kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda,
yaitu:
Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem
ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum
waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak.
Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak
perempuam yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang
kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami,
selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya
yang meninggal dunia.
Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik
garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam
sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris
untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari
garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka
merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan
ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri,
contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.

43
Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau yang
sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut
sudah banyak berubah.
Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis
keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari
pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan
perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya,
baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli
waris dari harta peninggalan orang tua mereka.
Dari ketiga sistem keturunan di atas, mungkin masih ada variasi
lain yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya,
"sistem patrilineal beralih-alih (alternerend) dan sistem unilateral
berganda (dubbel unilateral)".40 Namun tentu saja masing-masing
sistem memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem
yang lainnya.
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di
atas, jelas bagi kita bahwa hukum adat waris di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada
masyarakat yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut.
Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya "Beberapa Segi Hukum
Adat Waris Bali" yang dimuat dalam Majalah Hukum Nomor 2
mengemukakan, antara lain:
"...masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan
pembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena sistem
kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuan
aturan-aturan tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yang
dianut tidak kalah pentingnya pula dalam penentuan aturan-aturan
tentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum
adat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adat
kekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi dalam

40
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1981, h. 284.

44
pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga
memakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak".41

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh


terhadap pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan
ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat
waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :
a. Sistem kewarisan individual yaitu sistem kewarisan yang
menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara
perorangan, misalnya di: Jawa, Batak. Sulawesi, dan lain-
lain;
b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan
bahwa para ahli waris mewaris harta peninggalan secara
bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang di
warisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada
masing-masing ahli waris. Contohnya "harta pusaka” di
Minangkabau dan "tanah dati” di semenanjung Hitu Ambon;
c. Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang
menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi
oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:
(1) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/
sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris
tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung;
(2) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua
merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya
pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

41
Tjokorda Raka Dherana, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali; Majalah Hukum
No. 2 Tahun Kedua, Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law
Center), 1975, h. 101.

45
Hazairin, di dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Soerjono
Soekanto, menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut di atas bila
dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, yaitu :
"Sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum
kewarisan tidak perlu langsung menunjukan kepada bentuk
masyarakat di mana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem
kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam
masyarakat yang bilateral, tetapi juga dapat dijumpai dalam
masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Malahan di Tanah
Batak, di sana sini mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan sistem
kolektif yang terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu, selain
dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih, di Tanah Semendo
dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan
Barat. Sedangkan sistem kolektif dalam batas-batas tertentu
malahan dapat pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral
seperti di Minahasa Sulawesi Utara".42

Memperhatikan pendapat Hazairin di atas, ternyata tidak mudah


bagi kita untuk menentukan dengan pasti dan tegas bahwa dalam suatu
masyarakat tertentu dengan sistem kekeluargaan yang berprinsip
menarik garis keturunan, memiliki sistem hukum adat waris yang
mandiri yang berbeda sama sekali dengan sistem hukum adat waris
pada masyarakat lainnya. Namun tidak demikian halnya sebab
mungkin saja sistem kekeluargaannya berbeda, sedangkan sistem
hukum adat warisnya memiliki unsur-unsur kesamaan. Oleh karena
itu, sebagai pedoman di bawah ini akan dipaparkan tiga besar sistem
hukum adat waris yang sangat menonjol yang erat kaitannya dengan
sistem kekeluargaan, sehingga akan dapat diketahui mengenai sistem
hukum adat warisnya yang ada pada sistem kekeluargaan tersebut.
Secara teoretis di Indonesia sesungguhnya di kenal banyak
ragam sistem kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara
umum yang dikenal sangat menonjol dalam percaturan hukum adat
ada tiga corak, yaitu: (1) Sistem patrilineal, dengan contoh yang sangat

42
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1981, h. 286.

46
umum yakni Tanah Batak; (2) Sistem matrilineal, dengan contoh
daerah Minangkabau, dan (3) Sistem parental, yang dikenal luas yakni
Jawa. Untuk itu, paparan di bawah ini pun akan dibatasi hanya
mengenai hukum adat waris yang dikenal di dalam ketiga sistem
kekeluargaan tersebut di atas.

B. Sistem Kekeluargaan Patrilineal

1. Hukum Adat Waris Patrilineal


“Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam
masyarakat Batak Karo, hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli
waris, karena anak perempuan di luar dari golongan patrilinealnya
semula, sesudah mereka itu kawin”.43 Selanjutnya secara terperinci
perihal hukum adat waris patrilineal dalam masyarakat Batak Karo ini,
diuraikan oleh Djaja S. Meliala, dan Aswin Peranginangin, dalam
bukunya “Hukum Perdata Adat Karo dalam rangka Pembentukan
Hukum Nasional”.
Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi
sistem hukum adat waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan
laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang
meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak
mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang
rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan
dalam masyarakat Batak pada umumnya”.44 Titik tolak anggapan
tersebut, yaitu :
a. Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa
perempuan dijual;

43
Djaja S. Meliala & Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka
Pembentukan Hukum Nasional. Bandung: Tarsito, 1978, h. 54.
44
Ibid., h. 65.

47
b. Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan
diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal;
c. Perempuan tidak mendapat warisan;
d. Perkataan “naki-naki” menunjukkan bahwa perempuan
adalah makhluk tipuan, dan lain-lain.
Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya
menunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti
dalam cerita dan dalam kesusasteraan klasik Karo kaum wanita tidak
kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.45 Meskipun
demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada
masyarakat Karo, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai
berikut:
(1) Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan
tidak dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);
(2) Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak
memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam
keluarga (marga) suaminya;
(3) Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya)
sebab ia masuk anggota keluarga suaminya;
(4) Dalam adat, kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga
sebagai orang tua (ibu);
(5) Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-
anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak
merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta-
benda.
Di dalam masyarakat Karo, seperti juga masyarakat yang
memiliki sistem kekerabatan yang sama, apabila anak perempuan
sudah menikah, ia dianggap tergolong kelompok suaminya. Dalam
masyarakat Karo, anak perempuan yang sudah kawin menjadi
golongan anak beru, seperti halnya dengan suaminya dan saudara-
saudaranya yang semarga. Sehubungan dengan itu, hanya anak laki-
45
Ibid., h. 66.

48
laki yang akan menerima warisan dari orang tuanya dan di sini
menunjukkan, bahwa kaum wanita Karo mempunyai harga diri yang
cukup besar serta mempunyai sifat mampu berdiri sendiri yang
mengagumkan. Meskipun demikian tidak berarti bahwa hak-hak kaum
wanita pada masyarakat yang mempunyai sistem patrilineal menjadi
tertekan sebab menurut cerita kuno masyarakat Karo, sudah sangat
banyak peranan yang dimainkan oleh kaum wanita Karo di segala
bidang sejak dulu. Oleh karena itu, tidaklah beralasan jika memandang
kaum wanita dalam masyarakat yang bersistem patrilineal secara
apriori lebih rendah daripada masyarakat lain yang bersistem
matrilineal dan bilateral.
Peranan kaum wanita Karo sejak dahulu sudah dapat terlihat di
dalam masyarakat baik dalam lapangan keagamaan, lapangan
ekonomi, pertanian, perdagangan, dan juga banyak wanita Karo yang
dengan gagah berani telah menunjukkan jiwa kepahlawanannya.
Demikian pula dalam hal perundingan-perundingan adat, sering sekali
suara seorang perempuan justru menentukan, atau paling tidak sangat
mempengaruhi keputusan, baik dalam hal perkara perdata maupun
dalam perkara pidana. Akan tetapi walau bagaimana pun masalah
tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dalam pergaulan di
masyarakat, dapatlah kiranya dilihat dari peranan yang dipegangnya di
dalam masyarakat. Selain itu sistem sosial suatu masyarakat juga
sangat menentukan sejauh mana wanita diberi kesempatan untuk
melaksanakan peranannya.
Berkaitan dengan hal di atas, maka dalam mempelajari hukum
adat waris patrilineal di Tanah Karo, hendaknya masalah status hak
dan kewajiban seorang wanita jangan ditinjau terlepas dari
masyarakat, adat istiadat, dan norma-norma yang berlaku di dalam
sistem sosialnya.

49
2. Pewaris, ahliwaris, dan pembagian harta pusaka
Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah
seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta
kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun
harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku Karo yang
memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua
merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak
laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuannya. Akan tetapi
anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada anak
perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada
prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-
bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan
orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-
anaknya.
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di
Tanah Patrilineal, terdiri atas:
a) Anak laki-laki
Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi
seluruh harta kekayaan. baik harta pencaharian maupun harta
pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara
para ahli waris. Misalnya pewaris mempunyai tiga orang
anak laki-laki, maka masing-masing anak laki-laki akan
mendapat bagian dari seluruh harta kekayaan termasuk
harta pusaka. Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-
laki, yang ada hanya anak perempuan dan isteri, maka harta
pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan
maupun oleh isteri seumur hidupnya, setelah itu harta
pusaka kembali kepada asalnya atau kembali kepada
"pengulihen".
b) Anak angkat
Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris

50
yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun
anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta
pencaharian/harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan
untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.
c) Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung si
pewaris. Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak
angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah
dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang
mewaris bersama-sama.
d) Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun
saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris
tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah
keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e) Persekutuan adat
Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali
tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan
adat.
Ketentuan hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwa
hanya keturunan laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta
pusaka.Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat yaitu
barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian-
pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini
adalah barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa
kesain, yaitu "bagian dari kampung secara fisik".46 Barang-barang
adat meliputi: tanah kering (ladang), hutan, dan kebun milik kesain.
Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo
tempat menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahan
untuk pembangunan, seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang

46
Soerjono Soekanto, Kamus Hukum Adat. Bandung : Alumni, 1978, h. 121.

51
dihasilkan hutan marga atau kesain.
Proses penyerahan barang-barang harta benda kekayaan
seseorang kepada turunannya, seringkali sudah dilakukan ketika orang
tua (pewaris) masih hidup. Pembagian yang dilakukan secara
kerukunan itu terjadi di depan anak beru, senina, dan kalimbubu.
Kadang-kadang pembagian itu juga dihadiri oleh penghulu (Kepala
Desa) untuk menambah terangnya pembagian tersebut. Apabila
pembagian dilakukan setelah pewaris meninggal dunia, maka perlu
diperhatikan, bahwa walaupun pada dasarnya semua anak laki-laki
mempunyai hak yang sama terhadap harta peninggalan orang tuanya,
namun pembagian itu harus dilakukan dengan sangat bijaksana sesuai
dengan kehendak/pesan pewaris sebelum meninggal dunia. Apabila
dalam pembagian itu terjadi sengketa, maka anak beru dan senina
mencoba menyelesaikannya melalui musyawarah.
Apabila seorang ayah sebagai pewaris meninggal dunia dengan
meninggalkan isteri lebih dari satu, misalnya mempunyai dua orang
anak dari isteri pertama dan tiga orang anak dari isteri kedua, maka
pembagiannya ada dua cara, yaitu:
(1) Dahulu cara pembagian harta peninggalan dalam keadaan
semacam ini didasarkan pada banyaknya isteri, sehingga
dalam contoh di atas cara pembagiannya adalah menjadi ½
bagian untuk dua orang anak dari isteri pertama dan ½
bagian lagi untuk tiga orang anak dari isteri kedua;
(2) Setelah adanya musyawarah kepala-kepala adat Tanah Karo,
cara pembagian semacam di atas berubah menjadi atas dasar
jumlah anak laki-laki yang masing-masing akan memperoleh
bagian yang sama besar, sehingga dalam contoh di atas
masing-masing akan memperoleh 1/5 bagian.
Berkaitan dengan.hukum adat waris Tanah Karo yang hanya
mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan
Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No.179 K/Sip/l961 telah

52
terjadi upaya ke arah proses persamaan hak antara kaum wanita dan
kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan Mahkamah
Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula
pihak-pihak yang justeru menyetujui hal tersebut.
Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah
Agung dalam putusan tersebut di atas, antara lain:
(1) "Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut
berdasarkan atas anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap
ber1aku selaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak
perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan
yang ditinggalkan oleh orang tuanya";
(2) "Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain
atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas
hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam
beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap
sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal
warisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti,
bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan";
(3) "Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari
Mahkamah Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang
anak perempuan harus dianggap ahli waris yang berhak
menerima bagian warisan dari orang tuanya".
Terhadap pertimbangan putusan Mahkamah Agung di atas,
ternyata tidak sedikit komentar dan tanggapan yang antara lain
dikemukakan oleh Djaja S. Meliala dkk, sebagai berikut:
(a) "Lazimnya suatu perubahan hukum dilaksanakan atas
pertimbangan, bahwa hukum yang lama tidak sesuai lagi
dengan perasaan keadilan masyarakat tempat hukum itu
berlaku. Sebagai contoh hukum waris kolonial dirombak dan
disesuaikan dengan kondisi nasional. Tetapi kali ini kita

53
berhadapan dengan suatu perubahan hukum di dalam hukum
yang masih tetap hidup dan sesuai dengan perasaan keadilan
masyarakat (masyarakat Karo), dirombak dan digantikan
dengan suatu hukum baru yang tidak sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat”;
(b) “Anggapan Mahkamah Agung, bahwa anak perempuan dan
anak laki-laki dari si pewaris bersama-sama berhak atas
warisan sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia,
dipandang sebagai keliru sebab terdapat beberapa masyarakat
di Indonesia ini dengan sistem unilineal yang kuat seperti
Minangkabau, Batak, dan lain-lain yang memiliki sistem
warisan berbeda dengan anggapan Mahkamah Agung”.

3. Beberapa pendapat dan kesimpulan tentang hukum adat waris


patrilineal

Di bawah ini berturut-turut akan dipaparkan tentang beberapa


pendapat dan kesimpulan yang dikemukakan oleh penulis buku
“Hukum Perdata Adat Karo dalam rangka Pembentukan Hukum
Nasional”, yaitu:
a) Hukum waris adalah sebagian dari adat, karena itu tidak dapat
dipisahkan atau dinilai tersendiri dengan tidak memperhatikan
factor-faktor lain;
b) Selama kita masih menghormati keragaman adat-istiadat
yang hidup dalam masyarakat, tidaklah tepat diadakan
penilaian yang sama tentang hukum waris di seluruh
Indonesia sebab kenyataan adat Batak, Minangkabau, Jawa,
Bali, dan lain-lain itu berbeda-beda;
c) Adat istiadat yang masih dipegang teguh sebagai jiwa sesuatu
masyarakat dan mampu menciptakan kesejahteraan dalam
masyarakat tersebut, tidak perlu diubah secara radikal sebab
sesuatu yang tidak sesuai akan berubah sendiri karena

54
pengaruh lingkungan atau zaman;
d) Dalam adat di Tanah Karo, hak dan kewajiban, tugas dan
kedudukan pria berbeda dengan wanita, bukan berarti kaum
wanita lebih rendah dari kaum pria sebab pada dasarnya
jiwa dan tujuan perlakuan orang tua bagi anak laki-laki dan
perempuan dalam masalah waris, yaitu:
- anak laki-laki sebagai ahli waris keluarga (marga)
mewarisi harta benda yang menjadi tanda/lambang
keluarga, terutama tanah dan benda-benda tidak bergerak
lainnya;
- anak perempuan mendapat pembagian yang adil untuk
kepentingan sediri dan rumah tangganya kemudian;
- Kemajuan zaman, kebutuhan hidup, dan sifat-sifat benda
serta harta pusaka sekarang, pada waktu yang akan datang,
dan pada masa yang lampau sangat jauh berbeda sehingga
harus ada penyesuaian pengertian tentang hal tersebut;
- Anggapan, bahwa anak perempuan secara mutlak tidak
berhak atas warisan orang tuanya, dewasa ini tidak sesuai
lagi sehingga dianggap perlu penyesuaian;
- Anggapan, bahwa hak waris anak laki-laki sama dengan
hak waris anak perempuan juga tidak sesuai dengan jiwa
dan tujuan adat di Tanah Karo, sehingga tidak baik untuk
dipaksakan karena dapat merusak adat dan kebudayaan
daerah tersebut.

C. Sistem Kekeluargaan Matrilineal

1. Hukum Waris Adat Matrilineal


Menguraikan sistem hukum adat waris dalam suatu masyarakat
tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari sistem kekeluargaan yang
terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula

55
halnya dengan sistem hukum adat waris dalam masyarakat matrilineal
Minangkabau, ini berkaitan erat dengan sistem kekeluargaan yang
menarik garis keturunan dari pihak ibu.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa
merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu
mungkin disebabkan karena kekhasan dan keunikannya bila
dibandingkan dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daerah
lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa sistem
kekeluargaan di Minangkabau adalah sistem menarik garis keturunan
dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-
laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik
laki-laki maupun perempuan.
Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat
menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka
tinggi yaitu harta yang turun temurun dari beberapa generasi,
maupun harta pusaka rendah yaitu harta yang turun dari satu
generasi. Misalnya harta pencaharian yang diperoleh dengan melalui
pembelian atau taruko, akan jatuh kepada jurainya sebagai harta
pusaka rendah jika pemilik harta pencaharian itu meninggal dunia.
Jika yang meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka anak-anaknya
serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi,
sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya.
Masyarakat Minangkabau menurut adatnya melaksanakan hukum
waris kemenakan, sedangkan agama yang dipeluk oleh masyarakat
memiliki pula hukum waris melalui anak pada umum yaitu faraidh.
Akan tetapi hukum waris kemenakan di Minangkabau tidak
melanggar hukum faraidh sebab di dalam masyarakat Minangkabau
tidak terdapat gezin dalam satu kesatuan unit yang terdiri atas ayah,
ibu, dan anak-anak, melainkan hanya dikenal kaum yaitu kesatuan
unit yang lebih besar dari gezin. Di daerah Minangkabau pada
umumnya sebagian besar masyarakat masih berkaum, berkeluarga,

56
berkampung, dan bersuku. Sedangkan gezin, famili itu relatif sedikit
sebab meskipun ada gezin, si ayah tetap menjadi anggota kaumnya.
Demikian pula si ibu masih tetap menjadi anggota keluarganya,
sehingga dalam masyarakat Minangkabau kita tidak dapat
menemukan anak yatim-piatu atau juga orang jompo yang tidak
punya usaha atau pencaharian sebab sistem kekeluargaan itulah
yang membentuk demikian.
Dasar hukum waris kemenakan di Minangkabau bermula dari
pepatah adat Minangkabau, yaitu pusaka itu dari nenek turun ke
mamak, dari mamak turun ke kemenakan. Pusaka yang turun itu
bisa mengenai gelar pusaka ataupun mengenai harta pusaka, misalnya
gelar Datuk Sati. Apabila ia meninggal dunia, gelar tersebut akan
turun kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara perempuan
dan tidak sah jika gelar itu dipakai oleh anaknya sendiri.

