Professional Documents
Culture Documents
DAERAH DI INDONESIA
Oleh :
ADI SYAFUTRA
D2B009075
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2009/2010
Pendahuluan
Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima
secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini sesuai dengan
fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi,
mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur
sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Dalam pasal 18 UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang. Sehingga meskipun Negara RI menganut negara kesatuan dimana kekuasaan
berada pada pemerintahan pusat namun dengan menyadari heterogenitas yang dimiliki bangsa
Indonesia maka desentralisasi atau distribusi kekuasaan dari pemerintahan pusat perlu dalirkan
ke daerah. Dasar inilah yang digunakan dalam pembentukan pemerintahan daerah. Oleh
karena itu, desentralisasi digunakan sebagai dasar atau panduan bagi ketidakmungkinan suatu
negara yang wilayahnya luas untuk mengelola pemerintahan secara sentralistik.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi
struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory
model).
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
Indonesia saat ini sedang menjalankan upaya desentralisasi yang paling cepat dan
meluas yang pernah ada dalam sejarah, dimotori oleh kekuatan-kekuatan politik regional yang
muncul sejak jatuhnya pemerintahan Suharto yang sentralistik dan otoriter. Di masa lalu,
ketidakpuasan timbul akibat pengendalian pemerintah pusat terhadap penghasilan dari sumber
daya alam di daerah serta kurang sensitifnya pemerintah terhadap perbedaan antardaerah,
ketidakpuasan ini kemudian memunculkan permintaan yang kuat akan pembagian kekuasaan
dan pemekaran daerah yang menghasilkan banyak daerah-daerah otonom baru.
Tapi penerapannya dilapangan tentu saja tidak semudah itu, seperti diketahui bersama,
sampai kini setelah dilakukan pemekaran, negeri ini memiliki 33 provinsi dan 471
kabupaten/kota. Ketika otonomi kabupaten diterapkan melalui UU No 22/1999, praktis semua
kabupaten memperoleh kewenangan yang besar, tanpa melihat kabupaten setempat mampu
atau tidak mengelola mandat yang besar ini. Sampai saat ini, apakah otonomi sudah
memberikan dampak yang positif atau kemunduran terhadap suatu daerah. Perlu evaluasi
terhadap kinerja pemerintah kabupaten dalam pelaksanaan ini. Pertanyaannya sekarang siapa
yang berwenang dalam hal ini, apakah pemerintah propinsi? Sementara propinsi tidak memiliki
kewajiban untuk mengawasi pelaksanaan otonomi kabupaten, justru terjadi tumpang tindih
kewenangan antara keduanya. Bagi daerah yang tingkat pendidikan dan kesadaran politiknya
tinggi, dapat memberikan kontrol dan masukan kepada pemerintah daerah maupun DPRD,
namun bagi daerah yang kesadaran politik dan pendidikanya rendah, dapat berakibat
penyimpangan dalam pelaksanaannya. Ini semua terjadi karena otonomi tidak diberikan sesuai
dengan kemampuan daerah tersebut untuk menjalankannya, dilihat dari segi kemampuan dan
sumber daya yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota dan masing-masing provinsi juga
pastinya berbeda-beda.
Apabila dibandingkan dengan negara lain, otonomi diberikan sesuai kemampuan daerah
untuk mengelola, bukan secara sentralistik. Sehingga suatu daerah dengan daerah lain dapat
berbeda. Contohnya di Italy yang menjalankan otonomi propinsi yang khusus sesuai
kemampuan daerah. Kondisi provinsi yang memiliki kekhususan atau kemampuan daerah
memiliki status otonomi berbeda dengan propinsi atau daerah lain, yang tidak memiliki
kekhususan atau potensi daerah. Dalam penentuan otonomi daerah, masyarakat diminta
memberikan suara mengenai persetujuannya terhadap pembentukan provinsi otonom.
Berbeda dengan Indonesia, semua proses legislasi Undang-undang hanya dikembangkan oleh
politisi, tanpa melibatkan masyarakat yang seharusnya menjadi pelaku utama pembangunan.
Apabila dibandingkan dengan Inggris dalam hubungannya dengan daerah otonom Skotlandia,
pembagian cukup jelas. Pemerintah Inggris berwenang untuk UUD, hubungan internasional dan
kebijakan luar negeri, pertahanan dan keamanan nasional, kebijakan fiskal dan keuangan,
hukum perusahan dan hak cipta, energi, UU ketenaga-kerjaan, tunjangan jaminan sosial,
imigrasi dan kewargaan negara, penyiaran dan telekomunikasi.
