You are on page 1of 43

Perkreditan

Oleh: Prof. DR. Hj. Sri Gambir Melati Hatta, SH.

I. Pendahuluan
Dalam dunia perbankan perkreditan merupakan salah satu tugas yang bank yang penting.
Dapat dikatakan bahwa bank tanpa kredit ”sayur tanpa garam” atau ”hambuger tanpa
daging” demikian Munir Fuadi menyebutnya[1]. Dengan tugas bank dalam memberikan
dan menyalurkan kredit merupakan kegiatan penting bagi bank guna menunjang
perkembangan ekonomi masyarakat.
Perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan meliputi bidang
produksi baik pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan ataupun produksi bidang
industri, investasi, perdagangan, eksport import dan sebagainya. Dalam pembangunan
sarana prasarana fisik dalam pembangunan seperti halnya gedung-gedung, jembatan-
jembatan, irigasi, perumahan dan sebagainya.
Perkreditan mempunyai peranan penting bagi kegiatan bisnis dalam rangka pembangunan
dan perkembangan ekonomi masa depan, merupakan salah satu sarana penumpukan
modal bagi masyarakat untuk berusaha diberbagai sektor produksi. Dengan
perkembangan dalam dunia perekonomian dan bisnis, perdagangan. Arti dan peranan
perkreditan dalam menanggulangi masalah-masalahnya dewasa ini baik dalam hal hukum
maupun penyelesaian masalah-masalah yang ditimbulkan adanya pemberian kredit pada
sektor perbankan.

Sesungguhnya makna dari kredit dapat disamakan dengan utang. Pada zaman dahulu
mempunyai utang merupakan hal yang kurang pantas atau memalukan jika terlihat atau
terdengar orang lain. Namun sekarang dunia telah berubah orang bangga mempunyai
kredit yang sebenarnya artinya mempunyai utang. Bahwa dengan penyebutan kredit,
menandakan dia dianggap orang atau pengusaha yang dipercaya oleh bank atau dekat
dengan ”orang kuat” yang dapat memberikan katabelece, adakalanya penandatanganan
kredit dibuat dihotel-hotel berbintang serta diekspose wartawan berbagai media masa[2].
Kata kredit yang berarti kepercayaan artinya adanya saling percaya antara kreditur selaku
pemberi kredit dan debitur sebagai penerima kredit.
Perjanjian kredit dalam perbankan dilandasi atau berlaku dengan dasar hukum baik
undang-undang, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perbankan, kebiasaan
praktek dalam perbankan juga yurisprudensi.

Pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian tidak dapat dilepaskan dengan
unsur atau prinsip kepercayaan, yang hal ini sering mengundang malapetaka bagi kreditur
yaitu dengan munculnya kredit macet. Untuk itu diperlukan berbagai unsur seperti halnya
safety, soundness, without substantial risk, juga dalam bidang perundang-
undangannya/peraturan perlu mendapatkan perhatian, karena dalam kenyataan perangkat
hukumnya dianggap kurang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan kredit
macet. Seperti pendapat Munir Fuady dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa :
”Upaya-upaya yang disediakan oleh sektor hukum dibidang kredit seringkali tidak
memuskan, keluhan-keluhan sering terdengar dimana-mana”. Ironisnya banyak pihak
yang kompoten yang terlibat dalam praktek seakan-akan tidak mau tahu tentang
rintangan dan hambatan yang dialami oleh pihak perbankan. Ilmu hukum perkreditan
yang konpensional masih tidak bergerak jauh dari teori-teori lama yang kebanyakan
sudah ”usang”[3].

Dalam hal ini saya sependapat dengan Munir Fuady yaitu bahwa pendapat megenai
kedudukan debitur selalu dianggap sebagai pihak yang lemah, yang sesungguhnya pada
perkembangan zaman sekarang pada beberapa dekade ini hal itu tidak demikian.
Misalnya asumsi yuridis debitur adalah pihak yang lemah tetap dipegang teguh pendapat
tersebut, sehingga banyak ketentuan perjanjian kredit untuk menjamin amannya
pemberian atau pembayaran kembali suatu kredit seringkali dimentahkan atau dibatalkan
oleh Pengadilan.
Berdasar pengamatan saya banyak kasus-kasus kredit macet yang terjadi justru dari ”ulah
debitur yang nakal”. Hal ini bagi kreditur merupakan ”monster” yang sangat menakutkan,
demikian komentar Munir Fuady[4].

Perjanjian kredit adalah merupakan suatu bentuk kontraktual dalam penuangannya,


dengan demikian berlakulah ketentuan-ketentuan hukum privat dalam hal ini tunduk pada
ketentuan hukum perjanjian yang ada didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
BK III.
Dengan demikian uang atau dana dari pihak bank selaku kreditur adalah asset
perusahaan tersebut sebelum dikucurkan kepada debitur. Sesudah dilaksanakan perjanjian
kredit dengan diberikannya uang kepada debitur maka pada saat itu hak milik langsung
beralih kepada peminjam, sehingga peminjam sekarang menjadi pemilik atau owner. Hal
ini dapat dilihat pada Pasal 1755 KUHPerdata[5]. Disinilah berakibat timbulnya posisi
tidak aman bagi kreditur. Apabila debitur dikemudian hari tidak dapat melakukan
kewajibannya untuk mengembalikan uang pinjaman sesuai dengan yang telah
diperjanjikan, maka menimbulkan kredit macet, hal ini merupakan wanprestasi dari
debitur. Karena posisi hukum peminjam sesudah dikucurkan kredit bukan lagi sebagai
peminjam akan tetapi sudah menjadi pemilik (owner, eigenaar)

Pada akhir-akhir ini masalah kredit macet sangat banyak, dari berbagai pengamatan
berdasar kasus-kasus yang muncul terjadi adanya indikasi bahwa calon debitur yang
sudah mempersiapkan ”jurus-jurus cerdik” untuk mematuhi segala aturan dan perintah
calon kreditur sebelum kredit dikucurkan. Tetapi sesudah dikucurkan maka semua
ketentuan-ketentuan sudah tidak diingat lagi termasuk tujuan dari kredit yang diambil
tidak dipedulikan.
Tidak jarang pihak Bank untuk menarik pembayaran kembali kreditnya harus mengemis-
ngemis. Dalam kondisi seperti ini maka yang dirugikan dalam hal ini adalah pihak
kreditur. Posisi kreditur dalam kondisi seperti ini lemah.

A. Pengertain Kredit dan Elemen-elemennya


Pengertian kredit yang sesungguhnya mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Kata
kredit berasal dari bahasa Yunani yang biasa disebut creditus yang merupakan past
participle dari kata credere yang artinya adalah trust atau kepercayaan[6].
Percaya, kepercayaan atau to believe atau trust berlandaskan moral, itikad baik atau good
faith, sedangkan pengertian kredit sebagaimana diatur didalam Undang-undang RI No. 10
Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang tercantum didalam BAB I ketentuan umum Pasal 1 point 11 :
"Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”[7]

Dari berbagai pendapat para pakar saya lebih condong pendapat pakar hukum Levy yang
merumuskan arti hukum dari kredit :
”Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh
penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannyadengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang
hari”[8].

Dari definisi tersebut memberi ciri atau tanda bahwa kredit merupakan pinjam meminjam
artinya suatu perbuatan hukum yang tidak selesai pada saat itu.
Dasar pemberian uang tersebut yang merupakan kredit adalah kepercayaan yaitu kreditur
percaya untuk meminjamkan uangnya kepada debitur, bahwa debitur akan
mengembalikan pinjaman sesuai kewajibannya berdasar itikad baik, moral dan
kepercayaan. Disamping itu juga berdasar prinsip kehati-hatian.
Oleh karena itu debiturpun sebagai pihak peminjam juga dituntutkan mempunyai dasar
landasan yang sama pula dengan kreditur.

Dengan apa yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kewajiban
baik dari kreditur maupun dari debitur dilandasi kepercayaan dan kehati-hatian.
Dari pengertian kredit tersebut dapat dilihat unsur-unsur bahwa kredit merupakan suatu
perjanjian atau kesepakatan persetujuan antara pihak kreditur dengan debitur :

• Dengan adanya kesepakatan para pihak maka timbullah suatu perbuatan hukum,
perbuatan hukum menimbulkan hak dan kewajiban.
• Perjanjian kredit bank timbul dalam dunia bisnis khususnya bank. Perbuatan itu
dilandasi oleh kepercayaan dan kehati-hatian.
• Adanya pembayaran sejumlah uang sebagai pinjaman dari kreditur dan dilain
pihak debitur wajib membayar kembali uang-uang yang dipinjam dengan baik dan
tanggung jawab sesuai dengan waktu yang disepakati.

Semua perbuatan hukum seperti perjanjian kredit yang tidak selesai pada saat itu juga
maka disitulah timbul lembaga jaminan, artinya umumnya timbul dan muncul pula
adanya jaminan yang diperlukan dalam perjanjian kredit tersebut baik jaminan
kepercayaan maupun jaminan lain.

B. Dasar Hukum Suatu Kredit


Untuk jelasnya dalam mengetengahkan dasar hukum disini adalah ”dasar hukum suatu
perjanjian kredit”.
Di Indonesia perjanjian kredit digolongkan sebagai perjanjian tak bernama (in nominat)
karena perjanjian kredit tidak dicantumkan dan tidak diketemukan pengaturannya baik
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang. Berdasarkan penelitian, saya berpendapat bahwa perjanjian kredit memang
masuk dalam perjanjian tak bernama, mungkin saya berbeda dengan pakar hukum yang
lain, tetapi inilah pendapat saya berdasarkan penelitian saya dalam disertai tahun 1997.

Perjanjian kredit pengaturannya didalam Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang


Perbankan yang landasannya dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Ini merupakan lex
specialis sedangkan lex generalisnya bertopang pada KUHPerdata BK III BAB XIII
(pinjam meminjam) juga BAB I s/d IV mengenai ketentuan umum. Disamping itu juga
Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan perbankan antara
lain Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Peraturan Bank
Indonesia Nomor : 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/22/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, juga
hukum kebiasaan sebagai dasar hukum perjanjian kredit dalam dunia perbankan, juga
yurisprudensi.

Menurut Ronny Sautma Hotma Bako dalam satu tulisannya menyatakan bahwa hubungan
antara kreditur dan debitur adalah hubungan hukum dan kepercayaan[9]. Yang dimaksud
kreditur disini adalah perbankan dan debitur adalah peminjam atau penerima kredit.

C. Prinsip-prinsip Dasar Perkreditan

1. Prinsip yang menjadi acuan bagi perjanjian kredit yang pertama prinsip
kepercayaan. Hal ini berlaku baik bagi kreditur ataupun debitur[10].
Bagi kreditur kepercayaan bahwa kredit yang kucurkan akan bermanfaat dalam
usaha dan akan dipergunakan sesuai tujuannya oleh debitur sesuai dengan yang
telah diperjanjikan. Bagi debitur kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat
membayar kembali kreditnya dengan tepat waktu dan lancar.
2. Prinsip kehati-hatian atau prudent
Sesungguhnya semua pekerjaan termasuk perkreditan dituntutkan adanya kehati-
hatian dari masing-masing pihak. Dilihat dari sudut pemberi kredit yaitu pihak
bank bahwa prinsip kehati-hatian perlu mendapat perhatian utama karena kondisi
dan atmosfer masa kini berbeda, sehingga tingkat penghati-hatiannya bagi
kreditur benar-benar ditingkatkan. Banyak didengar bahwa debitur masa kini,
jaman sekarang jauh lebih ”cerdik” dan debitur tidak selamanya dalam posisi
”lemah”[11]. Mungkin secara yuridis, akan tetapi dalam realitanya justru bank
dalam pihak yang lemah, prinsip kehati-hatian juga harus dibarengi dengan
prinsip pengawasan dari kreditur, terutama pengawasan atasan diperlukan untuk
meminimalisasi risiko yang timbul dari pemberian kredit, yaitu dengan selalu
mengadakan pengawasan sejauh mana kredit-kredit tersebut dipergunakan sesuai
atau tidak sesuai dengan tujuannya. Asas profesionalisme mendasari tugas-tugas
kreditur.
Kurangnya perhatian terhadap prinsip kehati-hatian dan pengawasan dari pihak
perbankan akhir-akhir ini banyak terjadi kasus kredit macet yang spektakuler antara lain
kasus : Edy Tanzil vs Bapindo (1994), kasus BNI Kebayoram Baru (2004) kasus Bank
Mandiri (2005).
Dari kasus tersebut salah satunya akan dianalisis yaitu kasus Golden Key Group (Edy
Tanzil) – Bank Bapindo.

