You are on page 1of 495

Belajar Dari Bungo

Mengelola Sumberdaya Alam


di Era Desentralisasi

Editor
Hasantoha Adnan, Djuhendi Tadjudin, E. Linda Yuliani,
Heru Komarudin, Dicky Lopulalan, Yuliana L. Siagian
dan Dani Wahyu Munggoro

Sambutan
Bupati Bungo H. Zulfikar Achmad
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Editor
Hasantoha Adnan, Djuhendi Tadjudin, E. Linda Yuliani,
Heru Komarudin, Dicky Lopulalan, Yuliana L. Siagian
dan Dani Wahyu Munggoro

Sambutan
Bupati Bungo H. Zulfikar Achmad
Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Foto sampul oleh:


Eddy Harfia Surma, Effi Permatasari, Hasantoha Adnan, Ismal Dobesto,
H. de Foresta dan ACM-Jambi

Desain grafis dan tata letak oleh:


Rifky dan Andhika Vega Praputra

ISBN 978-979-1412-47-6

© CIFOR 2008
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Diterbitkan oleh
Center for International Forestry Research (CIFOR)
Alamat pos: P.O. Box 0113 BOCBD, Bogor 16000, Indonesia
Alamat kantor: Jalan CIFOR, Situ Gede
Bogor Barat 16115, Indonesia
Telp: +62 (0251) 622-622
Fax: +62 (0251) 622-100
e-mail: cifor@cgiar.org
website: http://www.cifor.cgiar.org/
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH vii


SAMBUTAN BUPATI ix
PROFIL PENULIS xi
DAFTAR SINGKATAN xxi

PEMBUKA: DARI KRISIS KE PERUBAHAN 1


Hasantoha Adnan

BAGIAN 1
POTRET SUMBERDAYA KABUPATEN BUNGO 25

Bagian 1-1
Kelimpahan Sumberdaya Hutan di Sekitar Desa Baru Pelepat 27
Novasyurahati dan Endah Sulistyawati
Bagian 1-2
Potret Perubahan Tutupan Hutan di Kabupaten Bungo 1990–2002 37
Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher
Bagian 1-3
Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi 53
Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent
iv Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAGIAN 2
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM 63

Bagian 2-1
Hutan Adat Batu Kerbau: Sisa-sisa Kearifan Lokal 65
Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah
Bagian 2-2
Sistem Sisipan: Pengetahuan Lokal dalam Wanatani Karet 83
Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati, Susilawati dan
Elok Mulyoutami
Bagian 2-3
Mengatur Diri Sendiri melalui Pengelolaan Lubuk Larang 101
Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan
Bagian 2-4
Mereka Bisa Berubah 121
Effi Permatasari
Bagian 2-5
Rio: Modal Sosial Sistem Pemerintah Desa 135
Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin

BAGIAN 3
POTENSI EKONOMI BERBASIS LINGKUNGAN 157

Bagian 3-1
Hasil Hutan Non Kayu dan Ekonomi Masyarakat 159
Rodiah
Bagian 3-2
Kekayaan Hutan Bukit Siketan 174
Elizabeth Linda Yuliani, Anggana dan Novasyurahati
Bagian 3-3
Potensi Pengembangan Rotan Manau di Kabupaten Bungo 195
Iman Budisetiawan
Bagian 3-4
Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui Sistem Wanatani 206
Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan
Meine van Noordwijk
Belajar dari Bungo v
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bagian 3-5
Pengayaan Jenis Wanatani Karet dengan Meranti 222
Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan Laxman Joshi
Bagian 3-6
Keragaman Jenis Anakan Tumbuhan Berkayu pada
Wanatani Karet: Pengaruh Umur dan Intensitas Manajemen 239
Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana dan
Soekisman Tjitrosemito
Bagian 3-7
Keanekaragaman Hayati: Jasa Lingkungan Wanatani Karet 257
Endri Martini
Bagian 3-8
Potensi Pengembangan Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan
Wanatani Karet di Desa Lubuk Beringin 271
Damsir Chaniago

BAGIAN 4
DARI KONFLIK KE AKSI KOLEKTIF DALAM PENGELOLAAN
Sumberdaya Alam 285

Bagian 4-1
Peningkatan Konflik dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan 287
Yurdi Yasmi
Bagian 4-2
Kolaborasi untuk Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat 299
Trikurnianti Kusumanto
Bagian 4-3
Adaptasi Kelembagaan dan Aksi Kolektif Masyarakat terhadap
Program Transmigrasi 321
Hasantoha Adnan dan Yentirizal
Bagian 4-4
Aksi Kolektif Penguatan Hak Masyarakat atas Lahan 348
Yuliana Siagian dan Neldysavrino
Bagian 4-5
Kebijakan Kehutanan, Aksi Kolektif dan Hak Properti:
Sebuah Pelajaran dari Bungo 365
Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen
vi Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bagian 4-6
Penataan Ruang untuk Memperkuat Hak Properti Masyarakat 388
Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin
Bagian 4-7
Jalan Menikung: Proses Multipihak dalam Pengakuan Hutan Adat 404
Pariyanto
Bagian 4-8
Jalan Panjang Partisipasi: Proses dan Pembelajaran dalam
Penyusunan Peraturan Desa secara Partisipatif 419
Ismal Dobesto
Bagian 4-9
Menata Ruang Desa: Jalan menuju Komunikasi dan Kolaborasi 444
Marzoni

Penutup: Sebuah Ulasan 461


Erna Rosdiana
Ucapan Terima Kasih

Kendati setiap penulis telah memberikan ucapan terima kasih secara khusus
di penghujung artikelnya, namun kami merasa perlu untuk menyampaikan hal
serupa mengingat kehadiran buku ini adalah berkat peran dari banyak pihak.
Ucapan terima kasih layak diberikan kepada Multistakeholder Forestry Programme
(MFP) – Program kerjasama kehutanan antara Departemen Kehutanan Republik
Indonesia dan Department for International Development (DfID) Kerajaan Inggris.
MFP-DfID mendanai seluruh kegiatan lokatulis melalui Proyek Adaptive
Collaborative Management di Jambi. Juga kepada Uni Eropa dan Department for
International Development (DfID) Kerajaan Inggris yang telah mendanai percetakan
buku ini. Seluruh kontributor dan editor juga berterima kasih kepada lembaga-
lembaga tempat kami masing-masing bekerja, atas dukungannya berupa saran dan
panduan dalam analisis maupun penulisan, serta dukungan operasional. Seluruh
tulisan dalam buku ini adalah pandangan individu penulis, dan tidak mewakili
pandangan ataupun kebijakan donor serta lembaga-lembaga yang terlibat.

Secara khusus kami berterima kasih kepada Carol J. Pierce Colfer, Ravi Prabhu,
Doris Capistrano, Moira Moeliono, Rahayu Koesnadi, Charlotte Soeria, Dina
Hubudin, Mohammad Agus Salim, Bagus Utomo, Novasyurahati, Melling
Situmorang, Yuneti Tarigan, Gideon Suharyanto, Eko Prianto, Henty Astuty,
Hari Sukmara, Suci Eka Ningsih dan (Alm.) Kusuma Hendriani (yang tak sempat
menyaksikan lahirnya buku ini) dari CIFOR, serta Tri Nugroho, Rachmat Hidayat,
Robert Aritonang dan Rudi Syaf dari MFP-DfID, juga kawan-kawan dari PILI:
viii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Rifky, Andhika Vega Praputra dan Agus Prijono yang telah membantu proses
penerbitan buku ini, mulai dari lokatulis hingga percetakan buku ini.

Dukungan dan bantuan sangat berarti juga kami terima dari Agus Mulyana dan
Yayan Indriatmoko dari CIFOR, Meine van Noordwijk dan Laxman Joshi dari
ICRAF, Firkan Maulana dari GTZ, Prof. M. Agung Sarjono dari Center for Social
Forestry Universitas Mulawarman, Erna Rosdiana dari Departemen Kehutanan,
dan Myrna Safitri. Mereka telah meluangkan waktu untuk mengkaji isi tulisan,
serta memberikan umpan balik kepada penulis, baik untuk perbaikan tulisan
maupun untuk pemahaman lebih mendalam mengenai tulisannya.

Kami menyadari masih banyak kekurangan, baik dalam analisis maupun teknik
penulisan. Karenanya, komentar dan saran layak kami terima dengan senang hati
untuk perbaikan penulisan berikutnya.

Tim Editor
Sambutan Bupati Bungo

Kita bersyukur dengan terbitnya buku yang bercerita tentang banyak hal yang
terjadi di Kabupaten Bungo. Saya mengapresiasi publikasi ini sebagai salah satu
bentuk perhatian dan interest berbagai stakeholder terhadap proses pembangunan
daerah di Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun. Buku ini sekaligus akan menjadi
media yang efektif dalam rangka memperkenalkan lebih dekat kondisi dan potensi
wilayah Kabupaten Bungo.

Kabupaten Bungo memiliki kekayaan hayati dan keanekaragaman ekosistem


yang merupakan sumberdaya yang patut disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk
mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Potensi yang dimiliki tersebut yang
menjadi motor penggerak (engine of growth) pembangunan daerah.

Namun demikian, sumberdaya alam juga memiliki keterbatasan, sehingga


diperlukan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, dengan tetap memberi
kemungkinan kepada kelangsungan hidup dengan jalan meningkatkan dan
melestarikan fungsi ekosistem yang mendukungnya. Ini berarti pemanfaatan
sumberdaya alam haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal,
bertanggung jawab serta memperhatikan kelestarian lingkungan untuk
mendukung perikehidupan yang beraneka ragam, baik masa kini maupun di masa
mendatang.
x Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kita tentu saja tidak ingin mengulang kesalahan di masa lampau. Jika selama
ini hutan hanya dianggap sebagai kumpulan pohon-pohon yang memiliki nilai
ekonomis sebagai komoditas, maka di masa depan kita harus memberlakukan
hutan sebagai sumberdaya alam dengan lebih mengedepankan aspek pelestarian
dan keanekaragaman nilai budaya. Untuk itu pengusahaan dan pemanfaatannya
pun harus dengan pola-pola yang merakyat, dengan memperhatikan serta
melindungi nilai-nilai tradisional dan adat yang ada dalam masyarakat. Di tengah-
tengah berbagai permasalahan dan tekanan yang terjadi terhadap keberadaan
sumberdaya alam, maka upaya antisipasi menjaga kelestarian sumberdaya alam
dan hutan menjadi sangat mendesak.

Memang diperlukan kesamaan visi dan persepsi untuk menyelaraskan upaya


peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan
dimensi kelestarian lingkungan. Dalam rangka itu pula keberadaan ini menjadi
sangat bermakna dan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang
keberadaan sumberdaya alam di Kabupaten Bungo disertai dengan pernak-pernik
permasalahannya.

Akhirnya, saya atas nama Pemerintah Kabupaten Bungo menyampaikan


penghargaan dan ucapan terima kasih kepada CIFOR, ICRAF, ACM dan pihak-
pihak lain yang telah berpartisipasi dan memberikan kontribusi serta berkarya
dalam dinamika perjalanan pembangunan daerah di Kabupaten Bungo.

Muara Bungo, November 2007

BUPATI BUNGO,

H. ZULFIKAR ACHMAD
Profil Penulis

Andree Ekadinata
Lahir pada 7 Juni 1979 di Padang, Sumatera Barat. Pendidikan terakhir diraihnya
di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada 2002. Penulis bergabung
dengan World Agroforestry Centre (ICRAF) South East Asia sejak 2001. Banyak
terlibat dalam melakukan analisis spasial di berbagai lokasi penelitian ICRAF.
Alamat tinggal saat ini adalah Puri Matahari Persada Blok D No. 90, Laladon,
Bogor, Jawa Barat. Email: aekadinata@cgiar.org

Anggana
Lahir pada 7 Juli 1946 di Bogor. Pendidikan terakhir SLTA dan sejak 1970-
2000 berdinas di Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan
sebagai Teknisi Kelompok Botani dan Ekologi. Selepas pensiun, sesekali masih
diperbantukan di Badan Litbang Kehutanan atau menjadi peneliti lepas di berbagai
lembaga penelitian. Salah satunya terlibat dalam penelitian analisa vegetasi di
proyek ACM CIFOR di Jambi.

Cecep Kusmana
Penulis adalah guru besar bidang ekologi mangrove di Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Alamat tinggal adalah kompleks Laladon Permai blok F No. 17
Bogor.
xii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Damsir Chaniago
Lahir pada 5 Mei 1971 di Bukittinggi. Menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengah di Bukittinggi. Pendidikan terakhir diraih di Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas Padang pada 1996. Sejak 1991 tergabung dalam Kelompok
Mahasiswa Mencintai Alam Fakultas Pertanian, Universitas Andalas (KOMMA
FP-UA), Padang. Mulai bergabung dengan KKI-WARSI sejak 1996 dalam program
ICDP-TNKS (1996-2002), Rehabilitasi DAS Batang Lunto Kota Sawahlunto
(2002-2005) dan sebagai fasilitator pada program RUPES (2005-2007). Alamat
Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo.

Deddy Irawan
Lahir pada 28 November 1968 di Jambi. Terlibat dalam penelitian kerjasama
antara Pemerintah Kabupaten Bungo dengan berbagai pihak. Khususnya dengan
CIFOR, penulis terlibat dalam penelitian Adaptive Collaborative Management
(ACM) dan Collective Action and Property Rights (CAPRi). Ketika penelitian
CAPRi berlangsung dan tulisan dalam buku ini disusun, penulis menjabat sebagai
Kepala Sub Bidang Penelitian dan Pengembangan, Bappeda Kabupaten Bungo.

Eddy Harfia Surma


Lahir pada 11 Oktober 1969 di Bangko, Jambi. Sekolah formal, SD, SMP, SMA
sampai ke perguruan tinggi diselesaikan di Propinsi Jambi. Sejak 1992, penulis
bergabung dengan Gita Buana Club. Sejak 2003-2006 terlibat sebagai koordinator
lapangan untuk program ACM-Jambi. Saat ini, penulis menjadi koordinator
kabupaten untuk program FLEGT di Jambi.

Effi Permatasari
Lahir pada 19 Januari 1976 di Padang. Penulis menyelesaikan kuliah di Fakultas
Pertanian, Universitas Jambi pada 2000. Kiprah di dunia LSM dimulai sejak 2001
di Yayasan Gita Buana, Jambi. Sejak 2001-2006 terlibat aktif sebagai pendamping
masyarakat pada program ACM-Jambi. Saat ini menjadi pendamping desa untuk
program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang didanai World
Bank.

Elizabeth Linda Yuliani


Bekerja di CIFOR sejak awal 2000 untuk penelitian Adaptive Collaborative
Management. Lulus dari Jurusan Biologi ITB pada 1994 dalam bidang Ekologi
Perairan, dan sempat bekerja di Sea World Indonesia sebagai Senior Education Staff
hingga 1998. Melanjutkan studi S2 di University of York, Inggris, dalam bidang
Belajar dari Bungo xiii
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Ecology and Environmental Management. Memiliki latar belakang ekologi yang


sangat kuat dan terbiasa berinteraksi dengan plankton, ikan dan pohon, namun
kini juga tertarik dengan dunia fasilitasi yang banyak dipelajarinya dari Inspirit.

Elok Mulyoutami
Lahir pada 6 Oktober 1975 di Bandung, Jawa Barat. Memperoleh gelar Sarjana
Sosial di Jurusan Antropologi, Universitas Padjadjaran, Bandung pada 2000. Sering
terlibat dalam kegiatan penelitian sosial bersama Pusat Analisis Sosial AKATIGA
Bandung dan sejumlah kegiatan penelitian lepas lainnya dengan isu gender, usaha
kecil, masyarakat marginal dll. Sejak awal 2003 bergabung dengan ICRAF sebagai
peneliti dengan fokus isu mengenai pengetahuan lokal dan karakterisasi sistem
pertanian. Penulis sekarang menetap di Bogor.

Endah Sulistyawati
Adalah staf pengajar dan menjabat sebagai Koordinator Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Hayati dan Lingkungan Hidup Tropika (PSDH dan LH Tropika),
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung.

Endri Martini
Lahir pada 13 Maret 1978 di Bogor, Jawa Barat. Menyelesaikan pendidikan
dasar, menengah dan atas di Bogor. Pada 2001, penulis memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor dengan spesialisasi Budi Daya Hutan.
Bergabung dengan ICRAF sejak 2000 sebagai student researcher. Sejak 2002 sampai
2005 terlibat sebagai field researcher dalam beberapa penelitian biodiversity yang
dilakukan ICRAF dan IRD di sekitar Muara Bungo, Jambi. Email: endri_m_g@
yahoo.com, emartini@cgiar.org.

Gede Wibawa
Lahir pada 13 Juli 1961 di Singaraja, Bali. Penulis menyelesaikan Sarjana Agronomi
di Institut Pertanian Bogor pada 1983 dan melanjutkan studi untuk meraih gelar
Master (DEA) dan Doctor (PhD) di bidang Agriculture Production Systems di
Institut National Agronomique, Paris-Grignon (INA-PG), Perancis antara 1988
-1992. Saat ini menduduki jabatan sebagai Kepala Biro Riset, Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia (LRPI) yang berkedudukan di Jl. Salak 1A, Bogor, Jawa
Barat, Indonesia, serta aktif dalam kegiatan penelitian dan pengembangan bidang
usahatani dan Agroforestry berbasis karet di Pusat Penelitian Karet dan ICRAF.
xiv Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Gerhard Manurung
Lahir pada 11 Agustus 1970. Meraih gelar sarjana dari Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Sriwijaya, Palembang pada 1995. Penulis melanjutkan
studi di Paska Sarjana Institut Pertanian Bogor dalam program studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam (2000 – 2004) dan meraih gelar MSc. Pengalaman penelitian
di ICRAF sejak 1996 sebagai asisten peneliti lapangan untuk proyek Sistem
Wanatani Karet Rakyat (Smallholder Rubber Agroforestry) yang berbasis di Muara
Bungo. Sejak awal 1999, terlibat dalam berbagai proyek penelitian dan menjadi
Associate Research Officer, dan sejak Februari 2002 sebagai Agroforestry Tree
Specialist. Hingga kini, masih tetap aktif dan memiliki tanggung jawab untuk
mengembangkan pilihan-pilihan pengelolaan kebun yang lebih baik.

Gregoire Vincent
Ahli pemodelan ekologi. Bekerja di L’Institut de Recherche pour le Développement
(IRD), Unité Mixte de Recherche AMAP, Campus Agronomique – BP 701 (CIRAD),
97387 Kourou cedex, French Guyana. Email: gregoire.vincent@ird.fr

Hasantoha Adnan
Adalah putra Betawi kelahiran 23 Januari 1974. Penulis menuntaskan studi
Antropologi di Universitas Indonesia pada 2000. Sejak 2002 bekerja pada Center
for International Forestry Research (CIFOR) untuk proyek Adaptive Collaborative
Management dan melakukan riset aksi partisipatif di Kabupaten Paser, Kalimantan
Timur (2002-2003) dan Kabupaten Bungo, Jambi (2003-2006). Saat ini
mengembangkan metode fasilitasi berbasis hati melalui lembaga Matahari
Matahati (mataharimatahati.wordpress.com).

Heru Komarudin
Lahir pada 16 Februari 1968 di Sukabumi. Pada 1992, penulis menuntaskan studi
nya di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Kehutanan. Setelah bekerja
beberapa tahun di perusahaan konsultan kehutanan dan sebuah proyek kerjasama
kehutanan Uni Eropa-Indonesia, penulis mulai bekerja sebagai asisten peneliti
pada Program Forests and Governance, CIFOR, Bogor sejak 2003. Minat risetnya
adalah pada tema aksi kolektif, hak-hak properti, hubungan pemerintahan pusat
dan daerah dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan.
Belajar dari Bungo xv
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Iman Budisetiawan
Lahir pada 15 Desember 1976 di Bogor, Jawa Barat. Menyelesaikan pendidikan
dasar dan menengah di Bogor, yaitu di SD Negeri Pengadilan II, SMP Negeri 3
dan SMA Negeri 1. Pendidikan terakhir diraihnya di Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor pada 1999. Bekerja pada Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah,
Departemen Kehutanan di Muara Bungo pada 2000. Setelah otonomi daerah,
yakni sejak 2002, penulis bekerja pada Seksi Rehabilitasi Lahan dan Konservasi,
Dishutbun Kabupaten Bungo. Alamat tinggal di Jalan M. Saidi No. 595 RT.01/01
Komp. Jengki Kelurahan Bungo Barat, Muara Bungo Jambi.

Ismal Dobesto
Lahir pada 21 Maret 1976 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengah di Padang Panjang, yaitu di SD Negeri 3, MTsN
Padang Panjang, MAN Koto Baru. Pendidikan terakhir diraihnya di Fakultas
Hukum, Universitas Andalas Padang pada 2002. Bergabung dengan PSHK-ODA
Jambi sejak 2002 dan terlibat dalam penelitian-pendampingan bersama ACM
Jambi sejak 2003. Saat ini menjadi Sekretaris Desa Baru Pelepat, Kabupaten
Bungo.

Kurniadi Suherman
Lahir pada 1 Juni 1979 di Bandung, Jawa Barat. Pendidikan dasar diselesaikan
di SD Babakan Tarogong dan pendidikan menengah di Bandung yaitu di SMP
10 dan SMA 22 Bandung. Pendidikan terakhir ditempuh di Jurusan Konservasi
Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada. Bergabung
di KKI-WARSI pada 2004-2006 sebagai spesialis kehutanan. Alamat: Jl. Kopo Gg.
Panyileukan 25 Bandung. Email: kurniadi.suherman@gmail.com.

Laxman Joshi
Lahir pada 5 Juli 1963 di Kathmandu, Nepal. Mendapatkan gelar Sarjana Science
di Tribhuwan University, Nepal pada 1985 serta gelar Master of Science (MSc/ DIC
Applied Entomology) di University of London pada 1987-1988. Menyelesaikan PhD
di bidang Agroforestry dengan judul disertasi “Incorporation of farmers’ ecological
knowledge in the planning of interdisciplinary research and extension programmes” di
University of Wales, Bangor, Inggris (1995-1998). Karirnya bermula di Pakhribas
Agriculture Centre (PAC), Dhankuta, Nepal sebagai Forestry/Agroforestry Officer,
dan dilanjutkan di Divisi Riset Kehutanan (Pemerintah Nepal) sebagai Forest
Entomologist. Sejak 1998 bergabung dengan World Agroforestry Centre – ICRAF
Southeast Asia di Bogor, Indonesia sebagai Research Officer (Ethno-ecologist)
xvi Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang merupakan kerjasama antara ICRAF dengan University of Wales. Hingga


sekarang masih terlibat aktif dalam kegiatan ICRAF Indonesia sebagai Scientist
(Integrated Natural Resource Management).

Mahendra Taher
Lahir pada 5 Desember 1970 di Dharmasraya, Sumatera Barat. Pendidikan
dasar diselesaikan di SDN 26 Kota Solok dan pendidikan menengah pertama
di selesaikan di SMPN 3 Kota Baru. Pendidikan menengah lanjutan di tempuh
di SMAN 3 Padang dan menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Pertanian,
Universitas Andalas Padang pada 1995. Mulai bergabung dengan KKI-Warsi
pada 1996 dan sejak 2006 ditunjuk sebagai Deputi Direktur Eksekutif. Bapak
tiga anak ini banyak terlibat dalam program-program yang berhubungan dengan
fasilitasi masyarakat desa pinggir hutan, pengelolaan daerah aliran sungai dan
pengembangan kewirausahaan berbasis sumberdaya hutan lestari. Alamat rumah
Jl. H. Yulius Usman No.43, RT 23, Kelurahan Pematang Sulur, Telanai Pura,
Jambi. Email: bokto97@yahoo.com.

Marzoni
Lahir pada Maret 1973 di Jambi. Tinggal di Kota Muara Bungo. Staf Yayasan
Gita Buana (YGB)-Jambi ini, sejak 2001 terlibat dalam penelitian aksi partisipatif
Adaptive Collaborative Management (ACM–PAR). Kegiatan ini merupakan
kolaborasi antara YGB, CIFOR dan PSHK-ODA. Menikahi Ratni, SP., kawan
kuliahnya di Fakultas Pertanian, Universitas Jambi dan saat ini dianugerahi dua
orang putra (Hani dan Harizt).

Meine van Noordwijk


Adalah peneliti senior dan koordinator Regional World Agroforestry Centre (WAC/
ICRAF) untuk wilayah Asia Tenggara.

Monico Schagen
Terlibat dalam penelitian CAPRi dari September 2005 sampai Januari 2006 sebagai
mahasiswi magang dari Wageningen University, Belanda.
Belajar dari Bungo xvii
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Mustafal Hadi
Lahir pada 8 Januari 1958 di Jambi. Terlibat dalam penelitian kerjasama antara
Pemerintah Kabupaten Bungo dengan berbagai pihak. Khususnya dengan
CIFOR, penulis terlibat dalam penelitian Adaptive Collaborative Management
(ACM) dan Collective Action and Property Rights (CAPRi). Ketika penelitian
CAPRi berlangsung penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Perlindungan Hutan
dan Rehabilitasi Lahan, Dishutbun Kabupaten Bungo. Saat ini penulis adalah
staf pada Kasubdin Pengembangan Sumberdaya dan Kelembagaan Usaha, Dinas
Perkebunan Provinsi Jambi.

Neldysavrino
Lahir pada 4 Oktober 1970 di Jambi dari pasangan H. Erman Imran dan Rosna
Erman. Penulis menamatkan seluruh jenjang pendidikan di Kota Jambi dan
memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Jambi. Kiprahnya di dunia
LSM dimulai sejak 1999 bersama KKI-WARSI untuk proyek Integrated Conservation
and Development Project (ICDP-TNKS) hingga 2001. Selanjutnya penulis terlibat
dalam proyek-proyek jangka pendek dari Yayasan Gita Buana, Jambi, Birdlife
Indonesia dan Program Collective Action and Property Right (CAPRi)-CIFOR.

Novasyurahati Sukamto
Lahir pada 3 November 1982 di Jakarta. Menamatkan studinya di Program Studi
Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung
pada 2006. Bergabung dengan CIFOR sejak 2005 sebagai mahasiswa magang
untuk penelitian tugas akhirnya. Kemudian menjadi asisten peneliti untuk proyek
Adaptive Collaborative Management (ACM) di Jambi dan Conservation that benefit to
the local people di Danau Sentarum, Kalimantan Barat. Saat ini bergabung dengan
Inspirit Innovation Circle, yang mengembangkan gagasan vibrant training, vibrant
facilitating, vibrant presenting, vibrant leadership dan vibrant writing.

Pariyanto
Lahir pada 7 Januari 1980 di Jambi. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah
di Jambi, yaitu di SD Negeri 91/IV Telanaipura Jambi, MTs Nurul Falah Paal III
Sipin dan SMK Negeri 1, Kota Jambi. Pendidikan terakhir diraihnya di Fakultas
Hukum, Universitas Jambi pada 2004. Bergabung dengan PSHK-ODA sejak Maret
2004 dan langsung terlibat dalam penelitian dan pendampingan bersama ACM.
Alamat tinggal di Jalan Gladial No. 79 RT. 09 Kelurahan Beliung, Kecamatan
Kotabaru, Kota Jambi.
xviii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Ratna Akiefnawati
Lahir pada 12 Oktober 1968 di Kota Madiun, Jawa Timur. Pendidikan terakhir
Magister Pertanian spesialis Ekologi Tanaman diselesaikannya pada 1995
dari Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Bekerja di World
Agroforestry Centre, ICRAF sebagai Associate Researcher Officer sejak 1996 hingga
sekarang. Terlibat di berbagai penelitian seperti Alternative Slash and Burn (ASB)
di Jambi, Belowground Biodiversity Project (BGBP) di Jambi, Rewarding Up-land
Poor for Environmental Services (RUPES) di Kabupaten Bungo, Jambi, Sumatera,
Smallholder Rubber Agroforestry System (SRAS) di Jambi dan Pasaman, Sumatera
Barat, penggalian pengetahuan lokal masyarakat Jambi dan beberapa survey
penggunaan lahan. Email: rakiefnawati@yahoo.com.sg atau icrafmbo@cgiar.org.

Riya Dharma Dt. Rangkayo Endah


Lahir pada 20 September 1969 di Desa Malalo, di tepi Danau Singkarak. Dari
1998 aktif sebagai fasilitator di KKI-WARSI dan terlibat dalam program-program
pendampingan Sistem Hutan Kemasyarakatan/SHK (1998-2000), koordinator
wilayah Jambi untuk program Community Based Forest Management/CBFM (2000-
2004), dan Rewarding Upland Poor for Environmental Services/RUPES (2004-
2006) bekerja sama dengan ICRAF dan saat ini tengah terlibat dalam program
Community Found Sumatra Sustainable Support (SSS).

Rodiah
Lahir pada 25 Maret 1985 di Desa Baru Pelepat, Jambi. Lulusan D2 PGSD
(Pendidikan Guru SD), Universitas Jambi 2005 dan sekarang melanjutkan studi
S-1 di Jurusan PGSD, Universitas Terbuka Jambi. Sehari-hari menjadi guru honorer
di SD N 171/2 Desa Baru Pelepat, Bungo, Jambi. Selain aktif sebagai penggerak
kelompok perempuan, penulis juga membuka program kesetaraan Paket A dan B
untuk mengurangi buta aksara di desanya.

Saida Rasnovi
Menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, pendidikan strata 2 dan strata 3 diselesaikan di Institut Pertanian
Bogor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
dan Program Studi Ilmu Kehutanan. Menjadi staf pengajar Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Syiah Kuala sejak 1997 hingga sekarang. Alamat tinggal di Kompleks
perumahan dosen FMIPA Lambitra No. 18 Darussalam Banda Aceh.
Belajar dari Bungo xix
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Soekisman Tjitrosemito
Staf pengajar pada Fakultas Biologi, Institut Pertanian Bogor dan salah satu tenaga
ahli biologi di SEAMEO BIOTROP, Bogor.

Susilawati
Lahir pada 2 Maret 1974. Meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Studi Ekonomi dan
Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Nomennsen, Medan, Sumatera
Utara. Sejak 2000-2003 bergabung bersama ICRAF sebagai asisten peneliti
lapangan yang berbasis di Muara Bungo dan menekuni isu sosial-ekonomi,
organisasi petani, pengetahuan ekologi lokal dan sistem wanatani karet. Pada
Desember 2004 membantu kegiatan survei sosial-ekonomi yang dilakukan oleh
CIFOR untuk daerah Jambi. Sejak 2005 hingga sekarang, menetap di Meulaboh,
Aceh dan bekerja di Mercy Corps Meulaboh, Aceh sebagai Community Development
Advisor.

Umar Hasan
Lahir pada 15 November 1961 di Muara Bungo. Terlibat dalam penelitian kerjasama
antara Pemerintah Kabupaten Bungo dengan berbagai pihak. Khususnya dengan
CIFOR, penulis terlibat dalam penelitian Adaptive Collaborative Management
(ACM) dan Collective Action and Property Rights (CAPRi). Sejak Juni 2004-20
Maret 2007, penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Fisik Bappeda Kabupaten
Bungo. Saat ini penulis menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum dan Organisasi,
Sekretariat Daerah Kabupaten Bungo.

Trikurnianti (Yanti) Kusumanto


Seorang peneliti ilmu sosial yang lahir di Bandung (1960) dan memegang gelar S2
dari Wageningen University, Belanda. Mulai 1989 berkecimpung dalam bidang
konservasi hutan dalam rangka kerjasama antara Universitas Gadjah Mada dan
Wageningen University untuk kemudian aktif di lingkungan LSM internasional
dalam bidang sumberdaya alam, permasalahan perempuan dan partisipasi
masyarakat di Yogyakarta, NTB, dan NTT. Sejak 1997 bergabung berturut-turut
dengan ICRAF dan CIFOR untuk menekuni permasalahan sumberdaya alam,
institusi, pembelajaran sosial dan kolaborasi multipihak di wilayah Asia Tenggara
dan wilayah Sumatera.
xx Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Yentirizal
Lahir di Siulak Gedang, Kerinci-Jambi. Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas
Pertanian, Universitas Ekasakti Padang pada 1995. Berpengalaman sebagai
fasilitator dan pernah terlibat dalam Program Sarjana Penggerak Pembangunan
di Pedesaan (SP-3) Kabupaten Batang Hari, Jambi, WWF-IP untuk Proyek
Integrated Conservation and Development Project (ICDP-TNKS), Program Collective
Action and Property Right (CAPRi)-CIFOR di Kabupaten Bungo, Jambi. Penulis
kini tinggal di Siulak Gedang RT. IV Kecamatan Gunung Kerinci, Kerinci- Jambi.
Email: yent_rizal@yahoo.com.

Yuliana L. Siagian
Adalah seorang sarjana kehutanan dan praktisi sosial-ekonomi. Penulis
menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Universitas
Winaya Mukti, Bandung, Indonesia. Saat ini penulis melakukan penelitian tentang
aksi kolektif, hak-hak properti dan analisis gender dalam pengelolaan hutan di era
desentralisasi di Indonesia. Fokus utama yang menjadi minat penulis ini adalah
metodologi dan pendekatan riset, serta perubahan institusional di Indonesia.
Penulis bekerja pada Program Forest and Governance di CIFOR yang berkantor
pusat di Bogor, Indonesia. E-mail: Yuliana Siagian (y.siagian@cgiar.org).

Yurdi Yasmi
Lahir pada 11 Juli 1974 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Pendidikan dasar dan
menengah diselesaikan di Sumatera Barat. Dari 1993 sampai 1997 kuliah di
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Setamat dari IPB langsung
bekerja di CIFOR. Program Master dan Doktor diselesaikannya di Universitas
Wageningen di Belanda. Saat ini penulis bekerja di RECOFTC, di Bangkok,
Thailand.
DAFTAR SINGKATAN

Akronim/Singkatan Keterangan

ACM Adaptive Collaborative Management


APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APL Areal Penggunaan Lain
APRI Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia
ASMINDO Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BLK Balai Latihan Kerja
BPD Badan Permusyawaratan Desa
BPEN Badan Pengembangan Ekspor Nasional
BPKH Balai Pemantapan Kawasan Hutan
BPN Badan Pertanahan Nasional
BPS Badan Pusat Statistik
BUMD Badan Usaha Milik Daerah
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BUP Bantuan Usaha Produktif
xxii Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bokor Badan olahan karet rakyat


CAPRI Collective Action and Property Rights
CFC Common Fund for Commodities
CIFOR Center for International Forestry Research
CIRAD the Centre de cooperation internationale en recherche
agronomique pour le développement
cm centimeter
DAK DR Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi
DAS Daerah Aliran Sungai
DfID Department for International Development
Dishut Dinas Kehutanan
Dishutbun Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Disnakertrans Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Disperindagkop Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
Ditjen Direktorat Jenderal
dpl di atas permukaan laut
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FWI Forest Watch Indonesia
GAPKINDO Gabungan Perusahaan Karet Indonesia
GERHAN Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
GFW Global Forest Watch
GPS Global Positioning System
ha hektar
HL Hutan Lindung
HKm Hutan Kemasyarakatan
HP Hutan Produksi
HPK Hutan Produksi yang dapat dikonversi
HPH Hak Pengusahaan Hutan
ICDP Integrated Conservation Development Project
ICRAF/WAC International Centre for Research in Agroforestry/World
Agroforestry Centre
IFAD International Fund for Agricultural Development
Belajar dari Bungo xxiii
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

IFS International Foundation for Science


INP Indeks Nilai Penting
Inpres Instruksi Presiden
IPHH Ijin Pemungutan Hasil Hutan
IPK Ijin Pemanfaatan Kayu
IPKR Ijin Pengusahaan Kayu Rakyat
IPPK Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu
IRD Institut de Recherche pour le Developpement
ITTO International Timber Trade Organization
KAD Kerapatan Adat Desa/Dusun
Kades Kepala Desa
Kaltim Kalimantan Timur
KBNK Kawasan Budidaya Non-Kehutanan
Kehati Keanekaragaman Hayati
KK Kepala Keluarga
KKD Kesepakatan Konservasi Desa
KKI-WARSI Komunitas Konservasi Indonesia – Warung Informasi
Konservasi
KKPA Kredit Koperasi Primer Anggota
KODIM Komando Distrik Militer
KUPT Kepala Unit Permukiman Transmigrasi
Litbang Penelitian dan pengembangan
LKD Lembaga Kemasyarakatan Desa/Dusun
LKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
LPMD Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
LU Lahan Usaha
MAD Musyawarah Adat Desa/Dusun
Menakertrans Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
MFP Multistakeholder Forestry Programme
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
Musrenbang Musyawarah Perencanaan Pembangunan
PAD Pendapatan Asli Daerah/Desa
xxiv Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PAR Participatory Action Research


PBS Perkebunan Besar Swasta
PBSN Perkebunan Besar Swasta Nasional
PILI Pusat Informasi Lingkungan Indonesia
PIR Perkebunan Inti Rakyat
Pemda Pemerintah Daerah
Perda Peraturan Daerah
Perdes Peraturan Desa
PKK Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
PLTA Pembangkit Listrik Tenaga Air
P2WK Pembangunan Perkebunan Wilayah Khusus
P3H&KA Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Kon-
servasi Alam
P4HDR Pelaksanaan Program Pemukiman Perambah Hutan
melalui Dana Reboisasi
PPL Penyuluh Pertanian Lapangan
PRONA Proyek Operasi Nasional Agraria
PSHK-ODA Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah
PT Perseroan Terbatas
RAF Rubber Agro-Forestry
RAS Rubber Agroforestry System
RHL Rehabilitasi Hutan dan Lahan
RKI Rimba Karya Indah (PT)
RLPS Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
RTRWK Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
RTRWP Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RTSF Rencana Teknis Social Forestry
RUPES Rewarding Upland Poor for Environmental Services
RUTR Rencana Umum Tata Ruang
SAL Sari Aditya Loka (PT)
SDN Sekolah Dasar Negeri
SK Surat Keputusan
SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Belajar dari Bungo xxv
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

SMA Sekolah Menengah Atas


SMP Sekolah Menengah Pertama
SPORADIK Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah
SRAP Smallholder Rubber Agroforestry Project
SRAS Smallholder Rubber Agroforestry System
TCT Tanaman Cepat Tumbuh
TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan
TN Taman Nasional
TNBD Taman Nasional Bukit Duabelas
TNBT Taman Nasional Bukit Tigapuluh
TNKS Taman Nasional Kerinci Seblat
TRD Tata Ruang Desa
UNJ Universitas Negeri Jakarta
UPT Unit Permukiman Transmigrasi
USAID United States Agency for International Development
YGB Yayasan Gita Buana
Pembuka:
DARI KRISIS KE PERUBAHAN

Hasantoha Adnan
2 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Perubahan tengah bergerak kencang


di Indonesia dan berlangsung dalam
hitungan jam. Pada masa Soeharto
hampir semua bentuk pengelolaan
sumberdaya alam terpusat pada
negara melalui aturan-aturan formal
yang ternyata hanya menguntungkan
konco-konconya saja (cronyism).
Korupsi, kolusi dan nepotisme
begitu membudaya sehingga
menghambat pengembangan
ekonomi dan pemerintahan yang
adil dan transparan. Kondisi ini
menjadikan Indonesia terpuruk
© Hasantoha Adnan

dalam krisis moneter yang tak


terbayangkan sebelumnya diikuti
dengan pengangguran di perkotaan
yang meningkat tajam1. Kekeringan,
kegagalan pangan, dan kebakaran hutan makin memperparah kondisi kehidupan
masyarakat.

Ketidakpuasan rakyat semakin meningkat dan memuncak dengan lahirnya


gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dan pada 21 Mei 1998 berhasil
memaksa Soeharto untuk menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ.
Habibie yang penuh kontroversi dan tidak populer. Beberapa bulan berikutnya
perubahan dramatis terjadi di Indonesia.

Perubahan kian berderap kencang. Selain pergantian tampuk kepemimpinan juga


model pengelolaan pemerintahan. Desentralisasi menjadi jawaban dan harapan
bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara bagi lebih 220 juta penduduk
yang tersebar di lebih dari 15.000 pulau dan beraneka sukubangsa.

Kenyataannya, implementasi dari desentralisasi tidak seperti yang dibayangkan


sebelumnya. Otonomi daerah dalam pelaksanaannya justru menghadapi persoalan
baru. Begitu keran otonomi daerah dibuka dengan diberlakukannya UU No.
22/1999, lahirlah puluhan daerah baru2. Alasan utamanya bahwa pemekaran

1 “Macan Ekonomi” Asia terpuruk, dimana Indonesia mengalami dampak yang paling buruk. Nilai Tukar Rupiah turun dari Rp 2.500 per dollar AS di
bulan Juli 1997 menjadi Rp 17.000 pada bulan April 1998. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) dan CIEL (Center for International
Environmental Law) memperkirakan 8 juta orang kehilangan pekerjaan akibat krisis ini.
2 Menurut catatan Departemen Dalam Negeri, sepanjang 1999-2004 sudah 148 daerah dimekarkan dengan perincian 8 propinsi, 114 kabupaten dan 27
kota. Diakses dari http://Kompas.com/kompas-cetak/0703/10/Fokus/3372818.htm.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 3

akan memberikan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi justru


memunculkan berbagai permasalahan, mulai dari konflik antar warga yang
menolak pemekaran hingga konflik antara pemerintah daerah pemekaran dengan
daerah induknya, hingga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pun dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan. Sebagaimana terlihat


dalam pengembangan kawasan konservasi, misalnya, yang terjadi justru tumpang
tindih kewenangan antara pusat dan daerah (Angi, 2005). Bahkan menurut
kajian media yang dilakukan CIFOR dan FWI, sejak bergulirnya era reformasi
frekuensi konflik kehutanan meningkat secara drastis bahkan disertai kekerasan
(Wulan et al., 2004)3. Proses desentralisasi yang terlalu cepat menimbulkan
banyak ketidakjelasan sehingga memicu munculnya konflik laten dan merangsang
terjadinya konflik baru. Studi tersebut mencatat lima faktor penyebab konflik
kehutanan, yaitu karena masalah tata batas, pencurian kayu, perambahan hutan,
kerusakan lingkungan dan peralihan fungsi kawasan. Dari kelima kategori ini
pada umumnya konflik-konflik terjadi di sekitar kawasan hutan disebabkan
adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan lindung dengan lahan
garapan masyarakat dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh
manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun sebagai tempat tinggal.
Selain konflik-konflik yang terjadi di antara masyarakat lokal dengan pemegang
hak pengelola kawasan hutan, konflik terjadi juga di tingkat pembuat kebijakan.
Dalam era desentralisasi, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah seringkali
bertentangan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Tak mengherankan bila dalam sepuluh tahun terakhir, kondisi kehutanan di


Indonesia memperlihatkan angka deforestasi yang dramatis yang belum pernah
terjadi sebelumnya. FAO bahkan tahun lalu menyebutkan angka penyusutan
sudah mencapai 1,87 juta ha pertahun dan menempatkan Indonesia sebagai negara
kedua tercepat dalam deforestasi setelah Brazil yang mencapai 3 juta ha pertahun
(Suara Pembaruan, 2007). Hutan tropis Indonesia yang kaya dan telah menopang
kehidupan puluhan jutaan penduduk sekitar hutan dengan menyediakan berbagai
keuntungan, kini tinggal cerita akibat salah urus pengelolaannya. Tingginya
konflik, alih fungsi hutan, kebakaran hingga pembalakan liar telah menyebabkan
kekeringan mata air, banjir, tanah longsor, kabut asap, telah menyengsarakan

3 Untuk memahami hubungan konflik dan bagaimana perubahannya di era reformasi, CIFOR dan FWI membuat profil konflik kehutanan sejak 1997
sampai dengan 2003. Profil ini dibuat berdasarkan survey artikel koran dari enam media massa nasional (Kompas, Tempo, Business Indonesia, Media
Indonesia, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI dan Antara), dan satu media massa propinsi (Kaltim Post). Dari 359 peristiwa konflik yang
tercatat pada tingkat nasional, 39% diantaranya terjadi di areal HTI, 27% di areal HPH dan 34% di kawasan konservasi. Kecenderungan ini antara
lain disebabkan dampak reformasi terhadap perilaku masyarakat lokal. Reformasi telah membuat masyarakat sadar akan haknya, dan akhirnya berani
menuntut untuk mendapatkan porsi manfaat yang wajar dari keberadaan hutan di wilayah mereka. Akibat tuntutan mereka kurang ditanggapi dengan
baik dan ketidakpastian dalam penegakan hukum, keberanian masyarakat lokal akhirnya diekspresikan dalam bentuk perlawanan terbuka terhadap
para pengelola hutan. Salah satu contohnya adalah aksi penjarahan besar-besaran terhadap kawasan hutan Perhutani di Randublatung yang dilakukan
masyarakat desa di sekitar hutan. Lihat Wulan et al., 2004.
4 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kehidupan masyarakat dan menciptakan kerugian hingga Rp. 30 triliun dengan


total kayu tercuri 70 juta meter kubik pertahun (Suara Pembaruan, 2005).

Di tengah muramnya dunia kehutanan Indonesia, berbagai pihak terus berupaya


membangun sistem kehutanan yang lebih baik. Salah satunya adalah apa
yang dilakukan oleh banyak pihak di Kabupaten Bungo, Jambi. Diantaranya
adalah pengalaman dalam mengembangkan pendekatan Adaptive Collaborative
Management (ACM) yang bergulir sejak 2001 dengan menekankan pada sistem
kehutanan multipihak. Pendekatan ini dianggap mengedepankan pemerataan
dan keadilan dalam pengaturan dan pengurusan serta distribusi manfaat-resiko.
Selain itu pendekatan ini juga mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi
dan partisipasi (Fahmi dan Zakaria, 2003). Kendati sejumlah pertanyaan layak
diajukan berkaitan dengan pendekatan ini, namun pendekatan ini dianggap
mampu mempertemukan dan menyeimbangkan berbagai kepentingan terhadap
pengelolaan hutan.

Hal ini penting, mengingat salah satu faktor utama akar permasalahan yang
menyebabkan konflik dan kerusakan hutan sekarang ini adalah banyaknya pihak
kepentingan pada kawasan hutan yang sama. Kenyataan ini telah membawa
hutan pada situasi tumpang tindih dengan kepentingan dan sistem pengelolaan
yang berbeda-beda. Faktor utama kedua adalah berkaitan dengan karakteristik
sistem pengelolaan yang diterapkan oleh berbagai pihak kepentingan. Selama
ini, pemerintah Indonesia telah menerapkan sistem pengelolaan top down dan
berdampak buruk secara sosial dan lingkungan. Di sisi lain, sistem pengelolaan oleh
masyarakat lokal dan kelembagaannya (yang secara tradisional sangat responsif
terhadap kondisi lokal) telah terkikis oleh perubahan sosial dan politik yang
sangat cepat. Di samping itu, baik sistem pemerintah maupun sistem masyarakat
dihadapkan pada kondisi perubahan yang cepat, juga tantangan-tantangan dan
pilihan-pilihan, tetapi mekanisme dan proses-proses yang diperlukan untuk
menghadapi perubahan ini dengan sukses dirasakan sangat kurang. Sistem
tersebut kurang mampu untuk memadukan informasi baru tentang kondisi sosial,
ekonomi, kebijakan, atau kondisi hutan untuk dapat menyesuaikan pengelolaan
secara tepat dan segera apabila diperlukan. Kondisi ini mengganggu kedua sistem
tersebut, baik jika keduanya dilihat sebagai sistem yang berdiri sendiri dan bahkan
jika dipahami sebagai sistem yang saling berhubungan.

Buku ini adalah upaya untuk menggambarkan secara utuh bagaimana sebuah
kabupaten menerapkan kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap
pengelolaan sumberdaya alam. Seperti banyak daerah di Indonesia, Bungo adalah
kabupaten hasil pemekaran pada 1999. Di awal proses reformasi digulirkan, berbagai
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 5

permasalahan juga ditemui dalam perjalanan kabupaten baru ini, diantaranya


konflik batas dengan kabupaten tetangga (yaitu Tebo) hingga tumpang tindih
kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah pusat,
propinsi maupun Kabupaten Bungo sendiri.

Kendati demikian, Bungo menarik untuk dijadikan bahan belajar mengingat


cukup banyaknya pihak yang terlibat dalam perjalanan kabupaten tersebut.
Berbagai program dan proyek yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam
sudah dilaksanakan sejak 1990an oleh berbagai pihak, seperti LSM, lembaga riset
internasional, maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sendiri
menjadi pengalaman penting dalam memberi makna desentralisasi di Indonesia.

Buku ini menjadi penting, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam
di Indonesia, mengingat masih minimnya buku-buku yang menggambarkan secara
utuh bagaimana desentralisasi berjalan dalam kehidupan sehari-hari di tingkat
kabupaten. Harapannya dapat dipetik pelajaran dari pengalaman-pengalaman
tersebut.

Buku ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan refleksi bagi para
pemegang kebijakan di tingkat nasional dan daerah, maupun pimpinan dan staff
lembaga-lembaga pendamping masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan/atau
lembaga-lembaga penelitian, mahasiswa, guru dan khalayak. Kepada merekalah
buku ini dipersembahkan.
6 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Peta administratif Kabupaten Bungo. Sumber ICRAF

KABUPATEN BUNGO: Selayang Pandang

Kabupaten Bungo adalah Indonesia kecil. Kabupaten ini resmi berdiri pada 1999
setelah sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Bungo Tebo. Pembentukan
kabupaten ini adalah bentuk implementasi otonomi daerah dan menambah
panjang sejarah wilayah ini.

Sejarah mencatat, bahwa pada mulanya, setelah kemerdekaan Indonesia, Bungo


menjadi bagian dari KabupatenMerangin dan bersama Kabupaten Batanghari
berada di bawah Karesidenan Jambi. Berdasarkan UU No.10/1948, Karesidenan
Jambi termasuk ke dalam propinsi Sumatera Tengah4. Selanjutnya berdasarkan
UU No.12/1956, ibukota Kabupaten Merangin yang semula berkedudukan di
Bangko dipindahkan ke Muara Bungo. Berdasarkan UU No.81/1958, Propinsi
Jambi dimekarkan menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Merangin, Kerinci
dan Batanghari.

Pemekaran ini mendorong DPRD Peralihan dan DPR-GR Kabupaten Merangin


untuk mendesak Pemerintah Pusat cq. Menteri Dalam Negeri untuk memekarkan

4 Berdasarkan UU No.10/1948, Sumatera dipecah menjadi tiga propinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 7

Kabupaten Merangin menjadi dua kabupaten. Diusulkan Kewedanaan Muara


Bungo dan Kewedanaan Tebo menjadi Kabupaten Muara Bungo Tebo, dengan
Muara Bungo sebagai ibukotanya. Sedangkan kewedanaan Sarolangun dan
Kewedanaan Bangko menjadi Kabupaten Bangko dengan kedudukan ibukota di
Bangko.

Setelah mengirimkan delegasi ke Jakarta hingga beberapa kali, maka pada 12


September 1965 dilaksanakan pelantikan M. Saidi (alm) sebagai Pejabat Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo berdasarkan UU No.7/1965. Pada 19
Oktober 1965, tanpa mengurangi makna keputusan tersebut, DPR-GR Kabupaten
Daerah Tingkat II Muara Bungo Tebo, menetapkannya menjadi Kabupaten Bungo
Tebo dengan julukan ”Bumi Sepucuk Bulat Seurat Tunggang’ serta menjadikan 19
Oktober 1965 sebagai hari jadi kabupaten.

Perubahan terus berlanjut, reformasi bergema dimana-mana. Berdasarkan UU


No.54/1999, Kabupaten Bungo Tebo dimekarkan menjadi Kabupaten Bungo dan
Kabupaten Tebo. Peresmiannya dilaksanakan di Jakarta pada 12 Oktober 1999
oleh Menteri Dalam Negeri. Sejak saat itulah berdiri Kabupaten Bungo dengan
ibukota di Muara Bungo dan mendapat julukan “Langkah Serentak Limbai
Seayun.”

Ibukota Muara Bungo berada sekitar 256 km dari kota Jambi sebagai ibukota
Propinsi Jambi. Secara geografis kabupaten ini berada pada posisi antara 01o08’
sampai – 01o55’ Lintang Selatan dan antara 101o27’ sampai 102o30’ Bujur Timur
(BPS Bungo, 2005). Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan
Kabupaten Dharmasraya (Sumbar), sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten
Merangin, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Dharmasraya (Sumbar)
dan Kabupaten Kerinci, serta sebelah timur dengan Kabupaten Tebo.

Posisi demikian menempatkan Bungo sebagai daerah perlintasan dari propinsi


Jambi ke Sumatera Barat juga sebagai penghubung antara kabupaten-kabupaten
di wilayah Jambi bagian timur (Kota Jambi, Tanjung Jabung Timur, Tanjung
Jabung Barat, Muara Jambi dan Batanghari) dengan bagian barat (Tebo, Bungo,
Sarolangun, Merangin dan Kerinci).

Kabupaten ini dihuni sekitar ± 242.355 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
1,47%, dan tersebar di 10 kecamatan dengan 118 desa dan 7 kelurahan5. Sebagian
besar penduduk berasal dari suku Melayu Jambi, Minangkabau, Palembang,

5 Kecamatan Pelepat (13 desa), Pelepat Ilir (16 desa), Rantau Pandan (14 desa), Muko-muko Bathin VII (7 desa), Tanah Sepenggal (17 desa), Tanah
Tumbuh (12 desa dan 1 kelurahan), Limbur Lumbuk Mengkuang (13 desa), Jujuhan (13 desa), Muara Bungo (9 desa dan 6 kelurahan), dan Kecama-
tan Bathin II Bebeko (4 desa).
8 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

maupun pendatang, yang datang karena program transmigrasi ataupun untuk


mencari penghidupan di Bungo.

Selain itu, di beberapa kawasan


belantara kabupaten ini berdiam
Suku Anak Dalam (SAD)
atau Orang Rimba. Secara
antropologis, suku ini berasal
dari induk bangsa Wedoida dan
mempunyai kearifan tersendiri

© Dok. ACM-Jambi
dalam mendiami, menjaga, dan
sekaligus melestarikan hutan.
Suku nomaden ini hidup dengan
mengandalkan hasil hutan seperti
madu lebah hutan, mencari rotan,
menyadap damar, atau menyadap karet liar untuk ditukarkan dengan kebutuhan
sehari-hari yang tidak dapat mereka temukan di hutan. Akhir-akhir ini, Orang
Rimbo - demikian mereka lebih senang disebut - yang menurut survei KKI-
WARSI pada 1998 berjumlah 794 jiwa ini semakin sering berpindah. Perpindahan
mereka bukan hanya untuk melangun (perpindahan karena ada keluarga yang
meninggal), tetapi juga akibat perluasan lahan perkebunan karet, kelapa sawit
atau areal pertanian.

Sebagian besar penduduk menggantungkan hidup pada sektor pertanian,


khususnya perkebunan. Saat ini masih terdapat sekitar 54.616 jiwa (12.851
KK) keluarga prasejahtera yang tinggal di desa-desa. Tidak mengherankan bila
angka tidak sekolah masih sangat tinggi (36%) dari jumlah penduduk. Sedangkan
tamatan SD/Sederajat 29,3%, tamatan SLTP/Sederajat 15%, SLTA/Sederajat
9,9%, Diploma 11% dan D4/S1/S2/S3 adalah 0,5%. Salah satu penyebab adalah
sulitnya akses jalan dari desa menuju kota. Beberapa wilayah bahkan kondisi jalan
sangat buruk, yang bila hujan datang bisa terputus sama sekali.

Luas wilayah kabupaten ini adalah 716.000 ha6 dengan kontur berbukit-bukit dan
ketinggian kurang dari 99m dpl (39,72%) dan 100-499m dpl (47,98%). Daerah
beriklim tropis dengan curah hujan 2.577 mm/tahun (138hari/tahun) dengan jenis
tanah yang mendominasi adalah latosol, podzolik, komplek latosol & andosol.
Dengan kondisi seperti tak mengherankan kalau perkebunan menjadi unggulan
daerah ini. Hal ini juga tampak dari pemanfaatan lahannya sebagai berikut:

6 Luasan ini merujuk pada Bungo Dalam Angka 2004, kendati hasil penghitungan melalui citra satelit yang dilakukan oleh ICRAF menunjukkan angka
yang berbeda, yaitu sekitar 450.000 ha (lihat Ekadinata dan Vincent dalam buku ini).
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 9

Tabel 1. Jenis penggunaan tanah wilayah Kabupaten Bungo

No. Jenis Penggunaan Tanah Jumlah (ha) %


1 TNKS 71.700,00 10,01
2 Hutan negara/hutan belukar 241.654,00 33,75
3 Perkebunan 284.873,25 39,79
4 Pemukiman 18. 890,75 2,64
5 Sawah 10.710,00 1,50
6 Tegal/huma/ladang/kebun 68.375,50 9,55
7 Padang/semak belukar/alang alang 6.284,15 0,88
8 Kolam/empang 276,85 0,04
9 Sungai/danau/rawa 6.463,75 0,90
10 Lainnya 6.771,75 0,95
Jumlah 716.000,00 100
Sumber : Dishutbun Kabupaten Bungo (2006)

Kabupaten Bungo juga kaya dengan potensi pertambangan. Misalnya, batubara


di Kecamatan Rantau Pandan terdapat cadangan 40 juta ton, Kecamatan Jujuhan
150 juta ton, dan Kecamatan Muko – muko Bathin VII 9,75 juta ton, emas terdapat
di Muaro Bungo, Muko-muko Bathin VII, Rantau Pandan, Pelepat dan Pelepat
Ilir. Disamping itu ada juga potensi pasir, kerikil, pasir kuarsa, granit dll. Beberapa
Potensi sektor pertambangan/penggalian yang telah dikelola di Kabupaten Bungo
adalah batu bara di Rantau Pandan (1.943 ha), Tanah Tumbuh (998 ha), Pelepat
(2.573 ha), Jujuhan (100 ha) dan Emas di Muara Bungo (400 ha).

Wanatani Karet: Fondasi Ekonomi Bungo


Sebagaimana umumnya desa-desa di Jambi, penduduk Bungo menggantungkan
hidupnya dari kebun karet yang memang sudah dikenal sejak lama7. Pada awal
abad ke-20, bibit karet masuk ke Sumatera melalui para pekerja pendatang di
perkebunan, pedagang, maupun para jamaah haji8. Berdasarkan laporan seorang
staf penyuluh pertanian pada 1918, bahwa kebun karet rakyat pertama kali
dibudidayakan di Jambi pada 1904 dengan sistem tebas bakar sehabis menanam
padi ladang. Karet yang mereka tanam ada yang dipelihara, tetapi banyak juga yang
7 Berdasarkan studi ICRAF diketahui bahwa perkebunan karet pertama kali dibangun di Jambi sekitar 1890-an (Joshi et al., 2001). Perkebunan ini lebih
banyak menggunakan spesies lokal Ficus elastica, ketimbang Hevea brasiliensis (dari Brazil) yang juga sudah dikenal. F.elastica dipilih karena pada saat
itu dianggap lebih banyak menghasilkan getah karet. Namun dengan diperkenalkannya teknik penyadapan yang baru H. brasiliensis kemudian lebih
banyak digunakan karena menghasilkan lebih banyak lagi getah karet.
8 Untuk menghindari pajak dan bea tenaga kerja yang dikenakan oleh pemerintah kolonial, serta tertarik oleh tingginya upah pekerja, banyak petani
lokal dari Sumatera Tengah yang bekerja di perkebunan karet baru di Malaysia. Ketika pulang mereka membawa benih, anakan pohon karet (seedling)
serta pengetahuan dasar dan keahlian untuk menanam dan menyadap karet.
10 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tidak, sehingga tampak seperti tanaman ”liar” yang tumbuh diantara tumbuhan
hutan lainnya9.

Sistem ini masih berlangsung hingga saat ini dan dikenal dengan sistem wanatani
karet. Selain menjadi sumber pendapatan utama dan sebagai cash income bagi
petani (Wibawa et al., 2005), wanatani karet juga menjaga keragaman jenis flora
yang hidup di dalamnya (Gouyon et al., 1993)10. Saat ini terdapat sekitar 87.887
ha kebun karet yang dikelola secara tradisional dan tersebar di 10 kecamatan11 dan
disadap oleh sekitar 45.228 petani dengan rata-rata kepemilikan 2 ha lahan. Tak
mengherankan bila karet menjadi penyumbang terbesar dan diikuti oleh kelapa
sawit, kopi, dan Cassiavera (kayu manis), karet masih yang terbanyak dan menjadi
komoditas ekspor terbesar Kabupaten Bungo.

Walaupun menjadi mata pencarian pokok masyarakat, perkebunan karet di Bungo


dari tahun ke tahun belum memberikan nilai lebih bagi kesejahteraan petani.
Pasalnya, perkebunan karet rakyat kebanyakan adalah perkebunan warisan yang
usia dan besar tanamannya berbeda-beda12. Selain itu, dengan sistem wanatani
kompleks, kebun karet lebih terlihat sebagai hutan ketimbang kebun yang jarak
tanam antar pohonnya tidak teratur. Hal ini menyebabkan produktivitas karet
tidak maksimal.

Tabel 2. Jenis, luasan dan produksi tanaman tahun 2004

Jenis Tanaman Luas Tanaman (Ha) Produksi (Ton)


Karet 87.827,00 25.912,00
Kelapa sawit 7.105,00 73.567,00
Kelapa 672,75 429,00
Kopi 651,40 70,50
Pinang 76,31 22,32
Kayu manis 52,00 13,10
Sumber : Bungo dalam Angka 2005

9 Menurut ICRAF, pola semacam ini adalah salah satu bentuk adaptasi ekologis yang dikembangkan oleh petani setempat. Karet yang pada mulanya
adalah untuk perkebunan monokultur, karena berkat ketekunan petani, mereka mampu mengadaptasi tanaman tersebut ke sistem perladangan
berpindah yang telah ada. Dengan pola tanam tersebut, pada tahun-tahun awal setelah menanam karet, petani masih dapat melakukan tumpangsari
karet dengan padi gogo dan tanaman semusim lainnya (jagung, ubi, singkong).
10 Sistem ini memungkinkan karet sebagai tanaman pokok sedangkan pohon-pohon lainnya dibiarkan tumbuh secara alami sehingga membentuk
komposisi jenis multistrata dan keragaman jenis yang tinggi. Pada sistem ini, karet lokal ditanam dengan sistem sisipan, yaitu menanam bibit stump
karet lokal di celah-celah (gap) kebun. Pemeliharaan kebun dilakukan secara ekstensif sehingga memungkinkan jenis-jenis tumbuhan lainnya tetap
terpelihara (Joshi et al., 2001).
11 Pelepat (9.584 ha / 3.543 petani)), Rantau Pandan (9.262 ha / 4652), Tanah Sepenggal (11.319 ha / 6.965), Tanah Tumbuh (10.444 ha / 5.222),
Jujuhan (16.068 ha / 5.655), Muara Bungo ( 8.146 ha / 3.193), Limbur Lb. Mengkuang (6.348 ha / 3.150), Pelepat Ilir (4.192 ha / 1976), Muko-muko
Bathin VII (3.767 ha / 2.115), dan Bathin II Bebeko (8.757 ha / 3.649).
12 Dari 87.887 ha kebun karet, terdapat 19.818 ha (22,5%) masih berupa tanaman muda yang belum menghasilkan, sedangkan 40.258 ha (45,8%)
tanaman produktif, dan sisanya 27.811 (31,6 %) dalam kondisi tua/rusak.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 11

Penyebab lain adalah panjangnya rantai distribusi/pemasaran karet. Petani biasa


menjual bahan olah karet rakyat (bokar) kepada pedagang pengumpul di desa.
Dari sini bokar kemudian diserahkan ke pedagang besar pemasok pabrik kilang
karet (crumb rubber). Sampai saat ini Bungo hanya memiliki satu kilang karet yaitu
PT. Jambi Waras di Kecamatan Jujuhan, perbatasan dengan Propinsi Sumatera
Barat.

Selain kualitas dan kuantitas bokar, tata niaga yang masih panjang juga
mempengaruhi harga bokar. Apalagi dengan harga karet yang fluktuatif dan
cenderung tidak menguntungkan, petani banyak yang tidak mampu meremajakan
tanamannya. Persoalan lain adalah masih lemahnya kualitas sumber daya
petani dalam penanaman, pemeliharaan, dan pascapanen yang masih perlu
ditingkatkan.

Beberapa solusi coba ditawarkan, diantaranya melalui program peremajaan karet,


baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bungo maupun Pemerintah
Propinsi Jambi. Sayangnya program ini seringkali terkendala oleh faktor non-
teknis, seperti bibit yang kurang baik, waktu pemberian bibit yang tidak sesuai
dengan kalender musim tanam petani, hingga tidak adanya pendampingan bagi
petani. Tak jarang beberapa kegiatan bahkan terindikasi korupsi.

Solusi lain yang ditawarkan oleh kegiatan ICRAF, yaitu dengan memberikan
pelatihan dan pendampingan kepada petani mengenai teknologi karet okulasi.
Teknologi ini mengawinkan jenis karet yang kaya getah dengan karet lokal
yang tahan hama. Sehingga produksinya dapat meningkat. Selain itu setiap
kelompok petani diberikan tanaman induk, sehingga petani dapat secara mandiri
menghasilkan bibit baru untuk ditanam. Saat ini terdapat beberapa kelompok
percontohan di Rantau Pandan maupun di Pelepat.

Solusi lain adalah melalui program kemitraan antara petani dengan perusahaan
pengolah kayu untuk mengatasi tersendatnya peremajaan. Kayu karet tua dijadikan
bahan baku dengan imbalan bibit, pupuk dan obat-obatan. Sebuah program yang
cukup menjanjikan bagi petani. Hanya sayangnya, sampai kini solusi itu masih
sebatas wacana.

Selain perkebunan karet, pertanian juga memberikan kontribusi yang besar bagi
perekonomian Bungo. Sektor pertanian, khususnya tanaman pangan (padi dan
palawija) masih bersifat subsisten, khususnya untuk daerah-daerah di hulu sungai
yang berbatasan dengan TNKS. Petani menanam di ladang untuk memenuhi
kebutuhan makan tiap hari dan merupakan pekerjaan sambilan selain bekerja
12 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

di perkebunan. Di daerah seperti di desa-desa Kecamatan Rantau Pandan atau


Tanah Sepenggal, malahan ada pantangan untuk menjual padi. Kalau dahulu,
sehabis panen padi disimpan di lumbung yang dibangun di pekarangan rumah,
sekarang disimpan di dalam rumah atau gudang.

Sementara pertanian komersial kebanyakan terdapat di desa permukiman


transmigran seperti di Kuamang Kuning, Kecamatan Pelepat atau di Desa Jujuhan.
Mereka umumnya adalah para transmigran bedol desa dari proyek Waduk Kedung
Ombo, Jawa Tengah di awal 1980-an. Desa-desa inilah yang menjadi penghasil
utama padi dan palawija untuk dipasarkan ke Propinsi Sumatera Barat. Perputaran
ekonomi dari tanaman pangan ini juga didukung oleh tanaman sayuran, seperti
ubi jalar, mentimun, terong, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, kacang panjang,
cabe, maupun buah-buahan, seperti durian, cempedak, duku, manggis, sukun,
alpukat, belimbing, jeruk, nenas dan mangga.

Melihat potensi agrobisnis hortikultura yang cukup besar, sejak 1997 dilaksanakan
proyek pengembangan kebun durian dan melinjo seluas 1.000 ha yang melibatkan
1.326 petani di Pelepat. Tanaman melinjo sekarang ini sebagian sudah mulai
berbuah dan mulai dilakukan pembinaan pengolahan emping melinjo untuk
diekspor ke Malaysia.

Hutan, Masyarakat dan Kearifan Lokal

Secara geografis, di Kabupaten Bungo tampak bahwa daerah yang tutupan


hutannya masih banyak adalah daerah yang berbatasan dengan Taman Nasional
Kerinci Seblat. Selain itu di daerah ini juga terdapat Hutan Lindung Rantau Bayur
dan menjadi hulu bagi 3 sungai besar di Bungo: Batang Tebo, Batang Bungo dan
Batang Pelepat. Keberadaan kawasan ini menjadi penting untuk menjaga dan
memenuhi keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air
permukaan serta kawasan pengamanan mata air.

Mengingat pentingnya kawasan ini, maka menarik untuk mengamati upaya-


upaya untuk tetap mempertahankan luasan yang tersisa yang dilakukan oleh
masyarakat. Karena menurut Deutsch dan Busby (2000), kurang dari angka 30 %,
maka suatu wilayah akan menjadi labil terhadap ancaman dan bahaya lingkungan.
Selain sebagai daerah resapan, di beberapa bagian di kawasan hulu ini terdapat
sistem wanatani karet yang cukup dominan. Wanatani merupakan perpaduan
antara sistem-sistem dan teknologi pemanfaatan lahan dimana tanaman berumur
panjang (termasuk semak, palem, bambu dan kayu, dll) dan tanaman pangan serta
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 13

pakan ternak berumur pendek diusahakan dalam satu petak. Dengan sistem ini
terjadi interaksi antara ekologi dan ekonomi serta unsur-unsur lainnya, terutama
dengan sosial-budaya masyarakat.

Bagi masyarakat Bungo wanatani bukanlah sesuatu yang baru, bahkan sudah
dikenal sejak zaman Belanda dahulu melalui wanatani karet. Secara ekologis
kebun karet akan melindungi sistem tata air dan konservasi sumberdaya alam.
Selain itu, kebun karet tua khususnya, juga memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi yang tak kalah dengan hutan alam, karena dalam kebun
karet tua juga terdapat tanaman kayu lainnya, semak dan lainnya sehingga tidak
monokultur. Selain itu kawasan wanatani karet dapat menjadi habitat bagi berbagai
jenis keragaman hayati dan cukup berpotensi sebagai kawasan penampung bagi
jenis tumbuhan hutan, bahkan terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dilindungi
oleh Perundang-undangan Indonesia dan jenis yang termasuk kriteria kritis dan
genting menurut IUCN/SSC.

Selain itu, secara ekonomis, kebun karet akan menjadi sumber pendapatan
rumah tangga. Sedangkan secara sosiokultural, kebun karet juga berperan dalam
mempertahankan budaya lokal sebagai bentuk kearifan lokal. Bahkan di beberapa
daerah di Rantau Pandan, praktek kebun karet ini dijadikan sebagai kebun lindung
oleh masyarakat.

Di beberapa tempat di kawasan ini juga terdapat berbagai inisiatif pengelolaan


hutan dan sumberdaya alam yang berbasiskan masyarakat, seperti hutan adat
di Batu Kerbau (luas 2.357 ha) dan Baru Pelepat (luas 820 ha). Hutan adat ini
memiliki fungsi lindung dan konservasi serta fungsi adat yang pengelolaannya
untuk kebutuhan adat dan desa. Untuk Hutan Adat Batu Kerbau saat ini telah
mendapat pengakuan dari kabupaten melalui SK Bupati, bahkan menerima
penghargaan Kalpataru dari Presiden RI. Sedangkan untuk Hutan Adat Baru
Pelepat masih dalam proses pengukuhan. Bentuk lainnya adalah lubuk larang yang
banyak dijumpai di desa-desa sepanjang hulu Batang Pelepat dan Batang Bungo.
Lubuk larang adalah salah satu bentuk kearifan lokal dari masyarakat dalam
menjaga kualitas dan kuantitas jenis ikan melalui pengelolaan sungai.

Di sini tutupan hutan menjadi sangat penting peranannya dalam melindungi tata air
di daerah sub-DAS Batang Tebo pada umumnya dan Kabupaten Bungo khususnya.
Sebagaimana daerah hulu pada umumnya, wilayah ini pun ditandai dengan curah
hujan tinggi dan topografi berbukit, sehingga apabila terjadi perubahan fungsi lahan
di kawasan ini akan mempengaruhi di daerah hilir. Ketiadaan tutupan hutan di
daerah hulu, akibat penebangan (legal maupun illegal) maupun perubahan fungsi
14 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lahan (transmigrasi, perkebunan besar, pertambangan, dll) akan menjadi ancaman


bagi daerah hilir, karena air hujan akan yang turun akan menjadi air permukaan
dan mengalir ke sungai, tidak ada yang diresapkan karena hutan sebagai daerah
resapan sudah tidak ada lagi. Ancaman banjir adalah hal yang takkan terelakkan.
Selain itu, kawasan hulu juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis
dengan hilir. Hulu menjadi penyimpan dan distributor air ke hilir untuk keperluan
pertanian, industri dan pemukiman. Mengingat terbatasnya pemanfaatan lahan
hulu, maka kesalahan dalam perencanaan pemanfaatan di kawasan ini akan
sangat berdampak negatif.

Hutan di Bungo dalam Tekanan Kebijakan

Dalam Pola Pembangunan Jangka Panjang Propinsi Jambi di bagi menjadi 3


kawasan pembangunan, yaitu a) kawasan barat berfungsi sebagai lindung yang
terdiri dari TNKS dan daerah penyangganya; b) kawasan tengah berfungsi sebagai
wilayah pengembangan yang merupakan DAS Batanghari; serta c) daerah timur
berfungsi sebagai daerah penampungan aliran barang dan jasa dengan outlet
pelabuhan samudra Muara Sabak di Pantai Timur.

Dengan pola seperti ini, Bungo menjadi kabupaten penghubung antara kawasan
pelindung dan penyangga TNKS dengan kawasan pengembangan. Kondisi ini
menyebabkan Bungo berada dalam posisi yang unik, satu sisi berupaya menjaga
kelestarian sumberdaya alam yang dimilikinya, namun pada sisi lain tekanan
pembangunan yang cenderung memberi dampak pada kerusakan lingkungan.

Hal ini dapat dilihat dengan keberadaan dua perusahaan pemegang izin HPH
yang pernah aktif di Bungo, yaitu PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI)13 dan PT.
Mugitriman Intercontinental yang kemudian diambil alih oleh PT. Inhutani V
SPH Pelepat Ule. Sayangnya, berdasarkan laporan ICDP-TNKS Komponen C1
menunjukkan bahwa kegiatan pembalakan kayu yang dilakukan kedua perusahaan
ini tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian. Bahkan penebangan kayu
dilakukan juga di wilayah dengan kondisi tanah yang sangat miskin sehingga
mustahil memicu regenerasi.

Sejak 1995, PT. RKI berkonflik dengan masyarakat setempat yang berdampak
pada berhenti beroperasinya perusahaan tersebut pada 1997. Meskipun aturan
13 PT. Rimba Karya Indah mengelola areal seluas 87.000 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 13/ Kpts-IV/1987 tertanggal 12 januari 1987.
Kemudian izin tersebut diadendum mengenai luas kawasan HPH dengan SK Menteri Kehutanan no. 119/Kpts-IV/1988 tanggal 29-02-1988. Izin
operasi hingga 20 tahun sampai dengan 29-02-2008 dan masih aktif sampai 2001(Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 2002). Lokasi arealnya
terletak di kecamatan Rantau Pandan. Selama 10 tahun pertama produksi sampai dengan RKL II – 1996/1997 telah mencakup wilayah seluas 13.470
ha dengan produksi sebesar 431.501 m3 kayu. Produksi kayu komersial yang dipanen meliputi jenis dipterocarp 241.256 m3, non dipterocarp komersil
sebanyak 119.375 m3 dan jenis kayu komersial lainnya sebanyak 70.870 m3 .
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 15

menyatakan bahwa perusahaan


HPH sudah tidak aktif beroperasi
mereka tetap bertanggung
jawab untuk mengamankan
kawasannya, sayangnya
hal tersebut tidak pernah
dilakukannya. Hal ini mendorong

© Hasantoha Adnan
terjadinya pembalakan liar oleh
masyarakat, khususnya di daerah
Tanah Tumbuh dan Rantau
Pandan.

Tak jauh berbeda adalah PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule dengan SK No. 334/
Kpts-II/1998 seluas 49.450 ha yang diberikan izin sampai dengan 27-02-2018. PT
Inhutani V SPH Pelepat ule ini mengambil alih konsesi dari HPH PT. Mugitriman
interkontinental. Peruntukan awal diambil alih oleh PT. Inhutani V adalah untuk
HPHTI tapi kemudian PT. Inhutani tidak mampu mengelolanya sehingga aktif
hanya sampai pada 2001. Terletak pada empat lokasi di kecamatan Tanah Tumbuh,
Pelepat dan Rantau Pandan. Lokasi ini pun dibiarkan tanpa pengamanan.

Berhentinya kedua perusahaan tersebut seolah memberi angin segar bagi


pembalakan liar di Bungo, hal ini tampak dari maraknya usaha sawmill liar di
kecamatan yang berbatasan dengan TNKS dan bekas HPH. Selain itu, kondisi
ini didukung dengan kebijakan desentralisasi kehutanan dimana ada kewenangan
yang lebih besar diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengelola hutan,
seperti dalam bentuk pengeluaran ijin-ijin pemanfaatan skala kecil seperti IPHH
dan IPKR.

Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa berbeda dengan pemerintah kabupaten
lainnya di Propinsi Jambi14 maupun kabupaten lain di Indonesia pada umumnya,
Pemerintah Kabupaten Bungo tidak mengeluarkan IPK di wilayahnya. Hasil studi
CAPRI memperlihatkan bahwa hal ini dikarenakan terbatasnya areal kawasan
non-kehutanan atau KBNK di kabupaten ini15, lemahnya data dan informasi
mengenai areal yang layak untuk dijadikan areal IPK, juga karena pihak yang
berwenang lebih mengambil sikap hati-hati untuk mengeluarkan izin sampai ada
kejelasan posisi dan lokasi areal (lihat Hadi et al.. dalam buku ini).

14 Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, misalnya, mengeluarkan beberapa IPK di berbagai kecamatan.
15 Belakangan sebagian areal hutan sedang diusulkan oleh Pemda Kabupaten Bungo kepada Menteri Kehutanan untuk dilepaskan.
16 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kendati demikian, hasil studi KKI-WARSI memperlihatkan bahwa pada periode


1990-2002 tutupan hutan di Bungo mengalami penurunan hingga 12% hutan
alam mengalami deforestasi pada kurun waktu 1990-2002. Manajemen hutan yang
tidak lestari oleh perusahaan HPH dan diikuti dengan pembalakan liar menjadi
faktor utama deforestasi di Bungo. Selain HPH, pelepasan kawasan hutan oleh
departemen kehutanan menjadi peruntukan lain seperti perkebunan sawit dalam
skala yang besar juga turut menyumbang kehilangan tutupan hutan ini. Kondisi ini
terjadi terutama pada masa akhir 1980-an dan awal 1990-an ketika demam kelapa
sawit mulai melanda pulau Sumatera termasuk Jambi. Tekanan terhadap hutan
juga datang dari proyek transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat,
bahkan telah dilakukan sejak 1983. Penempatan transmigrasi ini pun tidak lepas
dari pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan dan
tentunya pemukiman. Di beberapa tempat dikombinasikan dengan perkebunan
besar menjadi perkebunan trans.

Untuk menanggulangi hal tersebut beberapa upaya dilakukan oleh Pemerintah


Kabupaten Bungo, diantaranya melalui penyusunan tata ruang partisipatif, dimana
daerah-daerah yang berbatasan dengan TNKS dijadikan daerah pengembangan
berbasis konservasi, memberi pengakuan kepada masyarakat setempat dalam
berpartisipasi menjaga kelestarian hutan melalui Perda Masyarakat Hukum Adat
Datuk Sinaro Putih, dan kebijakan yang mendorong efektivitas aksi kolektif
dan memperkuat hak properti masyarakat, seperti rekonstruksi tata batas hutan
lindung, bantuan usaha produktif dan rehabilitasi hutan dan lahan.

ORGANISASI BUKU

Penulisan buku ini mempunyai tiga tujuan utama: pertama, mendokumentasikan


apa yang sedang terjadi pada masyarakat dan hutan yang sedang dilakukan baik
oleh peneliti, pemerintah daerah maupun oleh masyarakat sendiri. Buku ini berisi
pengalaman, hasil riset maupun pendampingan yang dilakukan oleh berbagai
kalangan. Keragaman latar belakang dari para penulis maupun tulisan yang
ditampilkan menjadikan buku ini tidak hanya kaya akan data dan pengalaman
lapangan, tetapi juga perspektif.

Kedua, para penulis memberikan pemahaman dan wawasan bagi para pembuat
kebijakan, peneliti, penggiat lingkungan maupun masyarakat luas yang berminat
pada pengelolaan sumberdaya alam yang mendukung pada kelestarian dan
kesejahteraan.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 17

Ketiga, apa yang terjadi di Bungo sesungguhnya merepresentasikan apa yang terjadi
di Indonesia. Bungo adalah Indonesia kecil dalam makna yang sesungguhnya.
Pelajaran-pelajaran yang terjadi boleh jadi menjadi bahan pembelajaran penting
bagi kabupaten lain di Indonesia juga bagi dunia.

Pada bagian awal buku ini akan dipaparkan mengenai potret sumberdaya alam yang
ada di Kabupaten Bungo. Tulisan pertama adalah hasil penelitian Novasyurahati
dan Sulistyawati (pada bagian 1.1.) yang mencermati menurunnya kelimpahan
sumberdaya hutan di sekitar permukiman Desa Baru Pelepat dan pemanfaatannya
oleh masyarakat. Kendati bicara secara spesifik desa, namun gambaran tersebut
mewakili dinamika hubungan antara masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan di Bungo, khususnya, maupun Indonesia pada umumnya. Pada bagian
ini pula, tulisan dari Suherman dan Taher (pada bagian 1.2.) memperlihatkan
bagaimana dinamika tutupan lahan di Kabupaten Bungo. Melalui studi berdasarkan
citra satelit diperlihatkan bahwa tutupan hutan di Bungo mengalami penurunan
yang dramatis dikarenakan perubahan fungsi lahan, praktek pembalakan liar,
transmigrasi, maupun kebakaran hutan. Bagian ini memperlihatkan bahwa sebagian
besar perubahan tutupan lahan adalah akibat tangan manusia yang gagal dalam
mengurusnya. Melengkapi data-data yang sudah dipaparkan pada bagian 1.2.,
Ekadinata dan Vincent (di bagian 1.3.) memaparkan lebih jauh bahwa deforestasi
dalam jumlah besar telah terjadi sepanjang tahun sejak 1973 sampai 2002. Studi
ini membagi 4 periode deforestasi, dimana periode awal (1973-1988) adalah
periode dengan laju deforestasi tertinggi mencapai 6600 ha/tahun dan cenderung
menurun di periode terakhir (1999-2002). Meskipun menurun, periode akhir juga
mencatat perubahan lokasi deforestasi yang sudah merambah ke daerah dataran
tinggi sebelah selatan Kabupaten Bungo. Deforestasi ditandai dengan perubahan
lahan dari hutan menjadi kebun karet rakyat, areal HPH, perkebunan sawit dan
transmigrasi. Kendati demikian, wanatani karet terbukti selama kurun 1973-2002
relatif bertahan secara luasan maupun praktek. Kenyataan ini memperlihatkan
bahwa wanatani karet yang dikelola masyarakat memiliki peran penting dalam
usaha menjaga kelestarian lingkungan.

Bagian kedua berisi tentang kearifan lokal dan konservasi. Bagian ini dibuka dengan
tulisan Riya Dharma (di bagian 2.1.), seorang fasilitator yang telah banyak makan
asam garam dalam pemberdayaan masyarakat, tentang upaya sebuah masyarakat
dalam menjaga kelestarian hutannya melalui pranata adat hingga mendapatkan
pengakuan oleh pemerintah daerah melalui SK Bupati. Proses pendampingan
memegang peranan penting dalam memperkuat upaya tersebut. Selain itu, adanya
pengakuan hak mengelola masyarakat atas hutan oleh pemerintah daerah akan
mempertebal komitmen masyarakat dalam menjaga hutan. Tulisan berikutnya
18 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

disampaikan oleh Joshi et al., dalam bagian 2.2., yang banyak melakukan penelitian
tentang wanatani karet. Disini penghargaan terhadap pengetahuan lokal perlu
mendapatkan tempat dalam sistem perkebunan di Indonesia. Studi tersebut
menunjukkan pengetahuan lokal penting dalam melihat dan mengkaji bagaimana
masyarakat lokal mengelola sumberdaya alamnya. Berbeda dengan pengetahuan
sains yang terbentuk melalui interpretasi data berdasarkan metodologi tertentu,
pengetahuan lokal justru sangat melekat erat pada nilai budaya dan spiritual. Selain
itu pengetahuan lokal terbentuk sebagai hasil interaksi antara masyarakat dengan
ekosistem di sekelilingnya. Tak mengherankan bila pengetahuan lokal mampu
memberi kontribusi pada inovasi teknologi, upaya konservasi keanekaragaman
hayati dan ekosistem, perlindungan spesies dan area, serta untuk pemanfaatan
sumberdaya alam yang berkelanjutan. Adanya praktek ‘sisipan’ yang banyak
diterapkan di areal wilayah Bungo untuk memperpanjang umur hutan karet
tersebut agar dapat lebih lama berproduksi, merupakan sebuah alternatif dalam
meningkatkan produksi karet tanpa mengabaikan upaya konservasi keragaman
hayati dan fungsi lingkungannya.

Hal senada juga diperlihatkan dalam tulisan Surma et al.(di bagian 2.3.) yang
mendeskripsikan tentang pengelolaan lubuk larang di sepanjang Sungai Pelepat
oleh berbagai kelompok masyarakat adat. Melalui lubuk larang, masyarakat bukan
hanya melestarikan jenis ikan dan mengelola sungai secara arif, namun juga
mampu memberikan nilai ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, hasil lubuk larang
menjadi pemasukan bagi kas desa maupun kelompok pengelolanya. Sedangkan
secara sosial, lubuk larang menunjukkan kemampuan masyarakat mengelola
secara komunal dan menghindarkan dari eksploitasi berlebihan. Selain itu dengan
mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan
investasi modal sosial (social capital) dalam pengelolaan sumberdaya ‘milik
bersama’.

Tulisan lainnya diutarakan oleh Permatasari (di bagian 2.4.), seorang fasilitator yang
banyak mendampingi masyarakat tentang gender dan pengelolaan sumberdaya
alam. Bab ini ditutup dengan tulisan dari Hasan et al. (di bagian 2.5.), yang
menyoroti rencana pemerintah Kabupaten Bungo untuk kembali mengaktifkan
pemerintahan pada tingkat desa secara tradisional. Rencana ini sebagai bentuk
interpretasi dari pemberlakuan UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, selain
untuk membuka peluang bagi daerah untuk membentuk struktur pemerintahan
desa yang lebih menghormati keragaman budaya dan sosial di masing-masing
daerah.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 19

Bagian ketiga berbicara tentang potensi ekonomi dan sumberdaya di Kabupaten


Bungo. Rodiah (di bagian 3.1.), seorang guru di desanya, memperlihatkan kepada
kita bagaimana perempuan desanya memanfaatkan hasil hutan non-kayu untuk
menambah penghasilan rumah tangganya. Lebih lanjut Yuliani et al. (di bagian
3.2.) melalui risetnya menunjukkan bahwa hutan di Bukit Siketan memiliki
berbagai jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi sumber pendapatan alternatif
jangka panjang yang cukup besar, bila dikelola secara kreatif dan cermat. Tak
hanya berpotensi sebagai sumber pendapatan alternatif, hutan Bukit Siketan juga
memiliki fungsi ekosistem yang penting untuk penghidupan manusia.

Tulisan lain berasal dari Budisetiawan (bagian 3.3.), seorang staf Dishutbun
Bungo, melalui program yang dipimpinnya, ia memperlihatkan kepada kita
bagaimana rotan dapat menjadi potensi masa depan pengembangan hasil hutan
bukan kayu di Bungo. Mengingat pasar rotan yang teramat terbuka dan potensi
rotan alam yang semakin menipis, maka pengembangan budidaya rotan di lahan
perkebunan merupakan salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan. Selain hasil
hutan bukan kayu dan rotan, penting juga untuk memperhatikan praktek-praktek
wanatani yang berhasil direkam oleh berbagai peneliti dari ICRAF. Studi mereka
meyakinkan kita bahwa wanatani berbasis karet yang selama ini diterapkan oleh
masyarakat lokal di Jambi, telah berfungsi sebagai kebun lindung bagi keragaman
hayati dan tata air di lingkungannya, serta menyediakan produk non-kayu (non
timber forest products) serta memberikan keseimbangan alam.

Kendati demikian, Akiefnawati et al., dari ICRAF (pada bagian 3.4.), melihat
perlunya peningkatan produktivitas karet rakyat melalui wanatani karet. Melalui
sistem ini, kebun karet dikelola secara mini dan diperlakukan seolah-olah ”hutan
mini”. Dengan sistem ini pengelolaan kebun menjadikan kebun karet lebih ragam
tumbuhnya bermacam-macam tumbuhan. Kondisi ini menguntungkan untuk
konservasi fauna dan flora. Dan menguntungkan bagi petani untuk menambah
income keluarga dari hasil buah-buahan atau pohon penghasil kayu. Serta
lingkungan wanatani karet menjadikan rumah tinggal alternatif bagi kehidupan
fauna yang mulai terancam karena punahnya habitat mereka di lingkungan aslinya
di hutan.

Untuk memperkaya hasil kebun karet campur, Tata et al., (bagian 3.5.) menyarankan
pengayaan dengan meranti. Karena meranti dapat ditanam di kebun karet dengan
sistem wanatani, dengan memperhatikan aspek budidayanya. Lebih jauh, secara
ekologis dan konservasi, hasil studi Rasnovi et al., (bagian 3.6.) memperlihatkan
bahwa wanatani karet memiliki struktur mirip dengan hutan alam serta menjadi
habitat bagi berbagai jenis keragaman hayati, dianggap cukup berpotensi sebagai
20 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kawasan penampung bagi jenis tumbuhan hutan, bahkan terdapat beberapa jenis
tumbuhan yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia dan jenis yang
termasuk kriteria kritis dan genting menurut IUCN/SSC. Selain itu wanatani
karet juga memberikan dampak ekonomi, studi Tata et al. memperlihatkan bahwa
pengayaan jenis di kebun karet dengan meranti, yang dikenal sebagai kayu bahan
bangunan, dapat menjadi alternatif bagi restorasi bentang alam di Kabupaten Bungo
dan juga sebagai sumber kayu bahan bangunan di masa datang. Martini (bagian
3.7.) melalui tulisannya mengingatkan kita bahwa hutan dan kebun karet campur
mempunyai fungsi-fungsi ekologis yang penting bagi keseimbangan alam. Untuk itu
keanekaragaman hayati menjadi indikator penting yang digunakan untuk melihat
keseimbangan fungsi ekologis di suatu ekosistem. Untuk mewujudkan itu, perlu
dipikirkan mekanisme kegiatan konservasi jasa lingkungan keanekaragaman hayati
yang melibatkan banyak pihak untuk membantu peningkatan kesadaran terhadap
lingkungan sekitarnya. Bagian ini ditutup dengan perlunya mempertimbangkan
program konservasi lingkungan yang memberi manfaat bagi masyarakat lokal,
sebagaimana terungkap dari tulisan Chaniago (bagian 3.8.), seorang aktivis LSM
dan juga ketua BPD di kampungnya.

Bagian keempat banyak berbicara tentang pola interaksi antar pihak dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Bab ini dibuka dengan tulisan Yasmi (bagian 4.1.),
mahasiswa program doktor Universitas Wageningen yang melihat pentingnya
kajian tentang proses peningkatan konflik dalam pengelolaan sumberdaya
hutan. Dengan memahami proses peningkatan konflik akan membawa kepada
pemahaman yang utuh tentang konflik itu sendiri. Bagaimana konflik itu muncul,
siapa saja yang terlibat, isu apa saja yang menjadi sumber konflik serta bagaimana
proses peningkatannya akan sangat membantu dalam mengelola konflik dan
mencari resolusinya.

Tulisan berikutnya dipaparkan oleh Kusumanto (bagian 4.2.), juga mahasiswa


program doktor Universitas Wageningen, Belanda, yang lebih memusatkan pada
kolaborasi antar-pihak dalam pengelolaan hutan. Tulisan ini memperlihatkan
bagaimana membangun kolaborasi kendati situasi tidak mendukung. Fasilitasi
yang berorientasi pada proses dan pengalaman mampu membangun kepercayaan
antarpihak, membentuk norma dan pola interaksi baru, serta memaknai sebuah
realita kolektif. Keseluruhan proses dituntun melalui pengalaman sebagai
instrumen kolaborasi. Tulisan berikutnya menegaskan pentingnya penguatan
hak-hak masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam dan hutan. Sebagaimana
tercermin dalam tulisan Adnan dan Yentirizal (bagian 4.3.) yang memperlihatkan
bagaimana masyarakat senantiasa mencari berbagai jalan untuk mempertahankan
akses mereka terhadap sumberdaya alam/hutan manakala berhadapan dengan
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 21

proyek besar yang diadakan di desa. Tulisan Siagian dan Neldysavrino (bagian
4.4.) pun menegaskan hal serupa melalui kajian di kabupaten yang berbeda.
Mereka melihat pentingnya peran aksi kolektif dalam memperkuat hak properti
masyarakat yang mendorong pada suatu bentuk kepastian hidup (securing
livelihood). Hak properti dalam hal ini dilihat dalam dua bentuk, hak kepemilikan
dan hak pengelolaan. Selain itu, aksi kolektif juga memperkecil peluang dominasi
elit.

Berbeda dari dua tulisan sebelumnya yang menempatkan aksi kolektif pada
tingkat masyarakat, tulisan Hadi et al. (bagian 4.5.) justru menunjuk pada peran
pemerintah dalam mendorong aksi kolektif dan memperkuat hak properti. Dalam
kurun waktu dua tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Bungo, khususnya
Dishutbun menyusun suatu kebijakan atau program yang dipandang dapat
mendorong efektivitas aksi kolektif di tingkat masyarakat dan mendorong
penguatan hak properti lahan. Tulisan ini menggambarkan pelaksanaan dan
pembelajaran dari program-program tersebut dan menawarkan satu solusi alternatif
untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih kawasan hutan melalui strategi
perhutanan sosial. Selain aksi kolektif, proses-proses partisipatif dan kolaboratif
juga memainkan peran penting untuk memastikan keterlibatan masyarakat
maupun multipihak dalam penyusunan sebuah peraturan. Dalam tulisan Irawan
et al. (Bab 4.6), misalnya, diperlihatkan bagaimana komitmen pemerintah
Kabupaten Bungo untuk melibatkan masyarakat dalam penyusunan Rencana
Tata Ruang Kabupaten. Hasilnya adalah adanya pengakuan atas wilayah-wilayah
kelola masyarakat ke dalam penataan ruang kabupaten.

Gambaran lain diperlihatkan oleh Pariyanto (bagian 4.7.) saat merekam


proses penyusunan peraturan daerah mengenai masyarakat hukum adat yang
melibatkan masyarakat juga pemerintah daerah. Adanya tarik-ulur antar pihak
justru memperkuat hubungan antar pihak tersebut. Catatan menarik juga
disampaikan oleh Dobesto pada bagian 4.8., kendati dalam perspektif desa,
kajiannya memperlihatkan bagaimana sebuah proses penyusunan peraturan desa
dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat. dampak utamanya adalah besarnya
kepemilikan masyarakat terhadap peraturan tersebut dan kuatnya komitmen
masyarakat untuk mematuhinya. Catatan penutup pada bagian ini disampaikan
oleh Marzoni (bagian 4.9.) yang memusatkan tulisannya pada proses penyusunan
tata ruang desa sebagai jalan menuju komunikasi dan kolaborasi antar pihak.
22 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN

Adnan, H. 2005. Pendekatan Hulu dan Hilir: Model Pembangunan Bungo Masa
Depan. Bungo Pos, Muara Bungo, Indonesia.
Angi, A.M. 2005. Kebijakan Pemerintah Pusat di Bidang Konservasi dari
Perspektif Daerah dan Masyarakat: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat,
Kalimantan Timur. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Awang, S.A. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan
Lingkungan. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, Indonesia.
BPS Bungo. 2005. Bungo dalam Angka 2004. Kerjasama Bappeda Kabupaten
Bungo dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo,
Indonesia.
BPS Bungo. 2006. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bungo tahun
2001-2005. Kerjasama Bappeda Kabupaten Bungo dengan Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Colfer, C.J.P dan Capistrano, D. (ed.) 2006. Politik Desentralisasi: Hutan,
Kekuasaan dan Rakyat. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Dishutbun Kabupaten Bungo. 2006. Selayang Pandang Dinas Kehutanan Bungo.
Muara Bungo, Indonesia.
Deutsch, G.W. dan Busby, L.A. 2000. Community-Based Water Quality
Monitoring: from Data Collection to Sustainable Management of Water
Resources. Land and Water Development Division, FAO, Roma, Itali.
Fahmi, E. dan Zakaria, Y.R. 2005. Good Governance dan Multi-stakeholder Processes:
Minus Malum dalam Wacana NeoLiberalisme. Dalam: WACANA no.
XX. INSIST, Yogyakarta, Indonesia.
Gouyon, A., de Foresta, H. dan Levang, P. 1993. Does ‘Junggle Rubber’ Deserve
its Name? An analysis of Rubber Agroforestry System in Southeast Asia.
Agroforestry System 22:181-206
Joshi, L., Wibawa, G., Vincent, G., Boutin, D., Akiefnawati, R., Manurung, G. dan
van Noordwijk, M. 2001. Wanatani Kompleks Berbasis Karet: Tantangan
untuk Pengembangan. ICRAF, Bogor, Indonesia.
KKI-WARSI, ACM-Jambi dan ICRAF. 2005. Usulan Untuk Revisi RTRW-K
Bungo: Penentuan WP I dan WP II Kabupaten Bungo berdasarkan
Gabungan Pendekatan DAS dan Growth Pole, diusulkan dalam
penyusunan RTRW-K Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Kompas. 2001. Kabupaten Bungo. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0105/29/NASIONAL/kabu08.htm
Kompas. 2007. Akal-akalan Pemekaran. http://www.Kompas.com/kompas-
cetak/0703/10/Fokus/3372818.htm.
PEMBUKA - Hasantoha Adnan 23

Kusumanto, T., Yuliani, E.L., Macoun, P., Indriatmoko, Y. dan Adnan, H. 2006.
Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial: Kajian Sosial-Antropologis di
Propinsi Jambi. P3PK–UGM dan Aditya Media, Yogyakarta, Indonesia.
Muntasyarah, A.S. 2006. Agroforest Karet di Jambi: Dapatkah Bertahan di
Era Desentralisasi? Governance Brief No. 31/Juni. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Pemerintah Propinsi Jambi. 2006. Basis Data Lingkungan Hidup Daerah Propinsi
Jambi tahun 2005. Bapedalda Propinsi Jambi, Jambi, Indonesia
Resosudarmo, I.A.P. dan Colfer, C.J.P. (ed.) 2003. Ke Mana Harus Melangkah:
Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Ruf, F. dan Lancon, F. 2005. Dari Sistem Tebas dan Bakar ke Peremajaan Kembali:
Revolusi Hijau di Dataran Tinggi Indonesia. Salemba Empat dan the
World Bank, Jakarta, Indonesia.
Simangunsong, B. 2003. Nilai Ekonomi dari Hutan Produksi Indonesia. Indonesian
Working Group on Forest Finance (IWGFF), Jakarta, Indonesia.
Suara Pembaruan. 2005. Alam Dikomersialkan, Lingkungan Tambah Rusak.
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/10/22.
Suara Pembaruan. 2007. Indonesia Penghancur Hutan Tercepat di Dunia. http://
www.suarapembaruan.com/News/2007/05/04/Kesra/kes.01.htm
Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder
Rubber Agroforestry Systems in Sumatra, Indonesia. Dalam: Palm,
C.A., Vosti, S.A., Sanchez, P.A. dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn
Agriculture, The Search for Alternatives. Columbia University Press,
New York: 222 – 232.
Wulan, Y.C., Yasmi, Y., Purba, C., dan Wollenberg, E. 2004. Analisa Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997-2003. CIFOR, Bogor.
BAGIAN 1
POTRET SUMBERDAYA KABUPATEN BUNGO
BAGIAN 1-1
Kelimpahan Sumberdaya Hutan di Sekitar
Desa Baru Pelepat

Novasyurahati dan Endah Sulistyawati


28 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bujang, warga Dusun Lubuk Beringin, membutuhkan waktu seminggu untuk


membalak kayu di hutan sekitar Desa Baru Pelepat. Dua tahun lalu, ia hanya
menghabiskan empat hari. Selisih tiga hari terjadi karena ia harus berjalan lebih
jauh ke dalam hutan. Kuris, Kepala Dusun Lubuk Pekan, mengaku kesulitan
menemukan tumbuhan obat. Begitu pula ibu-ibu mengeluh sulit mendapatkan
buah-buahan musiman.

Itu menggambarkan kelimpahan kekayaan alam di Baru Pelepat memang menurun.


Padahal masyarakat Desa Baru Pelepat masih bergantung pada sumberdaya
hutan.

Kampung ini semula memiliki lebih dari 500 jenis tanaman, dan 300-an diantaranya
dimanfaatkan untuk pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan. Sebagian besar
masyarakat di Dusun Lubuk Pekan mengenali sekitar 312 jenis tumbuhan dan
manfaatnya. Dari jumlah itu, 115 jenis sebagai sumber makanan, 118 jenis obat-
obatan dan 79 jenis bahan bangunan. Namun hanya 44 jenis dari jumlah tersebut
yang ditemukan di lahan sekitar permukiman (Kotak 1).

Ketersediaan Tumbuhan Sumberdaya


Sebagai masyarakat tradisional yang masih menjalankan sistem pertanian ladang
berpindah, masyarakat Desa Baru Pelepat mengenal empat jenis lahan yang
terdapat di hutan sekitar mereka, yaitu: ladang, sesap muda, sesap tua dan hutan.
Ladang sengaja dibuat oleh masyarakat dengan membuka hutan. Sementara itu,
sesap muda, sesap tua dan hutan terbentuk karena proses suksesi setelah ladang
ditinggalkan (diberakan).

Tumbuhan yang dibutuhkan masyarakat (selanjutnya digunakan istilah “tumbuhan


sumberdaya”) tersedia di keempat jenis lahan tersebut, terutama tumbuhan obat
dan bahan bangunan. Tumbuhan yang terdapat di ladang umumnya sengaja
ditanam. Sementara tumbuhan yang diambil dan digunakan dari sesap muda, sesap
tua dan hutan tumbuh secara alami melalui proses suksesi, dan menimbulkan
keragaman vegetasi di lahan-lahan tersebut.

Ladang merupakan tempat pengambilan tumbuhan pangan utama bagi masyarakat.


Selain ditanami padi, ladang juga ditanami sayur, buah-buahan, rempah-rempah,
dan karet. Dalam ladang juga terdapat tumbuhan obat dan anakan tumbuhan
kayu yang tidak sengaja ditanam, namun bermanfaat bagi masyarakat, seperti
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 29

kumpai (Paspalum conjugatum Berg.), tubo seluang (Ludwigia parvifolia Ridl.) dan
capo (Blumea lacera Bl.).

Kotak 1. Jumlah jenis sumberdaya yang dibutuhkan, dibandingkan dengan


jumlah yang ditemukan

Wawancara dengan 12 responden penduduk dari Dusun Lubuk Pekan mencatat


312 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai makanan, obat-obatan atau bahan
bangunan. Dari jumlah tersebut hanya 44 jenis yang ditemukan di lahan sekitar
permukiman (beberapa jenis di antaranya memiliki kegunaan lebih dari satu).
Gambaran mengenai perbandingan jumlah jenis tumbuhan yang digunakan dan
yang ditemukan di lahan dapat dilihat pada Gambar 1.

140
120
Jumlah Spesies

100
80 115 117
79
60
40
20 25
14 13
0
Makanan Obat Bahan bangunan
Kategori Kegunaan

Digunakan, namun tidak ditemukan di sekitar permukiman


Digunakan dan ditemukan di sekitar permukiman

Gambar 1. Perbandingan jumlah jenis tumbuhan yang digunakan dan yang ditemukan
di sekitar permukiman

Sebagian besar hasil panen dari ladang, seperti padi dan sayuran, digunakan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagian lainnya,
terutama buah-buahan dan bumbu dapur, dijual di warung maupun di pasar.

Secara sepintas, sesap muda atau lahan belukar yang terbentuk setelah ladang
diberakan selama 1 hingga 3 tahun tampak seperti lahan yang tidak berguna.
Namun sesungguhnya menawarkan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Meskipun jenis tumbuhan yang terdapat di lahan ini paling sedikit, persentase
jenis tumbuhan obat yang terdapat di sesap muda, paling banyak dibandingkan
30 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

di lahan lain. Selain itu, di sesap muda juga terdapat banyak anakan pohon yang
penting untuk regenerasi tumbuhan kayu di masa mendatang.

Berbeda dengan sesap muda, dalam sesap tua atau belukar yang terbentuk setelah
ladang diberakan lebih dari 3 tahun ini terdapat lebih banyak variasi jenis
tumbuhan. Masyarakat kerap menggunakan sesap tua sebagai tempat pengambilan
buah-buahan hasil pohon dan juga kayu untuk bahan bangunan. Dalam sesap tua
juga terdapat jenis-jenis tumbuhan obat yang berbeda dengan sesap muda.

Masyarakat menilai sesap tua sebagai lahan yang cukup penting. Di lahan ini
pohon karet yang ditanam umumnya telah berusia 5 hingga 6 tahun usia yang
baik untuk mulai menyadap getah karet.

Hutan memiliki jenis tumbuhan penghasil kayu terbanyak dibanding lahan-lahan


lain di Baru Pelepat (Novasyurahati, 2006). Sebagian di antaranya merupakan
jenis yang bernilai ekonomi tinggi, seperti meranti merah (Shorea parvifolia Dyer.),
medang senduk (Endospermum didenum A. Shaw.), mersawa (Anisoptera marginata
Korth.), atau kawang kunyit (Shorea mulitiflora Sym.). Jenis-jenis tersebut adalah
kayu komersil umum yang bernilai tinggi (Kochummen et al., 1994, America et al.,
1994 dan Johns et al., 1994).

Masyarakat menilai, selain sebagai penghasil kayu, hutan juga merupakan habitat
satwa dan pengatur fungsi hidrologis. Bujang pun, yang dulunya seorang pembalak,
mengaku hasil kegiatan membalak sesungguhnya tidak sebanding dengan usaha
yang dikeluarkan dan dampak buruk yang menimpa desa apabila hutan habis.
Menurutnya, satwa dalam hutan yang kehilangan tempat tinggal dan sumber
makanan, akan menyerang ladang. Saat hujan turun deras, air Sungai Batang
Pelepat meluap dan dapat menimbulkan banjir.

Selain di keempat jenis lahan tersebut, masyarakat juga memanfaatkan lahan


yang ada di pekarangan rumah mereka untuk ditanami tumbuhan-tumbuhan
yang bermanfaat. Karena itu, halaman rumah memegang peranan yang cukup
penting untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Sebagai contoh, Abdullah warga Dusun Lubuk Pekan, seringkali terlihat melewati
jalan utama desa dengan motornya yang bermuatan penuh buah-buahan hasil
kebunnya di halaman rumah. Di lahan seluas 25 x 35 m2 itu Abdullah menanam
pisang lidi, salak, kopi, durian, duku, karet, dan beberapa jenis tumbuhan obat.
Tak jauh dari rumah Abdullah, tinggal Pak Tamim yang dikenal sebagai dukun
obat tertua di desa. Halaman rumah Pak Tamim tidak seluas halaman Abdullah,
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 31

namun lahan itu dikenal sebagai apotik hidup bagi masyarakat. Siapa pun yang
butuh tumbuhan obat, bisa berkunjung ke rumah Pak Tamim. Anak dan cucu-
cucunya akan dengan senang hati menunjukkan jenis-jenis tumbuhan obat di
halaman, dan Pak Tamim akan menerangkan cara menggunakan tumbuhan
tersebut. Sedangkan Hamdan, Kepala Desa Baru Pelepat, memilih untuk menanam
benih tumbuhan kayu. Jati, meranti dan karet tumbuh subur dan rapi di halaman
rumahnya.

Kotak 2. Gambaran tumbuhan sumberdaya di beberapa tipe lahan

Empat jenis lahan di sekitar masyarakat (ladang, sesap muda, sesap tua dan hutan)
memiliki variasi jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Karena itu,
masyarakat memiliki ketergantungan yang berbeda pada tiap jenis lahan, sesuai
dengan kebutuhannya (Gambar 2).
Prosentase Jumlah Jenis

Tipe Lahan

Makanan Obat Bahan bangunan

Gambar 2. Gambaran ketersediaan tumbuhan sumberdaya di empat tipe lahan


sekitar permukiman

Penurunan Sumberdaya

Sesungguhnya, keragaman tumbuhan di lahan sekitar permukiman Desa Baru


Pelepat cukup tinggi (lihat Kotak 3). Proses suksesi lahan bekas ladang menjadi
32 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

hutan kembali juga berlangsung normal. Namun masyarakat mengeluh kesulitan


mendapatkan tumbuhan yang mereka perlukan. Sebabnya adalah, pertama,
kelimpahan tumbuhan sumberdaya memang menurun sebagai akibat dari
pengambilan yang terus dilakukan melampaui kemampuannya untuk tumbuh
secara alami maupun ditanam. Kedua, jenis tumbuhan yang beragam yang
terdapat di lahan-lahan tersebut bukan merupakan jenis-jenis yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Ketiga, belum tumbuh budaya menanam di kalangan masyarakat.
Masyarakat belum tergerak untuk membudidayakan jenis tumbuhan, meski mereka
menyadari bahwa intensitas penggunaan tumbuhan tersebut sangat tinggi.

Kotak 3 Keanekaragaman jenis di berbagai tingkat suksesi

Analisis vegetasi yang dilakukan di lahan sekitar permukiman Dusun Lubuk Pekan
menunjukkan pola hubungan peningkatan keanekaragaman jenis tumbuhan pada
lahan yang semakin lama diberakan. Keanekaragaman jenis di sesap muda lebih
rendah dari sesap tua. Begitu pun keanekaragaman jenis di sesap tua lebih rendah
dari hutan (Gambar 3).

60 3,50
3,00

Nilai keanekaragaman
50
2,50
Jumlah jenis

40
2,00
30
1,50
20
1,00
10 0,50
0 0,00
Pohon Perdu Herba Pohon Perdu Herba Pohon Perdu Herba

Sesap Muda Sesap Tua Hutan


Bentuk hidup dalam tiap tipe lahan

Jenis Keanekaragaman

Gambar 3. Hasil analisis vegetasi di sesap muda, sesap tua dan hutan

Proses suksesi terjadi di lahan-lahan itu, sesuai dengan penjelasan Odum (1969) mengenai
kecenderungan umum yang terjadi pada lahan-lahan pasca gangguan yang mengalami
suksesi sekunder. Odum menerangkan bahwa secara umum keanekaragaman jenis di
lahan suksesi cenderung meningkat.
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 33

Jenis dan intensitas penggunaan tumbuhan oleh masyarakat memang sangat


beragam. Intensitas pengambilan dan penggunaan tumbuhan dalam skala rumah
tangga untuk kebutuhan sehari-hari relatif rendah. Dalam kategori tumbuhan
pangan, 63% di antaranya digunakan dalam intensitas penggunaan yang kecil
yaitu 0-200 kg/tahun atau 0-200 ikat/tahun. Begitu pun dengan tumbuhan obat,
80% digunakan dalam intensitas 0-20 kg/tahun atau 0-20 ikat/tahun. Tumbuhan
untuk bahan bangunan juga demikian, 55% digunakan hanya sebanyak 0-4 m3/
tahun.

Intensitas pengambilan dan penggunaan yang sangat besar terjadi pada jenis-jenis
tumbuhan komersil. Jenis tanaman pangan yang paling banyak diambil (lebih
dari 1000 kg/tahun) adalah kemiri, belulu, kepayang, dan coklat. Jenis tanaman
obat yang paling banyak digunakan (lebih dari 100 kg/tahun atau 100 ikat/tahun)
adalah daun pepaya, daun kemumu dan mengkudu. Sementara, jenis tumbuhan
kayu sebagai bahan bangunan yang paling banyak diambil (16-20 m3/tahun)
adalah medang senduk, meranti merah dan pulai.

Ironisnya, kemiri, belulu, kepayang, pepaya, kemumu, mengkudu, dan pulai tidak
ditemukan di lahan sekitar permukiman (radius 100 m hingga 1 km). Kalaupun
ada, hanya terdapat di halaman rumah dan jumlahnya sedikit sekali. Sementara,
medang senduk dan meranti merah ditemukan di lahan sekitar permukiman
dengan jumlah yang sangat terbatas.

Menurut Bujang, meskipun kegiatan pembalakan masih berlangsung hingga saat


penelitian ini dilakukan, jenis kayu yang didapat bukan yang bernilai tinggi, yaitu
hanya jenis kayu yang digunakan untuk membuat kayu lapis. Kayu yang bernilai
tinggi hanya dapat ditemukan di hutan yang kemiringannya sangat curam.

Gambaran mengenai potensi kerusakan hutan dan kelangkaan tumbuhan kayu


sebagai bahan bangunan dapat dilihat di Kotak 4. Jumlah anakan (pohon dengan
diameter batang setinggi dada lebih kecil dari 1 cm) dan tiang (pohon dengan
diameter setinggi dada 1-5 cm) yang tersedia di lahan sekitar permukiman sangat
sedikit. Padahal, untuk tumbuh menjadi sebuah pohon yang kayunya dapat
digunakan dan bernilai tinggi, jenis-jenis tersebut membutuhkan waktu rata-rata
12-40 tahun (Kochummen et al., 1994, America et al., 1994 dan Johns et al., 1994).
Dengan demikian, apabila pengambilan kayu masih dipertahankan dalam jumlah
seperti yang terjadi saat ini, sementara usaha penanaman kembali atau konservasi
anakan tidak dilakukan, maka dapat dipastikan kegiatan pemanfaatan kayu oleh
masyarakat Desa Baru Pelepat dapat menyebabkan kelangkaan sumberdaya di
sekitar permukiman.
34 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sebagian besar kebutuhan masyarakat terhadap tumbuhan kayu tidak dapat


tercukupi lagi oleh ketersediaan kayu di lahan-lahan yang tersedia, karena
pemanfaatan volume kayu per tahun lebih besar dari jumlah volume kayu yang
tersedia. Terdapat tiga jenis tumbuhan yang pemanfaatannya sangat tinggi (di atas
200 m3 per tahun) namun volume kayu yang tersedia di lahan sekitar permukiman
sangat sedikit (0,3 hingga 5 m3), yaitu meranti merah (Shorea parvifolia Dyer.),
medang senduk (Endospermum diadenum A. Shaw.), dan mersawa (Anisoptera
marginata Korth.), yang merupakan tumbuhan penghasil kayu komersil umum
yang bernilai tinggi (Kochummen et al., 1994, America et al., 1994 dan Johns et
al., 1994).

Terdapat dua jenis tumbuhan yang ketersediaan kayunya di lahan dapat mencukupi
kebutuhan masyarakat. yaitu meranti kuning (Shorea multiflora Sym.) dan tago
(Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume). Menurut keterangan masyarakat, dua
jenis kayu ini tidak bernilai tinggi dan hanya digunakan untuk kebutuhan rumah
tangga.

Kotak 4. Potensi kerusakan hutan dan kelangkaan tumbuhan kayu

Tabel 3. Pengambilan tumbuhan penghasil kayu dan ketersediaannya di lahan sekitar


permukiman

dbh ≥ 10 dbh 5 - 10 cm dbh 1-5 cm dbh < 1 cm


Total
Total Total Total
No Jenis Tumbuhan Penghasil Kayu Pemanfaatan Kerapatan Kerapatan Kerapatan Kerapatan
3 volume volume volume
Per Tahun (m ) (32 ha) 3 (32 ha) 3 (32 ha) 3 (32 ha)
kayu (m ) kayu (m ) kayu (m )
1 Shorea parvifolia Dyer. 216 80 3.73 40 0.29 80
2 Endospermum diadenum A. Shaw. 210 40 0.33
3 Shorea multiflora Sym. 132 40 203.93 120
4 Anisoptera marginata Korth. 126 40 4.59
5 Durio carimatus Mast. 120 440 29.76
6 Palaquium obovatum Engl. 105 640 43.58 40
7 Swintonia schwenkii T. & B. 90 120 68.89 120 0.48 320
8 Shorea bracteolata Dyer. 77 40 1.35
9 Ardisia sp. 45 80 0.95 40
10 Parashorea stellata Kurz. 41 40 34.70
11 Knema conferta Warb. 36 160 4.01
12 Zyzygium napiformis K. ef. V. 34 40 0.39 40
13 Ochanostachys amentacea Mast. 24 80 4.53 40 0.01 120
14 Macaranga pruinosa Muell. Arg. 24 520 6.28 280 1.27 40 0.06 120
15 Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume 12 40 15.42
16 Garcinia sp. 12 40
17 Santiria laevigata Bl. 12 40 0.01 40
18 Diospyros maritima Blume 6 40 1.56 40 0.20
19 Baccaurea sumatrana J.J.S. 6 80 3.28 40 0.03
20 Styrax benzoind Dryand. 6 120 4.23 40
21 Polyalthia lateriflora King. 6 160 4.57

dbh = diameter breast high; diameter batang setinggi dada

Nilai volume pemanfaatan kayu per tahun dikonversi ke jumlah pemanfaatan


seluruh penduduk Dusun Lubuk Pekan dengan asumsi setiap pengambilan
dilakukan dalam jumlah yang sama dan pengambilan dilakukan dalam kelompok
per 4 kepala keluarga (jumlah seluruh kepala keluarga Dusun Lubuk Pekan adalah
46 KK). Jumlah ketersediaan volume kayu dikonversi ke lahan seluas 32 ha dengan
asumsi tumbuhan kayu hanya tersedia di hutan (20 ha) dan sesap tua (12 ha).
BAGIAN 1-1 • Novasyurahati dan Endah Sulistyawati 35

PENUTUP

Ketersediaan sumberdaya tumbuhan Desa Baru Pelepat kini semakin menurun.


Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat dapat melakukan budidaya terutama
jenis-jenis tumbuhan yang paling banyak dibutuhkan seperti kemiri, belulu,
kepayang, pepaya, kemumu, mengkudu, meranti merah, pulai dan medang
senduk. Selain itu, jenis-jenis yang melimpah namun lebih jarang digunakan,
dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan.

Meski memiliki hutan dengan keanekaragaman jenis1 yang sangat tinggi, belum
banyak yang memahami arti tingginya keragaman jenis tersebut bagi perekonomian.
Berbagai hasil penelitian mengenai potensi sumberdaya alam, teknik pemanfaatan
lahan secara lestari misalnya wanatani, dan hubungan sumberdaya alam dengan
aspek sosial disajikan di bab empat dalam buku ini. Tulisan-tulisan tersebut
diharapkan dapat menjadi masukan baik bagi masyarakat maupun pemerintah
terkait, dalam mengelola sumberdaya alam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya sampaikan terimakasih sedalam-dalamnya kepada Ayah dan Bunda serta


keluarga tercinta, untuk segala kasih dan doa yang mengiringi tiap langkah hidup
saya. Terimakasih juga saya sampaikan kepada warga Desa Baru Pelepat, terutama
Pak Kuris dan keluarga untuk keramahan dan segala informasi yang disampaikan,
tim ACM Jambi atas dukungan dan masukan selama di lapangan, Carol Colfer
dan Linda Yuliani, atas masukan dan waktu yang diluangkan untuk berdiskusi,
serta seluruh staf pengajar dan teman-teman mahasiswa SITH ITB.

BAHAN BACAAN

America, W. M., Alonzo, D.S., Ilic, J., Ba, N. dan Hung, N.D. 1994. Endospermum
Benth. Dalam: Soerianegara, I. dan R. H. M. J. Lemmens (ed.) Plant
Resources of South-East Asia 5(1):193-200. PROSEA, Bogor,
Indonesia.

1 Indeks keanekaragaman hutan di Desa Baru Pelepat(3,26) hampir dua kali lebih tinggi dibanding hutan yang dikelola secara adat di Baduy (1,65)
(Fawnia, 2004).
36 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Fawnia, S. 2004. Keadaan Ekologis Hutan dan Lahan Bekas Ladang (reuma)
di Kawasan Adat Baduy. Skripsi Sarjana. Departemen Biologi ITB,
Bandung, Indonesia.
Johns, R. J., Wong, W.C., Ilic, J. dan Hoffman, M.H.A. 1994. Anisoptera Korth.
Dalam: Soerianegara, I. dan R. H. M. J. Lemmens. eds. Plant Resources
of South-East Asia 5(1):94-102. PROSEA, Bogor, Indonesia.
Kochummen, K. M., W. C. Wong, J. M. Fundter dan M. S. M. Sosef. 1994. Shorea
Roxb. Gaertner. f. (red meranti). Dalam: Soerianegara, I. dan R. H. M.
J. Lemmens. (ed.) Plant Resources of South-East Asia 5(1):384-404.
PROSEA, Bogor, Indonesia.
Novasyurahati, 2006. Penggunaan Sumber Daya Hutan di Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi dan Ketersediaan Sumber Daya di
Lahan Sekitar Permukiman. Skripsi Sarjana Biologi. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Odum, 1969. The Strategy of Ecosystem Development. Science Vol. 164:262-
270
BAGIAN 1-2
Potret Perubahan Tutupan Hutan
di Kabupaten Bungo 1990–2002

Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher


38 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN

Laju deforestasi di Indonesia sangat dahsyat. Jika 100 tahun yang lalu Indonesia
masih memiliki tutupan hutan total sekitar 170 juta ha, maka pada 2000 hanya
tersisa sekitar 98 juta ha, yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Di Sumatera,
luas penyusutan tutupan hutan antara 1985-1997 saja tidak kurang dari 67.000
km2 (FWI/GFW, 2001). Penyebab degradasi tutupan hutan ini secara umum
adalah pembalakan liar skala besar untuk pasokan industri perkayuan, perluasan
areal pertanian, pembukaan lahan untuk perkebunan besar swasta, dan bencana
kebakaran hutan.

Propinsi Jambi memiliki hutan dari beragam tipe ekosistem. Propinsi ini memiliki
hutan pegunungan dataran tinggi (tipe hutan sub-alpin) di daerah-daerah yang
membentang sepanjang Bukit Barisan, hutan dataran rendah di wilayah-wilayah
menuju pantai timur yang landai serta hutan rawa. Berbagai tipe ekosistem hutan
ini ditemukan di taman nasional berikut:
• Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang kawasannya berada di empat
propinsi (Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan), memiliki
tujuh tipe ekosistem yaitu hutan dataran rendah, hutan perbukitan, hutan
sub-montana, hutan sub-montana rendah, hutan sub-montana tengah,
hutan montana atas dan belukar sub-alpin.
• Taman Nasional Berbak (TNB): ekosistem dataran rendah rawa.
• Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT): ekosistem hutan dataran rendah
dan berbatasan dengan Propinsi Riau.
• Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD): ekosistem hutan dataran rendah
yang terletak di tengah-tengah Propinsi Jambi dan juga berfungsi sebagai
kawasan hidup dan penghidupan Orang Rimba1.

Keempat taman nasional tersebut menyimpan keanekaragaman hayati yang


cukup besar. Salah satu spesies kunci yang masih bertahan di TNKS adalah
harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis). Menurut laporan ICDP-TNKS
Komponen D (2002), mamalia besar ini merupakan salah satu spesies indikator
keanekaragaman hayati yang telah disepakati untuk dimonitor di TNKS, karena
jumlah populasinya yang jauh menurun akibat maraknya Perdagangan bagian
tubuhnya. Selain itu, juga terdapat gajah (Elephas maximus) yang ditemukan tidak
hanya di TNKS tetapi juga di TNBT.

1 TNBD sebagai kawasan hidup dan penghidupan Orang Rimba disebutkan dalam Surat Keputusan Menhutbun RI No. 258/Kpts-II/2000 yang menjadi
dasar pembentukan TNBD.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 39

Kelestarian keanekaragaman hayati di Propinsi Jambi terus menghadapi ancaman,


baik langsung maupun tidak langsung. Ancaman tersebut diantaranya pembukaan
hutan untuk lahan pertanian, penebangan liar, perburuan satwa, pengambilan
hasil hutan bukan kayu, serta penambangan emas dan mineral lainnya di
dalam kawasan hutan (ICDP-TNKS Komponen D, 2002). Selain itu, kekayaan
keanekaragaman hayati dapat dilihat secara sederhana dari luas tutupan hutan.
Menurut Departemen Kehutanan (2005)2, Propinsi Jambi pada 2002 memiliki
tutupan hutan 1.379.600 ha atau 27.05% dari luas propinsi. Jumlah tersebut sangat
jauh berkurang dibandingkan luas tutupan hutan pada 1990, yaitu 2.434.556 ha
atau 49,97% dari luas propinsi (KKI-WARSI/BirdLife, 2004).

Sektor kehutanan memiliki nilai yang sangat strategis bagi Propinsi Jambi, baik
dari segi ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya. Karena itu, pada 2004 KKI-WARSI
bekerjasama dengan BirdLife Indonesia dan berbagai pihak telah berupaya
menyusun sebuah dokumen yang informatif mengenai perubahan tutupan hutan
Jambi antara 1990-2000. Namun informasi dalam dokumen tersebut bersifat umum
dan ruang lingkupnya adalah propinsi, sehingga belum bisa memberi informasi yang
memadai untuk digunakan oleh pemerintah kabupaten, baik dalam perencanaan
maupun pengambilan keputusan pembangunan daerah. Untuk itu, pada 2005 KKI-
WARSI melakukan analisa khusus untuk Kabupaten Bungo. Analisa ini terutama
ditujukan untuk penyusunan bahan masukan kepada pemerintah Kabupaten
Bungo dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW/K) dan
sebagai data dasar bagi pihak lain yang membutuhkannya.

GAMBARAN UMUM KABUPATEN BUNGO

Kabupaten Bungo memiliki luas wilayah 716.000 ha (Bappeda dan BPS Bungo,
2003)3. Wilayah ini terletak antara 01o08’-01o55’ LS dan 101o27’-102o30’ BT.
Sebagian besar wilayah kabupaten masuk ke dalam Daerah Aliran Sungai (DAS)
Batang Tebo, yang menjadi sub-DAS dari DAS Batanghari. Secara administrasi,
Kabupaten Bungo berbatasan dengan:
• Sebelah utara: Kabupaten Dharmasraya dan Tebo
• Sebelah selatan: Kabupaten Merangin
• Sebelah barat: Kabupaten Dharmasraya dan Kerinci
• Sebelah timur: Kabupaten Tebo

2 http://www.dephut.go.id/INFORMASI/BUKU2/Rekalkukasi05/Lamp2_prov.pdf, Tabel Luas Lahan Provinsi Jambi di Dalam dan di Luar Kawasan
hutan (Ribu ha), diakses 21/05/2006.
3 Menurut hasil padu serasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), luas Kabupaten Bungo
adalah 683.400 ha.
40 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Wilayah Kabupaten Bungo memiliki ketinggian antara 100 hingga lebih dari
1.000 m dpl, dengan topografi datar hingga sangat curam (kemiringan lereng 0 -
> 40%). Tipe penggunaan lahan di kabupaten ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Penggunaan lahan di Kabupaten Bungo

No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Luas (%)


1 Hutan (TNKS) 4
71.700,00 10,01
2 Hutan negara/hutan belukar 241.654,00 33,75
3 Perkebunan 284.873,75 39,79
4 Pemukiman 18.890,75 2,64
5 Sawah 10.710 1,50
6 Tegal/huma/ladang/kebun 68.375,50 9,55
7 Padang/semak belukar/alang-alang 6.284,15 0,88
8 Kolam/empang 276,40 0,04
9 Sungai/danau/rawa 6.463,60 0,95
10 Lainnya 6.771,60 0,95
Sumber : Bappeda Bungo (2002)4

Jenis tanah yang mendominasi Kabupaten Bungo adalah latosol, podzolik, dan
komplek latosol-andosol. Wilayah Kabupaten Bungo memiliki kondisi geologis yang
kaya bahan tambang, misalnya batubara di Kecamatan Rantau Pandan (cadangan
40 juta ton), Kecamatan Jujuhan (150 juta ton) dan Kecamatan Muko-Muko
Bathin VII (9,75 juta ton). Deposit emas terdapat di Muara Bungo, Muko-Muko
Bathin VII, Rantau Pandan, Pelepat dan Pelepat Ilir. Selain itu ada juga potensi
pasir, kerikil, pasir kuarsa, granit, dan lain-lain. Pertambangan/pengalian yang
telah dikelola di Kabupaten Bungo adalah batubara di Rantau Pandan (1.943 ha),
Tanah Tumbuh (998 ha), Pelepat (2.573 ha), dan Jujuhan (100 ha) serta emas di
Muara Bungo (400 ha).

PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN BUNGO

Ekonomi Kabupaten Bungo sangat bergantung pada sektor perkebunan (kelapa


sawit dan karet), kehutanan dan pertambangan. Tingginya ketergantungan
terhadap ketiga sektor tersebut dapat menyebabkan tingginya ancaman terhadap
kelestarian sumberdaya alam. Hal ini juga tercermin pada beberapa produk
4 Luas taman nasional yang ada di Kabupaten Bungo menurut Departemen kehutanan adalah 38.800 ha. Sumber: Luas Kawasan Hutan Bungo
Berdasarkan Fungsi (http://www.Dephut.go.id/INFORMASI/INFPROP/Jambi/Biphut_Jambi.pdf, diakses 21/05/2006)
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 41

kebijakan seperti peraturan daerah (Perda), Surat Keputusan (SK) Bupati dan
lain-lain (Tabel-5).

Tabel 5. Produk kebijakan pemerintahan tentang pengelolaan sumberdaya alam

No. Nomor Perda Tentang


1. 18/2003 Pembentukan Organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan
2. 4/2002 Tata cara/Teknik Penyusunan Produk Hukum Daerah
3. 5/2002 Perubahan atas Perda No.10/2000 tentang Hasil Bumi
4. 6/2002 Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Ijin Pemungutan Hasil
Hutan
5. 7 /2002 Retribusi Hasil Hutan
6. 8/2002 Ijin usaha Hutan Tanaman
7. 10/2002 Penyelenggaraan Tugas Pemerintah Daerah di Bidang
Pertambangan dan Energi
8. 16/2002 Ijin Usaha Pertambangan Umum
9. 17/2002 Retribusi ijin usaha Pertambangan, Energi dan Lingkungan
Hidup
10. 22/2002 Rencana Umum Tata Ruang Kota Muaro Bungo Tahun 2001-
2011
11. 5/2000 Pengelolaan IPKR dan Pemungutan Retribusi Kayu asal Hutan
Rakyat/ Kebun Rakyat di Kabupaten Bungo (dicabut dan diganti
dengan Perda No.6/2002).
12. 6/2000 Pertambangan rakyat bahan galian emas (Golongan B) Kabupaten
Bungo (dicabut dan diganti dengan Perda No.5 Tahun 2001)
13. 5/2001 Pencabutan Perda Kabupaten Bungo No. 6 Tahun 2000 tentang
Pertambangan Rakyat bahan galian emas (Golongan B)
14. 10/2000 Retribusi Pangkalan Hasil Bumi dalam Kabupaten Bungo
16. 32/2000 Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Bungo tahun 2001
– 2005
17. 48/2000 Retribusi Sertifikat Tanah
Sumber : Bagian Hukum Setda Kabupaten Bungo (2005)

Tingginya eksploitasi terhadap potensi sumberdaya alam yang belum diiringi


skenario pembangunan berkelanjutan telah menyusutkan sumberdaya hutan
di Kabupaten Bungo. Hal itu tampak nyata pada hasil time-series analysis citra
Landsat 7 etm+ dari 1990, 2000 dan 2002. Hampir semua tutupan lahan yang
ada masuk ke dalam jenis hutan dataran rendah yang kondisinya sudah sangat
memprihatinkan.
42 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Gambar 4. Peta Citra Landsat 7 ETM+ Kabupaten Bungo tahun1990, 2000, 2002

Pada 1990 tutupan lahan berupa hutan di Kabupaten Bungo sebesar 195.386 ha
atau 42,78% dari luas kabupaten. Pada 2000 menjadi 27,71% dan pada 2002
menjadi 30,63% (Tabel-6). Terjadinya ’kenaikan’ tutupan hutan pada 2002
dibandingkan 2000 diduga karena adanya areal yang ’tidak teranalisa’ pada 2000
dan masuk kategori tidak ada data. Artinya jika pada 2000 bagian tutupan lahan
yang masuk kategori tidak ada data tersebut dapat dianalisa, sebenarnya tutupan
hutan masih di atas 30,63% tapi tetap lebih kecil dari kondisi 1990 sebesar 42,78%.
Secara keseluruhan di Kabupaten Bungo telah terjadi pengurangan tutupan lahan
berupa hutan antara 1990 sampai 2002 sebesar 55.420 ha atau sekitar 12,15% .

Tabel 6. Luas tutupan lahan hutan Kabupaten Bungo

Tahun 1990 Tahun 2000 Tahun 2002


Tutupan Lahan
Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%)
Hutan 195.386 42,78 126.589 27,71 139.896 30,63
Bukan Hutan 137.803 30,17 216.210 47,33 316.145 69,21
Tidak Ada Data 123.586 27,06 113.975 24,95 733 0,16
Total 456.774 100,00 456.774 100.00 456.774 100.00
Sumber: Pengolahan citra Landsat tahun 1990, 2000 dan 2002 oleh Laboratorium GIS WARSI

Dari hasil analisa diketahui tutupan hutan pada 2002 adalah sebesar 139.896 ha
atau 30,63% sementara tutupan lahan berupa bukan hutan 69,21% dan tidak
ada data sebesar 0,16 %. Melihat persentase ‘tidak ada data’ yang sangat kecil,
maka hasil analisa citra satelit 2002 merupakan informasi aktual yang sangat bisa
dipercaya yang memperlihatkan kondisi tutupan hutan yang ada di Kabupaten
Bungo pada 2002. Dari data citra satelit diketahui penyebaran hutan ada di bagian
barat daya Kabupaten Bungo, mencakup beberapa lokasi seperti Tanah Tumbuh,
Rantau Pandan dan Pelepat. Selain itu, tutupan hutan itu juga merupakan bagian
kawasan hutan TNKS.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 43

Tahun 2002 30,63% 69,21%


0,16%

Tahun 2000 27,71% 47,33% 24,95%

Tahun 1990 42,78% 30,17% 27,06%

0,00% 20,00% 40,00% 60,00% 80,00% 100,00%

Hutan Bukan Hutan Tidak ada data

Gambar 5. Perubahan tutupan lahan di Kabupaten Bungo 1990-2002

KEMANAKAH HILANGNYA HUTAN BUNGO?

Selama kurun 1990-2002, lebih dari 12% hutan alam telah ditebang. Laju
musnahnya hutan di kabupaten ini setara dengan 12 kali lapangan sepak bola
per hari. Hilangnya tutupan hutan terutama akibat dari pemberian ijin konsesi
HPH, konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pembukaan permukiman
transmigrasi, dan pemberian IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) pada masa awal
desentralisasi.

Pemberian Konsesi HPH


Terdapat beberapa perusahaan pemegang ijin HPH yang pernah aktif di Kabupaten
Bungo antara 1990-2002. Pada masa itu, Kabupaten Bungo masih menyatu dengan
Kabupaten Tebo. Perusahaan-perusahaan HPH itu antara lain adalah PT. Rimba
Karya Indah (PT. RKI) dan PT. Mugitriman Intercontinental yang kemudian
diambil alih oleh PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule.

PT. RKI mengantongi ijin operasi seluas 87.000 ha5, dengan ijin operasi selama 20
tahun hingga 29 Februari 2008 (Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 2002). Lokasi
areal operasinya terletak di Kecamatan Rantau Pandan.

Berdasarkan laporan Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, selama 10 tahun pertama


produksi sampai dengan RKL II-1996/1997 telah mencakup wilayah seluas

5 Perijinan diberikan dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 13/ Kpts-IV/1987 tertanggal 12 Januari 1987. Kemudian ijin tersebut
diadendum mengenai luas kawasan HPH dengan SK Menteri Kehutanan No. 119/Kpts-IV/1988 tertanggal 29-02-1988
44 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

13.470 ha dengan produksi sebesar 431.501 m3 kayu. Produksi kayu komersial


yang dipanen meliputi jenis dipterokarpus 241.256 m3, non-dipterokarpus
komersial sebanyak 119.375 m3 dan jenis kayu komersial lainnya sebanyak 70.870
m3. Jumlah angka-angka ini hanya yang tertulis di laporan saja, sementara jumlah
produksi yang sebenarnya tidak diketahui pasti. Laporan ICDP-TNKS Komponen
C1 (2001) menunjukkan kegiatan pembalakan kayu yang dilakukan perusahaan ini
tidak memenuhi kaidah kelestarian, misalnya penebangan kayu tetap dilakukan di
wilayah yang tanahnya sangat miskin hara, sehingga mustahil terjadi regenerasi.

Pada 1997 perusahaan ini meninggalkan kawasan HPH-nya akibat konflik dengan
masyarakat setempat. Konflik ini sebenarnya telah dimulai sejak 1995 dan semakin
membesar pada akhir 1997 seiring dengan mulai berhembusnya angin reformasi.
Sebagian besar konflik dengan masyarakat ini berakar dari penetapan sepihak areal
konsesi oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Padahal sebagian besar
wilayah yang ditetapkan sebagai areal konsesi tersebut merupakan wilayah adat.
Kondisi tersebut diperparah dengan pendekatan ‘keamanan’ yang diterapkan oleh
perusahaan dalam kegiatannya, yaitu menggunakan tenaga aparat militer untuk
meredam berbagai persoalan yang muncul dengan masyarakat.