Pada UU No 32/2004 diatur kewenangan propinsi meliputi melinandungi masyarakat
dan menjaga persatuan, mewudukan keadilan, pelayanan dasar pendidikan, penyedian fasilitas
kesehatan, penyediaan fasilitas sosial dan umum, penyediaan sistem jaminan sosial,
perencanaan dan tata ruang, pengembangan sumber daya produktif, lingkunan hidup,
administrasi kependudukan, melestarikan nilai sosial budaya, membentuk dan menerapkan
peraturan sesuai kewenangan dan kewajiban lain. Sedang kewenangan pemerintah
kabupaten/kota meliputi kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan
tenaga kerja. Pada bidang kesehatan, pendidikan dan lingkungan hidup terdapat tumpang
tindih kewenangan. Apabila pemerintah kabupaten tidak dapat mengelola pendidikan dan
kesehatan di daerah mereka, apakah pemerintah propinsi harus campur tangan untuk
memperbaiki sektor-sektor yang sangat vital ini. Hal ini yang sering menimbulkan situasi
pembangunan yang saling menunggu, contohnya perbaikan jalan lintas Sumatra, pemerintah
daerah menunggu pemerintah provinsi untuk memperbaikinya, karna memang perbaikan jalan
termasuk dalam salah satu kewenangan pemerintah provinsi, tapi sebaliknya pemerintah
provinsi juga menunggu pemerintah daerah untuk memperbaiki jalan tersebut, karna hal itu
juga termasuk kewenangan dari pemerintah daerah, tumpang tindih kewenangan seperti inilah
yang perlu dievaluasi dan diatur kembali agar otonomi daerah dapat berjalan lebih efektif dan
efisien.
Contohnya kabupaten Nias, apabila dibandingkan dengan kabupaten lain, Nias cukup
tertinggal dalam pembangunan. Hal ini disebabkan keterisoliran daerah ini yang menyebabkan
rendahnya pertumbuhan ekonomi. Pemberian daerah otonom kepada daerah ini perlu
dipertanyakan mengingat tingginya angka putus sekolah di daerah ini dan rendahnya tingkat
kesejahteraan masyarakat dibandingkan kabupaten lain di Sumatera Utara. Yang memperparah
daerah ini yaitu tingginya anak-anak yang tidak sekolah dan menjadi pekerja anak. Apabila kita
perhatikan di jalan-jalan, banyak anak yang terlibat dalam pengambilan pasir, pemecah batu,
dan pengerjaan bangunan. Di pedesaan juga cukup parah, banyak anak-anak yang seharian
harus mengambil karet dan pekerjaan lain.
Apabila dibandingkan tingkat pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan cukup
tinggi gap yang terjadi . Rendahnya pendidikan di daerah ini dipicu oleh terbatasnya sekolah
dan guru. Guru di daerah banyak diizinkan untuk pindah ke kota, akibatnya sekolah harus
membayar guru honor. Akibatnya dana BOS lebih banyak terserap untuk pembayaran gaji guru.
Untuk biaya operasional sekolah, pihak komite dan kepala sekolah harus meminta pungutan
bulanan.
Melihat situasi di atas, perlu dipertanyakan lagi keefektifan otonomi daerah. Mungkin
bagi daerah yang surplus, akuntabel dan kreatif, mereka dapat memaksimalkan sumber daya
lokal. Namun bagi Nias yang memiliki potensi daerah yang terbatas dan rendahnya sumber
daya manusia pemerintah daerah, sulit bagi mereka untuk menerapkan pemerintahan yang
otonom. Perlu ada lembaga yang mengawasi dan memberikan penilaian kinerja pemerintah
kabupaten dan propinsi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Maraknya kasus korupsi di
kalangan pejabat dan DPRD daerah menunjukkan belum siapnya sistem pemerintahan di
daerah. Melalui penilaian kinerja kabupaten, pemerintah propinsi dan pusat dapat
mengklasifikasi kemampuan pemerintah kabupaten dalam pelaksanaan otonomi. Lalu
Pemerintah perlu langkah kongkrit untuk memperbaiki kinerja pemda dan membantu
pelayanan dasar yang masih kurang. Bila ternyata kinerja pemerintah daerah dikategorikan
tidak memenuhi syarat mengemban otonomi daerah, sebaiknya bagi kabupaten/kota tersebut
dilakukan penyatuan dan pencabutan hak otonomi daerah, kemudian Kewenangan antara
propinsi dan kabupaten juga perlu kejelasan, agar tidak terjadi tumpang tindih wewenang.