2. Harta warisan dalam hukum Adat waris Minangkabau


Harta kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akan
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri atas:

a) Harta pusaka tinggi


Yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik
yang berupa tembilang basi yakni harta tua yang diwarisi turun
temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak,
yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta
pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan
dan tidak boleh diwariskan kepada anak.

b) Harta pusaka rendah


Yaitu harta yang turun dari satu generasi.

c) Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau
taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya meninggal dunia akan

57
jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk harta
pencaharian ini sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah
sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini
masih ada pendapat lain, yaitu "bahwa harta pencaharian harus
diwariskan paling banyak (sepertiga) dari harta pencaharian untuk
kemenakan".47
d) Harta Suarang
Sebutan untuk harta suarang ini ada beberapa, di antaranya:
Harta Pasuarangan, Harta Basarikatan, Harta Kaduo-duo, atau
Harta Salamo Baturutan, yaitu seluruh harta benda yang
diperoleh secara bersama-sama oleh suami-isteri selama masa
perkawinan. Tidak termasuk ke dalam harta suarang ini, yakni harta
bawaan suami atau harta tepatan isteri yang telah ada sebelum
perkawinan berlangsung. Dengan demikian jelaslah bahwa harta
pencaharian berbeda dengan harta suarang.

3. Ahli waris dan hak mewaris menurut adat Minangkabau


Sebagaimana diketahui, bahwa “kaum” dalam masyarakat
Minangkabau merupakan persekutuan hukum adat yang mempunyai
daerah tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”. Kaum serta anggota
kaum diwakili ke luar oleh seorang “mamak kepala waris”. Anggota
kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya adalah saudara
laki-laki yang tertua dari ibu, mamak kepala waris harus yang cerdas
dan pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak
pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum
terdiri atas kemenakan dan kemenakan ini adalah ahli waris. Menurut
hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:

47
H. Mansur Dt. Nagari Basa, Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali
Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Sri Dharma,1968, h.137.

58
a) Waris bertali darah
Yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang
terdiri atas waris satampok (waris setampuk), waris sejangka
(waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta). Masing-
masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini
mewaris secara bergiliran. Artinya, selama waris bertali
darah setampuk masih ada, maka waris bertali darah
sejengkal belum berhak mewaris. Demikian pula ahli waris
seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka waris
sehasta belum berhak mewaris.

b) Waris bertali adat


Yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak
memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris
bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai
nama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali adat,
sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :

- menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh, waris


batali suto, waris batali budi, waris tambilang basi,
waris tembilang perak.
- menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris di bawah
daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris di
bawah lutut.
- menurut datangnya, yaitu : waris orang datang, waris air
tawar, waris mahindu.
Sedangkan hak mewaris dari masing-masing ahli waris yang
disebutkan di atas satu sama lain berbeda-beda tergantung pada jenis
harta peninggalan yang akan ia warisi dan hak mewarisinya diatur
menurut urutan prioritasnya. Hal tersebut akan dapat terlihat dalam
paparan di bawah ini.

59
(1) Mengenai harta pusaka tinggi
Apabila harta peninggalan itu menyangkut harta pusaka tinggi,
cara pembagiannya berlaku sistem kewarisan kolektif, yaitu
seluruh harta pusaka tinggi diwarisi oleh sekumpulan ahli
waris dan tidak diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya dan
dimungkinkan dilakukan “ganggam bauntuek". Walaupun tidak
boleh dibagi-bagi, pemilikannya di antara para ahli waris, harta
pusaka tinggi dapat diberikan sebagian kepada seorang anggota
kaum oleh mamak kepala waris untuk selanjutnya dijual atau
digadaikan guna keperluan modal berdagang atau merantau, asal
saja dengan sepengetahuan dan seizin seluruh ahli waris. Di
samping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau digadaikan,
guna keperluan:
- untuk membayar hutang kehormatan;
- untuk membayar ongkos memperbaiki bandar sawah
kepunyaan kaum;
- untuk membayar hutang darah;
- untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal di pantai;
- untuk ongkos naik haji ke Mekkah;
- untuk membayar hutang yang dibuat oleh kaum secara
bersama-sama.

(2) Mengenai harta pusaka rendah


Semula harta pusaka rendah adalah harta pencaharian. Harta
pencaharian mungkin milik seorang laki-laki atau mungkin
juga milik seorang perempuan. Pada mulanya harta pencaharian
seseorang diwarisi oleh jurai atau setidak-tidaknya kaum
masing-masing. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya
karena hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah
erat dan juga sebagai pengaruh agama Islam, maka seorang
ayah dengan harta pencahariannya dapat membuatkan sebuah

60
rumah untuk anak-anaknya atau menanami tanah pusaka
isterinya dengan tanaman keras, misalnya pohon kelapa, pohon
durian, pohon cengkeh, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan untuk
membekali isteri dan anak-anak manakala ayah telah meninggal
dunia.
(3) Mengenai harta suarang
Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta pencaharian
sebab harta suarang adalah seluruh harta yang diperoleh suami
-isteri secara bersama-sama selama dalam perkawinan. Kriteria
untuk menentukan adanya kerja sama dalam memperoleh harta
suarang, dibedakan dalam dua periode, yaitu dahulu ketika
suami masih merupakan anggota keluarganya, ia berusaha
bukan untuk anak-isterinya melainkan untuk orang tua dan para
kemenakannya, sehingga ketika itu sedikit sekali
kemungkinannya terbentuk harta suarang sebab yang mengurus
dan membiayai anak-anak dan isterinya adalah saudara atau
mamak isterinya. Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama
yang nyata antara suami-isteri untuk memperoleh harta suarang
sudah jelas nampak, terutama masyarakat Minangkabau yang
telah merantau jauh ke luar tanah asalnya, telah menunjukkan
perkembangan ke arah pembentukan hidup keluarga (somah),
yaitu antara suami, isteri dan anak-anak merupakan satu kesatuan
dalam ikatan yang kompak. Dalam hal demikian suami telah
bekerja dan berusaha untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya,
sehingga dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan
mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta keluarga
yang disebut harta suarang. Harta suarang dapat dibagi-bagi
apabila perkawinan bubar, baik bercerai hidup atau salah
seorang meninggal dunia. Harta suarang dibagi-bagi setelah
hutang suami-isteri dilunasi terlebih dahulu. Ketentuan
pembagiannya sebagai berikut:

61
(a) bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak, harta
suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas isteri;
(b) bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai
anak, maka sebagai berikut:
- jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi
dua, separoh merupakan bagian jurai si suami dan
separoh lagi merupakan bagian janda;
- Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua,
sebagian untuk jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
(c) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan mempunyai anak,
harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas
isteri, anak-anak akan menikmati bagian ibunya;
(d) Apabila salah seorang meninggal dunia dan mempunyai
anak, bagian masing-masing sebagai berikut:
- jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua
antara jurai suami dengan janda beserta anak;
- jika yang meninggal isteri, harta suarang seperdua
untuk suami dan seperdua lagi untuk anak sebagai harta
pusaka sendiri dari bagian ibunya.
Berkaitan dengan pembahasan harta suarang, di bawah ini akan
ditunjukkan beberapa putusan pengadilan mengenai harta suarang
sebagai bukti, bahwa antara suami-isteri orang Minangkabau dalam
perkembangan selanjutnya telah terjalin kerja sama dalam satu
kesatuan unit yang disebut somah (gezin), sehingga terbentuk harta
keluarga.

(i) Putusan Landraad Talu tanggal 23 Januari 1937 No.5


tahun 1937 yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tanggal 13
Mei 1937 (T.148/508) menentukan bangunan yang didirikan atau
tanaman yang ditanami di atas tanah harta kaum isteri bukanlah harta
suarang;
(ii) Putusan Landraad Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No.

62
perdata 11 tahun 1938, yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang
tahun 1938 mengatakan: Bila suami meninggalkan beberapa orang
janda, maka pembagian harta suarang menjadi pusaka rendah jurai si
suami dan separoh lagi merupakan bagian para janda yang masih
hidup;
(iii) Putusan Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26
Setember 1953 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal
13 Maret 1956 Nomor 23/1954, yang menetapkan, bahwa harta
suarang bertanggung jawab atas hutang suami. Kemudian adanya
rumah di atas tanah kaum tidak dengan sendirinya membuktikan,
bahwa rumah itu kepunyaan kaum, mungkin saja rumah itu kepunyaan
suami isteri bersama sebagai harta suarang.

4. Kesimpulan hasil penelitian LPHN tahun 1971


Berkaitan dengan berbagai persoalan yang menyangkut hukum
adat waris di daerah Minangkabau, pada tahun 1971 Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional (sekarang Badan Pembinaan Hukum
Nasional atau Babinkumnas) pernah mengadakan kerjasama dengan
Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dengan hasil sebagai
berikut:

a) Harta pusaka diwariskan kepada kemenakan, sedangkan


harta yang diperoleh di luar harta pusaka itu boleh
diwariskan kepada anak-anaknya;
b) Harta pencaharian diwariskan kepada anak-anaknya dengan
tidak dipersoalkan apakah dibagi dengan sistem faraidh atau
tidak, yang penting, bahwa harta pencaharian itu
diperuntukkan guna kepentingan anak-anak;
c) Apabila pihak isteri dari yang meninggal dunia menguasai
harta pusaka dan ia enggan untuk mengembalikan harta
tersebut kepada kaum suaminya dan malahan dikatakan
sebagai harta pencaharian, atau telah dihibahkan kepada

63
anak-anaknya tanpa sepengetahuan ahli warisnya
(kemenakan) suaminya, dalam hal demikian Kerapatan
Nagari yang diberi wewenang memutus secara perdamaian;
d) Harta pencaharian tidak diharuskan seluruhnya jatuh kepada
anak-anaknya, melainkan harus pula jatuh kepada
kemenakannya sebab mamak laki-laki itu tadi dibesarkan,
dididik, dan bahkan dikawinkan oleh kaumnya, sudah
sewajarya jika kemenakan juga memperoleh bagian dari
harta pencaharian;
e) Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara harta
pusaka dengan harta pencaharian sebab kedua-duanya
merupakan hasil jerih payah yang diperuntukkan bagi
kesejahteraan anak-anak dan kemenakan untuk memenuhi
pepatah adat "anak dipangku, kemenakan dibimbing",
sehingga anak-anak yang termasuk suku ibunya dan
kemenakan yang termasuk suku mamaknya, keduanya harus
dipangku dalam arti dibesarkan, dididik, dan
dipertanggungjawabkan, baik fisik maupun rokhaninya.
Demikian pula kemenakan yang termasuk kaum mamak
harus dibimbing, artinya harus dipelihara sama dengan anak.
Dengan demikian, seorang ayah yang sekaligus
berkedudukan selaku mamak bagi kemenakannya harus
memelihara anak-anaknya dan juga kemenakannya.

D. Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral

1. Hukum Waris Adat parental atau Bilateral


Paparan terdahulu telah mengemukakan perihal prinsip-prinsip
hukum adat waris yang dikenal di dalam dua kelompok masyarakat
yang mempunyai sistem kekeluargaan yang satu sama lain berbeda.
Di satu pihak sistem kekeluargaan dengan menarik garis keturunan

64
pihak ayah atau dikenal dengan sebutan sistem patrilineal dan di lain
pihak sistem kekeluargaan dengan menarik garis keturunan pihak ibu
atau matrilineal. Di bawah ini selanjutnya akan dipaparkan sistem
hukum adat waris yang terdapat dalam masyarakat yang menganut
sistem kekeluargan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah
pihak orang tua, yaitu baik dari garis bapak maupun dari garis ibu
yang dikenal dengan sebutan sistem parental atau bilateral. Sistem
parental ini di Indonesia dianut di banyak daerah, seperti: Jawa,
Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh
Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu
sistem patrilineal dan sistem matrilineal, sistem kekeluargaan parental
atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang
merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan.
Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang
tuanya sehingga dalam proses pengalihan/pengoperan sejumlah harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak
perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama.
Sudah banyak literatur hukum yang membahas dan memaparkan
tentang sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Tiga bentuk
sistem kekeluargaan yang sangat menonjol senantiasa merupakan
contoh pembahasan. Hal tersebut mungkin didasarkan pada
pertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem kekeluargaan itu
perbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem patrilineal
merupakan kebalikan dari sistem matrilineal. Kemudian kedua sistem
tersebut dirangkum oleh satu sistem yang mengambil unsur dari kedua
sistem tersebut, yaitu sistem parental atau bilateral. Dari sekian banyak
daerah yang menganut sistem parental di Indonesia ini, satu di
antaranya akan dijadikan bahan paparan di bawah ini, yaitu sistem
parental di Jawa khususnya di Jawa Barat.

65
2. Harta warisan menurut hukum adat waris parental
Harta warisan, yaitu sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan
oleh seseorang yang meninggal dunia yang terdiri atas:
a) Harta asal;
b) Harta bersama.

a) Harta asal
Harta asal adalah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang
diperoleh sebelum maupun selama perkawinan dengan cara pewarisan,
hibah, hadiah, turun-temurun. Harta asal dikenal dengan berbagai
sebutan. yaitu: harta babawa (Leuwiliang, Jasinga, Cianjur, Bekasi),
barang sampakan (Cianjur, Bandung, Leuwiliang, Cisarua, Depok,
Cileungsi, Citeureup, Banjar, Ciamis, Saruni Kecamatan Pandeglang),
harta bawaan (Ratu Jaya, Pondok Terong, Bandung, Karawang
Wetan), warisan (Cianjur, Kecamatan Teluk Jambe, Karawang),
barang pokok (Kecamatan Telagasari, Batujaya, Cilamaya, Kecamatan
Karawang Kabupaten Karawang), babawaan (Pelawad Kecamatan
Karawang), raja kaya, tuturunan (Kecamatan Teluk Jambe
Karawang), harta sulur (Saruni, Pandeglang, Kebayan, Pagerbatu,
Raraton, Cilaja Kecamatan Pandeglang), harta pusaka/harta tuturunan
(Cianjur, Wanagiri, Pasireurih Kecamatan Saketi Pandeglang,
Kecamatan Menes, Kecamaan Pagelaran, Kecamatan Labuan,
Kabupaten Pandeglang).
Harta asal dapat berubah wujud (misalnya dari sebidang
tanah menjadi rumah). Perubahan wujud ini tidak menghilangkan
harta asal. Apabila sebidang tanah sebagai harta asal dijual dan
kemudian dibelikan rumah. Rumah yang dibeli dari uang hasil
penjualan harta asal akan tetap sebagai harta asal, yaitu rumah.

66
b) Harta bersama
Harta bersama, atau gono-gini (Leuwiliang, Depok, Banjar,
Cikoneng, Pandeglang), kaya reujeung (Cisarua. Leuwiliang Bandung,
Kecamatan Pandeglang), Cijakan, Kadupandak (Kecamatan Bojong,
Pandeg1ang), Wanagiri (Kecamatan Saketi, Pandeglang, Menes,
Kecamatan Labuan-Pandeglang), tepung kaya (Cileungsi Kecamatan
Telukjambe-Karawang, Pandeglang), campur kaya (Bandung, Cianjur,
Pandeglang), raja kaya (Bandung), sekaya (pekaya), paoman
(Lemahabang, Lohbener, Kepandean, Karanganyar Kecamatan
lndramayu, Larangan, Legok, Sindangkerta Kecamatan Lohbener,
Cilamaya, Muara, Tegalwaru - Karawang), bareng sakaya (Kecamatan
Kertasemaya, Kecamatan Jatibarang, Kecamatan Juntinyuat
Indramayu), saguna sakaya, (Telukbuyung, Batujaya Karawang)
bareng molah: Singaraja (Kecamatan Indramayu), barang kakayaan
(Kecamatan Juntinyuat Indramayu). Di Kecamatan Telukjambe
(Kabupaten Karawang) terdapat istilah tumpang kaya untuk harta
bersama ini. Istilah tumpang kaya ini terdapat dalam bentuk
perkawinan nyalindung ka gelung dan manggih kaya.

3. Ahli waris dalam hukum adat waris parental


a) Sedarah dan Tidak Sedarah
Ahli waris adalah ahli waris sedarah dan yang tidak sedarah.
Ahli waris yang sedarah terdiri atas anak kandung, orang tua,
saudara, dan cucu. Ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak angkat,
janda/duda. Di daerah Cianjur, seorang anak angkat adalah ahli waris,
apabila pengangkatannya disahkan oleh pengadilan negeri.
Jenjang atau urutan ahli waris adalah: Pertama, anak/anakanak.
Kedua, orang tua apabila tidak ada anak, dan Ketiga, saudara/saudara
kalau tidak ada orang tua. Akan tetapi dari penelitian setempat tidak
diperoleh keterangan apakah adanya satu kelompok ahli waris akan
menutup hak ahli waris yang lain.

67
b) Kepunahan atau nunggul pinang
Ada kemungkinan seorang pewaris tidak mempunyai ahli
waris (punah) atau lazim disebut nunggul pinang. Menurut ketentuan
yang berlaku di daerah Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Kawali,
Cikoneng, Karawang Wetan, Indramayu, Pandeglang, apabila terjadi
nunggul pinang, barang atau harta peninggalan akan diserahkan
kepada desa. Selanjutnya desalah yang akan menentukan pemanfaatan
atau pembagian harta kekayaan tersebut. Di Pandeglang kalau pewaris
mati punah, harta warisan jatuh kepada desa atau mungkin juga pada
baitulmaal, masjid atau wakaf. Di daerah Kabupaten Cianjur,
kekayaan seorang yang meninggal tanpa ahli waris, selain diserahkan
kepada desa, mungkin diserahkan kepada baitulmaal atau kepada
orang tidak mampu. Di Kecamatan Kawali, selain diserahkan ke desa
dapat juga diserahkan kepada yayasan sosial.
Pengadilan Negeri Indramayu yang dikukuhkan oleh Pengadilan
Tinggi Jawa barat di Bandung, memutuskan:
“Apabila seseorang tidak mempunyai anak kandung, maka
keponakan-keponakannya berhak mewarisi harta peninggalannya yang
merupakan barang asal atau barang yang diperolehnya sebagai warisan
orang tuanya”. (PN. Indramayu tanggal 28 Agustus 1969,
No.36/1969/Pdt., PT. Jabar di Bandung tanggal 23 Januari 1971,
48
Nomor 507/ 1969/Perd/PTB”.

