You are on page 1of 24

ANALISIS KEANDALAN BANGUNAN GEDUNG:

Studi pada Gedung Induk Departemen Keuangan Jakarta


yang Dimanfaatkan oleh Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian Tahun 2008

Naskah Publikasi
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan


Bidang Ilmu Sosial

diajukan oleh
Safrudin
20258/PS/MEP/06

Kepada
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan

Gedung dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan, maka sebuah bangunan yang dimanfaatkan untuk kegiatan baik untuk

perkantoran, pusat perbelanjaan, maupun perumahan harus memenuhi syarat-

syarat keandalan bangunan. Adapun syarat-syarat keandalan sebuah bangunan

adalah sebagai berikut:

1. keselamatan bangunan;

2. kesehatan bangunan;

3. kenyamanan bangunan; dan

4. kemudahan bangunan.

Berdasarkan kedua peraturan di atas dicoba untuk lebih jauh mengetahui

tentang kondisi bangunan Gedung Induk Departemen Keuangan terletak di

Jakarta Pusat Jalan Lapangan Banteng Timur nomor 2-4 Jakarta kode pos 10710.

Sebelum digunakan untuk kegiatan perkantoran oleh Departemen Keuangan dan

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada awal pemerintahan

Daendels (1809), telah mulai dibangun sebuah istana yang besar dan megah di

lapangan banteng. Daendels bermaksud menjadikan istana ini sebagai pusat

ibukota barunya di Weltevreden. Istana dirancang oleh Kolonel J.C.Schultze.

Adapun bahan bangunannya diambil dari benteng lama atau Kasteel Batavia yang

mulai dirobohkan pada 1809.

1
2

Kondisi seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa Gedung Induk

Departemen Keuangan mempunyai letak yang sangat strategis dari jaman

penjajahan Belanda sampai sekarang bahkan setelah diambil alih oleh Departemen

Keuangan sebagai tempat untuk mengambil kebijakan kenegaraan di bidang

keuangan. Akan tetapi lokasi yang begitu strategis tidak didukung dengan

pemeliharaan bangunan gedung yang baik. Pemeliharaan bangunan gedung yang

kurang baik dan kurangnya perlengkapan teknologi keamanan gedung, sehingga

bangunan gedung ini mengakibatkan:

1. struktur bangunan yang mulai rapuh;

2. gedung mudah terbakar;

3. polusi udara di dalam gedung yang berlebih;

4. kebisingan dari luar yang masuk ke dalam;

5. air bersih yang kurang memadai;

6. sanitasi air kotor yang kurang memadai; dan

7. kurang memadainya toilet.

di samping pemeliharaan kurang memadai, di dalam bangunan gedung terdapat

partisi-partisi untuk membuat ruangan-ruangan kecil.

Dengan adanya kekurangan-kekurangan tersebut di atas, ingin diketahui

tingkat keandalan bangunan gedung di Gedung Induk Departemen Keuangan dari

sisi manajemen aset seperti yang dijelaskan oleh Susanto dan Ningsih (2007 : 1)

secara umum manajemen aset didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas yang

dikaitkan dengan mengidentifikasi aset apa yang diperlukan, bagaimana cara


3

mendapatkannya, cara mendukung dan memeliharanya, serta cara membuang atau

memperbaruinya sehingga aset tersebut secara efektif dan efisien dapat

mewujudkan sasaran/obyektif. Secara khusus manajemen aset didefinisikan

sebagai serangkaian disiplin, metode, prosedur dan tool untuk mengoptimalkan

dampak bisnis keseluruhan atas biaya, kinerja dan paparan risiko (terkait dengan

ketersediaan, efisiensi, umur pakai, dan regulasi/keselamatan/kepatuhan pada

aturan lingkungan hidup) dari aset fisik perusahaan. Pengertian di atas dikaitkan

dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan bahwa

adanya paparan risiko yang salah satunya tentang keselamatan dari aset fisik.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam

penelitian ini adalah bahwa bangunan gedung Induk Departemen Keuangan

kurang mempunyai nilai keandalan, sehingga kurang memberikan keselamatan,

kesehatan, kenyaman, dan kemudahan dalam bekerja.

