Professional Documents
Culture Documents
Tujuan Penelitian:
Dipersiapakan oleh:
2009
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
DAFTAR ISI
BAB I PEDAHULUA
A. Pengantar
B. Konteks Makro dari Permasalahan
C. Perkembangan Upaya Penanganan Permasalahan
D. Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan
Bab IV SOLUSI
A. Alternatif-alternatif Solusi
B. Solusi Pilihan
PEDAHULUA
A. Pengantar
Kesejahteraan rakyat adalah tujuan dari berfungsinya sebuah Negara. Tanpa tujuan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di dalamnya maka arah perkembangan suatu
Negara dapat diprediksikan akan rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu
yang bertujuan untuk memonopoli kesejahteraan untuk dirinya, kelompoknya,
ataupun kalangan tertentu dalam jaringannya.
Untuk itu, sebuah Negara yang di dalamnya pemerintah menjadi regulator memiliki
peran sangat mendasar dalam menentukan arah kepemerintahan. Hal ini khususnya
menghindari adanya celah bagi pihak lain atau bahkan aktor dalam pemerintahan
sendiri untuk masuk dan menyalahgunakan peran yang dimilikinya.Bila hal ini
terjadi maka, secara politik, Negara akan lemah karena intervensi kekuatan politik di
luar dirinya yang melemahkan posisi Negara vis a vis dengan kekuatan lain di luar
dirinya dan secara ekonomi kekuatan modal luar menggerogoti sumberdaya alam dan
manusia yang dimiliki oleh Negara.
Sumberdaya ekonomi Negara adalah salah satu asset yang paling rentan digerogoti
oleh aktor-aktor ini, apalagi dalam konteks era perdagangan bebas. Di era ini,
berbagai level pengusaha mengambil manfaat dari ruang yang disediakan Negara
untuk mencari keuntungan. Di dalamnya ada pelaku usaha mikro dan kecil dengan
aneka usaha kecil yang mengisi apa yang disebut sektor informal dan pelaku usaha
Untuk keluar dari dilema ini, maka sebuah aturan ketat dibutuhkan untuk menata
agar kompetisi berlangsung secara adil dan bukan dalam bingkai ‘kompetisi
sempurna’ di mana semua pelaku dianggap setara untuk bertarung satu sama lain.
Jelas dalam pemikiran ini, pelaku usaha kecil apalagi mikro tidak akan mungkin
bersaing dengan pelaku usaha raksasa yang memiliki modal nyaris tanpa batas akibat
kemudahan akses kepada pihak perbankan dan agunan yang beraneka ragam yang
mereka miliki. Di sinilah peran sebuah Negara diharapkan hadir menyelamatkan
relasi yang timpang dan menciptakan iklim usaha yang adil bagi keduanya. Sektor
formal cukup penting untuk diperhatikan, namun sektor informal jauh lebih penting
untuk diperhatikan karena daya serapnya yang sangat tinggi akan tenaga kerja yang
tak mampu diserap oleh sektor formal.
Tempat paling subur bagi pelaku usaha sektor informal adalah pasar lokal dan
sepanjang badan jalan kota. Pelaku ini mengisi segala ruang ‘informalitas kota’ di
sana untuk menjajakan hasil produksi dari tanah di desa dan pabrik-pabrik di kota
atau pinggir kota. Denyut nadi usaha ini sudah berdenyut sejak sebuah komunitas
Salah satu contoh dalam hal ini adalah sebuah pasar lokal di kota Makassar yakni
pasar Terong. Pasar ini, sebelum mengalami revitalisasi tahap satu di era
pemerintahan Daeng Patompo pada tahun 1972 menyusul tahap kedua di masa Malik
B. Masri tahun 1994 adalah pasar rakyat. Pasar ini didirikan secara alamiah oleh
rakyat berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat yang mulai ramai di awal tahun
1950an. Salah satu fackor pendorong (push factor) terjadinya migrasi dari desa
adalah maraknya aksi ‘gerombolan’ Qahhar Mudzakkar di desa dan daya tarik (pull
factor) kota yang menyediakan lapangan kerja yang ‘mudah’.
Contoh lain seperti pasar Cidu, yang hingga kini masih masih berfungsi sebagai area
jual-beli bagi komunitas kampong Tabaringan dan sekitarnya jauh sebelum tahun
1950. Fungsi dasarnya tidak pernah terganggu, walau pada persoalan kebersihan dan
drainase yang buruk tetap masih menjadi kelemahan pasar ini yang seharusnya
diperhatikan oleh pemerintah. Pasar Cidu, bila dibentangkan hanya memiliki panjang
kurang lebih seratus meter dengan bentuk huruf ‘L’. Selalu ramai sejak pukul 06.00
hingga pukul 12.00 siang dan akan berlanjut di jalan Tinumbu pada sore harinya
khususnya bagi pembeli yang melintas sepulang kerja dari pelabuhan atau area
industri di sekitarnya.
Demikian pula pasar Kokolojia di kampong Kokolojia tepat di muka tempat atau
Pasar Pelelangan Ikan ‘Lelong’ jalan Rajawali telah melayani masyarakat di
sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Lahirnya pasar Terong berawal di awal tahun 1960 di mana masyarakat di sekitar
Maccini dan Baraya yang menjadi area migrasi semakin padat dan pasar Kalimbu
yang berdiri lebih dulu tidak mampu lagi mengakomodir pembeli yang semakin
padat. Dengan hadirnya pasar Terong dan banyak pasar lokal lainnya maka hiduplah
ekonomi kota Makassar. Puluhan ribu pedagang kecil, mikro, dan aneka jasa lainnya
terserap dengan mudah di sektor ini walaupun mereka tidak berpendidikan formal.
Menurut berbagai laporan ekonomi saat itu, baik dari IMF maupun World Bank, roda
pertumbuhan Indonesia tumbuh dengan pesatnya bahkan mampu menembus angka 8
digit. Secara teori, efek menetes ini seharusnya terjadi, namun dalam kenyataannya,
tidak terjadi! Pelaku usaha raksasa sebagai kroni Negara dan aktor pemerintah dalam
hal ini rezim Orde Baru telah secara bersama menikmati keuntungan itu dan
membatasi ‘tetesan’ ke bawah dan dengan sendirinya meruntuhkan fondasi ekonomi
Negara pada tahun 1996/1997 dan terus berlanjut yang menyebabkan penolakan
rakyat kepada Soeharto sebagai presiden di tahun 1998.
Krisis masih terus berlanjut dan pilihan model ekonomi kita belum lepas dari
kerangka ‘pasar bebas’ di mana peran Negara direduksi sedemikian rupa dalam
ragam praktek deregulasi, privatisasi, dan hukum permintaan dan penawaran
yang seringkali tidak berjalan secara alami. Pilihan Negara ini bukan tanpa sebab,
karena 3 poin kebijakan di atas adalah sebentuk pemaksaan dari aktor di luar Negara
dalam hal ini World Bank dan IMF dan aktor ekonomi Negara lain yang sekian lama
menyeret Indonesia ke dalam sistem ekonomi pertumbuhan yang telah membuat
Negara sangat tergantung dari aspek finansial yang berimplikasi pada politik.
Di akhir tahun 1990an dan sepanjang tahun 2000an, di kota Makassar, berbagai
proyek revitalisasi beberapa pasar ‘tradisional’ berlangsung. Beberapa contoh
diantaranya adalah pasar Butung yang menjadi pusat grosir garmen (1999), pasar
Sentral yang beralih fungsi menjadi Makassar Mall (1994), pasar Daya menjadi
Pusat Niaga Daya (2000), dan pasar Baru dan pasar Terong (1995). Ke depan sedang
direncanakan revitalisasi pasar Pabaeng-baeng dan pasar pasar Panampu. Tiga pasar
hasil revitalisasi di atas, Butung, Sentral, dan Terong praktis mengalami kegagalan.
Pasar Butung tak berfungsi di lantai 3 dan 4, lantai 2 kurang dari 50 % terisi. Nasib
yang sama menimpa pasar Sentral yang menapikan pedagang di lantai dasar yang
tersiksa oleh kepengapan dan bau kurang sedap, serta drainase serta sanitasi yang
buruk. Pasar Terong pun demikian, menyisakan persoalan ‘kesemerawutan’ akibat
kekecewaan yang mendalam atas tidak maksimalnya fungsi gedung baru bagi
mereka, di mana pembeli malas masuk dan pedagang kehilangan kepraktisannya.
Di saat yang sama, kebijakan pemerintah kota dari periode satu ke periode lainnya
terus berpihak kepada ‘pasar luar’ atau kerap disebut ‘pasar moderen’. Akibatnya
pusat perbelanjaan dan aneka toko moderen mulai dari rumah toko hingga pusat
pertokoan dan mal menjamur hingga mengurangi keindahan kota dan yang terparah
mengurangi daya tarik pasar lokal yang tidak diperhatikan dengan baik.