Menurut aturan, walaupun perusahaan HPH sudah tidak aktif beroperasi, mereka
masih bertanggung jawab untuk mengamankan kawasannya. Kenyataannya,
berdasarkan audit HPH yang dilakukan ICDP-TNKS Komponen C2 (2001)
dilaporkan bahwa perusahaan tidak melakukan tindakan penjagaan atas kawasan
ini. Menurut Sarbi dalam Laporan Teknis No.4 ICDP-TNKS Komponen C1
(2001), keadaan tersebut memicu maraknya pembalakan liar di dalam kawasan
HPH PT. RKI. Pembalakan liar dapat ditemukan hampir di setiap sudut kawasan
konsesi, terutama di blok timur laut yang masuk ke dalam wilayah kecamatan
Tanah Tumbuh dan blok barat laut di Kecamatan Rantau Pandan.

HPH lainnya adalah PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule6, sebuah perusahaan milik
pemerintah, yang memegang ijin hingga 27 Februari 2018 dengan luas kawasan
konsesi 49.450 ha. PT. Inhutani V ini mengambil alih konsesi dari HPH PT.
Mugitriman Intercontinental7. Awalnya, kawasan konsesi ini oleh PT. Inhutani
V diperuntukkan bagi HPHTI tapi kemudian tidak mampu mengelolanya. PT
Inhutani V hanya mampu aktif hingga 2001 (Dinas Kehutanan Propinsi Jambi,
2002). Kawasan HPH ini terletak di empat lokasi di Kecamatan Tanah Tumbuh,
Pelepat dan Rantau Pandan.

6 Ijin konsesi HPH melalui SK Menteri Kehutanan No. 334/Kpts-II/1998


7 PT. Mugitriman Intercontinental beroperasi sejak 1975 kemudian dilimpahkan kepada PT. Inhutani V berdasarkan SK No. 1061/Kpts-II/1992
tertanggal 16-11-1992 dan berakhir tanggal 9 – 10 – 1996.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 45

Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan


Perkebunan kelapa sawit mulai menjamur dan menjadi primadona di Jambi
(termasuk Kabupaten Bungo) pada awal 1990-an. Sampai pada 2000 luas
perkebunan sawit mencapai 32.843 ha dengan produksi sebesar 157.973 ton per
tahun (Bappeda Bungo, 2002). Terdapat beberapa pola pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang dilakukan, mulai dari pola PBS (Perkebunan Besar Swasta), PIR
Trans (Pola Inti Rakyat Transmigrasi), Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA)
dan perkebunan rakyat.

Pola pengembangan PBS atau lebih akrab disebut dengan pola PBSN (Perkebunan
Besar Swasta Nasional) dapat berkembang karena adanya pelepasan kawasan
hutan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada 1998. Demikian juga
pola perkebunan PIR Trans mulai dikenal dengan masuknya perusahaan besar PT.
Jamika Raya8. Bahkan jauh sebelumnya, pada 1993/1994 pemerintah juga telah
mengeluarkan ijin pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan ini sehingga total
pelepasan kawasan hutan untuk PT. Jamika Raya mencapai 20.603 ha.

Selanjutnya pada 1991 PT. Sari Aditya Loka9 (SAL) masuk ke Jambi dengan luas
perkebunan inti sebesar 5.000 ha dan plasma 27.000 ha. Awalnya perusahaan
ini hanya beroperasi di Kabupaten Sarolangun Bangko10 tapi kemudian diperluas
hingga Kabupaten Bungo, yaitu di Kuamang Kuning. Lokasi perkebunan kelapa
sawit PT. SAL sendiri berada di tiga lokasi yaitu di Kebun Hitam Ulu, Kuamang
Kuning dan Tanah Garo. Di Kuamang Kuning saja sampai 2000/2001 realisasi
tanam total untuk kebun plasma dan inti mencapai 33.151 ha.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini Departemen


Kehutanan melalui pelepasan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit,
telah menjadi salah satu sebab utama berkurangnya tutupan hutan di Kabupaten
Bungo antara 1990 - 2000.

Transmigrasi
Pembukaan lahan hutan untuk transmigrasi turut berperan mempercepat laju
kehilangan hutan. Menurut data Bappeda dan BPS Bungo (2003), program

8 PT. Jamika Raya mengantongi ijin dengan surat keputusan pelepasan kawasan hutan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 720/KPTS-II/ 1989
pada 24 November 1989.
9 PT. SAL mengantongi SKPT Gubernur No. 23 th 1992 tertanggal 23 Januari 1992 dan ijin BPN No. 332 th 1991 tertanggal 8 Agustus 1991. Sumber:
Kawasan Hutan yang telah Mendapat SK Pelepasan dari Menhutbun di Provinsi Jambi. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INFPROP/Jambi/
Pelepasan.htm, diakses pada 21/05/2006.
10 Sejak 2000 Kabupaten Sarolangun Bangko telah menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.
46 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

transmigrasi dimulai pada 1983 dengan jumlah penduduk transmigran sebanyak


9.669 jiwa yang tersebar di daerah Kuamang Kuning I sampai Kuamang Kuning V.
Hingga 1990 jumlah transmigran bertambah menjadi 31.305 jiwa dan tersebar di
Kuamang Kuning I-X dan Kuamang Kuning XIV-XIX, daerah Dusun Danau, Desa
Datar dan Jujuhan I. Pada 2002 jumlahnya bertambah lagi menjadi 39.754 jiwa
dan penyebarannya pun meluas ke Jujuhan II-V, Baru Pelepat dan Rantau Pandan.
Sedangkan berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK) transmigran sampai 2002
berjumlah 9.172 KK.

Apabila setiap KK transmigran memerlukan 4 ha lahan11, maka luas bukaan


hutan yang diperlukan untuk 9.172 KK tersebut sekitar 36.688 ha. Jadi, program
transmigrasi ini telah turut menyumbang pengurangan tutupan hutan yang ada di
Kabupaten Bungo. Selain itu, bertambahnya jumlah penduduk secara drastis juga
meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam lainnya.

Perambahan Hutan dan Pembalakan Liar


Perambahan hutan juga merupakan salah satu penyebab utama penyusutan
tutupan lahan hutan yang ada di Kabupaten Bungo. Perambahan lahan biasanya
dilakukan untuk mengubah lahan bekas tebangan para pembalak liar menjadi
ladang. Awalnya, perambahan terjadi di kawasan-kawasan bekas konsesi yang
ditinggalkan oleh pemegang ijin HPH seperti kawasan PT. RKI. Hal ini terjadi
karena para perambah lahan memanfaatkan kemudahan infrastruktur yang
dibuat untuk perusahaan, misalnya akses jalan dan lainnya. Kemudian kegiatan
perambahan hutan dan lahan ini meluas ke tempat-tempat lain di luar kawasan
bekas konsesi HPH. Meskipun belum ada data pasti mengenai luas total perubahan
hutan akibat perambahan hutan menjadi ladang dan penggunaan lahan lainnya,
tetapi pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan perambahan hutan
ini turut menyebabkan pengurangan tutupan hutan yang ada di Kabupaten
Bungo.

Sedangkan kegiatan pembalakan liar menjadi marak sejak para pemegang ijin
HPH meninggalkan begitu saja areal konsesinya di kabupaten ini, terutama sejak
masa reformasi yang kemudian diikuti dengan penerapan otonomi daerah pada
2000. Masa kejayaan HPH sudah lewat tapi permintaan terhadap bahan baku
kayu tetap tinggi. Gabungan dari berbagai kondisi inilah yang akhirnya membuat
tempat-tempat penggergajian atau sawmill banyak bermunculan, dan kegiatan
pembalakan liar pun semakin menjamur.

11 Setiap KK mendapat jatah lahan berupa lahan pekarangan (LP) seluas 0,25 Ha, Lahan Usaha I (LU I) seluas 1 ha, LU II seluas 0,75 ha dan kebun
plasma seluas 2 ha.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 47

140000
120000 79307,14
100000
80000 45563,59
60000
40000 4003,8 48029,05
31894,54
20000
1700,13
0
2000 2001 2002

Kayu olahan Kayu bulat

Gambar 6. Produksi kayu olahan dan kayu bulat (m3) tahun 2000-2002.
Sumber: Bappeda dan BPS Bungo (2003)

Menurut data Bappeda dan BPS Bungo (2003), pada 2002 produksi kayu
olahan dan kayu bulat di kabupaten ini masing-masing sebesar 48.029,05 m3 dan
79.307,14 m3 (Gambar 6). Pada rentang waktu 2000-2002 terjadi peningkatan
produksi yang luar biasa. Pada 2000 produksi baik kayu olahan maupun kayu bulat
hanya 5.703,93 m3, meningkat sangat tajam menjadi 74.458,13 m3 pada 2001 dan
menjadi 127.339,19 m3 pada 2002. Laju peningkatan itu dipasok dari kegiatan
pembalakan liar, karena pada masa itu sudah tidak ada lagi HPH.

Pemberian Ijin Eksploitasi Hutan oleh PEMDA


Otonomi daerah telah mendorong pelimpahan wewenang pengelolaan
sumberdaya alam dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini
mendorong banyaknya ijin-ijin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh
pihak kabupaten, seperti IPHH dan IPKR.

Pada beberapa kasus, dengan berkedok IPKR dan IPHH serta alasan peningkatan
pendapatan anggaran daerah, sumberdaya hutan kembali mengalami tekanan.
Tidak jarang IPKR hanya dijadikan alat oleh para pembalak liar untuk ”melegalkan”
kayu ilegal; misalnya IPHH yang diberikan pada CV. Beringin Hijau, yang berlokasi
di Desa Batu Kerbau. Berdasarkan hasil investigasi KKI-WARSI, perusahaan ini
mengantongi lima ijin kegiatan. Ini berarti 500 ha hutan kembali dieksploitasi.
Belum lagi perilaku buruk para pemegang IPHH yang melakukan penyimpangan
dalam kegiatannya di lapangan. Pemegang ijin IPHH kerap menggunakan alat
berat, meski hal itu dilarang. Dengan adanya alat berat ini perusahaan beroperasi
48 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

sampai di luar wilayahnya dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih


parah. Pelibatan koperasi, sebagai cerminan kerjasama dengan masyarakat, tidak
diindahkan, dan kadang hanya melibatkan koperasi fiktif. CV. Beringin Hijau itu
telah melakukan penjarahan hutan adat masyarakat pada 2003.

Pemegang IPHH Jarah Hutan Adat


JAMBI, KOMPAS — Meskipun terbukti dan mengaku menjarah hutan adat dan hutan
desa di Desa Batang Kibul, Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin, pihak manajemen CV
Beringin Hijau hingga kini belum membayar denda adat.

Padahal, sebelumnya pihak pengusaha yang memegang ijin pemanfaatan hasil hutan
(IPHH) di Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, yang bertetangga
dengan Desa Batang Kibul itu sepakat membayar denda pada 5 November 2003.

Pemimpin CV Beringin Hijau, Daud, kepada Kompas, Selasa (10/2) petang, menyangkal
bahwa pihaknya telah setuju membayar denda. “Pada waktu itu saya tidak menerima
untuk membayar denda, tetapi masih pikir-pikir” ujarnya.

Menurut Daud, dia menyatakan masih harus pikir-pikir dulu karena masalah kayu tidak
ada hubungannya dengan masyarakat. Kewajiban terhadap negara akan dibayar kalau
urusan dengan Dinas Kehutanan Jambi sudah selesai,” kata Daud.

Lokasi hutan di Desa Batang Kidul terletak sekitar 275 kilometer sebelah barat Kota
Jambi. Adapun denda adat yang harus dibayar perusahaan itu Rp 10 juta. Deputi Direktur
LSM Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI Jambi, Rakhmat Hidayat, menyatakan,
tokoh masyarakat Desa Batang Kibul, Datuk Tiang Panjang, telah melaporkan masalah
tersebut kepada Gubernur Jambi melalui surat yang dikirimkan pada 23 Januari 2004.

“Dalam suratnya, Datuk Tiang Panjang mohon kepada gubernur membantu menyelesaikan
masalah ini karena jika berlarut-larut, dikhawatirkan masyarakat mengambil tindakan
sendiri,” ujar Rakhmat.

Meskipun telah ada kesepakatan antara masyarakat dan CV Beringin Hijau, Dinas
Kehutanan Jambi bersama Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin pada 7 November
2003 melakukan penyitaan 650 batang kayu dan sebuah buldoser. “Kayu dari jenis
meranti dan tembalum yang disita dijarah dan hutan adat dan hutan Desa Batang Kibul.
Sedangkan buldoser disita di lokasi,” ungkap Rakhmat.

LSM KKI-Warsi saat ini sedang memfasilitasi masyarakat Desa Batang Kibul guna
memproses permohonan pengukuhan hutan adat setempat yang diberi nama Imbo
Pusako dan Imbo Parobokalo seluas 800 ha.

Hutan adat Desa Batang Kibul merupakan sumber air bagi masyarakat setempat untuk
kegiatan pertanian, mengairi sawah, kolam ikan, dan air minum. Kawasan hutan ini
kaya akan hasil hutan nonkayu, misal rotan, manau, jernang, damar. (NAT- Kompas,
11/2/2004).
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 49

PENUTUP

Luas tutupan hutan Kabupaten Bungo 2002 sebesar 30,63% telah mendekati
ambang batas yang ditetapkan dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
sebesar minimal 30% dari luas DAS atau pulau atau wilayah dengan sebaran yang
proporsional. Luas hutan minimal 30% dengan sebaran proporsional tersebut
merupakan angka normatif, yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa
Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar wilayahnya mempunyai
curah hujan dengan intensitas yang tinggi, serta konfigurasi daratan yang
bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan
tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi serta kekurangan air. Untuk penerapan
UU No. 41/1999 di lapangan, diharapkan setiap propinsi dan kabupaten/kota
menetapkan kawasan hutan yang harus dilindungi berdasarkan kondisi biofisik,
iklim, penduduk dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat, untuk menjaga
keseimbangan daya-dukung wilayah dan kelestarian fungsi ekosistem.

Menurut Sugandhy (1999), dalam tata ruang suatu wilayah, untuk menjaga
sumber air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air permukaan, dan
kawasan pengamanan mata air, minimal 30% dari luas wilayah harus diupayakan
adanya tutupan tegakan pohon. Bentuknya dapat bermacam-macam, misalnya
hutan lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lain-lain.
Sedangkan hasil penelitian Deutsch dan Busby (2000), menunjukkan sedimentasi
dapat meningkat secara drastis apabila suatu sub daerah aliran sungai mengalami
penurunan penutupan hutan dibawah 30% dan apabila terjadi pembukaan lahan
pertanian lebih dari 50%.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, propinsi dan kabupaten atau kota yang


mempunyai luas hutan yang lebih dari 30% tidak boleh secara bebas mengurangi
luas tutupan hutannya dari luas yang ditetapkan. Oleh karena itu luas minimal
juga tidak boleh dijadikan dalih untuk terus mengeksploitasi hutan yang ada.
Apalagi dikonversi atau diubah tutupan lahannya untuk penggunaan lain,
misalnya perkebunan, pertanian, permukiman dan sebagainya. Luas minimal ini
selayaknya dilihat sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi
kualitas hidup masyarakat. Apalagi jika mengingat bahwa sebenarnya dari tutupan
hutan yang tersisa, sebagian besar yaitu sekitar 71.700 ha merupakan bagian dari
kawasan TNKS yang memang secara hukum tidak boleh dieksploitasi atau diubah
penggunaan lahannya.

Sebaliknya, wilayah yang memiliki luas tutupan hutan kurang dari 30% harus
menambah luas hutannya. Batas minimal kondisi hutan di Kabupaten Bungo
50 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

harus menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan kembali tata ruang yang
ada di kabupaten. Upaya penambahan tutupan hutan bisa pula dikombinasikan
dengan berbagai macam cara. Pengembangan sistem wanatani dengan berbagai
pola bisa diterapkan di berbagai wilayah kabupaten, disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya ekonomi masyarakat. Selain itu implementasi penambahan tutupan
hutan bisa pula melalui pembangunan hutan wisata, hutan pendidikan, hutan
adat, atau mendorong terbentuknya hutan desa. Pelaksanaannya bisa melalui
program dinas-dinas terkait ataupun dengan menggalang kerjasama dengan
berbagai pihak.

Semangat memacu pembangunan daerah demi kesejahteraan rakyat memang


harus menjadi agenda pemerintah dan semua pihak. Akan tetapi pembangunan
yang terlalu bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam dan hasil jangka pendek
tanpa pertimbangan keberlanjutan dan kelestarian telah mengakibatkan bencana
banjir, longsor dan menurunnya pasokan air bersih seperti yang terjadi baru-baru
ini di beberapa wilayah Indonesia. Selain itu, meluasnya lahan rusak dan hilangnya
berbagai plasma nutfah justru tidak ternilai dan tidak bisa dibandingkan dengan
pertumbuhan pembangunan yang telah dicapai. Apa yang telah terjadi dengan
hutan di Bungo harus menjadi bahan renungan bagi semua pihak yang terkait.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua anggota tim penyusun ”Potret


Hutan Jambi” baik dari KKI-WARSI maupun dari Birdlife Indonesia atas
kesediaannya mengizinkan data dan informasi dalam dokumen tersebut dijadikan
bahan dasar tulisan ini. Terimakasih juga kepada anggota Forum Diskusi
Multipihak Kabupaten Bungo yang telah mendukung lahirnya ”bahan masukan
terhadap revisi RTRW/K Bungo” yang merupakan versi awal tulisan ini, serta
CIFOR, Inspirit dan pihak-pihak lainnya yang telah memungkinkan tulisan ini
tersaji kehadapan pembaca sekalian yang budiman.
BAGIAN 1-2 • Kurniadi Suherman dan Mahendra Taher 51

BAHAN BACAAN

Anonim. 1999. Undang Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Jakarta, Indonesia.
Bappeda Bungo. 2002. Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten Bungo tahun
2001-2005. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten
Bungo, Muara Bungo, Indonesia.
Bappeda dan BPS Bungo. 2002. Penggunaan Lahan Kabupaten Bungo tahun 2002
(Pendekatan Penghitungan Dinas/Instansi Terkait). Kerjasama Badan
Perencanaan dan Pembangun Daerah Kabupaten Bungo dan Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Bappeda dan BPS Bungo. 2003. Bungo dalam Angka tahun 2002. Kerjasama
Badan Perencanaan dan Pembangun Daerah Kabupaten Bungo dan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Bagian Hukum Setda Kabupaten Bungo, 2005. Bundel Lembar Kebijakan Daerah
Kabupaten Bungo sampai tahun 2004. Pemerintah Daerah Kabupaten
Bungo, Muara Bungo, Indonesia.
Departemen Kehutanan. 2005. Tabel Luas Lahan Provinsi Jambi di Dalam dan
di Luar Kawasan Hutan (Ribu ha). http://dephut.go.id/INFORMASI/
BUKU2/ Rekalkulasi05/ Lamp2_prov.pdf, diakses 21/05/2006.
Departemen Kehutanan. 2003. Luas Kawasan Hutan Kabupaten Bungo
Berdasarkan Fungsi. http://dephut.go.id/INFORMASI/INFOPROP/
Jambi/Biphut Jambi.pdf diakses 21/05/2006.
Departemen Kehutanan. 2003. Kawasan Hutan yang Telah Mendapat SK
Pelepasan dari Menhutbun di Prov. Jambi, Data s/d Desember 2002.
http://dephut.go.id/INFORMASI/INFOPROP/Jambi/Pelepasan.htm,
diakses 21/05/2006.
Deutsch, G.W. dan Busby, L.A. 2000. Community-Based Water Quality
Monitoring: from Data Collection to Sustainable Management of Water
Resources. Land and Water Development Division, FAO, Roma, Itali.
Dinas Kehutanan Propinsi Jambi. 2002. Statistik Kehutanan 2002 Propinsi Jambi.
Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, Jambi, Indonesia.
FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia,
Bogor, Indonesia.
KKI-WARSI/BirdLife. 2004. Potret Hutan Jambi. KKI-Warsi Jambi dan BirdLife
Indonesia, Bogor, Indonesia
52 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kompas. 2004. Pemegang IPHH Jarah Hutan Adat. Edisi 11 Februari 2004. http://
kompas.com/kompas-cetak0402/11/daerah.
Masnang, A. 2003. Konversi Penggunaan Lahan Kawasan Hulu dan Dampaknya
terhadap Kualitas Sumberdaya Air di Kawasan Hilir. http://tumotou.
net/6-sem2-023/grp-indv6.htm-52K.
Sugandhy, A. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Indonesia.
ICDP-TNKS Komponen C1. 2001. Laporan Teknis No. 4 Kawasan Penting Bagi
Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem Kerinci Seblat, Kawasan
Hutan RKI Finger, ICDP-TNKS Komponen C1.
ICDP-TNKS Komponen-C2. 2001. Laporan Hasil Audit HPH di Sekitar TNKS.
ICDP-TNKS Komponen C2.
ICDP-TNKS Komponen D. 2002. Laporan Akhir Monitoring dan Evaluasi PPWK.
ICDP-TNKS Komponen D.
BAGIAN 1-3
Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo,
Jambi

Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent


54 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN

Kabupaten Bungo mencakup area seluas 4.500 km2 di bagian barat Propinsi Jambi,
70% di antaranya terletak pada ketinggian 100-750 m dpl dengan kemiringan
kurang dari 40%. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS), yang merupakan taman nasional terbesar di Pulau
Sumatera dengan luasan 13.750 km2. Sekitar 30 tahun yang lalu, berdasarkan
citra satelit Landsat MSS, kawasan hutan dataran rendah di kabupaten ini sempat
menghubungkan TNKS dengan dua taman nasional lainnya, yaitu Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh di sebelah utara dan Taman Nasional Bukit Dua Belas sebelah
timur (Gambar 7). Berdasarkan hal ini dapat diperkirakan bahwa Kabupaten
Bungo pernah memiliki tingkat ke anekaragaman hayati yang cukup tinggi. Bahkan
saat ini, dengan kondisi tutupan hutan yang semakin menipis dan digantikan oleh
ratusan ribu hektar perkebunan karet dan kelapa sawit, Kabupaten Bungo tetap
memegang peranan penting sebagai koridor yang menghubungkan ketiga taman
nasional di Pulau Sumatera tersebut.

Gambar 7. Citra satelit Landsat MSS tahun 1973 memperlihatkan kawasan hutan di Kabupaten
Bungo yang menghubungkan 3 kawasan taman nasional di Propinsi Jambi
BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 55

World Agroforestry Center (ICRAF) melakukan kegiatan penelitian sejak 1997


dengan fokus keanekaragaman hayati di kebun karet campur milik masyarakat di
Kabupaten Bungo. Penelitian ini berkaitan erat dengan penelitian mengenai jasa
lingkungan yang diberikan masyarakat dalam menjaga keanekaragaman hayati di
daerah yang luas hutannya tak lagi memadai. Kebun karet campur adalah bentuk
wanatani (agroforestry) yang memadukan karet dengan tanaman keras lainnya.
Di Kabupaten Bungo, yang paling umum dijumpai adalah paduan antara karet
dengan buah-buahan. Tipe tutupan lahan ini seringkali disebut hutan karet
karena struktur vegetasinya yang amat mirip dengan hutan.

Aplikasi penginderaan jauh digunakan untuk melihat sejarah dan dinamika


bentang lahan dalam usaha mempelajari karakteristik kebun karet campur
(wanatani karet) dan tutupan lahan lainnya di Kabupaten Bungo. Hasilnya cukup
mengejutkan: luasan wanatani karet cenderung stabil sedangkan di sisi lain lebih
dari setengah lahan berhutan di Kabupaten Bungo (210.000 ha) berubah menjadi
bukan hutan dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1970. Fakta yang menyedihkan
mengingat Kabupaten Bungo dan Propinsi Jambi adalah salah satu daerah di
Sumatera yang dulu kaya akan hutan dataran rendah, yang menjadi habitat bagi
berbagai jenis flora dan fauna. Tentunya hal ini harus disikapi secara bijaksana oleh
para pihak dengan perencanaan lahan yang lebih matang berdasarkan keadaan
saat ini. Tulisan ini akan memaparkan secara singkat bagaimana sejarah bentang
lahan Kabupaten Bungo berdasarkan analisa spasial dan aplikasi penginderaan
jauh.

TUTUPAN LAHAN KABUPATEN BUNGO


1970-2002

Aplikasi penginderaan jauh yang paling populer adalah pembuatan peta historis
tutupan lahan suatu area. Untuk Kabupaten Bungo, lima citra satelit Landsat
digunakan untuk menganalisa dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo sejak
1970-2002. Kelima citra satelit tersebut masing-masing direkam pada: 1973, 1988,
1993, 1999, dan 2002. Resolusi spasial yang digunakan adalah 30 m atau setara
dengan peta berskala 1:100.000.

Untuk dapat melakukan pemetaan tutupan lahan secara akurat, dilakukan


pengumpulan data lapangan yang juga berfungsi untuk menguji tingkat akurasi
peta tutupan lahan yang dihasilkan. Tingkat akurasi untuk peta 2002 adalah
87%, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan kesalahan interpretasi sebesar
56 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

13% dalam peta tutupan lahan tersebut. Tingkat akurasi tersebut sudah cukup
memadai untuk analisa lebih lanjut.

Gambar 8 memperlihatkan peta historis tutupan lahan yang dihasilkan melalui


proses interpretasi citra satelit Landsat. Secara jelas dapat dilihat pengurangan
tutupan hutan secara drastis dan ekspansi perkebunan karet dan kelapa sawit
dalam luasan yang cukup besar. Dapat dilihat juga luasan area agroforestry yang
cukup stabil, di sepanjang aliran sungai.

Gambar 8. Peta tutupan lahan Kabupaten Bungo tahun 1970-2002. Dikompilasi dari hasil
interpretasi citra Landsat pada 1973, 1988, 1993, 1999, dan 2002

Gambar 9 menunjukkan dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo pada 1970-


2002 secara keseluruhan. Tutupan hutan turun dari hampir 350.000 ha (76%)
pada 1973 menjadi hanya 130.000 ha (29%) pada 2002. Tutupan hutan yang
tersisa pada 2002 hampir seluruhnya berlokasi di daerah dengan ketinggian di atas
750 m dpl dan kemiringan mendekati 40%, sementara areal hutan di daerah datar
(peneplain) dapat dikatakan telah hilang seluruhnya. Perkebunan karet meningkat
secara bertahap dari 10.000 ha (2,3%) pada 1973 menjadi 130.000 ha (28,5%)
di 2002. Perkebunan kelapa sawit juga mengalami peningkatan yang signifikan,
dimulai dari 6.000 ha (1,4%) menjadi 58.000 ha (12,9%). Wanatani karet dapat
BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 57

dikatakan cenderung stabil dengan luasan sekitar 68.000 ha (15%) pada 1973
menjadi 54.000 ha (12%) pada 2002. Secara keseluruhan, jenis tutupan lahan
yang paling dominan di Kabupaten Bungo adalah perkebunan monokultur (karet
dan kelapa sawit) yang mencapai 41,4% dari total luasan Kabupaten Bungo.

400000

350000

300000

250000

200000

150000

100000

50000

0
Hutan Wanatani karet Perkebunan Kelapa sawit Sawah Semak Pemukiman
karet

1973 ha 1988 ha 1993ha 1999 ha 2002 ha

Gambar 9. Perubahan tutupan lahan Kabupaten Bungo 1973-2002

Deforestasi dan Ekspansi Perkebunan Karet dan


Kelapa Sawit
Dari data tutupan lahan di atas bisa disimpulkan bahwa deforestasi dalam
jumlah besar telah terjadi sepanjang tahun sejak 1973 sampai 2002. Gambar 10
menunjukkan lokasi deforestasi dari empat periode yang berbeda. Laju deforestasi
dari keempat periode tersebut tidak sama, bahkan cenderung menurun pada
periode terakhir. Antara 1973-1988, lebih dari 100.000 ha hutan terdeforestasi
dengan laju deforestasi (annual deforestation rate) sebesar 6.600 ha/tahun (Tabel
7). Jumlah ini cenderung menurun di periode-periode berikutnya (Tabel 8), pada
periode terakhir (1999-2002), laju penurunan kawasan hutan adalah sebesar
1.150 ha/tahun. Walaupun laju deforestasi cenderung menurun, beberapa hal
perlu diwaspadai. Salah satunya adalah lokasi deforestasi baru di periode 1999-
2002 yang mulai merambah ke daerah dataran tinggi di sebelah selatan Kabupaten
Bungo.
58 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Berubah menjadi apakah tutupan hutan Kabupaten Bungo setelah terdeforestasi?


Jawaban atas pertanyaan ini sama pentingnya dengan analisa tentang laju
deforestasi. Kelima peta tutupan lahan yang telah dibuat memberikan jawaban
yang cukup jelas mengenai hal ini. Pada periode 1973-1988, 53% luasan hutan
yang terdeforestasi berubah menjadi perkebunan karet, 23% menjadi wanatani
karet dan hanya sekitar 3% yang berubah menjadi perkebunan kelapa sawit (Tabel
8). Pembalakan (logging) yang dalam hal ini ditandai dengan perubahan hutan
menjadi semak belukar, terjadi sebesar 17% (16.790 ha) dari total deforestasi di
periode 1973-1988.

Tabel 7. Deforestasi & konversi lahan di Kabupaten Bungo tahun 1973-2002

Periode Total (ha) Persentase Laju Laju


Deforestasi dari luasan deforestasi deforestasi
hutan per-tahun (ha) per-tahun (%)
sebelumnya
Tahun 1973-1988 100159,0 28,9% 6677,3 1,9%
Tahun 1988-1993 51043,3 21,2% 3402,9 1,4%
Tahun 1993-1999 28033,5 14,8% 1868,9 1,0%
Tahun 1999-2002 17391,4 11,8% 1159,4 0,8%

Gambar 10. Peta deforestasi Kabupaten Bungo 1973-2002


BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 59

Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa konversi lahan hutan menjadi kelapa sawit
cenderung meningkat dari periode ke periode, dari hanya sekitar 3% di periode
1973-1988 menjadi 44% (123,26 ha) di periode 1993-1999 walaupun kemudian
menurun menjadi 28% (860,7 ha) di periode 1999-2002. Konversi hutan menjadi
perkebunan karet cenderung menurun dari 53% di periode 1973-1988 menjadi
32% (5.644 ha) di periode 1999-2002.

Tabel 8. Deforestasi di Kabupaten Bungo tahun 1973-2002

Tutupan Deforestasi tahun Deforestasi Deforestasi Deforestasi


lahan yang 1973-1988 tahun tahun tahun
menggantikan 1988-1993 1993-1999 1999-2002
hutan Ha % Ha % Ha % Ha %
Kelapa sawit 3436,5 3,0% 7672,2 15,0% 12326,7 44,0% 4860,7 27,9%
Wanatani karet 22734,0 23,0% 9074,0 17,8% 4090,6 14,6% 3072,2 17,7%
Perkebunan 53071,9 53,0% 25396,0 49,8% 7323,2 26,1% 5644,0 32.5%
karet
Pemukiman 3647,2 4,0% 600,0 1,2% 533,3 1,9% 613,0 3,5%
Semak 16790,0 17,0% 7156,9 14,0% 3352,9 12,0% 2183,9 12,6%
Lain-lain 480,0 0,5% 1144,2 2,2% 406,8 1,5% 1017,5 5,9%
Total 100.159,6 100% 51043,3 100% 28033,5 100% 17391,3 100%

Jika tipe tutupan lahan di Kabupaten Bungo digolongkan menjadi tiga kelompok
besar: hutan, perkebunan (karet dan kelapa sawit) dan wanatani karet,
kemudian luas tiap kelompok dibandingkan selama periode1973-2002, maka
akan didapatkan gambaran seperti Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa saat ini tutupan hutan di Kabupaten Bungo tidak lagi lebih luas daripada
perkebunan monokultur, dan bahkan memiliki kecenderungan untuk terus turun.
Sebaliknya luas perkebunan sejak 1999 telah melampaui luas hutan dan memiliki
kecenderungan untuk terus berkembang. Di sisi lain, wanatani karet yang dikelola
oleh masyarakat terlihat stabil walaupun juga cenderung terus berkurang. Hal ini
harus dipahami secara mendalam oleh para pemangku kebijakan di Kabupaten
Bungo, bahwa jika hal ini tidak ditanggapi dengan perencanaan yang matang,
maka suatu saat mungkin saja Kabupaten Bungo tidak lagi memiliki hutan sama
sekali.

Kenyataan bahwa luasan wanatani karet yang dikelola masyarakat cenderung


bertahan dan tidak mengalami perubahan berarti selama 30 tahun adalah bukti
bahwa masyarakat, dalam hal ini petani karet, memiliki peran penting dalam usaha
menjaga kelestarian lingkungan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hampir
60 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tidak ada lagi tutupan hutan di area dataran rendah (peneplain) Kabupaten Bungo,
saat ini sistem tata guna lahan yang berpotensi untuk menggantikan paling tidak
sedikit fungsi hutan (keanekeragaman hayati, fungsi tata air dll) adalah wanatani
karet yang dikelola masyarakat.

400000

350000

300000

250000
Hektar

200000

150000

100000

50000

0
1973 1988 1993 1999 2002 2005
Tahun

Hutan Wanatani karet Perkebunan

Gambar 11. Grafik penurunan kawasan berhutan dibandingkan dengan perkebunan dan
areal wanatani karet

© dok. Andree Ekadinata

Ini bukan hutan, melainkan wanatani karet di Kabupaten Bungo. Bandingkan


struktur vegetasinya dengan perkebunan karet monokultur (kanan bawah)
BAGIAN 1-3 • Andree Ekadinata and Grégoire Vincent 61

100 %
Pemukiman
9 0%
Kelapa sawit
80 %
Perkebunan karet
70 %

60 %
Wanatani karet
50 %

40 %
Hutan
30 %

20 %

10 %

0%
1973 ha 1988 ha 1993 ha 1999 ha 2002 ha
Pemukiman 13313,6 21540 26994,3 33435,9 44494,8
Kelapa sawit 6211,6 14729,5 55793,6 58777,2
Perkebunan karet 10454,1 84047,9 119552,7 124023,2 119682,6
Wanatani karet 68324,9 68422,6 66185,1 61281 54830,8
Hutan 346010,2 240535,9 189492,6 147401,9 130010,5

Gambar 12. Persentase tutupan lahan Kabupaten Bungo tahun 1973-2002

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemanfaatan lahan melalui konversi hutan sepertinya bukan lagi pilihan yang
tepat untuk Kabupaten Bungo. Total luas hutan yang tersisa saat ini sangat ke-
cil. Itupun terletak di daerah yang tidak semestinya lagi dikonversi menjadi jenis
penggunaan lahan selain hutan. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo harus me-
mikirkan perencanaan tata guna lahan yang lebih matang dengan menitikberat-
kan pada pemanfaatan lahan secara lestari.

Sistem wanatani karet sudah selayaknya mendapatkan perhatian lebih dari


Pemerintah Kabupaten Bungo melihat struktur vegetasinya yang mirip dengan
hutan dan kenyataan bahwa sistem ini cenderung stabil di tengah konversi lahan
yang cukup cepat di daerah ini.
62 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini didukung oleh World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Institut de
recherche pour le Développement (IRD). Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bruno Verbist, Sonya Dewi dan teman-teman di kantor ICRAF Muara Bungo atas
segala bantuan dalam pengumpulan data di lapangan dan penulisan artikel ini.
BAGIAN 2
KEARIFAN LOKAL DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
BAGIAN 2-1
Hutan Adat Batu Kerbau: Sisa-sisa Kearifan Lokal

Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah


66 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Marzoni
Upacara adat turun bataun dan doa memberi makan tanah nan bainduk dilakukan untuk
merayakan panen dan memulai masa tanam padi ladang. Upacara adat tidak sekedar seremonial,
tetapi merupakan bukti keberadaan masyarakat adat.

Desa Batu Kerbau merupakan desa tua yang terletak di hulu Sungai Pelepat.
Sejarah Desa Batu Kerbau dimulai dengan kedatangan Datuk Sinaro Nan Putih
dan rombongan dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Perjalanan rombongan
tersebut dilakukan untuk menelusuri jejak Cindur Mato1, mulai dari Pagaruyung
melalui alam Kerinci, mengilir ke Air Liki, serta masuk ke Batang Napat di sekitar
Gunung Rantau Bayur. Rombongan tersebut kemudian memutuskan menetap di
hulu Sungai Samak yang kemudian disebut Sungai Pelepat. Nama Batu Kerbau
diambil dari batu yang menyerupai kerbau. Menurut cerita tetua kampung batu
tersebut berasal dari salah satu kerbau Datuk Sinaro yang disumpah atau dikutuk
oleh si Pahit Lidah2 yang kebetulan lewat di hulu Batang pelepat

Secara adat, wilayah kekuasaan Datuk Sinaro Nan Putih berbatasan dengan
Kerinci (Batu Kijang Alam Kerinci) di sebelah barat (hulu). Wilayah berbatasan
dengan Rantel (Rio Maliko Lubuk Tekalak) di sebelah timur (hilir). Di sebelah

1 Tokoh legenda Kerajaan Pagaruyung, Sumatera Barat.


2 Tokoh legenda masyarakat di Sumatera bagian Selatan.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 67

utara, wilayaha berbatasan dengan Senamat (Rantau Pandan) yang di dalam adat
disebutkan dengan Batu Bertanduk. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan
dengan Batang Tabir yang di dalam adat disebutkan Bukit Kemulau.

Beberapa ciri peninggalan Minangkabau masih terlihat dalam struktur sosial


masyarakat Batu Kerbau. Umpamanya, masyarakat Batu Kerbau masih mewarisi
suku-suku seperti yang ada di Minangkabau, seperti suku Jambak, Melayu dan
Caniago. Untuk menentukan garis keturunan sampat saat ini masih menurut
garis ibu (matrilinial). Penyelesaian berbagai persoalan yang timbul di tengah
masyarakat masih berpegang kepada adat dan budaya Minangkabau.

Berlakunya UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa menyebabkan wilayah


kekuasaan Datuk Sinaro Nan Putih terbagi menjadi dua wilayah desa, yaitu Desa
Batu Kerbau di hulu dan Desa Baru Pelepat di hilir. Masyarakat yang sebelumnya
secara turun temurun dipimpin oleh seorang datuk dan memiliki wilayah adat
harus tunduk pada UU yang mengharuskan mereka berpisah dan diperintah oleh
seorang kepala desa. Secara perlahan sistem ini mengurangi peran dan fungsi
Datuk Sinaro sebagai pemimpin masyarakat.

Pada awal pemerintahan desa, wilayah Batu Kerbau terbagi menjadi tiga desa:
Desa Belukar Panjang, Lubuk Tebat dan Batu Kerbau. Tetapi kemudian ketiga desa
tersebut dilebur menjadi satu, yang diberi nama Desa Batu Kerbau. Sedangkan dua
desa yang lain turun statusnya menjadi dusun. Akibat pesatnya perkembangan
penduduk pada 2001 diresmikan pula berdirinya Dusun Simpang Raya.

Menurut data monografi desa 2002, penduduk Batu Kerbau berjumlah 236 KK
(1.265 jiwa) yang terdiri dari 716 jiwa perempuan dan 549 laki-laki. Luas wilayah
Desa Batu Kerbau sekitar 35.000 ha. Pembagian wilayah terdiri dari pemukiman
penduduk 75 ha, kebun karet 600 ha, kebun kulit manis 125 ha, ladang 610 ha,
kebun buah terutama durian dan salak alam 30 ha. Hutan adat tersebar di Dusun
Batu Kerbau (388 ha), Dusun Lubuk Tebat (360 ha), Dusun Belukar Panjang
(472 ha), sedangkan Hutan Lindung tersebar di Dusun Batu Kerbau (776 ha)
dan Dusun Belukar Panjang seluas (361 ha). Sisanya terdiri dari Hutan Produksi
belukar dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Secara administrasi, Desa Batu Kerbau masuk dalam Kecamatan Pelepat,


Kabupaten Bungo. Desa ini memiliki empat dusun yang letaknya cukup berjauhan.
Jarak desa dari ibukota Kecamatan Rantau Keloyang sekitar 50 km. Sedangkan
jarak dari ibukota kabupaten sekitar 80 km. Akses ke desa di musim kemarau
cukup lancar, tetapi pada musim hujan sangat berat untuk dilalui, karena jalan
68 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang dibangun sejak 1999 oleh pemerintah Kabupaten Bungo baru sampai pada
tahap pengerasan dengan memakai batu kerikil. Sebelumnya, akses masyarakat
untuk ke ibukota kecamatan harus memakai rakit atau memanfaatkan jalan yang
dibangun perusahan HPH.

MASYARAKAT DAN HUTAN


Rombongan Datuk Sinaro Nan Putih sudah bercocok tanam padi dan beternak
sejak kedatangannya di hulu Pelepat. Pola pertaniannya masih sangat tradisional.
Lahan yang telah dibuka ditanami padi dengan sistem tungal. Setelah dilakukan
penanaman beberapa kali, lahan pertanian tersebut ditinggalkan sampai batas
waktu tertentu. Sistem pertanian seperti itu sampai saat ini masih dipraktekkan
meskipun sudah mengalami berbagai perubahan. Selain menanam padi, masyarakat
juga menanam karet, kulit manis, kopi dan buah-buahan. Hasil lainnya adalah
aren, petai, jengkol dan salak alam, yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan
sendiri.

Untuk memulai pembukaan lahan dan bercocok tanam, masyarakat Batu Kerbau
terlebih dahulu melakukan upacara adat doa turun bataun. Upacara adat ini
ditandai dengan memotong seekor kerbau. Pada acara tersebut seluruh pemuka
adat duduk bersama untuk membicarakan berbagai persoalan yang tengah
dihadapi masyarakat. Salah satu keputusan penting pada doa turun bataun adalah
membuat kesepakatan untuk memulai usaha tani secara serentak, setumpak dan
kompak.

Sebelum kedatangan perusahaan HPH, hasil hutan non kayu seperti rotan,
manau, jernang, damar dan buah-buahan merupakan penghasilan tambahan bagi
masyarakat, terutama di saat kritis dan hasil panen yang kurang memadai. Untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani, masyarakat berburu kijang, rusa dan kancil
serta menangkap ikan di sungai yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun
kondisi ini hanya bisa bertahan sampai 1970-an. Sejak beroperasinya perusahaan
HPH PT. Alas Kusuma, PT. Mugitriman, sampai terakhir PT. Rimba Karya Indah
pada 1998, akses masyarakat ke hutan sangat sulit, karena hampir semua lahan
dan hutan diberikan negara kepada perusahaan. Masyarakat dilarang untuk
memasuki kawasan hutan baik untuk mencari hasil hutan non kayu maupun untuk
membuka lahan. Masa tersebut adalah saat tersulit dalam kehidupan masyarakat
Batu Kerbau. Pada saat yang bersamaan krisis ekonomi merambat sampai ke desa,
harga barang melambung tinggi. Tidak hanya itu, kemarau panjang yang melanda
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 69

desa pada saat yang bersamaan makin memperburuk keadaan, karena hasil panen
padi sebagai salah satu sumber makanan tidak lagi mencukupi.

Bergulirnya reformasi yang dibarengi dengan angkat kakinya perusahaan HPH


dari Desa Batu Kerbau pada akhir 1998, seakan membuka lembaran baru bagi
kehidupan masyarakat. Kawasan hutan yang telah ditinggal perusahaan HPH
menjadi daerah tidak bertuan. Jalan yang dibuat dan ditinggal perusahaan
mempermudah akses bagi penebang liar memasuki wilayah hutan jauh sampai
ke hulu sungai dan mendekati TNKS. Sementara itu pemerintah pusat dan
pemerintah daerah disibukkan dengan tarik ulur kepentingan dan wewenang
dalam pengurusan hutan. Hal ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum.
Dalam waktu yang sangat singkat, puluhan sawmill liar bermunculan di sekitar
desa-desa hutan sampai ke pinggiran ibukota kabupaten. Hasil tebangan haram
dengan mudah ditampung di sawmill liar. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh
para cukong kayu untuk menawarkan jasa dan modal kepada masyarakat Desa Batu
Kerbau. Di tengah keraguan masyarakat untuk menerima atau menolak tawaran
tersebut, puluhan chainsaw yang dibawa para pebalok3 dari luar desa berdatangan
dan beroperasi di hutan sekitar desa. Nyanyian burung berganti raungan suara
chainsaw. Aturan adat tentang pemanfaatan hutan secara arif sudah tumpul.
Generasi muda kurang memahami hukum adat, sementara para tokoh adat
kehilangan taring akibat mereka hanya sebagai pemimpin ”pinggiran”, karena
sebagian besar peran dan wewenang mereka sudah diambil alih oleh pemerintahan
desa. Akibatnya hukum adat tidak mampu lagi untuk membendung penebangan
liar, apalagi hukum adat hanya bisa mengatur komunitasnya. Tidak tahu siapa
yang lebih dahulu memulai dan seakan tidak mau menjadi penonton untuk kedua
kalinya, dalam waktu singkat hampir semua tenaga kerja produktif Desa Batu
Kerbau bekerja menjadi pebalok. Desa menjadi lengang. Lahan pertanian yang
hasilnya tidak mencukupi hanya dikerjakan oleh perempuan dan orang tua yang
tidak sanggup bebalok. Semua biaya hidup tergantung dari penghasilan bebalok.
Kata-kata ”tidak bebalok tidak makan” menjadi sarapan pagi di desa.

Ketergantungan ekonomi terhadap hasil hutan kayu akhirnya berubah drastis sejak
2004. Menipisnya ketersediaan kayu di hutan menjadi salah satu penyebabnya.
Cukong kayu pun mulai merasa tidak untung, yang enggan menghamburkan
modal kepada masyarakat. Menipisnya pasokan kayu akhirnya mematikan puluhan
sawmill liar di Kecamatan Pelepat dan Kabupaten Bungo. Inpres No. 4/2005
tentang pelarangan pengambilan kayu dan peredarannya di seluruh wilayah RI
makin mempersulit kehidupan yang tergantung dari kayu.

3 Sebutan masyarakat di Bungo untuk pekerja penebang kayu di hutan.


70 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, kebun karet tua yang lama ditinggal menjadi
target. Tidak peduli hujan, batang-batang yang telah berlumut kembali ditoreh
para pebalok. Huma dan sesap tua kembali dibuka. Desa menjadi hidup dan ramai.
Tidak ada masyarakat yang mati karena tidak bebalok. Justru, selama bebalok segala
kreativitas masyarakatlah yang mati.

HUTAN ADAT:
ALTERNATIF PENYELAMATAN HUTAN
Penyerahan pengelolaan hutan kepada pengusaha terbukti telah menghancurkan
ekosistem hutan dan tatanan kehidupan masyarakat yang ada di sekitar dan di
dalam hutan. Padahal praktek pengelolaan hutan secara bijak pernah dijalankan
oleh masyarakat adat di hampir semua tempat di Indonesia, yang diatur dengan
hukum adat.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan hutan negara dapat berupa hutan
adat yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat yang bersangkutan
sesuai dengan fungsinya baik lindung, konservasi dan produksi. Hal tersebut dapat
dimaknai sebagai wujud nyata jaminan negara terhadap hak-hak masyarakat adat
dalam mengelola sumberdaya hutan. Tetapi didalam pelaksanaannya, jaminan
tersebut seringkali dikesampingkan. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat
masyarakat adat lebih memilih dan percaya dengan hukum adat yang mereka
miliki.

Ketentuan Adat tentang Hutan


Aturan adat mengenai pengelolaan hutan di dalam prakteknya jauh lebih
efektif daripada aturan resmi pemerintah. Karena aturan adat itu lahir, tumbuh,
dan berkembang berdasarkan kebutuhan dan kondisi lokal. Pemantauan dan
penegakan aturan adat dapat dilakukan masyarakat secara mandiri.

Tetapi ketika negara, yang memiliki kekuatan dahsyat, melakukan intervensi


pengelolaan sumberdaya alam, maka secara perlahan hukum adat dan sumberdaya
alam yang diwarisi masyarakat terlindas dan hancur. Untuk merakit kembali
keping-keping yang berantakan tersebut dibutuhkan energi, keseriusan, ketulusan,
dan sumberdaya dari masyarakat dan pihak lain yang peduli.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 71

Bagi masyarakat adat Batu Kerbau, hutan itu merupakan karunia Tuhan kepada
semua makhluk di jagat raya ini. Pemanfaatan hutan dan sumberdaya alam lainnya
bertujuan untuk menopang kelangsungan hidup dan penghidupan anak cucu
dan generasi mendatang. Undang-undang adat dan falsafah adat telah mengatur
pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Salah satu falsafah adat yang mengatur
tentang pemanfaatan hutan berbunyi ”ke darat berbunga kayu, ke air berbungo
pasir”. Artinya, apabila anak negeri menebang kayu, mengambil rotan, damar
dan jelutung di hutan serta mengambil pasir atau batu, membuat biduk (perahu)
dengan tujuan untuk dijual, harus membayar pancung alas (retribusi) kepada adat,
sedangkan kalau digunakan untuk keperluan sendiri bebas pancung alas (tidak
dikenai retribusi dan cukup mendapat persetujuan pemimpin adat).

Ketentuan mempertahankan sempadan sungai, larangan menebang pohon sialang


tempat bersarangnya lebah penghasil madu, menebang pohon yang sedang
berbunga dan berbuah, menebang pohon yang tumbuh di daerah lereng atau
curam dan menetapkan beberapa kawasan menjadi hutan larangan, merupakan
beberapa bentuk aturan pengelolaan hutan yang diwarisi dari nenek moyang
masyarakat Batu Kerbau. Namun setelah terjadinya perubahan pemerintahan
dari pasirah menjadi desa dan eksploitasi oleh perusahaan HPH dan Illegal logging;
maka secara perlahan nilai-nilai adat tersebut meluntur dan nyaris terkikis.

Pendokumentasian Aturan Adat


Semua aturan dan ketentuan adat tentang pemanfaatan sumberdaya alam Batu
Kerbau tidak tertulis. Aturan dan ketentuan adat itu sebagian besar hanya
diketahui dan dipahami oleh beberapa tokoh saja. Malah ada tokoh, yang secara
garis keturunan merupakan pewaris gelar adat, sama-sekali tidak memiliki
pengetahuan yang cukup tentang adat. Sebaliknya, ada anggota masyarakat
biasa yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat dan aturan tentang
pengelolaan sumberdaya alam, tetapi di dalam pengambilan keputusan saat sidang
adat, suara mereka kurang diperhitungkan.

Penerapan keputusan adat kadang-kadang tidak memenuhi rasa keadilan di


masyarakat. Seringkali keputusan adat hanya memuaskan pihak yang lebih kuat
atau yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan tokoh adat. Pepatah adat
“tibo di mato dipiciangkan tibo di paruik dikampihkan” (dimata dipejamkan di perut
dikempiskan). Artinya, tidak dipandang di dalam mengambil keputusan, hanya
menjadi bumbu pemanis dan kata-kata kosong tanpa makna di dalam setiap
72 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

rapat adat. Karena itu, masyarakat tidak memiliki pegangan yang kongkrit untuk
menggugat atau mempertanyakan keputusan itu.

Tidak ada waktu atau ruang khusus bagi masyarakat untuk mempelajari atau
mengetahui ketentuan adat. Praktek dan seluk-beluk adat hanya diketahui
oleh masyarakat apabila ada upacara adat ataupun sidang adat. Penyebaran dan
pencerdasan tentang nilai-nilai adat dari para tokoh adat kepada masyarakat
sangat kurang. Masyarakat awam tidak punya waktu untuk mengetahui adat.

Minat orang muda untuk mempelajari adat sangat rendah. Bagi orang muda,
adat istiadat itu urusan orang tua. Orang muda cenderung memilih berbagai
informasi dan budaya dari dunia luar daripada nilai-nilai yang telah dimiliki.
Tersedia berbagai sarana dan media bagi orang muda Batu Kerbau, misalnya
media elektronik televisi menggunakan antena parabola lebih diminati. Warung
dan rumah yang memutar televisi ramai pada malam hari.

Pendatang dari luar desa mulai leluasa memasuki desa. Bahkan sampai di
pedalaman hutan di sekitar desa, raungan chainsaw memanggil orang muda Batu
Kerbau untuk ikut serta. Aturan adat tidak mampu untuk menindak itu. Setiap
kali penetapan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan di dalam hutan adat,
pelaku dari luar desa lolos. Di dalam sidang adat, pelaku selalu menanyakan mana
aturannya dan siapa yang menetapkan itu.

Pengalaman dan kenyataan di atas telah menggugah masyarakat Batu Kerbau


untuk menyimpulkan: Harus ada satu media atau dokumen tertulis tentang aturan
pengelolaan hutan adat dan lubuk larangan untuk menjadi landasan hukum setiap
pengambilan keputusan tentang hutan adat.

Piagam Kesepakatan Sebagai Aturan Pengelolaan


Untuk mencapai sebuah kesepakatan kolektif, telah dilakukan pertemuan-
pertemuan untuk menggali berbagai pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan
hutan. Pertemuan dimulai pada tingkat dusun. Hasil pertemuan dituliskan untuk
didiskusikan kembali bersama masyarakat. Setelah mengalami beberapa kali
perubahan, disepakatilah sebuah konsep aturan pengelolaan hutan di setiap
dusun.

Setelah melalui proses yang cukup panjang dan mengalami beberapa kali
perubahan, akhirnya tiga dusun di Batu Kerbau berhasil merampungkan
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 73

kesepakatan dusun tentang pengelolaan hutan, baik hutan adat yang berfungsi
lebih untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan, maupun hutan lindung yang
lebih difokuskan sebagai sumber perlindungan berbagai macam sumberdaya hayati
dan keindahan alam.

Walaupun perumusan bentuk pengelolaan dilakukan di setiap dusun berbeda,


tetapi masyarakat ternyata berhasil menyusun substansi kesepakatan yang sama.
Hal ini karena masyarakat Desa Batu Kerbau yang tersebar di setiap dusun berasal
dari keturunan yang sama, memiliki kekerabatan yang dekat serta terus-menerus
melakukan interaksi. Beberapa tokoh dari dusun lain sering diundang pada
pertemuan dusun, sehingga gagasan tentang aturan mewarnai dusun lainnya.

Keikutsertaan tokoh-tokoh dari dusun lain pada pertemuan dusun mendorong


lahirnya gagasan untuk menyusun bentuk pengelolaan di tingkat desa. Gagasan
tersebut disepakati oleh semua dusun yang memiliki hutan adat. Pertemuan desa
dihadiri oleh perwakilan masyarakat dari setiap dusun. Perwakilan masyarakat
itu kemudian menyampaikan hasil pertemuan desa kepada masyarakat yang
diwakilinya. Setelah beberapa kali pertemuan desa, masyarakat menyepakati
Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Batu Kerbau untuk Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Piagam tersebut berfungsi sebagai landasan atau pedoman dalam
setiap pengambilan keputusan tentang pengelolaan hutan dan sumberdaya alam
lainnya di Batu Kerbau.

Untuk mendapat pengakuan dari seluruh masyarakat desa, dilakukanlah


musyawarah besar masyarakat Desa Batu Kerbau pada 24 April 2001 bertempat
di Dusun Batu Kerbau. Musyawarah desa menyepakati agar piagam juga
mencantumkan letak kawasan, luasan, serta batas-batas alam yang dikenali oleh
masyarakat. Lubuk larangan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan
sumberdaya alam Batu Kerbau, juga dicantumkan di dalam piagam.

Musyawarah desa juga menyepakati komposisi perwakilan masyarakat dari setiap


dusun yang akan menandatangani piagam kesepakatan itu. Dusun diwakili oleh
tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, bundo kandung dan kepala dusun.
Sedangkan desa diwakili oleh kepala desa, ketua LKMD dan Parabokalo Adat
(pewaris adat di Desa Batu Kerbau).

Memiliki Wilayah Kelola yang Jelas


Jauh sebelum kedatangan perusahaan HPH ke Desa Batu Kerbau, masyarakat telah
menunjuk dan menyepakati beberapa kawasan menjadi hutan adat dan hutan
74 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lindung. Penunjukan beberapa kawasan tersebut melalui beberapa pertimbangan.


Misalnya, untuk kawasan hutan adat yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan
bahan bangunan, tanaman obat, rotan dan buah-buahan, dipilih hutan yang
berdekatan dengan pemukiman. Sedangkan untuk hutan lindung, yang lebih
ditekankan pada fungsi lindung dan cadangan yang akan di warisi ke generasi
selanjutnya, dipilih lokasi di hulu-hulu sungai kecil dan memiliki lebih beragam
jenis tumbuhan dan satwa. Untuk batas-batas kawasan dipergunakan tanda alam
seperti sungai, bukit dan beberapa tempat dan pohon tertentu yang mudah diingat
oleh masyarakat.

Memasuki era 1970-an ketika negara menyerahkan hutan Batu Kerbau kepada
HPH, kesepakatan masyarakat tersebut sesungguhnya disampaikan kepada
perusahaan, tetapi tidak pernah dihargai perusahaan. Malah beberapa tokoh yang
gigih memperjuangkan kawasan tersebut justru mengalami intimidasi dan ancaman.
Sejak saat itu akses dan kontrol masyarakat Batu Kerbau terhadap hutannya telah
dikebiri oleh kekuasaan negara. Tetapi semangat untuk mempertahankan kawasan
hutan dari kehancuran tetap terpelihara di beberapa tokoh.

Kepergian HPH dari Desa Batu Kerbau yang berbarengan dengan bergulirnya
reformasi, mengobarkan semangat dan tekad masyarakat untuk kembali
mempertahankan beberapa kawasan hutan menjadi hutan adat dan hutan lindung.
Persoalan muncul, batas-batas alam yang pernah disepakati oleh masyarakat di
lapangan sulit ditemukan. Beberapa sungai kecil yang sebelumnya merupakan
batas kawasan sudah lenyap dan ditimbun untuk pembuatan jalan oleh HPH.
Demikian juga dengan punggung-punggung bukit dan beberapa tanda alam
lainnya sudah berubah menjadi jalan ataupun hilang tergusur oleh alat berat
perusahaan. Fakta seperti ini mendorong masyarakat Batu kerbau untuk kembali
mempertegas batas kawasan kelola dengan pemetaan partisipatif.

Pemetaan Partisipatif Sebagai Penegasan Hak Kelola


Peran masyarakat dalam pemetaan ini sangat dibutuhkan. Karena masyarakat desa
yang paham tentang potensi, batas wilayah, dan informasi lain tentang hutan adat
dan sumberdaya yang mereka miliki. Pengetahuan dan semangat masyarakat telah
memberikan sumbangan yang berharga dalam pelaksanaan pemetaan partisipatif.
Tidak kurang dari 100 orang masyarakat terlibat dalam proses pemetaan. Dengan
bekal seadanya, masyarakat di Dusun Batu Kerbau rela bermalam berhari-hari
di dalam hutan untuk melakukan pemetaan. Demikian juga dengan masyarakat
di Dusun Belukar Panjang dan Dusun Lubuk Tebat, walaupun tidak sampai
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 75

bermalam di hutan, telah ikut menarik tali, membidik kompas dan mencatat hal-
hal yang penting untuk memperkaya hasil pemetaan.

Setelah proses pengukuran dan pengambilan data selesai, dilakukan proses


penuangan dan penggambaran hasil pengukuran ke atas kertas milimeter.
Masyarakat juga melakukan penggambaran di desa. Kemudian beberapa perwakilan
masyarakat bersama fasilitator dan staf GIS KKI-WARSI mendigitasi peta. Hasil
digitasi didiskusikan kembali dengan masyarakat di desa. Setelah melalui perbaikan,
hasil akhir disepakati melalui pertemuan di dusun dan kemudian dilanjutkan desa.
Melalui kesepakatan hasil pemetaan tersebut, akhirnya ditandatangani bersama
sebagai bentuk persetujuan dan pengakuan hasil pemetaan peta kawasan hutan
adat dan hutan lindung. Penandatanganan dilakukan oleh perwakilan masyarakat
di semua dusun. Kemudian dilanjutkan oleh aparat desa dan parabokalo adat.

Peta hasil kesepakatan masyarakat yang telah ditandatangani bersama kemudian


disosialisasikan kepada desa tetangga dan Pemerintah Kabupaten. Tidak ada
protes dari desa tetangga. Kawasan hutan adat dan kawasan lindung desa terletak
di dalam wilayah desa. Hasil pemetaan masyarakat berhasil memastikan wilayah
kelola dan digunakan sebagai alat negosiasi dan diskusi dengan pihak lain.

Pemerintah Kabupaten Bungo menanggapi positif hasil pemetaan masyarakat. Atas


permintaan Sekretaris Daerah Bungo dilakukanlah pertemuan dan diskusi tentang
hasil pemetaan partisipatif Hutan Adat Batu Kerbau. Kegiatan ini dilakukan di
kantor Bupati Bungo Februari 2002. Sekretaris Daerah Bungo langsung bertindak
sebagai fasilitator pertemuan. Sekretariat Daerah mengundang BPN, Dishutbun,
Bagian Hukum, Bagian Pemerintahan, Ketua Lembaga Adat Kabupaten, pers,
KKI-WARSI dan perwakilan masyarakat. Masyarakat menjelaskan bagaimana
proses dan tujuan pemetaan. Di akhir pertemuan direkomendasikan agar dibentuk
tim pengecekan dan peninjauan Hutan Adat Batu Kerbau melalui SK Bupati
Bungo. Tim yang dibentuk terdiri dari BPN Bungo, Bagian Pemerintahan, Bagian
Hukum, Dishutbun, KKI-WARSI, serta Camat Pelepat.

Pada 26 Maret 2002 tim yang dibentuk melakukan pengecekan lapangan. Hasil
kunjungan lapangan tim dituangkan dalam berita acara pengecekan tata batas
hutan adat. Poin penting yang dimuat berita acara tersebut, tim menemukan
kesesuaian patok-patok yang ditemukan di lapangan dengan peta yang dibuat.
Dari dialog dan pengamatan langsung kondisi hutan adat dan hutan lindung desa,
tim berkeyakinan bahwa masyarakat memiliki komitmen untuk mengelola hutan
secara lestari. Hasil kunjungan lapangan tersebut merekomendasikan kepada
Bupati Bungo untuk memperkuat dan mendukung komitmen masyarakat.
76 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

LEMBAGA PENGELOLA HUTAN ADAT

Kelompok Pengelola Hutan Adat Sebagai Lembaga


Perwalian
Kesepakatan dan aturan yang dibuat bersama oleh masyarakat Batu Kerbau
memerlukan sebuah organisasi pelaksana. Kehadiran organisasi ini diperlukan untuk
menghindari terjadinya pengambilan keputusan sepihak atau dominasi aturan
oleh pihak tertentu. Prinsip keterwakilan disepakati sebagai azas pembentukan
kelompok pengelola. Dengan demikian anggota kelompok pengelola hutan adat
Batu Kerbau terdiri dari berbagai komponen masyarakat. Unsur adat, agama,
pemuda, perempuan dan kaum intelektual desa merupakan unsur penting yang
ditunjuk masyarakat sebagai perpanjangan tangan untuk melaksanakan aturan
yang ditetapkan bersama.

Setiap dusun memiliki kelompok pengelola sendiri. Letak dan jarak antar dusun
yang berjauhan jadi alasannya. Alasan yang lebih mendasar karena setiap dusun
memiliki hutan adat yang sudah ditunjuk jauh sebelumnya. Kelompok pengelola
hutan adat di dusun bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan aturan
adat yang berada di dusunnya. Setiap kegiatan yang berhubungan dengan hutan
adat, baik pengambilan untuk kebutuhan sendiri, kasus di hutan adat dan lubuk
larangan maupun kegiatan dan persoalan lainnya adalah tugas dan wewenang
kelompok dusun untuk mengaturnya.

Pada tingkat desa dibentuk kelompok pengelola Sumber Daya Alam Batu Kerbau.
Pengurus hutan adat di dusun otomatis tergabung di dalam kelompok pengelola
desa. Peranannya lebih pada urusan koordinasi. Urusan komunikasi dan negosiasi
dengan pihak luar dilakukan oleh kelompok pengelola desa setelah berdiskusi
dengan kelompok di dusun. Tidak ada intervensi dan tekanan yang diberikan
kelompok desa kepada kelompok dusun. Walaupun demikian pengurus hutan adat
di desa bisa saja memberikan masukan dan pendapat kepada kelompok dusun.

Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam Desa Batu Kerbau diangkat dan
dikukuhkan melalui surat keputusan bersama kepala desa, ketua LKMD dan
Parabokalo Adat. Lama masa jabatan lima tahun dan setiap tahun kelompok
ini memberikan laporan tentang perkembangan kegiatan kelompok kepada
masyarakat desa. Setelah Hutan Adat Batu Kerbau dikukuhkan melalui SK Bupati
Bungo, kelompok pengelola juga diwajibkan memberikan laporannya kepada
Bupati sekali setahun.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 77

Penguatan Kelompok Pengelola


Kelompok pengelola bukan hanya mengurusi hutan adat. Kelompok ini juga
diharapkan menjadi titik masuk pembangunan kehutanan yang lebih baik di dusun
maupun desa. Namun para pengurus belum memiliki kapasitas yang memadai
untuk mengemban amanat itu.

Masyarakat menyadari, bahwa persoalan hutan adat dan pengelolaan sumberdaya


alam ke depan tidak hanya terbatas pada persoalan pelanggaran penebangan
dan pencurian oleh segelintir masyarakat desa, atau orang luar desa yang tidak
lagi memiliki hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan dan bahan bangunan.
Tantangan lebih besar akan muncul dari dominasi negara dan produk hukum yang
tidak berpihak kepada rakyat. Kelicikan pengusaha dan kepentingan ekonomi
jelas akan merongrong dan menguji kemampuan dan pengetahuan masyarakat
terutama kelompok pengelola. Semua itu membutuhkan tambahan kecerdasan
dan pengetahuan yang diadopsi dari luar. Tidak cukup hanya berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan lokal saja.

Masyarakat didorong untuk melakukan berbagai diskusi yang membahas beragam


tantangan dan ancaman. Diskusi kritis lebih ditekankan pada fakta dan persoalan
yang dihadapi oleh hampir semua masyarakat sekitar hutan yang akhirnya
terpinggirkan karena pembangunan transmigrasi, perkebunan, pertambangan
dan eksploitasi hutan. Tujuan diskusi ini untuk memberikan gambaran tentang
pengaruh proyek-proyek tersebut, baik yang positif maupun negatif. Hasil diskusi
kritis tersebut diharapkan menjadi modal bagi masyarakat ketika bernegosiasi
dengan pihak mana pun ketika akan menerima atau menolak suatu tawaran.

Proses penguatan dilakukan juga melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas


anggota dan pengurus kelompok juga diberikan oleh berbagai pihak, terutama
KKI-WARSI. Pelatihan itu antara lain adalah pelatihan dinamika kelompok,
pelatihan pengorganisasian, pelatihan manajemen, pelatihan paralegal, pelatihan
pemetaan partisipatif, pelatihan penyusunan produk hukum lokal ataupun
peraturan desa. Sedangkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang aspek
teknis dan peningkatan ekonomi dilakukan pelatihan dan studi banding budidaya
karet, budidaya rotan, dan pertanian organik. Pengurus juga disertakan dalam
berbagai lokakarya, dan dalam beberapa kesempatan malah bertindak sebagai
pembicara.
78 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

DUKUNGAN PARA-PIHAK

Masyarakat Sekitar
Apapun yang dilakukan oleh masyarakat Batu Kerbau tidak akan berhasil maksimal
tanpa dukungan dari pihak lain. Desa-desa tetangga sebagai masyarakat yang
sering berinteraksi dengan Batu Kerbau berperan sangat besar dalam perjuangan
penegasan hak atas hutan adatnya. Desa Baru Pelepat misalnya, sebagai desa yang
menurut adat masih satu keturunan dan sama-sama di bawah pengaruh Datuk
Sinaro nan Putih, berperan besar dalam mendorong proses terwujudnya Hutan
Adat Batu Kerbau. Beberapa tokoh Adat Baru Pelepat beberapa kali terlibat dalam
diskusi dan pertemuan untuk legalisasi Hutan Adat Batu Kerbau oleh Pemerintah
Kabupaten Bungo. Tokoh adat di Desa Baru Pelepat juga memberikan penyadaran
kepada warga desa agar menghargai dan menghormati Hutan Adat Batu Kerbau.

Masyarakat Desa Batang Kibul yang terletak di Kabupaten Merangin, berperan


besar pada penyelesaian kasus penebangan hutan adat Batu kerbau yang dilakukan
oleh perusahaan pemegang ijin IPHH dari Bungo. Mereka menggalang kekuatan
bersama untuk melakukan “perlawanan” dengan menghancurkan jembatan
perusahaan dan membuat surat pengaduan bersama kepada dinas kehutanan
propinsi Jambi.

Dukungan nyata dan perasaan senasib dan seketurunan yang diberikan desa
tetangga telah memperkuat keyakinan masyarakat Batu Kerbau untuk terus
mempertahankan keberadaan Hutan Adat di Desa Batu kerbau. Dampak positif
dari pengelolaan hutan adat yang dilakukan Desa Batu kerbau diikuti oleh Desa
Batang Kibul dan Baru Pelepat. Pada awal 2006 Hutan Adat Desa Batang Kibul
mendapat pengakuan dari Bupati Kabupaten Merangin dengan keluarnya SK
Penetapan Imbo Pasoko dan Imbo parabokalo Desa Batang Kibul sebagai hutan
adat. Kemudian saat ini masyarakat Desa Baru Pelepat tengah memperjuangkan
pengakuan dari pemerintah.

“Seandainya semua desa di Bungo memiliki hutan adat seperti Batu Kerbau, sudah
berapa luasan hutan yang terselamatkan?” kata H. Machmud, ketua lembaga
Adat Bungo, pada pertemuan pengelolaan hutan di Bungo September 2001.
Ucapan ketua lembaga adat tersebut memperkuat keyakinan masyarakat untuk
terus mengelola hutan adat secara arif dan lestari.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 79

Pemerintah dan Pihak Lain


Pemerintah daerah berperan besar dalam proses pengakuan hutan adat. Jalan
yang dilaluinya panjang dan berliku. Puluhan kali diskusi, dialog, workshop dan
pertemuan informal telah dilakukan selama hampir dua tahun. Hasil dari berbagai
pertemuan tersebut mendorong masyarakat Batu Kerbau untuk memperoleh
pengakuan dari pemerintah.

Pengakuan Hutan Adat Batu Kerbau oleh pemerintah diperlukan bukan karena
masyarakat Batu Kerbau tidak percaya pada kekuatan hukum adat. Dengan adanya
pengakuan dari pemerintah itu, masyarakat merasa upaya penyelamatan hutan
yang mereka lakukan itu dihargai. Selain itu, pengakuan dari pemerintah akan
mendekatkan kembali atau memperbaiki kembali hubungan antara masyarakat
desa dengan pemerintah yang sebelumnya tidak harmonis akibat perlakuan tidak
adil yang diterima masyarakat. Pengakuan dari pemerintah itu merupakan suatu
‘jaminan’ terhadap kelangsungan keberadaan Hutan Adat Batu Kerbau.

Pengakuan pemerintah itu dikukuhkan dalam bentuk Surat Keputusan Bupati


Nomor 1249 tertanggal 16 Juli 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Batu
Kerbau. Pilihan bentuk SK Bupati sebagai bukti pengakuan, diambil setelah melalui
berbagai pertimbangan. SK Bupati dinilai lebih efektif dan tidak membutuhkan
proses yang berbelit. Ide untuk membuat aturan dalam bentuk peraturan daerah
(Perda) kabupaten sempat didiskusikan dengan berbagai pihak di kabupaten.
Tetapi mengingat sangat diperlukannya proteksi hutan adat dan hutan lindung
desa dari penjarahan dengan segera, maka pilihan SK Bupati dinilai oleh semua
pihak sebagai pilihan yang paling tepat saat itu.

Upacara peresmian hutan adat digelar di halaman Kantor Lembaga Adat Kabupaten
Bungo pada 19 Oktober 2002 sebagai simbol penghargaan pemerintah terhadap
peran adat. Upacara tersebut dilakukan dalam menyambut hari jadi Kabupaten
Bungo, dihadiri oleh para perwakilan masyarakat desa seluruh Kabupaten Bungo
dan para pejabat kabupaten. Bupati Bungo menandatangani peta hutan adat dan
menyerahkan SK Hutan Adat secara simbolik kepada tokoh adat Batu Kerbau.
Gubernur Jambi turut serta menanda-tangani Prasasti Hutan Adat Batu Kerbau.
Untuk mendukung upaya yang dilakukan masyarakat, Pemerintah Kabupaten
Bungo, melalui proyek reboisasi 2003, telah melakukan penanaman jati di hutan
adat seluas 50 ha. Kemudian pada 2005, Dishutbun Bungo melakukan proyek
Hutan Rakyat seluas 30 ha dengan tanaman gaharu dan karet di kawasan hutan
adat. Terakhir, pada 2006 hutan adat diperkaya dengan 40 ha rotan. Proyek dan
bantuan tersebut mungkin tak akan ada kalau saja masyarakat Batu Kerbau tidak
80 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dapat membuktikan bahwa mereka telah berhasil mengelola hutan dengan arif,
adil dan lestari.

Tidak hanya perhatian dari kabupaten yang diperoleh dari upaya penyelamatan
hutan yang dilakukan di Batu Kerbau. Pada 2004, Desa Batu Kerbau memperoleh
penghargaan Kalpataru sebagai Desa Penyelamat Lingkungan. Penghargaan
tersebut diterima langsung oleh Kepala Desa Batu Kerbau pada peringatan Hari
Lingkungan Hidup di Istana Negara pada 5 Juni dari Presiden Megawati.

PRAKTEK PENGELOLAAN HUTAN ADAT


Setelah dikukuhkannya Piagam Kesepakatan Masyarakat Adat Batu Kerbau untuk
mengelola sumberdaya alam, terjadi beberapa kali ujian. Beberapa pelanggaran
yang dilakukan oleh oknum masyarakat desa tetap belum mampu diselesaikan
dengan hanya berpedoman pada piagam tersebut. Dari beberapa kali pelanggaran
yang dilakukan, penerapan saksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan
masyarakat. Walaupun ada kasus pelanggaran hutan adat yang dapat diselesaikan
dengan penerapan sanksi adat, tetapi penyelesaiannya tidak dapat memuaskan
warga. Hal inilah yang perlu dikawal dengan baik, agar keberadaan hutan adat
dan hutan lindung desa tetap terjaga.

Piagam Kesepakatan Adat tentang Pengelolaan Hutan Adat lahir di tengah


maraknya ilegal logging. Setelah kepergian HPH dari Desa Batu Kerbau pada1999,
kawasan hutan yang ditinggal menjadi rebutan para pelaku penebangan liar.
Untunglah kawasan yang telah disepakati menjadi hutan adat tidak dijarah atau
dibabat oleh pelaku ilegal logging. Tetapi praktek pembalakan liar saat ini kian
mendekati lokasi hutan adat.

Sebagai desa yang masih memiliki lahan yang begitu luas, ekspansi lahan dan
tawaran pembukaan perkebunan sawit skala besar di Batu Kerbau juga menjadi
salah satu ancaman yang tengah dihadapi hutan adat. Selama kurun waktu 2002-
2004 sudah empat perusahaan besar menawarkan diri membuka perkebunan
kelapa sawit dan HTI akasia kepada masyarakat desa. Malah pada 2003 sebuah
koperasi fiktif hampir saja menjerat dan menipu masyarakat desa. Melalui
dokumen yang diperoleh dari salah seorang perangkat desa, diketahui bahwa
sudah ada surat penyerahan lahan dan persetujuan masyarakat untuk membuka
perkebunan kelapa sawit di desa. Tetapi setelah dikonfirmasi dan dicari alamat
koperasi tersebut ternyata semua informasi dan keberadaan koperasi tersebut
fiktif dan jelas-jelas membodohi dan menipu masyarakat.
BAGIAN 2-1 • Riya Dharma Datuk Rangkayo Endah 81

Keluarnya SK Bupati juga tidak otomatis menyelesaikan segala persoalan hutan


adat. Rayuan dan tawaran dari investor berdatangan. Atas kepentingan pendapatan
asli daerah (PAD), Pemerintah Kabupaten Bungo malah mengeluarkan ijin
IPHH kepada CV. Beringin Hijau untuk melakukan pengambilan kayu di sekitar
hutan adat. Keluarnya ijin ini tentu saja setelah melalui siasat pengusaha yang
menawarkan janji muluk kepada masyarakat, terutama kepada kepala desa.

Untuk pengangkutan hasil tebangan, perusahaan membuat jalan di sekitar hutan


adat. Beberapa batang kayu di hutan adat ditebangi perusahaan. Perlawanan
dan penolakan dilakukan oleh masyarakat. Beberapa kali hampir terjadi bentrok
antara petugas perusahaan dengan warga desa. Perempuan desa tidak tinggal
diam. Bersama puluhan tokoh masyarakat dan pemuda, mereka membakar
jembatan yang dipakai oleh perusahaan untuk mengangkut kayu hasil tebangan.
Masyarakat menuntut perusahaan untuk membayar denda adat, tetapi perusahaan
terus mengulur-ulur waktu dan menebar janji palsu.

Protes masyarakat juga ditujukan kepada Dishutbun Bungo dan Dishut Propinsi
Jambi. Masyarakat desa bersama pemerintahan desa beberapa kali menemui
Kepala Dishutbun Bungo. Tetapi setiap kali mereka ke kantor Dishutbun selalu
mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan.

Pada waktu yang bersamaan perusahaan tersebut juga menebangi Hutan Adat
Desa Batang Kibul. Oleh karena itu, bersama masyarakat desa tetangga, Batang
Kibul, Kabupaten Merangin, masyarakat Batu Kerbau kemudian menggalang
kekuatan bersama. Pada pertemuan bersama di tengah hutan saat memutus
jembatan, dibuat kesepakatan untuk menulis surat kepada Dishut Merangin,
Dishutbun Bungo dan Dishut Propinsi Jambi.

Surat pengaduan masyarakat Batang Kibul dan Batu Kerbau ditanggapi oleh
Dishut Merangin. Tidak lebih dari seminggu tim dari Dishut Merangin melakukan
operasi ke lapangan. Hasil operasi memastikan telah terjadi penebangan di
wilayah Kabupaten Merangin oleh perusahaan yang memiliki ijin di wilayah
Kabupaten Bungo. Atas kejadian itu Dishut Merangin meminta Dishutbun Bungo
untuk meninjau kembali Ijin Perusahaan tersebut. Kemudian Dishut Merangin
melanjutkan laporan kepada pemerintah propinsi. Dalam waktu singkat tim
gabungan dari Dishut Propinsi dan Merangin melakukan operasi bersama di
lapangan. Hasilnya, operasi tim memerintahkan perusahaan untuk berhenti
beroperasi dan menyita puluhan batang kayu dan dua alat berat sebagai barang
bukti. Tidak beberapa lama dari kejadian tersebut CV. Beringin Hijau tidak
beroperasi lagi.
82 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Persoalan lain yang dihadapi adalah masih rendahnya tingkat kehidupan


masyarakat. Hutan Adat Batu Kerbau memang tidak menawarkan jasa ekonomi
yang menarik, karena hutan adat disepakati masyarakat bukan untuk tujuan
komersil tetapi lebih kepada pencadangan untuk kebutuhan sendiri. Dengan
kondisi ekonomi yang masih rendah, maka tegakan pohon dan potensi lainnya
tetap saja menggoda banyak pihak untuk menguangkannya. Untuk itu dibutuhkan
program-program penguatan masyarakat yang berdimensi ekonomi. Program itu,
tentu saja harus dirancang dan disusun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat, agar bantuan tersebut benar-benar dapat memberikan sumbangan
bagi peningkatan ekonomi masyarakat.

Hutan Adat Batu Kerbau merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat adat
memiliki kearifan untuk mengelola hutan. Di tengah keterpurukan ekonomi,
maraknya penebangan ilegal dan lemahnya penegakan hukum serta melunturnya
nilai adat, tekad dan semangat untuk mewariskan hutan kepada generasi
mendatang dirajut menjadi nyata, sehingga memperoleh pengakuan dari berbagai
pihak.

UCAPAN TERIMA KASIH


Artikel ini dapat penulis selesaikan berkat peran dari berbagai pihak, diantaranya
seluruh masyarakat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat, Bungo, Jambi yang
telah membuka pintu untuk saling belajar selama proyek CBFM (2002-2005)
berlangsung. Juga kepada konsorsium RUPES (ICRAF-YGB dan KKI-WARSI)
dan ACM (PSHK-ODA, YGB dan CIFOR ) yang saling berbagi suka dan duka
selama di Bungo serta kawan-kawan di KKI-WARSI Jambi yang telah menjadi
tempat berkiprah penulis selama ini. Dan pihak-pihak lain yang tak sempat kami
ucapkan satu per satu. Kepada merekalah terima kasih penulis sampaikan.
BAGIAN 2-2
Sistem Sisipan
Sisipan:
Pengetahuan Lokal dalam Wanatani Karet

Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati, Susilawati dan


Elok Mulyoutami
84 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN
Pengetahuan berasal dari pemahaman dan interpretasi hasil pengamatan,
pengalaman, dan pendidikan formal maupun informal seseorang. Pengetahuan
bukanlah suatu kebenaran mutlak karena dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan pengamatan, pengalaman atau pengenalan inovasi baru. Meski
tidak secara tegas, namun sebagian orang melihat sistem pengetahuan ini sebagai
dua kelompok yang berbeda baik sifat, bidang, proses pembentukan, manfaat
dan penyebarannya (Walker, 1994). Sistem pengetahuan yang pertama adalah
sistem pengetahuan lokal, yang melekat sangat erat pada nilai-nilai budaya dan
spiritual. Kedua, pengetahuan sains, yang umumnya terbentuk dari interpretasi
data yang terhimpun secara metodologis. Meski hampir di setiap daerah terdapat
pengetahuan yang sama mengenai sesuatu, namun pengetahuan lokal lebih
diwarnai kekhasan dari domain pembentuk pengetahuan tersebut. Sementara itu
pengetahuan sains bersifat lebih general karena merupakan kajian kumulatif dari
beberapa domain.

Pengetahuan ekologi lokal merupakan pengetahuan suatu komunitas lokal


mengenai suatu ekosistem dan hubungan timbal balik antar komponen dalam
ekosistem tersebut. Ekosistem itu terwujud dalam lingkungan di sekitar mereka,
baik itu lingkungan pertanian, kehutanan, kelautan atau yang berkaitan dengan
sumberdaya alam lainnya. Pengetahuan ekologi lokal dapat berkontribusi dalam
pengembangan inovasi teknologi (Mulyoutami et al., 2004; Joshi et al., 2005),
upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem, perlindungan spesies
dan area, serta untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Berkes
et al., 2000). Istilah lokal dalam terminologi ini digunakan untuk menunjukkan
pengetahuan masyarakat dalam konteks lokal yang bersifat dinamis dan terbentuk
secara evolutif. Dalam proses pembentukan pengetahuan seringkali nilai-nilai non
tradisional ikut membentuk. Sebaliknya, dalam proses pembentukan pengetahuan
terkadang nilai-nilai tradisional atau indigenous yang biasanya diturunkan dari
generasi ke generasi ada yang tidak terbawa (Joshi et al., 2003; Joshi et al., 2004).

Sistem wanatani karet adalah suatu sistem vegetasi multistrata kompleks yang
banyak ditemukan di Indonesia (Gouyon et al., 2000). Sistem pengelolaan
sumberdaya alam ini, yang selain memiliki nilai produksi juga memiliki nilai
konservasi, cukup mendapat perhatian dari para ahli. Nilai konservasi lingkungan
terwujud dalam keragaman hayati yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan
kebun karet monokultur meskipun belum setinggi hutan alami (Williams et al.,
2001a; Joshi et al., 2003).
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 85
Susilawati, Elok Mulyoutami

Ada dua metode peremajaan dalam sistem wanatani karet tradisional di Jambi,
yaitu sistem tebas bakar dan sistem sisipan (Wibawa et al., 2005). Metode yang
pertama adalah menggunakan sistem rotasi pendek: Pohon karet ditanam setiap
30-40 tahun setelah terlebih dahulu dilakukan aktivitas tebas dan bakar. Pada
sistem permanen, penanaman anakan pohon karet baru dilakukan di antara celah
pohon karet yang telah lebih dulu ada. Sistem ini lebih dikenal dengan sistem
sisipan. Secara teoritis pada sistem sisipan ini umur kebun tidak terbatas karena
umur pohon karet berbeda-beda.

Sebagai suatu alternatif dalam pola pengelolaan wanatani karet, sistem sisipan
memiliki beberapa keunggulan. Sistem ini memiliki peran dalam konservasi
lingkungan, terutama dalam aspek keragaman hayati. Dari segi ekonomi, sistem
sisipan adalah suatu strategi untuk menjaga kelangsungan pendapatan petani
yang hidupnya sangat bergantung dari hasil karet (Wibawa et al., 2005). Selain
itu, petani dapat melakukan peremajaan wanatani karet tanpa memerlukan biaya
yang tinggi sebagaimana dalam sistem tebas bakar (Joshi et al., 2001).

Praktek peremajaan karet melalui penumbuhan anakan karet pada celah pohon
karet yang sudah ada menyimpan banyak potensi. Namun demikian, perhatian
dan pemahaman para peneliti dan pakar sains mengenai sistem sisipan ini
masih kurang. Petani, berdasarkan pengamatan dan percobaan mereka, telah
mempelajari banyak mengenai sisipan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
sistem ini. Dalam hal ini, petani yang memiliki pengalaman menerapkan sistem
sisipan diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman mengenai sistem
ini sebagai suatu kesatuan dalam pemahaman mengenai ekologi hutan karet
secara umum. Pengenalan mengenai sistem sisipan ini bermanfaat dalam upaya
peningkatan produksi dan pelestarian lingkungan.

PENGETAHUAN EKOLOGI LOKAL MENGENAI


SISTEM SISIPAN
Pengetahuan petani mengenai sistem sisipan meliputi berbagai komponen
penting yang tercakup di dalamnya, serta pemahaman hubungan interaksi
antara komponen tersebut. Hal ini nampak dalam berbagai uraian petani yang
menyajikan keterkaitan antara faktor cahaya, vegetasi bawah dengan pertumbuhan
karet. Selain itu, beberapa klasifikasi lokal diungkapkan oleh petani berdasarkan
pengamatan fisik dan pengalaman mereka.
86 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kotak 1. Metodologi penggalian pengetahuan ekologi lokal

Pada studi ini, sejumlah desa yang diketahui memiliki banyak petani yang
mempraktekkan sisipan dipilih, yaitu desa Rantau Pandan, Muara Buat,
Sepunggur, Lubuk dan Muara Kuamang. Studi ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan sistem berbasis pengetahuan (SBP) yang telah dikembangkan dan
diimplementasikan dalam beragam ekosistem untuk menggali pengetahuan
ekologi lokal (Sinclair dan Walker, 1998). Dalam pendekatan ini dilakukan diskusi
secara mendalam untuk topik tertentu dengan informan yang dianggap paling
berpengetahuan (knowledgeable) dalam suatu komunitas tertentu.

Informan kunci dipilih secara purposif berdasarkan rekomendasi dari orang-orang


yang ditemui. Proses diskusi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan terbuka yang
memungkinkan informan untuk menjelaskan apa yang diketahuinya secara terbuka
dan direkam menggunakan alat perekam. Pernyataan pengetahuan disarikan dari
rekaman tersebut dan kemudian diuraikan menjadi unit pengetahuan terkecil,
untuk kemudian disajikan dengan menggunakan perangkat lunak buatan yaitu
Agroecological Knowledge Toolkit atau AKT dalam bentuk basis pengetahuan (Dixon
et al., 2001; Sunaryo dan Joshi, 2003). Uji keterwakilan atau pemerataan sebaran
basis pengetahuan dilakukan pada seperangkat contoh pernyataan yang diambil
dari basis pengetahuan secara acak. Sampel meliputi petani yang mempraktekkan
dan tidak mempraktekkan sisipan untuk membandingkan sebaran pengetahuan di
antara kedua kelompok tersebut.

Dalam sistem sisipan, jenis bibit yang dapat disisipkan umumnya adalah anakan
karet liar (bibit lokal). Para petani mengetahui bahwa jenis karet unggul atau klon
tidak dapat ditanam dalam sistem sisipan. Jenis bibit ini umumnya hanya dapat
tumbuh dengan baik dengan perlakuan yang intensif dan penggunaan input yang
tinggi. Hal ini didukung dengan beberapa uji coba yang menunjukkan bahwa karet
klon yang ditanam dalam sistem wanatani karet hampir tidak dapat tumbuh. Besar
kemungkinan hal ini disebabkan karena lingkungan yang tidak kondusif dimana
cahaya berkurang dan tingginya kompetisi dalam sistem ini (Gregoire Vincent,
komunikasi pribadi).

Bibit yang digunakan dalam sistem sisipan dapat berupa bibit cabutan atau bibit
yang ditanam di dalam polibek. Petani menyatakan bahwa penggunaan bibit
cabutan lebih rentan jika dibandingkan dengan bibit yang sudah ditanam dalam
polibek. Pencabutan bibit yang kurang hati-hati seringkali mengakibatkan sistem
perakaran bibit cabutan tersebut ikut terpotong dan hal ini dapat menimbulkan
stres. Intensitas stress anakan karet cabutan tergantung pada keutuhan akar dan
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 87
Susilawati, Elok Mulyoutami

ukuran anakan tersebut. Semakin besar ukuran lilit batang anakan, makin tinggi
stress yang dialami dan peluang hidupnya menjadi semakin kecil.

Celah adalah konsep yang dipahami oleh petani sebagai ruang yang cukup untuk
pertumbuhan anakan pohon karet dalam teknik sisipan. Celah dapat terbentuk
karena kematian pohon karet secara alami atau dengan sengaja membunuh
pohon karet atau vegetasi lain di dalam wanatani karet. Pembuatan celah dengan
sengaja dilakukan petani dengan mematikan pohon yang tidak diinginkan atau
tidak produktif. Upaya mematikan ini dilakukan dengan cara pengelupasan kulit
kayu secara melingkar.

Dalam teknik sisipan, anakan karet baru ditanam dengan sengaja di antara
celah tersebut. Petani juga dapat menanam anakan karet baru pada lokasi yang
berdekatan dengan pohon karet tua yang sakit, yang tidak lagi produktif atau yang
hasil lateksnya sedikit. Anakan karet ini dimaksudkan untuk menggantikan pohon
yang sudah tidak produktif tersebut. Sisipan secara alami dapat terjadi bilamana
anakan karet liar dibiarkan tumbuh begitu saja di antara celah tersebut.

Petani sisipan menyatakan bahwa celah dalam sistem wanatani perlu dikelola
dengan penuh seksama. Besar kecilnya celah berhubungan dekat dengan tingkat
pencahayaan ke dalam kebun. Jika celah terlalu besar, sinar matahari dapat
meningkatkan pertumbuhan gulma di samping juga dapat menjadi ruang bagi gulma
untuk tumbuh. Namun jika terlalu sempit, pertumbuhan anakan karet menjadi
lambat dan percabangannya sedikit karena kurang mendapatkan cahaya matahari
dan tingkat kompetisi yang tinggi dengan tanaman yang telah ada sebelumnya.
Selain lebar celah, lokasi celah adalah faktor penting yang juga diperhatikan oleh
petani. Tingkat tajuk pepohonan di sekitar lokasi celah perlu diperhatikan guna
memperkirakan sinar matahari yang masuk. Di samping itu kondisi tanah dimana
celah tersebut berada perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan kelembaban
dan kandungan unsur haranya untuk mendapatkan pertumbuhan karet yang
bagus.

Perkecambahan biji karet, baik yang beregenerasi alami maupun ditanam ulang
oleh petani di dalam celah kebun karet, dapat berlangsung dengan baik bilamana
cukup mendapatkan cahaya matahari (Gambar 13). Kecukupan cahaya matahari
yang masuk ke dalam kebun ditentukan oleh kerapatan tajuk, ketinggian pohon,
dan bentuk tajuk. Pada awal karet mulai ditanam, kebutuhan cahaya masih
cukup rendah, sehingga adanya naungan dari tajuk pohon yang telah ada dapat
memberikan manfaat bagi tanaman karet muda. Walau demikian pembukaan
88 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tajuk kanopi secara bertahap diperlukan sejalan dengan pertumbuhan anakan


tersebut. Semakin besar karet, semakin besar pula kebutuhan cahayanya.

Kerapatan Tinggi pohon


tajuk

Banyaknya
infiltrasi cahaya

Bukaan kanopi

Ketersediaan
Jumlah cabang
cahaya

Bentuk anakan
Laju pertumbuhan karet
gulma

Ketahanan hidup
Produktifitas Anakan karet
karet

Laju pertumbuhan
Laju pertumbuhan anakan karet
pohon karet

Gambar 13. Pengetahuan lokal mengenai tajuk dan cahaya serta implikasinya pada sistem
sisipan (tanda panah menunjukkan hubungan mempengaruhi dari kotak asal ke kotak target)

Konsep penutupan gulma dan kompetisi karet dengan tumbuhan di sekitarnya


untuk mendapatkan unsur hara dan air (kelembaban) dalam tanah dipahami
dengan baik oleh petani. Para petani menyatakan bahwa kerapatan dan
ketinggian tanaman bawah di sekitar tanaman karet dapat mempengaruhi
kemampuan tanaman bawah atau gulma untuk mendominasi tanaman lain. Hal
ini menyebabkan pada lokasi di mana tumbuhan bawah sangat rapat, teknik
sisipan tidak dapat diterapkan. Karena itu, penyiangan ringan di sekitar anakan
karet secara reguler diperlukan untuk mengurangi tingkat kompetisi tersebut.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 89
Susilawati, Elok Mulyoutami

Dengan berkurangnya kompetisi, maka anakan karet mendapatkan unsur hara


dan kelembaban yang cukup sehingga dapat mempercepat pertumbuhannya.

Petani mencoba membandingkan dengan anakan karet baru yang ditanam pada
plot sisipan dan pada plot tebas bakar. Di area plot tebas bakar tidak terdapat
naungan maupun tumbuhan bawah. Karena itu tingkat kompetisi anakan karet
dengan tanaman lain untuk mendapatkan unsur hara dalam tanah cukup rendah.
Selain itu cahaya yang masuk ke dalam wanatani karet sangat mencukupi tanpa
adanya naungan. Selain itu, pembakaran vegetasi pada areal tebas bakar dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Hal ini sangat menguntungkan bagi anakan karet
yang ditanam pada areal tebas bakar. Meskipun demikian, petani menyatakan
dengan pengelolaan yang dilakukan dengan seksama dan pertimbangan yang
tepat akan kecukupan sinar matahari dan kompetisi tanaman karet, maka teknik
sisipan tetap merupakan alternatif yang layak dilakukan dalam wanatani karet.

Intensitas
Tebas dan bakar penggalian Penyiangan
oleh babi

Penutupan lahan
oleh gulma

Kelemababan
Kenampakan tanah
anakan karet
Kesuburan tanah
Kemudahan
menjangkau
Ketahanan pohon karet Laju pertumbuhan
hidup
pohon
anakan karet
Kompetisi gulma
Ketersediaan
Laju pertumbuhan
cahaya
anakan karet

Laju pertumbuhan
gulma

Gambar 14. Pengetahuan lokal mengenai gulma atau tumbuhan bawah dan pertumbuhan
anakan karet dalam sistem sisipan
90 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pada sistem sisipan, petani juga dapat melakukan okulasi jika tidak ada proses
regenerasi alami yang terjadi pada saat diperlukan, atau dengan tujuan untuk
mendapatkan sifat yang lebih unggul (misalnya diokulasi dengan bahan tanam
dari jenis klon). Jenis karet unggul (klon) tidak dapat ditanam dalam sistem
sisipan. Sebagaimana telah diketahui oleh para petani, jenis karet unggul hanya
dapat tumbuh dalam sistem yang intensif dengan input dan pengelolaan yang
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan uji coba yang dilakukan di Jambi: Karet klon
yang ditanam di dalam hutan karet campur hampir tidak dapat tumbuh.

SISTEM SISIPAN SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM


WANATANI KARET
Pemahaman petani mengenai sistem sisipan berkaitan erat dengan pengetahuan
petani dalam konteks sistem wanatani secara keseluruhan. Sebagaimana telah
dikemukakan, sistem adalah suatu metode yang dikembangkan oleh petani untuk
melanggengkan produktivitas sistem wanatani karet. Karena itu, pemahaman
sistem sisipan akan lebih kaya bila ditempatkan dalam konteks sistem wanatani.
Beberapa uraian berikut menggambarkan rincian pengetahuan petani mengenai
pengklasifikasian lokal komponen-komponen yang terdapat dalam sistem wanatani
dan beberapa aspek yang berpengaruh baik positif maupun negatif terhadap sistem
wanatani karet secara keseluruhan.

Klasifikasi lokal

Jenis Tanah

Petani membedakan dua jenis tanah yang terdapat di dalam hutan karet
tradisional menjadi tanah panas dan tanah dingin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan
pengamatan petani dalam melihat seberapa cepat tanah memanas di bawah terik
matahari serta beberapa penjelasan lainnya yang disajikan dalam Tabel 9. Konsep
tanah dingin disini mengacu pada konsep tanah hitam dengan kandungan unsur
hara yang tinggi sehingga memiliki kesuburan yang tinggi. Sedangkan tanah panas
merujuk pada tanah yang unsur haranya kurang dan cepat bereaksi terhadap sinar
matahari. Tanah panas umumnya berwarna lebih pucat dari tanah dingin.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 91
Susilawati, Elok Mulyoutami

Tabel 9. Pengetahuan petani mengenai jenis tanah di dalam wanatani karet

Atribut (perbandingan) Tanah dingin Tanah panas


Kecepatan memanas karena pengaruh Lambat Cepat
sinar matahari
Kandungan pasir Rendah Tinggi
Ukuran pasir (partikel) Kecil Besar
Kandungan hara Tinggi Rendah
Warna Gelap Terang
Porositas Rendah Tinggi
Kemampuan menahan air Tinggi Rendah
Kesuburan Tinggi Rendah
Lokasi (umumnya) Hutan dan kaki bukit Lereng bukit
Kemampuan erosi (karena air hujan) Rendah Tinggi

Variasi Jenis Karet Alam


Di Indonesia, tidak banyak informasi dari para ahli mengenai variasi jenis pohon
karet untuk spesies Hevea brasiliensis dalam sistem wanatani karet. Namun
demikian, petani melihat ada dua jenis pohon karet alam yang jika dilihat dari
morfologi daun, kulit dan produktivitas lateksnya cukup berbeda satu sama lain
(Tabel 10). Pembedaan kedua jenis pohon ini cukup dipahami secara konsisten
oleh sebagian petani, meski beberapa petani lain juga menyebutkan adanya jenis
lain selain kedua jenis tersebut.

Tabel 10.Variasi jenis karet alam dalam sistem wanatani karet di Jambi

Atribut (perbandingan) Karet merah Karet kuning


Bentuk daun Melingkar Menyempit
Ukuran daun Kecil Besar
Warna daun Hijau gelap Hijau terang
Ketebalan kulit Tebal Tipis
Warna kulit Gelap Terang
Ukuran biji Kecil Besar
Percabangan Banyak Sedikit
Laju pertumbuhan Cepat Lambat
Kepekatan latex (ketebalan) Tebal Mengandung air
92 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Meski variasi dalam spesies karet cukup dikenal oleh petani, namun tidak ada
upaya nyata dari para petani untuk melakukan seleksi dalam memilih jenis karet
mana yang lebih baik. Petani menyatakan bahwa pada tahap pencarian bibit,
cukup sulit membedakan manakah bibit yang merupakan jenis karet merah atau
jenis karet kuning. Lagipula, perbedaan produksi lateks dari kedua jenis ini tidak
terlalu signifikan terutama bilamana dibandingkan dengan kesulitan melakukan
penyeleksian bibit karet.

Jenis-jenis Pohon Non-karet dalam Wanatani Karet


Pengetahuan petani mengenai jenis-jenis pohon non-karet yang biasa tumbuh
dalam wanatani karet dikumpulkan dan dikaji. Hal ini bertujuan bukan hanya
untuk mengetahui keragaman hayati secara komprehensif saja, melainkan juga
ingin melihat kedalaman pengetahuan petani mengenai jenis-jenis non-karet
yang biasa ditemui di dalam sistem wanatani karet. Ada sekitar 30 jenis pohon
yang termasuk pohon kayu-kayuan dan pohon buah-buahan disebutkan oleh
petani. Beberapa spesies yang tumbuh cepat setelah tebas bakar dan spesies lain
yang membutuhkan waktu lebih lama untuk beregenerasi, dan jenis-jenis yang
melakukan regenerasi melalui trubusan setelah dilakukan pemangkasan bawah
(coppicing) dapat diidentifikasi dan dijelaskan oleh petani. Beberapa jenis pohon
non-karet dan karakteristiknya disajikan dalam Tabel 11.

Hutan wanatani karet memiliki keragaman jenis yang tinggi yang meliputi
lebih dari 200 jenis tumbuhan dari berbagai jenis plot. Hampir semua jenis ini
hanya memiliki sifat toleransi terhadap pertumbuhan karet bukan mendukung
pertumbuhan karet. Beberapa spesies yang dapat mengancam pertumbuhan karet
dan produksi karet harus dihilangkan dari kebun. Jenis seperti mahang (Macaranga
triloba), menarung (Trema tomentosa) dan medang (Sterculia rubiginosa) yang dapat
tumbuh cepat setelah tebas bakar juga perlu dihilangkan karena dikenal sangat
agresif dan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet, lagipula jenis ini
tidak memiliki nilai ekonomi. Jenis tanaman berkayu seperti kelat (Syzygium
polyanthum) dan tanaman buah seperti durian (Durio zibethinus) yang memiliki
nilai ekonomi tinggi tetap dipertahankan meski sebetulnya mereka memiliki
pengaruh negatif terhadap pertumbuhan karet. Namun demikian, umumnya
pohon buah-buahan baik yang berpengaruh negatif maupun tidak terhadap pohon
karet umumnya tetap dipertahankan asalkan memiliki nilai ekonomis.
Tabel 11. Jenis pohon yang umum terdapat dalam sistem wanatani karet (hutan karet) (dikutip dari basis pengetahuan)

Nama lokal Nama latin Waktu Agen Kecepatan Toleransi Kemampuan Atribut lain
tumbuh penebar tumbuh terhadap tumbuh
setelah benih naungan kembali
tebas atau biji setelah
bakar pemangkasan
(coppicing)
Pulai Alstonia spp 1-3 tahun Burung Cepat Toleran Ya Kayu lunak
Balam Ganua spp 1-3 tahun Kayu ringan
(Palaquium or
Payena spp)
Kelat Syzygium Angin Ya Memiliki kompetisi yang tinggi
polyanthum terhadap karet dan tanaman lain
Balik angin Macaranga co- 2 minggu Angin Cepat Tidak Kayu baru, akar dangkal,
nifera kemampuan kompetisi rendah,
tidak berbahaya untuk karet, umur
pendek – sekitar 15 tahun
Durian Durio zibethinus Mungkin Pohon tinggi dengan tajuk tebal,
umur panjang – 50 tahun, akar rapat
dan kemampuan kompetisi tinggi,
buah bernilai guna tinggi
Petay Parkia speciosa Tupai Toleran Tajuk renggang dengan daung
kecil yang dapat dengan cepat
berdekomposisi dan memiliki
tingkat kesuburan tinggi, sangat
kompetitif, dan buahnya bernilai
guna tinggi
Susilawati, Elok Mulyoutami
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati

Manggis Garcinia man- Tajuk renggang, pohon pendek


gostana
Cempeda Artocarpus integer Lambat Toleran Mungkin Buah bermanfaat, mudah terbakar
93

Nangka Artocarpus Toleran Buah bermanfaat


heterophyllus
94

Nama lokal Nama latin Waktu Agen Kecepatan Toleransi Kemampuan Atribut lain
tumbuh penebar tumbuh terhadap tumbuh
setelah benih naungan kembali
tebas atau biji setelah
bakar pemangkasan
(coppicing)
Rambutan Nephenium Toleran Buah bermanfaat
lappaceum
Jengkol Archindendron Burung, Toleran Buah bermanfaat
jiringa tupai
Belajar dari Bungo

Kulim Hydnocarpus 1-3 tahun Lambat Kurang Ya Kayu keras, nilai kayu tinggi,
woodii semakin jarang, anakannya disukai
oleh babi
Petaling/ Ochanostachys 1-3 tahun Burung, Lambat Kurang Ya Tajuknya renggang, kayu keras,
Tenggris amentacea tupai mudah terbakar
Tembesu Fagraea fragrans Lambat Ya Mulai langka
Sekubung Macaranga gi- 2 minggu Burung Cepat Tidak Ya Kayu baru, tajuk rapat, berumur
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

gantea pendek
Mahang Macaranga triloba 2 minggu Burung, Cepat Tidak Lemah Kayu baru, umur pendek,
angin memperlambat pertumbuhan karet,
nilai ekonomis rendah
Medang Sterculia rubigi- 1-3 tahun Angin Cepat Ya Tajuk renggang, kayu lunak,
nosa memperlambat pertumbuhan karet
Meranti Shorea parvifolia 1 tahun Angin Lambat Nilai kayu tinggi, ukuran biji kecil –
dapat tersebar jauh
Menarung/ Trema tomentosa Sangat Angin Tidak Kayu baru, berakar dangkal, ke-
Angrung cepat mampuan kompetisi lemah, nilai
ekonomis rendah
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 95
Susilawati, Elok Mulyoutami

Hama di dalam Sistem Wanatani Karet


Selain berbagai penyakit yang mungkin timbul pada pohon karet, ancaman lain
yang perlu diperhatikan dalam budidaya karet adalah hama. Hama dari golongan
mamalia yang banyak mengganggu tanaman karet adalah babi hutan, rusa, dan
simpay. Hama babi hutan (Sus scrofa) adalah hama yang paling mengganggu
dalam wanatani karet, termasuk yang menerapkan teknik sisipan (Williams et al.,
2001b). Menurut petani, babi sering menginjak tanaman karet yang masih muda
jika sedang mencari biji karet dan serangga yang banyak terdapat pada wanatani
karet. Selain itu, babi juga menyukai getah manis yang dihasilkan dari akar
anakan karet. Jika dulu babi hanya menyukai karet dari jenis anakan liar, sekarang
babi juga mulai menyukai karet dari jenis klon atau unggul. Sedangkan rusa dan
simpay, meskipun merupakan hama yang cukup berbahaya namun umumnya
hanya menyerang wanatani karet yang lokasinya berdekatan dengan hutan.

Dari beberapa jenis hama yang telah disebutkan, petani merasakan intensitas
perusakan karet baru oleh babi lebih tinggi jika dibandingkan dengan hama
mamalia lain. Di Jambi, karena mayoritas penduduknya muslim dan tidak
mengkonsumsi babi, maka babi tidak banyak diburu oleh manusia. Namun
sebaliknya, masyarakat di Jambi memburu rusa selain untuk memakan dagingnya
juga untuk mendapatkan tanduknya. Karena itu rusa jarang ditemui di dekat area
pemukiman manusia. Hal ini dapat menjadi konfirmasi mengapa wanatani karet
yang letaknya dekat dengan areal pemukiman cenderung aman dari gangguan
rusa.

Menurut sebagian petani, populasi babi yang merusak wanatani karet meningkat
berkaitan erat dengan menipisnya lapisan hutan alami. Dengan berkurangnya
kerapatan hutan, populasi harimau sebagai predator babi juga semakin berkurang.
Petani juga beranggapan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit monokultur
menjadi penyebab meningkatnya serangan babi pada sistem wanatani karet.
Dengan sistem wanatani, babi dapat dengan mudah bersembunyi di sela pepohonan
dan semak jika dibandingkan pada sistem monokultur. Aktivitas penebangan dan
suara chainsaw yang bergema di areal sekitar hutan membuat babi di dalam hutan
tersebut takut dan pergi ke area wanatani karet yang terdekat untuk bersembunyi
dan mencari makan.

Untuk mengatasi masalah hama babi ini petani memiliki beberapa strategi. Salah
satu upaya untuk mengurangi kerusakan anakan karet adalah dengan membuat
pagar yang dapat menghalangi babi masuk ke area kebun. Pemagaran dapat
dilakukan di sepanjang area kebun atau melalui pemagaran secara individu di
96 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

setiap anakan karet. Namun sejumlah petani menyatakan bahwa pemagaran di


sekeliling area kebun memiliki efektivitas dan efisiensi yang lebih jika dibandingkan
dengan pemagaran individu.

Populasi
Perburuan babi Area hutan Peracunan babi
harimau

Populasi babi
hutan
Intensitas
Kerusakan anakan
penggalian
karet oleh babi
oleh babi

Kemudahan Laju pertumbuhan


Penutupan lahan anakan karet
menjangkau
oleh gulma
pohon karet

Laju pertumbuhan
Pohon karet
Penyiangan
Ketersediaan
cahaya
Tebas bakar

Penutupan Laju pertumbuhan


serasah gulma

Gambar 15. Pengetahuan ekologi lokal mengenai gulma dan hama babi

Petani memahami hubungan antara penyiangan kebun dengan intensitas


pengrusakan anakan karet oleh babi hutan. Anakan karet pada plot yang disiangi
secara bersih sangat mudah dilihat dan dijangkau sehingga akan mudah dirusak
oleh babi hutan. Di lain pihak, vegetasi yang tumbuh di lantai kebun secara alami
ini menjadi tempat yang bagus sebagai tempat babi bersembunyi dan membuat
sarang. Karena itu, satu upaya lagi yang dilakukan guna mengurangi serangan
babi adalah menyiangi sekeliling anakan karet tetapi membiarkan serasah gulma
di lorong kebun. Hal ini dimaksudkan agar babi sulit menjangkau tanaman
karet tersebut karena terhalang oleh serasah. Di samping itu, serasah gulma di
sekeliling pohon karet dapat menjadi sumber hara dan pengatur kelembaban bagi
tanaman.
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 97
Susilawati, Elok Mulyoutami

Upaya lain yang dilakukan petani untuk mengurangi kerusakan karet karena babi
adalah dengan menggunakan anakan karet yang berukuran besar (diameternya
lebih dari lima sentimeter). Batang anakan karet yang besar lebih tahan dari
serangan babi namun sebaliknya cara ini memiliki beberapa kelemahan. Anakan
karet berdiameter besar cenderung lebih rentan dan mudah stres jika dibandingkan
dengan yang ukurannya lebih kecil. Kerusakan yang banyak dialami oleh anakan
karet cabutan dengan diameter besar terutama pada saat pencabutan anakan
atau bibit karet itu dari lokasi lama sebelum dipindahkan ke lokasi yang baru.
Jika pencabutan tidak dilakukan dengan hati-hati anakan karet cabutan tersebut
dapat mengalami stres dan kemampuan bertahan hidupnya menjadi kurang.

PENUTUP
Sistem wanatani karet merupakan suatu sistem yang diterapkan oleh petani
dalam upaya memperpanjang siklus tradisional mulai dari tanaman karet yang
ditumpangsarikan dengan palawija, sampai akhirnya kebun muda ini berkembang
menjadi hutan karet kembali (Gouyon et al., 2000; Joshi et al., 2003). Sumber
penghidupan yang utama bagi sebagian besar petani di Jambi adalah wanatani
karet. Namun demikian, perkembangan sistem wanatani mengalami tantangan.
Sekarang ini harga karet mengalami peningkatan sehingga karet sedang menjadi
primadona. Kondisi ini membuat petani berlomba-lomba untuk membuka kebun
karet dan lebih berorientasi pada produk lateksnya. Perkebunan monokultur dan
penggunaan karet unggul lebih mendapatkan perhatian karena dapat memberikan
keuntungan yang lebih cepat dan memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada
hutan karet tradisional. Penggunaan bibit unggul dengan cara tanam monokultur
yang intensif menjadi pilihan utama para petani terutama yang bermodal besar.
Dari uraian tersebut, nampak jika motivasi ekonomi berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan strategis petani dalam menentukan tipe penggunaan
lahan.

Sistem sisipan sebagai suatu bagian dari sistem wanatani karet merupakan suatu
metode untuk memperpanjang umur hutan karet tersebut agar dapat lebih lama
berproduksi. Penerapan sistem sisipan dalam sistem wanatani karet terutama
didorong adanya keterbatasan sumberdaya petani. Banyak petani yang hidupnya,
terutama untuk pemenuhan kebutuhan uang tunai harian, bergantung pada
produktivitas lateks. Sistem sisipan memungkinkan petani dapat terus menyadap
kebunnya dalam kurun waktu yang lebih lama. Selain itu, tidak perlu ada modal
yang besar untuk membuka lahan (Wibawa et al., 2005), karena penanaman
karet muda dilakukan dalam kebun karet yang sudah lebih dulu ada. Kebutuhan
98 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

sumberdaya manusia dalam sistem sisipan rendah, pengelolaan kebun dilakukan


secara ekstensif dan sederhana. Secara taktis, teknik sisipan dalam sistem wanatani
karet memang dapat memenuhi kebutuhan petani yang memiliki sumberdaya
terbatas. Lagi pula nilai keragaman sistem sisipan dalam wanatani karet cukup
tinggi sehingga memungkinkan terjadinya diversifikasi produk yang tidak hanya
lateks, melainkan juga buah-buahan dan kayu-kayuan.

Dalam studi ini terlihat bahwa pengetahuan ekologi petani tentang pertumbuhan
karet, produksi lateks, dan jenis-jenis vegetasi non-karet memiliki peran dalam
penentuan keputusan petani mengenai bagaimana mereka mengelola sumberdaya
mereka secara rutin. Pengetahuan dalam pengelolaan kebun dan pertumbuhan
karet dalam konteks sisipan dan pengetahuan untuk mengurangi kompetisi dari
beberapa spesies pohon agresif dimiliki dan dipahami secara baik oleh beberapa
petani di Jambi. Pengetahuan ini sangat mempengaruhi sejumlah keputusan taktis
petani dalam mengelola lahannya.

Pengetahuan petani mengenai teknik sisipan menunjukkan eksistensi pengetahuan


lokal dalam memberikan alternatif dalam pengelolaan sistem wanatani karet.
Sistem sisipan merupakan suatu solusi bagi petani untuk melanggengkan kebunnya,
baik kebun monokultur maupun wanatani karet, untuk tetap berproduksi tanpa
memerlukan banyak biaya dan cenderung lebih permanen. Selain itu, keragaman
hayati kebun karet dalam sistem sisipan lebih terjaga, termasuk juga jenis herba,
tanaman bawah dan berbagai pohon lain yang memiliki nilai ekonomi. Jika pada
plot tebas bakar petani perlu melakukan upaya pengayaan keragaman hayati di
plotnya, pada sistem sisipan keragaman hayati bersifat lebih alami dan memiliki
tingkatan umur yang berbeda.

Pemahaman petani mengenai sistem sisipan melengkapi wacana mengenai sistem


wanatani karet yang tidak hanya sarat dengan nilai sosial dan lingkungan, tetapi
juga menunjukkan adanya sumberdaya manusia yang mendukung dan mampu
mengelola lingkungannya secara mandiri. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah
ahli melakukan uji coba bersama-sama dengan petani untuk menerapkan
bibit klonal yang memiliki produktivitas tinggi di dalam sistem sisipan. Hal ini
menunjukkan bahwa selain pengetahuan masyarakat memiliki kontribusi dalam
pengembangan inovasi dan teknologi, namun juga pemilik pengetahuan lokal
tersebut dilibatkan dalam upaya pengembangan teknologi tersebut (Joshi et al.,
2004). Selain itu, upaya pengayaan jenis tanaman dalam sistem wanatani karet
dapat dicoba dilakukan dengan sistem sisipan. Dengan pemahaman yang telah
dimiliki petani mengenai teknik sisipan dan jenis tanaman yang toleransi dengan
karet memungkinkan ujicoba penerapan sisipan untuk tanaman non-karet dapat
BAGIAN 2-2 • Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati 99
Susilawati, Elok Mulyoutami

dilakukan secara mandiri. Namun demikian berbagai kajian ilmiah mengenai


jenis-jenis tanaman yang tepat masih perlu dikembangkan.

Sebagai kesimpulan, terlihat bahwa sistem sisipan memiliki peran yang penting
dalam kebutuhan taktis petani. Sekalipun dengan produksi yang tidak terlalu
tinggi, sistem sisipan dalam wanatani karet menjadi alternatif cara pengelolaan
kebun yang cukup memadai bagi para petani. Tentu saja diperlukan riset
pendukung terhadap berbagai pilihan untuk mencari keseimbangan yang tepat
antara keuntungan dan fungsi lingkungan praktek sisipan dalam sistem wanatani
ini. Perlu adanya diskusi yang lebih mendalam dalam perencanaan mengenai
sistem pendukung atau mekanisme alternatif dalam jasa lingkungan, perubahan
kebijakan untuk mendorong peningkatan harga karet dan pengembangan sistem
hutan karet dan diversifikasi horisontal dari produk yang dihasilkan dalam sistem
ini.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih diberikan kepada tim ICRAF Bungo yang telah memfasilitasi kegiatan
penelitian ini. Terima kasih tak terhingga kepada masyarakat Bungo yang telah
memberikan kontribusi besar terhadap tulisan ini serta atas kesabarannya selama
terlibat dalam kegiatan penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Berkes, F., Colding, J. dan Folke, C. 2000. Rediscovery of Traditional Ecological
Knowledge as Adaptive Management. Ecological Applications 10(5):
1251-1262
Dixon, H.J., Doores, J.W., Joshi, L. dan Sinclair, F.L. 2001. Agroecological
Knowledge Toolkit for Windows: Methodological Guidelines, Computer
Software and Manual for AKT5. School of Agricultural and Forest
Sciences, University of Wales, Bangor, Inggris: 171 pp.
Gouyon, A., de Foresta, H., dan Levang, P. 2000. Kebun Karet Campuran di Jambi
dan Sumatera Selatan. Dalam: de Foresta, H., Kusworo, A., Michon,
G. dan Djatmiko, W.A. (ed.) Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest
Khas Indonesia. ICRAF. Bogor, Indonesia: 65- 83.
Joshi L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D, Akiefnawati R, Gerhard Manurung
G dan van Noordwijk M. 2001. Wanatani Kompleks Berbasis Karet:
Tantangan untuk Pengembangan. International Centre for Research in
100 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Agroforestry, SEA Regional Research Programme. Bogor, Indonesia: 38


pp.
Joshi, L., Wibawa, G., Beukema, H., Williams, S. dan van-Noordwijk, M. 2003.
Technological Change and Biodiversity in the Rubber Agroecosystem
of Sumatra. Dalam: Vandermeer, J. (ed) Tropical Agroecosystems. CRC
Press, FL, USA: 133-157 pp.
Joshi, L., Shrestha, P.K., Moss, C. dan Sinclair, F.L. 2004. Locally Derived
Knowledge of Soil Fertility and Its Emerging Role in Integrated Natural
Resource Management. Dalam: van Noordwijk, M., Cadisch, G. dan
Ong, C.K. (ed). Belowground Interactions in Tropical Agroecosystems:
Concepts and Models with Multiple Plant Components. Chapter 2.
CABI International. Wallingford, Inggris: 17-39.
Joshi, L., van Noordwijk, M., dan Sinclair, F.L. 2005. Bringing Local Knowledge
in Perspective: A Case of Sustainable Technology Development in
Jungle Rubber Agroforests in Jambi, Indonesia. Dalam: Neef, A. (ed.)
Participatory Approaches for Sustainable Land Use in Southeast Asia.
White Lotus Press. Bangkok, Thailand: 277-289.
Mulyoutami, E., Stefanus, E., Schalenbourg, W., Rahayu, S. dan Joshi, L. 2004.
Pengetahuan Lokal Petani dan Inovasi Ekologi dalam Konservasi
dan Pengelolaan Tanah pada Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya,
Lampung Barat. Agrivita 26:98 – 107.
Sinclair, F.L. dan Walker, D. 1998. Acquiring Qualitative Knowledge about
Complex Agroecosystems. Part 1: Representation as Natural Language.
Agricultural Systems, 56(3):341-363.
Sunaryo dan Joshi, L. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem
Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestry 7. World Agroforestry Centre.
Bogor, Indonesia: 28 pp.
Walker, D.H. 1994. A Knowledge based Systems Approach to Agroforestry
Research and Extension. PhD Thesis. University of Wales, Bangor,
Inggris.
Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder
in Sumatra, Indonesia. Dalam: Palm, C.A., Vosti, S.A., Sanchez, P.A.
dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn Agriculture, The Search for
Alternatives. Columbia University Press, New York:222-232.
Williams, S.E., Gillison, A. dan van Noordwijk, M. 2001a. Biodiversity: Issues
relevant to Integrated Natural Resource Management in the Humid
Tropics. Alternative to Slash and Burn. ICRAF. Lecture Note 5: 35 pp.
Williams, S.E., van Noordwijk, M., Penot, E., Healey, J.R., Sinclair, F.L. dan
Wibawa, G. 2001b. On-farm Evaluation of the Establishment of Clonal
Rubber in Multistrata Agroforests in Jambi, Indonesia. Agroforestry
Systems 53:227-237.
BAGIAN 2-3
Mengatur Diri Sendiri melalui
Pengelolaan Lubuk Larang

Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan


102 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Trikurnianti Kusumanto
Beramai-ramai membuka lubuk larang

Papan-papan pengumuman penanda kawasan lubuk larang banyak dijumpai di


kiri-kanan pinggir Sungai Batang Pelepat sepanjang Desa Rantau Keloyang hingga
ke Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat. Malah ada yang menerangkan berbagai
aturan pengelolaan dan sanksi bagi para pelanggarnya. Tapi, apa sebenarnya yang
dimaksudkan dengan lubuk larang?

Secara etimologi, lubuk larang terdiri dari kata ”lubuk” dan kata ”larang”. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ”lubuk” diartikan ”tempat yang dalam di
sungai, telaga, atau laut”1, sedangkan kata ”larang” diartikan ”perintah dilarang
melakukan suatu perbuatan”. Jika kata ini ditambah dengan akhiran -an akan
menjadi kata ”larangan”2. Aturan lubuk larang atau lubuk larangan mengartikan
sebuah lubuk, bagian sungai yang berceruk dan menjadi tempat ikan bertelur,
dilarang dan dibatasi pengambilan ikannya selama kurun waktu tertentu, atas
dasar kesepakatan bersama masyarakat. Secara sederhana orang akan cepat
mengartikannya sebagai suatu kawasan tertentu di sungai yang dilindungi dalam
masa tertentu.

Aturan juga menyebutkan, peralatan yang digunakan dalam mengambil ikan


dibatasi pada alat tangkap yang dapat menjamin kelestarian ikan. Sanksi juga
berlaku untuk pengambilan yang menggunakan racun, putas, setrum, dan

1 Kamus Umum Bahasa Indonesia, (1990) halaman 610


2 Masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan kata Lubuk Larangan
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 103

bahan peledak. Bagi masyarakat, bukan hanya denda adat dan sanksi sosial yang
membuat mereka tidak mau mengambil ikan di lubuk larang, tetapi berkaitan
dengan kepercayaan adanya bahaya bagi mereka yang mengambilnya. Melalui
kesepakatan bersama sebuah lubuk larang lalu dibuka, dipanen dan hasilnya
digunakan untuk keperluan masyarakat tertentu.

Gambaran ini memperlihatkan bahwa lubuk larang merupakan tradisi turun


temurun masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain memberi nilai ekonomi, ternyata lubuk larang juga menyimpan kearifan
lokal. Melalui lubuk larang komunitas setempat mengembangkan konsep
pengelolaan sumberdaya alam secara komunal. Konsep ini cenderung mengurangi
eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam, khususnya sungai. Dengan
mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan
investasi modal sosial (social capital) di antara mereka dalam format pengelolaan
sumberdaya “milik bersama”.

Itu juga menggambarkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya


alam secara arif dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan
kesejahteraan. Hal ini menjadi penanda pentingnya keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Peran ini semakin penting seiring dengan semakin tingginya tingkat kerusakan alam
akibat salah urus pengelolaan sumberdaya alam, seperti yang ditunjukkan oleh
hasil temuan tim kolaboratif KKI-WARSI3, BirdLife Indonesia4, Dinas Kehutanan
Propinsi dan kabupaten-kabupaten di Propinsi Jambi, serta dukungan INFORM5.
Sejak awal 2004, tim melakukan penyusunan dokumen potret kondisi hutan Jambi
antara 1990-2000. Kendati tidak secara spesifik menyoroti kondisi hutan di Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS), namun analisa citra Landsat memperlihatkan
dalam kurun waktu 10 tahun, luasan tutupan hutan di Jambi berkurang sekitar satu
juta ha6. Kerusakan hutan ini disebabkan oleh konversi untuk perkebunan kelapa
sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri (HPHTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), penebangan liar, kebakaran
3 Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan dengan motto “Konservasi Bersama Masyarakat”, berkantor
di Kota Jambi dengan wilayah kegiatan saat ini di seluruh Sumatera. Untuk lebih jelas silahkan lihat di http://www.warsi.or.id
4 Perhimpunan Pelestari Burung Indonesia merupakan organisasi konservasi nasional yang berbasiskan keanggotaan, dan bekerja pada upaya-upaya
konservasi burung, penelitian dan pengelolaan informasi, jaringan kerja, komunikasi dan advokasi, serta pengembangan keanggotaan. Bisnis utamanya
adalah menyediakan kesempatan dan memberikan pelayanan bagi publik untuk berperan serta pada upaya pelestarian burung dan habitatnya di
Indonesia. Menjadi organisasi mandiri berarti membuka kesempatan untuk mengembangkan arah dan kepemimpinan lokal, serta mengembangkan
konstituen nasional, berkantor di Bogor. Untuk lebih jelas silahkan lihat http://www.birdlife.org/worldwide/national/indonesia/
5 Indonesia Forest dan Media Campaign (INFORM), merupakan kerjasama beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang fokus utamanya
pada kampanye pengelolaan hutan di Indonesia
6 Dari analisa citra Landsat (tanpa melakukan verifikasi lapangan) diketahui, Jambi pada 1990 masih memiliki tutupan lahan (vegetasi) berupa hutan
yang masih dominan yaitu 2,4 juta ha atau sekitar 49,97% dari seluruh luas propinsi. Hutan seluas itu terdiri dari berbagai tipe baik hutan dataran
rendah, hutan sub alpin (pegunungan) ataupun hutan rawa. Tetapi pada 2000 tutupan lahan hutan hanya tinggal sebesar 1,4 juta ha atau sekitar 29,66
% dari luas Jambi. Berdasarkan angka ini dalam kurun waktu 10 tahun, terjadi pengurangan luas tutupan lahan hutan hampir 1 juta ha, tepatnya
sebesar 989.466 ha atau sekitar 20,31 % tutupan lahan hutan di Jambi hilang dalam jangka waktu 10 tahun. Untuk jelasnya silahkan lihat Taher,
(2005).
104 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan pembakaran hutan. Selain itu, pertambahan luas kebun karet masyarakat
yang menurut data BPS mencapai ± 87,674 ha, penambahan areal pertanian dan
perkebunan untuk transmigrasi seluas 246,133 ha, serta pertambahan penduduk
yang mencapai ±1.84%.

Temuan lain diperlihatkan dalam Studi Sosial Ekonomi yang dilakukan Yayasan
Gita Buana bersama Uni Eropa melalui program Forest Inventory Monitoring Project
(FIMP) pada September 1998. Studi ini memperlihatkan desa-desa di sekitar
bufferzone (kawasan penyangga) TNKS di Propinsi Jambi yang sedang dalam
tekanan. Desa-desa yang sebagian besar berada di hulu sungai, kini menjadi sasaran
konversi lahan untuk perkebunan (HTI, karet dan sawit) maupun transmigrasi.
Malangnya, tak jarang konversi itu dilakukan di lahan-lahan produksi masyarakat
(seperti kebun karet tua) dan dilakukan secara paksa dengan ganti rugi yang
sangat murah.

Beranjak dari pemikiran di atas, kiranya penting untuk menangkap secara utuh
pesan pengelolaan lubuk larang oleh masyarakat itu. Pada dasarnya, itu merupakan
cerminan masyarakat yang mampu mengatur diri-sendiri dalam memenuhi
kebutuhan dan mengatasi permasalahan secara bersama. Sikap inilah yang
sesungguhnya menjadi dasar bagi otonomi desa. Dengan sikap ini mereka mampu
menanam dan mengembangkan investasi modal sosial dalam sistem pengelolaan
lubuk larang.

Selain itu, keberadaan Batang Pelepat sebagai daerah penyangga TNKS semakin
menambah penting peran masyarakat untuk turut mempertahankan kelestarian
sumberdaya alam. Pengelolaan lubuk larang juga akan berkait dengan ekosistem di
sekitarnya dan bukan hanya sungai. Keberadaan lubuk larang akan tetap terjaga
jika hutan di wilayah ini juga terjaga, tanahnya tidak terganggu, sumber air masih
baik, dan pengelolaan yang berkelanjutan oleh orang-orang yang ada di sekitar
daerah tersebut. Pergeseran dari semua keadaan di atas akan menyebabkan lubuk
larang tinggal menunggu masa kehancurannya.

PENGELOLAAN LUBUK LARANG

Diawali dengan Yasinan


Hari itu, Jum’at 17 Juni 2005. Matahari menerpa bantaran yang menjorok ke
sungai. Beberapa anggota masyarakat Dusun Pedukuh, Desa Baru Pelepat mulai
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 105

berkumpul. Mereka berkopiah dan


mengapit kitab kecil yang memuat
Surat Yasin. Ada yang segera mengambil
posisi duduk khidmat beralaskan batu-
batu sungai, ada yang menuju sungai

© Hasantoha Adnan
untuk berwudhu. Kepala Desa Baru
Pelepat, Ketua BPD, para tokoh adat,
ninik mamak, alim ulama dan anggota
masyarakat lainnya tampak mengambil
Masyarakat Dukun Pendukuh sedang bagian, duduk khidmat dalam
berkumpul untuk Yasinan lingkaran. Sementara beberapa ibu-ibu
menyiapkan penganan pagi itu.

Kegiatan diawali dengan penjelasan dari ninik mamak Dusun Pedukuh, Bapak Abu
Nazar. Beliau menegaskan, duduk masalah dilaksanakannya kegiatan pembacaan
Yasinan kali ini untuk membentuk Lubuk Larang Batu Sawan. Pembuatan lubuk ini
bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
murid dan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 171 yang sudah berdiri sejak lama di
Dusun Pedukuh. Hal ini diperlukan karena kendati sudah ada dana bantuan dari
pemerintah namun masih dirasakan kurang mencukupi. Pembuatan lubuk ini hasil
kesepakatan antara masyarakat, selaku orangtua murid, guru, dan pemerintah
desa. Ketika lubuk larang ini dibuka kelak, diharapkan hasilnya dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan sekolah. Menegaskan pernyataan tersebut, Pak Sudar, Kepala
SDN 171 yang sejak 1987 mengajar di Desa Baru Pelepat, menyatakan, “Hasil dari
lubuk larang ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk peserta didik.”

Hamdan, Kepala Desa Baru Pelepat, dalam sambutannya, merasa bangga dan
menyambut baik inisiatif untuk membuat lubuk larang sebagai upaya membantu
pemenuhan keperluan dan kebutuhan sekolah. Sepengetahuan Hamdan yang
telah menjadi kepala desa selama empat tahun, ini baru pertama kali di Pelepat
Ulu, masyarakat bersama para pengajar bergotong-royong membentuk lubuk
larang untuk keperluan sekolah. Hamdan berharap, semoga hal ini dapat menjadi
contoh bagi dusun lain di Baru Pelepat maupun desa lainnya. Lebih jauh Hamdan
mengemukakan rasa bangganya, karena lubuk ini menjadi wujud kepedulian
masyarakat terhadap pendidikan. “Rasa kepedulian ini sangat penting demi kemajuan
dan perubahan ke arah yang lebih baik,” kata Hamdan.

Usai membaca Surat Yasin, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa, memohon
keselamatan dan kesejahteraan kepada Sang Khalik. Memohon ampun, diberikan
kekuatan dan dijauhkan dari rintangan dalam menjalankan tugas di muka bumi
106 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ini. Acara pun dilanjutkan dengan ramah tamah dan diskusi kecil tentang
mekanisme mengelola lubuk larang ini, kapan rencananya akan dibuka dan
bagaimana pemanfaatan hasilnya.

Membentuk Lubuk Larang

Berakhirnya pembacaan Yasin dan doa menandakan dimulainya pengelolaan Lubuk


Larang Batu Sawan. Pengelolaan lubuk ini diawali dengan musyawarah untuk
mencapai kesepakatan para pihak di desa atau dusun atau kelompok tertentu
dengan melibatkan ninik mamak di desa untuk menutup sebuah lubuk. Pada saat
itu ditentukan lubuk yang akan ditutup dengan pertimbangan bahwa potensi ikan
lubuk itu besar dan lokasinya dekat dengan desa.

Lubuk Larang Batu Sawan bukanlah satu-satunya lubuk di Desa Baru Pelepat.
Berdasarkan identifikasi awal tercatat sekurang-kurangnya 20 buah lubuk larang
di sepanjang hulu Batang Pelepat yang tersebar di lima desa, yaitu Batu Kerbau,
Baru Pelepat, Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang (Tabel 12).

Umumnya lubuk larang ini berada di dekat pemukiman penduduk yang bisa
dimanfaatkan sebagai tepian (tempat mandi dan mencuci) serta dapat diawasi
setiap saat dari gangguan para pihak, baik dari dalam desa maupun luar desa.
Panjang kawasan yang dijadikan lubuk larang ini antara 50-500 m, dengan lebar
20-80 m, tingkat kedalaman sungai di sekitar lubuk tersebut berkisar antara 50
cm sampai enam meter. Bentuknya ada yang lurus memanjang atau berkelok
tergantung kondisi lubuk yang ada di sungai tersebut.

Tabel 12. Penyebaran lubuk larang di hulu Sungai Batang Pelepat

No Desa Jumlah Lubuk Larang Pembentukan (Tahun)


1 Batu Kerbau 7 1997
2 Baru Pelepat 6 1997
3 Rantel 3 2001
4 Balai Jaya 1 2003
5 Rantau Keloyang 3 2001
20

Pengelolaan lubuk larang untuk wilayah Desa Rantel, Balai Jaya, dan Rantau
Keloyang baru dilakukan sekitar dua hingga tiga tahun belakangan ini. Sementara,
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 107

pengelolaan lubuk larang dalam waktu lama (sejak 1980-an) telah dilakukan
di Desa Batu Kerbau dan Baru Pelepat. Jumlah lubuk larang di setiap desa juga
beragam, dan pada umumnya disesuaikan dengan jumlah dusun yang ada pada
desa tersebut.

Keberadaan lubuk larang ini di beberapa tempat ditandai dengan tali, bendera
atau umbul-umbul di sepanjang lubuk yang dijadikan kawasan. Bisa juga dengan
pemberitahuan melalui upacara tertentu, baik secara ritual adat maupun keagamaan
di kawasan tersebut pada saat penutupan atau pembukaan (pengambilan hasil),
sesuai dengan hasil kesepakatan masyarakat di wilayah tersebut. Dengan cara
begitu, seluruh masyarakat di desa tersebut sudah mengetahui keberadaan dan
letak lubuk larang tersebut. Akan tetapi, untuk para pendatang yang baru masuk
dan tidak mengetahui adanya kawasan tersebut, bentuk pemberitahuan semacam
itu biasanya tidak efektif. Karena itu, perlu ditambah dengan pemasangan papan
pengumuman yang dipancangkan di sekitar kawasan lubuk larang.

Tujuan penetapan sebuah lubuk larang adalah: pertama, penegasan bahwa lubuk
larang itu dikelola oleh desa atau dusun. Menurut Tafrizal, Kepala Desa Batu
Kerbau, biasanya hasil dari lubuk larang ini akan dijadikan kas desa atau dusun dan
digunakan untuk pembiayaan pembangunan desa, baik fisik maupun non fisik,
seperti masjid, madrasah, rumah sekolah, membiayai rapat-rapat desa, perayaan
kemerdekaan ataupun untuk penyediaan lauk-pauk untuk menyambut tamu-
tamu istimewa seperti pejabat dari kabupaten atau propinsi serta pihak lain yang
datang berkunjung ke desa ini7. Terkadang lokasi lubuk larang dijadikan lokasi
pemancingan dan biasanya dikenai tarif tertentu.

Kedua, lubuk larang dikelola dengan tujuan khusus oleh kelompok tertentu, seperti
Lubuk Larang Batu Sawan yang dikelola untuk keperluan sekolah. Menurut Pak
Sudar, hasil dari lubuk larang tersebut nantinya untuk memenuhi keperluan
sekolah, seperti penyediaan alat ajar, membayar guru honorer, maupun untuk
membantu murid sekolah yang tidak mampu dan tidak memperoleh bantuan
untuk keperluan sekolahnya dari komite sekolah maupun dari pemerintah8. ”Ini
wujud kepedulian kami atas pengembangan pendidikan di desa. Kalau hanya
menunggu bantuan dari pemerintah, entah kapan turunnya?” katanya memberi
alasan pentingnya keberadaan lubuk larang ini.