1.2 Keaslian Penelitian

Penelitian dalam menentukan sebuah tingkat keandalan telah banyak

dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan keandalan

adalah sebagai berikut:

1. Kyle (1997) melakukan peneltian tentang Asset Service Life Prediction

Implemeting Reliability-Based Tecghniques, dengan menggunakan model The

Reliability-based Analisys System (RBA), menjelaskan bahwa penilaian


4

berbasis keandalan menyediakan suatu kerangka realistis untuk penilaian masa

manfaat dan hal-hal yang terkait dengan daur hidup biaya.

2. Siregar (2002) melakukan penelitian tentang Menentukan Keandalan Pada

Model Stress-Strength dari Satu Komponen, menjelaskan bahwa persaingan

yang semakin ketat di dunia bisnis dan industri menuntut adanya rekayasa

produk yang mencakup hampir semua aspek. Salah satu aspek yang selalu

menjadi pertimbangan konsumen adalah kwalitas dan keandalan dari suatu

produk tersebut, di mana keandalan tersebut tidak terlepas dari komponen-

komponen pembentuknya.

3. Pietrzyk (2004) melakukan penelitian tentang Reliability analysis in interior

climate and building envelope design, dengan mengunakan model First-Order

Reliability Method (FORM), menjelaskan tentang perubahan udara dan tingkat

kelembaban relatif dalam bangunan.

4. Kersner (2005) melakukan peneltian tentang Reliability of Long-Term Action

Prognoisis, Degradation, Model Testing, Corrections and Evaluations

menerangkan tentang aturan Eurocode yang digunakan untuk menganalisis

penyebab kerusakan masalah jembatan.

5. Darminto (2007) melakukan penelitian untuk mendapatkan gambaran

hubungan antara Fire Safety Management dengan tingkat keandalan bangunan

gedung tinggi perkantoran, sampel diambil dari bangunan gedung tinggi

perkantoran di DKI Jakarta. Hasil dari penelitian yang diperoleh adalah

adanya hubungan yang positif antara implementasi Fire Safety Management

yang baik dengan tingkat keandalan bangunan terhadap bahaya kebakaran

Gedung Tinggi Perkantoran, dengan variabel yang dominan adalah Inspection


5

& Maintenance Kondisi Sistem Pompa & Persediaan Air Setelah Beroperasi,

System Komunikasi dan Control facilities, & Sosialisasi Pentingnya Latihan

Kebakaran Gedung.

6. Heimlich (2007) melakukan penelitian tentang Sick Building Syndrome

menjelaskan sebab-sebab sebuah gedung menjadi sakit, adapun penyebabnya

adalah sebagai berikut.

a. Major Combustion Pollutans.

b. Biological Air Pollutans.

c. Volatile Organic Compunds.

d. Heavy Metals.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dalam menentukan

sebuah tingkat kenadalan. Perbedaannya pada lokasi yang diteliti yaitu Gedung

Induk Departemen Keuangan Jakarta, alat analisis yang digunakan adalah Skala

likert dan Uji Kruskal-Wallis, dan variabel yang yang diteliti adalah keselamatan

bangunan, kesehatan bangunan, kenyamanan bangunan, dan kemudahan

bangunan. Penelitian ini belum pernah dilakukan di obyek penelitian yaitu

Gedung Induk Departemen Keuangan Lapangan Banteng Jakarta Pusat.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis keandalan sebuah

bangunan dilihat dari :

1. keselamatan bangunan;

2. kesehatan bangunan;

3. kenyamanan bangunan; dan


6

4. kemudahan bangunan pada Gedung Induk Departemen Keuangan Lapangan

Banteng Jakarta Pusat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi

kalangan akademis maupun untuk pengguna bangunan, yaitu:

1. diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang keandalan

bangunan dalam rangka pengelolaan aset yang diselenggarakan Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian;

2. diharapkan dapat memberikan bukti nyata mengenai besarnya peranan

manajemen aset dalam upaya meningkatkan kegunaan aset dalam mendukung

pelaksanaan kegiatan perkantoran;

3. diharapkan dapat memberikan perlidungan terhadap pengguna aset melalui

manajemen aset bangunan perkantoran; dan

4. diharapkan dapat memberikan referensi dalam bidang ilmu manajemen

khususnya manajemen aset pengelolaan bangunan perkantoran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS

2.1 Tinjauan Pustaka

Capgemini (2007: 1) dalam Risk Based Enterprise Asset Management

“Asset Management” can be defined as a process to generate maximum value

from a physical asset base for the business and for society by balancing the

operational performance of the asset against the asset life-cycle cost and its risk

profile for all relevant stakeholders.

