You are on page 1of 13

2010

Agesoft
Corporation

[KRITIK ATAS PROGRAM


SEKOLAH BERTARAF
INTERNASIONAL (SBI)]
Mendapatkan info dari group Guru On line, berikutnya saya download di
http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2010/11/03/kritik-atas-program-sekolah-bertaraf-
internasional-sbi-dan-usulan-perbaikannya/
http://www.facebook.com/agung.falz

KRITIK ATAS PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)


DAN USULAN PERBAIKANNYA

Oleh: Satria Dharma


Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI)

Dear all,
Saya baru saja mengikuti Seminar Nasional Sekolah Bertaraf Internasional dengan tema “Revitalisasi SBI
dalam Rangka Meningkatkan Mutu dan Daya Saing Bangsa” yang diadakan oleh Balitbang Kemdiknas
pada tanggal 29-31 Oktober 2010 di Grand Zuri Cikarang, Bekasi.
Tak ada yang baru pada seminar tersebut dan yang ada justru semakin kacaunya pemahaman stake-
holders tentang program SBI ini. Bahkan Dirjen Mandikdasmen, Prof Suyanto, secara terang-terangan
menyatakan bahwa belum ada program SBI (yang ada baru Rintisan) sehingga judul seminar ini justru
dipertanyakannya. Sepanjang sesi seminar pejabat dan staf Kemdiknas memberikan kritik dan
pertanyaan serius kepada para pemrasaran yang notabene adalah sesama pejabat Kemdiknas! Jika staf
Kemdiknas sendiri belum memiliki pemahaman yang sama dan bulat tentang SBI ini padahal program ini
telah berjalan selama sekian tahun maka ini jelas merupakan ‘bencana’. Studi Evaluasi Penyelenggaraan
RSBI/SBI yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov) Balitbang
dan disampaikan oleh Ir. Hendarman MSc, PhD ternyata hanya mengevaluasi sistem penerimaan
peserta, prestasi akademik siswa dan gurunya, sistem pendanaan dan tatakelolanya. Tak ada evaluasi
untuk proses pelaksanaanya di kelas dan apa dampak yang ditimbulkannya. Padahal justru itu yang perlu
diteliti.
Hasil studinya justru memperkuat pendapat saya bahwa program RSBI/SBI ini justru akan menurunkan
kualitas pendidikan di sekolah yang menyelenggarakannya. Meski simpulannya menyatakan bahwa
“Siswa RSBI menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik daripada siswa regular” (Of course… of
course…! Bukankah mereka memang siswa ‘cream of the cream’ yang melalui seleksi ketat sebelumnya)

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 2


http://www.facebook.com/agung.falz

tapi ternyata secara rata-rata tidaklah menonjol (hanya lebih tinggi 12% di tingkat SD dan 15% di tingkat
SMP). Selain itu ditemukan banyak kasus siswa RSBI/SBI yang justru tidak lulus Ujian Nasional!
Ada dua anggota Komisi X DPR RI yang hadir sebagai pembicara pada acara tersebut, yaitu Dedi Wahidi
dan Theresia E.E Pardede (Tere). Dedi Wahidi juga menyampaikan pandangannya yang kritis tentang
program ini.
Dari berbagai sekolah yang menyampaikan presentasi bagaimana sekolah (R)SBI ini dijalankan di daerah
mereka masing-masing jelas sekali terlihat bahwa terjadi implementasi program yang berbeda antara
daerah dan sekolah masing-masing dengan segala interpretasi yang mereka pahami. Bahkan masih
banyak daerah yang sekedar melakukan ‘kelas bertaraf internasional’ di dalam sekolah yang ditunjuk
menjadi penyelenggara (R)SBI.
Karena diundang untuk hadir dan juga diminta untuk memberi masukan maka dengan ini saya
sampaikan masukan dan usulan saya tentang program ini. Mohon masukannya untuk memperbaiki apa
yang saya usulkan disini.