Semua ini harus dibenahi demi kepentingan pelaku di sektor informal. Sektor formal
juga penting, namun sektor informal harus diutamakan. Dalam kajian Miftah
Wirahadikusumah, bahkan disebutkan bahwa sektor informal dapat berfungsi
sebagai ‘katup pengaman’ atas konflik kapitalis dan borjuis dalam hubungan
pemodal-pekerja di level industry kota (LIPI, 1997). Bahkan lebih jauh dari sekedar
katup pengaman bagi relasi pekerja-pemodal, sektor informal juga mampu memberi
peluang kerja yang jauh lebih lebar dari pada yang dapat ditampung oleh sektor
informal.
Untuk itu, keberpihakan Negara dalam hal ini pemerintah kota sangat dibutuhkan.
Namun, berbeda dengan keberpihakan ala pemerintah Orde Baru, keberpihakan
Pada sebuah peta kota Makassar tahun 1955, hanya ada terlihat 5 pasar lokal, yakni
pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Termasuk
dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Jauh sebelum itu, di tahun
1917, sebuah photo tua memperlihatkan pasar Boetoeng di awal berdirinya. Pasar ini,
begitu rapih dengan model hamparan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dari
banyak pasar lokal kita. Sebuah pasar yang telah didefinisikan oleh Negara sebagai
pasar tradisional atau dengan kata lain sebagai pasar yang ketinggalan jaman. Di
tahun yang sama, tepatnya 1 September 1917, sebuah peraturan tentang pasar
dikeluarkan untuk menjamin tertatanya pasar ini dengan baik. Surat edaran itu
bernomor 15 dan yang menjadi pengesah surat itu adalah W. Fryling. Pokok
pengaturannya adalah pendayagunaan lingkungan pasar dengan model penarikan
retribusi. Retribusi dalam surat itu di tulis dengan bahasa lokal ‘sussung pasara’
dengan pengawasan yang ketat dan penggunaan yang maksimal untuk berbagai
kepentingan tata kelola pasar lokal.
Tabel 1
Ketiga, krisis ekonomi 1997 yang telah menyebabkan ambruknya sektor ekonomi
formal yang menyebabkan terjadinya rasionalisasi pekerja (PHK) di sektor industri
kota yang tinggi dan menuntut mereka memilih sektor informal untuk bertahan
hidup. Dan keempat, mudahnya memperoleh modal usaha dari para ‘lintah darat’
atau yang lazim disebut ‘appa’bunga doe’’ dan koperasi dengan bunga hingga 20%.
Klasifikasi ‘tradisional’ dan ‘liar’ atau ‘resmi’ dan ‘tidak resmi’ bagi pasar lokal
yang dilekatkan oleh pemerintah dan media lokal menunjukkan adanya berbagai
bentuk diskriminasi. Bentuk diskriminasi dimaksud dapat dilihat dari aspek
pelayanan bagi pelaku pasar lokal seperti maraknya aksi penertiban (baca
penggusuran), sulitnya akses modal usaha bagi pelaku usaha kecil dan mikro,
mahalnya harga kios setelah revitalsasi pasar lokal, kumuhnya puluhan pasar-pasar
lokal yang masih eksis, dan lain-lain.
Diskriminasi juga terlihat dari tiadanya regulasi yang mengatur secara khusus dan
adil atas ekonomi kerakyatan, khususnya pasar lokal vis a vis pusat perbelanjaan dan
toko moderen. Satu-satunya regulasi pemerintah kota yang berkaitan dengan pasar
lokal adalah Peraturan daerah kota Makassar No. 12/2004 tentang ‘Pengurusan Pasar
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
Dalam Daerah Kota Makassar’ yang sedikit banyak bernafaskan otoritarian di mana
peran besar dilekatkan kepada pihak perusahaan daerah (perusda) dan pengawasnya
dengan menapikan peran dari pedagang pasar lokal sendiri.
Tentu saja, dari sekian perda yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah kota, belum
ada kebijakan pasar yang benar-benar menempatkan pasar lokal khususnya para
pedagang di dalamnya sebagai aktor utama. Dalam perda ini, pemerintah kota telah
melimpahkan kekuasaan penuh kepada Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya
untuk mengelola pasar. Dengan demikian seorang direktur PD Pasar Makassar Raya
memiliki wewenang penuh dalam menetapkan berbagai hal seputar pasar mulai dari
areal hingga waktu buka pasar.
Bila merujuk ke belakang, beberapa aturan yang sedikit banyak merujuk pada sektor
informal adalah Peraturan Daerah kota Ujung Pandang/Makassar no. 10 Tahun 1990
(Tgl. 17 Desember 1990) tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima Dalam Daerah
Kotamadya Daerah TK II Ujung Pandang, lalu no. 8 Tahun 1992 (Tgl 12 Oktober
1992) tentang Pendirian Perusahaan Daerah Bank Pasar Kotamadya Daerah TK II
U.Pandang, kemudian no. 8 Tahun 1996 (Tgl. 26 Agustus 1996) tentang Retribusi
Pasar dan Pusat Perbelanjaan Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang,
lalu no. 4 Tahun 1999 tentang Pendirian Perusahaan daerah Pasar Makassar Raya
Kota Ujung Pandang, selanjutnya no. 17 Tahun 2002 (Tgl. 3 Desember 2002)
tentang Perubahan atas Perda Kota Makassar tentang PD Pasar Makassar Raya
KMUP, dan terkahir no. 12 Tahun 2004 (Tgl. 31 Agustus 2004) tentang Pengurusan
Pasar Dalam Daerah Kota Makassar.
Tentu saja, kelebihan pasar moderen di atas dalam memanjakan konsumen jauh di
atas kemampuan pasar lokal kita. Bahkan strategi perpaduan antara berbelanja dan
berekreasi juga merupakan terobosan baru dalam dunia pasar di Makassar.
Beriringan dengan itu, kemauan politik (political will) yang rendah dan kemampuan
pemerintah kota (services capability) yang tidak maksimal dalam mewujudkan tata
kelola pasar yang berdaya guna dan berhasil guna bagi kedua belah pihak, pedagang
dan pembeli pasar lokal.
Kedua, pilihan ini, ditempuh oleh para pedagang kecil berkaitan dengan budaya
berbelanja warga kota (konsumen) yang tidak mau terlalu direpotkan oleh kesulitan
akses ke pedagang (naik tangga, pengap, lorong sempit, copet, lain-lain). Ketiga,
adanya dualisme kepemimpinan dalam pasar yakni Kepala Unit Pasar (Perusahaan
Daerah) dan direktur pengelola atau developer (Perusahan Swasta). Dua model
manajemen ini tumpang tindih. Sebut saja, peran kepala pasar adalah pelayanan
terhadap pedagang (pedagang kios dan pedagang kecil), sementara pihak developer
adalah melakukan penjualan atas petak-petak bangunan pasar (ruko, lods, basement).
Pilihan untuk berdagang di area trotoar (area jalan raya dan area pasar dan lorong),
depan ruko (hall), dan halaman atau depan rumah penduduk adalah sebuah bentuk
‘perlawanan’ dari para pedagang kecil yang dipinggirkan oleh akibat kebijakan
pemerintah kota dalam membangun pasar lokal bernuansa moderen. Moderen di sini
diartikan secara fisik (bangunan) dan non fisik (manajemen). Bangunan pasar adalah
bertingkat dengan pola distribusi tempat model kios dan lods. Pola distribusi ini
mengakibatkan perbedaan dalam mengelola pasar, di mana kios dan lods kemudian
memiliki harga yang tinggi, namun di satu sisi banyak pedagang kecil tidak memiliki
kemampuan dalam membeli kios dan lods tersebut. Bahkan, dengan mencicil
sekalipun, kemampuan (affordability) pedagang kecil masih sangat terbatas.
Dalam penelitian etnografis yang dilakukan oleh AcSI sepanjang tahun 2008 dan
2009, intensitas interaksi dengan pedagang-pedagang kecil telah memberikan banyak
informasi berharga yang berguna bagi pemerintah kota dan warga kota umumnya
mengenai mengapa mereka lebih memilih ruang-ruang ‘ilegal’ itu. Salah satu
informasi penting adalah pola permodalan dari pedagang-pedagang kecil. Namun,
sebelum mengurai pola itu terlebih dulu perlu untuk mengklasifikasi pedagang kecil.