D. Hak dan Kewajiban Baik Dalam Penyimpanan Dana Maupun Dalam Perjanjian
Kredit

1. Hubungan antara bank dan nasabah didasarkan 2 unsur yang saling terkait yaitu
hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan
melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat ”percaya”
untuk menempatkan uangnya, pada produk-produk perbankan yang ada pada bank
tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisir
dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya dan bank akan
memberikan jasa-jasanya[12]. Untuk diketahui bahwa bank adalah suatu badan
usaha yang memang menghimpun dana dari masyarakat yang kemudian
dipergunakan dan disalurkan kepada masyarakat kembali untuk memajukan
ekonomi masyarakat guna perkembangan dan pembangunan ekonomi. Dengan
perkataan lain penyimpanan uang atau dana termasuk negara setelah uang
disimpan di Bank, maka uang tersebut adalah milik Bank atau Korporasi. Ini
berarti dana yang disimpan merupakan kekayaan Bank atau Korporasi selama
dalam penyimpanan. Oleh karena itu apabila terjadi kredit macet yang
menimbulkan kerugian diselesaikan lewat ketentuan-ketentuan hukum perdata
karena yang melingkupi adalah hukum privat.
2. Hubungan selanjutnya antara bank sebagai kreditur pemberi kredit dengan debitur
sebagai peminjam atau penerima kredit.
Disini bank sebagai penyedia dana bagi para debiturnya, hubungan hukum antara
bank sebagai kreditur dan peminjam sebagai debitur adalah hubungan kontraktual
dan hubungan kepercayaan. Hubungan kontraktual tersebut terjadi apabila
kreditur telah menjalin hubungan hukum dengan pihak debitur misalnya sepakat
melakukan perjanjian kredit. Oleh karena itu hubungan kontraktual ini melibatkan
dasar hukum privat artinya hukum privat sebagai dasar hukum terjadinya
perjanjian tersebut. Dengan sendirinya apabila terjadi kemacetan dalam
pembayaran kredit kembali adalah merupakan bentuk wanprestasi atau breach of
contract atau ingkar janji atau tidak menepati janji, sehingga yang melingkupi
adalah Hukum Perdata. Selain hubungan hukum kontraktual hubungan antara
kreditur dan debitur yaitu pemberi pinjaman dan penerima pinjaman juga ada
hubungan yang dilandasi kepercayaan termasuk dalam hal ini adalah kehati-hatian
dan pengawasan. Tugas, kewajiban tersebut apabila dilanggar mengakibatkan
kerugian karena kelalaian ataupun kesalahan.

Apabila kita lihat pendapat dan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith seorang filsuf,
pakar hukum yang juga seorang ekonom yaitu tentang teori ”keadilan”nya yang
mengetengahkan bahwa :
Barangsiapa merugikan atau membuat seseorang rugi maka harus ditindak atau diberi
sanksi sehingga terdapat keadilan[13].
Artinya menghargai hak-hak seseorang, tidak merugikan orang lain atau melukai. Setiap
orang akan memaksakan dirinya sendiri untuk mentaati aturan-aturan keadilan karena
nilai-nilai yang dijamin oleh pelaksanaan keadilan. Kalau tidak, akan muncul kekacauan
dalam masyarakat[14].

Oleh karena itu, kerugian yang timbul karena adanya kredit macet harus diberi sanksi
untuk diberi keseimbangan agar tercipta keadilan. Faktor kerugian tidak harus kerugian
bagi negara saja akan tetapi kerugian yang timbul pada siapapun asal ada unsur kelalaian,
karena kekurang hati-hatian dan sebagainya, maka hal tersebut dapat mengarah ketindak
pidana. Siapa yang karena kelalaian atau karena kesalahannya harus bertanggung jawab
secara hukum akibat adanya kerugian tersebut. Pertanggung jawaban tersebut baik secara
hukum perdata ataupun pidana.

Di Amerika Serikat hubungan Bank dan nasabah di lihat sebagai suatu hubungan
kontraktual antara debitur dan kreditur, yaitu sebagai peminjam dan yang meminjamkan.
Selain itu juga Bank sebagai penerima dana dan debitur sebagai penyimpan dana, maka
dengan demikian Bank mempunyai hak yuridis terhadap uang yang disimpan. Namun ada
kalanya hal ini bisa mengarah pada tindak pidana ekonomi meskipun awalnya beranjak
dari hukum perdata atau privat. Hal ini dapat dilihat dari case atau kasus, baik yang
dilakukan oleh debitur atau mungkin oleh kreditur.
Misalnya apabila debitur yang telah menerima kredit mempergunakan kreditnya tidak
sesuai dengan apa yang telah ditunjuk atau diperjanjikan sehingga menimbulkan kerugian
yang ditimbulkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatian serta pengawasan yang
kurang ataupun kesalahan debitur.

Demikian pula yang dilakukan oleh kreditur misalnya apabila dalam melaksanakan tugas
pengawasan terlalu dalam mencampuri usaha dari debitur sehingga usaha atau
produksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang mengakibatkan timbulnya
kerugian. Kurang hati-hati dan kelalaian serta kendornya atau kurangnya pengawasan,
merupakan potensi-potensi yang akan bisa menimbulkan tindak pidana ekonomi. Dalam
hal ini dapat diterapkan sanksi didasarkan pada pelanggaran ketentuan-ketentuan,
perundang-undangan perbankan sebagai ketentuan khusus atau peraturan-peraturan lex
specialis maupun ketentuan-ketentuan lain yang terkait misalnya ketentuan pidana.

Sesungguhnya kalau ditinjau dari dasar hukum lex specialisnya seperti halnya ketentuan
perbankan dan sebagainya maka akan memungkinkan perbuatan-perbuatan yang
melanggar ketentuan tersebut dapat menimbulkan tindak pidana ekonomi yang dapat
diberi sanksi pidana.

E. Kasus Golden Key Group – Bapindo (1994)


Dalam kasus yang sangat terkenal dalam bidang perbankan pada tahun 1990-an mencuat
adanya kasus kredit macet dari Golden Key Group (Edy Tanzil) sebagai debitur yang
mendapat kucuran kredit dari Bapindo yang akhirnya menimbulkan kerugian Negara
sebesar 1.3 triliun. Kasus ini terjadi karena adanya pengucuran kredit dari Bapindo
kepada Edy Tanzil (Golden Key Group) yang pengucurannya didasarkan atas surat sakti/
“katabelece” dari petinggi pemerintahan waktu itu[15]. Dasar kesalahan yang kedua
adalah pemberian kredit diberikan sebelum ada kredit tertulis. Dalam hal ini Golden Key
Group memperoleh kredit tanpa melalui ketentuan perbankan yang berlaku[16]. Dalam
hal ini perjanjian kredit tersebut tidak tertulis sedangkan ketentuan perjanjian kredit
harus tertulis. Perjanjian kredit meskipun ada konsensus atau kata sepakat disyaratkan
pula secara khusus harus tertulis. Hal ini berdasarkan ketentuan-ketentuan perbankan
yang merupakan lex specialis.

Kelemahan dari perjanjian tersebut bahwa ternyata dengan “katabelece” berarti prinsip
kehati-hatian dan pengawasan telah diabaikan, dalam hal ini misalnya mengenai batas
maksimum pemberian kredit (BMPK) yaitu tagihan sebesar 1.3 triliun, ini merupakan
pemberian kucuran kredit yang melampaui batas yang dianggap melanggar prinsip-
prinsip kehati-hatian dan pengawasan.
Kegagalan untuk mengembalikan kredit merupakan wanprestasi oleh debitur artinya
bahwa debitur tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Oleh karena itu sesungguhnya masuk ruang lingkup hukum Perdata. Akan tetapi karena
banyak terkena oleh aturan-aturan perbankan antara lain dilanggarnya prinsip kehati-
hatian dan pengawasan yang akhirnya menimbulkan kerugian Negara dan telah diatur
tersendiri berdasarkan ketentuan perbankan secara lex specialis maka yang tadinya
berawal dari suatu perjanjian yang harusnya, kalau terjadi kemacetan mestinya
diselesaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan Perdata dapat mengarah ke tindak pidana
ekonomi yaitu berdasar ketentuan hukum Pidana.

Dalam kasus Golden Key Group ini saya berpendapat bahwa kasus tersebut dapat saya
lihat dari dua sisi atau sudut pandang:

1. Berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(KUHPerdata) dalam hal ini karena kredit tersebut adalah merupakan suatu
perjanjian, sehingga apabila terjadi kegagalan yaitu tidak terlaksananya
kewajiban-kewajiban oleh debitur dalam hal ini mengembalikan pembayaran
kredit kembali kepada Bank selaku kreditur adalah merupakan wanprestasi dari
debitur. Oleh karena itu penyelesaian hukumnya harus melalui dasar hukum yaitu
KUHPerdata BAB XIII BK III tentang perjanjian. Sehingga dalam
penyelesaiannya harus dilakukan dengan penarikan-penarikan kembali kredit-
kredit tersebut dengan batas waktu pengembalian.
2. Berdasarkan ketentuan-ketentuan perbankan itu sendiri yang mengacu pada Pasal
29 ayat (2) Undang-Undang Bank Central No. 13 Tahun 1968 yaitu adanya
pengawasan oleh Bank Central dalam hal ini adalah Bank Indonesia dan juga oleh
bank-bank yang ada dibawahnya. Dalam Undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dapat dilihat didalam Pasal 24 yang intinya mengenai tugas dan
pengawasan bank, Pasal 25 ayat (1) berhubungan dengan prinsip kehati-hatian
juga Pasal 29 ayat (1, 2 dan 3) yang menyangkut Ketentuan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) selain itu juga didalam Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan dari Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1992 yang
tercantum didalam :
Pasal 11 (menetapkan ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan
investasi surat berharga atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank
kepada peminjam atau kelompok peminjam yang terkait termasuk kepada
perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dalam bank yang sama
dengan bank yang bersangkutan)[17].

Dalam ayat (2)nya BMPK tidak boleh melebihi 30% dari modal bank.
Dengan didasarkan pada aturan dan ketentuan-ketentuan perbankan itu sendiri yang juga
mengatur mengenai sanksi pidana apabila peraturan tersebut dilanggar. Dengan
pelanggaran tersebut yang menimbulkan kerugian pada negara, maka harus diberi sanksi
Pidana sebagaimana ketentuan yang berlaku khususnya dalam ketentuan perbankan, juga
ketentuan-ketentuan lain yang terkait misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).

Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh Bank mengandung
risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh
terhadap kesehatan Bank.

Kredit bersumber dari dana masyarakat, maka pengelola dalam hal ini Bank wajib
bertanggung jawab. Jika karena kebijakan yang diambil khususnya mengenai Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), sehingga menimbulkan kerugian dari
menggoncangkan perekonomian masyarakat dan menuju kebangkrutan maka dapat
diambil tindakan karena merugikan masyarakat sehingga dapat dikenakan sanksi pidana.
Juga karena kurang kehati-hatian dan lalainya pengawasan yang merupakan tugas pihak
Bank yang akhirnya timbul kerugian, pihak Bank harus bertanggung jawab secara pidana
karena ada unsur merugikan dana masyarakat.

Dalam kasus yang berhubungan BMPK pakar dan pengamat perbankan Projoto
mengemukakan pendapatnya :
Adanya pelonggaran (relaksasi) ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
sebagai suatu syarat untuk mendorong lembaga perbankan menyalurkan kredit adalah
gagasan yang ”patut” direalisasikan. Patut karena rigiditas regulasi tentang BMPK
memang sering dianggap sebagai salah satu halangan bagi Bank untuk menyalurkan
kredit korporasi maupu kredit ke sektor kegiatan infrastruktur[18].

Hal ini jika dihubungkan dengan penerapan klasifikasi aktiva produktif seperti diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI 7/2/2005).
Berdasar ketentuan tersebut tindakan relaksasi pun masih belum mampu menggairahkan
minat perbankan menyalurkan kredit secara optimal.
Menanggapi tulisan dari pengamat perbankan tersebut diatas penulis menyetujui dan
menggarisbawahi pendapat tersebut. Selain yang telah dikemukakan diatas berdasar
pengamatan saya pada akhir-akhir ini lembaga-lembaga perbankan memang sangat hati-
hati dalam menjalankan tugas kewenangannya dibidang pengucuran kredit karena
”risikonya amat tinggi”. Hal ini dapat dilihat dari kasus yang muncul seperti halnya kasus
Golden Key Group – Bapindo, kasus Bank Mandiri, kasus Bank BNI dan sebagainya.

Pada akhir-akhir ini telah keluar Fatwa Mahkamah Agung yang berhubungan dengan aset
perusahaan dan juga aset negara mengenai pemisahan aset tersebut yang ditulis dalam
Kompas Senin 2 Oktober 2006 dan Kompas Rabu 4 Oktober 2006. Dalam tulisan
tersebut mengetengahkan pemisahan aset negara dan aset perusahaan[19]. Banyak yang
berpendapat yang mengkhawatirkan bahwa dengan adanya Fatwa Mahkamah Agung
tersebut dapat melemahkan atau mengendorkan penanganan perkara korupsi terutama
korupsi yang terjadi di BUMN, dapat diarahkan ke hukum Perdata atau Perseroan.
Dengan demikian dikhawatirkan orang-orang yang melakukan korupsi akan terhindar
karena adanya fatwa Mahkamah Agung tersebut. Kekhawatiran tersebut timbul
dilontarkan oleh pakar hukum pidana yaitu Indrianto Seno Adji dan juga dari DPR Gayus
Lumbuun dengan adanya fatwa dari Mahkamah Agung Agustus 2006 bahwa pemisahan
kekayaan negara dalam APBN serta APBD kedalam BUMN sebagai penyertaan modal,
tidak dapat diartikan sebagai keuangan negara. Oleh karena itu tunduk pada hukum atau
prinsip hukum Perdata atau Perseroan. Dengan pemisahan aset tersebut mengakibatkan
tidak ada kerugian negara sebagai unsur dalam perkara tindak pidana kosupsi.

Memang berdasar hukum secara formal, uang yang diikut sertakan didalam perseroan
dalam pengelolaannya adalah sepenuhnya tanggung jawab perseroan atau perusahaan/
korporasi, tunduk pada bidang hukum perdata. Karena modal penyertaan yang sudah
masuk atau disimpan Bank adalah uang milik Bank dan merupakan kekayaan Bank
selama dalam penyimpanan Bank, juga ketentuan penyimpanan dana mendapat bunga
sebagai kontra prestasi dari penyimpanan tersebut. Di dalam Pasal 1765 KUHPerdata di
sebutkan : ”Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain
barang yang menghabis karena pemakaian”[20].