7 Hal ini diberlakukan mengingat letak desa yang cukup jauh dari kota kabupaten serta kondisi jalan yang buruk, sehingga kedatangan tamu-tamu dari
luar desa cukup mendapat perhatian. Dan menjadi kewajiban perangkat desa untuk menjamu tamu-tamu tersebut. Bagi desa, kehadiran tamu-tamu
dari luar menjadi sumber informasi bagi desa. Khusus bagi tamu-tamu dari pemerintah (baik kabupaten, propinsi maupun nasional) kehadiran mereka
membuktikan bahwa desa mereka diperhatikan, selain itu biasanya kedatangan mereka berkaitan dengan program pembangunan desa. Wawancara
pada 20 Oktober 2005.
8 Wawancara 21 Oktober 2005
108 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Ketiga, lubuk larang yang dikelola oleh kelompok yasinan ibu-ibu9, seperti di Desa
Baru Pelepat dan Batu Kerbau. Mereka secara khusus mengelola lubuk larang yang
hasilnya akan menjadi kas kelompok dan digunakan untuk keperluan kelompok,
seperti penyediaan pakaian adat dan perlengkapan perkawinan, modal untuk
membuat kerajinan, ataupun sebagai dana untuk upacara atau ritual kelahiran,
sunatan maupun kematian10.

Aturan dan Sanksi


Suatu lubuk dilarang untuk dipanen dalam jangka waktu tertentu, biasanya 6-24
bulan. Aturan itu juga menyebutkan peralatan yang digunakan dalam pengambilan
ikan dibatasi pada alat-alat yang dapat menjamin kelestarian ikan. Ada berbagai
jenis alat yang diperbolehkan, seperti lukah (bubu), jala, pancing dan alat bantu
ilau (anyaman yang terbuat dari daun enau yang digunakan untuk memburu ikan
ke arah lukah). Sanksi akan dikenakan untuk penggunaan racun, putas, setrum,
dan bahan peledak. Agar diketahui khalayak, lubuk ini ditandai dengan rentangan
kawat, dan papan peringatan bertuliskan “Lubuk Larang “, misalnya, ”Di sini lokasi
Lubuk Larang Dusun Pedukuh”.

Bagi siapa saja yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi secara adat yang
telah disepakati oleh ninik mamak dan seluruh masyarakat desa. Sanksi biasanya
diberikan secara bertahap dengan besaran denda tergantung kadar kesalahannya.
Orang mencuri ikan di lubuk larang biasanya diberi teguran pertama, oleh kepala
desa atau dusun atau kelompok. Teguran ini diikuti dengan denda adat berupa
”ayam satu ekor, beras satu gantang11, serta kain putih sebanyak dua kayu”12.

Pelanggaran lebih berat (misal, ikan yang dicuri dalam jumlah besar) dikenakan
denda adat yang lebih berat lagi. Biasanya berupa ”satu ekor kambing, beras 20
gantang, seasam segaram (beserta bumbu masaknya) serta uang Rp 500.000, ditambah
kain dua hingga empat kayu”. Bagi pelanggaran dengan menggunakan alat setrum
atau racun akan langsung dikenakan sanksi adat dengan denda yang berat, tanpa
melalui tahapan pemberian teguran lagi. Jika perlu, langsung diserahkan kepada
pihak yang berwajib.

9 Kelompok yasinan ibu-ibu sesungguhnya berupa pengajian rutin mingguan yang dilakukan oleh ibu-ibu dalam satu dusun pada hari Jum’at. Biasanya
dilakukan pagi hari hingga menjelang waktu sholat Jum’t. Materi dalam pengajian itu biasanya adalah pembacaan Surat Yasin secara bersama-sama
maupun pembahasan tentang materi agama. Biasanya seusai pengajian, mereka melanjutkan dengan melaksanakan arisan. Selain arisan, kelompok ini
juga menyediakan peralatan pernikahan (pakaian adat, piring, hiasan, dan lainnya) juga sitem simpan pinjam. Dana kelompok dihimpun, selain dari
iuran anggota juga dari hasil lubuk larangan.
10 Wawancara dengan Ibu Evi Yulianti, ketua PKK Desa Baru Pelepat pada 18 Oktober 2005
11 1 gantang beras setara dengan 2,5 kilogram.
12 1 kayu kain setara dengan 2,5 meter
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 109

Meski begitu, masyarakat tidak melihat


denda adat dan sanksi sosial itu sebagai
alasan mereka tidak mau mengambil
ikan di lubuk larang. Mereka lebih
percaya terhadap adanya potensi
bahaya bagi pelaku pelanggaran.
“Masyarakat di sini masih percaya,
orang yang berani mengambil ikan di
lubuk larang akan sakit dan celaka.
Perut akan terasa mulas jika memakan
ikan hasil curian. Sakit baru berhenti
kalau sudah dibacakan Surat Yasin
sebanyak 40 kali dan meminum air
© Hasantoha Adnan

yang telah didoakan pemuka agama,


selanjutnya dimandikan,” kata Mirul,
seorang tokoh masyarakat.
Tanda batas lubuk larangan
Banyak juga mitos-mitos yang menyertai
kepercayaan atas keangkeran lubuk ini,
di antaranya sejak sebuah lubuk dinyatakan terlarang, ikan-ikan menjadi lebih
banyak dan tak jarang lebih sering berdiam di tempat tersebut. Bahkan pernah
ada seorang penduduk yang mencoba mancing di lubuk yang bersebelahan dengan
lubuk larang, ia melihat ikan-ikan seolah mengejek dan tidak mau memakan
umpannya seraya pergi melenggang ke arah lubuk larang.

Aturan adat ini begitu kuat. Tak heran bila acap kali ikan-ikan dalam satu lubuk
berlebih, melampaui kemampuan lubuk untuk menampungnya. Seperti, Lubuk
Busuk yang juga berada di Desa Baru Pelepat. Nama ini diberikan karena pada satu
saat lubuk tersebut kebanjiran ikan, namun masyarakat tidak berani mengambilnya
karena belum waktunya dibuka. Akhirnya, lubuk itu tak mampu lagi menampung
ikan yang ada dan menyebabkan banyak ikan mati. Bau busuk yang ditimbulkan
pada peristiwa itu membuat lubuk itu dinamai Lubuk Busuk.

Membuka Lubuk Larang


Setelah lebih satu tahun atau jika dianggap hasil ikannya sudah cukup banyak,
para tokoh adat, ninik mamak dan masyarakat kemudian membuat kesepakatan
110 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

untuk membuka lubuk larang13. Pembukaan lubuk larang biasanya dilakukan pada
saat musim kemarau, yaitu saat air sungai surut dan ikan lebih banyak berkumpul
di lubuk.

Ada beberapa cara pembukaan lubuk larang ini, cara yang paling umum dilakukan
secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat desa (dusun, anggota) kelompok.
Pembukaan lubuk dilakukan melalui musyawarah pembentukan panitia, serta
menentukan waktu dan peralatan yang perlu disiapkan. Panitia kemudian akan
menentukan siapa saja yang bertugas mengambil bahan untuk menangkap ikan
seperti rotan, bambu, daun aren, kayu, dan lain-lain. Pengerjaannya dilakukan
secara bergotong-royong, dengan rata-rata pelaksanaan selama dua hari penuh.

Adakalanya pembukaan sebuah lubuk dilakukan secara borongan kepada pihak


lain. Pemborong biasanya anggota masyarakat atau pihak dari luar desa dan tak
jarang pejabat yang tengah berkunjung ke desa. Untuk sistem borongan seperti
ini, biasanya pemborong diberi waktu tertentu, yaitu 2-7 hari sejak lubuk tersebut
dibuka. Tak jarang pemborong menggunakan jasa penduduk setempat dalam
melakukan pemanenan, namun tidak jarang pula sudah mempunyai tim sendiri
yang khusus didatangkan dari luar desa dengan peralatan yang lebih baik jika
dibanding dengan peralatan yang ada di desa.

Peralatan yang digunakan untuk


menangkap ikan ditentukan oleh
kelompok atau desa, dengan
tujuan tidak merusak atau
membunuh seluruh ikan yang
ada di tempat tersebut. Alat yang
© Trikurnianti Kusumanto

digunakan pada umumnya berupa


peralatan sederhana dan dapat
dibuat sendiri oleh masyarakat
setempat seperti jala, jaring atau
Membuka lubuk larangan adakalanya dihadiri oleh
pukat, panah ikan dengan cara
pejabat daerah, seperti saat Wakil Bupati Bungo, menyelam, lukah, atau ilau. Tidak
Bapak H. Abdul Malik HM, SE membuka lubuk diperbolehkan menangkap ikan
larang di Desa Baru Pelepat pada 6-7 Agustus 2005. dengan menggunakan alat setrum,
Kunjungan ini juga untuk melihat berbagai program
pembangunan yang telah berjalan di desa bahan peledak apalagi dengan cara
meracun atau tuba dengan bahan
dari tanaman atau potasium yang

13 Namun tak jarang pula sebuah lubuk larang tidak dibuka hingga lebih dari 2-3 tahun. Hal ini bisa terjadi bila dianggap ikan di lubuk masih sedikit,
atau tidak adanya tamu istimewa yang datang, musim penghujan yang pendek, ataupun masyarakat belum membutuhkan dana.
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 111

dapat merusak serta membinasakan seluruh ikan yang ada di lubuk tersebut sampai
ke wilayah lain di sekitarnya. Alat transportasi yang digunakan berupa perahu dan
rakit yang ada di sekitar desa.

Seringkali pembukaan lubuk larang dibarengi dengan kegiatan tertentu, misalnya


dengan menampilkan tari-tarian setempat dan lagu-lagu daerah. Boleh dibilang,
kegiatan ini juga dapat menjadi sebuah pesta atau festival seni yang meriah bagi
penduduk desa.

Sistem Bagi Hasil


Jenis ikan yang lazim diperoleh dari pemanenan sebuah lubuk antara lain adalah
ikan Semah, Barau, Tilan, Baung, Seluang dan jenis lainnya14. Pembagian hasil
penangkapan ikan tersebut dilakukan melalui dua sistem. Pertama, dijual secara
keseluruhan (borongan) kepada pihak tertentu sehingga desa atau kelompok
hanya mendapatkan uang sesuai dengan jumlah yang disepakati dan ikan yang
berhasil ditangkap menjadi milik si pembeli. Keuntungan dari sistem ini, desa
atau kelompok tidak perlu lagi bekerja untuk melakukan panen ikan tapi sudah
langsung memperoleh dana tunai. Namun sistem ini juga ada kerugiannya, berupa
kemungkinan ikan yang diperoleh jika dipanen sendiri nilainya akan melebihi
jumlah jika dijual langsung kepada pihak lain tersebut. Selain itu, masyarakat
juga tidak mendapat kesempatan mengambil ikan untuk memenuhi kebutuhan
hariannya. Hal ini tentunya berbeda bila mereka membuka lubuk larang tersebut
secara bersama-sama.

Sementara di pihak pemborong juga akan mempunyai kemungkinan untung


atau malah rugi, jika jumlah ikan yang dapat dipanen banyak maka dia akan
memperoleh keuntungan dari hasil penjualan ikannya dan jika hasil tangkapannya
sedikit maka dia akan mengalami kerugian. Kisaran harga borongan untuk satu
lubuk larangan di wilayah ini antara 1-5 juta rupiah.

Untuk borongan atau pembelian yang dilakukan oleh pejabat dari kabupaten
atau propinsi serta pengusaha umumnya lebih bernuansa politis untuk menarik
simpati masyarakat di wilayah tersebut, atau dijadikan sebagai ajang untuk
mengumpulkan masyarakat guna mensosialisasikan program yang diembannya.
Yang lebih sering lagi, dimaksudkan sebagai sarana hiburan bagi pejabat atau

14 Beberapa jenis ikan yang di kenal didaerah ini seperti ikan semah (Labeobarbus douronensis atau Tordourounensis), barau (Hampala macrolepidota),
baung (Mystus spp.), lele (Clarias batrachus), tilan (Mastacembalus sp. atau Macrognanthus sp.), seluang (Rasbora spp.), balung, bajubang, mentili, malis,
semancung, kelari, tampang durian, buntal (Tetraodon sp.), inggi, belut (Monopterus albus), dalun, udang, bujuk atau gabus (Channa striatus), lidi, galah,
jua, lampam (Puntius gonionotus), sangkak/kepiting (Scylla serrata), salak, silokok, salimang (Crossochilus oblongus)
112 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

pengusaha tersebut bersama keluarganya untuk melepaskan kejenuhan hidup di


kota selama ini. Terkadang panen yang dilakukan hanya dilakukan sekedarnya
saja, ikan yang dipanen tidak perlu diambil sebanyak mungkin tapi cukup hanya
untuk disantap bersama-sama di tempat tersebut dan ditambah sedikit oleh-oleh
untuk dibawa pulang ke rumah. Pemanenannya juga lebih banyak melibatkan
anggota masyarakat yang bersedia membantu dengan sistem upah uang atau bagi
hasil. Dengan sistem ini, umumnya jumlah ikan hasil tangkapan lebih sedikit
jika dibandingkan dengan penjualan kepada pihak lain yang benar-benar ingin
memperoleh keuntungan dari hasil panen. Sehingga jumlah ikan yang masih
tersisa di tersebut juga masih banyak untuk dilakukan pemanenan di masa yang
akan datang.

Kedua, pemanenan dilakukan secara serentak bersama-sama pada waktu yang


telah disepakati. Seluruh anggota masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan
ini dengan mengikuti aturan yang dibuat, seperti alat yang diperbolehkan untuk
digunakan, batasan waktu pemanenan serta persentase hasil yang dibagikan.
Biasanya kegiatan ini dikoordinasikan oleh panitia yang ditunjuk sebelumnya.
Adapun bentuk pembagian hasilnya berbeda-beda untuk setiap wilayah. Secara
umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bagi empat, maksudnya tiga bagian hasil ikan yang di peroleh, dijual untuk kas
desa atau kelompok dan satu bagian untuk masyarakat yang menangkapnya
2. Ada juga yang menerapkan berdasarkan alat tangkapnya, seperti:
a. Bila menggunakan jala, pukat atau jaring, hasilnya dibagi tiga, dua bagian
untuk kas desa atau kelompok dan sisanya untuk penangkap ikan.
b. Menggunakan panah atau alat tembak15, pembagian hasilnya dibagi dua,
yaitu satu bagian untuk kas desa atau kelompok dan sisanya untuk si
penembak.

Saat membuka lubuk larang ini, selain untuk memperoleh hasil berupa ikan yang
akan dijual untuk mencari dana bagi pembangunan desa (dusun, kelompok),
kegiatan ini juga dijadikan sarana hiburan bagi masyarakat setempat ataupun pihak
lain yang memang sengaja diundang. Serta bagian dari upaya lebih mengeratkan
silaturahmi diantara mereka setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan
masing-masing.

15 Alat yang sering digunakan di desa adalah senapan tembak, yaitu alat yang cara kerjanya seperti senapan dengan besi panah, namun dibuat sedemikian
rupa menyerupai pistol. Ada karet pengait yang berfungsi sebagai pelontar busur dan mata tembaknya, yaitu batangan besi kecil yang ujungnya
diruncingkan. Alat ini dipergunakan sambil menyelam di dalam lubuk. Bila kegiatannya dilakukan malam hari, diperlukan lampu senter sebagai alat
penerangannya.
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 113

Pengawasan
Karena lubuk larang dibentuk berdasarkan keinginan bersama dan juga
kepemilikannya bersama serta pengerjaannya dilakukan secara bergotong-royong
baik laki-laki maupun perempuan, maka pengawasannya juga dilakukan oleh
semua warga. Tidak ada orang khusus untuk menjaganya, namun semua orang
dapat bertindak sebagai pengawas dan melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi
kepada pemerintah desa (dusun) atau kelompok pengelolanya.

Di tempat tertentu sudah ada kelompok pengelola khusus untuk lubuk larang
ini. Salah satu tugasnya adalah melakukan pengawasan lebih aktif dibandingkan
anggota masyarakat biasa. Pengawas juga akan menjadi pihak yang sangat
berkepentingan untuk menjalankan sanksi jika terjadi pelanggaran, bahkan
sampai kepada proses pengaduan kepada pihak yang berwajib jika dibutuhkan.

Pengawasan lubuk larang juga dikaitkan dengan hal-hal magis dari kegiatan
spiritual yang mereka lakukan saat membentuk atau menutup lubuk larang ini.
Ada keyakinan, pembacaan Surat Yasin sebanyak 40 kali, tahlil dan doa akan
membuat takut orang yang akan melanggar karena akan memperoleh petaka
dalam hidupnya, baik secara materi maupun dalam bentuk lainnya.

Pengawasan bukan hanya dilakukan terhadap pihak yang bermaksud mencuri


ikan dari lubuk tersebut, tetapi juga dilakukan pada saat pelaksanaan pemanenan
ikan. Hal ini berkaitan dengan peralatan yang akan dipakai untuk penangkapan
agar tidak merusak dan membinasakan seluruh sumberdaya ikan yang ada
di dalamnya. Ini sebagai proses seleksi terhadap ikan yang akan diambil tanpa
mengganggu perkembangbiakan ikan di tempat tersebut. Selanjutnya, kelompok
ini juga mengawasi waktu yang diberikan untuk pemanenan agar tidak melewati
batas yang sudah ditentukan. Pada umumnya, waktu pemanenan dibatasi selama
24 jam. Setelah itu, lubuk akan ditutup kembali.

Dampak Keberadaan Lubuk Larang


Keberadaan lubuk larang di sepanjang Sungai Batang Pelepat memberikan dampak
beragam bagi masyarakat di sekitarnya. Secara sosial, hasil dari pengelolaan lubuk
larang dapat dipergunakan untuk:
• Membantu pihak yang membutuhkan, terutama bagi yang tidak mampu
seperti anak yatim piatu dan orang lanjut usia yang dalam hal ini berkaitan
dengan penyediaan dana
114 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

• Mempererat tali silaturahmi, baik antara masyarakat dalam desa (dusun) itu
sendiri atau dengan pihak luar yang diundang terlibat dalam kegiatan ini
• Melatih kedisiplinan bagi masyarakat dalam mentaati aturan yang sudah
disepakati guna menjaga sumberdaya alam yang ada di wilayahnya
• Sarana hiburan
• Sarana untuk berkumpul dan bertukar pendapat tentang pembangunan
desa
• Tabungan atau warisan untuk generasi yang akan datang

Kotak 1. Lubuk Larang di Daerah Lain


Tujuan pengelolaan lubuk larang di daerah lain hampir sama. Di Kecamatan Rantau
Pandan, Kabupaten Bungo juga banyak ditemui lubuk larang. Sedikit perbedaannya,
dalam hal pemungutan hasil. Mereka juga panen pada musim kemarau. Panen selalu
dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat secara bersama-sama, yang disebut
dengan istilah bekaroang.

Hasil tangkapan dari setiap orang akan dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian dibagi
berdasarkan persentase yang sudah ditetapkan untuk si penangkap dan untuk desa.
Khusus untuk tokoh adat akan diberi keistimewaan, dengan pembagian hasil yang
lebih banyak dan lebih baik dari segi kualitas atau jenis ikan yang akan diterimanya.

Di daerah Tabir (Muara Kibul), Kabupaten Merangin banyak dikembangkan lubuk


larang dengan tujuan sebagai sarana hiburan memancing, terutama bagi orang luar
desa yang diundang dan berminat dengan kegiatan tersebut. Sistem pemungutan
hasil yang dilakukan dengan memungut bayaran dalam jumlah tertentu untuk waktu
yang sudah ditetapkan.

Hal serupa juga dapat ditemui di Desa Pancakarya, Kecamatan Limun, Kabupaten
Sarolangun, Propinsi Jambi; dan wilayah sekitar Kabupaten Mandailing Natal,
Propinsi Sumatera Utara. Kesemuanya mempunyai kesamaan tujuan pembentukan
lubuk larang, yaitu penegakan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam
di wilayahnya. Namun, apa pun tujuan antaranya, pengelolaan lubuk larang selalu
bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

Gambaran di atas menunjukkan di daerah lain juga sudah ada pengembangan


lubuk larang, hanya sistem pengelolaannya kadang agak berbeda dengan yang
ada di sekitar kawasan Batang Pelepat. Secara umum inisiatif ini sudah ada sejak
dahulu di daerah-daerah sekitar hulu DAS Batanghari yang masuk dalam kawasan
penyangga TNKS. Inisiatif ini merupakan kearifan lokal yang masih ada dan bertahan
sampai saat ini. Tampaknya, semua pihak perlu mempertahankannya, bahkan lebih
mengembangkannya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada masa yang
akan datang diharapkan muncul semakin banyak inisiatif seperti itu, yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 115

Sedangkan secara ekonomi, keberadaan lubuk larang bermanfaat untuk:


• Menambah sumber ekonomi masyarakat
• Menambah perbendaharaan kelompok (desa, dusun), seperti perkakas dapur
dan barang pecah belah untuk kegiatan masak-memasak secara bersama.
• Menambah biaya pembangunan mesjid dan bangunan umum lainnya
• Dana cadangan jika ada kebutuhan mendadak di masyarakat

Selain itu juga penting melihat keberadaan lubuk larang yang memberi dampak
pada lingkungan, yaitu:
• Melindungi ikan dari kepunahan dan sebagai sarana pembibitan ikan
• Mencegah kerusakan dan pengambilan ikan secara liar
• Mencegah pencemaran sungai

MENGATUR DIRI SENDIRI MELALUI


LUBUK LARANG
LUBUK LA
Cerita di atas menegaskan bahwa lubuk larang merupakan tradisi masyarakat
di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain memberi nilai
ekonomi, lubuk larang juga menyimpan kearifan lokal. Setidaknya terdapat dua
nilai penting yang terkait dengannya. Pertama, kemampuan komunitas setempat
untuk mengembangkan konsep penguasaan sumberdaya alam (sungai): semula
dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun (open
access) menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned
resources). Dengan perubahan konsep tersebut, maka kecenderungan eksploitasi
berlebihan terhadap sumberdaya alam akan berkurang, sehingga gejala ‘tragedi
milik bersama’ (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat
akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya
yang ada di sungai.

Kedua, dengan mengelola lubuk larang masyarakat desa mampu menanam


dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) dalam pengelolaan
sumberdaya ‘milik bersama’. Kemampuan masyarakat dalam menanam dan
mengembangkan modal sosial, sesungguhnya sudah ada sejak lama. Namun,
pemerintahan Orde Baru yang bersifat sentralistik, hegemonik dan otoritarian,
telah mengabaikan dan bahkan mematikan potensi-potensi modal sosial yang
tumbuh dari bawah (grass roots). Masyarakat desa di sepanjang Batang Pelepat
sampai batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu.
116 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tampak dari tetap kukuhnya mereka membangun sistem pengelolaan lubuk larang
yang relatif terbebas dari ‘campur tangan penguasa’.

Hasilnya cukup mengagetkan. Setiap tahun pemerintah menyalurkan dana


pembangunan desa (Bangdes) ke desa-desa melalui jalur formal, dan hasilnya
sama sekali tidak efektif. Sementara itu, pengelolaan lubuk larang yang dibangun
dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material atau finansial) mampu
menghasilkan banyak manfaat di desa, seperti berdirinya gedung madrasah dan
mesjid, tersedianya gaji untuk guru SD dan perangkat desa, serta banyak lagi
contoh lainnya. Ketika dana Bangdes dan dana-dana pembangunan lainnya masuk
ke desa, sering terjadi sikut-sikutan antar elit desa (bahkan konflik terbuka).
Sementara, dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan hasil lubuk larang hal itu
tidak ditemukan.

Diperkuat dengan pendapat Eleanor Ostrom (dalam Mulyana et al., 2005), agar
‘sumberdaya terbuka’ dan ‘penumpang gelap’ dapat dicegah dan sumberdaya dapat
dikelola secara berkelanjutan, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dalam
tata kelola bersama. Prasyarat tersebut antara lain: (1) sumberdaya alam dan
komunitas pengelolanya diketahui dengan jelas, (2) komunitas dapat mencegah
pemanfaatan yang berlebihan oleh ‘pihak yang tidak berhak’, (3) ada aturan
pengelolaan sumber daya alam yang terarah pada keberlanjutan, (4) adanya
kelembagaan dan kepemimpinan yang kuat dan demokratis, (5) unit pengelolaan
yang memadai, (6) unit pengelolaan yang lebih kecil yang merupakan bagian dari
unit pengelolaan yang lebih besar; (7) adanya mekanisme penyelesaian sengketa
antar anggotanya.

Lubuk larang memenuhi prasyarat di atas. Sungai sebagai sumberdaya alam


yang dikelola dan masyarakat desa sepanjang Batang Pelepat sebagai komunitas
pengelolanya. Masyarakat di wilayah ini sudah terbukti mampu mencegah
pelanggaran terhadap aturan yang mereka buat, dalam hal ini terhadap aksi
pencurian ikan oleh siapapun sebelum waktunya tiba. Diperkuat lagi dengan sudah
adanya aturan pengelolaan lubuk larang yang diangkat dari norma–norma adat
setempat yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Harapannya terus begitu
sampai masa yang akan datang, sebagai upaya keberlanjutan pengelolaannya.
Secara kelembagaan, umumnya masyarakat di wilayah ini mempunyai kebersamaan
yang kuat untuk melakukan pengelolaan lubuk larang, terutama dalam hal
pengawasan. Mekanisme penyelesaian sengketa antar anggotanya sudah diatur
berdasarkan norma-norma adat yang ada. Walaupun pada umumnya tidak tertulis,
namun diketahui oleh seluruh masyarakatnya dan dipatuhi. Bentuk penyelesaian
sengketa terakhir bila sudah tidak dapat diselesaikan pada tingkatan desa, dengan
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 117

menyerahkannya kepada hukum formal yang dalam hal ini melibatkan pihak
penegak hukum.

Pengelolaan lubuk larang pada dasarnya menunjukkan sikap masyarakat yang


mampu mengurus dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi
permasalahan secara bersama. Sikap inilah yang sesungguhnya menjadi dasar bagi
otonomi desa. Dengan hal ini mereka mampu menanam dan mengembangkan
investasi modal sosial dalam sistem pengelolaan lubuk larang.

Dalam Lubis (1999) diuraikan bahwa Coleman (1988) mengartikan modal sosial
sebagai struktur hubungan antar individu-individu yang memungkinkan mereka
menciptakan nilai-nilai baru. Bagi Ostrom (1999) dalam mengkaji proyek-proyek
pembangunan di dunia ketiga, modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan
suatu proyek pembangunan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa eksistensi modal
sosial terlihat dari kemampuan suatu komunitas merajut pranata yang menjadi
acuan dalam bertindak. Pranata (institution) adalah seperangkat aturan yang
berlaku serta digunakan dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Putnam (1993) dalam Lubis (2005) menyatakan, bahwa komponen modal sosial
terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja
(networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui
fasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lebih lanjut Putnam mengatakan
bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah
mewarisi sejumlah modal sosial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal
balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua


kelompok masyarakat memiliki sejumlah modal sosial yang tercipta dari dinamika
budaya masing-masing. Modal sosial sangat penting dalam proses pembangunan,
karena mendorong masyarakat untuk mampu berpartisipasi dan menciptakan
nilai dan aturan baru. Aspek-aspek kunci dari modal sosial itu adalah :
• kemampuan merajut atau membangun pranata dan norma-norma (crafting
institutions);
• kemampuan mengembangkan partisipasi yang setara dan adil (equal
participation); dan
• kemampuan mengembangkan sikap saling percaya di antara warga suatu
kelompok sosial (trust).

Ketika suatu komunitas desa hendak menetapkan bahwa sebagian aliran sungai
yang melintasi wilayah desa mereka akan dijadikan lubuk larang, maka proses
118 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

pengambilan keputusan yang dilalui hendaknya demokratis. Semua warga desa


berhak menyampaikan aspirasi, gagasan dan pandangannya, baik melalui forum
informal (seperti pembahasan di warung-warung kopi) maupun forum formal
(musyawarah desa), sehingga proses pengambilan keputusan dilakukan secara
partisipatif. Pelibatan partisipasi dari bawah ini juga berlaku untuk tahapan-tahapan
berikutnya, yakni pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pemanfaatan hasil,
sehingga warga masyarakat merasa menemukan keadilan di dalam pengelolaan
lubuk larang.

Agar proses itu berjalan dengan ajeg dan keadilan tetap terpelihara, maka
komunitas desa yang sudah menetapkan lubuk larang kemudian merajut institusi,
norma-norma dan aturan-aturan yang menjadi acuan perilaku kolektif warga desa,
bahkan berlaku bagi siapapun yang berinteraksi dengan lubuk larang tersebut. Ada
sejumlah sanksi (denda, sanksi sosial, sanksi magis dan sanksi religius, sampai batas-
batas tertentu bisa berupa sanksi hukum negara) yang ditetapkan, disosialisasikan,
dan ditegakkan untuk menjamin pengelolaan lubuk larang berjalan di atas rel yang
sudah disepakati bersama.

PENUTUP DAN TAWARAN KE DEPAN


Masyarakat berharap untuk bisa mengembangkan lebih banyak lubuk larang di
wilayahnya untuk memenuhi tujuan khusus, seperti untuk guru dan sekolah, dan
kebutuhan kelompok-kelompok lain yang ada di desa. Lubuk larang yang berfungsi
sebagai tempat pemijahan ikan tidak akan dibuka atau diambil ikannya selama-
lamanya.

Pada masa yang akan datang, intensitas pelanggaran boleh jadi akan meningkat.
Pelanggaran bukan hanya datang dari dalam desa, namun tidak menutup
kemungkinan dari pihak luar dengan alasan ketidaktahuan mereka atau memang
ada unsur kesengajaan. Karenanya, perlu dipikirkan untuk lebih memperkuat
aturan lubuk larang tersebut bukan hanya sebatas aturan adat yang umumnya tidak
tertulis. Aturan itu bisa ditingkatkan menjadi aturan tertulis, seperti peraturan
desa atau surat keputusan kepala desa. Isinya tetap bersumber dari aturan adat,
namun mempunyai kekuatan formal yang lebih kuat untuk mengikat semua orang
di wilayah tersebut mematuhinya.

Tawaran lainnya adalah dengan membangun jaringan antarkelompok atau


desa yang memiliki lubuk larang. Dengan demikian, kebersamaan antar desa
semakin kuat dalam melindungi dan menjaga sumberdaya alam, khususnya lubuk
larang, terutama dari gangguan atau pelanggaran yang datang dari luar, seperti
BAGIAN 2-3 • Eddy Harfia Surma, Rodiah dan Hasantoha Adnan 119

kekhawatiran di atas. Harapannya, jaringan ini akan dapat dimanfaatkan secara


maksimal oleh semua pihak untuk pengelolaan lubuk larang yang ada di wilayah
mereka secara bersama dan berkelanjutan.

Berikutnya, dengan membentuk ‘kebijakan payung’ di tingkat kabupaten dalam


bentuk peraturan daerah ataupun keputusan bupati dengan menjadikan lubuk
larang sebagai salah satu bentuk pengelolaan daerah aliran sungai di Kabupaten
Bungo16.

Semua tawaran itu bermuara pada harapan peningkatan kesejahteraan


rakyat melalui keberadaan lubuk larang. Ini adalah harapan masyarakat, yang
dikumandangkan dalam doa-doa tatkala Yasinan dalam rangka penutupan lubuk.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan terutama kepada masyarakat
desa sepanjang Batang Pelepat, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Propinsi
Jambi yang telah menjadi inspirasi utama tulisan ini. Ucapan terima kasih
terutama disampaikan kepada Hamdan, Mirul, Abu Nazar, Sudar, Datuk Gani,
Datuk Arif, Evi Yulianti, Tarmizi, Kuris, Sidin A, Sayuti, Koimah, Imam Juri, Mbok
Sus, Kamariyah, Ita Rodiah, Siswanto, Jailani, Nana dan Lismawati. Selanjutnya,
tak lupa kepada Datuk Rasyid, Tafrizal, M. Zen, sebagai tokoh Desa Batu Kerbau
bersama masyarakatnya yang telah turut mendukung penulisan ini. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada teman-teman tim ACM Jambi: Marzoni, Effi,
Best, Par, Muri dan Enno yang telah banyak terlibat dalam penggalian data untuk
tulisan ini di lapangan. Tak lupa, kepada Pak Mustafal Hadi, Iman Budi Setiawan,
Mbak Ike Rachmawaty dari Dishutbun Bungo yang bersedia memberikan data
kondisi hutan Bungo serta istilah-istilah kehutanan yang dibutuhkan. Serta Kang
Toto Tohiruddin dari DPELH yang menjadi kawan diskusi hangat tentang lubuk
larang.

BAHAN BACAAN
Adnan, H. 2005. Masyarakat Mengurus Diri Sendiri Melalui Lubuk Larang.
Harian Bungo Post, 27-30 Juni. Muara Bungo, Indonesia.

16 Tawaran ini semakin diperlukan mengingat penataan ruang kabupaten 2005-2010 mendasarkan pada keberadaan DAS sebagai upaya menjaga
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Untuk lebih jelasnya lihat Rencana Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Bungo, Pemkab Bungo 2005.
120 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bappeda Kabupaten Bungo. 2005. Rencana Revisi RTRW Kabupaten Bungo.


Pemerintah Kabupaten Bungo, Muara Bungo, Indonesia
Coleman, J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American
Journal of Sociology, Vol. 94, Supplement: Organizations and Institutions:
Sociological and Economic Approaches to the Analysis of Social
Structure, pp. S95-S120. The University of Chicago Press, Chicago.
Ermina, M. 1997. Sistem Pelaksanaan Bagi Hasil Penangkapan Ikan Lubuk
Larangan dilihat dari Aspek Hukum Perjanjian Adat di Desa Kecamatan
Rantau Pandan Kabupaten Bungo-Tebo. Skripsi Sarjana Fakultas Hukum,
Universitas Batanghari, Jambi. Tidak dipublikasikan.
Jambi Ekspress. 2004. Potret Desa Batu Kerbau, Penerima Kalpataru Tahun 2004:
Terisolir, Namun mengandung Kekayaan Alam Yang Tinggi. Edisi 20 Juni,
hal.5
Lubis, Z.B. 1999. Pembangunan Investasi Modal Sosial dalam Pembangunan. Jurnal
Antropologi Indonesia 23(59):53-65. Depok, Indonesia.
Lubis, Z.B. 2005. Menumbuhkan (kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan. Jurnal Antropologi Indonesia
23(59):239-254. Depok, Indonesia.
Mulyana, A., Susanti, N.N. dan Suardika, P. 2005. Melangkah di Atas Batu Karang:
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat di Nusa Tenggara.
KOPPESDA, World Neighbors, KPMNT dan Ford Foundation.
Ostrom, E. 1999. Social Capital: A Fad or Fundamental Concept?. Dalam: Dasgupta,
P. dan Seregeldin, I. (ed.). Social Capital: a Multifaceted Perspective,
pp.172-214. World Bank, Washington DC.
Purwanto, S.A., Haryono, Yusfi, F. dan Titiwening, F. 2003. Mencari Alternatif
Ekonomi Lokal: Kasus Masyarakat Desa Sekitar Taman Nasional Tanjung
Puting, Kalimantan Tengah. Seri Laporan Penelitian No.3. Laboratorium
Antropologi-UI dan Conservation International.
Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton University Press, Princeton, NJ, AS.
Ritchie, B., McDougall, C., Haggith, M. dan de Oliveira, N.B. 2001. Kriteria dan
Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Soemarwoto, O. 2001. Atur-Diri-Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia.
Tadjudin, Dj. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka LATIN, Bogor, Indonesia.
Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990-2000: Dasawarsa
Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Warta WARSI, Januari. Jambi,
Indonesia.
Tim WARSI. 2000. Ketika Rakyat Mengelola Hutan: Pengalaman dari Jambi.
KPSHK, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 2-4
Mereka Bisa Berubah

Effi Permatasari
122 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Effi Permata Sari


Perempuan kini terlibat aktif dalam pengambilan keputusan di tingkat desa

”Kalau sikap masyarakat masih terus-menerus seperti ini, saya yakin desa ini tidak
akan berkembang. Tidak ada yang hasil bumi yang dihasilkan di desa sehingga
pemerintah menilai lebih baik mengembangkan pembangunan di desa lain,” kata
Malek, Sekretaris Desa Baru Pelepat menanggapi perilaku masyarakat desa dalam
menangani sumberdaya hutan.

Kayu pernah menjadi primadona, karena kayu mudah didapat dan dijual. Karena
itu, kayu dikenal sebagai ‘emas hijau’. Kegiatan pembalakan kayu menyerap banyak
tenaga kerja. Selain itu, kegiatan ini juga cepat menghasilkan uang tunai. Karena
itu, masyarakat pernah amat terlena menggelutinya.

Eksploitasi besar-besaran telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. “Dusun


tenggelam, cuma karena hujan yang datang semalam saja. Ini sering terjadi...,” ujar
Mirul, seorang warga Desa Baru Pelepat. “...lebih baik dusun dipindahkan saja ke
tempat yang lebih tinggi,” katanya. Memang, dusun sudah dua kali dipindahkan
akibat banjir bandang. Banyak kerugian yang diderita seperti hancurnya lahan usaha
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 123

tani, ternak hanyut, dan rumah hancur. Jembatan gantung yang menghubungkan
dua dusun pun rusak berat.

Pembalakan kayu tanpa usaha penanaman kembali dan perawatan yang memadai,
membuat kayu semakin susah didapat. Ekonomi masyarakat semakin terancam.
Sementara itu, karena terlena dengan kayu, ladang ditinggalkan. Padahal mereka
hanya mengetahui cara bercocok tanam secara tradisional dan pembalakan kayu.
Mereka tidak siap untuk mencari sumber mata-pencaharian alternatif setelah
kayu habis.

Kini masyarakat semakin terhimpit. Kebun karet sudah dibabat habis untuk areal
transmigrasi. Kayu semakin susah dicari, karena itu pendapatan pun tidak sesuai
lagi dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Kebijakan pemerintah yang melarang
penebangan kayu dan peredarannya (Inpres No. 4/2005) semakin memperburuk
keadaan masyarakat yang bergantung pada hutan.

Tulisan ini mencoba menceritakan pengalaman masyarakat Desa Baru Pelepat


mengelola hutan dengan dampingan tim ACM. Tim ACM sudah melakukan
dampingan selama lima tahun. Usaha yang dilakukannya adalah merubah pola
pikir masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Selain mendorong
proses kolaborasi masyarakat dengan pihak-pihak luar, tim juga melakukan
proses penguatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, penguatan
kelembagaan lokal, dan pemberdayaan ekonomi. Secara perlahan tim ACM
meninggalkan desa, dan desa diharapkan sudah bisa mengelola dirinya secara
mandiri.

DESA BARU PELEPAT


Desa ini terbelah Sungai Pelepat. Permukiman penduduk terletak di sebelah
selatan. Empat dusunnya terletak di sepanjang aliran sungai. Sebelum datangnya
transmigrasi, Sungai Pelepat menjadi transportasi utama.

Desa ini termasuk dalam Kecamatan Pelepat. Sebelah utara berbatasan dengan
Desa Sungai Beringin, sebelah timur dengan Desa Rantel, sebelah barat dengan
Desa Batu Kerbau dan sebelah selatan dengan Kabupaten Merangin. Jarak dari
Ibukota Kabupaten, Muara Bungo, adalah 64 km. Dibutuhkan waktu 2-5 jam
untuk sampai ke Muara Bungo, tergantung cuaca, karena banyak tanjakan yang
tinggi dan jalan yang liat berlumpur. Topografi desa berbukit-bukit.
124 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Desa ini merupakan gabungan dari dua desa sebagai dampak diberlakukannya
UU No. 5/1979. Penggabungan kedua desa ini, yaitu Baru Tuo dan Pedukuh
(selanjutnya disebut dusun), disebabkan jumlah penduduk yang sedikit. Untuk
menambah jumlah penduduk, desa kemudian membuat permohonan untuk
penambahan penduduk melalui program transmigrasi. Daerah permukiman
transmigrasi ini kemudian menjadi dusun baru, yaitu Lubuk Pekan dan Lubuk
Beringin. Jumlah penduduk yang terdata sebanyak 594 jiwa (144 KK) dan
mayoritas penduduk beragama Islam.

Mata pencaharian masyarakat secara turun temurun adalah bercocok-tanam.


Usaha tani yang dijalankan selama ini adalah ladang berpindah. Dari sisi ekologis,
pola perladangan berpindah itu menguntungkan karena bisa mengistirahatkan
lahan pada periode tertentu, kemudian digarap kembali tatkala kesuburan
tanahnya telah pulih. Dari sisi ekonomis, pembukaan ladang ini menjadi argumen
perubahan status kepemilikan lahan. Hutan yang telah dibuka menjadi ladang
telah berubah statusnya dari milik umum menjadi milik pribadi. Dalam suatu
diskusi, Susilawati penduduk setempat, mengutarakan, “kami melakukan ladang
berpindah sebagai ajang mencari tanah yang dekat ke permukiman agar tidak habis
dikuasai orang lain.”

Masyarakat desa ini masih memegang teguh adat. Masalah sosial, keagamaan, dan
pertanian masih diatur dalam adat. Ada seloka adat yang mengatur pertanian:
”Sompak, kompak, setumpak”, yang artinya dalam bercocok tanam harus serempak,
kompak dan satu hamparan. Aturan ini berguna untuk memudahkan pengawasan
terhadap serangan hama serta meminimalkan kegagalan panen.

Sebagian besar masyarakat menempuh pendidikan dasar, namun tidak jarang yang
masih buta huruf. Kelompok buta huruf ini terutama ditemukan pada kelompok
umur 40 tahun ke atas, dan proporsi terbesar terdiri atas perempuan. Ada dua
buah bangunan SD dan dua buah madrasah ibtidaiyah (setara SD) yang terletak
di Dusun Baru Tuo dan Dusun Pedukuh. Pada 2004 sudah berdiri SMP Negeri 10
Pelepat. Pada 2005 sebanyak 44 orang anak melanjutkan sekolah di SLTP, 2 orang
di SLTA, dan seorang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Terdapat sebuah bangunan Puskesmas Pembantu. Tenaga medis yang ditempatkan


adalah seorang perawat. Untuk pengobatan, biasanya masyarakat menggunakan
jasa dukun. Bila dukun sudah tidak sanggup lagi barulah tenaga medis dipanggil;
dan kebanyakan sudah dalam keadaan terlambat.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 125

DINAMIKA EKONOMI MASYARAKAT

Transmigrasi
Pembukaan areal transmigrasi pada 1997 telah menghancurkan kebun karet
masyarakat. Sebab prasarana permukiman itu dibangun dengan cara mengkonversi
areal kebun karet masyarakat. Akibatnya, masyarakat putar haluan masuk hutan,
mencari sumber mata-pencaharian baru. Menebang kayu pun menjadi kegiatan
sehari-hari masyarakat.

Program transmigrasi ini sedianya diperuntukkan bagi warga desa tetangga (Desa
Sungai Beringin dan Rantau Keloyang) yang tergusur kegiatan tambang batubara.
Selain itu untuk menampung para perambah hutan agar tidak lagi merambah
hutan. Karena terjadi konflik lahan dengan masyarakat, maka setiap penduduk
asli yang telah menyerahkan lahannya untuk transmigrasi, diberi jatah satu kapling
areal transmigrasi.

Untuk tahun pertama, transmigran diberi bantuan berupa sembilan bahan pokok
serta biaya untuk membersihkan ladang, alat-alat pertanian, ternak, pupuk dan
obat-obatan. Maksud dari bantuan tersebut agar warga membuat kebun dan
berusaha tani. Ternyata bantuan itu justru membuat mereka menjadi manja
dan semakin merusak hutan. Bantuan yang datang tetap diambil tetapi tidak
dipergunakan dengan baik. Mereka tidak segera menerapkan pola usaha tani
menetap. Usaha tani butuh waktu panjang, agaknya menjadi alasan mereka. Mulai
tanam sampai panen memerlukan waktu yang panjang. Kebun karet, misalnya,
baru bisa berproduksi lima tahun setelah tanam.

Dalam sebuah diskusi, Suraji, Kepala Unit Permukiman Transmigrasi (KUPT)


menyatakan bahwa UPT Baru Pelepat adalah program transmigrasi yang gagal
di Kabupaten Bungo. Ini disebabkan sikap masyarakat yang manja dan terlena
dengan pembalakan kayu. Masyarakat tidak menyadari kalau kayu akan habis.
Dan menurut beliau masyarakat hanya akan berubah sikap bila kayu sudah tidak
ada lagi.

Pembalakan Kayu
Masyarakat memilih membalak kayu daripada menjalankan usaha tani. Banyak
dijumpai bibit karet dan buah-buahan, yang merupakan kelengkapan program
126 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

transmigrasi, dibiarkan terbengkalai dan tumbuh di dekat sumur. Ternak pun


tidak dipelihara dengan baik, sehingga menjadi hama bagi kebun masyarakat.

Pembalakan kayu yang tiada henti, mengakibatkan kayu makin susah dicari. Kini
hasil kayu tidak sesuai dengan biaya produksinya. ”Bulan kemarin saya benar-benar
rugi. Satu bulan di hutan mengambil kayu, dihitung-hitung hanya terima pendapatan
bersih Rp 5.000 saja. Tidak sesuai dengan jerih dan peluh yang dikeluarkan,” kata
Ayon, seorang warga. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Abenhur: “Tempat
mencari kayu sudah sangat jauh dari dusun, dan itu hanya sekedar mengisi waktu luang
daripada tidak bekerja sama sekali (nganggur).”

Dalam jangka panjang, pembalakan kayu ternyata tidak membuat masyarakat


sejahtera. Mereka cenderung menjadi lebih konsumtif. Ketika banyak uang mereka
berhura-hura. Terkadang sampai melupakan anak istri di rumah.

Kegiatan pembalakan kayu ini harus ditebus mahal oleh masyarakat. Mereka
melupakan ladangnya. Ladang yang sudah dibuka tidak lagi terawat, walaupun
sudah dibantu oleh kaum perempuan. Letak ladang yang jauh dari permukiman
dan cenderung mendekati hutan, membuat perempuan takut bila sendirian di
ladang.

Ada beberapa warga yang membuat kebun. Namun karena lokasinya yang
berpencar, hasilnya tidak begitu baik. Lahan yang kurang terawat menjadi sarang
hama, yang malah menghancurkan kebun.

Kembali ke Ladang
Kayu sudah habis. Pada saat yang sama keluar Inpres No. 4/2005 yang melarang
penebangan kayu dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Itu
semakin memukul ekonomi masyarakat. Kini kayu hasil pembalakan tidak bisa
dijual. Ita seorang warga menyatakan: “Bencana telah datang, kiamat sudah tiba.
Bila kondisi ini terus berlangsung, maka kami akan mati kelaparan.”

Di tengah kepanikannya, masyarakat berpikir harus ada mata-pencaharian


pengganti yang bisa menopang kehidupan keluarga. Usaha pertama yang mulai
mereka lakukan adalah kembali ke ladang masing-masing. Mereka tidak punya
keahlian lain selain bercocok-tanam. Ladang yang semula terlantar mulai
diperhatikan dan dirawat kembali. Laki-laki dan perempuan aktif bekerja di
ladang.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 127

Awalnya masyarakat menanam padi sawah. Beras memang dibutuhkan, seiring


dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun sawah hanya bisa dikembangkan
pada lahan tertentu saja, yaitu rawa-rawa atau tanah datar yang masih bisa
diairi. Inilah salah satu penyebab kenapa sawah tidak dikembangkan masyarakat.
Perluasan sawah hanya mungkin dilakukan dengan cara membeli sawah dari orang
lain. Tapi itu tidak membuat luas agregat sawah meningkat.

Kemudian masyarakat membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka menanam


padi dan karet. Menurut mereka, berladang itu lebih menguntungkan, sebab:
Pertama, selain menanam padi, masyarakat bisa menanam sayuran hal yang tidak
bisa dilakukan pada lahan sawah. Kedua, hutan yang telah dibuka akan menjadi
ladang milik pribadi. Karena itu, masyarakat berlomba-lomba untuk membuka
lahan untuk membangun ladang; dan ladang pun semakin meluas setiap tahun.

Pola berladang yang diterapkan masyarakat adalah ladang berpindah. Ladang


berpindah dilakukan karena mereka tidak mengenal pemupukan tanah. Untuk
itu setelah satu periode tanam mereka langsung membuka lahan baru. Tingkat
kesuburan tanah garapan relatif rendah, sehingga memerlukan tambahan waktu
untuk mengembalikan kesuburannya. Namun, pemupukan tanah tidak mampu
dilakukan karena butuh biaya yang besar (Barber et al., 1997).

Pembagian Peran
Adat mengatur pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam usaha
tani, mulai dari penyiapan lahan (nebas, numbang dan bakar) sampai penanaman,
perawatan dan panen. Nebas adalah membersihkan lahan dari semak belukar
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Numbang atau memotong pohon
dilakukan oleh laki-laki karena membutuhkan tenaga yang sangat kuat. Ketika
membakar ada pembagian tugas, laki-laki membakar lahan sementara itu
perempuan menyiapkan bubur untuk disantap bersama-sama setelah membakar
ladang.

Menurut adat, perempuan sangat bertanggung-jawab untuk merawat ladang.


Namun kini, laki-laki banyak turun ke ladang, membuat ladang menjadi tanggung
jawab bersama antara laki-laki dan perempuan. Mereka bahu-membahu mereka
merawat ladang.

Ladang ditanami padi dan karet. Padi ditanam dengan cara ditugal, dan benih
ditaburkan ke dalam lubang-tugalan. Jumlah penabur benih lazimnya lebih
128 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

banyak, karena itu kegiatan menugal harus dilakukan dengan amat cepat. Karena
itu, penugal itu lebih banyak dilakukan laki-laki.

Usaha Lain
Masyarakat hanya tahu soal menanam karet dengan menggunakan bibit cabutan
yang berbiaya murah. Namun untuk sampai pada masa panen dibutuhkan waktu
tunggu selama tujuh sampai delapan tahun. Sementara itu kondisi ekonomi kian
menghimpit. Itu telah memaksa masyarakat untuk menemukan kegiatan ekonomi
alternatif.

Pemerintah desa mulai berusaha mencari alternatif kegiatan ekonomi yang


bisa dikembangkan di desa. Mereka datangi instansi pemerintah dan juga
mengembangkan hubungan dengan LSM lokal dan lembaga penelitian. Kemudian
bermunculan program-program pengembangan ekonomi seperti pengembangan
jagung dan padi gogo dari Dinas Pertanian Bungo; pengembangan manau dan
bantuan usaha produktif (BUP) dari Dishutbun Bungo; CFC dari ICRAF Bungo;
dan pelatihan mebel bambu oleh Disnakertrans Bungo.

Masyarakat menanggapi program itu secara serius, karena program tersebut dinilai
dapat membantu perekonomian mereka. Mereka bermusyawarah agar bantuan
tersebut terbagi merata kepada masyarakat. Mereka susun aturan main. Bantuan
program ditetapkan disalurkan kepada kelompok, dan bukan kepada perseorangan.
Perencanaan, implementasi, dan monitoring disusun bersama.

PENINGKATAN MUTU SUMBERDAYA MANUSIA


Menurut Kristianto (2003), ekonomi rumah tangga itu terdiri dari tiga komponen:
Pertama, sumberdaya manusia, fisik dan keuangan rumah tangga. Kedua, kegiatan
produksi, konsumsi dan investasi rumah tangga. Dan ketiga adalah hasil aliran
kegiatan dan sumberdaya. Dengan demikian, peningkatan mutu sumberdaya
manusia akan sangat mendorong usaha-usaha perbaikan ekonomi keluarga.

Anak-anak Harus Sekolah


Masyarakat mulai menyadari perlunya peningkatan sumberdaya manusia. Orangtua
berperan besar untuk mendorong putera-puterinya agar bisa bersekolah. Mereka
menyadari bahwa sekolah itu penting. Pengalaman mereka menyatakan, orang
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 129

yang tidak bisa membaca dan menulis amat mudah dibodohi orang-orang pintar.
Keadaan seperti itu tidak boleh dialami lagi oleh para putera-puteri mereka.

Awalnya, di desa hanya tersedia fasilitas pendidikan tingkat SD. Untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang lebih tinggi harus dilakukan ke luar daerah. Itu amat mahal
dan menyusahkan. Berkat perjuangan masyarakat, 2004 telah dibangun SMP.
Masyarakat antusias menyekolahkan anaknya. “Tidak ada perbedaan anak laki-laki
dan perempuan untuk bersekolah, yang penting dia mau sekolah. Cukuplah kami (orang
tua) saja yang bodoh. Dan biarlah kami banting tulang asal anak-anak menjadi pintar,”
ujar Ibu Bani dalam perjalanan ke ladang sambil membawa ambung (keranjang
rotan yang talinya ditumpukan di kepala). Kemajuan yang sangat berarti disini
adalah semakin terbukanya peluang perempuan untuk bersekolah. Laki-laki dan
perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah, hanya bergantung
pada keinginan dan kemauan anak untuk sekolah. Sekarang sudah ada seorang
warga yang berhasil menamatkan pendidikan di perguruan tinggi dan ia seorang
perempuan.

Tingkatkan Kualitas Kesehatan Masyarakat


Kesehatan sangat mendukung produktivitas. Tubuh yang sakit membuat
produktivitas tidak optimal. Kita tidak bisa ke ladang atau usaha yang lain
kalau tubuh sakit atau ada anggota keluarga yang sakit. Kesehatan yang optimal
mendukung pertumbuhan dan perkembangan otak. Profesor Anita Ghulam Ali
seorang direktur pelaksana Yayasan Pendidikan Sindh, Pakistan dalam suatu
wawancara menyatakan: ”Ekonomi dan perkembangan suatu negara tergantung pada
kesehatan yang baik. Kesehatan dan pendidikan harus selaras. Karena semakin dalam
kita masuk ke masyarakat, semakin dijumpai masalah-masalah kesehatan”.

Kesadaran masyarakat tentang hidup sehat masih minim. Kesehatan lingkungan


dan keluarga masih perlu diperbaiki. Pada 2004, dari bulan Januari sampai bulan
April, terdapat 4 kematian ibu melahirkan dan seorang bayi meninggal. Tingginya
angka kematian pada ibu melahirkan ini membuat perempuan takut untuk hamil
dan melahirkan.

Masyarakat lebih banyak menggunakan jasa dukun daripada tenaga medis jika
ada anggota keluarganya yang sakit. Bila berobat dengan dukun, terdapat banyak
pantangan makanan yang tidak boleh dimakan. Namun makanan pantangan
tersebut ternyata adalah bahan makanan yang banyak mengandung sumber gizi
yang tinggi.
130 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Di tengah situasi itu, masyarakat didorong untuk berobat kepada tenaga medis
dan mulai belajar untuk hidup sehat. Mereka tidak lagi meminum air mentah,
rajin berkonsultasi kesehatan dengan tenaga medis yang ada, dan menghidupkan
kembali Posyandu. Posyandu melayani pengukuran pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan balita serta kesehatan ibu hamil dan lanjut usia. Kegiatan
Posyandu ini dilakukan oleh ibu-ibu bekerjasama dengan Puskesmas.

Kesadaran tentang kesehatan juga dipengaruhi oleh interaksi masyarakat setempat


dengan masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang memiliki pengetahuan
tentang kesehatan lebih baik dari penduduk asli. Mereka tidak mengenal
pantangan makanan bagi ibu hamil, melahirkan, bayi dan anak-anak. Dan ini
ternyata membuat ibu dan anak-anak mereka menjadi lebih sehat karena cukup
gizi.

PENINGKATAN KAPASITAS

Peningkatan Peran Perempuan


Perempuan selama ini terpinggirkan. Mereka selalu diidentikkan sebagai “orang
dapur”. Kini perlahan-lahan mereka bangkit. Mereka sadar memiliki peran yang
jauh lebih besar dalam pembangunan desa. Kini perwakilan perempuan selalu
hadir dalam setiap pertemuan desa. Dan mereka memang aktif mengeluarkan
pendapat.

Masyarakatpun menilai, sekarang


peran perempuan dalam pembuatan
keputusan tingkat desa sudah
lebih baik dibanding dengan
sebelumnya. Orang-orang adat
yang selama ini selalu melecehkan
© Effi Permata Sari

peran perempuan, kini mulai bisa


menerima keberadaan perempuan.
Bahkan mereka membuka peluang
bagi perempuan untuk menjadi
ninik mamak. Syarat untuk menjadi Peran perempuan semakin diakui oleh
multipihak desa, khususnya kaum lelaki, dalam
seorang ninik mamak adalah selalu
pengambilan keputusan tingkat desa
berkata benar dan berjalan lurus.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 131

Aksi Kolektif
Desa Baru Pelepat punya rencana strategis pembangunan. Itu dirumuskan dalam
sebuah pertemuan desa yang dilakukan selama tiga hari. Pertemuan itu dihadiri
oleh pemerintahan desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda, lembaga adat,
dan perempuan.

Rencana strategis itu memuat arah pembangunan desa, yang dinyatakan dalam
visi praktis. Penghalang dari masing-masing visi tersebut diuraikan. Masyarakat
memperoleh proses pembelajaran yang baik. Mereka tidak lagi melihat modal
sebagai sebuah penghalang. Mereka justru menetapkan unsur sikap sebagai
penghalang. Penghalang-penghalang itu kemudian dipositifkan untuk menemukan
arah strategi pembangunan.

Rencana pembangunan desa itu kemudian dijadikan bahan acuan desa untuk
menggiring program pembangunan masuk ke desa untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Rencana strategis pembangunan desa yang berfungsi
untuk landasan pembangunan desa itu memuat prioritas pembangunan desa,
yaitu kesehatan, ekonomi, ekowisata di hutan adat Datuk Rangkayo Mulio,
kelembagaan desa, sumberdaya manusia dan transportasi.

Agenda itu selalu dibawa dalam rapat-rapat di tingkat yang lebih tinggi, seperti di
Kecamatan dan Kabupaten. Dengan kata lain, rencana strategis itu telah menjadi
bahan untuk melakukan aksi kolektif sesuai dengan kesepakatan masyarakat.

Kembali ke Nilai-nilai Lokal


Sumberdaya alam melimpah ruah di desa ini. Potensi yang besar adalah sungai,
hutan, dan keindahan alamnya yang eksotik. Penebangan hutan yang banyak
dilakukan terutama di daerah hulu, membuat kualitas sungai dan hutan
berkurang. Sungai menjadi dangkal dan sudah terjadi pengurangan populasi ikan.
Hasil hutan non-kayu seperti madu, buah-buahan, hewan buruan, dan tanaman
obat semakin berkurang ditemukan karena kelestarian hutan yang terganggu. Ini
mengisyaratkan pentingnya untuk kembali menghormati nilai-nilai lokal.
132 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sompak, Kompak, Setumpak


Ini adalah seloka adat berkaitan dengan kegiatan berladang. Artinya, masyarakat
harus serempak membuka ladangnya, kompak melibatkan semua pihak, dan
dilakukan di areal yang sehamparan. Itu akan memudahkan dalam pemeliharaan
dan pengawasan terhadap serangan hama.

Seloka itu diintegrasikan dengan kearifan lokal lainnya. Misalnya adat telah
mengatur pola budidaya tanaman sesuai dengan kondisi lahannya. Tanah datar
dapat ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Tanah yang agak miring ditanami
dengan tanaman yang mempunyai akar yang banyak sehingga dapat mengikat
tanah dan tidak runtuh. Tanah rawa digunakan untuk menanam padi sawah.

Masyarakat lebih cenderung menanam karet. Selain teknik budidayanya sudah


dipahami, karet dinilai lebih ramah terhadap tanaman yang berada di sekitarnya.
Dengan menanam karet, masyarakat masih bisa menanam tanaman yang lain
seperti buah-buahan. Akar karet dapat menahan tanah di desa itu yang berbukit-
bukit agar tidak terjadi longsor.

Lubuk Larang
Untuk menjaga populasi ikan, masyarakat bersama-sama menetapkan lubuk
larang. Ini merupakan kebiasaan lama yang sempat terlupakan. Keberadaan lubuk
larang dibangkitkan kembali pada 2002, dengan menetapkan empat lubuk larang.
Lubuk itu adalah bagian sungai yang mengandung ceruk yang dalam. Daerah ini
diyakini sebagai tempat ikan berkembang-biak.

Selain tempat budidaya ikan, lubuk larang ini juga berfungsi sebagai sumber
pendapatan masyarakat. Dalam periode tertentu ikannya dipanen. Dan hasil
penjualannya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan desa dengan
proporsi bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama.

Kelompok perempuan mengelola hasil lubuk larang. Dari sana mereka dapat
menginvestasikan dalam bentuk tiga set pakaian pengantin (yang disewakan
kepada masyarakat jika mereka melakukan pesta perkawinan), mesin diesel
generator listrik untuk mesjid, dan sebagainya.
BAGIAN 2-4 • Effi Permata Sari 133

Lubuk larang hanya boleh dipanen pada waktu-waktu yang telah disepakati. Bila
ada tamu atau pejabat berkunjung ke desa, ikan yang berada di dalam lubuk larang
boleh diambil. Tetapi ini tidak berlaku bagi masyarakat.

Tidak ada aturan hukum positif yang mengatur lubuk larang. Tetapi masyarakat
meyakini, bahwa mengambil ikan di lubuk larang secara tidak sah akan membuat
hidupnya sengsara. Karena ikan yang di lubuk itu sudah dibacakan Surat Yasin
(bagian dari Al Qur’an) sebanyak 40 kali.

Pembuatan Hutan Adat


Kelestarian hutan kian terancam akibat kegiatan pembalakan liar. Padahal
sumberdaya hutan amat diperlukan sebagai bahan cadangan untuk anak-
cucu. Hutan juga memegang peran penting untuk menjaga tata air. Untuk itu
diperlukan bentuk pengelolaan yang sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar,
yaitu membentuk sistem pengelolaan hutan adat.

Hutan adat itu bernama Hutan Adat Datuk Rangkayo Mulio, yang dimaksudkan
untuk menegakkan kembali aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Mereka ingin kembali menegakkan nilai lokal ka aek babungo pasia ka darek babungo
kayu (ke air berbunga pasir dan ke darat berbunga kayu). Artinya ada pembagian
hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam baik di sungai maupun di darat.

Setiap pelanggaran terhadap pengambilan kayu di hutan adat dikenakan sanksi


adat. Sanksi ini semakin dikuatkan ketika dilembagakan dalam bentuk peraturan
desa. Peraturan ini digali langsung dari masyarakat. Pernah terjadi pelanggaran
pengambilan kayu di hutan adat. Reaksi yang diberikan masyarakat sangat besar.
Tanpa mengenal adanya kekerabatan (masyarakat Baru Pelepat dalam satu rumpun
keluarga) mereka berusaha menegakkan aturan yang telah dibuat bersama. Dan
ini menjadi pelajaran bagi yang lain.

Sekarang masyarakat berusaha untuk mengembangkan ekowisata berlokasi di


hutan adat. Terdapat banyak potensi ekowisata di dalamnya seperti air terjun,
keanekaragaman hayati, dan pemandangannya. Mereka terinspirasi ketika
mendatangi daerah lain, dan ternyata potensi wisata desa mereka lebih baik dan
bisa mendatangkan pendapatan bagi masyarakat.
134 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN
Barber, C.V, Afif, S. dan Purnomo, A. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian
Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, Indonesia.
BPS Kabupaten Bungo. 2003. Bungo dalam Angka 2002. Kerjasama Bappeda
Kabupaten Bungo dan BPS Kabupaten Bungo. Muara Bungo,
Indonesia
EENET Asia Newsletter. 2005. Ekonomi dan Perkembangan Suatu Negara
Tergantung pada Kesehatan yang Baik. Wawancara dengan Prof. Anita
Ghulam Ali, Direktur Pelaksana, Yayasan Pendidikan Sindh, Pakistan.
http://www.idp-europe.org/eenet/newsletter1-Indonesia/page24.php
Kristianto. 2003. Evaluasi Pelayanan Keuangan Mikro. News Permodalan Nasional
Madani. http://www.pnm.co.id/news.asp?id=519-19k, diakses 17 Mei
2006.
Pemerintah Kabupaten Bungo. 2000. Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten
Bungo 2001-2005. Muara Bungo, Indonesia.
BAGIAN 2-5
Rio Modal Sosial Sistem Pemerintah Desa
Rio:

Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin


136 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

LATAR BELAKANG

Arus globalisasi dan modernisasi


telah membawa dampak positif
maupun negatif terhadap berbagai
lapisan masyarakat. Dampak negatif
yang diakibatkan oleh pengaruh
masuknya budaya luar yang tidak
sesuai dengan budaya setempat
terbukti telah mengancam pola-
pola kehidupan tradisional yang
kaya dengan nilai-nilai luhur.
Masyarakat cenderung tidak
© dokumentasi CAPRI

mentaati tatakrama dan norma adat.


Kasus-kasus dalam sengketa lahan
dan warisan, misalnya, seringkali
Keterbukaan terhadap dunia luar mendorong tidak dapat diselesaikan oleh aparat
masuknya nilai-nilai yang tidak selalu sesuai desa sekalipun mereka mempunyai
dengan kondisi setempat, sehingga menjadi wewenang menjaga ketertiban
tantangan dalam mempertahankan modal dan keamanan masyarakat serta
sosial masyarakat mendapat insentif reguler dari
pemerintah. Sebagian masalah justru
hanya dapat diselesaikan oleh tetua adat dan ninik mamak. Itu semua ditengarai
terkait dengan semakin lunturnya modal sosial ikatan kekerabatan, norma-norma
serta kepercayaan masyarakat.

UU No. 5/19791 yang menyeragamkan pemerintahan desa juga telah memasung


otonomi dan kreativitas masyarakat desa. Pendekatan struktur dan kekuasaan
telah melunturkan identitas masyarakat adat dan modal sosial seperti norma
kekerabatan yang telah terbentuk dalam masyarakat2. Dengan penyeragaman
tersebut, memang pemerintah dapat dengan mudah dan efektif mengontrol dan
melakukan pembinaan komunitas masyarakat sampai tingkat yang paling rendah.
Tapi, ini merupakan hal yang dipaksakan dan mengingkari kenyataan keragaman
dalam masyarakat.

Berlakunya UU No. 32/20043 telah membuka peluang bagi daerah untuk


membentuk struktur pemerintahan desa yang lebih menghormati keragaman
1 Tentang Pemerintahan Desa (diundangkan 1 Desember 1979).
2 Lihat misalnya Saad (2001).
3 Tentang Pemerintahan Daerah (diundangkan pada 15 Oktober 2004). Ayat (1) Pasal 200 UU 32/2004 menyebutkan adanya peluang pembentukan
pemerintahan desa dan, seperti yang ditegaskan dalam ayat (2) pasal yang sama, pembentukan dan penggabungan didasarkan atas usul dan prakarsa
masyarakat.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 137

budaya dan sosial di masing-masing daerah. Kekhawatiran terhadap dampak negatif


yang ditimbulkan, berupa semakin menipisnya nilai-nilai adat, telah mendorong
berbagai pihak di Kabupaten Bungo4 untuk melihat kemungkinan berlakunya
kembali pemerintahan tradisional pada tingkat paling bawah setara dengan
pemerintahan desa, yang pada masa lalu dikenal dengan istilah Rio. Dukungan
juga diperoleh dari pihak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk menjadikan
Bungo sebagai kabupaten contoh dihidupkannya kembali sistem pemerintahan
desa adat di Propinsi Jambi.

Tulisan ini menguraikan hasil analisis awal terhadap peraturan perundangan yang
berlaku, bagaimana pandangan para pihak terhadap usulan kembali ke sistem
pemerintahan Rio dan bagaimana usulan struktur kelembagaannya. Tujuan
dari penelitian yang hasilnya dituangkan dalam tulisan ini antara lain adalah
memperkuat kelembagaan lokal melalui peran aksi kolektif dan mendorong proses
terbuka dan partisipatif dalam pengambilan kebijakan, khususnya dalam menyusun
dasar hukum berupa peraturan daerah atau sejenisnya terkait pemberlakuan
kembali ke sistem Rio.

MODAL SOSIAL
Ada tiga definisi modal sosial yang umum dipakai di berbagai literatur. Pertama,
menurut Robert Putnam yang mendefinisikan modal sosial sebagai ciri-ciri
kehidupan sosial jaringan, norma dan kepercayaan- yang mendorong orang
untuk bertindak bersama secara lebih efektif guna mencapai tujuan bersama.
Kedua, modal sosial dipahami sebagai ”...institusi, hubungan dan norma-norma
yang membentuk kualitas dan kuantitas sebuah interaksi sosial (World Bank,
2000). Ketiga, modal sosial merujuk pada ”aturan dan norma, kewajiban, saling
menghormati dan berbagi, serta kepercayaan yang melekat pada hubungan
sosial, struktur sosial dan tatanan kelembagaan sosial yang membantu anggota
masyarakat mencapai tujuan individu dan kelompoknya” (Narayan, 1997).

Ada dua modal sosial, yakni struktural dan kognitif. Modal sosial struktural
terwujud dalam berbagai bentuk organisasi sosial, dan meliputi peranan, aturan,
pola dan prosedur serta jaringan yang mendorong terjadinya kerjasama. Modal
sosial kognitif mencakup norma-norma, nilai, sikap dan kepercayaan. Kedua

4 Salah satunya seperti yang disampaikan Bupati Bungo, Bapak H. Zulfikar Achmad, sewaktu melakukan Safari Jum’at di Desa Teluk Kecimbung pada
tanggal 17 Juni 2003. Beliau menyampaikan bahwa “Globalisasi adalah sebuah keniscayaan dan tidak bisa dihindarkan, tetapi harus dibarengi dengan
nilai-nilai adat yang sakral dan berlaku di tengah masyarakat”. Dalam kesempatan lain beliau menyampaikan keinginan untuk mengkaji secara lebih
mendalam kemungkinan kembali ke struktur pemerintahan tradisional Rio. Hal ini pula yang menjadi dasar penelitian yang sebagian hasil temuannya
dituangkan dalam tulisan ini..
138 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

model tersebut bersifat saling melengkapi: dengan modal sosial struktural, norma
dan kepercayaan mendorong masyarakat untuk berperilaku lebih terkoordinasi
dan berorientasi tujuan (Uphoff, 1999).

Uraian tersebut menjelaskan proses perubahan dari sistem pemerintahan


desa yang berlaku sekarang ke sistem pemerintahan Rio, bukan hanya terkait
persoalan struktur organisasi pemerintahan desa, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana norma dan nilai adat setempat dengan nilai-nilai luhurnya ditaati dan
dijalankan serta bagaimana hubungan atau interaksi antar komponen masyarakat
yang tentu saja berbeda kondisinya dengan zaman dulu dapat mendorong ke
arah pencapaian tujuan bersama secara efektif. Semakin luntur kepercayaan
suatu kelompok masyarakat kepada kepala desa, semakin lemah pula semangat
kekeluargaan dan gotong-royong di kalangan masyarakat, yang ditandai dengan
kecenderungan rendahnya frekuensi masyarakat hadir dalam pertemuan desa.
Semuanya sangat terkait erat dengan modal sosial. Dengan demikian, konsep
modal sosial menjadi penting dalam proses transformasi ini dan pengalaman di
berbagai negara menunjukkan adanya hubungan antara modal sosial dan potensi
terbangunnya masyarakat yang mandiri dan kuat (Anonim, 2001).

DASAR HUKUM
Mungkinkah sebuah sistem pemerintahan desa diubah? Siapa yang berwenang
mengubahnya? Jika kita kaji peraturan perundangan yang ada, pemikiran untuk
kembali ke pemerintahan tradisional sebenarnya sejalan dengan UU No. 32/20045.
Menurut pasal 1 (12), desa atau yang disebut nama lain adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bunyi pasal tersebut memberi indikasi
bahwa setiap daerah diberi wewenang tidak hanya untuk mengganti istilah desa
dengan nama lain, tetapi juga sistem pemerintahan berdasarkan adat istiadat.

Ada sinyal positif bagi pemerintah daerah untuk mengatur kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Otonomi hakekatnya
merupakan pemberdayaan daerah termasuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Pemerintah
daerah diberi wewenang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri

5 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menggantikan UU 22/1999 sebelumnya.


BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 139

urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi dan tugas pembantuan, kecuali


lima bidang.6

DESA MENURUT PERATURAN


PERUNDANGAN-UNDANGAN
Sebelum UU No. 5/1979 berlaku, pemerintahan desa berjalan sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat desa yang bersangkutan. Sebagai contoh, di
Propinsi Sumatera Barat dikenal istilah ’Nagari‘, di Jambi khususnya di Kabupaten
Bungo dikenal dengan istilah ’Rio‘ untuk sebutan Kepala Dusun.

Sistem pemerintahan desa berlaku setelah diterbitkannya UU No. 5/1979. Dalam


konsiderannya, UU tersebut menyebutkan perlunya menyeragamkan kedudukan
pemerintahan desa di seluruh wilayah dengan tetap mengindahkan keragaman
desa dan adat istiadat yang masih berlaku. Sekalipun secara normatif ditekankan
juga soal pentingnya memperhatikan keragaman budaya masyarakat, dalam
prakteknya pelaksanaan undang-undang tersebut lebih bersifat sentralistik dan
menonjolkan prinsip keseragaman. Eko (2003a) menyebutkan bahwa kebijakan
tersebut bertujuan menata ulang kelembagaan pemerintahan desa, membuat
desa tradisional menjadi desa modern, dan mengintegrasikan desa secara seragam
dalam struktur negara modern. Hubungan hierarki yang cukup kuat antara
desa, kecamatan dan kabupaten atau kotamadya telah mendorong terjadinya
kontrol dan instruksi yang kuat oleh pemerintahan atasan dengan bawahannya.
Kemandirian dan otonomi desa menjadi terhambat.

Dalam perkembangannya, filosofi dan paradigma tersebut tidak dapat


dipertahankan karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. UU No. 5/1979
diganti dengan UU No. 22/1999 yang kemudian direvisi dengan UU No.
32/2004. Dasar filosofi peraturan perundangan yang menggantikannya menganut
keanekaragaman dalam kesatuan yaitu mengembalikan nama, bentuk, unsur dan
kedudukan desa kepada keadaan semula dengan paradigma kedaulatan rakyat,
demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan pemerataan keadilan.

Sistem pemerintahan desa, menurut UU No. 32/2004 yang dijabarkan lebih


lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang desa, tidak lagi bersifat
sentralistik seperti halnya dalam UU No. 5/1979. Desa telah mempunyai otonomi
dan diberi wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Seperti yang

6 Pasal 10 ayat 1 dan 2 UU 32/2004.


140 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dinyatakan dalam pasal 206, desa mempunyai urusan pemerintahan yang tidak
terbatas hanya pada kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa,
tetapi juga pada kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada desa/dusun, dan tugas perbantuan dari pemerintah, pemerintah propinsi
dan pemerintahan kabupaten/kota.

SEJARAH PEMERINTAHANRIO 7
Istilah pemerintahan Rio mengacu pada pemerintahan suatu wilayah yang disebut
dusun atau setara dengan wilayah desa pada saat ini. Pimpinan dusun disebut
dengan Rio, dan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, dibantu oleh
sekretaris Rio dan stafnya.

Sebelum Pemerintahan Belanda berkuasa penuh pada 1906, daerah Muara Bungo
yang sekarang disebut Kabupaten Bungo diperintah oleh seorang Pangeran yang
bergelar ’Pangeran Anom‘ yang berkedudukan di Balai Panjang Tanah Periuk.
Pangeran Anom tersebut disamakan dengan Wakil Rajo atas Surat Perintah
(ketetapan) dari Sultan Jambi. Karena kedudukannya, Pangeran Anom diberi
sebutan sebagai ’Lantak Nan Tak Goyah‘.

Kekuasaan Pangeran Anom membawahi beberapa negeri yang disebut Bathin,


seperti Bathin Batang Bungo, Bathin Jujuhan, Bathin Batang Tebo dan Bathin
Batang Pelepat. Daerah Bathin membawahi beberapa dusun yang kepala
pemerintahannya disebut Rio8 (Tabel 13). Di daerah Senamat dan Pelepat,
penguasa kampung disebut juga dengan istilah Rio, kecuali di Dusun Candi
penguasa kampung disebut dengan Temenggung Kitik dan Seri Tenuah.

Dari sejarah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa istilah Rio lebih banyak
digunakan oleh dusun pada waktu itu. Pada 1926, setelah Kesultanan Jambi
dikuasai sepenuhnya oleh Belanda, wilayah yang ada di Muara Bungo dibagi lagi
ke dalam wilayah-wilayah yang disebut dengan Marga. Marga ini membawahi
beberapa Dusun. Jika dilihat dari struktur kekuasaannya, marga hampir sama
dengan sistem pemerintahan Nagari di Sumatera Barat yang membawahi beberapa
Jorong (Dusun). Pemerintahan Marga ini dikepalai oleh seorang yang disebut
Pasirah (Tabel 14).

7 Berdasarkan wawancara dengan Ketua Lembaga Adat Kabupaten Bungo, Datuk Mahmud
8 Kecuali untuk Bathin Tanah Tumbuh, kepala dusunnya bergelar Patih
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 141

Tabel 13. Dusun-dusun yang bergelar Rio

Rio Dusun
Rio Pamuncak Rantau Ikil
Rio Setio Buat
Rio Anom Tanah Periuk
Rio Igo dan Debalang Lubuk Mengkuang
Rio Suko Lamo Teluk Kecimbung
Rio Muko muko Tanjung Agung
Rio Kunci Dusun Rambah
Rio Ali Pedukun
Rio Songgam Tanjung
Rio Suko Brajo Sikarak
Rio Pasak Kancing Rantau Pandan
Rio Pusat Jalo Baru
Rio Indra Cayo atau Rajo Penghulu Empelu
Rio Mudo Lubuk Landai
Rio Peniti Ulu Bungo Kampung Baru

Tabel 14. Pasirah di wilayah Adat Bungo dengan masing-masing ibu negerinya

Marga Ibu Negeri


Jujuhan Rantau Ikil
Bilangan V dan VII Tanah Tumbuh
Tanah Sepenggal Lubuk Landai
Bathin III Ilir Muara Bungo
Bathin II Babeko
Bathin VII Rantau Pandan
Bathin III Ulu Muara Buat
Pelepat Rantau Keloyang

Walaupun wilayah Adat Bungo terdiri dari beberapa marga, namun pemerintahan
Rio masih tetap dipertahankan, karena struktur Rio berada di bawah Marga. Dusun
terdiri dari kampung-kampung yang dikepalai oleh seorang kepala kampung.
Pembagian wilayah menjadi kampung didasarkan pertimbangan jumlah penduduk
142 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan kesepakatan. Dalam menjalankan tugasnya, Rio dibantu oleh seorang Wakil
Rio yang disebut ’Mangku‘ seperti di Dusun Teluk Pandak, namun ada juga yang
menyebutnya Patih.

SUSUNAN PEMERINTAHAN RIO :


SEBUAH USULAN
Jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan desa yang ada saat ini, sistem
pemerintahan Rio9 mempunyai nilai lebih (Tabel 15). Dalam konteks pemerintahan
Rio yang diusulkan, istilah ‘desa’ yang sekarang berlaku diusulkan diubah menjadi
‘dusun’.

Sekalipun pemerintahan Rio tampak terlihat memiliki nilai-nilai lebih


dibandingkan dengan pemerintahan desa, tetapi tentu saja tidak menjamin
bahwa dengan kembali pada sistem pemerintahan adat akan mendorong
pemerintahan lebih baik dan efektif. Apalagi jika kita lihat kondisi masyarakat
desa saat ini yang sudah sangat berbeda dengan masa lalu. Dalam beberapa faktor,
pemerintahan Rio juga mempunyai kelemahan. Dengan kondisi masyarakat saat
ini, maka seorang pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan segi karismatik
saja, tetapi juga harus punya kemampuan teknis dan kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan (baik formal maupun non formal). Generasi muda yang saat
ini menjadi komponen masyarakat yang cukup dominan di hampir setiap desa
hanya mempunyai pengetahuan yang minim tentang adat dan pemerintahan
Rio. Mereka hanya mengetahui sejarah adat berdasarkan cerita saja. Muncul
pertanyaan ”Sejauh mana pemerintahan tradisional dapat kembali berjalan sesuai
dengan yang diharapkan jika tidak seluruh komponen masyarakat mempunyai
pemahaman yang cukup?”. Selain itu, tanpa disertai mekanisme check dan balance,
masa jabatan Rio yang tanpa batas dan tergantung pada keinginan masyarakat
berpotensi melanggengkan kekuasaan yang cenderung otoriter.

Dengan memahami sepenuhnya bahwa globalisasi dan modernisasi adalah sebuah


keniscayaan dan arus perubahan menjadi suatu yang tidak bisa dibendung,
pemberlakuan kembali sistem pemerintahan Rio dianggap berperan di dalam
menyaring pengaruh-pengaruh yang negatif terhadap adat dan budaya setempat.
Seiring dengan keinginan masyarakat yang menginginkan kembali berlakunya
sistem Rio, pemerintah daerah perlu menyediakan payung hukum dan wadah
kelembagaan yang akan mendorong berjalannya pemerintahan.

9 Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak terkait, misalnya dengan Ketua Lembaga Adat Kabupaten Bungo, Datuk H. Mahmud dan
beberapa tokoh-tokoh masyarakat seperti alim ulama, cerdik pandai di Kabupaten Bungo.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 143

Tabel 15. Perbandingan antara sistem pemerintahan desa dengan Rio

Sistem Pemerintahan Desa Sistem Pemerintahan Rio


Kepala Desa dipilih berdasarkan konspirasi Rio dipilih atas dasar musyawarah dan
politik kelompok tertentu (cenderung mufakat masyarakat banyak
dilakukan secara voting)
Terikat pada pendidikan formal (minimal Tidak terikat pada pendidikan formal
SMP)
Tidak mutlak melihat asal usul keturunan Mutlak melihat asal usul keturunan dan
serta perilaku dalam masyarakat perilaku dalam masyarakat (mutlak dari
keturunan baik-baik dan terhormat)
Waktunya terbatas (maksimal 2 kali jabatan Waktunya tidak terbatas (sepanjang
dalam periode 10 tahun) masyarakat menghendaki)
Berbagai kasus menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pemerintah desa saat
ini, terkait dengan sejauh mana tanggung jawab, sistem dan aparatnya memberikan
pengayoman kepada masyarakat. Sistem pemerintahan Rio cenderung lebih disegani
dan dihormati. Keamanan dan ketertiban masyarakat juga lebih terjamin di bawah
sistem pemerintahan Rio.

Dengan berpedoman pada peraturan perundangan10, struktur organisasi


Pemerintahan Rio di Kabupaten Bungo yang diusulkan terdiri dari (1) Pemimpin
dengan sebutan Rio, Sekretaris Rio atau nama lain serta beberapa Kepala
Urusan (Kaur) yang terdiri dari Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan dan
Kaur Umum (Gambar 16). Dari struktur tersebut tampak bahwa sekretaris Rio
mempunyai kewenangan cukup besar membawahi beberapa kepala urusan secara
langsung dibandingkan Rio. Berdasarkan sejarahnya, yang memegang posisi Rio
adalah seseorang yang dihormati dan dipilih lebih karena alasan karismatik.
Sementara fungsi pengendali berada pada Sekretaris (atau disebut juga Mangku)
yang mempunyai kemampuan teknis dan relatif berpendidikan. Dengan usulan
struktur seperti ini, diharapkan secara bertahap akan ada keterpaduan antara Rio
dan sekretaris Rio dalam hal kemampuan dan kedudukannya.

Untuk membantu Pemerintahan Rio, perlu dibentuk lembaga kemasyarakatan


sesuai dengan yang dimaksud dalam pasal 21111. Lembaga tersebut berperan
sebagai mitra dalam memberdayakan masyarakat desa dan bisa berbentuk Badan
Permusyawaratan Dusun (BPD) dan lembaga-lembaga lainnya.

10 Pasal 202 UU No.32/2004 yang menyatakan bahwa Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa (sekretaris desa dan perangkat
desa lainnya). Sekretaris desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Selain pasal tersebut, juga diacu pasal 4 Peraturan Daerah
Kabupaten Bungo No.19/2000 tentang Organisasi Pemerintahan Desa.
11 Pasal 211 UU No.32/2004 menyatakan bahwa di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang bertugas membantu pemerintah desa dan
merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.
144 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Waktu kerja kantor juga diusulkan disesuaikan dengan kantor pemerintahan


lainnya, yakni dari Senin sampai Kamis dengan jam buka dari pukul 07.15 sampai
14.00, Hari Jumat dari pukul 07.15 sampai 11.00 dan Hari Sabtu dari 07.15 sampai
13.00. Sesuai dengan yang diatur dalam pasal 202, Sekretaris Rio diangkat dari
pegawai negeri dengan tujuan agar pelayanan terhadap masyarakat bisa dilakukan
setiap hari kerja. Sejalan dengan arahan Menteri Dalam Negeri tentang perlunya
pemberdayaan masyarakat12, sekretaris desa/dusun diangkat secara bertahap
sebagai pegawai negeri. Pengalaman dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa
Sekretaris Wali Nagari yang diangkat dari pegawai negeri terbukti cukup efektif. Di
Kabupaten Tanah Datar, bahkan terdapat 3 orang staf Wali Nagari yang berstatus
sebagai pegawai negeri.

Rio

Sekretaris Rio
atau nama lain

Kaur Kaur
Pemba- Kaur
Pemerin- Kaur….
ngunan Umum
tahan

Kepala Kampung

Gambar 16. Usulan struktur organisasi Pemerintahan Rio

Syarat-syarat Pengangkatan Rio


Mengacu pada pasal 203 UU No. 32/2004, Rio sebaiknya dipilih secara langsung
oleh warga dusun yang memenuhi syarat. Pemilihan langsung seperti ini sebenarnya
sudah diterapkan pada Pemerintahan Rio dahulu. Bahkan rakyat setempat selalu
bermusyawarah dan bermufakat menentukan pemimpin mereka (Rio) tanpa ada

12 Surat Menteri Dalam Negeri No.410/2917/SJ tanggal 29 Oktober 2004 kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta pimpinan DPRD Propinsi, Kabupaten
dan Kota. Surat tersebut menyatakan bahwa masyarakat dan desa/dusun harus diberdayakan.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 145

pemungutan suara. Diharapkan pola pemilihan secara adat diterapkan dalam


pemilihan Rio di masa mendatang dengan tetap berpedoman pada peraturan yang
berlaku.

Selain syarat dipilih langsung, calon kepala dusun harus penduduk asli dari
dusun yang bersangkutan. Hal ini terkait dengan tanggung jawab moral seorang
kepala dusun atas seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Jika
posisi kepala dusun ditempati orang yang bukan berasal dari dusun bersangkutan
dikhawatirkan akan terjadi kecemburuan sosial dan kurangnya tanggung jawab
moral terhadap masyarakat setempat. Ketentuan tentang keharusan penduduk
asli untuk menjadi pimpinan (Wali Nagari) juga cukup efektif penerapannya di
dalam Sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat.

Untuk daerah-daerah transmigrasi, seperti di Kuamang Kuning, kepala Dusun


atau Rio dibolehkan berasal dari para transmigran itu sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakatnya, namun tetap menganut Sistem Pemerintahan Rio. Hal ini sesuai
dengan pepatah Adat Jambi yang mengatakan “Di mano bumi dipijak di situ langit
dijunjung, di mano ranting patah di situ ayek disauk, di mano tembilang dicacak di situ
tanaman tumbuh”.

Syarat-syarat seseorang untuk diangkat menjadi Rio dapat mengacu pada


persyaratan untuk seorang calon kepala desa seperti diatur dalam Pasal PP No.
72/2005. Selain aspek moralitas dan kesehatan, aspek lain cukup penting bagi
seorang pada posisi Rio adalah dia harus mengenal daerah yang akan menjadi
wilayahnya, dikenal, dihormati dan mempunyai wibawa di depan masyarakat
dusun bersangkutan dan memenuhi syarat lain yang ditetapkan aturan adat.

Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa syarat pendidikan untuk


calon seorang kepala desa sekurang-kurangnya SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama) atau yang sederajat. Dalam pemilihan Rio, prasyarat pendidikan
lebih bersifat fakultatif dan bukan sebuah keharusan, yang terpenting adalah
bahwa Rio berasal dari keturunan orang baik-baik, terhormat dan disegani oleh
masyarakatnya. Rio lebih merupakan simbol kehormatan dan kewibawaan. Syarat
administratif dan pendidikan harus dimiliki oleh sekretaris atau wakilnya yang
berperan mengendalikan administrasi pemerintahan. Bahkan posisi sekretaris atau
wakilnya sebaiknya ditempati seseorang yang berpendidikan sekurang-kurangnya
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Jika memang ada figur Rio yang
berpendidikan SMP ke atas, dihormati dan punya wibawa, maka itu akan lebih
baik.
146 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tugas dan Wewenang Pemerintahan Rio


Untuk mengisi kekosongan hukum dan sambil menunggu pengaturan kelembagaan
yang lebih rinci, tugas dan kewajiban Rio untuk sementara dapat mengikuti
ketentuan yang berlaku untuk kepala desa, seperti yang diatur pada pasal 14
PP No. 72/2005 dan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo No. 19/2000 tentang
Organisasi Pemerintahan Desa. Pasal 3 ayat 1 Perda tersebut menyebutkan
bahwa pemerintahan desa mempunyai tugas menyelenggarakan dan bertanggung
jawab untuk urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta
mengembangkan jiwa gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan
pemerintahan Rio. Ayat 2 menyatakan bahwa tugas pemerintahan desa adalah
melaksanakan pembinaan kemasyarakatan, pembinaan perekonomian, keamanan,
ketertiban, musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan antar warga masyarakat,
menyusun dan mengajukan Rancangan Peraturan Desa kepada BPD atau nama
lainnya serta menetapkan peraturan desa bersama lembaga mitranya (BPD atau
nama lainnya). Berdasarkan ketentuan ini, pemerintahan Rio mencakup tugas dan
kewajiban yang ditetapkan untuk pemerintahan desa dalam hal pembangunan,
pembinaan masyarakat dan menyusun peraturan Rio.

Agar rancangan peraturan desa, keputusan-keputusan pemerintahan Rio tentang


rencana pembangunan dusun dapat sesuai dengan kehendak masyarakat, maka
pendekatan-pendekatan partisipatif yang juga tercermin dalam bentuk musyawarah
dan mufakat di jaman dulu, perlu dilembagakan. Hal ini untuk menjamin adanya
keterlibatan seluruh komponen masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan
kaum perempuan.

Hal yang sama juga berlaku bagi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintahan Rio. Cakupan urusannya, seperti disebutkan pasal 206 UU No.
32/2004, mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-
usul dusun, urusan pemerintahan kabupaten/kota yang diserahkan ke dusun, tugas
pembantuan yang diserahkan oleh pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten
atau kota dan urusan lainnya yang sesuai dengan peraturan perundangan.

Masa Jabatan Rio


Pada zaman dulu, jabatan Rio di tidak ada batas waktunya. Selama masyarakat
masih menginginkan dan sepanjang yang bersangkutan masih bersedia, maka
selama itu pula seseorang memegang kedudukan sebagai Rio. Namun demikian,
dengan kondisi sosial budaya masyarakat saat ini yang sangat berbeda dengan
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 147

masa lalu, maka perlu dipikirkan pembatasan masa jabatan Rio. Kekhawatiran
akan munculnya kekuasaan langgeng yang cenderung otoriter dan tidak adanya
pengkaderan figur karena tidak diketahuinya batas jabatan seorang Rio menjadi
alasan-alasan perlunya memadukan sifat karistimatik pemimpin dengan soal
batasan waktu menjabat. Sekalipun ada kebebasan dalam menentukan masa
jabatan Rio, tetapi diusulkan agar masa jabatan Rio disesuaikan dengan ketentuan
UU No. 32/2004 untuk seorang kepala desa. Pasal 204 membatasi jabatan seorang
kepala desa selama enam tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan,
atau paling lama 12 tahun. Namun demikian, jika yang bersangkutan tidak lagi
disukai masyarakat, maka seseorang yang menduduki posisi Rio dapat berakhir
sebelum masa jabatannya selesai. Dalam hal ini perlu dipikirkan aturan-aturan
tertentu yang tertuang dalam Peraturan daerah yang mengatur mekanisme
turunnya seseorang dari jabatan Rio.

Sumber Keuangan Dusun


Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, Pemerintahan Rio memperoleh dana
dari berbagai sumber. Pengaturan soal sumber keuangan dapat mengacu pada
pasal 212 ayat (1) dan (2) UU No. 32/2004 tentang Keuangan Desa13. Sumber
pendapatan desa dapat berupa Pendapatan Asli Desa (PAD), bagi hasil pajak
daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari
pemerintah propinsi, kabupaten/kota dan hibah serta sumbangan dari pihak
ketiga14.

Selain itu, pendapatan (keuangan) desa juga dapat diperoleh dari Badan Usaha
Milik Desa/Dusun (BUMD), jika desa/dusun tersebut memiliki badan usaha.
Sumber-sumber pendapatan desa tersebut dapat dikelola melalui Anggaran

Pendapatan dan Belanja Dusun. Sesuai pasal 3, Perda Kabupaten Bungo No.
29/200015, maka kekayaan dusun dapat berupa tanah kas dusun, pasar dusun,
badan usaha milik dusun, lumbung dusun, pemandian umum dan objek wisata
yang dikelola oleh dusun, bangunan milik dusun, hutan dusun, tempat pemandian
di sungai, jalan dan lainnya yang menjadi kekayaan dusun.

13 Semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
desa yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban dimaksud menimbulkan pendapatan, belanja dan pengelolaan
keuangan desa.
14 Pendapatan yang berasal dari sumbangan pihak ketiga yaitu sumbangan dari dermawan dan sumbangan lain yang tidak mengikat. Sedangkan
pendapatan yang berasal dari pinjaman desa meliputi pinjaman dari Bank Pemerintah, Bank Swasta, dan pinjaman lainnya.
15 Tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa.
148 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sumber pendapatan dan kekayaan dusun dikelola oleh Pemerintah Rio dan di
manfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan Pemerintahan Rio
dan pembangunan kemasyarakatan. Agar akuntabilitas dapat terjamin, Badan
Permusyawaratan Dusun (BPD) dilibatkan dalam mengawasi penggunaan
sumber dana tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 7 Perda Kabupaten Bungo No.
29/2000.

Lembaga-lembaga dalam Sistem Pemerintahan Rio


Agar pemerintahan Rio dapat berjalan dengan baik maka perlu mitra kerja dalam
menjalankan pemerintahan sehari-hari. Mitra kerja tersebut berupa lembaga
yang sudah diatur dalam UU maupun lembaga lain yang dibentuk sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut antara lain:
• Badan Permusyawaratan Desa, yang disingkat dengan BPD. Lembaga ini
telah diatur sesuai peraturan perundangan-undangan16. Oleh karena nama
desa telah diganti dengan nama dusun, istilah BPD dipakai untuk istilah
”Badan Permusyawaratan Dusun” yang berfungsi sebagai penampung dan
penyalur aspirasi rakyat serta menetapkan Peraturan Dusun (Perdus).
• Musyawarah Adat Dusun (MAD) atau Kerapatan Adat Dusun (KAD) atau
Lembaga Adat Dusun (LAD). Lembaga ini dibentuk berdasarkan kebutuhan
masyarakat untuk menghidupkan nilai-nilai adat dalam masyarakat. Lembaga
ini berfungsi sebagai Peradilan Adat Dusun17.
• Lembaga Kemasyarakatan Dusun (LKD) yang dalam Perda Kabupaten Bungo
No. 23/2000, disebut Lembaga Kemasyarakatan Desa. Lembaga ini berfungsi
sebagai lembaga pelaksana dan penyeleksi pembangunan secara terpadu18.

Badan Permusyawaratan Dusun (BPD)


Berdasarkan pasal 8 Perda Kabupaten Bungo No. 20/2000, jumlah anggota BPD
ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dusun yang bersangkutan. Jika jumlah
penduduk kurang dari 2.500 jiwa, maka anggota BPD berjumlah sembilan orang.
Jika jumlah penduduknya antara 2.501 sampai 3.000 jiwa, anggotanya sebanyak
sebelas orang. Anggota BPD menjadi 13 orang jika jumlah penduduknya di atas
3.000. Unsur-unsur yang duduk dalam BPD terdiri dari ketua dan sekretaris
serta wakil-wakil dari ninik mamak/tokoh adat, alim ulama, cerdik pandai, induk-
induk (kaum hawa) dan unsur pemuda (Gambar 17). Jumlahnya harus ganjil agar
kesepakatan dapat lebih mudah dicapai, jika terjadi pemungutan suara (voting).
16 Pasal 209 UU No. 32/2004, jo Perda Kabupaten Bungo No. 20/2000.
17 Pembentukan lembaga ini sesuai dengan ketentuan pasal 211 UU No. 32/2004.
18 Pembentukan LKD ini dimungkinkan menurut Pasal 211 UU 32/2004.
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 149

Ketua BPD

Sekretaris

Ninik Mamak/ Alim


Tokoh Adat Ulama Induk-Induk Cerdik Pandai Pemuda
(Kaum Hawa)

Gambar 17. Susunan atau struktur organisasi BPD

Musyawarah Adat Dusun (MAD), Kabupaten Adat Dusun


(KAD), Lembaga Adat Dusun (LAD)
Lembaga atau kerapatan ini mengurusi masalah adat dalam Pemerintahan Rio yang
unsur-unsurnya terdiri dari ninik mamak dan atau pemangku adat. Pembentukan
lembaga ini juga dimungkinkan oleh Pasal 211 UU No. 32/2004. Lembaga
ditetapkan melalui Peraturan Dusun. Orang-orang yang akan mengisi lembaga ini
harus memiliki pengetahuan tentang adat-istiadat dan aturan-aturan agama serta
bermoral baik. Mereka dapat berasal dari berbagai golongan masyarakat asalkan
memenuhi syarat, misalnya alim ulama, cerdik pandai dan tuo tengganai. Struktur
MAD/KAD/LAD terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua dan seorang
sekretaris. Lembaga adat ini terdiri dari beberapa kepala bidang.

Lembaga Kemasyarakatan Dusun (LKD)


Lembaga Kemasyarakatan Dusun (LKD) sebagaimana diatur dalam Perda
Kabupaten Bungo No. 32/2000 adalah lembaga pelaksana dalam menyelesaikan
pembangunan dusun secara terpadu. Lembaga ini diharapkan dapat memberi
masukan kepada Pemerintahan Rio, baik diminta atau tidak. Susunan Organisasi
lembaga ini berdasarkan Pasal 3 Perda Kabupaten Bungo No. 23/2000 terdiri dari
seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan beberapa ketua seksi.
Pengurus lembaga terdiri dari unsur-unsur pemuka masyarakat seperti pemuka
adat, pemuka agama, pendidik/cendekiawan, pemuda/wanita. Jumlahnya juga
harus ganjil seperti halnya jumlah personil dalam lembaga MAD/KAD/LAD.
150 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Insentif Pengurus Lembaga


Agar lembaga dapat bekerja secara efektif, perlu ada insentif atau honor yang
diberikan kepada setiap pengurusnya, termasuk untuk uang sidang. Besarnya
insentif dan uang sidang tentu disesuaikan dengan kemampuan keuangan dusun
dan jika perlu diatur dalam Perda atau Peraturan Dusun (Perdus) agar punya
kekuatan hukum.

Untuk jabatan Rio harus berasal dari penduduk asli dusun yang bersangkutan
agar hubungan yang erat dengan masyarakat tempat dimana dia lahir mendorong
munculnya tanggung jawab dan moral yang baik. Daerah transmigrasi merupakan
pengecualian. Jabatan Rio untuk daerah transmigrasi tidak harus berasal dari
penduduk asli, tetapi boleh juga dari pendatang. Anggota Pengurus BPD, MAD/
KAD/LAD dan LKD tidak harus penduduk asli, tetapi terbuka bagi setiap warga
yang tinggal di daerah tersebut sepanjang mengetahui permasalahan lembaga
yang didudukinya.

PERSEPSI PARA PIHAK TERHADAP PERUBAHAN


Hasil wawancara dengan berbagai unsur masyarakat menunjukkan bahwa mereka
umumnya mempunyai aspirasi yang sama dan setuju terhadap usulan untuk
kembali ke pemerintahan Rio. Alasan mereka adalah untuk menghidupkan kembali
nilai-nilai adat setempat, yang saat ini sudah mulai terkikis. Nilai-nilai dimaksud
menyangkut semua aspek kehidupan dalam masyarakat, termasuk sejauh mana
norma, sikap saling percaya dan hubungan antar anggota masyarakat mendorong
aksi kolektif pemanfaatan sumberdaya alam.

Dalam sebuah Seminar Sehari tentang Pemerintahan Rio19, berbagai pihak
menyampaikan dukungannya terhadap perubahan dari pemerintahan desa ke
pemerintahan Rio. Namun, ada beberapa isu yang muncul misalnya terkait batas-
batas administrasi, penerapan sistem Rio di wilayah transmigrasi dan pembentukan
dasar hukum bagi proses perubahan pemerintahan yang diusulkan.

Ada kekhawatiran penerapan sistem pemerintahan Rio di daerah transmigran


akan menimbulkan konflik dan ketidakjelasan mengingat sebagian besar
masyarakatnya berasal dari luar wilayah bersangkutan atau bahkan dari luar Jambi.
Berdasarkan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat di daerah transmigrasi

19 Diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2005 di Kantor Bappeda Kabupaten Bungo. Seminar dihadiri oleh para pihak seperti anggota DPRD,
kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, LSM, lembaga penelitian, perguruan tinggi dan unsur pemerintah
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 151

seperti di Kuamang Kuning, Kecamatan Pelepat Ilir, dan di Bukit Sari dan Sari
Mulya di Kecamatan Jujuhan, ada indikasi bahwa mereka tampaknya memang
belum menanggapi usulan ini secara jelas. Kurangnya pemahaman masyarakat
tentang adat istiadat setempat dan dasar filosofi sistem pemerintahan Rio serta
adanya keraguan terhadap dampak yang akan mereka terima ketika sistem adat
diberlakukan tampaknya menjadi alasannya.

Tampaknya masih diperlukan waktu dan proses sampai masyarakat transmigran


memahami dan dapat menerima sistem pemerintahan Rio. Sejalan dengan pepatah
adat Bungo “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” yang berarti “di mana
kita berdomisili, maka kita harus mengikuti ketentuan adat istiadat setempat”,
diharapkan secara bertahap masyarakat transmigran akan menerima aturan yang
berlaku dan menerima sistem pemerintahan Rio. Nilai-nilai adat yang mereka bawa
dari kampung halamannya tetap harus dihormati (Statuta Personalia) sepanjang hal
tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Berdasarkan pengamatan
terhadap kehidupan mereka secara bertahun-tahun, di satu sisi masyarakat Bungo
dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial masyarakat Jawa dan Bali, demikian
juga masyarakat Jawa dan Bali dapat beradaptasi dengan masyarakat setempat.

Terkait dengan batas-batas administratif yang sudah ada, sistem pemerintahan Rio
sebaiknya mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku sesuai peraturan-perundangan
nasional. Menurut Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa, jumlah
minimal penduduk untuk terbentuknya suatu desa adalah 1.500 jiwa atau 300
KK untuk di wilayah Jawa dan Bali, 1.000 jiwa atau 200 KK untuk Sumatera
dan Sulawesi dan 750 jiwa atau 75 KK untuk wilayah Kalimantan, NTB, NTT,
Maluku dan Papua. Jika jumlah penduduk sudah mencukupi untuk terbentuknya
suatu desa atau dusun, maka pemerintahan Rio dapat dibentuk berdasarkan
aspirasi masyarakat.

Wilayah pemerintahan Rio adalah wilayah desa yang bersangkutan. Hal ini
mungkin sedikit berbeda dengan yang terjadi di Sumatera Barat. Sebuah wilayah
Nagari meliputi beberapa dusun atau desa yang disebut dengan jorong. Wilayah
Pemerintahan Rio terdiri dari kampung-kampung yang di dalamnya terdapat RT
dan RW. Pada zaman dahulu, wilayah Pemerintahan Rio atau Bathin itu luas
sekali, karena jumlah masyarakatnya sedikit.

Penerapan sistem pemerintahan Rio seharusnya bersifat adaptif terhadap perubahan


sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan
dengan nilai-nilai adat. Dalam hal demokrasi, fakta sejarah membuktikan bahwa
pemilihan Rio sangat demokratis, yaitu dipilih melalui demokrasi langsung oleh
152 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

semua unsur masyarakat. Soal keterbukaan, sistem pemerintahan Rio tetap


terbuka terhadap berbagai perubahan sepanjang tidak bertentangan dengan nilai
yang berlaku. Sistem ini terbuka terhadap kemajuan ilmu dan pengetahuan seperti
televisi, parabola dan lainnya. Untuk soal partisipasi masyarakat, semangat gotong-
royong yang dimiliki dalam sistem pemerintahan Rio mendorong terjadinya aksi
kolektif dan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan tanpa pamrih, seperti
gotong-royong membuat jalan umum, tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Kotak 1. Pemerintahan Nagari Bayua: pelajaran dari sebuah studi banding

Nagari merupakan unit pemerintahan lokal terkecil di Sumatera Barat. Pemerintah


Nagari terdiri dari seorang wali terpilih, sebuah badan legislatif terpilih dan sebuah
badan yang terdiri dari wakil-wakil empat kelompok atau lebih yakni pemimpin
adat, ulama, cerdik pandai dan wanita. Dalam Nagari Bayua, yang merupakan salah
satu Nagari dari delapan Nagari di Kecamatan Tanjung Raya, terdapat beberapa
lembaga sebagai mitra kerja dari wali Nagari:
1. Kerapatan Adat Nagari (KAN) dengan tugas utama mengurus masalah
adat Nagari yang bersendikan syarak, syarak yang bersendikan kitabullah,
memperkuat nilai-nilai tradisional, menjaga kesatuan penduduk nagari,
mengelola kekayaan nagari dan menyelesaikan perselisihan masalah-masalah
adat.
2. Majelis Ulama Nagari (MUNA) yang bertugas mengurus agama dan adat;
3. Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) yang merupakan lembaga kontrol
terhadap pekerjaan Wali Nagari. Lembaga ini disebut sebagai legislatif
Nagari.
4. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagri (LPMN) yang bertugas menyusun
Perencanaan Pembangunan Nagari.

Dengan adanya sistem pemerintahan Nagari ini, tugas Camat menjadi semakin
ringan karena banyak bidang pekerjaan yang diambil alih Wali Nagari. Camat lebih
berperan di dalam mengkoordinir pekerjaan Wali Nagari, baik yang berasal dari
kearifan lokal maupun petunjuk dari pemerintah kabupaten dan propinsi. Urusan
administrasi Kartu Tanda Penduduk (KTP), misalnya, menjadi wewenang Wali
Nagari sekalipun yang menandatangani adalah Camat. Tentu saja tidak hanya itu,
sekalipun berbeda dari Nagari dulu yang sangat otonom dan tidak masuk dalam
struktur negara, saat ini terlihat tatanan sosial budaya masyarakat dan efektivitas
pemerintahan teritorial mendorong terwujudnya kepentingan pelestarian nilai-
nilai luhur adat disertai dengan penghormatan terhadap keragaman. Suasana
demokratis dan egaliter selalu mewarnai hubungan pemimpin dengan masyarakat,
baik di dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam urusan hukum
adat, seperti yang digambarkan Eko (2003b).
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 153

PEMERINTAHAN RIO , HAK PROPERTI DAN


AKSES TERHADAP SUMBERDAYA ALAM
Pada zaman dulu, dalam sistem pemerintahan Rio ditetapkan aturan-aturan adat
yang tidak tertulis. Dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya, masyarakat
diberi kebebasan membuka hutan untuk perkebunan dan pertanian. Hutan yang
dibuka untuk perkebunan disebut Halkah, sedangkan hutan yang dibuka untuk
pertanian disebut Fatlah (Machmud, 2005).

Setiap hutan yang telah dibuka oleh masyarakat, baik dalam bentuk Halkah
maupun Fatlah dicatat dalam buku kecil dan diumumkan. Pencatatan yang bersifat
permanen tersebut berfungsi sebagai bentuk pengakuan hak milik terhadap pihak
yang membuka lahan dalam wilayah pemerintahan Rio. Sisa hutan yang belum
dibuka menjadi tanah komunal dan menjadi milik Bathin. Di lahan yang menjadi
public domain tersebut, masyarakat diperkenankan memanfaatkan hasil hutan,
berburu dan menangkap ikan, tetapi kepemilikan berada di tangan Bathin.

Pada masa pemerintahan Rio diterapkan, aturan-aturan adat tentang pengelolaan


sumberdaya alam umumnya tidak tertulis tetapi berdasarkan kebiasaan
masyarakat saja. Walaupun tidak tertulis aturan-aturan tersebut sangat ditaati
oleh masyarakat. Contohnya, masyarakat hanya boleh mengambil kayu di hutan
dalam wilayah pemerintahan Rio jika kayu tersebut berdiameter minimal 50 cm.
Selain karena kayunya lebih berkualitas, aturan tersebut dimaksudkan untuk
melestarikan lingkungan melalui sistem tebang pilih. Apabila ketentuan tersebut
dilanggar, sanksi akan diberikan sesuai dengan bentuk kesalahannya dan biasanya
berupa denda yang disidangkan dalam peradilan adat. Menangkap ikan di sungai
juga hanya boleh dilakukan dengan cara memancing atau membuat perangkap
dan tidak boleh dengan cara meracun atau cara lainnya yang dapat menyebabkan
punahnya anak ikan. Aturan yang sama juga berlaku untuk binatang buruan.

Saat ini, aturan-aturan adat sudah mulai melemah dan tidak lagi ditaati
sepenuhnya oleh masyarakat. Di sebagian tempat bahkan aturan-aturan tersebut
sudah hampir punah, seperti di Kecamatan Tanah Tumbuh, Tanah Sepenggal dan
Bathin II Babeko. Melemahnya nilai-nilai adat tersebut selain disebabkan oleh
arus globalisasi, modernisasi dan pola keseragaman yang diterapkan oleh sistem
pemerintahan desa saat itu, juga disebabkan oleh masyarakat yang jumlah, ragam
dan tuntutannya semakin besar. Sedangkan sumberdaya alam semakin terbatas.

Di beberapa wilayah lain di Kabupaten Bungo, aturan-aturan adat yang mengatur


pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari masih berlaku. Misalnya, adanya
154 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lubuk larangan di Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat dan Kecamatan Rantau
Pandan, hutan lindung di Kecamatan Rantau Pandan, hutan adat terdapat di
Desa Batu Kerbau dan Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat. Aturan-aturan
hutan adat di kedua desa terakhir bahkan sudah diupayakan untuk diperkuat
dengan Peraturan Daerah.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Keinginan untuk kembali menerapkan sistem pemerintahan Rio sejalan dengan
tuntutan berbagai pihak dalam upaya mengembalikan nilai-nilai adat yang sudah
mulai terkikis. Perubahan sistem pemerintahan ini berada dalam koridor hukum
dan terakomodasikan di dalam peraturan perundangan yang berlaku. UU No.
32/2004 memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur masyarakat sesuai
dengan aspirasinya.

Diberlakukannya kembali sistem pemerintahan Rio diyakini mampu memperkuat


kembali modal sosial, memperkuat institusi lokal, merekatkan kembali sistem
sosial yang selama bertahun-tahun telah terkikis dan yang cenderung tidak
mendorong terbentuknya kemandirian desa dan terjaganya keluhuran nilai-nilai
adat. Secara bertahap, dalam jangka panjang perubahan sistem pemerintahan
diharapkan akan lebih mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat secara
mandiri dan memberikan kontribusi pada pencapaian pembangunan daerah
yang dicita-citakan. Munculnya pemimpin karismatik pemerintahan Rio yang
dihormati dan disegani masyarakatnya, perpaduan antara sifat karismatik dengan
kemampuan teknis sekretaris Rio dan adanya mekanisme check and balance dalam
menjalankan urusan pemerintahan menjadi kekuatan-kekuatan penerapan sistem
pemerintahan Rio.

Selanjutnya direkomendasikan:
• Pemerintah Daerah menyusun sebuah Peraturan Daerah terkait dengan
pengaturan sistem pemerintahan Rio, dan memfasilitasi proses penyusunannya
melalui mekanisme partisipatif dengan melibatkan berbagai komponen
masyarakat. Perda tersebut kemudian dikonsultasikan dengan pihak legislatif,
Pemerintah Propinsi Jambi dan Departemen Dalam Negeri c.q. Dirjen
Pemberdayaan Masyarakat Desa.
• Pemerintah Daerah terus mendorong proses dialog, diskusi dan
konsultasi publik tentang perubahan sistem pemerintahan desa ini, dan
mengakomodasikan masukan-masukan dari berbagai pihak, sehingga menjadi
BAGIAN 2-5 • Umar Hasan, Deddy Irawan dan Heru Komarudin 155

masukan yang berharga dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan


terkait. Perlu dilakukan studi banding yang lebih komprehensif tentang
sistem pemerintahan Nagari ke Provinsi Sumatera Barat untuk mempelajari
kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem tersebut.
• Pemerintah dan berbagai pihak terkait terus mendorong penguatan modal
sosial. Proses perubahan dari sistem pemerintahan desa ke pemerintahan
Rio bukan hanya proses perubahan struktur tetapi juga proses interaksi dan
belajar di antara masyarakat. Kepercayaan antar masyarakat cukup mudah
luluh, tetapi juga bisa dipulihkan melalui proses akumulasi modal sosial.
Peran pemerintah dan para pihak lain sangat penting dalam menjaga proses
tersebut agar berjalan ke arah positif.
• Secara paralel, berbagai pihak termasuk Pemerintah Daerah terus mendorong
dilakukannya penelitian lebih mendalam tentang aspek-aspek yang belum
tercakup dalam hasil penelitian ini dan membahasnya dengan pihak-
pihak terkait. Topik menarik yang perlu dikaji lebih lanjut adalah: dengan
modal sosial masyarakat yang ada saat ini, sejauh mana penerapan sistem
pemerintahan ini mendorong aksi kolektif dan kerjasama antar kelompok-
kelompok masyarakat dalam mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat,
baik dari sisi ekonomi, sosial maupun politik.
• Semua lapisan masyarakat, terutama anggota DPRD, para alim ulama,
cerdik pandai, tuo tengganai, LSM dan organisasi sosial lainnya di Kabupaten
Bungo terus terlibat di dalam mendorong terwujudnya pemerintahan Rio
yang bersendi syarak’, syarak’ bersendi kitabullah di “Bumi Langkah Serentak
Limbai Seayun“ Kabupaten Bungo.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian “Collective Action to Secure Property
Rights for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and
Governance Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemda Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Properti Rights (CAPRi). Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak donor dan semua pihak yang telah memberikan kontribusinya pada
penelitian ini.
156 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN

Anonim. 2001. Social Capital: A Review of the Literature. Social Analysis and
Reporting Division Office for National Statistics, Inggris. http://www.
statistics.gov.uk/socialcapital/downloads/soccaplitreview.pdf.
Eko, S. 2003a. Desentralisasi dan Demokrasi Desa. Makalah disampaikan dalam
Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999, 19 November. Deli Serdang,
Sumatera Utara. Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM)
Jakarta, Bitra Indonesia Medan dan Pusaka Indonesia. http://www.
ireyogya.org/sutoro/makalah_desentralisasi_dan_demokrasi_desa.pdf.
Eko, S. 2003b. Kembali ke Nagari dalam Konteks Desentralisasi dan Demokrasi
Lokal di Sumatera Barat. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Wawasan Pembangunan Nasional, 17-19 September. Yayasan Bina
Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor. http://www.ireyogya.org/adat/
flamma_adat_vol1_sorot1.htm.
Machmud, A.S. 2005. Pedoman Adat Kabupaten Bungo. Pemerintah Daerah
Kabupaten Bungo, Muara Bungo. Indonesia.
Narayan, 1997. Voices of the Poor: Poverty and Social Capital in Tanzania. World
Bank, Washington D.C., USA.
Saad, Z.M.B. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Pedesaan Sumatera Barat Melalui
Revitalisasi Nagari. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya
Nasional Demokrasi Masyarakat Desa, 19-23 Juni. FPPM, Tenggarong,
Indonesia.
Uphoff, N. 1999. Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and
Experiences of Participation. Dalam: Dasgupta, P. dan Seregeldin, I. (ed.)
Social Capital: A Multifaceted Perspective, World Bank, Washington
DC, USA.
World Bank. 2000. What is Social Capital? http://www.worldbank.org/poverty.
BAGIAN 3
POTENSI EKONOMI BERBASIS LINGKUNGAN
BAGIAN 3-1
Hasil Hutan Non-Kayu dan Ekonomi Masyarakat

Rodiah
160 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Effi Permata Sari


PENDAHULUAN
Perempuan Desa Baru Pelepat sangat berperan dalam bidang ekonomi, baik melalui
pekerjaan pertanian yang diupah maupun melalui pekerjaan pertanian lainnya
yang bermanfaat dalam rumah tangga. Namun kebanyakan kaum perempuan
secara sistematis terasing dari akses ke berbagai sumberdaya, pelayanan penting
dan pengambilan keputusan.

Tulisan ini mencoba memperlihatkan bagaimana kegiatan yang dilakukan


perempuan mampu menguatkan peran dan posisi perempuan dalam mengelola
desa dan sumberdaya alam. Kaum perempuan juga mampu merancang rencana
kerja dan melaksanakannya menjadi sebuah aksi.

Pemanfaatan hasil hutan non kayu masih perlu ditingkatkan. Sesungguhnya ia bisa
menjadi sumber pendapatan utama, karena hasil hutan non kayu tersedia secara
berlimpah dan belum sepenuhnya digunakan untuk kebutuhan masyarakat, baik
masyarakat setempat maupun masyarakat luar yang akan mendatangkan hasil
bagi masyarakat Desa Baru Pelepat.

Kerajinan bambu merupakan kerajinan padat karya yang akan mengurangi


pengangguran. Jika itu bisa dikembangkan akan menjadi suatu unit usaha yang
BAGIAN 3-1 • Rodiah 161

menyerap banyak karyawan. Selain untuk menambah pendapatan, anyaman


bambu juga membentuk suatu sikap kemandirian.

Jika pendayagunaan hasil hutan non kayu dapat dioptimalkan, akan banyak
manfaat yang bisa diperoleh masyarakat. Misalnya mencegah penggundulan hutan
oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, serta melindungi satwa-satwa
yang hidup di hutan agar tidak punah.

Kerusakan hutan yang terjadi selama ini akibat mata pencaharian utama
masyarakat adalah bebalok. Mereka terpengaruh oleh rayuan pihak luar yang akan
menanamkan modal di lingkungan masyarakat dengan tidak memikirkan dampak-
dampak yang akan terjadi selanjutnya. Masyarakat tidak memikirkan malapetaka
yang mungkin terjadi pada masyarakat, misalnya terjadi kebakaran, tanah longsor,
tanah menjadi gersang, kebanjiran berulang-ulang, hewan-hewan hutan punah,
serta udara yang tidak bagus lagi untuk dihirup.

HASIL HUTAN NON KAYU TERSEDIA


DI SEKITAR DESA
Desa Baru Pelepat adalah sebuah desa yang terletak di daerah penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Propinsi Jambi, terletak di sepanjang Sungai
Batang Pelepat. Desa ini terdiri dari empat dusun dengan etnik yang beragam:
Melayu Jambi, Minangkabau, Palembang, dan Jawa (transmigran).

Mata pencarian masyarakat Desa Baru Pelepat sejak era 1980-an adalah bebalok.
Namun hal itu tidak bisa bertahan untuk selamanya. Masyarakat yang mendapatkan
kayu dengan cara mudah di masa awal itu, ternyata hanya untuk sementara. Waktu
demi waktu berlalu, bebalok semakin sulit dan kayu pun susah untuk didapatkan.
Padahal, keluarga perlu makan untuk mempertahankan hidup.

Dengan habisnya kayu membuat masyarakat menjadi kehilangan pekerjaan.


Di samping itu, banyak efek yang lain seperti binatang semakin punah, tanah
menjadi tandus, sering terjadi kebanjiran, tanah longsor, kebakaran hutan dan
lain-lain. Boleh dikatakan, tidak ada lagi hutan asli di Desa Baru Pelepat yang
belum pernah dijamah tangan manusia. Banyaknya pengaruh negatif yang timbul,
membuat masyarakat ‘terbangun’: Selama ini mereka mengambil kekayaan alam
dengan bebas tanpa memikirkan bencana yang akan timbul.
162 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sesungguhnya, hutan menyediakan banyak hasil hutan non kayu, seperti


rotan, manau, bambu, pandan dan lain-lainnya, yang memang tidak digunakan
masyarakat untuk diperjualbelikan. Dari beberapa lembaga yang masuk ke desa
timbul pemikiran untuk memanfaatkan potensi yang ada dengan cara mengadakan
musyawarah dalam desa serta meminta pendapat masing-masing penduduk
tentang hasil hutan non kayu, mengadakan pelatihan dengan mendatangkan
pemberi materi dari instansi pemerintah, seperti Disperindagkop, Balai Latihan
Kerja (BLK) serta pembentukan kelompok yang melibatkan dusun dalam desa.

Sejak 2001, proses pendampingan masyarakat mulai berlangsung melalui proyek


ACM, sebuah kegiatan kerjasama CIFOR, YGB dan PSHK-ODA. Tujuannya
antara lain untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu untuk menambah
pendapatan ekonomi masyarakat, menggali pengetahuan dalam memproduksi
hasil hutan yang tersedia, serta menutup keinginan masyarakat untuk kembali
bebalok. Pada mulanya masyarakat tidak menyetujui rencana tersebut karena
tidak ada waktu dan kegiatan mereka sudah sangat padat. Padahal ajakan tersebut
bukan berarti membuat masyarakat sibuk dan membebankan, tetapi mengajak
mereka untuk beraktivitas serta membantu perekonomian di dalam keluarga,
mengembangkan serta memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia.

Dengan diberikan pengetahuan tentang bagaimana cara memanfaatkan hasil


hutan non kayu kita akan mempunyai rancangan dan cadangan apabila kita
tidak mau bergerak kita akan tertinggal serta kita tidak akan percaya diri untuk
mengembangkan kekayaan alam atau kita hanya menunggu uluran tangan dari
pemerintah. Pada saat masyarakat kehilangan pekerjaan utama yaitu bebalok
timbul pemikiran bahwa masih ada kekayaan alam yang tersedia bahkan
banyak ditemukan di daerah di sekitar lingkungan masyarakat tinggal. Adanya
pendamping dari berbagai lembaga, seperti ACM, membuat masyarakat berpikir
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk dikembangkan, baik di tingkat
dusun maupun desa.

Dalam proyek ini perempuan menjadi salah satu menjadi fokus pendampingan
dengan berbagai pertimbangan. Pertama, secara kuantitas jumlah perempuan
separuh dari jumlah penduduk di desa. Kedua, perempuan memegang peranan
utama dalam berladang, maupun dalam memenuhi kebutuhan ekonomi lainnya.
Ketiga, kendati memiliki peran terbatas, kelompok perempuan memiliki modal
sosial yang cukup tinggi dibandingkan kelompok lainnya di desa. Modal itu didapat
melalui kelompok pengajian Yasinan tingkat dusun dan desa. Melalui kelompok
pengajian ini, perempuan mengembangkan sistem arisan dan simpan pinjam yang
sangat dibutuhkan pada saat penting seperti kematian, pernikahan, kelahiran bayi
BAGIAN 3-1 • Rodiah 163

dan lain sebagainya. Yang menarik, untuk menambah modal kelompok, tak jarang
kaum perempuan mengelola ‘lubuk larangan’. Melalui kelompok pengajian, mereka
saling membangun solidaritas dan kepercayaan serta pengembangan ekonomi
alternatif, antara lain pengembangan kerajinan bambu.

Kerajinan anyaman bambu dipilih setelah melalui penggalian bersama dalam


lokakarya desa. Potensi bambu berlimpah di desa. Perempuan di desa juga sudah
terbiasa membuat anyaman bambu untuk kebutuhan rumah tangga, seperti
bakul, keranjang beras (kiding) dan tikar. Untuk meningkatkan keterampilannya,
kaum perempuan lalu menyepakati untuk menyusun rencana bersama melalui
kunjungan banding ke sentra kerajinan di Kerinci. Selain itu, mengadakan
pelatihan anyaman bambu dengan pelatih dari Kerinci, yang dilanjutkan dengan
pembentukan kelompok pengrajin serta usaha pemasaran. Dari kunjungan
banding, kaum perempuan belajar bagaimana mengolah bahan bambu menjadi
sebuah produk bernilai jual tinggi, seperti wadah tisu, kotak kue, lampu tidur,
petromak dan bingkai foto. Kunjungan banding juga menjadi pemicu kaum
perempuan untuk giat mengembangkan usaha kerajinan. Hingga saat ini, kendati
belum berproduksi secara rutin, namun sudah mampu dijual ke desa-desa tetangga
maupun diperlihatkan di pameran pembangunan Kabupaten Bungo.

Dengan berlangsungnya berbagai kegiatan, ada perubahan kesadaran bahwa


kerajinan anyaman bukan lagi sekedar pengisi waktu luang, tetapi juga dapat
menjadi sumber pendapatan rumah tangga. Selain itu, dengan pembentukan
kelompok kerajinan terjadi situasi saling belajar dan membangun solidaritas
antarkaum perempuan, baik antargenerasi (tua-muda) maupun antara penduduk
asli dengan pendatang. Pembelajaran lain, melalui kelompok kerajinan ini, kaum
perempuan mampu membangun jaringan konsultasi dan pemasaran hingga ke
tingkat kecamatan dan kabupaten. Akhirnya, dengan keberhasilan yang diraihnya,
kaum perempuan kini memiliki posisi tawar yang cukup tinggi sejajar dengan
kaum lelaki, khususnya dalam pengambilan keputusan di tingkat desa.

HASIL HUTAN NON-KAYU BERNILAI EKONOMI

Rotan
Rotan merupakan hasil hutan non kayu yang berbentuk sulur. Rotan biasanya
digunakan masyarakat Desa Baru Pelepat untuk membuat ambung dan tempat
beras (kiding). Rotan memiliki batang yang jauh lebih kecil dibanding dengan
164 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

manau. Rotan biasanya diperoleh pada musim berladang; pada saat ini ibu-ibu
berlomba-lomba untuk mencari rotan. Selain untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, rotan juga dapat dijual dengan harga yang tinggi.

Manau
Manau merupakan tumbuhan yang sama dengan rotan, namun ukurannya lebih
besar. Manau dipergunakan masyarakat untuk membuat kursi dan ayunan. Cara
pengolahan manau lebih susah di bandingkan dengan rotan, bambu dan pandan.
Selama ini masyarakat menjual manau ke kota kabupaten.

Bambu
Bambu termasuk jenis tanaman rumput-rumputan, bambu tumbuh menyerupai
pohon berkayu dan berongga. Bambu merupakan tanaman yang berumpun yang
mudah berkembangbiak. Bambu banyak manfaatnya bagi masyarakat khususnya
pedesaan, karena bambu merupakan bahan yang lebih mudah didapat. Bambu
lazim digunakan untuk bahan anyaman, mebel bambu, bahan bangunan rumah,
dan kandang ternak. Selain itu, rebung (bambu muda) dapat dimanfaatkan untuk
bahan sayuran.

Pandan
Pandan adalah tanaman yang berdaun panjang dan mempunyai duri di tepi daun.
Pandan memiliki dua jenis: pandan yang tumbuh di rawa-rawa memiliki bentuk
berumpun dan berumbi serta pandan yang tumbuh di darat memiliki batang dan
berdaun lebar. Pandan ini lebih keras dibandingkan pandan yang berada di daerah
payau dan cara pengolahannya pun berbeda.

Pandan yang berada di rawa lebih sering digunakan masyarakat karena tempatnya
berada di sekitar lingkungan masyarakat tinggal. Cara pengambilan pandan
rawa lebih mudah, sehingga bisa mengumpulkan bahan dalam waktu singkat.
Sedangkan pengambilan pandan yang tumbuh di darat (sering ditemukan di
dalam hutan) harus dilakukan dengan cara penebangan. Tanpa penebangan
akan sulit memperoleh daunnya. Apabila tidak dilakukan penanaman kembali,
pemanfaatan pandan darat akan mengancam kelestarian pandan itu sendiri.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 165

KETERAMPILAN MASYARAKAT MENGOLAH


HASIL HUTAN NON-KAYU

Menganyam
Sebelum ada kegiatan pendampingan, masyarakat sudah memiliki keterampilan
menganyam. Namun mereka belum mempunyai kemahiran mengolah bahan yang
ada di sekitar lingkungan mereka tinggal. Ibu-ibu hanya bisa membuat beberapa
model saja dan belum berani untuk melanjutkan ke model-model yang lebih
diharapkan, karena mereka belum mencobanya, sedangkan permintaan pasar
mengharapkan model-model yang unik dan bermutu.

Sekarang masyarakat telah mengikuti pelatihan dan studi banding. Masyarakat


mulai berpikir tentang pentingnya mengembangkan potensi alam yang tersedia,
serta membentuk pertemuan-pertemuan guna mencari model-model yang mana
perlu diperbanyak dan dikembangkan.

Prinsip Menganyam
Anyaman sasak. Anyaman sasak adalah anyaman yang dilakukan “tupang satu
impit dua”. Anyaman ini yang sering digunakan oleh masyarakat, karena mudah
dan butuh waktu sedikit. Keterampilan menganyam sasak merupakan dilestarikan
secara turun temurun. Seni menganyam sasak dianggap sebagai keterampilan
dasar menganyam. Tekniknya mudah dipelajari oleh anggota masyarakat yang
belum biasa menganyam. Biasanya anyaman ini digunakan untuk membuat nyiru
(tampah), bakul, tempat tisu, dan sebagainya.

Anyaman kepang. Anyaman kepang adalah anyaman yang dilakukan “tupang


dua impit dua”. Motif anyaman ini lebih indah. Masyarakat Desa Baru Pelepat
sudah menggunakan anyaman kepang untuk membuat berbagai jenis produk dari
pandan dan bambu.

Anyaman pinggir. Anyaman pinggir adalah anyaman untuk mengakhiri proses


menganyam. Ada tiga corak anyaman pinggir: pita tiga, pita empat dan pita
susuk.

Anyaman pinggir akan membawa keindahan tersendiri pada suatu anyaman


dengan menggunakan berbagai kreasi dan corak yang disukai. Biasanya anyaman
166 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

pinggir berbeda dengan anyaman biasa, karena pembuatan anyaman pinggir


daun pandan yang semula digunakan harus diperkecil menjadi beberapa bagian,
gunanya untuk memperindah bentuk anyaman. Masyarakat Desa Baru Pelepat
juga lazim menggunakan kain yang bermacam-macam warna untuk dijadikan
pita serta diselipkan pada saat menganyam pinggir.

Produk Anyaman
Tikar. Tikar merupakan alas tempat duduk, tempat tidur, dan sembahyang.
Tikar mempunyai ukuran tertentu sesuai dengan yang kita inginkan. Anyaman
ini terbuat dari pandan yang terdapat di lingkungan masyarakat dan tumbuh di
dataran rendah seperti rawa dan genangan air lainnya.

Cara pembuatan tikar: pengambilan pandan di tempat asalnya, pemilihan


pandan kasar dipisahkan dengan yang halus, mengukur pandan sesuai dengan
anyaman yang akan dibuat, pembuangan duri, penjemuran di bawah terik
matahari, memperlunak pandan dengan bambu yang sudah tua, serta melakukan
penganyaman.

Anyaman bambu. Anyaman ini amat beragam, mulai dari alat rumah tangga (nyiru,
tempat kue, dan ambung), perlengkapan ke ladang (topi), maupun perlengkapan
lainnya (tempat tisu, kipas, tempat pena, tas, tempat sampah, dompet, dan tempat
telepon genggam).

Pemilihan Bambu
Bambu yang digunakan sebagai bahan baku anyaman harus dipilih dan disesuaikan
dengan sifat anyaman.

Jenis bambu. Jenis bambu untuk bahan kerajinan anyaman merupakan jenis
bambu yang memiliki ruas panjang minimal 40 cm, berserat padat dan kuat.
Sesungguhnya hampir semua jenis bambu bisa digunakan untuk bahan anyaman.
Namun masyarakat di Baru Pelepat sering menggunakan bambu hitam, karena
pertimbangan estetika.

Umur bambu. Bambu yang dipilih adalah bambu berumur sedang (7-24 bulan),
yang dapat dilihat dari warna ujung bambu dan pertumbuhan batang sampai
cabang.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 167

Waktu tebang. Bambu terbaik untuk anyaman adalah yang dipanen pada musim
kemarau, karena anyaman lebih kuat serta tidak terserang bubuk dan tidak keropos.
Pengambilan bambu pada musim hujan akan mempersulit proses pengolahannya.
Bambu banyak terbuang, karena bambu basah akan sulit diirat (anit). Selain itu,
hasil anyaman pun akan lebih mudah rusak karena lebih mudah diserang rayap
dan keropos.

Pengolahan Bahan

Pemotongan Bambu untuk Bahan Anyaman

Alat yang digunakan untuk memotong bambu adalah gergaji dan parang.
Pemotongan perlu dilakukan secara hati-hati agar bambu tidak rusak dan sia-sia.
Bambu dipotong sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.

Pengulitan

Bambu yang akan dipakai untuk kerajinan harus dikuliti terlebih dahulu. Kulit
yang paling luar di buang. Kemudian lakukan pembelahan secara hati-hati. Apabila
salah belahannya, untuk mengolah selanjutnya akan lebih sulit dan mungkin
malah sia-sia. Kulit yang paling luar di kumpulkan untuk pembuatan nyiru.

Pembuatan Iratan

Iratan adalah belahan bambu tipis dan lentur. Iratan bambu dapat di bedakan
menjadi dua:
Iratan kasar. Iratan kasar adalah iratan dari potongan bambu yang sudah diukur
kemudian dibelah menjadi beberapa bagian. Iratan ini digunakan pada pembuatan
nyiru.

Iratan halus. Iratan halus adalah iratan yang tipis dari potongan bambu yang sudah
diukur. Iratan halus sering digunakan masyarakat dalam pembuatan anyaman.
Iratan halus akan membuat proses menganyam terasa lebih nyaman dan hasil
anyaman tampak lebih indah.

Pengawetan bambu

Tanaman bambu mudah rusak oleh hama. Penyebab lain kerusakan bambu adalah
cuaca, kelembaban, dan air hujan. Pengawetan ada dua macam:
168 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pengawetan alami. Bambu yang sudah diirat (dihilangkan kulit terluarnya)


selanjutnya dianit (disobek tipis-tipis seperti pita). Pengawetan alami ada dua
macam. Pertama adalah perendaman, yang dilakukan di tempat perendaman
di rumah atau di sungai selama dua hari. Setelah perendaman, anitan diambil
dan dijemur. Kegunaan perendaman adalah untuk menghilangkan getah bambu
dan membuat anitan lebih putih serta awet. Kedua adalah perebusan. Perebusan
dilakukan setelah perendaman dan penjemuran. Perebusan menggunakan wajan
atau kuali yang besar selama satu jam. Jumlah air yang digunakan dalam perebusan
anitan bambu sesuai dengan jumlah anitan yang direbus. Masyarakat Desa
Baru Pelepat melakukan perebusan di luar rumah atau di samping pekarangan,
maksud dari masyarakat adalah untuk menghindari kesulitan dalam melakukan
perebusan.

Pengawetan kimiawi. Pengawetan kimiawi dilakukan dengan bantuan prusi, soda


api (NaOH), atau soda abu. Pengawetan kimiawi biasanya digunakan masyarakat
yang tinggal di sekitar perkotaan karena lebih mudah dan lebih ringkas.

Pewarnaan

Iratan dan anitan diwarnai setelah dilakukan pengawetan. Pewarnaan dilakukan


dalam wajan yang telah diberi larutan pewarna. Pewarnaan alami menggunakan
bahan akar-akaran, dedaunan, maupun kulit kayu yang bisa diperoleh di
dalam hutan. Bahan ditumbuk halus dan dicampur air. Kemudian dilakukan
pengendapan. Hasil pewarna siap dioleskan pada iratan dan anitan. Sedangkan
pewarnaan kimiawi adalah menggunakan zat pewarna yang banyak tersedia di
pasar. Bahan kimiawi dicampur air dan langsung siap dioleskan pada iratan atau
anitan.

PERSOALAN UMUM

Industri Strategis
Industri kerajinan bambu merupakan kegiatan padat karya. Industri ini mampu
menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
industri kerajinan bambu mampu menyerap tenaga kerja 13.899 orang yang
tergabung dalam 1.562 unit usaha. Karena itu, industri ini tergolong strategis,
dan dengan demikian sudah pada tempatnya apabila memperoleh perhatian lebih
intensif dari pemerintah.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 169

Pelestarian Bahan
Berbeda untuk tanaman bambu, perhatian masyarakat terhadap ketersediaan
tumbuhan pandan relatif terbatas. Adalah benar, saat ini pandan (pandan rawa
maupun pandan darat) relatif berlimpah. Namun karena penggunaannya yang
intensif, maka lambat-laun akan terjadi penurunan kelimpahan. Karena itu,
masyarakat perlu didorong untuk melakukan pemulihan ketersediaan pandan.