Mereka adalah Palembara’ (tipe pedagang tertua asli Bugis-Makassar atau Melayu,
kini dalam model yang lebih bervariasi seperti asongan dan pa’garoba’), palapara’
(beralas tikar atau bakul), Pagandeng (menggunakan sepeda dan becak, kini mulai
ada yang menggunakan motor), dan pamejang (dengan meja).
Temuan penting dalam studi etnografi ini adalah adanya pola interaksi yang khas
dari para pedagang kecil yang dibungkus oleh pilosophi ‘saling menghidupi’ atau
Palembara’ (dengan jumlah yang sudah sangat terbatas) adalah pedagang yang
modalnya tergantung kepada petani di desa. Mereka mengambil barang dagangan
untuk kemudian menjualnya di pasar. Untuk kasus asongan, mereka mengambil
barang-barang yang dianggap laku (paling dibutuhkan oleh banyak konsumen) dari
kios-kios atau ‘bos-bos’ (punggawa) untuk kemudian menjualnya. Keuntungan
mereka adalah selisih harga dari modal.
Palapara’ mengambil barang dari ponggawa-nya atau bos-bos pada dini hari
(sekitar pukul 02.00 dan 03.00 malam) untuk kemudian menjualnya di pagi hari
(berkisar pukul 06.00 – 18.00) dan melakukan pembayaran pada sore hari (pola titip-
jual). Menurut cerita dari pedagang senior, sebelum merajalelanya pasar moderen,
waktu menjual mereka hanya sampai pukul 09.00 saja. Namun, karena omzet
semakin menurun maka waktu menjual mereka menjadi lebih panjang.
Sementara pamejang adalah mereka yang sudah memiliki modal sendiri dengan
kisaran Rp. 500.000,- hingga Rp. 5.000.000. Mereka umumnya sudah lebih mandiri
ketimbang pedagang kecil lainnya, bahkan untuk beberapa kasus telah memiliki
jaringan dagang antar daerah hingga antar pulau.
Pola permodalan dengan filosophi pasar lokal ini, sebenarnya bersandingan dengan
pola lain yang kurang mengindahkan aspek-aspek kemanusiaan, yakni pola
permodalan melalui mekanisme appa’bunga doe’ (lintah darat) dan praktek
perkoperasian. Pola ini banyak digemari oleh pedagang kecil yang telah terdesak
khususnya pada sesi-sesi pasar ramai, seperti bulan puasa ramadhan, hari raya Idul
Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, Imlek dan sebagainya seperti menjelang hari
pertama sekolah. Sedangkan permodalan melalui koperasi dipilih oleh pedagang
Pilihan ini, sedikit banyak serupa dengan pilihan ruang menjual di luar tempat yang
sudah disediakan. Pedagang memilih keduanya (ruang ‘ilegal’ dan appa’bunga doe)
disebabkan oleh ketidakadilan atas mereka. Pedagang-pedagang ini tidak mampu
mengakses sistem pengaturan pasar lokal oleh perusahaan daerah maupun developer
dan sistem permodalan perbankan yang tidak berpihak pada pedagang kecil. Kondisi
ini tentu perlu menjadi perhatian dari semua pihak, khususnya pemerintah kota.
Dalam konteks ini, ke depan melalui kerjasama berbagai pihak perlu dibangun
sebuah mekanisme dialog (Assisambung Kana) yang menghadirkan sebanyak
mungkin aktor yang meliputi pedagang, pengusaha, masyarakat sipil, dan pihak lain
yang terkait dan punya perhatian terhadap pembinaan, penataan, dan penertiban
pedagang umumnya dan pasar-pasar lokal khususnya.
Semangat ‘Assisambung Kana’ ini adalah ‘Sipakatau Sipakainga’, atau dalam bahasa
yang lebih santun bahwa pemerintah menghargai masyarakatnya dan demikian
sebaliknya, masyarakat menghargai pemerintahnya. Bila diantara keduanya ada yang
melakukan kekeliruan atau kesalahan, maka sebuah proses ‘Assisambung Kana’
dibutuhkan. Dibutuhkan khususnya dalam upaya menemukan kembali ruh pasar
lokal kota Makassar yang pernah ada dalam lintasan sejarah pasar di kota Makassar
atau dalam bahasa Makassar ‘Ni buntuluki ammotere pasaraka’.
Serangkaian riset, diskusi, dan pendampingan yang dilakukan berada dalam frame
keberpihakan kepada sektor informal yang selama ini dipinggirkan baik melalui
regulasi maupun sikap yang ditunjukkan oleh pengambil kebijakan. Adapun
kerangka analisis (analytical framework) yang digunakan adalah dengan
menggunakan kajian ekonomi-politik melalui pendekatan politik aliran kelembagaan
baru yang dipadukan dengan pendekatan pikiran rasional (rational choice). Dalam
literature ilmu politik, pendekatan ini disebut rational choice institutionalism yang
berusaha melihat hubungan aktor-aktor yang bermain dalam bingkai ekonomi dan
politik. Juga bagaimana mereka menggunakan instrument kekuasaan yang
dimilikinya untuk mempengaruhi kebijakan yang ada, atau mempengaruhi lahirnya
kebijakan baru yang berpihak kepada pemodal besar, atau mempengaruhi oknum
pemerintah, kepolisian, hukum, dan lain-lain agar secara langsung maupun tidak
langsung menyetujui tindakan-tindakan mereka dengan merugikan pihak lain, dalam
hal ini pedagang kecil dan pasar lokal.
1. Metode etnografi (Tinggal di pasar lokal dan rumah pedagang, mini tour dengan
mengunjungi pasar-pasar lokal)
4. Kajian literatur
PERMASALAHA
Masalah tata kelola pasar bukan sekedar masalah ekonomi, melainkan meliputi aspek
sosial, politik, dan budaya. Dari sudut pandang historis, keberadaan pasar lokal
adalah bagian dari dinamika masyarakat atau komunitas setempat yang saling
membutuhkan. Dari dokumen foto yang dimiliki oleh pemerintah kota Makassar,
tampak bahwa pedagang-pedagang lokal menggunakan pikulan dan sapeda sebagai
media yang lazim disapa palembara’ dan pagandeng. Demikian pula pasar Boetoeng
untuk pertama kalinya dibangun oleh pemerintah kolonial di tahun 1917
menunjukkan eksistensi pasar ini melampaui keberadaan toko ‘moderen’ atau toko
dari perusahaan luar negeri di tahun 1930an, saat kota Makassar menjadi lebih
kosmopolit. Paska kemerdekaan, di tahun 1955, pasar lokal tetap eksis sebagaimana
tertulis dalam sebuah peta di tahun itu yang menyebutkan adanya 5 pasar lokal yakni
pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Bahkan tidak
menutup kemungkinan peta itu hanya mengakomodir pasar besar sementara pasar
kecil lainnya seperti pasar Kokolojia yang juga sudah demikian lama tidak tertulis.
Jejak pasar lokal di Makassar dapat ditelusuri jauh ke belakang pada tahun 1776. Di
abad ke-17, Sejak kejatuhan benteng Sombaopu, pusat kota berpindah dari area
sekitar benteng Sombaopu ke wilayah sekitar benteng Oejoeng Pandang yang
kemudian diganti namanya oleh Cornelis Speelman (1628-1684), sesuai kota
kelahirannya di Belanda, Rotterdam. Sebuah kota kolonial yang lalu berkembang dan
mengalami masa ‘keemasan’ ketika kota ini menjadi lebih modern dan kosmopolit di
tahun 1930an. Berbagai suku bangsa hadir di sana sehingga komposisi penduduk
berdasarkan sensus tahun itu adalah sekitar 3500 orang “Eropa”, 15.000 orang
“China” dan lebih 65.000 “Bumi Putra” yang didominasi oleh etnis Makassar dan
Bugis. Di masa ini, saudagar Wajo dikenal menguasai area perdagangan di pasar-
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
pasar lokal dan menjadi komunitas yang dipercayai oleh pemerintah kolonial dalam
mengelola dunia bisnis atau jual beli. Hal ini sesuatu yang luar biasa ketika system
lokal, dari sebuah komunitas kecil yang dipimpin oleh seorang Arung Matoa, salah
satunya adalah Ammana Gappa, diberi kepercayaan besar untuk mengelola arus
perdagangan internasional di Makassar (Noorduin, 2009, Sirimorok, 2007).
Berdirinya pasar Boetoeng tahun 1917 dan terlihat begitu rapi dengan model
hamparan tentu punya alasan, apa lagi disertai aturan ketat dalam ‘Surat edaran
tertanggal 1 September 1917 no. 15’ tertanda W. Fryling. salah satu alasan yang
dapat ditarik adalah pasar ini sebentuk kontrol atau upaya penataan pedagang,
khususnya pagandeng dan palembara yang bagi pemerintah kolonial mengganggu
jalan-jalan utama kota. Di era itu, banyak kota di Indonesia sedang berkembang,
selain Batavia, Malang, dan Surabaya, Makassar juga sedang menuju kehidupan
kosmopolitnya.