4. Anak angkat dan Perkawinan poligami dalam hukum


adat parental

a) Anak angkat
Pengadilan Negeri Indramayu dan Pengadilan Tinggi Jawa
Barat di Bandung pernah memutuskan, bahwa:

48
Yurisprudensi Jawa Barat (1969-1972) Buku I-Hukum Perdata, LPHKFH-UNPAD;
Bandung, 1974, h. 36,37.

68
"Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua
angkatnya, yang bukan barang asal atau barang warisan".
(PN.Indramayu tanggal 8 September 1969, No. 24/1969/Perd., P.T.
Bandung tanggal 14 Mei 1970, Nomor 511/l969/Perd).49

b) Ahli waris dalam perkawinan poligami


Dalam hal si pewaris beberapa kali kawin dan meninggalkan
anak sah dari tiap perkawinan itu, maka harta peniggalan campur kaya
yang dikuasai oleh janda yang masih hidup terakhir tidak dibagikan
kepada semua anak dari tiap isteri (sehingga hanyalah anak yang sah
daripada janda yang bersangkutan, yang menjadi ahli waris harta
campur kaya yang ditinggalkan itu).
(PN Indramayu tanggal 15 September 1969 Nomor 23/1969/Pdt., PT
Bandung tanggal 29 Januari 1971, No. 218/1969/Perd/PTB).50

c. Kehilangan hak mewaris

Ada kemungkinan terjadi, seorang pewaris mempunyai ahli


waris, tetapi ada di antara ahli waris atau seluruh ahli waris tersebut
kehilangan hak untuk mewarisi harta peninggalan pewaris. Dalam hal
kehilangan hak mewaris ini, bagi mereka yang beragama Islam,
nampak pengaruh ajaran Islam sangat menonjol.
Seorang ahli waris akan kehilangan hak mewaris karena alasan:
a) Ahli waris atau para ahli waris membunuh pewaris (Banjar,
Ciamis, Cikoneng, Leuwiliang, Cileungsi, Cianjur); atau
b) Ahli waris atau para ahli waris berpindah agama (Cisarua,
Leuwiliang, Cileungsi, Banjar, Ciamis, Cikoneng, Cianjur).
Di Cikoneng, selain karena alasan membunuh pewaris atau
pindah agama (murtad), seorang ahli waris dapat kehilangan hak

49
Ibid, h. 37.
50
Loc Cit.,h. 37.

69
mewaris karena alasan pegat waris. Di daerah Cianjur, seorang ahli
waris tidak akan kehilangan hak mewaris karena alasan tidak menurut
(bandel), atau karena melakukan perkawinan tanpa restu pewaris (teu
doa).
Perlu diperhatikan perbedaan antara kepunahan (nunggul
pinang) dengan kehilangan hak mewaris. Dalam kehilangan hak
mewaris, pewaris mempunyai ahli waris. Hanya karena alasan tertentu
ahli waris tidak berhak menerima harta peninggalan pewaris. Tetapi
kemungkinan terdapat persamaan akibat antara nunggul pinang
dengan kehilangan hak mewaris. Apabila ahli waris tunggal atau para
ahli waris dan mereka ini secara keseluruhan kehilangan hak mewaris,
maka harta peninggalan akan tetap tidak dibagi. Apakah dalam kasus
seperti ini, harta peninggalan tersebut dapat diserahkan kepada
lembaga atau badan-badan seperti: Desa, Baitulmaal, Yayasan Sosial,
dan sebagainya.

d. Penggantian tempat ahli waris


Dengan kekecualian pada daerah Cikoneng Kecamatan
Kertasemaya (Indramayu), lembaga (pranata) penggantian tempat
dikenal hampir di semua daerah penelitian. Penggantian tempat terjadi,
apabila seorang ahli waris meninggal terlebih dahulu dari si pewaris.
Seorang anak yang meninggal terlebih dahulu dari orang
tuanya, maka hak anak tersebut sebagai ahli waris dapat digantikan
oleh anaknya (cucu pewaris); (Leuwiliang, Cileungsi, Banjar, Ciamis,
Kawali, Cianjur, Bandung, Pandeglang, Karawang, Indramayu, dan
Bekasi). Dapat pula digantikan oleh saudara pewaris (Ciamis,
Cianjur, Banjar, Cisarua, Kawali). Di Karanganyar (Kecamatan
Indramayu) cucu pewaris dari anak perempuan tidak bisa
menggantikan tempat ibunya.
Lembaga (pranata) penggantian tempat semacam ini,
tidak dikenal di daerah Kecamatan Cikoneng. Di daerah Cianjur,

70
Bandung, Kecamatan Karawang, Pandeglang, Tulungagung, Kliwed
Kecamatan Kertasemaya-Indramayu, ada kemungkinan seorang anak
(sebagai cucu pewaris) tidak menggantikan tempat orang tua
(Bapak/Ibu mereka) sebagai ahli waris pengganti. Tetapi seorang cucu
menerima bagian berdasarkan rasa kasih sayang dari para ahli waris
yang ada (saasihna).
Penggantian tempat selalu dikaitkan dengan ahli waris
yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Apakah penggantian
tempat ini dapat juga terjadi apabila seorang ahli waris karena satu dan
lain hal kehilangan hak mewaris, sehingga kedudukannya sebagai ahli
waris dapat digantikan oleh anaknya (cucu pewaris).

e. Penetapan Ahli Waris


Ada beberapa yurisprudensi mengenai masalah penetapan
ahli waris. Putusan-putusan Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi
Jawa Barat di Bandung, Pengadilan Negeri Indramayu, Pengadilan
Negeri Purwakarta, dan Pengadilan Negeri Pandeglang, pada
prinsipnya menyatakan, bahwa suatu gugatan penetapan ahli waris
dapat dikabulkan apabila tergugat mengakui atau tidak membantah
atau tidak menyangkal penggugat sebagai ahli waris.51

E. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan


1. Tata cara membagi harta warisan
Pelaksanaan pembagian warisan tergantung pada
hubungan dan sikap para ahli waris. Pembagian warisan mungkin
terjadi dalam suasana tanpa sengketa atau sebaliknya dalam suasana
persengketaan di antara para ahli waris.
Dalam suasana tanpa persengketaan, suasana persaudaraan
dengan penuh kesepakatan, pelaksanaan pembagian waris dilakukan

51
Ibid, h. 36.

71
dengan cara :
a) Musyawarah antara sesama ahli waris/keluarga (Leuwiliang,
Kabupaten Bandung, Cianjur, Ciamis, Indramayu, Karawang,
Pandeglang); atau
b) Musyawarah antara sesama ahli waris dengan disaksikan
oleh sesepuh desa (Leuwiliang, Kabupaten Bandung, Banjar,
Kawali, Cikoneng, Pandeglang, Indramayu).
Di Karawang dan Indramayu musyawarah antara ahli waris
dengan disaksikan pamong desa ditambah kyai. Di desa
Pelembonsari (Kecamatan Karawang) saksinya adalah
"kokolot". Di Desa Adiarsa, Plawad, Karawang Wetan,
Tunggakjati (Karawang) saksinya adalah "kokolot lembur".
Sebaliknya, apabila suasana persengketaan mengiringi
pembagian itu, maka pelaksanaan pembagian dilakukan
dengan cara:
a) Musyawarah sesama ahli waris dengan disaksikan oleh
sesepuh desa (Leuwiliang); atau
b) Musyawarah sesama ahli waris dengan disaksikan oleh
pamong desa (Cisarua, Jasinga, Depok, Indramayu,
Karawang, Pandeglang), Di daerah Cisarua, Depok, Cikalong
Kulon, Indramayu, Karawang, apabila terjadi sengketa waris,
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan kebiasaan (hukum
adat) dan/atau hukum Islam. Di Jatibarang, Bulak, Palangsari
(Kecamatan Jatibarang-Indramayu) oleh sesepuh desa
biasanya ditawarkan kepada yang bersangkutan apakah akan
diselesaikan berdasarkan Hukum Adat atau Hukum Islam.
Di Juntinyuat, Juntikebon, Dadap (Indramayu), yang dipakai
sebagai pegangan dalam penyelesaian waris ini adalah
Hukum Islam.
c) Di Kabupaten Bandung, Pandeglang, Karawang, Indramayu,
selain bantuan dari pamong desa, juga dimintakan bantuan

72
ulama. Apabila usaha-usaha permusyawaratan ini gagal, baru
diajukan ke pengadilan. Sepanjang mengenai tanah/sawah,
akan selalu menghubungi desa untuk keperluan balik nama.
Di daerah Banjar, Kawali, Cikoneng, dan Cianjur selain
bantuan pamong desa, permusyawaratan tersebut mungkin
dipimpin seorang sesepuh desa.

2. Saat Pembagian Warisan


Tidak ada kepastian waktu mengenai harta warisan harus
dibagikan. Di daerah Cianjur, Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis,
Pandeglang, Indramayu, terdapat kebiasaan. bahwa harta warisan tidak
akan dibagikan selama anak/anak-anak pewaris belum dewasa. Di
Menes (Kecamatan Menes Pandeglang), dalam hal ahli waris masih
belum dewasa dapat saja dilaksanakan pembagian harta warisan ini
karena ada wali atas anak belum dewasa tersebut.
Di beberapa daerah, dijumpai praktik, saat pembagian warisan
tersebut ditentukan berdasarkan lamanya pewaris meninggal. Di
Kabupaten Bandung, Kecamatan Ciamis, Cikoneng, Kawali, Banjar,
Indramayu, Karawang, dan Pandeglang pembagian harta warisan
biasanya dilakukan pada hari ke 40 (empat puluh) atau hari ke100
(seratus) sejak pewaris meninggal dunia.

3. Besarnya bagian yang diterima ahli waris


a) Anak/anak-anak
(1) Anak Kandung,
Di daerah Kabupaten Bandung, Kecamatan Lohbener,
Juntinyuat, Kertasemaya, Jatibarang (Indramayu),
Telukjambe, Adiarsa, Telagasari, Ratujaya (Karawang),
tidak ada perbedaan antara anak kandung laki-laki dan
anak kandung perempuan. Baik anak laki-laki maupun
anak perempuan akan menerima jumlah yang sama besar

73
dalam setiap pembagian warisan. Sedangkan di daerah
Kabupaten Cianjur, ada perbedaan jumlah yang diterima
anak kandung laki-laki dan anak kandung perempuan. Di
Cianjur dan Pandeglang berlaku prinsip satanggungan
saaisan antara anak laki-laki dan anak perempuan akan
menerima dalam perbandingan 2 : 1. Ketentuan seperti
yang terdapat di Cianjur, dijumpai pula di Cikoneng,
Kecamatan Indramayu, Jatibarang, Cilamaya, Teluk
Buyung. Di daerah Kecamatan Banjar, Ciamis, dan
Kawali, terdapat dua kemungkinan, yaitu: setiap anak
kandung akan menerima jumlah yang sama, tetapi
terdapat juga praktik satanggungan saaisan seperti di
Cianjur dan Cikoneng.
Apabila para ahli waris, baik seluruh maupun sebagian
dari mereka belum dewasa, dijumpai beberapa praktik,
yaitu:
a) Di daerah Kabupaten Bandung dan Banjar, apabila
para ahli waris belum dewasa biasanya harta warisan
terkumpul pada satu tangan dipegang oleh bibi atau
paman atau saudara yang sudah dewasa;
b) Di daerah Ciamis, Cikoneng, dan Kawali, anak/anak-
anak yang belum dewasa akan menerima haknya pada
saat pembagian warisan. Kemudian masing-masing
dari mereka memijah kuasanya (paman/ bibi/ nenek).

(2) Anak-anak angkat, tiri, dan anak tidak sah


a) Anak angkat
Di daerah-daerah Kabupaten Bandung, Cianjur, Banjar,
Pandeglang, Karawang, Indramayu, dan Ciamis, anak
angkat tidak dipandang sebagai ahli waris yang
mempunyai hak penuh atas warisan orang tua angkatnya.

74
Anak angkat akan menerima bagian harta peninggalan
orang tua angkat sapamere atau saasihna. Di Saruni,
Karaton (Kecamatan Pandeglang), anak angkat dianggap
sebagai ahli waris jika ditetapkan dengan akta pengadilan
negeri. Sedangkan di Cianjur seorang anak angkat yang
ditetapkan dengan akta notaris, baru dianggap sebagai
ahli waris. Baik di daerah Cianjur maupun di daerah
Kabupaten Bandung, demikian pula di daerah Banjar,
Ciamis, Kawali, seorang anak angkat tetap merupakan
ahli waris dari orang tua kandung. Oleh karena itu,
pengangkatan anak sama sekali tidak memutuskan
kedudukanya sebagai ahli waris dari orang tua
kandungnya. Anak angkat di daerah Kawali dan
Cikoneng, mempunyai kedudukan yang berbeda dengan
di daerah-daerah tersebut di atas. Di kedua daerah ini,
dijumpai ketentuan, bahwa anak angkat akan menerima
bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya sama
besar dengan anak kandung dari orang-orang tua angkat
tersebut. Dalam hal ada wasiat atau hibah, anak angkat
akan menerima bagian sesuai dengan bunyi wasiat atau
hibah, dengan ketentuan tidak melebihi dari seluruh
harta peninggalan (Kawali).
Dalam hubungan hak anak angkat atas
harta peninggalan orang tua angkatnya, terdapat beberapa
yurisprudensi berikut ini:52
(1) “Menurut Hukum Adat Jawa Barat seorang anak
angkat (anak kukut) hanya berhak atas harta guna
kaya kedua orang tua angkatnya”.
(PT. Bandung tanggal 6 Mei 1971 No. 80/Perd/PTB,

52
Yurisprudensi Jawa Barat; Loc . Cit., h. 40.

75
MA tanggal 30 Oktober 1971, No. 637 K/Sip/1971).
(2) “Anak angkat berhak atas barang gono-gini orang tua
angkatnya”. (PN. Ciamis tanggal 22 Februari 1968,
No.16/1967/Sip/Cms. PT. Bandung tanggal 9
Oktober 1970, No. 252/1969/Perd/PTB, MA tanggal
30 Oktober 1971 No.637 K/Sip/1971).
(3) “Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan
orang tua angkatnya, yang bukan barang asal atau
barang warisan”. (PN Indramayu tanggal 8
September 1969 No. 24/1969/Perd. PT. Bandung
tanggal 14 Mei 1970 No.511 /1969/Perd/ PTB).
(4) “Apabila baik anak angkat maupun janda telah
pernah mendapat hibah dari pewaris, maka lebih adil
apabila bagian janda adalah sama banyaknya dengan
bagian anak angkat, jika pewaris tak meninggalkan
anak kandung”. (PT Bandung tanggal 14 Mei 1970,
No.215 /1969/Perd. MA tanggal 24 Maret 1971 No.
60 K/Sip/1970).

b) Anak tiri
Sama halnya dengan anak angkat, seorang anak tiri akan
menerima bagian dari harta peninggalan orang tua tirinya
sapamerena / saasihna (Bandung, Cianjur). Hal yang
sama terdapat di daerah Banjar, Ciamis, Cikoneng, dan
Kawali. Di Indramayu anak tiri dengan istilahnya “anak
kawalon”, hanya mendapat bagian dari gawan orang tua
kandungnya. Di Karawang hanya mewaris dari orang tua
kandungnya.

c) Anak tidak sah


Di daerah-daerah dalam Kabupaten Bandung, Karawang,

76
Indramayu, anak tidak sah adalah ahli waris ibu
kandungnya dan tidak dari bapak pembangkitnya. Tetapi
di sini tidak dijumpai penjelasan bagaimanakah
kedudukan seorang anak tidak sah tersebut terhadap
bapak pembangkitnya, apabila kemudian ibunya menikah
secara sah dengan bapak pembangkitnya. Di daerah
Kabupaten Cianjur dalam hal ibu seorang anak tidak sah
kemudian menikah secara sah dengan bapak
pembangkitnya, maka hak untuk mendapat bagian
tergantung kepada kebijaksanaan anak/anak-anak sah
(saudara anak tidak sah tersebut).
Tetapi satu pertanyaan perlu dijawab, bagaimanakah
seandainya dari perkawinan ibu anak tidak sah tersebut
dengan bapak pembangkitnya tidak lahir (tidak ada) anak
sah? Di Kecamatan Banjar, Ciamis, Cikoneng, dan
Kawali, anak tidak sah tidak mewarisi bersama-sama
anak sah, baik bapak pembangkitnya menikah dengan
ibunya maupun tidak.

d) Hak Janda / Duda


Dalam lingkungan Kabupaten Cianjur, dengan
kekecualian di Desa Cibeber, seorang janda/duda akan
menerima bagian sama besar dengan seorang anak. Di
desa Cibeber, besarya bagian yang diterima janda/duda
adalah dari harta peninggalan suami/isteri. Dalam hal
tidak ada anak, di Kecamatan Ciranjang semua harta
guna kaya jatuh pada janda/duda. Sedangkan mengenai
harta asal, akan kembali pada asal harta tersebut.
Di daerah-daerah dalam lingkungan Kabupaten Bandung
hak seorang janda/duda diatur sebagai berikut;
(1) Harta asal

77
Kalau ada anak, seluruh harta asal jatuh kepada
anak/anaknya. Kalau tidak ada anak/anak-anaknya, harta
asal kembali ke asal. Janda/duda tidak berhak menerima
bagian harta asal.
(2) Harta bersama
Janda/duda berhak mendapat ½ dari harta bersama.
Dalam hal harta bersama tidak mencukupi, janda dapat
menguasai harta asal suaminya sampai ia menikah lagi
atau meninggal. Apakah hak janda untuk menahan harta
asal suami berlaku juga untuk duda? (Artinya, apakah
duda juga dapat menguasai harta asal isteri?).
Di Kecamatan Banjar, terdapat praktik yang sama seperti
di daerah Kabupaten Bandung. Di Banjar, seorang
janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Di Ciamis
dan Cikoneng, seorang janda/duda akan menerima
sapamerena / saasihna. Di Kecamatan Kawali dalam hal
ada anak, janda/duda akan menerima . Sedangkan kalau
tidak ada anak, janda/duda berhak atas ½ dari harta
bersama. Hal yang sama berlaku juga di Cikoneng.
Mengenai harta asal di Kecamatan Banjar, Cikoneng, dan
Ciamis akan kembali ke asal. Sedangkan di Kecamatan
Kawali, dimungkinkan harta asal tersebut tetap dikuasai
janda/duda sampai terjadi perubahan kedudukan
janda/duda (menikah lagi) atau meninggal. Di Karawang
tidak ada ketentuan mengenai besarnya bagian seorang
janda. Di beberapa tempat, seperti di Telukjambe,
Cilamaya. Batujaya, Karawang, Telagasari, besarnya
bagian janda sama dengan bagian anak. Di Tegalwaru
(Cilamaya) Kuta Pohaci (Telukjambe) bagian janda ialah
dari harta warisan, di Telukbuyung (Batujaya) 1/6
(seperenam) atau (seperdelapan).