Pemasaran
Masyarakat perlu didorong untuk lebih berorientasi pasar. Masyarakat perlu
memperoleh informasi yang cukup tentang mutu dan jenis produk yang diinginkan
pasar.

Sekitar 20% produk kerajinan bambu adalah untuk pemenuhan permintaan. Jenis
kerajinan bambu yang diminati oleh konsumen antara lain adalah produk fungsional
yang unik seperti tempat buah, kue, tempat sampah, tisu, tas dan lain-lain.

Pemasaran saat ini masih mengandalkan pada pesanan pelanggan. Pesanan ini
datang dari masyarakat desa setempat, masyarakat yang berada di luar desa (desa
tetangga), dan bahkan sudah sampai ke tingkat kecamatan. Pesanan bisa dilakukan
pada individu maupun kelompok pengrajin.

Pelatihan
Pelatihan dan studi banding dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pengrajin,
terutama berkaitan dengan peningkatan mutu produk dan teknik-teknik pembuatan
model produk baru.

Studi banding ke Kerinci. Dengan didampingi fasilitator ACM, ibu-ibu Desa Baru
Pelepat melihat hasil anyaman yang dibuat oleh kelompok pengrajin yang ada di
Kerinci. Mereka belajar tentang anyaman, mulai dari cara pengambilan bambu,
pengolahan dan bahkan sampai pada pembuatan anyaman. Kerajinan anyaman
Kerinci merupakan salah satu kerajinan yang terkenal di Propinsi Jambi dan
bahkan sudah di kenal di daerah Sumatera. Pekerjaan menganyam di Kerinci sudah
dapat diandalkan sebagai penopang pendapatan keluarga. Dengan kunjungan ini,
masyarakat Desa Baru Pelepat merasa telah memperoleh tambahan pengetahuan
yang siap dikembangkan di desanya.
170 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Berbagi ilmu kepada masyarakat Sungai Telang. Perwakilan ibu-ibu di Desa Baru
Pelepat mencoba menyalurkan pengalaman mereka kepada masyarakat Sungai
Telang, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo. Di sana ibu-ibu dari
Desa Baru Pelepat mencoba memberikan ilmu yang mereka miliki yang di
dapat dari berbagai pelatihan yang pernah mereka ikuti. Ibu-ibu Sungai Telang
menanggapinya dengan baik dan bahkan mereka ingin belajar lebih serius lagi
dan akan mendatangi Desa Baru Pelepat untuk menggali berbagai ilmu tentang
anyaman.

Pelatihan mebel bambu. Pelatihan meubel bambu dilaksanakan di Desa Baru Pelepat
pada Juni 2005. Tempat pelatihan adalah Balai Desa di Dusun Lubuk Beringin.
Pesertanya adalah perwakilan setiap dusun, berjumlah 15 orang. Pelatihan
ini merupakan inisiatif masyarakat sendiri, yang mengajukan permohonan
pelatihan kepada Balai Latihan Kerja (BLK) Bungo. BLK memberikan sambutan
positif dengan memberikan pelatihan selama 2 minggu. Pelatihan ini berhasil
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan juga motivasi bahwa bahan baku
bambu itu bisa diolah menjadi produk-produk meubel yang memiliki nilai jual
yang tinggi. Saat ini masyarakat Desa Baru Pelepat sudah berani membuat produk
mebel bambu, meski pemasarannya baru terbatas di dalam dan sekitar desa saja.

Penguatan Kelompok
Untuk menunjang pengelolaan hasil hutan non kayu, masyarakat Desa Baru
Pelepat membentuk suatu kelompok yang melibatkan semua dusun dalam desa.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan peran ekonomi alternatif. Bila dikembangkan secara tepat, kerajinan
anyaman ini tidak kalah pentingnya dengan jenis usaha yang lain.

Nama dan bentuk. Kelompok pengrajin anyaman Desa Baru Pelepat dibentuk pada
5 Februari 2005 yang diberi nama “Kembang Pelepat”. Kelompok ini berbentuk
sebuah Kelompok Swadaya Masyarakat, kumpulan orang-orang yang menyatukan
diri dalam usaha bersama, untuk mensejahterakan anggota dan masyarakat.

Tujuan Kelompok. Tujuan pembentukan kelompok ini adalah: (i) Meningkatkan


tarap hidup dan kesejahteraan anggota; (ii) Membantu anggota dalam mengatasi
masalah permodalan secara swadaya; dan (iii) Sebagai wadah terbentuknya usaha
bersama yang merupakan usaha sampingan bagi anggota.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 171

Anggota. Keanggotaan kelompok dilakukan secara sukarela. Pengrajin boleh


menjadi anggota kapan saja mereka mau. Keanggotaan melibatkan semua dusun
di dalam Desa Baru Pelepat, yaitu: Dusun Baru Tuo, Dusun Lubuk Beringin,
Dusun Lubuk Pekan, dan Dusun Pedukuh.

Pengurus. Pengurus kelompok dipilih dan diberhentikan langsung oleh anggota


kelompok berdasarkan kesepakatan pada rapat anggota. Pengurus terdiri dari:
ketua, sekretaris, dan bendahara.

Pengurus bertugas melaksanakan pertemuan anggota, mengatur administrasi dan


keuangan kelompok, memberikan laporan tentang perkembangan dan keuangan
kelompok, mengatur pelaksanaan kerja kelompok, serta melaksanakan rapat
anggota tahunan.

Modal kelompok. Modal kelompok dapat berupa simpanan pokok dan simpanan
wajib. Simpanan pokok dikumpulkan hanya satu kali dan berjumlah Rp. 5.000.
Simpanan wajib di kumpulkan setiap hari Sabtu senilai Rp. 1.000/minggu.
Simpanan wajib dikumpulkan setelah rapat pembentukan pengurus. Setiap
anggota juga dapat melakukan simpanan sukarela, yang dapat diambil kapan saja
oleh anggota yang bersangkutan.

Pinjaman anggota. Modal kelompok belum akan dipinjamkan kepada anggota


sampai keadaan keuangan memungkinkan. Jumlah pinjaman setiap anggota untuk
tahap pertama maksimal Rp. 100.000. Jumlah anggota yang dapat meminjam akan
disesuaikan dengan kondisi permodalan kelompok, dengan tetap menyisakan saldo
di Bank sebagai cadangan modal kelompok. Setiap pinjaman dikenakan bunga
sebesar 10% dan di tambah dengan biaya administrasi, dan uang yang dipinjam
harus dikembalikan dalam waktu tiga bulan.

Sanksi-sanksi. Bagi anggota yang tidak membayar simpanan wajib selama dua
tahun berturut-turut, maka anggota tersebut akan diberikan peringatan dan bagi
anggota yang belum melunasi pinjaman selama sebulan sejak jatuh tempo, maka
akan diberikan peringatan, apabila selama dua bulan belum juga dilunasi maka
anggota tersebut dihadapkan pada rapat anggota.

Rapat anggota. Rapat anggota dilaksanakan setahun sekali dan selanjutnya di


sebut rapat anggota tahunan. Pada pertemuan kelompok akan membicarakan
laporan keuangan, evaluasi simpanan dan pinjaman anggota, serta membicarakan
perencanaan dan pelaksanaan.
172 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Aturan. Anggota yang dikeluarkan dari kelompok, hanya akan menerima kembali
simpanan wajib. Jika ada yang ingin menjadi anggota baru maka yang bersangkutan
harus membayar simpanan pokok dan simpanan wajib. Sebenarnya aturan tersebut
bukan untuk mempersulit masyarakat. Dengan hal itu diharapkan bisa merubah
pola berpikir masyarakat agar lebih kreatif dan produktif.

PENUTUP:
Perubahan, Tantangan dan Kendala

Untuk mengubah suatu tatanan masyarakat, salah satunya adalah dengan


meningkatkan peran perempuan dalam memanfaatkan hasil hutan non-kayu.
Karenanya, kerja keras kelompok perempuan dalam mengelola hasil hutan non-
kayu juga perlu diakui oleh kaum laki-laki. Hikmahnya, laki-laki yang tadinya
merasa memiliki wewenang tunggal karena perannya sebagai pencari nafkah dan
hanya mengingat peran perempuan di ladang, kini melihat perempuan sebagai
mitra dalam pengambilan keputusan di rumah tangga. Kerajinan anyaman
menjadi salah satu kegiatan yang telah membantu peningkatan ekonomi dalam
rumah tangga. Hasil hutan non-kayu tidak lagi menjadi pekerjaan sampingan bagi
masyarakat melainkan salah satu ekonomi alternatif selain berkebun.

Walaupun sudah tampak ada perubahan peran perempuan dalam mengelola hasil
hutan non-kayu, seperti kerajinan anyaman, namun sistem (pekerjaan) yang ada
di masyarakat masih menghambat perempuan untuk meningkatkan ketrampilan
yang dimilikinya. Tak jarang dalam suatu pertemuan kelompok perempuan ada
yang mengeluhkan kurangnya kesadaran untuk bekerjasama di kalangan kaum
perempuan dan lebih suka melakukannya di rumah masing-masing. Kondisi ini
tentunya akan merugikan bagi kelompok perempuan sendiri yang masih.

Kendala lain, tak jarang kaum laki-laki tidak memperhitungkan tempat dan waktu
pertemuan yang dilakukan malam hari, sehingga memperkecil keterlibatan kaum
perempuan dalam pengambilan keputusan desa.
BAGIAN 3-1 • Rodiah 173

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulisan ini didukung oleh CIFOR, YGB dan PSHKODA. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Bang Eddy Harfia Surma, Hasantoha Adnan, Abu Nazar,
Mirul, Hamdan, Ibu Koimah, Ibu Partinah, Ibu Ita Radiah, yang telah memberikan
informasi bermanfaat bagi penulis.
BAGIAN 3-2
Kekayaan Hutan Bukit Siketan

Elizabeth Linda Yuliani, Anggana dan Novasyurahati


BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 175

“Kami tak bisa lagi berharap penghasilan dari kerja kayu. Kerja kayu dua minggu,
hasilnya cuma delapan ribu rupiah....”, tutur seorang anggota masyarakat Baru
Pelepat di awal 2004. Sejak pertengahan 1980an hingga 2000an, mata pencaharian
utama masyarakat Desa Baru Pelepat adalah bebalok1. Namun kayu semakin sulit
didapat. Kalau pun ada, jaraknya jauh dan pengangkutannya sulit, sehingga
menambah biaya operasional.

Kini setelah kayu semakin sulit, masyarakat mulai mencari sumber pendapatan
alternatif, misalnya karet dan berkebun beberapa jenis sayuran. Tulisan ini akan
menguraikan kekayaan hutan Bukit Siketan dan manfaatnya bagi masyarakat,
berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 20042.

BUKIT SIKETAN

Gambar 18. Peta Bukit Siketan

1 Bebalok adalah istilah lokal yang berarti bekerja dalam bisnis kayu, baik sebagai pemodal, penebang, mau pun pengangkut.
2 Metode penelitian digambarkan secara ringkas di Lampiran 1 tulisan ini.
176 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Bukit Siketan meliputi area seluas 820 ha pada ketinggian 115-634 m dpl, terdiri
dari hutan primer dan sekunder. Jaraknya ke permukiman terdekat (Pedukuh)
sekitar 1,8 km. Hutan di Bukit Siketan ditetapkan sebagai Hutan Adat Desa Baru
Pelepat, berdasarkan kesepakatan masyarakat pada 2004, setelah mereka menyadari
pentingnya melindungi hutan yang tersisa untuk generasi mendatang3.

POTENSI HASIL HUTAN NON-KAYU


Banyak pihak yang selama ini hanya melihat kayu sebagai satu-satunya sumber
pendapatan yang utama dari hutan. Padahal banyak jenis tumbuhan non-kayu
yang hidup di hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik di pasar lokal mau
pun ekspor. Namun demikian, seluruh jenis yang berpotensi ekonomi itu akan habis
bila diambil secara berlebihan. Untuk menjaga ketersediaan secara berkelanjutan,
seluruh jenis bernilai ekonomi tinggi sebaiknya hanya diambil anakannya, dan
dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Anakan ini kemudian dibudidayakan di
pembibitan (nursery) desa. Jenis-jenis tertentu juga bisa diperbanyak dengan cara
vegetatif, misalnya cangkok dan okulasi. Sedangkan tumbuhan dewasa sebaiknya
tetap dibiarkan hidup di habitat alaminya untuk berkembang-biak. Upaya ini
bisa juga didukung oleh peraturan adat. Sebagai contoh, masyarakat Kampung
Pelaik di Taman Nasional Danau Sentarum (Kalimantan Barat) melindungi induk
anggrek alam di habitat alaminya dengan aturan adat yang disepakati bersama.

Bahan Anyaman, Kerajinan dan Furnitur


Berbagai jenis tumbuhan yang
dikenal sebagai bahan furnitur,
© Brian Belcher, Leon Budi Prasetyo dan Tim ACM Jambi

kerajinan dan anyaman cukup


banyak ditemukan di kawasan
hutan Bukit Siketan, misalnya
rotan (Calamus spp. dan
Daemonorops spp.), rumbai-
rumbai (Pandanus spp.) dan

Hasil kerajinan anyaman bambu


dan bamban dapat menjadi sumber
pendapatan tambahan

3 Proses pembentukan hutan adat bisa dilihat pada tulisan Dobesto (2008)
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 177

bamban (Donax canniformis). Calamus dan Daemonorops adalah dua jenis rotan
yang bernilai paling tinggi (Silitonga, 2000).

Beberapa anggota masyarakat desa, terutama kelompok perempuan sudah memiliki


keterampilan membuat anyaman, kerajinan dan furnitur dari bambu, bamban dan
rotan4. Hasilnya dijual di pasaran lokal, dan telah menjadi sumber pendapatan
alternatif yang cukup tinggi bagi beberapa keluarga. Bila pembuatan kerajinan
ini dikembangkan lebih serius dengan desain dan kualitas yang memenuhi selera
pasar, sangat mungkin hal itu bisa menjadi sumber pendapatan yang utama.
Data dari Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO)
menyebutkan, nilai ekspor furnitur rotan pada 1986 mencapai USD 115,14 juta,
dan pada 1999 sudah mencapai USD 1,147 milyar (Silitonga, 2000).

Menjual hasil kerajinan juga akan jauh lebih menguntungkan dan berkelanjutan,
daripada menjual dan mengekspor bahan baku mentah. Alasan itulah yang
menyebabkan Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) dan ASMINDO
menyepakati pelarangan ekspor rotan mentah (Kompas, 2005). Memang
membutuhkan waktu lebih lama untuk mengolah bahan baku menjadi barang
jadi, namun keuntungan yang diperoleh jauh lebih tinggi dan persediaan bahan
mentah pun terjaga. Sebaliknya, menjual bahan baku mentah akan mendatangkan
uang dalam waktu cepat namun hanya sedikit, dan akan menghabiskan persediaan
sumberdaya dalam waktu singkat. Pesaing pun bisa memanfaatkan bahan mentah
ini.

Satu contoh dari Kalimantan, sebuah keranjang yang dalam bahasa lokal
disebut belanyat laku terjual seharga Rp. 30.000-40.000 pada 1998. Satu belanyat
membutuhkan rotan 45-40 batang, kurang lebih sama dengan 4 kg. Harga rotan
mentah saat itu di pasaran lokal berkisar antara Rp. 2.000-4.000 rupiah. Jadi jika
4 kg rotan dijual mentah, hanya menghasilkan Rp. 8.000-16.000; dengan dibuat
keranjang menjadi Rp. 30.000-40.000 (Uluk et. al., 2001).

Sumber Tanaman Hias


“Per daun harganya 25 ribu rupiah. Ini ada 6 daun, jadi harganya 150 ribu,” kata
seorang penjual tanaman hias di salah satu sudut kota Bogor sambil menunjuk
satu pot tanaman kecil berdaun merah. Di kalangan penggemar tanaman hias,
tanaman ini dikenal sebagai Aglaonema Pride of Sumatra, yang merupakan hasil
silangan. Salah satu induknya yang bernama Aglaonema rotundum ternyata berasal

4 Lihat tulisan Rodiah (2008)


178 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dari Sumatera, yang juga banyak


ditemukan di daerah Kerinci.
Bukan tak mungkin, hutan di
Baru Pelepat juga menyimpan
sumber plasma nutfah yang
berharga ini. Hasil silangan yang
bisa menjadi bibit, berharga

©Leon Budi Prasetyo


sekitar enam hingga dua belas
jutaan. Jenis lain yang dikenal
sebagai Aglaonema Widuri
bahkan harganya Rp. 3,5 juta
Anggrek kantong (Papiophedilum spp), kekayaan per daun!
hutan Jambi yang telah merambah pasar
internasional
Uraian di atas hanya sekelumit
contoh bahwa bisnis tanaman
hias bukan lagi sekedar bisnis “pinggir jalan”, dan juga contoh bahwa hutan menjadi
sumber plasma nutfah bagi orang-orang yang kreatif. Sayangnya, masyarakat
kurang menyadari kekayaan yang mereka miliki. Omzet pedagang tanaman hias
“pinggir jalan” untuk pasar lokal saja bisa mencapai jutaan rupiah per hari. Secara
keseluruhan, nilai ekspor tanaman hias Indonesia pada 2002 mencapai USD 5,1
juta (BPEN, 2004), dan nilai ekspor anggrek mencapai USD 5 juta (RRI, 2006).
Anggrek kantung semar (Paphiopedilum sp.) yang di Jawa harganya berkisar antara
Rp. 10.000 - Rp. 75.000, berasal dari hutan-hutan di Jambi.

Bukit Siketan ternyata menjadi tempat hidup berbagai jenis tanaman hias bernilai
ekonomi tinggi dan telah menjadi komoditas ekspor bagi perusahaan Indonesia dan
banyak negara lain. Penelitian yang dilakukan Yuliani et al. (2004) menemukan
38 jenis tumbuhan non-kayu, yang 17 di antaranya merupakan jenis tanaman
hias yang banyak diniagakan di dalam negeri maupun manca negara, misalnya
langkap (Arenga obtusifolia), rotan sikoi (Daemonorops sp.), palem (Oncosperma
horridum), soka (Ixora sp.), sejenis lirik beras (Phrynium capitatum), dan puding
rimbo (Pleomele sp.). Ini belum termasuk jenis-jenis yang mungkin berpotensi
sebagai induk untuk penyilangan, dan anggrek alam yang juga banyak ditemukan
di kawasan Baru Pelepat (Prasetyo dan Yuliani, akan terbit).
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 179

Sumber Tanaman Obat


Duabelas jenis tumbuhan non-kayu di Bukit Siketan digunakan sebagai bahan
obat tradisional bagi masyarakat, dan dua di antaranya ternyata juga digunakan
secara luas di banyak negara. Kedua jenis tersebut adalah pasak bumi (Eurycoma
longifolia) yang juga dikenal di Malaysia dan Vietnam (Hadiah, tanpa tahun), serta
akar kait (Uncaria spp.) yang digunakan di banyak negara di Amerika Latin dan
Asia (Tropical Plant Database, http://www.rain-tree.com/catclaw.htm). Kedua
jenis ini juga telah menjadi bahan penting bagi industri farmasi, baik di dalam
mau pun di luar negeri.

Jernang (Daemonorops draco)


Getah buah jernang bernilai tinggi. Harga getah buah jernang di Muara Bungo
pada 1998 berkisar antara Rp. 28.000-45.000 per kg (Aliadi dan Djatmiko, 1998),
dan konon mencapai Rp. 700.000 pada 2005 (WARSI, 2005). Dilaporkan adanya
permintaan yang tinggi dari luar negeri, namun Indonesia kekurangan pasokan.
Inilah yang menyebabkan kenaikan harga (Bisnis Indonesia, 2005).

Tingginya permintaan jernang mestinya bisa menjadi peluang bagus bagi


masyarakat untuk membudidayakannya di kebun. Di beberapa lokasi di Bukit
Siketan, dan juga di lokasi lainnya dalam kawasan Desa Baru Pelepat, jernang
masih ditemukan namun tak banyak. Meski tak banyak, tetap berpotensi sebagai
bibit. Masyarakat bisa mengambil anakan-anakannya yang banyak ditemukan di
sekitar pohon induk, untuk dibudidayakan di kebun. Memang membutuhkan
waktu yang panjang hingga mendatangkan hasil seperti juga hasil pertanian dan
perkebunan lainnya, tapi setelah mencapai usia produksi, hasilnya bisa dinikmati
secara terus menerus.

Gaharu (Aquilaria spp.)


Seperti juga jernang, gaharu merupakan komoditas ekspor. Harga gaharu bervariasi,
mulai Rp 200.000 per kg sampai Rp 10 juta per kg, bergantung pada kualitas5 dan
perkembangan harga pasaran di luar negeri, seperti Singapura, China, dan Korea

5 Standar kualitas gaharu dapat dilihat di Standar Nasional Indonesia, SNI 01-5009.1-1999 (http://www.dephut.go.id/INFORMASI/SNI/gaharu.
HTM).
180 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

(Kompas, 2004). Gaharu ditemukan di Bukit Siketan, namun tak terlalu banyak
sehingga pengambilan anakannya pun lebih terbatas.

Buah-buahan
Sedikitnya ada 21 jenis tumbuhan di Bukit Siketan yang buahnya dapat dimakan,
antara lain mangga rimbo (Swintonia schwenkii), rambutan rimbo (Nephelium
lappaceum), durian rimbo (Durio carimatus) dan cempedak (Artocarpus integer).
Di banyak tempat, masyarakat sering kurang tertarik menjual buah-buahan
hasil hutan terutama karena harganya yang murah, ditambah lagi dengan biaya
pengangkutan yang mahal. Kita sebenarnya bisa belajar dari kemajuan yang dicapai
Thailand yang kini menjadi negara terdepan di Asia sebagai pusat agribisnis.
Mereka cerdik dalam strategi pemasaran, termasuk menciptakan peluang dan
image suatu produk tertentu. Pemerintahannya pun menjadikan agribisnis sebagai
sumberdaya utama negara mereka.

Buah-buahan hasil hutan atau kebun di Desa Baru Pelepat atau di Kabupaten
Bungo secara umum, bisa saja menjadi komoditas unggulan bila pihak-pihak yang
berkepentingan kreatif menciptakan pasar dan meningkatkan nilai jualnya. Telah
sering terjadi, harga suatu produk pertanian tiba-tiba melonjak hanya karena
image yang sengaja diciptakan pelaku bisnis. Beberapa pengalaman menunjukkan,
harga bisa disiasati misalnya dengan membuat produk olahan yang kemudian
diperkenalkan secara luas sebagai makanan khas daerah tersebut, misalnya kripik
atau dodol cempedak. Sebagai perbandingan, kripik nangka harganya antara Rp.
40.000-50.000 per kg tergantung kualitasnya.

Bisnis berbasis tanaman sangat menjanjikan, namun memerlukan perhitungan


dan pengelolaan keuangan secara cermat. Kunci sukses bisnis ini antara lain
cermat mengelola keuangan, kreatif menciptakan peluang, dan mulai bisnis ini
tidak sebagai sumber pendapatan utama namun mulailah sebagai sampingan atau
hobi.

POTENSI TUMBUHAN BERKAYU: SUMBER BIBIT


“...Sebelum ini, kami tidak tahu bibit meranti itu seperti apa. Kini kami tahu dan akan
membawa bibit-bibit ini untuk ditanam di kebun kami...,” demikian diungkapkan
Pak Abu Nazar, yang juga diikuti oleh anggota masyarakat lainnya saat turut
dalam penelitian potensi hutan Bukit Siketan. Hutan di Bukit Siketan kaya akan
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 181

anakan dan pancang. Akan


lebih menguntungkan dalam
jangka panjang bila hutan di
Bukit Siketan dimanfaatkan
sebagai “bank bibit”, daripada
diambil kayunya. Karena
jumlah pohon induk di hutan

© Tim ACM-Jambi
ini sudah sangat sedikit, dan
produksi bijinya tidak teratur.
Bila diambil, tak akan ada
Bukit Siketan kaya akan bibit meranti lagi produksi biji, sementara
keuntungannya hanya akan
dinikmati sekelompok orang
dalam waktu sesaat. Itu pun tidak seberapa karena lereng yang miring dan lokasi
yang jauh membuat pengangkutan kayu menjadi lama dan mahal. Selain itu,
hutan akan rusak sehingga fungsi-fungsi lainnya (sebagai sumber tanaman hias,
obat dan kerajinan) ikut hancur.

Di seluruh kawasan hutan Bukit Siketan, ditemukan 149 jenis pohon berkayu.
Jenis-jenis bernilai ekonomi tinggi yang anakannya bisa diambil untuk ditanam di
kebun antara lain kelat (Zyzygium spp.), medang pauh (Swintonia schwenkii) dan
berbagai jenis meranti (Shorea spp. dan Parashorea spp.).

JASA LINGKUNGAN

Menjaga Fungsi Hidrologis


Hutan Adat Baru Pelepat di Bukit Siketan dan Hutan Adat Batu Kerbau merupakan
wilayah terakhir yang ditutupi dengan hutan primer dan sekunder yang tersisa di
sepanjang DAS Batang Pelepat di luar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Dari pengukuran kemiringan yang dilakukan di setiap plot, kemiringan lereng
Bukit Siketan rata-rata 25,27%. Bahkan di beberapa tempat banyak terdapat
jurang dengan kemiringan sekitar 50% (Yuliani et al., 2004). Dengan topografi
yang curam, kawasan ini akan mudah longsor bila tidak ada pohon besar. Dalam
hal ini fungsi pohon besar adalah:
• Menampung dan menahan curah hujan. Desa Baru Pelepat memiliki curah
hujan yang cukup tinggi, sekitar 3.000 mm per tahun (http://kotabungo.
182 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tripod.com/info_wilayah.html). Air hujan yang jatuh sebagian akan


tertampung di kanopi, dan sebagian akan turun ke lantai hutan dengan
kecepatan dan pukulan yang jauh lebih rendah sehingga tidak menyebabkan
tercungkilnya tanah yang merupakan proses awal terjadinya erosi. Air yang
jatuh akan sempat diserap oleh tanah (proses infiltrasi). Air yang tertahan
oleh kanopi akan turun secara bertahap.

Tanpa pohon besar, hujan akan langsung jatuh ke lantai hutan dengan tenaga
cukup tinggi (lihat Gambar 19) dan menyebabkan erosi. Volume air yang
turun jauh lebih tinggi dibanding proses infiltrasi sehingga volume run off
pun meningkat.
• Akar-akar pohon menyebabkan terbentuknya pori-pori tanah dan menjaga
tanah tetap gembur, sehingga memudahkan proses infiltrasi (penyerapan air ke
dalam tanah). Infiltrasi merupakan proses penting untuk menjaga ketersediaan
air tanah dan mencegah run-off berlebihan yang dapat mengakibatkan banjir.
Akar-akar pohon juga berfungsi “mengikat” tanah sehingga lebih stabil dan
tidak mudah longsor. Penelitian yang dilakukan Widianto et. al. (2002)
menunjukkan perbandingan laju infiltrasi di hutan sebesar 11 cm/jam, jauh
lebih tinggi dibandingkan kebun kopi yang berkisar antara 1,4 (usia kebun
3 tahun) hingga 8,8 cm/jam di kebun yang berusia 10 tahun. Laju erosi di
hutan sebesar 24,00 gr/
m2, di kebun campuran
berkisar antara 84,10-
342,25, dan di kebun
monokultur 359,70 gr/
m 2. Meski bervariasi
dan tergantung pada
berbagai faktor misalnya
© Tim ACM-Jambi

tipe tanah, kemiringan,


tipe vegetasi dan cara
pengolahan tanah kebun,
laju infiltrasi di hutan Hutan berfungsi menyimpan cadangan air
primer tetap lebih tinggi
dibandingkan kebun.

Di kawasan Bukit Siketan ditemukan beberapa mata air dan anak sungai yang
mengalir ke sungai-sungai besar di sekitarnya yaitu Batang Pelepat dan Batang
Sagu, sehingga bisa dikatakan bahwa kawasan ini merupakan salah satu daerah
resapan yang penting.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 183

Kotak 1. Erosi6

Erosi adalah berpindahnya tanah melalui proses alam karena air atau angin. Erosi
telah muncul sejak 450 juta tahun yang lalu, namun yang telah menimbulkan
masalah yang serius adalah erosi yang dipercepat (accelerated erosion). Erosi yang
dipercepat ini disebabkan oleh tindakan manusia yang sewenang-wenang, misalnya
penebangan hutan (vegetation removal) secara besar-besaran, dan meninggalkan
tanah pada kondisi yang rentan di bawah curah hujan tinggi dan/atau badai angin.
Erosi yang dipercepat menimbulkan dampak negatif terhadap pertanian dan
lingkungan, termasuk manusia, on-site dan off-site, dan telah menjadi salah satu
masalah serius di seluruh dunia.

Pada umumnya ada lima tipe/proses terjadinya erosi yang saling berkaitan satu sama
lain, dan bisa terjadi secara bertahap maupun sekaligus (bersamaan):
• splash erosion: terlepasnya butiran tanah akibat pukulan air hujan, sehingga
struktur tanah menjadi tidak stabil dan mudah terbawa air
• sheet erosion: terbawanya lapisan tanah dari permukaan oleh aliran permukaan
(run-off)
• rill erosion: proses erosi yang menyebabkan terbentuknya “selokan” kecil dengan
kedalaman beberapa inci, dan banyak terjadi di kawasan yang baru dibuka
• gullies erosion: proses yang terjadi karena adanya aliran air dengan debit dan
kecepatan cukup tinggi, melalui selokan sempit pada saat atau segera setelah
hujan lebat. Proses ini menyebabkan terbentuknya “selokan” yang cukup dalam
(antara 0,3 - 33m).
• river bank erosion: erosi di bantaran sungai akibat tergerus air. Hal ini terjadi bila sisi
sungai langsung kontak dengan debit dan arus sungai yang tinggi.

Di kawasan yang terbuka (tanpa tutupan vegetasi), air hujan akan langsung turun ke tanah
dengan tenaga cukup besar dan menyebabkan lepasnya butiran tanah (splash erosion).
Butiran-butiran tanah ini akan terbawa run-off. Selain itu, lapisan tanah juga akan terbawa
aliran air melalui proses sheet erosion. Adanya perbedaan kontur tanah serta terbawanya
butiran batu atau sisa pohon akan “menggerus” tanah dan membentuk selokan-selokan
kecil dan dangkal (rill erosion), dan selokan besar dan dalam (gullies erosion).

Kawasan Baru Pelepat termasuk Bukit Siketan memiliki curah hujan yang tinggi. Seperti
telah diuraikan sebelumnya, dengan topografi yang cukup curam, Bukit Siketan akan
mudah erosi dan bukan tidak mungkin terjadi longsor dan banjir bandang bila hutannya
dibuka.

Resiko atau kerugian tidak hanya terjadi saat hujan lebat. Bila hutan dibuka, erosi yang
disebabkan oleh hujan kecil akan membawa tanah ke perairan atau dataran rendah, dan
menyebabkan pendangkalan dan/atau pelumpuran. Kawasan yang tererosi pun akan
kehilangan kesuburannya karena lapisan tanah atas (top-soil) telah hilang.

6 Diadaptasi dari http://muextension.missouri.edu/, http://www.il.nrcs.usda.gov/, dan http://soilerosion.net/


184 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© http://soilerosion.net/

© Elizabeth Linda Yuliani


© Elizabeth Linda Yuliani

Beberapa contoh tipe erosi. Kiri atas: butiran tanah yang terlepas akibat
tenaga pukulan air hujan, menunjukkan splash erosion. Kiri bawah: rill
erosion. Kanan: gully erosion

Fungsi Habitat
Menurut de Groot et al. (2000), fungsi habitat merupakan salah satu fungsi
ekosistem. Hutan Bukit Siketan memiliki nilai keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi, dan menjadi habitat bagi ratusan jenis tumbuhan dan serangga,
serta puluhan jenis hewan. Dalam setiap hektar, ditemukan sekitar 44-48 jenis
tumbuhan. Indeks keanekaragamannya pun mencapai 4,33 untuk tumbuhan
berkayu, dan 2,58 untuk tumbuhan tak berkayu (Yuliani et al., 2004). Jauh lebih
tinggi dibandingkan indeks keanekaragaman di beberapa taman nasional di Pulau
Jawa, yang hanya berkisar antara 1,90 hingga 2,87 (Sulistyawati et al., 2005).

Berbagai hewan langka dan dilindungi ditemukan di sini, termasuk jenis-jenis yang
menjadi “kesayangan” dunia internasional antara lain harimau sumatera (Panthera
tigris sumatraensis), orang utan sumatera (Pongo abelii), elang (Accipitridae) dan
enggang/rangkong (Bucerotidae)7. Harimau dan orang utan sumatera termasuk
7 Inventarisasi hewan baru dilakukan secara kualitatif, berdasarkan informasi dari masyarakat. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui jenis-
jenis hewan hingga tingkat spesies dan kelimpahannya di kawasan ini.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 185

hewan-hewan yang menjadi “kesayangan” masyarakat dunia, dan hanya ditemukan


di Indonesia. Sayangnya, masyarakat Indonesia sendiri kurang memiliki apresiasi
terhadap kekayaannya yang tak dimiliki negara lain. Berdasarkan kajian yang
dilakukan tahun 2004, Wich et al. (akan terbit) melaporkan bahwa populasi orang
utan Sumatera hanya tersisa 6.667 ekor, jauh di bawah populasi orang utan Borneo
yaitu 54.567 ekor. Ancaman utama yang dihadapi orang utan adalah konversi
hutan untuk perkebunan skala besar, penebangan, kebakaran dan perburuan/
perdagangan liar (Soehartono et al., 2007).

Nilai ekonomi konservasi bagi masyarakat lokal adalah salah satu hal yang paling
sering dipertanyakan. Memang tak mudah menghitungnya. Tapi kita bisa melihat
dari berbagai segi. Misalnya, keberadaan hewan-hewan endemik di negara
lain telah menjadi modal penting industri pariwisata. Di Australia, pada 1996
wisatawan yang datang untuk melihat koala telah mendatangkan devisa sebanyak
1,1 miliar dolar Australia, dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi 9.000 orang
(Hundloe dan Hamilton, 1997).

Masyarakat dan pemerintah


setempat sebenarnya bisa Kotak 2. Seberapa penting nilai konservasi?
bangga atas tingginya
keanekaragaman di Bukit Untuk lebih membantu masyarakat memahami
Siketan. Terlebih lagi, pentingnya nilai konservasi, secara sederhana
kawasan ini telah ditetapkan juga bisa diajukan pertanyaan seperti:
• Jika air Batang Pelepat sangat keruh dan
sebagai daerah penyangga
tak bisa diminum, berapa uang yang harus
Taman Nasional Kerinci Anda keluarkan untuk membeli air bersih
Seblat dan memiliki nilai (atau air kemasan) setiap hari?
konservasi tinggi di mata • Jika terjadi banjir bandang di desa,
dunia internasional. Dan di akibat penebangan hutan dan longsor di
Desa Baru Pelepat, hanya daerah tangkapan air, berapa biaya untuk
hutan di Bukit Siketan inilah memperbaiki rumah dan mengganti
barang-barang yang rusak? Dan berapa
yang tersisa dan berfungsi kerugian yang diderita, jika ladang dan
sebagai habitat terakhir bagi kebun ikut hancur diterjang banjir? (dengan
berbagai jenis tumbuhan asumsi tidak ada korban jiwa).
dan hewan yang memiliki
nilai konservasi tinggi.
186 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENUTUP
Ada keterkaitan yang erat antara fungsi ekologi termasuk keanekaragaman hayati,
dengan fungsi ekonomi dan sistem sosial. Penting disadari bahwa manfaat dari
konservasi sering bersifat jangka panjang dan sebagian bukan dalam bentuk materi
secara langsung, dan keragaman isi hutan dapat memberikan manfaat nyata
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat8. Untuk itu dibutuhkan
perhitungan usaha yang cermat, kreatif, paham selera pasar, cerdik melihat atau
menciptakan peluang, diversifikasi produk, sabar hingga mencapai hasilnya,
serta memulainya sebagai kegiatan sampingan hingga akhirnya berkembang
menjadi bisnis utama. Itulah kunci kesuksesan bisnis hasil hutan non-kayu dan
pertanian.

Kekayaan hutan yang diuraikan dalam tulisan ini, sangat mungkin juga dimiliki
oleh hutan di desa-desa lain. Maka penulis menutup tulisan ini, sambil bermimpi
desa-desa di Kabupaten Bungo menjadi pusat produksi hasil hutan bukan kayu.
Masyarakat memiliki greenhouse sederhana tempat membudidayakan tanaman
hias, dan menanami kebun mereka dengan meranti, kelat, gaharu, jernang, buah-
buahan dan berbagai jenis lainnya. Di sisi lain, hutan pun dirawat dan dijaga
oleh masyarakat karena secara nyata menjadi sumber penghidupan. Tak mustahil
impian ini dapat terwujud, bila seluruh pihak kreatif dan sabar menanti buah hasil
usahanya. Muara Bungo, seperti namanya, menjadi muara produk agribisnis dari
seluruh kecamatan, dan menjadi tempat ideal bagi para pembeli mencari produk
andalan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini dapat terlaksana karena adanya aspirasi dan keinginan kuat dari
seluruh masyarakat Desa Baru Pelepat untuk memperoleh pengakuan atas Hutan
Adat Desa dan adanya dukungan dari Pemerintah Kabupaten Bungo atas keinginan
tersebut. Kepada mereka ucapan terima kasih tak terhingga kami sematkan. Juga
kepada seluruh tim penelitian di lapangan, yang dengan penuh dedikasi dan
kerja keras melakukan pengumpulan data di medan yang sulit: Bapak Abunazar,
Bapak Agus K., Agus Widodo, Bapak Arifin, Eddy Harfia Surma, Bapak Kuris,
Marzoni, Ngateno, Bapak Rasmanalis dan Bapak Suhaili. Juga kepada pihak yang
telah membagi pengalaman mengenai metode analisis vegetasi, khususnya Saida

8 Kesejahteraan memiliki arti luas, dan tidak hanya dilihat dari segi ekonomi, tapi juga kesehatan, kebersihan, kesempatan memperoleh
pendidikan dan layanan kesehatan, dll.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 187

Rasnovi (ICRAF), Godwin Limberg dan Herlina Hartanto (CIFOR), serta Riya
Dharma (Erry Malalo) dari KKI-WARSI. Juga kepada Dr. Endah Sulistyawati
(Departemen Biologi ITB) dan Dr. Carol Colfer (ITB) atas perhatian dan saran-
saran penting dalam hal metode, analisa data dan penulisan laporan. Bantuan
penting juga kami peroleh dari Effi Permatasari (Tim ACM Jambi); dari Ibu-ibu di
Desa Baru Pelepat yang menyiapkan bahan makanan untuk perjalanan di hutan;
serta Ibu Rahayu Koesnadi (CIFOR) yang menyiapkan kebutuhan logistik dan
administrasi. Juga kepada MFP-DfID yang memberi dukungan pendanaan untuk
proyek ACM Jambi. Kepada merekalah ucapan terima kasih tak terhingga layak
kami sematkan, juga kepada seluruh pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupun tak langsung, yang tak dapat kami sebutkan satu persatu.Akhir
kata, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tak langsung, yang tak dapat kami sebutkan satu
persatu.

BAHAN BACAAN
Aliadi, A. dan Djatmiko, W.A. 1998. Hasil Hutan Non-Kayu Ekstraktif di Desa
Sungai Telang, Rantau Pandan, Jambi. Southeast Asia Policy Research
Working Paper, No. 5. ICRAF, Bogor, Indonesia.
Anonim. Tanpa tahun. Database file for Cat’s Claw (Uncaria spp.). Dalam:
Tropical Plant Database. http://www.rain-tree.com/catclaw.htm
Anonim. Tanpa tahun. Info Wilayah Kabupaten Bungo. http://kotabungo.tripod.
com/info_wilayah.html
BPEN. 2004. Promosi Ekspor Produk Florikultura di Belanda. Badan Pengembangan
Ekspor Nasional (BPEN), Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
http://www.nafed.go.id/indo/berita/index.php?artc=2445
Bisnis Indonesia. 2005. China Butuhkan 400 Ton Biji Rotan. Edisi 14 Januari
2005. http://www.mma.ipb.ac.id/today/artikelview.html?topic=kliping_
agribisnis&size_num=2843725241&page=china_butuhkan_400_ton_
biji_rotan.html
de Groot, R.S., Wilson, M.A., Boumans, R.M.J. 2002. A typology for the
classification, description and valuation of ecosystem functions, goods
and services. SPECIAL ISSUE: The Dynamics and Value of Ecosystem
Services: Integrating Economic and Ecological Perspectives. Ecological
Economics 41:393–408.
Dobesto, I. 2008. Jalan Panjang Partisipasi: Proses dan Pembelajaran dalam
Penyusunan Peraturan Desa secara Partisipatif. Dalam: Adnan, H.,
Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L., Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian, Y.L.
188 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya


Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Hadiah, J.T. Tanpa tahun. Eurycoma longifolia Jack. (Pasak Bumi). Dalam:
Eksplorasi 2(4):6. Indonesian Network for Plant Conservation. http://
www.bogor.indo.net.id/kri/eurycoma.htm
Hartanto, H., Paiman, A., Boestami, M., Anggana, Suryamin dan Yuliani, L. 2001.
Context Study Report: Biophysical Assessment. Laporan Penelitian
Proyek ACM. CIFOR, Bogor, Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Hundloe, T. dan Hamilton, C. 1997. Koalas and Tourism: an Economic Evaluation.
Discussion Paper no. 13. The Australia Institute, Manuka, Australia.
http://www.tai.org.au/documents/dp_fulltext/DP13.pdf
Kompas. 2004. Gaharu, Potensi Hutan yang Belum Dikelola secara Profesional.
Edisi 9 Juni 2004. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/09/
otonomi/1028685.htm
Kompas. 2005. APRI dan Asmindo Sepakat Ekspor Rotan Mentah Dilarang.
Edisi 18 Maret. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/18/
ekonomi/1628065.htm
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publishers. New York.
USA.
MacKinnon, J., Phillipps, K. dan Van Balen, B. 1992. Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sabah, Sarawak dan Brunei
Darussalam). Seri Panduan Lapangan. Puslitbang Biologi, LIPI, Bogor,
Indonesia.
Mueller-Dombois, D. dan Ellenberg, H. 1974. Aims and Methods of Vegetation
Ecology. Wiley & Sons. New York. USA.
Prasetyo, B. dan Yuliani, E.L. Akan terbit. Keragaman Jenis Anggrek Alam di
Baru Pelepat.
Rodiah. 2008. Hasil Hutan Non-Kayu dan Ekonomi Masyarakat. Dalam:
Adnan, H., Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L., Komarudin, H., Lopulalan, D.,
Siagian, Y.L. dan Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo: Mengelola
Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor, Indonesia.
RRI. 2006. Bantuan Modal Rp. 500 juta untuk Petani Kembangkan Anggrek.
Siaran RRI, Senin 8 Mei 2006. http://www.rri-online.com/modules.
php?name=Artikel&sid=21700).
Sheil, D., Puri, R.K., Basuki, I., Van Heist, M., Syaefuddin, Rukmiyati, Sardjono,
M.A., Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E.M.,
Gatzweiler, F., Johnson, B. dan Wijaya, A. 2002. Exploring Biological
Diversity, Environment and Local People’s Perspectives in Forest
Landscapes - Methods for a Multidisciplinary Landscapes Assessment.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 189

Silitonga, T. 2000. Degraded Tropical Forest and Its Potential Role for Rattan
Development: An Indonesian Perspective. Dalam: Rattan: Current
Issues and Prospects for Conservation and Sustainable Development.
FAO, SIDA, INBAR. http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_
file=//docrep/003/y2783e/y2783e13.htm
Soil Erosion Net. http://soilerosion.net/
Soehartono, T., Susilo, H.Dj, Andayani, N., Atmoko, S.S.U., Sihite, J., Saleh, C.
dan Sutrisno, A. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orang
Utan Indonesia 2007-2017. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Indonesia.
Sulistyawati, E., Sungkar, R.M., Maryani, E., Rosleine, D. dan Aribowo, M. 2005.
Biodiversity of Mt. Papandayan and its Threats. Report of Research
Funded by Rufford Small Grant. Departemen Biologi ITB, Bandung,
Indonesia.
Uluk, A., Sudana, M. dan Wollenberg, E. 2001. Ketergantungan Masyarakat
Dayak terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
University of Missouri Extension. http://muextension.missouri.edu/explore/
agguides/agengin/g01509.htm.
WARSI. 2005. Bupati Tebo Inginkan Pengelolaan Hutan Secara Bersama.
(Terbit dalam Posmetro Jambi, dengan judul Polhut Tebo Kewalahan
Antisipasi Penjarahan Hutan). Jambi, Indonesia. http://www.warsi.
or.id/News/2005/News_200507_BupatiTebo.htm.
Wich, S.A., Meijaard, E., Marshall, A.J., Husson, S., Ancrenaz, M., Lacy, R.C.,
van Schaik, C.P., Sugardjito, J., Simorangkir, T., Traylor-Holzer, K.,
Galdikas, B.M.F., Doughty, M., Supriatna, J., Dennis, R., Gumal, M., dan
Singleton, I. Akan terbit. The Status of the Orangutan: An Overview of
this Current Distribution. Oryx.
Widianto, Suprayogo, D., Widodo, R.H., Purnomosidhi P., dan van Noordwijk,
M.N. 2002. Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi
Hidrologis Hutan Dapat Digantikan oleh Agroforestri Berbasis Kopi?
Seminar Nasional HITI, 27 –29 Mei 2002, Mataram, Indonesia.
Yuliani, E.L., Adnan, H., Surma, E.H., Marzoni, Novasyurahati dan Anggana.
2004. Studi Potensi Kawasan Hutan Bukit Siketan, Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Jambi. Laporan untuk BAPPEDA Kabupaten Bungo
sebagai syarat untuk memperoleh pengakuan formal atas Hutan Adat
Desa Baru Pelepat. CIFOR, Bogor, Indonesia.
190 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Lampiran 1. Metode Penelitian

PENGUMPULAN DATA LAPANGAN

Potensi sumber daya tumbuhan


Potensi sumber daya tumbuhan diteliti secara kuantitatif dengan melakukan
analisa vegetasi, dan secara kualitatif dengan menggunakan metode Semi Structured
Interview.

Analisa vegetasi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat keragaman spesies, struktur populasi serta fungsi ekologis. Analisa vegetasi
dilakukan dengan menggunakan metode yang merupakan kombinasi transek
dan Modified Whittaker Plot. Transek dilakukan dengan membuat tiga jalur yang
melintasi Bukit Siketan dari selatan ke utara (Gambar 19).

Arti sebenarnya dari metode transek adalah pengambilan data sepanjang garis
lurus, namun dalam beberapa kondisi misalnya jurang, lembah, sungai dan lain-
lain, ketentuan ini tidak berlaku secara kaku dan pengambilan data bisa berbelok
menghindari kendala-kendala tersebut.

Jalur 2
Jalur 1

Jalur 3

Jalur Jumlah
plot
1 12
2 10
3 4
Total 26

Gambar 19. Sketsa jalur pengambilan data


BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 191

Di setiap jalur transek, dibuat plot berdasarkan metode Modified Whittaker


berukuran 50 x 20 m. Plot pertama berjarak 150 m dengan plot berikutnya (kecuali
tiga plot pertama yang berjarak 200 m satu sama lain). Jarak 150 m dianggap
lebih efektif untuk kondisi hutan primer yang vegetasinya sangat beragam dan
rapat, sehingga diharapkan seluruh jenis tumbuhan dapat tercatat. Dengan jarak
tersebut, di jalur I didapatkan 12 plot, jalur II didapatkan 10 plot, dan jalur III
didapatkan 4 plot.

Gambar 20. Plot Modified Whittaker

Di dalam setiap plot berukuran 50 x 20 m tersebut (= plot D), terdapat sub-plot


dengan ukuran, jumlah dan kegunaan sebagai berikut:

• Sub-plot A
o Jumlah: 4
o Ukuran: 0.5 x 2 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu dan % tutupan tumbuhan herba
(non-kayu), perdu, rumput, liana, palma dan anakan dengan tinggi
kurang dari 50 cm

• Sub-plot B
o Jumlah: 2
o Ukuran: 5 x 2 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu, diameter batang dan tinggi semua
tumbuhan berkayu dengan diameter ≥ 1 cm
192 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

• Sub-plot C
o Jumlah: 1
o Ukuran: 20 x 5 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu, diameter batang dan tinggi semua
tumbuhan berkayu dengan diameter ≥ 5 cm

• Plot D:
o Jumlah: 1
o Ukuran: 50 x 20 m
o Yang dicatat: nama, jumlah individu, diameter batang dan tinggi semua
tumbuhan berkayu dengan diameter ≥ 10 cm yang berada di luar sub-
plot A, B, C

Penting diingat bahwa pengamatan dan pencatatan data hanya dilakukan


bila lokasi A, B, dan C telah ditandai/diberi batas dengan tali plastik sehingga
tumbuhan yang ada di dalamnya tidak terinjak/terganggu.

Secara kualitatif, inventarisasi potensi sumber daya dilakukan dengan kombinasi


metode jelajah (cruising) dan Semi-Structured Interview, yaitu dengan mengajak
beberapa orang wakil masyarakat yang memiliki keahlian sebagai “dukun” dan
mengetahui berbagai kegunaan tumbuh-tumbuhan untuk mengobati penyakit,
pada saat melakukan analisa vegetasi seperti diuraikan di atas. Dengan metode
jelajah, diharapkan para informan dapat menceritakan kegunaan berbagai
tumbuhan yang ditemukan di sepanjang perjalanan di Bukit Siketan, dan nilainya
bagi masyarakat baik nilai ekonomis maupun budaya atau adat. Data dicatat pada
tabel klasifikasi sumber daya yang formatnya merupakan modifikasi dari Sheil et
al. (2002).

Potensi sumber daya hewan


Pengumpulan data potensi sumber daya fauna dilakukan dengan cara wawancara
dengan beberapa anggota masyarakat Desa Baru Pelepat. Untuk kelompok burung,
nama ilmiah dicari dari MacKinnon et al. (1992) berdasarkan nama lokal dan
deskripsi yang diuraikan oleh informan. Karena keterbatasan waktu dan tenaga,
pengumpulan informasi baru dilakukan secara kualitatif.
BAGIAN 3-2 • Elizabeth Linda Yuliani, Anggana, Novasyurahati 193

Faktor Fisik
Di setiap plot, dilakukan pengukuran faktor fisik berikut ini:
Faktor Alat pengukur/metode
Koordinat GPS Garmin CX
Ketinggian GPS Garmin CX
Kemiringan Kompas Brunton
Intensitas cahaya* Lux-meter Extech
Kelembaban udara* Sling psychrometer Bachrach
Suhu tanah dan udara* Termometer air raksa skala 0-100
Struktur tanah Pengenalan secara visual
Kandungan air tanah** (berat kering - berat basah)/berat basah
Kandungan organik tanah** (berat kering - berat abu)/berat abu
Kandungan mineral tanah** berat abu/berat kering
* pengukuran dilakukan di dua tempat (dalam setiap plot) yaitu di tempat ternaung dan terbuka. Nilai
yang dicatat adalah nilai rata-rata
** sampel tanah diambil dari kedalaman 15cm

ANALISA DATA

Kekayaan spesies
Kekayaan spesies tumbuhan di Bukit Siketan dihitung dengan menggunakan
fasilitas Pivot Table “Count” pada program Microsoft Excel.

Species-area relationships
Dengan mengambil data di berbagai ukuran sub-plot, perkiraan jumlah spesies
pada luas tertentu dapat diprediksi dengan menggunakan formula sebagai berikut
(Hartanto et.al., 2001):

y = a + bx

y = jumlah spesies
a = koefisien intersepsi antara log luas area dengan rata-rata jumlah spesies dari
semua plot
194 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

b = gradien
x = log luas area

Struktur populasi

Untuk mengetahui tingkat regenerasi komunitas pohon di Bukit Siketan, data


dikelompokkan berdasarkan distribusi kelas ukuran (size class distribution) menurut
Hartanto et.al. (2001) sebagai berikut:
• Anakan : DBH ≤ 1 cm
• Tiang 1 : DBH 1 - 4.9 cm
• Tiang 2 : DBH 5 - 9.9 cm
• Pancang : DBH 10 - 29.9cm
• Pohon 1 : DBH 30 - 49.9 cm
• Pohon 2 : DBH ≥ 50 cm

Indeks keragaman

Indeks keragaman komunitas pohon dan tumbuhan non-kayu dihitung dengan


menggunakan indeks Shannon-Wiener (Krebs, 1989; Mueller-Dombois and
Ellenberg, 1974):

s
H’ = -∑ (Pi) (Ln Pi)
i=1

H’ = indeks keragaman Shannon-Wiener


s = jumlah spesies
Pi = nilai penting spesies i

Pi = (kerapatan relatif + dominansi relatif + frekuensi relatif) / 300

Kerapatan relatif = kelimpahan spesies i di seluruh plot/kelimpahan total


seluruh spesies x 100%
Dominansi relatif = jumlah basal area spesies i di seluruh plot/basal area total
x 100%
Frekuensi relatif = frekuensi keberadaan spesies i di seluruh plot/frekuensi
total x 100%
BAGIAN 3-3
Potensi Pengembangan Rotan Manau
di Kabupaten Bungo

Iman Budisetiawan
196 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tanaman rotan tersebar hampir di seluruh Indonesia, tetapi sebagian besar


terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Di Indonesia diperkirakan
terdapat 300-350 jenis tanaman rotan; yang teridentifikasi sebanyak 130 jenis1.
Penyebaran yang merata dengan wilayah yang luas menjadikan Indonesia sebagai
negara penghasil rotan terbesar di dunia.

Rotan menjadi primadona bagi devisa negara karena kontribusinya sebesar 80-
90% dari nilai ekspor hasil hutan bukan kayu secara keseluruhan. Kegiatan
pemungutan dan pengolahan rotan menjadi barang jadi mampu menghidupi
sekitar 1,7 juta orang di Indonesia. Rata-rata dihasilkan devisa ekspor sekitar
USD 204,4-374,5 juta/tahun. Hal tersebut menempatkan rotan pada posisi ke-12
dari 27 jenis komoditas utama non-migas Indonesia (Januminro, 2000).

Rotan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar


hutan, pembentukan budaya dan daya kreasi, perekonomian dan aspek sosial.
Rotan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat dan mampu menyerap
tenaga kerja mulai dari kegiatan pemungutan sampai dengan pengolahan menjadi
barang jadi.

Seiring dengan berjalannya program desentralisasi, semakin dirasakan penting


untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Hasil kajian KKI-WARSI
dan Birdlife Indonesia memperlihatkan bahwa dalam kurun 10 tahun (1990-
2000), tutupan hutan di Propinsi Jambi mengalami penyusutan hingga satu juta
ha. Penyusutan ini disebabkan oleh maraknya penebangan liar, konversi lahan
untuk tambang, transmigrasi maupun perkebunan skala besar.

Berdasarkan hasil inventarisasi dan survei potensi rotan yang dilaksanakan oleh
Departemen Kehutanan pada 1983, potensi produksi rotan di Jambi sebesar 6.900
ton/tahun. Sedangkan luasan areal budidaya rotan di Jambi belum terkuantifikasi.
Produksi rotan di Kabupaten Bungo pada 2002 dan 2003 masing-masing sebesar
235 dan 300 ton. Hingga saat ini Kabupaten Bungo merupakan penghasil rotan
terbesar untuk wilayah Propinsi Jambi dengan tingkat kontinuitas yang cukup
stabil2.

Produksi rotan yang berasal dari hutan alam cenderung menurun sejalan dengan
berkurangnya hutan alam. Oleh karena itu, pengembangan budidaya rotan

1 Heyne (1950) dalam Anonim (2003) mencatat jenis rotan yang ada di Indonesia terdiri dari marga Calamus (70 jenis), Daemonorops (27 jenis),
Korthalsia (13 jenis), Ceratolobus (tiga jenis), Plectocomia (tiga jenis), Myrialepis (dua jenis) dan Plectocomopsis (dua jenis).
2 BPS (2003)
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 197

merupakan hal yang sangat


mendesak untuk segera
dilaksanakan, misalnya di
kebun karet milik masyarakat.

“Mudah sekali mencari rotan


di Bungo. Di kebun sekeliling
rumah pun banyak,” ujar

© Dok. ACM-Jambi
H. Marzuki (47 tahun),
pengumpul rotan yang tinggal
di Dusun Baru Pusat Jalo
Kecamatan Muko-Muko
Kerajinan dari rotan Bathin VII. Ketika industri
rotan berkembang di Muara
Bungo, ditandai dengan maraknya ijin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang
dimiliki oleh pengusaha, maka H. Marzuki pun ikut terlibat dalam pengumpulan
rotan. Dalam sehari ia bisa mendapatkan berbagai jenis rotan untuk dipasarkan
kembali.

Tidak ada kepemilikan pribadi terhadap rotan. Rotan tersedia bagi mereka yang
membutuhkan dan mengumpulkannya, rotan menjadi barang bebas karena tumbuh
secara alami atau liar. Rotan yang dijual kepada industri masih dalam bentuk
bahan mentah, tanpa diolah. Meski berhasil mengumpulkan begitu banyak rotan,
belum ada keinginan untuk menanam kembali dengan alasan tanpa ditanam pun
rotan masih banyak tersedia.

Rotan digunakan masyarakat untuk membuat barang kebutuhan sehari-hari seperti


ambung (keranjang) dan untuk mengikat kayu pagar. Pemilihan penggunaan rotan
didasarkan alasan ketersediaan bahan dan juga daya tahannya. Bila dibandingkan
dengan tali plastik maka daya tahan rotan jauh lebih lama, sedangkan bila
dibandingkan dengan kawat besi maka harga rotan jauh lebih murah. Mereka
belum membuat barang-barang yang dapat dijual di pasar seperti furnitur karena
terkait dengan keterampilan yang mereka miliki. Kalaupun ada, harus melalui
proses pemesanan yang membutuhkan waktu lama.

POTENSI PENGEMBANGKAN ROTAN MANAU


Kabupaten Bungo, dengan luas wilayah 465.900 ha, merupakan wilayah dengan
potensi pengembangan rotan yang cukup menjanjikan. Jika rotan manau dapat
198 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dibudidayakan pada areal perkebunan dan hutan, maka tersedia areal lebih dari
420.000 ha lahan (Tabel 16). Namun jika rotan manau hanya dibudidayakan di
kebun karet saja, maka tersedia areal seluas 75.158 ha (Tabel 17). Areal hutan,
yang potensial untuk dijadikan lokasi budidaya rotan, mencapai luas 160.873
ha.3

Tabel 16. Jenis penggunaan tanah wilayah Kabupaten Bungo

No Jenis Penggunaan Tanah Jumlah (ha) % Ket


1 Sawah 11.383,75 2,44
2 Permukiman 18.890,75 4,05
3 Perkebunan 260.784,00 55,97
4 Hutan 160.873,00 34,53
5 Sungai/danau/rawa 3.480,00 0,75
6 Lain-lain 10.488,50 2,25
Jumlah 465.900,00 100
Sumber : Dishutbun Kabupaten Bungo (2004)

Tabel 17. Jenis dan luas perkebunan unggulan di Kabupaten Bungo

No Jenis Perkebunan Luas (ha) Komoditas Keterangan


1 Perkebunan rakyat 75.158 Karet ±3.000 ha swadaya,
15.060 Kelapa sawit selebihnya
2 Perkebunan swasta 20.049 7 perusahaan inti
3 Lainnya 7.300 Kelapa sawit perkebunan
dan lain-lain
Jumlah 117.567
Sumber : Dishutbun Kabupaten Bungo (2004)

MEMBUDIDAYAKAN ROTAN MANAU:


PENGALAMAN DARI LAPANGAN
Pengambilan rotan yang dilakukan secara terus menerus tanpa penanaman
kembali dan semakin terbatasnya kawasan tempat tumbuh rotan, karena konversi
hutan menjadi perkebunan baik sawit maupun karet mengakibatkan berkurangnya

3 Terdiri dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) 71.154 ha, Hutan Lindung 12.000 ha, Hutan Produksi 75.719 ha, Hutan Adat Desa Batu Kerbau
1.220 ha dan Hutan Adat Desa Baru Pelepat 780 ha.
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 199

ketersediaan rotan di alam. Jarak yang harus ditempuh oleh masyarakat untuk
mengambil rotan semakin jauh, dan akibatnya biaya dan tenaga juga meningkat.

Pengembangan rotan di kebun karet rakyat perlu segera dilakukan untuk


mengantisipasi kebutuhan rotan di masa yang akan datang. Rotan manau menjadi
prioritas ketiga bagi Pemerintah Kabupaten Bungo setelah tanaman karet dan
sawit.

Kesesuaian lahan dan pola hidup masyarakat yang terbiasa berkebun karet
dijadikan target untuk pengembangan manau sebagai tanaman tumpangsari.
Penanaman manau akan menguntungkan petani karet itu sendiri, karena akan
mendapatkan getah hasil sadapan setiap hari, serta ‘tabungan’ manau pada saat
peremajaan kebun karetnya. Menurut Rachman (1990), manau matang setelah
20 tahun.

Peremajaan kebun karet dilakukan ketika sudah dianggap tidak ekonomis. Uang
yang didapat dari hasil penjualan getah lebih sedikit dari biaya kebutuhan hidup.
Pada kebun monokultur,
tanaman karet mampu bertahan
Kotak 1. Deskripsi Rotan Manau
hingga 25 tahun. Sedangkan
pada sistem penanaman Rotan manau (Calamus manan) tersebar luas di
tradisional peremajaan karet daratan Asia Tenggara. Rotan ini tumbuh subur
dapat dilakukan pada waktu di hutan dipterokarpus di lereng-lereng bukit
yang lebih lama. Penyisipan pada ketinggian 600-1000 m di Perak, Selangor,
dan penebangan tanaman yang Kelantan, Pahang, Terengganu, dan Negeri
Sembilan (Malaysia), Sumatera (Indonesia)
mengganggu atau tidak bernilai
dan Thailand selatan. Namun, eksploitasi tak
ekonomis memperpanjang daya terkendali mengakibatkan terbatasnya jenis ini
tahan sistem tradisional. di hutan. Calamus manan adalah jenis tumbuhan
soliter dengan panjang batang bisa mencapai
Berkaitan dengan hal tersebut 180 m. Rotan ini berduri jarang, tajam, kasar,
di atas, pemanenan manau keras dan panjang. Ukuran lingkar batangnya
dapat dilakukan tergantung bisa mencapai 18 mm. Dengan lingkar sebesar ini
tak mengherankan rotan ini menjadi komoditas
kebutuhan. Pada sistem kebun
non-kayu yang berharga untuk perabotan rumah.
monokultur panen manau Dibandingkan buah rotan pada umumnya, buah
dilakukan bersamaan dengan rotan manau relatif berukuran besar dengan
peremajaan. Tetapi pada kebun diameter mencapai 2-3 cm.
tradisional panen dilakukan
tergantung pada kebutuhan (Sumber: http://pkukmweb.ukm.my/~choong/
petani, sejalan dengan masa Rattan/rattan01.html)
penanaman sisipan.
200 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Untuk mendukung gagasan tersebut, telah dilakukan ujicoba budidaya rotan.


Jenis bibit rotan yang dibudidayakan adalah rotan manau. Pada awalnya akan
dikembangkan beberapa jenis, seperti rotan cacing, saga dan lainnya. Namun,
sulit melakukan pengadaan bibit untuk beberapa jenis rotan. Sifat rotan manau
yang soliter dan tidak mengganggu pengelolaan tanaman karet juga menjadi
alasan. Dengan hanya ada satu jenis rotan akan lebih mudah untuk dilihat
perkembangannya di masing-masing lokasi kegiatan.

Pengeluaran yang dibutuhkan untuk menanam rotan manau hanyalah biaya


pembelian bibit manau. Harga bibit manau dalam polybag saat ini di Kabupaten
Bungo Rp. 3.500,-/batang. Dengan mengikuti perbandingan 1:2 antara manau
dengan tanaman karet dan populasi karet sebanyak 400 batang/ha, maka
kebutuhan biaya pembelian manau sebesar Rp. 700.000,-/ha. Biaya penanaman
dan pemeliharaan rotan manau dapat kita abaikan dengan pertimbangan bahwa
kegiatan tersebut dilakukan oleh pemilik kebun.

Keuntungan penanaman dapat dirasakan pada saat meremajakan kebun karet.


Pada kebun karet yang dikelola secara monokultur bila dirasa hasilnya tidak
ekonomis akan diganti tanaman baru melalui metode tebang habis, pada saat itu
pula manau dipanen. Pada saat pemanenan rotan dapat mencapai 25-30 meter.
Dari panjang tersebut dapat dijual rata-rata sembilan potong ukuran tiga meter.
Harga satu potong saat ini di pengumpul4 pertama adalah Rp.7.000,- sehingga
akan didapat Rp. 12.600.000,-/ha-nya. Keuntungan bersih yang diterima petani
adalah Rp. 11.900.000,-/ha.

Dishutbun Kabupaten Bungo pada 2004 menganggarkan dana sebesar Rp.


48.455.000,- untuk pengembangan budidaya rotan di lima desa dalam lima
kecamatan yang berbeda. Masing-masing desa melakukan kegiatan pada areal
seluas tiga hektar. Lokasi tersebut terletak di Desa Tanjung Menanti, Kecamatan
Bathin II Babeko; Desa Perenti Luweh, Kecamatan Tanah Tumbuh; Desa Baru
Pusat Jalo, Kecamatan Muko-Muko Bathin VII; Desa Muara Buat, Kecamatan
Rantau Pandan; Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat.

“Kami idak mau menanam bilo belum melihat hasilnyo. Kami pernah melihat makonyo
kami mau (kami tidak mau menanam bila belum melihat hasilnya. Karena pernah
melihat makanya kami mau),” kata H. Thaher, 84 tahun, salah seorang petani
karet penerima kegiatan pengembangan budidaya rotan. Dengan alasan itu pula
maka lokasi penanaman yang merupakan lokasi percontohan dipilih berada di

4 Pengumpul pertama merupakan pengumpul yang langsung berhubungan dengan petani. Biasanya berada di tingkat desa.
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 201

pinggir jalan. Hal ini memudahkan masyarakat melihat dan memancing minat
untuk mengikuti penanaman secara swadaya.

Kotak 2. Perhitungan Kasar Keuntungan Menanam Rotan Manau pada Kebun


Monokultur

Secara kasar kita dapat menghitung keuntungan budidaya rotan di kebun karet per
hektar sebagai berikut :

A. Pengeluaran
No Uraian Volume Harga Satuan Total
A. Pengeluaran
1 Bibit Rotan 200 btg Rp 3.500 Rp 700.000
Jumlah A Rp 700.000
B. Pendapatan
1 Rotan 1800 ptg Rp7.000 Rp 12.600.000
Jumlah B Rp 12.600.000

Keuntungan
Jumlah B - Jumlah A : Rp 11.900.000
(sebelas juta sembilan ratus ribu rupiah)

Asumsi :
- Harga bibit rotan Rp. 3.500,-/polybag
- Biaya pemeliharaan rotan (pemupukan, penyiangan gulma, dll) dilakukan oleh
petani pemilik lahan dan mengikuti kegiatan pemeliharaan karet sehingga
tidak timbul biaya tambahan
- Panjang rotan ketika panen sebanyak sembilan potong (satu potong = tiga
meter) per batang dengan jumlah batang per ha sebanyak 200 batang/ha
- Harga rotan Rp. 7.000,-/potong

Saat ini, setelah dua tahun penanaman, tanaman rotan manau yang dibudidayakan
di kebun karet tua telah tumbuh dengan subur. Ini menunjukkan kecocokan jenis
tanaman dengan lokasi penanaman. Berdasarkan hasil pengamatan visual ujung
daun tertinggi, rata-rata tinggi rotan 140 cm dibandingkan tinggi rata-rata awal
30 cm.

“Idak payah ngurus manau, dak perlu dirawat dan dipupuk. Manau jugo dak ganggu
parah dan tahan babi (tidak susah mengurus manau, tidak perlu dirawat dan
202 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dipupuk. Manau juga tidak mengganggu tanaman karet dan juga tahan serangan
hama babi hutan),” kata Mirul, 28 tahun, petani Desa Baru Pelepat. Babi hutan
biasanya menjadi hama yang paling banyak merusak tanaman di ladang/kebun,
namun tidak terjadi pada rotan. Kurang dari 10 tanaman per ha yang diganggu
babi, itu pun bukan untuk memakan rotan melainkan karena tertarik pada tanah
galian baru yang banyak terdapat cacing.

Kotak 3. Pola Penanaman Rotan di Kebun Karet

Keterangan:

= tanaman karet

= rotan
Pola penanaman rotan di kebun karet

Penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem jalur dimana pohon-pohon


sekitarnya tetap dipertahankan/dipelihara sebagai pohon penopang (supporting
tree).

Mengacu pada keberhasilan 2004 dan


tingginya minat masyarakat terhadap
pengembangan, maka pada 2006
pemerintah telah menyediakan dana sebesar
Rp. 344.800.000,- untuk pengembangan
budidaya manau seluas 105 ha. Lokasi
yang dipilih kali ini adalah desa-desa yang
berbatasan dan/atau dekat dengan kawasan
hutan, yaitu Desa Senamat Ulu, Desa Laman
Panjang, Desa Lubuk Beringin (ketiganya
di Kecamatan Bathin III Ulu), Desa Baru
Pelepat dan Desa Batu Kerbau (Keduanya
© Iman Budisetiawan

di Kecamatan Pelepat). Pemilihan desa


tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
sekaligus mengalihkan kegiatan bebalok
(mengambil kayu) dari dalam kawasan Rotan manau berumur dua tahun
hutan. tanam
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 203

Selain penanaman, dilakukan juga pembibitan tanaman rotan dengan dana APBD.
Kendala sulitnya mendapatkan bibit rotan ternyata menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi minat masyarakat untuk menanam. Tawi, 33 tahun, mengatakan
“Macam mano nak nanam rotan bilo bibitnyo bae susah dapatnyo (Bagaimana mau
menanam rotan bila bibitnya sulit didapat).” Pengalaman Tawi menanam rotan
dimulai dari biji yang diberi KKI-WARSI5 pada 2002. Pengetahuan yang minim
untuk membudidayakan rotan mulai dari biji menyebabkan tingkat keberhasilan
tumbuh yang sangat rendah. Kegagalan ini tidak menyurutkan minat Tawi
untuk menanam, “Asal ado anak manau lah jadi, apolagi dalam polybag, maulah
awak nanamnyo (asal ada anakan manau yang telah jadi apalagi bila dalam
polybag maka mau saya menanamnya),” kata Tawi lebih lanjut. Bibit rotan dalam
polybag diyakini oleh Tawi lebih tinggi keberhasilan tumbuhnya. Untuk 2006 ini
Dishutbun Kabupaten Bungo mencoba untuk membibitkan 100 kg biji manau.

KETERLIBATAN BERBAGAI PIHAK


Untuk menunjang keberhasilan pengembangan manau perlu keterlibatan berbagai
pihak, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan di lapangan. Kebiasaan
merencanakan dan melaksanakan kegiatan secara parsial mulai dicoba untuk
ditinggalkan melalui pembentukan Forum Diskusi Multipihak6. Dalam diskusi-
diskusi yang telah dilaksanakan disepakati bahwa keterlibatan berbagai pihak
dapat menunjang keberhasilan kegiatan di lapangan.

Dahulu perencanaan dianggap sebagai kekuasaan mutlak pemerintah; kini


telah melibatkan pihak lain, terutama masyarakat dan lembaga yang melakukan
pendampingan di masyarakat. Keinginan masyarakat diterjemahkan ke dalam
rencana kegiatan pemerintah. Musyawarah rencana pengembangan (Musrenbang)
yang dimulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat propinsi merupakan sarana
untuk menyampaikan gagasan, keinginan dan harapan masyarakat. Contohnya
adalah Surat Camat Rantau Pandan No. 525/145/Pemb tertanggal 25 Maret 2004
perihal “Usulan Penanaman Rotan” menyatakan bahwa masyarakat mengakui
akibat penebangan kayu serta pengambilan rotan secara terus menerus tanpa
adanya proses penanaman di hutan mengakibatkan kelangkaan rotan. Meskipun
demikian, kearifan masyarakat terhadap pengelolaan rotan juga dapat dilihat dari
kemauan mereka untuk tidak memanen rotan yang masih muda.
5 KKI-WARSI, dalam program peningkatan pengetahuan masyarakat tentang hasil hutan non-kayu serta perubahan cara pandang masyarakat terhadap
rotan.
6 Forum Diskusi Multipihak adalah forum informal yang digagas oleh Dishutbun Kabupaten Bungo bersama Dinas Pertambangan Energi dan
Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), proyek Adaptive Collaborative Management (ACM) Jambi (CIFOR, PSHK-
ODA, Yayasan Gita Buana), KKI-WARSI dan World Agroforestry Center (ICRAF). Forum ini bertujuan sebagai wadah untuk, membangun wacana
tentang tema-tema berkaitan dengan pembangunan kehutanan di Bungo
204 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pemilihan lokasi kegiatan pengembangan budidaya rotan 2006 disesuaikan dengan


lokasi pendampingan yang dilakukan oleh berbagai lembaga. ACM-Jambi di Desa
Baru Pelepat, KKI-WARSI di Desa Batu Kerbau serta ICRAF di Desa Laman
Panjang dan Lubuk Beringin. Pendamping berperan dalam bentuk fasilitasi
penentuan lokasi, pengaturan kelompok, implementasi di lapangan. Pendamping
dapat juga disebut sebagai ‘jembatan’7 karena menghubungkan antara kepentingan
pemerintah dengan keinginan masyarakat.

Pengelola hutan adat pun dapat dijadikan potensi pengembang selain masyarakat
pekebun. Pelibatan pengelola hutan adat akan meningkatkan semangat mereka
dalam menjaga hutan adatnya sekaligus sebagai bentuk pengakuan eksistensi
mereka.

Dishutbun Kabupaten Bungo juga telah mencoba menjalin kerjasama dengan


instansi lainnya di luar kabupaten. Misal dengan International Timber Trade
Organization (ITTO) melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan untuk mendapatkan bantuan berupa
pengembangan rotan di Kabupaten Bungo.

MENGAPA TIDAK DIMULAI DARI SEKARANG?


Rotan manau yang dapat tumbuh dengan baik di kebun karet merupakan
salah satu alternatif pengayaan kebun karet. Sifat yang mudah tumbuh tanpa
memerlukan perawatan intensif dan tahan serangan babi merupakan keuntungan
pengembangannya. Menanam rotan manau sama dengan menabung karena
tanpa terasa rotan manau itu akan semakin besar hingga saatnya dipanen dan
memberikan keuntungan.

Dishutbun Kabupaten Bungo saat ini mempunyai program pengembangan


budidaya manau melalui penanaman dan pembibitan tanaman. Setelah
program ini berhasil akan dilanjutkan dengan program pembinaan petani untuk
perawatan tanaman serta pembinaan pengrajin rotan. Jangan sampai rotan yang
diperdagangkan hanya sebatas rotan mentah melainkan harus ditingkatkan
dengan penguatan pengrajin dan industrinya.

Pasar rotan baik lokal maupun dunia masih terbuka, sedangkan cadangan rotan
alam semakin menipis. Pengembangan budidaya rotan di kebun karet merupakan
7 Lamanya waktu berinteraksi dengan masyarakat merupakan kelemahan dari aparat pemerintah dan justru merupakan kekuatan dari para pendamping
untuk memahami keinginan masyarakat serta mengetahui kendala yang terjadi. Selain itu, masyarakat juga lebih nyaman untuk menceritakan
permasalahan kepada para pendamping dibandingkan secara langsung ke aparat pemerintah.
BAGIAN 3-3 • Iman Budisetiawan 205

salah satu solusi yang layak untuk dipertimbangkan. Hal-hal yang telah dilakukan
oleh Dishutbun Kabupaten Bungo hanyalah untuk memancing minat masyarakat
agar mau secara mandiri mengembangkan manau di lahan miliknya.

Mengapa harus menunggu esok, kalau langkah itu bisa dikerjakan hari ini?

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada CIFOR dan ICRAF yang telah
memfasilitasi penulisan ini, serta para petani yang bekerja sama dalam penyelesaian
pekerjaan kegiatan pengembangan budidaya rotan di Kabupaten Bungo.

BAHAN BACAAN
Anonim. 2003. Proposal Pengembangan Tanaman Rotan di Kabupaten Bungo,
Propinsi Jambi. PT. Kerasan Huta Nauli, Jakarta.
BPS. 2003. Bungo dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo, Muara
Bungo, Indonesia
Dishutbun Kabupaten Bungo. 2004. Laporan Hasil Kegiatan Pengembangan
Budidaya Rotan. Muara Bungo, Indonesia.
_______. 2004. Selayang Pandang. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Hidayat, A., Henti, H.R., Dodi, F. dan Sunarto. 2005. Pola Kontribusi Pemungutan
Rotan Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat Lokal di
Jambi (Laporan Akhir Penelitian). Loka Litbang Hasil Hutan Bukan
Kayu. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan, Indonesia.
Januminro, C.F.M. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.
Rachman, O. 1990. Teknologi Pengelolaan Rotan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Indonesia.
BAGIAN 3-4
Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui
Sistem Wanatani

Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan


Meine van Noordwijk
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 207
Meine van Noordwijk

Peran sub-sektor perkebunan sangat besar bagi perekonomian Kabupaten Bungo


maupun Propinsi Jambi. Karet adalah salah satu komoditas perkebunan andalan
bagi kabupaten ini, serta berperan besar sebagai sumber pendapatan daerah dan
juga sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduknya. Perkebunan
karet rakyat sangat dominan dengan luas 73.121 ha dan jumlah produksi 2.214 ton/
tahun (BPS Bungo, 2003). Karena itu pemerintah Kabupaten telah memberikan
perhatian sangat besar terhadap pembangunan karet rakyat.

Perkebunan karet rakyat di Kabupaten Bungo umumnya masih menyerupai ’hutan


karet’, dengan produktivitas di bawah 600 kg/ha/tahun. Meski menjadi komoditas
unggulan, produktivitas karet rakyat ini masih tergolong rendah. Penyebabnya
adalah mutu bibit tanaman yang rendah. Sumber bibit biasanya berupa bibit
cabutan atau biji sapuan dengan tingkat pemeliharaan yang sangat minim. Secara
tradisi, pembangunan kebun karet rakyat didasari dengan pola tebang-tebas-bakar
yang dilanjutkan dengan pemanfaatan lahan untuk peladangan selama dua-tiga
tahun pertama (penanaman tumpangsari tanaman pangan dengan tanaman karet).
Penurunan produktivitas tanaman pangan menyebabkan petani meninggalkan
kebun karet mudanya tanpa pemeliharaan dan kembali lagi pada saat karet siap
sadap.

Sistem di atas, tidak dapat memberikan pendapatan yang optimal bagi petani.
Namun demikian, para ahli ekologi menemukan berbagai aspek positif dari
wanatani karet rakyat itu, terutama berkaitan dengan tingginya tingkat keragaman
hayati yang mendekati kondisi hutan sekunder. Di hutan karet rakyat di Kecamatan
Rantau Pandan ditemukan 92 spesies pohon, 97 liana, dan 28 epifit, sedangkan
di hutan primer masing-masing 171, 89, dan 63 spesies (Michon dan de Foresta,
1995).

Sistem wanatani karet di Bungo itu sangat unik. Meski produktivitas getahnya
rendah, namun sistem tersebut justru melindungi banyak flora dan fauna. Itu
sebabnya sistem wanatani dipandang sebagai sebuah pilihan yang paling cocok
bagi petani, karena sistem bercocok tanam karet yang telah turun-temurun
menjadi budaya dapat dipertahankan.

Sejalan dengan itu, apa yang akan terjadi jika bahan tanam karet, yang menjadi
faktor penentu produktivitas, menggunakan jenis karet klonal. ICRAF melalui
Smallholder Rubber Agroforestry Project (SRAP) melakukan penelitian on-farm
dengan membangun demplot berbagai sistem Rubber Agroforestry System (RAS).
Tujuannya, lokasi demplot tersebut dapat menjadi contoh dan tempat belajar
budidaya karet pada sistem wanatani bagi petani, PPL dan proyek pengembangan
karet.
208 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KENDALA PETANI KARET TRADISIONAL


Kendala yang dihadapi oleh sebagian besar petani adalah:
1. Produktivitas karet rendah
• Umur karet rata-rata sudah tua dengan produktivitas rendah.
• Kualitas bahan tanam karet yang dipakai maupun yang tersedia di tingkat
petani relatif tidak memenuhi kriteria untuk dapat menghasilkan kebun
karet dengan produktivitas yang baik (di atas 1.500 kg/ha/tahun).

2. Sistem kelembagaan dan alih teknologi:


• Teknologi budidaya tidak tersedia untuk kebanyakan petani di Kabupaten
Bungo. Kalaupun teknologi tersedia, masih belum diterapkan oleh
petani karena kurang sesuai terhadap kebutuhan dan keterbatasan
petani.
• Struktur kelembagaan petani (seperti kelompok tani) tidak atau belum
tersedia di tingkat lokal sehingga pembangunan perkebunan rakyat
berjalan lebih banyak atas inisiatif petani secara individu.
• Minimnya akses petani terhadap modal finansial, yang sangat dibutuhkan
untuk peremajaan kebunnya.

KEBUN KARET DALAM BUDAYA MASYARAKAT


MELAYU JAMBI
Mayoritas masyarakat di Kabupaten Bungo berasal dari suku Melayu Jambi,
dan pendatang dari Minangkabau, Jawa, dan Batak. Masyarakat Melayu Jambi
menetap dan kemudian membangun rumah di dalam kelompoknya di sepanjang
aliran sungai. Sungai menjadi salah satu sarana transportasi yang menghubungkan
mereka dengan desa tetangga, membawa hasil bumi mereka untuk dijual, dan
membeli sarana untuk kehidupan keluarga.

Wanatani karet atau lebih dikenal dengan sebutan “para rimbo” oleh masyarakat
Jambi adalah kebun karet rakyat menyerupai hutan yang didominasi oleh tanaman
karet. Penanamannya tidak memperhatikan jarak tanam sehingga tumbuh spesies
kayu-kayuan, buah-buahan, dan belukar. Pengelolaan kebunnya secara ekstensif,
tradisional, dan turun-temurun. Para petani karet lebih senang menyebutnya
sebagai kebun karet rakyat dan bukan hutan karet. Kata “hutan” memberikan arti
penguasaan lahan oleh pemerintah.
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 209
Meine van Noordwijk

Karet sumber penghasilan utama bagi kelangsungan kehidupan petani. Setiap


keluarga minimum memiliki kebun karet sekitar satu hektar. Setiap pagi, suami
dan istri pergi ke kebun untuk menyadap. Sistemnya, tidak beraturan (bentuk “V”)
dengan ketebalan sayatan rata-rata 5 mm. Getah karet yang mengalir pada bidang
sadap dikumpulkan dalam tempurung kelapa atau wadah lainnya yang kemudian
dikenal dengan “kudun” (lump). Dalam musim kering mereka menyadap lima
sampai enam hari dalam setiap minggunya. Kemudian lump tersebut dikumpulkan
menjadi satu dalam kotak penampung (para petani menyebutnya dengan sebutan
“membangkit”). Dalam satu kotak, karet basah yang dapat ditampung kira-kira 50-
100 kg. Asam cuka ditambahkan untuk menggumpalkan karet.

Sebagian petani menjual produksi


karet berdasarkan “berat karet”,
dan bukan “mutu karet”. Petani
yang menjual karet hanya
berdasarkan beratnya akan
melakukan perendaman karet
dalam air, seperti di sungai, rawa,
dan lain-lain. Biasanya petani
© Ratna Akiefnawati

seperti tersebut akan menjual


produksi karetnya pada “toke”
(tengkulak) di kampung dengan
tingkat harga yang rendah. Tetapi
Sistem perendaman produksi karet rakyat yang
menyebabkan rendahnya mutu karet sejak bergulirnya peraturan dari

Gabungan Perusahaan Karet


Indonesia (GAPKINDO) Propinsi
Jambi untuk membuat getah
bersih yang tidak tercampur oleh
“tatal” (bekas kulit sayatan batang
karet) pada 1999, mulailah petani
membuat getah bersih dan kering
© Ratna Akiefnawati

(tanpa perendaman dalam air) dan


menjualnya ke pasar lelang karet.

Sistem penyadapan dan pengelolaan kebun


karet tradisional
210 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

SUMBANGAN WANATANI KARET TERHADAP


PELESTARIAN LINGKUNGAN

Melindungi Fungsi Hidrologi


Wanatani karet (berbentuk mirip hutan sekunder) dinilai sangat positif dari
segi pelestarian lingkungan. Wanatani karet menjalankan fungsi hidrologi yang
baik dan mampu mencegah erosi. Kebun karet rakyat dapat menjadi pelindung
pada daerah hulu karena dapat berfungsi sebagai penyangga lapisan serasah
di permukaan tanah melalui daun-daun karet dan pohon lain yang gugur dan
mencegah terbentuknya parit-parit akibat erosi.

Perlindungan terhadap Keragaman Hayati


Sistem wanatani karet mampu mempertahankan keragaman hayati, sehingga
sangat mendukung gerakan “hijau” yang akhir-akhir ini mendapat perhatian
besar dari negara-negara industri sebagai konsumen terbesar karet alam (Wibawa
et al.,1999). Wanatani karet rakyat berpotensi sebagai sumber plasma nutfah
keragaman hayati dan dapat melindungi sekitar 50% dari keragaman hayati yang
dijumpai di hutan alam.

Sebagai contoh, penelitian ICRAF pada kebun karet rakyat berumur 35 tahun
(masih produktif) di Muara Kuamang berhasil menemukan 116 jenis pohon dalam
satu plot seluas satu hektar. Pohon yang ditemukan antara lain jenis pohon pulai,
medang, meranti, balam merah, kempas, kulim, dan anakan jelutung, yang untuk
saat ini menjadi incaran penebang kayu untuk dijual. Dibandingkan hutan alam,
luas bidang dasar kebun karet lebih rendah karena tidak ada pohon besar. Selain
itu, kebun karet rakyat menyediakan habitat yang nyaman bagi satwa seperti
burung enggang raja (Buceros vigil) (Joshi et al.,2002). Dari hasil studi pengamatan
langsung, tim RUPES-Bungo menemukan 167 jenis burung yang hidup di dalam
wanatani karet, dua di antaranya burung yang sudah hampir punah, yaitu sempidan
biru (Lophura ignita) dan raja udang kalung biru (Alcedo euryzona).

Hasil penelitian lain pada jenis pohon dan analisa struktur vegetasi pada sistem
wanatani karet di daerah dataran rendah Sumatera (de Foresta dan Michon
1994) dan beberapa studi lainnya menunjukkan keragaman hayati di wanatani
karet relatif lebih tinggi dibandingkan pada kondisi pertanaman intensif dan
perkebunan monokultur. Sedang vegetasi, seperti dilaporkan Michon dan de
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 211
Meine van Noordwijk

Foresta (1995), keragaman di wanatani karet dapat melindungi sekitar 50%


jauh lebih besar dibandingkan angka 0,5% di perkebunan monokultur. Tingkat
keragaman fauna tidak terdapat perbedaan antara hutan dan wanatani karet.
Untuk keragaman burung, wanatani karet dapat melindungi sekitar 60% dari
hutan alam (Gambar 21). Ini disebabkan oleh adanya beberapa jenis burung yang
menghendaki tutupan tajuk lebih terbuka dan ketersediaan bermacam-macam
bunga yang menjadi sumber makanan. Binatang menyusui (mamalia) dijumpai
juga di dalam wanatani karet, kecuali gajah belum ditemukan (van Noordwijk et
al., 2002). Studi terakhir yang dilakukan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
(belum dipublikasikan) dalam proyek Rewarding Up-land Poor for Environmental
Services (RUPES) di Bungo pada hamparan wanatani karet Lubuk Beringin
menemukan 10 jenis kelelawar (delapan jenis kelelawar pemakan buah dan dua
jenis pemakan serangga).

Gambar 21. Perbandingan dalam plot-keragaman jenis tumbuhan antara hutan alami, hutan,
dan perkebunan monokultur berdasarkan tumbuhan-tumbuhan tertinggi (de Foresta dan
Michon, 1994)

400 Pohon
350
Jenis tanaman/ transek

Epiphytes
300
250 Lianas
200
Pohon kecil
150
100 Herba
50
0
Hutan Alami Hutan Perkebunan
212 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Cadangan Karbon
Laporan penelitian Tomich et al. (2002) di beberapa penggunaan lahan yang
berbeda di Kabupaten Bungo, memperlihatkan cadangan karbon di dalam hutan
alam sejumlah 250 ton C/ha, di hutan yang masih aktif ditebang kayunya sekitar
150 ton C/ha, di lahan untuk penanaman ubi kemudian diberakan sehingga
tumbuh alang-alang, relatif lebih rendah yaitu 100-120 ton C/ha, sedangkan
di lahan wanatani karet dengan teknik sisipan 120-140 ton C/ha, sementara di
kebun kelapa sawit hanya 90 ton C/ha.

Tingkat penyerapan karbon tergantung pada tipe dan kondisi ekosistem


(komposisi jenis tumbuhan, struktur dan umur distribusi tanah, gangguan alam,
dan pengelolaan). Di hutan alam di Indonesia, penyerapan karbon rata-rata
306 ton C/ha, di hutan karet (sistem menetap) 89 ton C/ha dan di hutan bekas
tebangan 93 ton C/ha. Penyerapan karbon di ekosistem-ekosistem tersebut jauh
lebih tinggi dibandingkanperkebunan monokultur, padang rumput, dan tanaman
semusim (lihat Tabel 18).

Tabel 18. Rata-rata penyerapan karbon pada masing-masing kondisi penggunaan lahan

Sistem penggunaan lahan ton C ha-1


Hutan alam 306
Hutan bekas tebangan kayu 93
Wanatani karet (menetap) 89
Kebun karet (bergilir) 46
Kebun kelapa sawit 54
Perkebunan HTI 37
Tanaman semusim/alang-alang 2
Sumber data: Hairiah et al. (2001)

SUMBANGAN WANATANI KARET TERHADAP


PRODUKSI KAYU DAN PEMBANGUNAN DESA
Bisnis kayu secara besar-besaran di masa reformasi menyebabkan semakin
berkurangnya ketersediaan kayu dari hutan alam. Di Kabupaten Bungo, pada
2003 - 2004 permintaan kayu keras misalnya kulim, keranji, dan kempas (K3)
untuk diekspor ke Taiwan meningkat tajam. Jenis-jenis kayu tersebut banyak
dijumpai di dalam lahan wanatani karet. Kondisi ini memberi peluang bagi petani
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 213
Meine van Noordwijk

karet untuk mengembangkan jenis kayu tersebut dan menjadi sumber penyedia
kayu untuk kebutuhan ekspor.

Manfaat lain dari wanatani karet


rakyat adalah tumbuhnya petai
dan durian, yang hasilnya dijual
oleh anak-anak untuk menambah
pendapatan keluarga dan bahkan
biaya sekolah mereka. Kebiasaan
adat dalam masyarakat pedesaan
memang memperbolehkan anak-
© Laxman Joshi
anak mengambil buah-buahan,
asalkan pemilik kebun tidak
sedang menunggu kebun. Aturan
Usaha sampingan selain karet. Ibu-ibu dan
adat lainnya, durian tidak boleh
anak-anak bertugas menunggu durian yang
jatuh untuk dijual dipanen dengan cara memanjat.
Melainkan, menunggu hingga
buah durian tersebut jatuh ke tanah dengan sendirinya.

Wanatani karet mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat pedesaan


dan dapat memberikan pemasukan pembangunan desa melalui produksi langsung
maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan
dan pemasaran produksi karet.

DUKUNGAN BAGI PENINGKATAN


PRODUKTIFITAS KARET RAKYAT
ICRAF bersama mitra1 mencoba berbagai sistem wanatani karet yang
memperhatikan kebutuhan petani dan kendala yang dihadapinya, terutama dalam
aspek finansial (biaya pembangunan dan pengelolaan) dan keragaman hayati.
Sistem tersebut adalah:

• RAS 1: Prinsipnya setara dengan pola pengelolaan wanatani karet yang


sangat ekstensif dan biaya rendah, namun bahan tanam karet klon unggul.
• RAS 2: Sistem wanatani intensif, tumpangsari karet dengan tanaman
pangan, tanaman buah-buahan, dan pohon penghasil kayu. Tanaman pangan
diusahakan pada dua-tiga tahun pertama dengan cara intensif.
1 Mitra ICRAF dalam proyek SRAP adalah CIRAD Perancis, GAPKINDO, BPS – Palembang.
214 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

• RAS 3: Setara dengan RAS 2 namun pola ini didesain untuk daerah marjinal
dengan vegetasi utama alang-alang. Tanaman sela yang dipilih adalah jenis
yang cepat tumbuh, menutup tanah dengan baik, sehingga menghambat
tumbuhnya alang-alang.

ICRAF bekerjasama dengan Pusat Penelitian Karet Balai Penelitian Sembawa


Palembang menyelenggarakan pelatihan bagi petani karet di beberapa desa di
Kabupaten Bungo. Materi pelatihan adalah dinamika kelompok yang bertujuan
membangun dan membentuk kerjasama anggota dalam kelompok tani karet, agar
dapat saling menghargai serta menguatkan rasa kebersamaan untuk memiliki
dan memelihara wanatani karet. Selain itu, forum itu juga digunakan untuk
memperkenalkan berbagai klon karet yang berpotensi menghasilkan getah dan
kayu, teknik memperbanyak bibit karet dan cara memelihara kebun pembibitan.
Itu masih ditambah dengan memberikan pengetahuan teknis cara mengendalikan
penyakit yang sering merusak tanaman karet dan teknik penyadapan karet yang
benar. Juga diperkenalkan sistem wanatani karet sebagai salah satu cara lain
bertanam karet selain monokultur.

PRODUKTIVITAS WANATANI KARET


Selama 10 tahun, ICRAF bersama mitra dalam proyek Smallholder Rubber
Agroforestry System (SRAS) mencoba sistem wanatani karet di Kabupaten Bungo
dan Tebo, Propinsi Jambi. Pengelolaan sistem ini seperti kebun karet rakyat,
tetapi menggunakan bahan tanam karet yang dipilih dari klon karet produktivitas
tinggi.

RAS Tipe 1
Prinsipnya mirip dengan pola pengelolaan hutan karet yang sangat ekstensif.
Namun bahan tanam karet berupa klon unggul yang mempunyai produksi tinggi.
Diharapkan di masa mendatang (setelah lima tahun penanaman) akan tumbuh
vegetasi alami yang mempunyai nilai ekonomi di antara barisan karet.

Ternyata, minimnya pemeliharaan kebun, seperti penyiangan hanya pada barisan


karet saja (jarak tanam karet normal 6 m x 3 m) serta pemupukan urea selama tiga
tahun pertama 200 g/pohon/tahun dan SP36 115 g/pohon/tahun, dapat membuat
karet klonal tumbuh optimal pada kondisi wanatani (Gambar 22). Klon PB260
dan RRIC100 dapat tumbuh dengan baik dan mempunyai tingkat produksi yang
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 215
Meine van Noordwijk

tinggi daripada klon karet lain yang dicoba di kebun-kebun karet milik petani (on-
farm), ada empat klon: RRIC100, PB260, RRIM600, BPM1 yang dibandingkan
dengan karet cabutan (karet seedling Gambar 23).

Lilit batang karet klonal tersebut rata-rata membesar lebih cepat dibanding
karet lokal. Sehingga umur penyadapannya lebih cepat (standar bukaan sadapan
pertama bila lilit batang karet >45 cm pada ketinggian 100 cm dari “kaki gajah”).
Sedang lokal lebih lambat memasuki usia sadap. Karet klon yang menggunakan
sistem RAS dapat disadap pada umur lima tahun setelah penanaman. Sedangkan
sistem karet monokultur dengan pemeliharaan intensif dapat disadap setelah
berusia empat tahun.

JAMBI

KALBAR

Jenis pupuk
Urea + SP 36
Urea + RP saat tanam
Urea saat tanam saja
Urea + SP 36 + KCL

Umur (bulan)

Gambar 22. Pengaruh pemberian pupuk terhadap pertumbuhan karet klon

KALBAR JAMBI
60 60
KALBAR
50 50

40 40

30 30
Klon Klon
20 BPM1 20 BPM1
PB260 PB260
10 RRIC100 10 RRIC100
RRIM600 RRIM600
Seedling Seedling
0 0
10 20 30 40 50 60 70 10 20 30 40 50 60 70
Umur (bulan) Umur (bulan)

Gambar 23. Grafik pertumbuhan tanaman karet


216 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Penyiangan satu meter kiri-kanan barisan pohon karet (semak atau perdu di antara
barisan karet yang berjarak empat meter tidak disiangi) minimal dua sampai tiga
bulan sekali pada dua tahun pertama dan setiap empat bulan sekali setelah itu.
Ini dapat mengurangi biaya pemeliharaan kebun. Penyiangan tumbuhan selektif
masih diperlukan untuk menghindari persaingan. Dianjurkan tingginya tidak
lebih dari dua meter dari tanaman karet.

Kotak 1. Pengalaman pembangunan kebun karet di Lubuk Beringin

Pada awalnya petani karet di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu Bungo
tidak percaya pada bibit karet klonal. Pikir mereka, karet klonal membutuhkan
banyak pupuk. Apalagi, beberapa kebun karet klonal yang ada di desa itu memiliki
tingkat produksi sangat rendah. Bahkan, lebih rendah daripada produksi karet lokal.
Sehingga, banyak petani tidak bersedia menanam karet klonal.

Ada beberapa petani karet yang ingin memperbaiki produktivitas karet. Mereka
berminat melihat kebun demplot yang sudah dibangun oleh ICRAF di desa tetangga
(Rantau Pandan). Mereka juga berencana belajar membudidayakan karet klonal
dan menghitung biaya produksinya. Setelah mereka mendapatkan informasi yang
cukup dan tahu nilai produksi, para petani tersebut membentuk kelompok tani
untuk membangun pembibitan karet klonal. Tujuannya, menyediakan bibit karet
klonal yang berkualitas di desa dan sekitarnya dengan harga yang bisa dijangkau
oleh petani.

Keberadaan kelompok tani dan kebun pembibitan karet di desa menumbuhkan


keinginan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas karet di kebun dengan
memperbaiki bahan tanam karet. Sebagian dari mereka mengusahakan bibit karet
dari biji untuk batang bawah dan bahan klonal untuk batang atas. Proses okulasi
mereka lakukan sendiri, sebelum bibit ditanam di kebun. Jika kita berkunjung ke
Desa Lubuk Beringin akan dengan mudah ditemukan hamparan anakan karet di
setiap pekarangan rumah penduduk.

RAS Tipe 2
Tipe ini adalah sistem wanatani dengan pola tumpangsari karet, tanaman pangan,
dan tanaman buah-buahan atau pohon penghasil kayu. Pengelolaan kebun RAS
tipe 2 ini sangat intensif karena kepadatan tanaman dalam kebun sangat tinggi.
Pertumbuhan karet akan lambat di kebun dengan kepadatan tanaman yang sangat
tinggi, seperti diperlihatkan dalam Gambar 24, di plot petani bernama Saer yang
keragaman tanamannya tinggi. Bila pengelolaan kebun sangat rendah, maka karet
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 217
Meine van Noordwijk

akan lambat tumbuh karena terganggu oleh tumbuhan pengganggu atau gulma.
Tanaman karet yang dikelola dalam kebun intensif dapat disadap mulai umur
lima tahun, lebih cepat setahun dibandingkan pada kebun yang jarang dikelola.
Naungan karet yang lebat juga membuat tanaman buah-buahan seperti rambutan,
nangka, dan duku tidak atau sulit berbuah.

50
45

40
35
30

25

20 Petani
M. Yani
M
P
B
1

15 0
6
2
B
P

Alias

© Ratna Akiefnawati
10 0
1
IC
R

Sabran
5
0
6
IM
R

Saer
Sapri
0
12 15 16 21 26 30 36 42 52 57

Umur (bulan)

Gambar 24. Grafik pertumbuhan lilit batang karet pada kondisi pemeliharaan kebun yang
berbeda (kiri); kepadatan vegetasi dalam kebun wanatani karet (kanan)

RAS Tipe 3
Tipe ini serupa dengan RAS 2, bedanya pola ini didesain untuk daerah marginal
dengan vegetasi utama alang-alang (Imperata cylindrica). Tanaman sela yang dipilih
adalah jenis yang cepat tumbuh dan menutup tanah dengan baik.

Dari percobaan ICRAF di Kalimantan Barat, pertumbuhan alang-alang dan


kirinyuh (Chromolaena sp.) dapat menghambat pertumbuhan karet. Maka untuk
mengontrol pertumbuhan alang-alang dapat ditanam kacang-kacangan seperti
kacang ruji (Pueraria sp.) dan koro benguk (Mucuna sp.) sehingga karet dapat
tumbuh dengan baik (Gambar 25). Sedangkan tanaman pagar seperti orok-
orok (Crotalaria sp.) dan hahapan (Flemingia sp.) dapat menjadi alternatif untuk
mengontrol alang-alang.

Yang perlu mendapat perhatian, tanaman cepat tumbuh (TCT) dapat menyaingi
pertumbuhan karet sehingga memperlambat waktu sadap karet, menjadi tiga
tahun lebih lama dibandingkan bila karet tumbuh pada plot kacang-kacangan
(Gambar 26).
218 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Puerari
Crotalaria+Gude
Mucuna+Gude
Flemingia+ Gamal
Chromolaena
Imperata

10 20 30 40 50 60 70 80

Umur (bulan)

Gambar 25. Grafik pertumbuhan karet pada masing-masing plot

Mucuna
Pueraia
Tanaman Cepat Tumbuh
Chromolaena
Imperata

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Umur (bulan)

Gambar 26. Grafik pertumbuhan karet pada masing-masing plot


BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 219
Meine van Noordwijk

Kotak 2. Produksi karet klonal tiga kali lebih tinggi daripada karet lokal

Produksi karet klonal tiga kali lebih besar dari produksi karet lokal. Matang sadap
karet klonal lebih cepat daripada karet lokal. Karet klonal dengan sistem wanatani
dalam lima tahun sudah memasuki masa sadap, sedangkan karet lokal bisa lebih
dari tujuh tahun. Dengan menanam karet klonal, petani karet dapat lebih cepat
mendapatkan penghasilan dari kebun karetnya.

30

25
KLON
20
BPM 1
15

© Ratna Akiefnawati
PB 260
10
RRIC 100
5
RRIM 600

0 Seedling
03

03

03

03
03
03
i 02

02

04

04
02

02

04
Agu

Des
Okt
Peb

Ju n

J un
A pr

Peb
Agu

D es

Apr
Okt
Ju n

Umur (bulan)

Gambar 27. Grafik produksi karet klonal tiga kali lebih besar dari produksi karet
lokal

KESIMPULAN
Karet klonal dapat tumbuh optimal pada kondisi wanatani karet. Klon PB260 dan
RRIC100 dapat menjadi pilihan untuk ditanam pada kebun karet rakyat. Selain
itu produksi karet klonal tiga kali lebih besar dari produksi karet lokal.

Pemilihan pola tanam RAS disesuaikan dengan modal dan tenaga kerja petani.
Bila petani mempunyai modal yang pas-pasan dapat mencoba pola RAS 1. Tapi,
jika petani mempunyai modal yang cukup atau bahkan berlebih dapat mencoba
pola RAS 2. Sedangkan untuk mereklamasi lahan yang bermasalah dengan alang-
alang dapat mencoba pola RAS 3.

Sistem wanatani karet dengan pengelolaan kebun minimalis menjadikan kebun


karet menjadi tempat tumbuhnya beragam tumbuhan. Kondisi ini menguntungkan
bagi konservasi fauna dan flora. Juga, menguntungkan bagi petani karena bisa
mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil buah-buahan atau pohon kayu.
Lingkungan wanatani karet juga menjadi rumah tinggal alternatif bagi fauna yang
mulai terancam punah karena kehancuran hutan, habitat hidup mereka.
220 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Keberadaan demplot dan kegiatan kunjungan lapangan petani yang didukung


ICRAF berdampak positif bagi petani karet Kabupaten Bungo. Pengetahuan petani
karet semakin bertambah dan tidak ragu lagi untuk bercocok tanam karet dengan
sistem wanatani karet. Aspek positif lainnya untuk meningkatkan produktivitas
karet rakyat, Gubernur Jambi melalui program kerjanya periode 2006-2010
mencanangkan peremajaan karet tua yang sudah tidak produktif seluas 310.000
ha se-Propinsi Jambi dengan menanam karet dari bahan tanam karet klonal yang
memiliki produktivitas tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini berlangsung sejak 1995 hingga sekarang didanai oleh USAID
(melalui Smallholder Rubber Agroforestry Project (SRAP) periode 1996-1998);
DfID (periode 1998-2001). Kemudian dilanjutkan oleh proyek Smallholder Rubber
Agroforestry Systems (SRAS) yang didanai oleh Common Fund for Commodities
(CFC), periode 2004-2007. Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh
staf lapangan ICRAF Jambi yang bekerja keras memfasilitasi petani karet, rekan-
rekan peneliti yang bekerja di CIRAD, Balai Penelitian Sembawa-Palembang
atas saran-sarannya dan bantuan teknisnya, serta terima kasih yang mendalam
kepada seluruh petani yang tergabung dalam percobaan ini atas kesediaannya dan
ketaatannya mengikuti penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Akiefnawati, R. 2003. Prospect of Smallholder Rubber Agroforestry System Project
in Jambi. Initiation Report on SRAP Project. ICRAF, Bogor, Indonesia.
BPS. 2003. Bungo dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bungo. Muara
Bungo. Indonesia
de Foresta, H. dan Michon, G. 1994. Orstom-Biotrop Cooperation Final Report
(September 1989 - June 1994). Orstom, Bogor, Indonesia.
Hairiah, K., Sitompul, S.M., van Noordwijk, M. dan Palm, C.A. 2001. Carbon
Stocks of Tropical Land Use Systems as Part of the Global C Balance:
Effects of Forest Conversion and Options for ‘Clean Development’
Activities. Dalam: van Noordwijk, M., Williams, S.E. dan Verbist,
B. (ed.) Towards Integrated Natural Resource Management in Forest
Margins of the Humid Tropics: Local Action and Global Concerns.
ASB-Lecture Notes 1 – 12. ICRAF, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 3-4 • Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan 221
Meine van Noordwijk

ICRAF. 2005. Improving the Productivity of Rubber Smallholding through Rubber


Agroforestry Systems. Work plan for second reporting period January
– December 2005. World Agroforestry Centre (ICRAF), Indonesian
Rubber Research Institute, Prince of Songkla University (Thailand),
University of Helsinki, Kasetsart University (Thailand) dan CIRAD
(Perancis).
Joshi, L., Wibawa G., Vincent G., Boutin D., Akiefnawati R., Manurung G. dan
van Noordwijk M. 2002. Complex Rubber Agroforestry: Challenge for
Development. Booklet TFRI Extension Series No. 139.
Joshi, L. 2005. RUPES-Bungo Project Progress Report. Laporan Proyek RUPES,
tidak dipublikasikan.
Michon, G. dan de Foresta, H. 1995. The Indonesian Agroforest Model. Forest
Resource Management and Biodiversity Conservation. Dalam: Halladay,
P. dan Gilmour, D.A. (ed) Conserving Biodiversity Outside Protected
Areas: The Role of Traditional Agro-ecosystems. IUCN, Gland, Swiss
dan Cambridge, Inggris.
Tomich, T.P., de Foresta, H., Dennis, R., Ketterings, Q.M., Murdiyarso, D., Palm,
C.A., Stolle F., Suyanto, S. dan van Noordwijk, M. 2002. Carbon Offsets
for Conservation and Development in Indonesia. American Journal of
Alternative Agriculture 17:125-137.
van Noordwijk, M., Boutin, D., Wibawa, G. dan Joshi, L. 2002. Options
for Smallholder Rubber Producers to Increase Productivity while
Maintaining ‘Forest Functions’. Asia Rubber Markets Conference, 28-
29 October 2002, Kuala Lumpur, Malaysia.
Wibawa, G., Boutin, D. dan Budiman, A.F.S. 1999. Alternatif Pengembangan
Perkebunan Karet Rakyat dengan Pola Wanatani. Dalam: Drajat, B.,
Supriyadi, M., Gunawan, A., Fadjar, U. dan Nancy, C. (ed.) Prosiding
Lokakarya dan Ekspose Teknologi Perkebunan, 26-28 Oktober 1999,
Palembang. Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa dan
Asosiasi Penelitian Perkebunan, Sembawa, Indonesia.
Wibawa, G. 2005. Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui Sistem
Wanatani Berbasis Karet. Makalah disampaikan pada Forum Diskusi
Multipihak Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten Bungo. Bappeda
Bungo, Muara Bungo, Indonesia.
BAGIAN 3-5
Pengayaan Jenis Wanatani Karet
dengan Meranti

Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan Laxman Joshi
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 223
Laxman Joshi

Laju deforestasi1 di Indonesia sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian


dunia internasional. Konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan sektor
lain seperti perkebunan dan transmigrasi, penebangan liar, dan perambahan
hutan, serta kebakaran hutan telah menjadi penyebab deforestasi. Akibatnya, luas
hutan di Kabupaten Bungo berkurang hingga 47% selama 3 dasawarsa terakhir.
Berdasarkan penafsiran citra Landsat ETM 2002, hutan yang tersisa seluas 28,6%
dari total luas Kabupaten Bungo; sedangkan lahan kebun karet (monokultur)
seluas 26,3%, kebun karet campur 12%, dan perkebunan kelapa sawit 12,9%
(Ekadinata, pers. comm.). Pada Gambar 28 disajikan peta pemanfaatan kebun
karet campur dan hutan di Kabupaten Bungo berdasarkan penafsiran citra Landsat
ETM pada 2002.

Gambar 28. Peta pemanfaatan lahan kebun karet campur di Kabupaten Bungo tahun 2002

Kabupaten Bungo terletak pada posisi geografis 1o08’-1o55’ LS dan 101o27’-102o30’


BT. Topografi Kabupaten Bungo bervariasi, yaitu berbukit di sebelah barat daya,
daerah kaki Gunung Kerinci, hingga sebagian besar dataran rendah dengan
ketinggian kurang dari 499 meter dpl (BPS Bungo, 2003).

1 Deforestasi adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi bukan hutan, seperti lahan pertanian, pemukiman, logged area (bekas tebangan) dan
lahan terlantar (Sucof, 2003).
224 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Dataran rendah dan sepanjang aliran Sungai Batang Bungo dan Batang Tebo,
merupakan kawasan kebun karet yang telah ditanam oleh masyarakat Bungo
sejak awal abad 20-an. Karet menjadi sumber pendapatan utama bagi petani di
Kabupaten Bungo (Wibawa et al., 2005). Kebun karet campur merupakan sistem
wanatani kompleks, yaitu karet sebagai tanaman pokok hidup berdampingan
dengan pohon-pohon lain yang dibiarkan tumbuh secara alami sehingga
membentuk komposisi jenis multistrata dan keragaman jenis yang tinggi. Wanatani
karet juga menjaga keragaman jenis flora yang hidup di dalamnya (Gouyon et al.,
1993). Pada sistem ini, karet lokal ditanam dengan sistem sisipan, yaitu menanam
bibit stump karet lokal di celah-celah kebun. Pemeliharaan kebun dilakukan secara
ekstensif sehingga memungkinkan jenis-jenis tumbuhan lainnya tetap terpelihara
(Joshi et al., 2002).

Menilik luasan hutan alam yang semakin menurun dari tahun ke tahun, sementara
luasan kebun karet relatif stabil, maka kebun karet campur dengan pola penanaman
dan pengelolaan tradisional, dinilai dapat menjadi alternatif pelestarian lingkungan.
Wanatani karet memiliki komposisi jenis seperti hutan sekunder, sifat hidro-
orologi2 yang baik, mampu mencegah erosi serta mempertahankan keragaman
hayati (de Foresta dan Michon, 1994; Joshi et al., 2002).

Pengelolaan wanatani karet yang dilakukan secara lestari diharapkan memberikan


prospek yang baik untuk pengembangan hutan di masa depan. Untuk memperoleh
keuntungan ganda, baik kayu di masa datang dan hasil getah karet sebagai
pendapatan utama, menanam pohon penghasil kayu di kebun karet dengan cara
tumpangsari menjadi alternatif dalam pembangunan wanatani karet.

Makalah ini merupakan hasil percobaan pengayaan jenis di kebun karet dengan
meranti (Shorea spp.) di Kabupaten Bungo dan Tebo. Ini adalah bagian dari upaya
kecil dalam pembangunan usaha kayu rakyat (timber smallholder), dan bertujuan
untuk memaparkan peluang menanam meranti di kebun karet.

KEBERADAAN JENIS DIPTEROKARPA DI


WANATANI KARET
Kegiatan pengayaan jenis di kebun karet dengan meranti diawali dengan
penyediaan bibit meranti secara berkesinambungan. Bibit meranti dapat diperoleh
di hutan alam yang memiliki pohon induk meranti. Penelitian yang dilakukan di

2 Hidro-orologi adalah kemampuan lahan menangkap dan menahan air hujan (Soemarwoto, 1992).
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 225
Laxman Joshi

tujuh lokasi di Kabupaten Bungo dan Tebo, Provinsi Jambi mendapatkan 24 jenis
anakan Dipterokarpa (tinggi ≥1 m dengan diameter ≤3 cm) beregenerasi di hutan
yang lokasinya berdekatan dengan wanatani karet. Berdasarkan kelimpahan jenis,
anakan Dipterokarpa termasuk urutan keempat paling melimpah dari 68 famili
lainnya. Pada tingkat marga, anakan Shorea adalah urutan kelima paling melimpah.
Sedangkan pada tingkat jenis, anakan merawan (Hopea nigra) dan meranti kalip
(Shorea parvifolia) adalah urutan kesembilan dan ke-13 paling melimpah yang
terdapat di hutan.

Di dalam wanatani karet ditemukan sebanyak 10 jenis anakan Dipterokarpa.


Kelimpahannya tidak sebanyak di hutan, yaitu hanya urutan ke-41 di antara 72
famili lainnya dengan jumlah individu sebanyak 68 jenis. Dua jenis di antaranya,
Tebalun (Parashorea aptera dan P. lucida), termasuk dalam kategori kritis menurut
kriteria IUCN/SSC sedangkan satu jenis yaitu mersawa (Anisoptera laevis)
termasuk kategori genting (Rasnovi, 2006).

Adapun pohon induk Dipterokarpa (diameter setinggi dada >20cm) di Kabupaten


Bungo hanya dijumpai pada plot hutan, tetapi tidak pada plot wanatani karet. Pada
plot hutan dengan luas total 0,32 ha dijumpai tiga jenis Shorea, yaitu meranti kalip
(S. parvifolia), meranti batu (S. leprosula) dan S. ovalis. Jenis-jenis Dipterokarpa
tingkat sapihan (tinggi >1.5 m, diameter setinggi dada <10 cm), hanya dijumpai
di kebun karet campur (luas total 0,08 ha) yaitu jenis Mersawa (A. costata) dan
Meranti batu (S. leprosula). Dari informasi ini diketahui bahwa keberadaan jenis
Dipterokarpa yang tumbuh alami di hutan maupun di kebun karet campur di
Kabupaten Bungo, relatif rendah. Selain itu, informasi fenologi (masa berbunga
dan berbuah) jenis-jenis Dipterokarpa sangat terbatas, sehingga menjadi tantangan
bagi pengembangan perbanyakan meranti di Kabupaten Bungo.

MOTIVASI PETANI KARET MENANAM KAYU DI


WANATANI KARET
Petani karet pada umumnya memahami bahwa ketersediaan kayu di masa depan
semakin terbatas. Dari hasil wawancara, semua responden (petani karet) setuju
menanam kayu harus dilakukan sejak dini untuk kebutuhan di masa datang.
Apalagi kayu meranti telah dikenal memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Jumlah petani karet di Kabupaten Bungo yang memiliki pengalaman menanam


kayu di kebun karet masih sangat rendah. Hanya 12,5% responden yang sudah
menanam pohon kayu yaitu jati (Tectona grandis) di kebun karetnya dan tumbuh
226 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dengan baik. Sebagian besar petani belum pernah menanam jenis-jenis pohon
kayu. Beberapa alasan tidak menanam jenis pohon kayu adalah disebabkan karena
biaya bibit yang relatif mahal dan minimnya informasi teknis (62,5%), masih dapat
dengan mudah menjumpai pohon kayu karena dekat dengan hutan (12,5%) serta
alasan pohon kayu akan mengganggu pertumbuhan karet dan produksi getah
(12,5%). Informasi teknis itu mencakup informasi mengenai jenis-jenis pohon
kayu serta aspek budidaya jenis-jenis pohon kayu, serta informasi penangkar bibit
jenis-jenis pohon kayu. Hal senada juga dikemukakan oleh Rossi (2004), petani
yang berkeinginan untuk menanam kayu namun terhambat oleh kelangkaan
informasi dan plot demonstrasi yang menjadi contoh bagi petani.

Kotak 1. Dipterocarpaceae

Dipterocarpaceae (Di = dua; ptero = sayap) atau Dipterokarpa adalah marga


(mengacu kepada family) pohon tingkat tinggi yang memiliki buah bersayap
dua sampai lima helai. Beberapa genera (mengacu kepada genus) yang termasuk
Dipterocarpaceae adalah Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, Anisoptera, Vatica,
Parashorea, Hopea dan Cotylelobium merupakan genera penghasil kayu komersial
(Ashton, 1982) yang dikenal dalam nama lokal secara berturut-turut sebagai meranti
dan balau, kruing, kapur, mersawa, merawan, tebalun dan resak. Jenis Dipterokarpa
merupakan jenis yang mendominasi kanopi hutan tropika basah dengan tinggi
batang yang menjulang. Pada saat anakan, jenis-jenis Dipterokarpa adalah jenis
yang butuh naungan, namun ketika terbentuk celah, anakan Dipterokarpa akan
tumbuh dengan cepat. Saat mencapai usia dewasa, jenis-jenis Dipterokarpa
memiliki masa berbunga dan berbuah yang bervariasi antara satu hingga enam
tahun. Beberapa jenis Shorea, dan Hopea odorata di Bogor dilaporkan berbunga
setiap tahun, namun jenis S. leprosula berbunga setiap empat tahun bahkan lebih.
Biji Dipterokarpa merupakan benih rekalsitran, yaitu benih yang cepat kehilangan
viabilitasnya, atau daya kecambahnya menurun dengan cepat. Perbanyakan jenis-
jenis Dipterokarpa umumnya dilakukan dari bijinya dan dari anakan alam. Karena
keterbatasan musim berbuah, perbanyakan secara vegetatif atau stek pucuk dapat
menjadi alternatif dalam penyediaan bibit Dipterokarpa.

Semua responden yang terlibat dalam kegiatan percobaan pengayaan jenis


termotivasi karena meranti merupakan jenis kayu bernilai ekonomi tinggi serta
bibit meranti yang disediakan secara cuma-cuma. Dengan berkolaborasi dalam
percobaan ini, petani berharap untuk memperoleh tambahan pendapatan dan
tabungan di masa depan untuk keperluan anak cucu. Selain itu ada petani (25%)
yang berharap menjadi percontohan bagi petani lain karena meranti masih jarang
ditanam di kebun karet.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 227
Laxman Joshi

Pada sistem wanatani, karet yang menghasilkan getah berfungsi sebagai sumber
pendapatan utama, sedangkan pohon-pohon penghasil kayu berperan sebagai
tabungan untuk dimanfaatkan di masa depan. Kayu yang dihasilkan dari kebun
wanatani pada umumnya kurang berperan penting sebagai sumber pendapatan
masyarakat, meskipun keuntungan tak langsung dari pohon-pohon, yang berupa
jasa lingkungan, dapat mendorong peningkatan produksi kebun (Pasiecznik,
2006).

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lebih tertarik terhadap jenis-jenis


penghasil bukan kayu, seperti getah, damar, kemenyan dan rotan karena ekstraksi
atau pemanenan hasil jenis-jenis penghasil bukan kayu bersifat ramah lingkungan
dan tidak merusak pohon (Michon, 2005). Sebaliknya untuk hasil hutan kayu,
pohon harus ditebang dalam pemanenan. Selain itu, praktek pengelolaan,
peraturan dan kebijakan serta pemasaran jenis-jenis penghasil kayu berbeda dengan
penghasil bukan kayu. Kayu yang dipanen dari hutan yang dikelola oleh petani
pada umumnya digunakan untuk keperluan keluarga. Kayu yang dijual ke sawmill
atau depot kayu lokal dikenakan harga yang lebih rendah dari harga nasional,
namun demikian pemasaran kayu diakui dapat meningkatkan pendapatan petani
(Michon, 2005).

PERSIAPAN LAHAN WANATANI KARET


Petani melakukan seleksi pohon yang tumbuh di areal yang akan dibuka, sejak
awal pembangunan kebun karet. Pada saat membuka lahan (baik dari hutan,
wanatani karet tua, maupun sesap) dengan cara tebas bakar, pada umumnya
petani membakar pohon-pohon berdiameter besar yang tidak dapat diangkut
keluar, walaupun kayu tersebut bernilai ekonomi, karena alasan biaya ekstraksi
atau pemanenan yang tinggi (meliputi ongkos angkut, upah tenaga kerja, dan
sewa gergaji rantai). Petani hanya mengambil kayu yang mereka butuhkan untuk
keperluan sendiri untuk membangun rumah.

Dari hasil observasi di dua lokasi, jenis-jenis pohon kayu yang dimanfaatkan antara
lain kayu petaling (Ochanotachys amentacea), kulim (Scorodocarpus borneensis),
kayu kelat (Syzygium sp.), medang (Litsea spp.) dan meranti (Shorea spp.).
Namun tidak sedikit jenis-jenis bernilai yang tetap ditinggal dan dibakar pada saat
membuka lahan. Ketterings et al.. (1999) mengemukakan, sebagian besar petani
tidak lagi menjual kayu hasil pembukaan lahan karena alasan tingginya biaya
investasi. Walaupun dengan hanya menjual kayu karet, petani dapat menutup
seluruh biaya pembukaan lahan dan penanaman.
228 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Setelah membuka ladang dan menanam padi gogo, secara sengaja maupun
tidak sengaja petani menanam pohon-pohon buah, seperti petai dan jengkol.
Melimpahnya jenis yang tumbuh di kebun karet, diduga disebarkan oleh binatang
(babi hutan, simpai, burung, kelelawar, dan lain-lain) serta angin. Pohon yang
tumbuh ini selanjutnya dibiarkan tumbuh di kebunnya. Pengelolaan kebun karet
tradisional dengan intensitas penyiangan yang rendah menyebabkan berbagai
jenis pohon dapat tumbuh secara alami. Jenis-jenis pohon penghasil bukan
kayu umumnya lebih disukai petani dibandingkan jenis penghasil kayu, karena
produknya dapat dipanen setiap saat serta proses pemanenan yang lebih mudah
dibandingkan dengan memanen kayu. Jenis-jenis pohon bernilai ekonomi yang
ditanam maupun dibiarkan tumbuh alami di kebun karet, disajikan pada Tabel
19.

Tabel 19. Jenis-jenis komersial bukan karet yang ditanam dan tumbuh alami di kebun karet

Umur kebun Jumlah Jenis yang Jenis yang Jenis kayu yang
karet (tahun) responden ditanam tumbuh alami ingin ditanam
1-2 3 cempedak (2), petai (1), kulim mahoni (1), Jati (1)
jengkol (2), (1), petaling
nangka (1), (1), kabau (1),
durian (1) medang kuning
(1)
5 4 jengkol (3), pulai (1), medang sengon (2),
kopi (1), petai labu (1) mahoni (2), jati (1)
(1), kulit manis
(1)
>10 1 cempedak, petaling, jati, mahoni
durian medang labu,
pulai, jelutung
Keterangan: angka didalam tanda kurung (.) menunjukkan jumlah responden yang memberikan
keterangan

Pada Tabel 19 terlihat petani sangat berminat menanam jenis mahoni, jati dan
sengon, karena ketiga jenis tersebut cepat tumbuh dan harga kayu baik di pasaran.
Dengan menanam kayu yang cepat tumbuh, petani berharap untuk dapat meraih
keuntungan dari kayu yang ditanamnya dengan cepat. Tidak satupun responden
menyatakan berminat menanam meranti, walaupun meranti merupakan jenis
lokal di Kabupaten Bungo. Rossi (2004) mengemukakan meranti kurang diminati
karena menurut sebagian besar responden bibit meranti masih dapat mereka
jumpai di kebun karet tua, sehingga tidak perlu membeli.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 229
Laxman Joshi

PENANAMAN MERANTI DI WANATANI KARET

Lokasi Penanaman
Percobaan pengayaan jenis di kebun karet dengan meranti melibatkan delapan
orang petani, yang lahannya terpilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya, yaitu serangkaian umur kebun karet yang dibuka dari hutan dan kebun
karet tua. Survei awal dilakukan ke calon lokasi kegiatan dengan merekam posisi
geografis menggunakan GPS, selanjutnya dilakukan pengecekan silang terhadap
peta pemanfaatan lahan Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo berdasarkan hasil
penafsiran citra Landsat ETM yang tersedia di ICRAF-SEA.

Kebun karet terpilih terletak di enam desa yang tersebar di dua Kabupaten, yaitu
di Desa Sungai Alai, Kecamatan Tebo Tengah, Kabupaten Tebo Tengah (empat
petani), dan di Kabupaten Bungo, yaitu Desa Sepunggur, Kecamatan Bathin
II Babeko (satu petani), serta Desa Muara Kuamang, Desa Danau, dan Desa
Kotojayo, Kecamatan Pelepat Ilir (tiga petani). Plot hutan berlokasi di hutan
pendidikan Wanagama, Kabupaten Tebo.

Persiapan Bibit dan Tanam


Persiapan penanaman dilakukan pada akhir 2004, bukan saat musim raya
berbuah (mass fruiting) bagi jenis-jenis Dipterokarpa yang tumbuh di daerah
Bungo dan Tebo, walaupun teramati ada dua jenis Dipterokarpa yang sedang
berbuah di Bungo dan Tebo. Oleh karena itu, benih yang digunakan berasal dari
Arboretum Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3H&KA) Bogor, meliputi
dua jenis meranti merah dan meranti putih (berturut-turut untuk S. selanica dan
S. lamellata). Benih disemai pada media tabur yang telah disterilkan. Bibit yang
telah berkecambah disapih ke dalam polybag dan diinokulasi jamur ektomikoriza
(lihat Kotak 2). Jamur ektomikoriza diinokulasi dengan cara memberikan spora
atau bagian tubuh buah jamur ke dalam media sapih dalam polybag, dekat dengan
akar tanaman. Sebagai perbandingan, sebagian bibit tidak diinokulasi dengan
ektomikoriza. Bibit dipelihara di persemaian di Desa Babeko hingga berumur tiga
bulan.

Pembersihan jalur tanam dilakukan dengan cara tebas jalur. Meranti ditanam
dengan sistem jalur yang menyisip di antara jalur tanam karet, dengan jarak tanam
dalam jalur tiga meter dan jarak antar meranti adalah lima hingga enam meter.
230 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sampai dengan satu bulan setelah tanam, dilakukan penyulaman terhadap bibit
yang mati. Pada saat pengamatan pertumbuhan dilakukan pula penyiangan gulma
dengan sistem piringan.

Kotak 2. Mikoriza

Istilah mikoriza (mycorrhiza) dikemukakan pertama kali oleh A.B. Frank pada tahun
1885. Mikoriza adalah asosiasi antara jamur (mykes = miko = jamur), dengan akar
(rhiza = riza = akar) pohon tingkat tinggi. Hubungan antara jamur dan akar pohon
tersebut bersifat saling menguntungkan (mutualisme), yaitu jamur membantu
penyerapan unsur hara (terutama fosfor) dan air dari dalam tanah, sebaliknya pohon
inang menyediakan sumber karbon hasil fotosintesa untuk jamur (Harley, 1972).
Ektomikoriza merupakan bentuk khas hubungan jamur dari kelas Basidiomycetes
dan Ascomycetes, dengan pohon dari marga Dipterocarpaceae, Pinaceae (pinus),
Fagaceae (mempening), Casuarinaceae (cemara laut), dan beberapa jenis Myrtaceae
(ekaliptus) (Brundrett et al., 1996). Ektomikoriza dapat dikenali dengan mudah dari
akar pohon inang yang terinokulasi jamur, yaitu terbentuknya mantel jamur yang
menyelubungi akar, berwarna putih, kuning, coklat atau hitam.

Pertumbuhan Awal Meranti di Kebun Karet


Pertumbuhan awal dua jenis meranti, S. lamellata (L) dan S. selanica (S),
menunjukkan keduanya dapat tumbuh baik di kebun karet (Gambar 29).
Persentase tumbuh kedua jenis Shorea paling tinggi di kebun karet umur >10
tahun, sedangkan persentase terendah di kebun karet umur satu tahun yang
dibuka dari hutan. Kedua jenis Shorea yang ditanam di kebun karet umur satu
tahun (asal dari hutan) memiliki persentase hidup terendah (Gambar 30).

Sebaliknya, pada kebun karet umur satu tahun yang dibuka dari kebun wanatani
karet memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan kedua jenis
Shorea. Di lokasi ini, padi yang ditanam setelah pembukaan lahan masih tetap
dibiarkan tumbuh menjadi semak hingga lebih satu tahun. Hal ini diduga
menyebabkan serangan hama babi sangat rendah. Pemberian pupuk pada pohon
meranti, dapat mempengaruhi pertumbuhan meranti. Sementara di lokasi lain,
pemupukan bukan perlakuan yang diberikan kepada pohon meranti.

Bibit meranti yang mati di kebun karet disebabkan karena serangan hama babi.
Walaupun babi tidak memakan bibit meranti, namun babi tetap menggali tanah
di sekitar bibit meranti. Ini perilaku alami babi dalam upaya mencari makanan
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 231
Laxman Joshi

(Sibuea dan Tular, 2000). Dari


hasil pengamatan kerusakan
bibit banyak disebabkan karena
aktivitas drawning (mencabut
tanaman) dan digging (menggali
tanah), sehingga bibit tercabut
dari tanah dan patah. Serangan
babi banyak terjadi di kebun
karet yang terbuka, dan jalur
tanam bersih. Sebaliknya di
jalur tanam yang rimbun oleh
semak, serangan hama babi
kurang, bahkan di plot hutan
sama sekali tidak ada serangan
babi hutan. Namun di lain sisi,
© Hesti Tata

kebun karet yang rapat dengan


liana dan jenis-jenis pemanjat
(contohnya kirinyuh atau
Meranti di kebun karet umur 1 tahun yang dibuka Mikania) dapat mengganggu
dari kebun karet tua, Desa Koto Jayo, Kecamatan
Pelepat Ilir, pada kondisi plot 1 tahun setelah
pertumbuhan meranti. Pada
penanaman meranti kebun karet muda (umur
satu hingga dua tahun),
kerapatan semak relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan kondisi semak di kebun karet umur lima dan >10
tahun. Lantai kebun karet muda menerima cahaya matahari yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kebun yang lebih tua, karena tajuk yang terbuka, sehingga
memicu pertumbuhan liana dan pemanjat yang bersifat mencari cahaya (light
demanding).

Perlakuan inokulasi tablet spora mikoriza berpengaruh terhadap pertumbuhan


tinggi bibit kedua jenis Shorea. Pertumbuhan terbaik pada meranti yang ditanam
di kebun karet umur satu tahun yang berasal dari RAF (Gambar 29). Sebaliknya,
kedua jenis Shorea yang ditanam di hutan, baik diinokulasi maupun tidak
diinokulasi mikoriza, memiliki pertumbuhan yang paling lambat. Hal ini diduga
disebabkan oleh tajuk hutan yang sangat rapat, sehingga intensitas cahaya matahari
yang masuk ke lantai hutan sangat rendah. Walaupun Shorea merupakan jenis
yang tahan naungan, namun tetap memerlukan intensitas cahaya matahari yang
cukup untuk pertumbuhannya. Pada kebun karet umur >10 tahun, pertumbuhan
tinggi tanaman S. selanica dan S. lamellata lebih rendah dibandingkan dengan di
kebun karet umur satu dan lima tahun. Intensitas penutupan tajuk di kebun karet
232 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

>10 tahun, lebih rapat dibandingkan dengan kebun muda (umur satu dan lima
tahun).

120.00

100.00
Persentase hidup (%)

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
RAF_1 RAF_5 Hutan_1 Hutan_5 Hutan_>10 Hutan

Asal kebun karet

LO L1 S0 S1

Gambar 29. Persentase hidup S. lamellata (L) dan S. selanica (S) umur satu tahun setelah
tanam yang diinokulasi mikoriza (1) dan tidak dinokulasi (0) di kebun karet umur 1, 5 dan >10
tahun yang dibuka dari hutan dan kebun karet campur (Rubber Agroforest atau RAF)

90.00

80.00

70.00
Tinggi tanaman (cm)

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
RAF_1 RAF_5 Hutan_1 Hutan_5 Hutan_>10 Hutan

Asal kebun karet

LO L1 S0 S1

Gambar 30. Pertumbuhan tinggi S. lamellata (L) dan S. selanica (L) umur satu tahun setelah
tanam yang diinokulasi mikoriza (1) dan tidak dinokulasi (0) di kebun karet umur 1, 5 dan >10
tahun yang dibuka dari hutan (H) dan wanatani karet (RAF)
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 233
Laxman Joshi

Pada semua plot, pertumbuhan tinggi S. lamellata yang diinokulasi mikoriza


memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada S. lamellata yang tidak diinokulasi
mikoriza. Demikian pula dengan S. selanica, kecuali pada plot kebun karet campur
(RAF) 5, S. selanica yang tidak diinokulasi mikoriza pertumbuhan tingginya lebih
baik daripada yang diinokulasi. Ini mendukung berbagai studi pengaruh inokulasi
cendawan mikoriza kepada jenis-jenis meranti pada umumnya memberikan
pengaruh positif terhadap pertumbuhan awal meranti, baik di persemaian maupun
setelah ditanam di lapangan (Supriyanto et al., 1993; Smits, 1994; Aggangan et
al., 1998; Turjaman et al., 2005). Tetapi beberapa laporan mengemukakan bahwa
inokulasi ektomikoriza menghambat pertumbuhan tanaman (Colpaert et al., 1992;
Eltrop dan Marschner, 1996). Oleh karena itu perlu diperhatikan, pertumbuhan
tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luar (berupa pemberian pupuk atau
inokulasi mikoriza), tetapi juga memperhatikan tahap perkembangan pohon itu
sendiri, baik umur maupun status nutrisinya (Corrêa et al., 2006).

TANTANGAN PENGAYAAN JENIS WANATANI


KARET DENGAN MERANTI
Ada dua tantangan pengayaan jenis wanatani karet dengan meranti: tantangan
teknis dan non teknis. Faktor teknis meliputi terbatasnya ketersediaan bibit
meranti dan serangan hama babi, serta terbatasnya informasi pengenalan jenis,
budidaya meranti di kebun karet (meliputi teknik penanaman dan pemeliharaan)
dan pemanenan kayu. Faktor non-teknis meliputi kebijakan pemerintah dan
perundang-undangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan kayu dari kebun
campuran milik rakyat.

Meranti dapat ditanam di kebun karet dengan sistem wanatani yang ditanam di
antara pohon karet dengan memperhatikan aspek budidaya meranti dan karet.
Persaingan dalam penyerapan hara dan cahaya matahari antara tanaman pokok
karet dengan meranti dapat diatasi dengan mengetahui informasi teknis budidaya
kedua jenis. Pohon meranti memiliki model tajuk seperti mahkota (crown canopy),
sehingga tajuknya tidak akan menaungi pohon karet. Jika dibandingkan dengan
pohon mahoni yang memiliki model tajuk seperti payung, jenis mahoni dan karet
akan bersaing dalam mencari cahaya matahari. Persaingan penyerapan hara antara
meranti dengan karet dapat diatasi dengan mengatur jarak tanam yang sesuai.

Dalam budidaya meranti, jarak tanam awal yang umum diterapkan dengan jarak
3 x 3 m atau 2 x 3 m, yang bertujuan untuk membentuk batang pohon yang lurus.
Selanjutnya pada tahun kelima, dilakukan penjarangan pohon untuk mengurangi
234 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

persaingan penyerapan hara, sehingga pohon meranti terpacu untuk meningkatkan


pertumbuhan diameter batang. Pada kebun karet campur dengan meranti, jarak
tanam meranti dapat diatur sejak awal penanaman meranti, sehingga penjarangan
pada tahun kelima tidak perlu dilakukan. Dengan laju pertumbuhan diameter
meranti sebesar 1,8-2 cm/tahun, diharapkan kayu meranti dapat dipanen pada
umur 20-25 tahun.