LATAR BELAKANG :
UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) dalam yang berbunyi sbb :
3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-
kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ itu kemudian diterjemahkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”

Pada PP no 17 tahun 2010 ini frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasiona’l dalam UU sisdiknas
telah berubah menjadi ‘Pendidikan bertaraf internasional’ dan kemudian dijelaskan dengan tambahan
keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah
memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada tahap ini saja telah terjadi penyimpangan definisi di mana pada awalnya pernyataan dalam UU
Sisdiknas adalah merujuk kepada sebuah tingkatan keunggulan kualitas yang harus dicapai (yang diberi
istilah ‘bertaraf internasional”) sedangkan pada PP no 17 tahun 2010 telah berubah makna menjadi
sebuah sistem pendidikan yang terpisah dan kemudian berkembang dalam sebuah Peraturan Menteri

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 3


http://www.facebook.com/agung.falz

(Permen 78 Tahun 2009). Sistem ini bertentangan dengan amanat yang ada dalam Sistem Pendidikan
Nasional yang dinyatakan dalam pertimbangan sbb :
b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang;
Definisi yang dimunculkan dalam PP No 17 tahun 2010 ini sendiri tidak jelas acuan, kriteria
dan rujukan akademik dan empiriknya. Istilah ini tidak pernah dikenal sebelumnya dan seolah
muncul begitu saja dari langit dan berbeda dengan apa yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas
itu sendiri.
Karena istilah ini tidak memiliki rujukan yang jelas maka istilah ini kemudian diinterpretasikan secara
bebas (dan cenderung sembrono) oleh Kemdiknas sehingga menimbulkan berbagai problem dan
konsekuensi serius sampai sekarang dan masih belum dapat dipecahkan. Padahal sampai saat ini lebih
dari seribu sekolah telah di RSBI-kan. (SD= 195, SMP= 313, SMA=320, SMK=247)

BEBERAPA MASALAH YANG TIMBUL


Karena konsep ‘sekolah bertaraf internasional’ ini tidak memiliki landasan akademik dan empirik yang
memadai, dan hanya berpijak pada landasan hukum, maka konsep dasar yang dirumuskan
menimbulkan berbagai masalah yang mendasar. Beberapa diantaranya adalah :
1. Penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mengajarkan
beberapa bidang studi menimbulkan banyak masalah dan kontroversi. Kontroversinya adalah
bahwa secara empirik ternyata kebijakan ini justru dapat menyebabkan merosotnya nilai dan
kompetensi siswa di bidang studi yang diajarkan. Banyak hasil kajian dan juga pengalaman
negara Malaysia selama hampir 8 tahun ternyata menunjukkan bahwa penggunaan bahasa
Inggris (asing) untuk bidang studi IPA dan MAT justru menurunkan mutu siswa (baca
http://ms.wikipedia.org/wiki/Pengajaran_dan_Pembelajaran_Sains_dan_Matematik_dalam_Ba
hasa_Inggeris). Pengalaman negara Malaysia dengan program pengajaran sains dan matematik
di sekolah-sekolah di Malaysia dengan menggunakan bahasa pengantar bhs Inggris[disebut
PPSMI] yang telah dimulai sejak tahun 2003 dan akan dihentikan secara total pada 2012 nanti
karena dianggap GAGAL. Dari satu hasil riset skala besar yang melibatkan pakar dari sembilan
universitas negeri di Malaysia dan lebih dari 15 ribu siswa, PPSMI ini memang tidak

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 4


http://www.facebook.com/agung.falz

menghasilkan apa yang diharapkan pencetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah yang
berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota; pada jenis sekolah lainnya nyaris tanpa
ampun terjadi degradasi penurunan mutu. Jadi alih-alih akan meningkatkan mutu
pembelajaran Matematika dan IPA yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan negara Malaysia yg
JAUH LEBIH SIAP secara budaya, infrastruktur, dan SDM dalam menerapkan sistem ini
menganggap program ini GAGAL diterapkan dan akan kembali menggunakan bahasa Melayu utk
mengajar Sains dan Matematika di sekolah-sekolah mereka. Jadi sungguh salah besar jika kita
justru akan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh negara Malaysia.