Siregar (2004: 518) lingkup manajemen aset terdiri dari lima tahapan

kerja, adapun tahapan yang keempat adalah optimalisasi aset, terdiri dari review

daftar aset potensial, analisa highest and best use aset potensial, rekomendasi dan

langkah lanjut aset yang dapat dioptimalkan perdayagunaannya, serta

rekomendasi solusi aset yang tidak dapat dioptimalkan. Di dalam penjelasan

tentang optimalisasi aset tersebut. adanya rekomendasi dan langkah lanjut aset

yang dapat dioptimalkan perdayagunaannya, serta rekomendasi solusi aset yang

tidak dapat dioptimalkan, hal ini berarti aset yang sudah tidak dapat dioptimalkan,

maka harus dihentikan dari pemanfaatannya, supaya tidak terjadi kerugian yang

lebih besar. Kerugian tersebut bisa berbentuk kecelakan terhadap manusia yang

menggunakan aset tersebut.

Yusuf (2008: 2) menyatakan bahwa banyak terjadi kecelakan pada

bangunan gedung karena tidak adanya kepedulian atau ketidaktahuan manajemen

terhadap aset berupa bangunan gedung, adapun sebab-sebab kecelakan tersebut

adalah sebagai berikut :

7
8

1. Semakin banyak tempat kerja yang diidentifikasi sebagai ruang terbatas

(Confined Spaces).

2. Semakin berkembangnya jenis pekerjaan yang harus dilakukan di dalam

ruang terbatas.

3. Terdapatnya bahaya dan risiko kematian pada saat bekerja di dalam ruang

terbatas.

4. Banyak kecelakaan fatal karena ketidakahuan pengusaha/pekerja akan

bahaya ruang terbatas dan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja

biasa disebut keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang harus dijalankan.

Siagian (2005: 7) salah satu dari penyebab penyakit bangunan adalah

memakai material yang mengeluarkan zat beracun secara lambat Formaldehyde

dengan campuran lem, resin, dan minyak cat, sehingga hal ini akan

mengakibatkan penyakit misalnya iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan,

sakit kepala, dan iritasi dermatologis. Kemudian Sukotjo (2001: 3-4) menurut

artikel "Indoor Air Pollution in Massachusetts" tahun 1989, polusi bangunan

merupakan penyebab dari 50 persen penyakit di Amerika. Penyakit-penyakit

tersebut dapat berjangkit dalam waktu yang singkat maupun tahunan. Polusi-

polusi yang disebabkan oleh bahan bangunan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Polusi biologi disebabkan oleh kutu debu, jamur, bakteri, serbuk sari

tanaman, dan organisme lain yang bisa mempengaruhi kesehatan anda.

2. Polusi gas dari kompor gas yang mengeluarkan carbon monoxida, carbon

dioxida, sulfur dioxida, dan nitrogen dioxida.

3. Polusi metal yang paling dikenal adalah penggunaan cat rumah yang

mengandung timah (lead paint). Cat timah apabila terkelupas akan menjadi
9

partikel-partikel metal (biasanya ditemui di pojok-pojok pintu atau jendela)

yang sangat membahayakan kesehatan apabila terhirup oleh sistem

pernafasan kita.

4. Polusi mineral disebabkan oleh asbestos dan fiberglass biasa ditemui pada

insulasi rumah, alas lantai vinyl, lapisan luar rumah (siding) dan juga lapisan

dalam rumah (drywall) yang banyak digunakan dalam konstruksi bangunan.

5. Polusi radiasi yang paling ditakuti dalam bangunan adalah radon, yang bisa

menyebabkan kanker paru-paru.

2.2 Landasan Teori

Beberapa undang-undang, peraturan pemerintah, atau keputusan menteri

sebagai acuan untuk menentukan keandalan suatu bangunan dengan parameter

keselamatan bangunan, kesehatan bangunan, kenyamanan bangunan dan

kemudahan bangunan dapat disebutkan sebagai berikut.

1. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang

Penyandang Cacat.

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan.

4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan

Kerja Perkantoran dan Industri.

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi

Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah.


10

6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 29/PRTt/M/2006 tentang

Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

7. Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1991 tentang

Bangunan dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota .

2.3 Alat Analisis

Untuk menganalisis data yang diperoleh melalui kuesioner dalam

menentukan keandalan bangunan, maka teknik analisis data yang digunakan

melalui pola pikir reflektif dedukatif. Data-data tersebut dianalisis dengan

menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2003 : 96) skala Likert digunakan

untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok orang

tentang fenomena sosial. Dalam penelitian sosial ini ditetapkan secara spesifik

oleh peneliti, yang selanjutnya disebut variabel penelitian.

Uji Kruskal-Wallis menurut Djarwanto (2001 : 261 & 265-267), uji

Kruskal-Wallis (disebut uji H) berlaku untuk sampel independen (k>2). Uji

Kruskal-Wallis ini digunakan sebagai alternatif dari analisis varian satu arah (one

way analysis of variance), bila uji ini tidak memerlukan anggapan bahwa populasi

di mana sampel penelitian diambil mempunyai varian sama. Anggapannya adalah

bahwa variable random di mana berbagai sampel diperbandingkan berdistribusi

kontinyu, oleh karena skornya berskala likert, maka uji ini dinamakan analisis

varian satu arah Kruskal-Wallis.


BAB III

ANALISIS DATA

3.1 Hasil Analisis Data

Alat analisis yang digunakan untuk menentukan bangunan adalah sebagai

berikut.

1. Alat Analisis Likert scale

Alat analisis ini hanya didasarkan pada persentase yang dihitung sesuai

dengan interval yang telah ditentukan, adapun hasil dari perhitungan secara

matematika adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1 Evaluasi Keandalan Bangunan Kantor pada Gedung Induk


Departemen Keuangan
No Kriteria Indikator Skor % Ket.

1. Struktur Bangunan Keselamatan Bangunan 59 46,1 KB


2. Sistem Pemadam Kebakaran Keselamatan Bangunan 55 43,0 KB
3. Sistem Penangkal Petir Keselamatan Bangunan 67 52,3 CB
4. Sistem Penghawaan Kesehatan Bangunan 75 58,6 CB
5. Sistem Pencahayaan Kesehatan Bangunan 72 56,3 CB
6. Sistem Sanitasi Kesehatan Bangunan 53 41,4 KB
7. Bahan Bangunan Kesehatan Bangunan 73 57,0 CB
8. Ruang Gerak Kenyamanan Bangunan 60 46,9 KB
9. Hubungan Antarruang Kenyamanan Bangunan 54 42,2 KB
10. Kondisi Udara Kenyamanan Bangunan 58 45,3 KB
11. Pandangan Kenyamanan Bangunan 77 60,2 CB
12. Tingkat Getaran dan Kebisingan Kenyamanan Bangunan 61 47,7 KB
13. Hubungan Luar_Ruangan Kemudahan Bangunan 49 38,3 KB
14. Sarana Prasarana Kemudahan Bangunan 52 40,6 KB
15. Fasilitas Komunikasi Informasi Kemudahan Bangunan 76 59,4 CB

11
12

2. Alat Analisis Statistika

Menurut Santoso (2008: 318-319) dasar pengambilan keputusan dengan

alat Uji Kruskal-Wallis analisis ada dua, yaitu:

a. berdasarkan perbandingan statistik hitung dengan statistik tabel, jika statistik

hitung lebih kecil dari statistik tabel, maka Ho diterima. Sebaliknya, jika

statistik hitung lebih besar dari statistik tabel, maka Ho ditolak.

b. berdasarkan probabilitas, jika probabilitas lebih besar dari 0,05, maka Ho

diterima. Sebaliknya, jika probabilitas lebih kecil dari 0,05, maka Ho

ditolak.

Hipotesis untuk kasus ini dengan df (derajat kebebasan) 2 dan tingkat signifikan

sebesar 0,05, maka didapat statistik tabel sebesar 5,991 adalah sebagai berikut:

a. Ho adalah persepsi ketiga populasi identik (data jabatan ketiga pejabat tidak

berbeda secara signifikan).

b. Hi adalah minimal salah satu dari ketiga populai tidak identik (data jabatan

ketiga pejabat memang berbeda secara signifikan).