Penyediaan bibit meranti merupakan tantangan sekaligus peluang bagi petani


untuk mengembangkan usaha perbanyakan bibit meranti secara vegetatif. Sumber
anakan meranti yang dijumpai di alam dapat diperbanyak melalui teknik stek
pucuk. Dengan bekerja sama dengan perguruan tinggi6 dan lembaga penelitian,
teknik perbanyakan tersebut dapat dipelajari dan diterapkan secara luas.

Berbagai faktor perlu dipertimbangkan oleh masyarakat dalam membangun


kebun wanatani berbasis karet dengan jenis-jenis penghasil kayu sebagai alternatif
penyedia kayu di masa depan. Berdasarkan aspek-aspek yang telah dijabarkan di
muka, mata rantai yang berkaitan dalam pembangunan wanatani karet dan jenis-
jenis penghasil kayu yaitu:
(i) Aspek budidaya pohon jenis-jenis penghasil kayu (dalam hal ini meranti)
yang meliputi: ketersediaan anakan yang tumbuh alami di kebun karet atau
kemudahan memperoleh bibit siap tanam, serta teknik penanaman dan
pemeliharaan pohon.
(ii) Perlindungan pohon terhadap serangan hama (ulat, serangga, simpai dan
babi) dan gangguan gulma (berupa liana dan pemanjat).
(iii) Manajemen kebun karet campur, yaitu meliputi sistem pengelolaan pohon
kayu di wanatani karet agar pohon kayu dapat tumbuh optimal hingga masak
tebang. Teknik pemanenan di kebun karet campur perlu diperhatikan untuk
meminimalkan dampak kerusakan akibat penebangan.
(iv) Kebijaksanaan pemerintah (tingkat pusat maupun daerah) dalam perundang-
undangan dan peraturan mengenai hak pemanfaatan kayu, pemanenan dan
Perdagangan kayu dari hasil pengayaan jenis di kebun milik petani.

Keterbatasan informasi yang disajikan dalam makalah ini adalah karena aspek yang
diteliti hanya satu bagian dari beberapa faktor yang terkait dalam pembangunan
usaha kayu rakyat. Untuk meningkatkan usaha kayu rakyat, diharapkan peran
lembaga penelitian (misalnya ICRAF-SEA dan P3H&KA) untuk menyediakan
informasi yang relevan guna mendukung praktek wanatani serta memberikan
teladan ilmiah bagi masyarakat petani, dengan mengkonversi hasil-hasil penelitian
ke arah pengembangan yang dapat diterapkan masyarakat luas.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 235
Laxman Joshi

Penyebarluasan informasi maupun alih teknologi dari lembaga penelitian kepada


masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam
menanam kayu, terutama meranti di kebun karet, dalam rangka membangun
usaha kayu rakyat.

KESIMPULAN
Pengalaman menanam meranti di kebun dapat menjadi pembelajaran bagi petani
karet dalam memperkaya jenis di areal kebun karetnya. Meranti dapat ditanam di
kebun karet dengan sistem wanatani, dengan memperhatikan aspek budidayanya.
Kematian meranti disebabkan oleh serangan hama babi. Pertumbuhan meranti
tercepat dijumpai pada umur kebun karet satu tahun. Inokulasi mikroba simbion
ektomikoriza memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tinggi
S. selanica dan S. lamellata umur satu tahun, tetapi tidak berkorelasi dengan
persentase hidup.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini didukung oleh NUFFIC-NFP Ph.D. scholarship dan ICRAF-SEA.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ratna Akiefnawati atas fasilitasi
penelitian dan Yatni atas bantuan dalam pengumpulan data di lapangan, serta
para petani yang bekerja sama dalam penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Aggangan N.S., Pollisco M.A.T., Iringan, D.S., Gilbero, D.M., Gilbero, J.S. dan
Bruzon, J.B.. 1998. Field Performance of Shorea contorta vid. Inoculated
with Eucalypt Ectomycorrhizal Fungi in Logged-over Dipterocarp Forest
in Surigao, Philippines. Mycorrhiza 7: 63-81.
Ashton, M.S. 1998. Seedling Ecology of the Mixed-Dipterocarp Forest. Dalam:
Appanah, S. dan Turnbull, J.M. (ed) A Review of Dipterocarps:
Taxonomy, Ecology and Silviculture. CIFOR and FRIM. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Ashton, P.S. 1982. Dipterocarpaceae. Flora Malesiana 1(9):237-552.
BPS Bungo. 2003. Bungo dalam Angka. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Bungo, kerjasama dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
236 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, dan N. Malajczuk. 1996. Working
with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Australian Centre for
International Agricultural Research. Canberra, 374 hlm.
Colpaert, J.V., van Assche, J.A. dan Luijtens, K. 1992. The Growth of the
Extramatrical Mycelium of Ectomycorrhizal Fungi and the Growth
Response of Pinus sylvestris L. New Phytologist 120:127-135.
Corrêa, A., Strasser, R.J. dan Martins-Laução, M.A. 2006. Are Mycorrhiza Always
Beneficial? Plant and Soil 279:65-73.
de Foresta, H. dan Michon, G. 1994. Orstom-Biotrop Cooperation Final Report
(September 1989 - June 1994). Orstom, Bogor, Indonesia.
Eltrop, L. dan Marschner, H. 1996. Growth and Mineral Nutrition of Non-
mycorrhizal and Mycorrhizal Norway Spruce (Picea abies) Seedlings
Grown in Semi-hidroponic Sand Culture. I. Growth and Mineral
Nutrient Uptake in Plant Supplied with Different Forms of Nitrogen.
New Phytologist 133:469-478.
FWI. 2006. Statistik Kehutanan: Permintaan Kayu Provinsi. http://fwi.or.id/index.
php?lang=ina&link=statistik [diakses 10/04/2006]
FWI. 2006. Statistik Kehutanan: Produksi Kayu Propinsi 1995-2001. http://fwi.
or.id/index.php?lang=ina&link=statistik [diakses 10/04/2006].
Gouyon, A., de Foresta, H. dan Levang, P. 1993. Does ‘Junggle Rubber’ Deserve
its Name? An analysis of Rubber Agroforestry System in Southeast Asia.
Agroforestry System 22:181-206
Harley, J.L. 1972. The Biology of Mycorrhiza. Edisi ke-2. Leonard Hill-Books,
London, Inggris.
Joshi, L., Wibawa, G., Vincent, G., Boutin, D., Akiefnawati, R., Manurung, G.,
van Noordwijk, M. dan Williams, S. 2002. Jungle Rubber: a Traditional
Agroforestry System Under Pressure. ICRAF – the World Agroforestry
Centre, Bogor, Indonesia.
Ketterings, Q.M., Wibowo, T.T., van Noordwijk, M. dan Penot, E. 1999. Farmer’s
Perspectives on Slash-and-Burn as a Land Clearing Methods for Small-
Scale Rubber Producers in Sepunggur, Jambi Province, Sumatera,
Indonesia. Forest Ecology and Management 120:15-169.
Kompas. 2006. Hutan Jambi Tinggal 500.000 ha. Edisi Selasa, 24/01/2006.
Kuncoro, S.A., van Noordwijk, M., Martini, E., Saipothong, P., Areskoug, V.,
Putra, A.E. dan O’Connor, T. 2005. Rapid Agrobiodiversity Appraisal
(RABA) in the Context of Environmental Services Rewards: Protocols
for Data Collection and Case Studies in Rubber Agroforests in Bungo
District, Jambi, Indonesia and Fragmented Forest in Northern Thailand
(draft final). The World Agroforestry Centre, Bogor, Indonesia.
BAGIAN 3-5 • Hesti Tata, Meine van Noordwijk, Saida Rasnovi dan 237
Laxman Joshi

Lee, S.S. 1998. Root Symbiosis and Nutrition. Dalam: Appanah, S. dan Turnbull ,
J.M. (ed). A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Silviculture:
99-114. CIFOR and FRIM. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Michon, G. 2005. Domesticating Forests: How Farmers Manage Forest Resources.
CIFOR-ICRAF, Bogor, Indonesia.
Rasnovi, S., 2006. Regenerasi Anakan Tumbuhan Berkayu pada Agroforest
Karet. Disertasi Program Studi Kehutanan. Sekolah Pascasarjana IPB,
Bogor, Indonesia.
Rossi, X. 2004. Intensification of Timber Production in Traditional Rubber
Agroforest Systems. Preliminary Report. Mastère de Foresterie Rurale et
Tropicale. (tidak dipublikasikan).
Sibuea, T.T.H dan Tular, B.B. 2000. Ekologi Babi Hutan dan Hubungannya dengan
Sistem Agroforest Karet Tradisional di Propinsi Jambi, Sumatera. ICRAF-
SEA, Bogor dan University of Wales, Bangor. (tidak dipublikasikan).
Smits, W.T.M. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhiza and Regeneration. Tropenbos
Series 9. Tropenbos Foundation. Den Haag.
Soemarwoto, O. 1992. Peranan Hutan Tropik dalam Hidro-orologi, Pemanasan
Global dan Keanekaan Hayati. Dalam: Lubis, M. (ed.) Melestarikan
Hutan Tropika. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sucoff, E. 2003. Deforestation. Dalam: Environmental Encyclopedia. Gale,
Detroit.
Supriyanto, Setiawan, I. dan Omon, R.M. 1993. Effect of Scleroderma sp. on the
Growth of Shorea mecistopteryx Ridl. Seedlings. Dalam: Proceedings of
Yogyakarta Workshop, September 20-23, 1993. Yogyakarta:186-188.
Tompsett, P.B. 1998. Seed Physiology. Dalam: Appanah, S. dan Turnbull, J.M.
(ed). A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Silviculture:
57-72. CIFOR and FRIM. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Turjaman, M., Tamai, Y., Segah, H., Limin, S.H., Cha, J.Y., Osaki, M. dan Tawaraya,
K. 2005. Inoculation with the Ectomycorrhizal Fungi Pisolithus arhizus
and Scleroderma sp. Improves Early Growth of Shorea pinanga Nursery
Seedlings. New Forest 1:67-73.
WARSI. 2003. Kemampuan Bahan Baku dan Industri Kayu Tak Mungkin
Dipertahankan. Siaran pers WARSI, 4 Oktober 2003. http://www.warsi.
or.id/News/2003/News_200310_TemuNGO.htm [diakses 10/04/2006].
Whitmore, T.C. dan Tantra, I.G.M. 1986. Tree Flora of Indonesia Check List for
Sumatera. Forest Research and Development Centre, Bogor, Indonesia
Wibawa, G., Boutin, D. dan Budiman, A.F.S. 1999. Alternatif pengembangan
perkebunan karet rakyat dengan pola wanatani. Dalam: Drajat, B.,
Supriyadi, M., Gunawan, A., Fadjar, U. dan Nancy, C. (ed). Prosiding
Lokakarya dan Ekspose Teknologi Perkebunan. Palembang, 26-28
238 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Oktober 1999. Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sembawa dan


Asosiasi Penelitian Perkebunan, Sembawa, Indonesia.
Wibawa, G., Hendratno, S. dan van Noordwijk, M. 2005. Permanent Smallholder
Rubber Agroforestry Systems in Sumatera, Indonesia. Dalam: Palm, C.A.,
Vosti, S.A., Sanchez, P.A. dan Ericksen, P.J. (ed). Slash and Burn: The
Search for Alternatives. Columbia University Press, New York (USA):
222-232.
Pasiecznik, N. 2006. The Potential of Chainsaw Milling outside Forests. The
Overstory. 171. http:// www.agroforestry.net/pubs [diakses 28/04/2006].
BAGIAN 3-6
Keragaman Jenis Anakan Tumbuhan Berkayu
pada Wanatani Karet: Pengaruh Umur dan
Intensitas Manajemen

Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana dan


Soekisman Tjitrosemito
240 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indonesia, satu dari tujuh negara megadiversitas di dunia, memiliki tingkat


keragaman hayati yang tinggi: 11% jenis tumbuhan berbunga, 10% jenis mamalia,
16% jenis burung, 26% reptilia dan amfibia serta 25% jenis ikan laut dan air
tawar dari seluruh jenis yang ada di dunia (Kophalindo, 1995). Khusus untuk
Pulau Sumatera, terdapat 17 marga tumbuhan endemik (Whitten et al., 1987)
dan ribuan jenis yang non endemik. Di antara jenis tersebut terdapat 86 famili
yang terdiri dari 364 marga yang memiliki sekurang-kurangnya satu jenis pohon
yang berukuran besar dengan diameter ≥35 cm atau tinggi ≥20 m (Whitmore
dan Tantra, 1986). Kekayaan alam tersebut saat ini sedang menghadapi ancaman
kepunahan dengan berbagai sebab, baik pada tingkat lokal, regional maupun
global (Primack et al., 1998).

Salah satu faktor paling utama yang menyebabkan menyusutnya keragaman


hayati adalah karena hilangnya hutan tropis. Walaupun luas kawasan berhutan di
Indonesia pada 2005 adalah 93,92 juta ha yaitu nomor tiga terluas di dunia setelah
Brazil dan Zaire, namun laju pengurangannya saat ini sudah mencapai tingkat
yang mengkhawatirkan. Mulai sejak 1996 FWI/GFW (2002) memperkirakan laju
deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta ha/tahun. Wanatani karet adalah salah
satu bentuk agroekosistem berbasis karet. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa agroekosistem ini memiliki keragaman jenis liar baik tumbuhan maupun
hewan (Gouyon, et.al.,1993; Philippe, 2000; Beukema dan van Noordwijk, 2004;
Hendirman, 2005; Prasetyo, 2005). Vegetasi sistem ini cukup kompleks dan
biasanya disusun oleh tegakan pohon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) sebagai
komponen utama dan berbagai jenis liana, herba dan pohon, baik yang tidak
disengaja dipelihara maupun yang sengaja dipelihara untuk maksud tertentu sebagai
penghasil buah, kayu bakar
maupun papan. Manajemen
wanatani karet umumnya
tidak intensif dan memiliki
struktur serta formasi
tegakan yang mirip dengan
hutan alam. Agroekosistem
yang mampu memadukan
fungsi ekonomi dengan
konservasi secara harmonis
seperti wanatani karet, bagi
© Saida Rasnovi

negara berkembang seperti


Indonesia, di mana upaya
konservasi sering berhadapan
Kebun wanatani karet dengan masalah sosial dan
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 241
Soekisman Tjitrosemito

ekonomi, dapat menjadi salah satu alternatif untuk membantu menahan dan
menekan efek negatif hilangnya habitat akibat deforestasi yang disebabkan oleh
berbagai faktor dan aktor.

Tulisan ini merupakan ringkasan dari sebagian hasil penelitian yang bertujuan
untuk mengkaji potensi wanatani karet sebagai kawasan penampung dan
penyangga (buffer area) bagi jenis tumbuhan hutan. Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Bungo dan Tebo, Propinsi Jambi, Sumatera, di tujuh lokasi dalam tujuh
kecamatan yang berbeda. Ketujuh lokasi itu, Desa Muara Kuamang di Kecamatan
Pelepat, Desa Semambu di Kecamatan Sumay, Desa Rambah di Kecamatan Tanah
Tumbuh, Desa Rantau Pandan di Kecamatan Rantau Pandan, Desa Pulau Batu
di Kecamatan Jujuhan, Desa Sepunggur di Kecamatan Muara Bungo dan plot
permanen hutan BIOTROP di Pasir Mayang, Kecamatan VII Koto. Pada tulisan
ini pembahasan difokuskan pada kekayaan, keragaman, komposisi dan kesamaan
jenis anakan tumbuhan berkayu yang beregenerasi di wanatani karet dan hutan.
Selain itu juga dibahas pengaruh umur dan intensitas manajemen kebun terhadap
kekayaan, keragaman dan kesamaan jenis anakan tumbuhan berkayu yang
terdapat di wanatani karet dan hutan.

METODE PENGUMPULAN DATA

Survei Jenis Anakan


Survei jenis anakan dilakukan di wanatani karet dan hutan yang ada di sekitar
kebun wanatani karet. Untuk mengumpulkan data digunakan metode transek
yang dikombinasikan dengan sub-unit contoh berbentuk lingkaran. Besarnya
diameter sub-unit contoh adalah enam meter dan diletakkan di sepanjang garis
transek yang panjangnya 60 m. Anakan tumbuhan berkayu yang diambil sebagai
data adalah yang memiliki tinggi ≥1 m dan diameternya ≤3 cm, tidak termasuk
jenis liana. Jumlah minimal individu anakan selain karet untuk seluruh sub-
unit contoh pada satu transek yang sama adalah 200 anakan. Oleh karena itu,
jika dalam 10 sub-unit contoh tersebut belum mencapai jumlah minimal yang
ditetapkan, sub-unit contoh akan ditambahkan di sebelah kiri dan atau kanan
garis transek dengan jarak 10 m. Data yang didapatkan dari survei ini adalah jenis,
kelimpahan jenis serta indeks kekayaan dan keragaman jenis.
242 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Umur dan Intensitas Manajemen Kebun


Informasi umur kebun didapat dari hasil wawancara dengan petani pemilik dan
penyadap yang diperiksa silang dengan data dari citra satelit Landsat ETM dan
SPOT4 seri waktu 1973, 1988, 1993, 1999 dan 2000. Posisi geografi setiap plot
contoh direkam dengan GPS. Umur kebun dibagi menjadi empat kelas yaitu I
(<20 tahun), II (20-40 tahun), III (40-60 tahun) dan IV (>60 tahun).

Untuk manajemen kebun, intensitas pembersihan kebun (weeding) tidak


dimasukkan sebagai salah satu faktor dalam menentukan tingkat intensitas
manajemen. Hal ini karena umumnya petani menerapkan sistem tebas lorong1
untuk membersihkan wanatani karetnya. Kalaupun dilakukan penyiangan kebun
secara total, penyiangan tersebut dilakukan secara tidak teratur dan dalam selang
waktu yang lama sehingga petani tidak dapat memberikan jawaban yang pasti
saat diwawancarai. Oleh karena itu intensitas manajemen kebun ditentukan
hanya berdasarkan status sadapan dan kerapatan pohon karet/ha. Status sadapan
menggambarkan tingkat intensitas interaksi manusia dengan wanatani karet,
sedangkan proporsi pohon karet menggambarkan intensitas penggunaan lahan.
Ada tiga tingkat intensitas manajemen kebun, yaitu intensitas manajemen
tinggi (kebun disadap dan memiliki proporsi pohon karet >60%), manajemen
rendah (kebun disadap dan memiliki proporsi pohon karet ≤60%) dan tidak ada
manajemen (kebun sudah ditinggalkan dan tidak disadap lagi).

Komposisi, Kekayaan dan Keragaman Jenis Anakan


Tumbuhan Berkayu
Sebanyak 1.404 contoh spesimen anakan dikumpulkan dari 31 plot hutan dengan
luas total 0,88 ha. Dari spesimen tersebut diperoleh 646 jenis yang terdiri dari
68 famili dan 230 marga. Sedangkan di wanatani karet, sebanyak 2.108 contoh
spesimen anakan dikumpulkan dari 77 plot dengan luas total 2,35 ha dan
didapatkan 689 jenis anakan yang terdiri dari 72 famili dan 243 marga.

Tidak semua spesimen anakan tumbuhan berhasil diidentifikasi hingga ke tingkat


jenis. Hal ini terutama disebabkan spesimen anakan merupakan spesimen steril
yang hanya memiliki daun dan ranting saja, tidak ada organ bunga dan buah.
Padahal daun yang berasal dari anakan, terutama untuk famili tertentu, memiliki
ciri morfologi yang sangat berbeda dengan daun yang berasal dari tumbuhan

1 Kebun hanya dibersihkan di sekitar dan antar pohon karet untuk kemudahan menyadap, tidak dibersihkan seluruh kebun
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 243
Soekisman Tjitrosemito

dewasa pada jenis yang sama. Dibutuhkan usaha yang cukup besar untuk
mengidentifikasikan semua anakan yang dihasilkan dari survei ini hingga nama
jenis untuk setiap anakan dapat ditentukan dengan benar. Tabel 20 memperlihatkan
jumlah anakan yang berhasil diidentifikasi pada berbagai tingkatan taksonomi.

Tabel 21 menyajikan beberapa indeks kekayaan dan keragaman jenis anakan pada
wanatani karet dan hutan. Sesuai dengan yang telah diperkirakan, plot di hutan
memiliki rata-rata kekayaan jenis dan indeks keragaman jenis anakan tumbuhan
berkayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanatani karet.

Tabel 20. Jumlah jenis anakan yang beregenerasi di hutan dan wanatani karet

Uraian Hutan Wanatani Karet


Jenis teridentifikasi lengkap 508 542
Jenis bertanda cf* 47 59
Jenis teridentifikasi level genus 86 81
Jenis teridentifikasi level famili 2 2
Morfo-spesies 3 5
Total jenis 646 689
* singkatan dari bahasa Latin confer = bandingkan (compare) yang berarti bahwa kata penunjuk jenis
masih perlu diperiksa lebih lanjut.

Tabel 21. Nilai minimum, maksimum dan rata-rata jumlah jenis, indeks kekayaan dan
keragaman jenis anakan per plot di hutan dan wanatani karet

Wanatani karet Hutan


Min Maks Rata-rata Min Maks Rata-rata
Jumlah jenis 35 129 65±18 a
44 148 90±28b
Rarefaction 20 81 53±13a 40 98 68±18b
Coleman
Indeks 1,18 4,23 3,19±0,52a 2,65 4,53 3,66±0,54b
Shannon (H’)
N1 Hill 3,2 66,8 26,7±12,1a 13,9 89,9 43±21,3b
Probabilitas 0,42 0,976 0,897±0,084a 0,839 0,982 0,935±0,043ab
Simpson
N2 Hill 1,72 41,8 14,33±8,18a 6,9 56,8 22,96±14,04b
(Resiprokal
Simpson)
Indeks Fisher 10,9 54,5 26,05±9,75a 16 79,5 41±19,12b
Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Tukey HSD
244 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Rarefaction Coleman adalah indeks untuk menduga kekayaan jenis pada suatu
tempat jika ukuran contohnya diseragamkan. Hal ini dimaksudkan untuk
menghilangkan kesalahan (bias) yang berasal dari ukuran contoh yang tidak sama.
Pada penelitian ini ukuran contoh diseragamkan berdasarkan jumlah individu,
yaitu per 200 individu anakan. Indeks Shannon (H’) hanya memberikan informasi
keragaman jenis anakan. Semakin besar nilainya, berarti semakin beragam jenis
anakan yang ada di tempat tersebut. Indeks N1 Hill menggambarkan jumlah
jenis paling dominan yang menentukan besarnya nilai H’. Jadi pada penelitian
ini, jumlah anakan yang paling dominan yang menentukan tingkat keragaman
H’ di hutan adalah sekitar 43 jenis dari total 646 jenis yang ada, sedangkan di
wanatani karet sekitar 27 jenis dari total 689 jenis yang ada. Nilai probabilitas
Simpson adalah peluang jika dua individu yang diambil secara acak dari satu
populasi merupakan spesies yang berbeda. Semakin tinggi nilainya semakin tinggi
keragaman jenis yang ada pada tempat tersebut. Sama halnya dengan N1 Hill,
N2 Hill atau resiprokal Simpson menggambarkan jumlah jenis paling dominan
yang menentukan besarnya nilai D (indeks Simpson). Sedangkan indeks Fisher
menggambarkan hubungan antara jumlah jenis dengan jumlah individunya.

Sebagai perbandingan, berikut dikutip hasil penelitian yang telah dilakukan pada
beberapa tempat di hutan tropika di kawasan Malaysia. Pada Hutan Penelitian
Pasoh Malaysia, indeks Fisher untuk pohon yang berdiameter 1-10 cm adalah
antara 105,1 hingga 127,2 (Davies et al., 2003). Di Barito Ulu Kalimantan Tengah,
indeks Shannon untuk pohon yang berdiameter ≥10 cm adalah 3.4 untuk hutan
sekunder tua dan 4,17 untuk hutan primer (Brearley et al., 2004). Sedangkan
di hutan pegunungan bawah yang belum terganggu di TN Gunung Pangrango,
anakan pohon pada tingkat semai (kecambah hingga tinggi ≤1,5 m) dan pancang
(diameter ≤10 cm dan tinggi >1,5 m) nilai H’ masing-masing adalah 2,8 dan 3,3,
sedangkan untuk hutan yang terganggu nilai H’ masing-masing adalah 2,7 dan 2,8
(Utomo, 2006).

Untuk mengetahui jenis anakan yang mendominasi di wanatani karet dan hutan
sekitarnya, dihitung indeks nilai penting (INP) yang didasarkan pada frekuensi
kehadiran dan kelimpahan jenis anakan (Tabel 22). Dari tabel tersebut terlihat
vegetasi anakan di wanatani karet tetap didominasi oleh anakan karet (H.
brasiliensis). Selain itu, jenis anakan yang mendominasi di wanatani karet adalah
jenis pohon kecil yang memiliki tinggi maksimum di bawah 10 m, yaitu jirak hutan
(Psychotria viridiflora), ribu-ribu (Anisophyllea disticha), sebekal (Fordia nivea),
pelangeh (Aporusa octandra), balek angin (Mallotus moritzianus), manis mato
(Leptonychia heteroclita) dan hidung anjing (Helicia robusta). Hanya kelat salam
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 245
Soekisman Tjitrosemito

(Syzygium polyanthum) dan kedondong (Canarium patentinervium) yang termasuk


jenis pohon yang berbatang besar yang dominan di wanatani karet. Kedua jenis ini
sering dipakai untuk keperluan kayu bangunan dan pertukangan.

Keterangan: Garis vertikal pada kurva menggambarkan nilai standar deviasi

Gambar 31. Kurva akumulasi jenis anakan rata-rata di hutan (forest) dan kebun wanatani
karet (raf) berdasarkan penambahan plot contoh (a) dan individu anakan (b)

Sedangkan di hutan, selain didominasi oleh lima jenis pohon kecil seperti tapus
(Agrostitachys sp1), bantun (Koilodepas longifolium), tarak (M. moritzianus), arang-
arang (Diospyros wallichii) dan sebekal (F. nivea), juga terdapat lima jenis anakan
dominan lainnya yang merupakan pohon berukuran medium hingga besar,
yaitu kedondong (Santiria rubiginosa), bintangur (Calophyllum cf. pulcherrimum),
tampang (Artocarpus sp2), merawan (Hopea nigra) dan muara kepayang (Scaphium
macropodum). Kelima jenis tersebut termasuk jenis penghasil kayu perdagangan
penting bagi sektor kehutanan.

Pada tingkat marga, vegetasi anakan di hutan juga masih tetap dicirikan oleh jenis-
jenis dari marga yang umumnya memiliki batang yang berukuran besar seperti
meranti (Shorea), kedondong (Santiria), bintangur (Calophyllum), arang-arang/
kayu hitam (Diospyros), tampang (Artocarpus) dan kelat (Syzygium). Sedangkan di
wanatani karet, selain marga Hevea, marga lain yang mendominasi jenis anakan
umumnya adalah dari jenis pionir yang memiliki ukuran kecil hingga medium.
Tabel 22 berikut adalah 10 marga paling melimpah di hutan dan wanatani karet.
246 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tabel 22. Sepuluh jenis anakan yang paling melimpah dan sering ditemui berdasarkan nilai
indeks penting di wanatani karet dan hutan

Urutan Wanatani Karet Hutan


jenis Jenis INP Jenis INP
1 Hevea brasiliensis (Euph.) 9,05 Agrostistachys sp1 (Euph.) 10,02
2 Psychotria viridiflora (Rub.) 6,56 Diospyros wallichii (Eben.) 7,77
4 Fordia nivea (Fab.) 4,07 Santiria rubiginosa (Burs.) 2,93
5 Aporusa octandra (Euph.) 3,86 Koilodepas longifolium (Euph.) 2,82
6 Leptonychia heteroclita (Sterc.) 3,73 Calophyllum cf pulcherrimum 2,52
(Clus.)
7 Mallotus moritzianus (Euph.) 3,19 Artocarpus sp2 (Mor.) 2,17
8 Syzygium polyanthum (Myrt.) 2,67 Mallotus moritzianus (Euph.) 2,03
10 Canarium patentinervium 2,61 Scaphium macropodum 1,73
(Burs.) (Sterc.)
Keterangan: Tulisan dalam kurung adalah singkatan nama famili (Burs. = Burseraceae, Clus. =
Clusiaceae, Dipt. = Dipterocarpaceae, Eben. = Ebenaceae, Euph. = Euphorbiaceae, Fab. = Fabaceae,
Mor. = Moraceae, Myrt. = Myrtaceae, Proteac. = Proteaceae, Rhiz. = Rhizophoraceae, Rub. = Rubiaceae,
Sterc.= Sterculiaceae).

Tabel 23. Sepuluh marga anakan yang paling melimpah dan sering ditemui berdasarkan nilai
indeks penting di wanatani karet dan hutan

Urutan Wanatani Karet Hutan


jenis Marga Kelimpahan Marga Kelimpahan
1 Hevea (Euph.) 1845 Agrostistachys (Euph.) 1024
2 Psychotria (Rub.) 1337 Diospyros (Eben.) 999
3 Syzygium (Myrt.) 1184 Syzygium (Myrt.) 495
4 Fordia (Fab.) 1033 Fordia (Fab.) 367
5 Anisophyllea (Rhiz.) 910 Shorea (Dipt.) 366
6 Aporusa (Euph.) 818 Santiria (Burs.) 336
7 Mallotus (Euph.) 793 Calophyllum (Clus.) 252
8 Macaranga (Euph.) 784 Koilodepas (Euph.) 225
9 Leptonichia (Sterc.) 705 Artocarpus (Mor.) 217
10 Archodendron (Fab.) 627 Mallotus (Euph.) 200
Keterangan: Tulisan dalam kurung adalah singkatan nama famili (Burs. = Burseraceae, Clus. = Clusiaceae,
Dipt. = Dipterocarpaceae, Eben. = Ebenaceae, Euph. = Euphorbiaceae, Fab. = Fabaceae, Mor. = Moraceae,
Myrt. = Myrtaceae, Rhiz. = Rhizophoraceae, Rub. = Rubiaceae, Sterc.= Sterculiaceae)
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 247
Soekisman Tjitrosemito

Untuk tingkat famili, anakan meranti-merantian (Dipterocarpaceae) adalah urutan


keempat yang mendominasi vegetasi anakan di hutan. Berikut ini berturut-turut
adalah 10 famili paling melimpah di hutan, yaitu jarak-jarakan (Euphorbiaceae),
eboni-ebonian (Ebenaceae), kacang-kacangan (Fabaceae), meranti-merantian
(Dipterocarpaceae), jambu-jambuan (Myrtaceae), kenari-kenarian (Burseraceae),
manggis-manggisan (Clusiaceae/Guttiferae), medang-medangan (Lauraceae),
kopi-kopian (Rubiaceae) dan kenanga-kenangaan (Annonaceae). Sedangkan di
wanatani karet, vegetasi anakan didominasi oleh jenis dari famili jarak-jarakan
(Euphorbiaceae), kopi-kopian (Rubiaceae), kacang-kacangan (Fabaceae), jambu-
jambuan (Myrtaceae), bakau-bakauan (Rhizophoraceae), beringin-beringinan
(Moraceae), kelumpang-kelumpangan (Sterculiaceae), kenanga-kenangaan
(Annonaceae), kenari-kenarian (Burseraceae) dan Proteaceae.

DISTRIBUSI FREKUENSI JENIS ANAKAN


TUMBUHAN BERKAYU
Hutan tropis bercirikan melimpahnya jenis tumbuhan yang berfrekuensi jarang
dengan individu kurang dari sepuluh (Whitten et al., 1987; Hubbell, 2001; Turner,
2001). Pola ini juga ditemukan di hutan dan di wanatani karet seperti yang terlihat
pada Gambar 32.

Gambar 32. Distribusi jenis anakan berdasarkan frekuensi kehadiran dan kelimpahan di
hutan (a) dan kebun wanatani karet (b)

Kurva kelimpahan jenis di hutan dan wanatani karet membentuk kurva log normal
seperti yang terlihat pada Gambar 33.

Bentuk kurva log normal seperti ini mengindikasikan bahwa baik hutan maupun
wanatani karet merupakan kawasan yang luas, seimbang secara ekologis (mature)
dan menyediakan sumberdaya yang cukup bervariasi untuk mendukung tingginya
248 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

keragaman jenis yang terdapat di dalamnya. Hutan terlihat memiliki kekayaan


dan keragaman jenis sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanatani karet.

0,1000
Kelimpahan relatif

0,01000

0,00100
Tipe vegetasi
Hutan
0,00010
AFK
0 100 200 300 400 500 600 700
Urutan spesies berdasarkan kelimpahan

Gambar 33. Kurva distribusi kelimpahan relatif jenis anakan berdasarkan urutan kelimpahan
jenis pada hutan dan kebun wanatani karet (AFK)

Selama ini ada anggapan bahwa hutan tropis yang masih tersisa secara terpisah
membentuk “pulau-pulau kecil” yang terisolasi, sehingga akan mengakibatkan
laju kepunahan jenis menjadi semakin tinggi sesuai dengan teori biogeografi pulau
(Whittaker, 1998). Namun berdasarkan kurva kelimpahan jenis pada Gambar 33,
dapat dikatakan bahwa wanatani karet adalah sebuah kawasan yang berhubungan
dengan dan dipengaruhi oleh kawasan hutan yang ada di dekatnya melalui migrasi
(Hubbell, 2001). Oleh karena itu wanatani karet dapat berfungsi sebagai jembatan
atau koridor untuk menghubungkan antara satu kawasan hutan dengan kawasan
hutan lain pada suatu bentang alam yang kondisi hutannya sudah terfragmen
menjadi “pulau-pulau” sehingga efek negatif akibat fragmentasi hutan pada suatu
kawasan dapat dikurangi.

KEMIRIPAN JENIS ANAKAN TUMBUHAN


BERKAYU
Dari total 646 jenis anakan tumbuhan berkayu yang ditemukan beregenerasi
di hutan, sebanyak 405 jenis (62,69%) di antaranya ditemukan beregenerasi di
wanatani karet. Pada tingkat marga, dari total 230 marga yang ditemukan di
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 249
Soekisman Tjitrosemito

hutan, 191 marga (83,04%) di antaranya terdapat di wanatani karet. Sedangkan


pada tingkat famili (keluarga), dari total 68 famili yang ditemukan di hutan, 64
famili (94,12%) di antaranya juga terdapat di wanatani karet. Akan tetapi jika
diasumsikan jenis anakan tumbuhan berkayu selain karet semuanya berasal dari
hutan, maka dapat dikatakan bahwa dalam wanatani karet dapat ditemukan
sekitar (688/929) x 100 = 74,06% jenis anakan tumbuhan berkayu hutan dalam
luasan 2,35 ha.

Kemiripan jenis anakan yang ada di hutan dengan di wanatani karet dapat dike-
tahui dengan mencari indeks kemiripan jenis. Pada tulisan ini indeks kemiripan
jenis yang dipakai adalah indeks kemiripan Jaccard yang didasarkan pada ada
tidaknya jenis. Dari Tabel 24 terlihat besarnya nilai indeks kemiripan jenis antara
wanatani karet dengan hutan adalah 0,44. Sedangkan untuk marga dan famili,
indeks kemiripannya berturut-turut adalah 0,68 dan 0,84.

Tabel 24. Indeks kemiripan jenis (IS Jaccard) antara hutan dengan wanatani karet

Uraian Jenis marga Famili


Jumlah jenis yang hanya ada di hutan 241 39 4
Jumlah jenis yang ada di hutan dan wanatani karet 405 191 64
Jumlah jenis yang hanya ada di wanatani karet 284 52 8
Total jenis 930 282 76
IS Jaccard antara hutan dengan wanatani karet 0,44 0,68 0,84

Gambar 34 membandingkan keberadaan dan kelimpahan jenis anakan tumbuhan


berkayu antara hutan dengan wanatani karet untuk 15 jenis anakan paling me-
limpah di hutan. Tidak ada satupun individu ditemukan di wanatani karet untuk
jenis tapus (Agrostistachys sp.1), kedondong (C. cf. pulcherrimum), merawan (H.
nigra), kayu minyak (Kokoona littoralis), kelat (Syzygium attenuata), meranti (Sho-
rea parviflora) dan kelat (Syzygium antisepticum) yang merupakan jenis dominan di
hutan pada urutan pertama, ketujuh, kesembilan, ke-10, ke-13, ke-14 dan ke-15.
Ketujuh jenis ini umumnya adalah pohon berukuran besar penghasil kayu Perda-
gangan, kecuali Agrostistachys sp. Sedangkan jenis sebekal (F. nivea), tarak (M.
moritzianus) dan kabau (Archidendron bubalinum) jumlahnya jauh lebih banyak
ditemukan di wanatani karet. Ketiga jenis ini merupakan pohon kecil dengan ket-
inggian tidak lebih dari 10 m.

Ada empat famili yang hanya ada di hutan tetapi tidak ditemukan di wanatani karet,
yaitu famili damar-damaran (Araucariaceae), jamuju-jamujuan (Podocarpaceae),
cendana-cendanaan (Santalaceae) dan gigil-gigilan (Saxifragaceae). Keempat
250 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

famili ini masing-masing hanya memiliki satu jenis yaitu damar (Agathis damara -
Araucariaceae), Podocarpus neriifolius (Podocarpaceae), Scleropyrum wallichianum
(Santalaceae) dan Polyosma integrifolia (Saxifragaceae). Semua jenis tersebut
memiliki ukuran batang yang besar dan merupakan penghasil kayu komersial
yang cukup penting. Sedangkan yang hanya ditemukan beregenerasi di wanatani
karet tetapi tidak ditemukan di hutan ada delapan famili, yaitu famili mangkok-
mangkokan (Araliaceae), Daphniphyllaceae, Dichapetalaceae, Gesneriaceae,
mali-malian (Leeaceae), sirih-sirihan (Piperaceae), Staphyllaceae dan jelatang-
jelatangan (Urticaceae). Umumnya anggota dari famili tersebut adalah jenis
tumbuhan berkayu yang berukuran kecil dan sering ditemui tumbuh di tempat
yang terbuka.

1200
Hutan
1000
AFK
800

600

400

200

um
a

2
i
1

um
hi

ve

tic
ra

a
a

um
s

sp
m

lis

at
sp

os

nu

lia
m
lic

ig
ni

ep
liu

rim

ra

nu
lin
in

us

du

ifo
an
al
ys

ia
ia

tis
o
fo
ig
sw

tz

rp

te
be
ch

er

rv
itt
rd

po
pe
gi

an
ub

at
ca
or

lch

pa
bu
al
ta

Fo
ro

ro
on

Ho
ar

to

um
um
sm
tis

on
py

ac
pu

ea
n
sl

Ar
iri
s

ro
ko

m
os

gi

gi
or
ro

tu
pa

cf
nt

nd

zy

zy
Sh
Ag

Ko
Di

lo

um
de
Sa

um

Sy

Sy
al

de
ilo

hi
M

yll

ie
ap
Ko

ch
ph

Sc

Ar
llo
Ca

Gambar 34. Lima belas jenis anakan paling melimpah di hutan dibandingkan dengan wanatani
karet

JENIS-JENIS ANAKAN TUMBUHAN BERKAYU


YANG DILINDUNGI DAN LANGKA
Beberapa jenis anakan yang beregenerasi di wanatani karet dan hutan ternyata
tergolong jenis yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia. Jenis-jenis
tersebut adalah durian (Durio zibethinus), kulim (Scorodocarpus borneensis), balam
merah (Palaquium gutta) dan kemenyan (Styrax benzoin) yang ditemukan di hutan
dan juga wanatani karet, jelutung (Dyera costulata) dan bulian (Eusideroxylon
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 251
Soekisman Tjitrosemito

zwageri) yang hanya ditemukan di hutan dan tembesu (Fagraea fragrans) yang
hanya ditemukan di wanatani karet. Semua jenis tersebut di atas ditetapkan sebagai
jenis yang dilindungi oleh SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972.

Dalam usaha menarik perhatian dunia terhadap konservasi jenis yang terancam
punah, IUCN/SSC (World Conservation Union/Species Survival Commission)
menetapkan beberapa kategori keterancaman jenis. Berdasarkan kriteria yang
dibuat pada 1994, kategori keterancaman jenis tersebut adalah punah (extinct),
punah di alam (extinct in the wild), kritis (critically endangered), genting (endangered),
rentan (vulnerable), dan risiko relatif rendah (lower risk). Tabel 25 adalah jenis
anakan yang termasuk kategori terancam menurut kriteria IUCN yang terdapat
di hutan dan kebun wanatani karet.

Tabel 25. Jenis anakan dan nilai INP masing-masing jenis di hutan dan wanatani karet yang
termasuk kritis (critically endangered), genting (endangered) dan rentan (vulnerable) menurut
IUCN/SSC

Jenis Nama lokal Kategori INP INP


IUCN di hutan di wanatani karet
Dipterocarpus gracilis (Dipt.) Keruing Kritis 0,663 0,000
Dipterocarpus grandiflorus Keruing Kritis 0,109 0,000
(Dipt.)
Hopea nigra (Dipt.) Merawan Kritis 1,730 0,000
Parashorea aptera (Dipt.) Tebalun Kritis 0,644 0,024
Parashorea lucida (Dipt.) Tebalun Kritis 0,218 0,102
Shorea johorensis (Dipt.) Meranti Kritis 0,045 0,000
Anisoptera costata (Dipt.) Mersawa Genting 0,099 0,000
Anisoptera laevis (Dipt.) Mersawa Genting 0,625 0,024
Shorea bracteolata (Dipt.) Meranti Genting 0,045 0,000
Shorea leprosula (Dipt.) Meranti Genting 0,073 0,037
Vatica lowii (Dipt.) Resak Genting 0,064 0,000
Vatica stapfiana (Dipt.) Resak Genting 0,607 0,000
Agathis dammara (Arauc.) Damar Rentan 0,090 0,000
Eusideroxylon zwageri (Laur.) Bulian Rentan 0,520 0,000
Aglaia angustifolia (Meliac.) Langsat kero Rentan 0,136 0,000
Aquilaria malaccensis (Thym.) Gaharu Rentan 0,045 1,086
Gonystylus macrophyllus Ramin Rentan 0,000 0,190
(Thym.)
Keterangan: Tulisan dalam kurung adalah singkatan nama famili (Dipt. = Dipterocarpaceae, Arauc. =
Araucariaceae, Laur.= Lauraceae, Meliac. = Meliaceae, Thym. = Thymelaeaceae)
252 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Jenis keranji putih batang (Sindora sumatrana) dan ramin (Gonystylus acuminatus)
termasuk jenis endemik Sumatera yang terancam kelestariannya (UNEP-WCMC,
2006; Whitmore dan Tantra, 1986). Kedua jenis ini ditemukan di hutan sedangkan
di wanatani karet hanya ditemukan jenis keranji putih batang.

PENGARUH UMUR DAN INTENSITAS


MANAJEMEN KEBUN TERHADAP INDEKS
KEKAYAAN DAN KEMIRIPAN JENIS ANAKAN

Umur Kebun Wanatani karet


Nilai indeks kekayaan jenis rarefaction Coleman tidak meningkat secara konsisten
dengan meningkatnya umur kebun, yaitu 47, 49, 60, 52 dan 68 untuk kelas umur
I, II, III, IV dan hutan. Kurva akumulasi jenis berdasarkan kelas umur juga tidak
memperlihatkan pemisahan yang jelas (Gambar 35).

Keterangan: garis vertikal pada kurva menggambarkan nilai standar deviasi


Gambar 35. Kurva akumulasi jenis anakan pada hutan dan kebun wanatani karet berdasarkan
kelas umur (a) dan tingkat intensitas manajemen (b)

Sama halnya dengan indeks kekayaan jenis, nilai indeks kemiripan jenis antara
kelas umur dengan hutan juga tidak meningkat secara konsisten dengan semakin
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 253
Soekisman Tjitrosemito

tuanya umur kebun, yaitu 0,183, 0,384, 0,361 dan 0,332 untuk kelas umur I, II,
III dan IV.

Hasil yang diperoleh ini berbeda dengan asumsi awal yang memperkirakan faktor
umur akan mempengaruhi dan berkorelasi positif dengan kekayaan jenis dan
kemiripan jenis dengan hutan sehingga dapat dipakai untuk memperkirakan
tingkat kekayaan jenis dan kemiripan jenis yang ada di dalamnya. Namun hal
ini dapat dimengerti karena wanatani karet tidaklah sama seperti halnya vegetasi
alami. Bagaimanapun pada wanatani karet, faktor manusia sebagai pengelola
sistem ini memegang peranan penting dalam pengaturan komponen maupun
proses yang terjadi di dalamnya.

Intensitas Manajemen Wanatani Karet


Dari Tabel 26 terlihat tingkat intensitas manajemen wanatani berbanding terbalik
dengan nilai indeks kekayaan jenis, yaitu semakin rendah tingkat intensitas
manajemen, indeks kekayaan jenis semakin meningkat. Kurva akumulasi jenis
berdasarkan tingkat intensitas manajemen memperlihatkan pola pemisahan yang
jelas, yaitu setelah kurva plot hutan terletak kurva untuk plot wanatani karet yang
sudah ditinggalkan dan tidak disadap lagi, setelah itu kurva plot wanatani karet
dengan intensitas manajemen rendah dan yang paling bawah adalah kurva untuk
plot wanatani karet dengan tingkat intensitas manajemen tinggi (Gambar 35b).
Akan tetapi dari hasil analisa ANOVA tidak terdapat korelasi yang nyata antara
intensitas manajemen dengan nilai indeks kekayaan jenis (p>0.05).

Sama halnya dengan nilai kekayaan jenis, pada Tabel 26 juga terlihat nilai indeks
kemiripan jenis antara hutan dengan tingkat intensitas manajemen kebun juga
meningkat dengan turunnya intensitas manajemen kebun.

Intensitas manajemen wanatani karet biasanya berkorelasi positif dengan tingkat


produktivitas getah karet yang merupakan sumber pendapatan langsung bagi
petani. Sementara keragaman hayati akan meningkat dengan turunnya intensitas
manajemen. Namun untuk kasus wanatani karet, produktivitas lahan tidak hanya
bersumber dari karet saja seperti halnya pada kebun monokultur. Gouyon et al.,
(1993) memasukkan komponen pendapatan yang berasal dari tanaman padi dan
tanaman semusim lainnya pada tiga tahun pertama, pohon buah, kayu bakar dan
kayu non karet selain pendapatan yang berasal dari getah karet dan pohon karet
untuk menghitung pendapatan petani wanatani karet.
254 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tabel 26. Rata-rata nilai indeks kekayaan jenis, jumlah anakan yang dimiliki bersama dan nilai
indeks kemiripan jenis dengan hutan berdasarkan tingkat intensitas manajemen pada wanatani
karet (AFK)

Hutan dan tingkat intensitas Rata-rata Jumlah jenis Indeks kemiripan


manajemen kebun indeks yang dimiliki jenis dengan
kekayaan bersama hutan
jenis dengan hutan
Hutan 68 b - -
Tidak ada manajemen (AFK) 56 a 328 0,395
Manajemen rendah (AFK) 53 a 317 0,382
Manajemen tinggi (AFK) 48 a 221 0,298
Angka yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Tukey HSD

Komunitas global secara tidak langsung juga mendapatkan manfaat dari wanatani
karet berupa jasa lingkungan. Sewajarnya manfaat yang diberikan tersebut juga
perlu dihargai dan dibayar dengan pantas kepada petani yang mempraktekkan
wanatani melalui sistem insentif (reward). Kesadaran untuk memperlakukan jasa
lingkungan sebagai barang publik yang tidak gratis (free) dapat membantu petani
wanatani karet mendapatkan haknya dengan adil.

Keanekaragaman hayati dalam agroekosistem bukanlah suatu hal yang mustahil


untuk dipadukan secara serasi dalam satu kawasan yang sama, sebagaimana yang
telah dibuktikan oleh para petani wanatani karet selama ini. Hanya saja diperlukan
suatu upaya perbaikan pada sistem ini guna meningkatkan fungsi ekonomi dan
ekologi sehingga fungsi tersebut dapat berjalan dengan optimal dan seimbang.
Dengan demikian praktek wanatani akan menjadi salah satu pilihan manajemen
lahan pertanian yang menguntungkan bagi semua pihak.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
(1) Wanatani karet menampung sebanyak 405 jenis anakan tumbuhan berkayu
atau 62,69% dari total 646 jenis anakan yang terdapat di hutan dengan nilai
indeks kemiripan jenis Jaccard sebesar 0,44.
(2) Beberapa jenis anakan yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia
dan jenis yang termasuk kelompok kritis, genting dan rentan menurut kriteria
BAGIAN 3-6 • Saida Rasnovi, Grégoire Vincent, Cecep Kusmana, 255
Soekisman Tjitrosemito

IUCN/SSC ditemukan beregenerasi di hutan dan beberapa di antaranya juga


ditemukan di wanatani karet.
(3) Kebun wanatani karet merupakan kawasan yang mature dan memiliki
sumberdaya yang beragam seperti halnya hutan alam sehingga mampu
mendukung keragaman jenis tumbuhan berkayu yang tinggi di dalamnya.
(4) Kekayaan jenis dan kemiripan jenis antara hutan dengan kebun wanatani
karet tidak dipengaruhi oleh umur kebun.
(5) Kekayaan jenis dan kemiripan jenis antara hutan dengan kebun wanatani
karet meningkat dengan turunnya tingkat intensitas manajemen kebun.

Rekomendasi
Untuk memaksimalkan peran wanatani karet sebagai kawasan penampung bagi
jenis tumbuhan berkayu hutan, peran manajemen oleh manusia sebagai pengelola
agroekosistem tersebut dapat ditingkatkan, misalnya melalui pengayaan jenis di
wanatani karet dengan jenis lokal yang berasal dari hutan sekitar yang memiliki
nilai tambah ekonomi dan juga konservasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didukung oleh Institut de Recherche pour le Développement (IRD)


dan World Agroferestry Centre (ICRAF) SEA. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ratna Akiefnawati atas fasilitasi di lapangan. Juga kepada Endri Martini,
Jasnari, Suyitno dan Yatni atas bantuan dalam pengumpulan data, serta seluruh
petani yang bekerja sama dalam penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Hubert de Foresta dan Meine van Noordwijk untuk saran yang diberikan
serta kepada semua pihak yang telah membantu.

BAHAN BACAAN
Beukema, R. dan van Noordwijk, M. 2004. Terrestrial Pteridophytes as Indicators
of a Forest-like Environment in Rubber Production Systems in the
Lowlands of jambi, Sumatera. Journal of Agriculture, Ecosystems and
Environtment 104:63-73.
Brearley, F.Q., Prajadinata, S., Kidd, P.S., Proctor J. dan Suriantata. 2004. Structure
and Floristics of an Old secondary Rain Forest in Central Kalimantan,
256 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indonesia, and a Comparison with Adjacent Primary Forest. Forest


Ecology and Management 195:385-397.
Davies, S.J., Noor, N.S.M., la Frankie, J.V. dan Ashton, P.S. 2003. The Trees of
Pasoh Forest:Stand Structure and Floristic Composition of the 50-ha
Forest Research Plot. Dalam: Okuda, T, Manokaran, N., Matsumo, Y.,
Niiyama, K., Thomas, S.C., dan Ashton, P.S. (ed). Pasoh Ecology of a
Lowland Rain Forest in Southeast Asia. Springer, Tokyo, Jepang.
FWI/GFW. 2002. The State of The Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia dan
Global Forest Watch. Bogor, Indonesia dan Washington DC.
Gouyon, A., de Foresta, H. dan Levang, P. 1993. Does ‘Junggle Rubber’ Deserve
its Name? An Analysis of Rubber Agroforestry System in Southeast Asia.
Agroforestry System 22:181-206.
Hendirman, H. 2005. Studi Populasi Primata pada Beberapa Tipe Habitat di
Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi (in prep).
Hubbell, S.P. 2001. The Unified Neutral theory of Biodiversity and Biogeography.
Princeton University Press. New Jersey.
Kophalindo. 1995. Atlas Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup RI dan KOPHALINDO. Jakarta, Indonesia.
Philippe, L. 2000. Assesment of Potential of Agroforest to Conserve Valuable
Timber Species. Internal Report. ICRAF. Unpublished.
Prasetyo, P.N. 2005. Keanekaragaman Jenis Kelelawar pada Agroekosistem Karet
di Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi (in prep).
Primack, R.B., Supriatna, J., Indrawan, M. dan Kramadibrata, P. 1998. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Turner, I.M. 2001. The Ecology of Trees in the Tropical Rain Forest. Cambridge
University Press. UK.
UNEP-WCMC. 2006. Preliminary List of Threatened Trees of Sumatera. UNEP-
WCMC. http://www.unep-wcmc.org/index.html?http://sea.unep-wcmc.
org/latenews/emergency/fire_1997/tree3.htm~main.
Utomo, B. 2006. Peran Seed Bank Terhadap Regenerasi Hutan Kaitannya dengan
Invasi Tumbuhan Eksotik di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Whitmore, T.C. dan Tantra, I.G.M. 1986. Tree Flora of Indonesia: Check List for
Sumatera. Forest Research and Development Centre, Bogor, Indonesia.
Whittaker, R.J. 1998. Island Biogeography Ecology, Evolution and Conservation.
Oxford University Press.
Whitten, A.J., Damanik, S.J., Anwar, J. dan Hisyam, N. 1987. The Ecology of
Sumatera. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
BAGIAN 3-7
Keanekaragaman Hayati:
Jasa Lingkungan Wanatani Karet

Endri Martini
258 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pendongeng dari negara mana pun akan menuturkan hutan sebagai hamparan
hijau dengan beragam pohon berukuran raksasa yang membawa suasana dingin
gelap mencekam di malam hari dan hijau indah menyegarkan di pagi hari,
ketika matahari menyeruak masuk ke lantainya. Diceritakan pula suara beragam
jenis binatang dari yang menakutkan sampai yang menakjubkan terlantun
dari dalam hutan tersebut. Sehingga hutan pada dasarnya akan digambarkan
dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya dan berinteraksi saling
menyeimbangkan satu dengan lainnya dalam sistem yang unik dan bermanfaat
bagi banyak pihak. Sistem yang ada di dalam hutan tersebut akan berjalan
beriring dengan sistem-sistem lain yang ada di bumi, sehingga akan tercipta
atmosfer yang menyehatkan jika keseimbangan sistem-sistem tersebut tetap
terpelihara.

Menjaga agar keanekaragaman hayati itu tetap pada takarannya, sehingga


keseimbangan sistem hutan khususnya dan bumi umumnya tetap terpelihara,
bukanlah perkara mudah. Ketika populasi manusia semakin bertambah,
keseimbangan alam pun bergeser. Eksploitasi hutan dan konversi lahan hutan
secara besar-besaran pun terjadi dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Deforestasi terjadi di mana-mana, terutama di hutan hujan tropis yang
memiliki keanekaragaman hayati bernilai ekonomis tinggi. Program-program
konservasi pun dilancarkan sebagai usaha memulihkan keseimbangan alam yang
terganggu dengan hilangnya atau berkurangnya populasi beberapa makhluk
yang ada di hutan dengan semakin menyempitnya habitat tersebut.

Deforestasi juga terjadi di hutan hujan dataran rendah Kabupaten Bungo,


Propinsi Jambi, Indonesia. Berdasarkan data citra Landsat 2002 yang dianalisa
oleh tim ICRAF dan IRD, 72,70% dari total luas Kabupaten Bungo tertutup oleh
hamparan hijau yang terdiri atas 28,40% hutan, 13,60% kebun karet campur,
dan 30,70% kebun karet monokultur (Tabel 27).

Studi dinamika penggunaan lahan dari 1973-2002 menunjukkan bahwa konversi


hutan ke bentuk tutupan lainnya di Bungo disebabkan oleh faktor eksternal
yang tidak terkontrol, terpengaruhi atau terkelola dalam skala analisa kabupaten
(pertumbuhan populasi, migrasi, peraturan pemerintah dan harga komoditas di
pasar internasional), maupun faktor internal yang terkontrol, terpengaruhi dan
terkelola dalam skala kabupaten (kepemilikan lahan, pembangunan infrastruktur
dan konsesi hutan) (Ekadinata dan Vincent, 2004; ibid, 2008).

Laju deforestasi yang cepat itu masih dapat sedikit terjaga oleh adanya sistem
kebun karet campur. Keunikan potensi sistem kebun karet campur dalam
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 259

konservasi keanekaragaman hayati, mendorong tim ICRAF-IRD serta lembaga


lainnya melakukan beberapa studi dari 1994-2006.

Tabel 27. Persentase luas tutupan lahan di Kabupaten Bungo 1973-2002

Tipe Tutupan Lahan Proporsi dari Luas Lahan Total (%)


1973 1988 1993 1999 2002 2012*
Hutan 70,40 51,10 38,10 31,30 28,40 13,40
Kebun karet campur 15,70 16,60 19,40 18,80 13,60 10,60
Kebun karet monokultur 00,00 18,60 28,20 26,00 30,70 41,60
Lainnya (termasuk 13,90 13,70 14,30 23,90 27,30 34,40
permukiman)
Keterangan: * prediksi dari rata-rata perubahan yang terjadi per tahun pada tahun-tahun sebelumnya

Sumber: Hasil analisa Landsat Image 1973-2002 dengan menggunakan metode Object Based Classification
(Ekadinata dan Vincent, 2004)

KEBUN KARET CAMPUR


Kebun karet campur (rubber agroforest) merupakan salah satu bentuk sistem
polikultur yang sudah membudaya di masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu.
Sistem tersebut, dikenal baik sebagai area hasil campur tangan manusia yang
menjadi tempat pengungsian dari banyak jenis tumbuhan dan hewan, terutama
dari hutan di sekitarnya yang terdegradasi akibat deforestasi.

Kebun karet campur itu umumnya dibentuk dari hutan, belukar ataupun sesap.
Metode tebas-tebang-bakar dilakukan untuk membuka lahan yang akan ditanami
padi, sayuran dan tanaman berumur pendek lainnya (selama 3 tahun pertama) yang
dikombinasikan dengan tanaman karet sebagai tanaman pokok (sekitar 700-1000
batang/ha) dan juga tanaman buah-buahan. Penebasan kebun (weeding) dengan
frekuensi minimal (setahun sekali atau lebih jarang lagi, hanya jika diperlukan)
menyebabkan dalam waktu 10-15 tahun cukup banyak jenis-jenis tumbuhan
lain beregenerasi secara alami dari bank benih yang ada di lantai kebun sebagai
warisan dari vegetasi awalnya, ataupun yang disebarkan oleh masing-masing agen
penyebarnya. Pada saat sadap pertama dan setelahnya, kebun dibersihkan untuk
membuat lorong sadap, anakan jenis-jenis pohon yang dianggap berguna oleh
petani dibiarkan hidup sedangkan yang dapat menganggu pertumbuhan karet
akan ditebas. Pemilihan jenis ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan botani
petani. Dengan frekuensi penebasan yang minimum, dalam waktu kurang lebih 30
260 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tahun terbentuklah tegakan yang disebut dengan kebun karet campur, yang selain
berkontribusi sebagai sumber penghidupan masyarakat juga mengaktualisasikan
beberapa fungsi ekologis hutan.

KEANEKARAGAMAN HAYATI HUTAN DAN


KEBUN KARET CAMPUR
Kabupaten Bungo cukup beruntung memiliki hutan hujan tropis dataran rendah
(dengan ketinggian 100-400 m dpl) yang dimasukkan dalam hotspots keanekaragaman
hayati Sundaland oleh Lembaga Conservation International (CI) (Conservation
International, 2001). Sebagai salah satu hotspot, tingkat keanekaragaman hayati
yang dikandungnya sangat tinggi. Namun, keanekaragaman hayati hutan hujan
tropis dataran rendah itu pada umumnya memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi, sehingga amat rentan terhadap kegiatan eksploitasi.

Kabupaten Bungo terletak di antara tiga taman nasional (TNKS di selatan,


TNBT di utara dan TNBD di timur) yang memungkinkan hutan dan kebun karet
campur di Bungo berfungsi sebagai koridor loncatan satwa liar dari dan menuju
ketiga taman nasional tersebut, dan juga sebagai bufferzone (daerah penyangga)
ketiga taman nasional (Gambar 36). Taman-taman nasional yang terkelola dengan
baik, akan mampu berkontribusi terhadap tingkat keanekaragaman hayati hutan
dan kebun karet campur di Bungo. Pada saat yang sama, juga akan berkontribusi
terhadap keseimbangan sistem tata air di sekitarnya termasuk untuk Bungo.

Tingkat keanekaragaman hayati kebun karet campur relatif tinggi, karena lokasinya
yang berdekatan dengan hutan. Di Kabupaten Bungo, kebun karet campur dan
hutan berlokasi dalam satu hamparan penutupan vegetasi yang biasanya dibatasi
oleh lajur kebun karet muda pada arah menuju hutan (Gambar 36). Umumnya
kebun karet campur berlokasi sekitar 100-1000 m dari permukiman pemiliknya,
berada dekat dengan sungai, dan dengan umur bervariasi dalam satu hamparan.
Sekilas, orang yang pertama kali masuk ke kebun karet campur akan menyangka
sedang berada di bawah naungan hutan sekunder yang sedang bersuksesi menjadi
hutan primer, karena di dalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan non-karet yang
membentuk struktur vegetasi unik yang mampu berkontribusi secara ekologis dan
ekonomis bagi masyarakat sekitarnya.
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 261

Keterangan gambar: warna hijau untuk kebun karet agroforest dan warna ungu untuk hutan

Gambar 36. Kabupaten Bungo (Bungo district) yang terletak di antara tiga taman nasional di
Propinsi Jambi dengan tutupan lahan hutan yang berwarna ungu dan kebun karet campur yang
berwarna hijau muda yang diklasifikasikan dengan metode object based classification dengan
citra Landsat 2002

Tingginya tingkat keanekaragaman hayati kebun karet campur, mendorong


beberapa pihak untuk melakukan studi detail yang mengarah pada perwujudan
fungsinya sebagai ‘kawasan lindung’ hidupan hutan. Studi telah dilakukan
ICRAF-IRD sejak 2001 yang diawali dengan studi keanekaragaman tumbuhan
untuk menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komposisi jenis
pepohonan di kebun karet campur (oleh Rasnovi dan tim pada 2001-2004
(Rasnovi, 2007), dan kemudian dilanjutkan dengan studi keanekaragaman fauna
yang ada di dalamnya. Pengambilan data pada setiap studi dilakukan di kebun
karet campur dan di hutan sebagai pembanding, dengan menggunakan metode
standar pada setiap fokus studinya.
262 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Flora
Berdasarkan hasil penghitungan, jumlah anakan jenis pohon (diameter <3
cm, tinggi >1 m) yang terdapat dalam 60 m transect variable area, yang diambil
dengan menggunakan plot circular (radius = 3 m) di sepanjang 60 m transek
menunjukkan bahwa hutan di Bungo masih memiliki keragaman jenis (species
diversity) per hektar yang lebih tinggi dibandingkan kebun karet campur (Gambar
37). Jika dibandingkan dengan hutan, Luas Bidang Dasar (LBDS)1 kebun karet
campur secara nyata lebih kecil dari hutan, sehingga dari tingkat keanekaragaman
hayati hutan masih lebih unggul dibanding dengan kebun karet campur.

Walaupun struktur vegetasi kebun karet campur berbeda dengan hutan, tetapi
bila dilihat dari kesamaan jenis yang ada di dalamnya, dari 971 total jenis pohon
pada tingkat anakan yang ditemukan selama studi dilakukan, 376 jenis merupakan
jenis yang ditemukan di hutan dan juga di kebun karet campur, yang biasa
disebut dengan share species. Jenis-jenis share species terutama didominasi oleh
famili Euphorbiaceae, Lauraceae dan Myrtaceae. Sebanyak 8 jenis dari familyi
Dipterocarpaceae (merupakan famili tumbuhan ciri khas hutan hujan dataran
rendah) juga ditemukan tumbuh secara alami di kebun karet campur (Anisoptera
laevis, Parashorea aptera, Parashorea lucida, Shorea acuminata, S. assamica, S.
leprosula, S. ovalis, S. macroptera).

Penyebaran biji 75% pohon share species, yang ditemukan berdasarkan data
sekunder, diperkirakan dilakukan oleh hewan, yaitu burung, primata dan kelelawar
sebagai penyebar primer dan kumbang tinja (dung beetles) yang berfungsi sebagai
penyebar sekunder atau tersier. Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan
hutan di sekitar kebun karet campur terutama untuk menjaga ketersediaan biji
jenis-jenis hutan yang bernilai penting dan dapat tumbuh secara alami di kebun
karet campur.

Jenis-jenis tumbuhan lainnya yang juga dapat ditemukan di kebun karet campur
antara lain adalah bunga bangkai (Amorphophallus titanum), gaharu (Aquillaria
malaccensis), jenis-jenis tumbuhan bernilai ekonomis tinggi untuk kayunya seperti
kempas (Koompassia malaccensis), keranji (Dialium indum), kulim (Scorodocarpus
borneensis), serta jenis-jenis tumbuhan obat seperti pasak bumi (Eurycoma
longifolia).

Tingkat keanekaragaman hayati di kebun karet campur tersebut antara lain


dipengaruhi oleh umur kebun dan juga vegetasi awal pada saat kebun dibuka.

1 Luas Bidang Dasar (LBDS) atau Basal Area, adalah rasio total luas penampang batang pohon pada ukuran 1,3 m dari pangkal pohon per 1 ha lahan
(m2/ha).
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 263

Beberapa tipe pengelolaan kebun juga sangat berpengaruh seperti metode


penebasan atau pemeliharaan kebun dan peremajaan kebun. Peremajaan kebun
dengan menggunakan metode sisipan memiliki keuntungan ekologi yang cukup
besar, yaitu menjaga keragaman tumbuhan yang ada di kebun karet.

45

40

35
Batotal
30 Diversity

25

20

15

10
RAF Forest
Tipe Penutupan Lahan

Keterangan gambar: RAF=kebun karet campur; Forest=Hutan; BAtotal=Luas Bidang Dasar Total;
Diversity=Indeks Keanekaragaman Simpson

Gambar 37. Perbedaan tutupan vegetasi hutan dan kebun karet campur dilihat dari Luas
Bidang Dasar (BA total) dan keragaman jenisnya (Diversity) berdasarkan data yang dikumpulkan
dari 77 plot kebun karet campur dan 29 plot hutan di Kabupaten Bungo

Fauna
Hasil inventarisasi vegetasi yang dilakukan pada 2001-2004 di kebun karet campur
dan hutan di sekitar Kabupaten Bungo menunjukkan bahwa struktur vegetasi
kebun karet campur dapat membantu menyediakan tempat tinggal bagi sebagian
besar makhluk hidup yang dulunya hidup di dalam hutan. Kebun karet campur
bervegetasi lebat, sehingga dapat berfungsi sebagai daerah penyangga dan/atau
koridor loncatan (stepping stone corridor) satwa liar dari dan ke tipe vegetasi hutan
dan non-hutan. Untuk membuktikan hal tersebut telah dilakukan sejumlah studi
inventarisasi dan identifikasi jenis hewan di kebun karet campur sejak 2004-
2006.

Hasil wawancara dengan petani-petani yang memiliki pengetahuan lebih


tentang binatang mamalia, dipadukan dengan observasi langsung di lapangan,
264 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

menunjukkan bahwa kebun karet campur dapat menampung 31 jenis mamalia


yang menjadikan kebun karet campur sebagai (Calestreme, 2004):
1. Penyedia sarang dan makanan: untuk beruk (Macaca nemestrina), ciga
(Macaca fascicularis), babi (Sus scrofa) dan ungko (Hylobates agilis),
2. Area migrasi: nangoi (Sus barbatus), tupai jenjang (Callosciurus notatus dan
Callosciurus prevostii), kelelawar (Pteropus vampyrus),
3. Tempat hidup hewan langka karena perburuan: rusa (Cervus unicolor dan
Mutiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), napu (Tragulus napu), landak/
bunjo (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanicus),
4. Tempat hidup hewan langka karena perilakunya: kukang (Nyctecibus
coucang), lemur (Cynocephalus variegatus), beruang (Ursus malayanus),
5. Tempat hewan-hewan hutan mencari makan: tapir (Tapirus indicus), anjing
hutan (Cuon alpinus).

Fungsi kebun karet campur sebagai habitat hidup jenis-jenis mamalia tersebut
akan terpenuhi bila luas dan struktur vegetasi kebun karet campur sesuai
dengan karakteristik mamalia tersebut, dan masyarakat menerapkan praktek
pengelolaan kebun yang mengarah pada terciptanya penutupan vegetasi yang
hampir menyerupai hutan. Studi yang dilakukan oleh Calestreme pada 2004
untuk mamalia ditindaklanjuti dengan studi yang lebih detail tentang kelelawar
oleh Prasetyo pada 2005, primata oleh Hendarto pada 2005, kumbang tinja oleh
Hariyanto pada 2005 dan burung oleh Iqbal pada 2006.

Studi tentang kelelawar oleh Prasetyo (2007) berfokus pada famili Pteropodidae
(kelelawar pemakan buah), dengan tujuan untuk mengeksplorasi potensinya
sebagai agen penyebar biji dan sebagai penyerbuk beberapa jenis pohon hutan
yang penting dan hidup di kebun karet campur dan di hutan. Berdasarkan hasil
pengamatan di hamparan kebun karet campur, ditemukan 12 jenis kelelawar yang
terdiri dari 10 jenis pemakan buah (Megachiroptera) dan 2 jenis pemakan serangga
(Microchiroptera). Sedangkan di hutan hanya ditemukan 6 jenis kelelawar yang
terdiri dari 4 spesies Megachiroptera dan 2 spesies Microchiroptera.

Kelelawar jenis Balionycteris maculata, Megaeops ecaudatus, dan M. wetmorei


yang ditemukan di wanatani karet merupakan indikator bahwa vegetasi tersebut
mempunyai habitat yang hampir sama dengan hutan. Jenis Eonycteris spealea yang
ditemukan di kebun karet campur, umumnya dapat dijadikan sebagai indikator
akan dimulainya musim buah atau bunga. Kelelawar famili Hipposideridae yang
ditemukan pada kebun karet muda dan Rhinollophidae yang ditemukan di hutan,
merupakan pengendali kumbang Epilachna spp (Coccinelidae) yang merupakan
hama bagi tanaman padi.
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 265

Sementara studi primata yang dilakukan Hendarto (2007) difokuskan pada 7 jenis
primata yang diharapkan dapat ditemukan di kebun karet campur berdasarkan
studi sebelumnya: ungko (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), kukang
(Nyctecibus coucang), simpai (Presbytis melalophos), beruk (Macaca nemestrina),
ciga (M. fascicularis) dan cingko (Trachypithecus cristatus). Hasil penelitian
menunjukkan hanya enam jenis primata yang dijumpai, sementara kukang tidak
dapat ditemukan pada saat pengamatan yang dilakukan pada pagi-sore hari.

Keenam primata tersebut berpotensi menjadi hama, namun juga dapat digunakan
sebagai indikator lingkungan yang menyerupai hutan. Simpai, ciga, beruk dan
lutung adalah primata yang berpotensi menjadi hama karena memiliki daya
adaptasi perubahan diet (menu makanan) yang cukup tinggi, selain itu kecepatan
berkembang biaknya lebih tinggi dibandingkan dua jenis primata lainnya.

Sedangkan keberadaan siamang dan ungko di suatu ekosistem dapat dijadikan


sebagai indikator lingkungan yang menyerupai hutan karena keduanya hanya
dapat ditemui pada tipe vegetasi dengan ukuran pohon yang besar (tinggi 18-30
m) dan kerapatan pohon yang mendukung pergerakannya. Lapisan tajuk yang
lebat digunakan siamang dan ungko untuk berlindung dan bersembunyi dari
gangguan predator. Siamang tidak ditemukan di kebun karet campur Bungo,
sedangkan ungko dapat dijumpai karena sumber makanannya yaitu buah dapat
ditemui di kebun karet campur dan karena ukuran tubuhnya yang lebih kecil dari
siamang, memudahkan untuk bergerak dan beradaptasi dengan kondisi struktur
vegetasi kebun karet campur.

Studi tentang kumbang tinja oleh Hariyanto (2007) dilakukan untuk melihat
potensinya sebagai indikator lingkungan, seperti yang juga telah dilakukan oleh
Harvey et al. (2006) di Costa Rica. Kumbang tinja sangat bergantung pada mamalia
besar, dan beberapa jenis kumbang tinja hanya memakan kotoran jenis-jenis
hewan tertentu saja serta sensitif pada perubahan lingkungan. Dengan penelitian
ini, diharapkan dapat diketahui keberadaan hewan-hewan langka yang biasanya
sulit ditemukan secara langsung. Dengan melihat keanekaragaman dan tingkat
keseragaman kumbang tinja, akan dapat diketahui kualitas lingkungan di lokasi
pengambilan, juga tingkat keanekaragaman hewannya. sebab meski demikian,
cukup sulit untuk menentukan jenis kumbang yang sensitif, sebab setiap daerah
memiliki variasi penyusun jenis yang berbeda dengan tingkat endemisitas yang
tinggi.

Pada studi kumbang tinja di hamparan kebun karet campur Kabupaten Bungo
terkumpul sampel kumbang sebanyak 6.486 individu, terdiri atas 3 famili
266 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

(Scarabaeidae, Trogidae dan Aphodiidae) dan 13 marga yaitu Paragymnopleurus


(8,26%), Sisyphus (42,86%), Phacosoma (0,45%), Panelus (0,17%), Catharsius
(5,91%), Copris (2,87%), Microcopris (2,37%), Oniticellus (0,05%), Yvescambefortius
(0,28%), Coccobius (4,32%), Onthophagus (29,68%), Aphodius (0,03%) dan
Trox (2,76%). Diperkirakan ada 46 jenis (morphospecies) kumbang tinja, 26 di
antaranya dari marga Onthophagus, 4 dari Copris dan Trox, 2 dari Microcopris dan
Oniticellus dan masing-masing 1 jenis untuk marga yang lain. Dari keseluruhan
kumbang tinja yang didapat, jenis yang hanya ditemui di hutan dapat digunakan
sebagai indikator perubahan habitat, yaitu Copris sp.AH, Onthophagus sp.AE,
dan Onthophagus sp.AL. Selain itu jenis Trox sp.AG, Copris sp.Q dan Copris sp.U
dapat digunakan karena cenderung ada pada tipe vegetasi menyerupai hutan.
Jenis Onthophagus sp.X dan Microcopris sp.E sama seperti Sisyphus lebih adaptif di
kebun karet dibandingkan hutan. Dominasi jenis Sisyphus spp. di suatu bentuk
penggunaan lahan menunjukkan bahwa pada ekosistem tersebut telah terganggu.
(Hariyanto, 2007).

Studi burung pun dilakukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung yang


perlu dilindungi berdasarkan daftar burung langka di dunia, selain itu juga untuk
mengeksplorasi potensi burung sebagai penyebar biji jenis pohon hutan ke kebun
karet dan mungkin sebaliknya. Sebuah survei selama 12 hari (24 Januari - 4 Februari
2006) dilakukan di blok-blok kebun karet campur dusun Sungai Letung dan dusun
Sangi. Secara mengejutkan, terdapat lebih dari 100 jenis burung di kawasan ini
(walaupun tidak seluruh jenis tersebut benar-benar ditemukan di kebun karet
campur). Beberapa jenis burung yang dilindungi oleh Undang-Undang Republik
Indonesia terdapat dalam kawasan ini, tetapi yang paling mengejutkan adalah
ditemukannya sempidan biru (Lophura ignita) dan raja udang kalung biru (Alcedo
euryzona) yang menggunakan kebun karet campur ini sebagai tempat bertahan
hidup (survive). Kedua jenis burung ini termasuk spesies terancam punah di
seluruh dunia (globally threatened species) berdasarkan IUCN Redlist.

Fungsi Ekologis Kebun Karet Campur


Inventarisasi fauna dan flora menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati yang
ada di kebun karet campur telah membentuk struktur yang mendukung beberapa
fungsi ekologis yang mirip dengan hutan. Fungsi ekologis hutan yang difungsikan
oleh kebun karet campur antara lain adalah pemelihara keseimbangan tata air,
oksigen dan persediaan karbon; serta pemelihara keseimbangan populasi hewan
yang berpotensi menjadi hama. Pohon, mamalia, kelelawar, primata, kumbang
tinja dan burung adalah aktor-aktor keanekaragaman hayati dengan fungsinya
masing-masing seperti yang tertera pada Tabel 28.
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 267

Tabel 28. Ringkasan fungsi ekologis kehati kebun karet campur berdasarkan hasil studi detail
keanekaragaman hayati flora dan fauna dari 2001-2006 di Kabupaten Bungo

Taxa Fungsi ekologis keanekaragaman hayati kebun karet Kebun Potensi


hidupan campur karet menjadi
yang sebagai hama jika
diamati area keseim-
preservasi bangan
jenis hutan populasinya
terganggu
Penyebar biji Penyerbuk Penyubur Pemelihara
tumbuhan bunga tanah keseimbangan
dari hutan ke tata air,
kebun karet oksigen dan
campur persediaan
carbon (carbon
stock)
Pohon - - Tidak Ya Ya -
langsung
Kelelawar Ya Ya Tidak Tidak langsung Ya Belum
langsung
Primata Ya - Tidak Tidak langsung Ya Ada (misalnya
langsung simpai)
Kumbang Ya - Ya Tidak langsung Ya Belum
Tinja
Burung Ya Ya Tidak Tidak langsung Ya Belum
langsung

Berdasarkan hasil analisis sederhana dari studi keanekaragaman hayati, diketahui


bahwa kebun karet campur berpotensi untuk memberikan sumbangan yang sangat
nyata terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Agar fungsi ekologis hutan
dapat terpenuhi, maka hipotesis indikatornya adalah:
• Memiliki Luas Bidang Dasar (LBDS) total >20m2/ha dengan proporsi LBDS
karet 1/3 dari proporsi total LBDS. Ini diambil dari rata-rata besar LBDS
kebun karet campur di Kabupaten Bungo yang berkorelasi cukup baik dengan
tingkat keanekaragaman hayati anakan jenis pohon yang ada di bawahnya.
• Memiliki pohon buah-buahan dengan tinggi >25m, sebagai syarat tempat
hidupan dan sumber makanan mamalia (khususnya primata) dan burung.
• Memiliki Indeks Keanekaragaman Simpson >15 untuk tumbuhan
bawahnya.
• Jumlah pohon karet (diameter >31,4 cm ) yang ada di kebun tersebut adalah
sekitar 50-150 batang/ha, untuk menjaga keseimbangan antara penghidupan
dan jasa lingkungan.
268 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indikator-indikator tersebut masih berupa hipotesis yang perlu diuji melalui studi
yang lebih rinci, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan kriteria dan
indikator potensi kebun karet campur dalam konservasi keanekaragaman hayati.

POTENSI KEBUN KARET CAMPUR BAGI


KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
Hasil penelitian mengenai keanekaragaman hayati di kebun karet campur dari
segi biologis (baik flora maupun fauna) seperti dipaparkan di atas, menunjukkan
bahwa kebun karet campur di Kabupaten Bungo juga patut mendapatkan
perhatian dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati hutan hujan dataran
rendah. Perbandingan antara kelimpahan pohon di hutan dan kebun karet campur
menjadi indikator nilai konservasi kebun karet campur. Untuk alasan itu, ada tiga
nilai konservasi utama yang perlu ditinjau dari sistem kebun karet campur pada
konteks keanekaragaman hayati, antara lain:
1. Nilai Sosial Ekonomi: keanekaragaman hayati di kebun karet campur sebagai
sumber jenis-jenis hasil hutan bukan kayu (Non Timber Forest Products) yang
memiliki nilai guna langsung bagi penghidupan masyarakat.
2. Nilai Ekologis: nilai yang berasal dari beragam fungsi ekosistem. Hal ini bisa
membawa implikasi positif bagi kegiatan pertanian (penyerbukan bunga,
kontrol hama pengganggu, dsb) dan penciptaan lingkungan yang sehat di
sekitarnya antara lain melalui beberapa fungsi:
• Fungsi hidrologis: dengan porositas tanah, struktur vegetasi dan
tutupan lahan, (walaupun akan cukup sulit membedakan antara fungsi
hidrologi hutan dan kebun karet campur),
• Fungsi penyimpan karbon (carbon stock),
• Potensi sebagai area penyangga untuk kawasan konservasi
3. Nilai Estetika: nilai keindahan yang berasal dari etika, norma dan nilai budaya/
spiritual dari keanekaragaman hayati yang dapat mendukung pengembangan
ekowisata.

Hutan dan kebun karet campur menjalankan fungsi-fungsi ekologis yang penting
bagi keseimbangan alam. Keanekaragaman hayati merupakan indikator yang
digunakan untuk melihat keseimbangan fungsi ekologis di suatu ekosistem.
Menjaga keberadaan tingkat keanekaragaman hayati agar berada pada proporsi
yang berimbang di masing-masing ekosistem, akan membantu agar fungsi-fungsi
ekologis berjalan secara berkesinambungan. Ketika keseimbangan alam tercipta,
atmosfer menyehatkan akan terwujud sebagai jaminan bagi kelangsungan hidup
BAGIAN 3-7 • Endri Martini 269

seluruh bentuk hidupan (termasuk manusia) di bumi ini. Untuk mewujudkan itu,
perlu dipikirkan mekanisme kegiatan konservasi jasa lingkungan keanekaragaman
hayati yang melibatkan banyak pihak untuk membantu peningkatan kesadaran
terhadap lingkungan sekitarnya.

UCAPAN TERIMA KASIH


Artikel ini merupakan kompilasi beberapa hasil penelitian keanekaragaman hayati
yang dilakukan sejak 2002 sampai 2005 di Muara Bungo oleh tim ICRAF Muara
Bungo, mahasiswa S3 dari IPB (Saida Rasnovi), mahasiswa S2 dari IRD/Institut de
Recherche pour le Developpement (Marie Calestreme), mahasiswa S1 dari Universitas
Negeri Jakarta (Nur Hariyanto, Pandam Nugroho, Hendra Hendarto), staf GIS
ICRAF (Andree Ekadinnata) dan staf Yayasan Gita Buana yang membantu
program RUPES (Iqbal). Penelitian-penelitian keanekaragaman hayati tersebut
didanai oleh IFAD (International Fund for Agricultural Development) melalui
program RUPES (Rewarding Uplad Poor for the Environmental Services they provide),
IFS (International Foundation for Science) dan IRD. Peneliti mengucapkan terima
kasih pada masing-masing pihak yang tersebut di atas ataupun pihak lain yang
tidak dapat disebutkan satu per satu pada kesempatan ini, untuk dukungannya
dalam penyusunan artikel ini.

BAHAN BACAAN
Calestreme, M. 2004. A Rapid Assessment of Faunal Biodiversity in Rubber
Agroforest through Local Knowledge in Muara Bungo District, Jambi,
Sumatera Island. Master of Rural and Tropical Forestry ENGREF
Montpellier. Montpellier, Perancis.
Conservation International. 2001. Critical Ecosystem Partnership Fund: Sumatera
Forest Ecosystems of the Sundaland Biodiversity Hotspot. Ecosystem
Profile, Indonesia.
Ekadinata, A dan Vincent, G. 2004. Working Report: Landcover Change
Detection in Bungo District Jambi Using Object Based Classification.
Laporan internal World Agroforestry Centre/ICRAF. ICRAF, Bogor,
Indonesia.
Ekadinata, A dan Vincent, G. 2008. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo,
Jambi. Dalam: Adnan, H., Tadjudin, D.J., Yuliani, E.L., Komarudin, H.,
Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo:
270 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor,


Indonesia.
Hariyanto, N. 2007. Keanekaragaman Jenis Kumbang Tinja (dung beetles) pada
Beberapa Tipe Habitat di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat.
Skripsi Mahasiswa S1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Harvey, CA, Jorge Gonzalez and Eduardo Somaribba. 2006. Dung Beetle and
Terrestrial Mammal Diversity in Forests, Indigenous Agroforestry
Systems and Plantain Monocultures in Talamanca, Costa Rica.
Biodiversity and Conservation 15:555–585. Springer.
Hendarto, H. 2007. Populasi Beberapa Jenis Primata pada Agrosistem Karet di
Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Laporan Kegiatan
Lapang Mahasiswa S1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Iqbal, 2006. Laporan Sementara Survey Burung di Hamparan Kebun Karet
Campur Lubuk Beringin dan Rantau Pandan Kabupaten Bungo. RUPES
Bungo, Bungo, Indonesia.
Martini, E., Ekadinata, A., Chaniago, D., Dasrul, Jasnari, Kuncoro, S.A. 2004.
Laporan Kegiatan Identifikasi Lokasi RUPES Bungo tahap I. RUPES
Bungo, Bungo, Indonesia.
Martini, E. 2005. Laporan Tahun Pertama Konsorsium RUPES Bungo: Studi
Kehati di Kebun Karet Campur Kabupaten Bungo. ICRAF, Muara
Bungo, Indonesia.
Prasetyo, P N. 2007. Keanekaragaman Jenis Kelelawar pada Agrosistem Karet di
Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi Mahasiswa
S1 Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia.
Rasnovi, S. 2007. Keragaman Jenis Anakan Tumbuhan Berkayu di Kebun Karet
Campur: Pengaruh umur dan Intensitas Manajemen. Disertasi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.
Tim RUPES Bungo. 2005. Ringkasan Hasil Pertemuan Technical Advisory Group,
26-27 Juli 2005, Hotel Semagi, Muara Bungo. RUPES Bungo, Bungo,
Indonesia.
BAGIAN 3-8
Potensi Pengembangan Mekanisme Imbal Jasa
Lingkungan Wanatani Karet di Desa Lubuk
Beringin

Damsir Chaniago
272 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KORBAN PEMBANGUNAN
Kata pengorbanan selalu dipakai dalam setiap praktek pembangunan, terutama yang
berhubungan langsung dengan kawasan publik. Maka penggusuran, pengusiran
paksa, intimidasi, ataupun ganti-rugi selalu menjadi sepupu pembangunan.
Dampak lingkungan tidak menjadi perhatian praktek pembangunan. Proses
pembangunan telah mengabaikan dampak sosial budaya dan lingkungan fisik.
Keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari seberapa besar bangunan fisik dapat
didirikan, atau seberapa banyak laba bersih yang dapat dihasilkan, dan seberapa
banyak penyerapan tenaga kerja. Tetapi tidak pernah menghitung berapa polusi
dan dampaknya terhadap lingkungan, seberapa jauh pergeseran nilai-nilai sosial
budaya, atau seberapa besar kerugian yang harus ditanggung akibat terganggunya
keseimbangan lingkungan dan ekologi seperti banjir, longsor, pencemaran air, dan
sebagainya.

Pemahaman bahwa kesejahteraan masyarakat hanya dapat dicapai melalui


percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seperti itu, merupakan
awal malapetaka lingkungan. Sementara praktek pembangunan yang telah
dilakukan masyarakat sering dianggap sebagai sistem yang sudah ketinggalan
jaman, tradisional, tidak efisien, dan lain-lain dengan konotasi terbelakang dan
harus diubah.

Masyarakat yang hidup menyatu dengan lingkungan, mampu mengelola


sumberdaya alam yang memperhatikan aspek konservasi dan keberlanjutan,
tidak memperoleh penghargaan yang sepadan. Padahal masyarakat memiliki
kecakapan untuk menjalankan pembangunan lestari, yang gagal diperankan oleh
pemerintah. Lubuk larangan, hutan adat, parak, repong, dan lain-lain merupakan
bukti kecakapan masyarakat itu. Malahan masyarakat sudah menggunakan
pendekatan manajemen DAS berkelanjutan.

DESA LUBUK BERINGIN


Desa Lubuk Beringin1 awalnya memiliki aturan dan norma adat yang khas. Namun
dengan penyeragaman bentuk pemerintahan menjadi desa, peran–peran adat
dalam kehidupan sehari-hari makin memudar dan nyaris hilang. Peranan lembaga
adat dan tokoh adat juga memudar. Berbagai lembaga formal seperti pemerintah

1 Dari cerita tokoh-tokoh masyarakat Lubuk Beringin disebutkan bahwa masyarakat Desa Lubuk Beringin berasal dari Desa Buat dan merupakan
wilayah Rio Setih Setio. Desa ini diperkirakan mulai terbentuk sekitar 1800-an.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 273

desa, BPD, LPM, PKK, Karang Taruna dan lembaga-lembaga formal lainnya hanya
diciptakan sebagai formalitas saja dan tidak lebih dari sekedar untuk memenuhi
selera dan syarat keberadaan desa. Lembaga-lembaga “bikinan” tersebut
sesungguhnya tidak dapat memberikan kontribusi yang nyata seperti diharapkan
masyarakat, antara lain akibat kurangnya sosialisasi dan pemberdayaan terhadap
tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Malah saat ini kepercayaan masyarakat
kepada lembaga (maupun perangkatnya) tersebut sangat kurang. Sementara itu
keberadaan tokoh adat dan lembaga adat hanya sebagai pelengkap di dalam setiap
pengambilan keputusan di desa, dan itupun sering terjadi rangkap jabatan dan
kesalahan dalam memilih kepengurusan yang hanya mempertimbangkan status
dan tidak mempertimbangkan kemampuan.

Pada saat lembaga-lembaga mengalami kemandekan fungsi, peranan lembaga-


lembaga informal semakin terlihat dan sangat berpengaruh dalam masyarakat,
seperti kelompok wirid yasinan, kelompok simpan pinjam, dan kelompok tani
serta kelompok pengelola PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro), yang
secara nyata mulai menarik hati masyarakat.

Kelompok wirid yasinan merupakan kelompok informal keagamaan yang sudah


berlangsung cukup lama. Kelompok ini dipelopori tokoh-tokoh agama dan
masyarakat berusia lanjut. Kelompok wirid yasin yang aktif di Lubuk Beringin
adalah wirid yasin Koperasi Simpan Pinjam Perempuan Dahlia, Pemerintah Desa
dan BPD, dan wirid yasin Remaja Mesjid.

Kelompok Simpan Pinjam Perempuan Dahlia di Desa Lubuk Beringin telah


berkembang menjadi penopang ekonomi desa sejak 2000. Kini kelompok ini telah
memiliki modal hampir Rp. 30 juta yang terus digulirkan. Proses terbentuknya
kelompok ini dimulai dengan simpanan-pokok Rp 5.000 dan iuran bulanan Rp
1.000/anggota. Melalui proyek ICDP-TNKS terjadi penambahan modal usaha
sebesar Rp. 15 juta pada 2002, yang digunakan sebagai tambahan modal dan
penyewaan peralatan pengantin. Salah satu penopang keberhasilan kelompok
ini adalah kemauan dan kemampuan kelompok perempuan dalam membuat
dan menjalankan kesepakatan dan aturan tanpa campur-tangan pihak lain (laki-
laki).

Desa Lubuk Beringin dengan penduduk 80 KK (400 jiwa), rata–rata memiliki


wanatani karet 5 ha. Jadi, hampir seluruh masyarakat adalah penyedia jasa
lingkungan keragaman hayati di dalam wanatani karet.
274 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KABUPATEN BUNGO DAN WANATANI KARET


Kabupaten Bungo, seperti umumnya Sumatera Bagian Selatan, memiliki sistem
penggunaan lahan yang dikenal dengan wanatani karet. Sistem ini merupakan
kearifan lokal masyarakat yang bertahan secara turun-temurun. Ia memiliki
struktur, profil vegetasi dan fungsi yang hampir menyerupai hutan sekunder.
Malahan sistem ini mampu untuk menjadi habitat alternatif bagi sebagian besar
satwa liar serta mampu menjalankan fungsi hidrologis DAS Batang Hari.

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) mulai diperkenalkan kepada masyarakat


Sumatera Bagian Selatan (Propinsi Jambi) pada 1905, yang lebih dikenal juga
dengan nama Para(h). Dalam perkembangannya sampai sekarang, tanaman karet
tidak dapat dipisahkan dengan pola pertanian masyarakat. Pembangunan wanatani
karet dimulai dari behumo (membuka kawasan hutan sebagai areal peladangan),
dilanjutkan dengan menanami tanaman semusim (padi, cabe, jagung, dan lain-
lain) yang ditumpangsarikan dengan tanaman karet dan tanaman buah (durian,
nangka, duku, dan lain-lain).

Kabupaten Bungo, baik secara geografis maupun biofisik, berperan sangat penting
sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan daerah tangkapan air DAS
Batang Hari dengan konsep koridor loncatan (Gambar 38). Kabupaten Bungo
diapit oleh Taman Nasional Kerinci Seblat, Bukit Duabelas, dan Bukit Tigapuluh.
Meski kawasan hutan terus berkurang, karena dikonversi menjadi perkebunan
monokultur, namun keberadaan wanatani karet di Bungo cenderung stabil.

Dinamika perubahan lahan yang terekam oleh analisa citra Landsat menunjukkan,
meskipun pengurangan kawasan hutan dan perkebunan monokultur bertambah
dengan cepat tetapi kebun karet campur cenderung stabil keberadaannya,
membuat lokasi ini menjadi objek penelitian yang sangat menarik. Dengan
kondisi pasar yang ada hingga saat ini, produktivitas dan profitabilitas kebun karet
campur dapat dikatakan marjinal. Hal ini menyiratkan bahwa sangat mungkin
sekali faktor ekonomi bukan menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan sistem
kebun karet campur.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 275

Gambar 38. Konsep koridor loncatan. Sumber: ICRAF

Tujuan Konservasi dan Ekonomi Wanatani Karet


Pertentangan antara tujuan ekonomi dengan tujuan konservasi juga ditemukan
pada sistem wanatani karet di Kabupaten Bungo. Kebutuhan ekonomi
terkadang mendorong masyarakat untuk mengubah wanatani karet yang lebih
menguntungkan secara ekologis, menjadi kebun karet monokultur yang lebih
menguntungkan secara ekonomis jangka pendek. Keuntungan ekologis, seperti
jasa lingkungan, cenderung tidak atau kurang diperhatikan oleh banyak pihak.

Program RUPES (Rewarding Upland Poor for Environmental Service) Bungo


bersama-sama masyarakat dan pihak terkait lainnya berusaha mencari alternatif
sistem yang dapat mengurangi dilema konservasi dan kebutuhan ekonomi dengan
berfokus pada wanatani karet. Dengan mengkonservasi keanekaragaman hayati,
diharapkan keseimbangan alam terjaga dan kebutuhan ekonomi masyarakat pun
terpenuhi. Desa Lubuk Beringin, Laman Panjang, dan Desa Buat Kecamatan
Batin III Hulu terpilih sebagai lokasi proyeknya.
276 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Hamparan kebun karet rakyat di Lubuk Beringin, berluas sekitar 3.500 ha, pada
umumnya berbentuk wanatani. Selain tanaman karet, di dalamnya tumbuh
berbagai jenis tanaman hutan seperti kayu-kayuan, rotan, manau, bambu dan
bermacam tanaman buah. Hasil penelitian ICRAF sejak 1990 menunjukkan
bahwa wanatani karet memiliki nilai ekonomis dan sekaligus berfungsi sebagai
kawasan konservasi. Meski produktivitas lahan masih sangat rendah namun
kawasan wanatani karet ternyata memiliki fungsi dan keragaman yang sangat
tinggi. Kondisi ini berkembang di bawah sistem adat, serta budaya dan kebiasaan
masyarakat yang mengandung aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan
seperti:
1) Kebun karet mempunyai nilai sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
2) Nilai-nilai kearifan tradisional masih tetap dipertahankan.
3) Peremajaan kebun karet dengan sistem sisipan dan ada upaya pengkayaan
kebun dengan tanaman ekonomis.
4) Adaptif terhadap inovasi baru dalam pengembangan sistem pertanian.
5) Nilai-nilai sosial masyarakat masih kuat.

Bagi masyarakat, wanatani karet tidak hanya berfungsi secara ekonomis tetapi
juga mempunyai fungsi sosial budaya seperti:
1) Pelindung dan penjaga ketersediaan air (ini berdasarkan pengalaman dampak
dari perubahan debit air sungai dihubungkan dengan pembukaan lahan).
2) Nilai sosial (rebung, bambu, rotan, dan pagar).
3) Tempat hewan buruan (rusa, kancil, burung-burungan, kijang, dan lain-
lain).
4) Makanan dan sayuran seperti rebung.
5) Buah-buahan seperti petai, duren, nangka, cempedak, bedaro (lengkeng
lokal), duku, langsat, embacang, dan lain-lain.
6) Tanaman obat-obatan seperti pohon kasai, bedaro putih (pasak bumi), dan
lain-lain.
7) Kayu bahan pagar, bangunan, dan bahan bakar seperti meranti, medang,
balam, sungkai, bambu, pelangas, rotan, dan lain-lain.
8) Habitat tanaman langka (Raflesia).
9) Areal penggembalaan hewan ternak (terutama pada musim bersawah).

Sebagai kawasan konservasi, keberadaan wanatani karet di hamparan Lubuk


Beringin ini memiliki peran penting, antara lain:
1) Merupakan Daerah Tangkapan Air DAS Batanghari (Sub DAS Batang
Bungo).
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 277

2) Bufferzone Hutan Lindung Rantau Bayur.


3) Kawasan koridor satwa antara TN Kerinci Seblat, TN Bukit Duabelas dan
TN Bukit Tigapuluh.
4) Habitat dan sumber plasma-nutfah

Wanatani karet menjadi habitat alternatif bagi lebih dari 60% tumbuhan yang
dijumpai dalam hutan. Dari perspektif masyarakat, kebun karet campur bukan
semata memiliki nilai ekonomi, tetapi juga berkontribusi besar terhadap sumber
air sawah, penghasil berbagai bentuk tanaman yang bernilai sosial dan dapat
dimanfaatkan secara bersama oleh masyarakat. Sistem tanam ’sisipan’ wanatani
karet campur serta pembersihan lorong merupakan kearifan yang dimiliki oleh
masyarakat untuk menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati di dalam kebun
karet campur.

Wanatani karet selain sebagai habitat satwa, juga menjadi tempat mencari makan
bagi beberapa jenis satwa. Jenis hewan yang dilindungi oleh pemerintah seperti
harimau, tapir dan beruang madu bahkan sempat terlihat berkeliaran dalam
kawasan ini beberapa waktu yang lalu.

Dilema Keragaman Hayati Wanatani Karet


Keragaman hayati wanatani karet terkait dengan sistem budidaya kebun yang
dijalankan masyarakat. Untuk membangun wanatani, masyarakat harus membuka
hutan dan menggunakannya untuk berhumo. Mereka membudidayakan tanaman
semusim, yang di tumpangsarikan dengan tanaman karet dan tanaman buah.
Sampai dengan karet siap sadap, dibutuhkan waktu 10-15 tahun. Dalam kurun
waktu itu, lahan akan ditinggalkan (pembersihan lahan hanya dilakukan pada
tanaman karet muda dan pada saat akan mulai penyadapan). Waktu tunggu itu
memberikan peluang kepada tanaman lain untuk tumbuh dan berkembang serta
menjadi habitat dari beberapa jenis binatang. Setelah kebun karet disadap pun,
hanya diterapkan perlakuan penebasan lorong dan penyisipan pada tanaman
karet yang mati. Proses penyisipan ini dapat berlangsung terus menerus dan dapat
terlihat dari tingkat keragaman umur tanaman karet, memulai dari tanaman muda
(baru disisipkan) sampai umur lebih dari 30 tahun. Kebun karet seperti itulah
yang disebut dengan wanatani karet. Proses-proses terbentuknya wanatani karet
dapat diilustrasikan pada Tabel 29.
278 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Tabel 29. Tahapan perkembangan kebun karet campur. Sumber: ICRAF

Periode Tahapan Pembentukan Kebun Karet Campur


0 tahun hutan/belukar/sesap tebas tebang bakar
1-3 tahun tanam padi + sayuran dan tanaman berukuran pendek lainnya
(misalnya cabe) + karet (sekitar 700-1000 batang/ha) + buah (durian,
jengkol)
3-10 tahun Kebun karet dibiarkan dan hanya dilihat maksimum setahun sekali
10-15 tahun Sadap pertama pembersihan kebun dilakukan untuk membuat
lorong sadap
10-13 tahun Pemeliharaan dengan anakan jenis-jenis pohon berguna yang
sistem tebas lorong + tumbuh sendiri (terutama pohon buah)
dibiarkan tumbuh menjadi pohon

>30 tahun Kebun karet campur tradisional/agroforest (jumlah pohon karet:


pohon non-karet berkisar 50:50)
Ketika produksi getah karet pada kebun karet campur sudah mulai
menurun, peremajaan kebun dilakukan dengan metode SISIPAN
menggunakan bibit karet stump besar di rung-ruang terbuka

Pemberdayaan Petani Karet


Selama kegiatan dampingan Program RUPES, telah terbentuk dua kelompok tani
di Desa Lubuk Beringin, yaitu kelompok tani Beringin Sakti dan Beringin Jaya.
Kelompok itu ditumbuhkan dari kelompok yang telah ada, baik formal maupun
informal, yang prosesnya dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok, pelatihan,
studi banding, dan pengumpulan informasi.

Kelompok tani Beringin Sakti, melalui bantuan ICRAF, telah membangun kebun
pembibitan batang bawah sebanyak 20.000 batang dan kebun entres klon PB 260
dan RRIC 100. Kelompok tani Beringin Jaya bersama masyarakat membangun
kebun pembibitan batang bawah sebanyak 24.000 batang karet (bantuan dari
dana DPD/K pada 2005, masing-masing KK mendapat 2.000 biji).

Penguatan kelembagaan masyarakat (terutama kelompok simpan-pinjam


dan kelompok tani) dilakukan secara sistematik dan terus menerus. Untuk
meningkatkan kemampuan berorganisasi, dilakukan Pelatihan Dinamika
Kelompok, Pelatihan Manajemen Organisasi, dan Pelatihan Pembukuan Kelompok.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 279

Bekerjasama dengan inisiatif lain yang sedang dilaksanakan oleh ICRAF (proyek
CFC), kelompok tani karet juga telah mendapatkan pelatihan teknik budidaya
karet. Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas anggota, beberapa anggota
kelompok dan pengurusnya diikutkan pada studi banding, lokakarya dan berbagai
pertemuan di kabupaten maupun nasional. Kunjungan-silang antar petani karet
di Muara Bungo juga terus dilakukan.

FASILITASI IMBAL JASA LINGKUNGAN


Sosialisasi RUPES kepada masyarakat, terutama tentang imbal jasa lingkungan,
dilakukan dengan sangat hati-hati. Ketika bicara tentang imbal jasa, harapan
masyarakat pun tumbuh: bagaimana mereka dapat memperolehnya dan seberapa
besar yang mereka peroleh. Masyarakat sudah terbiasa dengan program (proyek)
yang selalu berkaitan dengan uang tunai atau pembangunan fisik. Harus dijelaskan
secara hati-hati bahwa imbal jasa tersebut tidak hanya berbentuk uang tunai
atau bangunan fisik, melainkan bisa berupa peningkatan sumberdaya manusia
seperti pelatihan, studi banding, pendampingan dan lainnya. Proses peningkatan
kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah akan pentingnya pelestarian
lingkungan dilakukan secara intensif pada setiap kesempatan. Juga dilakukan
pembuatan leaflet, kalender dan video tentang wanatani karet, dan pendampingan
di tingkat desa-desa sehamparan dan diskusi kebijakan dan penyusunan RUTRW
Kabupaten.

Meskipun belum ditemukan pihak ketiga pembeli jasa lingkungan, Tim RUPES
Bungo tetap berusaha mencari mekanisme dan bentuk imbal jasa yang bisa
diberikan kepada masyarakat, baik dari internal masyarakat ataupun dari
pemerintah daerah. Bentuk imbal jasa yang dapat coba dikembangkan antara lain
melalui:
1) Pemerintah daerah (BAPPEDA, Dishutbun, Dinas Pertanian, KSPM dan
Dinas Pertambangan) dalam melaksanakan program-programnya.
2) Institusi non-pemerintah (Universitas Jambi, ICRAF, CIFOR, KKI-WARSI,
Yayasan Gita Buana).
3) Penggalian bentuk imbalan dari dalam masyarakat sendiri.

Upaya dalam pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan di tingkat


kabupaten telah didorong melalui dinas dan instansi terkait untuk mengarahkan
program-program (khususnya program pemberdayaan masyarakat) di desa-desa
RUPES Bungo. Proyek-proyek tersebut dapat dianggap sebagai imbalan jasa
280 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang diberikan oleh pemerintah terhadap konservasi keragaman hayati di dalam


wanatani karet. Selain itu, telah dilakukan pula penelusuran potensi pembeli
imbal jasa dari pihak swasta.

Perlindungan Kawasan
Sebelum ditemukannya pembeli yang tertarik memberikan imbal jasa atas
keanekaragaman hayati wanatani, keberadaan wanatani karet perlu tetap
dipertahankan. Lokasi wanatani karet dijaga agar tidak dikonversi menjadi
peruntukan lain seperti pertambangan, perkebunan sawit, maupun transmigrasi.
Kepastian dan jaminan hukum tentang lokasi tersebut perlu diakomodasikan
dalam Revisi Tata Ruang Kabupaten. Tetapi hal itu akan mendapat tantangan
yang besar, karena beberapa kawasan wanatani karet itu mengandung deposit
batu bara atau emas yang amat potensial. Eksploitasi daerah tersebut justru akan
memperoleh dukungan pemerintah yang berharap akan mendapat sumber PAD
Kabupaten Bungo.

Sampai saat ini dukungan kebijakan pemerintah masih sangat kecil. Dukungan
baru terbatas pada Revisi Tata Ruang yang menjamin keberlangsungan keberadaan
wanatani karet di lokasi RUPES. Selain itu, sedang diusulkan untuk memberikan
prioritas penempatan proyek pada lokasi-lokasi RUPES, sebagai bentuk imbal
jasa lingkungan. Usulan itu diajukan kepada Bappeda, Dishutbun, Dinas KSPM,
maupun Dinas Disperindagkop.

Pengembangan Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan


Pengembangan skema dan mekanisme imbalan dilakukan dengan pendekatan
partisipatif. Skema imbal jasa lingkungan secara fisik tidak dijumpai di Desa Lubuk
Beringin; karena desa ini telah mendapat dana kompensasi BBM sebesar Rp. 250
juta dari pemerintah yang dialokasikan untuk pembangunan infra-struktur desa.
Desa ini juga sedang mengelola prasarana listrik dan mesin pertanian bantuan
proyek ICDP-TNKS. Dengan demikian, bentuk imbalan yang muncul di Lubuk
Beringin adalah pengembangan komoditi unggul (durian, petai), pengayaan
kebun karet campur dengan jenis yang bernilai ekonomi (rotan manau, gaharu),
pengembangan industri rumah tangga (kerajinan dan anyaman), bantuan
pemasaran dan tata niaga hasil wanatani karet, pelatihan manajemen rumah
tangga, bantuan ekonomi bergulir, studi banding, seminar dan pengembangan
sumberdaya manusia lainnya. Skema di dua desa lainnya juga relatif sama.
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 281

Secara umum model imbal jasa lingkungan yang akan dikembangkan pada kawasan
hamparan Lubuk Beringin dalam bentuk tiga model yaitu:
1) Imbal jasa lingkungan untuk pemilik kebun karet campur.
Terdapat dilema dalam pemberian imbal jasa lingkungan kepada pemilik.
RUPES amat peduli dengan masalah pengentasan kemiskinan, dan dengan
demikian amat berkepentingan dengan pemilik kebun skala kecil. Namun
secara obyektif, pemilik kebun skala luas pun sungguh memberikan jasa
lingkungan, seperti halnya pemilik kebun skala kecil. Meski demikian,
untuk menjaga kepentingan pemberdayaan masyarakat miskin, harus ada
pembatasan terhadap luasan kebun karet yang akan diberi imbal jasa disertai
dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi semua pemilik kebun karet.
2) Imbal jasa lingkungan untuk buruh sadap.
Meski tidak mempunyai kontrol yang besar pada kebun, buruh sadap
merupakan pihak yang mempunyai akses yang tinggi terhadap kebun karet.
Mereka juga termasuk kelompok miskin yang pada saat yang sama sangat
memahami aspek spasial kebun karet.
3) Imbal jasa lingkungan untuk tingkat desa.
Imbal jasa lingkungan untuk tingkat komunitas atau desa juga sangat perlu
diperhatikan. Proses penyusunan perencanaan, kesepakatan, serta monitoring
dan evaluasi partisipatif, selalu melibatkan peranan desa.

Mekanisme imbal jasa lingkungan secara detail terus dibahas dan dikembangkan
selama proses dampingan. Namun masih dijumpai kendala yang nyata, yaitu
belum adanya kriteria dan indikator untuk menilai kelayakan kebun karet untuk
menerima imbal jasa lingkungan.

Penegasan Kawasan Kelola


Untuk mempertegas kawasan kelola masyarakat, RUPES bersama masyarakat
melakukan kegiatan mengenal kawasan melalui sketsa dan peta, yang dilanjutkan
dengan pemetaan partisipatif di lapangan. Secara sederhana pemetaan partisipatif
diartikan sebagai kegiatan mengenal, menggambarkan, dan memetakan tipe
penggunaan kawasan kelola secara bersama-sama dengan masyarakat berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman masyarakat, yang didukung dengan peta dasar,
sehingga diperoleh gambaran dan data-data yang lebih jelas. Ini adalah sebuah
pembelajaran bersama masyarakat untuk dapat lebih mengetahui dan memahami
kondisi dan potensi yang terdapat di dalam kawasan kelola masyarakat.
282 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Dalam pemetaan partisipatif telah diidentifikasi potensi-potensi yang ada, seperti


tipe penggunaan lahan, lokasi air terjun, jenis-jenis flora dan fauna tertentu yang
terdapat di dalam kawasan kelola masyarakat, nama-nama sungai dan informasi
pendukung lainnya. Masyarakat dapat belajar bersama tentang potensi aktual
wilayahnya, dan menggunakan informasi itu untuk penyusunan rencana tata
ruang wilayah.

Hasil pemetaan partisipatif akan menjadi dasar yang kuat untuk mengembangkan
kriteria dan indikator dalam pemantauan partisipatif. Juga dapat melihat seberapa
jauh masyarakat tertarik dalam melaksanakan kegiatan konservasi, dan apa
motivasi masyarakat melakukan wanatani karet.

Hasil pemetaan partisipatif menemukan bahwa konservasi jenis tumbuhan


dirasakan lebih penting dibanding dengan konservasi hewan. Selanjutnya,
hubungan antara jenis tutupan lahan dengan konservasi air juga telah dimengerti
oleh masyarakat. Dua kenyataan itu menguatkan tesis bahwa hutan dan wanatani
karet penting untuk menjaga keseimbangan alam dan kestabilan aliran sungai,
dan dapat digunakan sebagai bahan utama advokasi dalam mempertahankan
keberadaan sistem kebun karet campur.

Penutup: TANTANGAN MEMPERTAHANKAN


KEBERADAAN WANATANI KARET
Laju kerusakan hutan konservasi makin tidak terkendali. Karena itu, wanatani
karet merupakan salah satu alternatif untuk mempertahankan ‘tutupan hutan’,
meski wanatani karet tidak bisa menggantikan fungsi hutan secara persis.
Namun peran positif itu akan menghadapi tantangan-tantangan sebagai berikut
Pertama, meningkatnya harga getah akan mendorong petani untuk melakukan
proses pembersihan lorong secara lebih intensif. Beberapa jenis anakan dan tiang
kayu yang dianggapnya ‘mengganggu’ akan ditebangnya. Pada saat yang sama,
meningkatnya kebutuhan kayu, akan mendorong masyarakat untuk memanen
kayu-kayuan dalam wanatani karet secara lebih intensif pula. Dua hal itu akan
menurunkan sifat wanatani yang mirip dengan hutan.

Kedua, terdapat pelemahan kelembagaan konservasi keanekaragaman hayati


dalam sistem wanatani karet. Kebijakan pemerintah yang tidak jelas, advokasi
konversi lahan oleh swasta, kurangnya informasi yang utuh dan benar yang
diterima masyarakat, semakin memperlemah kelembagaan masyarakat di tingkat
desa yang sesungguhnya sudah lemah. Semua itu akan bermuara pada konversi
BAGIAN 3-8 • Damsir Chaniago 283

lahan, perburuan liar, penambangan liar dalam kawasan konservasi dan lain
sebagainya.

Ketiga, pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan yang secara langsung


akan mengancam kelestarian wanatani karet. Pemerintah, demi PAD, meloloskan
usulan-usulan untuk mengkonversi lahan wanatani karet menjadi perkebunan
monokultur kelapa sawit, pertambangan batubara, maupun permukiman
transmigrasi. Usulan-usulan itu selalu diarahkan ke daerah hulu sub-DAS
Batanghari (Batang Pelepat, Senamat, Bungo Tebo dan Jujuhan) yang justru
merupakan kawasan wanatani karet.

Keempat, terdapat pergeseran pandangan dalam masyarakat yang menyatakan


bahwa hutan merupakan sumberdaya terbuka yang bisa diakses oleh siapa saja.
”Siapa dulu, siapa dapat”. Secara adat, hak milik atas tanah sesungguhnya telah
diatur oleh suku. Suku inilah yang mengatur setiap warga yang akan membuka
lahan baru, baik untuk kepentingan sawah dan ladang ataupun pemukiman.
“Rimbo, Tali Air, Batang Air dimiliki oleh Batin. Batin inilah yang memberi ijin untuk
pembukaan lahan baru”.

Belum ada aturan (masyarakat) yang tegas tentang pemanfaatan hasil hutan dan
pengelolaan lahan, yang dapat menjaga kelestarian pasokan air sungai. Karena itu,
pergeseran paham masyarakat itu belum diimbangi dengan aturan masyarakat,
dan dengan demikian masyarakat memiliki daya yang lemah untuk memantau
praktek pembukaan lahan hutan dan konversi lahan wanatani oleh masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulisan artikel ini tak lepas dari peran banyak pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Lubuk Beringin,
Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, yang sudah bahu membahu selama
berlangsungnya proses fasilitasi di sana. Juga kepada kawan-kawan konsorsium
RUPES (ICRAF-YGB dan KKI WARSI), ACM Jambi (PSHK-ODA, YGB dan
CIFOR) yang telah selalu berbagi suka dan duka selama di Bungo serta kawan-
kawan di KKI-WARSI Jambi yang telah banyak memberikan dukungan kepada
penulis dalam berbagai hal. Tak lupa kepada kawan-kawan ICRAF dan CIFOR
di Bogor yang telah banyak memberi gagasan dan masukan dalam penulisan ini.
Terakhir, terima kasih secara khusus untuk istri dan anak-anakku (Amirul dan
Anissa) yang selalu ditinggal pergi di Desa Lubuk Beringin.
BAGIAN 4
DARI KONFLIK KE AKSI KOLEKTIF DALAM
PENGELOLAAN Sumberdaya Alam
BAGIAN 4-1
Peningkatan Konflik dalam Pengelolaan
Sumberdaya Hutan

Yurdi Yasmi
288 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN
Pengelolaan sumberdaya hutan melibatkan para-pihak seperti pemerintah,
masyarakat lokal, perusahaan swasta dan dunia internasional; sehingga sering
diwarnai dengan berbagai konflik. Kadangkala konflik yang mulanya hanya berupa
perdebatan kecil bisa tiba-tiba berubah menjadi pertikaian serius, perkelahian
massal, bahkan pembunuhan (Hotte, 2001; Wenban-Smithm, 2001; Wulan et
al., 2004; de Jong et al., 2006; Ho, 2006). Sementara itu ada pula peningkatan
konflik yang berlangsung cukup lama. Rentannya pengelolaan sumberdaya hutan
terhadap konflik telah menyita banyak perhatian berbagai kalangan. Banyak kajian
yang telah dilakukan tentang penyebab konflik, pihak-pihak yang terlibat dan
dinamika konflik itu sendiri (Martinez-Alier, 2001; Hilson, 2002a; Hilson, 2002b;
Yasmi, 2003). Kajian-kajian tersebut cenderung menyimpulkan bahwa konflik
sumberdaya hutan sangat umum terjadi dan cenderung meningkat terutama kalau
tidak ditangani dengan baik.

Sejauh ini studi-studi tentang konflik di sektor kehutanan ataupun sumberdaya


alam lainnya kurang memberikan perhatian pada proses peningkatan konflik.
Bagaimana konflik berubah dari pertikaian kecil menjadi suatu kerusuhan atau
kekerasan belum banyak didiskusikan atau diteliti. Kebanyakan penelitian hanya
menyinggung bagian-bagian tertentu dari tahapan peningkatan konflik seperti
bagaimana awalnya konflik muncul atau tahap-tahap tertentu seperti kekerasan
(Bavinck, 1998; Bennet et al., 2001; Kerr et al., 2006). Karena itu pengetahuan
kita tentang peningkatan konflik cenderung parsial dan tidak sempurna. Hanya
beberapa tahun terakhir studi tentang peningkatan konflik dalam konteks
pengelolaan sumberdaya alam termasuk sektor kehutanan dikaji secara menyeluruh
(Yasmi et al., 2006a). Namun demikian kajian-kajian empirik berdasarkan kasus
nyata di lapangan masih sangat jarang.

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memperbaiki pemahaman kita tentang
seluk beluk peningkatan konflik khususnya dalam bidang kehutanan berdasarkan
penelitian di Desa Baru Pelepat, Jambi. Studi empirik tersebut ditujukan untuk
tiga hal utama. Pertama untuk memahami penyebab timbulnya konflik dan pihak-
pihak yang terlibat. Kedua, memahami bagaimana konflik tersebut meningkat. Dan
ketiga untuk mengambil pelajaran guna perbaikan pengelolaan hutan khususnya
di Jambi dan di tempat-tempat lain pada umumnya.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 289

PENGELOLAAN HUTAN DI ERA TRANSISI


Penelitian ini dilakukan pada pertengahan 2004, suatu masa yang sebagian besar
pakar mengatakan sektor kehutanan dan juga sektor-sektor lainnya berada
dalam masa transisi (McCarthy, 2004). Di sini yang dimaksud transisi adalah
perubahan sistem dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari yang dulunya
serba terpusat ke arah desentralisasi. Perubahan ini ditandai dengan jatuhnya
Rezim Orde Baru dibawah komando Soeharto pada 1998. Setelah lebih dari tiga
dekade rezim yang otoriter itu dipaksa mundur oleh akumulasi pergerakan yang
menginginkan perubahan dalam semua bidang kehidupan di Indonesia, termasuk
dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Perubahan pertama ditandai dengan
dikeluarkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah1. Selanjutnya, UU
Pokok Kehutanan No. 5/1967 juga diganti dengan UU No. 41/1999.

Pada awalnya para-pihak menyambut baik ketiga Undang-Undang yang baru


ditetapkan ini. Seolah-olah harapan baru untuk ikut berpartisipasi dalam
pengelolaan sumberdaya hutan terbuka lebar, terutama bagi para-pihak di daerah
yang selama ini hanya sebagai penonton saja. Di sektor kehutanan, pemerintah
kabupaten dimungkinkan untuk mengeluarkan ijin pemungutan dan pemanfaatan
kayu (IPPK). Sehingga di seluruh Indonesia Bupati mengeluarkan IPPK dengan
luasan per unitnya 100 ha baik kepada koperasi maupun perusahaan swasta di
daerah masing-masing. Hanya saja, pedoman pelaksanaan IPPK tidak ditetapkan
dengan baik sehingga pelaksanaan di lapangan banyak menimbulkan kerusakan
hutan dan bahkan meningkatkan konflik sosial antara para-pihak (Resosudarmo,
2004; Yasmi et al., 2006b). Dalam situasi serba tidak menentu ini dan ditambah
lagi tingginya minat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek,
terjadi berbagai benturan. Misalnya antara IPPK yang satu dengan yang lainnya
berkaitan dengan masalah batas atau antara berbagai kelompok masyarakat yang
merasa pembagian keuntungan yang kurang adil. Dalam situasi inilah penelitian
ini dilakukan.

LOKASI PENELITIAN DAN PARA-PIHAK


Penelitian berlokasi di Desa Baru Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi (Gambar
39). Desa ini berpenduduk sekitar 600 orang dengan areal desa mencapai lebih
dari 7.000 ha (Kusumanto et al., 2005). Penduduk desa ini sebagian besar hidup

1 Kedua perundang-undangan ini sudah mengalami penyempurnaan dikemudian hari. Namun demikian lahirnya kedua undang-undang ini dianggap
sebagai perwujudan bermulanya semangat desentralisasi di tanah air.
290 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dari pertanian. Mereka masih menerapkan pola perladangan berpindah dengan


komoditas utama padi. Hasil dari ladang padi ini pada umumnya digunakan
untuk keperluan mereka sendiri. Selain itu masyarakat desa ini juga memiliki
perkebunan karet. Sumber utama keuangan keluarga adalah dari hasil penjualan
karet ini ditambah dengan hasil penjualan kayu dari hutan di sekitar desa tersebut.
Pengambilan kayu dari hutan biasanya dilakukan apabila mereka memerlukan
uang untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Biasanya mereka pergi berkelompok
tiga atau empat orang untuk beberapa hari ke dalam hutan sampai mendapatkan
kayu dalam jumlah yang mereka inginkan. Praktek seperti ini telah berlangsung
lama.

Gambar 39. Lokasi penelitian

Selain penduduk setempat, para-pihak yang lain adalah Departemen Kehutanan,


pemerintah daerah, kalangan peneliti dan universitas, dan perusahaan pemegang
ijin IPPK. Dalam penelitian ini perusahaan pemegang ijin IPPK bernama MKS
mendapatkan perhatian khusus karena mereka berkonflik dengan masyarakat
lokal terutama dalam hal batas-batas kawasan hutan. Perusahaan IPPK ini
mendapatkan ijin dari Bupati Bungo untuk beroperasi di wilayah hutan di sekitar
Baru Pelepat.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 291

METODA DAN PENDEKATAN PENELITIAN


Untuk mendapatkan informasi tentang konflik dan proses peningkatannya
diterapkan tiga metode pengumpulan data, yang umum dipakai dalam penelitian-
penelitian sosial. Pertama, wawancara semi terstruktur terhadap 28 responden
yang dipilih dari masyarakat lokal, pemegang IPPK MKS, Dishutbun, dan peneliti-
peneliti yang aktif di Baru Pelepat. Wawancara didesain agar memungkinkan
untuk menguak isu-isu utama dalam konflik dan proses peningkatan konflik.
Wawancara umumnya berlangsung 45-120 menit.

Kedua, diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) sebanyak dua kali.
Dalam diskusi kelompok ini lebih jauh digali tentang seluk beluk konflik yang
sedang diamati dan bagaimana persepsi para pihak terhadap konflik tersebut.
Ketiga, melakukan konfirmasi hasil-hasil temuan melalui wawancara dan diskusi
kelompok terfokus dengan peneliti-peneliti berpengalaman di daerah tersebut
untuk mengurangi bias dan memastikan keakuratan hasil yang diperoleh.

HASIL PENELITIAN

Isu Utama dalam Konflik


Hasil penelitian menunjukkan bahwa isu utama dalam konflik yang melibatkan
masyarakat Desa Baru Pelepat dengan MKS adalah batas-batas hutan. Masyarakat
mengatakan bahwa wilayah operasi MKS adalah bagian dari wilayah hutan adat
mereka. Pada kawasan tersebut masyarakat juga mengambil kayu guna mendapatkan
uang. Sehingga kegiatan MKS menebang kayu di kawasan itu dirasakan cukup
merugikan kepentingan masyarakat Desa Baru Pelepat. Masyarakat menilai MKS
tidak peduli terhadap hak-hak masyarakat setempat. Menurut masyarakat MKS
telah melanggar batas dan memasuki kawasan hutan mereka secara lancang
tanpa ijin. Oleh karena itu masyarakat meminta MKS memberikan kompensasi
uang dan juga bantuan-bantuan lain untuk perbaikan sarana dan prasarana desa
(seperti balai adat dan mesjid).

Di lain pihak, MKS berpegang teguh pada posisinya yang mengatakan bahwa
semua kawasan hutan adalah hutan negara. Oleh sebab itu hanya negaralah yang
berhak mengelola hutan termasuk dalam kawasan di mana MKS mendapatkan
ijin IPPK. MKS mempunyai ijin resmi dari Bupati dan telah memenuhi semua
persyaratan untuk mendapatkan IPPK dan juga telah membayar semua
292 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kewajibannya kepada pemerintah. MKS juga memiliki peta lokasi yang disahkan
oleh Bupati melalui Dishutbun Kabupaten Bungo2. Pihak MKS malah menantang
supaya masyarakat juga bisa menunjukkan peta lokasi desa dan hutan mereka.
Tentu saja, masyarakat tidak mempunyai peta-peta tersebut. Dalam padangan
MKS apabila masyarakat keberatan dengan kegiatan mereka maka masyarakat
seharusnya menyampaikannya ke pemerintah yang telah memberikan ijin resmi.
MKS merasa tidak ada urusan dengan masyarakat setempat, sehingga mereka
tidak mau memenuhi tuntutan yang diajukan oleh masyarakat Baru Pelepat.
MKS merasa tuntutan itu dibuat-buat oleh masyarakat dan membahayakan bisnis
mereka.

Kedua belah pihak mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap kawasan hutan
yang sama. Masyarakat Desa Baru Pelepat merasa bahwa MKS beroperasi di
wilayah hutan adat desa mereka. Sedangkan MKS sendiri menyatakan operasi
mereka adalah di hutan negara di bawah wewenang pemerintah. Masalah batas-
batas hutan seperti ini seringkali terjadi dalam pelaksanaan IPPK terutama karena
tidak adanya kejelasan mana wilayah hutan desa (adat) dan mana wilayah hutan
negara. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau permasalahan batas hutan Baru
Pelepat ini mencuat di saat maraknya IPPK. Pihak pemerintah sendiri (Dishutbun
Kabupaten Bungo) mengakui bahwa memang kawasan hutan sebagian besar
belum jelas batas-batasnya. Peta-peta yang ada sekarang ini dibuat di Jakarta dan
cek lapangan tidak pernah dilakukan sehingga apakah wilayah itu tumpang tindih
dengan wilayah masyarakat tidak pernah diketahui sebelumnya. Hanya baru-baru
ini, sejak otonomi daerah, permasalahan batas ini muncul ke permukaan.

Proses Peningkatan Konflik


Kalau di atas digambarkan mengenai isu utama yang menyebabkan munculnya
konflik antara masyarakat lokal dan MKS, di bagian ini akan dijelaskan secara
singkat bagaimana konflik tersebut meningkat dari waktu ke waktu. Gambar 40
memberikan sketsa kira-kira proses muncul dan peningkatan konflik ini. Pada
gambar tersebut diberikan rentang waktu dari Maret sampai dengan Desember,
disertai peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang menggambarkan dinamika konflik
tersebut. Gambar itu juga menjelaskan tahapan peningkatan yang dilalui, mulai
dari rasa kecemasan masyarakat terhadap kegiatan MKS sampai pada tahap
tertinggi yaitu intimidasi. Pada gambar tersebut dijelaskan pula beberapa faktor
penting yang menyebabkan konflik meningkat ke tahap berikutnya. Setiap tahap
peningkatan ini akan disinggung secara singkat.

2 Peta lokasi ini tidak boleh digandakan oleh pihak MKS, oleh sebab itu dalam tulisan ini tidak bisa ditampilkan. Dalam peta itu ditunjukkan wilayah-
wilayah hutan negara dan wilayah desa. Dengan peta itu pihak MKS bisa beroperasi dan melegitimasi kegiatan mereka.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 293

Intimidasi
• MKS tidak
memenuhi
permintaan
Protes masyarakat
• Penebangan
• MKS tidak berlanjut
merespon
permintaan
lobbi masyarakat

• Tidak ada
kompensasi

Debat

• Penolakan hak
masyarakat
• Ketakutan
peristiwa
Kecemasan
masa lalu
• Penebangan
di hutan
masyarakat

Maret-Mei Juni-Agustus September November Desember


2004

Gambar 40. Proses peningkatan konflik yang melibatkan masyarakat dan MKS

Konflik ini bermula dari “kecemasan” masyarakat desa ketika mereka mengetahui
adanya kegiatan penebangan kayu oleh MKS di hutan milik masyarakat. Hal
ini terjadi sekitar Maret dan Mei 2004. Masyarakat merasa sangat terganggu
dengan adanya kegiatan tersebut. Mulai saat itu berbagai wacana dalam
masyarakat bermunculan. Omongan dari mulut ke mulut tentang kegiatan MKS
menjadi semakin sering terdengar. Ada dua alasan utama yang menyebabkan
rasa kecemasan dari masyarakat berkembang menjadi “perdebatan” yang tak
terelakkan antara mereka dengan MKS. Pertama, masyarakat menilai MKS tidak
mengakui atau menolak hak-hak masyarakat. Alasan kedua adalah masyarakat
masih merasa ketakutan atas peristiwa serupa pada masa lalu yang mereka alami
dengan perusahaan kayu. Dan saat itu mereka selalu dibohongi dengan janji-janji
kepada masyarakat yang tidak pernah ditepati. Karena kedua hal inilah masyarakat
294 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

memilih untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam proses perdebatan yang


alot dengan pihak MKS. Perdebatan tersebut berlangsung antara bulan Juni dan
Agustus. Dalam kurun waktu ini, masyarakat mempertanyakan kegiatan MKS
secara langsung dan mempermasalahkan batas-batas wilayah hutan mereka.
Mereka berpendirian bahwa MKS telah memasuki wilayah hutan mereka tanpa
sepengetahuan mereka. Karena itu masyarakat mengajukan permintaan supaya
MKS membayar imbal-jasa untuk setiap meter kubik yang telah dan akan
ditebang.

Namun demikian, perdebatan yang berlangsung itu harus meningkat ke tingkat


berikutnya, yaitu lobi. Hal ini disebabkan tidak adanya respon positif dari pihak
MKS terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat secara
lebih terstruktur melobi MKS melalui beberapa pertemuan dengan staf MKS.
Dalam lobi-lobi itu pihak masyarakat menyampaikan kembali tuntutan-tuntutan
mereka. Di samping itu, mereka juga melobi pihak-pihak lain dalam membantu
menyelesaikan kasus ini seperti Bupati dan Dishutbun. Masyarakat secara tertulis
menyampaikan keluhan mereka kepada kedua lembaga pemerintahan ini dan
meminta mereka memberikan perhatian terhadap aspirasi masyarakat. Dalam
lobinya dengan perusahaan, masyarakat bahkan meminta kompensasi yang lebih
rendah dari tuntutan semula.

Kegiatan lobi ternyata tidak membuahkan hasil. Pihak MKS tetap tidak mau
memenuhi tuntutan masyarakat walaupun permintaan imbal-jasa sudah
diturunkan dari jumlah semula. Akhirnya masyarakat melanjutkan usaha mereka
dengan melakukan “protes” terbuka ke pihak MKS. Beberapa pemimpin desa dan
adat mengunjungi lokasi operasi MKS di dalam hutan. Dalam kesempatan itu,
masyarakat secara tegas mempermasalahkan kegiatan MKS. Malah sebagian dari
masyarakat membawa senjata seperti pisau untuk menggertak pihak MKS. Mereka
menuntut agar kegiatan penebangan dihentikan sementara sampai permasalahan
selesai. Akibatnya pekerja di lapangan terpaksa memenuhi tuntutan tersebut.
Beberapa hari kemudian masyarakat mengetahui bahwa MKS telah mulai
beroperasi kembali. Hal ini menimbulkan amarah masyarakat, padahal mereka
belum menerima kompensasi apa-apa. Karena itu masyarakat meminta manajer
logging untuk segera memberikan kompensasi kalau tidak mereka akan membakar
camp MKS dan mengancam semua karyawannya. Karena tidak ada solusi juga,
maka kegiatan MKS dihentikan kembali karena banyak dari karyawan MKS
yang merasa terancam. Sesudah terjadinya peristiwa ini, tidak banyak informasi
tambahan yang berhasil didapat3.

3 Beberapa informasi menyebutkan bahwa konflik itu pada akhirnya dapat diselesaikan karena MKS bersedia membayar sejumlah fees kepada masyarakat.
Namun demikian, proses bagaimana penyelesaian konflik tersebut berlangsung tidak diketahui dengan pasti.
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 295

PELAJARAN DARI KONFLIK


Hasil penelitian ini menggambarkan betapa permasalahan pengelolaan sumberdaya
hutan itu rentan konflik. Apalagi dalam masa-masa transisi seperti yang dijelaskan
di atas, berbagai pihak cenderung tunduk pada motivasi ekonomi sesaat. Oleh
sebab itu benturan-benturan kepentingan sulit dihindari. Ketika landasan hukum
masih samar-samar dan wewenang para pihak pun serba tidak jelas, maka konflik
menjadi suatu konsekuensi logis.

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari pengalaman di Jambi
ini. Pertama, terlihat jelas bahwa permasalahan batas-batas wilayah hutan
merupakan penyebab utama dalam konflik. Ketidakjelasan batas hutan negara
dan masyarakat memicu terjadinya konflik pada masa transisi. Barangkali pada
masa orde baru ketidakjelasan batas wilayah hutan ini tidak menimbulkan
konflik terbuka seperti dalam kasus di Jambi karena sistem pemerintahan
yang represif. Sehingga pihak lemah (seperti masyarakat lokal) tidak berani
menyampaikan aspirasi mereka secara terang-terangan. Akibatnya, aspirasi yang
tersumbat selama ini telah meledak seketika dan memunculkan konflik seperti
yang digambarkan di atas.

Kedua, ketidakjelasan aturan desentralisasi dan pembagian wewenang para-


pihak juga merupakan faktor penting penyebab konflik. Aturan-aturan tentang
desentralisasi di sektor kehutanan diterjemahkan secara “oportunistik” oleh berbagai
pihak. Sehingga terlihat dengan jelas bagaimana mereka memanfaatkan proses
desentralisasi guna kepentingan mereka masing-masing.

Ketiga, konflik bisa meningkat ke tingkat yang mengerikan apabila tidak ditanggapi
secara memadai. Kasus yang disajikan dalam tulisan ini menunjukkan dalam
waktu singkat (kurang dari satu tahun) konflik telah meningkat tajam sampai
taraf intimidasi dan protes. Jelaslah di sini bahwa pihak-pihak yang terlibat konflik
belum bisa menangani konflik dengan baik. Selain itu, pihak pemerintah dalam hal
ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan juga tidak berhasil melakukan intervensi.
Peran mereka dalam konflik ini hampir tidak ada.

Dengan maraknya konflik di sektor kehutanan, hikmah apa yang bisa kita petik?
Peristiwa-peristiwa konflik menyadarkan kita akan perlunya pembenahan di sektor
kehutanan. Pembenahan ini mencakup berbagai aspek, termasuk aspek yuridis.
Sebenarnya konflik tidak melulu negatif selama ia dimanfaatkan dengan baik.
Konflik bisa dijadikan sebagai titik awal dalam rangka membangun komunikasi
antar pihak. Hanya dengan komunikasi yang baik dan terbuka konflik bisa
296 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

diselesaikan. Misalnya saja, kasus di Baru Pelepat ini mengisyaratkan bahwa tidak
ada komunikasi yang baik antara masyarakat lokal dan pihak MKS. Di satu pihak,
masyarakat terus pada pendirian mereka untuk meminta kompensasi dan di lain
pihak MKS tetap tidak mau mengakui kawasan hutan masyarakat. Akibatnya,
peningkatan konflik tidak dapat dielakkan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Penelitian ini menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Proses transisi pengelolaan sumberdaya hutan ke arah desentralisasi tidak
selalu mulus. Proses transisi ini diwarnai berbagai konflik, misalnya, karena
ketidakjelasan batas wilayah hutan, kaburnya wewenang berbagai pihak dan
hukum yang tidak jelas/rinci.
2. Konflik sumberdaya hutan apabila tidak dikelola dengan baik akan meningkat.
Biasanya peningkatan itu melalui tahap-tahapan tertentu sebelum mencapai
puncaknya.
3. Pemahaman akan isu apa yang menjadi sumber konflik dan bagaimana proses
peningkatannya bisa menjadi informasi strategis untuk mengelola konflik.

Berdasarkan pengalaman di Baru Pelepat disarankan hal-hal sebagai berikut:


1. Perlu diadakan pemetaan ulang kawasan hutan sehingga tumpang tindih
bisa dihindari.
2. Perlunya kejelasan aturan-aturan pengelolaan hutan pada era desentralisasi.
3. Perlu kerjasama antar para-pihak dalam mewujudkan pengelolaan hutan
lestari dalam masa desentralisasi, termasuk pelibatan masyarakat lokal.
4. Karena berbagai konflik yang timbul, diperlukan pula pembekalan dan
peningkatan kapasitas para-pihak dalam hal penanganan konflik.
5. Kegiatan-kegiatan penelitian seputar konflik pengelolaan sumberdaya
hutan perlu ditindaklanjuti untuk memperbaiki pemahaman kita terhadap
permasalahan yang semakin hari semakin mencuat.

Ucapan terima kasih


Penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang sudah mendukung penelitian
ini. Teman-teman ACM membantu sangat banyak dalam hal ini, mereka adalah
Marzoni, Anto, Linda, Yayan, Lini, Carol, Doris, Eddy, Eno dan Yanti. Carol
dan Heiner memberikan arahan dalam penelitian ini, mereka juga memastikan
BAGIAN 4-1 • Yurdi Yasmi 297

relevansi penelitian ini. Banyak pihak lain di Jambi yang membantu seperti Dinas
Kehutanan dan Perkebunan dan Pemda Bungo.