2. Penetapan bahasa Inggris untuk digunakan sebagai bahasa pengantar untuk bidang studi IPA
dan Matematika adalah kebijakan yang sembrono dan tidak didasarkan pada studi empiris
samasekali. Ide menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran
juga digunakan secara serampangan dan benar-benar di luar kaidah sehingga justru
mengakibatkan kekacauan dan kemerosotan mutu pembelajaran nasional kita. Adalah tidak
mungkin kita mengharapkan guru-guru kita untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar dengan kemampuan berbahasa Inggris yang ada. Berdasarkan hasil test TOEIC pada
600 guru dan kepala sekolah RSBI terungkap bahwa 60% dari mereka berada pada level paling
rendah kemampuan bahasanya. Mengharapkan guru-guru yang berada pada level terendah
kemampuan berbahasa Inggrisnya untuk mengajarkan materi IPA dan Matematika dalam
bahasa Inggris adalah kebijakan yang sungguh tidak bertanggungjawab.

3. Penggunaan kata atau istilah ‘bertaraf internasional’ akhirnya menimbulkan banyak program-
program yang dipaksakan agar dapat memenuhi kriteria ‘bertaraf internasional’ tersebut.
Penggunaan standar ISO, pengadopsian sistem Cambridge, IBO, Sister School, dll. yang
dimaksudkan untuk memberikan justifikasi ‘bertaraf internasional’ tersebut sebetulnya tidaklah
esensial dan sekedar aksesoris dan kosmetik. Hal ini menimbulkan konsekuensi dan resiko di
bidang akademik maupun biaya yang mubazir. Salah satunya adalah kesalahan asumsi bahwa
Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya)
dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD .
Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. yang
kita jadikan rujukan tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin
menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional.

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 5


http://www.facebook.com/agung.falz

4. Istilah ‘bertaraf internasional” ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara bebas
tanpa kajian dan studi yang layak. Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan
mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka
sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri
masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih
seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini
nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Sekolah menafsirkan SBI itu sarananya
harus wah, ada lap top, infocus, hotspot, AC, VCD. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah
proses ketimbang alat. ‘Internasionalisasi’ pendidikan dipandang dari segi FASILITASnya dan
bukan pada prosesnya.

5. Konsep ini kemudian menimbulkan kesalahan asumsi yang mendasar. Kesalahan mendasarnya
adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang
memiliki standar kecerdasan tertentu. Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa
diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan
bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat
kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah
‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggap SNP ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas
Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk
memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang
diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang
menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih
daripada siswa yang tidak memilikinya. Pendidikan yang berorientasi ke hasil adalah paradigma
lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang berorientasikan pada proses karena pendidikan
itu sendiri adalah sebuah proses.

6. Eksperimen kebijakan RSBI ini jelas salah sasaran karena dengan kecemasan yg sama akan
kualitas pendidikan yg dianggap merosot pemerintah AS di bawah George Bush kemarin justru
mengeluarkan paket NCLB (No Children Left Behind) yg justru menyasar pada siswa-siswa di
level terbawah yg diberi penanganan khusus agar tak ada lagi yg tertinggal secara akademik.

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 6


http://www.facebook.com/agung.falz

Dengan mengangkat kualitas siswa paling bawah sehingga tak ada siswa yg 'left behind' maka
diharapkan akan mengangkat agregat kualitas pendidikan secara makro.
Bandingkan ini dengan program RSBI yg justru ditujukan pada siswa-siswa paling berbakat
(cream of the cream) dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah padahal mereka
secara ekonomi dan akademik sebenarnya lebih mampu dan tidak memerlukan bantuan
dibandingkan siswa yg tertinggal. Program RSBI ini malah mengabaikan siswa yg secara
ekonomis dan akademis justru membutuhkan penanganan dan biaya. Sesungguhnya program
RSBI ini adalah program yg memalukan bangsa dan mengkhianati rakyat kecil. Ingat bahwa ini
adalah program pemerintah yg dibiayai oleh pajak dan hutang negara dan bukan program
swasta.