Seorang perencana kota kolonial Ir. Thomas Karsten banyak menjelaskan bagaimana
sebuah kota di tata dari ketidakteraturannya (unruly), termasuk para pedagang yang
mengisi badan-badan jalan (street vendors). Dalam ‘Explanatory Memorandum in
Wertheim 1958’, diceritakan bahwa:
“… that instead of going to the pasar, the small-scale trader, who is usually ative,
tries to find his costumers in the street, either keeping on the move most of the time
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
or else, if he can, finding a more or less fixed spot, often at or nerby an
intersection… the objection are the sometimes-gross pollution of the street, the
unsigthliness… the western authorities, particularly, often findi it intolerable that
this typical, and unusually rather unpretentious, forms of ative economic live
manifest themsleves in “European” sections. Indeed the disorderliness usually
accompanying such economic forms is out of place, and hence is a nuisance
objectively as well as subjectively… the warongs (food stalls) are disfiguring the
urban scene with an unsightly structure generally having an extensive appendage of
benches, awnings, screens, and cooking utensils. Properly such warongs should be
located only at well-chosen and well-equipped points… such things need to be given
full consideration in drafting the street plans and neighborhood plans” (di kutip dari
Abidin Kusno dalam ‘The significance of appearance in the zaman normal, 1927-
1942 yang mengutip dari ‘Explanatory Memorandum in Wertheim 1958’: 37-38)
Dari catatan itu menunjukkan alasan-alasan maraknya pembangunan pasar kota pada
tahun-tahun yang dikenal sebagai ‘zaman normal’ tahun 1920an-1930an, guna
mengendalikan ketidakteraturan pedagang jalanan (street vendors) atau kini lazim
disebut pedagang kaki lima yang tak menetap.
Setelah NIT bubar di tahun 1950, babak baru sejarah kota Makassar dimulai. Masa-
masa ‘gerombolan’ yang dipimpin oleh Qahhar Mudzakkar dengan jumlah prajurit
tidak kurang dari 20.000 bergelora melakukan perjuangan militer akibat menolak
demobilisasi militer dengan basis perdesaan. Akibatnya, keadaan sosial di desa-desa
yang menjadi basis gerakan Qahhar Mudzakkar—khususnya setelah bergabung
dengan DI/TII pimpinan Karto Suwiryo—lebih bergejolak dan tidak aman (Ricklefs,
2008). Saat itu, penduduk desa mengalami tekanan dari ‘gerombolan’ di malam hari
dan tindakan refresif oleh TNI di siang hari. Salah seorang informan di pasar Terong,
Haji Daeng Mado (67) menceritakan bahwa pilihannya meninggalkan kampungnya,
Kassi-Kassi di Gowa menuju Makassar adalah karena tidak tahan dengan teror
‘gerombolan’ dimana ayahnya mati tertembak oleh seorang anggotanya.
Bila merujuk pada cerita Haji Tula, salah seorang pedagang buah pertama di pasar
Terong, maka hadirnya pasar ini pertama kali sudah muncul di tahun 1960 atau
setidaknya akhir tahun 1950-an. Suatu masa yang bersamaan dengan gelombang
migrasi kedua dari desa-desa di Sulawesi Selatan. Kemunculannya pertama kali
bukan inisiatif pemerintah atau siapapun melainkan oleh para pedagang sendiri yang
kemudian meramaikan area kecil di ujung Selatan jalan Terong atau dekat dengan
jalan Bawakaraeng yang dulu bernama jalan Maros (Maros weg). Demikianlah,
berawal dari pagandeng (dengan sepeda) dan palembara (dengan pikulan) yang
membawa aneka buah dan sayur mayur terjadilah transaksi atau jual beli di area jalan
Terong dan lorong-lorong sekitarnya seperti kini menjadi jalan Mentimun, jalan
Kubis, jalan Sawi dan sebagainya.
Kurang lebih 7 tahun sejak munculnya pertama kali, bangunan pasar mulai terlihat di
tahun 1967 hingga 1968. Menurut beberapa pedagang yang hidup saat itu, wujud
pasar hanyalah bertiangkan bambu dan beratapkan nipa. Saat itu, kanal Panampu
belum selebar dan sekotor sekarang ini. Kanal itu dulunya hanya sebuah got besar
yang oleh penduduk setempat disebut ‘solongang lompoa’ yang dipenuhi kangkung
dan rumput liar di kedua sisinya.
Area pasar sendiri masih sangat terbatas infrastrukturnya sehingga setiap musim
hujan selalu terjadi banjir. Bila banjir tiba, maka bagian-bagian dalam bangunan
Sekitar 1967, terjadi kebakaran hebat di area perkampungan Terong, atau kini
dikenal kelurahan Tompobalang. Banyak warga kehilangan tempat tinggal dan
dipindahkan ke area lain seperti di sekitar pasar Karuwisi atau sebelah Utara Kebun
Binatang, Rappokalling, Rappojawae, Korban 40.000, Cambayya, dan belakang
Galangan Kapal (Capoa).
Lokasi eks kebakaran ini kemudian oleh pemerintah kota, saat itu walikota adalah
HM. Daeng Patompo , dibangunkan pasar pemanen berupa front toko dan lods-lods
yang tahap pekerjaannya dilakukan sejak tahun 1970 oleh PT Antara. Pada tahun
1971 pasar Terong diresmikan dan ditempati oleh pedagang. Bentuk bangunan masih
sederhana. Berdasarkan ilustrasi Siswandi yang melakukan riset etnografis di pasar
Terong menyebutkan bahwa bagian luar pasar berbentuk front toko yang menyerupai
huruf ‘U’. Front toko ini mirip dengan bangunan rumah toko (ruko) tetapi tidak
bertingkat dan ukurannya lebih kecil. Di sebelah Barat yang menjadi bagian tengah
front toko adalah pintu gerbang yang menghubungkan pasar Terong dengan jalan
Terong (Siswandi, 2009).
Di sebelah Selatan juga terdapat pintu gerbang di antara jejeran front toko dan
beberapa pedagang Tionghoa juga sudah di sana. Di atas pintu gerbang tersebut
adalah tempat kantor pasar. Di bagian Timur bisa ditemukan sebuah Mushalla yang
terletak di atas pintu gerbang tersebut. Sementara di bagian Utara tidak terdapat
front toko. Di tengah front toko terdapat hamparan los induk, dan beberapa hamparan
los kecil di tiap sisinya. Adapun kondisi jalan Terong di sekitar tahun 1980 masih
berupa pengerasan atau aspal berkerikil.
Di era tahun 1980 hingga 1990-an, penataan pedagang pasar mencapai titik
ekstrimnya di mana pedagang pasar berada dalam kontrol anggota militer yang
bertugas menjaga keamanan. Tahun-tahun tersebut pedagang pasar Terong
bersentuhan sehari-harinya dengan aparat militer khususnya seorang anggota yang
bernama Sampe atau pak Sampe. Bentuk kontrolnya dapat dilihat melalui banyaknya
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
pos militer yang ditempatkan di area pasar Terong, yakni 2 pos di dua sisi jalan
Terong, dan 2 pos di dua sisi jalan Sawi (samping kanal). “Tidak boleh pedagang
berjualan di luar area front toko atau area pasar yang ada”, demikian petunjuk
penataan yang harus dilaksanakan.
Saat itu, jumlah pedagang sudah marak. Harga satu kios atau satu tempat di dalam
front toko tersebut bisa mencapai Rp. 10.000,- yang nilainya menurut salah satu
informan di pasar Terong senilai dengan menjual sepetak sawah di kampung.
Akibatnya persoalan klasik timbul di mana tidak semua pedagang dapat membeli
tempat di dalam front toko. Pilihan yang tersedia adalah berjualan di luar front dan
memilih kucing-kucingan dengan pak Sampe dan anggota militer lainnya. Bila
ketahuan, maka resiko memperoleh tendangan ataupun gebukan dari tongkat kayu
yang disinyalir beralirkan listrik itu akan mengenai tubuh pedagang yang
‘membandel’. Tentu ada pula pedagang yang memilih pindah ke pasar lain, seperti
ke pasar Panampu. Tapi tak jarang, banyak yang akhirnya memilih kembali ke pasar
Terong dan melakukan serangkaian “perlawanan” dalam menghadapi kerasnya
militer melakukan pengamanan.