Jauh sebelum adanya Fatwa Mahkamah Agung timbul kasus Bank BNI – Kebayoran
Baru (2004) kasus Bank Mandiri (2005) dengan putusan yang berbeda meskipun
kasusnya hampir sama.
Kompas dalam tulisan yang dimuat 5 September 2006 ”Tempuhlah Jalur Hukum”, seruan
ini dilontarkan Menteri BUMN Sugiharto mendorong Bank Mandiri untuk menempuh
jalur hukum untuk menghadapi para debitor yang kreditnya macet[21]. Dilakukan karena
penyelesaian kredit bermasalah di Bank Mandiri sudah berlarut-larut cukup lama. Dari
kejadian ini menunjukkan bahwa hal tersebut karena lemahnya perangkat perundang-
undangan perbankan itu sendiri. Dimana muncul debitor-debitor yang sesungguhnya
cukup mampu akan tetapi karena moral dan mental yang melandasinya kurang, sehingga
timbul kondisi yang parah dan terjadi penumpukan kredit macet karena ulah debitur
”nakal”.

Kondisi debitor-debitor ”nakal” terlihat didalam tulisan pada harian Kompas Rabu 5
Agustus 2006 yang berjudul Bankir Minta Dilindungi[22]. Para Bankir berharap Presiden
dalam Pidato kenegaraan pada rapat paripurna DPR 16 Agustus 2006 berkomitmen
melindungi Bankir dari tuduhan korupsi bila terjadi kredit macet.
Inti tulisan tersebut menandakan betapa kondisi Ekonomi, yang buruk akibat kredit macet
yang sebagian merupakan ”ulah nakal” para debitur. Disamping itu kredit macet tidak
semua akibat tindakan kriminal yang merugikan negara, sebetulnya juga akibat
perekonomian yang buruk. Sehingga kondisi perbankan merosot karena Bankir takut
melaksanakan tugas pengucuran dana ke masyarakat yang dampaknya terhadap kinerja
Bank. Ada kecenderungan kreditur (Bank) bersikap amat hati-hati karena maksud baik
dalam melaksanakan tugas kewajiban yang mulia dalam pengucuran kredit untuk
masyarakat dalam memajukan perkembangan ekonomi justru berujung pada kondisi yang
sangat menyulitkan pihak Bank sebagai pemberi kredit yaitu adanya usaha-usaha pihak
lain untuk mengalihkan penyelesaian kredit macet ke bidang pidana dengan ”paksa”.

Hal ini sesungguhnya harus difokuskan pada pihak debitur yang ”nakal” yang
mengakibatkan kerugian baik bagi negara maupun masyarakat pada umumnya.

II. Penutup
Berdasarkan 2 fungsi utama Bank yaitu fungsi pengerahan dana dan penyaluran dana
muncul dua (2) hubungan hukum antara Bank dan nasabah :
1. Hubungan hukum antara Bank dan nasabah penyimpan dana.
2. Hubungan hukum antara Bank dan peminjam dana.

Hubungan hukum ini tidak hanya merupakan hubungan hukum kontraktual saja akan
tetapi juga merupakan hubungan berdasar prinsip dan asas kepercayaan, kehati-hatian
apabila dilanggar menimbulkan kerugian jika tidak dikenakan sanksi terjadi suatu
keadaan yang tidak adil. Oleh karena itu perbuatan yang merugikan tersebut agar adil
harus ditindak dan diberi sanksi. Adam Smith mengajarkan dalam teorinya tentang
keadilan bahwa barang siapa merugikan orang lain atau menimbulkan kerugian harus
diseimbangkan dengan adanya sanksi yang dikenakan bagi yang merugikan.

Dalam hubungan antara Bank dan nasabah penyimpan dana terdapat hubungan hukum
kontraktual. Dilanggarnya perjanjian atau tidak dilaksanakannya kewajiban dalam
perjanjian menimbulkan wanprestasi, oleh karena itu penyelesaiannya lewat aturan-
aturan hukum privat yaitu berdasar hukum perdata.

Sedangkan dalam hubungan antara Bank dan peminjam dana yaitu hubungan antara
kreditur dan debitur didasarkan hubungan hukum baik kontraktual maupun hubungan
kepercayaan dan kehati-hatian.
Apabila hubungan kepercayaan dan prinsip kehati-hatian juga pengawasan dilanggar
sehingga menimbulkan kerugian karena kelalaian atau kejahatan maka harus diberi
sanksi. Dengan demikian tercipta rasa keadilan agar tidak muncul kekacauan dalam
masyarakat. Karena dilanggarnya prinsip kepercayaan, kehati-hatian, pengawasan maka
terjadi kelalaian atau kejahatan yang kemudian menimbulkan kerugian.
Kerugian tersebut tidak hanya karena kerugian negara saja akan tetapi juga karena
kerugian kepada masyarakat umum. Tindakan yang menimbulkan kerugian tersebut dapat
dikenai sanksi berupa tindak pidana atau dikenai aturan-aturan hukum yang mengarah ke
tindak pidana ekonomi.
Masih lemahnya aturan dan ketentuan hukum dalam lingkup hukum perbankan, karena
masih memegang prinsip lama yang sudah tidak mengikuti perkembangan sosio yuridis
dan perkembangan sosio ekonomis masa kini.

Kiranya pembenahan perangkat hukum perkreditan segera dilaksanakan dan menampung


serta menganalisis kenyataan-kenyataan yang ada berdasar perkembangan jaman baik
secara ekonomi maupun sosial yuridis dan hukum itu sendiri.
Kiranya dunia perbankan masa depan perlu menjawab tantangan yang ada dan akan ada
dengan pembenahan peraturan perundang-undangan yang lebih aktual dalam menantang
dan menyikapi perubahan jaman, sehingga dunia perbankan akan dapat membantu negara
untuk membangun perekonomian Indonesia dimasa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Tony Prasetiantono, Marcello Teodore Cs, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Suatu
pelajaran yang sangat mahal bagi otoritas moneter dan perbankan; Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo, Kelompok Gramedia, 2006.

Bako, Rony Sautma Hotma, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan
dan Deposito; Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995.

H. Moh. Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Konsep, Teknik dan Kasus;
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999.

Keraf, Sonny. A, Pasar Bebas Keadilan& Peran Pemerintah, Telaah Atas Etika Ekonomi
Adam Smith, Jakarta : Kanisius, 1995

Kompas, Bankir Minta Dilindungi, 16 Agustus 2006.

Kompas, Fatwa Soal Aset Mengkhawatirkan, 2 Oktober 2006.

Kompas, Fatwa Mahkamah Agung Bisa Hambar Pemberantasan Korupsi, 4 Oktober


2006.

Levy. J. A. Rekening Courant, 1873.

Mariam Darus Bahrul Zaman; Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Citra Aditya Bakti,
1991.

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.

R. Subekti, Tjitro Subidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya


Paramita, 1986.
Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Undang-Undang Tentang Perbankan, Bandung :
Nuansa Aulia, 2006.

Sri Gambir Melati Hatta, Pelangi Hukum Bisnis, Jakarta : ISTN, 1999.

Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan
Perkembangannya, Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Jakarta : UI
Press, 2000 (Pidato Pengukuhan Guru Besar FHUI).

Tjipto Adi Nugroho, Perbankan Masalah Perkreditan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

Webster, Noah, Webster New Universal Unabridged Dictionery; New York USA : Simon
& Schuster, 1972.

Oleh: Prof. DR. Hj. Sri Gambir Melati Hatta, SH.

I. Pendahuluan
Dalam dunia perbankan perkreditan merupakan salah satu tugas yang bank yang penting.
Dapat dikatakan bahwa bank tanpa kredit ”sayur tanpa garam” atau ”hambuger tanpa
daging” demikian Munir Fuadi menyebutnya[1]. Dengan tugas bank dalam memberikan
dan menyalurkan kredit merupakan kegiatan penting bagi bank guna menunjang
perkembangan ekonomi masyarakat.
Perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan meliputi bidang
produksi baik pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan ataupun produksi bidang
industri, investasi, perdagangan, eksport import dan sebagainya. Dalam pembangunan
sarana prasarana fisik dalam pembangunan seperti halnya gedung-gedung, jembatan-
jembatan, irigasi, perumahan dan sebagainya.
Perkreditan mempunyai peranan penting bagi kegiatan bisnis dalam rangka pembangunan
dan perkembangan ekonomi masa depan, merupakan salah satu sarana penumpukan
modal bagi masyarakat untuk berusaha diberbagai sektor produksi. Dengan
perkembangan dalam dunia perekonomian dan bisnis, perdagangan. Arti dan peranan
perkreditan dalam menanggulangi masalah-masalahnya dewasa ini baik dalam hal hukum
maupun penyelesaian masalah-masalah yang ditimbulkan adanya pemberian kredit pada
sektor perbankan.

Sesungguhnya makna dari kredit dapat disamakan dengan utang. Pada zaman dahulu
mempunyai utang merupakan hal yang kurang pantas atau memalukan jika terlihat atau
terdengar orang lain. Namun sekarang dunia telah berubah orang bangga mempunyai
kredit yang sebenarnya artinya mempunyai utang. Bahwa dengan penyebutan kredit,
menandakan dia dianggap orang atau pengusaha yang dipercaya oleh bank atau dekat
dengan ”orang kuat” yang dapat memberikan katabelece, adakalanya penandatanganan
kredit dibuat dihotel-hotel berbintang serta diekspose wartawan berbagai media masa[2].
Kata kredit yang berarti kepercayaan artinya adanya saling percaya antara kreditur selaku
pemberi kredit dan debitur sebagai penerima kredit.
Perjanjian kredit dalam perbankan dilandasi atau berlaku dengan dasar hukum baik
undang-undang, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perbankan, kebiasaan
praktek dalam perbankan juga yurisprudensi.

Pemberian kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian tidak dapat dilepaskan dengan
unsur atau prinsip kepercayaan, yang hal ini sering mengundang malapetaka bagi kreditur
yaitu dengan munculnya kredit macet. Untuk itu diperlukan berbagai unsur seperti halnya
safety, soundness, without substantial risk, juga dalam bidang perundang-
undangannya/peraturan perlu mendapatkan perhatian, karena dalam kenyataan perangkat
hukumnya dianggap kurang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan kredit
macet. Seperti pendapat Munir Fuady dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa :
”Upaya-upaya yang disediakan oleh sektor hukum dibidang kredit seringkali tidak
memuskan, keluhan-keluhan sering terdengar dimana-mana”. Ironisnya banyak pihak
yang kompoten yang terlibat dalam praktek seakan-akan tidak mau tahu tentang
rintangan dan hambatan yang dialami oleh pihak perbankan. Ilmu hukum perkreditan
yang konpensional masih tidak bergerak jauh dari teori-teori lama yang kebanyakan
sudah ”usang”[3].

Dalam hal ini saya sependapat dengan Munir Fuady yaitu bahwa pendapat megenai
kedudukan debitur selalu dianggap sebagai pihak yang lemah, yang sesungguhnya pada
perkembangan zaman sekarang pada beberapa dekade ini hal itu tidak demikian.
Misalnya asumsi yuridis debitur adalah pihak yang lemah tetap dipegang teguh pendapat
tersebut, sehingga banyak ketentuan perjanjian kredit untuk menjamin amannya
pemberian atau pembayaran kembali suatu kredit seringkali dimentahkan atau dibatalkan
oleh Pengadilan.
Berdasar pengamatan saya banyak kasus-kasus kredit macet yang terjadi justru dari ”ulah
debitur yang nakal”. Hal ini bagi kreditur merupakan ”monster” yang sangat menakutkan,
demikian komentar Munir Fuady[4].

Perjanjian kredit adalah merupakan suatu bentuk kontraktual dalam penuangannya,


dengan demikian berlakulah ketentuan-ketentuan hukum privat dalam hal ini tunduk pada
ketentuan hukum perjanjian yang ada didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
BK III.
Dengan demikian uang atau dana dari pihak bank selaku kreditur adalah asset
perusahaan tersebut sebelum dikucurkan kepada debitur. Sesudah dilaksanakan perjanjian
kredit dengan diberikannya uang kepada debitur maka pada saat itu hak milik langsung
beralih kepada peminjam, sehingga peminjam sekarang menjadi pemilik atau owner. Hal
ini dapat dilihat pada Pasal 1755 KUHPerdata[5]. Disinilah berakibat timbulnya posisi
tidak aman bagi kreditur. Apabila debitur dikemudian hari tidak dapat melakukan
kewajibannya untuk mengembalikan uang pinjaman sesuai dengan yang telah
diperjanjikan, maka menimbulkan kredit macet, hal ini merupakan wanprestasi dari
debitur. Karena posisi hukum peminjam sesudah dikucurkan kredit bukan lagi sebagai
peminjam akan tetapi sudah menjadi pemilik (owner, eigenaar)

Pada akhir-akhir ini masalah kredit macet sangat banyak, dari berbagai pengamatan
berdasar kasus-kasus yang muncul terjadi adanya indikasi bahwa calon debitur yang
sudah mempersiapkan ”jurus-jurus cerdik” untuk mematuhi segala aturan dan perintah
calon kreditur sebelum kredit dikucurkan. Tetapi sesudah dikucurkan maka semua
ketentuan-ketentuan sudah tidak diingat lagi termasuk tujuan dari kredit yang diambil
tidak dipedulikan.
Tidak jarang pihak Bank untuk menarik pembayaran kembali kreditnya harus mengemis-
ngemis. Dalam kondisi seperti ini maka yang dirugikan dalam hal ini adalah pihak
kreditur. Posisi kreditur dalam kondisi seperti ini lemah.