7. Kesalahan asumsi lain adalah bahwa ‘sekolah bertaraf internasional’ ini haruslah diajar oleh
guru-guru yang memiliki gelar S-2 (tanpa memperdulikan kesesuaian dengan bidang studi yang
diajarkan di kelas). Ini adalah interpretasi yang tidak memiliki acuan akademik maupun
akademik samasekali selain ‘rule of thumb’ belaka. Kebijakan ini juga bertentangan dengan UU
Sisdiknas yang hanya mewajibkan guru untuk memiliki gelar sarjana S-1. Tak ada kajian empirik
yang menguatkan kebijakan mengenai guru bergelar master ini dan hanya ditetapkan sekedar
untuk menunjukkan eksklusifitas.

8. Salah satu alasan yang dikemukakan dalam penyelenggaraan SBI ini adalah untuk mencegah
kalangan menengah ke atas untuk mengirim anaknya keluar negeri karena ingin memberikan
pendidikan yang bermutu bagi anaknya. Tentu saja alasan ini sangat mengada-ada. Apa ada
bukti bahwa dengan adanya program RSBI ini maka orang tua yg semula ingin menyekolahkan
anaknya di luar negeri lantas membelokkannya ke sekolah RSBI?
Jika argumen bahwa program RSBI dibuat utk mencegah anak-anak orang kaya bersekolah ke LN
maka ini sungguh naïf. Kenapa pemerintah harus membuat program KHUSUS untuk mencegah
anak-anak kaya bersekolah di LN? Berapa banyakkah sebenarnya siswa menengah kita yg belajar
ke LN dan seberapa urgen masalahnya sehingga harus dibuatkan program khusus utk
mencegahnya? Mengapa pemerintah mesti mencegah anak-anak orang kaya tersebut
bersekolah ke LN? Apa kepentingan pemerintah (dalam hal ini kementerian pendidikan) dengan
mencegah mereka belajar ke LN? Anak-anak pintar (apalagi kaya) dengan mudah bisa mencari
pendidikan bermutu DI MANA SAJA. Bagi mereka itu pintu utk masuk ke mana saja selalu

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 7


http://www.facebook.com/agung.falz

terbuka lebar. Mereka tidak butuh sekolah gratis dan bisa bayar sekolah swasta se mahal apa
pun. Uang bukan masalah bagi mereka dan pemerintah tidak perlu repot-repot membuatkan
sekolah khusus bagi mereka agar tidak perlu belajar ke luar negeri dan justru sebaliknya
DORONG mereka utk bersekolah ke swasta dan kalau perlu ke luar negeri.

9. Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program SBI
menjadikan sekolah yang mengikutinya menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena
hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang
dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak dapat dimasuki oleh
anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Siswa yang
belajar di program ini merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan siswa kelas reguler.

10. Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini adalah bahwa program ini telah memberi
legitimasi kepada sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan
justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara
gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan
pendirian bangsa dan negara. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta
dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari
masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah
publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi komersial.
Saat ini biaya untuk masuk ke sekolah SMA RSBI mencapai Rp. 15.000.000,- untuk biaya masuknya dan
Rp. 450.000,- untuk SPP-nya. (panduan Seminar Nasional SBI)

11. Salah satu masalah yang muncul dari istilah ‘bertaraf internasional’ adalah kerancuan dan keganjilan.
Sungguh ganjil jika sebuah UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan
sebuah istilah ‘bertaraf internasional’ ! Mau dimasukkan ke mana dan dengan konstelasi bagaimana
sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf internasional’ dalam sebuah Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), apalagi dianggap sebagai standar tertinggi? Coba bayangkan betapa ganjilnya sebuah UU
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang justru mengagung-agungkan kurikulum negara
asing (OECD).