Tabel 3.2 Hasil Analisis Uji Kruskal-Wallis


Atribut Chi-Square Asymp. Sig. Keterangan
Struktur Bangunan 0,487 0,784 Ho diterima
Sistem Pemadam Kebakaran 3,748 0,154 Ho diterima
Sistem Penangkal Petir 4,931 0,085 Ho diterima
Sistem Penghawaan 0,423 0,810 Ho diterima
Sistem Pencahayaan 1,098 0,577 Ho diterima
Sistem Sanitasi 1,821 0,402 Ho diterima
Bahan Bangunan 4,268 0,118 Ho diterima
Ruang Gerak 3,818 0,148 Ho diterima
Hubungan Antarruang 2,548 0,280 Ho diterima
Kondisi Udara 3,364 0,186 Ho diterima
Pandangan 3,051 0,218 Ho diterima
Tingkat Getaran dan Kebisingan 2,044 0,360 Ho diterima
Hubungan Luar_Ruangan 4,832 0,089 Ho diterima
Sarana Prasarana 3,360 0,186 Ho diterima
Fasilitas Komunikasi Informasi 4,405 0,111 Ho diterima
13

3.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil dari perhitungan kedua alat analisis di atas penulis

mencoba untuk mendiskripkan setiap syarat-syarat keandalan sebuah bangunan.

1. Keselamatan bangunan

Keselamatan bangunan gedung perkantoran pada Departemen Keuangan

di Gedung Induk setelah dilakukan bobot penilaian dengan tiga pertanyaan

memupanyai nilai berkisar antara 43,0 persen sampai dengan 52,3 persen.

a. Struktur bangunan gedung

Jika dilihat kondisi yang ada banyak tiang-tiang penyangga gedung yang

sudah rusak yang disebabkan oleh usia yang sangat tua sekitar berumur 180

tahun (1828 – 2008) dan pemeliharan yang tidak maksimal. Pemeliharaan

dilakukan jika ada yang rusak saja, tidak dilakukan secara menyeluruh dilihat

dari beban yang ada sesuai usia dari gedung yang bersangkutan. Bahkan

pemeliharaan dilakukan bukan pada struktur bangunan tetapi kebanyakan

pembuatan partisi-partisi untuk ruangan kantor. Selain adanya penambahan

beban partisi-partisi, masih ada penambahan beban yaitu orang, lemari kayu,

rak buku kayu, filing cabinet, meja kerja kayu, kursi besi/ metal, komputer,

mesin fotocopy, meja rapat, meja tamu, berkas-berkas/arsip, air conditioner,

dan kamar mandi.

b. Sistem penanganan kebakaran

Di dalam bangunan gedung tidak tersedianya peralatan atau perlengkapan

yang memadai hanya tabung pemadam kebakaran saja, sedangkan partisi-

partisi kantor semuanya terbuat dari kayu bahkan lantai tingkat II dan II

terbuat dari kayu, serta kabel-kabel listrik yang tidak beraturan.


14

c. Sistem penangkal petir

Peralatan penangkal petir telah sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

2. Kesehatan bangunan

Kesehatan bangunan gedung perkantoran pada Departemen Keuangan di

Gedung Induk setelah dilakukan bobot penilaian dengan empat pertanyaan

memupanyai nilai berkisar antara 41,4 persen sampai dengan 58,6 persen.

a. Sistem penghawaan

Sesuai dengan kondisi yang ada setiap bangunan mempunyai ventilasi alami

dan buatan karena bangunan gedung ini didesain pada zaman Belanda yang

pada saat itu belum menggunakan alat pendingin buatan dengan mempunyai

jendela buatan yang lebar dan tinggi.

b. Sistem pencahayaan

Bangunan gedung di sekitarnya dikelilingi dengan lapangan dan tempat parkir

yang cukup luas, sehingga membuat gedung mendapatkan cahaya langsung

dari matahari. Adapun cahaya buatan tidak ada hambatan, karena kebutuhan

akan listrik hampir tidak pernah mati. Hal ini disebabkan bangunan gedung

perkantoran terletak di pusat pemerintahan.

c. Sistem sanitasi

Bangunan gedung mempunyai sanitasi yang kurang baik, terutama untuk air

bersih yang tidak tersedia dengan baik sering mengalami kekuarangan,

sanitasi terhadap pembuangan air kotor, air limbah, kotoran dan sampah yang

kurang baik. Bangunan gedung perkantoran pada awal didirikan tidak

disediakannya kamar mandi, jamban, peterusan, dan wastafel kemudian pada

saat digunakan untuk kegiatan perkantoran dibuatlah peterusan dan wastafel.