BAHAN BACAAN
Bavinck, M. 1998. A Matter of Maintaining Peace, State Accommodation to
Subordinate Legal Systems: the Case of Fisheries along the Coromandel
Coast of Tamil Nadu, India. Journal of Legal Pluralism 40:151-170.
Bennet, E., Neiland, A., Anang, E., Bannerman, P., Rahman, A.A., Hug, Saleemul.,
Bhuiya, S., Day, M., Fulford-Gardiner, M., dan Clerveaux, W. 2001.
Towards a Better Understanding of Conflict Management in Tropical
Fisheries: Evidence from Ghana, Bangladesh and the Caribbean. Marine
Policy 25:365-376.
de Jong, W., Ruiz, S., dan Becker, M., 2006. Conflict and Communal Forest
Management in Northern Bolivia. Forest Policy and Economics 8(4):
447-457.
Hilson, G. 2002a. An Overview of Land Use Conflict in Mining Communities.
Land Use Policy 19(1): 65-73.
Hilson, G. 2002b. Land Use Competition between Small- and Large-scale Miners:
a Case Study of Ghana. Land Use Policy 19(2):149-156.
Ho, P. 2006. Credibility of Institutions: Forestry, Social Conflict and Titling in
China. Land Use Policy 23(4):588-603.
Hotte, L. 2001. Conflict over Property Rights and Natural-Resource Exploitation
at the Frontier. Journal of Development Economics 66:1-21.
Kerr, S., Johnson, K., Side, J., Baine, M., Davos, C., dan Hanley, J. 2006. Resolving
Conflicts in Selecting a Program of Fisheries Science Investigation.
Fishery Research 79:313-324.
Kusumanto, T., Yuliani, L., Macoun, P., Indriatmoko, Y., dan Adnan, H. 2005.
Learning to Adapt: Managing Forest Together in Indonesia. CIFOR,
Bogor, 191 pp.
Martinez-Alier, J. 2001. Mining Conflicts, Environmental Justice and Valuation.
Journal of Hazardous Material 86(1-3):152-170.
McCarthy, J. 2004. Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of
Volatile Socio-legal Configuration in Central Kalimantan, Indonesia.
World Development 32(7):1199-1223.
Resosudarmo I.A.P. 2004. Closer to People and Trees: Will Decentralization
Work for the People and the Forests of Indonesia? European Journal of
Development Research 16(1):110–132.
298 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Wenban-Smith, J. 2001. Forests of Fear: The Abuse of Human Rights in Forest


Conflicts. FERN, Brussels, 48 pp.
Wulan, Y.C., Yasmi, Y., Purba, C., dan Wollenberg, E. 2004. Analisa Konflik Sektor
Kehutanan di Indonesia 1997-2003. CIFOR, Bogor, 79 pp.
Yasmi, Y. 2003. Understanding Conflict in the Co-management of Forests: the
Case of Bulungan Research Forest. International Forestry Reviews 5 (1):
38-44.
Yasmi, Y., Schanz, H., dan Salim, A. 2006a. Manifestation of Conflict Escalation
in Natural Resource Management. Environmental Science & Policy
9(6):538-546.
Yasmi, Y., Anshari, G.Z., Komarudin, H., dan Alqadri, S. 2006b. Stakeholder
Conflicts and Forest Decentralization Policies in West Kalimantan:
Their Dynamics and Implications for Future Forest Management.
Forests, Trees and Livelihoods 16(2):167-180.
BAGIAN 4-2
Kolaborasi untuk Kelestarian Hutan dan
Kesejahteraan Masyarakat

Trikurnianti Kusumanto
300 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

MENYANGGAH TRAGEDI HUTAN?


‘The tragedy of the commons’1 (1968) karya Garret Hardin merupakan salah
satu tulisan abad ke-20 yang mempengaruhi cara pandang dan cara bertindak
banyak orang mengenai hutan. Hardin meramalkan, kekayaan sumberdaya
alam bumi ini akan musnah dengan pasti karena sifat egois manusia mendorong
banyak orang untuk secara berlomba memanfaatkan sumberdaya alam tanpa
menghiraukan akibat dari perbuatannya terhadap orang lain atau terhadap alam.
Pendapat umum yang berkembang kemudian memicu munculnya kebijakan
dan program kehutanan berbagai pemerintah, penyandang dana, serta lembaga
swadaya masyarakat yang menganggap lazim bila hutan harus dilindungi dari
‘perbuatan destruktif’ manusia. Misalnya, kawasan konservasi alam di berbagai
negara termasuk Indonesia, ditetapkan untuk melindunginya terhadap ‘perambah
hutan.’

Menariknya, ramalan Hardin


itu mengundang banyak kritik.
Sederet ilmuwan -baik ekonom,
ilmuwan sosial lainnya, maupun
ekolog, di antaranya Eleanor
Ostrom (1990) dan Mat Ridley
(1996) menolak visi suram
itu. Dengan sudut-pandang

© Hasantoha Adnan
yang berbeda-beda dan bukti
lapangan yang meyakinkan,
mereka menawarkan alternatif
yang lebih cerah, lebih optimis. Kerusakan hutan di Indonesia:
Menurut pandangan alternatif menjadi nyatakah ramalan Hardin?
itu kelestarian sumberdaya alam
sangat mungkin, karena pada
dasarnya manusia memiliki sifat kooperatif, bukannya destruktif, dan bisa bekerja
sama satu sama lain dalam memanfaatkan dan melestarikan hutan. Pendapat
mana yang berlaku di sini? Visi Hardin, atau dapatkah kita merapat dengan para
ilmuwan itu dengan membawa bukti dari bumi Nusantara yang dapat menyanggah
visi tersebut?

Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan melihat sejauh mana
para-pihak dapat berkolaborasi dalam mengelola sumberdaya hutan di negeri ini;

1 Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: ‘Tragedi Kepemilikan Umum’


BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 301

dan bila tidak ada kolaborasi, kenapa demikian dan apakah kita dapat mendorong
terjadinya kolaborasi? Guna menjawab itu, dilakukan sebuah penelitian di
Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi, antara 2000 sampai 20062. Penelitian tersebut
berjalan seiring dengan penelitian aksi yang dilakukan masyarakat Desa Baru
Pelepat di Kabupaten Bungo difasilitasi oleh Yayasan Gita Buana (YGB), Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA)3 dan Center for
International Forestry Research (CIFOR)4, selanjutnya disebut Tim. Penelitian
aksi masyarakat itu ditujukan untuk menangani berbagai masalah sekitar hutan,
di antaranya menyusutnya sumberdaya hutan sebagai sumber penghidupan
masyarakat, adanya benih konflik antara warga mengenai sumberdaya desa, dan
pengabaian pemerintah terhadap pola pengaturan dan pengelolaan hutan yang
dimiliki masyarakat. Penelitian aksi tersebut sekaligus penerapan suatu pendekatan
pengelolaan hutan yang disebut Adaptive Collaborative Management (ACM)5.
Dalam tulisan ini kolaborasi diartikan sebagai: sebuah proses yang melibatkan paling
sedikit dua pihak orang ataupun organisasi yang secara bersama menangani masalah
yang tidak tertangani pihak itu secara terpisah6. Dalam tulisan ini pengamatan
diarahkan pada kolaborasi horisontal antar masyarakat dan kolaborasi vertikal di
antara masyarakat dengan pemerintah.

BERANGKAT DARI SEJARAH


Sekitar satu abad yang lalu, sewaktu nenek moyang masyarakat Desa Baru Pelepat
membuka permukiman di pinggir Sungai Batang Pelepat bagian hulu, sumberdaya
hutan dapat menopang penghidupan masyarakat desa secara melimpah. Saat itu
masyarakat Baru Pelepat, yang berasal dari Pagaruyung di Sumatera bagian barat,
hanya terdiri dari Suku Minangkabau. Jumlah warga sedikit dan pengaturan
pemanfaatan hutan dilakukan secara adat dengan efektif. Batas wilayah milik
masyarakat -walaupun tidak selalu jelas secara geografis- diakui secara sosial oleh
masyarakat sekitar. Oleh karena sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut
melebihi kebutuhan, masyarakat nyaris tidak terdorong untuk berhubungan
dengan pihak luar dalam mencari penghidupan mereka.

Perubahan datang pada pertengahan 1970-an. Selama tiga dasawarsa empat


perusahaan HPH beroperasi silih-berganti di wilayah desa tanpa memperhatikan

2 Penelitian tersebut didukung oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) tahun 2000-2002 dan Program Kehutanan Multipihak (MFP)-DfID, tahun 2003-
2006.
3 Keduanya berkedudukan di Jambi.
4 Lembaga penelitian kehutanan internasional berpusat di Bogor.
5 Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: pengelolaan bersama secara adaptif (PBA). Penelitian aksi ACM itu diprakarsai CIFOR dan
dilaksanakan di 11 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bagaimana ACM diterapkan di Indonesia, lihat Kusumanto et al. (2006).
6 Disesuaikan dari Gray (1985) dan Carter dan Gronow (2005).
302 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

hak dan kesejahteraan masyarakat maupun kondisi hutan. Alhasil, wilayah adat
masyarakat Baru Pelepat terabaikan; masyarakat makin miskin dan hutan makin
kurus terkuras pihak luar. Dewasa ini, hanya lereng-lereng terjal dan bagian tinggi
saja yang layak disebut hutan; sedangkan selebihnya, wilayah yang secara resmi
dan di atas peta disebut hutan produksi itu, menunjukkan banyak tempat hampa
dengan gerombolan pepohonan berdiameter kecil di sana-sini diselingi semak
belukar.

Selain pembukaan hutan secara besar-besaran oleh HPH, pembentukan desa


secara seragam di seluruh Indonesia awal 1980-an dan proyek transmigrasi di
Baru Pelepat yang dimulai pada 1997 telah menimbulkan dampak yang besar7.
Tatanan sosial runtuh sampai ke akar-akarnya. Lembaga adat, yang selama itu
mengatur kehidupan warga, harus merelakan otoritasnya kepada oleh lembaga
pemerintah desa yang baru dan direstui pemerintah. Norma adat menjadi luntur
untuk kemudian disisihkan atau melebur dengan norma sosial yang ditentukan
negara. Walaupun dalam kenyataan tokoh-tokoh adat tetap berperan dalam
pemerintahan desa yang baru, mengatur kehidupan warga tidak dapat dilakukan
lagi secara otonom seperti sebelumnya.

Pemberian tanah adat oleh proyek transmigrasi kepada pendatang, yang berasal
dari Jambi dan Jawa itu, menimbulkan kecemburuan sosial penduduk asli
terhadap pendatang dan menaburkan benih konflik di antara kedua kelompok
yang harus hidup berdampingan. Keadaan terkadang bahkan lebih memilukan;
ketika masyarakat memerlukan pengayoman dan rasa aman, sering para pejabat
dan tetua desa justru tergoda berbagai janji menggiurkan pihak luar dan akhirnya
mementingkan diri sendiri ketimbang orang banyak.

Namun, kenapa bicara tentang tatanan sosial yang rapuh ketika membahas
kolaborasi dalam menangani hutan? Ada dua alasan untuk itu. Pertama, situasi
seperti itu pada intinya kurang memungkinkan terjadinya kolaborasi. Kedua,
keadaan itu pada saat yang sama menciptakan peluang untuk mendorong
kolaborasi. Secara berturut-turut bagian di bawah ini dan yang berikutnya
menyimak kenapa kolaborasi horisontal tidak mudah terjadi di lokasi penelitian
dan bagaimana dalam kondisi seperti itu kolaborasi dapat dibangun.

7 Meskipun kebijakan pembentukan desa (UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa) sudah dicabut ketika kebijakan otonomi diberlakukan pada
awal 2001, dampaknya terlanjur sangat jauh.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 303

KENAPA KOLABORASI HORISONTAL


SULIT TERJADI?
Pada saat masyarakat Desa Baru Pelepat mulai menerapkan ACM; tatanan sosial
desa itu berada pada kondisi rapuh, yang dicirikan hal-hal berikut (Gambar 41):
i. Kehampaan kepercayaan satu sama lain dan hubungan timbal balik antar
warga.
ii. Kehampaan norma bersama.
iii. Kehampaan organisasi bersama tempat para pihak seharusnya bisa saling
berhubungan secara konstruktif.

Hampa kepercayaan satu


sama lain

Tatanan sosial

Hampa norma Hampa organisasi


bersama bersama

Gambar 41. Tiga macam kehampaan dalam tatanan sosial yang rapuh

Kehampaan ketiga aspek ini telah menghambat terjadinya kolaborasi di antara


berbagai pihak masyarakat8.

Jika seseorang percaya kepada orang lain, ia meyakini jerih payah yang ia
sumbangkan untuk kepentingan bersama tidak sia-sia: kepercayaan itu menjadi
modal yang diinvestasikan dan dengan pasti akan dikembalikan. Ada semacam
timbal balik di antara dua orang yang saling percaya.

Pada saat pertama kali memasuki Baru Pelepat, kehampaan kepercayaan


antarwarga amat terasa. Bukan hanya antara penduduk asli dan pendatang
karena saling bersaing mengenai fasilitas dan sumberdaya desa, tetapi juga di
antara warga lainnya. Berbagai kegiatan pembangunan Baru Pelepat di masa
lalu diakui gagal oleh warga dikarenakan kecurigaan satu sama lain, yang pada

8 Banyak pustaka menggunakan istilah modal sosial jika suatu tatanan sosial memiliki hal-hal disebut di atas. Lihat misalnya Putnam (1993) dan Pretty
(2003).
304 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

gilirannya, menghambat proses pembangunan. Warga desa seolah mencemaskan,


orang lain akan mengambil tindakan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri
tanpa menghiraukan akibatnya untuk orang lain. Pada gilirannya, warga seolah
bertanya: “Kenapa harus memikirkan orang lain, jika ia hanya mementingkan
dirinya sendiri?” Sikap seperti ini sering mendasari hasrat dan tindakan warga
desa. Menyadari hal ini, kita diingatkan pada visi Hardin: tampaknya visi itu
berlaku juga di Baru Pelepat!

Andaikata dua orang hidup bersama dan harus berbagi sumber penghidupan
di antara mereka, mereka memerlukan norma yang menjadi acuan tentang
bagaimana sumber penghidupan itu harus dirawat dan dikelola serta bagaimana
hasilnya harus dibagi di antara mereka. Norma itulah yang memungkinkan mereka
hidup bersama. Pada umumnya, norma yang dipakai oleh sekelompok orang atau
suatu masyarakat dapat dilihat dari peraturan yang diberlakukan kelompok atau
masyarakat itu, baik peraturan tertulis (seperti undang-undang pemerintah)
ataupun tidak tertulis (seperti peraturan adat). Kolaborasi antarpihak sebenarnya
semacam hidup bersama dan dapat berjalan dengan efektif jika ada norma bersama
yang disepakati oleh para pihak yang berkolaborasi itu. Bagaimanakah keadaan di
Baru Pelepat?

Kebanyakan norma hidup bermasyarakat di Baru Pelepat berdasarkan adat atau ada
unsur adatnya. Biasanya para pemimpin dan tetua adatlah yang berwenang untuk
mengawasi penerapan norma adat oleh warga, dan untuk menyesuaikannya bila
perlu. Pada umumnya norma adat dipatuhi warga tanpa terlalu mempersoalkannya,
dan warga meyakini adat itu untuk kepentingan bersama. Dengan kata lain
masyarakat berpandangan, norma adat merupakan norma bersama. Hanya saja,
pada awal penelitian, banyak warga mengakui mereka nyaris tidak dilibatkan
dalam musyawarah adat ketika para pemimpin dan tetua adat menentukan
berbagai hal berkaitan dengan kehidupan adat masyarakat. Bagi kebanyakan
warga, musyawarah adat bagaikan sebuah ‘kotak hitam’, yang meskipun penting
bagi semua karena keputusannya menyangkut orang banyak, jarang melibatkan
warga. Hal ini menunjukkan, norma adat sebenarnya tidak bersifat ‘bersama’
karena tidak ditentukan secara bersama. Warga meyakini aturan adat diturunkan
dari generasi ke generasi dan karenanya teruji sesuai dengan keadaan masyarakat
di Baru Pelepat. Akan tetapi pada saat yang sama, warga mengalami banyak aturan
adat tidak lagi cocok dengan keadaan sekarang, bahkan dapat disalahgunakan oleh
mereka yang berkesempatan melakukan hal itu. “Norma adat perlu direformasi,
sudah ketinggalan jaman”, begitulah keinginan banyak warga.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 305

© Trikurnianti Kusumanto
©T. Kusumanto

Penduduk asli dan pendatang hidup bersama di satu desa, mereka harus berbagi sumberdaya
alam yang tersedia. Kiri: penduduk asli; kanan: pendatang,

Selain itu sejak proyek transmigrasi, adat terbukti kurang mampu mengakomodir
kebutuhan berbagai pihak dalam masyarakat. Contohnya, pendatang mengakui
mereka jarang diminta pendapatnya dan diperlakukan berbeda dari penduduk asli;
perempuan hampir tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah adat walaupun
keputusan yang diambil penting bagi mereka. Juga dalam hal ini dapat dikatakan,
norma adat yang terkandung dalam aturan desa bukanlah norma bersama.

Bagaimana halnya dengan norma negara yang diintroduksi pemerintah, termasuk


Baru Pelepat, ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya? Norma bersamakah
itu? Sama halnya dengan norma adat, norma negara itu sifatnya tidak bersama
karena tidak ditetapkan secara bersama oleh seluruh warga bangsa. Contoh norma
negara dari Baru Pelepat, misalnya, norma yang dijadikan dasar pembangunan
desa pada 1980-1990-an. Norma negara itu ditetapkan untuk membangun
infrastruktur dan perekonomian desa maupun menopang pembangunan ekonomi
nasional dan diberlakukan secara seragam di seluruh Nusantara.

Kehampaan organisasi bersama, jenis kehampaan yang ketiga dalam diskusi kita,
juga mempersulit terjadinya kolaborasi horisontal di Baru Pelepat. Organisasi bersama
diperlukan untuk menampung kepentingan warga yang berbeda-beda melalui
penyelenggaraan kegiatan untuk kepentingan bersama. Hal yang pokok dalam
organisasi seperti itu, setiap keputusan para pihak di dalam organisasi diambil secara
306 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

bersama. Memang, berbagai organisasi di Baru Pelepat telah berkiprah beberapa


lama dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan warga. Misalnya kelompok
Yasinan perempuan yang sekaligus mengadakan kegiatan simpan pinjam, kelompok
tani yang menyelenggarakan kegiatan di ladang dan hutan, atau lembaga adat yang
mengadakan kegiatan adat. Namun, berbagai organisasi masyarakat itu diarahkan
untuk keperluan organisasi atau kelompok yang bersangkutan saja, bukannya
guna menyelenggarakan kegiatan untuk kepentingan bersama. Bahkan berbagai
organisasi itu jarang berhubungan satu sama lain. Selain itu, kadang organisasi
desa didirikan ketika suatu program pemerintah masuk desa dan memerlukan
sebuah wadah guna mengorganisasi warga dalam rangka pelaksanaan program,
misalnya koperasi desa. Setelah program berhenti, sering berhenti pulalah fungsi
organisasi itu. Jelas, berbagai organisasi masyarakat di Baru Pelepat tidak dapat
disebut sebagai ‘organisasi bersama’.

Dikaitkan dengan visi Hardin, keadaan sosial di Baru Pelepat yang hampa
kepercayaan satu sama lain itu— mirip kondisi yang menurutnya berakibat
buruk terhadap kelestarian sumberdaya alam karena para pihak hanya bertujuan
untuk meraup keuntungan pribadi belaka. Di Baru Pelepat ternyata bukan
hanya kehampaan kepercayaan satu sama lain saja yang menghambat kolaborasi.
Kehampaan norma bersama dan organisasi bersama juga telah mempersulit
kolaborasi. Hardin melihat manusia sebagai mahluk rasional yang dalam segala
tindakannya hanya mementingkan dirinya saja. Mungkin saja ia terpengaruh
definisi Seneca9 yang berbahasa Latin itu: rasionale animal est homo (manusia adalah
binatang rasional). Hal yang dilupakan Hardin, manusia juga mahluk emosional
dan spiritual (religius). Dalam bertindak, manusia tidak hanya terdorong
pertimbangan rasional, tetapi bertindak juga karena dorongan emosional dan
spiritual, terutama ketika hidup dalam suatu tatanan sosial dengan orang lain.
Seseorang, meskipun memang mahluk rasional, dapat berkolaborasi asalkan selain
memiliki rasa percaya kepada pihak lain dan memperoleh kepercayaan dari pihak
itu, harus ada norma bersama yang dapat dijadikan acuan dalam bertindak dan
organisasi bersama yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan untuk
kepentingan bersama.

Sekarang kita mengetahui visi Hardin kurang berlaku di Baru Pelepat. Bergunakah
pengetahuan ini untuk praktek lapangan? Hal yang mungkin lebih penting daripada
ikut berdebat tentang teori Hardin, bagaimana kita mempraktekkan kolaborasi.
Dengan kata lain, jika tiga faktor di atas (kepercayaan satu sama lain, norma
bersama, dan organisasi bersama) merupakan hal utama untuk sebuah kolaborasi,
bagaimana ketiga hal ini dapat dibangun secara nyata.

9 Filsuf dan penyair Romawi yang hidup pada abad pertama, pada jaman Kaisar Kaligula dan Nero.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 307

MEMBANGUN KOLABORASI HORISONTAL


Dari pengalaman masyarakat Baru Pelepat menerapkan ACM, dapat dipetik
beberapa pelajaran praktek kolaborasi. Selama sekitar lima tahun para-pihak di
sana berupaya untuk menangani berbagai masalah sekitar hutan secara bersama,
yang difasilitasi oleh Tim.

Sewaktu para pihak desa berupaya bersama misalnya pada saat negosiasi batas
desa dengan desa tetangga atau ketika membuat peraturan hutan adat, tampak
adanya kondisi yang mampu mendorong berkembangnya kepercayaan antarpihak.
Kondisi seperti itu meningkatkan kesadaran tentang:
i. ketergantungan satu sama lain dalam memanfaatkan sumberdaya alam, yang
pada gilirannya merangsang mereka untuk saling menghargai
ii. kekuatan masing-masing pihak berkaitan dengan pengelolaan alam yang
tidak dimiliki pihak lain, seperti pengetahuan, informasi, atau keterampilan.

Untuk mendorong terbangunnya kepercayaan satu sama lain, fasilitator dari Tim
mengajak para pihak untuk mengenal ketergantungan mereka satu sama lain.
Misalnya, ia meminta masing-masing pihak mengidentifikasi hal-hal yang mereka
lakukan dalam mencari penghidupan mereka yang bergantung pada tindakan
pihak lain dan yang berdampak pada pihak lain. Fasilitator juga mengarahkan
kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang kemampuan masing-
masing pihak.

Kemudian, bagaimana norma bersama dapat dibangun? Jawabnya, kita belajar


dari pengalaman masyarakat Baru Pelepat ketika mereka memilih wakil untuk
menjadi anggota badan perwakilan desa (BPD)10. Difasilitasi para pendamping,
selama sekitar 3 bulan (Agustus-November 2001) masyarakat belajar bersama
bagaimana mempersiapkan dan melakukan pemilihan anggota BPD. Menariknya,
ketika masyarakat memilih para wakil mereka, mekanisme pemilihan yang
dikembangkan ternyata mampu menciptakan kondisi yang dapat mendorong
masyarakat membangun norma bersama berkenaan dengan pemilihan.

Mekanisme pemilihan tersebut terdiri dari tiga bagian:


i. sebuah panitia pemilihan dengan anggota yang dipilih dari setiap dusun;
panitia itu diberi mandat oleh masyarakat untuk menyiapkan dan
menyelenggarakan pemilihan.

10 Dari Kusumanto (2007).


308 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ii. serangkaian musyawarah desa


yang diadakan panitia guna
melaporkan proses pemilihan
kepada para pihak desa.
iii. suatu ‘jaringan informasi’ yang
mencakup seluruh desa dan
berkembang secara spontan di
luar fasilitasi.

Tiga bagian dari mekanisme ini saling


melengkapi dan seolah menjadi
sebuah forum sosial yang menawarkan
wadah interaksi sosial yang digunakan
para-pihak desa sebagai ruang
negosiasi norma. Sebagai contoh,
proses pemilihan telah menghasilkan

© Trikurnianti Kusumanto
terbentuknya suatu norma bersama
tentang kepemimpinan desa yang
demokratis dan yang secara adil
mewakili kepentingan seluruh warga.
Kondisi transparan yang menciptakan Mekanisme pemilihan ternyata mampu
forum sosial itu telah merangsang menciptakan kondisi para-pihak yang
terjadinya negosiasi norma dan transparan
pembelajaran bersama di antara para-
pihak desa.

Dalam kesemuanya ini, tugas fasilitator para-pihak sangat penting dan berdasar
pengamatan lapangan ada tiga macam:
• menjaga agar forum sosial yang berkembang tetap transparan dengan cara
melibatkan semua pihak yang ada secara tepat waktu dan tepat cara.
• membantu mereka dalam mengkomunikasikan pandangan mereka satu sama
lain.
• mendampingi para-pihak memaknai proses-proses politik yang muncul
sepanjang pemilihan, misalnya adu kekuatan antara calon anggota BPD
untuk memperoleh suara dari warga.

Kini masih tersisa, bagaimana organisasi bersama dapat dibangun. Berbagai organisasi
desa yang ada di Desa Baru Pelepat bertujuan untuk kepentingan kelompok
atau organisasi tertentu, bukannya untuk kepentingan bersama. Nampaknya,
organisasi bersama harus diciptakan. Dan lembaga pendamping sebagai pihak luar
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 309

telah mengambil inisiatif. Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan dan aksi


multipihak yang mewakili kepentingan semua pihak. Dengan cara ini berbagai
kegiatan tersebut berfungsi sebagai organisasi bersama. Panitia pemilihan atau
serangkaian musyawarah desa, merupakan contoh organisasi bersama semacam
itu. Namun demikian, sebuah organisasi bersama tidak selalu akan berarti suatu
organisasi harus diciptakan baru, harus diprakarsai pihak luar, ataupun harus
bersifat resmi (dengan keputusan kepala desa atau pemerintah). Hal yang menjadi
pokok, sebuah organisasi bersama harus memiliki ciri-ciri berikut:
i. mewakili semua pihak kepentingan,
ii. kegiatan diselenggarakan berangkat dari keputusan-keputusan, termasuk
tentang tujuan organisasi, yang diambil secara bersama,
iii. segala upaya mengutamakan hubungan antarpihak yang konstruktif.

Tugas utama fasilitator di sini mendorong para-pihak belajar:


• mengorganisasikan kegiatan agar para-pihak dapat berhubungan dan
berkomunikasi satu sama lain,
• menyelenggarakan kegiatan berangkat dari serangkaian keputusan bersama
yang diambil sepanjang proses.

Setelah tergambar bagaimana kolaborasi horisontal antarpihak desa dapat dibangun,


hal berikutnya yang perlu dicermati adalah peran pemerintah. Pasalnya, sebagai
‘pengayom masyarakat,’ pemerintah diharapkan dapat berperan dalam menggalang
kolaborasi horisontal masyarakat. Peran apa yang harus dimainkan pemerintah?

KOLABORASI DAN PERAN PEMERINTAH


Dalam tatanan sosial yang rapuh seperti halnya di Baru Pelepat, perlu kondisi yang
kondusif agar kepercayaan satu sama lain, norma bersama, dan organisasi bersama
dapat dibangun. Kehampaan akan ketiga hal ini menghalangi perkembangan
kolaborasi pada masa lalu. Dalam keadaan itu, apa pun yang diprogramkan
pemerintah tidak menghasilkan apa yang diharapkan. Mungkin tanpa disadari,
pemerintah telah terbawa visi Hardin dan melihat dirinya sebagai pengaman
hutan terhadap ‘perusakan’ yang dilakukan masyarakat lokal terhadap hutan.
Sumberdaya hutan, begitu pandangan pemerintah, harus diamankan dari para
‘perusak’ hutan. Dengan demikian, kondisi sosial pihak-pihak kepentingan sering
terabaikan. Proyek transmigrasi lokal (Proyek Pelaksanaan Program Pemukiman
Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi P4HDR), yang antara lain bertujuan
menetapkan ‘perambah hutan’ di Desa Pelepat pada 1997-2003 itu, merupakan
310 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

contoh nyata. Ironisnya, dalam ‘melindungi’ hutan, pemerintah seolah-olah pilih


kasih: pemanfaatan hutan skala besar oleh perusahaan negara maupun swasta
bukan hanya diperbolehkan, tetapi bahkan didukung melalui perijinan.

Peran yang selama ini dimainkan pemerintah tidak cocok lagi dan perlu disesuaikan.
Peran itu harus bergeser dari ‘pelindung hutan’ menjadi fasilitator para-pihak yang
mendorong kolaborasi. Ini berarti, hutan tidak dapat dilihat lagi sebagai luasan
tanah dengan tegakan pohon di atasnya yang pemanfaatannya perlu diawasi dan
kelestariannya dijaga ketat, tetapi sebagai suatu ekosistem yang pengelolaan dan
pengaturannya ada di tangan para-pihak yang memiliki kepentingan atas ekosistem
itu. Hal itu juga berarti, pemerintah harus lebih memperhatikan keadaan sosial
pihak-pihak kepentingan lokal yang -bila berbicara tentang keadaan seperti di Baru
Pelepat- tatanan sosialnya lemah dengan peluang nyata untuk terjadinya sengketa
antarpihak. Di desa itu, para-pihak lokal perlu difasilitasi untuk mencari cara-cara
baru dalam berhubungan satu sama lain, membentuk organisasi baru, maupun
membangun norma bersama. Pada masa lalu, program pemerintah dan insentif
ekonomi berhasil mengintroduksi praktek baru, namun gagal merubah perilaku
para-pihak. Kegagalan itu terutama karena norma sosial tidak dikembangkan
secara bersama, tetapi ditentukan secara top-down oleh pemerintah melalui
program atau kebijakan insentifnya. Ketika program berhenti dan insentif hilang,
praktek baru pun turut hanyut.

Dewasa ini, peran yang perlu dimainkan pemerintah lebih pada penciptaan kondisi
yang mendorong perkembangan kolaborasi antarpihak. Untuk itu, tidak akan
berguna banyak untuk mengatur kolaborasi secara berlebihan melalui kebijakan
atau program karena sebagai sebuah proses, kolaborasi hanya dapat diarahkan dan
difasilitasi. Daripada mengatur secara ketat, akan lebih efektif jika pemerintah
menciptakan kondisi yang konstruktif agar berbagai forum multipihak dapat
mengembangkan ruang negosiasi norma dan wadah penyelenggaraan kegiatan
bersama. Memainkan peran baru itu jelas tidak sederhana, terutama karena untuk
melakukannya, pemerintah perlu membangun hubungan yang konstruktif dengan
para-pihak lokal.

ALASAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH


UNTUK BERKOLABORASI
Pengertian kolaborasi dalam kosa kata kehutanan pemerintah bermuara pada era
reformasi yang menggelombang pada akhir 1990-an. Saat itu, berbagai kalangan
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 311

dan di berbagai tempat masyarakat Indonesia menuntut perbaikan pengelolaan


hutan kepada pemerintah. Memang benar, selama itu pengelolaan hutan, yang
sentralistik itu, dilakukan secara tidak berkelanjutan dan tidak berkeadilan.
Tutupan hutan berkurang dengan pesat, hutan terdegradasi, dan konflik antarpihak
atas tanah dan sumberdaya hutan bermunculan di mana-mana. Sering hanya
pihak yang berkuasa sajalah -seperti pemerintah dan perusahaan komersial- yang
memperoleh keuntungan dari usaha kehutanan, sedangkan masyarakat lokal hanya
jadi penonton. Kemudian, sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah pada
2001, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk secara lebih aktif dan mandiri
membangun daerahnya. Selain itu, berbagai pihak -masyarakat, LSM, penyandang
dana, dan dunia internasional- menuntut pemerintahan yang demokratis dan
memberikan wewenang pengambilan keputusan kepada masyarakat lokal.

Dalam keadaan inilah pemerintah mau tidak mau terdorong untuk mengulurkan
tangannya dan berkolaborasi dengan pihak lain, termasuk dengan masyarakat lokal.
Pada dasarnya, ada suatu alasan utama kenapa pemerintah hendak berkolaborasi
dengan pihak lain. Pemerintah menyadari bahwa dalam kondisi hutan yang
kritis itu dan dengan berbagai tuntutan tersebut di atas, mereka kurang mampu
mengelola hutan secara lestari dan berkeadilan. “Uang maupun sumberdaya
manusia tidak memadai”, begitulah yang sering dikeluhkan pemerintah. Selain
itu, pemerintah sering tidak tahu harus berbuat apa ketika dihadapkan dengan
sengketa antarpihak mengenai hutan. Pemerintah beralasan, melalui kolaborasi
masalah kehutanan dapat tertangani secara lebih efektif dan tujuan kebijakannya
tercapai secara lebih efisien.

Masyarakat lokal seperti masyarakat Baru Pelepat, di sisi lain, memiliki beberapa
alasan lain kenapa ingin berkolaborasi dengan pemerintah. Terdorong arus
demokratisasi di berbagai penjuru tanah air, masyarakat mengharapkan pendapat
mereka akan lebih didengar pemerintah dan kepentingan mereka diakomodasikan.
Masyarakat mendambakan pengakuan pemerintah atas hutan adat mereka
maupun pengaturan pengelolaan hutan secara adat. Selain itu, melalui kolaborasi
dengan pemerintah, mereka dapat memperoleh dukungan pemerintah dalam
meningkatkan perekonomian desanya.

Meskipun dengan alasan yang berbeda, pemerintah dan masyarakat lokal butuh
kolaborasi. Akan tetapi, sebenarnya ada suatu alasan lain kenapa kolaborasi
di antara mereka sangat relevan, yakni peran baru pemerintah dalam konteks
multipihak. Untuk memainkan peran baru itu pemerintah harus berhubungan
dengan masyarakat lokal secara lebih konstruktif sehingga kolaborasi di antara
mereka dapat berkembang.
312 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Suatu strategi untuk membangun kolaborasi vertikal dikembangkan dan dipaparkan


di bawah. Tawaran strategi tersebut berangkat dari pengamatan terhadap upaya
masyarakat untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah kabupaten atas hutan
adat mereka, yang difasilitasi YGB, PSHK-ODA dan CIFOR11. Strategi kolaborasi
vertikal ini selanjutnya disebut ‘strategi ACM’ karena konsepnya diilhami oleh
proses multipihak yang mengemuka ketika ACM diterapkan di Bungo.

MEMBANGUN KOLABORASI VERTIKAL


Jika sebuah strategi multipihak dapat mendorong hubungan vertikal antara
masyarakat lokal dan pemerintah, ada suatu tantangan yang perlu ditangani
secara efektif. Dalam kebanyakan tindakannya, pemerintah berpegang kuat pada
sudut pandang formalnya. Sebuah situasi hanya akan bermakna bagi pemerintah
jika sesuai dengan perspektif resmi itu. Di luar pandangan resminya, tidak ada
realita bagi pemerintah: hal-hal yang tidak terlihat, tidak nyata dan dengan
demikian tidak bermakna. Pemerintah hanya dapat melihat sesuatu sebagai
masalah, kalau masalah itu dapat dipecahkan dengan cara pemecahan yang
sudah dikenalinya atau dimilikinya. Untuk mengilustrasikan ini diberikan contoh
yang dapat dijumpai di berbagai tempat di Indonesia. Sebagai contoh, sengketa
tanah antarkelompok masyarakat, sering diselesaikan pemerintah dengan
mengintroduksi program perhutanan sosial (social forestry; SF). Anggapannya,
masalah ini disebabkan degradasi hutan dan, berkaitan dengan itu, berkurangnya
pendapatan masyarakat.

Oleh karena itu, begitulah pandangan pemerintah, masalah ini harus diselesaikan
dengan cara penanaman tanaman hutan dengan partisipasi masyarakat. Padahal
masalah sebenarnya, tumpang tindih hukum negara dengan hukum masyarakat
lokal yang tidak dapat dipecahkan dengan penanaman hutan dan partisipasi
masyarakat. Dalam contoh ini kita melihat bahwa SF-lah yang menentukan akar
masalah yang ada, yakni degradasi hutan. Dengan kata lain, masalah dirumuskan
dalam rangka cara pemecahan yang sudah dikenali pemerintah. Seharusnya,
pemecahan masalah sebaliknya: pemecahan dicari dan dirumuskan guna
menyelesaikan sebuah masalah. Identifikasi masalah harus dilakukan terlepas dari
instrumen untuk pemecahannya. Jelas, kita dihadapkan di sini dengan sebuah
lingkaran setan. Lingkaran setan inilah yang sebenarnya dimaksud para kritikus
ketika menilai kekakuan sistem pemerintahan sehingga kurang dapat menghadapi
berbagai perubahan secara tepat. Gambar 42 mencoba menggambarkan keadaan

11 Disesuaikan dari Kusumanto (2006).


BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 313

ini: sistem pemerintahan tidak dapat menangkap sesuatu sebagai sinyal (informasi)
jika hal itu tidak terlihat dan, dengan demikian, tidak bermakna dari sudut
pandang formal pemerintah. Kekakuan inilah yang harus dapat dicairkan oleh
strategi kolaborasi vertikal. Kekakuan di sini sinonim dengan ‘tidak dapat melihat
di luar sistem’.

Bagian yang
terlihat
Sudut
pandang

Mata

Gambar 42. Sudut pandang menentukan apa yang terlihat atau menjadi realita — dan yang
tidak

Gambar ini, yang mengilustrasikan kekakuan sistem pemerintahan, sekaligus


menawarkan jalan keluarnya, yakni ‘memperluas sudut pandang’ pemerintah
sehingga hal-hal yang tadinya tidak terlihat (bukan realita) menjadi nampak
(nyata). Tapi bagaimana melakukannya? Pengalaman masyarakat Baru Pelepat
dan Pemerintah Kabupaten Bungo ketika mengupayakan pengakuan resmi atas
hutan adat masyarakat, memberi beberapa pemikiran tentang bagaimana caranya.
Dari pengamatan, baik tentang hal-hal yang efektif dan yang tidak, dua aspek
penting mengemuka, sebagaimana dipaparkan di bawah. Dua aspek ini merupakan
instrumen utama dari strategi ACM yang ditawarkan itu.

Mengembangkan Pengalaman Dalam Konteks Formal


Secara umum, mengembangkan pengalaman dilihat sebagai suatu cara yang efektif
untuk mengembangkan pengetahuan seseorang, sekelompok orang, atau suatu
314 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

organisasi12. Mengingat peribahasa ‘pengalaman adalah guru terbaik’, pandangan


tersebut juga umum di negeri ini. Namun, apakah hal ini berlaku juga untuk
konteks formal pemerintahan? Apakah kekakuan sistem pemerintahan tersebut,
berarti pengalaman yang dimiliki pemerintah — terhimpun dalam bentuk data,
laporan, dokumen, dsb. di arsip kantor-kantor pemerintah — tidak dimanfaatkan
atau tidak efektif? Ada baiknya kita cari tahu apakah keadaan di Bungo dapat
memberi jawaban.

Dalam lingkup pemerintah Bungo, seperti kemungkinan besar juga di banyak


tempat lain, dilakukan berbagai upaya pencarian informasi dalam rangka
pengambilan keputusan atau pengembangan program pemerintah. Ternyata,
kebanyakan pengumpulan data dan pengkajian dilakukan guna menambahkan
pengetahuan, bukannya untuk mengembangkan pengetahuan. Dengan kata
lain, berbagai upaya itu diarahkan untuk melengkapi atau menyempurnakan
pengetahuan yang, begitulah anggapan umum, belum sempurna atau belum
lengkap. Pernah seorang petugas kehutanan mengutarakan, data luasan
hutan yang rusak di wilayah kerjanya kurang lengkap. Oleh karena itu, begitu
dikemukakannya, jumlah personil yang harus dikerahkan untuk patroli hutan
sulit ditetapkan. Menurutnya, tindakan yang harus diambil adalah penambahan
data luasan hutan rusak. Tidak terpikir olehnya untuk mencari tahu lebih jauh
penyebab kerusakan hutan, yang mungkin saja tidak dapat diselesaikan dengan
cara meningkatkan patroli hutan.

Dengan perubahan kondisi hutan yang pesat dan sulit diprediksi secara ekologis,
sosial, dan ekonomis yang kita temukan dewasa ini, hal yang sebenarnya kita
perlukan adalah pengetahuan baru, bukannya penyempurnaan pengetahuan
lama; konsep baru, bukannya tambal-sulam konsep lama. Konsekuensinya, hal
yang juga pasti dibutuhkan, cara-cara baru untuk mengembangkan pengetahuan.

Juga ditemukan dalam lingkup pemerintah, berbagai pengumpulan informasi


dilakukan sebagai aktivitas rutin guna menghasilkan masukan untuk pelaporan.
Sering kita lihat, para pegawai kurang memperhatikan atau tidak ada waktu
dan minat untuk hal-hal di luar rutinitas. Kalaupun misalnya ada sesuatu yang
sebenarnya layak dicermati, hal tersebut tidak diprioritaskan kalau bukan rutin.
Contoh aktivitas rutin adalah kegiatan dalam rangka pertanggungjawaban atau
pelaporan kepada atasan. Sayangnya, lingkup kerja yang kegiatannya terdiri dari
aktivitas rutin belaka, pada umumnya meluangkan sedikit kesempatan bagi para
karyawannya untuk berkreasi dan berpikir inovatif. Padahal, justru hal-hal inilah
yang dibutuhkan dalam kondisi hutan yang kritis sekarang ini.

12 Cara pengembangan pengetahuan seperti ini disebut oleh Kolb (1984) experiential learning (belajar dari pengalaman).
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 315

Dapat disimpulkan, permasalahan hutan saat ini menuntut penciptaan pengalaman


baru yang hanya dapat dibangun dalam kondisi yang memungkinkan kreasi dan
pemikiran inovatif. Bagaimana hal ini dapat dilakukan, dapat kita cari hikmah
dari upaya bersama Pemerintah Kabupaten Bungo dan masyarakat Baru Pelepat
berkenaan dengan pengakuan hutan adat masyarakat.

Di antara serangkaian aktivitas upaya bersama itu, kita cermati lebih dalam kegiatan
penyusunan bersama sebuah “naskah akademis”13 difasilitasi lembaga mitra dan
dilakukan sekitar Juni-Agustus 2005. Pada kegiatan itu, Pemerintah Kabupaten
Bungo diwakili pejabat dari Dishutbun, Bappeda, dan Biro Hukum, sementara
wakil masyarakat terdiri dari pimpinan adat, pejabat pemerintah desa maupun
para wakil berbagai pihak desa. Melalui urun rembug, pertukaran informasi dan
pendapat, kajian bersama, dan sebagainya dilalui sebuah proses belajar bersama
dalam menyusun naskah akademis hutan adat itu.

Tampak dengan jelas, tahap demi tahap pengalaman baru terbangun secara kolektif
seiring dengan sebuah proses pemaknaan bersama terhadap berbagai hal sepanjang
proses. Misalnya, kedua pihak memberi makna bersama pada pengertian peran
peraturan daerah dalam rangka penyelesaian masalah hutan adat di tingkat
masyarakat. Ternyata proses pemaknaan yang dilakukan secara bersama terhadap
sesuatu sangat penting dalam membangun pengalaman kolektif. Pentingnya proses
pemaknaan bersama digarisbawahi dengan penemuan lapangan yang menunjukkan,
informasi yang diperoleh di lapangan sering terdistorsi ketika kebijakan dibuat pada
tingkat pemerintah14. Hampir tidak mungkin, sebuah informasi bersifat netral dan
tidak terdistorsi oleh berbagai faktor pengaruh. Karena itu, pemaknaan informasi
secara bersama sangat penting dalam membangun pengalaman kolektif.

Melihat Realita di Luar Sistem Formal: Konstruksi Bypass15


Proses pemaknaan yang dilakukan bersama oleh berbagai pihak terhadap sesuatu
sangat penting dalam membangun pengalaman kolektif. Namun, ketika tidak
ada dasar pijakan sama sekali untuk memulai proses itu, tentu akan sulit untuk
membangun pengalaman bersama. Keadaan seperti ini biasanya mengemuka
ketika pandangan berbagai pihak terlalu berseberangan sehingga sulit dijembatani.
Dalam situasi ini, pihak yang perspektifnya mendominasi akan, per definisi,

13 Suatu naskah akademis adalah dokumen resmi sebagai dokumen pendukung dari sebuah peraturan pemerintah. Naskah itu menjelaskan latar belakang peraturan
tersebut, yakni, kenapa peraturan dibuat dan dengan tujuan dan konsekuensi legal formal semacam apa.
14 Kusumanto dan Permata Sari (2001).
15 Disesuaikan dari Wagemans (2002).
316 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

diuntungkan jika sistem dipertahankan. Dalam kebanyakan situasi di berbagai


tempat, perspektif resmilah yang mendominasi16.

Hal itu dilematis apabila sistem yang bersangkutan adalah sistem pemerintahan,
karena tidak bisa dihilangkan atau diganti begitu saja. Namun pada saat yang sama,
seperti kita lihat sebelumnya, sistem pemerintahan tidak dapat menghasilkan
inovasi selama memakai konsep dan cara lama dalam mengidentitifkasi masalah
dan mencari pemecahannya. Satu-satunya jalan keluar dari dilema ini, mendorong
para-pihak sistem pemerintahan melihat realita di luar sistem dengan syarat
tidak beresiko dijatuhi sanksi karena menyalahi sistem. Syarat ini penting, karena
hanya dalam kondisi bebas resiko, para aktor sistem dapat berkreasi dan berpikir
independen.

Sistem formal

Konsep
kebijakan/
keputusan Bypass

Kebijakan/
keputusan

Gambar 43.17 Konstruksi bypass memungkinkan para-pihak sistem mengenali dan mengalami
berbagai hal di luar sistem

Konstruksi bypass (jalan pintas) merupakan instrumen yang memungkinkan para


aktor sistem melihat realita di luar sistem tanpa ‘terganggu’ sistem yang mereka
tanggalkan sementara. Intinya, instrumen ini memungkinkan para aktor sistem
untuk mengenali dan mengalami berbagai hal di luar sistem melalui, misalnya, uji
coba atau dialog dengan pihak lain. Temuan dan, lebih penting, pengalaman yang
diperolehnya di luar sistem kemudian diaplikasikan di dalam sistem. Misalnya, para
pembuat kebijakan dapat mengkaji dampak dari suatu konsep kebijakan ketika
diterapkan pada masyarakat dan melihat konsekuensi dari hasil kajian untuk
kebijakan yang dibuat. Kembali dalam sistem, para pengambil kebijakan itu dapat

16 Ibid.
17 Ibid.
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 317

mempertimbangkan temuan
dan pengalamannya ketika
berada di bypass (Gambar
43).

Banyak alat bantu yang dapat


dipakai dalam konstruksi

© Trikurnianti Kusumanto
bypass, misalnya kajian
kritis, dialog kebijakan,
forum nonresmi, dan
sebagainya. Alat bantu apa
pun yang dipakai, konstruksi
bypass harus diarahkan Hubungan informal antarpihak seperti terlihat
untuk mendorong: (i) rasa pada foto ini menciptakan rasa nyaman dan, pada
gilirannya, mendorong kreativitas
nyaman untuk merangsang
kreativitas; (ii) komunikasi
untuk memicu keterbukaan antarpihak; dan (iii) kesetaraan yang menempatkan
semua perspektif sama pentingnya.

Dalam memakai strategi ACM sebagai strategi kolaborasi vertikal, terdapat tiga
tugas utama fasilitator multipihak: (i) merangsang proses pemaknaan bersama;
(ii) menciptakan kondisi multipihak yang nyaman dan bebas resiko; dan (iii)
mendorong para-pihak memonitor pengalaman yang dibangun bersama sehingga
pengembangan pengalaman dapat diarahkan, sementara konsep lama dan
kebiasaan lama ditanggalkan. Pengalaman Tim Fasilitator ACM-Jambi di Bungo
menunjukkan keadaan informal (nonresmi) sangat membantu mendorong para-
pihak untuk berpikir kreatif. Namun demikian, merupakan sebuah tantangan
besar bagi Tim kami untuk tidak terjebak dalam kekakuan formalitas dan untuk
menciptakan atmosfir yang mendorong kreativitas pada pihak masyarakat serta
pihak lain maupun pada Tim kami sendiri.

CATATAN PENUTUP:
KEBERANIAN MENYANGGAH TRAGEDI HUTAN
Banyak kritikus telah merasa tertantang oleh pandangan pesimis Hardin tentang
masa depan sumberdaya alam bumi ini. Tulisan ini menunjukkan, benar memang
apa yang dikemukakan para pengkritik Hardin itu: kolaborasi antarpihak bukan
sesuatu yang mustahil dan dalam hal itu tidak ada hal baru yang ditawarkan di
sini. Namun demikian, tulisan ini telah juga mencoba mencari tahu bagaimana
318 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dalam keadaan yang tidak kondusif seperti halnya di Desa Baru Pelepat, kolaborasi
bagaimanapun dapat dirangsang dan difasilitasi. Selain itu, pembaca telah juga
diajak menyimak peran baru pemerintah dalam mendorong kolaborasi, maupun hal
yang perlu dilakukan agar pemerintah dapat memainkan peran baru itu.

Kolaborasi dalam pengelolaan hutan menawarkan pemecahan yang sifatnya


pragmatis untuk permasalahan kehutanan masa kini18. Di berbagai belahan
dunia, telah dikembangkan bermacam bentuk kolaborasi untuk menangani
masalah kehutanan yang mengemuka secara khas di setiap tempat. Keunikan
kondisi setiap kasus menuntut sifat pragmatis dari upaya kolaborasi. Dengan
kata lain, upaya kolaborasi harus cocok dengan keadaan setempat. Pertanyaan
siapa, apa dan bagaimananya harus dapat dijawab dan ditanganinya secara efektif.
Karena tuntutan itulah, program kolaborasi multipihak selayaknya menggunakan
pendekatan partisipatif dan aksi nyata yang melibatkan pihak-pihak kepentingan
dari tahap identifikasi masalah sampai evaluasi pelaksanaan19. Sebuah program
intervensi yang berciri command and control (komando dan kontrol), dengan
kemasan program dan teknologi secanggih apa pun, lambat laun akan menemui
kesulitan dalam menggalang kolaborasi karena kurang melibatkan para-pihak
lokal.

Penerapan ACM di Desa Baru Pelepat membuktikan pendekatan tersebut.


mampu secara cocok mengaitkan keadaan dan kebutuhan setempat dengan
bentuk kolaborasi yang dibangun. Kemampuan ACM ini dimungkinkan dua
instrumen utama: proses dan pengalaman. Proses (atau pembelajaran) diperlukan
untuk membangun kepercayaan antarpihak, membentuk norma baru yang dapat
diterima semua pihak, mencari cara baru dalam saling berhubungan, berorganisasi
untuk kepentingan bersama, dan memaknai sebuah fenomena secara kolektif.
Pengalaman sebagai instrumen kolaborasi, diperlukan untuk mengarahkan proses
(baca pembelajaran). Sering kondisi multipihak itu rumit, sementara kita tidak
mempunyai instrumen yang memadai untuk memprediksi perubahan. Dalam
keadaan seperti ini, membangun pengalaman untuk melangkah ke depan adalah
pilihan yang paling efektif.

Tulisan ini menggarisbawahi, bukanlah pengalaman lama yang dibuat dengan cara-
cara lama yang diperlukan, melainkan pengalaman baru yang dibangun secara
kolektif dengan cara-cara yang inovatif. Hal yang juga penting untuk membangun
pengalaman baru semacam itu adalah mengajak para-pihak memperluas cara
pandang mereka dan melihat realita di luar kebiasaan lama. Mungkin saja, hanya

18 Lihat misalnya, Anderson et al. (1999) dan Carter dengan Gronow (2005).
19 Ricardo (1999), Buck et al. (2005), Carter dengan Gronow (2005).
BAGIAN 4-2 • Trikurnianti Kusumanto 319

dengan keberanian untuk menanggalkan cara-cara usang, cara pandang lama,


dan kebiasaan-kebiasaan lama, ramalan Hardin yang suram itu dapat disanggah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan penghargaan kepada Bank Pembangunan Asia (ADB) dan
MFP-DfID. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Pemerintah Kabupaten
Bungo khusunya kepada BAPPEDA, Pemda dan Dishutbun atas dukungannya
selama pelaksanaan penelitian. Selanjutnya, rasa terima kasih yang mendalam
disampaikan kepada masyarakat Baru Pelepat atas waktu, keramahan dan tempat
berteduh yang telah disediakan selama penelitian. Ucapan terima kasih tidak
tertinggal untuk para rekan peneliti dan fasilitator dari YGB, PSHK-ODA dan
CIFOR. Juga kepada Carol Colfer dari CIFOR yang telah membimbing penulis.

BAHAN BACAAN
Anderson, J., Clément, J., dan Crowder, V. 1999. Pluralism in Sustainable Forestry
and Rural Development: An Overview of Concepts, Approaches
and Future Steps. Dalam: Pluralism and Sustainable Forestry and
Rural Development. Conference Proceedings. Food and Agricultural
Organization (FAO), Roma, Itali.
Buck, L., Wollenberg, E. dan Edmunds, D. 2005. Pembelajaran Sosial dalam
Pengelolaan Kolaboratif Hutan Komunitas. Dalam: Wollenberg, E.,
Edmunds, D., Buck, L., Fox, J. dan Brodt, S. (ed.). Pembelajaran Sosial
dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Pustaka Latin dan CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Carter, J. dan Gronow, J. 2005. Recent Experience in Collaborative Forest
Management. CIFOR Occasional Paper No. 43. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Gray, B. 1985. Conditions Facilitating Interorganizational Collaboration. Dalam:
Human Relations 38(10):911-936.
Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam: Science 162:1243-1248.
Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and
Development. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ, AS.
Kusumanto, T. 2006. Social Learning, Policymaking, and Customary Forests:
Lessons from Jambi (Central Sumatera), Indonesia. Research report.
CIFOR, Bogor, Indonesia. Dokumen internal CIFOR, YGB & PSHK-
ODA. Tidak dipublikasikan.
320 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kusumanto, T. 2007. Learning to Monitor Political Processes for Fairness in Jambi,


Indonesia. Dalam: Guijt, I. (ed.) Negotiated Learning: Collaborative
Monitoring in Forest Resource Management. RFF, Washington, DC,
and CIFOR, Bogor.
Kusumanto, T. dan Permatasari, E. 2001. Up-and-down the Ladder: A Jambi Case
Study of Policy-related Information Flows. Report. Dokumen internal
CIFOR. Tidak dipublikasikan.
Kusumanto, T., Yuliani, E.L., Macoun, P., Indriatmoko, Y dan Adnan, H. 2006.
Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia.
CIFOR, YGB & PSHK-ODA, Bogor, Indonesia.
Ostrom, E. 1990. Governing the Commons. Cambridge University Press, NY,
AS.
Pretty, J. 2003. Social Capital and the Collective Management of Resources.
Dalam: Science 302:1912-1914.
Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work. Princeton University Press,
Princeton, NJ, AS.
Ramirez, R. 1999. Participatory Learning and Communication Approaches for
Managing Pluralism. Dalam: Pluralism and Sustainable Forestry and
Rural Development. Conference proceedings. Food and Agricultural
Organization (FAO), Roma, Itali.
Ridley, M. 1996. The Origins of Virtue. Penguin, London, UK.
Wagemans, M. 2002. Institutional Conditions for Transformations. A Plea for
Policy Making from the Perspective of Constructivism. Dalam: Leeuwis,
C. dan Rhiannon, P. (ed.) Wheelbarrows Full of Frogs: Social Learning
in Rural Resource Management. Koninklijke van Gorcum, Nederland.
BAGIAN 4-3
Adaptasi Kelembagaan dan Aksi Kolektif
Masyarakat terhadap Program Transmigrasi

Hasantoha Adnan dan Yentirizal

“Bagi kami, transmigrasi bisa menjadi harapan. Kami nak ingin maju jugo. Tapi kalau
tak diurus dengan baik, kami tak ingin seperti transmigrasi yang lamo, yang dijual beli
orang dan lahannya tak terurus,“ Datuk Rasyid, Pemuka Adat Dusun Pedukuh.
322 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Hasantoha Adnan
LATAR BELAKANG

Program transmigrasi membuka peluang perubahan bagi masyarakat lokal


dan masyarakat sekitarnya serta memberikan manfaat ekonomi bagi negara.
Transmigrasi dipandang sebagai pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan,
pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun pada sisi lain juga memberikan dampak berkurangnya kepemilikan lahan,
konflik antar penduduk lokal dengan pendatang warga trans, hingga semakin
parahnya hutan akibat pembukaan lahan secara besar-besaran1. Kegagalan
program transmigrasi semakin nyata dengan kurangnya dukungan sarana dan
prasarana, kelembagaan, program pertanian (sebagai pendorong peningkatan
ekonomi), perencanaan yang tak matang, hingga korupsi baik di tingkat pemerintah
kabupaten maupun oleh tokoh-tokoh desa.

Menakertrans Fahmi Idris, mengakui bahwa setelah 54 tahun transmigrasi


diselenggarakan pemerintah, selain keberhasilan dan kisah sukses, masih banyak
persoalan yang timbul sebagai akibat lemahnya penyelenggaraan transmigrasi.
Menurutnya, berbagai kegagalan itu mencakup tiga hal: Pertama, lokasi yang tidak

1 Hasil temuan tim (KKI-WARSI, BirdLife Indonesia, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten-Kabupaten di Propinsi Jambi, serta dukungan
INFORM), berdasarkan analisa citra landsat (tanpa verifikasi lapangan) diketahui bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (1990-2000) telah terjadi
pengurangan luas tutupan lahan hutan sebesar 989.466 ha (20,3% dari luas Jambi). Mereka menengarai penyebabnya adalah konversi untuk
perkebunan kelapa sawit, HTI/HPHTI, HPH, pembalakan liar, kebakaran dan pembakaran hutan. Selain itu, data BPS Jambi menunjukkan bahwa
pertambahan luas kebun karet masyarakat mencapai luas ±87.674 ha, penambahan areal pertanian dan perkebunan untuk transmigrasi seluas
246.133 ha, serta pertambahan penduduk yang mencapai ±1,84 % juga menjadi faktor pendorong berkurangnya kawasan hutan Jambi. Untuk jelasnya
silahkan lihat Taher (2005).
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 323

memenuhi unsur 2C (Clear dan Clean) serta 4L (Layak huni, Layak usaha, Layak
berkembang dan Layak lingkungan). Kedua, transmigran yang tidak kompeten.
Ketiga, upaya pemberdayaan yang tidak optimal2. Kajian lain menyimpulkan
bahwa penyebab munculnya dampak negatif transmigrasi adalah manajemen
pembangunan transmigrasi yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat
setempat3. Sebagian pihak melihat sudah sangat mendesak dilaksanakan
pembaharuan dalam kebijakan penyelenggaraan transmigrasi4.

Persoalan lahan dan sumberdaya yang menyertainya jarang diungkap. Dari


temuan di dua desa lokasi studi memperlihatkan bagaimana keberadaan program
transmigrasi berperan dalam merubah sistem pengelolaan dan kepemilikan lahan,
khususnya bagi masyarakat setempat. Bagi masyarakat setempat, tanah dan
sumberdaya alam bukan hanya sekedar aset, tetapi juga merupakan basis bagi
diperolehnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik5. Ketimpangan dalam hal akses
terhadap tanah akan sangat menentukan corak masyarakat dan mencerminkan
dinamika hubungan antar lapisan masyarakat. Beberapa persoalan lahan yang
mengemuka antara lain adalah:
1. Semakin terkonsentrasinya penguasaan dan pemanfaatan tanah dan
sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak.
2. Semakin tidak terjaminnya kepastian hak penguasaan rakyat setempat
terhadap tanah dan sumberdaya alam lainnya, yang terdapat di wilayah
kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, dan pesisir.
3. Semakin tidak terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi
rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Gambaran di atas tampak pula pada studi kasus yang dilaksanakan di Desa Baru
Pelepat Kecamatan Pelepat dan Desa Sungai Telang Kecamatan Bathin Tiga Ulu,
Kabupaten Bungo. Kedua desa terletak di hulu sungai Batang Pelepat dan Batang
Bungo, serta berbatasan langsung dengan Hutan Produksi, Hutan Lindung dan
menjadi bagian daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Pada 1998
dan 2004 dilaksanakan program transmigrasi di kedua desa yang meliputi lebih
dari 1.500 ha. Pertengahan 2005 ditandatangani kerjasama antara pemerintah
Kabupaten Bungo dengan pemerintah DKI Jakarta untuk melaksanakan program

2 Pemerintah Propinsi DIY (2006)


3 Ibid.
4 Lebih jauh Anharudin, et.al. (tanpa tahun) menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan
kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan. Pada kurun waktu 2004-2009,
penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi,
perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui
kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Diharapkan dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang otonomi
daerah, maka tata cara penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan
saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan karakteristik daerah.
5 Lihat tulisan Fauzie dan Zakaria (2000).
324 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

transmigrasi plus, yang bertujuan memindahkan warga miskin Jakarta ke lokasi-


lokasi transmigrasi tersebut.

KERANGKA TEORI
Studi ini menggambarkan dinamika perubahan keberadaan lahan akibat
masuknya program transmigrasi. Ini penting untuk melihat bagaimana masyarakat
mengembangkan persepsi dan pembelajaran sosial untuk kemudian meningkatkan
kemampuan adaptasinya melalui kelembagaan lokal yang mereka bentuk untuk
mempertahankan akses mereka terhadap lahan. Selain itu, di kedua desa terdapat
sistem tenurial yang beragam (negara, adat, formal, dan lain-lain). Adaptasi
kelembagaan juga memperlihatkan bagaimana masyarakat desa menyelesaikan
konflik-konflik lahan yang terjadi.

Ridell (1987) memaknai sistem tenurial sebagai sekumpulan atau serangkaian


hak-hak (tenure system is a bundle of rights). Pada setiap sistem tenurial, masing-
masing hak sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen, yaitu subyek hak,
obyek hak, dan jenis haknya. Selain itu, dalam sistem tenurial juga penting untuk
mengetahui siapa yang memiliki hak (de jure) atas sumberdaya dan siapa yang
dalam kenyataannya (de facto) menggunakan sumberdaya. Konsep yang juga dekat
dengan hal di atas adalah property rights, yang menurut Fedel dan Feeny (1991):
...“property as a social institution implies a system of relations between individual …it
involve rights, duties, powers, privilages, forbearance, etc., of certain kinds”.

Dalam pandangan Bromley dan Cornea (1989), pada hakekatnya terdapat empat
jenis property rights atas sumberdaya yang sangat berbeda satu dengan yang lain,
yaitu: milik pribadi (private property), milik umum atau bersama (common property),
milik negara (state property), dan tidak bertuan (open access). Dalam pandangan
teori ekonomi, khususnya setelah dikemukakan konsep ‘tragedy of the commons’
oleh Hardin (1968) yang menilai sumberdaya alam milik bersama akan cepat rusak,
maka sumberdaya hutan sebagai sumberdaya publik yang biasanya berada dalam
rezim hak common property, state property dan open access harus segera ditentukan
siapa yang mempunyai hak atas sumberdaya tersebut, agar para penunggang gratis
(free rider) yang bersifat oportunis dapat dihindari6.

6 Demi efisiensi alokasi sumberdaya, yang dioperasikan pada perekonomian pasar (market economy), maka privatisasi sumberdaya publik tampaknya
menjadi satu-satunya pilihan jalan keluar yang diusulkan teori ekonomi sampai saat ini. Oleh sebab itu, private land adalah property rights yang dianggap
paling efisien karena mempunyai sifat-sifat hak yang mendekati sempurna (perfect rights), yaitu ; (a) completeness, dimana hak-hak didefinisikan secara
lengkap; (b) exclusivity, dimana semua manfaat dan biaya yang timbul menjadi tanggungan secara eksklusif pemegang hak; (c) transferable, dimana hak
dapat dialihkan kepada pihak lain baik secara penuh (jual-beli) maupun secara parsial (sewa, gadai); dan (d) enforceability, dimana hak-hak tersebut
dapat ditegakkan (Taylor, 1988).
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 325

Pemberian property rights kepada seseorang akan memberikan insentif baginya


untuk menggunakan lahan secara efisien, melakukan investasi bagi konservasi
lahan dan peningkatan kualitas lahan. Dalam perkembangannya, banyak common
property, seperti communal land cenderung menjadi private land akibat adanya
tekanan pertambahan penduduk dan komersialisasi lahan (Ichwandi, 2003).

Hal yang terpenting dari masalah property rights adalah bagaimana penegakannya
dapat dilakukan. Penegakan property rights dapat dilakukan melalui sistem hukum
formal (formal procedur) dan penegakan aturan yang ada dalam masyarakat (social
customs) (Taylor, 1988). Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, misalnya karena
biaya enforcement atau exclusion terlalu mahal dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh maka sumberdaya akan menuju ke open access.

METODOLOGI
Kajian ini mengambil kasus di dua desa yang terletak di bagian hulu Sungai Batang
Pelepat (Desa Baru Pelepat di Kecamatan Pelepat) dan Batang Bungo (Desa
Sungai Telang7 di Kecamatan Bathin III Ulu), Kabupaten Bungo, Jambi. Dengan
keberadaannya itu, kedua desa menjadi bagian dari daerah penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat. Pengumpulan data menggunakan beberapa metode dan
teknik investigasi, seperti wawancara tak berstruktur dengan informan kunci
di kedua desa, wawancara semi-berstruktur melalui diskusi kelompok terfokus
(FGD) kepada kelompok Kalbu dan Tani di kedua desa, maupun melalui
pengamatan langsung di lokasi. Dengan kata lain, penelitian kualitatif 8 berupaya
merangkaikan data menjadi sebuah deskripsi dan analisis mendalam. Proses
pengumpulan data akan sangat dipengaruhi oleh interpretasi informan mengenai
topik yang dibicarakan. Sedangkan proses analisis akan sangat dipengaruhi oleh
interpretasi penulis terhadap data.

Dengan menjadikan desa sebagai unit analisis, ada tiga aspek yang akan dilihat,
yaitu: pertama, individu-individu sebagai bagian dari masyarakat desa, yang terlibat
secara langsung dalam pengelolaan lahan di wilayahnya. Kedua, masyarakat
desa sebagai suatu komunitas yang mendiami wilayah yang sama. Di sini akan
dilihat bagaimana respon secara kolektif yang diberikan oleh masyarakat dalam

7 Sejak 2005 di desa ini dilaksanakan penelitian Collective Action and Property Rights dengan menggunakan pendekatan Participatory Action Research.
Penelitian ini merupakan penelitian aksi kolaboratif yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menguji dan menyebarluaskan pelajaran-pelajaran
tentang mekanisme dan proses tata pemerintahan di era otonomi daerah yang paling sesuai untuk mengakomodir kepentingan masyarakat di dalam
proses pengambilan keputusan terkait dengan perencanaan tata guna lahan dan distribusi manfaat. penelitian ini dengan titik berat pada penguatan
kemampuan masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menyuarakan aspirasinya dengan penekanan untuk belajar secara bersama melalui aksi
kolektif.
8 Pendekatan kualitatif memiliki sifat interpretatif, non-linear, dan menggunakan logic in practice dalam proses kegiatan penelitian. Lebih jauh lagi,
pendekatan ini memiliki karakteristik, yaitu pentingnya suatu konteks, pentingnya suatu studi kasus, kesahihan dan reliabilitas tergantung pada
integritas peneliti dalam menjalankan kegiatan penelitian, serta menggunakan prosedur interpretasi (thick description) dalam menganalisis.
326 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

menghadapi berbagai perubahan, khususnya berkaitan dengan pengelolaan lahan.


Ketiga, desa sebagai bagian dari wilayah yang lebih luas. Di sini akan diperhatikan
relasi antar desa sekitar dan dengan pemerintahan di atasnya (kecamatan,
kabupaten, pemerintah pusat).

GAMBARAN UMUM

Desa Baru Pelepat: Desa Tua yang Rentan


Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, berjarak sekitar 256 km
dari ibukota propinsi Jambi. Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) ini
berbatasan dengan Desa Sungai Beringin (utara), Kabupaten Merangin (selatan),
Desa Rantel (timur) serta Desa Batu Kerbau (barat). Dengan luas sekitar 7.265
ha, desa ini dihuni oleh sekitar 624 jiwa (226 KK)9 dan tersebar di empat dusun:
Baru Tuo, Lubuk Beringin, Lubuk Pekan, dan Pedukuh.

Desa Baru Pelepat terbentuk pada 1989 melalui penggabungan dua buah desa,
yaitu Baru Tuo dan Pedukuh10. Penggabungan ini dilatarbelakangi oleh UU No.
5/1979 tentang tata pemerintahan desa. Pada 1997/1998, di desa ini dilaksanakan
program transmigrasi dengan membangun 150 unit rumah. Melalui program ini,
selain penduduk desa bertambah, kemajemukan etnisnya juga meningkat.

Sebagian besar penduduk asli berasal dari keturunan Minangkabau yang


menerapkan sistem matrilineal dan beragama Islam. Sebelumnya, penduduk
Minang asli memenuhi kebutuhan pangannya dengan bertanam padi dan
menggunakan sistem irigasi tradisional, menyadap dan menjual getah karet alam,
dan menjual hasil hutan non-kayu seperti rotan (Daemonorops spp. dan Calamus
spp.), manau (Calamus manan), jernang (Daemonorops draco), dan madu. Banjir
bandang pada akhir 1970-an telah menghancurkan irigasi sawah, dan mereka
pun beralih ke pola perladangan berpindah. Lahan bekas ladang mereka tanami
dengan karet ataupun buah-buahan.

Awal 1990-an, usaha karet mengalami kemunduran, seiring dengan semakin


menurunnya harga karet di pasaran dunia. Kebun karet yang ada mereka biarkan
tak terawat dan habis diserang hama babi dan simpai. Sejak saat itulah mereka
mulai mengusahakan pembalakan kayu sebagai sumber utama pendapatan rumah

9 Data berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2004


10 Kedua desa tersebut sebelumnya sudah terbentuk pada 1980
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 327

tangga. Kalau sebelumnya kayu hanya dipergunakan untuk membangun rumah


atau fasilitas di desa, kini mereka menjualnya ke sawmill ataupun industri kayu
lainnya.

Sedangkan pendatang, terdiri dari dua bagian, yaitu pendatang dari program
transmigrasi yang berasal dari desa sekitar (transmigrasi lokal), seperti Sungai
Beringin dan Rantau Keloyang. Mereka pindah karena desa mereka terkena
proyek tambang batu bara. Sama seperti penduduk asli, mereka juga terbiasa
mengembangkan usaha pertanian perladangan dan menanam karet. Pendatang
juga ada yang berasal dari Pulau Jawa (bersuku Sunda dan Jawa), bahkan ada
pula di antara mereka yang merupakan generasi kedua atau ketiga dari program
transmigrasi terdahulu, seperti dari Margoyoso, Kuamang Kuning dan Rimbo
Bujang (Kabupaten Tebo). Sebagaimana program transmigrasi pada umumnya,
mereka mendapatkan rumah dan pekarangan seluas 0,25 ha, 0,75 ha untuk lahan
usaha tanaman semusim dan 1 ha untuk lahan usaha tanaman tahunan.

Desa Baru Pelepat merupakan daerah perlintasan suku nomadik Orang Rimba.
Ada beberapa kelompok Orang Rimba (lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak
Dalam/SAD) yang mendiami kantung-kantung pedalaman hutan wilayah desa.
Selain memiliki ladang dan kebun karet, mereka mengenal juga pemanfaatan
sumberdaya hutan. Hasil hutan non-kayu berupa rotan, damar, dan jernang,
dijual melalui perantara (jenang), yang juga menjadi warga desa. Kadang mereka
langsung menjual ke kota kecamatan atau kabupaten. Walaupun seorang jenang
dapat juga berperan sebagai induk semang yang ’mengayomi’ kehidupan sosial
Orang Rimba, namun interaksi patron-client antara keduanya lebih bersifat
ekonomi yang kadang eksploitatif terhadap Orang Rimba. Karena tidak menetap,
mereka tidak dianggap sebagai bagian dari warga desa oleh masyarakat, sehingga
tidak memiliki akses terhadap pembangunan desa.

Saat ini, kegiatan utama masyarakat adalah perladangan dan pertanian11 serta
pemanfaatan hasil hutan, berupa kayu dan non-kayu. Pembalakan kayu, maupun
pengusahaan rotan, manau, gaharu, hingga hewan buruan menjadi sumber
ekonomi masyarakat. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap hutan. Selain bernilai ekonomi, hutan juga menyediakan
berbagai jenis tanaman obat-obatan dan juga untuk sebagai bahan makanan.
Sebagian besar hutan adalah hutan sekunder, karena sebagian wilayah desa masuk

11 Sistem perladangan berpindah dilakukan oleh masyarakat desa dengan membuka hutan atau sesap. Penentuan hutan atau wilayah akan dibuka
dilakukan pada saat upacara adat Turun Betaun yang mengatur pembukaan menurut prinsip adat, yaitu kompak (bersama-sama), sompak (dalam satu
waktu) dan setumpak (satu hamparan). Selain menanam padi, ladang biasanya juga ditanami cabai-cabaian, ubi kayu-jalar, kacang-kacangan, jagung
dan tanaman semusim lainnya. Tak jarang dalam satu masa tanam masyarakat mendapat keuntungan jangka pendek menengah dan panjang yang
dilihat dari produksi usaha tani yang dilakukan. Berhubungan dengan kesuburan tanah, bertambahnya tanah hak milik, mudahnya mengatasi gulma
menjadi daya tarik pembukaan hutan untuk lahan pertanian.
328 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ke dalam kawasan hutan produksi dan pernah menjadi lokasi dari perusahaan
pemegang HPH12.

Berdasarkan data pemetaan desa yang dihimpun melalui proyek Pembangunan


dan Konservasi Terpadu (ICDP-TNKS) tergambar bahwa pemanfaatan lahan
terbesar adalah sebagai hutan seluas 5.970 ha, sedangkan sisanya digunakan
untuk belukar sesap (sekitar 562 ha), kebun karet rakyat (sekitar 465 ha), kebun
campuran (88 ha), budidaya kulit manis (14 ha), areal tebangan (21 ha), ladang
padi (78 ha), pekuburan (2 ha), dan permukiman seluas 65 ha (Tim ICDP-TNKS,
2000). Saat ini, masyarakat desa sedang mengajukan proposal pengakuan Hutan
Adat Desa seluas 820 ha dan tengah menyusun rancangan peraturan desa tentang
hutan tersebut. Inisiatif itu juga digulirkan di tingkat kabupaten dalam bentuk
penyusunan rancangan peraturan daerah.

Studi Indriatmoko (2003), memperlihatkan bahwa di Desa Baru Pelepat berlaku


sistem tenurial yang berbeda, terkadang saling bersandingan, dan tak jarang
tumpang tindih. Secara tradisional, masyarakat desa mengenal sistem pengelolaan
lahan dan hutan sebagai berikut:
1. Rimbo adalah hutan primer yang masih murni dan belum pernah mendapatkan
perlakuan-perlakuan tertentu. Setiap anggota masyarakat dapat mengakses
hutan ini. Sebelum berlakunya otonomi daerah dan pada saat masih
beroperasinya HPH, sebagian besar rimbo berada di wilayah Hutan Produksi
dan berada di bawah kekuasaan negara (state property). Namun dengan
berlakunya otonomi daerah, dan berhentinya perusahaan HPH, masyarakat
semakin mudah untuk mengakses rimbo. Selain itu beberapa peraturan
daerah yang mengatur hak pemanfaatan hasil hutan yang berada di tanah
rakyat, semakin memudahkan masyarakat untuk memanfaatkannya baik
secara mandiri, melalui koperasi ataupun bekerjasama dengan pihak swasta.
Dengan demikian rimbo dapat dikatakan sebagai sumberdaya yang bersifat
state property, private property, dan kadang open access.
2. Sesap atau belukar adalah hutan yang telah dibuka untuk berladang dan
telah dibiarkan untuk jangka waktu tertentu. Sesap dimiliki secara pribadi
(private property) dan menjadi bagian dari harta yang diwariskan.
3. Belukar Cacau adalah sesap yang telah dibuka dan dibiarkan sangat lama,
sehingga tidak jelas lagi kepemilikannya dan akhirnya menjadi milik desa
(common property). Setiap anggota masyarakat boleh menggunakan lahan
ini dengan syarat tidak menanam tanaman keras, ada kewajiban membayar

12 Sebelum tahun 2000 di wilayah ini terdapat beberapa perusahaan yang memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yaitu Rimba Kartika Indah (RKI),
Gajah Mada, PT. Alas dan terakhir INHUTANI V yang berhenti seiring dengan proses desentralisasi kehutanan. Setelah itu bentuk pemanfaatan
lahan oleh perusahaan juga dilakukan oleh perusahaan yang memegang izin. Terakhir ada bentuk pemanfaatan kayu IPHH (Izin Pemanfaatan Hasil
Hutan) oleh PT. MKS di wilayah Hutan Produksi di sekitar Desa Baru Pelepat meski belum menyentuh wilayah desa secara langsung.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 329

zakat dan tidak dibatasi waktu penggunaanya. Selain karena ketidakjelasan


kepemilikan, belukar cacau juga biasanya lahan yang sangat subur karena
letaknya di sekitar sungai. Sebagian besar pemanfaatan lahan oleh masyarakat
adalah untuk menaman padi ladang.

Perubahan datang pertengahan 1970-an seiring dengan masuknya perusahaan


hak pengelolaan hutan (HPH). Beberapa perusahaan beroperasi silih-berganti
di wilayah desa tanpa pernah melibatkan masyarakat sekitar. Abdurrachman (40
tahun) sempat mengenang bahwa pada saat itu tak jarang masyarakat lari dikejar-
kejar tentara karena ketahuan mengambil rotan atau madu di kawasan hutan
produksi.

Selain pembukaan hutan besar-besaran oleh HPH, perkembangan yang membawa


dampak sangat jauh bagi masyarakat Baru Pelepat adalah penyeragaman bentuk
desa sesuai UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Hal ini menyebabkan
semakin terpangkasnya aturan-aturan adat dan diakuinya aturan formal dalam
mengatur kehidupan desa. Kehidupan desa tak lagi menjadi otonom sebagaimana
sebelumnya, begitu juga dengan tokoh-tokoh adatnya yang cenderung berada di
bawah pengaruh negara, dan kurang mempedulikan masyarakatnya13.

Perubahan berikutnya adalah dengan dibukanya proyek transmigrasi di Baru Pelepat


1997-1998. Peserta transmigrasi terdiri dari penduduk lokal yang membebaskan
lahannya untuk areal transmigrasi, juga penduduk desa sekitar yang terkena
proyek tambang batu bara, dan pendatang Jawa. Pada saat ini pula diperkenalkan
sistem sertifikasi tanah yang diberikan oleh BPN melalui Diskertrans atas lahan-
lahan yang dimiliki oleh peserta transmigrasi.

Gambaran ini memperlihatkan dinamika sistem tenurial di desa. Menurut BPN, di


Desa Baru Pelepat terdapat dua jenis penggunaan lahan, yaitu Hutan Produksi (HP)
yang dikonsesikan kepada perusahaan pemegang HPH, dan Areal Pemanfaatan
Lain (APL), yang biasanya dimanfaatkan untuk berladang dan pemukiman. Batas
antara kedua batas ini sayangnya tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat
dan pemangku kepentingan lainnya. Meskipun demikian, sejauh ini persoalan
batas tidak menjadi perhatian penting, selama kawasan berladang mereka tidak
tumpang tindih dengan hutan produksi. Pemerintah, khususnya pemerintah
lokal maupun dinas kehutanan setempat tidak pernah mensosialisasikan kedua
bentuk pemanfaatan lahan ini. Ini adalah gambaran umum yang terjadi di seluruh

13 Seorang mantan kepala desa bahkan pernah bercerita bahwa dirinya diangkat menjadi kepala desa tanpa pernah mengetahui alasannya. Saat itu, ia
sebagai satu-satunya orang berpendidikan sekolah menengah, ditunjuk oleh ninik mamak dan tetua adat desa untuk memimpin desa. Penunjukan itu,
menurutnya, sudah dikonsultasikan dengan pihak kecamatan.
330 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indonesia. Sehingga menimbulkan sengketa antara masyarakat lokal dengan


pemerintah maupun dengan pemegang konsesi. Seluruh pemangku kepentingan
di wilayah ini dapat dikategorikan ke dalam tingkat komunitas lokal dan di luar
komunitas (pemerintah dan pemegang konsesi).

Desa Sungai Telang: Benteng Terakhir Penyangga TNKS


Desa Sungai Telang14 termasuk wilayah Kecamatan Bathin III Ulu15. Pada mulanya
desa ini berada dalam kekuasaan Marga Bathin Tiga Ulu, yang dipimpin oleh tiga
orang Rio dan membawahi tiga wilayah yaitu Rio Peniti yang berkedudukan di
Sungai Telang, Rio Suko Berajo di Karak dan Rio Setio di Buat, sementara Marigeh
termasuk dalam Rio Suku Barajo.

Diberlakukannya UU No. 5/1979 menyebabkan bentuk marga diubah menjadi


desa sebagai unit administrasi pemerintahan terkecil16. Hal ini menimbulkan
perubahan yang mendasar terhadap keberadaan marga yang selama ini berperan
sebagai lembaga pemerintahan terendah di bawah kecamatan.

Sungai Telang definitif menjadi desa pada 1982 dengan luas 12.089,75 ha yang
terdiri dari tiga dusun: Marigeh, Kampung Baru, dan Sungai Telang sebagai
pusat pemerintahan. Sebelum 1995, masyarakat memanfaatkan Sungai Batang
Bungo untuk sarana transportasi dengan menggunakan biduk atau rakit yang
dipakai sampai ke Muara Buat membawa hasil bumi. Sejak masuknya program
transmigrasi pada 2004, kini desa ini memiliki 2 areal transmigrasi. Desa Sungai
Telang berbatasan dengan Sungai Batang Uleh (utara), Gunung Panjang (selatan),
Gunung Gedang (barat), anak Sungai Pauh dan Sungai Lubuk Pauh (timur)17.
Pemanfaatan lahan digunakan untuk sawah 104 ha, pemukiman 69 ha, tegal/
huma/ladang 239 ha, perkebunan 2.620 ha, hutan produksi 7.001,5 ha, hutan
lindung 1.697 ha, TNKS 316 ha, padang rumput 25 ha, kolam 0,25 ha, sungai 7
ha dan jalan 11 ha18.

Berdasarkan pendataan oleh Pemdes pada 2005, diketahui bahwa desa ini
dihuni oleh 1.551 jiwa (414 KK) yang terdiri dari penduduk asli dan pendatang.

14 Nama ini berasal dari nama sungai yang membelah desa yang menjadi anak Sungai Batang Bungo. Dahulu di sepanjang sungai ini banyak terdapat
Telang, sejenis bambu yang konon menurut cerita dijadikan tempat untuk menyembunyikan butiran emas hasil mendulang di sungai. Hingga pada
suatu hari, salah seorang tetua desa meninggal dan anak keturunannya kemudian mencari Telang yang berisi emas tersebut, namun tidak ketemu.
Sejak itulah daerah itu dikenal dengan sebutan Sungai Telang
15 Kecamatan Bathin III Ulu adalah kecamatan pemekaran. Semula menjadi bagian dari Kecamatan Rantau Pandan. Sejak Januari 2006, Desa Sungai
Telang, Sungai Letung, Lubuk Beringin dimekarkan menjadi kecamatan tersendiri.
16 UU No. 5/1979 menggantikan UU Marga I.G.O.B tahun 1938 Stat Blad No.490. Untuk Propinsi Jambi implementasi kebijakan ini ditindaklanjuti
dengan dikeluarkannya Perda No. 8/1981 oleh Pemerintah Propinsi Jambi
17 Berdasarkan informasi dari Pemerintahan Desa Sungai Telang, 2005.
18 Data yang berasal dari Dishutbun Kabupaten Bungo, 2004.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 331

Penduduk asli berdiam di dusun, sedangkan pendatang di kawasan transmigrasi.


Mata pencaharian utama penduduk desa bertani dengan tanaman utama padi
(sawah/ladang) dan karet, selain itu juga membudidayakan tanaman hortikultura,
sedangkan untuk kebun ditanami tanaman buah-buahan.

Kehidupan bergotong-royong sangat mewarnai kehidupan masyarakat Sungai


Telang, khususnya dalam mengerjakan sawah, kebun milik dukun beranak dan
guru agama tanpa imbalan dan tanpa harus diminta oleh pemiliknya. Kegiatan
pembangunan rumah juga dikerjakan secara bergotong-royong; ada rasa malu bila
tidak datang.

Pola kepemilikan lahan oleh masyarakat Desa Sungai Telang dibagi dalam dua
bentuk yaitu secara komunal dan secara pribadi. Pemilikan komunal menyangkut
lahan hutan tua (tanah ulayat/tanah bathin): semua anggota masyarakat bebas
untuk memanfaatkan lahan tersebut asalkan terlebih dahulu mendapat ijin
dari para tetua adat/desa. Sedangkan kepemilikan lahan secara pribadi adalah
penguasaan atas lahan yang digarapnya baik sawah, ladang maupun kebun.

Cara masyarakat mendapatkan lahan tersebut bermacam-macam: dengan cara


membuka lahan hutan sekunder tua maupun hutan primer (sesap tua dan hutan
yang masih utuh), membeli, warisan dan pemberian dari sanak keluarganya. Dalam
sistem warisan dikenal dengan dua macam harta pusaka yaitu harta berat berupa
lahan basah (tanah sawah), bangunan beserta isinya untuk anak perempuan dan
harta ringan berupa lahan kering (kebun, sesap, belukar) dan ternak untuk anak
laki-laki.

AWAL PETAKA

Transmigrasi Lokal Pelepat: Impian Hampa


Sebelum muncul rencana pembangunan tambang batu bara di Desa Sungai
Beringin pada 1997, sesungguhnya masyarakat Desa Baru Pelepat telah beberapa
kali mengajukan permintaan kepada pemerintah Kabupaten Bungo, agar desanya
menjadi tujuan program transmigrasi. Menurut Abdurrahman (40 tahun),
mantan kepala desa pada waktu itu, keinginan ini dipicu oleh kondisi kemiskinan
yang mereka alami serta terpencilnya desa ini dari ibukota kabupaten19. Mereka

19 Saat itu masyarakat masih terbiasa menggunakan Sungai Batang Pelepat dengan rakit untuk ke kota kecamatan ataupun berjalan kaki selama 1 hari
penuh. Jalan utama desa baru dibuka pada saat pembukaan transmigrasi I, pada 1997.
332 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

melihat bahwa program transmigrasi dapat menjadi pemicu untuk meningkatkan


taraf hidup mereka.

Sayangnya usulan ini ditolak, dan baru pada usulan ketiga, yaitu di akhir 1993
ada tanggapan dari Bupati Bungo-Tebo, yang menunjuk tim untuk melakukan
studi kelayakan atas lokasi tersebut. Realisasi dari hasil studi kelayakan itu baru
dilaksanakan pada 1997, bersamaan dengan rencana pembangunan tambang batu
bara di Desa Sungai Beringin, tetangga Desa Baru Pelepat.

Program ini disebut transmigrasi lokal, karena pesertanya terdiri dari masyarakat
desa setempat yang memberikan lahan, sebagian masyarakat Desa Sungai Beringin
yang tergusur akibat pembangunan tambang. Ini menjadi bagian dari program
transmigrasi di Jambi yang dimulai sejak 1980, sebagai upaya untuk mendorong
pembangunan di tingkat lokal melalui program pertanian tanaman semusim
seperti jagung, ketela, dan lain-lain dan perkebunan (karet ataupun sawit). Selain
tujuan tersebut, mengingat program ini didanai melalui Pelaksanaan Program
Pemukiman Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi (P4HDR), maka program
ini juga dimaksudkan untuk mengurangi perambahan hutan oleh masyarakat lokal
berkaitan dengan kegiatan ladang berpindah mereka. Apalagi mengingat desa ini
menjadi daerah penyangga dari Baru Pelepat.

Tujuan mulia ini tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Berbagai macam


permasalahan justru muncul akibat dari program ini. Beberapa kasus bahkan tidak
terselesaikan hingga kini20. Menurut Datuk Gani, pangkal persoalan program
transmigrasi di Desa Baru Pelepat adalah tidak terealisasinya Lahan Usaha I dan II
sebagai penopang mata pencaharian masyarakat. Memang pada saat itu ada upaya
dari Disnakertrans dengan memberikan bibit karet, namun karena tidak didukung
dengan penyuluhan yang mantap, lokasi yang cukup jauh dari desa sehingga
menyulitkan masyarakat untuk merawatnya, bibit yang kurang berkualitas karena
tidak jelas asal-usulnya, serta serangan hama babi, menyebabkan pengembangan
Lahan Usaha ini terbengkalai.

Padahal, dengan masuknya transmigrasi, masyarakat mengenal satu bentuk baru


kepemilikan lahan yang bersertifikat dan diakui oleh negara. Setiap kepala keluarga
transmigran mendapatkan 0,25 ha lahan untuk rumah dan pekarangan, 0,75 ha
menjadi Lahan Usaha (LU) I untuk ditanam padi dan tanaman semusim lainnya,
dan 1 ha untuk LU II untuk tanaman keras berupa karet ataupun sawit. Kendati
memiliki hak untuk memiliki dan mengelola 2 ha lahan, namun hingga saat ini
yang baru dimanfaatkan secara penuh adalah lahan untuk rumah dan pekarangan.

20 Beberapa masalah itu diantaranya, belum direalisasikannya LU I dan II, hingga sertifikat lahan yang tak kunjung diberikan oleh Disnakertrans.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 333

Beberapa kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan proyek ini adalah:


1. Letak LU I dan LU II yang tidak dekat dari pemukiman dan harus menyeberangi
sungai menjadi kendala bagi kemudahan akses para transmigran.
2. Belum jelas dan tuntasnya persoalan lahan. Sebagaimana diungkapkan
di atas, bahwa sebagian lahan sesap merupakan lahan milik pribadi yang
diakui secara adat. Sebagian besar LU I dan LU II adalah lahan sesap milik
masyarakat dan sempat menimbulkan konflik kepemilikan lahan yang cukup
tajam antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam hal ini melalui
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bentuk penyelesaiannya adalah bahwa
separuh 150 rumah yang telah disediakan, diberikan kepada masyarakat asli
yang tanahnya dipakai untuk LU I dan LU II.

Dampak dari kegagalan proyek ini adalah sebagian transmigran ada yang menjual
rumah dan lahannya ataupun meninggalkan begitu saja, terutama setelah jaminan
hidup yang diberikan oleh Disnakertrans selesai diberikan. Sementara mereka
yang tetap bertahan, sebagian besar dari Jawa, berusaha memanfaatkan lahan
pekarangan dengan maksimal untuk ditanam tanaman semusim maupun tanaman
keras, ataupun dengan bekerja menggarap kebun karet milik warga asli.

Bagi mereka yang mampu dapat membeli lahan dari masyarakat asli untuk dijadikan
ladang. Namun dibutuhkan kehati-hatian, mengingat sistem kepemilikan lahan
cukup rumit di desa ini, bahkan tak jarang setelah dibeli, ternyata tanah tersebut
masih bermasalah karena pemiliknya bukan hanya satu orang, tapi berdasarkan
kewarisan tertentu. Karenanya, setiap pembelian tanah biasanya diketahui oleh
ninik mamak desa.

Bagi mereka yang tidak mampu, bisa membuka ladang dengan meminjam lahan
dari masyarakat asli. Biasanya, sebelum meminjam mereka memang sudah ada
hubungan yang lebih akrab dan khusus dengan orang asli tersebut. Tak jarang
mereka kemudian menikah dengan penduduk asli agar memudahkan akses untuk
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di desa.

Cara lainnya adalah dengan membuka rimbo menjadi ladang21 yang pada
gilirannya akan menjadi milik si pembuka. Namun karena rimbo yang dekat desa
semakin sedikit, maka mereka membuka hingga cukup jauh dari pemukiman.

21 Masyarakat transmigran baru boleh membuka ladang dan rimbo yaitu setelah interaksi antara mereka dengan penduduk asli terjalin semakin akrab.
Di tahun-tahun awal proyek transmigrasi, banyak terjadi pertentangan antara kedua belah pihak, namun pertentangan ini semakin mereda khususnya
setelah pembentukan Badan Perwakilan Desa. Dalam pembentukan BPD, terdapat seorang wakil dari kelompok pendatang dan juga seorang
perempuan (sehingga mewakili kelompok perempuan desa). Dengan jabatan ini, posisi masyarakat pendatang, kian diterima oleh masyarakat asli.
334 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Seorang warga trans keturunan Jawa bercerita bahwa setelah 3 tahun ia menjadi
transmigran, kebun yang diharapkannya malah tidak terurus. Ia kemudian
mengajukan permohonan kepada ninik mamak setempat untuk membuka rimbo
yang kemudian disetujui. Ia pun membuka rimbo sesuai dengan aturan adat yang
ada.

Sejauh ini, pengaturan lahan di Desa Baru Pelepat didasarkan pada aturan adat
dalam membuka ladang, melalui sistem kewarisan, pemberian, ataupun jual beli.
Sayangnya aturan ini tidak memberi batasan dalam kepemilikan lahan. Dalam
sebuah wawancara, seorang warga mengakui memiliki lahan lebih dari 50 ha yang
dia dapatkan dari warisan maupun dari membuka hutan. Kecenderungan untuk
membuka lebih luas lagi lahan semakin dimungkinkan karena adat mengenal
aturan penghulu atau muko humo, yaitu bahwa pembuka rimbo mempunyai hak
untuk membuka lagi hutan di depan lahan (ladang) yang dibukanya. Dan hak ini
akan terus bertahan, kendati lahan tersebut telah menjadi sesap.

Selain keberadaan transmigrasi menyebabkan ketersediaan lahan semakin sedikit,


berbagai praktek yang berkembang saat ini adalah jual beli lahan transmigrasi. Pak
Andra, mantan Sekdes, bahkan mensinyalir adanya lahan transmigrasi yang sudah
diperjualbelikan hingga 3 kali pindah kepemilikan. Praktek jual beli ini, bukan
hanya dilakukan oleh warga transmigrasi dari luar desa, namun juga dari dalam
desa. Kendati hal ini terlarang, namun praktek tersebut terus berjalan. Kondisi ini
semakin mendorong kepada ketidakpastian masyarakat dalam mengakses lahan.
Lahan tersedia semakin terbatas.

Transmigrasi Sungai Telang I: Masalah Tak Berujung


Program transmigrasi Sungai Telang dimulai pada 2004. Masyarakat desa
bersepakat melepaskan areal yang dimilikinya setelah tertarik dengan kesuksesan
beberapa program transmigrasi di daerah lain di Bungo yang maju dengan
perkebunan kelapa sawitnya. Saat itu, mereka melepaskan lahan seluas 1.041 ha
untuk pemukiman, Lahan Usaha I dan II. Lahan seluas itu akan menampung 275
kepala keluarga (penduduk asli sebanyak 138 KK dan pendatang dari Jawa 137
KK).

Untuk kelancaran proses pelaksanaan program dan penghubung antara masyarakat


dengan pemerintah, maka dibentuk tim di tingkat desa yang ditunjuk langsung
oleh kepala desa. Tim yang disebut ‘Tim Kecil’ ini beranggotakan 3 orang terdiri
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 335

dari ketua, bendahara dan sekretaris; sementara kepala desa sebagai pelindung.
Tim Kecil bertugas mengatur semua kelengkapan administrasi, pendataan pemilik
lahan (penentuan peserta) dan pembebasan lahan di tingkat desa.

Setelah melalui musyawarah desa, ditetapkan bahwa lahan untuk wilayah


transmigrasi Sungai Telang I berasal dari lahan milik masyarakat berupa sesap,
hutan karet maupun semak belukar. Lahan yang diserahkan masyarakat tidak
akan mendapat ganti rugi, karena nantinya masyarakat akan mendapatkan
pengganti berupa kebun sawit. Dari hasil pendataan Tim Kecil, terdapat 118 KK
yang lahannya termasuk dalam lokasi transmigrasi. Lahan-lahan itu kemudian
diserahkan masyarakat dengan luasan yang beragam, yaitu berkisar 2-6 ha/ KK.

Sayangnya kenyataan tak seindah janji yang sudah ditebarkan. Dari 138 KK peserta
yang semestinya penduduk setempat, kenyataannya hanya 118 KK. Menurut
Abusan (56 tahun), seorang pemuka masyarakat, 20 KK berasal dari masyarakat
luar Desa Sungai Telang. Ia menuding terjadi jual beli di bawah tangan antara
peserta tersebut dengan Tim Kecil ataupun Pemdes. Ironisnya, justru terdapat
beberapa anggota masyarakat setempat yang sudah membayar uang pendaftaran,
tapi tidak menjadi peserta transmigrasi, bahkan kehilangan hak atas lahan yang
dimilikinya. Sayangnya, mereka tak mampu menyuarakan ketidakadilan tersebut
karena di tingkat desa mereka dianggap lemah, baik dari segi ekonomi maupun
pengaruh.

Berbagai persoalan muncul seiring dengan dimulainya pembangunan sarana dan


fasilitas pemukiman. Ketiadaan perjanjian tertulis antara masyarakat setempat
dengan pemerintah, tidak transparannya Tim Kecil dan komunikasi yang buruk
antar pihak-pihak terkait semakin memperumit keadaan. Mulai dari proses
pembebasan lahan yang dilakukan hingga penempatan lokasi pemukiman hingga
lahan usaha hampir semuanya penuh dengan masalah22. Bahkan terjadi tumpang
tindih lahan dan saling klaim antar masyarakat.

Persoalan terus bertambah setelah dimulainya pemanfaatan LU I dan II. Beberapa


warga trans yang kurang berhasil dalam pengusahaan LU I dan II mulai menjual
lahannya ke pihak lain. Jual beli biasanya terjadi setelah pemberian jaminan
hidup yang diberikan oleh Disnakertrans sudah dihentikan, yaitu untuk waktu
1 tahun. Bahkan dijumpai warga trans yang ternyata pernah menjadi peserta
transmigrasi di daerah lain. Sedangkan bagi warga trans yang berhasil mulai

22 Seorang anggota masyarakat mengakui bahwa pada saat itu ada musyawarah untuk pembebasan lahan dan ada penandatanganan kesepakatan dari
anggota masyarakat desa yang akan melepaskan lahan. Namun tidak diikuti dengan peninjauan lapangan. Baginya saat itu hanyalah sekedar tanda-
tangan-tanda-tanganan tanpa adanya kesepakatan.
336 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

memperluas kepemilikan lahannya dengan membeli lahan, baik dari warga trans
maupun dari penduduk setempat. Fakta ini memperlihatkan bahwa keberadaan
program transmigrasi mendorong terjadinya pengalihan kepemilikan lahan secara
besar-besaran dan yang paling dirugikan adalah penduduk setempat yang ketika
membebaskan lahannya tidak menerima imbalan apa pun.

Pada sisi lain, mekanisme jual beli lahan yang berlangsung tak mampu diantisipasi
oleh aturan adat. Hak-hak adat dan norma–norma sosial telah sedemikian rupa
menyatu mengatur suatu pola kepemilikan dan pengelolaan atas lahan. Karena
tanah sangat erat hubungan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Selama ini
aturan adat memandang lahan tidak hanya untuk milik pribadi tetapi juga publik.
Beberapa areal yang sebelumnya tanah bathin (milik publik), berubah menjadi
milik pribadi.

Pepatah adat mengatakan “Nenek samo di imbo (Hutan), puyang samo di seru”.
Artinya: siapapun warga masyarakat Desa Sungai Telang berhak menggarap tanah
bathin/ulayat untuk ditanami padi ladang (bahumo), namun tidak boleh ditanami
tanaman keras dan tidak boleh menjadi hak milik. Di lahan inilah biasanya,
secara bersama-sama selama 7 tahun, masyarakat menanam padi ladang, sebelum
kemudian membuka lahan lain, sedangkan lahan yang lama diberakan.

Dari gambaran di atas, keberadaan program transmigrasi selain mengurangi akses


terhadap lahan juga mengancam lahan-lahan ulayat/bathin yang justru dimiliki
secara publik. Masyarakat Sungai Telang menyadari, bahwa hak-hak mereka
terhadap tanah menjadi berkurang.

Penyerahan lahan ini menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan


dan pemilikan tanah. Seperti apa yang dikatakan Marjohan (50 tahun), “Kami
menyadari sekarang, tanah yang kami serahkan untuk transmigrasi sudah menjadi milik
orang lain, lahan semakin sempit dan anak cucu kami bertambah, kemana lagi kami
mencari lahan?” Pernyataannya itu mengingatkan kita, bahwa lahan berkurang
sementara penduduk bertambah.

Selain ancaman terhadap tanah ulayat/bathin, ancaman juga muncul terhadap


kawasan Hutan Lindung Rantau Bayur yang berbatasan dengan desa. Bahkan
beberapa warga desa sudah mulai membuka kawasan tersebut kendati mengetahui
bahwa kawasan tersebut terlarang untuk usaha produksi.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 337

Pembangunan transmigrasi Sungai Telang I cenderung menekankan aspek


ketersediaan fasilitas permukiman, namun melupakan pembinaan usaha produksi
pertanian. Selain pembinaan bersifat teknis pertanian juga memerlukan perubahan
mental bertani, khususnya bagi masyarakat setempat. Karena pertanian intensif
tentunya memerlukan perubahan sikap mental masyarakat setempat yang terbiasa
dengan pertanian ekstensif. Hal ini pula yang menyebabkan usaha produksi
pertanian yang dikembangkan kurang berjalan dengan baik, khususnya di kalangan
masyarakat setempat. Padahal hal tersebut menjadi kunci utama keberhasilan
sebuah program transmigrasi.

Rendahnya hasil produksi pertanian, memaksa mereka untuk kembali ke pola


lama yaitu ladang berpindah. Sementara ketersediaan lahan tidak lagi mencukupi.
Kalau pun ada yang tersedia hanyalah lahan pada tanah ulayat/bathin yang lebih
terbatas penggunaannya. Kondisi ini memunculkan adanya ketidakpastian usaha
di kalangan masyarakat.

MEMPERKUAT POSISI TAWAR MELALUI


PENGUATAN KELOMPOK

Desa Baru Pelepat: Penguatan Kelompok Kalbu


Menurut Abunazar, tokoh adat dusun Pedukuh Desa Baru Pelepat, program
transmigrasi II sesungguhnya sudah digulirkan sejak 1999, pada saat ia masih
menjabat sebagai Pejabat Sementara Kepala Desa Baru Pelepat. Saat itu usulan
diajukan oleh masyarakat Dusun Pedukuh untuk menambah areal transmigrasi
sebagai perluasan program transmigrasi I yang sudah dibangun pada 1998. Surat
usulan tersebut, kemudian ditembuskan kepada Camat, Bupati dan Gubernur.
Kala itu Camat menolak menandatangani proposal yang menjadi lampiran dari
surat tersebut, sehingga kemudian proses ini terhenti.

Pada September 2002, setelah pemilihan kepala desa baru, masyarakat kembali
mengusulkan perluasan lahan transmigrasi seluas 500 ha untuk 200 kepala keluarga.
Surat ini kembali diajukan kepada dinas transmigrasi dan ditembuskan kepada
Bupati. ‘’...kita tidak menembuskan ke kecamatan karena dengan diberlakukannya
otonomi daerah, peran desa menjadi lebih besar, sehingga kami tidak perlu kecamatan‘’
jelas Abunazar menanggapi pertanyaan mengapa tidak memberikan tembusan ke
kecamatan.
338 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pada Desember 2002, datang tim dari Depnakertrans untuk melakukan


pengukuran di lokasi Dusun Pedukuh. Hasil pengukuran saat itu memperlihatkan
bahwa ternyata areal yang diajukan, yakni di seberang sungai di muka Dusun
Pedukuh masih kurang. Tim kemudian mengusulkan agar kebun karet tua yang
ada di sekitar dusun digunakan untuk memenuhi kekurangan lahan tadi. Abunazar
menyatakan keberatan dengan usulan tersebut, dan berjanji akan membicarakan
hal ini dengan masyarakat Pedukuh pada umumnya.

Beberapa hari setelah pengukuran oleh tim, untuk pertama kalinya dilaksanakan
musyawarah seluruh masyarakat Dusun Pedukuh. Pada saat itu, para pemilik
kebun karet tua menyatakan keberatan bila lahannya dijadikan areal transmigrasi.
Pertimbangannya mereka tak ingin seperti dusun Baru Tuo, dimana setelah kebun
karet menjadi wilayah transmigrasi mereka tidak punya lagi sumber penghasilan.
Mereka kemudian memberikan usulan-usulan lokasi dan beberapa persyaratan
agar kondisi yang terjadi pada transmigrasi I tidak mereka alami.

Pada saat itu pulalah ditentukan mekanisme kelompok berdasarkan ‘kalbu’.


Kelompok Kalbu sesungguhnya adalah kelompok yang mendasarkan pada garis
keturunan yang ada di dusun Pedukuh. Dipilihnya kelompok ini mengingat
sebagian besar lahan yang ada di sekitar dusun Pedukuh adalah tanah yang
diwariskan. Sehingga dengan sistem ini mereka lebih meyakini kepemilikannya
terhadap lahan.

Mereka kemudian menunjuk Abunazar sebagai juru bicara kelompok. Abunazar


juga yang berperan untuk menghimpun masyarakat untuk mendiskusikan hal-
hal yang terkait dengan transmigrasi. Artinya, setiap keputusan yang diambil
adalah berdasarkan musyawarah kelompok Kalbu. Pada saat itu pula disampaikan
keberatan mereka kepada Disnakertrans.

Pada pertengahan 2004, Kades Baru Pelepat mendapat informasi bahwa akan
dilaksanakan rencana pembangunan transmigrasi II Pelepat, untuk sejumlah
200 KK. Lahan untuk pemukiman akan dibangun di sekitar dusun, sedangkan
lahan usaha akan ditempatkan di seberang Sungai Batang Pelepat di muka dusun
Pedukuh. Menanggapi hal tersebut, lalu Kelompok Kalbu mengadakan pertemuan
untuk membicarakan hal ini, yang hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Adanya kesepakatan mengenai lokasi untuk pemukiman yaitu di sekitar
dusun dan akan ada pengaturan untuk kesediaan pelepasan lahan oleh
masyarakat. Beberapa pertimbangan yang diajukan adalah mereka yang
boleh melepaskan lahan terbuka bagi siapa saja, namun lebih diutamakan
yang belum mendapatkan kesempatan pada pembukaan transmigrasi I.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 339

Orang tersebut memang memiliki tanah di lokasi yang akan dijadikan lokasi
transmigrasi.
2. Menolak kebun karet tua dijadikan bagian dari lokasi transmigrasi.
3. Untuk lokasi LU I dan II akan diatur kemudian.

Hasil musyawarah inilah yang kemudian disampaikan oleh Abunazar melalui


Kepala Desa Baru Pelepat ke Disnakertrans Bungo. Tanggapannya adalah pada
Januari 2005 ada kunjungan dari Disnakertrans Bungo ke desa untuk memastikan
lokasi dan mengadakan musyawarah dengan Kelompok Kalbu. Dalam musyawarah
tersebut dikemukakan kembali mengenai rencana pembangunan transmigrasi di
dusun Pedukuh dan apakah ada keberatan dari masyarakat. Jawaban masyarakat
melalui Abunazar saat itu adalah bahwa sudah ada kesepakatan mengenai lokasi.
Mereka pun sekali lagi menegaskan syarat atas kesediaan mereka yaitu:
1. Tidak menjadikan lahan kebun karet tua sebagai lokasi transmigrasi.
2. Ada kesepakatan antara pemuka masyarakat Dusun Pedukuh, pemerintah
desa dan Disnkaertrans bahwa lahan tidak akan diperjualbelikan di kemudian
hari. Apabila dalam waktu 3 bulan setelah trans menerima peserta, namun
tidak ada penghuninya atau dibiarkan kosong; maka lahan tersebut kembali
kepada dusun dan desa
3. Perlunya seleksi yang ketat terhadap peserta transmigrasi.

Ketiga tuntutan ini kemudian disampaikan kepada Disnakertaran sebagai lampiran


dari surat pernyataan kesediaan masyarakat Dusun Pedukuh untuk menerima
program transmigrasi. Melalui kesepakatan inilah transmigrasi II mulai bergulir
di dusun Pedukuh.

Desa Sungai Telang: Penguatan Kelompok Tani


Pola kepemilikan lahan oleh masyarakat Desa Sungai Telang di bagi dalam dua
bentuk yaitu secara komunal dan secara pribadi. Secara komunal adalah lahan
hutan tua (tanah ulayat/tanah bathin), semua anggota masyarakat bebas untuk
memanfaatkannya asalkan terlebih dahulu mendapat ijin dari para tetua adat/
desa. Sedangkan kepemilikan lahan secara pribadi adalah penguasaan atas lahan
yang digarapnya, baik berupa lahan sawah, ladang maupun kebun.

Cara masyarakat mendapatkan lahan tersebut bermacam-macam: dengan cara


membuka lahan hutan sekunder tua maupun hutan primer yang ada, membeli,
warisan orang tua dan pemberian dari sanak keluarganya. Dalam sistem warisan
dikenal dengan dua macam harta pusaka yaitu harta berat berupa lahan basah
340 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

(tanah sawah), bangunan beserta isinya diperuntukkan untuk pewaris perempuan


dan harta ringan berupa lahan kering (kebun, sesap, belukar) dan ternak untuk
pewaris laki-laki.

Aksi kolektif masyarakat dalam mempertahankan akses terhadap lahan tergambar


dalam gerakan sebuah kelompok tani Sinar Tani. Melalui aksi kolektif, kelompok
melihat dan memahami persoalan yang dihadapi serta kemampuan untuk
menganalisis masalah, melakukan proses pembelajaran sosial, dan mencari solusi
untuk keluar dari persoalan. Melalui aksi kolektif ini juga, terjadi sebuah proses
peningkatan kapasitas yang optimal yang akan mendorong masyarakat mampu
memanfaatkan sumberdaya alam dan memperoleh manfaat dari lahan tradisional
mereka. Adanya akses terhadap manfaat lahan, merupakan inisiatif yang sangat
kuat bagi terciptanya pengelolaan sumberdaya alam yang lestari yang pada
gilirannya akan mampu menyediakan berbagai manfaat lingkungan.

Kelompok ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki lahan dalam
satu hamparan sawah. Keanggotaan kelompok berasal dari berbagai elemen
masyarakat seperti anggota pemdes, BPD, tokoh masyarakat, dan masyarakat
itu sendiri. Pada awalnya, melalui proses penggalian permasalahan, kelompok
melihat adanya persoalan dalam pembagian harta warisan dan proses jual beli.
Pembagian warisan dilakukan secara lisan oleh para ninik mamak (suku) yang
disaksikan oleh tokoh masyarakat tanpa adanya bukti otentik berupa surat
warisan yang memuat lokasi, luas, dan batas lahan yang jelas. Proses jual beli
lahan juga tidak diperkuat dengan surat jual beli; si penjual dan si pembeli cukup
hanya berjabatan tangan.

Beranjak dari permasalahan tersebut, timbul rencana kolektif (keinginan


kelompok) untuk mendapatkan pengakuan dan bukti otentik terhadap lahan
mereka. Keinginan itu diperkuat setelah kelompok mendapat penyuluhan dari
Badan Pertanahan Nasional (BPN). Masyarakat menyadari betapa pentingnya
pengakuan akan status lahan secara hukum. Pada saat itu disepakati untuk
mendapatkan pengakuan melalui sertifikasi lahan. BPN pun menyatakan,
harapan itu bisa saja diajukan melalui program sertifikasi yang dilakukan secara
nasional. Namun program tersebut belum dapat direalisasikan saat itu juga karena
keterbatasan biaya.

Kendati demikian, secara mandiri masyarakat tetap melakukan proses pengusulan


melalui prosedur Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK).
Surat itu berisi informasi mengenai kepemilikan sebuah lahan yang dinyatakan
oleh si pemilik. Untuk mendukung bukti kepemilikan tersebut, di dalam surat
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 341

itu juga digambarkan peta lokasi, cara mendapatkan (melalui membeli, warisan
atau hasil membuka rimba), saksi-saksi (yaitu pihak yang mengetahui sejarah
kepemilikan tanah di luar si pemilik, pihak-pihak yang berbatasan) dan disahkan
oleh kepala desa. Meskipun kekuatan hukumnya tidak sebesar sertifikat tanah
yang dikeluarkan oleh BPN, namun masyarakat cukup puas dengan mekanisme
itu. Setidaknya ada sebuah pengakuan di tingkat masyarakat.

Mekanisme itu mudah dan murah, dan masyarakat terlibat langsung dalam proses
pembuatannya. Ada kesadaran baru bahwa masyarakat dapat menyelesaikan
masalah mereka secara bersama-sama. Kesadaran ini juga menumbuhkan
komunikasi antar mereka dan membangun hubungan antar pihak.

Adalah menarik mencermati bagaimana kelompok ini berinteraksi dengan pihak


di luar desa berkaitan dengan tuntutan mereka atas lahan. Setelah program
transmigrasi II dilaksanakan, kemudian diketahui bahwa terdapat sekitar 300 ha
areal transmigrasi, yang sesungguhnya termasuk dalam kawasan hutan produksi.
Pada saat itu, dinas berwenang segera mengeluarkan surat peringatan kepada
pihak transmigrasi agar menghentikan pengembangannya, sampai diketahui
kepastian kawasannya. Pada saat yang sama, masyarakat melalui perwakilannya,
mendesak kedua pihak untuk segera menyelesaikan sengketa tersebut, karena hal
itu merugikan masyarakat yang tertunda usaha produksinya.

Kendati hingga saat ini belum ada penyelesaian yang pasti, namun jalan tengah
sedang ditempuh, yaitu masyarakat tetap dapat mengusahakan lahan tersebut,
namun untuk menanam tanaman semusim, seperti jagung, ketela, dan sayur
mayur. Kendati tidak memberi kepastian dalam jangka panjang, namun upaya
ini dianggap cukup memberikan jalan keluar. Selain itu, dalam beberapa kali
pertemuan, Dinhutbun menjanjikan semacam insentif bagi masyarakat, bila
mampu menjaga lahan tersebut.

AKSI KOLEKTIF MEMPERTAHANKAN AKSES


TERHADAP LAHAN
Untuk mempertahankan akses terhadap lahan, masyarakat mengembangkan
kemampuan kelembagaan mereka untuk memperkuat posisi tawar dalam
bernegosiasi dengan pihak pemerintah. Dalam kedua kasus di atas, menarik untuk
dicermati adalah bagaimana masyarakat di kedua desa memperkuat kelembagaan
mereka dalam rangka mengembangkan modal sosial (social capital) di antara
342 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

mereka dalam pengelolaan lahan. Kendati disadari bahwa lahan-lahan tersebut


sesungguhnya adalah milik pribadi.

Dalam Lubis (1999) diuraikan bahwa Coleman (1988) mengartikan modal sosial
sebagai struktur hubungan antar individu-individu yang memungkinkan mereka
menciptakan nilai-nilai baru. Bagi Ostrom (1999) dalam mengkaji proyek-proyek
pembangunan di dunia ketiga, modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan
suatu proyek pembangunan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa eksistensi modal
sosial terlihat dari kemampuan suatu komunitas merajut pranata yang menjadi
acuan dalam bertindak. Pranata (institution) adalah seperangkat aturan yang
berlaku serta digunakan dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak.

Kedua desa mengembangkan modal sosial melalui cara yang berbeda. Desa
Baru Pelepat mengembangkan modal sosial dengan cara mengaktifkan kembali
kelembagaan tradisional mereka berdasarkan garis keturunan. Hal ini terkait
dengan sistem pewarisan dan kepemilikan lahan oleh keluarga. Pilihan ini ternyata
cukup strategis, mengingat penduduk di dusun Pedukuh sesungguhnya kurang
dari 45 KK, dengan menggunakan kelompok berbasis keturunan (kalbu), mereka
bisa mengikat anggota keluarganya yang tidak menjadi warga Pedukuh untuk ikut
dalam program ini. ”Lebih baik tanah kita diambil oleh saudara sendiri, daripada
oleh orang lain,” begitu alasan yang umumnya dikemukakan oleh masyarakat.

Penguatan kelompok Desa Sungai Telang dilakukan dengan membentuk


kelompok baru berdasarkan pola pemanfaatan lahan (kelompok tani). Kelompok
tani terbentuk dari himpunan petani yang bekerja dalam satu hamparan
lahan, meskipun mereka tidak berasal dari satu keturunan. Bekerja dalam satu
hamparan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melaksanakan
perladangan. Hal ini untuk keamanan, baik bagi petani maupun bagi lahan yang
mereka tanami dari serangan hama, seperti babi, monyet, maupun rusa.

Putnam (1993) dalam Lubis (1999) menyatakan, bahwa komponen modal sosial
terdiri dari kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja
(networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui
fasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Lebih lanjut Putnam mengatakan
bahwa kerjasama lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah
mewarisi sejumlah modal sosial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal
balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua


kelompok masyarakat memiliki sejumlah modal sosial karena modal sosial tercipta
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 343

dari dinamika budaya masing-masing. Dengan demikian, proses pembangunan


berbasis masyarakat itu menjadi sangat penting. Selain mendorong partisipasi,
proses itu juga mampu menciptakan nilai dan aturan-aturan baru dalam rangka
pemenuhan berbagai aspek kebutuhan pendukungnya.

Aspek-aspek kunci dari modal sosial itu adalah:


1. Kemampuan merajut atau membangun pranata dan norma-norma (crafting
institutions);
2. Kemampuan mengembangkan partisipasi yang setara dan adil (equal
participation); dan
3. Kemampuan mengembangkan sikap saling percaya di antara warga suatu
kelompok sosial (trust).

Tingginya modal sosial inilah yang mendorong terjadinya aksi kolektif. Karena
aksi kolektif (collective action) adalah gerakan bersama dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan bersama secara positif dan kreatif. Konsolidasi Kelompok Kalbu
dan kelompok tani adalah upaya untuk mempertahankan akses terhadap lahan
sebagai tujuan bersama. Aksi kolektif dapat berbentuk kelompok-kelompok
masyarakat yang terbentuk secara sukarela ataupun dorongan dari luar (misalnya,
oleh pemerintah, maupun pihak lain), baik yang sifatnya informal ataupun formal
(dalam bentuk organisasi berbadan hukum, misalnya). Dalam hal ini, transmigrasi
sebagai faktor pendorong dari luar berperan besar untuk memunculkan aksi
kolektif, meskipun aksi kolektif tersebut didasarkan pada ikatan kekerabatan (pada
kasus Kelompok Kalbu di Baru Pelepat) maupun ekonomi (kasus kelompok tani di
Sungai Telang). Yang menarik, kedua desa menerapkan mekanisme kelembagaan
yang informal, namun jelas dalam pembagian tugas dan peran masing-masing
anggotanya.

Melalui aksi kolektif, kedua kelompok masyarakat mengidentifikasi, menguji dan


menyebarluaskan pembelajaran tentang mekanisme dan proses mempertahankan
akses lahan, baik di tingkat desa maupun tingkat kabupaten. Aksi kolektif juga
mendukung mereka dalam proses pengambilan keputusan dan bernegosiasi
dengan pihak-pihak di luar desa.

Dengan aksi bersama, kelompok melihat dan memahami persoalan yang dihadapi
serta mempunyai kemampuan untuk menganalisis persoalan dan sekaligus
merupakan suatu proses pembelajaran sosial dan dapat mencari solusi untuk
keluar dari persoalan. Melihat kasus ini, kelompok mencoba mengakomodasikan
kepentingan masyarakat dalam proses negosiasi dengan pihak pemerintah, terkait
dengan kasus tumpang tindih lahan transmigrasi dengan hutan produksi.
344 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENUTUP
Gambaran di atas memperlihatkan pentingnya kepastian akses masyarakat
terhadap lahan. Bagi masyarakat, adanya kepastian akses akan memberikan
dampak pada terjaminnya peluang ekonomi dan pengurangan kemiskinan melalui
investasi atas lahan. Selain itu, kepastian akses terhadap lahan juga berdampak
penting pada stabilitas sosial dan politik. Hilangnya maupun ketidakadilan
terhadap akses lahan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan seperti
yang sudah dikemukakan di atas.

Berkaca dari proses-proses yang telah diuraikan di atas, kendati masih terlalu dini
untuk melihat keberhasilan langkah-langkah masyarakat dalam mempertahankan
akses terhadap lahan, namun dapat dipetik beberapa hikmah dan diambil
pembelajaran berikut:
1. Proses belajar sosial berperan sangat penting dalam aksi kolektif untuk
mempertahankan akses masyarakat terhadap lahan. Masyarakat mengambil
hikmah yang mendalam atas kegagalan dan kerugian dari program transmigrasi
sebelumnya. Selain menyadarkan tentang pentingnya tanah, hal itu juga
telah meningkatkan kesadaran perlunya mempertahankan akses masyarakat
terhadap tanah.
2. Melalui belajar sosial pula, masyarakat menyadari perlunya membangun
konsolidasi kelompok dengan cara saling berbagai informasi dan pengetahuan,
membangun jaringan hingga mengorganisasi kelompok, serta menentukan
strategi dan mekanisme untuk mempertahankan akses mereka terhadap
lahan.
3. Kehadiran pemimpin lokal yang dipercaya dan diakui oleh anggota kelompok
semakin memperkuat aksi kolektif. Di kedua desa, masyarakat juga belajar
bagaimana kesalahan menentukan pemimpin pada kasus-kasus sebelumnya
telah menyebabkan kehilangan lahan dan telah mendorong munculnya
korupsi.
4. Kelompok yang kuat ternyata mampu memperteguh aksi kolektif masyarakat
dan meningkatkan posisi tawar dalam bernegosiasi dengan pihak pemerintah
daerah.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 345

UCAPAN TERIMA KASIH


Kedua penulis mengucapkan terima kasih kepada masyarakat di Desa Baru Pelepat
dan Desa Sungai Telang yang telah menginspirasi lahirnya tulisan ini. Juga kepada
kawan-kawan di ACM-Jambi dan CAPRi yang senantiasa membantu berupa data,
diskusi dan juga perhatian.

BAHAN BACAAN
Anharudin, Dewi, R.N., dan Anggraini, R. Tanpa tahun. Membidik Arah
Kebijakan Transmigrasi Pasca Reformasi. Laporan Hasil Penelitian.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Indonesia. http://www.
nakertrans.go.id/hasil_penelitiantrans/membidik_arah_kebijakan.php,
diakses 18/05/2006.
Bromley, D.W. dan Cornea, M.M., 1989, Management of Common Property
Natural Resources: Some Conceptual and Operational Fallacies.
Discussion Paper 57. World Bank.
Coleman, J. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The
American Journal of Sociology, Vol. 94, Supplement: Organizations and
Institutions: Sociological and Economic Approaches to the Analysis
of Social Structure, pp. S95-S120. The University of Chicago Press:
Chicago.
Fauzie, N. dan Zakaria, R.Y. 2000. Mensiasati Otonomi Daerah. Konsorsium
Pembaruan Agraria dan INSIST Press, Yogyakarta, Indonesia.
Fedel, G. dan Feeny, D. 1991. Land Tenure and Property Rights: Theory and
Implications for Development Policy. The World Bank Economic Review
Vol. 5.
Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Dalam: Science 162:1243-1248.
Hidrianto, A. 2004. Kondisi tata ruang Desa Baru Pelepat: Manfaat dan Berbagai
Hal yang Mempengaruhinya. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan Pelepat, 22 April 2004.
ACM-Jambi, Muara Bungo. Indonesia.
Ichwandi, I. 2003. Kegagalan Sistem Tenurial dan Konflik Sumberdaya Hutan:
Tantangan dan Kebijakan Kehutanan Masa Depan. Makalah Falsafah
Sains (PPS 702), Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor,
Bogor, Indonesia.
346 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Indriatmoko, Y. 2003. Local Tenure System and Their Dynamics: Case Study
of Baru Pelepat Village, Muara Bungo, Jambi. Tidak dipublikasikan.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bungo. 2001. Data
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian Kabupaten Bungo Tahun
2001. Dalam: Buku Himpunan Data Disnakertrans Bungo. Bungo,
Indonesia.
Kusumanto, Y. dan Permatasari, E. 2002. Up-and-Down the Ladder: A Jambi
Case Study of Policy-related Information Flows. Tidak dipublikasikan.
CIFOR, Bogor, Indonesia.
Levang, P. 2003. Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia. KPG, IRD,
Forum Jakarta Paris, Jakarta, Indonesia.
Lounela, A. dan Zakaria, Y. 2002. Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif
Kampus dan Kampung. Insist Press, Yogyakarta. Indonesia.
Lubis, Z.B. 1999. Pengembangan Investasi Modal Sosial dalam Pembangunan,
Jurnal Antropologi Indonesia 23(59):53-65. Universitas Indonesia,
Depok, Indonesia.
Lubis, Z.B. 2005. Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan. Jurnal Antropologi Indonesia
29(3):239-254. Universitas Indonesia, Depok, Indonesia.
Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial: Kajian Sosial-Antropologis di Prop.
Jambi. Aditya Media (untuk P3PK-UGM), Yogyakarta, Indonesia.
Mulyana, A., Susanti, N.N., Suardika, P. 2005. Melangkah di Atas Batu Karang:
Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat di Nusa Tenggara.
KOPPESDA, Sumba Timur, Indonesia.
Ostrom, E. 1999. Social Capital: A Fad or Fundamental Concept?. Dalam:
Dasgupta, P. dan Seregeldin, I. (ed.). Social Capital: a Multifaceted
Perspective, pp.172-214. World Bank, Washington DC.
Pemerintah Propinsi DIY. 2006. Perjanjian Kerjasama Pengiriman Transmigrasi
antar Daerah Ditandatangani. http://pemda-diy.go.id/berita, diakses
18/05/2006.
Permatasari, E., Adnan, H. dan Colfer, C.J.P. 2004. Perempuan dan Lahan: Studi
Kasus pada Desa Baru Pelepat, Bungo, Jambi. Makalah disampaikan
dalam Konferensi Internasional “Penguasaan Tanah dan Kekayaan
Alam di Indonesia yang Sedang Berubah”. Jakarta, Indonesia.
Putnam, R.D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy.
Princeton University Press, Princeton, NJ, AS.
BAGIAN 4-3 • Hasantoha Adnan dan Yentirizal 347

Ridell, J.C. 1987. Land Tenure and Agroforestry: A Regional Overview. Dalam:
Raintree, J.B. (ed.) Land, Trees and Tenure. Proceedings of an
International Workshop on Tenure Issue in Agroforestry. ICRAF dan
Land Tenure Centre.
Salim, A. (ed.) 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana,
Yogyakarta. Indonesia.
Santoso, B., Haris, A., Prasetyo, I. 2001. Paradigma Baru Pengelolaan Pertanahan
pada Era Otonomi. Karsa Resource Center, Yogyakarta. Indonesia.
Sitorus, F. 2004. Kerangka dan Metode Kajian Agraria dalam Pembaruan Agraria:
Antara Negara dan Pasar. Jurnal Analisis Sosial 9(1), April 2004.
Akatiga, Bandung.
Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990 – 2000: Dasawarsa
Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Warta Warsi Januari 2005, Jambi,
Indonesia.
Taylor, J. 1988. The Ethical Foundation of the Market. Dalam: Ostrom, V.,
Feeny, D. dan Picht, H. (ed.) Rethingking Institutional Analysis
and Development: Issue, Alternative, and Choices. Institute for
Contemporary Studies Press, San Francisco, California.
Tim ICDP-TNKS. 2000. Laporan Kegiatan Pemetaan dan Pemanfaatan Lahan di
Desa Baru Pelepat. ICDP-TNKS, Jambi, Indonesia.
BAGIAN 4-4
Aksi Kolektif Penguatan Hak Masyarakat
atas Lahan

Yuliana Siagian dan Neldysavrino


BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 349

PENDAHULUAN
Hampir 30 tahun lamanya kontrol pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia
dipegang oleh pemerintah pusat. Pendekatan yang sentralistik dan rendahnya
keterlibatan para pihak, termasuk masyarakat sekitar hutan, di dalam perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam telah mendorong
terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan besar-besaran, memusatnya keuntungan
dan manfaat pada segelintir kelompok kepentingan dan semakin terpinggirnya
masyarakat sekitar hutan. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya
alam telah menyebabkan munculnya konflik hak-hak kepemilikan atas lahan.
Kasus tumpang tindih klaim atas kawasan hutan banyak ditemukan di berbagai
wilayah.

Hak properti atas lahan dan sumberdaya alam yang merupakan hak, pengakuan
atau klaim serta aturan-aturan yang mengatur kontrol sumberdaya alam masih
tidak jelas. Berbagai upaya penyelesaian konflik antara masyarakat dengan
pemerintah maupun pihak perusahaan belum banyak membuahkan hasil.
Kebijakan desentralisasi yang diharapkan lebih memberikan kejelasan kerangka
hukum bagi penguatan hak properti, juga tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Banyak peraturan perundangan yang samar, tidak jelas dan tumpang tindih. Dalam
kondisi tersebut, sebagian masyarakat terdorong untuk bersama-sama melakukan
perubahan, dalam bentuk aksi kolektif.

Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian aksi di dua desa sekitar hutan,
Lubuk Kambing di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Sungai Telang di
Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. Melalui aksi kolektif, kelompok masyarakat
berupaya memperoleh hak atas lahan dan bantuan program pemerintah dalam
rangka memastikan penghidupan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

AKSI KOLEKTIF DAN HAK-HAK PROPERTI


Aksi kolektif diartikan sebagai suatu aksi yang dilakukan oleh sekelompok
individu, baik secara langsung atau melalui suatu organisasi, untuk mencapai
tujuan bersama. Kelompok tersebut dapat terbentuk sendiri secara sukarela,
informal maupun formal dibangun oleh pihak luar (Marshall, 1998). Aksi kolektif
akan timbul bila lebih dari satu individu dibutuhkan untuk berkontribusi guna
mencapai satu tujuan (Ostrom, 2004). Dalam tulisan ini, aksi kolektif diartikan
sebagai suatu aksi bersama kelompok masyarakat untuk mencapai kepentingan dan
tujuan kelompok dalam penguatan hak properti dan program pembangunan. Aksi
350 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kolektif memberikan kesempatan bagi seseorang untuk mengatasi keterbatasannya


atas sumberdaya, kekuasaan dan hak suara.

Bagi kebanyakan pembuat kebijakan dan masyarakat pada umumnya, hak


properti seringkali diartikan sebagai kepemilikan, baik hak milik negara atau
pribadi. Walau terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai konsep dasar
hak properti, namun perlu dipahami suatu pengertian hak properti secara luas.
Bromley (1991 dalam Meinzen-Dick et al., 2001) mendefinisikan hak properti
sebagai kemampuan untuk memperoleh suatu pengakuan terhadap suatu klaim
atas suatu aliran manfaat tertentu. Oleh sebab itu, suatu hak tidak hanya terbatas
pada suatu bentuk fisik, akan tetapi atas suatu kepastian untuk memperoleh atau
menerima manfaat dari kesepakatan hukum suatu kelompok sosial baik kecil
maupun besar.

Hak properti tidak dipandang terbatas pada hak untuk secara eksklusif memiliki
kontrol atas sumberdaya hutan, tetapi juga hak untuk memanfaatkan atau
mengelola yang diberikan dalam bentuk izin-izin pemanfaatan dan pengelolaan
seperti yang tertuang dalam PP No. 6/2007. Selain itu juga dikenal berbagai
bentuk hak negara atas sumberdaya hutan, misalnya: (1) hak negara atas lahan
hutan: Hutan Lindung (HL), Taman Nasional (TN), Hutan Produksi (HP), dan
Hutan Produksi Terbatas (HPT), serta (2) areal penggunaan lain yang digunakan
untuk kepentingan non kehutanan. Seperti disebutkan dalam UU Kehutanan
No. 41/1999, kawasan hutan yang merupakan suatu kawasan yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap, dikuasai oleh Negara.
UU tersebut juga memberikan kewenangan kepada pemerintah, dalam hal ini
Departemen Kehutanan untuk mengatur, mengurus dan menetapkan status
kawasan hutan.

LAHAN, KEPASTIAN HUKUM ATAS LAHAN DAN


MAKNANYA BAGI MASYARAKAT
Lahan merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Bertahun-tahun
masyarakat hidup dengan aturan sosial yang membentuknya, dan lahan merupakan
bagian di dalamnya. Selain fungsi sosial, lahan pun punya fungsi ekonomi yang
banyak pihak sangat bergantung padanya. Di Indonesia, budaya juga mengatur
pengelolaan sumberdaya dan bagaimana mendistribusikannya. Mewariskan lahan
kepada keturunan merupakan tradisi budaya turun temurun. Namun apa yang
akan terjadi bila sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui ini harus menyokong
populasi yang terus bertambah?
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 351

Pertambahan jumlah penduduk, baik angka kelahiran atau masuknya pendatang di


suatu daerah, juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kebutuhan
atas lahan sebagai sumber penghidupan. Ketika lahan tidak lagi cukup untuk
dibagi dan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup, maka seorang petani akan
mencari lahan lain untuk memenuhi kekurangan tersebut. Akibatnya, muncul
okupasi-okupasi lahan yang bertujuan memperluas lahan pertanian. Okupasi tidak
hanya terjadi di sekitar wilayah desa, akan tetapi meluas hingga kawasan hutan di
sekitarnya. Ringkasnya, selain karena semakin banyaknya populasi dan ancaman
dari pihak lain, masyarakat memandang perlunya kepastian hukum bagi mereka
dalam memanfaatkan lahan, misalnya bagaimana aturan mereka mengakses lahan
mereka dan berapa lama mereka mempunyai hak untuk memanfaatkan lahan
bersangkutan dll.

Kebutuhan akan kepastian atas lahan, baik status hukum kepemilikan maupun
hak pengelolaannya, merupakan salah satu permasalahan penting yang timbul
di kedua desa yang difasilitasi. Pada umumnya kepemilikan lahan di desa berada
diluar kawasan hutan dan belum disertai dengan surat bukti kepemilikan. Walau
telah banyak penjelasan tentang fakta beragamnya model hak kepemilikan
terhadap lahan dan sumberdaya di kawasan hutan, namun penjelasan tentang
elemen-elemen apa sebenarnya harus ada untuk memberikan kepastian hukum
atas lahan bagi masyarakat di lingkungan sekitar hutan kerap dinanti-nanti.
Masyarakat yang memiliki lahan dari hasil jual beli maupun warisan, menjadi
khawatir ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai
bagaimana status kepemilikan mereka dan kekuatan hukum lahan yang mereka
miliki? Apa resiko yang harus dihadapi bila kekuatan hukum atas lahan tersebut
tidak diperjuangkan?

PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian yang menjadi bahan tulisan ini dilakukan dengan pendekatan
Participatory Action Research (PAR) atau penelitian aksi partisipatif yang diarahkan
untuk membangun proses belajar bersama di dalam kelompok dan antar anggota
kelompok masyarakat. Melalui pendekatan ini, secara partisipatif kelompok
masyarakat belajar bersama-sama menyusun rencana, melaksanakan aksi dari
rencana yang telah disusun, melakukan monitoring atas aksi yang dilakukan, dan
refleksi terhadap proses-proses yang telah dilalui, yang dilakukan terus menerus
dan berulang.
352 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pendekatan ini berusaha mempertemukan aksi dan refleksi, teori dan praktis
dalam bentuk partisipasi dan kolaborasi antar pihak, dalam mencari solusi praktis
terhadap permasalahan-permasalahan yang kritis bagi masyarakat. Beberapa
pustaka tentang PAR menjadi bahan acuan dalam penelitian ini. Lebih lanjut
dapat dilihat pada Reason dan Bradbury (2001, dalam Brydon-Miller, Greenwood
et al., 2003), Sriskandarajah dan Fisher (1992), Anonim (1998), Kemmis dan
McTaggart (1988); dan Freire (1982). Pendekatan PAR umumnya divisualisasikan
dalam bentuk gambar berikut:

Gambar 44. Siklus PAR

Dalam studi tentang kelompok perdagangan dan pergerakan perempuan di Inggris,


dilakukan kombinasi pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Kelly dan
Breinlinger, 1996). Walaupun studi ini memiliki konteks yang berbeda, akan tetapi
studi tersebut mengingatkan kita pada beberapa isu penting seperti kepemimpinan,
partisipasi dan sikap pasif. Beberapa faktor penting yang mereka temui adalah
identifikasi kelompok, orientasi kolektif, identitas diri sebagai seorang aktivis,
keinginan untuk melakukan aksi secara bersama-sama dan terkadang relativitas
rasa kehilangan (relative deprivation), motivasi kuat untuk suatu tujuan dan suatu
kepercayaan terhadap keajaiban politik.