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 8


http://www.facebook.com/agung.falz

12. Keganjilan dan ambigu lainnya adalah masalah evaluasi. Meski menyandang nama ‘bertaraf
internasional’ tapi siswanya masih harus ikut ujian nasional. Alangkah ganjilnya jika sebuah sekolah
yang bertaraf INTERNASIONAL tapi kemudian masih harus mengikuti sebuah UJIAN NASIONAL! Adalah
tidak mungkin sekolah harus mempersiapkan siswa untuk mengikuti DUA SISTEM UJIAN yang berbeda
(nasional dan internasional) karena itu SANGAT MEMBERATKAN guru dan siswa serta tidak bermanfaat.
Selain itu dengan terburu-buru sekolah RSBI/SBI kita lantas mengadopsi sistem ujian Cambridge (CIE)
bagi siswa-siswanya agar dapat disebut ‘bertaraf atau berstandar intenasional’ padahal kurikulum
nasional kita tak ada hubungannya dengan sistem tersebut. Coba juga jawab apa sebenarnya urgensi
dari ujian Cambridge pada siswa-siswa RSBI/SBI yang tidak ada hubungannya dengan sistem pendidikan
nasional kita? Ujian Cambridge juga TIDAK dipersyaratkan bagi siswa yang hendak belajar ke luar negeri .
Siswa-siswa kita yang hendka belajar ke luar negeri tidakpernah dipersyaratkan harus memiliki harus
lulus ujian Cambridge sehingga mengikuti ujian Cambridge sebenarnya justru memberatkan siswa kita
apalagi yang tidak ingin melanjutkan studinya ke luar negeri.

13. Kesalahan konseptual (R)SBI adalah terutama pada penekanannya pada segala hal yang bersifat
akademik dengan menafikan segala yang non-akademik. Semua keunggulan yang hendak dicapai oleh
program SBI ini adalah keunggulan akademik semata dan tak ada lain. Seolah tujuan pendidikan adalah
untuk menjadikan siswa untuk menjadi seseoarang yang cerdas akademik belaka. Tak ada dibicarakan
tentang keunggulan di bidang Seni, Budaya, dan Olahraga. Padahal paradigma keunggulan akademik
adalah pandangan yang sudah sangat kuno. Seolah ‘bertaraf internasional’ adalah keunggulan akademik
padahal justru Seni, Budaya, dan Olahragalah yang akan lebih mampu mengantarkan kita untuk
bersaing dan tampil di dunia internasional. Jika kita tanya pada hampir semua orang mengenai apa
yang mereka ketahui tentang Negara Argentina maka jawaban yang kita dapatkan mayoritas
menyatakan “Maradona.”! Dan Maradona bukanlah symbol tentang keunggulan akademik samasekali.
Di negara lain pemerintah juga menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang paling
berbakat agar mereka dapat melesatkan potensi mereka tanpa bergantung pada siswa yang lambat. Ada
beberapa sekolah publik untuk gifted students di Australia. Meski demikian pembiayaannya tidak
dengan menarik iuran pada orang tua. Sekolah tersebut harus kreatif mencari dana untuk membiayai
kegiatan-kegiatannya yang padat tersebut.
Satu hal lagi, mereka justru menonjolkan kehebatan kegiatan olahraganya dan bukan capaian
akademiknya.