A. Pengertain Kredit dan Elemen-elemennya


Pengertian kredit yang sesungguhnya mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Kata
kredit berasal dari bahasa Yunani yang biasa disebut creditus yang merupakan past
participle dari kata credere yang artinya adalah trust atau kepercayaan[6].
Percaya, kepercayaan atau to believe atau trust berlandaskan moral, itikad baik atau good
faith, sedangkan pengertian kredit sebagaimana diatur didalam Undang-undang RI No. 10
Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang tercantum didalam BAB I ketentuan umum Pasal 1 point 11 :
"Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”[7]

Dari berbagai pendapat para pakar saya lebih condong pendapat pakar hukum Levy yang
merumuskan arti hukum dari kredit :
”Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh
penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannyadengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang
hari”[8].

Dari definisi tersebut memberi ciri atau tanda bahwa kredit merupakan pinjam meminjam
artinya suatu perbuatan hukum yang tidak selesai pada saat itu.
Dasar pemberian uang tersebut yang merupakan kredit adalah kepercayaan yaitu kreditur
percaya untuk meminjamkan uangnya kepada debitur, bahwa debitur akan
mengembalikan pinjaman sesuai kewajibannya berdasar itikad baik, moral dan
kepercayaan. Disamping itu juga berdasar prinsip kehati-hatian.
Oleh karena itu debiturpun sebagai pihak peminjam juga dituntutkan mempunyai dasar
landasan yang sama pula dengan kreditur.

Dengan apa yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kewajiban
baik dari kreditur maupun dari debitur dilandasi kepercayaan dan kehati-hatian.
Dari pengertian kredit tersebut dapat dilihat unsur-unsur bahwa kredit merupakan suatu
perjanjian atau kesepakatan persetujuan antara pihak kreditur dengan debitur :

• Dengan adanya kesepakatan para pihak maka timbullah suatu perbuatan hukum,
perbuatan hukum menimbulkan hak dan kewajiban.
• Perjanjian kredit bank timbul dalam dunia bisnis khususnya bank. Perbuatan itu
dilandasi oleh kepercayaan dan kehati-hatian.
• Adanya pembayaran sejumlah uang sebagai pinjaman dari kreditur dan dilain
pihak debitur wajib membayar kembali uang-uang yang dipinjam dengan baik dan
tanggung jawab sesuai dengan waktu yang disepakati.

Semua perbuatan hukum seperti perjanjian kredit yang tidak selesai pada saat itu juga
maka disitulah timbul lembaga jaminan, artinya umumnya timbul dan muncul pula
adanya jaminan yang diperlukan dalam perjanjian kredit tersebut baik jaminan
kepercayaan maupun jaminan lain.

B. Dasar Hukum Suatu Kredit


Untuk jelasnya dalam mengetengahkan dasar hukum disini adalah ”dasar hukum suatu
perjanjian kredit”.
Di Indonesia perjanjian kredit digolongkan sebagai perjanjian tak bernama (in nominat)
karena perjanjian kredit tidak dicantumkan dan tidak diketemukan pengaturannya baik
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang. Berdasarkan penelitian, saya berpendapat bahwa perjanjian kredit memang
masuk dalam perjanjian tak bernama, mungkin saya berbeda dengan pakar hukum yang
lain, tetapi inilah pendapat saya berdasarkan penelitian saya dalam disertai tahun 1997.

Perjanjian kredit pengaturannya didalam Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang


Perbankan yang landasannya dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Ini merupakan lex
specialis sedangkan lex generalisnya bertopang pada KUHPerdata BK III BAB XIII
(pinjam meminjam) juga BAB I s/d IV mengenai ketentuan umum. Disamping itu juga
Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan perbankan antara
lain Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Peraturan Bank
Indonesia Nomor : 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/22/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, juga
hukum kebiasaan sebagai dasar hukum perjanjian kredit dalam dunia perbankan, juga
yurisprudensi.

Menurut Ronny Sautma Hotma Bako dalam satu tulisannya menyatakan bahwa hubungan
antara kreditur dan debitur adalah hubungan hukum dan kepercayaan[9]. Yang dimaksud
kreditur disini adalah perbankan dan debitur adalah peminjam atau penerima kredit.

C. Prinsip-prinsip Dasar Perkreditan

1. Prinsip yang menjadi acuan bagi perjanjian kredit yang pertama prinsip
kepercayaan. Hal ini berlaku baik bagi kreditur ataupun debitur[10].
Bagi kreditur kepercayaan bahwa kredit yang kucurkan akan bermanfaat dalam
usaha dan akan dipergunakan sesuai tujuannya oleh debitur sesuai dengan yang
telah diperjanjikan. Bagi debitur kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat
membayar kembali kreditnya dengan tepat waktu dan lancar.
2. Prinsip kehati-hatian atau prudent
Sesungguhnya semua pekerjaan termasuk perkreditan dituntutkan adanya kehati-
hatian dari masing-masing pihak. Dilihat dari sudut pemberi kredit yaitu pihak
bank bahwa prinsip kehati-hatian perlu mendapat perhatian utama karena kondisi
dan atmosfer masa kini berbeda, sehingga tingkat penghati-hatiannya bagi
kreditur benar-benar ditingkatkan. Banyak didengar bahwa debitur masa kini,
jaman sekarang jauh lebih ”cerdik” dan debitur tidak selamanya dalam posisi
”lemah”[11]. Mungkin secara yuridis, akan tetapi dalam realitanya justru bank
dalam pihak yang lemah, prinsip kehati-hatian juga harus dibarengi dengan
prinsip pengawasan dari kreditur, terutama pengawasan atasan diperlukan untuk
meminimalisasi risiko yang timbul dari pemberian kredit, yaitu dengan selalu
mengadakan pengawasan sejauh mana kredit-kredit tersebut dipergunakan sesuai
atau tidak sesuai dengan tujuannya. Asas profesionalisme mendasari tugas-tugas
kreditur.

Kurangnya perhatian terhadap prinsip kehati-hatian dan pengawasan dari pihak


perbankan akhir-akhir ini banyak terjadi kasus kredit macet yang spektakuler antara lain
kasus : Edy Tanzil vs Bapindo (1994), kasus BNI Kebayoram Baru (2004) kasus Bank
Mandiri (2005).
Dari kasus tersebut salah satunya akan dianalisis yaitu kasus Golden Key Group (Edy
Tanzil) – Bank Bapindo.

D. Hak dan Kewajiban Baik Dalam Penyimpanan Dana Maupun Dalam Perjanjian
Kredit

1. Hubungan antara bank dan nasabah didasarkan 2 unsur yang saling terkait yaitu
hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan
melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat ”percaya”
untuk menempatkan uangnya, pada produk-produk perbankan yang ada pada bank
tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisir
dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya dan bank akan
memberikan jasa-jasanya[12]. Untuk diketahui bahwa bank adalah suatu badan
usaha yang memang menghimpun dana dari masyarakat yang kemudian
dipergunakan dan disalurkan kepada masyarakat kembali untuk memajukan
ekonomi masyarakat guna perkembangan dan pembangunan ekonomi. Dengan
perkataan lain penyimpanan uang atau dana termasuk negara setelah uang
disimpan di Bank, maka uang tersebut adalah milik Bank atau Korporasi. Ini
berarti dana yang disimpan merupakan kekayaan Bank atau Korporasi selama
dalam penyimpanan. Oleh karena itu apabila terjadi kredit macet yang
menimbulkan kerugian diselesaikan lewat ketentuan-ketentuan hukum perdata
karena yang melingkupi adalah hukum privat.
2. Hubungan selanjutnya antara bank sebagai kreditur pemberi kredit dengan debitur
sebagai peminjam atau penerima kredit.
Disini bank sebagai penyedia dana bagi para debiturnya, hubungan hukum antara
bank sebagai kreditur dan peminjam sebagai debitur adalah hubungan kontraktual
dan hubungan kepercayaan. Hubungan kontraktual tersebut terjadi apabila
kreditur telah menjalin hubungan hukum dengan pihak debitur misalnya sepakat
melakukan perjanjian kredit. Oleh karena itu hubungan kontraktual ini melibatkan
dasar hukum privat artinya hukum privat sebagai dasar hukum terjadinya
perjanjian tersebut. Dengan sendirinya apabila terjadi kemacetan dalam
pembayaran kredit kembali adalah merupakan bentuk wanprestasi atau breach of
contract atau ingkar janji atau tidak menepati janji, sehingga yang melingkupi
adalah Hukum Perdata. Selain hubungan hukum kontraktual hubungan antara
kreditur dan debitur yaitu pemberi pinjaman dan penerima pinjaman juga ada
hubungan yang dilandasi kepercayaan termasuk dalam hal ini adalah kehati-hatian
dan pengawasan. Tugas, kewajiban tersebut apabila dilanggar mengakibatkan
kerugian karena kelalaian ataupun kesalahan.

Apabila kita lihat pendapat dan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith seorang filsuf,
pakar hukum yang juga seorang ekonom yaitu tentang teori ”keadilan”nya yang
mengetengahkan bahwa :
Barangsiapa merugikan atau membuat seseorang rugi maka harus ditindak atau diberi
sanksi sehingga terdapat keadilan[13].
Artinya menghargai hak-hak seseorang, tidak merugikan orang lain atau melukai. Setiap
orang akan memaksakan dirinya sendiri untuk mentaati aturan-aturan keadilan karena
nilai-nilai yang dijamin oleh pelaksanaan keadilan. Kalau tidak, akan muncul kekacauan
dalam masyarakat[14].

Oleh karena itu, kerugian yang timbul karena adanya kredit macet harus diberi sanksi
untuk diberi keseimbangan agar tercipta keadilan. Faktor kerugian tidak harus kerugian
bagi negara saja akan tetapi kerugian yang timbul pada siapapun asal ada unsur kelalaian,
karena kekurang hati-hatian dan sebagainya, maka hal tersebut dapat mengarah ketindak
pidana. Siapa yang karena kelalaian atau karena kesalahannya harus bertanggung jawab
secara hukum akibat adanya kerugian tersebut. Pertanggung jawaban tersebut baik secara
hukum perdata ataupun pidana.

Di Amerika Serikat hubungan Bank dan nasabah di lihat sebagai suatu hubungan
kontraktual antara debitur dan kreditur, yaitu sebagai peminjam dan yang meminjamkan.
Selain itu juga Bank sebagai penerima dana dan debitur sebagai penyimpan dana, maka
dengan demikian Bank mempunyai hak yuridis terhadap uang yang disimpan. Namun ada
kalanya hal ini bisa mengarah pada tindak pidana ekonomi meskipun awalnya beranjak
dari hukum perdata atau privat. Hal ini dapat dilihat dari case atau kasus, baik yang
dilakukan oleh debitur atau mungkin oleh kreditur.
Misalnya apabila debitur yang telah menerima kredit mempergunakan kreditnya tidak
sesuai dengan apa yang telah ditunjuk atau diperjanjikan sehingga menimbulkan kerugian
yang ditimbulkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatian serta pengawasan yang
kurang ataupun kesalahan debitur.

Demikian pula yang dilakukan oleh kreditur misalnya apabila dalam melaksanakan tugas
pengawasan terlalu dalam mencampuri usaha dari debitur sehingga usaha atau
produksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, yang mengakibatkan timbulnya
kerugian. Kurang hati-hati dan kelalaian serta kendornya atau kurangnya pengawasan,
merupakan potensi-potensi yang akan bisa menimbulkan tindak pidana ekonomi. Dalam
hal ini dapat diterapkan sanksi didasarkan pada pelanggaran ketentuan-ketentuan,
perundang-undangan perbankan sebagai ketentuan khusus atau peraturan-peraturan lex
specialis maupun ketentuan-ketentuan lain yang terkait misalnya ketentuan pidana.

Sesungguhnya kalau ditinjau dari dasar hukum lex specialisnya seperti halnya ketentuan
perbankan dan sebagainya maka akan memungkinkan perbuatan-perbuatan yang
melanggar ketentuan tersebut dapat menimbulkan tindak pidana ekonomi yang dapat
diberi sanksi pidana.

E. Kasus Golden Key Group – Bapindo (1994)


Dalam kasus yang sangat terkenal dalam bidang perbankan pada tahun 1990-an mencuat
adanya kasus kredit macet dari Golden Key Group (Edy Tanzil) sebagai debitur yang
mendapat kucuran kredit dari Bapindo yang akhirnya menimbulkan kerugian Negara
sebesar 1.3 triliun. Kasus ini terjadi karena adanya pengucuran kredit dari Bapindo
kepada Edy Tanzil (Golden Key Group) yang pengucurannya didasarkan atas surat sakti/
“katabelece” dari petinggi pemerintahan waktu itu[15]. Dasar kesalahan yang kedua
adalah pemberian kredit diberikan sebelum ada kredit tertulis. Dalam hal ini Golden Key
Group memperoleh kredit tanpa melalui ketentuan perbankan yang berlaku[16]. Dalam
hal ini perjanjian kredit tersebut tidak tertulis sedangkan ketentuan perjanjian kredit
harus tertulis. Perjanjian kredit meskipun ada konsensus atau kata sepakat disyaratkan
pula secara khusus harus tertulis. Hal ini berdasarkan ketentuan-ketentuan perbankan
yang merupakan lex specialis.