Hal penting yang juga diperhatikan dalam studi ini adalah sejauh mana aspek
gender berperan dalam beraksi kolektif. Beberapa pustaka menjelaskan perbedaan
antara pendekatan laki-laki dan perempuan terhadap aksi kolektif. Analisis Stall
dan Stoecker (1998) mengatakan bahwa seseorang akan tertarik untuk ikut serta
dalam suatu aksi kolektif apabila dilakukan untuk kepentingan ekonominya, yang
pada umumnya didominasi oleh laki-laki dan di dalamnya terdapat kompetisi.
Para perempuan lebih fokus pada proses membangun hubungan dan etika dalam
memberikan perhatian antar sesama dan kerjasama. Kedua pendekatan tersebut
sesuai untuk masingmasing kelompok, dan kombinasi dari keduanya akan
membentuk kelompok yang lebih kuat.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 353

Pemilihan Kelompok

Pemilihan dua kelompok, Kelompok Sinar Tani di Desa Sungai Telang dan
Kelompok Tunas Harapan di Desa Lubuk Kambing (lihat karakteristiknya
di Tabel 30) – yang menjadi fokus dalam tulisan ini – merupakan bagian dari
penelitian CAPRi (Collective Action and Property Rights) yang cakupannya lebih
luas. Kelompok-kelompok dalam penelitian tersebut dipilih berdasarkan kriteria
pembentukan kelompok, keseimbangan gender (laki-laki dan perempuan),
etnisitas, periode keberadaan kelompok tersebut dan keragaman topik dalam
setiap kelompok.

Tabel 30. Karakteristik kelompok

Kelompok Sinar Tani Kelompok Tunas Harapan


(Desa Sungai Telang) (Desa Lubuk Kambing)
- Anggota kelompok terdiri dari laki-laki - Kelompok ini beranggotakan 34 orang
yang mewakili keanggotaan dalam yang semuanya adalah laki-laki dari
organisasi desa dan masyarakat yang satu RT di dusun Sukamaju-Desa Lubuk
bertujuan untuk membantu anggota Kambing.
petani lainnya dalam kelompok dalam - Kelompok ini bertujuan untuk
pengolahan lahan. saling membantu pengolahan lahan
- Kelompok ini menerima dukungan dari pertanian masing-masing anggota
petugas pertanian lapangan (PPL). kelompok.
- Kelompok terbentuk ketika ada - Anggotanya berasal dari para
program pemerintah yang masuk pendatang yang membutuhkan lahan
untuk memperbaiki proyek irigasi untuk kegiatan pertanian.
untuk lahan persawahan.
- Keanggotaan kelompok terdiri dari
beberapa warga dari dusun-dusun di
Desa Sungai Telang.

Kelompok ini memiliki aktivitas yang


terbatas sejak menerima bantuan
pemerintah pada 1998. Akan tetapi
kelompok ini tetap melakukan aktivitas
bersama (aksi kolektif ) dengan sendirinya.
Kemudian pada 2001 kelompok ini juga
memperoleh bantuan pemerintah dalam
bentuk bibit padi, akan tetapi hanya
beberapa anggota saja yang tertarik dalam
proyek ini.
354 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Kelompok Sinar Tani merupakan kumpulan petani laki-laki yang bersama-sama


mengolah padi sawah. Anggotanya berasal dari berbagai unsur masyarakat seperti
anggota pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh masyarakat
dan masyarakat lainnya. Kelompok ini tertarik untuk membuat sertifikat formal
dari pemerintah atas lahan yang mereka miliki, baik lahan warisan istri atau
saudara perempuan maupun lahan yang diperoleh dari hasil jual beli.

Kelompok Tunas Harapan merupakan kumpulan petani laki-laki pendatang


dengan berbagai etnis. Anggotanya bekerjasama dalam mengolah lahan di dusun
termuda Desa Lubuk Kambing.

Proses fasilitasi lebih difokuskan pada pengembangan kapasitas sumberdaya


manusia dan pembentukan jaringan kerja dalam upaya memperoleh kepastian
hukum atas lahan.

Menjembatani Kelompok dengan Pemerintah


Upaya memperoleh kepastian hukum hak kelola atas lahan dilakukan masyarakat,
baik secara individu, kolektif, langsung ataupun tidak langsung. Secara individu,
masyarakat masing-masing berupaya mendapatkan pengakuan (legitimasi) hak
atas lahan melalui kantor desa setempat. Bentuk pengakuan hak atas lahan
yang paling sering dijumpai adalah Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat
Pengakuan atas Fisik Lahan yang dikeluarkan oleh kepala desa.

Upaya juga dilakukan secara kolektif oleh kelompok masyarakat melalui berbagai
kelompok informal desa seperti kelompok tani. Aksi kolektif masyarakat untuk
mendapatkan pengakuan hak atas lahan dari pemerintah tidak seluruhnya
dilakukan secara langsung, seperti program PRONA (Proyek Operasi Nasional
Agraria) untuk sertifikasi tanah, yang merupakan sertifikasi atas lahan. Mereka
juga mengajukan usulan yang tidak langsung terkait dengan pengakuan terhadap
lahan. Mereka mengajukan usulan untuk memperoleh bantuan pemerintah di
bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan, serta pembangunan sarana dan
prasarana berupa gedung SD dan Posyandu. Kelompok Sinar Tani menindaklanjuti
aksi tersebut dengan mengajukan pengakuan hak secara tidak langsung, dalam
bentuk bantuan pembangunan berupa bibit tanaman, gedung sekolah dsb.
Sebagai langkah “awal” bagi adanya pengakuan hak atas lahan dimana bibit
tersebut ditanam dan bangunan tersebut dibangun. Mereka berpikir bahwa ketika
tanaman sudah tumbuh besar atau bangunan sudah digunakan, secara perlahan-
lahan mereka memperoleh hak atas lahannya.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 355

Di sisi lain, berbagai program pembangunan yang dijalankan pemerintah, secara


langsung atau tidak mengarah pada terbukanya peluang akses masyarakat terhadap
sumberdaya alam. Pemberian izin pemanfaatan hasil hutan non-kayu misalnya
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan
non-kayu seperti rotan, gaharu, damar, dsb. Contoh lainnya adalah perbaikan
sistem irigasi persawahan membuka akses pemanfaatan air secara lebih efisien
bagi kepentingan bersama. Seiring berjalannya waktu peluang-peluang tersebut
mengarah pada pengakuan terhadap hak-hak properti masyarakat, yaitu pengakuan
kepada hak kepemilikan maupun hak pengelolaan atas lahan. Persoalannya,
tidak seluruh informasi program pemerintah tersebut sampai kepada masyarakat,
atau bahkan sebaliknya tidak seluruh aspirasi masyarakat tersampaikan kepada
pemerintah. Pada keadaan ini, proses fasilitasi yang dilakukan lewat penelitian
CAPRi, berfungsi untuk menjembatani komunikasi antara masyarakat dengan
pemerintah kabupaten.

Melalui fasilitasi, komunikasi antara kelompok masyarakat dengan instansi


pemerintah dibangun dengan cara mempertemukan wakil dari kelompok
masyarakat dengan staf pemerintah melalui forum-forum diskusi maupun
kunjungan langsung ke kantor instansi pemerintah. Biasanya, wakil masyarakat
mendatangi kantor-kantor pemerintah di kecamatan atau kabupaten, atau
sebaliknya aparat pemerintah berkunjung ke desa. Dari berbagai kunjungan dan
diskusi tersebut diperoleh banyak informasi tentang kehutanan, perkebunan,
pertanian dan pertanahan, yang sangat berguna bagi masyarakat.

Upaya itu tidak terlepas dari proses yang telah dilalui bersama kelompok
masyarakat.

MENGHIMPUN UPAYA MELALUI AKSI KOLEKTIF


Kelompok tani di kedua desa melakukan upaya untuk mendapatkan pengakuan
hak atas lahan dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dan
instansi pemerintah lainnya. Kelompok Sinar Tani di Desa Sungai Telang berupaya
mendapatkan kepastian hak milik atas lahan persawahan yang diperoleh dari
warisan, secara langsung dengan mengajukan usulan melalui PRONA. Sedangkan
kelompok tani Tunas Harapan di Desa Lubuk Kambing berupaya mendapatkan
pengakuan hak atas lahan kebun dari pemerintah, secara tidak langsung, dengan
mengajukan usulan melalui program P2WK atau Pembangunan Perkebunan
Wilayah Khusus, dengan sasaran tanaman karet. Perbedaan strategi kedua
356 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kelompok lebih ditentukan oleh keberadaan program pemerintah dimaksud dan


status lahan yang mereka miliki.

Kotak1. Berbagai bentuk pengakuan dalam persepsi masyarakat

“Bupati ada memberikan bantuan atap seng untuk gedung sekolah dasar perintis di
dusun kita. Itu tandanya Bupati sudah mengakui keberadaan masyarakat di dusun
ini”
(Mulyadi-warga Dusun Suka Maju).

“Kalau jalan sudah dibuka pemerintah, itu berarti dusun kita ini sudah diakui sebagai
bagian dari wilayah Kabupaten Tanjung Jabung barat”
(A. Majid Zakaria-warga Dusun Suka Maju)

Kelompok Sinar Tani


Anggota kelompok Sinar Tani bersama-sama melakukan upaya untuk memperoleh
sertifikat tanah sebagai bentuk kepastian hukum bagi hak kepemilikan atas lahan
persawahan mereka. Aksi kolektif mereka dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan
yang terjadi dalam pembagian harta warisan lahan sawah. Cara pembagian warisan
yang hanya dilakukan secara lisan oleh ninik mamak, ketidakjelasan ukuran lahan
dan terjadinya pergeseran batas lahan bermuara pada tidak adanya kepastian
hukum atas lahan mereka.

Persoalan ketidakpastian hak atas lahan mengemuka ketika kelompok tani


berkumpul dalam suatu pertemuan. Beranjak dari hasil identifikasi permasalahan,
para anggota sepakat untuk melakukan langkah bersama mendapatkan pengakuan
hak atas lahan sawah secara resmi dari pemerintah, agar hak mereka atas lahan
tersebut lebih pasti.

Melalui fasilitasi, kelompok tani tersebut melakukan langkah awal membangun


komunikasi dengan pihak pemerintah daerah Kabupaten Bungo. Pada kunjungan
ke Bappeda Kabupaten Bungo, Yahya (mewakili kelompok tani) berdiskusi dengan
staf Bappeda dan menyampaikan aspirasi kelompok tani untuk mendapatkan
kepastian hukum atas lahan. Pihak Bappeda menyambut positif keinginan tersebut
dan selanjutnya bersama-sama dengan BPN Kabupaten Bungo, sebagai instansi
yang bertanggungjawab dalam hal sertifikasi tanah, melakukan kunjungan ke Desa
Sungai Telang untuk memberikan penjelasan tentang sertifikasi lahan. Berhubung
lokasi desa dan sawah-sawah masyarakat sangat berdekatan dengan kawasan
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 357

hutan, dalam pertemuan tersebut terlibat juga wakil dari Dinas Kehutanan dan
Perkebunan.

Masyarakat desa, khususnya kelompok tani, menyambut baik kunjungan tersebut


dan sangat senang memperoleh informasi berguna. Hal ini telah memotivasi
anggota kelompok untuk secara kolektif menempuh langkah lebih lanjut, yang
salah satunya adalah mengajukan usulan program PRONA, seperti yang terungkap
dalam acara refleksi kelompok. Para anggota kelompok berpikir memilih PRONA
karena relatif mudah karena pembuatan sertifikat tanah bisa dilakukan secara
kolektif dan lebih murah biayanya karena dibantu sumber dana APBN.

Langkah anggota kelompok selanjutnya adalah menyiapkan seluruh persyaratan


yang diperlukan untuk pengajuan program PRONA. Semangat kerja bersama dan
pembagian peran yang jelas di antara anggota kelompok mempermudah penyiapan
persyaratan pengajuan program PRONA. Aksi kolektif dan dukungan berbagai
pihak di tingkat desa memperlancar proses, sehingga pada akhirnya permohonan
kelompok tersebut dapat disampaikan kepada BPN Kabupaten Bungo.

Harapan kelompok tani untuk mendapatkan sertifikat ternyata belum dapat


terwujud. Kepala BPN Kabupaten Bungo mengungkapkan bahwa kuota sertifikat
PRONA yang dikeluarkan oleh BPN Kabupaten Bungo untuk 2005 sebanyak
250 sertifikat, dan akan dialokasikan untuk desa-desa lain di Kabupaten Bungo,
yang telah memasukan permohonan PRONA setahun sebelumnya yaitu 2004.
Keterbatasan sumberdana memaksa instansi pemerintah ini mengambil kebijakan
prioritas.

Langkah kelompok yang pada awalnya ini sangat lancar, pada akhirnya harus
terhenti. Anggota kelompok sadar bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak
dan memberi pengaruh terhadap keputusan tersebut. Mereka hanya bisa pasrah
menghadapi keadaan tersebut dan dengan lapang dada berharap akan tetap
terbuka peluang untuk mendapatkan sertifikat tersebut, setidaknya pada tahun-
tahun yang akan datang.

Kelompok Tunas Harapan


Kelompok ini beranggotakan para pendatang yang tinggal di dusun termuda,
Dusun Sukamaju, Desa Lubuk Kambing, Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Mereka termotivasi membentuk kelompok dalam rangka saling membantu
mengolah lahan pertanian. Sebagai warga pendatang, mereka dihadapkan pada
tantangan mewujudkan impian mereka untuk memperoleh pengakuan hak milik
358 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

atas lahan. Persoalannya, lahan tempat mereka bermukim dan membuka ladang
adalah lahan negara dengan status kawasan hutan produksi, yang selama ini silih
berganti dikuasai oleh beberapa perusahaan, baik dalam bentuk HPH maupun
HTI, seperti PT. Sadar Nila, PT. Loka Rahayu dan PT. Inhutani V.

Selama ini, sebagian besar pendatang mendapatkan pengakuan hak atas


lahan kebun mereka, yang sebagian diantaranya berada di luar kawasan hutan,
dalam bentuk surat keterangan tanah SPORADIK yang dikeluarkan kepala
desa. Kurangnya informasi di kalangan masyarakat menyebabkan tidak sedikit
masyarakat pendatang maupun lokal menganggap bahwa surat keterangan tanah
dapat diberikan tanpa perlu memperhatikan dimana lahan tersebut berada.
Meskipun tanpa legalitas yang kuat, mereka puas mempunyai selembar kertas
tersebut sebagai bentuk pengakuan hak kepemilikan lahan mereka. Setidaknya
surat ini dapat mereka pergunakan untuk mempertahankan hak mereka atas
lahan ketika muncul klaim dari penduduk lokal.

Dalam perkembangannya, anggota kelompok menemukan persoalan terbatasnya


kemampuan mereka untuk menggarap dan mengelola lahan. Tercetus keinginan
untuk mendapatkan perhatian pemerintah terhadap kegiatan budidaya
pertanian yang mereka lakukan. Harapan yang sama juga kemudian disampaikan
masyarakat kepada kepala desa, ketika kepala desa melaksanakan pertemuan
dengan masyarakat di Dusun Suka Maju. “Lahan di wilayah ini luas pak, sedangkan
pembinaan pertanian belum pernah ada. Untuk itu tolong bapak datangkan penyuluh
pertanian (PPL) agar dapat membina kami,” ungkap salah seorang warga pada
pertemuan tersebut.

Melalui fasilitasi, anggota kelompok Tunas Harapan bersepakat untuk mencari


informasi tentang kegiatan pertanian dari instansi pemerintah terkait, dalam hal ini
Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Merlung. Langkah awal membangun
komunikasi dengan instansi pemerintah pun akhirnya dilakukan. Wakil kelompok
berkunjung ke BPP Kecamatan Merlung. Interaksi tersebut membuahkan hasil
dan harapan. Masyarakat memperoleh informasi yang penting dan berguna,
sementara pihak BPP Merlung merasa ‘disadarkan’ bahwa masih ada masyarakat
yang membutuhkan peran mereka. Komunikasi antara kedua pihak mulai
terjalin. Banyak informasi program pemerintah bidang pertanian dan perkebunan
sampai kepada masyarakat. Pada saat yang sama, aspirasi kelompok tani untuk
mendapatkan pembinaan mendapat tanggapan positif dari BPP Merlung, yang
diwujudkan dalam bentuk temu-lapangan ke Dusun Suka Maju. Dari kegiatan
itu, BPP Merlung semakin mengetahui kondisi pertanian masyarakat dan potensi
lahan yang ada.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 359

Dalam sebuah pertemuan kelompok, anggota melakukan refleksi dan menyusun


rencana baru. Pada pertemuan itu muncul keinginan masyarakat untuk
mendapatkan bantuan pemerintah dalam bidang pertanian: perkebunan atau
tanaman pangan. Tidak semua anggota langsung sepakat dengan keinginan
tersebut. Sebagian ingin memfokuskan kegiatan kelompok untuk usaha tanaman
perkebunan, sebagian lain menginginkan tanaman pangan. Kepentingan dan
kebutuhan pribadi beberapa anggota tampak jelas menjadi alasan mereka
menjadikan pilihan pribadi menjadi kegiatan kelompok. Pada akhirnya mereka
sadar akan kebutuhan sebagian besar anggota dan tersedianya potensi sumberdaya,
sehingga sepakat mengajukan usulan untuk memperoleh bibit tanaman karet dari
pemerintah melalui P2WK, sebuah program bantuan yang mereka dengar ketika
ada penyuluhan di desa mereka.

Kemudian anggota kelompok secara bersama menyusun sebuah rencana aksi.


Anggota kelompok sepakat mencari informasi yang lebih dalam tentang program
P2WK dari Kantor Cabang Dinas (KCD) Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan
Merlung. Beberapa anggota ditunjuk dan diberi tugas mendatangi kantor instansi
tersebut dan menyampaikan keinginan kelompok kepada staf KCD.

Anggota kelompok tani secara bersama-sama kemudian menyiapkan persyaratan


permohonan P2WK. Termotivasi oleh kekompakan tim dan harapan keberhasilan
kegiatan kelompok, anggota kelompok dengan semangat menyiapkan persyaratan
dan berbagi tugas. Hasilnya, seluruh persyaratan pengajuan program P2WK
dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, proses pengajuan
permohonan tidak berjalan mulus. Kades menolak menandatangani surat
permohonan P2WK dengan alasan masyarakat yang mengajukan permohonan
P2WK tersebut belum terdaftar sebagai warga Desa Lubuk Kambing. Dalam
pertemuan kelompok, anggota kelompok membahas kasus penolakan kades
tersebut dan beragam tanggapan mewarnai pertemuan. Sebagian memandang
sikap kades sangat tidak beralasan dan lebih bersifat tendensius1.

Penolakan kepala desa tidak menyurutkan keinginan kelompok untuk mengajukan


permohonan P2WK, meskipun sempat membuat semangat kelompok tani
menjadi lemah. Anggota Kelompok bersepakat untuk mengambil langkah lain
dengan mendatangi pihak Kecamatan Merlung, dan memohon bantuan untuk
menyampaikan permohonan tersebut kepada instansi terkait. Pihak pemerintah
kecamatan membantu kelompok ini untuk menyampaikan permohonan kepada
instansi pemerintah di ibukota kabupaten.

1 Alasan kades bahwa mereka bukan warga LK menarik ditelusuri. Pada saat pemerintah desa berkepentingan dengan masyarakat, misalnya dalam
pemilihan kades, masyarakat dibutuhkan dan dilibatkan dalam proses. Namun, ketika masyarakat membutuhkan dukungan dan menginginkan
keberadaan mereka diakui, justru kades menunjukkan sikap yang berbeda.
360 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Dalam sebuah pertemuan tim terungkap bahwa pengajuan usulan bantuan


tanaman karet melalui program P2WK didasarkan atas alasan anggota kelompok
dan masyarakat secara keseluruhan untuk memperoleh pengakuan terhadap
keberadaan mereka di dusun tersebut. Mereka melihat bentuk-bentuk bantuan
pemerintah dalam kerangka program pembangunan sebagai ‘bentuk lain’ dari
pengakuan pemerintah terhadap keberadaan mereka di wilayah tersebut, yang
pada gilirannya akan membuka peluang semakin diakuinya hak mereka terhadap
lahan dan sumberdaya alam di sekitarnya. Mereka berpikiran bahwa pengakuan
tidak mesti berwujud hak milik atas lahan, melainkan dapat berupa hak kelola
dan akses untuk memanfaatkan sumberdaya.

Dalam perkembangannya, harapan kelompok tani untuk mendapatkan bantuan


P2WK ternyata masih belum dapat terwujud. Kuota bantuan program P2WK
seluas 50 ha untuk Kecamatan Merlung untuk tahun 2005 yang disetujui DPRD
telah dialokasikan untuk kelompok tani dari desa lain, yang telah mengajukan
permohonan pada 2004. Selain karena terbatasnya kuota, kelompok tani ini
juga sadar bahwa lokasi lahan tempat tanaman karet akan dibangun yang berada
dalam kawasan Hutan Produksi (HP) menjadi salah satu alasan tidak lolosnya
permohonan mereka. Walau demikian, anggota kelompok tersebut menerima
kenyataan bahwa apa yang mereka upayakan belum berhasil. Mereka berharap
masih ada jalan keluar lain yang dapat menampung dan memberi kepastian hukum
atas lahan yang mereka tempati.

HIKMAH DAN PEMBELAJARAN


Dari kedua kasus dapat dipahami bahwa terdapat dua pengertian mengenai hak
properti, yakni ‘hak kepemilikan’ dan ‘hak kelola’, yang keduanya merupakan
bentuk-bentuk kepastian hukum atas lahan yang diperlukan oleh masyarakat.
Kasus Sungai Telang menggambarkan upaya masyarakat yang telah memiliki
lahan untuk mencari bentuk kepastian hukum atas lahan melalui legalisasi
(sertifikat) kepemilikan. Sementara itu kelompok masyarakat Dusun Sukamaju di
Lubuk Kambing berupaya untuk mencari kepastian hukum atas lahan berupa hak
pengelolaan atas lahan garapan.

Sesungguhnya, hak kelola merupakan bentuk kepastian hukum atas lahan yang
memberikan jaminan lebih pasti terhadap kepastian hidup (securing livelihood)
bagi masyarakat secara berkelompok dalam mengusahakan sumberdaya alam
di atasnya. Hal ini terutama atas lahan-lahan yang berada di bawah wewenang
pemerintah. Hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan atau hutan tanaman
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 361

industri skala kecil, misalnya yang disertai dengan aturan yang jelas bisa menjadi
model pola pengelolaan secara berkelanjutan.

Hikmah yang lain adalah bahwa dalam persepsi masyarakat, hak properti tidak
selalu berarti hak kepemilikan dalam bentuk sertifikat hak milik, tetapi bisa juga
berarti hak pengelolaan atas sumberdaya alam. Luasnya pengertian hak properti
atas lahan dan sumberdaya alam memberi peluang lebih besar bagi terbentuknya
strategi dan model pengelolaan berbasis masyarakat. Jika program-program
pemerintah dapat dirancang dan dilaksanakan melalui proses kolaboratif dengan
mengakomodasikan suara masyarakat, dan disertai dengan aturan-aturan yang jelas
dan transparan, tentu sumberdaya alam dapat dikelola secara berkelanjutan.

Aksi Kolektif Lebih Kuat Dibanding Aksi Individu


Proses belajar bersama memotivasi setiap anggota kelompok untuk meraih
tujuan bersama dan memperkuat aksi kolektif. Sikap menempatkan kepentingan
bersama sebagai hal yang utama mendorong semangat anggota kelompok untuk
bekerjasama.

Setiap kelompok memiliki aturan yang disepakati bersama. Aturan yang dibentuk
mengikat setiap individu dalam kelompok untuk tetap teguh mencapai tujuan
bersama. Meski dalam prosesnya ada satu-dua individu yang melanggar komitmen,
namun hal itu tidak berpengaruh nyata terhadap keutuhan kelompok dan tujuan
yang ingin dicapai karena kuatnya komitmen dari anggota lainnya untuk membuat
perubahan mewujudkan tujuan bersama. Ketika salah seorang anggota kelompok
tani Tunas Harapan mempengaruhi anggota lain untuk tidak datang ke pertemuan
dengan alasan ada pungutan uang bagi kegiatan kelompok, misalnya, justru
anggota kelompok tidak mengubrisnya dan cenderung meninggalkan provokator
tersebut.

Melalui kelompok, ada banyak gagasan individu dan banyak pilihan untuk
menemukan solusi terbaik mengatasi kendala dalam mencapai tujuan bersama.
Menanggapi kasus penolakan Kepala desa untuk menandatangani usulan
permohonan, anggota kelompok tani justru muncul dengan gagasan dan alternatif
solusi untuk dimusyawarahkan.

Kelompok memberikan ruang bagi kesetaraan peran antar anggota. Setiap


kelompok mempunyai keunikan tersendiri termasuk didalamnya membangun
aturan dalam berkelompok, pembagian peran atau tugas dan tanggung jawab
362 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

bagi setiap anggotanya, dan juga mengatur waktu kerja, pertemuan dsb. Setiap
kelompok punya kebebasan untuk menentukan pola interaksi antar anggotanya
sesuai dan yang diinginkan oleh para anggotanya. Dasar kesetaraan pun bisa
menjadi landasan interaksi antar anggota kelompok. Kesetaraan ini mampu
memunculkan rasa tanggung-jawab yang besar dari masing-masing individu
terhadap kepentingan kelompok. Kesetaraan peran juga menyebabkan hubungan
yang terjadi antar anggota lebih informal. Hal ini melahirkan persamaan hak dan
kewajiban bagi masing-masing anggota.

Kelompok juga membutuhkan figur kepemimpinan yang memperoleh kepercayaan


yang tinggi dari anggotanya. Figur kepemimpinan yang baik menjadi pemersatu
anggota kelompok. Kepercayaan anggota terhadap pimpinan menjadi modal bagi
keberhasilan kelompok. Namun tidak mudah untuk mendapatkan figur pemimpin
yang baik. Adanya konflik pribadi antar anggota memunculkan persaingan yang
tidak baik, yang pada akhirnya melunturkan figur kepemimpinan seseorang.
Pada saat yang sama, terjadi juga provokasi untuk menjatuhkan kepemimpinan
seseorang, yang dilatarbelakangi oleh persaingan untuk menjadi pemimpin.

Pembagian Peran Menguatkan Aksi Kolektif


Adanya pembagian peran bagi setiap individu menjadi kunci bagi pencapaian
tujuan bersama. Dengan adanya pembagian peran, maka pekerjaan akan lebih
mudah diselesaikan secara efektif, baik dari sisi waktu maupun hasil.

Aksi Kolektif Memperkecil Peluang Dominasi Elit


Hal ini sangat berhubungan dengan kesetaraan peran dan tanggung-jawab
dalam kelompok. Adanya kesetaraan peran antar anggota menjadi benteng bagi
munculnya dominasi elit dalam beraksi kolektif.

Program Pemerintah Lebih Mudah Diakses Oleh Kelompok


Masyarakat
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang lahir di era desentralisasi lebih membuka
kesempatan untuk bisa diakses oleh kelompok masyarakat. Program-program
pemerintah yang ditawarkan pada masyarakat mensyaratkan pembentukan
kelompok dan prosedur secara kolektif. Contohnya, P2WK, PRONA, Bantuan
Usaha Produktif, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, HTI mini, dll.
BAGIAN 4-4 • Yuliana Siagian dan Neldysavrino 363

Legalitas Kelompok: Pemerintah Lebih Percaya Pada


Keberadaan Kelompok.
Ada kecenderungan bahwa kelompok lebih dipercaya oleh pihak pemerintah
dibandingkan dengan individu seperti yang terungkap pada pemberian program-
program pembangunan pemerintah maupun pemberian izin pemanfaatan maupun
pengelolaan sumberdaya baik di tingkat kabupaten maupun nasional. Melalui
kelompok, pemerintah juga lebih mudah mendistribusikan dan mengawasi
program yang dijalankan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian “Collective Action to Secure Property
Rights for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance
Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Property Rights (CAPRi).

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada program ACM-CIFOR yang


telah menyelenggarakan kegiatan Lokatulis Buku Bungo. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada seluruh masyarakat Desa Sungai Telang dan Desa Lubuk
Kambing dan seluruh pihak, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
mendukung seluruh proses penelitian dan penyusunan tulisan ini.

BAHAN BACAAN
Anonim, 1998. Action Research for Community Forestry: Sharing Experiences
from Nepal. Department for International Development. Environment
Policy Department, London.
Brydon-Miller, M., Greenwood, D. dan Maguire, P. 2003. Why Action Research?.
Action Research 1(1): 9-28.
Fisher, R. (ed). 1999. Workshop on Participatory Action Research. CIFOR, Bogor.
Indonesia.
364 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Freire, P. 1982. Creating Alternative Research Methods: Learning to Do it


by Doing it. Dalam: Hall, B., Gillette, A. dan Tandon, R. Creating
Knowledge: A Monopoly?. Society for Participatory Research in Asia.
New Delhi, India.
Kelly, C dan Breinlinger, S. 1996. The Social Psychology of Collective Action:
Identify, Injustice, and Gender. Taylor and Francis, Washington DC.
Kemmis, S. dan McTaggart, R. (ed). 1988. The Action Research Planner. Deakin
University Victoria, Australia.
Marshall, G. 1998. A Dictionary of Sociology. Oxford University Press, New
York.
Meinzen-Dick, R., Knox, A. dan Di Gregorio, M. (ed). 2001. Collective Action,
Property Rights and Devolution of Natural Resource Management:
Exchange of Knowledge and Implications for Policy. Deutsche Stiftung
fur internationale Entwicklung (DSE), Feldafing, Jerman.
Ostrom, E. 2004. Understanding Collective Action. Collective Action and
Property Rights for Sustainable Development. Focus 11, Brief 2,
February. International Food Policy Research Institute (IFPRI).
Sriskandarajah, N. dan Fisher, R.J. 1992. A Participatory Approach to Improving
Rural Livelihoods of People in the Goilala District of Papua New Guinea.
Hawkesbury, Australia, Faculty of Agriculture and Rural Development,
University of Western Sydney. Australia.
Stall, S. dan Stoecker, R. 1998. “Community Organizing or Organizing Community?
Gender and the Crafts of Empowerment.” Gender and Society 12(6):
729-756.
BAGIAN 4-5
Kebijakan Kehutanan, Aksi Kolektif dan
Hak Properti: Sebuah Pelajaran dari Bungo

Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen


366 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PENDAHULUAN
Pembangunan kehutanan sangat terkait erat dengan sistem pemerintahan
pada suatu negara. Pada masa lalu, sistem pemerintahan yang sentralistik telah
memunculkan peran dominan pemerintah pusat dalam menentukan arah
kebijakan pembangunan. Program-program dialirkan dari pusat ke daerah, dan
pemerintah daerah hanya berperan sebagai pelaksana. Masyarakat lebih banyak
berperan sebagai penerima. Sistem pemerintahan yang dulu berjalan cukup
baik, saat ini tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi era globalisasi dan
demokratisasi.

Kerusakan hutan sudah mencapai taraf yang memprihatinkan. Dari sekitar 120
juta ha kawasan hutan di Indonesia, sekitar lima puluh jutaan ha termasuk dalam
kategori kritis. Untuk Propinsi Jambi, berdasarkan kajian citra Landsat yang
dilakukan oleh KKI-WARSI dan Birdlife, dalam kurun waktu sepuluh tahun dari
1990 sampai 2000, tercatat satu juta ha hutan hilang, dari 2,4 juta ha menjadi 1,4
juta ha (Taher, 2005). Kondisi tutupan hutan di Kabupaten Bungo juga mengalami
perubahan yang cukup signifikan (KKI-WARSI et al., 2005). Berdasarkan
hasil kajian tutupan lahan hutan di Kabupaten Bungo antara 1990-2002 yang
dilakukan oleh KKI-WARSI, tampak bahwa tutupan hutan pada 1990 masih
42,78% dari total luas Kabupaten Bungo. Sementara pada 2002 tinggal 30,63%
atau seluas 139.896 ha. Penyebab deforestasi antara lain konversi areal hutan dan
pemanfaatan hutan yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan
lestari. Tingginya tingkat kerusakan hutan disebabkan oleh rendahnya kesadaran
dan tanggungjawab pengusaha hutan dalam melaksanakan kegiatannya, lemahnya
pengawasan dan pemantauan oleh pemerintah, rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, sempitnya peluang kerja pada
sektor lain, dan tidak jelasnya hak-hak properti dan tatabatas kawasan hutan.
Tidak jelasnya status lahan eks HPH seluas 743.311 ha, misalnya (Kompas, 2004),
merupakan contoh lemahnya hak properti yang ditengarai menjadi salah satu
penyebab kerusakan hutan.

Hutan merupakan sumber mata pencaharian yang paling menarik dan hasilnya
relatif mudah diusahakan. Masyarakat setempat hidupnya sangat tergantung
pada hasil hutan, karena hasil dari sektor pertanian belum mampu memenuhi
kebutuhan hidup mereka sepenuhnya. Masyarakat belum mampu melakukan
usaha lain selain pertanian, mengingat banyak kendala seperti keterbatasan
modal dan keterampilan. Lapangan pekerjaan sempit, pendidikan rendah dan
tingginya tingkat persaingan menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 367

selain memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Tekanan terhadap


sumberdaya hutan dengan sendirinya semakin besar.

Kebijakan pengelolaan hutan masa lalu cenderung lebih didominasi oleh pemerintah
pusat, dan lebih memberikan manfaat hanya pada individu atau sekelompok
orang yang dekat dengan penguasa. Peran para pihak lain dalam menentukan
arah pembangunan kehutanan hampir tidak ada. Sekalipun ada peraturan
perundangan yang mensyaratkan keterlibatan publik, dalam prakteknya tidak
ada mekanisme yang jelas bagaimana pihak lain dapat berperan dan memastikan
suara mereka di dengar. Alhasil, kebijakan sentralistis tanpa keterlibatan pihak lain
terbukti menemui kegagalan. Pengurusan sumberdaya hutan ternyata tidak dapat
ditangani hanya oleh pemerintah sendiri. Peran serta masyarakat dan para pihak
lain diperlukan.

Keterbatasan pemerintah semakin terlihat jelas jika kita melihat luasnya


sumberdaya hutan yang harus diurus dan dipantau. Padahal persoalan lemahnya
pengawasan pemerintah pada suatu kegiatan kehutanan disebabkan oleh
terbatasnya sumberdaya manusia di lapangan. Dari kondisi inilah, muncul aksi
kolektif yang dilakukan berbagai pihak termasuk masyarakat sekitar hutan, baik
yang muncul karena dorongan dari luar maupun atas inisiatif masyarakat itu
sendiri. Masyarakat dan para-pihak, turut memegang peranan penting dalam
menjaga dan melestarikan sumberdaya alam.

Demokratisasi mendorong munculnya tuntutan pemerintah daerah agar diberi


kewenangan yang lebih besar untuk mengurus sumberdaya alam di wilayahnya.
Tuntutan juga muncul dari masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
untuk memperoleh hak properti dan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya
alam di sekitarnya. Salah satu pelajaran yang diperoleh selama beberapa tahun
pelaksanaan otonomi daerah sejak 1999 adalah perlunya pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan para pihak untuk membangun kesepahaman bersama
dalam mengelola sumberdaya hutan secara kolaboratif tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip kelestarian.

Dalam periode 2004-2005, Pemerintah Kabupaten Bungo, khususnya Dishutbun,


menyusun dan melaksanakan tiga kebijakan dan program, yakni rekonstruksi
tatabatas hutan lindung, pemberian dana bantuan untuk usaha produktif
dan rehabilitasi hutan dan lahan. Tulisan ini menggambarkan pelaksanaan
dan pembelajaran dari program-program tersebut dan mengkaji sejauh mana
mendorong efektivitas aksi kolektif di tingkat masyarakat dan mendorong
penguatan hak properti.
368 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

KONDISI HUTAN DI KABUPATEN BUNGO


Di Kabupaten Bungo, kawasan hutan mencakup luasan 22,7% (162.447 ha) dari
luas wilayah 716.000 ha. Kawasan hutan itu terdiri dari Taman Nasional Kerinci
Seblat seluas 71.179 ha, Hutan Lindung (HL) Pematang Panjang Rantau Bayur
13.529 ha, Hutan Produksi (HP) 75.719 ha, Hutan Adat Batu Kerbau 1.220 ha
dan Hutan Adat Baru Pelepat 820 ha. Dengan keragaman formasi, status dan
fungsinya, hutan di kabupaten ini cukup potensial dalam memberikan kontribusi
bagi pemerintah dan masyarakat.

Kendati belum ada data pasti yang dapat dijadikan rujukan, namun hasil kajian
KKI-WARSI atas tutupan lahan hutan menyebutkan bahwa lebih dari 12%
hutan alam mengalami deforestasi pada kurun waktu 1990-2002 (Suherman
dan Taher, 2008)1. Hilangnya tutupan hutan Bungo ini adalah akibat adanya
pemberian ijin untuk konsesi HPH yang pernah aktif di Kabupaten Bungo yang
areal pengusahaannya tidak dikelola dengan baik2. Pelepasan kawasan hutan
oleh Departemen Kehutanan menjadi peruntukan lain seperti perkebunan sawit
dalam skala yang besar juga turut menyumbang kehilangan tutupan hutan ini3.
Transmigrasi juga memberikan dampak cukup besar terhadap hutan yang di
beberapa tempat disertai dengan perkebunan (PIR Trans)4. Selain itu, perambahan
hutan5 dan tidak terkendalinya sistem pemanfaatan hutan yang marak di awal era
otonomi daerah, seperti IPPK dan IUPHH, turut menjadi penyebab berkurangnya
tutupan hutan di kabupaten ini.

1 Sebagai perbandingan, angka taksiran yang juga seringkali menjadi acuan –sekalipun tidak secara resmi dipublikasikan– adalah hampir sekitar 80%
dari hutan produksi (HP) dan 25-30% hutan lindung (HL) di Kabupaten Bungo telah mengalami deforestasi.
2 Terdapat dua HPH yang pernah aktif di Kabupaten Bungo pada masa 1990-2002, yaitu PT. Rimba Karya Indah (PT. RKI) dan PT. Mugitriman
Intercontinental yang kemudian diambil alih oleh PT. Inhutani V SPH Pelepat Ule. PT. RKI berhenti beroperasi pada 1997 akibat konflik dengan
masyarakat. Sedangkan Inhutani tidak mampu melanjutkan pengelolaan kawasan dan berhenti pada 2001. Keduanya meninggalkan kewajibannya
dalam mengamankan kawasan kelolanya, sehingga menjadi penyebab maraknya pembalakan liar di areal bekas HPH.
3 Perkebunan kelapa sawit marak di Jambi, termasuk Kabupaten Bungo, pada awal 1990-an. Sampai tahun 2000 luas perkebunan sawit mencapai
32.843 ha dengan produksi sebesar 157.973 ton per tahun (Renstra Kabupaten Bungo 2001-2005). Pola pengembangan perkebunan sawit bervariasi,
misalnya ada pola PBS (Perkebunan Besar Swasta), PIR Trans (Pola Inti Rakyat Transmigrasi), KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) dan
perkebunan rakyat. Pola PBS semakin berkembang dengan adanya pelepasan kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada
1998. Salah satu contohnya adalah pola PIR Trans yang dikembangkan PT. Jamika Raya berbekal sebuah Surat Keputusan Menteri tentang Pelepasan
Kawasan Hutan. No. 720/KPTS-II/ 1989 tertanggal 24 November 1989. Pada 1993, perusahaan tersebut kembali memperoleh ijin pelepasan ka-
wasan hutan, sehingga luas kawasan hutan total yang dilepaskan mencapai 20,603 Ha.
4 Pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan areal transmigrasi dimulai pada 1983 dengan jumlah penduduk transmigrasi sebanyak 4.403 jiwa yang
tersebar dari daerah Kuamang Kuning I sampai Kuamang Kuning V. Sampai tahun 1990, jumlah transmigran bertambah menjadi 17.897 jiwa yang
tersebar di Kuamang Kuning I sampai Kuamang Kuning X, dan Kuamang Kuning XIV sampai XIX, daerah Danau Dusun, Desa Datar dan Jujuhan I.
Jumlah transmigran terus bertambah, dan sampai tahun 2002 tercatat 19.332 jiwa dengan penyebaran meluas ke Jujuhan II sampai Jujuhan V, Baru
Pelepat dan Rantau Pandan. Walaupun belum ada data yang pasti mengenai luas total pembukaan hutan untuk peruntukan transmigrasi, tapi pro-
gram pemerintah tersebut telah turut menyumbang berkurangnya tutupan hutan di Kabupaten Bungo. Selain itu, bertambahnya jumlah penduduk
secara drastis telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya alam.
5 Perambahan lahan biasanya dilakukan para pembalak liar dengan mengubah lahan bekas tebangan menjadi lahan pertanian kering berupa ladang.
Perambahan dilakukan di lokasi yang sama dengan tempat berlangsungnya kegiatan pembalakan liar. Awalnya perambahan terjadi di areal bekas
konsesi yang ditinggalkan oleh pemegang ijin HPH seperti PT RKI. Para perambah memanfaatkan akses jalan yang ditinggalkan perusahaan dan
membuka ladang tidak hanya di lokasi bekas tebangan HPH, tetapi juga di tempat-tempat sekitarnya di luar areal bekas tebangan. Meskipun belum
ada data pasti mengenai luas total perubahan hutan menjadi ladang, tetapi diyakini kegiatan perambahan hutan turut berperan dalam mengurangi
tutupan hutan di Kabupaten Bungo.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 369

HAK PROPERTI DAN AKSI KOLEKTIF


Aksi kolektif merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu kelompok
(baik untuk mereka sendiri maupun atas nama suatu organisasi) dalam mencapai
tujuan yang diinginkan bersama (Marshall, 1998). Aksi kolektif juga merujuk
pada suatu perkumpulan atau kelompok yang terbentuk, baik secara sukarela
maupun karena dorongan dari luar (dibentuk oleh pemerintah atau pihak lain),
baik yang sifatnya informal ataupun formal (dalam bentuk organisasi berbadan
hukum).

Dalam pengertian yang sederhana, istilah umum seperti ’gotong-royong’ dan


pepatah yang berbunyi “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul“ mungkin
mendekati makna aksi kolektif. Kebiasaan gotong-royong dalam masyarakat sudah
mulai pudar dan banyak sekali program dan kegiatan yang sebenarnya sangat
potensial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi terbengkalai
dan mubazir karena tidak adanya dukungan kolektif. Di sisi lain, banyak tindakan
atau kebijakan penguasa yang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat dan
memperlemah semangat aksi kolektif diantara kelompok masyarakat.

Dalam pembangunan kehutanan yang belakangan ini lebih mengarah pada pola-
pola berbasis masyarakat, kebijakan yang mendorong terjadinya aksi kolektif
menjadi sangat penting. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara
lestari dan bertanggung jawab dapat dicapai dengan lebih mudah melalui kerjasama
dan kolaborasi. Dalam hal ini, aksi kolektif memegang peran penting baik dalam
bentuk keterlibatan para pihak di dalam jaringan yang lebih luas, maupun aksi
bersama kelompok masyarakat atau petani hutan yang diberi hak kelola hutan.
Melalui aksi kolektif, setiap individu atau kelompok bukan hanya saling mengisi
peran, tetapi juga memastikan terjaganya aturan main dan akuntabilitas.

Pentingnya peranan aksi kolektif di dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam


telah ditunjukkan oleh berbagai peneliti di berbagai wilayah seperti Agrawal dan
Ostrom (2001) dan Meinzen-Dick et al. (2004a dan 2004b). Kajian tentang aksi
kolektif mencakup banyak jenis. Misalnya ada kajian tentang bentuk-bentuk aksi
kolektif yang mendorong pada pengelolaan sumberdaya alam yang lebih lestari,
faktor-faktor yang mendorong atau menghambat terjadinya sebuah aksi kolektif,
hasil dari sebuah aksi kolektif terhadap kelestarian sumberdaya alam atau terhadap
pendapatan masyarakat.

Dalam konteks institusi dengan pengertian yang lebih luas, aksi kolektif juga
dipahami sebagai suatu aksi terkoordinasi yang dilakukan oleh unsur-unsur di
370 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dalam struktur pemerintahan dan para pihak dalam mencapai tujuan bersama.
Misalnya dalam penyusunan program-program pemerintah, pendistribusian atau
mobilisasi sumberdaya dan lain-lain.

Hak properti, menurut salah satu definisi yang paling sering dikutip dalam
literatur, dipahami sebagai “the capacity to call upon the collective to stand behind
one’s claim to a benefit stream“ (suatu kemampuan kolektif untuk menopang
klaim seseorang atas sebuah aliran manfaat) (Bromley, 1991 dalam Meinzen-
Dick et al., 2004a). Jadi hak properti mencakup hubungan antar pemilik hak,
pihak lain dan institusi yang memberikan dukungan atas sebuah klaim. Wiber
(1993) menyatakan, hak atas properti merupakan hak individu atau kelompok
atas pemanfaatan atau kontrol sumberdaya alam yang diakui dan mendapat
legitimasi dari masyarakat secara luas dan dilindungi secara hukum. Individu
atau kelompok (pengguna sumberdaya, masyarakat, perusahaan, negara, dan
lain sebagainya) bisa menegaskan berbagai klaim atas sumberdaya alam seperti
hak menggunakan, mengambil hasil sumberdaya, mengontrol penggunaan dan
membuat peraturan atas penggunaan sumberdaya termasuk mengenai siapa saja
yang boleh menggunakan dan mentransfer sumberdaya alam tersebut dengan cara
dijual, disewakan, dihadiahkan ataupun diwariskan6.

Meinzen-Dick et al. (2004a) menggolongkan hak properti ke dalam dua golongan,


yakni hak penggunaan atau use right dan hak kendali atau pengambilan keputusan
(control atau decision-making rights). Hak untuk mendapatkan akses terhadap
sumberdaya hutan, hak untuk mengambil hasil hutan untuk kepentingan ekonomi
seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau IPKR (Ijin Pemanfaatan Kayu
Rakyat), misalnya, masuk dalam golongan pertama. Hak untuk mengendalikan,
hak untuk mengatur siapa yang mendapat akses dan hak atas sumberdaya hutan
tertentu dan siapa yang tidak mendapat akses –biasanya dipegang oleh pihak yang
punya kewenangan (pemerintah)– merupakan contoh dari golongan kedua.

Dari uraian tersebut, kita pahami bahwa hak properti bukan bermakna sempit
sebagai hak kepemilikan (ownership) saja, yang seringkali menjadi isu sensitif
ketika kita membicarakannya dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di
Indonesia. Hak properti mencakup pengertian yang lebih luas, dan tidak sekedar
hak, tetapi juga kewajiban dan aturan. Untuk mendapat legitimasi, klaim atas
sumberdaya tersebut harus diakui secara kolektif oleh masyarakat. Konflik akan
muncul ketika terdapat klaim yang berbeda atas sumberdaya tertentu yang

6 Sejalan dengan ini, Agrawal dan Ostrom (2001) mengklasifikasikan hak properti ke dalam empat bentuk, yakni withdrawal (hak untuk masuk pada
suatu batas wilayah tertentu dan memungut hasil sumberdaya), management (hak untuk mengatur pola-pola pemanfaatan sumberdaya), exclusion
(hak untuk memutuskan siapa yang memperoleh hak dan bagaimana hak tersebut bisa dialihkan ke pihak lain) dan alienation (hak untuk menjual,
menyewakan, hak pemanfaatan dan pengelolaan).
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 371

ditopang dengan sumber legitimasi yang berbeda.

Suatu klaim atas sumberdaya alam tertentu seringkali diatur oleh peraturan dan
hukum yang beragam, baik hukum negara, hukum lokal, hukum agama, hukum
adat, dan lain-lain. Namun Gulliet (1998) mengatakan aturan dengan sumber
yang berbeda tidak berada dalam kondisi saling mengisolasi satu sama lain, tetapi
saling berinteraksi, mempengaruhi dan saling mendukung. Oleh karena itu jalan
terbaik adalah negosiasi, karena peraturan dan hukum merupakan sesuatu yang
bisa dinegosiasikan, diinterpretasikan dan diubah.

Hak properti merujuk pada hubungan antar aktor terkait dengan sumberdaya
alam. Hak properti itu sendiri sifatnya dinamis seperti halnya hubungan antar
aktor, yang berubah dengan berjalannya waktu. Karena sifat alam yang penuh
dengan ketidakpastian dan sangat kompleks, maka ada kecenderungan alami
atau termotivasi oleh faktor luar, para aktor terlibat di dalam tindakan bersama-
sama untuk mengatasi isu-isu yang timbul tentang bagaimana sumberdaya
dimanfaatkan secara optimal dan bagaimana keputusan bersama bisa diambil
dengan memberikan ruang dan manfaat yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Pluralitas hukum, misalnya yang terwujud dalam bentuk tumpang tindihnya
hak properti atas suatu hamparan sumberdaya alam tertentu dengan sendirinya
menuntut aksi dan reaksi dari setiap aktor yang berkepentingan dalam upaya
masing-masing pihak memaksimalkan manfaat yang diperolehnya.

kompleksitas kebijakan PENGELOLAAN


HUTAN DI KABUPATEN BUNGO
Banyak pembelajaran yang kita peroleh dari pengelolaan sumberdaya hutan di
Kabupaten Bungo, jika dikaitkan dengan kedua konsep di atas. Setelah melalui
periode sentralisasi di zaman Orde Baru sampai 1998, dalam kurun waktu 1999
sampai 2001 pemerintah daerah mulai diberikan kewenangan yang lebih besar
untuk mengusahakan sumberdaya hutan dalam bentuk pengeluaran ijin-ijin
pemanfaatan skala kecil seperti IPHH dan IPKR. Namun demikian, dalam 2002
kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan kembali dibatasi setelah
pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan peraturan
yang mencabut kembali kewenangan daerah di bidang kehutanan. Dermawan
et al. (2006) menggambarkan pengurusan hutan di Indonesia seperti pendulum,
yakni beralih dari bentuk sentralisasi ke desentralisasi dan akhirnya kembali ke
bentuk sentralisasi. Dari mulai soal lemah dan belum siapnya pemerintah daerah
mengemban wewenang yang lebih besar dalam mengelola hutan, kekhawatiran
372 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

terus terdegradasinya sumberdaya alam, sampai pada keengganan pemerintah


pusat dalam memberikan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah
mewarnai perjalanan penyelenggaraan otonomi daerah di bidang kehutanan.

Salah satu isu krusial dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan
adalah ketidakjelasan hak properti, seperti yang terjadi di Kabupaten Bungo dan
juga umumnya di berbagai wilayah lain di Indonesia. Banyak kawasan hutan yang
tidak jelas batas penguasaan dan pengusahaannya, yang mengakibatkan terjadi
tumpang tindih peruntukan dan klaim kepemilikan. Kasus klaim masyarakat adat
setempat terhadap hutan yang di bawah penguasaan suatu perusahaan kehutanan,
misalnya, sangat sering terjadi. Pihak mana yang mempunyai hak dan tanggung
jawab memanfaatkan suatu sumberdaya hutan seringkali tidak jelas. Di sisi lain,
pemerintah yang mempunyai otoritas untuk menentukan aturan juga seringkali
dalam prakteknya tidak berdaya karena lemahnya kapasitas dan legalitas.

Setelah kewenangan pemerintah daerah kabupaten untuk mengeluarkan kebijakan


di bidang pengusahaan hutan, terutama terkait dengan hasil hutan kayu, dicabut
oleh pemerintah pusat7, otonomi daerah dalam bidang kehutanan tidak berjalan
lagi. Sebagian besar pengurusan hutan oleh pemerintah daerah dalam kurun waktu
dua-tiga tahun terakhir lebih merupakan kegiatan dalam kerangka dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Setelah kewenangan ditarik kembali, sebenarnya
pemerintah pusat masih memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk
mengeluarkan hak atau ijin pemanfaatan kayu. Misalnya, salah satu keputusan
Menteri Kehutanan8 yang memberikan kewenangan daerah mengeluarkan
IPHH (Ijin Pemungutan Hasil Hutan) bagi perseorangan dan kelompok beserta
koperasi. Namun, tanggapan pemerintah daerah di berbagai wilayah tampaknya
tidak begitu besar seperti halnya ketika IPPK (Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan
Kayu) yang marak saat otonomi daerah diberlakukan sekitar awal 2000. Demikian
juga di Bungo, pemerintah daerah tidak mengeluarkan ijin IPHH. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rendahnya tanggapan pemerintah daerah terhadap peluang
tersebut dikarenakan dua hal utama. Pertama, tampaknya ada sikap yang lebih
hati-hati di kalangan pemerintah daerah untuk tidak mengeluarkan kebijakan
seperti yang terjadi dalam periode sebelumnya. Mereka khawatir bahwa kebijakan
yang dikeluarkannya akan bertentangan dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Belum terbitnya peraturan pemerintah terkait pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat dan daerah, sebagai pengganti PP No. 25/2000, juga
menjadi salah satu penyebab kekhawatiran pihak pemerintah daerah.

7 SK Menteri Kehutanan No. 541/2002, SK Menteri Kehutanan No. 6886/2002 dan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 mempertegas penundaan dan
pencabutan kembali kewenangan daerah di bidang kehutanan. Untuk uraian yang lebih lengkap, dapat dilihat pada Dermawan et al. (2006).
8 Keputusan Menteri Kehutanan No. 6886.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 373

Kedua, hasil hutan yang boleh dipanen dalam aturan tersebut sangat terbatas
karena memang bertujuan bukan untuk diperdagangkan (khususnya hasil hutan
berupa kayu). Untuk satu ijin, maksimum hasil hutan yang boleh dipanen hanya
20 m3 untuk kayu dan 20 ton untuk bukan kayu per ha per tahun. Tampaknya
rendahnya volume yang boleh dipanen ini kurang menarik bagi sebagian pihak
yang selama ini lebih banyak terlibat dalam pengusahaan hutan skala komersial.
Dorongan pemerintah daerah untuk mencari sumber-sumber keuangan potensial
untuk meningkatkan PAD tampaknya menjadi alasan kenapa SK Menteri tersebut
tidak menjadi prioritas perhatian daerah.

Contoh lain adalah SK Menteri Kehutanan No. 382/kpts-II/2004 yang mengatur


pemberian IPK di luar kawasan hutan atau di areal KBNK (Kawasan Budidaya
Non-Kehutanan). Bupati dapat mengeluarkan ijin pemanfaatan kayu kepada
pemohon perseorangan, koperasi, BUMN dan BUMD dan swasta. Setelah areal
yang dimohonkan untuk IPK diketahui potensinya melalui cruising dan ijin
diperoleh, pemegang IPK berhak untuk melaksanakan penebangan kayu selama
berlakunya ijin, yakni 1 tahun dan dapat diperpanjang. Dalam SK tersebut juga
diatur mengenai kewajiban, aturan dan sanksi bagi pemegang hak.

Uraian tentang pengelolaan hutan tersebut di atas menggambarkan secara


eksplisit konteks otonomi daerah dan hak-hak properti dalam pemanfaatan
sumberdaya, penggunaan otoritas dan pengaturan siapa yang harus memperoleh
hak dan siapa yang tidak, serta aturan, kewajiban dan sanksi bagi pelanggaran
yang dilakukan. Secara normatif, peraturan perundangan yang digambarkan
tampak sudah cukup memadai dalam memperkuat hak properti, yang indikatornya
adalah adanya jaminan akses manfaat kepada si pemegang hak, adanya aturan
yang jelas dan mengikat serta adanya mekanisme sanksi. Namun demikian, dalam
implementasinya masih menyisakan persoalan.

Berbagai tantangan tampaknya masih menghadang upaya memperkuat hak


properti. Misalnya terlihat dari masih banyaknya lahan hutan di wilayah di
Kabupaten Bungo yang berada dengan kondisi “open access“, yang terbuka bagi
siapa saja dan seolah tidak ada yang memiliki atau tidak ada pihak yang mempunyai
“kewenangan“ untuk menjaganya. Ketidakmampuan pemerintah dalam memantau
dan mengawasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan (karena terbatasnya
personil, keterampilan dan peralatan), banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh
pemegang hak, okupasi kawasan hutan oleh masyarakat dan lemahnya penerapan
sanksi merupakan kelemahan-kelemahan yang masih terlihat di lapangan.
374 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

INISIATIF PROGRAM KEHUTANAN Kabupaten


BUNGO
Dalam periode 2004-2005, Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, khususnya
Dishutbun, mengambil inisiatif mengusulkan dan menjalankan program kehutanan
yang berpeluang dalam mendorong efektivitas aksi kolektif dan memperkuat hak
properti. Ketiga kebijakan dan program tersebut antara lain adalah rekonstruksi
tatabatas hutan lindung, bantuan usaha produktif dan rehabilitasi hutan dan
lahan, seperti yang diuraikan berikut ini.

Rekonstruksi Tatabatas Hutan Lindung


Mengacu pada salah satu kebijakan prioritas Departemen Kehutanan terkait
pemantapan kawasan hutan9, pada 2004 Dishutbun Kabupaten Bungo
mengusulkan program rekonstruktuksi tatabatas kawasan hutan kepada
pemerintah daerah dan DPRD. Program yang akhirnya disetujui tersebut menjadi
salah satu program yang mendapat pendanaan dari APBD 2005 dan 2006. Sebagai
konsekuensi dari sebuah inisiatif, pemerintah daerah menanggung sendiri dana
pelaksanaan program tersebut.

Inisiatif tersebut muncul sebelum keluarnya surat Badan Planologi Departemen


Kehutanan yang menginstruksikan pemerintah daerah untuk mempercepat
pemantapan kawasan hutan10. Surat tersebut berbunyi bahwa urusan pemantapan
kawasan hutan, kecuali penataan batas kawasan konservasi, sudah menjadi
kewenangan pemerintah propinsi dan kabupaten (kota).

Dishutbun mengajukan program rekonstruksi setelah melihat kondisi kawasan


hutan di wilayah ini yang memprihatinkan. Kawasan hutan di wilayah ini belum
seluruhnya ditatabatas. Keadaan dan posisi sebagian patok-patok yang membatasi
kawasan hutan dengan lahan milik masyarakat tidak jelas. Di sebagian wilayah,
masyarakat, baik secara sadar maupun tidak, telah memperluas lahan pertanian
dan menempati kawasan hutan.

Dalam melaksanakan program ini, Dishutbun berperan sebagai pemrakarsa dan


sekaligus pelaksana kegiatan. Program tersebut dilakukan pada kawasan Hutan

9 Empat kebijakan lainnya adalah pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal; revitalisasi sektor kehutanan,
khususnya industri kehutanan; rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan (SK Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-II/2004 tanggal 29 Nopember 2004)
10 Surat Kepala Badan Planologi No. SE.722/VII-KP/2005 tanggal 22 Agustus 2005 tentang percepatan proses pemantapan kawasan hutan yang
ditujukan kepada kepala dinas kehutanan propinsi dan dinas kabupaten
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 375

Lindung Pematang Panjang Rantau Bayur, Kabupaten Bungo, yang melintasi


beberapa kecamatan. Panjang rekonstruksi tatabatas adalah 35 km dan sebagian
jalur tatabatasnya melintasi wilayah Desa Sungai Telang Kecamatan Rantau
Pandan, desa tempat penelitian berlangsung. Sungai Telang adalah desa yang
dekat dengan hutan lindung tersebut yang menjadi zona penyangga Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Desa tersebut juga merupakan hulu Sungai
Batang Pelepat dan Batang Bungo, sehingga menjadikan wilayah yang sangat
penting dan perlu dijaga kelestariannya.

Tujuan rekonstruksi tatabatas ini adalah mempertegas keberadaan batas kawasan


hutan yang sudah ada, mengganti pal batas yang rusak dan melakukan tindakan
preventif pengamanan kawasan. Pekerjaan rekonstruksi tatabatas tersebut
dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak seperti petugas Dishutbun Kabupaten
Bungo, petugas BPKH11 Propinsi Jambi dan masyarakat desa-desa yang terlintasi
oleh jalur rekonstruksi, termasuk Desa Sungai Telang.

Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah adanya ketegasan dan kejelasan
batas antara kawasan hutan lindung dengan lahan milik masyarakat dan mencegah
terjadinya okupasi kawasan hutan lindung. Dengan demikian akan terwujud
kepastian lahan milik masyarakat yang berada dekat kawasan hutan lindung
tersebut, dan juga hak-hak negara atas kawasan hutan, yang pada gilirannya
mendorong penguatan hak-hak properti bagi berbagai pihak.

Pada tahap persiapan, petugas dari Dishutbun Kabupaten Bungo melakukan


orientasi ke lokasi (Desa Sungai Telang) dan sosialisasi kepada masyarakat untuk
memaparkan maksud dan tujuan pemerintah melakukan rekonstruksi tatabatas.
Dari hasil survei, ditemukan adanya kebun karet yang melewati pal batas hutan
lindung. Terungkap lebih kurang lima kepala keluarga yang membuka kebun karet
melampaui batas kawasan. Berdasarkan data tersebut, petugas Dishutbun serta
petugas dari BPKH Propinsi Jambi bersama masyarakat melakukan peninjauan ke
lokasi tatabatas. Hasil peninjauan ternyata menguatkan data temuan sebelumnya.
Masyarakat menjelaskan alasan okupasi lahan tersebut dan beralasan bahwa
kebutuhan untuk bercocok tanam dan sempitnya lahan pertanian masyarakat
telah mendorong mereka memperluas kebun mereka.

Melalui sebuah pertemuan sosialisasi, petugas memperoleh pemahaman soal


kondisi lapangan dan masyarakat menjadi lebih sadar terhadap pentingnya
fungsi hutan lindung dalam menjaga ekosistem dan kehidupan mereka. Untuk
menyelesaikan masalah okupasi, akhirnya melalui suatu musyawarah yang dihadiri

11 Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), sebelumnya di sebut BIPHUT


376 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

seluruh unsur masyarakat, termasuk mereka yang mengokupasi kawasan lindung,


kepala desa, ketua BPD, tokoh masyarakat dan alim ulama, dicapai kesepakatan
bahwa:
1) Masyarakat yang sudah terlanjur membuat kebun di dalam kawasan hutan
lindung, diperbolehkan untuk terus memelihara tanaman dan mengambil
hasilnya sampai lahan tersebut tidak produktif lagi. Setelah itu, masyarakat
diminta untuk menghentikan kegiatannya. Selama pemeliharaan, mereka
dilarang memperluas areal kebunnya dalam hutan lindung. Mereka juga
dianjurkan sedapat mungkin menanam tanaman hutan, khususnya pada
tempat-tempat yang dianggap rawan longsor.
2) Masyarakat akan menjaga hutan lindung dan mencegahnya dari kerusakan
dan pencurian kayu. Mereka diperbolehkan mengambil hasil hutan selain
kayu, yakni berupa rotan dan jernang.

Setelah kesepakatan dibuat, petugas Dishutbun menawarkan masyarakat desa


untuk ikut bekerjasama dalam merintis tatabatas lama. Tawaran ini diberikan
kepada lima orang (kelompok yang sudah memiliki keahlian merintis tatabatas)
yang dibayar imbalan jasanya dalam bentuk upah sesuai pagu anggaran
pemerintah yang tersedia. Selain merintis tatabatas, mereka juga terlibat dalam
pembuatan peta pal batas, pengukuran jarak patok, menghitung dan memberi
tanda patok-patok yang hilang dan rusak.

Pada tahap rekonstruksi tatabatas, pekerjaan orientasi dilanjutkan dengan


pemasangan (penggantian) pal batas lama, baik yang rusak maupun yang
hilang, bersama-sama masyarakat yang terpilih sesuai hasil musyawarah. Jalur
rekonstruksi tatabatas sepanjang 35 km dikerjakan lebih kurang dalam waktu dua
minggu. Kegiatan rekonstruksi tatabatas ini tidak hanya melibatkan masyarakat
Desa Sungai Telang, tetapi juga Desa Laman Panjang, karena secara administratif
kawasan hutan lindung berada dalam wilayah Desa Laman Panjang, dan kedua
desa dilalui jalur pal batas. Bentuk keikutsertaan kelompok masyarakat dalam
rekonstruksi tatabatas ini merupakan penghargaan bagi masyarakat dalam
pembangunan kehutanan.

Dalam kasus tersebut, kebetulan masyarakatnya mau menerima (mengakui)


tatabatas lama, sehingga proses musyawarah dan mufakat berjalan lancar. Namun,
dalam kasus lain di daerah lain di Kabupaten Bungo ditemukan masyarakat yang
tidak menerima tatabatas kawasan yang ada tersebut. Mereka menyampaikan
alasan: (i) mereka telah lebih dulu hidup dan berkebun di sana sebelum pal batas
dibuat; (ii) lahan garapan mereka terbatas; (iii) pada waktu pembuatan pal batas
tersebut mereka tidak diberi kesempatan bicara, dan lain-lain.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 377

Bagaimana sikap pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini? Dengan


berpegang pada prinsip bahwa masyarakat adalah mitra pemerintah dan pelaku
pembangunan dan pemerintah memegang amanat menjalankan kehendak rakyat,
maka jalan terbaik yang ditempuh adalah musyawarah. Salah satunya adalah
dengan memberikan jaminan hak kelola kepada masyarakat dalam batas wilayah
yang disepakati bersama melalui kebijakan-kebijakan yang telah ditawarkan oleh
Departemen Kehutanan seperti hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Hak
yang diberikan kepada individu dan kelompok masyarakat tersebut adalah untuk
memanfaatkan hasil hutan sesuai dengan fungsi kawasan hutan bersangkutan
tanpa harus mengubah status kawasan hutannya. Selain diberi wewenang untuk
menentukan perencanaan dan peruntukannya, masyarakat diwajibkan turut
membantu atau berpartisipasi menjaga dan memelihara sumberdaya alam. Hak
kelola merupakan salah satu bentuk hak yang dapat memperkuat hak properti
masyarakat.

Melalui keterlibatannya dalam kegiatan rekonstruksi tatabatas dan interaksi


dengan petugas Dishutbun, masyarakat terlihat termotivasi untuk lebih hati-
hati dalam membuka ladang dan mencari informasi terlebih dahulu ke kantor
Dishubun. Proses musyawarah, sikap menerima terhadap tawaran petugas di
tahap awal dan keterlibatan langsung dalam rekonstruksi menjadi modal penting
dalam menentukan perubahan perilaku mereka12.

Bantuan Usaha Produktif


Bantuan Usaha Produktif (BUP) merupakan sebuah program dengan dukungan
APBD yang bertujuan mendorong kemandirian masyarakat yang tinggal di sekitar
dan dalam hutan melalui pemberian dana stimulan. Program ini dimaksudkan
agar mereka mendapat peluang untuk dapat meningkatkan pendapatannya
dan secara tidak langsung mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap
sumberdaya hutan. Program ini murni merupakan inisiatif Dishutbun dan diajukan
kepada pihak legislatif sebagai bagian dari program pemerintah daerah. Sasaran
program ini adalah kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar
hutan, yang mempunyai usaha produktif namun memiliki kesulitan modal untuk
pengembangan usahanya, atau di daerah tersebut terdapat potensi usaha yang
perlu dikembangkan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat setempat.

Kegiatan diawali dengan survei kelompok masyarakat dan bentuk usaha di seluruh
wilayah Kabupaten Bungo. Survei dipusatkan pada wilayah yang berdekatan

12 Indikasi perubahan perilaku ini terlihat di masyarakat yang menerima hasil musyawarah di lokasi penelitian. Sementara itu, sikap masyarakat yang
menolak terhadap musyawarah di lokasi lain di Kabupaten Bungo tidak teramati, apakah diantara mereka juga ada indikasi perubahan perilaku atau
tidak
378 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dengan hutan. Hasil survei menemukan empat kecamatan di Kabupaten Bungo


yang terletak berdekatan dengan kawasan hutan, yaitu Kecamatan Pelepat, Rantau
Pandan, Tanah Tumbuh, dan Limbur Lubuk Mengkuang. Survei juga menemukan
45 kelompok usaha produktif yang tersebar di empat kecamatan (Tabel 31).

Tabel 31. Kelompok dan jenis usaha produktif

No Kecamatan Jumlah Kelompok Jenis Usaha


1 Pelepat 14 Pertanian tanaman semusim, ternak
unggas, kerajinan rumah tangga (anyaman
dan mebel dari bambu)
2 Rantau Pandan 8 Pembibitan tanaman karet, ternak unggas,
pertanian tanaman semusim, kerajinan

3 Tanah Tumbuh 3 Keramba ikan dan budidaya ikan air tawar


4 Limbur Lubuk 20 Usaha pertanian tanaman pangan dan
Mengkuang ternak unggas

Dari hasil seleksi dan pengecekan lapangan diperoleh delapan jenis usaha yang
mendapat BUP, yaitu: anyaman bambu dan budidaya bawang merah (Desa Baru
Pelepat), budidaya bawang merah (Batu Kerbau), pembibitan jernang (Sungai
Telang), keramba ikan dan pembibitan karet (Rambah), budidaya ikan air tawar
(Sei Ipuh) dan usaha budidaya cabe (Tuo Limbur).

Setelah menetapkan kelompok sasaran, petugas Dishutbun melakukan sosialisasi


dengan tujuan agar masyarakat memperoleh pemahaman tentang maksud
dan tujuan pemerintah melaksanakan program BUP, dan menampung usulan
masyarakat.

Kelompok terpilih dibimbing untuk membuat proposal oleh petugas Penyuluh


Pertanian Lapangan (PPL). Proposal berisikan antara lain uraian tentang latar
belakang pentingnya bantuan usaha produktif bagi daerah dan kelompok
bersangkutan, aspek teknis, manajemen, pemasaran dan analisis usaha. Peninjauan
dilakukan oleh petugas ke lokasi masyarakat yang proposalnya sudah dianggap
layak. Peninjauan lapangan dilakukan untuk memeriksa kebenaran antara apa
yang tertuang dalam proposal dengan kenyataan di lapangan. Setelah dianggap
benar, dana bantuan modal diberikan kepada kelompok masyarakat terpilih, yang
ditransfer melalui rekening bank kelompok. Sekalipun sifatnya dana bantuan,
tetapi pesan yang disampaikan kepada kelompok adalah: dana tersebut merupakan
dana bergulir (revolving fund) yang harus dikembalikan dan digulirkan kepada
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 379

kelompok lain. Jumlah dan lama waktu pengembalian dana sesuai dengan analisa
usaha yang tercantum dalam proposal.

Khusus untuk Desa Sungai Telang, modal bantuan tidak jadi disalurkan untuk
kegiatan kerajinan dan pemeliharaan ternak itik. Setelah melalui proses
refleksi, dana bantuan kemudian dialihkan untuk usaha pembibitan jernang
dan jelutung. Ada beberapa pertimbangan mengapa bantuan tersebut dialihkan.
Pertama, masyarakat Desa Sungai Telang akan lebih berpeluang mengembangkan
ekonominya melalui kedua jenis tanaman tersebut. Bibit kedua tanaman
tersebut sangat laku di pasaran dan hasil getah keduanya sangat mahal, sehingga
akan menambah penghasilan masyarakat. Kedua jenis tanaman tersebut juga
sudah langka di Kabupaten Bungo. Bibitnya hanya terdapat di hutan lindung
Bukit Panjang Rantau Bayur, yang lokasinya berdekatan dengan Desa Sungai
Telang. Oleh karena itu, melalui dukungan BUP diharapkan masyarakat dapat
mengembangkan usaha pembibitan kedua jenis tanaman tersebut dalam bentuk
persemaian. Masyarakat juga akan termotivasi untuk melindungi pohon induknya
di kawasan hutan lindung dan jenis-jenis tanaman langka lainnya.

Kedua, masyarakat ternyata sangat memberikan tanggapan positif terhadap


rencana pengembangan kedua jenis tanaman tersebut, dan sadar akan prospek
yang lebih baik di masa mendatang. Namun, selain modal membuat pembibitan,
mereka merasa perlu bantuan bimbingan teknologinya.

Ketiga, inisiatif Dishutbun Bungo untuk menjadikan Desa Sungai Telang sebagai
sentra produksi tanaman jelutung dan jernang sudah mendapat sambutan positif
dari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS),
Departemen Kehutanan. Pengukuhan desa tersebut sebagai sentra produksi bibit
jernang akan ditetapkan melalui sebuah Surat Keputusan.

Sekalipun masih perlu waktu lama untuk melihat dampak program ini, namun selama
proses berlangsung tampak ada kelompok masyarakat di Desa Sungai Telang yang
secara sukarela membentuk kelompok sendiri dan secara bersama-sama melakukan
kegiatan pencarian bibit-bibit jernang di dalam hutan. Berdasarkan wawancara
dengan beberapa anggota kelompok tersebut, mereka termotivasi oleh prospek
yang cerah tentang usaha tanaman jernang dan oleh kelompok lain yang telah
memperoleh dana stimulan BUP dari pemerintah dan berhasil mengembangkan
usahanya. Pada akhirnya, keberhasilan mereka memobilisasi diri dalam kelompok
dan mengembangkan usaha melalui program BUP tersebut berpeluang memperkuat
hak properti mereka atas sumberdaya. Terbentuknya kelompok masyarakat
yang kuat berpotensi memperoleh pengakuan dari pemerintah (misalnya dalam
380 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

bentuk ijin dan sertifikat)


untuk mengelola sumberdaya
jernang di hutan sekitar desa
mereka.

Rehabilitasi Hutan
dan Lahan

© Heru Komarudin
Kegiatan ini merupakan
salah satu program prioritas
nasional, dilaksanakan dalam
Melalui aksi kolekif, kelompok masyarakat bentuk GERHAN (Gerakan
mengumpulkan bibit jernang dari hutan sekitar Nasional Rehabilitasi Hutan
Desa Sungai Telang.
dan Lahan) dan Reboisasi.
GERHAN merupakan
kegiatan nasional dengan dana dari Departemen Kehutanan; sedangkan
reboisasi merupakan kegiatan daerah dengan dana dari DAK-DR (Dana Alokasi
Khusus-Dana Reboisasi). Namun teknis kedua kegiatan itu di lapangan adalah
sama. Kegiatan ini dilakukan dengan menanam jenis-jenis tanaman kehutanan
dan pertanian di dalam dan luar kawasan hutan, dan dimaksudkan untuk
mengembalikan fungsi hutan yang telah mengalami degradasi. Pelaksanaannya
dilakukan bersama-sama antara petugas Dishutbun dengan masyarakat setempat.
Masyarakat dilibatkan dari mulai tahap penentuan komoditi tanaman sampai
pada penanaman serta pemeliharaan tanaman.

Program rehabilitasi lahan terdiri atas dua kegiatan, yaitu reboisasi dan penghijauan.
Reboisasi dilakukan di dalam kawasan hutan yang kritis, sedangkan penghijauan
dilakukan pada lahan milik masyarakat di luar kawasan.

Pada tahap persiapan, dilakukan orientasi lapangan dan sosialisasi kepada


masyarakat. Dalam orientasi dikumpulkan data monografi desa dan data lain
yang relevan. Calon areal penanaman diukur dan dituangkan dalam peta serta
dibangun pondok kerja. Kegiatan ini dilakukan oleh petugas Dishutbun bersama
masyarakat setempat. Pada tahap ini sudah terjadi penegasan batas kawasan hutan
dengan lahan milik masyarakat melalui proses musyawarah. Selanjutnya dalam
sosialisasi disepakati jenis tanaman yang akan ditanam, tenaga kerja penanaman,
upah penanaman, urutan pekerjaan dan teknis penanaman. Pelatihan tentang
teknis penanaman diberikan kepada kelompok masyarakat yang terlibat. Jadwal
waktu kegiatan penanaman disusun bersama masyarakat.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 381

Tahap kegiatan program ini yang menarik adalah orientasi lokasi, yang terkait
erat dengan pengakuan hak properti masyarakat atas lahan milik pribadi maupun
ulayat, berupa penentuan batas kawasan. Selama ini batas-batas itu tidak jelas
karena masing-masing pihak tidak pernah bertemu langsung di lapangan. Kasus
menarik adalah yang terjadi di kawasan hutan produksi di Desa Tebing Tinggi,
Kecamatan Tanah Tumbuh yang telah diokupasi oleh masyarakat setempat.
Masyarakat yang terlanjur memperluas kebunnya beralasan bahwa mereka:
(i) tidak paham soal batas antara lahan mereka dengan kawasan;
(ii) kekurangan lahan pertanian untuk meningkatkan pendapatan keluarga;
(iii) terdorong oleh terbukanya akses jalan dan keinginan untuk memanfaatkan
lahan yang tidak terurus; dan
(iv) merasa sudah temurun tinggal di daerah tersebut.

Jalan keluar yang diambil Dishutbun adalah dengan membuka ruang negosiasi
melalui musyawarah.

Pendekatan dimulai dengan kepala desa, ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama,
tuo tengganai dan tokoh-tokoh masyarakat serta masyarakat yang mengokupasi
lahan hutan. Pertemuan yang dilakukan berakhir dengan beberapa kesepakatan
berikut:
a. Masyarakat dilarang mengklaim lahan yang diokupasi sebagai hak milik,
memperjualbelikan atau menyewakannya kepada pihak lain. Komitmen ini
ditulis dalam surat pernyataan di atas meterai;
b. Masyarakat yang telah terlanjur mengokupasi lahan, diperbolehkan
meneruskan kegiatan bercocok tanamnya hingga habis masa produksi.13
Selama mereka melakukan kegiatan, mereka tidak boleh memperluas
lahannya. Setelah habis masa produksi, mereka harus meninggalkan lahan
tersebut;
c. Selama mengelola lahan tersebut, masyarakat berkewajiban memelihara dan
menanam tanaman hutan, minimal 10% dari luas lahan yang diolahnya;
dan
d. Selama mengelola lahan tersebut, masyarakat mendapatkan hak memperoleh
bantuan dari pemerintah sesuai dengan program pemerintah daerah.

Pelaksanaan GERHAN di dalam kawasan hutan melibatkan berbagai kelompok.


Kelompok diberi imbal-jasa sesuai dengan pagu anggaran. Imbalan tersebut
sebenarnya bukan upah, tetapi pengganti pendapatan jika mereka bekerja.
Sedangkan dalam pelaksanaan GERHAN di luar kawasan, dilibatkan kelompok-
13 Produksi tanaman karet adalah antara 25 sampai 30 tahun (1 kali masa produksi)
382 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kelompok masyarakat beranggotakan masing-masing 25-30 orang untuk menggarap


100 ha. Pada waktu penanaman di lapangan, berbagai pihak lain selain masyarakat
seperti LSM dan jajaran KODIM setempat juga dilibatkan.

Pada tahap pelaksanaan, dilakukan pembersihan lahan sesuai kondisi lapangan.


Pembuatan lobang tanam dan penanaman dilakukan sesuai dengan ketentuan
teknis yang sudah dirancang pada tahap persiapan. Kegiatan tersebut dilakukan
oleh kelompok masyarakat. Penanaman GERHAN di suatu lokasi dilakukan
serentak oleh unsur pemerintah, LSM, Kodim dan masyarakat setempat;
sedangkan reboisasi (DAK-DR) pada hari penanaman tidak mengikutsertakan
LSM dan KODIM.

Kegiatan selanjutnya adalah pendampingan (pemberdayaan) kelompok


Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Setiap kelompok diberi pengetahuan
tentang pemeliharaan tanaman, monitoring dan evaluasi, serta pelaporan.
Kegiatan pemeliharaan, monitoring, evaluasi serta pelaporan perlu direncanakan
dengan baik. Kalau tidak, yang sudah ditanam tidak akan membuahkan hasil
yang memuaskan.

Jika dikaji dari sisi pelaksanaannya, program ini berperan dalam mendorong
masyarakat termobilisasi dalam kelompok dan berlatih berinteraksi dengan pihak
luar dalam bernegosiasi untuk menentukan hak properti mereka, misalnya dalam
bentuk akses mereka untuk terus mengolah kebun-kebun mereka yang ternyata
terletak dalam kawasan hutan. Idealnya, program tersebut tidak terhenti pada
tahap penanaman saja, tetapi berlanjut di tahap pemeliharaan tanaman dan tahap-
tahap selanjutnya. Dengan demikian, ada peluang bagi masyarakat memastikan
hak properti mereka (dalam kurun waktu yang lebih relatif lebih berjangka
panjang) dalam kaitannya dengan ruang dan tanaman hasil rehabilitasi, misalnya
dalam bentuk akses terhadap ruang diantara tanaman pokok kehutanan yang bisa
mereka tanami dengan tanaman pertanian, atau bagi hasil atas hasil hutan non
kayu di areal rehabilitasi.

PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI SALAH SATU


ALTERNATIF
Sebagai bagian dari proses revisi tata ruang, Pemerintahan Kabupaten Bungo telah
mengusulkan perubahan status sebagian kawasan hutan di wilayah ini menjadi
KBNK atau APL. Selain karena sebagian wilayah kawasan hutan sudah ditanami
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 383

masyarakat setempat, kebutuhan akan sumber dana pembangunan daerah


menjadi alasan perlunya mengubah status kawasan hutan. Dari sebuah lokakarya
di Jambi14, diketahui bahwa angka luasan yang diusulkan perubahan status
dan peruntukkannya oleh pemerintah Kabupaten Bungo adalah sekitar 22.500
ha. Banyak isu dan opini muncul dalam lokakarya tersebut, baik yang sifatnya
mendukung maupun menolak usulan tersebut. Salah satunya adalah perlunya
menerapkan strategi perhutanan sosial dalam bentuk pengelolaan hutan bersama
masyarakat sebagai alternatif solusi tumpang tindih kawasan hutan. Dengan
strategi tersebut, diharapkan ada peran dan manfaat lebih besar bagi pemerintah
daerah dan masyarakat setempat, tanpa harus mengubah status kawasan hutan.

Melalui serangkaian diskusi terfokus, para pihak di Kabupaten Bungo membahas


lebih lanjut peluang-peluang penerapan sistem perhutanan sosial yang sesuai
untuk kondisi hutan dan budaya masyarakat Bungo. Melalui serangkaian diskusi
itu pula, terjadi peningkatan pemahaman para pihak, khususnya pemerintah
daerah, terhadap alternatif solusi tumpang tindih kawasan. Selama ini, sebagian
besar unsur pemerintah daerah hanya melihat perubahan status kawasan hutan
sebagai satu-satunya solusi.

Selain UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, peraturan yang menjadi acuan


pelaksanaan perhutanan sosial adalah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/
Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau
Sekitar Hutan dalam rangka social forestry. Beberapa kegiatan pengembangan
model perhutanan sosial antara lain penyusunan Rencana Teknis Social Forestry
atau RTSF, yang meliputi penyusunan rencana kelola, rencana usaha, kelembagaan
dan rencana monitoring dan evaluasi.

Berdasarkan hasil penelitian, diusulkan agar areal kawasan hutan seluas 10,000
ha yang terletak di Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang dijadikan sebagai
lokasi untuk RTSF. Lokasi ini dipilih karena secara geografis terletak di bagian
hulu sub-DAS Batang Tebo dan berdekatan lokasinya dengan kawasan TNKS.
Masih rendahnya tingkat ekonomi masyarakat di sekitar areal yang diusulkan juga
menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan.

Karena belum tertuang dengan jelas dalam peraturan perundangan, beberapa aspek
lain masih perlu dikaji khususnya menyangkut bentuk hak yang diberikan kepada
pengelola hutan, mekanisme pemberian hak, lama waktu berlakunya hak kelola,

14 Lokakarya dengan tema ”Menata Ruang Daerah dan Kawasan Hutan yang Mendorong Penguatan Hak-hak Properti Masyarakat” diselenggarakan
pada 27 April 2006 di Kota Jambi dan dihadiri berbagai unsur pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat dari tingkat Propinsi Jambi, dan
dua kabupaten tempat penelitian yaitu Tanjung Jabung Barat dan Bungo. Wakil dari Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan juga hadir
dalam lokakarya tersebut
384 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

hak dan kewajiban pemegang


hak, pembagian peran antara
masyarakat setempat, pemerintah
daerah kabupaten/propinsi dan
pihak lain dalam implementasi
hak, aturan dan sanksi.

© Dok. CAPRi
HIKMAH DAN
IMPLIKASINYA BAGI
Interaksi yang intensif antar pihak untuk berbagi KEBIJAKAN
pengalaman dan saling belajar mendorong
tumbuhnya pemahaman untuk melihat suatu
masalah secara lebih bijak dan komprehensif
Masih diperlukan waktu yang
cukup untuk bisa melihat
sejauh mana kebijakan daerah
dan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dalam berbagai bentuknya
secara nyata mendorong efektivitas aksi kolektif dan memperkuat hak properti.
Misalnya, sejauhmana aksi kolektif, baik yang sukarela dari masyarakat sendiri
maupun melalui dana stimulan pemerintah, memberi dampak pada berkurangnya
ketergantungan dan tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan, dan pada
peningkatan pendapatan masyarakat. Beberapa hikmah yang dapat dicatat
antara lain:
a) Sebelum menilai efektivitas sebuah kebijakan dalam mendorong aksi
kolektif di tingkat masyarakat, perlu disimak dulu sejauh mana instansi-
instansi pemerintah mampu beraksi kolektif untuk menyelaraskan program-
programnya. Dalam kasus BUP, misalnya, koordinasi antara Dishubun
dengan instansi lain sangat penting untuk mengefektifkan dampak dari dana
stimulan yang digulirkan kepada kelompok.
b) Keterlibatan para pihak itu sangat penting; dan proses negosiasi dan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah klaim lahan dan hak properti perlu
diprioritaskan. Kebijakan rekonstruksi tatabatas, misalnya, mempertemukan
antara pemerintah dengan masyarakat untuk mempertegas batas suatu
kawasan. Penegasan tersebut tidak akan mencapai sasarannya bila kelompok
masyarakat di sekitar kawasan itu tidak diikutsertakan. Berbagai kesepakatan
dan kesadaran pada kepentingan bersama dihasilkan melalui interaksi
intensif dan musyawarah.
c) Rekonstruksi tatabatas merupakan langkah pertama, sebelum hak properti
dalam bentuk hak kelola, hak kepemilikan dan hak lainnya dapat ditegaskan.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 385

Agar hasil yang diperoleh menguntungkan semua pihak, perlu dibuka ruang
untuk bernegosiasi antara masyarakat dengan pemerintah.
d) Perlunya disusun suatu peraturan daerah yang mengatur sumberdaya alam
(hutan) agar hak-hak masyarakat dapat diperkuat, sehingga keuntungan dari
sumberdaya hutan tidak hanya didominasi oleh pihak tertentu saja. Aturan
mengenai eligibilitas “perseorangan atau koperasi“ untuk memperoleh hak
seperti yang tertuang di banyak peraturan perundangan, misalnya, perlu
dipertegas pada pasal-pasal selanjutnya. Dengan demikian, ada jaminan
bahwa hak tersebut bisa benar-benar sampai pada lembaga, organisasi atau
kelompok masyarakat.
e) Kewenangan dan peran pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya
hutan perlu lebih diperjelas. Hal ini penting selain sejalan dengan upaya
penguatan kapasitas daerah dan masyarakat untuk mengelola sumberdaya
juga memperkuat hak properti bagi otoritas yang paling dekat dengan
sumberdaya hutan. Wewenang pemerintah daerah untuk membuat keputusan
dan mengatur siapa yang berhak dan siapa yang tidak atas sumberdaya hutan
perlu diperkuat.
f) Sejalan dengan program nasional Departemen Kehutanan tentang social
forestry, perlu dicari bentuk-bentuk pengelolaan berbasis masyarakat dengan
strategi perhutanan sosial. Untuk Kabupaten Bungo, bentuk yang paling
sesuai adalah wanatani (agroforestry) dalam bentuk tumpangsari yang
mengkombinasikan antara tanaman perkebunan dengan kehutanan. Bentuk
pengelolaan seperti ini juga sesuai untuk areal hutan yang sudah tidak
berhutan lagi dan yang sudah diokupasi oleh ladang masyarakat, tanpa harus
mengubah status kawasan hutan.
g) Program BUP secara langsung mendorong masyarakat untuk beraksi kolektif.
BUP lebih berperan sebagai dana stimulan dengan efek jangka pendek. Masih
perlu dipantau dan dievaluasi sejauh mana dampaknya terhadap masyarakat
untuk secara sukarela mau bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama. Perlu juga diciptakan suatu kondisi yang mendorong masyarakat
untuk tetap beraksi kolektif sekalipun bantuan pemerintah tidak ada lagi.
Bantuan dana juga seharusnya diberikan kepada kelompok-kelompok
masyarakat yang memang sudah ada, dan bukan pada kelompok yang dibuat
secara mendadak ketika akan ada bantuan. Aspek akuntabilitas juga perlu
mendapat perhatian.
386 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

UCAPAN TERIMA KASIH


Tulisan ini merupakan hasil penelitian “Collective Action to Secure Property Rights
for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance
Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Properti Rights (CAPRi). Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak donor dan semua pihak yang telah memberikan kontribusinya pada
penelitian ini.

BAHAN BACAAN
Agrawal, A. dan Ostrom, E. 2001. Collective Action, Property Rights and
Decentralization in Resource Use in India and Nepal. Politics and Society
29(4). Sage Publications.
Dermawan, A. Komarudin, H dan McGrath, S. 2006. Decentralization in
Indonesia’s Forestry Sector-Is It Over? What Comes Next?. Makalah
disampaikan dalam the Eleventh Biennial Global Conference of the
International Association for the Study of Common Property (IASCP) yang
bertema ‘Survival of the Commons: Mounting Challenges and New Realities’,
Bali, 19–23 Juni, 2006.
Gulliet, D. 1998. “Rethingking Legal Pluralism?”: Local Law and State Law in the
Evolution of Water Property Rights in Northwestern Spain”, Comparative
Studies in Society and History.
Irawan, D., Hasan, U. dan Komarudin, H. 2008. Penataan Ruang untuk Memperkuat
Hak Properti Masyarakat. Dalam: Adnan, H. Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L.,
Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar
dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
Kompas, 2004. Lebih dari Sejuta Hektar Hutan di Provinsi Jambi hilang. Edisi 8
Oktober.
Marshall, G. 1998. A Dictionary of Sociology. Oxford University Press, New York,
USA.
Meinzen-Dick, R., Pradhan, R. dan Di Gregorio, M. 2004a. Collective Action and
Property Rights for Sustainable Development: Understanding Property
Rights. Focus 11, Brief 3 of 16. CAPRi.
BAGIAN 4-5 • Mustafal Hadi, Heru Komarudin dan Monico Schagen 387

Meinzen-Dick, R., Di Gregorio, M. dan McCarthy, N. 2004b. Methods for Studying


Collective Action in Rural Development. Agricultural Systems 82:197–214.
Elsevier.
Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990 – 2000: Dasawarsa
Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Warta Warsi Januari 2005, Jambi,
Indonesia.
Suherman, K . dan Taher, M. 2008. Potret Perubahan Tutupan Hutan di Kabupaten
Bungo tahun 1990–2002. Dalam: Adnan, H. Tadjudin, Dj., Yuliani, E.L.,
Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar
dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR,
Bogor, Indonesia.
KKI-WARSI, ACM-Jambi dan ICRAF. 2005. Usulan Untuk Revisi RTRW-K
Bungo: Penentuan WP I dan WP II Kabupaten Bungo berdasarkan
Gabungan Pendekatan DAS dan Growth Pole, diusulkan dalam
penyusunan RTRW-K Bungo. Muara Bungo, Indonesia.
Wiber, M.G. 1993. Levels of Property Rights and Level of Law: A Case Study from
the Northern Phillippines. Man, New Series 26(3):469-492.
BAGIAN 4-6
Penataan Ruang untuk Memperkuat
Hak Properti Masyarakat

Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin


BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 389

© Dok. CAPRi
Kepastian status lahan dan kawasan hutan menjadi faktor penting dalam upaya melestarikan
hutan, membangun daerah dan mensejahterakan masyarakat. Keterpaduan ruang antar wilayah
dan kerberlanjutan fungsi ekosistem perlu menjadi pertimbangan utama

PENDAHULUAN
Banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lain sebagainya yang kerapkali terjadi
dalam beberapa kurun waktu terakhir semakin menyadarkan kita bahwa
sumberdaya alam harus dikelola secara terencana, rasional, bertanggung jawab
dan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Jika pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat menjadi sasaran yang ingin dicapai, maka dimensi
kelestarian dan keseimbangan lingkungan harus menjadi perhatian serius.
Sumberdaya alam juga harus dikelola agar memberikan manfaat untuk masa
sekarang serta menjamin kehidupan pada masa mendatang.

UU No. 24/19921 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa ruang suatu


daerah perlu dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal
demi mencapai kelangsungan hidup yang berkualitas. Sebagai suatu sistem,
ruang seharusnya dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan efektif dengan
memperhatikan faktor-faktor lingkungan strategis dan daya dukung lingkungan.
Penataan ruang yang mantap sangat penting, terutama karena semakin dinamis dan

1 Saat tulisan ini disusun, UU No. 24/1992 direvisi dengan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yang diterbitkan tanggal 26 April 2007.
Ketentuan tentang sanksi pidana bagi pelanggar penataan ruang dan mekanisme insentif dan disinsentif dalam UU 26/2007 merupakan salah satu
bagian penting yang membedakannya dengan UU pendahulunya.
390 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

intensifnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan ruang oleh berbagai pihak,


yang satu sama lain seringkali tidak sejalan. Tidak harmonisnya pemanfaatan
ruang berpotensi menimbulkan konflik yang tidak mudah diatasi dan menjadi
penghambat laju pembangunan.

Salah satu tantangan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bungo adalah


bagaimana memfungsikan rencana tata ruang sebagai acuan dan media untuk
mengakomodasikan berbagai kepentingan. Salah satu isu sumberdaya alam yang
dihadapi pemerintah daerah saat ini adalah terkait dengan keberadaan kawasan
hutan di wilayah Kabupaten Bungo. Kawasan tersebut menjadi aset nasional
yang harus dipertahankan karena peran pentingnya sebagai penjaga ekosistem.
Namun, terbatasnya lahan-lahan produktif tidak lagi memadai untuk menopang
kehidupan penduduk yang terus bertambah dan sangat menggantungkan mata
pencaharian di bidang pertanian. Hal ini terlihat dari sebagian kawasan hutan
yang sudah tidak tertutup hutan lagi dan sudah menjadi kebun masyarakat2.

Perkembangan daerah yang dinamis sebagai konsekuensi berlakunya otonomi


daerah juga tidak dapat dipungkiri telah mendorong pemerintah daerah untuk
memanfaatkan ruang di wilayahnya dengan tetap memperhatikan asas-asas
kelestarian. Dilemanya, berbagai soal alokasi lahan secara langsung menjadi
permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah daerah, namun kewenangan
atas kawasan hutan ada sepenuhnya pada Departemen Kehutanan.

Tulisan ini menggambarkan proses penyusunan tata ruang dan usul pemerintah
daerah mengenai perubahan status kawasan hutan, dan melihat peluangnya
memperkuat hak-hak properti untuk masyarakat, perusahaan dan pemerintah
daerah (pemerintah pusat). Tulisan ini didasarkan atas penelitian dengan
pendekatan penelitian aksi disertai metode wawancara, diskusi kelompok dan
lokakarya. Peneliti mendorong berlangsungnya proses interaksi antar pihak terkait
dalam proses penataan ruang dan mengikuti siklus refleksi atas proses yang telah
terjadi, menyusun rencana dan melakukan aksi.

BAGAIMANA PROSES TATA RUANG BUNGO


DILAKUKAN?
Kabupaten Bungo, termasuk dalam wilayah Propinsi Jambi, secara administratif
terdiri dari 13 kecamatan. Daerah ini sangat strategis karena merupakan jalur
lintas barat Sumatera yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa.

2 Selengkapnya tentang perubahan tutupan hutan di Kabupaten Bungo dapat dilihat pada Hadi et al., (in prep) dalam buku ini
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 391

Oleh karena itu perkembangan daerah ini sangat pesat, sehingga memerlukan
revisi tata ruang untuk mengakomodasikan kebutuhan pembangunan berbagai
sektor yang memerlukan ruang. Dalam kurun waktu 2000-2006, Pemerintah
Kabupaten Bungo sudah melakukan dua kali revisi Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW).

Revisi pertama dilakukan untuk menjawab pemekaran wilayah Kabupaten


Bungo Tebo menjadi Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. Revisi kedua
dilakukan untuk mengantisipasi dinamika pembangunan daerah, antara lain
untuk memberikan ruang bagi perkebunan dan pertambangan batubara. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari wilayah yang sedang berkembang.

Dulu, wilayah Kecamatan Bathin II hanya berfungsi sebagai hinterland (daerah


pendalaman) bagi Kota Muara Bungo, dan persinggahan antara Kota Muara Bungo
dengan Muara Tebo. Ibu Kota Kecamatan Bathin II (Babeko) sudah menjadi salah
satu pusat pertumbuhan baru. Daerah ini mendapat perhatian yang besar karena
berfungsi sebagai halaman depan bagi Kabupaten Bungo. Di kota kecamatan ini
sudah dibangun beberapa fasilitas perkantoran, pasar lelang karet dan pabrik
kelapa sawit, yang diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan.

Khusus di wilayah Kecamatan Rantau Pandan, Rencana Umum Tata Ruang


(RUTR) juga telah disusun pada 2001. Kecamatan ini memiliki potensi sumberdaya
alam yang sangat kaya seperti mineral, hutan, lahan pertanian dan perkebunan.
Terdapat pula beberapa lokasi transmigrasi. Proses penyusunan rencana tata ruang
Kecamatan Rantau Pandan dilaksanakan bekerja sama dengan konsultan. Dalam
penyusunannya, data hasil survei dipadukan dengan data sekunder. Pemerintah
daerah membentuk sebuah tim teknis yang beranggotakan staf instansi terkait.
Pada setiap tahap laporan, selalu dilakukan diskusi antara tim penyusun dengan
tim teknis. Pada tahapan akhir, dilaksanakan seminar dengan mengundang para
pihak, termasuk masyarakat Kecamatan Rantau Pandan.

Salah satu permasalahan yang timbul adalah semakin banyak investor yang
membutuhkan lahan dalam skala luas untuk kegiatan usahanya, sementara
sebagian besar lahan yang dibutuhkan tersebut merupakan perkebunan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Bungo melakukan peninjauan
kembali terhadap RTRW Kabupaten Bungo sebagai bentuk intervensi terhadap
pemanfaatan ruang oleh berbagai sektor dan aktor pembangunan.
392 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

PROSES PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG


Penyusunan rencana tata ruang merupakan salah satu tugas Bappeda Kabupaten
Bungo, namun karena keterbatasan sumberdaya manusia yang memiliki keahlian
dan latar belakang pendidikan planologi, maka penyusunan RTRW tersebut
bekerjasama dengan pihak ketiga (konsultan). Meskipun demikian, proses
penyusunannya melibatkan parapihak seperti pemerintah desa, kecamatan, sektor
terkait, LSM, tokoh masyarakat dan anggota DPRD. Dalam hal ini pemerintah
daerah bertindak sebagai penentu kebijakan, sementara DPRD menjadi pihak
yang melegalisasi dalam bentuk Perda.

Sebagai kegiatan yang dibiayai APBD, proses penyusunan RTRW harus diselesaikan
dalam waktu satu tahun anggaran. Terbatasnya waktu tersebut menjadi kendala
dalam mengakomodasikan aspirasi dari para-pihak. Untuk mengatasinya, maka
dalam setiap tahapan selalu diadakan diskusi teknis, baik di tingkat kabupaten
maupun kecamatan yang bersangkutan. Diskusi dengan berbagai komponen
masyarakat lainnya seperti LSM juga dilakukan untuk melengkapi data dan mencari
masukan untuk revisi RTRW. Pada tahap akhir, dilaksanakan seminar dengan
mengundang berbagai pihak guna memberikan koreksi terakhir terhadap data
yang dimuat RTRW. Dinas Kehutanan, misalnya, memberikan koreksi terhadap
angka luasan kawasan hutan dan fungsinya. Dinas Pertanian menyampaikan data
tentang luas lahan sawah, palawija, tanaman hortikultura dan populasi ternak.

Dalam struktur pemerintahan daerah, tugas beberapa instansi berkaitan langsung


dengan tata ruang, seperti Bappeda, Bagian Pemerintahan, Dinas Perkotaan
dan Badan Pertanahan Nasional. Instansi-instansi tersebut tergabung dalam
sebuah tim, yakni Tim Koordinasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang, yang saat
ini sedang diaktifkan lagi oleh pemerintah daerah setelah beberapa lama tidak
berjalan. Keberadaan tim ini sangat penting dalam memberikan pertimbangan
dan masukan terhadap pengendalian pemanfaatan ruang, misalnya dalam proses
pembahasan ijin lokasi.

Sebetulnya masing-masing desa (dusun) telah memiliki konsep penataan ruang


yang dijadikan pedoman oleh masyarakatnya. Desa (dusun) telah mengalokasikan
ruang wilayahnya untuk perumahan, lahan pertanian, perkebunan dan
kegiatan-kegiatan lainnya seperti lapangan dan lain-lain. Idealnya, konsep itu
diakomodasikan untuk penyempurnaan RTRW Kabupaten3.

3 Yang menarik dari hasil pengamatan adalah bahwa di salah satu desa di Kabupaten Bungo, yakni Desa Batu Kerbau, tata ruang berupa “hutan adat”
telah diakomodir dalam RTRW Kabupaten Bungo. Munculnya hutan adat dalam peta hasil revisi ini merupakan salah satu strategi pemerintah daerah
untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap pelestarian lingkungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 393

HAK PROPERTI: MENGAPA PERLU DIPERKUAT?


Sebuah referensi yang agak tua memberikan pemahaman soal hak properti sebagai
sebuah kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam situasi tertentu
(Commons, 1968). Meinzen-Dick et al., (2004) menyebut hak properti sebagai
kumpulan hak dan bukan terbatas secara sempit sebagai hak kepemilikan saja, tetapi
juga hak pemanfaatan, hak untuk mengendalikan dan mengambil keputusan terkait
dengan sumberdaya. Mengapa hak properti perlu diperkuat? Kepastian hak atas
tanah dan akses terhadap sumberdaya hutan merupakan insentif untuk mengelola
hutan secara lestari dan menjaga keseimbangan lingkungan (Meinzen-Dick et al.,
2001; Agrawal dan Ostrom, 2001). Dengan hak yang diakui, masyarakat setempat
(secara lebih luas juga berlaku untuk para pihak lain, seperti perusahaan) akan
memperoleh kepastian hukum dan insentif untuk melindungi hutan dan sekaligus
meningkatkan pendapatannya dari usaha perkebunan (kehutanan) dari lahan yang
mempunyai status hukum yang pasti. Sekalipun demikian, seperti ditunjukkan
sebuah penelitian di Lampung (Safitri, 2006), kepastian tenurial bukan satu-
satunya faktor yang menentukan keputusan masyarakat untuk melestarikan hutan.
Faktor politik, sosial, ekonomi, ekologi dan hukum turut memberi pengaruh.

Terlepas dari bentuknya, apakah hak milik, hak pemanfaatan dan hak lainnya,
hak properti atas sumberdaya alam tertentu dipandang kuat jika ada kejelasan
hubungan antara pemegang hak dengan pihak lain di sekitarnya serta dengan
institusi yang mempunyai kewenangan untuk memberikan hak tersebut. Kendali
atas sumberdaya alam tersebut harus diakui dan mendapat legitimasi dari
masyarakat secara luas dan dilindungi secara hukum. Hak properti juga dianggap
kuat jika ada aturan main yang ditaati bersama, yang disertai dengan mekanisme
sanksi atas pelanggaran yang terjadi.

MEMPERKUAT HAK PROPERTI MASYARAKAT


MELALUI PENATAAN RUANG
Penataan ruang adalah proses menata dan mengatur pemanfaatan ruang serta
mengendalikan kegiatan pemanfaatannya. Di dalamnya terkandung aspek
teknis dan politis. Aspek-aspek teknis berupa arahan umum yang disertai rincian
pemanfaatan ruang. Proses tata ruang juga melibatkan proses negosiasi antar
berbagai pihak dengan beragam kepentingan. Jika dilihat dari sifat makro dokumen
yang dihasilkan dan rendahnya tingkat keterlibatan para pihak, pertanyaan yang
timbul adalah sejauh mana proses penataan ruang dapat mendorong penguatan
hak-hak properti masyarakat?
394 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Pengakuan Hak Kelola Masyarakat dalam Dokumen Tata


Ruang Wilayah
Dalam proses revisi yang terakhir (2005), Pemerintah Daerah Bungo telah
memasukkan kawasan hutan adat, yakni hutan adat Desa Batu Kerbau dan Desa
Baru Pelepat, ke dalam dokumen revisi tata ruang. Hutan adat yang sebagian
terletak di dalam kawasan hutan dan sebagian lagi di luar kawasan hutan tersebut,
dikelola, dimanfaatkan dan dilestarikan oleh masyarakat. Dokumen tata ruang
akan menjadi acuan untuk pemanfaatan ruang di masa mendatang. Dengan
memasukkan zonasi tersebut ke dalam dokumen rencana dan pengakuan dari
berbagai pihak setidaknya akan memberi kepastian jangka panjang bahwa kawasan
tersebut akan terjaga keberadaannya.

Mengakomodasikan Tata Ruang Desa Partisipatif


Idealnya, sebuah ruang ditata dari tingkat mikro desa secara partisipatif. Namun,
tidak mudah untuk mengakomodasikan proses tata ruang partisipatif itu. Ada
alasan perlunya mempertahankan keterpaduan wilayah dan subsistem, kepraktisan,
kemampuan dan ketersediaan data dan peta. Selain itu, lingkup dan skala waktu
perencanaan yang sangat kaku juga menghambat proses dari bawah. Sebagai
ilustrasi, dengan wilayah desa yang berjumlah 125 desa, Pemerintah Kabupaten
Bungo akan perlu waktu yang sangat lama untuk menyusun tata ruang Kabupaten
Bungo. Dari sisi peraturan, ternyata UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
juga tidak menyebut tata ruang desa sebagai bagian dari hierarki rencana tata
ruang.

UU tersebut hanya mengenal pedesaan sebagai kawasan dengan kegiatan utama


pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Bahkan di pasal 19 hanya membedakan
tiga rencana tata ruang, yakni nasional, propinsi dan kabupaten, sekalipun
isi dari kedua tata ruang terakhir menyangkut arahan pengelolaan kawasan
pedesaan. Padahal seperti ditunjukkan Kusumanto (2004) dan Limberg et
al. (2006), keberhasilan pembangunan kabupaten sangat ditentukan oleh
keberhasilan pembangunan desa-desanya. Masukan dari tata ruang desa sangat
berarti bagi terbentuknya tata ruang kabupaten. Informasi tentang pemanfaatan
lahan, potensi sumberdaya dan target pembangunan yang lebih rinci dan tepat
berasal dari skala ruang yang lebih kecil yaitu desa.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 395

Banyak tantangan yang dihadapi ketika tata ruang desa diharapkan bisa menjadi
masukan bagi tata ruang kabupaten. Berdasarkan pengalaman di Kabupaten
Malinau; kurangnya data, peta dan kemampuan pemerintah daerah serta sulitnya
mengaitkan skala tingkat desa ke tingkat kabupaten menjadi kendala penyusunan
tata ruang yang baik (Limberg et al., 2006). Tata ruang kabupaten merupakan arahan
yang bersifat makro, sementara tata ruang desa menyangkut hal-hal penggunaan
lahan yang sangat rinci dengan skala yang besar. Dalam sebuah lokakarya4 di Jambi,
terungkap argumen bahwa tata ruang desa tidak bisa dijadikan sebagai penopang
tata ruang di atasnya karena wilayah merupakan suatu ekosistem yang seharusnya
tidak dipecah-pecah dalam unit-unit yang lebih kecil. Pengaturan ruang terkait
dengan keutuhan sistem, dan pengelolaan satu subsistem akan berpengaruh pada
subsistem yang lainnya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang
secara keseluruhan.

Terlepas dari alasan-alasan tersebut, ada peluang bahwa penataan ruang kabupaten
dan desa bisa diselaraskan. Tentu saja perlu waktu dan proses, dan seperti yang
ditunjukkan Kusumanto (2004), lemahnya kemampuan masyarakat desa dan
pemerintah daerah di dalam merancang dan menyusun rencana pemanfaatan
ruang dan pengendaliannya perlu mendapat perhatian.

Unsur-unsur tata ruang desa diharapkan dapat menjadi masukan berharga bagi
tata ruang kabupaten. Pola-pola penggunaan lahan masyarakat dalam tata ruang
desa dengan sendirinya akan menjadi kuat kedudukannya dan dapat terjamin
kepastian hukumnya dalam jangka panjang, jika masuk dalam dokumen rencana
tata ruang kabupaten.

Menjadikan Hutan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL)


Bertambahnya jumlah penduduk yang diiringi dengan meningkatnya kebutuhan
lahan menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam
membangun daerahnya. Lahan budidaya pertanian yang semakin tidak mencukupi
mendorong masyarakat untuk membuka kawasan hutan produksi. Sebuah survei
kawasan hutan yang dilakukan di Kecamatan Tanah Tumbuh pada 2004, misalnya,
menunjukkan bahwa 1.330 ha dari luasan 6.000 ha hutan sudah berupa ladang
dan kebun masyarakat termasuk kebun sawit.

Dilema kemudian muncul ketika masyarakat menuntut untuk memperoleh


kepastian hak atas kebun yang berada di kawasan hutan. Secara formal

4 Lokakarya tentang “Menata Ruang Daerah dan Kawasan Hutan yang Mendorong Penguatan Hak-hak Properti Masyarakat: Studi Kasus di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat dan Bungo, Provinsi Jambi” 27 April 2006, diselenggarakan oleh CIFOR/CAPRI dan Bappeda Provinsi Jambi.
396 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kewenangan pemanfaatan kawasan hutan berada di Departemen Kehutanan,


yang memiliki pemahaman bahwa kawasan hutan produksi perlu dipertahankan
fungsinya. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bungo adalah
mengajukan perubahan status kawasan hutan yang dipandang cukup potensial
dijadikan kawasan budidaya kepada Menteri Kehutanan melalui Gubernur Jambi.
Usulan tersebut juga dimasukkan ke dalam RTRW Propinsi Jambi.

Pada Agustus 2004, Pemerintah Daerah Bungo awalnya mengajukan permohonan


perubahan status 6.000 ha kawasan hutan. Karena tidak ada tanggapan dari
Departemen Kehutanan terhadap permohonan pertama, pemerintah kabupaten
kemudian mengajukan kembali usulan rencana perubahan RTRW pada Februari
2005. Sesuai dengan perkembangan, luasan kawasan hutan yang diusulkan
perubahan statusnya menjadi bertambah. Tabel 32 menyajikan data mengenai
lokasi, luas dan kondisi lapangan kawasan yang diusulkan perubahan statusnya.
Pemerintah daerah memasukkan rincian dan angka luasan yang sama ke dalam
Rencana Tata Ruang Revisi 2005 yang diajukan kepada pemerintah propinsi.

Sebagai bagian dari siklus penelitian aksi partisipatif, isu tata ruang dibahas secara
berulang-ulang melalui rangkaian diskusi kelompok dan pertemuan informal
Bungo5. Salah satu hasil refleksinya adalah masih belum adanya pemahaman yang
utuh di kalangan pemerintah daerah soal mekanisme persetujuan perubahan
status dan fungsi kawasan hutan. Hal ini mengakibatkan munculnya sikap
yang mempertanyakan lambatnya Departemen Kehutanan dalam menanggapi
usulan perubahan tersebut. Hasil lainnya adalah adanya kesepakatan untuk
mempertemukan pihak pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten,
dengan pihak Departemen Kehutanan.

Sebagai bagian dari aksi penelitian, diselenggarakan sebuah lokakarya6 yang


mempertemukan para-pihak. Dari lokakarya tersebut terungkap alasan-alasan
pemerintah daerah mengusulkan perubahan status kawasan hutan. Antara
lain adalah tentang perlunya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
memberikan hak tenurial kepemilikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat
dapat mempunyai modal yang legal atas sumberdaya; kondisi kawasan hutan
yang tidak lagi berhutan berdasarkan kriteria penetapan suatu kawasan yang
sebenarnya berpotensi untuk dikembangkan secara lebih produktif dengan bentuk
penggunaan lain seperti kebun, dan perlunya lahan untuk pembangunan daerah.

5 Sebuah pertemuan multipihak yang secara rutin diselenggarakan di Kabupaten Bungo, dan difasilitasi secara bergantian oleh pemerintah daerah,
LSM dan lembaga penelitian di Kabupaten Bungo. Topik yang dibahas dalam setiap pertemuan berganti-ganti dan tidak terbatas pada isu tata ru-
ang.
6 Lihat catatan kaki No. 4.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 397

Tabel 32. Usulan perubahan status kawasan di Kabupaten Bungo dalam revisi tata ruang
tahun 2005

Lokasi Luas Status sekarang Usulan Kondisi


(ha) perubahan
Batang Uleh 1.330 Kawasan Hutan Kawasan Ladang, kebun karet
Produksi Budidaya masyarakat, kebun
Pertanian kelapa sawit
Batang Uleh 12.200 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan
Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Lain (APL) yang berada di antara
perkebunan swasta

Batang Uleh 5.500 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan


(Desa Pauh Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Agung dan Lain (APL) yang berada di antara
Tuo Lubuk perkebunan swasta
Mengkuang)
Batang Uleh 3.000 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan
(Desa Renah Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Sungai Ipuh dan Lain (APL) yang berada di antara
Rantau Tipu) perkebunan swasta
Kemarau 1.850 Kawasan Hutan Areal Kebun karet dan
Produksi Penggunaan ladang masyarakat
Lain (APL) yang berada di antara
perkebunan swasta
Kecamatan 1.400 Areal Penggunaan Kawasan Hutan Kebun karet dan
Rantau Pandan Lain (APL) Produksi ladang masyarakat
yang berada di antara
perkebunan swasta
Merangin 10.000 Kawasan Hutan Hutan Lindung Kebun karet dan
Produksi ladang masyarakat
yang berada di antara
perkebunan swasta
Total 35.280

Di sisi lain, pihak Departemen Kehutanan menyatakan bahwa penyusunan review


tata ruang seharusnya mengakomodasikan aset-aset negara berupa kawasan
hutan yang telah ditunjuk, ditata-batas dan dinyatakan sebagai kawasan hutan7.
Kawasan yang ditata-ruang adalah kawasan yang secara sistem terkait satu sama

7 Dalam kaitan ini, Menteri Kehutanan menyampaikan surat kepada Gubernur, dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia Nomor 238/Menhut-VII/2003
tertanggal 21 April 2003
398 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

lain dan tercakup dalam suatu ekosistem. Dengan demikian, pemanfaatan ruang
dengan hanya memfokuskan pada suatu wilayah saja, misalnya, dapat mengancam
kelestarian ekosistem. UU No. 41/19998 menyebutkan dengan jelas tentang
perlunya hasil penelitian terpadu menjadi dasar penentuan perubahan peruntukan
dan fungsi kawasan hutan9.

Topik lain yang muncul adalah usulan perubahan status kawasan seharusnya
tidak hanya didasarkan pada pertimbangan sebuah kawasan sudah tidak berhutan
lagi atau sudah diokupasi oleh masyarakat. Desakan kebutuhan akan lahan yang
menjadi alasan pengusulan juga terkait dengan pola pemanfaatan lahan. Ada
kekhawatiran bahwa sumberdaya hutan akan habis karena pola penggunaan
lahan cenderung bersifat ekstensif, yakni masyarakat membuka lahan baru ketika
lahan yang tersedia sudah tidak lagi memadai. Sementara, masih banyak lahan
tidur yang belum dimanfaatkan.

Keinginan pemerintah daerah untuk mendapatkan persetujuan perubahan status


kawasan hutan tampaknya memang tidak mudah terkabul dan membutuhkan
waktu yang cukup lama. Jika dilihat dari mekanismenya, terdapat berbagai
persyaratan agar sebuah kawasan hutan produksi bisa diubah statusnya menjadi
bukan kawasan hutan. SK Menteri No. 70/200110 antara lain menyebutkan
syarat yang harus dipenuhi, yakni adanya kepentingan strategis, dampak negatif
lingkungan dan keutuhan kawasan sebagai satu unit pengelolaan. Persetujuan
dari DPR diperlukan jika perubahan kawasan mempunyai dampak penting,
mempunyai cakupan yang luas dan bernilai strategis. Sebuah penelitian terpadu
diperlukan untuk menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak menimbulkan
dampak negatif.

Perubahan status kawasan hutan dilakukan dengan cara pelepasan kawasan Hutan
Produksi yang dapat dikonversi (HPK) atau Kawasan Budidaya Non-Kehutanan
(KBNK) untuk daerah-daerah yang memang mempunyai areal HPK, dan dengan
cara tukar menukar kawasan hutan. Sebuah tanah pengganti dengan luasan yang
sama (rasio 1:1) harus disediakan jika kawasan hutan yang diubah statusnya akan
digunakan untuk kepentingan umum terbatas. Luasan yang lebih besar perlu
disediakan jika kawasan hutan diperuntukkan pembangunan proyek strategis
yang diprioritaskan pemerintah (1:2) dan untuk kepentingan komersial (1:3).

8 Pasal 19 Ayat 1
9 Sesuai ketentuan, Menteri Kehutanan akan mengambil keputusan dilepas atau tidaknya status kawasan hutan setelah menerima rekomendasi dari
tim terpadu yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi dan pihak lainnya. Sekalipun pengajuan usulan perubahan sudah melibatkan berba-
gai pihak, yang hasilnya seharusnya sudah bisa menjadi landasan pengambilan keputusan oleh Menteri Kehutanan, tetapi tampaknya kajian dari tim
terpadu tetap harus dilakukan untuk melihat dampak ekonomi, ekologi dan sosial secara lebih komprehensif.
10 SK Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan (ditetapkan tanggal
15 Maret 2001). Khususnya untuk Pasal 8, 12, 13, 16 dan 18 dari SK sudah mengalami penyempurnaan melalui SK Menteri Kehutanan No. 48/
Menhut-II/2004 yang ditetapkan tanggal 23 Januari 2004
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 399

Pertanyaannya adalah diperuntukkan untuk apakah kawasan hutan di Kabupaten


Bungo yang diusulkan perubahan statusnya, dan bagaimana perubahan luasan
kawasan hutan yang tertuang dalam Tabel 32 di atas dapat menjawab soal rasio?
Adakah areal pengganti di tempat lain?

Dari sisi peruntukan, cukup menarik untuk melihat lebih jauh ke arah mana
kawasan hutan yang diusulkan akan dimanfaatkan. Dari dokumen revisi rencana
tata ruang terakhir, belum tampak jelas arahan pemanfaatannya. Dari dua surat
usulan perubahan yang disampaikan kepada Gubernur untuk diteruskan kepada
Menteri Kehutanan juga kurang terlihat arah pemanfaatannya kelak, apakah
untuk kepentingan pembangunan yang strategis, kepentingan komersial atau
untuk memperkuat hak-hak properti masyarakat. Jika kondisinya saat ini berupa
ladang atau kebun masyarakat, maka kemungkinan besar kawasan hutan tersebut
-jika permohonan disetujui- tersebut akan lebih layak untuk memperkuat hak-
hak properti masyarakat.

Kecenderungan pemanfaatan kawasan akan berbeda untuk kondisi yang lain,


misalnya untuk areal seluas 12.200 ha di Batang Uleh (lihat Tabel 32) dengan
kondisi lapangan berupa kebun karet dan ladang masyarakat yang terletak
di antara perkebunan swasta. Kebijakan dari pemerintah daerah di dalam
menentukan prioritas pembangunan daerah akan sangat menentukan apakah
proses yang dilalui melalui revisi tata ruang tersebut mendorong penguatan hak
properti atau tidak. Hal yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut adalah sejauh
mana peraturan perundangan yang berlaku mendukung upaya memperkuat hak-
hak properti atas lahan bagi masyarakat. Dari beberapa SK Menteri terkait soal
pelepasan kawasan hutan, tidak dikenal istilah hak properti atau pemantapan atas
hak tenurial atau kelola masyarakat. Dalam SK Menteri tersebut hanya disebutkan
bawah kawasan hutan dapat diubah statusnya untuk “pembangunan kepentingan
umum terbatas oleh pemerintah” yang pengertiannya adalah untuk kepentingan
dan kebutuhan masyarakat atas jalan umum, saluran air, waduk, bendungan dan
bangunan pengairan lainnya, fasilitas pemakaman umum, fasilitas keselamatan
umum, yang tujuan penggunaannya tidak untuk mencari keuntungan. Tidak ada
penjelasan rinci, apakah ladang dan kebun yang justru lebih banyak menempati
kawasan hutan dapat masuk ke dalam kategori ini.

Pertanyaan yang mungkin perlu diajukan adalah apakah sebenarnya yang


dibutuhkan masyarakat atas lahan? Apakah yang dituntut masyarakat atas
kawasan hutan tersebut adalah hak kepemilikan atau hak kelola? Berdasarkan
hasil penelitian di Desa Sungai Telang, Kecamatan Rantau Pandan, jawaban
terhadap pertanyaan tersebut cukup beragam, tergantung pada status lahan
400 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

mereka. Sebagian dari masyarakat yang memiliki lahan di luar kawasan hutan
cenderung memilih hak kepemilikan atas lahan, dan saat ini mereka dalam proses
fasilitasi dan sedang berupaya memperoleh sertifikasi atas lahan mereka (melalui
PRONA). Sebagian masyarakat lain yang tidak mempunyai lahan dengan status
yang pasti, seperti lahan di atas kawasan hutan atau di lahan desa yang bukan
miliknya, maka seringkali tertangkap ungkapan masyarakat seperti ”...kami perlu
kepastian atas akses kami untuk mengambil hasil alam dan untuk mengelola lahan untuk
kehidupan kami saat ini dan masa mendatang”. Hak kepemilikan atas lahan tentu saja
mereka dambakan, mengingat mereka butuh modal yang pasti bagi penghidupan
mereka dan sekali-kali untuk menjaminkan sertifikat lahannya ketika mereka
meminjam uang ke bank. Namun, tampaknya secara rasional masyarakat lebih
perlu hak kelola dan pemanfaatan atas lahan di kawasan hutan. Berbeda dengan
masyarakat asli, masyarakat pendatang di sebagian wilayah Desa Lubuk Kambing
di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, contohnya, yang berladang di atas kawasan
hutan juga cenderung pasrah untuk memilih hak kelola. Keterkaitan yang tidak
terlalu kuat antara mereka dengan lahan yang saat ini menjadi areal kerja sebuah
perusahaan kehutanan skala besar menjadi salah satu alasannya.

Satu kasus yang terjadi di Lampung, dimana masyarakat justru memperjualbelikan


lahan yang dimilikinya, seringkali dijadikan contoh oleh sebagian pihak yang
kurang setuju dengan pemberian hak kepemilikan lahan. Usulan perubahan status
kawasan hutan yang disertai pemberian hak kepemilikan kepada masyarakat
dengan maksud mensejahterakan kehidupan mereka menjadi alasan yang kurang
berdasar.

PENYELESAIAN KASUS PER KASUS DAN SOLUSI


ALTERNATIF
Pada era otonomi daerah ini, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri
dan kreatif di dalam menyusun sebuah kebijakan tentang ruang, dengan tetap
memperhatikan keseimbangan lingkungan. Menyusun tata ruang ideal yang dapat
mengakomodasikan berbagai kepentingan menghadapi tantangan yang tidak
mudah. Proses usulan perubahan status kawasan hutan tampaknya perlu terus
didorong. Para pihak seperti pemerintah daerah, DPRD, pemerintah propinsi
dan Departemen Kehutanan perlu terus membangun pemahaman bersama soal
pentingnya memanfaatkan secara optimal lahan bagi pembangunan daerah di era
otonomi dan mengambil aksi nyata di lapangan.
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 401

Melihat keberagaman kepentingan berbagai pihak, tampaknya kita perlu segera


mengubah pendekatan yang selama ini dianut. Selama ini, interaksi antar pihak
yang cukup intensif telah melahirkan banyak pembelajaran yang bisa mendorong
percepatan penyelesaian kasus-kasus tumpang tindih lahan di kawasan hutan.
Mekanisme pengeluaran ijin perubahan kawasan yang awalnya dipahami sangat
rumit dan tertutup oleh pihak pemerintah daerah, misalnya, sekarang sudah
dipahami secara lebih baik.

Tampaknya setiap usulan perubahan status kawasan hutan perlu dikaji secara
kasus per kasus. Pandangan yang selalu menolak perubahan status kawasan hutan
tanpa melihat secara obyektif kondisi lapangan perlu dihindarkan. Hal yang sama
juga berlaku bagi pandangan yang cenderung melihat keberadaan kawasan hutan
sebagai cermin dominasi kekuasaan pemerintah pusat.

Proses dialog untuk menentukan suatu areal dapat dikeluarkan dari kawasan hutan
atau tidak, ternyata memang perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit. Keharusan
untuk mengkaji kasus melalui penelitian terpadu, seperti yang disyaratkan dalam
aturan, menjadikan kasus tidak cukup diselesaikan di atas meja. Para pihak
perlu melihat secara langsung di lapangan. Jika memang semua pihak sudah
berkomitmen, maka permasalahan teknis dan dana menjadi sesuatu yang harus
diselesaikan bersama-sama.

Mengingat banyaknya areal kawasan hutan yang diusulkan diubah statusnya,


ada baiknya tawaran solusi alternatif melalui penerapan sistem perhutanan sosial
dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi bagian dari proses dialog.
Dengan kejelasan hak-hak properti dan peran bagi semua pihak (pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan masyarakat setempat), HKm menjadi solusi
alternatif yang menguntungkan semua pihak, tanpa harus mengubah status.
Sikap pemerintah daerah untuk menerima kehadiran HKm di wilayahnya dapat
menjadi bahan pertimbangan diterimanya sebagian usulan perubahan kawasan
hutan, sekalipun tetap hasil dari penelitian terpadu yang mempertimbangkan
aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

PEMBELAJARAN: SUDAH MULAI SATU LANGKAH


BERSAMA
Salah satu hikmah yang dapat diambil dari proses penataan ruang di Kabupaten
Bungo adalah adanya peluang untuk mendorong penguatan hak-hak properti atas
sumberdaya alam dan lahan bagi masyarakat. Peluang tersebut semakin terbuka
402 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dan berpotensi membuahkan hasil yang lebih besar jika publik dilibatkan dalam
prosesnya. Melalui rangkaian diskusi yang difasilitasi baik oleh pemerintah daerah
sendiri maupun pihak lain (LSM, lembaga penelitian), setidaknya ada pemahaman
yang meningkat soal opsi-opsi alternatif pemecahan masalah pemanfaatan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan dalam RTRW. Satu langkah bersama
sudah diambil dan pemahaman yang semakin baik sudah muncul di antara para
pihak tentang pentingnya sebuah isu dihadapi secara bersama dan pentingnya
mengedepankan sebuah proses dari pada output.

Sebagai mekanisme yang baku, konsultan sebagai tenaga ahli teknis masih
cukup memegang peranan penting dalam proses penentuan arah pemanfaatan
ruang di Kabupaten Bungo. Meskipun demikian, sebuah dokumen rencana
yang akan dijadikan acuan tidaklah cukup dengan muatan teknis saja. Sebuah
proses negosiasi, kesepahaman dan kesepakatan antar pihak juga harus dibangun.
Dengan melalui pelibatan masyarakat secara lebih luas dan intensif diharapkan
dapat memberikan warna yang berbeda terhadap penataan ruang Bungo di masa
mendatang.

UCAPAN TERIMA KASIH


Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian “Collective Action to Secure Property
Rights for the Poor: Avoiding Elite Capture of Natural Resource Benefits and Governance
Systems” kerjasama antara CIFOR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo.
Penelitian didanai oleh BMZ, the Federal Ministry for Economic Cooperation and
Development, Germany, yang disalurkan melalui CGIAR System-wide Program on
Collective Action and Properti Rights (CAPRi). Penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak donor dan semua pihak yang telah memberikan kontribusinya pada
penelitian ini. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Hendra Gunawan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen
Kehutanan yang telah membantu mereview tulisan ini.

BAHAN BACAAN
Agrawal, A. dan Ostrom, E., 2001. Collective Action, Property Rights, and
Decentralization in Resource Use in India and Nepal. Politics & Society
29(4):485-514. Sage Publications
BAGIAN 4-6 • Deddy Irawan, Umar Hasan dan Heru Komarudin 403

Commons, J. R. 1968. Legal Foundations of Capitalism, Madison, University of


Wisconsin Press.
Kusumanto, T. 2004. Apabila Penataan Ruang Dijadikan Cara untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan dalam Rangka
Otonomi Desa. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Peluang Tata
Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Otonomi Desa, Kecamatan Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi, Muara
Bungo, Indonesia.
Limberg, G. Iwan, R., Wollenberg, E. dan Moeliono, M. 2006. Bagaimana
Masyarakat Dapat Dilibatkan dalam Perencanaan Tata Ruang
Kabupaten? Governance Brief No. 16b. CIFOR.
Meinzen-Dick, R., Knox, A. dan Di Gregorio, M. (ed). 2001. Collective Action,
Property Rights and Devolution of Natural Resource Management:
Exchange of Knowledge and Implications for Policy. Deutsche Stiftung
fur internationale Entwicklung (DSE), Feldafing, Jerman.
Meinzen-Dick, R. Pradhan, R. dan Di Gregorio, M. 2004. Collective Action and
Property Rights for Sustainable Development: Understanding Property
Rights. Focus 11, Brief 3 of 16. CAPRi.
Safitri, M.A. 2006. Mampukah Kepastian Tenurial Mendorong Pelestarian
Hutan? Hutan Kemasyarakatan di Lampung dalam Perspektif Sosio-
Legal. Makalah disampaikan pada seminar internal di CIFOR, Bogor,
3 February.
BAGIAN 4-7
Jalan Menikung:
Proses Multipihak dalam Pengakuan Hutan Adat

Pariyanto
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 405

PENDAHULUAN
Gerakan reformasi memberikan dampak lain bagi masyarakat di sekitar hutan.
Seperti banyak tempat di Indonesia, pada saat itu banyak masyarakat yang
pekerjaannya beralih dari bertani atau berkebun, ke usaha pembalakan kayu.
Begitu pula dengan masyarakat Desa Baru Pelepat yang berada di daerah
penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Desa seluas 7.265 ha, sekitar 5.970
ha masih berupa hutan1. Pada masa itu, bisa dikatakan sebagian besar kaum lelaki
beralih profesi menjadi pembalak.

Ada banyak sebab peralihan ini. Pembukaan lahan transmigrasi di kebun karet
tua pada 1997 memicu hilangnya mata pencaharian penduduk yang sebelumnya
dikenal sebagai petani karet. Selain itu, kondisi ini juga dipicu oleh keuntungan
menjual kayu yang cukup menjanjikan2. Hal lainnya adalah karena masyarakat
merasa bahwa selama ini mereka tidak bisa menikmati hasil dari hutan. Pak
Abdurrahman (mantan kades) bahkan menyebutkan pada masa akhir 1980-an,
masyarakat takut ke hutan, karena hutan ada penjaganya yang bersenjata.

Di Desa Baru Pelepat, sedikitnya ada empat perusahaan yang pernah beroperasi di
wilayah ini. Tahun 1975 PT. Mugitriman mulai beroperasi, kemudian PT. Rimba
Karya Indah dan PT. Gajah Mada tahun 1980, menyusul kemudian tahun 1999
PT. Lamusa sebagai kontraktor Inhutani V. Kegiatan penebangan kayu besar-
besaran oleh perusahaan-perusahaan HPH ini telah mengubah hutan-hutan
perawan menjadi hutan sekunder atau bekas tebangan HPH. Hutan perawan
kini tinggal berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau karena kemiringan
tanahnya, daerah-daerah perbukitan. Dampak negatif terbesar adalah bagi
kehidupan kelompok-kelompok Orang Rimba yang mempunyai ketergantungan
tinggi terhadap sumberdaya hutan (sumberdaya hutan non-kayu).

Sumberdaya hutan di lokasi ini tak ubahnya bersifat open access, meski berdasarkan
adat setempat sumberdaya alam wilayah ini adalah milik adat (salah satu bentuk
common property) masyarakat setempat.

Seiring dengan maraknya perusahaan HPH yang masuk, merebak pula pembalakan
liar yang dilakukan oleh masyarakat baik dari dalam maupun dari luar desa. Tak
mengherankan jika di sekitar wilayah ini mulai bermunculan pos-pos penggergajian
kayu atau sawmill, karena dekat dengan lokasi bahan baku.

1 Data sekunder dan hasil survei lapangan (Tim ICDP-TNKS, 2000), dan ditambah hutan adat.
2 Wawancara dengan Malek, seorang masyarakat desa yang dahulu pernah melakukan pengambilan kayu, menyebutkan bahwa satu truk kayu bisa
menghasilkan satu juta rupiah. Jumlah ini jauh bila dibanding berkebun yang cuma menghasilkan 80 ribu rupiah/ha.
406 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Emas hijau itu tak lama dirasakan, seiring mulai habisnya kayu di sekitar desa juga
dengan dikeluarkannya Inpres No.4/2005 tentang percepatan Pemberantasan
Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah
Indonesia. Beberapa sawmill di sekitar desa tutup.

Bukan hanya secara ekonomi dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat. Di
musim hujan, bahaya banjir mengancam. Seperti yang dialami pertengahan awal
2006 lalu, dimana banjir bandang menerjang desa. Dusun-dusun yang berada
di pinggir sungai nyaris terendam semua. Belasan hektar lahan pertanian pun
bernasib serupa. Air tergenang dimana-mana, di mesjid, rumah, sekolah, bahkan
jalan ke desa pun tak dapat dilalui. Pun jembatan gantung yang menghubungkan
Dusun Baru Tuo dengan bekas Dusun Suka Menanti tampak retak dan salah
satu tiangnya miring akibat derasnya terjangan arus sungai yang meluap. Kendati
tak ada korban jiwa, namun kerugian ada di depan mata: gagal panen dan itu
artinya padi untuk satu tahun ke depan tidak akan tersedia. Kondisi sebaliknya
justru terjadi saat di musim kemarau, beberapa anak sungai tampak surut airnya,
bahkan ada yang kering, sumur-sumur di desa kering dan mata airpun sulit untuk
di dapatkan.

Keadaan ini menimbulkan kesadaran baru di masyarakat untuk mengelola


lingkungan hidup mereka secara bijaksana. Pada 2001, bersama-sama proyek
ICDP-TNKS, masyarakat berinisiatif membangkitkan kembali aturan adat dalam
pengelolaan sumberdaya alam, melalui rimbo adat dan lubuk larang. Inisiasi
ini dianggap penting sebagai upaya untuk menyediakan lahan bagi anak cucu.
Pada saat itu pula berhasil diidentifikasi kawasan seluas 820 ha di Bukit Siketan3
sebagai rimbo adat dan lima lubuk larangan yang tersebar di Dusun Baru Tuo,
Lubuk Pakan, Lubuk Beringin dan Pedukuh.

Pada 2002, proyek ICDP-TNKS berhenti, beberapa inisiasi yang sudah dimulai
menjadi terbengkalai. Pada saat yang bersamaan di Desa Baru Pelepat juga
sedang berjalan proyek ACM yang diselenggarakan oleh Yayasan Gita Buana
(YGB), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA),
dan Center for International Forestry Research (CIFOR). Proyek ini berupaya
mengembangkan pilihan-pilihan yang positif untuk pengelolaan hutan di
Indonesia. Proyek difokuskan pada membangun peran potensial dan makna
kolaborasi serta pembelajaran bersama di antara pihak kepentingan sebagai cara
untuk meningkatkan kesetaraan, meningkatkan sumber penghidupan rumah
tangga dan pengelolaan hutan secara lestari.

3 Secara geografis hutan ini terletak di antara 01° 49’ 01,6’’ - 01°51’ 10,04’’ LS dan 102° 03’ 55,1’’ BT dengan ketinggian 130 meter – 635 meter dpl.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 407

Kotak 1. Berawal dari musyawarah desa

Musyawarah desa 19 juni 2004 merupakan rencana tindak lanjut dari hasil lokakarya
Desa Baru Pelepat yang dilakukan pada 23 Agustus 2003. Lokakarya ini merefleksi
kegiatan yang dilakukan desa bersama ACM dan penyusunan rencana ke depan.

Beberapa rencana yang berkaitan dengan pengelolaan hutan tersebut adalah:


1. Pengelolaan hutan bersama untuk pendapatan desa:
a. Batas hutan adat
b. Batas hutan lindung
c. Pengakuan hutan adat dan lindung
2. Melestarikan sumberdaya alam secara mandiri
3. Mengantisipasi “serangan dari luar” terhadap hutan adat

Kesepakatan yang dihasilkan dalam lokakarya inilah yang diterapkan dalam bentuk
penyusunan aturan pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pelepat dan mengajukan
kebijakan pengelolaan hutan ini ke kabupaten.

Proyek ini bertajuk Membangun Kolaborasi dan Belajar Bersama untuk Pengelolaan
Hutan yang Adil dan Lestari dengan menggunakan pendekatan Adaptive
Collaborative Management (ACM) atau Pengelolaan Hutan secara Bersama
dan Adaptif (PHBA). Pendekatan ini menyadari perlunya kolaborasi antara
multi-pihak dan secara terus menerus menyesuaikan atau mengadaptasi sistem
pengelolaannya sesuai perubahan yang terjadi. Dalam pelaksanaannya, kegiatan
ini menggunakan metodologi penelitian Participatory Action Research (PAR), yaitu
penelitian melalui aksi, dimana kelompok kepentingan yang terlibat dalam aksi
turut melakukan penelitian. PAR menawarkan pendekatan penelitian dan aksi
yang terstruktur yang dapat mendorong para pihak mengambil pelajaran dan
pengalaman melalui siklus observasi-perencanaan-aksi-refleksi.