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 9


http://www.facebook.com/agung.falz

USULAN
1. Karena interpretasi dari istilah ‘bertaraf internasional’ ternyata menimbulkan kerancuan,
ambigu serta masalah-masalah yang mendasar dan serius di lapangan maka perlu adanya suatu
REINTERPRETASI dan REFORMULASI dari rumusan sekolah bertaraf internasional yang ada
selama ini. Usulan rumusan dasar tersebut adalah sbb :
“Satuan Pendidikan yang bertaraf Internasional adalah sekolah yang dapat memberikan pelayanan
pendidikan berkualitas tinggi kepada siswa-siswa yang memiliki potensi akademik dan non-
akademik yang sangat menonjol sehingga siswa-siswa tersebut dapat memiliki bekal pengetahuan,
ketrampilan dan sikap pribadi serta kompetensi dan prestasi akademik dan non-akademik yang
menonjol dan memiliki kemampuan untuk berkolaborasi secara internasional.”
Pelayanan pendidikan yang bertaraf internasional di sini mencakup 8 SNP dan ditambah dengan
pelayanan pendidikan tambahan yang akan dapat memunculkan kompetensi terbaik dari siswa agar
dapat memiliki daya saing internasional.
Ada tiga komponen penting yang mencakup pengertian ‘bertaraf internasional’ di sini, yaitu :
a. Pelayanan sekolah yang bermutu tinggi
b. Input siswa yang memiliki potensi akademik dan non-akademik yang sangat menonjol
c. Prestasi akademik dan non-akademik di bidang Seni, Budaya, dan Olahraga serta kemampuan
untuk bekerjasama dan berkolaborasi secara internasional dengan lulusan dari mana pun.
Interpretasi ini sesuai dengan amanah Undang-undang yang mewajibkan pemerintah untuk
memberi pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang memiliki bakat menonjol perlu
mendapat pelayanan pendidikan yang khusus pula. Rumusan ini akan memberikan keleluasaan bagi
pemerintah dan sekolah untuk merumuskan keunggulan spesifik dari sekolah dalam memberikan
pelayanan yang unggul dan sebaik-baiknya bagi siswa-siswa berbakat baik di bidang akademik
maupun non-akademik.
2. Dengan konsep seperti ini maka tidak diperlukan lagi segala macam aksesori dan kosmetik yang
tidak perlu pada program ini agar berbau internasional seperti : Standar ISO, Ujian Cambridge,
IBO, TOEFL, Sister School, Studi Banding ke luar negeri, kelas ber AC, menggunakan laptop dan
proyektor, dll. Sekolah dapat memusatkan perhatiannya pada program-program dan proses
pembelajaran yang benar-benar dapat merangsang siswa untuk mengembangkan potensinya
secara optimal melalui program-program yang sudah diketahui efektifitasnya. Pendidikan harus
benar-benar diarahkan pada proses dan bukan pada alat dan aksesori. India telah memberikan

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 10


http://www.facebook.com/agung.falz

contoh bagaimana menyelenggarakan pendidikan berkualitas dunia dengan fasilitas dan sarpras
yang sederhana.
3. Dengan meninggalkan program yang tidak substantif seperti ujian Cambridge dan TOEFL maka
kerancuan dan kritik tentang sistem pendidikan nasional yang ujiannya mengacu pada sistem
lain di luar ujian nasional akan berhenti dengan sendirinya. Sekolah-sekolah publik hanya akan
menyelenggarakan ujian yang diamanatkan oleh Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
4. Dengan konsep yang sederhana, operasional dan terukur seperei ini maka kemungkinan
keberhasilan dari program ini akan lebih besar, lebih terukur, dan lebih operasional yang
kemudian akan dapat di adopsi oleh sekolah-sekolah lain. Dengan demikian program
peningkatan kualitas sekolah ini dapat disebarluaskan ke sekolah-sekolah lain yang mau
mengadopsinya. Ia akan dapat menjadi model pengembangan sekolah yang dapat diadopsi dan
dikembangkan secara meluas dan tidak hanya berhenti pada sekolah SBI semata.
5. Konsep SBI yang lama yang hanya menonjolkan kemampuan akademik siswa semata hendaknya
direinterpretasikan ulang dan kemudian haruslah memberikan porsi yang sama besarnya
kepada bakat menonjol siswa yang bersifat non-akademik seperti Seni, Budaya, dan Olahraga
karena pada hakikatnya dalam kehidupan nyata bakat di bidang non-akademik dan kecerdasan-
kecerdasan lain yang tercakup dalam multiple intellegencies justru sangat dibutuhkan dalam
kehidupan mereka di dunia nyata kelak. Pengagungan kepada bakat akademik semata
menunjukkan ketidakpahaman kita akan dimensi pendidikan itu sendiri yang memang tidaklah
semata akademik. Pengembangan potensi akademik semata hanya akan menciptakan siswa
yang cerdas akademik semata tapi tidak memiliki kecakapan lain yang justru dibutuhkannya
dalam kehidupan nyata kelak.
6. Karena sekolah ini adalah sekolah bagi anak-anak dengan bakat yang sangat menonjol maka
tuntutan bagi siswanya juga lebih tinggi dibandingkan sekolah reguler. Hanya siswa-siswa yang
memiliki bakat, minat, kemampuan, dan kemauan yang menonjol yang bisa mengikuti program
ini. Beberapa contoh tuntutan akademik dan non-akademik yang harus dilakukan oleh siswa
pada program ini adalah :
a. Membaca dan menuliskan resensi buku (book discussion and book review) dalam jumlah
tertentu, umpamanya tingkatan SD 10 buku, SMP 20 buku, dan SMA 30 buah buku.
b. Memiliki kemampuan berbahasa Inggris pada semua ketrampilan (Speaking, reading, writing
and listening) dan harus lulus uji kompetensi berbahasa Inggris yang standarnya akan ditetapkan
oleh Kemdiknas