Dari ragam cerita yang dituturkan oleh pedagang yang pernah mengalaminya seperti
Daeng Nur (49) di mana ia harus berpura-pura gila untuk menemui pelanggannya
dan membuat janji untuk bertemu di tempat tertentu untuk melakukan transaksi
sesuai pesanan pelanggan. Lain lagi cerita Daeng Jama’ (55) dimana ia menyuruh
putri-putrinya untuk menjaga barang dagangan agar anggota militer itu tidak
mengganggu. Malah seorang diantaranya akhirnya menikah dengan tentara itu. Lain
lagi dengan pak Dolly (40an) yang karena saat itu adalah pedagang plus peminum
‘Anggur’ tanpa ragu mengajak beberapa tentara untuk minum bersama dan saling
kenal di kedai tempat dia mangkal agar jualannya tidak diganggu.
Macam-macam saja cerita pedagang mengakali ketatnya pengawasan pak Sampe ini.
Inilah bentuk perlawanan pedagang atas berbagai kontrol yang diterapkan. Namun,
satu hal yang pasti, pak Sampe benar-benar menjadi momok bagi pedagang yang
menjual di luar area pasar. Tidak hanya itu, pasar Terong yang dikenal sebagai
Pak Sampe, tentara yang berasal dari tanah Mandar dan mengomandoi rekan-
rekannya di pasar Terong ini benar-benar ditakuti.
Menjelang tahun 1994, ide untuk melakukan revitalisasi pasar tahap kedua bergulir.
Berawal dari sebuah studi banding yang dilaksanakan oleh walikota Makassar saat
itu, Malik B. Masri di Hawaai, USA, terbersitlah keinginan merombak pasar Terong
menjadi sebuah pasar modern. Saat itu, terpilihlah PT. Prabu Makassar Sejati sebagai
developer dimana Ferry Soelisthio sebagai komisaris yang memenangkan tender
untuk revitalisasi pasar “tradisional”. Mulailah persoalan baru muncul menghampiri
pedagang pasar Terong.
Dengan desain yang ‘terlalu moderen’ lahirlah sebuah gedung berlantai 4, yakni
lantai dasar, 1, 2, dan 3 di lahan seluas 13.253 m2. Sebagaimana revitalisasi tahap
pertama di masa walikota Daeng Patompo, revitalisasi tahap kedua ini juga menuai
banyak masalah. Persoalan klasik juga mencuat, harga kios dan lods terlampau
mahal bagi pedagang kecil yang mendominasi berdagang di pasar Terong. Banyak
yang dengan terpaksa membeli kios yang berharga 40 – 80 juta rupiah atau lods bagi
pedagang kecil karena tiada pilihan lain, walau banyak pula yang memilih mengisi
badan jalan di luar bangunan yang kini berdiri.
Masalah lain timbul seiring kepindahan pedagang ke dalam gedung baru. Tidak
sampai 6 bulan, para pedagang ‘basah’ kecewa dengan sulitnya proses angkut barang
naik turun setiap harinya. Belum lagi pembeli yang tidak ingin naik hingga ke lantai
2 apalagi 3. Pembeli berkurang berarti pemasukan minim. Pemasukan minim
berimplikasi pada cicilan tempat terhambat sementara biaya untuk mencukupi
anggota keluarga di rumah juga dituntut setiap harinya. Akhirnya banyak pedagang
memilih keluar dan meninggalkan tempat mereka yang sudah dibeli dan sedang
berjalan cicilannya. Ramailah kembali badan-badan jalan, lorong, trotoar, dan
berbagai sudut pasar yang memungkinkan untuk ditempati. Sementara di lain pihak,
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
Developer melalui perjanjian yang dibuat dengan pedagang pembeli kios/lods
menikmati keuntungan akibat macetnya cicilan yang membuat uang muka (DP) dan
diskon 12 persen menjadi milik developer tanpa harus kehilangan kios dan lods yang
sudah dibeli pedagang. Hingga kini, masalah ini masih menyisakan banyak
kekecewaan di hati pedagang yang terlanjur membayar mahal namun kehilangan
daya melanjutkan cicilan. Tidak membayar selama 3 bulan berturut-turut berarti
kehilangan uang DP dan diskon 12 persen.
Memasuki awal tahun 2000an keadaan pasar semakin semerawut. Pengusaha atau
developer dan pedagang berada dalam kerugian akibat model bangunan yang
dipaksakan dalam kondisi yang berbeda kultur. Pedagang pasar Terong tumbuh
dalam budaya hamparan yang melebar horisontal dan kini dihadapkan pada area
dengan bangunan vertikal meninggi ke atas. Mereka lalu memilih kembali melebar.
Karena maraknya pedagang di luar gedung ketimbang di dalam gedung maka secara
naluria—dan berdasarkan kebiasaan pemerintah masa itu—persoalan ini akan
diselesaikan melalui pembersihan pedagang di luar gedung yang kemudian dicap
“liar”. Maka ditempuhlah beragam cara baik legal maupun di luar kerangka regulasi.
Cara legal tentulah melalui jalur resmi pemerintah seperti pengerahan satuan polisi
pamong praja atau satpol PP. Lalu cara sebaliknya adalah melalui mobilisasi
“preman” untuk melakukan aksi teror dan penyebaran ketakutan atas pedagang di
pasar. Bahkan, kedua model ini dapat bekerja secara bersamaan sebagaimana terjadi
di tahun 2003, 2005, dan 2007. Dimana preman dan satpol PP turut andil dalam
serangkaian pembongkaran dan penggusuran kepada pedagang.
Bila merujuk pada paparan di atas, maka dapat diidentifikasi pihak-pihak yang
terlibat dalam tata kelola pasar di kota Makassar, yakni:
3. Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya dan jajarannya (Kepala Unit Pasar dan
jajarannya)
5. Pelaku Usaha Besar atau pengusaha pengelola pusat perbelanjaan dan toko
Moderen
12. Konsumen
Pemerintah juga gagal mengatur ketentuan jenis dan skala barang dagangan
pusat perbelanjaan dan toko moderen agar tidak merugikan pelaku usaha pasar
lokal. Misalnya, pemerintah membiarkan saja harga-harga kebutuhan pokok
dijual oleh pusat perbelanjaan dan toko moderen di bawah harga pasar lokal.
Membiarkan pusat perbelanjaan dan toko moderen menjual kebutuhan pokok
secara eceran, padahal selama ini menjadi kekuatan pasar lokal kita. Mengapa
pemerintah kota tidak menetapkan bahwa peritel besar menjualnya hanya dalam
bentuk kemasan. Bahkan pemerintah tak berdaya ketika para peritel besar ini
menembus desa-desa dan mengatur pola dan jenis tanam kepada petani atau
pemilik lahan yang akhirnya menyisakan barang-barang kelas dua bagi pasar
lokal, sementara barang kelas satu semuanya ada di mall, hypermarket,
supermarket, perkulakan, dan harganya lebih murah pula.
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
Dan yang lebih parah, pemerintah kota sangat tidak konsisten mengatur
pendirian dan keberadaan pusat perbelanjaan dan toko moderen berdasarkan
dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar. Sebagai contoh,
lingkungan Tamalanrea yang seharusnya menjadi sentra pendidikan kini dengan
mudahnya kita temukan berbagai pusat perbelanjaan (MTos), pusat pertokoan,
dan aneka rumah toko lainnya.
3. Pihak Pengembang seperti PT. Melati di Makassar Mall dan PT. Makassar Putra
Perkasa di pasar Terong gagal membangun atau merevitalisasi pasar lokal yang
dijiwai oleh budaya pasar lokal yang model bangunannya hamparan dan ramah
terhadap pedagang kecil dan mikro. Kegagalan ini tercermin dari bangunan yang
berlantai lebih dari 2 tingkat, penempatan pedagang ‘basah’ dan ‘kering’ di
tempat yang tidak efektif, system drainasi dan sanitasi yang buruk, harga kios
maupun lods yang jauh dari terjangkau, dan aneka peraturan lainnya yang
belakangan merugikan pedagang sebagai pengguna bangunan.
Sebagai contoh bisa dilihat nasib pasar Terong yang terus menerus terbengkalai,
sementara proses revitalisasi seolah mengabaikan sebaran pedagang kecil yang
kini memenuhi jalan-jalan dan lorong-lorong di sana. Kini bahkan “pasar
Terong” versi Ferry Soelisthio semakin melencengkan nilai kesejarahan dan cirri
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
khas pasar Terong sebagai pasar induk kota Makassar dan sentral sayur-mayur,
rempah-rempah atau Sembilan bahan pokok untuk masyarakat kota dan daerah
sekitarnya.