15

d. Penggunaan bahan bangunan

penggunaaan bahan bangunan gedung yang cukup baik. Bangunan gedung

masih menggunakan bahan yang lama pada saat pendirian, adapun

penambahan ruangan hanya dipartisi terbuat dari kayu.

3. Kenyamanan bangunan

Kenyamanan bangunan gedung perkantoran pada Departemen Keuangan

di Gedung Induk setelah dilakukan bobot penilaian dengan lima pertanyaan

memupanyai nilai berkisar antara 42,2 persen sampai dengan 60,2 persen.

a. Ruang gerak

Tidak standarnya ruangan untuk pekerjaan yang membutuhkan pemikiran.

Dari 44 eselon IV yang mempunyai ruangan khusus hanya tiga orang,

sedangkan untuk eselon III dari 20 pejabat yang mempunyai ruangan khusus

ada lima orang pejabat dan semua eselon III tidak mempunyai ruang rapat dan

hanya satu pejabat yang mempunyai ruangan tamu. Kemudian untuk tujuh

eselon II semua mempunyai ruangan khusus, tetapi ada tiga eselon II yang

tidak mempunyai ruang rapat dan ruang tamu. Semua eselon II tidak

mempunyai kamar mandi khusus.

b. Hubungan antarruang

Terpisahnya gedung antara top manajemen dan midle manajemen

c. Kondisi udara

Bangunan gedung tidak menyediakan alat untuk mengukur kelembaban,

sehingga tidak dapat diketahui kelembaban di dalam ruangan yang

seharusnya. Akan tetapi kelembaban bisa diakibatkan oleh sempitnya ruangan

yang digunakan, hal ini disebabkan bertambahanya orang, inventaris

perkantoran, dan dokumen atau berkas yang tidak mempunyai gudang khusus,

sehingga membuat ruangan menjadi pengap walaupun adanya ventilasi buatan


16

yang tinggi dan lebar.

d. Pandangan

Lokasi gedung Induk Departemen keuangan sangat strategis, di depan gedung

ada lapangan parkir yang sangat luas dan tempat upacara yang luas sekali, ke

depannya lagi ada lapangan sepokbola, sehingga pandangan orang yang

bekerja tidak jenuh hanya melihat tembok saja. Di belakang gedung kantor

ada gedung Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ditengah-tengahnya ada

parkir motor dan mobil yang cukup luas.

e. Tingkat getaran dan kebisingan

Struktur bangunan seperti yang telah dijelaskan dalam keselamatan bangunan,

bukan untuk bangunan perkantoran pada umumnya, karena tidak adanya alat

perendam kebisingan, jika ada motor atau mobil lewatpun akan terdengar dari

dalam gedung.

4. Kemudahan bangunan

Kemudahan bangunan gedung perkantoran pada Departemen Keuangan di

Gedung Induk setelah dilakukan bobot penilaian dengan tiga pertanyaan

memupanyai nilai berkisar antara 39,8 persen sampai dengan 59,4 persen.

a. Hubungan luar ruangan

Ketidakaktersediaanya fasilitas untuk penyandang catat dan lanjut usia, untuk

menghubungkan dari lantai 1 ke lantai 2 tangga lantai yang sangat lebar

sekitar 4,8 m tanpa ada pegangan di tengah tangga. Kemudian dari latai 2 ke

lantai 3 tangganya yang sangat curam.

b. Sarana dan prasarana

Ketidaktersediaannya ruangan bayi dan dari 14 kamar mandi hanya ada satu

toilet (jamban).

c. Fasilitas komunikasi dan informsai


17

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian merupakan Kementerian

pengambil kebijakan, maka untuk komunikasi dan informsai yang tersedia

baik untuk komunikasi antar pegawai maupun komunikasi ke unit uang lain.

