Professional Documents
Culture Documents
Pasca Soeharto, Indonesia mengalami perubahan yang sangat luas dan dalam
bidang politik. Demokrasi dan demokratisasi melanda lembaga Negara yang selama
ini tidak tersentuh. Instansi militer yang biasanya begitu kuat dan hegemonistik
sekarang mengalami proses demokratisasi, seperti kebutuhan Negara modernakan
pengelolaan bidang pertahanan secara lebih memadai. Potensi masyarakat sipil juga
menguat, sekalipun mengalami keterbatasan akibat factor-faktor internal.parat-
partai berkembang, bahkan dalam tingkatan partai politik local. Berbagai
departemen dan kementrian Negara dimasuki oleh kalangan partai-partai politik,
sekalipun dengan kepastian yang belum memadai.
Kini masyarakat memiliki kebebasan luas, mulai dari aksi-aksi demonstrasi,
sampai protes atas kebijakan public yang dirasakan merugikan kepentingan warega
Negara. Namun dalam sisi yang negative, juga muncul konflik persoalan antar
warga, terutama karena bangkitnya politik etnis dan politik identitas. Konflik juga
tumbuh dalam partai-partai politik, termasuk adanya hak recall pimpinan partai
politik atas anggota-anggotanya diparlemen.
Uraian diatas telah menunjukkan bahwa situasi poliitik tertentu dapat
melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula, secara teoritis, dikotomis sistem
politik demokratis akan melahirkan hukum yang responsif, sedangkan sistem politik
yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konvensional/ortodoks.
Kita senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum yang berkarakter
responsif tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan ekonomi
kita. Karena hukum responsif hanya lahir dari konfigurasi politik yang demokratis,
untuk melahirkan hukum-hukum yang responsif itu diperlihatkan dalam
demokratisasi didalam kehidupan politik. Alasan-alasan untuk melakukan
demikratisasi ini sudah cukup: kesadaran politik masyarakat sudah membaik,
kehidupan ekonomi masyarakat dan trend pertumbuhannya sudah memadai. Dengan
modal-modal seperti, model demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas
nasional, apalagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan
dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan,
bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum
responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan
kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan
terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak
fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto
Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical
jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical
jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe
hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet
melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan
tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat
pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai
tujuan.
Sistem hukum nasional pada dasarnya tidak hanya terdiri dari kaidahkaidah
atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur
dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum,
termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat. Dan, pembangunan
Sistem Hukum Nasional sesungguhnya diarahkan untuk menggantikan hukum-
hukum kolonial Belanda disamping menciptakan bidang-bidang hukum baru yang
lebih sesuai sebagai dasar Bangsa Indonesia untuk membangun.
Semua unsur/komponen/fungsi/variabel itu terpaut dan terorganisasi
menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh
mempengaruhi dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau
komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah
asas-asas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang
lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan
hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi
seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum untuk bisa
membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat
partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen
masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus
bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk sekedar
melegitimasikan kekuasaannya.
Nonet dan Selznick pada dasarnya tidak memposisikan ketiga model
perkembangan hukum (developmental model) dalam satu garis hierarkis. Artinya,
tidak ada klaim bahwa tahapan hukum responsif adalah tahapan yang paling cocok,
paling dapat menyesuaikan diri, atau paling stabil dibandingkan dengan tahapan
hukum otonom atau hukum represif. Setiap pola menuntut adanya proses adaptasi.
Bahkan, menurut mereka, model pada tahapan ketiga kurang stabil dibandingkan
dengan tahapan kedua dan pertama. Nonet & Selznick juga menyatakan, "We want
toargue that repressive, autonomous, and responsive law are not only distinct types
of law but, in some sense, stages of evolution in the relation of law to the political
and social order.".
Satjipto Raharjo tidak memberi uraian tentang potensi-potensi kelemahan ini
tatkala ia menyodorkan tipe responsif sebagai karakter pemikiran hukum
progresifnya. Sebagai contoh, patut diperdebatkan: benarkah tahapan hukum
otoriter yang menurut kajian Moh. Mahfud M.D. telah menandai politik hukum
pada era Orde Baru itu61 dan baru saja kita lewati masanya tersebut sungguh-
sungguh telah siap untuk digiring saat ini langsung menuju ke tahap hukum
responsif? Dengan perkataan lain, tidakkah kita membutuhkan adaptasi terlebih
dulu pada tahapan hukum otonom sebelum dapat melangkah ke tahapan hukum
responsif? Dan, bukankah pemikiran hukum progresif didesain sebagai teori hukum
pada masa transisi?
Jika ada contoh-contoh yang dapat memperlihatkan kemungkinan adanya
pelompatan tahapan tersebut, maka perlu juga dianalisis apakah lompatan ini tidak
mengundang risiko-risiko sebagaimana dikhawatirkan oleh Nonet dan Selznick.
Diskresi yang terlanjur diberikan secara luas, misalnya, namun tidak terlebih dulu
dibekali dengan kesadaran hukum yang tinggi (adaptasi ini seyogianya dijalankan
selama berada pada tahapan kedua), tentu pada gilirannya akan mendatangkan
bahaya tersendiri pada sistem hukum secara keseluruhan.
REVIEW BUKU
“Politik Hukum di Indonesia”
Mahfud MD
Disusun oleh :