Demikian pula nasib pasar Sentral yang kini tinggal nama di telan nama besar
‘Makassar Mall’ yang sebenarnya juga menunggu ‘kematiannya’. Yang bertahan
tinggallah pengusaha garmen, sementara pedagang ‘basah’ seperti ikan dan
daging harus merasakan ‘kesepian yang panjang’ di lantai dasar yang berbau,
pengap, dan saluran air yang sempit dan seringkali macet. Belum lagi bila
musim hujan yang mengundang banjir. Para pedagang yang bertahan di sana
yang tidak punya pilihan lagi selain bertahan karena pasar alternatif seperti pasar
Bacan tinggal bernostalgia tentang pasar mereka sebelum direvitalisasi tahun
1994 lalu. “Dulu, begitu indahnya pasar Sentral hingga ada taman kecil di area
pedagang basah sehingga nikmat sekali menikmati udara lepas.”
Coba juga lihat nasib pasar Butung yang sebelumnya sudah berdiri tahun 1917
itu. Pasar itu kini sudah beberapa kali mengalami revitalisasi hingga menjadi
pusat grosir sekarang ini. Sebuah bangunan megah yang gagal memenuhi
kewajiban dasarnya menjadi tempat berlangsungnya proses jual-beli. Lantai
dasar dan satu kekurangan pasokan listrik sehingga pedagang harus membeli
genset dan memasangnya di depan tangga utama untuk memenuhi kelebihan
daya dari hanya 80 watt yang disediakan pihak pengelola listrik. Di lantai 2 tidak
semua kios terisi. Jangan Tanya lagi di lantai tiga dan empat. Menurut pedagang
di sana yang ada mungkin kuntilanak atau sundel bolong.
4. Pihak-pihak lain yang mengambil untung dari ketimpangan relasi antara pelaku
usaha pasar lokal, developer, pusat perbelanjaan dan toko moderen seperti aparat
pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer dan kepolisian yang
menyediakan jasa keamanan. Bahkan, preman-preman ‘dipelihara’ oleh pihak-
pihak tertentu agar sewaktu-waktu bisa digunakan untuk mendesakkan
kepentingan baik dalam berhadapan dengan pedagang kecil maupun dalam
berhadapan dengan aparat Negara.
5. Pelaku usaha pusat pertokoan dan Toko Moderen yang diberikan kemudahan
oleh pemerintah kota dalam berusaha membuat aktor pengusaha ritel besar ini
memiliki kuasa untuk bergerak mengikuti logika bisnisnya, yakni maksimalisasi
keuntungan dan minimalisasi pengeluaran atau kerugian. Akibatnya, tindakan
mereka berakibat pada rusaknya system jual beli yang selama ini berlangsung di
pasar lokal.
Sebagai contoh adalah persoalan harga kebutuhan sembako yang jauh dari harga
pasar lokal sebagaimana dijelaskan di atas. Lalu kemampuan mereka dalam
mengiklankan pasar dan produk mereka di media lokal juga membuat pasar
lokal semakin kehilangan pelangganya dari waktu ke waktu.
6. Tak dapat dipungkiri ada juga pedagang yang dengan terpaksa melanggar
ketentuan yang telah dibuat baik oleh pengelola pasar maupun developer sebagai
pihak yang diberi kuasa mengelola tata bangunan pasar. Tindakan mereka
banyak didasarkan kepada beberapa alasan, yakni, kegagalan bangunan baru
menampung pedagang kecil dan mikro akibat mahalnya harga tempat di dalam
gedung atau area berjualan paska revitalisasi.
Beberapa masalah yang ditimbulkan akibat dari buruknya tata kelola pasar di kota
Makassar adalah:
2. Hal ini berimplikasi pada menurunnya omzet pedagang pasar lokal. Walaupun
belum ada riset untuk menghitung berapa besaran kerugian, namun secara
kualitatif, kerugian ini tergambar dari informasi yang diberikan oleh banyak
pedagang bahwa kini mereka hanya melayani langgana tetap mereka saja.
Sebelumnya akan banyak orang-orang baru datang berbelanja. Kini, seperti
infromasi dari Tia pedagang lombok di pasar Terong dan beberapa pedagang
dari berbagai pasar lokal seperti pasar Sentral, pasar Cidu, Daya, dan sebagainya
menyebutkan bahwa waktu menjualnya selain semakin panjang juga semakin
kehilangan pembeli baru.
3. Dampak lain adalah pasar lokal tidak terkelola akibat lemahnya sistem
pembinaan dan penataan seperti yang dijelaskan di atas. Kotornya pasar lokal
dan aneka problematika lainnya terus menerus tak tertangani dengan baik.
4. Akhirnya pasar semakin semrawut dan para pedagang rentan dengan penyakit
akibat system drainase yang rusak dan sanitasi yang buruk.
Mengelola pasar lokal dengan baik pada dasarnya adalah mengelola atau menata
pedagang sektor informal atau Pedagang Kaki Lima (PKL). Dua kota yang dapat menjadi
rujukan penting dalam tata kelola pasar lokal adalah kota Solo dan kota Manado. Kota
Solo memperlihatkan sebuah proses tata kelola pertisipatif sementara kota Manado
cenderung dengan pendekatan otoriter. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr.
Elizabeth Morrell, dkk tentang ‘tata kelola ekonomi infomal’ menggambarkan
bagaimana Pemda kota Solo sejak tahun 2006 menjadi pemimpin dalam mengorganisir
pedagang sektor informal secara efektif (Morrell, dkk, 2009).
Kota Solo
Seperti yang terjadi di daerah lain di Indonesia, jumlah PKL di kota Solo meningkat
tajam akibat krisis ekonomi pada tahun 1997. Terdapat 1100 PKL pada tahun 2001 dan
meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi 5817 PKL. Dengan meningkatnya jumlah
pedagang sektor informal yang mengisi badan jalan akibat tidak memadainya pasar lokal
membuat pemerintah kota Solo melakukan relokasi PKL. Dengan sangat hati-hati Pemda
melakukan relokasi terhadap 3917 pedagang yang beroperasi di jalan-jalan kota Solo.
Untuk menjaga sikap kehati-hatian itu, Pemda Solo mengadopsi pendekatan komunikasi
dan inovasi dalam membantu pedagang, dalam kerangka pengawasan dan mengaturan.
Pada tahun 2001, Pemda kota Solo pembentuk suatu kantor yang mengurusi pengelolaan
PKL yang sebelumnya berada di bawah pengelolaan Dinas Pengelolaan Pasar. Fungsi
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
utama dari dinas ini adalah mengumpulkan data, serta melaksanakan, mengevaluasi, dan
melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan, penataan, dan penertiban
pedagang.
Pada Juli 2005, walikota terpilih Joko Widodo, memperkenalkan kebijakan yang
mengakui bahwa Pemda tidak harus hanya fokus pada mengembangkan usaha kecil,
menengah dan besar, tetapi juga harus memfasilitasi pengembangan usaha mikro. Tahun
berikutnya, tim khusus dibentuk untuk melakukan identifikasi dan menindaklanjuti
masukan dari masyarakat. Saat itu, tim ini mempertimbangkan berbagai faktor yang
berkaitan dengan:
Pemda Kota Solo saat itu, bertekat untuk mengelola pedagang dengan cara mendesain
kawasan pedagang. Ketentuan kawasan pedagang ini diatur sedemikian rupa dimana kios
permanen dibangun di lokasi yang tepat; beberapa kawasan, pedagang dapat beroperasi
menggunakan tenda tidak permanen selama periode tertentu setiap hari; kios yang dapat
dibongkar diizinkan di beberapa lokasi; gerobak dibagikan untk pedagang berpindah di
mana tidak tersedia lahan untuk kios atau tenda.
Hal lain yang juga ditempuh oleh pemerintah kota Solo adalah mendirikan pasar lokal
baru untuk menampung para pedagang yang sulit terserap di pasar-pasar lokal yang sudah
ada. Saat itu, pasar dimaksud mampu menampung sekitar 1000 pedagang. Selain itu,
Pasar lokal mengalami revitalisasi/renovasi serta para pedagangnya diberi bekal
pengetahuan bisnis melalu berbagai pelatihan. Jika diperlukan, setiap upaya penertiban
akan didahului oleh 3 surat peringatan lisan.
Kota Menado
Krisis ekonomi tahun 1997 dan konflik kota Posa dan Ambon di tahun 2000an telah
meningkatkan jumlah pengungsi di kota Menado. Akibatnya, usaha sektor informal atau
PKL meningkat drastis. Hingga tahun 2006, jumlah pedagang di sektor ini sudah
mencapai 4.046 PKL dan ‘menghilang’ pada tahun 2007. Pemerintah kota Menado
melalui mesin Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berhasil membuat Menado
terbebas dari PKL.