5. Berdasarkan alat analisis Uji Kruskal-Wallis ketiga atribut (Eselon II, Eselon

III, dan Eselon IV) mempunyai persepsi yang sama tentang kondisi Bangunan

Gedung Departemen Keuangan Jakarta. Dari ketiga atribut di atas menyatakan

bahwa gedung perkantoran Gedung Departemen Keuangan Jakarta kurang

andal sebagai aktivitas perkantoran.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari analisis dan pembahasan penelitian dapat ditarik beberapa

kesimpulan mengenai hasil penelitian. Hasil penelitian mengenai analisis

keandalan bangunan gedung induk Departemen Keuangan Jakarta dapat

disimpulkan bahwa bangunan gedung induk Departemen Keuangan tidak layak

dimanfaatkan untuk aktivitas perkantoran dan dibuktikan dengan Uji Kruskal-

Wallis ketiga atribut (Eselon II, Eselon III, dan Eselon IV) mempunyai persepsi

yang sama tentang kondisi Bangunan Gedung Departemen Keuangan Jakarta,

yaitu kurang andal sebagai aktivitas perkantoran, hal ini disebabkan tidak

terpenuhinya unsur-unsur keandalan sebuah bangunan sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2002 dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Keselamatan bangunan yang terdiri dari mendukung beban muatan, mencegah

dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir mempunyai nilai rata-

rata 47,13 persen (kurang memenuhi standar). Kondisi bangunan yang sudah

rapuh dan banyaknya penambahan beban muatan baik beban hidup maupun

beban mati dan tidak standarnya alat pemadam kebakaran sesuai yang

disyaratkan oleh Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun

1991 tentang Bangunan dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota.

2. Kesehatan bangunan yang terdiri sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi,

dan penggunaan bahan bangunan gedung mempunyai nilai rata-rata 53,33

persen (cukup memenuhi standar). Banguan gedung yang didesain dengan

18
19

ukuran yang tinggi, sehingga perputaran udara yang masuk dan keluar cukup

bagus dan halaman yang luas, akan tetapi bangunan gedung tidak mempunyai

sanitasi air bersih yang memadai dan tempat penampungan sampah sementara

yang kurang layak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan

Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri

3. Kenyamanan bangunan yang terdri dari kenyamanan ruang gerak, hubungan

antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan

tingkat kebisingan mempunyai nilai rata-rata 48,46 persen (kurang memenuhi

standar). Kondisi bangunan yang dimanfaatkan tidak sesuai pada saat

peruntukannya, adanya penyekatan-penyekatan ruangan tidak adanya

perendam suara dan getaran, serta adanya jarak ruangan/gedung antara top

manajemen dan midle manajemen, kemudian tidak standarnya ruangan kantor

untuk eselon IV sampai II sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja

Pemerintahan Daerah. Namun bangunan perkantoran mempunyai kelebihan

pada parkir dan halaman yang luas.

4. Kemudahan bangunan yang terdiri dari kemudahan hubungan ke, dari, dan di

dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam

pemanfaatan bangunan gedung mempunyai nilai rata-rata 47,13 persen

(kurang memenuhi standar). Bangunan gedung perkantoran mempunyai tiga

(3) lantai dari lantai satu (1) ke lantai berikutnya dihubungkan dengan tangga

yang sangat curam, hal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Negara
20

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat dan

jamban yang tidak memadai, akan tetapi kelebihan dari bangunan gedung

induk Departemen Keuangan mempunyai kemudahan sarana komunikasi dan

infaormasi yang sangat memadai.

4.2 Saran-saran

Saran yang dapat disampaikan kepada pengelola gedung Induk Departemen

Keuangan Jakarta untuk mengantisipasi korban jiwa, sebaiknya mencari lokasi

gedung baru. Jika tetap mempertahankan gedung tersebut, maka banyak bagian

bangunan gedung yang harus diperhatikan :

1. Memperkuat struktur bangunan gedung (terutama pondasi dan tiang), karena

struktur bangunan yang semakin rapuh. Alat pemadam kebakaran harus ada di

setiap lokasi, hal ini disebabkan kondisi bahan bangunan sebagian memakai

kayu;

2. Pengelola aset Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian harus

memperhatikan kebutuhan air bersih pegawai dan penampungan sampah

sementara dan dipasangnya alat untuk mengukur tingkat debu di dalam

ruangan yang dibolehkan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan

Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.