78
Di Batujaya apabila suami membeli sesuatu barang atas
nama si suami, maka barang tersebut akan jatuh pada
anak, kalau barang tersebut dibeli atas nama isteri, maka
barang tersebut akan jatuh pada janda.
Di Indramayu di Kecamatan Lohbener dan Indramayu
harta asal dikuasai oleh janda apabila tidak ada anak.
Sedangkan kalau ada anak harta asal tersebut akan jatuh
pada anak. Di Juntinyuat, Jatibarang, Kecamatan
Indramayu harta asal kembali ke asalnya kalau tidak ada
anak, sedangkan kalau ada anak harta asal tersebut akan
jatuh kepada anak.
Di desa Keraton (Pandeglang), seorang
janda/duda bukan ahli waris. Sedangkan di desa Cilaja
(Kecamatan Pandeglang) janda/duda dianggap bukan ahli
waris bilamana ada anak laki-laki.
Pada semua daerah penelitian terdapat persamaan bahwa
lamanya perkawinan tidak berpengaruh atas bagian yang
harus diterima janda/ duda.
Dalam hubungan dengan hak janda atas harta
peninggalan suaminya, dapat dijumpai beberapa
yurisprudensi. antara lain.53

1) Hak waris janda dan anak


“Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Juli
1962 No. 26 K/SIP/1963, barang asal dari peninggalan
warisan harus dibagi sama rata antara anak-anak dan
janda-janda pewaris".
(PN Cianjur tanggal 29 Januari 1971 No. 218
/1969/Perd/PTB).

53
Ibid, h. 39-40

79
2) Hak seorang janda atas harta asal suaminya
"Menurut yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung
seorang janda berhak atas harta asal dari suaminya
sebagai nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan apabila
diadakan pembagian waris, bagian seorang janda setidak-
tidaknya adalah disamakan dengan bagian seorang anak".
(PT Bandung tanggal 6 Mei 1971 No.
80/1970/Perd/PTB.MA tanggal 1 Desember 1971 No.
941 K/Sip/1971).

3) Hak waris janda setengah diberi hibah


"Apakah baik anak angkat maupun janda telah pernah
mendapat hibah dari pewaris, maka lebih adil apabila
bagian janda adalah sama banyaknya dengan bagian anak
angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak kandung".
(PT Bandung tanggal 14 Mei 1970 No.
215/1969/Perd/PTB. MA tanggal 24 Maret 1971 No. 60
K/Sip/1970).

4) Hak waris janda atas harta campur kaya


"Barang-barang campur kaya hanya diwaris oleh janda
dan anak si pewaris". (PN Indramayu tanggal 15
September 1969 No.23/1969/Pdt, PT Bandung tanggal 29
Januari 1971 No. 218/1969/Perd/PTB).

Dari berbagai putusan Pengadilan di atas, selain


menampakkan adanya keserasian antara perkembangan
hukum adat dalam proses pewarisan dengan hukum adat
yang hidup dalam masyarakat, dirasa masih perlu untuk
memperoleh ketegasan atas hal-hal berikut :

80
1) Hak Janda atas harta campur kaya
Harta campur kaya atau gono-gini adalah harta bersama
atau milik bersama (community property). Jadi, seorang
isteri atau suami merupakan pemilik dari sebagian
(misalnya separo) dari keseluruhan harta tersebut.
Berakhirnya suatu perkawinan baik karena meninggal,
perceraian maupun putusan hakim akan membawa
konsekuensi pecahnya harta bersama.
Masing-masing pihak akan menerima bagian menurut
kesepakatan atau hukum yang berlaku. Dalam Hukum
Adat di Jawa Barat pada umumnya, masing-masing akan
menerima separo dari harta campur kaya (50 : 50).
Apabila salah satu pasangan meninggal, ia tidak
meninggalkan seluruh harta campur kaya (100%). Sebab
harta peninggalan pewaris hanya sebagian saja (misalnya
50%) dari seluruh harta campur kaya. Sedangkan
sebagian lagi, adalah hak pasangan yang masih hidup
dalam kedudukan sebagai pemegang sebagian hak atas
harta campur kaya.
Jadi, dalam hal ini sebenarnya pasangan yang masih
hidup tidak atau belum menerima warisan dari
suami/isteri yang meninggal itu. Kalau pasangan yang
masih hidup itu dipandang sebagai ahli waris suami/isteri
atau setidak-tidaknya berhak atas harta peninggalan
suami/isteri, hak itu adalah atas harta guna kaya yang
menjadi hak suami (50% ).
Secara konkrit, konstruksi di atas akan nampak sebagai
berikut :
(a) Kalau salah satu pasangan meninggal, maka
pertama-tama diadakan pembagian harta campur
kaya. Pasangan yang masih hidup akan menerima

81
bagian sebagai pemilik atas sebagian harta campur
kaya;
(b) Setelah pasangan yang masih hidup menerima bagian
tersebut huruf (a) di atas, sisa pembagian itu yang
merupakan hak pasangan yang meninggal adalah
harta peninggalan (warisan) dari yang meninggal;
(c) Dalam bagian yang menjadi hak yang meninggal
baru dapat dikatakan isteri/suami yang masih hidup
mempunyai hak/tidak atas harta peninggalan
suami/isteri;
d) Kalau suami/isteri yang masih hidup menyatakan
berhak atas harta peninggalan harta guna kaya yang
menjadi bagian dari pasangan yang meninggal,
berarti pasangan yang masih hidup akan menerima
lebih besar dari para ahli waris lain atas keseluruhan
harta campur kaya itu. Oleh karena selain menerima
bagian yang menjadi haknya sebagai pemilik
bersama harta campur kaya, akan menerima juga
bagian harta guna kaya yang menjadi hak pasangan
yang meninggal (pewaris). Dan dalam proses inilah
sesungguhnya kedudukan janda sebagai ahli waris
atau bukan ahli waris.
e) Kalau suami/isteri yang masih hidup menyatakan
hanya berhak atas sebagian dari seluruh harta campur
kaya (misalnya 50%), maka sesungguhnya dia bukan
ahli waris atau dia sesunguhnya tidak berhak atas harta
campur kaya peninggalan suami/isteri yang meninggal.
Karena apa yang diterima dari harta campur kaya itu
bukan karena kedudukannya sebagai janda atau ahli
waris, tetapi semata-mata karena dia adalah pemilik
atau pemegang hak atas sebagian dari harta campur

82
kaya.

2) Dari yurisprudensi di atas, seyogianya pengertian


janda tidak terbatas pada janda perempuan melainkan
juga berlaku pula bagi janda/laki-laki atau lazim
dikenal dengan sebutan duda. Hal ini didasarkan
kepada salah satu asas pokok dalam hukum
kekeluargaan adat yaitu kesederajatan antara suami
dan isteri.

4. Hutang Pewaris
Para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi hutang-
hutang pewaris. Pada tahap pertama, hutang-hutang pewaris dilunasi
dengan harta peninggalannya. Karena itu, harta peninggalan pewaris
baru akan dibagi setelah semua hutang-hutang tersebut dilunasi. Biaya
penguburan merupakan salah satu hutang yang harus diutamakan
pelunasannya. Di desa Gununghalu Kabupaten Bandung, Banjar,
Ciamis, dan Cikoneng apabila harta peninggalan pewaris tidak
mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka hibah yang telah
diberikan ketika pewaris masih hidup dapat ditarik kembali untuk
melunasi hutang-hutangnya. Sedangkan di desa-desa Sukamah dan
Langensari (keduanya di Kabupaten Bandung), Cianjur, dan Kawali,
hibah yang telah diberikan tidak dapat ditolak kembali untuk melunasi
hutang-hutang pewaris.

5. Mengesampingkan ahli waris


Kecuali dalam kehilangan hak untuk mewaris (lihat tentang ahli
waris), baik oleh pewaris maupun oleh sebagian ahli waris. Apabila
hal ini terjadi, ahli waris yang bersangkutan dapat menuntut
dipulihkan hak-haknya sebagai ahli waris (lihat yurisprudensi tentang
ahli waris).

83
F. Ihtisar

Bahwa hukum waris yang berlaku di Indonesia hingga saat ini


masih bersifat pluralistik. Artinya, bermacam-macam sistem hukum
waris di Indonesia berlaku bersama-sama, dalam waktu dan wilayah
yang sama pula. Hal itu terbukti dengan masih berlakunya Hukum
Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris BW secara
bersama-sama, berdampingan mengatur hal waris bagi para subjek
hukum yang tunduk pada masing-masing sistem hukum tersebut. Di
samping itu khusus dalam bidang hukum adat juga masih
menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan pengaturan hukum waris.
Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sistem kekeluargaan yang
dianut dan terdapat di dalam masyarakat Indonesia, yaitu sistem
patrilineal, matrilineal, bilateral atau parental, dan sistem kekeluargaan
yang lainnya yang mungkin ada sebagai hasil paduan serta variasi dari
ketiga sistem tersebut. Prinsip-prinsip kekeluargaan sangatlah
berpengaruh, terutama terhadap penetapan ahli waris maupun dalam
hal penetapan bagian harta peninggalan yang akan diwarisi.
Pada dasarnya, baik menurut sistem Hukum Waris Adat, sistem
Hukum Waris Islam, maupun Hukum Waris BW, proses pewarisan itu
terjadi disebabkan oleh meninggalnya seseorang dengan meninggalkan
sejumlah harta kekayaan, baik yang materiil maupun immaterial,
dengan tidak dibedakan antara barang bergerak dengan barang tidak
bergerak. Ketiga sistem hukum waris di atas, sampai saat ini
keberlakuannya masih bergantung pada hukum mana yang berlaku
bagi si pewaris atau orang yang meninggal dunia dasn meninggalkan
warisan. Artinya, apabila pewaris atau orang yang meninggal dunia
dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan itu termasuk Warga
Negara Indonesia Asli, maka yang berlaku adalah hukum waris Adat,
atau dalam hal-hal tertentu apabila dikehendaki, maka berlaku pula

84
Hukum Waris Islam bagi mereka yang beragama Islam. Apabila
pewaris termasuk golongan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa
atau Timur Asing Tionghoa, terhadap mereka diberlakukan Hukum
Waris BW.
Di samping itu jika pewaris termasuk golongan Warga Negara
Indonesia Asli, selanjutnya masih harus ditentukan termasuk
lingkungan Hukum Adat yang manakah orang tersebut sehingga dalam
menentukan pembagian warisannya harus diberlakukan hukum waris
adat yang mana, apakah Hukum Adat waris Batak, Hukum Adat waris
Minangkabau, ataukah Hukum Adat waris Jawa Barat.
Meskipun menurut ketiga sistem hukum waris yang berlaku
proses pewarisan itu terjadi oleh peristiwa hukum yang sama yaitu
kematian seseorang, akan tetapi perbedaannya pun nampak di sana-
sini, antara lain dalam hal wujud harta peninggalan yang dapat
diwarisi oleh para ahli waris. Berkaitan dengan hal ini, Hukum Adat
sama dengan Hukum Islam yaitu bahwa harta benda peninggalan
pewaris yang dapat diwarisi oleh para ahli waris adalah harta benda
dalam keadaan bersih. Artinya, para ahli waris hanya berhak terhadap
peninggalan pewaris setelah dikurangi dengan pembayaran-
pembayaran hutang serta segala sesuatu kewajiban pewaris yang
belum sempat dilakukannya semasa pewaris hidup. Berbeda dengan
Hukum Waris BW dimana harta peninggalan yang dimaksudkan
adalah seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta
kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Maksudnya, yang dapat
diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya aktiva berupa hak-hak yang
bermanfaat, melainkan juga segala hutang-hutang atau pasiva beserta
seluruh kewajiban pewaris yang belum sempat dipenuhi olehnya
sewaktu masih hidup.
Oleh karena itu, di dalam hal pembagian harta warisan,
mencermati ketiga sistem hukum yang dikenal di Indonesia, ternyata
terdapat perbedaan yang sangat prinsipil antara Hukum Waris Islam di

85
satu pihak dengan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris BW di lain
pihak. Sebagai contoh umpamanya, menurut ketentuan dalam
Hukum Waris Islam anak laki-laki memperoleh bagian dua kali lipat
dari bagian anak perempuan. Sedangkan menurut Hukum Waris Adat
dan Hukum Waris BW anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli
waris bagian mereka tidak dibedakan. Jadi bagian anak perempuan
sama besar dengan bagian anak laki-laki.
Pada sisi lainnya, apabila terdapat anak angkat, menurut Hukum
Adat, anak angkat hanya akan mewarisi harta gono-gini bersama-sama
dengan ahli waris yang lainnya. Anak angkat tidak berhak atas harta
asal dari orangtua angkatnya sebab ia juga akan menjadi ahliwaris dari
orang tua kandungnya. Jadi dalam Hukum Adat dikenal sebutan
bahwa anak angkat memperoleh air dari dua sumber sebab di samping
sebagai ahli waris orang tua kandungnya, ia juga menjadi ahli waris
atas harta gono-gini dari orang tua angkatnya. Mengenai anak angkat
ini, Hukum Adat berbeda dengan Hukum Islam dan Hukum perdata
BW. Hukum waris Islam dan Hukum perdata waris BW tidak
mengenal anak angkat, sehingga dalam Hukum Waris Islam dan
Hukum Waris BW tidak dikenal anak angkat sebagai ahli waris.
Demikian pula berkenaan dengan kedudukan janda menurut
Hukum Islam berbeda dengan kedudukan duda, sebab janda sebagai
ahli waris dari mendiang suaminya hanya memperoleh
(seperdelapan) bagian dari harta warisan almarhum suaminya jika
terdapat anak-anak. Sedangkan apabila tidak terdapat anak, maka
bagian janda menjadi ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan.
Adapun bagian duda sebesar ¼ (seperempat) bagian dari harta
peninggalan jika terdapat anak, dan ½ (setengah) bagian dari harta
peninggalan jika tidak terdapat anak. Berbeda dengan Hukum Adat
dan Hukum perdata BW yang menempatkan kedudukan janda dan
duda dalam posisi yang sama sebagai ahli waris dari yang meninggal
lebih dahulu.

86
Anak yang lahir di luar perkawinan atau dinamakan “natuurlijk
kind”,54 baik menurut Hukum Adat maupun menurut Hukum Islam
hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Oleh karena itu,
anak tersebut hanya mewaris dari ibunya. Sedangkan menurut Hukum
perdata BW anak yang lahir di luar perkawinan terdapat dua
kemungkinan yaitu: (1) anak di luar perkawinan yang diakui selaku
anak (erkenning);55 dan (2) anak di luar perkawinan yang tidak diakui.
Anak yang lahir di luar perkawinan yang diakui selanjutnya menjadi
ahli waris dari orang tua yang mengakuinya. Sedangkan anak yang
lahir di luar perkawinan yang tidak diakui, tidak dapat menjadi ahli
waris sebab ia tidak mempunyai hubungan hukum apa pun dengan
orang yang melahirkannya sekali pun.
Anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak diakui adalah
anak yang lahir dari perbuatan “zinah” (overspel). Hal itu disebabkan
undang-undang tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak
yang dilahirkan dari perbuatan “zinah” (overspel). Disamakan dengan
anak yang dilahirkan dari perbuatan “zinah” (overspel) adalah “anak
sumbang”, yaitu anak yang lahir dari hubungan antara dua orang yang
dilarang untuk menikah karena masih sangat erat hubungan
kekeluargaannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan “zinah” (overspel) menurut

54
Lihat R. Subekti, Pokok-Pokok…Op. Cit., h. 41.
55
Barulah dengan pengakuan terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan orang tua yang
mengakuinya. Akan tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga
si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan itu hanya dapat
diletakan dengan “pengesahan” anak atau “wettiging” sebagai langkah lebih lanjut
dari pengakuan. Untuk dapat melakukan pengesahan, maka diperlukan syarat kedua
orang tua yang telah mengakui anaknya itu harus kawin secara sah. Lihat R. Subekti,
Pokok-Pokok…Loc. Cit.

87
BW adalah hubungan suami isteri yang dilakukan oleh dua orang
manusia yang salah satu dari mereka terikat dalam perkawinan dengan
orang lain. Kedua macam anak yang disebutkan di atas, yaitu anak
yang dilahirkan dari perbuatan zinah dan anak sumbang, tidak berhak
mewarisi harta benda apa pun dari orang tua yang melahirkannya, atau
orang tua yang membenihkannya. Akan tetapi ia berhak untuk
memperoleh sekedar nafkah yang cukup untuk hidup, meskipun
nafkah itu juga besarnya ditentukan menurut kekayaan ayah atau
ibunya serta jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah.
Dengan demikian, tuntutan seorang anak semacam itu terhadap
nafkah yang seharusnya ia peroleh, bukanlah suatu tuntutan sebagai
ahli waris melainkan tuntutan dari orang yang statusnya sebagi
seorang yang berpiutang.

88
4
A. Pengertian Pokok Hibah

1. Pengertian Hibah
Hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada
pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan
pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup
juga.Biasanya pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela
oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu, oleh kerena
pada dasarnya seseorang pemilik harta kekayaan berhak dan leluasa
untuk memberikan harta bendanya kepada siapa pun.
Sebenarnya hibah ini tidak termasuk materi hukum waris
melainkan termasuk hukum perikatan yang diatur di dalam Buku
Ketiga Bab kesepuluh Burgerlijk Wetboek (BW). Di samping itu, salah
satu syarat dalam hukum waris untuk adanya proses pewarisan adalah
adanya seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan
sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam hibah, seseorang pemberi
hibah itu masih hidup pada waktu pelaksanaan pemberian.
Berkaitan dengan hibah ini, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
a. Hibah yaitu perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah
ketika hidupnya untuk memberikan sesuatu barang dengan
cuma-cuma kepada penerima hibah;
b. Hibah harus dilakukan antara orang yang masih hidup;
c. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris, apabila tidak
dengan akta notaris, maka hibah batal;

89
d. Hibah antara suami isteri selama dalam perkawinan dilarang,
kecuali jika yang dihibahkan itu benda-benda bergerak yang
harganya tidak terlampau mahal.