Implikasi dari pola ini adalah menurunnya pendapatan pedagang dibandingkan pada
tahun-tahun ketika kebebasan berjualan masih mereka nikmati. Karena berkurangnya
pedagang sektor informal dan menurunya jumlah pemasukan bagi pedagang yang masih
eksis di pasar lokal juga berkurang mengakibatkan pemerintah tak lagi memiliki
pendapatan tambahan. Akibatnya pasar lokal atau ‘tradisional’ juga kehilangan
penghasilan dan biaya perawatannya. Pasar lokal, sebagai contoh pasar Bersehati
dibiarkan semerawut oleh pemerintah, sehingga menjadi kotor, bau, dan tidak nyaman
bagi pengunjung. Konsekuensinya, pegunjung terus berkurang dan lebih memilih
supermarket atau toko moderen.
Maka, dengan merujuk pada dua kasus itu, sebaiknya pasar-pasar lokal harus dipandang
sebagai sebuah asset daerah dan perlu diperlakukan secara adil melalui pelibatan
pedagang pasar dalam tata kelola pasar lokal se-kota Makassar.
A. Pengantar
Permasalahan yang dihadapi pertama kali akan dilihat dari sudut pandang
kelembagaan atau institusi. Lembaga dalam pengertian ini adalah sebuah organisasi
plus nilai yang terdapat di dalamnya. Selain melihatnya dari aspek kelembagaan,
perspektif penelitian ini juga melihat peran aktor yang menentukan bagaimana tata
kelola pasar berlangsung. Jadi bila merujuk pada kelembagaan yang mengurusi pasar
maka pertama-tama akan bersentuhan dengan pemerintah kota sebagai penyedia
layanan publik. Pemerintah kota dalam hal ini telah membentuk sebuah lembaga
yang bernama Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya.
Institusi terakhir yang menjadi fokus adalah organisasi yang dibentuk khusus untuk
mengakomodir kepentingan pedagang dalam berhubungan dengan para pihak yang
punya kepentingan di pasar. Beberapa organisasi yang berdiri secara independen
sepanjang pemantauan dalam penelitian ini adalah ‘Persaudaraan Pedagang Pasar
Dalam perspektif ilmu politik, pendekatan ini disebut pendekatan ‘pilihan rasional’
dan ‘kelembagaan’ atau dalam kategori March dan Olsen ‘The rational Choice
institutionalism’ sebuah pendekatan dalam mazhab kelembagaan baru (March and
Olsen, 1983). Pendekatan ini memadukan aspek ekonomi dan politik dalam melihat
perilaku aktor-aktor politik. Prinsip utama pendekatan ‘pilihan rasional’ adalah
bagaimana seorang aktor memegang prinsip ekonomi ‘memaksimalkan keuntungan
dan meminimalkan resiko’. Aliran ini menganggap bahwa setiap orang tidak lepas
dari kenyataan kalkulasi ekonomi dalam melakukan sesuatu.
Pendekatan ini juga menyediakan instrumen pendukung seperti teori permainan (the
game theory) yang pendekatannya sangat matematis. Karena orang-orang ini
bertujuan bermain dalam lembaga-lembaga negara maka perpaduan dua pendekatan,
yakni ‘pilihan rasional’ dengan ‘kelembagaan’ menjadi perlu dalam menjelaskan
fenomena politik ini.
Perilaku semacam ini, menurut teoritisi the rational choice institutionalism, terjadi
secara kolektif (collective action) dan dapat menyerap aktor-aktor tunggal untuk
masuk dalam aturan main yang berlaku internal. Ingatlah bagaimana istilah ‘korupsi
berjamaah’ digaungkan oleh banyak pihak dalam menggambarkan fenomena politik
ini. Kebersamaan bertindak ini merujuk bukan hanya mereka di dalam satu institusi
formal/informal, namun juga melibatkan pihak lain di luarnya dengan kepentingan
yang sama.
Salah satu contoh kolektivitas ini dapat dilihat dalam pelaksanaan proyek-proyek
pemerintah. Sudah sangat banyak kasus dimana seorang atau kelompok (baik
kontraktor maupun LSM) masuk dalam pekerjaan ‘manipulasi proyek-proyek
pembangunan’. Seorang kontraktor harus menyuap ‘orang-orang dalam’ (costs) demi
memperoleh satu proyek (utilities), atau sekumpulan kontraktor secara kolektif
‘membayar’ para politisi di lembaga pemerintah dan parlemen agar satu kebijakan
lahir dalam mendukung aktifitas bisnis mereka.
Dalam beberapa kasus revitalisasi pasar lokal kecenderungan developer untuk lebih
memperioritaskan keuntungan lebih terlihat secara jelas ketibang tujuan utamanya
ingin mengelola pasar lokal yang nyaman dan aman. Harga kios dan lods yang
tinggi, adalah salah satu bukti yang kemudian merusak relasi social pedagang yang
selama ini sudah terbangun secara alamiah. Pasar Butung rusak, pasar Terong rusak,
pasar Sentral rusak, adalah dampak dari pelaku ‘pencari rente’ ini beraksi.
Demikian pula, maraknya pendirian pusat perbelanjaan dan toko moderen di kota
Makassar telah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah sedang bermain mata
dengan para pengusaha ritel bermodal besar, kawasan pendidikan seperti di
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
kecamatan Tamalanrea yang seharusnya menjadi lingkungan akademisi kini dihiasi
ratusan toko moderen dan puluhan pusat pertokoan. Bahkan ke depan, aliran sungai
Tallo yang seharusnya masih area pendidikan akan menjadi area investor besar.
Pengusaha ritel moderen dengan mudah mengantongi izin usaha tanpa transparansi
kepada publik memang jauh lebih sederhana ketimbang mengurus pasar lokal sehari-
hari melalui penarikan retribusi, pengurusan sampah, parkir, listrik dan sebagainya.
Namun, sebenarnya, bila pengelolaan pasar bisa lebih baik maka pendapatan
pemerintah kota (PAD) bisa terdongkrak seperti terjadi di kota Solo.
Lemahnya pengaturan ini diperparah oleh lemahnya regulasi atau bahkan tiadanya
regulasi yang secara khusus digunakan untuk mengontrol tata kelola pemerintah atas
pasar-pasar lokal, pusat perbelanjaan dan toko moderen serta posisi keduanya agar
bisa saling bekerjasama untuk kesejahteraan pedagang kecil dan mikro serta pasar
lokal itu sendiri.
C. Kesimpulan Singkat
Pemerintah kota perlu mengatur pasar agar lebih baik melalui pendekatan
komunikasi dan inovasi yang tidak lagi melulu dengan pendekatan kekerasan baik
melalui satpol PP maupun agen ‘keamanan’ lainnya seperti preman dan sebagainya.
Hal ini ditempuh mengingat pemerintah sendiri memiliki keterbatasan dalam
mengelola lebih 50 pasar lokal di kota Makassar, untuk itu dengan regulasi dan
turunannya ke depan (peraturan walikota). Di sisi lain, keberpihakan ‘oknum’
pemerintah yang seringkali dengan mudah memberi izin pelaku atau pengusaha ritel
moderen turut mengganggu manajemen pasar. Dalam keadaan seperti ini,
terbentuknya tim independen yang berfungsi mengawasi dan mengevaluasi tata
kelola pasar lokal dan pusat perbelanjaan dan toko moderen adalah mutlak
diperlukan demi masa depan pasar lokal dan konsumennya.
SOLUSI
A. Alternatif-alternatif Solusi
Banyak orang, bukan hanya ahli ekonomi tetapi bahkan pedagang sendiri berpikir
bahwa pasar ‘tradisional’ atau pasar lokal harus ditata sedemikian rupa agar mampu
bersaing dengan pasar moderen yang sedang menjamur. Lalu, para pengambil
kebijakan pun berpikir senada dan dimulailah apa yang disebut revitalisasi atau
modernisasi pasar ‘tradisional’ dilakukan khususnya di era tahun 1990an dengan
mengundang developer. Di Makassar, 2 pasar lokal utama mengalaminya di era itu,
di antaranya pasar Sentral yang telah berganti nama Makassar Mall dan pasar induk
Terong yang kini ‘malu-malu’ berganti nama Mal Terong. 2 pasar ini, bila ditinjau
berdasarkan bangunan memang terkesan ‘moderen’, berlantai keramik, bertingkat
lebih dari 2 lantai, dengan eskalator dan lift, namun sangat disayangkan bangunan itu
tidak mampu memenuhi kewajiban dasarnya, menjadi tempat terjadinya transaksi
jual beli. Di pasar Sentral, pedagang sektor informal memilih memenuhi badan jalan
di sekitarnya, demikian pula pasar Terong, yang memenuhi beberapa jalan dan
puluhan lorong di sekitarnya.