3. Untuk mengurangi beban bangunan dan memberikan kenyamanan bangunan

jumlah orang dan benda lainnya harus dikurangi sesuai dengan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan
21

Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah, kemuadian di setiap lokasi perlu

dipasang tingkat kebisingan dan getaran yang diperbolehkan;

4. Untuk memberikan kemudahan bagi penyandang cacat dan pegawai lanjut

usia atau pegawai yang mempunyai masalah dengan kesehatan pengelola aset

harus menyediakan ruangan khusus bagi pegawai yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA

Capgemini, 2007, Risk Based Enterprise Asset, Risk Based Solution Improves
Effectiveness of Enterprise Asset Management,
www.capgemini.com/energy (diakses tanggal 20 Oktober 2008)

Darminto, Mulyo, 2007, “Peranan Fire Safety Management dalam Meningkatkan


Keandalan terhadap Bahaya Kebakaran Bangunan Gedung Tinggi
Perkantoran”, Tesis S-2. Program Pascasarjana UI, Jakarta (tidak
dipublikasikan).

Djarwanto, P.S. 1985, Statistik Non parametrik, edisi kedua, Yogyakarta : BPFE
Yogyakarta.

Heimlich, Joe E. 2007, Specialist OSU Extension@COSI Community


Development, Sick Building Syndrome, The Invisible Environment Fact
Sheet Series CDFS-194-08

Kersner, Zbyněk, 2005, Reliability of Long-Term Action Prognoisis,


Degradation, Model Testing, Corrections and Evaluations. achieved
with the financial support of the Ministry of Education, Youth and
Sports of the Czech Republic, project No. 1M0579

Kyle, Brian R., 1997 Asset Service Life Prediction Implemeting Reliability-Based
Tecghniques, paper was presented at the CSCE Annual Conference,
MAJOR PUBLIC WORKS Key Technologies for the 21st Century,
Sherbrooke, Quebec, 27-30 May 1997

Pietrzyk, Krystyna, 2004, Reliability analysis in interior climate and building


envelope design, SP Swedish National Testing and Research Institute;
Energy Technology, Building Physics.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan


G,edung

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan


Negara

---------, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang


Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan

---------,Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran dan Industri

22
23

---------,Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang


Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah

---------,Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 29/PRTt/M/2006 tentang


Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

---------,Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 1991 tentang


Bangunan dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota

Santoso, Singgih, 2008, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, Elex Media
Komputindo, Jakarta.

Siagian, Indira Shita, 2005, Bahan Bangunan yang Rama Lingkungan (Salah Satu
Aspek Penting dalam Sustainable Development) e-USU Repository 
Universitas Sumatera Utara, 2005: 7

Siregar, Doli D. 2004. Management Aset Strategi Penataan Konsep


Pembangunan Berkelanjutan secara Nasional dalam Konteks Kepala
Daerah sebagai CEO’s pada Era Globalisasi dan Otonomi
Daerah.Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Siregar, Rosman, 2002, Keandalan Pada Model Stress-Strength dari Satu


Komponen, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Jurusan
Matematika Universitas Sumatera Utara,  2002 digitized by USU
digital library

Sugiyono. 2003. Metodologi Penelitian Administrasi. Penerbit CV Alfa Beta.


Bandung.

Sukotjo, Cortino 2001, Pengaruh Bangunan Terhadap Kesehatan, Artikel


Kesehatan, Kolom Kesehatan Actual News Sun, 02 Sep 2001 10:19:28 -
0700

Susanto, Slamet dan Ningsih, Christina, 2007 Manajemen Aset Berbasis Risiko
pada Perusahaan Air Minum, Artikel : Manajemen Aset Berbasis Risiko
pada Perusahaan Air Minum, 2007 : 1

Yusuf, Muchamad, 2008, “Sosialisasi Pedoman Dan Pembinaan Teknis Petugas


K3 Ruang Terbatas (Confined Spaces)”, Makalah Seminar & Workshop
Hot Work in Confined Space KMI Banten, 22 & 23 February 2008.

You might also like