2. Hibah menurut Hukum Islam


Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau
menghadiahkan sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih
hidup kepada orang lain yang disebut ”intervivos”.56 Pemberian
semasa hidup itu lazim dikenal dengan sebutan ”hibah”. Di dalam
Hukum Islam jumlah harta seseorang yang dapat dihibahkan itu tidak
terbatas. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat
wasiat yang terbatas pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih.
Berkaitan dengan persoalan hibah tersebut di atas, Asaf A. A.
Fyzee dalam bukunya ”Pokok-pokok Hukum Islam II” memberikan
rumusan hibah sebagai berikut: ”Hibah adalah penyerahan langsung
dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan”.57 Selanjutnya diuraikan
bahwa Kitab Durru’l Muchtar memberikan definisi hibah sebagai
”pemindahan hak atas harta milik itu sendiri oleh seseorang kepada
orang yang lain tanpa pemberian balasan.
Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi dalam hal melakukan
hibah menurut Hukum Islam ini, yaitu sebagai berikut:
a. Ijab, yaitu pernyataan tentang pemberian tersebut dari pihak
yang memberikan;
b. Qabul, yaitu pernyataan dari pihak yang menerima pemberian
hibah itu;
c. Qabdlah, yaitu penyerahan milik itu sendiri, baik dalam bentuk
yang sebenarnya maupun secara simbolis.
Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis
maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa ”dalam
Hukum Islam, pemberian berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan
56
Asaf A.A. Fayzee, Pokok-pokok Hukum Islam II. Jakarta: Tintamas, 1961, h. 1.
57
Ibid., h. 2.

90
dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis”. Akan
tetapi jika selanjutnya dikehendaki bukti-bukti yang cukup tentang
terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah
dinyatakan dalam bentuk tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan
dalam bentuk tertulis bentuk tersebut terdapat dua macam, yaitu:
a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya
menyatakan telah terjadinya pemberian;
b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan
alat dari penyerahan pemberian itu sendiri. Artinya, apabila
pernyataan dan penyerahan benda yang bersangkutan
kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian,
maka yang demikian itulah yang harus didaftarkan.
Hibah dengan syarat dan hibah yang digantungkan pada suatu
kejadian yang tertentu, adalah tidak sah. Yang dimaksud dengan hibah
bersyarat adalah suatu pemberian yang diserahkan dengan ketentuan
bahwa yang diberi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Misalnya: A akan memberikan rumahnya kepada B, jika B membantu
pekerjaan A. Pemberian atau hibah semacam ini menurut Hukum
Islam adalah batal.
Yang dimaksud dengan hibah yang tergantung pada suatu
kejadian, yaitu pemberian yang hanya akan terjadi apabila hal-hal
yang telah ditetapkan terlebih dahulu betul-betul terjadi. Misalnya:
Jika A meninggal dunia, rumah A menjadi milik B. Dalam hal ini jadi
atau tidaknya rumah A itu dimiliki oleh B sangat tergantung pada
suatu kejadian di masa datang yang tidak pasti, sebab di sini belumlah
dapat dipastikan bahwa pihak yang diberi akan berusia lebih panjang
dari pihak yang memberi, sehingga hibah semacam ini batal.
Seseorang yang hendak menghibahkan sebagian atau seluruh
harta kekayaannya semasa hidupnya, dalam Hukum Islam harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Orang tersebut harus sudah dewasa;

91
b. Harus waras akan pikirannya;
c. Orang tersebut harus sadar dan mengerti tentang apa yang
diperbuatnya;
d. Baik laki-laki maupun perempuan dapat melakukan hibah;
e. Perkawinan bukan merupakan penghalang untuk melakukan
hibah.
Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan
menerima hibah, sehingga hibah dapat saja diberikan kepada siapapun,
hanya ada beberapa pengecualian, antara lain sebagai berikut:
a. Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak
waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau
pengampu yang sah dari anak di bawah umur atau orang yang
tidak waras itu;
b. Bila hibah dilakukan terhadap anak di bawah umur yang
diwakili oleh saudaranya yang laki-laki atau oleh ibunya, hibah
menjadi batal;
c. Hibah kepada seseorang yang belum lahir juga batal.
Pada dasarnya segala macam harta benda yang dapat dijadikan
hak milik dapat dihibahkan, baik harta pusaka maupun harta gono-gini
seseorang. Benda tetap maupun benda bergerak dan segala macam
piutang serta hak-hak yang tidak berwujud itu pun dapat dihibahkan
oleh pemiliknya.
Hibah berbeda dengan pemberian-pemberian biasa, sebab
pemberian biasa mempunyai arti yang lebih luas yaitu meliputi semua
pemindahan hak milik tanpa balasan. Sedangkan hibah mempunyai
arti yang lebih sempit yaitu pemberian atas hak milik penuh dari
objek/harta tertentu tanpa pengganti kerugian apa pun. Pemindahan
hak milik atau levering dalam hibah tidak perlu dilakukan apabila:
a. Hibah dilakukan kepada seseorang yang tinggal dalam satu
rumah;
b. Hibah yang dilakukan antara suami-isteri dan sebaliknya;

92
c. Hibah dari seorang ayah kepada anak lelakinya atau dari
seorang ibu kepada anak lelakinya;
d. Hibah yang dilakukan oleh seorang wali kepada seseorang
yang berada di bawah perwaliannya;
e. Hibah yang dilakukan kepada seseorang yang sungguh-
sungguh menguasai barang yang dihibahkan itu karena ia
mendapat kepercayaan untuk menguasai barang tersebut sejak
semula dari penghibahnya.
Menurut Hukum Islam pada dasarnya semua perjanjian yang
dilakukan atas dasar suka rela seperti halnya juga hibah, dapat dicabut
kembali, meskipun tidak semua hibah dapat dicabut kembali oleh
pemberi hibah. Dalam beberapa hal pencabutan kembali hibah
memerlukan persetujuan pihak penerima hibah atau atas persetujuan
pengadilan.
Di bawah ini terdapat beberapa hibah yang tidak dapat dicabut
kembali, yaitu:
a. Hibah kepada seseorang yang karena hubungan darah, mereka
terlarang untuk kawin;
b. Hibah antara suami isteri dan sebaliknya;
c. Bilamana pemberian hibah atau penerima hibah telah
meninggal dunia, baik salah satu maupun dua-duanya;
d. Bila barang yang dihibahkan itu telah hilang atau hancur;
e. Bila barang yang dihibahkan itu telah dipindah-tangankan oleh
si pemberi hibah, baik dijual, diberikan kembali, atau dengan
cara-cara lain;
f. Bila barang yang dihibahkan itu telah bertambah nilainya
karena sesuatu sebab apa pun;
g. Bila pemberi hibah telah mendapatkan suatu penggantian untuk
hibah tersebut;
h. Bila hibah tersebut bermotif keagamaan atau kerohanian,
sehingga hibah yang demikian lebih bersifat sodaqoh.

93
3. Hibah menurut Hukum Perdata Barat (BW)
Di dalam BW hibah diatur dalam titel X Buku III yang dimulai
dari pasal 1666 sampai dengan pasal 1693. Menurut pasal 1666 BW,
hibah dirumuskan sebagai berikut: ”Hibah adalah suatu perjanjian
dengan mana si penghibah, pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma
dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda
guna keperluan di penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.
Dari rumusan tersebut di atas, dapat diketahui unsur-unsur hibah,
sebagai berikut:
a. Hibah merupakan perjanjian sefihak yang dilakukan dengan
cuma-cuma. Artinya, tidak ada kontra prestasi dari pihak
penerima hibah;
b. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai
maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah;
c. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam
harta benda milik penghibah, baik berada berwujud maupun
tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk
juga segala macam piutang penghibah;
d. Hibah tidak dapat ditarik kembali;
e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih
hidup;
f. Pelaksanaan dari penghibahan dapat juga dilakukan setelah
penghibah meninggal dunia;
g. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris.
Hibah antara suami isteri selama perkawinan tidak
diperbolehkan, kecuali mengenai benda-benda bergerak yang bertubuh
yang harganya tidak terlampau mahal. Demikian pula hibah tidak
boleh dilakukan kepada anak yang belum lahir, kecuali kepentingan
anak tersebut menghendaki.
Ada beberapa orang tertentu yang sama sekali dilarang
menerima penghibahan dari penghibah, yaitu:

94
a. Orang yang menjadi wali atau pengampun si penghibah;
b. Dokter yang merawat penghibah ketika sakit;
c. Notaris yang membuat surat wasiat milik si penghibah.
Meskipun hibah sebagai perjanjian sepihak yang menurut
rumusannya dalam pasal 1666 BW tidak dapat ditarik kembali,
melainkan atas persetujuan pihak penerima hibah. Akan tetapi dalam
pasal 1688 BW dimungkinkan bahwa hibah dapat ditarik kembali atau
bahkan dihapuskan oleh penghibah, yaitu:
a. Karena syarat-syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi;
b. Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakukan atau
membantu melakukan kejahatan lain terhadap penghibah;
c. Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah atau
tunjangan kepada penghibah, setelah penghibah jatuh miskin.
Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka
segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera
dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-
beban yang melekat di atas barang tersebut. Misalnya saja, barang
tersebut sedang dijadikan jaminan hipotik ataupun crediet verband,
maka harus segera dilunasi oleh penerima hibah sebelum barang
tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.

4. Hibah menurut Hukum Adat Jawa Barat


Pada seluruh lingkungan hukum adat di Indonesia, diakui bahwa
proses pewarisan harta seorang pewaris dapat mulai dilaksanakan
sejak pewaris masih hidup. Praktik semacam ini terdapat pula di Jawa
Barat. Di daerah Kabupaten Bandung, meskipun secara umum
pembagian harta warisan dilakukan setelah pewaris meningal, tidak
jarang terjadi pembagian tersebut dilaksanakan jauh sebelum pewaris
meninggal. Penyerahan harta warisan kepada ahli waris atau seorang

95
yang tidak termasuk ahli waris sebelum pewaris meninggal, disebut
hibah.

Tujuan/Maksud Hibah
Hibah kepada seorang ahli waris atau kepada mereka yang
dianggap berhak menerima bagian harta pewaris, dilakukan
dengan tujuan:
Mencegah perselisihan di antara para ahli waris, atau antara
para ahli waris dengan orang lain yang merasa berhak
mendapat pembagian harta peninggalan pewaris;
(Kabupaten Bandung, Cisarua, Jasinga, Leuwiliang,
Cileungsi, Cianjur, Karawang, Batujaya, Teluk Jambe,
Talagasari, Cianjur Karawang, Kecamatan Indramayu,
Kecamatan Jatibarang, Pandeglang);
Pernyataan rasa kasih sayang kepada penerima hibah
(kadeudeuh/kanyaah - Kabupaten Bandung, Jasinga,
Kecamatan Karawang, Kecamatan Talagasari, Batujaya
Karawang, Kecamatan Lonbener, Jatibarang, Kertasemaya,
Juntinyuat (Indramayu), Pandeglang);
Sebagai bekal anak-anak dikemudian hari (Kabupaten
Bandung);
Untuk menyempurnakan arwah pewaris, (Singaraja-Kecamatan
Indramayu).

Macam-macam Hibah
Di daerah-daerah di Jawa Barat, dikenal macam-macam hibah
yaitu:
hibah biasa;
hibah mutlak;
hibah wasiat;

96
wakaf.

Proses penghibahan
Seperti telah diutarakan di atas, hibah sebagai satu bagian dari
proses pewaris dilakukan sebelum pewaris meninggal. Di
daerah Kaupaten Bandung, penghibahan biasanya terjadi pada
saat perkawinan anak pewaris atau pada saat pewaris merasa
ajalnya telah dekat. Di daerah Banjar, sama dengan di daerah
Bandung, yaitu pada saat perkawinan. Sedangkan di daerah
Ciamis dan Kawali, selain karena alasan ajal dekat,
penghibahan terjadi menjelang pewaris menunaikan ibadah
haji.
Di daerah Cianjur, Karawang, Indramayu penghibahan
biasanya terjadi karena merasa ajal sudah dekat.
Penghibahan dapat terjadi dengan berbagai cara, yaitu:
Lisan, di hadapan mereka yang berkepentingan dan disaksikan
oleh pejabat desa (Cianjur, Bekasi, Kawali, Bandung,
Kecamatan Cilamaya (Karawang), Kecamatan
Kertasemaya, Kecamatan Lohbener, Kecamatan Indramayu
(Indramayu). Di beberapa daerah, penghibahan secara lisan
selain di hadapan mereka yang berkepentingan/penghuni
rumah, dilakukan di hadapan tetangga, tanpa
pemberitahuan kepada pejabat desa (Banjar, Kawali,
Leuwiliang, Juntinyuat, Jatibarang, Karanganyar). Di
Kecamatan Banjar, kalau hibah lisan tersebut berupa tanah,
diberitahukan kepada desa untuk pemindahan nama.
Tertulis :
Akta notaris (Cianjur, Ciamis, Karawang Wetan, Plawad,
Tunggakjati, Palimbonsari (Karawang), Jatibarang
(Indramayu);
Akta di bawah tangan (Bandung, Cisarua, Bekasi);

97
Di hadapan Kepala Desa (Bandung, Ciamis, Jasinga,
Cisarua, Leuwiliang), Ratujaya, Telagasari, Cilamaya,
Telukjambe, Karawang, Juntinyuat, Jatibarang
Indramayu.

Penerimaan hibah dan perhitungan nilai hibah


Pada semua daerah penelitian terdapat ketentuan yang sama
mengenai mereka yang akan menerima hibah. Penghibah atau
pewaris dapat menghibahkan harta peninggalannya kepada
siapa saja yang dikehendakinya, baik kepada ahli waris
maupun kepada orang lain yang bukan ahli waris. Dalam hal
hibah jatuh kepada ahli waris terdapat berbagai ketentuan
sebagai berikut:
Di daerah Cianjur, Banjar, Cisarua, Jasinga, Bandung, Ratujaya
(Karawang), hibah yang diterima ahli waris akan
diperhitungkan pada saat pelaksanaan pembagian waris;
Sebaliknya di Kecamatan Ciamis, Kawali, Cikoneng,
Cileungsi, Karawang, Indramayu, hibah tidak akan
diperhitungkan pada saat pelaksanaan pembagian waris.
Dalam hal pewaris menghibahkan hartanya kepada bukan
ahliwaris, penghibahan dibatasi sepanjang tidak merugikan hak
para ahli waris. Di daerah Kecamatan Banjar dan Ciamis, hibah
ditentukan sebesar dari kekayaan jika pewaris tidak
mempunyai anak. Akan tetapi dari penelitian setempat, belum
berhasil diungkapkan tindakan apakah yang dapat diambil
apabila jumlah hibah dianggap merugikan kepentingan ahli
waris atau sebagian ahli waris. Apakah dalam hal ini penerima
hibah harus mengembalikan hibah yang telah diterima. Dari

98
putusan-putusan pengadilan, dijumpai beberapa yurisprudensi
yang ada kaitannya dengan soal hibah.58 yaitu:
(1) Penghibahan dan penjualan harta kekayaan oleh pewaris
”Penghibahan dan penjualan harta, kekayaan oleh seorang
pewaris (yang hidup seorang diri setelah satu-satunya
anaknya meninggal dunia). Dilihat dari sudut agama dan
sosial, tidaklah salah, masuk akal dan dapat dibenarkan,
karena perbuatan seperti itu dianggap biasa dan dilakukan
secara turun-temurun (PT Bandung tanggal 6 Februari 1970
No. 439/1969/Perd/PTB);
(2) Perhitungan hibah dalam pembagian waris
”Apabila baik anak angkat maupun janda telah pernah
mendapat hibah dari pewaris maka lebih adil apabila bagian
janda adalah sama banyaknya dengan bagian anak angkat,
jika pewaris tidak meninggalkan anak kandung”.
(PT. Bandung tanggal 14 Mei 1970, No. 215/1969/
Perd/PTB, MA tanggal 29 Desember 1971, No.
925K/Sip/1971).
(3) Cara penghibahan
- Apabila seseorang dengan kemungkinan akan
meninggal dunia menetapkan mengenai kekayaan untuk
kepentingan isteri dan anak atau sanak saudara lain
yang terdekat, maka ketetapan itu disebut penghibahan.
(PN Tasikmalaya tanggal 5 Juni 1969 No.
10/1969/Perd. PT Bandung tanggal 9 Februari 1971 No.
16/1970/Perd/PTB. MA tanggal 5 Februari 1972 No.
855 K/Sip/1971).
- Meskipun suatu penghibahan merupakan hibah mutlak,
namun apabila kedua belah pihak sama-sama setuju,

58
Ibid, yurisprudensi Jawa Barat, h. 41-42 dan 71 – 73.

99
tiada halangan dalam hukum apabila tanah dan sawah
selama hidup pemberi hibah masih dikuasai olehnya.
(PT Bandung tanggal 9 Februari 1971 No.
16/1970/Perd/PTB MA tanggal 5 Februari 1972, No.
855 K/Sip/1971).

(4) Syarat-syarat hibah yang sah:


Suatu hibah, baik mengenai seluruh harta kekayaan
maupun mengenai beberapa harta benda tertentu, dilakukan
dengan lisan hanya di hadapan orang-orang yang
berkepentingan atau penghuni rumah tangga atau sanak
saudara, tanpa pemberitahuan mengenai hal itu kepada
seorang pejabat desa atau pejabat lain. Tetapi bila diadakan
hibah mengenai tanah secara lisan, pada umumnya diajukan
permintaan kepada Kepala Desa yang bersangkutan untuk
memindahkan tanah atas nama orang yang berkepentingan.

(5) Penghibahan diperkenankan asal saja tidak merupakan


pencabutan hak waris ahli waris lainnya:

Penghibahan diperkenankan asal saja tidak merupakan


pencabutan hak ahli waris lainnya (onterfing).
(PN Ciamis tanggal 22 Februari 1968 No.
16/1967/Sip/Cms. PT Bandung tanggal 9 Oktober 1970 No.
252/1969/Perd PTB. MA tanggal 30 Oktober 1971 No. 637
K/Sip/1971).

(6) Surat bukti hibah yang sah :


Surat zegel mengeai hibah yang konsepnya dibuat oleh
Kepala Desa dan ditik oleh Jurutulis setempat serta diberi
cap jempol oleh pemberi dan penerima hibah di depan
jurutulis tersebut, lagi pula disaksikan dan ikut diberi cap

100
jempol/tanda tangan oleh seorang saksi, juru tulis dan
Kepala Desa yang bersangkutan, ditambah dengan
kesaksian ijab-qabul dari hibah tersebut di Kantor Kepala
Desa merupakan bukti lengkap tentang sahnya surat hibah
tersebut dan kebenaran isinya.
(PN Tasikmalaya tanggal 5 Juni 1969 No. 10/1969/Perd.
PT Bandung tanggal 9 Februari 1971 No.
16/1970/Perd/PTB. MA tanggal 5 Februari 1972 No.
855K/Sip/1971).

(7) Penghibahan barang asal dalam hal si pemberi tidak


mempunyai anak:

Penghibahan barang asal seyogianya


dihadiri/disahkan/disetujui oleh saudara sekandungnya,
dalam hal si pemberi tidak mempunyai anak.
(PN Garut tanggal 30 Maret 1967 No. Reg. 9/1966/Perd.PN
Grt).