Pilihan pedagang untuk memilih berdagang di luar gedung tersebut, bukan semata-
mata karena pedagang ini keras kepala dan tidak mau mengikuti perkembangan
jaman dan oleh karena itu harus dikerasi dengan alat kekerasan negara yang bernama
polisi dan satpol pemerintah. Ada banyak faktor mengapa upaya revitalisasi ini
secara total mengalami kegagalan. Diantara faktor itu adalah internal dan eksternal.
Faktor internal
Sejak awal, konstruksi gedung yang mentereng jelas berusaha mengubah kultur
berdagang dan kultur berbelanja di pasar lokal yang sudah berlangsung puluhan
bahkan ratusan tahun. Setidaknya untuk pasar Terong sudah di mulai akhir tahun
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
1950an dan pasar Sentral tahun 1960an. Jenis pedagang yang berjualan di pasar
‘tradisional’ sangat beragam dengan modal dan cara berdagang yang juga beragam.
Di sana ada pamejang dengan skala dagangan mikro dan kecil, juga palapara yang
sekedar menggunakan tikar sebagai alas untuk berjualan segenggam-dua genggam
lombok, cabe, dan sayur mayur. Di sana ada pagandeng baik dengan sepeda maupun
motor dari berbagai pelosok Takalar maupun Gowa. Ada becak yang harus keluar
masuk untuk mengangkut penumpang, khususnya barang dagangan pedagang dari
jalan raya ke dalam area pasar dan banyak lagi aktifitas lainnya.
Di luar aktifitas pasar, pedagang juga menikmati suasana kekeluargaan yang tiada
tara yang tidak dimiliki oleh gedung-gedung pasar mentereng hasil revitalisasi pasar
‘tradisional’ karena umumnya pedagang tinggal di sekitar pasar. Mengapa banyak
pedagang tinggal di sekitar pasar, karena secara historis pasar-pasar lokal di
Makassar memang tumbuh karena kebutuhan komunitas dan bukan sama sekali
bentukan pemerintah. Orang-orang di kampung Maccini Gusung dan kampung
Baraya misalnya, menjadikan pasar Terong sebagai bagian wilayah pergaulan
mereka karena kisaran 40-50% penduduknya adalah pedagang di sana atau
setidaknya bekerja dengan menyediakan jasa di pasar.
Setelah revitalisasi banyak pedagang yang tidak mampu bertahan dengan model
gedung yang tidak familiar dengan mereka. Sekedar contoh, lokasi berjualan bagi
pedagang basah (ikan, daging, ayam potong) di tempatkan di area basement yang
berada di bawah permukaan tanah dengan saluran drainasi yang sangat sempit
berkisar 10 cm. Ruang yang pengap untuk barang dagangan yang berbau yang
seharusnya membutuhkan udara segar dan lapang tidak tersedia. Konon, menurut
cerita dari seorang pedagang daging, dulu pasar Sentral menyediakan bukan hanya
area berdagang yang lapang, tapi juga lokasi antara penjual ikan daging di antarai
oleh taman kecil sehingga selain berdagang bisa menghirup udara segar pandangan
mata juga tidak jemu dan jenuh. Belum lagi bagi pedagang sayur mayur yang di
tempatkan di lantai 2 atau 3, yang secara teknis amat tidak efisien.
Faktor eksternal
“Pedagang pasar ‘tradisional’ harus tumbuh mengikuti logika ekonomi
pertumbuhan.” demikian ahli ekonomi kampus berpikir dan pendapatnya dikutip
oleh para pengambil kebijakan. “Pedagang-pedagang itu harus mampu bersaing
dengan pedagang pasar moderen.” Demikian pemikiran yang lain. Pada akhirnya,
pendapatnya menjadi “Pasar ‘tradisional’ harus mampu bersaing di tengah gempuran
Pasar Moderen.” Inilah logika-logika ekonomi yang menyesatkan sehingga terjadi
carut marut tata kelola ekonomi sektor informal di pasar lokal.
Maraknya pasar moderen adalah suatu keniscayaan untuk sebuah kota yang terus
berkembang. Namun, perkembangan itu seyogyanya tidak mendiskriminasikan yang
lain. persoalan harga dan barang dagangan misalnya. Bila pasar moderen turut
menjual aneka kebutuhan sembilan bahan pokok dengan harga jauh dari harga pasar
lokal maka lambat laun konsumen akan lebih memilih pasar moderen. Ada beberapa
faktor yang membuat harga di pasar moderen lebih murah dari pasar lokal, seperti
akses pedagang ritel yang langsung kepada petani dengan berbagai cara. Pemodal
memberi petani modal, bibit, dan paling tidak akses pemasaran dengan lebih mudah.
Bila panen tiba, pemodal mengambil barang kelas satu tanpa cacat dan memberikan
sisanya untuk dijual di pasar lokal dan di jalan-jalan.
Faktor lain adalah, karena pemodal ritel moderen adalah pemodal besar maka
murahnya harga kebutuhan pokok merupakan strategi dagang untuk menarik minat
Dokumen: Active Society Institute (AcSI)
Jl. Perintis Kemerdekaan km.9 o. 76, Makassar
konsumen untuk datang. Dengan aneka barang yang dijual oleh seorang pedagang
saja, maka harga satu kebutuhan dengan aneka barang lain bisa bervariasi dan saling
menutupi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh pasar lokal.
Selain itu, perkulakan yang seyogyanya menjual barang secara grosir ternyata
ditemukan praktek dimana konsumen dapat membeli secara eceran. Ini adalah
sebuah pelanggaran persaingan usaha yang selalu luput dari pantauan negara.
B. Solusi Pilihan
Kedua, persaingan usaha antara pasar lokal dan pasar moderen harus diatur
sedemikian rupa oleh negara/pemerintah. Di sini seyogyanya kebijakan ekonomi
berpihak pada pedagang mikro/kecil dan tidak melepaskan begitu saja mengikuti
logika permintaan dan penawaran apa lagi harus bersaing dalam ketidakimbangan
kekuatan. Pasar moderen sudah seharusnya dibatasi dalam menjual sembilan bahan
pokok, kalaupun boleh hanya dapat dalam bentuk kemasan. Bahkan, bila pemerintah
benar-benar mau berpihak untuk melindungi sebagaimana bunyi judul ranperda ini,
maka pasar moderen seharusnya memenuhi barang kebutuhan pokoknya dari pasar
lokal dan tidak boleh langsung kepada petani sebagaimana pedagang pengumpul
pasar lokal selama ini lakukan. Dengan demikian, bila hal ini benar-benar terjadi
Ketiga, harus ada satu lembaga independen yang berfungsi melakukan pengawasan
atas pengelolaan dan penyelenggaraan pasar lokal, pusat perbelanjaan dan toko
moderen ini, agar supaya segala pelanggaran yang selama ini terjadi dapat dengan
mudah dipantau oleh tim independen.
PEUTUP
Pasar lokal dalah pasar rakyat. Pasar ini sudah hadir seiring dengan perkembangan kota
sejak awal. Pusat perbelanjaan dan toko moderen adalah konsekuensi sebuah kota yang
mengalami moderenisasi. Namun, terkhusus masalah pasar lokal, dalam penataannya,
menggunakan kerangka berpikir modernisasi jelas keliru. Dalam pemikiran ini, yang
tradisional (pasar tradisional/pasar lokal) harus dimodernisasi (baca revitalisasi) untuk
mampu bersaing dengan pyusat perbelanjaan yang dimainkan oleh pengusaha ritel kelas
kakap.
Untuk itu, karena daya serap pasar lokal atas tenaga kerja yang banyak akan membuat
pasar ini akan semakin sumpek bila tidak di tata atau diperluas. Bila pilihannya tidak ada
dari kedua itu, maka sebuah pasar rakyat baru perlu didirikan di salah satu kampung
untuk mengakomodasi pertumbuhan penduduk kota.
Akibat lemahnya regulasi yang mengatur pasar lokal membuat kondisi pasar semakin
semerawut. Pemerintahpun alfa melihat bahwa penyebab dari kesemerawutan ini adalah
kesalahan pendekatan dalam memndang system ekonomi kota Makassar. Logika
ekonomi pertumbuhan yang mengandalkan pengusaha besar (padat modal) sangat
menyesatkan dan sudah waktunya ditinggalkan oleh pemerintah kota Makassar dan mulai
beralih ke sistem ekonomi kerakyatan yang mengandalkan sistem padat karya (sebanyak
mungkin orang meraih manfaat).
Ke depan, sebuah regulasi yang berpihak pada pelaku ekonomi kecil dan mikro yang
memanfaatkan pasar-pasar lokal harus menjadi perhatian utama agar tercipta keadilan
bagi seluruh rakyat.