Keinginan masyarakat adat Desa Baru Pelepat untuk mengukuhkan rimbo adat
Datuk Rangkayo Mulio menjadi titik tolak bagi tim ACM-Jambi dan Dishutbun
Kabupaten Bungo untuk melakukan aksi secara bersama mewujudkan keinginan
masyarakat Baru Pelepat untuk mengelola hutan, dampingan ini ditunjukkan
dengan proses aksi atau kegiatan bersama4.

4 Dukungan pemerintah kabupaten terhadap hal di atas merupakan satu bentuk implementasi dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dimana disebutkan
bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan juga isi pasal 5
ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang no. 41/1999 tentang Kehutanan.
408 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Melalui metode PAR5, kolaborasi multipihak ini menyusun perencanaan aksi


bersama antara masyarakat desa dengan Pemerintah Kabupaten Bungo dalam
mengukuhkan keberadaan rimbo adat. Kolaborasi ini juga menggambarkan suatu
proses penyusunan kebijakan tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara
bottom up, dari masyarakat desa hingga ke kabupaten.

Tulisan ini akan menitikberatkan pada dinamika kolaborasi di tingkat kabupaten


yang juga berjalan paralel dengan proses di tingkat desa (lihat Dobesto, 2008).

BELAJAR DARI KEBERHASILAN DESA LAIN


Dalam penyusunan peraturan desa tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan
adat, berbagai pihak di desa merasakan ada satu kebutuhan untuk memperoleh
pengetahuan secara langsung dari desa ataupun masyarakat yang secara nyata
telah berhasil dalam mengelola hutan adatnya. Hal ini penting karena masyarakat
menginginkan pengelolaan hutan adat nantinya memang untuk kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, selama ini pengaturan hutan adat hanya berupa fungsi
pengawasan yang dilaksanakan oleh BPD.

Untuk memenuhi kebutuhan ini, pada September 2004 dilaksanakan kunjungan


banding ke Desa Guguk di Kabupaten Merangin. Desa ini, selain telah mendapatkan
penghargaan Kalpataru tingkat Propinsi Jambi, juga telah dikukuhkan keberadaan
hutan adatnya melalui Surat Keputusan Bupati Merangin.

Kunjungan belajar ini diikuti oleh multipihak desa yang terdiri dari Pemdes, BPD,
tokoh adat, tokoh perempuan, dan tokoh masyarakat. Mereka disambut oleh
segenap warga Desa Guguk, kelompok pengelola hutan adat, pemerintahan desa
dan Datuk Bakar, tokoh adat yang mempelopori pengelolaan hutan adat di desa itu.
Selain berdialog, kunjungan juga melakukan perjalanan ke Bukit Tapanggang.

Dalam kunjungan itu, kedua masyarakat desa saling berbagi pengalaman tentang
bentuk pengelolaan hutan adat di daerah masing-masing dan melakukan
kunjungan ke Bukit Tapanggang yang menjadi kawasan hutan adat Desa Guguk.
Lokasi tersebut dahulu sempat menjadi daerah operasi HPH PT. Injapsim dan
sempat mengalami gundul karena musim kemarau yang panjang.

5 Dalam mendorong pendekatan ACM, digunakan metodologi penelitian Participatory Action Research (PAR), yaitu penelitian melalui aksi, dimana
kelompok kepentingan yang terlibat dalam aksi turut melakukan penelitian. PAR menawarkan pendekatan penelitian dan aksi yang terstruktur yang
dapat mendorong para pihak mengambil pelajaran dan pengalaman melalui siklus observasi-perencanaan-aksi-refleksi.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 409

Kotak 2. Menyusun peraturan desa secara partisipatif

Pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat di Baru Pelepat dilakukan seirama antara
adat dan pemerintahan desa. Hal ini ditunjukkan terhadap penyusunan peraturan
desa (Perdes) tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Adat, Perdes tersebut
sebenarnya berisi aturan-aturan adat tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan
yang selama ini dijalankan oleh masyarakat adat di Desa Baru Pelepat.

Tahapan penyusunan Perdes yaitu:


1. Usulan disampaikan secara tertulis atau lisan kepada BPD atau Pemdes
kepada BPD atau Pemdes.
2. Jika Pemdes atau BPD telah menerima usulan tersebut, maka langkah-langkah
yang dilakukan oleh BPD atau Pemdes adalah; (a) Musyawarah anggota BPD
atau Pemdes, (b) Jika yang menerima usul adalah BPD, hasil Musyawarah
BPD dimusyawarahkan dengan pemdes atau jika pemdes yang menerima
usul, dimusyawarahkan dengan BPD, (c) Hasil musyawarah BPD dan pemdes
dimusyawarahkan lagi dengan wakil kelompok masyarakat.
3. Setelah itu dilakukan pembahasan rancangan Perdes antara BPD, pemdes
dan wakil kelompok masyarakat dengan syarat: (a) 2/3 anggota BPD harus
hadir, (b) Seandainya anggota BPD tidak sampai 2/3 yang hadir, maka sidang
ditunda selama tiga hari, (c) Seandainya sidang kedua kalinya anggota BPD
yang hadir tidak sampai 2/3, maka sidang dilanjutkan dengan syarat anggota
BPD sebanyak 4 orang.
4. Setelah disetujui BPD, maka ranperdes harus disahkan oleh Kades satu bulan
setelah tanggal disetujui.
5. Sebelum Ranperdes disahkan, masyarakat diberikan kesempatan untuk
memberikan saran dengan cara diumumkan selama dua minggu.

Dengan melalui proses penyusunan peraturan desa, maka Perdes tentang


pengelolaan dan pemanfaatan rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio-pun disahkan
kepala desa pada tanggal 3 Juli 2005.

“...setelah melihat hutan adat Bukit Tapanggang ini, kami berpikir kalau rimbo adat
kita sebenarnya lebih bagus karena memang masih asli dibanding di sini yang dulunya
pernah gundul, namun dengan pengelolaan yang bagus, hutan di sini sekarang menjadi
tempat orang berwisata...” demikian kata pak Andra, seorang peserta studi banding
yang saat itu menjabat sebagai sekretaris Desa Baru Pelepat.

Dampak positif dari kunjungan ini adalah semakin tingginya kesadaran masyarakat
desa untuk melindungi hutan di wilayah mereka. Selain dengan melihat bentuk
pengelolaan hutan di Desa Guguk, ada kebutuhan untuk membentuk satu
410 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

kelompok yang berperan mengelola hutan adat, mulai dari perencanaan hingga
pengawasannya.

Dari refleksi studi banding pengelolaan hutan tersebut, multipihak desa


membentuk kelompok pengelola yang terdiri atas perwakilan lembaga-lembaga
di desa dan menyusun tugas dan fungsi kelompok pengelola tersebut kemudian
memasukkannya ke dalam isi rancangan peraturan desa pengelolaan dan
pemanfaatan hutan adat yang sedang disusun.

INISIASI MULTIPIHAK
Rencana masyarakat Desa Baru Pelepat untuk mengajukan pengukuhan hutan
adat ke tingkat yang lebih tinggi dimulai seiring dengan penetapan Perdes No.
2/2005 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio.
Proses yang dibangun adalah dengan membawa isu pengukuhan ini ke dalam
dialog kebijakan yang melibatkan beberapa instansi di Kabupaten Bungo.

Dialog kebijakan dilaksanakan melalui pertemuan pada Forum Diskusi Multipihak6.


Pertemuan itu bertujuan untuk mengkomunikasikan keinginan masyarakat akan
adanya satu bentuk dukungan kebijakan yang dapat mengukuhkan hutan adat
di Desa Baru Pelepat. Pesertanya terdiri dari multipihak di Kabupaten Bungo,
diantaranya anggota DPRD Komisi II, Bappeda, Bagian Hukum Setda, Dishutbun,
Bagian Pemerintahan Desa, Dinas Pertambangan Energi dan Lingkungan Hidup,
KKI-WARSI, ICRAF, dan tokoh masyarakat dari Desa Baru Pelepat dan Desa
Batu Kerbau, serta Tim ACM.

Ternyata usulan pengukuhan itu mendapat dukungan dari para peserta, khususnya
dari anggota DPRD, “.....masalah kehutanan ini memang menjadi perhatian DPRD
Bungo khususnya kami yang berada di Komisi II dan kami mendukung agar hutan adat
di Desa Baru Pelepat bisa dibuat aturan hukumnya berupa peraturan daerah” tukas
Herman Teleng, selaku Ketua Komisi II DPRD Bungo.

Diskusi ini pun menghasilkan beberapa kesepakatan:


1. Melihat kondisi kehutanan di Kabupaten Bungo saat ini memang
diperlukan suatu payung kebijakan yang mengatur bentuk-bentuk
pengelolaan hutan adat di Kabupaten Bungo.

6 Forum Diskusi Multipihak adalah forum informal yang digagas oleh Dishutbun Kabupaten Bungo bersama Dinas Pertambangan Energi dan Lingkun-
gan Hidup, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), proyek Adaptive Collaborative Management (ACM) Jambi (CIFOR, PSHK-ODA,
Yayasan Gita Buana), KKI-WARSI dan World Agroforestry Center (ICRAF). Forum ini bertujuan sebagai wadah untuk membangun wacana tentang
hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan kehutanan di Bungo.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 411

2. Kebijakan pengelolaan hutan adat yang jelas di Kabupaten Bungo


tentunya akan memberi dampak dan manfaat bagi pemerintah juga bagi
masyarakat, yaitu:
• Mengurangi beban pemerintah daerah dalam pengawasan terhadap
hutan, karena masyarakat secara langsung terlibat dalam penjagaan
hutan.
• Harmonisasi hubungan antara pemerintah dengan masyarakat
karena selama ini pemerintah dianggap hanya mengeksploitasi
hutan tanpa melibatkan masyarakat.
• Bagi masyarakat, ada kepastian dari apa yang diperjuangkan selama
ini, karena ada kekuatiran hutan adat bisa dijaga oleh masyarakat
tapi tidak terhadap ancaman pihak luar, sehingga perlu pengukuhan
di tingkat yang lebih tinggi.
• Ada penghargaan atas kerja dan usaha masyarakat yang berdampak
pada meningkatnya kepercayaan dan harga diri masyarakat.
3. Disepakati bahwa bentuk legalisasi yang tepat adalah melalui Peraturan
Daerah (Perda). Beberapa keuntungan dari bentuk ini adalah ikatan
komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat. Melalui
Perda, pengakuan menjadi lebih kuat dan akan memberi dampak bagi
pengaturan pembangunan lainnya, seperti tata ruang, dan lain-lain.
4. Disadari pula bahwa legalisasi hutan adat dengan peraturan daerah
diatur dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, pasal 5 ayat 2 dan 3,
pasal 67 ayat 1,2 dan 3.
5. Disepakati perlunya komitmen dan kerjasama serta dukungan para
pihak untuk mewujudkan kesepakatan tersebut.

Selain kesepakatan di atas, pertemuan itu juga menghasilkan rencana tindak


lanjut, dimana Bagian Hukum Setda, Bappeda dan Dishutbun akan menjadi
pihak yang paling berperan dalam proses pengukuhan hutan adat ini dengan
Dishutbun sebagai leading sector-nya. Selain itu, masyarakat adat Desa Baru
Pelepat akan difasilitasi oleh Tim ACM-Jambi untuk menyusun secara bersama
naskah akademik dan Ranperda hutan adat.

Proses penyusunan naskah akademik dan draft Ranperda hutan adat berlangsung
panjang dan alot, melalui serangkaian diskusi, penggalian data dan informasi di
lapangan, hingga konsultasi publik baik di tingkat desa dan kabupaten.
412 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

AKSI MULTIPIHAK
Setelah bentuk kebijakan disepakati, maka proses selanjutnya adalah memenuhi
substansi naskah akademik, seperti ketersediaan peta dan batas yang jelas,
dokumentasi aturan adat, keberadaan kelompok pengelola, dan lainnya.
Menariknya, selama proses tersebut, keterlibatan multipihak tingkat kabupaten
juga tinggi sebagai mana tergambar dalam proses-proses berikut:

Survei penentuan batas fungsi adat dan batas


fungsi lindung

Rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio seluas 820 Ha tersebut disepakati oleh
masyarakat Desa Baru Pelepat untuk dibagi dalam dua fungsi, yaitu fungsi adat dan
fungsi lindung7. Fungsi adat berarti hutan tersebut dapat dikelola oleh masyarakat
desa sehingga bermanfaat terhadap kesejahteraan mereka sedangkan fungsi lindung
diartikan sebagai hutan yang benar-benar dilindungi dan dijaga kelestariannya.
Untuk menentukan batas tersebut, dilaksanakan kegiatan penentuan batas fungsi
adat dan lindung pada Oktober 2004. Kegiatan ini selain diikuti oleh multipihak
desa, juga multipihak kabupaten.

Suasana kebersamaan dan satu tujuan antar pihak sangat muncul dalam kegiatan
ini, pembagian tugas dilakukan dan semua menjalankan dengan tanggung jawab.
Diskusi multipihak desa dan kabupaten pun selalu terjadi sepanjang kegiatan dan
semakin meneguhkan semangat peserta untuk menjaga hutan.

Survei pengukuran ulang batas keliling hutan adat


Survei pengukuran ulang batas keliling hutan adat dilakukan dengan tujuan untuk
memperjelas tanda batas hutan adat. Karena pengukuran dan pemasangan patok
batas yang dilakukan saat ICDP-TNKS pada 2000 saat itu sudah tidak tampak
lagi bentuk fisiknya. Selain itu, kegiatan ini juga untuk mengecek kondisi terkini
dari hutan adat dan mengidentifikasi potensi ekowisata. Kegiatan ini juga untuk
membangun pondok di pinggir hutan sebagai tempat berteduh bagi kelompok
pengelola hutan adat. Kegiatan diikuti oleh multipihak desa dan kabupaten.

7 Yang dilakukan dalam penentuan batas ini adalah pemisahan luas fungsi hutan adat dan luas fungsi hutan lindung, mendata nama, diameter dan tinggi
pohon dan diberi tanda batas. Tanda batas berupa pelat alumunium seukuran 15 cm x 20 cm bertuliskan HA BP 2004. Kegiatan penentuan batas ini
dilaksanakan dari tanggal 5-7 Oktober 2004 diikuti oleh anggota BPD, Pemdes, 8 pemuda dari setiap dusun, empat orang perwakilan dari lembaga
adat serta ibu-ibu yang melakukan persiapan untuk kegiatan ini. Kegiatan ini juga melibatkan wakil dari Pemda, yaitu dari Bappeda, Dishutbun dan
Dispertamben LH, serta pendamping dari Tim ACM Jambi.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 413

DINAMIKA KETERLIBATAN MULTIPIHAK

Kolaborasi dalam menyusun kebijakan yang mendukung pada pengukuhan hutan


adat ternyata berjalan tidak semudah yang dibayangkan. Kami melihat proses
membangun persepsi yang sama tentang bentuk kebijakan yang akan digunakan
dalam pengukuhan ini menjadi hal yang sangat penting, karena perbedaan
persepsi dapat berakibat fatal, sebagaimana yang pernah kami alami. Munculnya
surat Edaran Menteri Kehutanan No. 57/2004 tentang Masalah Hukum Adat dan
Tuntutan Kompensasi atau Ganti Rugi oleh masyarakat hukum adat, menyebabkan
salah satu pihak merubah kesepakatan semula dan berkeras untuk mengikuti Surat
Edaran tersebut. Menurut Surat Edaran tersebut, Menteri Kehutanan memberikan
satu alternatif mekanisme pengajuan hutan adat oleh suatu masyarakat hukum
adat ketika terjadi konflik antara pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau
IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), tahapannya adalah:
1. Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) setempat,
lebih dahulu diadakan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat
yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait
serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah
permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat
atau bukan. Bupati atau walikota kemudian melakukan pengusulan hutan
negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak,
luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan
dengan rekomendasi Gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada (de
facto) dan diakui keberadaannya (de jure).
2. Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat,
maka masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Propinsi.
3. Peraturan Daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya
disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan
penetapannya sebagai hutan adat. Atas permohonan tersebut Menteri
Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan hutan adat.
4. Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat
menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang
bersangkutan.

Tahapan yang ditawarkan dalam surat edaran tersebut ternyata berbeda dengan
hasil pertemuan multipihak kabupaten yang menyepakati bahwa proses yang
414 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

dilakukan untuk melegalisasi rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio adalah Perda
Kabupaten.

Meskipun dalam UU No. 10/2004 surat edaran tersebut bukan menjadi bagian
dari tata urutan peraturan perundangan, serta konteks dikeluarkannya surat itu
adalah untuk wilayah hutan yang mengalami konflik antara masyarakat adat dan
pemegang ijin HPH, namun alasan ini tetap tidak menyurutkan beberapa pihak
kabupaten untuk berkeras mengikuti aturan berdasarkan surat edaran tersebut
dalam menyusun kebijakan pengukuhan hutan adat. Hal ini menimbulkan
perdebatan panjang di dalam tim penyusun naskah akademik yang pada akhirnya
dilakukan beberapa perubahan mendasar:
1. Adanya perubahan nama naskah akademik yang semula bernama Naskah
Akademik tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Desa Baru Pelepat
sebagai Pengelola Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio menjadi Naskah
Akademik tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Datuk Rangkayo
Mulio.
2. Perubahan target pada pengajuan Perda, yang semula Perda Kabupaten
tentang pengukuhan masyarakat hukum adat sebagai pengelola rimbo adat
menjadi Perda Propinsi dan hanya untuk mengukuhkan masyarakat Hukum
Adat Datuk Rangkayo Mulio-nya saja

Perubahan-perubahan ini tentunya berdampak pada semakin panjangnya proses


pengukuhan hutan adat. Selain itu, masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa
Perda yang akan dihasilkan nantinya baru mengakui keberadaan masyarakat
hukum adat, sedangkan pengukuhan hutan adat masih harus melalui tahapan
pengajuan ke tingkat nasional.

Untuk menangkap gejala ini, kelompok pengelola rimbo adat Desa Baru Pelepat
dan pihak di kabupaten melakukan diskusi untuk merencanakan kembali strategi
yang akan dilakukan selanjutnya8, salah satu hasil yang disepakati adalah dibentuk
tim penyusun naskah akademik yang anggotanya adalah perwakilan dari Bappeda,
Dinas kehutanan, Desa Baru Pelepat dan tim ACM9.

Proses penyusunan naskah akademik Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat


Datuk Rangkayo Mulio ini ternyata cukup melelahkan karena tim penyusun
ternyata harus memperbaiki ulang sistematika naskah akademik tersebut, melihat

8 Diskusi ini dilakukan di Bappeda Bungo pada 12 Agustus 2005 dengan agenda membahas rencana tindak lanjut pasca perubahan strategi pengukuhan
rimbo adat.
9 Tim teknis terdiri atas perwakilan masyarakat Desa Baru Pelepat (Abu Nazar, Abunjani, M Arif dan Hamdan), pemerintah kabupaten (Mustafal
Hadi, Azwardi, Deddy Irawan dan Umar Hasan), serta Tim ACM-Jambi.
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 415

dan menganalisa lebih dalam tentang masyarakat adat Desa Baru Pelepat dan
dibutuhkan komunikasi intensif tim penyusun di tengah kesibukan dan kegiatan
mereka masing-masing.

Kotak 3. Beberapa aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam

Secara adat, sebenarnya masyarakat Desa Baru Pelepat sudah memiliki prinsip-
prinsip pengelolaan sumberdaya alam, seperti:
a. Tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka yang mengandung maksud
bahwa hak kepemilikan atas lahan maupun tanaman harus diberi tanda.
b. Dalam hal berladang, harus sompak, kompak, setumpak yang berarti bahwa
masyarakat dalam melaksanakan perladangan dilakukan bersama, jika tidak
dilakukan, sanksinya diberikan teguran oleh ninik mamak berdasarkan jumlah
jiwa dalam keluarga.
c. Umpang boleh disisip, kerap boleh diganggu, maksudnya dalam hal
pengambilan sumberdaya alam harus memperhatikan potensi yang ada, bila
potensinya baik boleh diambil, yang rusak harus diperbaiki.
d. Bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali,
maksudnya sumberdaya alam harus tetap dipertahankan kelestariannya.
e. Lapuk pua jalipung tumbuh, maksudnya terhadap lahan kritis harus dilakukan
penghijauan kembali.
f. Ka darek babungo kayu, ka ayik babungo pasir maksudnya setiap pemanfaatan
sumberdaya alam dikenakan sumbangan untuk pembangunan desa.
g. Tanah lombang, umput layu maksudnya setiap orang yang membunuh
binatang liar yang halal dimakan maka sebagian harus diberikan kepada
pimpinan adat.
h. Pengambilan ikan disungai hanya boleh dilakukan dengan cara menjala,
memancing, pukat, menauh, nyukam, nembak, najur, nagang, lukah.


Setelah memakan waktu yang cukup panjang, pada Maret 2005, tim penyusun
berhasil menyusun rancangan naskah akademik tersebut. Untuk lebih
mematangkannya, diadakan diskusi sebagai upaya finalisasi terhadap substansi
naskah akademik dengan melibatkan Lembaga Adat Kabupaten Bungo. Beberapa
rekomendasi yang dihasilkan dalam diskusi perbaikan tersebut adalah:
1. Perlu ada pembanding antara peraturan adat yang ada di Desa Baru Pelepat
dengan peraturan adat di Kabupaten Bungo, rujukannya saat itu adalah
Buku Panduan tentang Adat Kabupaten Bungo.
2. Perlu ada penjelasan lebih detail terhadap seloko-seloko adat, karena meskipun
bahasa adat Bungo bisa dikatakan sama antara satu desa dengan desa lain,
namun tidak semua mengerti maksud yang disampaikan.
3. Perlu ada penyebaran hasil perbaikan kepada peserta diskusi saat itu.
416 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Gambar 45. Proses pengukuhan masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih

Proses Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih


Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau, Kecematan Pelepat, Kabupaten Bungo-Jambi

Oktober 2006, DPRD


menyetujui draft
Ranperda Masyarakat
Hukum Adat Datuk
Sinaro Putih menjadi
Perda No.3/2006.
Diskusi-diskusi
penyusunan kerangka
NA dicapai kesepakatan
pada 25 Maret 2005

Konsultasi Publik tingkat desa Naskah Akademik


dan Kabupaten untuk yang sudah final dan
Tahap mendapatkan masukan draft Ranperda
Penyusunan mengenai substansi Naskah Masyarakat Hukum
Naskah Akademik dan pembelajaran Adat Datuk Sinaro
Akademik untuk pihak lain dalam Putih lalu diusulkan
menyusun Perda. kepada DPRD Bungo

Penyusunan Pengumpulan bahan


draf NA dan data, serta
penelitian lapangan

Diskusi lanjutan antara tim Mencari bentuk Perda Desember 2004,


ACM-Jambi, Bag. Hukum, tentang Hutan Adat. Melalui Diskusi Multipihak tentang
dan dishutbun, menyepakati diskusi antara tim ACM- Pengelolaan Hutan Adat di
bahwa Dishutbun sebagai Jambi, Bag. Hukum, dan Kabupaten Bungo.
leading sector dalam dishutbun disepakati Disepakati perlunya Perda
menyusun Naskah Akademik bentuknya adalah Perda yang mengatur tentang
dan Draft Ranperda Hutan Khusus. Hutan Adat
Adat.

BPD mengumpulkan Diskusi Informal antara tim


Juni 2004
pendapat dari masyarakat ACM-Jambi & masyarakat
Dilaksanakan Musyawarah Desa yang dengan Bappeda,
dan menyusun menjadi menyepakati aturan pengelolaan RADRM. Dishutbun, Bag. Hukum
Raperdes Aturan tersebut akan ditindaklanjuti Setda Bungo serta
dalam bentuk Perdes dan memulai proses Dismentamben & LH

Sejak lama, Desa Baru Tahun 2001-2003 ada program


Pelepat dan Desa Batu Integrated Conservation and
Kerbau telah memiliki Agustus 2003, Development Program (ICDP)
kawasan hutan adat, sebagai Bersama ACM dilaksanakan yang membangkitkan kembali
cadangan maupun lindung. Musyawarah Desa yang Rimbo Adat dan Lindung desa
Pada zaman Belanda menghasilkan Kesepakatan melalui Kesepakatan
dilakukan pemasangan patok untuk pengukuhan Rimbo Adat Konservasi Desa (KKD),
dan tanda keberadaan Datuk Rangkayo Muli (RADRM) penentuan dan pemetaan
kawasan ini kawasan
BAGIAN 4-7 • Pariyanto 417

Proses penyusunan naskah akademik ini terus berjalan dengan melakukan


perbaikan-perbaikan dan diskusi-diskusi kecil di tim penyusun.

PENUTUP
Pada Oktober 2006, Pemkab Bungo mengeluarkan Perda No.3/2006 tentang
Penetapan Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih yang berlaku untuk Desa
Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau. Meski begitu, proses kolaborasi multipihak
desa dan kabupaten ini belumlah usai. Masih dibutuhkan waktu hingga apa yang
diharapkan masyarakat untuk mendapat hak pengelolaan terhadap rimbo adat
dapat tercapai. Isu desentralisasi kebijakan dalam era otonomi-pun belumlah
menjadi trend daerah, ketika dihadapkan pada satu kenyataan ada aturan pusat
yang sebenarnya tidak menjadi atribusi/delegasi (harus dijadikan pertimbangan
dalam penentuan kebijakan di daerah) juga sulit untuk tidak diindahkan.

Apakah perjuangan masyarakat Desa Baru Pelepat untuk memperoleh hak


pengelolaan terhadap hutan dapat terwujud? Pertanyaan ini harus dijawab dengan
merefleksikan hal-hal di atas.
1. Komitmen masyarakat dalam pengelolaan hutan perlu dukungan dari semua
pihak.
2. Untuk mewujudkan hak pengelolaan hutan perlu pembelajaran antara
desa satu dengan desa yang lain melalui studi banding atau bentuk lain dan
kesadaran pemegang kebijakan bahwa setiap kebijakan yang dibuat akan
selalu berhubungan dengan masyarakat desa begitu juga sebaliknya dan
ini juga berlaku pada pemegang kebijakan diatasnya seperti propinsi dan
kabupaten.
3. Kekompakan antara adat dan pemerintahan desa yang bersifat formal menjadi
arti penting untuk mewujudkan sebuah keinginan.
4. Pembelajaran sosial diperlukan guna membangun komunikasi dan jaringan
dengan pihak kepentingan lain, khususnya dengan pihak di atas desa, yaitu
kecamatan dan kabupaten bahkan propinsi.

Meski kerja belum selesai, namun proses aksi kolaborasi dalam legalisasi hutan adat
ini menjadi satu pembelajaran di mana perhatian pemerintah terhadap kebutuhan
masyarakat akan pengaturan hak pengelolaan hutan sangat diperlukan.
418 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak di Kabupaten Bungo yang
selama ini telah dengan setia bekerja sama untuk mendorong berjalannya proses
pembelajaran bagi masyarakat di sekitar hutan terhadap pengelolaan hutan
yang lestari, khususnya masyarakat Desa Baru Pelepat. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada seluruh Tim ACM-Jambi yang berasal dari tiga lembaga
(Yayasan Gita Buana, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah dan
CIFOR) yang secara bersama saling bahu membahu berpikir dan beraktivitas serta
berefleksi bersama.

BAHAN BACAAN
Adnan, H., Hadi, M. dan Pariyanto. 2005. Hutan Adat: Dari Masyarakat menuju
Kebijakan Daerah, Sebuah Pembelajaran dari Desa pada Kawasan
Penyangga (Bufferzone) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS),
makalah disampaikan pada Simposium International Antropologi
Indonesia, Depok, Juli 2005.
Amendemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sekretariat
Jenderal, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jakarta. Indonesia.
Dobesto, I. 2008. Jalan Panjang Partisipasi: Proses dan Pembelajaran dalam
Penyusunan Peraturan Desa secara Partisipatif. Dalam: Adnan, H.,
Tadjudin, D.J., Yuliani, E.L., Komarudin, H., Lopulalan, D., Siagian,
Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya
Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Pemerintah Desa Baru Pelepat. 2005. Peraturan Desa No.2 tentang Pengelolaan
dan Pemanfaatan Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio
Tim ACM-Jambi. 2004. Laporan Kegiatan Penentuan Batas Fungsi Rimbo Adat
Datuk Rangkayo Mulio. Tidak dipublikasikan.
Tim ACM-Jambi. 2004. Notulensi Musyawarah Desa Baru Pelepat. Tidak
dipublikasikan.
Tim ICDP-TNKS. 2000. Laporan Kegiatan Pemetaan dan Pemanfaatan Lahan di
Desa Baru Pelepat. ICDP-TNKS, Jambi, Indonesia.
Undang Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Yuliani, E.L., Adnan, H., Surma, E.H., Marzoni, Novasyurahati, Anggana.
2004. Studi Potensi Kawasan Hutan Bukit Siketan, Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Jambi. Laporan untuk BAPPEDA Kabupaten Bungo
sebagai syarat untuk memperoleh pengakuan formal atas Hutan Adat
Desa Baru Pelepat. CIFOR. Bogor. Indonesia.
BAGIAN 4-8
Jalan Panjang Partisipasi:
Proses dan Pembelajaran dalam Penyusunan
Peraturan Desa secara Partisipatif

Ismal Dobesto
420 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

© Dok. ACM-Jambi
PENDAHULUAN
Otonomi daerah ditandai dengan desentralisasi pemerintahan hingga ke tingkat
desa. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan
dengan UU No. 32/2004 secara jelas mengembalikan sistem pemerintahan yang
mengarah pada hak asal usul berdasarkan adat istiadat setempat. Kebijakan ini
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat desa atau sebutan lainnya.
Secara tegas, UU No. 32/2004 menyatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah tertentu yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia. Kesempatan ini digunakan oleh pemerintah daerah, mulai
dari tingkat desa hingga propinsi, untuk menentukan, mengurus dan mengatur
daerahnya secara mandiri. Kemandirian ini terlihat dalam bentuk kebijakan daerah
masing-masing dalam mengatur tentang pembangunan, Pendapatan Asli Daerah
(PAD), dan lainnya, termasuk pengaturan pengelolaan sumber daya alam.

Kemandirian ini juga dimanfaatkan oleh Desa Baru Pelepat untuk mengurus dan
mengembangkan desanya ke arah yang lebih baik. Desa yang terletak di daerah
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 421

penyangga TNKS-Jambi ini, berupaya mengatur pengelolaan sumberdaya alamnya


melalui penyusunan kebijakan desa secara partisipatif. Salah satunya melalui
penyusunan Peraturan Desa No.2/2005 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan
Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio.

Proses penyusunan peraturan desa (Perdes) ini melalui partisipasi yang panjang dan
berliku. Mulai dari musyawarah tingkat dusun hingga pembahasan di kelompok-
kelompok kepentingan yang ada di desa. Kendati demikian, proses yang panjang
ternyata dirasakan banyak memberi pelajaran bagi masyarakat, khususnya
pemerintahan desa. Bahwa dalam membuat suatu kebijakan yang menyangkut
kepentingan orang banyak, perlu pertimbangan dan penggalian yang mendalam,
sehingga kebijakan yang dihasilkan, bisa mengakomodir kepentingan semua
pihak. Karenanya, proses panjang bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan.
mengingat melibatkan banyak pihak kepentingan dalam penyusunan suatu
kebijakan desa, jauh lebih penting untuk membangun kesadaran masyarakat dalam
membangun desa dan kepemilikan terhadap kebijakan tersebut. Di samping itu,
kajian-kajian yang mendalam dan partisipatif memberikan kontribusi terhadap
substansi (isi) dari kebijakan tersebut. Proses yang partisipatif dan isi kebijakan
yang berkualitas akan menghasilkan kebijakan yang tidak saja mengakomodasi
berbagai kepentingan, tetapi juga mampu dilaksanakan di lapangan.

Tulisan ini memberikan gambaran proses yang berlangsung dan pembelajaran


yang dapat dipetik dalam penyusunan kebijakan tentang pengelolaan hutan adat
oleh masyarakat, sebagai wujud kemandirian desa.

Proses Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif tentang


Pengelolaan Hutan Adat

Munculnya kesadaran baru

Pada mulanya masyarakat Desa Baru Pelepat mengelola sumberdaya alam


berdasarkan kearifan lokal yang mereka miliki. “Umpang boleh disisip, kerap boleh
diganggu” adalah salah satu contoh aturan adat yang mengatur pengambilan hasil
hutan dengan memperhatikan potensi yang ada. Bila potensinya baik, boleh
diambil, namun bila rusak harus diperbaiki.

Namun seiring dengan masuknya HPH pada awal 1970-an, terjadi eksploitasi
kayu besar-besaran dan areal bekas tebangan tidak lagi ditanami. Hal ini tentunya
bertentangan dengan hukum adat “nan rapat boleh dijarangkan, nan jarang harus
422 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ditanam”. Maksudnya, orang boleh menebang kayu jika masih bagus potensinya
(rapat jaraknya), dan setelah menebang harus menanam kembali agar hutan
kembali menjadi rapat. Kala itu, masyarakat hanya menjadi penonton dibukanya
hutan-hutan mereka tanpa berani untuk mencegahnya.

Kondisi semakin diperparah dengan bergulirnya reformasi pada 1998. “Kalau


orang luar boleh menebang hutan, mengapa kami yang tinggal disini tidak boleh?
Kami pun ingin menikmati hasil hutan”, begitulah kira-kira alasan masyarakat
menyertai maraknya bebalok (pembalakan liar) yang dilakukan oleh masyarakat di
dalam maupun dari luar desa. Dampaknya tak perlu ditunggu lama, banjir di kala
hujan deras dan kekeringan di kala kemarau mulai dirasakan.

Kondisi ini kemudian memunculkan kesadaran baru di masyarakat desa untuk


kembali menjaga hutan mereka dari penebangan liar.

Kesepakatan Konservasi Desa

Gayung pun bersambut. Keinginan masyarakat tersebut mulai direalisasikan


bersamaan dengan masuknya Proyek Terpadu Pembangunan dan Konservasi
(Integrated Conservation and Development Project — ICDP) yang dilaksanakan di
daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat1 pada 2000. Proyek ini dirancang
menurut empat komponen inti, yaitu Pengelolaan Taman Nasional, Pembangunan
Daerah/Desa, Integrasi Pengelolaan Keragaman Hayati dan Pengusahaan Hutan,
serta Pemantauan dan Evaluasi.

Untuk pembangunan daerah/desa, proyek dirancang untuk memperbaiki


perencanaan tata guna lahan, hak kepemilikan lahan dan pengelolaan sumber
daya alam oleh masyarakat di 134 desa yang berada di sekitar taman nasional
ini, yang salah satunya adalah di Desa Baru Pelepat. Kegiatan ini difasilitasi oleh
KKI-WARSI yang mendorong tercapainya suatu kesepakatan bersama antara
masyarakat desa di sekitar kawasan, pemerintah daerah, dan Balai TNKS2.
Kesepakatan bersama ini kemudian disusun dalam suatu dokumen Kesepakatan
Konservasi Desa (KKD). Dokumen KKD ini memuat dua hal pokok yaitu
kesepakatan partisipasi masyarakat dalam pelestarian TNKS dan rencana
pembangunan desa serta rencana tata guna lahan desa yang disusun secara
partisipatif dan selaras dengan pelestarian TNKS.

1 Proyek ICDP didanai oleh Bank Dunia dan bertujuan untuk menjamin kelestarian keragaman hayati di TNKS dan untuk menghentikan fragmentasi
habitat. Caranya, pertama, adalah dengan meningkatkan pengelolaan dan perlindungan taman nasional, khususnya dengan lebih mengikutsertakan
masyarakat setempat. Kedua, dengan menggalakkan pengelolaan keragaman hayati di dalam taman nasional secara lestari dan mendukung upaya
untuk mempertahankan lahan yang tetap berhutan yang masih tersisa di kawasan pengusahaan hutan di daerah-daerah penyangga. Untuk lebih
jelasnya silahkan lihat http://www.dekimichael.web.id/icdp.php
2 Lihat http://www.warsi.or.id/Projects/ICDP_ind.htm
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 423

Untuk di Baru Pelepat, KKD berisi rencana pembangunan desa dan tata guna
lahan yang meliputi pembentukan Bukit Siketan sebagai kawasan hutan (rimbo)
adat desa dan lubuk larangan di Dusun Pedukuh, Lubuk Beringin dan Baru Tuo.
Tujuannya adalah sebagai cadangan hutan, pelestarian hewan dan tumbuhan,
serta menjadi daerah tangkapan air (hujan). Melalui kesepakatan itu, hutan adat
dibagi ke dalam dua fungsi, yaitu fungsi adat seluas 390 ha dan fungsi lindung
seluas 390 ha3.

Untuk fungsi adat, hasil hutan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat
desa (bukan untuk diperjualbelikan) melalui izin kelompok pengelola. Namun
pemanfaatannya baru bisa dilakukan setelah lima tahun sejak KKD disahkan.
Selain itu ada sumbangan yang harus diberikan ke desa sebesar Rp. 50.000,- per-
kubiknya.

Sedangkan untuk fungsi lindung, tanaman dan buah-buahan boleh dimanfaatkan


dengan tidak merusak batangnya. Untuk tanaman obat, pemanfaatan dengan
tetap menjaga kelestariannya. Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi. Yang
melanggar harus membayar dengan seekor kerbau + beras 100 gantang4 + kain
8 kayu + selemak semanis/seasam segaram + kayu di sita + denda Rp. 100 juta.
Dan bila sanksi tidak diterima, maka akan ditingkatkan ke hukum negara.

Pada 2002, proyek tersebut dihentikan padahal masyarakat memerlukan dukungan


kebijakan dalam implementasi KKD. Kenyataan di lapangan, KKD ternyata
kurang mampu menjadi landasan dalam pengelolaan hutan Adat. Menurut Helmi
(2006), KKD sulit untuk diterapkan karena ada ketidakjelasan pada lima hal, yaitu
mekanisme perijinan pemanfaatan hutan adat, persyaratan pemohon, mekanisme
pengawasan, peran pemerintah desa dan sanksi yang diberikan.

Memulai perubahan melalui siklus pembelajaran bersama

Di pertengahan 2003, proyek Adaptive Collaborative Management (ACM) Jambi


memulai fase keduanya di Desa Baru Pelepat. Proyek ini melibatkan Center for
International Forestry Research (CIFOR), Yayasan Gita Buana (YGB) serta Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK-ODA). Pada fase pertama
proyek ini memfokuskan pada pengembangan kapasitas masyarakat desa untuk
beradaptasi dengan perubahan dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam.
Sedangkan pada fase kedua adalah untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang
adil dan lestari.
3 Dari hasil penataan batas di lapangan dan penghitungan data terbaru, luas total Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulyo adalah 820 ha (Tim ACM-
Jambi, 2007).
4 1 gantang sama dengan 16 kg.
424 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Mengawali fase kedua ini, masyarakat bersama dengan Tim ACM-Jambi kemudian
menyusun suatu langkah belajar bersama dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Membangun kesepakatan bersama melalui musyawarah desa

Pada Agustus 2003 dilaksanakan lokakarya desa yang diikuti oleh multipihak
kepentingan desa, terdiri dari pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa, tetua
adat, kaum perempuan, kelompok pemuda dan kelompok tani, serta difasilitasi
oleh Tim ACM-Jambi. Agendanya adalah menentukan perencanaan bersama
antara masyarakat Desa Baru Pelepat dengan Tim ACM-Jambi.

Salah satu agenda yang muncul adalah keinginan masyarakat untuk adanya
kebijakan yang mendukung dan memayungi upaya mereka dalam menjaga hutan
adat. Selain sebagai tindak lanjut dari selesainya proyek ICDP-TNKS di desa
mereka, keinginan ini di dorong oleh suatu kenyataan hutan semakin berkurang.
Datuk Gani, seorang tetua adat berujar, “Kini kayu la payah, tinggaan juo untuak
anak cucu kito” (kayu sudah susah mengambilnya, tinggalkan untuk generasi
yang akan datang). Masyarakat beranggapan pentingnya dukungan kebijakan
dalam memperkuat rasa percaya diri masyarakat dalam mempertahankan hutan
mereka.

Melalui musyawarah ini disepakati untuk menindaklanjuti pengukuhan hutan


adat dimulai di tingkat desa hingga ke tingkat di atasnya. Sebagai langkah awal,
disepakati untuk mempersiapkan pengukuhan di tingkat desa melalui peraturan
desa. Langkah ini dianggap penting, karena selain menjadi kewenangan desa,
peraturan desa juga menjadi peraturan daerah dan diakui legalitasnya sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Selain itu, pengaturan ini akan
menunjukkan kemandirian desa dalam menentukan pengelolaan sumberdaya
alamnya.

Pelatihan penyusunan Peraturan Desa

Ketika hendak menyusun peraturan desa, pemerintahan desa merasa bahwa


mereka belum memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menyusun peraturan
tersebut. Kendati beberapa produk hukum desa telah dihasilkan, seperti fee
untuk desa bagi pendatang yang akan membuka ladang di desa, fee kayu, dan
lainnya. Namun mereka merasa bahwa kebijakan tersebut seringkali tidak bisa
diimplementasikan. Dari refleksi awal disadari bahwa selama ini penyusunan
kebijakan desa dibuat oleh segelintir orang (Kades, Sekdes, ketua adat atau ketua
BPD), sehingga kebijakan tidak diketahui oleh masyarakat desa. Selain itu adanya
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 425

limbago, perasaan kekerabatan yang tinggi, seringkali menghalangi pelaksanaan


kebijakan.

Atas dasar refleksi inilah kemudian disusun agenda pelatihan yang meliputi proses
dan tata cara penyusunan produk hukum desa, serta substansi dari produk hukum
tersebut. Pelatihan ini diikuti oleh multipihak desa dan desa tetangga bahkan dari
Malinau (Kalimantan Timur). Selain itu, untuk membangun hubungan dengan
pihak kabupaten, salah satu narasumber dalam kegiatan ini berasal dari Biro
Hukum Pemkab Bungo.

Selama pelatihan, peserta tidak hanya diperkenalkan dengan teknik dan tatacara
penyusunan produk hukum, tetapi juga dengan persoalan berkaitan substansi,
seperti peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, peran adat dan
posisinya dalam sistem perundangan nasional. Selain itu peserta juga langsung
mempraktekkan materi dengan menyusun rancangan peraturan desa tentang
tata cara penyusunan peraturan desa. Rancangan ini dianggap penting sebagai
landasan formal bagi penyusunan produk hukum di desa.

Keluaran dari kegiatan ini, selain peserta menjadi sadar dan tahu bagaimana
menyusun suatu produk hukum, tetapi juga menghasilkan sebuah rancangan draft
yang akan ditindaklanjuti dengan sosialisasi draft tersebut ke dusun-dusun.

Merancang Peraturan Desa tentang Pengelolaan Hutan Adat


Perdes No.1/2004 tentang tata cara penyusunan peraturan desa disahkan pada
sekitar bulan Mei 2004. Hal itu menjadi landasan masyarakat untuk bergerak lebih
jauh dalam pengelolaan hutan adat desa. Langkah tersebut direalisasikan pada
Juni 2004 dengan mengadakan musyawarah desa yang diikuti oleh multipihak
desa.

Dalam pertemuan tersebut, semua pihak angkat bicara karena yang dibahas
mengenai pengelolaan hutan mereka sendiri. Pemerintahan desa beranggapan
bahwa kewenangan terbesar berada di tangan mereka, karena secara administratif
dan kelembagaan, segala yang berada di wilayah desa berada di bawah pengaturan
mereka. Di sisi lain, lembaga adat menyadari perannya dalam menjaga hutan adat
dan mengusulkan agar dalam penyusunan peraturan desa memasukkan nilai-nilai
adat. Mereka juga beranggapan bila dicantumkan dalam peraturan desa, nilai-
nilai adat akan langgeng dan diketahui oleh generasi yang lebih muda. Tak mau
ketinggalan kelompok perempuan juga bersuara. Bahwa perempuan juga punya
peran yang sama dalam menjaga hutan. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan
426 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

perempuan dalam melakukan pemetaan bersama saat ICDP dulu. Begitu juga
kelompok pemuda, mereka merasa sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan
pengelolaan hutan adat. Kondisi ini menimbulkan diskusi yang semangat diantara
peserta.

Selain bicara soal kepentingan masing-masing, mereka juga merefleksikan


keberadaan KKD selama ini. Mereka melihat kendati KKD sudah ada, namun
implementasi di lapangan masih sangat jauh dari harapan. Hal ini dikarenakan
tidak jelasnya siapa yang menjadi pengawas dan pelaksana KKD, serta sanksi yang
tidak jelas, selain itu masyarakat tidak kompak menjaga kesepakatan. Menariknya
pada saat itu, beberapa anggota masyarakat mengakui bahwa mereka masih
mengambil kayu di hutan adat. Mereka berjanji akan menghentikan kegiatan
tersebut. Masyarakat kemudian sepakat mulai hari itu, semua aktivitas pembalakan
kayu di hutan adat dihentikan.

Dari hasil diskusi, kemudian disepakati beberapa hal yang perlu diatur dalam
rancangan Perdes tentang pengelolaan hutan adat, yaitu :
a. Mekanisme perizinan. Setiap masyarakat Desa Baru Pelepat dapat
memanfaatkan hutan adat setelah mendapatkan izin dari kelompok pengelola.
Pengajuan izin diawali dengan mengirimkan surat permohonan kepada
kelompok pengelola. Berdasarkan surat tersebut, kelompok pengelola akan
meneliti kebutuhan pemohon. Bila dianggap memenuhi syarat, izin akan
dikeluarkan dengan sepengetahuan pemerintahan desa. Setiap pemohon
hanya diperbolehkan mengambil maksimal 5 m3. Selain pemanfaatan secara
individual, hutan adat juga dapat dimanfaatkan secara komunal, misalnya
untuk membangun masjid atau sekolah. Untuk pemanfaatan seperti ini,
keputusan diambil melalui musyawarah desa.
b. Mekanisme pengawasan dalam hutan adat. Pengawasan dilakukan, baik
dalam kawasan fungsi adat maupun fungsi lindung, secara bersama.
Pengawasan bukan hanya tanggung jawab kelompok pengelola saja tetapi juga
melibatkan multi-pihak kepentingan yang ada di desa, termasuk masyarakat
secara individual. Jika terjadi pelanggaran terhadap hutan adat, orang yang
mengetahuinya punya kewajiban untuk melaporkan ke kelompok pengelola
untuk diproses menurut aturan yang ditetapkan.
c. Sanksi. Bila terjadi pelanggaran, seperti pencurian ataupun penyalahgunaan
izin, akan diberikan sanksi. Prosesnya diawali dengan laporan dari individu
atau kelompok yang menyaksikan terjadinya pelanggaran kepada kelompok
pengelola hutan adat. Berdasarkan laporan itu, kelompok pengelola
melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengumpulkan barang bukti dan
atau memanggil pelaku, untuk diminta keterangan. Setelah cukup bukti,
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 427

kelompok pengelola mengajukan permohonan persidangan ke lembaga adat.


Selanjutnya sidang adat akan dilaksanakan dengan dipimpin oleh lembaga
adat dan mengundang Pemdes, BPD, tokoh masyarakat, pelaku dan kelompok
pengelola. Lembaga adat bertindak sebagai hakim yang berpedoman pada
aturan adat dan aturan desa yang berlaku. Pada saat itulah sanksi adat
diputuskan kepada pelaku.
d. Pengelolaan. Hutan adat dibagi dalam dua fungsi, adat dan lindung. Untuk
fungsi adat, masyarakat dapat memanfaatkannya. Sedangkan fungsi lindung
terlarang untuk dimanfaatkan karena sebagai cadangan hutan, menjaga
kelestarian tumbuhan dan hewan serta menjadi serapan air.
e. Nama. Untuk penamaan hutan adat, akhirnya disepakati untuk menggunakan
nama yang berasal dari adat. Selain sebagai identitas, tetapi juga untuk
pengingat bahwa nilai-nilai adat di Desa Baru Pelepat masih dilaksanakan.
Istilah hutan adat kemudian diganti menjadi “rimbo adat” dan karena
lokasinya di bawah kekuasaan Datuk Rangkayo Mulio, maka nama hutan
adat mereka adalah “Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio”.

Selain kelima hal di atas, musyawarah juga menyepakati memberikan mandat


kepada pemerintahan desa (BPD dan pemerintah desa) untuk menyusun dan
merumuskan rancangan peraturan desa.

Perumusan Ranperdes oleh BPD dan Pemdes

Pada awalnya, pemerintahan desa sangat percaya diri dalam menyusun rumusan
draft Perdes, mengingat mereka sudah memiliki pengalaman sebelumnya. Baik
melalui pelatihan produk hukum desa maupun pada saat menyusun Perdes
No.1/2004. Namun saat pembahasan berlangsung, pemerintahan desa baru
menyadari bahwa masih terdapat hal-hal yang belum diatur pada saat musyawarah
terdahulu. Misalnya, ketika berbicara soal pemanfaatan hutan, ternyata mereka
lebih banyak bicara soal kayu, padahal ada hasil hutan non-kayu yang dapat
dimanfaatkan, seperti daun, buah, maupun anakan. Mereka juga baru mengatur
hak pemanfaatan bagi masyarakat, tetapi belum mengatur kewajiban masyarakat
dalam melestarikan hutan.

Selain itu, saat bicara soal hasil hutan non-kayu, mereka tidak punya data yang
akurat mengenai potensi sumberdaya hutan yang ada. Mereka juga mengalami
kebingungan ketika mencoba merumuskan aturan tentang kelompok pengelola.
Akan seperti apa bentuk kelembagaannya? Bagaimana mekanisme kerja dan
pengambilan keputusan diantara mereka? Pertanyaan-pertanyaan kritis ini muncul
sebagai refleksi atas kegagalan kelompok pengelola yang sudah dibentuk pada saat
428 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

ICDP dulu. Serta belum adanya data yang akurat mengenai pembagian kawasan
fungsi adat dan lindung dari rimbo adat.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bersama Tim ACM-Jambi, lalu disusunlah


rencana tindak lanjut untuk melakukan studi potensi keanekaragaman hayati
yang ada di rimbo adat. Selain itu juga direncanakan untuk melakukan penataan
ulang batas hutan adat sekaligus menentukan batas kawasan lindung dan adat.
Pada saat itu muncul kebutuhan untuk melihat daerah lain yang dianggap telah
berhasil dalam mengelola hutan adat mereka. Bersama Tim ACM-Jambi kemudian
direncanakan untuk melakukan studi banding ke Desa Guguk, Merangin yang
sudah cukup sukses dalam menjaga hutan adat mereka.

Kajian potensi keanekaragaman hayati

Kajian potensi keanekaragaman hayati di kawasan rimbo adat dilakukan oleh


peneliti CIFOR, ACM-Jambi dan anggota masyarakat yang mewakili para pihak
di desa. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa besar potensi yang ada di
kawasan Bukit Siketan, sehingga layak untuk dipertahankan. Kajian dilakukan
dengan menggabungkan metode konvensional dan partisipatif (lihat Yuliani et al.,
2008) yaitu analisis vegetasi dengan metode Modified Whittaker, cruising (jelajah)
dan semi structured interview.

Hasil kajian Yuliani et al. (2004) memperlihatkan bahwa kondisi hutan primer
di Bukit Siketan memiliki tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi (indeks
keanekaragaman Shanon-Wiener 4,422, 149 spesies pohon dan 37 spesies
tumbuhan non-kayu). Dari hasil wawancara, ada 96 jenis tumbuhan yang
digunakan oleh masyarakat baik sebagai tumbuhan obat, makanan, perkakas,
anyaman maupun konstruksi; dan banyak jenis hewan yang termasuk dilindungi
dan termasuk dalam daftar CITES.

Selain itu, kajian juga menemukan anakan, tiang dan pancang jauh lebih banyak
daripada pohon berukuran besar di sekitar hutan. Selain itu, beberapa jenis
binatang, seperti burung murai, kuau, dan lainnya. Hal ini memperlihatkan bahwa
hutan Bukit Siketan merupakan aset yang sangat bernilai baik dari segi sosial-
ekonomi jangka panjang untuk masyarakat maupun pemerintah, dan dari segi
ekologis5.

5 Dari segi ekologis, keberadaan pohon-pohon besar/pohon induk perlu dipertahankan untuk: (1) Menjaga fungsi hidrologis karena dengan topografi
yang curam, kawasan ini akan mudah longsor bila tidak ada pohon besar; dan (2) Menjaga fungsi regenerasi yaitu agar produksi anakan terjadi secara
alami dan berkesinambungan.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 429

Hasil kajian ini semakin menebalkan tekad masyarakat desa untuk menjaga rimbo
adat mereka.

Penataan ulang batas hutan adat secara bersama

Kegiatan bersama berikutnya adalah menata-ulang batas rimbo adat. Penataan


ini dilakukan, karena hasil pemetaan partisipatif pada saat ICDP dahulu masih
belum lengkap, khususnya untuk batas fungsi adat dan lindung. Selain itu, dari
penelusuran kembali di lokasi dijumpai patok-patok batas yang dulu dibuat telah
rusak.

Kegiatan ini diikuti oleh multipihak desa dan pemerintah kabupaten Bungo,
yaitu dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Bagian Lingkungan
Hidup (LH), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Bungo dan Tim ACM-Jambi. Penataan batas dilakukan dengan memasang plat
alumunium. Plat ini sebelumnya telah dibuat secara bergotong-royong oleh
masyarakat. Selain memasang plat, tim juga mengambil titik koordinat dengan
menggunakan alat Global Positioning System (GPS).

Keterlibatan pihak pemerintah dalam kegiatan ini memberikan dukungan moral


yang besar bagi masyarakat. Selama kegiatan berlangsung, pada malam hari
dilakukan diskusi yang tidak saja membicarakan rencana harian tetapi juga
bagaimana mengelola hutan adat ke depan. Keterlibatan ini adalah bentuk
pengakuan tidak langsung dari pemerintah kepada upaya masyarakat dalam
menjaga hutan adat mereka.

Studi banding ke Guguk

Untuk memperkaya gagasan tentang bentuk pengelolaan hutan, pemerintahan


desa, tokoh masyarakat, pemuda dan kelompok perempuan Desa Baru Pelepat,
melakukan studi banding ke Desa Guguk Kabupaten Merangin, pada September
2004. Desa Guguk dipilih karena dianggap berhasil dalam mengelola hutan adat
mereka. Selain itu mereka juga sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah
daerah Merangin, berupa SK-Bupati.

Selain melakukan serangkaian diskusi dengan tokoh adat, pemerintahan desa dan
kelompok pengelola, rombongan masyarakat Desa Pelepat juga menyempatkan
diri melihat dari dekat Hutan Adat Guguk.
430 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Banyak pelajaran dipetik dari kegiatan ini, khususnya bagi masyarakat Desa Baru
Pelepat:
1. Salah satu yang mendorong kuatnya tekad masyarakat untuk menjaga hutan
adat adalah adanya teladan dari para tokoh adatnya.
2. Pengelolaan hutan adat Guguk dikoordinasikan oleh kelompok pengelola.
Kelompok ini mendapat mandat yang kuat dari pemerintah desa dan
didukung oleh pemuka adat. Kelompok pengelola tidak saja berisi pemuka
adat, tetapi mewakili kelompok yang ada di desa, bahkan kaum perempuan
pun menjadi anggota aktif dari kelompok ini.
3. Dalam pengelolaannya, hutan adat diperkaya melalui program reboisasi
yang bekerjasama dengan dinas kehutanan setempat. Selain mereka juga
mengembangkan ekowisata yang dikelola secara bersama-sama dengan
melibatkan kelompok perempuan dan pemuda desa.

Pembentukan kelompok pengelola

Kunjungan ke Guguk, membuka mata masyarakat mengenai pentingnya


kelompok pengelola dalam mengelola hutan adat. Setelah melalui serangkaian
diskusi persiapan, pada bulan Desember 2004 dilaksanakan musyawarah untuk
membentuk kelompok pengelola rimbo adat. Musyawarah ini melibatkan
multipihak desa: BPD, pemerintah desa, tokoh masyarakat, pemuda dan kelompok
perempuan.
Kehadiran kelompok perempuan dalam musyawarah ini sangat memberi
pengaruh terhadap diskusi, dimana kelompok perempuan menginginkan adanya
wakil perempuan untuk menjadi anggota kelompok pengelola rimbo adat. Pada
awalnya ada keberatan dari kelompok laki-laki apakah perempuan akan mampu
menjalankan perannya dalam kelompok ini? Dengan berapi-api kelompok
perempuan berhasil meyakinkan peserta lainnya bahwa itu bukanlah kendala
bagi mereka, asal diberikan kesempatan mereka siap menjalankannya. Akhirnya
disepakati bahwa kaum perempuan akan ada perwakilan.
Selanjutnya musyawarah menyusun kriteria dan tugas bagi calon anggota kelompok
pengelola. Disepakati, kriterianya adalah sebagai berikut:
1. berjasa dalam proses pembuatan rimbo adat (ikut merintis).
2. ada pengalaman dalam rimbo itu sendiri.
3. terdiri dari ninik mamak, pemuda, tokoh masyarakat dan kelompok
perempuan.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 431

Adapun tugas kelompok pengelola rimbo adat adalah mengelola rimbo adat,
mengurus izin pemanfaatan rimbo adat, melakukan pemeliharaan terhadap
tumbuhan dan hewan yang ada didalamnya, melakukan pengawasan di seluruh
kawasan rimbo adat, melaporkan kondisi rimbo adat sekali dalam tiga bulan kepada
pemerintahan desa, dan memprosesnya apabila terjadi pelanggaran.

Berdasarkan kriteria dan tugas tersebut akhirnya terpilihlah 11 orang pengurus


kelompok pengelola yang dipimpin oleh Datuk Abu Nazar. Kelompok ini terdiri
dari perwakilan tiap dusun, unsur ninik mamak, pemuda, tokoh masyarakat
dan kelompok perempuan. Untuk memperkuat kelompok ini, pemerintah desa
memberikan SK pengangkatan untuk kelompok pengelola.

Musyawarah antar dusun

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai aturan


desa tentang pengelolaan rimbo adat, pemerintahan desa melakukan kajian
mendalam di setiap dusun, melalui kegiatan musyawarah dusun. Kegiatan ini
berupaya menghimpun masukan, kritikan dan saran dari warga yang selama ini
tidak pernah terlibat dalam perumusan peraturan desa. Selain itu, kegiatan ini
bertujuan menyentuh bagian terkecil dari kelompok masyarakat desa, sehingga
setiap warga menyadari perannya dalam penyusunan peraturan desa ini. kegiatan
ini Musyawarah dilakukan secara bertahap di empat dusun, yaitu :
• Pertama dilakukan di Dusun Lubuk Beringin melibatkan peserta sekitar 20
orang yang terdiri dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan
ibu-ibu yang ada di Dusun Lubuk Beringin.
• Kedua diadakan di Dusun Lubuk Pekan dengan peserta sekitar 20 orang,
terdiri dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan ibu-ibu juga
pendatang/transmigran. Kegiatan ini juga menunjukkan bahwa semua warga
masyarakat yang tinggal di desa Baru Pelepat punya hak dan kewajiban untuk
memberikan pendapatnya untuk masukan Ranperdes.
• Ketiga diadakan di Dusun Pedukuh dengan peserta sekitar 20 orang terdiri
dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan ibu-ibu, adalah
dusun yang berbatasan langsung dengan rimbo adat.
• Keempat adalah lokakarya yang terakhir diadakan di Dusun Baru Tuo, yang
sebagian besar penduduknya masyarakat asli yang masih satu garis keturunan
dan mempunyai pengaruh sangat besar dalam desa. Pesertanya sama terdiri
dari unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, pemuda dan ibu-ibu.
432 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Musyawarah dilakukan melalui diskusi mendalam, bahkan tak jarang terjadi


perdebatan antar warga. Beberapa hal yang menonjol diantaranya soal pemanfaatan
hasil hutan non-kayu, baik di kawasan fungsi adat maupun lindung. “Kalau manisan
sialang ado dalam fungsi lindung gimano? Itu kan baguno untuk kesehatan, jika dibiaan
kan mubazir”, ujar peserta. Yang lain tetap bersikeras “Kalau dalam kawasan fungsi
lindung tetap tidak boleh namonyo sajo di fungsi lindung.”

Dari musyawarah empat dusun BPD dan Pemdes menyimpulkan hasilnya :


1. Untuk pemanfaatan hasil non-kayu hanya dapat dilakukan di dalam kawasan
fungsi adat saja.
2. Untuk mengambil hasil non-ayu dalam jumlah yang besar harus mendapat
izin dari kelompok pengelola.
3. Bagi yang mengambil hasil non-kayu melebihi batasan yang ditentukan
dikenakan bungo. Misalnya jika mengambil madu lebih dari 10 liter dikenakan
bungo madu sebesar 10% dari hasil yang didapat.
4. Dalam kawasan fungsi lindung tidak dapat dimanfaatkan demi
mempertahankan kelestarian lingkungannya.
5. Disepakati juga mengenai jumlah sanksi berupa denda uang yang sebelumnya
paling tinggi Rp. 5.000.000 menjadi Rp 2.500.000,
6. Pemanfaatan rimbo adat dapat disepakati setelah Ranperdes disahkan menjadi
Perdes melalui tanda tangan kepala desa.

Pelajaran yang didapat dalam lokakarya tingkat dusun, adanya pengalaman baru
dari warga yang selama ini tidak pernah terlibat dalam menyusun peraturan desa.
Banyak masukan warga dusun menambahkan hal-hal yang sebelumnya tidak
dipikirkan oleh tim penyusun. Dampaknya adalah tingginya rasa memiliki warga
terhadap aturan yang mereka buat sendiri. Warga dusun merasa dihargai dengan
diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat mereka.

Sosialisasi seluruh desa

Musyawarah tingkat dusun adalah penggalian terakhir tentang substansi


pengelolaan dan pemanfaatan rimbo adat. Selanjutnya, BPD dan Pemdes
memasukkan hasil musyawarah dari empat dusun tersebut sebagai tambahan
dalam substansi Ranperdes. Masukan tersebut menjadi versi terakhir (draft final)
dari rancangan peraturan desa.

Selain sebagai sarana menggali informasi, musyawarah tingkat dusun juga menjadi
sarana sosialisasi kegiatan penyusunan peraturan desa. Sosialisasi meliputi
penyampaian proses-proses yang telah dilakukan. Selain itu, bagi warga desa
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 433

yang tidak bisa baca tulis, musyawarah dusun menjadi ajang yang efektif untuk
mendengar pendapat mereka.

Sosialisasi lainnya adalah dengan menempelkan hasil Ranperdes di tempat-tempat


umum di tiap dusun, seperti di musholla, warung, maupun tempat berkumpul
masyarakat lainnya. Selama satu bulan, diberikan waktu kepada warga desa untuk
memberikan masukan, kritikan dan saran, baik secara tertulis maupun lisan.

Sidang Akhir BPD

Setelah menyiapkan perlengkapan termasuk draft final dari Ranperdes tentang


rimbo adat, BPD mengundang Pemdes, tokoh masyarakat, lembaga adat,
pemuda, kelompok perempuan, untuk mengadakan sidang pembahasan draft
final Ranperdes rimbo adat. Sidang diadakan di rumah kepala desa pada malam
hari 3 Juli 2005 dipimpin oleh ketua BPD. Sidang berjalan dengan lancar tidak
ada perubahan dengan substansi Ranperdes, hanya saja berlangsung agak lama
dalam memperbaiki kalimat-kalimat ke dalam bentuk narasi yang baik dan mudah
dipahami oleh masyarakat.

Sidang akhirnya menyepakati Ranperdes menjadi Perdes No.2/2005 dan disahkan


pada malam itu juga oleh kepala desa. Ini adalah sidang yang sangat bermakna
bagi seluruh peserta, selain berlangsung hingga dini hari, tetapi juga karena proses
yang berjalan melibatkan seluruh warga desa. Disamping karena yang diatur
adalah kepentingan orang banyak yaitu tentang hutan. Sidang ditutup dengan
membacakan do’a bersama menyatakan rasa syukur mereka telah bisa mewujudkan
peraturan desa.

Pemberitahuan kepada pihak kecamatan dan kabupaten


Sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, setiap peraturan
yang dikeluarkan oleh desa harus disampaikan ke Bupati, Dewan Pewakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dan kecamatan, untuk mendapatkan pengakuan.
Maka Peraturan Desa No. 2/2005 yang sudah disahkan, diberitahukan ke pihak
kecamatan dan kabupaten. Dengan tujuan untuk dilihat oleh pihak kecamatan
dan kabupaten apakah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau
tidak, jika bertentangan pihak kecamatan dan kabupaten berhak membatalkan
peraturan desa tersebut, jika tidak pihak kecamatan dan kabupaten bisa membuat
surat pernyataan setuju dengan peraturan desa yang dikeluarkan. Seandainya
pihak kecamatan dan kabupaten tidak ada tanggapan selama tiga puluh hari maka
secara otomatis peraturan desa yang diberitahukan diakui keberadaannya. Ini juga
434 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

merupakan bentuk sosialisasi ke pihak luar desa bahwa Desa Baru Pelepat telah
mengeluarkan peraturan desa tentang rimbo adat.

Pembelajaran
Dari proses di atas kita dapat melihat dengan jelas kerjasama antar pihak
yang terjadi baik secara horisontal maupun secara vertikal. Secara horisontal,
penyusunan produk hukum ini membuka komunikasi antar pihak yang ada di
desa. Pemerintahan desa memegang peranan penting dalam mengawal proses ini.
Mulai dari menyiapkan pertemuan, penggalian informasi, hingga menuangkannya
ke dalam bentuk tertulis.

Secara vertikal, komunikasi antara dusun dan desa berlangsung lebih lancar.
Kondisi ini pun membuka mata pemerintahan desa dalam melihat keanekaragaman
warganya, baik secara kelompok etnik, usia, maupun kepentingan masing-masing.
Di sisi lain, keterlibatan penuh para pihak di tingkat dusun dan desa meningkatkan
rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap peraturan tersebut, khususnya saat
peraturan tersebut diberlakukan. Hal ini tampak dari kasus sidang adat bagi
pelaku pembalakan liar di hutan adat (lihat lampiran). Meskipun pelaku memiliki
hubungan kekerabatan dengan para pemimpin desa, tetapi pelaku tetap dihukum
dan aturan tetap harus dilaksanakan.

Selain itu, proses ini memperlihatkan bagaimana penerapan dari pembangunan


partisipatif, yaitu keterlibatan penuh para pihak di masyarakat dalam penyusunan
kebijakan. Proses tersebut memperlihatkan kemampuan dan kemauan masyarakat
untuk saling berbagi peran dalam menyusun perencanaan bersama, implementasi,
proses monitoring dan evaluasi bersama.

Secara vertikal juga terjalin komunikasi para pihak antara desa dan kabupaten.
Hal ini memberikan pengalaman baru bagi keduanya. Di tingkat desa, keterlibatan
pemerintah daerah dirasakan penting untuk meningkatkan kepastian hukum
bagi mereka juga pengakuan atas peran masyarakat. Sementara bagi pemerintah
daerah, mereka dapat merasakan kebutuhan masyarakat secara langsung.

Selain komunikasi, pembelajaran sosial juga terjadi di antara masyarakat maupun


pemerintah daerah :
1. Keterlibatan para pihak kepentingan, baik di tingkat dusun, desa dan
kabupaten dalam memberikan masukan, kritik dan saran menjadikan
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 435

peraturan tersebut secara substansi mampu mengakomodasi kepentingan


masing-masing pihak.
2. Selama proses penyusunan ini terjadi dialog antar pihak yang mampu
mengartikulasi kebutuhan serta peran dari masing-masing pihak itu. Hal
ini semakin menyadarkan berbagai pihak untuk saling bekerjasama dalam
mengelola hutan adat mereka.
3. Kemampuan saling memahami antar pihak memungkinkan terjadinya
konsolidasi sosial di masyarakat. Ketegangan yang selama ini terjadi antar
pihak di desa, seperti pemerintah desa dengan BPD, pemerintah desa dengan
adat, dapat dikurangi.

PENUTUP
Proses penyusunan kebijakan desa secara partisipatif adalah salah satu kegiatan
perencanaan bersama yang dapat dilakukan oleh desa. Banyak kegiatan
perencanaan yang dapat dilakukan secara partisipatif seperti penyusunan tata
ruang desa, penataan batas desa, rencana pembangunan desa dan sebagainya.
Rangkaian proses penyusunan kebijakan yang dilakukan oleh Desa Baru Pelepat
bukan suatu pedoman yang harus dilakukan oleh desa atau daerah lain, disini
hanya menitikberatkan betapa pentingnya pelibatan semua pihak kepentingan,
mulai dari perencanaan bersama, proses monitoring dan evaluasi bersama oleh
masyarakat dan pemerintah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih penulis sampaikan kepada kawan-kawan tim ACM-Jambi,
Pemerintahan Desa Baru Pelepat, lembaga adat Desa Baru Pelepat, kelompok
pengelola rimbo adat, terkhusus keluarga (istri dan anak tercinta) yang terus
mendorong penulis untuk terus berkreasi.

BAHAN BACAAN
Helmi. 2006. Dari Adat ke Peraturan Daerah. Dalam Yuliani, E.L., Tadjudin,
Dj., Indriatmoko, Y., Munggoro, D.W., Gaban, F., Maulana, F. (editor),
Kehutanan Multipihak: Langkah Menuju Perubahan. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
436 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Laporan kegiatan Tim ACM-Jambi tahun 2003-2006.


Undang Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Desa No. 1/2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Desa di
Desa Baru Pelepat.
Peraturan Desa No. 2/2005 tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan rimbo adat
Datuk Rangkayo Mulio.
Tim ACM-Jambi. 2007. Laporan Kegiatan Penataan Ulang Batas Rimbo Adat
dan Peta Digital. YGB, PSHK-ODA, CIFOR.
Yuliani, E.L., Adnan, H., Surma, E.H., Marzoni, Novasyurahati, Anggana. 2004.
Studi Potensi Kawasan Hutan Bukit Siketan, Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Bungo, Jambi. Laporan untuk BAPPEDA Kabupaten Bungo
sebagai syarat untuk memperoleh pengakuan formal atas Hutan Adat
Desa Baru Pelepar. Cifor, Bogor, Indonesia.
Yuliani, E.L., Anggana dan Novasyurahati. 2008. Kekayaan Hutan Bukit Siketan.
Dalam: Adnan, H., Tadjudin, D.J., Yuliani, E.L., Komarudin, H.,
Lopulalan, D., Siagian, Y.L., Munggoro, D.W. (ed.) Belajar dari Bungo:
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 437

Lampiran 1. Proses Penyusunan Perdes No.2/2005 tentang Pemanfaatan dan Pengelolaan


rimbo adat Datuk Rangkayo Mulio di tingkat desa

Proses Penyusunan Perdes No.2/2005 tentang Pengelolaan Rimbo Adat Datuk


Rangkayo Mulio Desa Baru Pelepat
Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo-Jambi

Sejak lama, Desa Baru Tahun 2001-2003 ada program


Pelepat dan Desa Batu Agustus 2003, Integrated Conservation and
Kerbau telah memiliki Bersama ACM dilaksanakan Development Program (ICDP)
kawasan hutan adat, sebagai Musyawarah Desa yang yang membangkitkan kembali
cadangan maupun lindung. menghasilkan Kesepakatan Rimbo Adat dan Lindung desa
Pada zaman Belanda untuk pengukuhan Rimbo Adat melalui Kesepakatan
dilakukan pemasangan patok Datuk Rangkayo Muli (RADRM) Konservasi Desa (KKD),
dan tanda keberadaan penentuan dan pemetaan
kawasan ini kawasan

BPD mengumpulkan Juni 2004


Dilaksanakan Musyawarah Desa yang Proses pengukuhan di
pendapat dari masyarakat tingkat kabupaten dan
dan menyusun menjadi menyepakati aturan pengelolaan RADRM.
Aturan tersebut akan ditindaklanjuti propinsi serta pembentukan
Raperdes Forum Diskusi Multipihak
dalam bentuk Perdes dan memulai proses
pengukuhan di tingkat kabupaten

Agustus 2004, 3 Juli 2005, Musyawarah Desa


Bersama tim ACM, kami dipimpin oleh BPD untuk membahas
melaksanakan kajian dan mengesahkan Perdes Rimbo
lapangan untuk melihat Adat. Desa mengusulkan kebijakan
keaneka ragaman hayati hutan adat di tingkat kabupaten
RADRM

September 2004,
Untuk memperluas Fasilitasi BPD dalam
wawasan, kami menyusun dan
mengadakan studi banding finalisasi Raperdes
ke desa Guguk, kab. RADRM, sebagai
Merangin yang hutan wujud KEMANDIRIAN
adatnya telah dikukuhkan kami dalam mengelola
melalui SK Bupati. hutan kami

Oktober 2004, Desember 2004, Musyawarah di empat


Bersama staf Dishutbun, Melalui musyawarah Desa dusun, pembahasan
LH dan ACM melakukan dilakukan pembentukan dan penyempurnaan
survei batas fungsi adat Kelompok Pengelola draft Ranperdes
dan lindung RADRM RADRM
438 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Lampiran 2. Salah satu bentuk penegakan hukum oleh masyarakat

Ketika Hukum Berdaulat:


Penegakan Hukum oleh Masyarakat dalam Menyelesaikan
Kasus Pencurian Kayu di Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio

oleh Ismal Dobesto dan Hasantoha

Belum genap satu tahun usia


Perdes No.2/2005 tentang
Pemanfaatan dan Pengelolaan
Rimbo Adat Datuk Rangkayo
Mulio disahkan, namun sudah
mendapat tantangan dalam
pelaksanannya.

Ceritanya bermula dari kabar yang


diterima Pak Abunazar, selaku
ketua kelompok pengelola rimbo
adat, dari Hamadi pada Jum’at,
16 September 2005 lalu. Hamadi
bercerita bahwa ketika ia pergi
menjalo ikan ke daerah sungai
Meliau pada 15 September 2005

© Dok. ACM-Jambi
lalu, ia melihat ada dua orang
di daerah tersebut. Kemudian ia
juga melihat balok-balok kayu di
pinggir sungai Meliau. Tak lama
kemudian ia mendengar suara
chainsaw berbunyi, tanda orang sedang menggesek kayu. Suara itu ia dengar di
sebelah kanan laju ke mudik sungai Meliau. Ketika ia terus menelusuri sungai
tersebut, tampaklah pondok darurat di sisi kanan sungai. Di sana juga tampak
beberapa orang yang ia duga melakukan penebangan di Rimbo Adat.

Cerita itu diperkuat oleh oleh Abenhur yang juga melaporkan ke Pak Abunazar
persis setelah Hamadi bercerita tentang pencurian kayu itu. “Pado waktu ambo
maagih makan kobau, tadonga dek ambo bunyi mesin sinsow, rasonyo dalam kawasan
rimbo adat itu nian! Kalau io Pak tongah! Sekali iko jangan dilimbagokan yoolai, harus
ditindak sampai tuntas, menuruik ambo bia tumbuah terjadi diabak ambo, sedikik tidak
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 439

ado limbagonyo, kalu kito masih memakai limbago rimbo adat itu ancua, untuk
yang kadatang tidak usah dibuek limbago adat juo lai,” begitu ceritanya berapi-api
kepada Pak Ketua kelompok pengelola.

Mendapat dua informasi itu, Pak Abunazar segera mencari informasi lebih
lengkap ke beberapa warga baik di Desa Baru Pelepat maupun Batu Kerbau.
Dari hasil tanya-sana-tanya-sini, akhirnya didapatlah informasi bahwa salah
seorang warga Belukar Panjang, Desa Batu Kerbau memang ada mengambil
kayu hingga masuk ke kawasan rimbo adat. Orang itu bernama Tumpul.

Untuk memastikan kebenaran berita itu, ditemuilah Tumpul dan menanyakan


kebenaran berita tersebut. Tanpa mengelak Tumpul pun mengakui bahwa ia telah
mengambil kayu di kawasan rimbo adat. Pak Abunazar lalu memberitahukan
soal Perdes No.2/2005 berkenaan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
rimbo adat serta sanksi jika ada pelanggaran. Mendengar hal itu, Tumpul pun
berjanji bersedia untuk menjalankan sanksi tersebut. Namun, sebelum sanksi
dijatuhkan, akan diadakan terlebih dahulu musyawarah adat yang membahas
soal ini.

Untuk memperkuat bukti-bukti pelanggaran tersebut, Pak Abunazar kemudian


meminta salah seorang anggota kelompok pengelola, yaitu Bang Mizi, untuk
melakukan pengecekan ke lokasi pencurian tersebut. Pada Sabtu, 17 September
2005, Bang Mizi dengan membawa Ramadon (anaknya, 8 th), pergi melakukan
pengecekan ke lokasi. Di tempat tersebut, ia menemukan beberapa pohon
sudah ditebang, bahkan sudah dijadikan kayu balok, setidaknya terdapat 10
kotong. Sedangkan lokasinya memang berada di kawasan rimbo adat.

Keesokan harinya, Minggu, 18 September 2005, datanglah bapak mertua


Tumpul ke tempat Pak Abunazar. Ia menyampaikan telah melarang Tumpul
untuk mengambil kayu balok di sebelah kanan laju mudik sungai Meliau, karena
itu termasuk kawasan rimbo adat. Kalau mau mengambil sebaiknya di kiri laju
mudik. Namun tampaknya hal tersebut tidak dihiraukan oleh Tumpul. Pak Abu
tak banyak menanggapi berita itu, ia hanya mencatat dan menjadikan bukti
penguat telah terjadi pelanggaran di rimbo adat dalam musyawarah nanti.

Setelah bukti-bukti yang dikumpulkan dirasakan cukup kuat, Pak Abunazar


atas nama kelompok pengelola rimbo adat lalu membuat surat tertanggal 19
September 2005 yang ditujukan kepada Ketua Lembaga Adat Desa Baru Pelepat.
Surat tersebut berisikan permohonan untuk menyelenggarakan musyawarah
adat berkaitan dengan adanya pelanggaran di rimbo adat. Hal ini dilakukan
440 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

karena menurut Perdes No.2/2005 yang berwenang untuk menyelenggarakan


sidang adat adalah lembaga adat.

Namun sayangnya lembaga adat tidak segera menanggapi surat tersebut. Hingga
dua minggu tidak ada kabar berita mengenai tindak lanjut dari surat tersebut.

Karenanya, seusai dilaksanakan pengukuhan kelompok pengelola oleh Bupati


Bungo pada 2 Oktober 2005, kelompok pengelola lalu mengadakan pertemuan
untuk membicarakan penyelesaian kasus pelanggaran di rimbo adat dan menyusun
rencana tindak lanjutnya. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan:
1. mengupah orang untuk mengeluarkan kayu atau barang bukti dari rimbo
adat untuk kemudian kayu tersebut dijual. Hasil penjualan, akan digunakan
untuk membiayai sidang adat dan operasional kelompok pengelola.
2. Mengirimkan kembali surat susulan kepada lembaga adat yang isinya meminta
kepada lembaga adat untuk menyelenggarakan sidang adat berkaitan dengan
penyelesaian kasus pencurian kayu di rimbo adat.

Surat susulan tersebut tertanggal 18 November 2006. Namun kembali tidak ada
tanggapan dari lembaga adat atas surat tersebut. Pada saat itu di masyarakat
pun mulai muncul pertanyaan; mengapa lembaga adat tidak cepat menyelesaikan
masalah ini? Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kelompok pengelola
berinisiatif membicarakan hal ini kepada pemerintahan desa. Kepala desa segera
menanggapinya dengan meminta secepatnya melaksanakan sidang adat. Ia
menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat persidangan. Pihak pengundang
adalah kelompok pengelola, sedangkan yang diundang, selain tersangka, saksi-
saksi, juga lembaga adat, BPD, Pemdes, ninik mamak, tokoh masyarakat.

Kelompok pengelola pun bergerak cepat. Undangan segera dibuat dan dikirimkan
pada 20 November 2005, sedangkan sidang direncanakan pada 25 November
2005 bertempat di rumah kepala desa.

Sidang pun dilaksanakan pada tanggal dimaksud. Sayangnya tertunda beberapa


jam karena menunggu kehadiran Kades dan Ketua BPD. Sidang baru bisa di mulai
sekitar jam 23.00, undangan pun tidak sepenuhnya hadir, namun dianggap cukup
mewakili kelompok masyarakat yang ada.

Sidang diawali dengan penyampaian pengantar dan duduk persoalan mengapa


sidang adat itu perlu dilaksanakan oleh ketua kelompok pengelola. Setelah itu
sidang pun diserahkan kepada ketua lembaga adat dan sekaligus memimpin sidang
serta menerima berkas perkara dari ketua kelompok pengelola.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 441

Dalam pembukaannya, Datuk Arif, selaku ketua lembaga adat, menyampaikan


bahwa baruak dirimbo disusukan anak dipangku dilapehkan, artinya siapapun
pelanggarnya kebenaran harus ditegakkan, tidak memandang bulu. Bang Hamdan,
selaku kepala desa dalam sambutannya juga berpendapat senada. “Yang salah tetap
salah, kami tidak akan bersifat belah buluh dalam perkara ini, silahkan mengeluarkan
pendapat jangan malu dan segan dengan saya, sekalipun si Tumpul masih ada hubungan
keluarga dengan saya.”

Saat berjalannya sidang, Bang Mirul, selaku ketua BPD turut membantu lembaga
adat dengan menggali satu-persatu pendapat peserta sidang tentang pencurian
kayu di rimbo adat. Dari penggalian ini didapat kata sepakat bahwa tersangka
terbukti bersalah. Sidang pun berlanjut untuk menentukan besarnya sanksi
dan denda yang mesti diberlakukan kendati Perdes No.2/2005 sudah cukup
jelas mengatur sanksi dan denda yang harus dibayarkan, namun sidang berjalan
sangat alot. Sebagian menganggap bahwa terdakwa harus membayar sebagaimana
tercakup pada Perdes No.2/2005, yaitu kambing satu ekor, seasam segaram, beras
dua puluh gantang, kain dua kayu; uang minimal Rp. 2 500.000; hasil kayu dan
non kayu disita dan dijual. Namun sebagian lain cukuplah terdakwa membayar
denda adat saja tanpa denda uang. Menghadapi situasi ini, Bang Mirul, lagi-lagi
menggali pendapat satu-persatu ke seluruh peserta sidang perihal sanksi apa yang
sebaiknya diberikan kepada terdakwa.

Akhirnya disepakati bahwa terdakwa akan dikenai sanksi adat dan denda uang.
Hanya saja belum disepakati berapa besar denda uang yang harus diberikan.
Kembali sidang berjalan alot. Kemudian pimpinan sidang menanyakan kesanggupan
terdakwa untuk membayar sanksi tersebut. Terdakwa mengakui kesalahannya,
namun ia meminta pertimbangan peserta sidang, bahwa ia tidak menyengaja
melakukannya, lagipula ia tidak mengetahui adanya Perdes No.2/2005 tersebut.
Selain itu, dengan keadaan saat ini, ia tidak sanggup bila harus membayar sanksi
dan denda seperti termuat pada Perdes No.2/2005.

Pimpinan sidang kemudian mengembalikan ke peserta mengenai permohonan


terdakwa tersebut. Sidang kemudian memutuskan bahwa terdakwa harus
membayar sanksi adat berupa kambing seekor, seasam segaram, dua puluh
gantang beras, dan kain dua kayu. Namun hingga larut malam, sidang belum
mampu memutuskan apakah terdakwa juga harus membayar denda uang. Saat itu
ada tiga pendapat yang berkembang, yaitu terdakwa membayar separuhnya (Rp.
1.250.000) sebagaimana diusulkan oleh Datuk Gani, atau Rp. 500.000 (diusulkan
oleh Pak Abunazar), atau tidak membayar sama sekali seperti yang diusulkan
Datuk Arif.
442 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Abdullah, salah seorang anggota kelompok pengelola, keberatan dengan usulan


tersebut karena tidak sesuai dengan Perdes No.2/2005. Ia meminta kepada ninik
mamak untuk memutus perkara dengan pertimbangan masak-masak. “Kito la susah
payah membuat kesepakatan Perdes, hari berganti hari, bulan berganti bulan, bahkan
sampai satu tahun, jadi jangan rubah semua kesepakatan yang telah kita buat besama,
artinya yang salah harus dihukum sesuai dengan perdes, paling tidak denda uang harus
dibunyikan tidak masalah jumlahnya sedikit atau banyak,” begitu jelasnya dengan
penuh berapi-api.

Sayangnya, karena malam sudah terlalu larut, dan sebagian peserta sudah lelah.
Akhirnya usulan agar diberikan sanksi adat saja diterima. Dengan pertimbangan
ini adalah kasus yang pertama, selain itu terdakwa tidak menyanggupi kalau
ditambah denda uang. Terdakwa harus membayar sanksi adat berupa seekor
kambing, seasam segaram, dua puluh gantang beras, dan kain dua kayu yang harus
dibayarkan 14 hari terhitung sejak keputusan tersebut dibuat. Dengan tidak puas
akhirnya hal tersebut diterima oleh peserta sidang adat.

Keesokan harinya, sebagian masyarakat bertanya-tanya mengenai hasil sidang adat


tersebut, mengapa Tumpul hanya dikenakan sanksi adat saja? Padahal menurut
Perdes No.2/2005 disebutkan pula denda uang. Mereka merasa percuma telah
membuat peraturan dengan susah payah tapi tidak dijalankan. Mereka menuntut
agar denda uangnya dibunyikan, tak masalah jumlah yang harus dibayarkannya.
Tuntutan ini penting karena itu berdsarkan keputusan bersama. Bila hal itu tidak
dilaksanakan, berarti masih ada limbago, ada ketidakadilan dalam pelaksanaan
hukum. Bila hal ini nanti terulang kembali, maka masyarakat akan selalu mengacu
pada hasil sidang pertama ini. Dan ini artinya mengkhianati kesepakatan yang
telah dibangun bersama di tingkat dusun hingga desa untuk menjaga rimbo adat.
Bahkan ada yang secara emosional menganggap bahwa keputusan tersebut sama
saja dengan menghancurkan rimbo adat secara perlahan.

Melihat banyaknya masyarakat yang tak puas dengan keputusan tersebut.


Beberapa anggota masyarakat kemudian membuat surat pernyataan keberatan
atas keputusan hasil sidang adat. Dalam surat tersebut mereka meminta agar
sidang diulang kembali dan denda uang dihidupkan kembali. Apabila hal tersebut
tidak dilaksanakan, mereka tidak menjamin kelangsungan rimbo adat di masa
mendatang. Surat tersebut ditujukan kepada lembaga adat desa, kades, ketua
BPD, ketua kelompok pengelola, dan ditandatangani oleh sekitar 24 orang terdiri
dari perwakilan masyarakat termasuk kelompok perempuan.
BAGIAN 4-8 • Ismal Dobesto 443

Tiga hari setelah mendapat surat keberatan tersebut, ketua kelompok pengelola
berkonsultasi dengan kepala desa dan ketua BPD untuk mencari jalan
penyelesaiannya. Hasilnya disepakati agar sidang adat tidak usah diulang, namun
denda uang tetap dihidupkan. Saat itu disepakati bahwa denda uang yag harus
dibayar oleh terdakwa sebesar Rp. 200.000. Mendengar keputusan ini, maka
masyarakat pun tidak lagi bertanya-tanya mengenai keputusan sidang adat
tersebut.

Pada 10 Desember 2005 dilaksanakanlah acara pembayaran denda adat di rumah


ketua lembaga adat. Saat itu diserahkan seekor kambing, seasam segaram, dua
puluh gantang beras dan kain 2 kayu. Kambing dipotong dan seasam segaram
menjadi bumbunya. Nasi pun ditanak menjadi santapan bersama masyarakat
desa. Pada saat itu pula disebutkan kembali kewajiban terdakwa untuk membayar
denda uang sebesar Rp.200.000.

Menjalani itu semua masyarakat merasa puas, karena telah mampu melaksanakan
kesepakatan yang telah disusun bersama-sama. Ujian pertama telah berhasil
dilalui dengan baik. Apakah masyarakat masih mampu menghadapi ujian-ujian
lainnya? Semoga...
BAGIAN 4-9
Menata Ruang Desa:
Jalan menuju Komunikasi dan Kolaborasi

Marzoni

Kami indak biso membuek aturan-aturan di dalam ladang kami, jiko’ ladang itu indak
tau uteh jo batehnyo (kami tak bisa membuat aturan dalam mengatur ladang kami jika
kami tidak tahu dimana batas-batasnya).
Kuris (48 th), kadus Lubuk Pekan, Desa Baru Pelepat, Jambi.
BAGIAN 4-9 • Marzoni 445

© Dok. ACM-Jambi
PENDAHULUAN
Pernyataan di bagian muka muncul saat kami memulai kegiatan penelitian-
pendampingan ACM di Desa Baru Pelepat dalam sebuah workshop desa yang
menggagas perlunya menata ruang desa sebagai wujud implementasi otonomi desa.
Hal ini penting, karena dalam konteks otonomi desa, penataan ruang berperan
sebagai dasar pembangunan desa.

Tata ruang adalah cara pembagian wilayah dan pola pemanfaatan ruang
berdasarkan fungsi dan kepentingan tertentu, baik direncanakan maupun tidak.
Dalam penataan ruang terdapat tiga aspek utama, yaitu proses perencanaan dan
pembentukan tata ruang, prinsip pemanfaatan ruang, serta aspek pengendalian
(pengawasan) pemanfaatan ruang. Tata ruang disusun untuk meningkatkan
mutu lingkungan hidup dan pemanfaatannya, yang merupakan perpaduan antara
tata guna tanah, air, udara dan tata guna sumberdaya lainnya. Jika ketiga aspek
tersebut dapat diterapkan di dalam implementasi sebuah tata ruang maka manfaat
dari sebuah tata ruang akan terasa sangat besar.

Seiring dengan berjalannya otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999, yang


kemudian direvisi melalui UU No. 32/2004, pemerintah daerah diberi kewenangan
446 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

yang luas dalam mengatur, membagi dan memanfaatkan sumberdaya alam. Dalam
hal ini, tata ruang memegang peranan yang sangat penting sebagai kerangka
yang menetapkan peluang dan batasan bagi kegiatan pembangunan. Sehingga
perencanaan tata ruang adalah awal dasar dan panduan bagi perencanaan
pembangunan.

Berdasarkan UU No. 24/1992, terdapat 3 tingkatan rencana tata ruang, yaitu


nasional, propinsi, dan kabupaten yang satu sama lain perlu saling berkoordinasi.
Selain pemerintah, melalui Permendagri No. 9/1998 tentang Tata Cara Peran
Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah, diperjelas
mengenai keterlibatan masyarakat luas dalam perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan tata ruang.

Secara ideal, penataan ruang kabupaten berisi penjabaran dari tata ruang desa
(TRD). Desa menjadi penopang pembangunan dan kelangsungan kabupaten.
Keberhasilan pembangunan dan keberadaan kabupaten sangat ditentukan oleh
berhasil-tidaknya pembangunan desa-desa yang berada di wilayahnya. Pada saat
yang sama, pembangunan desa sangat tergantung dari sarana dan prasarana
yang disediakan pemerintah beserta peraturan pemerintahnya. Hubungan ini
memperlihatkan adanya saling mendukung antar satu sama lain.

Sayangnya, dalam penataan ruang, UU No. 24/1992 hanya menyebutkan tata


ruang desa sebagai bagian dari tata ruang kabupaten. Ini tentunya kurang sejalan
dengan semangat otonomi desa yang memberi kewenangan desa untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat desanya. Selain itu keterbatasan dana,
kurangnya dukungan kapasitas dan lemahnya kemampuan lembaga, seringkali
menghambat peran dari tata ruang desa ini.

Padahal, banyak pula yang melihat penyusunan TRD sebagai satu bentuk
keterlibatan langsung dalam proses penataan ruang daerah oleh masyarakat.
Selain itu, ada keinginan yang besar untuk melihat seberapa jauh peran tata
ruang desa mempengaruhi strategi pengelolaan sumber daya alam dan rencana
pembangunan pedesaan.

Tulisan ini memperlihatkan proses panjang serta pembelajaran dalam menyusun


tata ruang desa yang dilakukan secara kolaboratif. Perbedaan pandangan dan
pengetahuan antar pihak justru menjadi jalan menuju komunikasi, saling belajar
dan kerjasama banyak pihak, baik di dalam desa maupun pihak lain di luar desa.
Selain itu penyusunan tata ruang menjadi sarana untuk menyelesaikan persoalan
batas desa dengan baik.
BAGIAN 4-9 • Marzoni 447

MENGAPA PERLU PENATAAN RUANG?


Beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya penataan ruang di Desa Baru
Pelepat, pertama, adanya berbagai persepsi ruang di desa yang saling tumpang
tindih satu sama lain. Selama ini masyarakat desa mengenal pembagian ruang
secara adat (penentuan lahan untuk berladang, jenis tanaman, dll). Namun sejak
1998 mereka juga mengenal tata ruang transmigrasi1, tata ruang administrasi desa,
dan lainnya.

Kedua, dengan dilaksanakannya program transmigrasi di desa, terjadi pembukaan


areal 300 ha kebun karet tua menjadi wilayah permukiman transmigrasi dan lahan
usaha (LU). Belakangan baru disadari ternyata hal tersebut merugikan masyarakat
dengan hilangnya sumber matapencaharian dari hasil kebun karet. Selain itu,
karena penataan ruang yang kurang memperhitungkan akses jalan, lahan usaha
akhirnya terbengkalai, disamping ketiadaan pemodal sebagaimana dijanjikan.
Dampak selanjutnya, masyarakat kemudian melakukan pembalakan di hutan-
hutan sekitar desa sebagai mata pencaharian. Kegiatan ini kemudian terhenti
seiring dengan semakin sulitnya mendapatkan kayu dan diberlakukannya Inpres
tentang penebangan liar. Kondisi ini kemudian membuka pemikiran masyarakat
mengenai perlunya penataan ruang secara partisipatif dan berkelanjutan.

Ketiga, adanya berbagai rencana program pengembangan pertanian di desa.


Sepanjang 2004-2005 teridentifikasi sekitar 13 program pertanian, perkebunan
dan kehutanan dilaksanakan di Desa Baru Pelepat. Implementasi program-program
ini tentunya membutuhkan perencanaan lahan dan kesiapan dari masyarakat.

Peran, Tujuan dan Sasaran Penyusunan TRD


Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan penyusunan TRD:
a. Sebagai dasar dalam penyusunan rencana pembangunan kecamatan/
kabupaten (melalui mekanisme musyawarah rencana pembangunan desa).
b. Penyusunan TRD dengan melibatkan seluruh masyarakat, sehingga tergali
kebutuhan, visi dan rencana kegiatan pembangunan ke depan.
c. Penataan ruang juga membantu dalam mempertajam program-program
pembangunan maupun pertanian dari pemerintah, sehingga program tersebut
tidak mubazir. Hal ini karena program yang diturunkan oleh pemerintah

1 Istilah ini muncul dengan masuknya program transmigrasi pada 1998 di Desa Baru Pelepat. Tata ruang transmigrasi dimaksudkan sebagai perencanaan
dan pemanfaatan ruang di wilayah desa yang menjadi lokasi program transmigrasi.
448 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

tidak menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Atau kendati dibutuhkan, namun


masyarakat tidak siap, sehingga program tersebut gagal dan hanya membuang
duit saja.
d. Selain itu, penataan ruang juga berperan sebagai kendali dan pemantauan
dalam pemanfaatan potensi yang ada di desa. Misalnya kawasan yang
sudah disepakati untuk menjadi lahan perkebunan dipertahankan sebagai
perkebunan, bukan sebagai permukiman, misalnya. Karenanya partisipasi
masyarakat menjadi menentukan dalam proses penyusunan tata ruang ini.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyusunan TRD adalah:
a. Terciptanya keserasian perkembangan kegiatan pertanian dalam menunjang
wilayah sekitarnya, termasuk didalamnya kesatuan sistem atau keterkaitan
sosial ekonomi.
b. Terkendalinya konservasi pemanfaatan ruang sehingga dapat tercegahnya
kerusakan lingkungan.
c. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan prasarana dan sarana yang
menunjang produktivitas pengumpulan pemasaran hasil produksi
pertanian.
d. Terciptanya lingkungan perumahan dan permukiman yang layak, bersih,
sehat dan aman dengan tersedianya prasarana dan sarana air bersih, air
limbah, pendidikan, sosial, ekonomi, ibadah dan sebagainya.

Sedangkan sasaran yang hendak dicapai dalam penyusunan TRD adalah:


a. Tersusunnya strategi pengembangan wilayah perdesaan sebagai wilayah yang
mempunyai kedudukan strategis.
b. Tersusunnya rencana pengembangan prasarana dan sarana dasar wilayah
perdesaan.
c. Tersusunnya struktur pemanfaatan ruang wilayah perdesaan sebagai wujud
dari alokasi kegiatan dalam suatu wilayah.
d. Tersusunnya prioritas pembangunan di kawasan pedesaan (berdasarkan
Sektor, Indikasi Program Pembangunan, Lokasi Tahapan Pelaksanaan 5
Tahun I dan 5 Tahun ll).
BAGIAN 4-9 • Marzoni 449

Proses Panjang Kolaborasi dalam


Menyusun Tata Ruang Desa

Pengumpulan informasi
dan musyawarah untuk
perencanaan TRD
Kegiatan pengumpulan informasi
diawali dengan menyelenggarakan
© Hasantoha Adnan
lokakarya diikuti oleh masyarakat
desa di Kecamatan Pelepat, wakil
dari Balai Taman Nasional Kerinci
Sebelat, Bappeda Bungo, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, Dinas
Nakertrans, Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian, ICRAF–Ma. Bungo dan Tim
ACM-Jambi. Lokakarya ini selain menggali pemahaman peserta tentang tata ruang
desa juga mengidentifikasi hal-hal yang menjadi permasalahan dalam menyusun
tata ruang desa. Melalui lokakarya diketahui bahwa hingga saat ini belum ada
satupun desa yang telah menyusun tata ruang sebagai landasan pembangunan
desanya. Selain itu, di tingkat kabupaten sendiri tata ruang masih difokuskan
pada tata ruang kabupaten dan kecamatan, dan belum memfokuskan ke desa. Hal
ini dikarenakan terbatasnya pembiayaan daerah.

Beberapa persoalan yang muncul diantaranya perbedaan antara tata ruang adat,
yang selama ini menjadi acuan di desa, dengan tata ruang yang diusulkan oleh
pemerintah. Misalnya, seperti di Batu Kerbau dan Baru Pelepat, secara adat,
beberapa kawasan dijadikan hutan (rimbo) adat secara turun temurun, tetapi
dalam kenyataannya kawasan tersebut masuk ke dalam kawasan hutan produksi.
Persoalan lain mencakup masalah tata batas antar desa, karena ada perbedaan
antara batas yang diatur secara administratif dengan batas adat yang juga diakui
oleh masyarakat.

Pembuatan sketsa desa


Pembuatan sketsa dimulai dengan cara memperkirakan perkembangan yang
mungkin terjadi pada 10 tahun yang akan datang. Metoda yang digunakan
adalah ”skenario masa depan.” Hasilnya adalah adanya perkiraan kebutuhan dan
kemungkinan yang dapat terjadi pada 10 atau 15 tahun yang akan datang. Sebagai
450 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

contoh,masyarakat merencanakan adanya sebuah jembatan yang menghubungkan


satu hamparan lahan pertanian dengan hamparan lainnya di desa kami pada
10 tahun yang akan datang. Akan tetapi karena ada peluang pembangunan
infrastruktur desa oleh pemerintah kabupaten, maka jembatan tersebut ternyata
tidak harus menunggu 10 tahun. Pembuatan sketsa menjadi langkah awal dalam
penataan ruang sebagai wujud struktural pembagian ruang secara nyata dan
tertata.

Pertemuan desa selanjutnya adalah memperkaya sketsa perencanaan ruang desa


dengan data dan pengetahuan serta kondisi faktual yang diperoleh dari berbagai
anggota masyarakat. Untuk memastikan keterwakilan antar kelompok atau
lembaga di desa, juga untuk adanya saling berbagi pengetahuan dan pengalaman
antar mereka, pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari ibu-ibu, pemuda, tokoh
masyarakat, pemerintah desa, BPD dan Lembaga Adat Desa. Pada tahap ini, sketsa
desa dilengkapi dengan data dan kondisi faktual sesungguhnya. Selain itu sketsa
desa juga dilengkapi dengan rencana peruntukan ruang. Sehingga sketsa itu akan
berisi informasi masa lalu dan masa depan. Sketsa inilah yang kemudian dibahas
kembali untuk disepakati oleh seluruh anggota masyarakat desa dan disahkan
secara tertulis.

Membuat kesepakatan pemanfaatan ruang desa


Musyawarah desa untuk menyusun sketsa desa berisi batas-batas dengan desa
tetangga, identifikasi pemanfaatan lahan-lahan yang ada, dan identifikasi potensi
pengembangan desa ke depan. Dari identifikasi tersebut tergali tiga kaidah umum
penataan ruang di desa, yaitu untuk pemukiman dan fasilitas umum, konservasi
dan perlindungan, serta usaha dan pengembangan ekonomi.

Melakukan kegiatan bersama dengan pihak terkait

Pembuatan kesepakatan batas wilayah desa

Seperti banyak terjadi di tempat lain, batas wilayah kelola masyarakat, baik
itu batas administrasi desa maupun batas wilayah adat, seringkali tidak jelas di
lapangan. Bahkan kesepakatan dengan pihak lain yang berbatasan pun tidak ada.
Hal ini menjadi salah satu penghambat yang cukup signifikan bagi pengelolaan
sumberdaya alam, karena tak jarang menimbulkan konflik. Karenanya, kegiatan
pemetaan dan negosiasi tata batas menjadi salah satu solusinya.
BAGIAN 4-9 • Marzoni 451

Dengan adanya batas-batas yang


jelas, masyarakat merasakan
adanya kepastian untuk mengelola
sumberdaya alam yang ada dalam
wilayah Baru Pelepat. Seperti
diungkapkan salah seorang tokoh
masyarakat, “Bagaimana kita
hendak membuat aturan agar

© Dok. ACM-Jambi
orang lain tidak mengganggu
kebun kita jika batas-batas kebun
itu tidak diketahui dan tidak
disepakati?”.

Sebagai langkah awal masyarakat menyusun perencanaan kegiatan, mulai


dari diskusi kelompok terfokus di setiap dusun hingga ke tingkat desa. Selain
itu juga dilakukan diskusi-diskusi informal dalam kelompok yang kecil untuk
membincangkan sejarah desa, pengetahuan batas adat atau alam, serta perkiraan
hambatan dalam menegaskan batas wilayah.

Kemudian diadakan musyawarah tingkat desa untuk membuat perencanaan yang


lebih matang, mengenai kejelasan wilayah dan batas-batas desa. Yang perlu diingat
adalah bahwa tujuan penegasan wilayah bukan untuk membuat konflik dengan
desa tetangga melainkan untuk memperjelas wilayah tetangga yang berbatasan
dengan wilayah Desa Baru Pelepat. Refleksi juga mengulang kembali cerita
sejarah para pendahulu yang juga berkaitan dengan batas wilayah. Sejak menjadi
pemerintahan desa pada 1980an, wilayah desa tidak lagi sesuai berdasarkan adat.
Selain itu, tak jelas benar apa persepsi masyarakat desa tetangga tentang batas
mereka. Apakah mereka sudah punya batas yang jelas ataukah belum. Apakah
mereka juga mempunyai batas sesuai sejarah adat? Hal inilah yang kemudian kami
jajaki dan musyawarahkan dengan desa-desa tetangga tersebut. Sebagai bahan
acuan akan digunakan peta wilayah desa yang telah dibuat BPN Kabupaten Bungo
tahun 2000. Disepakati pula bahwa negosiasi dilakukan pertama kali kepada
masyarakat desa-desa tetangga dulu, setelah itu baru melibatkan pemerintah.

Kemudian disusunlah perencanaan pemetaan wilayah. Pertama, akan dilakukan


musyawarah dengan Desa Sungai Beringin, Desa Pulau Tebakar, dan Desa Rantel.
Desa Batu Kerbau batasnya dianggap sudah jelas, masih merupakan kesatuan
adat Desa Baru Pelepat sehingga diasumsikan tidak akan sulit, namun akan ada
pemberitahuan juga ke desa tersebut. Kedua, setelah ada kesepakatan barulah
dicari batas-batasnya dan ditentukan titik koordinatnya. Proses ini direncanakan
452 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

juga dilakukan dengan cara merintis atau berjalan menyusuri batas keliling wilayah
desa.

Sesuai dengan perencanaan desa tersebut maka dikirim utusan ke desa-desa


tetangga (Sungai Beringin dan Pulau Tebakar). Penyampaian dilakukan secara
lisan sekaligus bermaksud mengetahui persepsi pihak desa tetangga atas undangan
yang disampaikan.

Tanggapan dari Desa Sungai Beringin dan Pulau Tebakar rupanya positif. Menurut
kepala desa dan kepala dusun, serta ninik mamak di Desa Sungai Beringin, atas
nama masyarakat Desa Sungai Beringin menyambut baik maksud dari undangan
yang disampaikan dan bersedia untuk memenuhi undangan dari masyarakat Desa
Baru Pelepat. Begitu juga tanggapan yang disampaikan oleh masyarakat Pulau
Terbakar. Proses musyawarah tentang tata batas antar desa ini memang baru
pertama kali ini diadakan.

Akhirnya pertemuan pun terselenggara sesuai undangan. Perwakilan dari Pulau


Tebakar datang ke Desa Baru Pelepat, sedangkan dari Desa Sungai Beringin
berhalangan memenuhi undang dan hanya memberikan informasi tentang persepsi
mereka melalui surat resmi dari desanya. Dari hasil pembicaraan bersama, persepsi
dari masing-masing pihak tentang tata batas dapat dikomunikasikan. Ternyata
memang terdapat persepsi yang berbeda tentang batas menurut cerita adat dari
masing-masing desa selain memang desa-desa tetangga juga tidak tahu batas
wilayah mereka di lapangan.

Lanjutan dari pertemuan tersebut adalah meninjau bersama ke lapangan untuk


sekalian menentukan titik-titik batas yang disepakati. Kegiatan ini memang
berjalan lambat karena semuanya memerlukan proses, selain waktu masyarakat
yang terbatas, karena dipergunakan untuk kegiatan mengelola ladang sehari-hari,
kendati jarak kebunnya jauh dari permukiman. Pelajaran yang dapat diperoleh
misalnya bahwa minimal dalam masyarakat sendiri berkembang wacana soal tata
batas mereka dan semua dikomunikasikan dan didiskusikan bersama. Hal lain juga
berarti masyarakat desa-desa tetangga turut belajar dalam proses ini. Sengaja atau
tidak, rasa peduli mereka terhadap wilayah yang menjadi hak kelola mereka.

Pemetaan partisipatif

Pemetaan partisipatif adalah penyusunan peta dilakukan secara bersama-sama


antar warga masyarakat, yang bertujuan saling melengkapi informasi antar satu
sama lain. Pemetaan partisipatif diawali dengan musyawarah tingkat dusun, desa
BAGIAN 4-9 • Marzoni 453

dan adat untuk menggali dan mengumpulkan berbagai informasi tentang batas,
kondisi dan potensi desa. Dalam musyawarah ini juga ditentukan langkah kerja
selanjutnya serta informasi dan kebutuhan apa saja yang akan dihimpun dalam
peta tersebut.

Setelah informasi terkumpul, dilanjutkan dengan mematangkan kapasitas


masyarakat, diantaranya melalui pelatihan pemetaan partisipatif. Dalam pelatihan
ini, masyarakat selain diperkenalkan dengan prinsip-prinsip pemetaan partisipatif,
juga dibekali dengan keterampilan untuk menggunakan alat, seperti GPS, kompas,
meteran, pembuatan peta dua dan tiga dimensi.

Setelah masyarakat memiliki keterampilan tersebut, maka pengumpulan data pun


dapat dilakukan. Pengumpulan data dilakukan oleh tim yang mewakili multipihak
desa. Tim inilah yang melakukan pengecekan lapangan (ground check) ke lokasi-
lokasi yang disebutkan secara adat. Seperti batas adat pada umumnya, kondisi
atau karakteristik alam menjadi patokan dalam batas tersebut, seperti hulu sungai,
pematang bukit maupun tumbuhan-tumbuhan khas setempat.

Hasil dari pengumpulan data lalu diperiksa secara bersama-sama. Data-data


itu kemudian diolah, dianalisis dan didiskusikan bersama masyarakat. Hasil
pemeriksaan bersama ini kemudian dipindahkan ke dalam peta dua dimensi (peta
kertas) dan peta tiga dimensi.

Yang terpenting dari keseluruhan proses ini adalah adanya kesepakatan antar
masyarakat.

Penataan batas wilayah rimbo adat

Salah satu bentuk pemanfaatan lahan


adalah rimbo adat. Kendati sudah pernah
dilakukan penataan batas rimbo adat saat
proyek ICDP-TNKS dulu, setelah 3 tahun,
batas-batas tersebut sudah tidak kelihatan
lagi. Karenanya dibutuhkan penataan
ulang batas rimbo adat. Selain untuk
kejelasan, juga sebagai bahan pendukung
dalam penyusunan peraturan desa tentang
© Dok. ACM-Jambi

pemanfaatan rimbo adat.


454 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Untuk itu dilaksanakanlah penataan batas wilayah rimbo adat. Mengingat adanya
keinginan masyarakat desa agar rimbo adat mereka diakui oleh pihak pemerintah
kabupaten, maka saat penataan batas selain melibatkan multipihak desa, juga
melibatkan pihak-pihak terkait di tingkat kabupaten, seperti DPELH, Dishutbun,
Bappeda dan BPN.

Penataan batas rimbo adat, selain untuk menentukan batas wilayahnya, juga
untuk menentukan batas fungsi, antara fungsi lindung dan adat. Fungsi lindung
dimaksudkan kawasan tersebut sebagai daerah tangkapan air dan suaka bagi flora
dan faunanya. Di kawasan ini tidak boleh ada usaha pemanfaatan yang bertujuan
eksploitasi. Sedangkan fungsi adat membolehkan pemanfaatan kayu dan non-
kayu di kawasan ini, namun diatur sepenuhnya secara adat. Penataan batas fungsi
ini ditandai dengan pemasangan pelat alumunium yang ditempelkan di batang
pohon 2.

Dalam melakukan kegiatan ini, tim dibagi ke dalam gugus tugas, yaitu merintis
jalan; memasang pelat; pengukur jarak; juru catat nama, diameter dan tinggi
pohon yang dipasang tanda batas; logistik dan perlengkapan; serta juru kompas
menentukan arah atau rute perjalanan.

Hasil dari kegiatan ini, selain adanya batas yang jelas antara fungsi adat dan
lindung di rimbo adat, serta teridentifikasinya potensi keanekaragaman hayati,
juga terjalinnya komunikasi yang intensif dengan pihak pemerintah kabupaten.

Pembuatan peta tata


ruang desa

Penyusunan peta tata ruang


desa diawali dengan membuat
perencanaan ke depan. Perencanaan
ini menggunakan metode skenario
© Dok. ACM-Jambi

masa depan (future scenario). Metode


ini membantu untuk menentukan
arah dan tujuan yang hendak
dicapai dengan mempertimbangkan
berbagai faktor yang saling mempengaruhi, kondisi saat ini, dan perkiraan
kecenderungan (trend) masa depan.

2 Pelat berukuran 15x20cm dan bertuliskan HA BP 2004


BAGIAN 4-9 • Marzoni 455

Metode ini diawali dengan mengajak masyarakat untuk membayangkan kondisi


desa dalam 25 tahun mendatang. Kegiatan ini disebut tahap membangun visi yang
bertujuan untuk mengidentifikasi harapan yang ingin diwujudkan berdasarkan
kondisi saat ini. Selanjutnya ditentukan strategi untuk mewujudkan harapan yang
dianggap paling diinginkan. Setelah strategi ditemukan, kemudian ditentukan
hal-hal yang menjadi penghalang dan digambarkan kondisi-kondisi yang mungkin
terjadi akibat faktor-faktor yang berpengaruh.

Hasilnya adalah skenario masa depan pembangunan desa untuk kemudian


membangun kesepakatan bersama mengenai penataan ruang desa dengan kaidah-
kaidah seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Adapun aspek-aspek yang diatur
adalah sebagai berikut:
• Batas dan pengaturan rimbo adat
• Lokasi kebun karet rakyat
• Pola pemanfaatan sungai dan pengelolaan lubuk larangan
• Rencana pembuatan sarana air bersih dan PLTA
• Infrastruktur (lokasi pemekaran permukiman, jembatan, jalan dll.)

Manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini adalah secara fisik memperjelas alokasi
lahan pertanian desa, kebun palawija, maupun perkebunan karet rakyat. Selain itu,
untuk perkebunan di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), pemanfaatannya
dilakukan dengan berkolaborasi antara masyarakat, pemerintah dan pihak ketiga.
Manfaat lainnya adalah tersusunnya rencana kegiatan pembangunan desa untuk
jangka pendek, menengah dan panjang. Keseluruhan proses ini melalui kegiatan
runding desa.

Selain manfaat fisik, secara sosial budaya, penyusunan tata ruang desa juga
memberikan pengakuan kepada adat, khususnya mengenai aturan-aturan
penataan ruang adat. Selain itu, kegiatan ini menjadi sarana saling belajar antara
pihak desa dengan luar desa, antara kaum tua dengan kaum muda, khususnya
dalam menjaga kearifan tradisional.

Manfaat terakhir adalah memperjelas kewenangan desa dalam pengaturan sumber


daya alam. Dalam hal ini, peraturan desa menjadi sarana untuk menguatkan satu
keputusan desa, termasuk untuk penguatan keputusan tentang penataan ruang
desa, peraturan desa dapat menjadi satu bentuk produk hukum yang menjadi
fondasi dalam pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang di desa.
456 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Hubungan antara Tata Ruang Desa dan Kabupaten

Menarik untuk mencermati proses


di Kabupaten Bungo, yang baru-
baru ini melakukan revisi tata
ruang kabupaten periode 2005-
2010. Kendati belum mengikuti
sepenuhnya prosedur sebagai
mana tercantum dalam UU No.

© Dok. ACM-Jambi
24/1992, namun dalam prosesnya
sudah mencoba mengakomodir
berbagai pihak yang terlibat melalui
beberapa kali konsultasi publik.

Terkait dengan kegiatan ini, tata ruang desa menjadi sumber informasi bagi
pemerintah kabupaten. Selain itu sebagaimana tertuang dalam UU No. 24/1992
disebutkan peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah,
baik di tingkat daerah maupun nasional. Dalam hal ini, tata ruang desa menjadi
wujud partisipasi masyarakat dalam turut menyusun tata ruang wilayah.

Karenanya, dalam penyusunan Revisi Tata Ruang Wilayah Kabupaten


direkomendasikan pemanfaatan ruang berdasarkan zonasi hulu dan hilir. Dimana
daerah hulu adalah daerah konservasi dan pengembangan usaha perkebunan
berbasis konservasi. Di sini keberadaan masyarakat adat serta hutan adat (di Desa
Baru Pelepat dan Batu Kerbau), serta kebun lindung (di Desa Lubuk Beringin)
diakui oleh pemerintah daerah. Selain itu untuk daerah hilir sebagai pengembangan
dengan berbasis industri dan perkebunan skala besar (sawit maupun karet).

PENUTUP:
Pembelajaran, Aliran informasi, dan
kolaborasi
Beberapa pembelajaran penting yang dapat kami himpun adalah sebagai berikut:
a. Pada tingkat desa, penyusunan tata ruang secara bersama membantu desa
untuk menentukan arah pembangunan desa sesuai dengan kebutuhan desa,
dan bukan berdasarkan kepentingan atau keinginan pihak tertentu saja.
Menarik diperhatikan dalam proses ini adalah komitmen dari kelompok
BAGIAN 4-9 • Marzoni 457

perempuan dalam upaya peningkatan kesejahteraan rumah tangga dengan


“meyakinkan” kaum lelaki untuk kembali berkebun. Selain itu, kesadaran
sebagai daerah hulu, mendorong pengelolaan sumberdaya alam dengan
prinsip-prinsip kelestarian dan keberlanjutan, seperti adanya hutan adat,
lubuk larangan, tanah bathin, dan lain sebagainya.
b. Perhatian pada lahan menjadi semakin tinggi. Proses tata ruang mendorong
masyarakat untuk memanfaatkan lebih optimal lahan-lahan bekas ladangnya,
dengan tanaman palawija maupun keras lainnya.
c. Meningkatnya kesadaran penataan ruang dalam konteks yang lebih luas dari
sekedar desa dalam pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat Desa Baru
Pelepat adalah bagian dari masyarakat adat Pelepat Ulu, bersama dengan
Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau (Desa Rantel). Disini perlu
penyelarasan antara tata ruang desa dengan tata ruang adat.
d. Pada tingkat kabupaten, masih diperlukan interaksi yang lebih erat dalam
rangka membangun persepsi bersama tentang peran tata ruang desa dalam
penataan ruang kabupaten. Kendati dalam penyusunan revisi tata ruang
kabupaten sudah cukup partisipatif, dan secara substansial sudah mendukung
gagasan konservasi dan pengembangan ekonomi (melalui pendekatan hulu-
hilir), namun belum menampung tata ruang desa sebagai dasarnya.
e. Kendala birokrasi dan pendanaan perlu disikapi secara lebih strategis agar
ada keselarasan antara tata ruang desa dengan kabupaten.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menghaturkan terima kasih kepada Pemerintah Desa Baru Pelepat, Sungai
Beringin, Rantel, Balai Jaya, Rantau Keloyang serta Desa Batu Kerbau yang telah
terlibat dalam kegiatan yang berkenaan dengan penataan ruang desa sekaligus
memperkaya informasi. Juga kepada teman-teman di tim ACM-Jambi yang
banyak memberikan masukan dan pemahaman, serta keterlibatan dalam proses
selama ini. Kekayaan informasi juga tidak terlepas dari interaksi dengan teman-
teman di Bappeda Bungo (khususnya bang Deddy Irawan, Mbak Dewi Rezeki,
dan Pak Mawardi). Serta para penggiring proses penataan ruang desa: Hamdan,
Mirul, Andra Hidrianto, Malek, Abu Nazar, M. Arip dan Datuk Gani. Proses ini
mengilhami sebagian besar tulisan ini. Dan ucapan terima kasih tidak lupa pula
saya sampaikan kepada Ibu Ratni SP yang telah memberi dukungan semangat
agar tulisan ini dapat diselesaikan.
458 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

BAHAN BACAAN
Hidrianto, A dan Mirul. 2004. Kondisi Tata Ruang Desa Baru Pelepat, Manfaat
dan Berbagai Hal yang Mempengaruhinya. Makalah disampaikan dalam
Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan Pelepat, 22
April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo. Indonesia.
Kusumanto, T. 2004. Apabila Penataan Ruang Dijadikan Cara Untuk
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan
dalam Rangka Otonomi Desa. Makalah disampaikan dalam Lokakarya
Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Otonomi Desa, Kecamatan Pelepat, 22 April 2004. ACM-
Jambi, Muara Bungo. Indonesia.
Marzoni. 2004. Prosiding Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan
Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo. Indonesia.
Marzoni dan Adnan, H. 2005. Laporan Lokakarya Pemetaan Partisipatif, Desa
Baru Pelepat. Tidak dipublikasikan.
Marzoni dan Indriatmoko, Y. 2003. Penegasan Batas Wilayah Kelola Baru Pelepat.
Warta Langkah No.1/2003. YGB-PSHKODA-CIFOR.
Marzoni. 2006. Negosiasi batas wilayah desa. Dalam: Yuliani, E.L., Tadjudin,
Dj., Indriatmoko, Y., Moenggoro, W.W., Gaban, F., Maulana, F. (ed).
Kehutanan Multipihak: Langkah Menuju Perubahan. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
Mawardi. 2004. Peran dan Proses Tata Ruang Desa dalam Tata Ruang Kabupaten.
Makalah disampaikan dalam Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa
dalam Menunjang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi
Desa, Kecamatan Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo.
Indonesia.
Sutono, M. 2004. Pemetaan Partisipatif sebagai Salah Satu Bentuk Peran Serta
Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang. Makalah disampaikan
dalam Lokakarya Peluang Tata Ruang Desa dalam Menunjang
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Desa, Aula Kecamatan
Pelepat, 22 April 2004. ACM-Jambi. Muara Bungo. Indonesia.
Undang-Undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
BAGIAN 4-9 • Marzoni 459

Lampiran 1. Kesepakatan Penataan Ruang di Desa Baru Pelepat

Kesepakatan penataan ruang di Desa Baru Pelepat berdasarkan musyawarah desa


pada April 2005 antara lain:

Kebun
• Untuk tanaman karet, lokasi penanaman di pinggir atau di sepanjang jalan
yang ada di wilayah Desa Baru Pelepat, dengan lebar 1 (satu) km.
• Untuk lahan tanaman muda lokasinya adalah di Tanjung Sagu, status tanah
ini adalah Tanah Ulayat (luas 20 ha) termasuk tanah yang di seberang di
Muaro Sagu kecil. Sementara untuk Dusun Pedukuh untuk tanaman muda
di Onah Lubuak Congkiang. Luas peruntukan 20 ha.
• Lahan di sepanjang Batang Pauh sampai ke hulunya diperuntukkan bagi
penanaman kebun karet rakyat.
• Masyarakat Desa Baru Pelepat menolak Perusahaan AML (Aman Pratama
Lestari) yang memiliki lokasi di Baru Pelepat untuk menanam sawit.
• Untuk lahan penanaman gaharu dari dinas kehutanan dilakukan tumpang
sari dengan karet di lokasi Sungai Pauh untuk dusun Baru Tuo. Lokasi di
Dusun Pedukuh menurut sungai Batu Sawan ke arah mudik dengan luas 15
Ha.
• Lahan kebun karet untuk Dusun Lubuk Telau diperuntukkan di pinggir
Sungai Beliang, dengan lebar 1 km kiri kanan sungai.

Konservasi
• Untuk lokasi penghijauan dilakukan di dalam desa, untuk reboisasi
dilakukan di dalam kawasan hutan adat. Kegiatan ini dapat dilakukan
secara swadaya masyarakat dan dapat pula melalui bantuan dari pihak
luar.
• Agar sungai tidak tercemar, berbagai bentuk sumber pencemaran
(pertambangan emas dan lain sebagainya, meracun ikan) dilarang. Perlu
ada musyawarah dengan desa hulu untuk membuat kesepakatan dan perlu
ada kebijakan desa (Perdes) tentang sungai dan pengelolaannya.
• Rencana lokasi pembentukan Lubuk Larangan untuk masa yang akan
datang: Dusun Lubuk Beringin, Lubuk Batu Sawan, Lubuk Juni.
460 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Fasilitas Umum
• Desa Baru Pelepat menginginkan dan menghendaki jalan desa diaspal pada
10 tahun mendatang.
• Cadangan untuk pembangunan mesjid berlokasi di depan TKD dekat
Pelabuhan/ di dekat camp PU.
• Air bersih: ada perencanaan untuk mendatangkan air bersih yang diambil
dari sungai yang ada di bukit. Sungai yang direncanakan adalah: Sikotan,
Dereh dan Tamalun.
• PLTA, lokasi PLTA di Telun Tirau Sungai Meliau.
• Jembatan permanen, lokasi di Dusun Lubuk Beringin.
• Penambahan areal permukiman, berada di Dusun Pedukuh
• SMA atau pesantren, lokasi peruntukan SMA di tanah pembibitan (tanah
R) di dusun Lubuk Pekan.
• Untuk madrasah di Dusun Pedukuh di tanah keluarga Abenhur dan Idris

Ekonomi Kerakyatan
• Pembuatan keramba dan kolam di desa
• Ada rencana pembuatan proposal dibantu oleh Dishutbun untuk diajukan
ke pihak donor (penyandang dana) dalam kegiatan peningkatan ekonomi
masyarakat dan pelestarian lingkungan
Penutup:
Sebuah Ulasan

Erna Rosdiana
Direktorat Bina Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan
462 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

Sungguh suatu kesempatan berharga bagi saya dapat mengulas buku ini. Di sela-
sela kesibukan akhir tahun saya berupaya menyisakan waktu untuk membaca
buku ini. Konsentrasi sempat terpecah ke tugas-tugas lain yang mendesak yaitu
mempersiapkan penulisan buku untuk UNFCCC 2007 di Bali dan Pencanangan
Hutan Kemasyarakatan. Syukurlah buku ini ditulis dalam kata dan kalimat yang
sederhana sehingga dapat dibaca cepat dan mudah dipahami. Beberapa bagian
dari artikel-artikel terdapat pengulangan informasi yang kadang membosankan
tapi di sisi lain itu berguna untuk memeriksa ulang informasi tersebut. Akhirnya
ulasan ini terselesaikan juga.

Cerita perjalanan panjang tentang perubahan-perubahan yang terjadi di sebuah


kabupaten bernama Bungo, itulah kesan yang muncul tatkala saya mengakhiri
bacaan artikel terakhir dari buku ini. Sebuah kristalisasi dari catatan para peneliti
yang sarat dengan hasil-hasil pembelajaran. Hasil Riset Aksi Partisipatif ini
akan sangat bermanfaat sebagai acuan replikasi di kabupaten lain dengan tidak
membatasi kreativitas. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era
Desentralisasi, sebuah judul yang tepat.

Bungo sebuah kabupaten yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan menjadi
habitat beberapa jenis satwa langka. Keanekaragaman hayati dalam berbagai
formasi lahan digambarkan dalam artikel pertama yang berjudul “Kelimpahan
Sumberdaya Hutan di Sekitar Desa Baru Pelepat”. Sesap (areal bekas ladang)
yang tampak kurang bernilai ternyata memiliki keanekaragaman hayati yang
cukup tinggi dan potensial sebagai sumber komoditi tanaman obat.

Artikel kedua dan ketiga menampilkan informasi tentang dinamika tutupan


lahan disertai penjelasan mengapa dan bagaimana itu terjadi. Dari artikel tersebut
diperoleh informasi bahwa dalam kurun waktu 30 tahun sejak 1970, lebih dari
setengah areal lahan berhutan telah berubah menjadi tidak berhutan. Dan kini
sebagian besar lahan di Kabupaten Bungo didominasi oleh perkebunan karet dan
sawit monokultur. Tutupan hutan tersisa 30,63%. Sedangkan luas karet rakyat
relatif stabil.

Perubahan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat digambarkan dalam


artikel-artikel di bagian kedua, dan kemudian semakin jelas dalam beberapa artikel
di bagian keempat. Dan bagian ketiga memaparkan potensi ekonomi sumberdaya
alam.

Dalam bagian ke dua buku ini, diuraikan beberapa kearifan lokal masyarakat
baik kearifan lokal dalam tatanan sosial maupun dalam mengelola sumberdaya
PENUTUP • 463

alam seperti hutan adat, kebun karet, lubuk larang dan upaya adaptif mereka
dalam merespon perubahan-perubahan. Dalam artikel terakhir dari bagian kedua
menyebutkan bahwa menghidupkan kembali sistem pemerintahan Rio kini telah
menjadi keinginan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kembali
ke sistem pemerintahan Rio ini merupakan pilihan yang tepat di tengah kenyataan
perubahan-perubahan sosial yang terjadi?

Bagian keempat menguraikan interaksi berbagai sistem dan dampak yang


ditimbulkannya. Kebijakan pemerintah berdampak nyata terhadap perubahan-
perubahan sosial di masyarakat. Artikel “Adaptasi Kelembagaan dan Aksi
Kolektif Masyarakat terhadap Program Transmigrasi” menguraikan pengaruh
beberapa kebijakan pemerintah terhadap kearifan lokal dan hak-hak masyarakat
adat. Dalam pelaksanaan kebijakan, pemerintah lebih fokus mensukseskan proyek
daripada kewajiban melindungi hak-hak masyarakat. Aktivitas-aktivitas proyek
pemerintah dilindungi secara hukum, sementara hak-hak masyarakat adat/lokal
terabaikan. Peran pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat relatif tidak
dilakukan.

Kebijakan HPH menyemai konflik. Banyak wilayah kelola masyarakat ditetapkan


secara formal sebagai areal kerja HPH. Kehadiran perusahaan HPH menggeser
perilaku sosial masyarakat dari taat terhadap kearifan tatanan adat ke cara
pandang ekonomi jangka pendek. Khususnya terjadi pada generasi-generasi
muda yang memang belum kuat memegang adat. Mereka tertarik hal-hal baru.
Bebalok (mengambil kayu dari hutan) lebih menarik dibandingkan kerja di kebun
karet dan ladang. Krisis memudarnya tatanan adat dan kearifan lokal ini makin
dipicu dengan munculnya kebijakan pemerintah dalam penyeragaman bentuk
pemerintahan desa sesuai UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.

Kebijakan lain adalah program transmigrasi. Program transmigrasi mendorong


terjadinya pengalihan kepemilikan lahan secara besar-besaran. Yang paling
dirugikan adalah penduduk setempat. Kedaulatan mereka sebagai masyarakat
lokal yang telah hidup turun temurun di wilayah adatnya tidak terakomodasi
dalam program tersebut. Sistem kepemilikan lahan pun makin bergeser dengan
adanya proyek sertifikasi dari Badan Pertanahan Nasional, dari kepemilikan publik
kepada kepemilikan pribadi.

Itulah perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat yang memuncak di akhir


masa pemerintahan Orde Baru tahun 1997. Dalam era reformasi, kesadaran untuk
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik muncul. Desentralisasi menjadi
pilihan. Bahkan dapat dikatakan desentralisasi menjadi sebuah keniscayaan
464 Belajar dari Bungo
Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi

setelah sistem sentralisasi yang dianut sebelumnya gagal menghantarkan ke arah


kemajuan bangsa secara hakiki.

Waktu pun berjalan, dalam beberapa kasus pelaksanaan desentralisasi


disalahgunakan di beberapa daerah. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap
desentralisasi, bahkan bagi yang tidak mendukung dijadikan alasan untuk menarik
kembali kewenangan. Kebijakan pemerintah mulai mendua dan cenderung
berbalik ke arah re-sentralisasi. Apa sebetulnya yang menjadi faktor penghambat
betapa sulitnya berupaya menuju kemajuan bangsa ini. Sehingga seolah berputar
dalam lingkaran yang tidak berujung.

Tiga setengah abad sistem kolonial bercokol di negeri ini. Masa yang panjang
ini telah membentuk sistem, cara pikir (mindset), perilaku bahkan karakter
bangsa. Kesenjangan yang lebar terjadi antara pemerintahan dan rakyat, bahkan
dapat dikatakan pemerintah dan wakil rakyat telah tercabut dari akarnya (baca:
rakyatnya). Pemerintah dan wakil rakyat lebih berperan sebagai penguasa, dan
bukan memberikan pelayanan atau pembawa aspirasi rakyat. Sementara itu rakyat
tidak sadar akan haknya bahkan terbelenggu dalam kebodohan dan kemiskinan
terstruktur. Rakyat pasrah, tergantung dan tunduk kepada yang berkuasa. Seolah
semua itu sudah menjadi bagian dari takdirnya. Bahkan keberadaannya pun
sebagai bagian dari negara ini tidak disadari. Pernyataan menarik dari Mulyadi
warga dusun Suka Maju yang dikutip dalam buku ini: “Bupati ada memberikan
bantuan atap seng untuk gedung sekolah dasar perintis di dusun kita. Itu tandanya
Bupati sudah mengakui masyarakat di dusun ini”. Pernyataan lain dari A. Madjid
Zakaria juga warga Dusun Suka Maju: “Kalau jalan sudah dibuka pemerintah, itu
berarti dusun kita ini sudah diakui sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tanjung
Jabung Barat”. Sungguh menyedihkan. Ini bukti betapa jauhnya rakyat terpisah
dari pemerintah. Padahal dalam tatanan bernegara, tidak ada pemerintah dan
wakil rakyat tanpa rakyat.

Ketika kesadaran menginginkan adanya perubahan ke arah pengaturan yang lebih


adil dan keberlanjutan, dalam kondisi berdaulat dan demokratis. Pertanyaannya
adalah apakah mungkin kita melakukan perubahan dalam kondisi sistem dan
cara pikir kolonialisme yang masih melekat dan mengakar. Itulah persoalannya.
Tidak ada pilihan lain sistem dan cara pikir warisan kolonialisme inilah yang harus
diubah dari bangsa ini.

Inisiatif dari program Adaptive Collaborative Management yang dilakukan CIFOR


bersama mitra kerjanya di Kabupaten Bungo merupakan upaya strategis dalam
mendorong perubahan. Proses-proses kolaborasi yang dikembangkan dilakukan
PENUTUP • 465

dengan menerapkan prinsip-prinsip tata pengaturan yang baik transparan,


partisipasi dan akuntabilitas. Aksi Kolektif ditujukan untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat agar posisi tawar dan kepercayaan diri meningkat. Hal ini
sangat dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan hak-haknya
dan mempertahankannya.

Aksi kolektif disamping mendorong penataan berkaitan dengan hak-hak properti


rakyat, juga fasilitasi peningkatan kapasitas dari praktik pengelolaan sumberdaya
alam. Banyak potensi rakyat yang dapat dikembangkan seperti Kebun Karet Rakyat,
Lubuk Larang dan komoditi hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai konservasi
lingkungan dan nilai ekonomi yang bisa ditingkatkan. Peningkatan nilai ekonomi
dari praktek pengelolaan sumberdaya alam disamping untuk meningkatkan nilai
tambah juga sebagai alat negosiasi untuk menghindari terjadinya alih fungsi.
Melalui fasilitasi tersebut berkembang modal-modal sosial masyarakat dalam
menghadapi perubahan di masa datang.

Memang tidak mudah merajut ulang struktur yang sudah rusak, tetapi juga bukan
hal yang tidak mungkin. Menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan bangsa
dan membangun kembali sistem demokratis memerlukan keuletan, kesabaran,
ketulusan dan dedikasi yang tinggi. Motivator, mediator dan fasilitator yang
mempunyai karakter itulah yang dibutuhkan sebagai penggerak perubahan.

Kabupaten Bungo adalah “Indonesia kecil”, ungkapan menarik dan inspiratif ini
tertulis dalam pendahuluan. Hal ini mengisyaratkan bahwa Bungo tetap Indonesia;
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi tetap suatu
keniscayaan. Masih ada harapan yang sangat mungkin dapat diwujudkan. Semoga
inisiatif Bungo ini dapat terus bergulir dan meluas ke kabupaten-kabupaten lain.
Melalui desentralisasi, Indonesia-Indonesia kecil membangun Indonesia Raya.
Center for International Forestry Research (CIFOR) adalah lembaga penelitian kehutanan
internasional terdepan, yang didirikan pada tahun 1993 sebagai tanggapan atas keprihatinan
dunia akan konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan dan
kehilangan hutan. Penelitian CIFOR ditujukan untuk menghasilkan kebijakan dan teknologi
untuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di negara-negara berkembang yang bergantung kepada hutan tropis
untuk kehidupannya. CIFOR adalah salah satu di antara 15 pusat di bawah Consultative Group on
International Agricultural Research (CGIAR). Berpusat di Bogor, Indonesia, CIFOR mempunyai
kantor regional di Brazil, Bolivia, Burkina Faso, Cameroon, Ethiopia, India, Zambia dan
Zimbabwe dan bekerja di lebih dari 30 negara di seluruh dunia.
Setelah turunnya rezim Soeharto, desentralisasi menjadi jawaban dan harapan untuk
keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara bagi lebih 220 juta penduduk yang
tersebar di lebih 15.000 pulau dan beraneka sukubangsa. Kenyataannya, implementasi
dari desentralisasi tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Desentralisasi justru
memunculkan berbagai permasalahan, mulai dari konflik antar warga yang menolak
pemekaran, konflik antara pemerintah daerah pemekaran dengan daerah induknya, hingga
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Termasuk carut marutnya pengelolaan
sumberdaya alam, khususnya hutan. Faktanya, sejak diberlakukan pada 2001, desentralisasi
menyumbang deforestasi, bahkan FAO menyebutkan angka penyusutan sudah mencapai
1,87 juta hektar per tahun.

Di tengah muramnya dunia kehutanan Indonesia, berbagai pihak terus berupaya


membangun sistem kehutanan yang lebih baik. Salah satunya adalah apa yang dilakukan
oleh banyak pihak di Kabupaten Bungo, Jambi. Berbagai program dan proyek terkait
dengan pengelolaan sumberdaya alam yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1990an oleh
berbagai pihak, seperti LSM, universitas, lembaga riset internasional, hingga terbentuknya
forum multipihak kabupaten maupun Perda Masyarakat Hukum Adat menjadi pengalaman
penting dalam memberi makna desentralisasi di Indonesia.

Buku ini adalah upaya untuk menggambarkan secara utuh bagaimana desentralisasi berjalan
dalam kehidupan sehari-hari di tingkat kabupaten serta dampaknya terhadap pengelolaan
sumberdaya alam. Harapannya dapat dipetik pelajaran berharga dari pengalaman-
pengalaman tersebut.

 Qb:IQbQITAITiAbIc

  

You might also like