Kelemahan dari perjanjian tersebut bahwa ternyata dengan “katabelece” berarti prinsip
kehati-hatian dan pengawasan telah diabaikan, dalam hal ini misalnya mengenai batas
maksimum pemberian kredit (BMPK) yaitu tagihan sebesar 1.3 triliun, ini merupakan
pemberian kucuran kredit yang melampaui batas yang dianggap melanggar prinsip-
prinsip kehati-hatian dan pengawasan.
Kegagalan untuk mengembalikan kredit merupakan wanprestasi oleh debitur artinya
bahwa debitur tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Oleh karena itu sesungguhnya masuk ruang lingkup hukum Perdata. Akan tetapi karena
banyak terkena oleh aturan-aturan perbankan antara lain dilanggarnya prinsip kehati-
hatian dan pengawasan yang akhirnya menimbulkan kerugian Negara dan telah diatur
tersendiri berdasarkan ketentuan perbankan secara lex specialis maka yang tadinya
berawal dari suatu perjanjian yang harusnya, kalau terjadi kemacetan mestinya
diselesaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan Perdata dapat mengarah ke tindak pidana
ekonomi yaitu berdasar ketentuan hukum Pidana.

Dalam kasus Golden Key Group ini saya berpendapat bahwa kasus tersebut dapat saya
lihat dari dua sisi atau sudut pandang:

1. Berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(KUHPerdata) dalam hal ini karena kredit tersebut adalah merupakan suatu
perjanjian, sehingga apabila terjadi kegagalan yaitu tidak terlaksananya
kewajiban-kewajiban oleh debitur dalam hal ini mengembalikan pembayaran
kredit kembali kepada Bank selaku kreditur adalah merupakan wanprestasi dari
debitur. Oleh karena itu penyelesaian hukumnya harus melalui dasar hukum yaitu
KUHPerdata BAB XIII BK III tentang perjanjian. Sehingga dalam
penyelesaiannya harus dilakukan dengan penarikan-penarikan kembali kredit-
kredit tersebut dengan batas waktu pengembalian.
2. Berdasarkan ketentuan-ketentuan perbankan itu sendiri yang mengacu pada Pasal
29 ayat (2) Undang-Undang Bank Central No. 13 Tahun 1968 yaitu adanya
pengawasan oleh Bank Central dalam hal ini adalah Bank Indonesia dan juga oleh
bank-bank yang ada dibawahnya. Dalam Undang RI No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dapat dilihat didalam Pasal 24 yang intinya mengenai tugas dan
pengawasan bank, Pasal 25 ayat (1) berhubungan dengan prinsip kehati-hatian
juga Pasal 29 ayat (1, 2 dan 3) yang menyangkut Ketentuan Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) selain itu juga didalam Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan dari Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1992 yang
tercantum didalam :
Pasal 11 (menetapkan ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan
investasi surat berharga atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank
kepada peminjam atau kelompok peminjam yang terkait termasuk kepada
perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dalam bank yang sama
dengan bank yang bersangkutan)[17].

Dalam ayat (2)nya BMPK tidak boleh melebihi 30% dari modal bank.
Dengan didasarkan pada aturan dan ketentuan-ketentuan perbankan itu sendiri yang juga
mengatur mengenai sanksi pidana apabila peraturan tersebut dilanggar. Dengan
pelanggaran tersebut yang menimbulkan kerugian pada negara, maka harus diberi sanksi
Pidana sebagaimana ketentuan yang berlaku khususnya dalam ketentuan perbankan, juga
ketentuan-ketentuan lain yang terkait misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).

Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh Bank mengandung
risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh
terhadap kesehatan Bank.

Kredit bersumber dari dana masyarakat, maka pengelola dalam hal ini Bank wajib
bertanggung jawab. Jika karena kebijakan yang diambil khususnya mengenai Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), sehingga menimbulkan kerugian dari
menggoncangkan perekonomian masyarakat dan menuju kebangkrutan maka dapat
diambil tindakan karena merugikan masyarakat sehingga dapat dikenakan sanksi pidana.
Juga karena kurang kehati-hatian dan lalainya pengawasan yang merupakan tugas pihak
Bank yang akhirnya timbul kerugian, pihak Bank harus bertanggung jawab secara pidana
karena ada unsur merugikan dana masyarakat.
Dalam kasus yang berhubungan BMPK pakar dan pengamat perbankan Projoto
mengemukakan pendapatnya :
Adanya pelonggaran (relaksasi) ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
sebagai suatu syarat untuk mendorong lembaga perbankan menyalurkan kredit adalah
gagasan yang ”patut” direalisasikan. Patut karena rigiditas regulasi tentang BMPK
memang sering dianggap sebagai salah satu halangan bagi Bank untuk menyalurkan
kredit korporasi maupu kredit ke sektor kegiatan infrastruktur[18].

Hal ini jika dihubungkan dengan penerapan klasifikasi aktiva produktif seperti diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI 7/2/2005).
Berdasar ketentuan tersebut tindakan relaksasi pun masih belum mampu menggairahkan
minat perbankan menyalurkan kredit secara optimal.
Menanggapi tulisan dari pengamat perbankan tersebut diatas penulis menyetujui dan
menggarisbawahi pendapat tersebut. Selain yang telah dikemukakan diatas berdasar
pengamatan saya pada akhir-akhir ini lembaga-lembaga perbankan memang sangat hati-
hati dalam menjalankan tugas kewenangannya dibidang pengucuran kredit karena
”risikonya amat tinggi”. Hal ini dapat dilihat dari kasus yang muncul seperti halnya kasus
Golden Key Group – Bapindo, kasus Bank Mandiri, kasus Bank BNI dan sebagainya.

Pada akhir-akhir ini telah keluar Fatwa Mahkamah Agung yang berhubungan dengan aset
perusahaan dan juga aset negara mengenai pemisahan aset tersebut yang ditulis dalam
Kompas Senin 2 Oktober 2006 dan Kompas Rabu 4 Oktober 2006. Dalam tulisan
tersebut mengetengahkan pemisahan aset negara dan aset perusahaan[19]. Banyak yang
berpendapat yang mengkhawatirkan bahwa dengan adanya Fatwa Mahkamah Agung
tersebut dapat melemahkan atau mengendorkan penanganan perkara korupsi terutama
korupsi yang terjadi di BUMN, dapat diarahkan ke hukum Perdata atau Perseroan.
Dengan demikian dikhawatirkan orang-orang yang melakukan korupsi akan terhindar
karena adanya fatwa Mahkamah Agung tersebut. Kekhawatiran tersebut timbul
dilontarkan oleh pakar hukum pidana yaitu Indrianto Seno Adji dan juga dari DPR Gayus
Lumbuun dengan adanya fatwa dari Mahkamah Agung Agustus 2006 bahwa pemisahan
kekayaan negara dalam APBN serta APBD kedalam BUMN sebagai penyertaan modal,
tidak dapat diartikan sebagai keuangan negara. Oleh karena itu tunduk pada hukum atau
prinsip hukum Perdata atau Perseroan. Dengan pemisahan aset tersebut mengakibatkan
tidak ada kerugian negara sebagai unsur dalam perkara tindak pidana kosupsi.

Memang berdasar hukum secara formal, uang yang diikut sertakan didalam perseroan
dalam pengelolaannya adalah sepenuhnya tanggung jawab perseroan atau perusahaan/
korporasi, tunduk pada bidang hukum perdata. Karena modal penyertaan yang sudah
masuk atau disimpan Bank adalah uang milik Bank dan merupakan kekayaan Bank
selama dalam penyimpanan Bank, juga ketentuan penyimpanan dana mendapat bunga
sebagai kontra prestasi dari penyimpanan tersebut. Di dalam Pasal 1765 KUHPerdata di
sebutkan : ”Adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain
barang yang menghabis karena pemakaian”[20].

Jauh sebelum adanya Fatwa Mahkamah Agung timbul kasus Bank BNI – Kebayoran
Baru (2004) kasus Bank Mandiri (2005) dengan putusan yang berbeda meskipun
kasusnya hampir sama.
Kompas dalam tulisan yang dimuat 5 September 2006 ”Tempuhlah Jalur Hukum”, seruan
ini dilontarkan Menteri BUMN Sugiharto mendorong Bank Mandiri untuk menempuh
jalur hukum untuk menghadapi para debitor yang kreditnya macet[21]. Dilakukan karena
penyelesaian kredit bermasalah di Bank Mandiri sudah berlarut-larut cukup lama. Dari
kejadian ini menunjukkan bahwa hal tersebut karena lemahnya perangkat perundang-
undangan perbankan itu sendiri. Dimana muncul debitor-debitor yang sesungguhnya
cukup mampu akan tetapi karena moral dan mental yang melandasinya kurang, sehingga
timbul kondisi yang parah dan terjadi penumpukan kredit macet karena ulah debitur
”nakal”.

Kondisi debitor-debitor ”nakal” terlihat didalam tulisan pada harian Kompas Rabu 5
Agustus 2006 yang berjudul Bankir Minta Dilindungi[22]. Para Bankir berharap Presiden
dalam Pidato kenegaraan pada rapat paripurna DPR 16 Agustus 2006 berkomitmen
melindungi Bankir dari tuduhan korupsi bila terjadi kredit macet.

Inti tulisan tersebut menandakan betapa kondisi Ekonomi, yang buruk akibat kredit macet
yang sebagian merupakan ”ulah nakal” para debitur. Disamping itu kredit macet tidak
semua akibat tindakan kriminal yang merugikan negara, sebetulnya juga akibat
perekonomian yang buruk. Sehingga kondisi perbankan merosot karena Bankir takut
melaksanakan tugas pengucuran dana ke masyarakat yang dampaknya terhadap kinerja
Bank. Ada kecenderungan kreditur (Bank) bersikap amat hati-hati karena maksud baik
dalam melaksanakan tugas kewajiban yang mulia dalam pengucuran kredit untuk
masyarakat dalam memajukan perkembangan ekonomi justru berujung pada kondisi yang
sangat menyulitkan pihak Bank sebagai pemberi kredit yaitu adanya usaha-usaha pihak
lain untuk mengalihkan penyelesaian kredit macet ke bidang pidana dengan ”paksa”.

Hal ini sesungguhnya harus difokuskan pada pihak debitur yang ”nakal” yang
mengakibatkan kerugian baik bagi negara maupun masyarakat pada umumnya.

II. Penutup
Berdasarkan 2 fungsi utama Bank yaitu fungsi pengerahan dana dan penyaluran dana
muncul dua (2) hubungan hukum antara Bank dan nasabah :
1. Hubungan hukum antara Bank dan nasabah penyimpan dana.
2. Hubungan hukum antara Bank dan peminjam dana.

Hubungan hukum ini tidak hanya merupakan hubungan hukum kontraktual saja akan
tetapi juga merupakan hubungan berdasar prinsip dan asas kepercayaan, kehati-hatian
apabila dilanggar menimbulkan kerugian jika tidak dikenakan sanksi terjadi suatu
keadaan yang tidak adil. Oleh karena itu perbuatan yang merugikan tersebut agar adil
harus ditindak dan diberi sanksi. Adam Smith mengajarkan dalam teorinya tentang
keadilan bahwa barang siapa merugikan orang lain atau menimbulkan kerugian harus
diseimbangkan dengan adanya sanksi yang dikenakan bagi yang merugikan.

Dalam hubungan antara Bank dan nasabah penyimpan dana terdapat hubungan hukum
kontraktual. Dilanggarnya perjanjian atau tidak dilaksanakannya kewajiban dalam
perjanjian menimbulkan wanprestasi, oleh karena itu penyelesaiannya lewat aturan-
aturan hukum privat yaitu berdasar hukum perdata.

Sedangkan dalam hubungan antara Bank dan peminjam dana yaitu hubungan antara
kreditur dan debitur didasarkan hubungan hukum baik kontraktual maupun hubungan
kepercayaan dan kehati-hatian.
Apabila hubungan kepercayaan dan prinsip kehati-hatian juga pengawasan dilanggar
sehingga menimbulkan kerugian karena kelalaian atau kejahatan maka harus diberi
sanksi. Dengan demikian tercipta rasa keadilan agar tidak muncul kekacauan dalam
masyarakat. Karena dilanggarnya prinsip kepercayaan, kehati-hatian, pengawasan maka
terjadi kelalaian atau kejahatan yang kemudian menimbulkan kerugian.
Kerugian tersebut tidak hanya karena kerugian negara saja akan tetapi juga karena
kerugian kepada masyarakat umum. Tindakan yang menimbulkan kerugian tersebut dapat
dikenai sanksi berupa tindak pidana atau dikenai aturan-aturan hukum yang mengarah ke
tindak pidana ekonomi.

Masih lemahnya aturan dan ketentuan hukum dalam lingkup hukum perbankan, karena
masih memegang prinsip lama yang sudah tidak mengikuti perkembangan sosio yuridis
dan perkembangan sosio ekonomis masa kini.

Kiranya pembenahan perangkat hukum perkreditan segera dilaksanakan dan menampung


serta menganalisis kenyataan-kenyataan yang ada berdasar perkembangan jaman baik
secara ekonomi maupun sosial yuridis dan hukum itu sendiri.
Kiranya dunia perbankan masa depan perlu menjawab tantangan yang ada dan akan ada
dengan pembenahan peraturan perundang-undangan yang lebih aktual dalam menantang
dan menyikapi perubahan jaman, sehingga dunia perbankan akan dapat membantu negara
untuk membangun perekonomian Indonesia dimasa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

A. Tony Prasetiantono, Marcello Teodore Cs, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Suatu
pelajaran yang sangat mahal bagi otoritas moneter dan perbankan; Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo, Kelompok Gramedia, 2006.

