Professional Documents
Culture Documents
Secara umum berita sebagai sebuah produk kerja wartawan dipahami sebagai
sebuah realita yang “direpresentasikan” secara utuh apa adanya, persis seperti realita
yang terjadi (an sich) di lapangan. Terkadang istilah fakta1 dijadikan pembenaran untuk
menutupi sisi subjektivitas dari para pekerja media. Pada kenyataannya ada hal yang
mempengaruhi produksi berita sehingga sampai kepada pembacanya, hal tersebut adalah
subjektifitas wartawan, kebijakan wartawan atau redaksi, ruang tampilan, rubrikasi dan
objektivitas, dalam pengertian di sini adalah bahwa berita dipandang sebagai sesuatu
yang tidak memihak, dua sisi dan netral. Sebangun dengan independensi, objektivitas
1
Fakta adalah perihal mengenai keadaan, peristiwa yang merupakan kenyataan , sesuatu yang benar-benar
ada atau terjadi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Edisi Kedua, 1999. hlm. 273
2
Denis McQuail, Op. Cit. hal. 129-131
Gigih Sari Alam 2
perdebatan antara para akademisi mulai, pada perdebatan pakar jurnalistik ini dibukukan
pada tahun 1984, yaitu perdebatan antara John C Merill dan Everette E. Dennis. John C.
Merril berpendapat bahwa kerja wartawan dalam memproduksi berita berupa pencarian
objektivitas dari kerja wartawan adalah adanya pemisahan fakta dan opini serta peliputan
dua sisi adalah merupakan bentuk objektivitas dari kerja wartawan. Pada intinya
3
Pendekatan konsruksionis tumbuh berkat dorongan kaum interaksi simbolik dari karya-karya Schutz,
Berger, dan Luckman. Pendekatan ini terutama memandang bahwa kehidupan sehari-hari terutama adalah
kehidupan melalui dan dengan bahasa. Bahasa tidak hanya mampu membangun simbol-simbol yang
diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, melainkan juga “mengembalikan” symbol-simbol itu dan
menghadirkannya sebagai unsure yang objektif dalam kehidupan sehari-hari. Ada empat asumsi yang
melekat pada pendekatan konstruksionis. Pertama, dunia ini tidaklah tampak nyata secara objektif pada
pengamat, ttapi diketahui melali pengalaman yang umumnya dipengaruhi oleh bahasa. Kedua, kategori
linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional, karena kategori ini muncul dari
interaksi social dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu. Ketiga, bagaimanarealitas tertentu
dipahami pada waktu tertentu dan ditentukan oleh kovensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu, karena
itu, stbilitas dan instabilitas pengetahuan banyak bergantung pada perubahan social ketimbang reaitas
objektif di luar pengalaman. Keempat, pemahaman realitas yang terbentuk secara social membentuk
bnanyak aspek kehidupan lain yang penting. Bagagiman kita berpikir dan berprilaku dalam kehidupan
sehari-hari ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas. Stephen P. Littlejohn, Theories of Human
Communication, Fifth Edition, (Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1996), hlm. 179-
180, dalam Eriyanto, op. cit, hlm 40-41.
4
Dalam pandangan positivistis, pesan adalah apa yang pengirim lemparkan kepada khalayak, apa pun
artinya.Dalam paradigma Positivistis fakta itu ada secara riil dan berada diluar diri subjektifitas peneliti
(wartawan), menurut Francis Bacon lewat pengamatan yang sistematis peneliti (wartawan) sebgai sebuah
proses induksi: pengamatan atas suatu objek dan kebenaran ilmiah itu ada diluar diri manusia, ibid.
Eriyanto hlm. 49-50.
5
Eriyanto, “Objektivitas Media: Pandangan Konstruksionis dan Positivistik”, Majalah Pantau, Edisi 08/
Maret-April 2000, hal. 87
6
Ibid
Gigih Sari Alam 3
sebagai sebuah institusi media akan langsung mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
society/ masyarakatnya.7 Media yang dipandang sebagai sebuah institusi yang tidak
pernah lepas dari pertarungan kekuatan sosial, politik dan ekonomi saling berlomba
mencari otoritas untuk mendefinisikan realitas, sehingga realitas menjadi dari kekuasaan.
Dengan kata lain media tidak pernah terlepas dari keseharian hidup masyarakat, mereka
Pada proses eksternalisasi manusia mengeluarkan gagasan ketika berinteraksi antara satu
dengan lainnya.8
pada proses internalisasi realitas objektif tersebut tertanam kembali kepada manusia
dipandang objektif pada saat itu, dan konstruksionis juga melihat bahwa keberhasilan
sosialisasi menurut individu adalah jika ia dapat menerima legtimasi dari masyarakat.
Proses dialektis ini mempunyai implikasi bahwa pada proses internalisasi tidak
semua realitas terserap oleh kesadaran subjektif dengan baik sehingga konstruksi manusia
tentang realitas dunia itu tidak tunggal, melainkan berganda (multiple), sedangkan realitas
yang menonjol menjadi bahasa sehari-hari dianggap sebagai suatu yang normal, objektif
dan wajar.
7
Margaretha Poloma, Sosiologi Kontemporer, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. hal.304
8
Ibid.
Gigih Sari Alam 4
Konstruktivisme pada batasan ini menganggap bahwa apa yang orang sebut
melainkan diciptakan individu. Apa yang dilihat nyata tak lain merupakan konstruksi
yang secara mufakat dianggap yang terbaik, tercanggih dan disepakati pada saat tertentu.
Oleh karena itu konstruktivisme berpendapat bahwa "realitas objektif" hanya terdapat
mempunyai dua kriteria dalam menilai kualitas penelitian. Pertama, (terpengaruh oleh
9
Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Refalitas Sosial, terjemahan, Penerbit: LP3ES, Jakarta,
1991. hal.3
10
Egon G. Guba (ed), The Paradigm Dialog (California: Sage Publications, 1990, hal. 26
Gigih Sari Alam 5
sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik realitas dihayati oleh pelaku para social,
disepakati sebgaui criteria umum. Penelitian ini tidak membuat batasan yang ketat antara
pengumpulan data, pun tidak memberikan keriteria yang kaku mengenai tolak ukur
objektivitas. Namun dari segi authenticity, kelemahan studi ini adalah bahwa reflektivitas
11
Egon G. Guba, op. cit hal 26