(8) Hibah mutlak kepada anak kukut :


Pemberian hibah mutlak barang-barang kepada anak kukut,
memperkuat angapan bahwa si penerima hibah adalah anak
kukutnya si pemberi hibah.
(PT Bandung tanggal 10 Januari 1970 No.
233/1969/Perd/PTB. MA tanggal 8 Mei 1971 No. 621
K/Sip/1970).

(9) Hibah kepada cucu gigir:


- Suatu penghibah kepada cucu gigir adalah sah, apabila
ia disetujui oleh para ahli waris dan dilakukan di depan
Kepala Desa, Camat dan Mantri Polisi setempat,
sedangkan surat hibahnya dibuat oleh jurutulis desa.

101
(PN Majalengka tanggal 20 Agustus 1969, No.
73/1970/Perd/PTB).
- Penghibahan tanah kepada dua orang cucu gigir di
dalam satu surat hibah sebanyak setengah dari seluruh
luas tanah yang dihibahkan.
(PN Majalengka tanggal 20 Agustus 1969, No.
20/Pdt/1969 Mjl. PT Bandung tanggal 17 Desember
1970, No. 73/1970/Perd/ PTB).

(10) Hibah kepada bukan ahli waris:


Pemberian hibah mutlak kepada orang yang sebenarnya
bukan ahli waris, yang disetujui oleh para ahli waris di
hadapan Kepala Desa adalah sah dan tidak dapat
dilenyapkan begitu saja, tanpa mengemukakan sebab-
sebab yang diperkenankan oleh hukum (PT Bandung
tanggal 27 Juni 1970. No. 64, 1970/Perd/PTB. MA
tanggal 19 April 1972, No. 97 K/Sip/1972).

(11) Barang yang belum dimiliki:


Seseorang tidak dapat menghibahkan suatu barang yang
belum ia miliki. (PN Karawang tanggal 12 Juni 1967,
No. 82/1965/Perdata. PT Bandung tanggal 23 Juli 1970,
No. 243/1969 Perd/PTB).

(12) Pembatalan Hibah:


Suatu hibah hanya dapat dibatalkan, apabila dapat
dibuktikan adanya unsur paksaan, kehilafan atau
penipuan pada waktu surat hibah dibuat. (PT Bandung
tanggal 30 Maret 1971, No. 36/1971/Perd/PTB, (Putusan

102
Akhir). MA tanggal 1 Maret 1972, No. 827
K/Sip/1971).

(13) Hak untuk berbuat sekehendaknya, atas barang-barang


kekayaan, jika tidak mempunyai keturunan:

Suami isteri yang tidak mempunyai keturunan semasa


hidupnya berhak untuk berbuat sekehendak hatinya
dengan barang-barang kekayaannya karena adalah suatu
kenyataan yang sulit dibantah bahwa yang menerima hak
biasanya yang mengurus penghidupan mereka.
(PT Bandung tanggal 10 Januari 1970, No.
233/1960/Perd/ PTB, MA tanggal 8 Mei 1971, No. 621
K/Sip/1970).

Apakah suatu hibah dapat ditarik kembali?


Di desa Leuwiliang dan Citeureup, suatu hibah dapat
ditarik kembali apabila bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan Hukum Adat dan Hukum Islam. Sebaliknya di
daerah Cianjur, Banjar, Ciamis, dan Cikoneng, suatu
hibah tidak dapat ditarik kembali meskipun utang
pewaris tidak dapat terlunasi dari kekayaan yang
ditinggalkannya. Di Batujaya, Teluk Buyung, Pisang
Sambo, Kecamatan Karawang (Karawang), Juntinyuat
(Indramayu) apabila hibah tersebut berupa hibah mutlak
maka hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali.

Ikhtisar Hibah
Seperti halnya juga hukum waris, sampai saat ini di Indonesia masih
berlaku lebih dari satu hukum yang mengatur perihal hibah. Artinya,
perihal hibah diatur baik oleh hukum Islam. Hukum perdata yang
bersumber pada BW, maupun Hukum Adat. Pada dasarnya

103
pengaturan masalah hibah menurut ketiga sistem hukum tersebut di
atas memiliki unsur-unsur kesamaan, meskipun dalam beberapa hal
satu sama lain mengandung pula perbedaan. Di bawah ini dapat
dilihat beberapa unsur persamaan dan perbedaan ”hibah” menurut
ketiga sistem hukum tersebut.
Baik menurut Hukum Islam, Hukum Perdata BW, maupun Hukum
Adat di Indonesia, hibah merupakan perjanjian sepihak yang
dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah,
atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma;
Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang
ketika masih hidup;
Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata BW, hibah tidak dapat
ditarik kembali, namun BW memberikan pengecualian dalam
hal-hal tertentu hibah dapat ditarik kembali atau dihapuskan
oleh penghibah. Demikian pula menurut Hukum Adat bahwa
hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali jika hibah itu
bertentangan dengan Hukum Adat.
Benda-benda yang dapat dihibahkan adalah segala sesuatu benda
milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah,
baik benda yang bergerak maupun benda tetap, benda
berwujud maupun tidak berwujud. Hal ini diatur sama, baik
dalam Hukum Islam, BW maupun Hukum Adat.
Menurut Hukum Adat, hibah dapat dilakukan dengan lisan
maupun tertulis. Sedangkan menurut Hukum Islam dan BW
hibah harus dilakukan secara tertulis, bahkan BW
mensyaratkan harus dengan akta notaris.
Dalam Hukum Islam dan BW hibah tidak ditentukan besarnya,
sedangkan dalam Hukum Adat ada beberapa daerah yang
menentukan besar hibah yaitu sepertiga dari kekayaan
penghibah, jika penghibahan dilakukan kepada bukan ahli

104
waris dan pemberi hibah tidak mempunyai anak, antara lain di
daerah Kabupaten Ciamis.
Meskipun pada dasarnya hibah itu tidak dibatasi jumlahnya, akan
tetapi secara tersirat terdapat pembatasan hibah yaitu bahwa
hibah tidak boleh berisi pencabutan hak ahli waris, apabila
demikian maka hibah batal demi hukum.
Bila yang dihibahkan adalah harta asal harta pusaka, maka Hukum
Adat Jawa Barat mensyaratkan adanya persetujuan atau harus
dihadiri oleh saudara sekandung penghibah. Sedangkan
Hukum Islam dan BW tidak demikian halnya.
Ketiga sistem Hukum di atas, melarang penghibahan sejumlah
barang yang baru akan ada di kemudian hari.
Hibah juga dilarang kepada anak yang belum lahir. BW
mengecualikan hal ini, yaitu dalam hal kepentingan anak
menghendaki, maka hibah semacam ini diperbolehkan.

Pengertian Hibah Wasiat atau Wasiat


Hibah wasiat atau wasiat atau sering juga disebut testamen adalah
”pernyataan kehendak seseorang mengenai apa yang akan dilakukan
terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia kelak”.59 Pelaksanaan
hibah wasiat ini baru dilakukan setelah pewaris meninggal dunia. Di
dalam praktik pelaksanaannya, hibah wasiat harus memenuhi beberapa
persyaratan tertentu agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum waris dan tidak merugikan para ahli waris lain yang
tidak memperoleh pemberian melalui hibah wasiat. Dalam kaitan ini
pula hukum membatasi kekuasaan seseorang untuk menentukan
kehendak terakhirnya melalui hibah wasiat agar ia tidak
mengesampingkan anak sebagai ahli waris melalui hibah wasiat.
Istilah hibah wasiat diambil dari bahasa Arab, sehingga dalam
hukum waris Islam kedudukan hibah wasiat sangat penting sebab Al
59
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Binaaksara, 1984, h. 87.

105
Qur’an menyebut perihal hibah wasiat ini berulang kali. Di samping
dalam hukum waris Islam, hibah wasiat dikenal pula dalam hukum
perdata menurut BW dan dalam hukum waris adat.

1. Hibah wasiat menurut hukum waris Islam


Demikian pentingnya hibah wasiat dalam Hukum Islam sehingga Al
Qur’an secara tegas dan jelas memberikan tuntunan tentang hibah
wasiat atau wasiat. Ayat-ayat yang berhubungan dengan hibah wasiat
ini antara lain tercantum dalam:
a. Surat Al Baqarah (Q.S. 2 : ayat 180,181,182), yaitu:
Ayat 180:
”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, yakni secara adil dan baik, ini adalah kewajiban atas
orang-orang yang bertaqwa”.
Ayat 181:
”Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia
mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya bagi orang-orang
yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”.
Ayat 182:
”Akan tetapi barang siapa khawatir terhadap orang yang verwasiat
itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan,
yakni menyuruh orang yang berwasiat berlaku adil dalam
mewasiatkan sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syarat,
antara mereka, maka tidak dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

b. Surat Al Baqarah ayat 240:


”Orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya

106
diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah
dari rumahnya. Akan tetapi jika mereka pindah sendiri, maka tidak
ada dosa bagimu, wali atau waris dari yang meninggal membiarkan
mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.

c. Surat An Nissa (Q.S. IV : 11 dan 12), yaitu :


Ayat 11:
”..... Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah di penuhi
wasiat yang ia buat atau sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat, banyak, manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah”.
Ayat 12:
”..... Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dibayar
hutang-hutangmu.....”.

Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hibah wasiat


antara lain terdiri atas:

a. Almusji, yaitu orang yang membuat surat wasiat itu harus cakap
dan bertindak secara sukarela tanpa paksaan serta ia harus benar-
benar berhak atas harta yang akan diwasiatkan.

b. Almusja, lahu, yaitu orang yang akan menerima hibah wasiat harus
cakap untuk menerimanya, ia tidak termasuk ahli waris pemberi
hibah wasiat, dan harta yang diperoleh dari hibah wasiat itu tidak
boleh dipergunakan bertentangan dengan hukum.

c. Almusaji, bihi, yaitu benda yang akan dihibah wasiat kan sifatnya
harus dapat dipindahtangankan. Hibah, hibah wasiat tidak boleh

107
melebihi (sepertiga) dari harta setelah dikurangi dengan semua
hutang sebab melebihi dari sepertiga berarti mengurangi hak ahli
waris. ”Hal itu berdasarkan pada Hadits Riwayat Buchari yang
meriwayatkan tentag nasihat Rasullullah SAW kepada Sa’ad bin
Abi Waqqas, ketika merasa dirinya akan meninggal dunia”.60

d. Asj Sjighah, yaitu isi dari hibah wasiat harus terang dan jelas, tidak
menimbulkan kekeliruan, tidak bertentangan dengan peraturan
yang telah ditentukan, dan dilakukan di depan saksi-saksi paling
sedikit dua orang.
Apabila ternyata ada hibah wasiat yang melebihi sepertiga dari
harta peninggalan, maka diselesaikan dengan salah satu cara
sebagai berikut:
(1) ”Dikurangi sampai btas sepertiga harta peninggalan”; atau
(2) ”Diminta kesediaan semua ahli waris yang pada saat itu berhak
menerima warisan, apakah mereka mengikhlaskan kelebihan
dari sepertiga itu. Jika para ahli waris menyatakan ikhlas, maka
pemberian hibah wasiat yang melebihi sepertiga itu halal
hukumnya”.61
Ketentuan lain yang berkaitan dengan hibah wasiat juga antara lain
bahwa setelah pemberi hibah meninggal dunia, penerima hibah
wasiat harus menyatakan secara tegas bahwa ia menerima hibah
wasiat. ”Hal tersebut hanya dapat dilakukan setelah pemberi hibah
wasiat meninggal sebab ketika pemberi hibah wasiat hidup, hibah
wasiat sewaktu-waktu dapat ia cabut kembali. Jika penerima hibah
wasiat meninggal dunia setelah pemberi hibah wasiat wafat, akan
tetapi penerima hibah wasiat belum secara tegas menyatakan
menerima, maka sebagai gantinya adalah ahli waris mereka masih
berhak untuk itu”.62

60
Abdul Wahid Selayan, Ichtisar Hukum Islam, Padang: Mimbar, 1964, h. 236.
61
Sajuti Thalib, Op.Cit, h. 92-93.
62
Komar Andasasmita.,Op. Cit, h. 29.

108
2. Hibah wasiat menurut BW
Hukum waris menurut BW mengenal pengaturan hibah wasiat ini
dengan nama testamen yang diatur dalam buku kedua bab ketiga belas.
Dalam pasal 875 BW secara tegas disebutkan pengertian tentang surat
wasiat, yaitu:

”Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia
meninggal dunia dan dapat dicabut kembali.”
Ketentuan lain dalam pembuatan surat wasiat ini adalah bahwa
pembuat wasiat harus menyatakan kehendaknya yang berupa amanat
terakhir ini secara lisan di hadapan notaris dan saksi-saksi. Salah satu
ciri dan sifat yang terpenting dan khas dalam setiap surat wasiat, yaitu
surat wasiat selalu dapat ditarik kembali oleh si pembuatnya. Hal ini
disebabkan tindakan membuat surat wasiat adalah merupakan
perbuatan hukum yang sifatnya sangat pribadi.

BW mengenal tiga macam bentuk surat wasiat, yaitu:


a. Wasiat Olografis
Yaitu surat wasiat yang seluruhnya ditulis dengan tangan dan
ditanda tangani pewaris sendiri. Kemudian surat wasiat tersebut
harus diserahkan untuk disimpan pada seorang notaris dan
penyerahan kepada notaris ini ada dua cara, yaitu bisa diserahkan
dalam keadaan terbuka bisa juga dalam keadaa tertutup. Kedua
cara penyerahan dan penyimpanan pada notaris itu mempunyai
akibat hukum yang satu sama lain berbeda, yaitu:
(1) Apabila surat wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka maka
dibuatlah akta notaris tentang penyerahan itu yang
ditandatangani oleh pewaris, saksi-saksi, dan juga notaris. Akta
penyimpanan tersebut ditulis di kaki surat wasiat tersebut, jika

109
tidak ada tempat kosong pada kaki surat wasiat tersebut, maka
amanat ditulis lagi pada sehelai kertas yang lain.
(2) Apabila surat wasiat diserahkan kepada notaris dalam keadaan
tertutup, maka pewaris harus menuliskan kembali pada sampul
dokumen itu bahwa surat tersebut berisikan wasiatnya dan
harus menandatangani keterangan itu dihadapan notaris dan
saksi-saksi. Setelah itu pewaris harus membuat akta
penyimpanan surat wasiat pada kertas yang berbeda.

Surat wasiat yang disimpan pada seorang notaris kekuatanya


sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umum. Jika
pewaris meninggal dunia dan wasiat diserahkan kepada notaris
dalam keadaan terbuka, maka segera penetapan dalam surat
wasiat dapat dilaksanakan sebab notaris mengetahui isi surat
wasiat tersebut. Sedangkan sebaliknya, jika surat wasiat
diserahkan dalam keadaan tertutup, maka pada saat pewaris
meninggal dunia surat wasiat tidak dapat segera dilaksanakan
sebab isi surat wasiat itu tidak dapat diketahui notaris.
Sedangkan notaris dilarang membuka sendiri surat wasiat
tersebut, maka untuk kepentingan itu surat wasiat harus
diserahkan terlebih dahulu kepada Balai Harta Peninggalan
untuk membukanya.

b. Wasiat umum
Yaitu surat wasiat yang dibuat oleh seorang notaris, dengan cara
orang yang akan meninggalkan warisan itu menghadap notaris
serta menyatakan kehendaknya dan memohon kepada notaris agar
dibuatkan akta notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu
di hadapan saksi-saksi. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan
perantaraan orang lain, baik anggota keluarganya maupun notaris

110
yang bersangkutan. Surat wasiat harus dibuat dalam bahasa yang
dipergunakan oleh pewaris ketika menyampaikan kehendaknya,
dengan syarat bahwa notaris dan saksi-saksi juga mengerti bahasa
tersebut. Hal ini mengingat kesalahan dalam surat wasiat, biasanya
tidak dapat mengingat kesalahan dalam surat wasiat, biasanya tidak
dapat diperbaiki lagi sebab hal itu baru diketahui setelah pewaris
meninggal dunia. Jadi sedapat mungkin kesalahan formalitas itu
harus diperkecil. Syarat untuk saksi-saksi dalam surat wasiat umum
antara lain harus sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah.
Mereka harus warga negara Indonesia dan juga mengerti bahasa
yang dipakai dalam surat wasiat tersebut. Terdapat beberapa orang
yang tidak boleh menjadi saksi dalam pembuatan surat wasiat
umum ini, yaitu:
1) para ahli waris atau orang yang menerima hibah wasiat atau
sanak keluarga mereka sampai derajat keempat.
2) anak-anak, cucu-cucu, dan anak-anak menantu, dan anak atau
cucu notaris.
3) pelayan-pelayan notaris yang bersangkutan.

c. Wasiat Rahasia
Yaitu surat wasiat yang ditulis sendiri atau ditulis orang lain yang
disuruhnya untuk menulis kehendak terakhirnya. Kemudian ia
harus menandatangani sendiri surat tersebut. Surat wasiat macam
ini harus disampul dan disegel, kemudian diserahkan kepada
notaris dengan dihadiri empat orang saksi. Penutupan dan
penyegelan dapat juga dilakukan di hadapan notaris dan empat
orang saksi. Selanjutnya pembuat wasiat harus membuat
keterangan di hadapan notaris dan saksi-saksi bahwa yang termuat
dalam sampul itu adalah surat wasiatnya yang ia tulis sendiri atau
ditulis orang lain dan ia menandatangani. Kemudian notaris

111
membuat keterangan yang isinya membenarkan keterangan
tersebut.
Setelah semua formalitas dipenuhi, surat wasiat itu selanjutnya
harus disimpan pada notaris dan selanjutnya merupakan kewajiban
notaris untuk memberitahukan adanya surat wasiat tersebut kepada
orang-orang yang berkepentingan, apabila pembuat surat
wasiat/peninggal warisan meninggal dunia.