Bako, Rony Sautma Hotma, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan
dan Deposito; Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995.

H. Moh. Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Konsep, Teknik dan Kasus;
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999.

Keraf, Sonny. A, Pasar Bebas Keadilan& Peran Pemerintah, Telaah Atas Etika Ekonomi
Adam Smith, Jakarta : Kanisius, 1995

Kompas, Bankir Minta Dilindungi, 16 Agustus 2006.


Kompas, Fatwa Soal Aset Mengkhawatirkan, 2 Oktober 2006.

Kompas, Fatwa Mahkamah Agung Bisa Hambar Pemberantasan Korupsi, 4 Oktober


2006.

Levy. J. A. Rekening Courant, 1873.

Mariam Darus Bahrul Zaman; Perjanjian Kredit Bank, Bandung : Citra Aditya Bakti,
1991.

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.

R. Subekti, Tjitro Subidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya


Paramita, 1986.

Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Undang-Undang Tentang Perbankan, Bandung :


Nuansa Aulia, 2006.

Sri Gambir Melati Hatta, Pelangi Hukum Bisnis, Jakarta : ISTN, 1999.

Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan
Perkembangannya, Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Jakarta : UI
Press, 2000 (Pidato Pengukuhan Guru Besar FHUI).

Tjipto Adi Nugroho, Perbankan Masalah Perkreditan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

Webster, Noah, Webster New Universal Unabridged Dictionery; New York USA : Simon
& Schuster, 1972.

Pengertian Manajemen Perkreditan

Menurut H. M. Tjoekam,SE (1999 ; 12) menerangkan bahwa defenisi manajemen


perkreditan yaitu :

Manajemen Perkreditan adalah suatu rangkaian kegiatan dan komponen yang saling
berhubungan satu dengan yang lain secara sistematis dalam proses pengumpulan dan
penyajian informasi perkreditan suatu bank

Proses Manajemen Perkreditan

Karena pemberian kredit kepada pihak ketiga sangat beresiko, persetujuan pemberian
kredit, harus melalui tahapan-tahapan agar studi dan penelitian serta evaluasinya tajam
demi menghasilkan suatu keputusan yang sekalligus dapat mengantisipasi resiko
(pelunasannya di waktu mendatang) dan kesanggupan membayar dari applicant. Oleh
karena itu, menurut H. M. Tjoekam, SE (1999 ; 184) keputusan setuju memberikan
kredit minimal harus berdasarkan :

a. Permohonan kredit harus secara tertulis dengan data lengkap, akurat, dan relevan.

b. Persetujuannya harus berdasarkan analisis kredit yang tajam atas data yang
disampaikan oleh applicant, interview, investigation dan data aspek-aspek yang dominant
dengan bidang usaha applicant.

c. Rekomendasi persetujuan kredit yang diberikan oleh setiap pejabat yang terkait harus
sesuai dengan analisis kredit yang lengkap.

d. Keputusan persetujuan pemberian kredit harus memperhatikan dengan analisis dan


rekomendasi, penjelasan secara tertulis harus dibuat.

Setiap tahap proses tersebut diatas harus dibuat dan dijelaskan secara tertulis, biula perlu
pada waktu keputusan akhir setelah dikomitekan oleh komite kredit.

Pengertian Dan Unsur-Insur Kredit

Mengapa seseorang membutuhkan kredit? manusia adalah nama ekonomik dan setiap
manusia selalu berusaha untuk kememuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia yang
beraneka ragam sesuai degan harkatnya selalu meningkat, sedangkan kemampuan untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan terbatas, hal ini menyebabkan manusia memerlukan
bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya, dalam hal ini perusahaan, maka untuk
meningkatkan usahanya atau untuk meningkatkan daya guna suatu barang, ia
memerlukan bantuan dalam bentuk modal, bantuan dalam bentuk tambahan modal ilmiah
yang sering disebut kredit.

Menurut UU NO 10 Th 1998 (1998 ; 15) tentang perbankan, yang dimaksud dengan


kredit adalah :

“Penyediaan uang/tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan


persetujuan/kesepakatan, pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga“

Kredit yang diberikan sebuah bank berdasarkan atas kepercayaan sehingga dengan kredit
merupakan pemberian kepercayaan ini berarti bahwa bank baru akan memberikan kredit
kalau ia benar-benar yakin bahwa si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang
akan diterimanya sesuai dengan jangka waktu dengan surat yang telah disetujui oleh
kedua belah pihak, tanpa keyakinan tersebut bank tidak akan meneruskan simpanan
masyarakat yang diterimanya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur terdapat dalam kredit adalah :
1. Kepercayaan, yaitu keyakinan sipemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya
dalam bentuk uang, barang atau jasa, akan benar-benar di terimanya kembali dalam
jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

2. Waktu, yaitu suatu masa yang akan mengesahkan antara pemberian prestasi yang akan
di terimanya pada masa yang akan datang.

3. Degree of risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan di hadapi sebagai akibat dari
adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi
yang akan di terimanya dikemudian hari, semakin lama kredit yang akan di berikan
semakin tinggi pula resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari
depan itu, maka masih terlalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat di
perhitungkan, inilah yang menyebabkan timbulnya unsur-unsur resiko. Dengan adanya
unsur resiko inilah maka timbulnya jaminan dalam bentuk pemberian uang.

4. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja di berikan dalam bentuk uang, tetapi ada juga
dapat bentuk barang atau jasa, namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan
kepada uang maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai
dalam praktek perkreditan.

Tujuan Kredit
Dalam membahas tujuan kredit, kita tidak dapat melepaskan, diri dari falsafah yang di
anut suatu negara. Pancasila adalah dasar dari falsafah negara kita maka tujuan kredit
tidak semata–mata mencari keuntungan melainkan di sesuaikan dengan tujuan negara
yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Dengan
demikian maka tujuan kredit yang di berikan oleh suatu bank, khususnya Bank
pemerintah yang mengembangakan tugas sebagai agen of development menurut
Bambang Riyanto (1984 ; 27) adalah untuk :
1. Turut menyukseskan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan.
2. Meningkatkan aktifitas perusahaan agar dapat mencalonkan fungsinya guna menjamin
terpenuhnya kebutuhan masyarakat.
3. Memperoleh laba akan kelangsungan hidup perusahaan terjamin dan dapat
memperluas usahanya.
Dari tujuan tersebut tersimpul adanya kepentingan yang seimbang antara:
1. Kepentingan pemerintah.
2. Kepentingan masyarakat.
3. kepentingan pemilik modal.
Walaupun bank mengembang tugas-tugas sebagai Agent of develop bank tidak bisa
menghindari terjadinya kerugian dalam memberikan kredit, sehingga bank harus
melakukan usaha-usaha yang bisa mencegah terjadinya kerugian hal ini dapat di katakan
bahwa :
1. Sebagian kredit bank yang sudah beredar harus di kumpulkan kembali tanpa
pengawasan ekstra.
2. Diantara kredit-kredit yang sulit di tagih atau ditarik kembali sebagian besar kredit
terkumpulkan tanpa kerugian atau kekurangan.
3. Apabila memang harus terjadi kerugian, maka bank harus memperkecil kerugian
seminimal mungkin.
Fungsi Kredit
Dalam kehidupan perekonomian yang modern banyak memegang peranan yang sangat
penting untuk karena itu organisasi-organisasi bank selalu di ikut sertakan dalam
menentukan kebijakan di bidang moneter. Hal ini sebabkan oleh bank mempunyai
pengaruh yang sangat luas dalam bidang kehidupan khususnya di bidang ekonomi.
Fungsi kredit perbankan menurut Thomas Suyatno (1993 ; 25) dalam kehidupan
perekonomian dan perdagangan antara lain sebagai berikut :
1. Kredit pada hakekatnya dapat maningkatkan daya guna uang.
2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalulintas uang.
3. Kredit dapat pula meningkatkan daya guna peredaran barang.
4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi.
5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha.
6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan.
7. Kredit sebagai alat meningkatkan hubungan internasional.

http://ilmumanajemen.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=52:pengertian-manajemen-
perkreditan&catid=55:mndit&Itemid=29

http://www.legalitas.org/node/258

Perbankan

Usaha perbankan dimulai dari zaman Babylonia, dilanjutkan ke zaman Yunani Kuno dan
Romawi. Pada saat itu, kegiatan utama bank hanya sebagai tempat tukar menukar uang.
Selanjutnya, kegiatan bank berkembang menjadi tempat penitipan dan peminjaman uang.
Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh bank dipinjamkan kembali ke masyarakat
yang membutuhkannya.

Sementara itu, mengenai sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman
penjajahan Hindia Belanda. Pada saat itu terdapat beberapa bank yang memegang
peranan penting di Hindia Belanda antara lain: De Javasche NV, De Post Paar Bank, De
Algemenevolks Crediet Bank, Nederland Handles Maatscappij (NHM), Nationale
Handles Bank (NHB), dan De Escompto Bank NV.

Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik pribumi, Cina, Jepang, dan Eropa lainnya.
Bank-Bank tersebut antara lain: Bank Nasional Indonesia, Bank Abuah Saudagar, NV
Bank Boemi, The matsui Bank, The Bank of China, dan Batavia Bank.

Di zaman kemerdekaan perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi.


Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di
zaman awal kemerdekaan, antara lain:
a. Bank Negara Indonesia yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 kemudian menjadi BNI
1946.

b. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari
DE ALGEMENE VOLKCREDIET bank atau Syomin Ginko.

c. Bank Surakarta MAI (Maskapai Adil Makmur) tahun 1945 di Solo.

d. Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.

e. Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.

f. Indonesia Banking Corporation tahun 1946 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank


Amerta.

g. NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.

h. Bank Dagang Indonesia NV di Banjarmasin tahun 1949.

Pengertian Bank

Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang


Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak”.

Berdasarkan pengertian di atas, bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang
keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan.

Asas, Fungsi, dan Tujuan Perbankan Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, perbankan


Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi itu sendiri dilaksanakan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Berdasarkan asas yang digunakan dalam perbankan, maka tujuan perbankan Indonesia
adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998, fungsi bank di Indonesia adalah:

a. Sebagai tempat menghimpun dana dari masyarakat Bank bertugas mengamankan uang
tabungan dan deposito berjangka serta simpanan dalam rekening koran atau giro.

Fungsi tersebut merupakan fungsi utama bank.

b. Sebagai penyalur dana atau pemberi kredit Bank memberikan kredit bagi masyarakat
yang membutuhkan terutama untuk usaha-usaha produktif.

Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat


disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun
dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya.[3] Kegiatan menghimpun dan
menyalurkan dana merupaka kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank
lainnya hanya kegiatan pendukung[3]. Kegiatan menghimpun dana, berupa
mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan
deposito.[3] Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah
sebagai rangsangan bagi masyarakat.[3] Kegiatan menghimpun dana, berupa pemberian
pinjaman kepada masyarakat.[3] Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk
mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut.[3]bank didirikan oleh Prof. Dr. Ali
Afifuddin, SE Menurut saya, bank merupakan sarana yang memudahkan aktivitas
masyarakat untuk menyimpan uang, dalam hal perniagaan, maupun untuk
investasi masa depan. Dunia perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat
berperan dalam bidang perekonomian suatu negara (khususnya dibidang
pembiayaan perekonomian). Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:

1. Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah
satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka
pendek (yield enhancement). 2. Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi
derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan
lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk management. 3. Informasi harga,
yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan
informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari (price discovery). 4.
Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan
spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu
sendiri. 5. Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti,
transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah
produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar di masa mendatang.
Terlepas dari funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya, maka yang
perlu diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari eksistensi
bank di Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat (4) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat
banyak”. Meninjau lebih dalam terhadap kegiatan usaha bank, maka bank (perbankan)
Indonesia dalam melakukan usahanya harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi
yang menggunakan prinsip kehati-hatian.4 Hal ini, jelas tergambar, karena secara
filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro terhadap proses pembangunan bangsa.

[sunting] Sejarah Perbankan


[sunting] Asal Mula Perbankan

Bank pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada
tahun 1690, pada saat kerajaan Inggris berkemauan merencanakan membangun kembali
kekuatan armada lautnya untuk bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis [5] akan
tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan kemudian
berdasarkan gagasan William Paterson yang kemudian oleh Charles Montagu
direalisasikan dengan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang akhirnya
dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu duabelas hari.[6]

Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan
tempo dulu di daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat
oleh para pedagang.[rujukan?] Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika]]
dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di
Asia, Afrika maupun benua Amerika.[rujukan?] Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan
dimulai dari jasa penukaran uang.[rujukan?] Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank
dikenal sebagai meja tempat penukaran uang.[rujukan?] Dalam perjalanan sejarah kerajaan di
masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dnegan kerajaan
yang lain.[rujukan?] Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang
Valuta Asing (Money Changer).[rujukan?] Kemudian dalam perkembangan selanjutnya,
kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau
yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan.[rujukan?] Berikutnya kegiatan perbankan
bertambah dengan kegiatan peminjaman uang.[rujukan?] Uang yang disimpan oleh
masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakatyang
membutuhkannya.[rujukan?] Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.[rujukan?]

[sunting] Sejarah Perbankan di Indonesia

Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda.
[rujukan?]
Pada masa itu De javasche Bank, NV didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari
1828 kemudian menyusul Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada
tahun 1918 sebagai pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan
penjualan ke luar negeri[7] serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting
di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain[rujukan?]:

1. De Javasce NV.
2. De Post Poar Bank.
3. Hulp en Spaar Bank.
4. De Algemenevolks Crediet Bank.
5. Nederland Handles Maatscappi (NHM).
6. Nationale Handles Bank (NHB).
7. De Escompto Bank NV.
8. Nederlansche Indische Handelsbank

Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing
seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain:[rujukan?]

1. NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank


2. Bank Nasional indonesia.
3. Bank Abuan Saudagar.
4. NV Bank Boemi.
5. The Chartered Bank of India, Australia and China
6. Hongkong & Shanghai Banking Corporation
7. The Yokohama Species Bank.
8. The Matsui Bank.
9. The Bank of China.
10. Batavia Bank.

Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi.


Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di
zaman awal kemerdekaan antara lain:[rujukan?]

1. NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP),
didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung
2. Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal
dengan BNI '46.
3. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal
dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
4. Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
5. Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
6. Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
7. Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi
Bank Amerta.
8. NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
9. Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan
Bank Pasifik.
10. Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian
merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.

Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan.[rujukan?]


Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), Bank Umum Syari'ah, dan juga BPR Syari'ah (BPRS).[rujukan?]

Masing-masing bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan fungsinya.[rujukan?]


[sunting] Doktrin Bank Berjuang

[sunting] Bank Pemerintah

Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961 yang
melarang pengumuman dan penerbitan angka-angka statistik moneter/perbankan, maka
antara tahun 1960-1965, Bank Indonesia tidak menerbitkan laporan tahunan, termasuk
data statistik mengenai kliring dan perhitungan sentral.[rujukan?]

Pada 5 Juli 1964, atas dasar pertimbangan politik untuk mempermudah komando di
bidang perbankan untuk menunjang Pembangunan Semesta Berencana , selanjutnya
pada tahun 1965 pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengintegrasikan seluruh
bank-bank pemerintah ke dalam satu bank dengan nama Bank Negara Indonesia,
prakarsa pengintegrasian bank pemerintah ini berasal dari ide Jusuf Muda Dalam,[8][9]
yang saat itu menjabat sebagai Menteri Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia - yang
baru diangkat dari jabatan semula Presiden Direktur BNI - dan disetujui oleh Presiden
Soekarno. Ide dasarnya adalah menjadikan perbankan sebagai alat revolusi dengan motto
Bank Berdjoang di bawah pimpinan Pemimpin Besar Revolusi. Nama Bank Negara
Indonesia (BNI) sebagai bank tunggal, diusulkan oleh Jusuf Muda Dalam sendiri.[9]
Hasilnya adalah lahirnya struktur baru Bank Berdjoang ini menjadikan; [10]
Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit I;
Bank Koperasi Tani dan Nelayan serta Bank Eksim Indonesia menjadi Bank Negara
Indonesia Unit II;
Bank Negara Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit III;
Bank Umum Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan
Bank Tabungan Negara menjadi Bank Negara Indonesia Unit V.[rujukan?]

Akan tetapi tidak semua bank pemerintah berhasil diintegrasikan ke dalam Bank
Berdjoang yakni Bank Dagang Negara (BDN) dan Bapindo.[rujukan?] Luputnya BDN dari
proses pengintegrasian ini terutama karena Presiden Direktur BDN J.D. Massie saat itu
menjabat sebagai Menteri Penertiban Bank-bank Swasta Nasional yang tentu mempunyai
cukup punya pengaruh untuk berkeberatan atas penyatuan BDN dengan bank-bank
lainnya.[11][12] Massie beralasan bahwa kebijakan ini akan membingungkan koresponden
bank di luar negeri untuk penyelesaian L/C ekspor maupun impor karena nama bank
yang sama.[rujukan?] Sementara, Bapindo tidak terintegrasi ke dalam Bank Berjuang karena
bank ini dibawah Dewan Pembangunan yang diketuai Menteri Pertama Urusan
Pembangunan dengan anggota-anggota Menteri Keuangan, yang juga Ketua Dewan
Pengawas Bapindo, dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota.[13]Dengan demikian,
melalui kedudukannya itu, pengaruh Bapindo cukup kuat untuk menghalangi terintegrasi
ke dalam BNI.[14]

[sunting] Bank Swasta

Pada tahun 1965 pemerintah hendak mengabungkan seluruh bank swasta atau bank asing
dalam Bank Pembangunan Swasta sebagai satu-satunya bank penghimpun dan
penyalur dari semua dana-dana progresif di sektor swasta dan alat-alat yang dapat
dipergunakan Pembangunan Semesta Berencana dan rencana-rencana lain yang
ditentukan oleh Presiden Republik Indonesia. [15]

[sunting] Sejarah Bank Pemerintah

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas


penjajahnya, yaitu Belanda.[rujukan?] Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari
pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta
nasional.[rujukan?] Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda
mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah
menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya
pada 1960 secara berturut-turut Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan
Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan
(BKTN) dan kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).[13].

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:
[rujukan?]

• Bank Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13
Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini
sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.
• Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah
menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang
bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:

1. Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan


UU No 21 Tahun 1968.
2. Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi
Bank Expor Impor Indonesia.

• Bank Negara Indonesia (BNI '46)


Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi
Bank Negara Indonesia '46.
• Bank Dagang Negara(BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13
Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan
UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-
satunya Bank Pemerintah yangberada diluar Bank Negara Indonesia Unit.
• Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian
menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara
Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi
Daya.
• Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
• Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13
Tahun 1962.
• Bank Tabungan Negara (BTN)
BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos
tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir
menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968.
• Bank Mandiri
Bank Mandiri merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank
Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor
Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada
tahun 1999.

[sunting] Tujuan jasa perbankan

Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara.[rujukan?] Jasa
perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan.[rujukan?] Pertama, sebagai penyedia
mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah.[rujukan?] Untuk ini, bank
menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit.[rujukan?] Ini adalah peran bank yang
paling penting dalam kehidupan ekonomi.[rujukan?] Tanpa adanya penyediaan alat
pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara
barter yang memakan waktu.[rujukan?]

Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak
yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan
pemanfaatan yang lebih produktif.[rujukan?]Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi
suatu negara akan menngkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku
seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun
karena mereka tidak memiliki dana pinjaman.[rujukan?]

Jasa perbankan sebenarnya sangat banyak, hanya saja sedikit sekali masyarakat
yang mengetahuinya. Tujuan dan manfaatnya pun sangat baik bagi para nasabah.
Akan tetapi banyak yang memanfaatkannya untuk tindakan kriminal, seperti
pembobolan ATM dan pemalsuan buku tabungan dan lain-lain.

[sunting] Perusahaan Pemegang Sepuluh Besar Bank


Berdasarkan Keuntungan di Tahun 2003 (Dalam Dolar AS)

1. Citigroup — 20 milyar
2. Bank of America — 15 milyar
3. HSBC — 10 milyar
4. Royal Bank of Scotland — 8 milyar
5. Wells Fargo — 7 milyar
6. JPMorgan Chase — 7 milyar
7. UBS AG — 6 milyar
8. Wachovia — 5 milyar
9. Morgan Stanley — 5 milyar
10. Merrill Lynch — 4 milyar

[sunting] Jenis-jenis bank dan fungsinya

Tiga kelompok utama Institusi keuangan - bank komersial, lembaga tabungan, dan credit
unions - yang juga disebut lembaga penyimpanan karena sebagian besar dananya berasal
dari simpanan nasabah. [16] Bank-bank komersial adalah kelompok terbesar lembaga
penyimpanan bila diukur dengan besarnya aset.[rujukan?] Mereka melakukan fungsi serupa
dengan lembaga-lembaga tabungan dan credit unions, yaitu, menerima deposito
(kewajiban) dan membuat pinjaman ( Namun, mereka berbeda dalam komposisi aktiva
dan kewajiban, yang jauh lebih bervariasi).[16]

Perbandingan konsentrasi aset ukuran bank, menunjukkan bahwa konsolidasi perbankan


tampaknya telah mengurangi pangsa aset bank paling kecil ( aset di bawah $ 1 miliar).
[rujukan?]
Bank-bank ini - dengan aset dibawah $ 1 milliar - cenderung mengkhususkan diri
pada ritel atau consumer banking, seperti memberikan hipotek perumahan, kredit
konsumen dan deposito lokal.[16] Sedangkan aset bank yang relatif lebih besar (dengan
aset lebih dari $ 1 miliar), terdiri dari dua kelas adalah bank regional atau super
regional.[16] Mereka terlibat dalam grosir yang lebih kompleks tentang kegiatan
komersialperbankan, meliputi kredit konsumen dan perumahan serta pinjaman komersial
dan industri (D & I Lending), baik secara regional maupun nasional.[16] Selain itu, bank -
bank besar memiliki akses untuk membeli dana (fund) - seperti dana antar bank atau dana
pemerintah ( federal funds)- untuk membiayai pinjaman dan kegiatan investasi mereka.[16]
Namun, beberapa bank yang sangat besar memiliki sebutan yang berbeda, yaitu Bank
Sentral.[16] Saat ini, lima organisasi perbankan membentuk kelompok Bank Sentral,yaitu:
Bank New York , Deutsche Bank( melalui akuisisi bankir-bankir saling mempercayai),
Citigroup, JP Morgan , dan Bank HSBC di Amerika Serikat.[16] Namun, jumlahnya telah
menurun akibat megamergers.[16]. Penting untuk diperhatikan bahwa, aset atau pinjaman
tidak selalu menjadi indikator suatu bank adalah bank sentral. Tapi, gabungan dari lokasi
dengan ketergantungan pada sumber nondeposit atau pinjaman dana.[16]

[sunting] Jasa - jasa perbankan

Jasa – jasa ini diberikan untuk mendukung kelancaran menghimpun dan menyalurkan
dana, baik yang berhubungan langsung dengan kegiatan simpanan dan kredit maupun
tidak langsung.[3] Jasa perbankan lainnya antara lain sebagai berikut :[3]

• Jasa setoran seperti setoran listrik, telepon, air, atau uang kuliah
• Jasa pembayaran seperti pembayaran gaji, pensiun, atau hadiah
• Jasa pengiriman uang ( transfer )
• Jasa penagihan ( inkaso )
• Kliring
• Penjualan mata uang asing
• Penyimpanan dokumen
• Jasa cek wisata
• Kartu kredit
• Jasa – jasa yang ada di pasar modal seperti pinjaman emisi dan pedagang efek.
• Jasa Letter of Credit ( L/C)
• Bank garansi dan referensi bank
• Jasa bank lainnya.

Agunan
Pinjaman jangka panjang yang diperoleh pribadi untuk membeli rumah yang
kepemilikannya diserahterimakan secara legal dari si pemberi pinjaman kepada
peminjam setelah pinjaman dikembalikan.

Anjungan Tunai Mandiri (ATM)


Mesin yang memproses penarikan dan penyetoran dana dari dan ke rekening tabungan,
tarik tunai kartu kredit dan beberapa pembayaran (contohnya tagihan utilitas). Rekening
diakses dengan kartu ATM, kartu kredit atau kartu debit.

Aset
Barang yang mempunyai nilai tinggi (contohnya rumah, tanah, mobil), milik pribadi
ataupun perusahaan.

Batas Kredit
Batas Rupiah maksimum yang bisa ditagihkan kepada rekening kartu tertentu.

Bebas
Suatu cek dapat dianggap “bebas” ketika jumlahnya dipotong (dikurangkan) dari
rekening pembayar dan dimasukkan (ditambahkan) ke rekening penerima.

Biaya Keuangan
Istilah ini meliputi biaya total kredit, termasuk bunga dan semua biaya lainnya yang
ditentukan sebagai syarat kredit oleh institusi keuangan sebagai kreditor. Biaya biaya
tersebut bisa meliputi biaya jasa, biaya keterlambatan, biaya transaksi dan biaya lain-
lainya.

Biaya Layanan
Biaya bulanan yang ditagihkan oleh institusi keuangan untuk menangani suatu rekening.

Biro Kredit
Suatu agen pelaporan kredit yang mengecek informasi kredit dan menyimpan berkas
mengenai pemohon dan pengguna kredit.

Buku Simpanan
Suatu buku yang diberikan oleh institusi keuangan kepada penabung untuk mencatat
setoran, penarikan dan bunga yang diperoleh dengan menabung.
Bunga Majemuk
Bunga yang dihitung terhadap simpanan pokok maupun bunga yang sudah bertambah.

Bunga Prosentase Tahunan (BPT)


Tagihan bunga tahunan dapat diaplikasikan kepada saldo kartu kredit yang belum
dibayarkan. Ini adalah bagian dari total biaya kredit.

Bunga
Biaya yang dikenakan atas penggunaan uang. Bunga bisa dibayarkan, misalnya, oleh
pribadi kepada institusi keuangan untuk penggunaan kartu kredit, atau oleh institusi
keuangan kepada pribadi atas simpanan uangnya dalam rekening tabungan. Bunga
dinyatakan dengan istilah Bunga Persentase Tahunan (BPT).

Bunga Perkenalan
Beberapa kartu kredit menggunakan bunga perkenalan sebagai promosi penawaran
istimewa. Setelah beberapa waktu, tingkat bunga kembali ke tingkat standar.

Cek
Dokumen tertulis yang menginstruksikan suatu institusi keuangan yang mengeluarkan
sejumlah uang dari rekening si penulis.

Cek Melambung (cek yang dikembalikan)


Cek yang “dilambungkan kembali” adalah cek yang ditolak penguangan atau
pembayarannya oleh institusi keuangan. Hal ini bisa disebabkan karena rekening sudah
ditutup atau saldo yang tersedia tidak mencukupi jumlah yang tertera pada cek. Dana
tidak mencukupi (non sufficient fund, NSF) adalah salah satu alasan cek dikembalikan

Charge Card
Kartu plastik dengan fasilitas kredit yang biasanya tidak terbatas. Kartu bayar/tagihan
harus dibayar lunas pada setiap akhir siklus tagihan.