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 11


http://www.facebook.com/agung.falz

c. Mengikuti kegiatan ekstra kurikuler dan community service yang lebih menonjol dibandingkan
sekolah reguler dan dapat mewakili daerah masing-masing untuk kepentingan daerah.
d. Memiliki tingkat disiplin dan dapat menjadi teladan bagi lingkungannya.
e. Dst.
7. Untuk itu semua bidang studi (kecuali bahasa asing) harus diajarkan dalam bahasa Indonesia
yang baku dan standar untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa
nasional tersebut. Janganlah lagi kita mengikuti kesalahan yang sama yang dilakukan oleh
pemerintah Malaysia yang telah pernah melakukan program PPSMI yang mewajibkan
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang ahirnya justru menurrunkan mutu
siswa dan sekolah pada bidang studi yang diajarkan dalam bahasa Inggris tersebut. Dengan
dihapuskannya kewajiban menggunakna bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas maka
guru dapat kembali memfokuskan persiapannya pada proses pembelajaran yang efektif dan
tidak perlu berjibaku menggunakan bahasa Inggris yang samasekali tidak dikuasainya tersebut.
Kita tidak perlu mengikuti kesalahan yang sama telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia.
8. Untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menggunakan bahasa Inggris sebagai bekal untuk
hidup di dunia global maka pelajaran bahasa Inggris mesti ditambah porsinya baik itu jumlah
jam belajarnya mau pun efektifitas pembelajarannya. Pembelajarannya juga harus lebih variatif
agar dapat mendukung berkembangnya kemampuan siswa dalam 4 ketrampilan berbahasa
Inggris yang mencakup : Listening, speaking, Reading dan Writing. Berbagai program dapat
sidusun untuk meningkatkan kompetensi siswa ini. Ada banyak program dari lembaga-lembaga
internasional yang dapat diadopsi untuk mencapai tujuan ini.
9. Untuk menghindari komersialisasi pendidikan maka semua biaya yang ditimbulkan oleh program
ini harus ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan daerah. Ini adalah program yang
seharusnya menjadi program kebanggaan pemerintah pusat dan daerah sehingga
pembiayaannya memang tidak membebani orang tua siswa. Anak-anak yang berbakat luar biasa
sudah selayaknya mendapat bea siswa untuk menunjang perkembangan potensi mereka
tersebut. Untuk mendapat tambahan biaya pendidikan maka pemerintah daerah dapat
menggalang bantuan dari berbagai perusahaan yang ada di daerahnya melalu program CSR.
10. Untuk menjamin keberhasilan program ‘sekolah berkeunggulan tinggi (school for the gifted and
talented)’ ini maka semua guru harus memenuhi kriteria kompetensi yang ditetapkan dan
sekolah yang ditetapkan harus melakukan upaya penjaminan kualitas SDM-nya. Untuk itu maka
sebenarnya tidak diperlukan guru yang berkualifikasi S-2. Apalagi jika kualifikasi S2 yang dimiliki

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 12


http://www.facebook.com/agung.falz

tidak memiliki korelasi dengan bidang studi yang diajarkan oleh guru tersebut. Saat ini para guru
berlomba-lomba mengejar gelar S2 tanpa perduli apakah bidang studi yang ingin dicapainya itu
sesuai atau linear dengan bidang studi yang diajarnya di sekolah. Dengan menghapus
persyaratan kualifikasi S2 tapi mensyaratkan kompetensi profesional di bidang studi yang
diajarkannya (on the job performance) maka kualitas pembelajaran di kelas akan dapat tercapai.

Tabik dan sampai disini dulu. Kalau nanti ada ide lagi baru saya tulis lagi.

Salam
Satria Dharma
Jakarta, 30 Oktober 2010

Didownload dan diedit oleh Agung Hidayat 13

You might also like