3. Hibah Wasiat menurut Hukum Adat Jawa Barat.


a. Pengertian dan Tujuan Wasiat.
Wasiat atau hibah ialah pemberian pewaris kepada
seorang/beberapa ahli waris atau orang tertentu, yang dilaksanakan
setelah pewaris meninggal dunia.
Pemberian dengan hibah wasiat ini terdapat sangat umum di Jawa
Barat, dan tidak dapat dipisahkan dari pewarisan.
Hibah wasiat merupakan salah satu proses dalam pewarisan. Sama
halnya dengan hibah biasa, wasiat dibuat karena berbagai alasan,
seperti:
i. Untuk menghindarkan persengketaan (Kabupaten Bandung,
Karawang, Indramayu, Pandeglang);
ii. Perwujudan rasa kasih sayang dari si pewaris (Kabupaten
Bandung, Pandeglang);
iii. Pewaris merasa ajalnya telah dekat (Cianjur, Banjar, Ciamis,
Kawali, Cikoneng);
iv. Pewaris akan melaksanakan ibadah haji (Cianjur, Banjar,
Ciamis, Kawali).
Pewaris dapat mencabut atau menarik kembali suatu wasiat yang
sudah dibuat atau diikrarkan. Tetapi selama wasiat tidak dicabut
atau ditarik kembali, para ahli waris berkewajiban untuk
menghormati wasiat tersebut. Di desa Buyung, Batujaya, Pisang

112
Sambo (Karawang) hibah wasiat tidak dapat ditarik kembali
apabila dibuat secara tertulis.

b. Pembuatan atau ikrar wasiat


1) Lisan
a) Di hadapan orang-orang yang berkepentingan atau
penghuni rumah, tetangga, sanak saudara tanpa
pemberitahuan kepada pejabat desa (Cianjur, Ciamis,
Banjar, Kawali, Bandung, Bekasi, Pandeglang). Di
Kecamatan Ciamis, apabila wasiat berupa tanah
diberitahukan kepada desa untuk pemindahan nama.
b) Di hadapan pejabat desa (Saruni Kecamatan Pandeglang).

2) Tertulis
a) Di bawah tangan (Ciamis, Bandung, Bekasi, Kawali,
Pandeglang);
b) Di hadapan Kepala Desa (Ciamis, Cianjur, Bandung,
Cikoneng, Pendeglang);
c) Akta Notaris (Cianjur);
d) Di hadapan saksi-saksi (Ciamis, Cianjur, Cikoneng).

Pandangan yang umum berlaku adalah; pemberian berdasarkan


wasiat akan diperhitungkan pada saat pembagian waris. Tetapi di
Ciamis, Cikoneng, Kawali dan Pandeglang, di peroleh keterangan
bahwa barang yang diterima karena wasiat tidak diperhitungkan
pada saat pembagian waris.
Mengenai besarnya kekayaan yang dapat diwariskan, berbeda-
beda antara berbagai daerah. Di daerah Kabupaten Bandung, tidak
ada ketentuan mengenai batas besarnya wasiat kepada seorang
bukan ahli waris. Demikian juga di daerah Cianjur,
Pandeglang,juga Karawang tidak ada batas jumlah secara pasti

113
hanya sebagai suatu kebiasaan jumlah wasiat tidak akan melebihi
dari seluruh kekayaan. Jumlah tersebut akan diperhitungkan
pada saat pembagian waris (apabila wasiat jatuh pada
seorang/beberapa ahli waris). Di Bulak (Kabupaten Indramayu)
ada batas maksimum dalam pemberian wasiat yaitu . Di
Kecamatan Ciamis, Banjar dan Kawali, tidak dibenarkan
pewarisan kepada bukan ahli waris, jadi di daerah-daerah ini, hibah
atau hibah wasiat sebagai proses pewarisan hanya diperuntukan
kepada ahli waris. Di daerah-daerah tersebut, hibah wasiat
ditentukan sebanyak-banyaknya dari kekayaan. Tetapi tidak ada
jawaban, apakah dimungkinkan seseorang di masa hidupnya
memberikan hibah sebagai hadiah sebagian kekayaan kepada
seorang yang bukan ahli waris, tetapi memiliki pertalian yang
sangat erat dengannya. Misalnya pemberian kepada saudara ipar
(saudara isteri/suami). Di Cikoneng tidak dijumpai pembatasan
pewarisan. Pewaris dapat mewariskan baik kepada ahli waris atau
orang lain (bukan waris). Di Jutinyuat, Juntikehon, dan Dadap
(Indramayu) hibah wasiat kepada orang lain dapat diberikan, asal
ada persetujuan terlebih dahulu dari ahli waris. Di desa Plawad
(Kecamatan Karawang) hibah wasiat selalu diberikan kepada
anggota keluarga.

D. Ihtisar Hibah Wasiat


Pernyataan kehendak seseorang tentang apa yang akan dilakukan
terhadap harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia, ini
diperkenalkan oleh hukum dan disebut hibah wasiat atau wasiat. Hal
ini diatur, baik dalam Hukum Islam, BW, maupun Hukum Adat dan di
bawah ini akan dipaparkan ikhtisar tentang bagaimana masing-masing
sistem hukum mengatur perihal hibah wasiat atau wasiat.

114
Dikenal pada semua sistem hukum yang berlaku di Indonesia tentang
waris. Bahwa hibah wasiat atau wasiat adalah pemberian seseorang
kepada orang lain di luar ahli waris, melalui surat wasiat atau
testamen. Akan tetapi pemberian itu dapat dilaksanakan setelah
pewaris meninggal dunia.

Hukum Islam memberikan pembatasan tentang pemberian melalui


surat wasiat ini sampai jumlah sepertiga dari harta peninggalan
bersih. Hal ini dimaksudkan agar pewaris dengan surat wasiat yang
ia buat tidak mengesampingkan hak para ahli waris menurut
Undang-undang. Di lain pihak, Hukum Islam membatasi bahwa
seseorang dilarang mewasiatkan kepada ahli warisnya sendiri.
Demikian pula dalam Hukum Adat bahwa tidak diperbolehkan
seseorang peninggal warisan dalam hibah wasiat
mengesampingkan seorang anak sama sekali dari pembagian harta
warisan. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa orang yang
memperoleh pemberian melalui wasiat itu di luar para ahli waris
atau setidak-tidaknya kepada orang-orang yang masih termasuk
sanak keluarga yang sudah agak jauh hubungan kekeluargaannya.
Hukum Perdata BW juga mengatur demikian, bahwa pemberian
dengan surat wasiat umumnya dilakukan kepada orang-orang di
luar ahli waris, dengan pembatasan adanya ”legitime portie”, yaitu
bagian mutlak para ahli waris dalam garis lurus, anak-anak beserta
keturunannya dan orang tua beserta leluhur ke atas, tidak boleh
dikurangi oleh pewaris dengan adanya wasiat ataupun hibah sebab
bagian mutlak para ahli waris itu telah ditentukan jumlahnya dalam
Undang-undang.

Bentuk yang dikenal dalam ketiga sistem hukum tersebut pada


dasarnya sama, yaitu dapat berbentuk lisan maupun tertulis. Tentu
saja apabila wasiat dibuat dengan lisan melalui ucapan-ucapan
terakhir peninggal warisan, maka untuk sahnya wasiat semacam itu

115
hendaknya dihadiri oleh para saksi. Sedangkan apabila wasiat
dibuat secara tertulis, hal ini bisa dilakukan di depan notaris atau
tidak di depan notaris, menurut BW. Sedangkan menurut Hukum
Islam jika wasiat dibuat secara tertulis, surat tersebut tidak perlu
ditandatangani, akan tetapi apabila surat tersebut ditandatangani
oleh pembuat wasiat sendiri maka tidak perlu memakai saksi sebab
sepanjang maksud pembuat wasiat sudah tersurat dengan jelas,
wasiat tersebut sah menurut Hukum Islam. Berlainan halnya
dengan Hukum Adat yang mengatur tentang pembuatan wasiat
tertulis bahwa isi surat wasiat tersebut yang merupakan kehendak
terakhir pewaris harus dibacakan di depan beberapa orang sanak
keluarga yang selanjutnya harus turut menandatangani wasiat
tertulis itu.

Persetujuan para ahli waris dalam hal pembuatan wasiat dikenal dalam
Hukum Islam maupun Hukum Adat. Dalam Hukum Adat antara
lain, para ahli waris harus turut serta menandatangani wasiat,
sedang dalam Hukum Islam persetujuan para ahli waris harus
diberikan baik sebelum meninggalnya pewaris maupun sesudah
meningalnya pewaris, jika wasiat tersebut melebihi jumlah
sepertiga dari harta peninggalan bersih. Jika para ahli waris tidak
menyetujui, maka wasiat tersebut dikurangi sampai jumlah
sepertiga itu.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa wasiat merupakan


kehendak terakhir dari pewaris. Oleh karena itu, baik menurut
Hukum Islam, menurut BW, maupun Hukum Adat, wasiat dapat
ditarik kembali sewaktu-waktu oleh pembuat wasiat dengan secara
tegas atau pun secara diam-diam selama pembuat wasiat belum
meninggal dunia. Pencabutan secara diam-diam terjadi jika dari
perbuatan pembuat wasiat dapat disimpulkan bahwa ia bermaksud
mencabut wasiatnya. Sedangkan pencabutan secara tegas terjadi

116
jika pembuat wasiat membuat surat wasiat baru yang isinya nyata-
nyata memuat tentang pencabutan kembali surat wasiat semula,
atau bisa juga pencabutan dilakukan dengan akta notaris khusus
yang dibuat untuk itu. Hukum Adat tidak mengenal formalitas
tentang pencabutan wasiat semacam yang dikenal di dalam BW.
Sedangkan Hukum Islam mengatur pencabutan wasiat, yaitu
apabila pembuat wasiat kemudian dengan surat-surat wasiat yang
lain memberikan harta itu juga kepada orang lain, ini berarti wasiat
pertama dicabut kembali. Akan tetapi jika di dalam surat wasiat
yang baru itu harta tersebut diberikan kepada dua orang, maka
harta tersebut harus dibagi sama rata antara kedua orang tersebut.

Hukum Adat dan Hukum Islam tidak mengenal ”fideicommis”. Hal ini
hanya dikenal dalam Hukum Waris menurut BW, yaitu ”pemberian
warisan kepada seorang ahli waris dengan ketentuan bahwa yang
memperoleh pemberian itu wajib menyimpan warisan tersebut dan
setelah pewaris meninggal atau telah lewat waktu tertentu harta
warisan itu harus diserahkan kembali kepada orang lain yang telah
ditetapkan di dalam surat wasiat”. BW menyebut hal itu dengan
istilah ”pemberian warisan secara melangkah”. Akan tetapi
undang-undang sendiri sesungguhnya melarang ”fidei-commis” ini.
Sebagai pengecualian dari larangan tersebut dikenal ada dua
macam fidei-commis yang diperkenankan Undang-Undang, yaitu:

Fidei-commis yang isinya bertujuan agar harta pewaris tidak


dihabiskan oleh anak-anak pewaris. Hal ini secara tegas
ditetapkan dalam surat wasiat, agar anak-anak pewaris tidak
menjual harta peninggalan itu dengan kewajiban
memberikannya kembali kepada anak mereka;

117
Fidei-commis de residuo yaitu penetapan pewaris agar anak-anak
pewaris memberikan harta peninggalan yang tersisa saja
kepada orang yang telah ditetapkan dalam surat wasiat.

118
DAFTAR PUSTAKA

ABDOERAOEF, Al-Quran dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan


Bintang,1970.
ALI ASH SHABUNI, Syekh Muhammad, Hukum Waris Menurut
Al Quran dan Hadis. Bandung: Tigenda Karya, 1995.
ANDASASMITA, Komar, Pokok- pokok Hukum Waris. Bandung:
IMNO Unpad,1984.
FYZEE, Asaf A.A., Pokok-pokok Hukum Waris Islam II. Jakarta:
Tinta Mas, 1961.
HAAR, Ter Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1960.
HADIKUSUMA, Hilman, HukumWaris Adat. Bandung: Alumni,
1980.
HASAN, M. Ali, Hukum Warisan dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
HAZAIRIN, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran.
Jakarta: Tinta Mas, 1959.
__________, Hukum Kekeuargaan Nasional. Jakarta: Tinta Mas,
1968.
ICHSAN, Achmad, Hukum Perdata I B. Jakarta: Bimbingan Masa,
1969.
JUNUS, Mahmud, H., Turutlah Hukum Warisan dalam Islam.
Jakarta: TP, 1968.
_________________, Kesimpulan Isi Al-Quran. Jakarta: Hadi
karya Agung,1978.
KUSUMAATMADJA, Mochtar, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional. Bandung:Binacipta,
1972.
__________________,Pembinaan Hukum dalam rangka
Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta, 1976.
Fakultas Hukum Unpad, Laporan Proyek Penelitian Hukum Adatdan
Lembaga-LembagaHukum Adat di Jawa Barat,
Bandung: LPHK-FH Unpad,1981.
MELIALA, Djaja Sembiring, Hukum Adat karo dalam Rangka
Pembentukan Hukum Nasional. Bandung: Tarsito,
1978.
NAIM, Mochtar, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris
Minangkabau. Padang: Sri Dharmawan, 1968.
NIWAN, Lely, Hukum Waris Menurut KUH Perdata. Makasar:
LPHK- FH-Unhas,1971.
NOTOPURO, Hardjito, Masalah-masalah dalam Hukum Waris di
Indonesia. Jakarta: TP, 1971.
PITLO, A., Hukum Waris jilid I. Jakarta: Intermasa, 1979.
____________, Hukum Waris jilid 2, Jakarta: Intermasa : 1979

119
POERWADARMITA, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
PRODJODIKORO. Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia.
Bandung: Vorkink. Van Hoeve, TT.
PUDJOSUBROTO, Santoso, Masalah Hukum Sehari-hari.
Yogyakarta: Hien Hoo Sing, 1964.
RAMULYO, M. Idris, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i
Hazairin dan Wasiat Wajib di Mesir, tentang
Pembagian warisan untuk cucu menurut Islam;
Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 tahun
keXII, Jakarta: Maret 1982.
SAFIOEDIN, Asis, Beberapa Hal Tentang Burgelijk Wetboek.
Bandung: Alumni, 1973.
SALAYAN, Abdul Wahid, Hak Wanita. Medan: Bintang, 1959.
______________, Ikhtisar Hukum Islam. Padang: Mimbar, 1964.
SAMSUDIN, Achmad, Yurisprudensi Hukum Waris. Bandung:
Alumni, 1983.
SIHOMBING, Hermawan, Perkembangan Kewarisandalam adat
Minangkabau; Majalah Hukum dan Keadilan;
Jakarta: BPHN No.3, 1975.
SOEKANTO, Soejono, Kamus Hukum Adat. Bandung: Alumni,
1978.
_______________, Intisari Hukum Keluarga. Bandung: Alumni,
1980.
_______________, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali,
1981.
SOEPOMO, Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Rajawali,
1980.
_______________, Hukum Perdata Jawa Barat. Jakarta: Penerbit
Universitas, 1966.
SOEWONDO, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum
dan Masyarakat. Jakarta: Timur Mas, 1968.
SUBEKTI, R., Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung. Bandung: Alumni,
1974.

_______________, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Inter


Masa,1977.
_______________, Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Bandung:
Alumni, 1980.
SUDIYAT. Iman, Hukum, Adat sketsa Asas. Yogyakarta:
Liberty,1978.
SUTANTIO, Retnowulan, Wanita dan Hukum. Bandung: Alumni,
1979.
THALIB, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta:
Bina Aksara, 1984.

120
_______________, Usaha Pembaharuan Hukum Keawarisan Islam
di Indonesia; Majalah Hukum dan Pembangunan No.
2 tahun ke XII, Jakarta: Maret 1982.
WIGNJODIPURO Surojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat.
Jakarta: Gunung Agung, 1982.

121
Lampiran 1

1. Anak
2. Cucu sampai ke
bawah
4 3. Ayah
4. Kakek sampai ke
atas
5. Saudara
3 10 11
sekandung
6. Saudara sebapak
7. Saudara seibu
8. Anak saudara
14 12 13
sekandung
Yang
Mati
15 5 6 7

1 8 9
9. Anak saudara
sebapak
2 10. Paman sekandung
11. Paman sebapak
12. Anak paman
sekandung
13. Anak paman
sebapak
14. Suami
15. Yang
memerdekakan

Sumber: Al-Qawim, Ilmu yang Terlupakan. Bandung: YPP Nurul Iman, 2002.
1. Anak
2. Cucu dari anak
5 laki-laki
4 3. Ibu
4. Nenek dari Ibu
5. Nenek dari Bapak
3 BAPAK

Yang 6 7 8
Mati
10

1 Anak
Laki-laki

6. Saudara
sekandung
2 7. Saudara sebapak
8. Saudara seibu
9. Isteri
10. Yang
memerdekakan

Sumber: Al-Qawim, Ilmu yang Terlupakan. Bandung: YPP Nurul Iman, 2002.
AHLI WARIS YANG MEMPUNYAI BAGIAN-BAGIAN TERTENTU

NAMA Bagian KETERANGAN No. Mahjub (terhalang)


Dalil oleh

Anak perempuan a ½ Bila Seorang 22


b Bila Dua orang/lebih 21 Tidak ada
c A Bila Dengan anak laki-laki 20
a ½ Bila Seorang 22
b Bila Dua orang/lebih 21 Anak laki-laki atau
Cucu perempuan c 1/6 Bila Dg. seorang anak 12 anak perempuan dua
perempuan orang atau lebih
d A Bila Dg cucu laki-laki 20
a Mal Bila Tak ada anak/cucu 5
Ibu b Sisa Bila Dg ayah, suami/isteri 7 Tidak ada
c 1/6 Bila Ada anak/cucu 6
d 1/6 Bila dg sdr.dua orang/lebih 24
Nenek dari Ibu a 1/6 Bila Ibu
Nenek dari Ayah a 1/6 Bila Ada anak cucu/tidak 2/3 Ibu/Ayah
a ½ Bila Seorang 14
Saudara perempuan b Bila Dua orang/lebih 10
sekandung c A Bila dg sdr.laki-laki 11 Anak laki-laki atau
sekandung Ayah
d A Bila Dg anak perempuan 12
e A Bila Dg kakek 26
a ½ Bila Seorang 14
Saudara perempuan b Bila Dua orang/lebih 10 Anak laki-laki atau
sebapak c 1/6 Bila Dg seorang sdr. 13 ayah atau sdr. Laki-
perempuan sekandung laki sekandung atau
d A Bila Dg sdr.laki-laki 11 sdr. Perempuan
sebapak sekandung dua orang
e A Bila Dg anak perempuan 12 atau lebih
f A Bila Dg kakek 26
Saudara laki- a 1/6 Bila Seorang 8 Ayah/Kakek/anak/
laki/perempuan seibu b Bila Dua orang/lebih 9 cucu
a ½ Bila Tidak ada anak/cucu 18
Suami b ¼ Bila Ada anak/cucu 19 Tidak ada
Isteri seorang / lebih a ¼ Bila Tidak ada anak/cucu 16
b Bila Ada anak/cucu 17 Tidak ada
Ayah a 1/6 +A Bila 27 Tidak ada
Kakek dari ayah a 1/6 +A Bila Ada anak/cucu 27,23 Ayah
Ayah/kakek mendapat bagian 1/6 + Ashabah bila masih ada sisa. M=Mahjub. A=Ashabah