Cyberbanking
Perbankan melalui layanan Internet. Institusi keuangan dengan cabang-cabang situs
memungkinkan pelanggan memeriksa saldo, membayar tagihan, mentransfer dana,
membandingkan rencana tabungan, dan mengajukan permohonan pinjaman pada Internet.

Debet
Istilah pembukuan untuk sejumlah uang yang dipinjam oleh pribadi atau institusi; suatu
tagihan yang dipotong dari suatu rekening.

Fasilitas Kredit
Jumlah kredit yang diberikan kepada pribadi, bisnis atau institusi.

Hadiah
Beberapa kartu kredit menawarkan terbang gratis, bahan bakar gratis, atau hadiah
lainnya. Hadiah ini juga disebut sebagai program keanggotaan
Institusi Keuangan
Suatu Perusahaan di mana Anda bisa menyetor, meminjam atau menukarkan uang.

Jadwal Pembayaran
Ada dua pilihan pembayaran kartu kredit, yaitu dengan pembayaran minimum setiap
bulan, atau pembayaran penuh.

Jaminan
Segala sesuatu yang diterima oleh institusi keuangan sebagai jaminan apabila orang yang
berhutang tidak mengembalikan pinjamannya. Apabila orang yang berhutang gagal
mengembalikan pinjamannya, institusi keuangan berhak mengambil jaminan tersebut.
Jaminan biasanya berupa real estate (rumah) atau properti seperti mobil.

Kartu Affinity
Kartu kredit yang berafiliasi dengan pihak ketiga yang akan mendapat keuntungan nilai
tambah dari setiap transaksi. Sebagai contoh, suatu asosiasi alumni atau museum
memperoleh bagian/prosentase dari seluruh transaksi yang ditagihkan kepada kartu kredit
gabungan milik anggota-anggota organisasi tersebut.

Kartu Bank
Kartu kredit atau debit yang diterbitkan oleh sebuah institusi keuangan.

Kartu Bisnis
Kartu kredit untuk pemilik bisnis kecil. Pengeluaran bisnis ditagihkan kepada kartu ini
untuk memudahkan pembukuan dan persiapan pajak.

Kartu Chip/ Smart Card


Kartu yang diterbitkan oleh institusi keuangan dengan sebuah chip elektronik tertanam di
dalamnya yang bisa diisi dengan beragam program seperti fungsi kartu kredit atau kartu
debet dan pembeli berulang atau program hadiah.

Kartu Co-brand
Kartu kredit yang terhubung dengan pihak ketiga misalnya peritel atau penerbangan,
yang menawarkan potongan, diskon atau keuntungan nilai tambah kepada pengguna
berdasarkan nilai rupiah tagihan pembelian dalam suatu kurun waktu tertentu

Kartu Debet
Kartu pembayaran maupun kartu yang dapat digunakan untuk pembelian barang dan jasa
secara elektronik. Kartu ini menggantikan uang tunai atau cek. Transaksi langsung
dipotong dari rekening tabungan atau rekening koran/cek pemegang kartu. Kartu debet
bisa menggunakan tanda tangan atau memasukkan nomor PIN ke dalam suatu alat.

Kartu Kredit
Kartu plastik yang memberikan akses pada fasilitas kredit. Pengguna diberi batasan
kredit, tetapi tidak diharuskan untuk melunasi sekaligus setiap bulannya. Di sisi lain,
pembayaran minimum akan menimbulkan saldo “berputar” atau menambah beban bunga.
Kartu Pembelian
Kartu kredit yang dipakai perusahaan-perusahaan untuk melakukan pembelian dengan
nilai sedang atau kecil. & Dengan kartu ini, perusahaan tidak perlu mengeluarkan order
pembelian. Order dilakukan langsung dengan penyedia yang tergabung dan dibayar
dengan kartu pembelian.

Kartu Prabayar
Kartu yang menyimpan nilai Rupiah. Kartu ini bisa digunakan untuk pembelian atau
penarikan uang tunai di ATM sesuai dengan nilai Rupiah yang ada di dalamnya sebelum
kartu tersebut dibuang atau diisi kembali.

Kepailitan
Suatu pernyataan hukum mengenai keadaan pailit. Pernyataan ini dapat mencegah
penyitaan, pengambilalihan, pemotongan dan pembayaran hutang. Kepailitan tidak bisa
menghapus sejarah buruk rekening dan menjadi bagian dari Sejarah rekening itu selama
bertahun-tahun, tergantung dari hukum kepailitan negara yang bersangkutan. Keadaan ini
pun biasanya tidak menghapus tunjangan anak, tunjangan istri, denda, pajak dan
kewajiban pinjaman pelajar.

Kewajiban Hutang
Dalam istilah keuangan, uang pinjaman yang harus dibayarkan kembali kepada individu,
bisnis atau institusi.

Kredit
Dalam bisnis, kredit adalah pembelian atau peminjaman dengan janji pengembalian di
kemudian hari. Pada setiap rencana kredit, terdapat kreditor (pribadi, institusi keuangan,
toko atau perusahaan yang uangnya dipinjam). Dalam pembukuan, terdapat catatan
sejumlah uang milik pribadi atau institusi.

Laporan Kredit
Suatu laporan mengenai tingkat hutang dan perilaku pembayaran tagihan konsumen.
Informasi untuk laporan diserahkan kepada agen pelaporan kredit (atau biro kredit) dari
kreditor individual. Agen akan mengumpulkan laporan dan menyerahkannya kepada
pemberi pinjaman dan yang lainnya seizin konsumen.

Luran Tahunan
Biaya yang ditagihkan setahun sekali atas kepemilikan kartu kredit. Beberapa penyedia
kartu kredit menawarkan kartu kredit tanpa iuran tahunan. Iuran tahunan, dengan bunga
dan biaya lainnya adalah bagian dari total biaya kredit.

Masa Tenggang
Jangka waktu sebelum bunga ditambahkan ke dalam pembelian baru.

Mata Uang
Uang segala sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran umum. Secara praktis,
mata uang bermakna tunai, terutama uang kertas. Bankir sering menggunakan pepatah
uang logam dan mata uang yang merujuk pada sen dan rupiah.

Menghentikan Pembayaran
Permintaan kepada institusi keuangan untuk tidak membayar cek tertentu. Apabila
silakukan segera, maka cek tidak akan dibebankan ke rekening pembayar. untuk layanan
seperti ini dikenakan biaya.

Metode Penghitungan Bunga


Cara penghitungan bunga berdasarkan saldo kartu kredit. Bisa ditagihkan per hari atau
per bulan dan termasuk bunga dari saldo yang tidak dibayar.

Modal
Sejumlah kumpulan kekayaan yang bisa digunakan atau yang tersedia untuk
menghasilkan kekayaan lebih banyak.

Nomor Pengenalan Pribadi (PIN)


Suatu nomor istimewa yang diberikan oleh bank kepada pemegang kartu ATM atau kartu
kredit yang diketikkan pada mesin ATM untuk menarik uang atau pada terminal
perdagangan untuk pembelian barang.

Pembayaran Minimum
Jumlah minimum rupiah yang harus dibayar setiap bulan, biasanya 2 sampai 3 persen dari
jumlah pinjaman, berdasarkan saldo rata-rata harian.

Pembayaran Otomatis
Perusahan utilitas (Perusahaan langganan masyarakat seperti Listrik, telepon, dll),
pembayaran pinjaman, dan bisnis lainnya dapat menggunakan sistem pembayaran
otomatis di mana tagihan dibayar secara langsung dengan memotongt dana dari rekening
bank.

Pembiayaan Kembali
Mengubah persetujuan pinjaman agar syarat pengembalian bias sesuai dengan
pendapatan terkini si peminjam dan kemampuannya untuk mengembalikan. Pembiayaan
kembali biasanya memberikan tingkat bunga lebih rendah dan jumlah pembayaran
bulanan yang lebih kecil.

Pemindahan Saldo
Anda dapat memindahkan saldo dari kartu kredit Anda ke kartu kredit baru. Idealnya,
kartu baru menawarkan biaya yang lebih rendah.

Penarikan Cek Berlebihan


Suatu cek dituliskan dengan jumlah uang yang melebihi jumlah dalam rekening. Apabila
institusi keuangan menolak untuk menguangkan cek tersebut, maka cek tersebut
dinyatakan “dilambungkan kembali”
Penarikan Tunai
Sejumlah uang yang ditarik dari rekening.

Pencurian Identitas
Bentuk penipuan di mana informasi finansial konsumen diperoleh secara ilegal untuk
melakukan pembelian dan transaksi tidak sah dengan kartu kredit mereka, atau menarik
dana dari rekening tabungan atau rekening koran mereka.

Penerima
Pribadi atau suatu perusahaan kepada siapa cek ditulis; seseorang yang menerima uang
sebagai pembayaran.

Penilaian Kredit
Evaluasi suatu institusi keuangan mengenai apakah seseorang pantas menerima kredit.
Penilaian kredit biasanya didasarkan pada karakter individual, kemampuan membayar
dan modal.

Penyetor
Seseorang atau suatu perusahaan yang menyetor uang ke dalam suatu rekening.

Pembayar
Pribadi atau suatu perusahaan yang menulis cek; seseorang yang memberi uang sebagai
pembayaran.

Pokok
Jumlah awal uang yang dipinjam, disetor, atau diinvestasikan sebelum bunga
ditambahkan.

Rekening
Uang yang disimpan di sebuah institusi keuangan untuk kepentingan investasi dan/atau
penyimpanan yang aman.

Rekening Bersama
Rekening tabungan atau rekening koran yang dibuat dengan lebih dari satu nama.
Misalnya orang tua/anak, suami/istri.

Rekening Giro
Rekening yang digunakan oleh nasabah untuk menyimpan uang, dan untuk menuliskan
sebuah cek. Kadang-kadang terdapat biaya yang ditagihkan apabila persyaratan minimum
tidak terpenuhi.

Rekening Tabungan
Rekening yang mendapatkan bunga sebagai pengganti atas penggunaan uang yang
disimpan. Penabung biasanya diperbolehkan menabung atau menarik uang berkali-kali.
Saldo
Jumlah tagihan yang belum dibayar. Dalam perbankan, saldo merujuk pada sejumlah
uang pada suatu rekening. Dalam kredit, saldo merujuk pada jumlah hutang.

Saldo Rata-rata Harian


Institusi keuangan mengukur dan menghitung hutang rata-rata per hari dalam siklus
tagihan Anda, dan menggunakan jumlah rata-rata tersebut untuk menentukan jumlah
bunga atas hutang Anda untuk bulan tersebut. Setiap institusi keuangan menggunakan
cara yang berbeda dalam melakukan perhitungan ini.

Setoran Langsung
Pendapatan (atau pembayaran dari pemerintah) secara otomatis dan elektronik yang
disetorkan ke dalam rekening sehingga menghemat waktu, tenaga maupun uang.

Slip Setoran
Slip yang memberi keterangan mengenai jumlah uang kertas, uang logam dan cek yang
akan disetorkan ke dalam suatu rekening tertentu

Strip Magnet
Strip hitam pada kartu kredit, kartu debet atau kartu ATM. Strip ini mengandung
informasi dasar rekening dalam wujud kode komputer, seperti nama pemegang dan
nomor rekening.

Suku Bunga
Prosentase, per unit waktu, dari total jumlah pinjaman yang ditagihkan oleh bank atau
institusi keuangan atas penggunaan uang mereka. Bunga kartu kredit bisa dihitung per
tahun, per bulan atau per hari.

Syarat-syarat
Suatu masa waktu dan tingkat bunga yang diatur antara pemberi pinjaman dan peminjam
untuk mengembalikan pinjaman

Tarif Tetap
Suku bunga yang tidak berubah. Bunga Persentase Tahunan (BPT) biasanya merupakan
tarif yang tetap.

Tingkat Bunga Periodik


Suatu variabel tingkat bunga yang bisa naik atau turun setiap kuartal dan mempengaruhi
baik tagihan-tagihan keuangan maupun batas minimum jatuh tempo pembayaran kartu
kredit.

Tingkat Bunga yang Berubah.


Tingkat bunga yang dapat berubah secara berkala.
Transaksi di tempat penjualan
Diterimanya kartu ATM/debet atau kartu kredit di toko peritel dan rumah makan sebagai
alat pembayaran barang atau jasa.

Tunai
Uang dalam bentuk kertas dan koin. Dalam perbankan, suatu kegiatan membayar cek
“menguangkan cek”

Uang
Semua yang secara umum dikenal sebagai media pertukaran.

Uang Tunai Elektronik


Sistem pembayaran elektronik sebagai replika/pengganti dari semua sistem pembayaran –
tunai, cek, kartu kredit, kartu debet dan uang logam.

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup


kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya

Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak

Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara


konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank
Perkreditan Rakyat.

Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya


memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri
atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa
di bidang syariah. (UU Perbankan Syariah)

Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah),
atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak
bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) (UU Perbankan)

http://www.afand.cybermq.com/post/detail/2357/sejarah-perbankan--pengertian-
asas-fungsi-dan-tujuan

http://id.wikipedia.org/wiki/Bank

http://taghyr.wordpress.com/2008/07/01/pengertian-kredit-a-zistilah-istilah-
perbankan/

http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/19/hukum-perbankan-seputar-pengertian-
perbankan/

You might also like