Sumber: Al-Qawim, Ilmu yang Terlupakan. Bandung: YPP Nurul Iman, 2002.
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki
3. Ayah
4. Kakek dari Ayah
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
9. Paman sekandung
10. Paman sebapak
11. Anak paman sekandung
12. Anak paman sebapak
13. Laki-laki/Perempuan yang memerdekakan

Sumber: Al-Qawim, Ilmu yang Terlupakan. Bandung: YPP Nurul Iman, 2002.
Lampiran 2

PIDATO PENGARAHAN MENTERI KEHAKIMAN RI


PADA SIMPOSIUM HUKUM WARIS NASIONAL
JAKARTA, 10 – 12 PEBRUARI 1983

Hadirin yang saya hormati,


Para peserta Simposium yang berbahagia,
Perkenankanlah saya pertama-tama untuk memanjatkan puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia serta
hidayahNya, yang memungkinkan kita untuk berkumpul dalam
pertemuan pagi hari ini dalam rangka mengisi program pertemuan ilmiah
Badan Pembinaan Hukum Nasional yang terakhir dalam tahun anggaran
1982/1983. Sebagaimana halnya pada pertemuan-pertemuan ilmiah
terdahulu penyelenggaraaan pertemuan ilmiah kali inipun dimaksudkan
sebagai usaha untuk memberi isi serta masukan ke arah pembinaan dan
pembaharuan kodifikasi Hukum Nasional, khususnya di bidang Hukum
Waris sebagai salah satu unsur dari Hukum Perdata Nasional. Dilihat dari
segi lain, Simposium Hukum Waris Nasional ini juga merupakan tindak
lanjut dari kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional di bidang
penelitian dan pengkajian hukum yang membahas mengenai hukum
waris.
Hadirin yang saya hormati,
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam Simpoium
Pembaharuan Hukum Perdata Nasional yang diadakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta pada tanggal 21-23
Desember 1981, telah dikemukakan bahwa di bidang Hukum Waris ini
masih nampak adanya sifat pluralistik. Terlihat masih berlakunya Hukum

131
Waris Adat, Islam dan BW secara bersama-sama, sementara di bidang
Hukum Adat sendiri menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan darah
Hukum Adat yang satu dengan lainnya, yang berkaitan erat dengan
kekeluargaan (patrilinial, matrilinial dan parental), dengan jenis serta
status harta yang akan diwariskan.
Di samping ditunjukkan adanya perbedaan yang terdapat pada
masing-masing sistem hukum tersebut, satu hal yang perlu saya tekankan
secara khusus pada kesempatan ini adalah telah disepakatinya untuk tidak
perlu menonjol masalah perbedaan tersebut. Sebaliknya, harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat ditemukan titik-titik
persamaan antara satu dengan yang lain melalui penetapan asas-asas
Hukum Waris, baik yang diambil dari Hukum Islam, Hukum Adat
maupun Hukum Barat, untuk dirumuskan menjadi Hukum Waris
Nasional.
Para peserta Simposium sekalian,
Saya sengaja mengemukakan kembali hal tersebut di atas karena
berpendapat bahwa ia sangat relevan dengan masalah yang menjadi topik
pembahasan Simposium ini. Saya sangat menghargai prakarsa Badan
Pembinaan Hukum Nasional membahas topik dengan cara yang
memungkinkan semua pandangan bertemu pada suatu titik untuk
mengangkat asas-asas serta prinsip-prinsip Hukum Waris dan berbagai
sistem hukum yang berbeda itu ke tingkat Nasional. Usaha semacam ini
saya anjurkan hanya terbatas pada Hukum Waris saja, tetapi perlu
dilakukan pula pada bidang-bidang hukum lainnya. Dalam hubungan ini
saya perlu mengingatkan bahwa dalam pembinaan hukum nasional
bahan-bahan baku hukum yang digunakan dapat saja diambil dari
berbagai sumber yang mungkin berbeda satu sama lain untuk
dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan bahan baku hukum dari
berbagai sumber hukum tadi, hasilnya akan merupakan norma hukum

132
yang diharapkan dapat diterima oleh seluruh warga negara sebagaimana
yang diinginkan dalam konsepsi Wawasan Nusantara di bidang hukum.
Khusus mengenai Hukum Waris yang akan Saudara-saudara
bahas selama tiga hari ini, saya sangat berharap ditemukannya asas-asas
dan prinsip-prinsip yang bersifat nasional, asas-asas dan prinsip-prinsip
yang bersumber dari berbagai sistem hukum namun akhirnya akan
bermuara pada Hukum Waris Nasional yang akan dirumuskan nanti.
Demikian sambutan singkat saya, yang saya sertai doa dambaan
semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati anda semua dan semoga
pertemuan ilmiah ini sebagai bahagian dari usaha pembinaan Hukum
Nasional akan menemukan manfaat besarnya. Akhirnya kepada para
peserta saya ucapkan selamat bersimposium.
Terima kasih.

Jakarta, 10 Pebruari 1983


MENTERI KEHAKIMAN RI

ttd

ALI SAID, S.H.

133
Lampiran 3

KESIMPULAN SIMPOSIUM
HUKUM WARIS NASIONAL

1. Kesimpulan

A. Umum

1. Latar Belakang

Pemikiran ke arah perlunya suatu pengaturan mengenai hukum


waris Nasional yang telah dimulai sejak tahun 1960 sebagaimana
dinyatakan dalam Ketetapan MPRS Nomor 11/MPRS/1960 agar
supaya diundangkan undang-undang mengenai hukum waris.
Persoalan ini kemudian dikembangkan pula sebagai salah satu topik
pembahasan Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963. Seminar
tersebut telah berhasil merumuskan beberapa kesepakatan berkenaan
dengan hukum kewarisan Nasional antara lain tentang perlu
mengadakan kodifikasi dan unifikasi hukum kewarisan.
Sebagai langkah konkrit untuk mewujudkan kesepakatan tersebut
oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H., telah diselesaikan Rancangan Undang-
Undang Hukum Kewarisan Nasional RI (1963) dan kemudian oleh
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LHPN) telah pula disusun
kerangka draft Hukum Waris Nasional yang berlaku untuk seluruh
Indonesia dalam rangka mewujudkan prinsip Wawasan Nusantara.

2. Bahan-bahan

Langkah langkah untuk mewujudakan cita-cita tersebut didukung


oleh sejumlah bahan-bahan yan tersedia berupa:
a. Rancangan Undang-Undang Hukum Waris Nasional oleh Prof.
Dr. Hazairin,S.H. (1963);
b. Kerangka Draf Hukum Waris Nasional oleh tim penyusun
RUU Hukum Waris Nasional LPHN (1973);
c. Hasil penelitian tentang masalah Hukum Waris yang dilakukan
antara lain oleh:
i. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional/ Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN);
ii. Mahkamah Agung RI;
iii. Departemen Kehakiman RI;
iv. Departemen Agama RI;
v. Universitas/ Institut;
vi. Lembaga lembaga lainnya.
d. Hasil hasil pertemuan ilmiah tentang masalah Hukum Waris
Nasional Antara lain :

134
i. Seminar Hukum NasionalI 1983 khususnya untuk bidang
asas-asas Tata Hukum Nasional di dalam bidang hukum
waris;
ii. Diskusi tentang Hukum Waris, Lembaga Pembinaan
Hukum Waris Nasional (LPHN)1973;
iii. Seminar Hukum Waris bagi umat Islam yang
diselenggarakan oleh Proyek Pembinaan Badan Peradilan
Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama di Jakarta pada tanggal 22 sampai
dengan 26 Mei 1978;
iv. Seminar Hukum Waris yang diselenggarakan oleh Proyek
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI di Cisarua Bogor tanggal 5-8 April1982.
v. Panel diskusi tentang pewarisan yang diselenggarakan
oleh tim pengkajian Hukum Islam tahun 1981/1982
Badan Pembinaan Hukum Nasional di Jogjakarta, tanggal
20 Desember 1981;
Hasil Panel Diskusi Pengkajian bidang Hukum Islam
Mengenai anak angkat tanggal 13 Desember 1980;
vi. Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
yang bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada di
Jogjakarta tanggal 21-23 Desember1981;
vii. Simposium Hukum Waris Nasional yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta
tanggal 10-12 Februari 1983;
viii. Draft Akademis mengenai Adopsi dan Pengangkatan
Anak (1980/1981).

e. Hasil-hasil pengkajian dari Panitia ahli dan Tim pengkaji


Badan Pembinaan Hukum Nasional antara lain:
i. Sumbangan pikiran Panitia Ahli Badan Pembinaan
Hukum Nasional 1980/1981 tentang paradigma filsafat
untuk mengidentifikasi Asas Hukum Nasional.
ii. Laporan hasil tim pengkaji Hukum Perdata, Hukum Adat,
dan Hukum Islam.
Bahan-bahan tersebut telah cukup memadai untuk dapat
dijadikan dasar guna mengambil langkah-langkah konkrit
ke arah penyusunaan Hukum Waris Nasional, walaupun
untuk beberapa hal tertentu bahan-bahan tersebut perlu
untuk diolah dan dikaji kembali secara mendalam dengan
memperhatikan perkembangan baru yang terjadi dalam
masyarakat.

3. Pendekatan

Usaha penyusunan Hukum Waris Nasional harus dilakukan


secara hati-hati mengingat akan sifat pekanya bidang ini yang memang
erat sekali hubungannya dengan Agama dan kebudayaan agar tidak

135
menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Mengingat akan
pentingnya penyusunan Hukum Waris Nasional ini kiranya langkah-
langkah ke arah itu harus mulai dilakukan secara bertahap, walaupun
masih ada pendapat yang menyatakan bahwa pada saat ini masih
belum waktunya. Usaha tersebut dapat dimulai di bidang yang cukup
netral, misalnya yang menyangkut bidang Administrasinya saja.
Disarankan pula agar Hukum Waris Nasional yang akan disusun
nanti tidak perlu seluruhnya bersifat memaksa (dwingend recht) akan
tetapi dimana perlu ada bagian-bagiannya yang yang bersifat mengatur
saja (regelend recht).
Pola penyusunan dapat dilakukan sesuai denan Undang-Undang
Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang masih membuka
kemungkinan diterapkannya hukum dari masing masing golongan.
Dengan demikian, dalam sistem Hukum Waris Nasional yang akan
datang di samping hukum tertulis diakui pula berlakunya hukum tidak
tertulis (Hukum Agama dan Hukum Adat).
Dari pendapat yang berkembang dalam Simposium didapat
kesepakatan tentang asas-asas umum (general principles) Hukum
Nasional di dalam bidang Hukum Waris seperti asas kemanfaatan,
asas keadilan, dan asas kepastian hukum.
Akan tetapi mengenai asas-asas khusus Hukum Waris masih
terdapat perbedaan karena ada asas-asas yang dapat diterima dan ada
pula yang belum disepakati. Untuk itu simposium baru berhasil
menemukan persamaan dan perbedaan tentang asas-asas tersebut.

B. Materi

1. Kesepakatan Pendapat

a. Asas

Asas-asas yang telah ditetapkan dalam GBHN TAP/ MPR/


1978 dan disepakati pula dalam Seminar Hukum Nasional
IV Tahun 1979, dijadikan dasar bagi pembentukan Hukum
Waris Nasional.

b. Hal Pewarisan

(1) Pewarisan pada dasarnya berlangsung menurut garis


menurun;
(2) Tujuan utama adalah untuk membuat para penerima
(ahli waris) hidup dengan sejahtera.
(3) Pola pembagian warisan adalah parental individual,
setidak-tidaknya cenderung ke arah itu.
(4) Pola parental individual mengenai penggantian secara
terbatas.

c. Subjek waris

136
(1) Ahli waris adalah mereka yang mempunyai pertalian
keluarga dengan pewaris melalui:
- Perkawinaan;
- pertalian darah;
Dengan demikian suami, isteri, anak, bapak, dan ibu
adalah ahli waris satu sama lain. Mereka itu adalah ahli
waris golongan pertama.

(2) Perlindungan
- perlunya ada ketentuan untuk melindungi para ahli
waris, agar jangan sampai mereka dirugikan.
- tentang pewarisan untuk isteri kedua dan seterusnya,
mengikuti asas tersebut dalam pasal 65 b dan c UU
Nomor 1 Tahun1974.

(3) Yang tidak mewarisi waris


Orang yang membunuh pewaris tidak berhak mewaris
dari harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya.

d. Objek pewarisan

(1) Apa yang diwariskan


Pada hakikatnya yang beralih dari tangan yang wafat
kepada ahli waris adalah barang-barang peninggalan
dalam keadaan bersih dalam arti hutang-hutangnya
telah dibayar (saldonya).
(2) Fungsi harta warisan
Harta warisan berfungsi sebagai modal dasar materiil
bagi pembinaan kehidupan dan mewujudkan keadilan
sosial.

e. Masalah Administras
i
(1) Mengenai surat keterangan waris
a) Perlu adanya penetapan mengenai lembaga yang
diberi kewenangan untuk menerbitkan surat
keterangan waris.
b) Perlu adanya ketelitian dalam segi-segi teknis
yuridis dari perolehan surat keterangan waris.
(2) Mengenai surat wasiat
a) Perlu adanya penyeragaman dan kemudahan dalam
tata cara dan syarat syarat untuk membuat surat
wasiat.
b) Perlu pendayagunaan pendaftaran surat wasiat
dengan melembagakannya sampai ke daerah daerah.

137
2. Pendapat pendapat yang masih berbeda

a. Subjek Hukum Waris

(1) Ahli waris berbeda agama


a) Terdapat perbedaan pendapat dalam hal waris
mewaris antara orang yang berlainan agama. Satu
pihak menghendaki diberikan hal mewaris,
sebaliknya pihak lain menyatakan hal itu tidak
mungkin dilaksanakan sebab ada larangan agama.
b) Dalam hal ada perbedaan agama dan pendapat yang
menyetujui pengalihan harta dilakukan melalui
hibah atau wasiat.

(2) Anak luar kawin


Anak luar kawin dapat mewarisi dari ibu kandung dan
keluarga ibu kandungnya lihat pasal 43 Undang-undang
tentang Perkawinan. Mengenai hal-hal lain belum ada
kesepakatan.

(3) Anak angkat


a) Ada dua pendapat mengenai anak angkat, anak
angkat yang dapat mewaris dan yang tidak dapat
mewaris.
b) Dalam Hukum Islam anak angkat bukan ahli waris.

(4) Yang tidak berhak mewaris


Adalah yang melakukanperbuatan tercela (mencoba
membunuh, memfitnah, menganiaya, dan
menggelapkan surat wasiat pewaris).

b. Objek Hukum Waris

(1) Dalam Hukum Adat harta kekayaan sebelum


merupakan suatu kebulatan, sebaliknya dalam Hukum
Islam dan BW terdapat kesatuan yang bulat.

(2) Ada pendapat yang berbeda mengenai pelaksanaan


pewarisan atas harta pencaharian di Minangkabau.

a) Besarnya bagian anak


Tentang bagian-bagian yang akan diterma belum
ada kesepakatan.
Ada pendapat yang menghendaki agar anak laki-
laki dan perempuan mendapat bagian yang sama
tanpa diskriminasi.

138
Sebaliknya ada pendapat yang mempertahankan
bahwa bagian anak laki-laki harus 2 (dua) kali
bagian anak perempuan yang berdasarkan ketentuan
Hukum Waris Islam.
Tapi ketentuan ini tidak menutup kemungkinan di
adakannya wasiat atau musyawarah untuk
memberikan jumlah yang sama kepada anak
perempuan.

b) Bagian janda/duda
Belum ada kesepakatan tentang besarnya jumlah
bagian yang diterima oleh janda/duda.
(i) Janda/duda memperoleh bagian sama dengan
bagian anak;
(ii) Janda/duda memperoleh bagian ½ dari harta
warisan ditambah dengan 1 bagian anak;
(iii)Menurut Fadilah janda/duda tanpa anak ¼ dan
janda/duda dengan setelah mendapat bagian
dari harta bersama.

c) Anak angkat
(i) Bagian anak angkat tidak sama besarnya dengan
anak kandung;
(ii) Anak angkat memperoleh bagian yang sama
besarnya dengan anak kandung;
(iii)Menerima bagian secara hibah atau wasiat;
(iv) Anak angkat hanya mewaris dari gono gini;
(v) Anak angkat tidak mendapat warisan dari orang
tua angkatnya.

c. Administrasi

(1) Ada pendapat agar instansi pamong praja (Lurah,


Camat) diberikan kewenangan waris, demi kemudahan.
(2) Mengenai surat waris
Ada usulan yang ditunjuk untuk membuat wasiat/akta
adalah: Panitera Pengadilan Negeri, Notaris, dan
pejabat lain dengan mengingat asas yang tercantum
dalam pasal 4 ayat (2) UU Pokok Kekuasaan
Kehakiman.

3. Lain-lain

a. Perihal wadah dan wewenang


Diperlukan ketegasan dalam pengaturan tentang wadah
yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa-
sengketa waris maupun menetapkan “hukumnya” dalam hal
tidak ada sengketa;

139
(1) Ada pendapat, bahwa dalam hal mengenai hukum waris
Islam, hendaknya ditetapkan agar Peradilan Agama-lah
yang diberi wewenang, sedangkan untuk hukum waris
lainya ditetapkan Peradilan Umum;
(2) Ada pula pendapat bahwa hendaknya hanya Peradilan
Umum yang diberi wewenang.

b. Perihal pewarisan tanah


(1) Diusulkan agar calon pewaris pada masa hidupnya
sudah menunjuk siapa-siapa ahli waris yang kelak akan
menerima tanah tersebut sebagai warisan;
(2) Pengaturan selanjutnya diatur oleh Undang-Undang
Hak Milik atas tanah.
c. Perihal istilah-istilah
Istilah-istilah dalam hukum waris perlu dibakukan agar
lebih jelas dan pasti.

II. Rekomendasi

Di dalam Simposium terdapat petunjuk petunjuk adanya


informasi yang berlainnya mengenai perkembangan-
perkembangan hukum waris di daerah. Diperkirakan bahwa
informasi yang berlainan itu terjadi karena adanya
perbedaan metoda dan waktu penelitian. Oleh karena itu,
diusulkan agar diadakan penelitian lanjutan. Yang
berfungsi mengecek kebenaran dan memonitor
perkembangannya.

Diusulkan agar diadakan tindak lanjut yang menuju kepada


pembentukan naskah akademis RUU Hukum Waris.

Semua hasil-hasil Simposium, Seminar, maupun penelitian


hendaknya dipergunakan dan dimanfaatkan secara
maksimal.

140

You might also like