Professional Documents
Culture Documents
Lahirnya pers Islamis 1 di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sejarah
konstelasi politik yang berpengaruh terlihat sangat mewarnai eksistensi pers Islam.
Tradisi pers yang hidup sejak awal abad ke-20 tidak memberi jaminan bagi satu pun
penerbitan pers Islam untuk menjadi sebuah media besar dalam usia cukup panjang.
Harian Pelita yang terbit sejak tahun 1974 dan menjadi alternatif koran Islam
setelah dibreidelnya Harian Abadi, pernah mencapai oplah di atas 200 ribu pada kurun
waktu antara 1977 dan 1982. Pencapaian oplah sebesar itu sekaligus membuat Pelita
mengukir sejarah sebagai koran yang pernah mengalahkan harian Kompas, walaupun
Tetapi karena berbagai bentuk tekanan politik, mulai dari pembreidelan berulang-
ulang, upaya persuasi tokoh-tokoh muslim Golkar hingga senjata Undang-undang yang
menekan dengan persyaratan modal, Harian Pelita akhirnya menyerah kepada Golkar.
Dan sejak jatuh ke pelukan partai penguasa jaman Orde Baru ini, Pelita pun menjadi
Hubungan masyarakat Islam dan negara memang berada pada titik terburuk pada
paruh pertama dekade 1980-an sejalan dengan meningkatnya kontrol negara atas
kekuatan masyarakat sipil. Pada masa itu bukan hanya penerbitan pers yang mendapat
tekanan dan kontrol ketat, tetapi juga penerbitan buku dan forum-forum ceramah agama
Islam.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Penerbit: Balai Pustaka, hal.
388. Islamis diartikan sebagai kata sifat yang berarti “Bersifat Islam” atau bernuansa “Islamis”.
Gigih Sari Alam 2
Sasaran kontrol pada politik ini sekaligus menggambarkan pola hubungan antara
masyarakat sipil dan negara pada masa itu yang agak berbeda dengan masa akhir 1970-
an. Di akhir tahun 1970-an, ketegangan antara unsur masyarakat sipil dan negara dalam
hal ini pemerintah lebih banyak melibatkan tokoh-tokoh mahasiswa dan intelektual kritis.
Ketegangan itu juga ditandai oleh bentuk penahanan tokoh-tokoh tersebut, pembreidelan
buku-buku dan koran mereka, dan berbagai bentuk kontrol sistematis lainnya.
sipil berada pada puncaknya. Masyarakat hampir tidak memiliki saluran artikulasi politik
alternatif yang memadai untuk mempengaruhi sikap penguasa. Partai politik yang
seharusnya menjadi saluran formal untuk aspirasi politik juga berada di titik kelemahan
Kelompok masyarakat sipil dari unsur Islam tentu saja paling dirugikan oleh
situasi ini. Pers yang aspiratif terhadap umat Islam nyaris tidak ada. Partai Persatuan
Pembangunan sebagai partai politik Islam bukan saja ditetapkan harus kalah oleh sistem
pemilu dan sistem keanggotaan parlemen, tetapi juga makin tidak berdaya karena harus
Sikap represif maupun politik kooptasi pemerintah Orde Baru itu tentu saja tidak
pemerintahan dan perilaku elite penguasa. Di kalangan masyarakat Islam, represi dan
politik kooptasi terhadap tokoh-tokoh dan pers Islam malah membuahkan kanalisasi arus
Sebagai reaksi atas represi dan kontrol ketat oleh negara tersebut, pemanfaatan
mahasiswa yang berbasis di masjid-masjid kampus dan kalangan pemuda yang tergabung
Tidak mengherankan, jika pada pertengahan tahun 1980-an itu media cetak intern
dan forum-forum diskusi telah menjadi media komunikasi politik alternatif di kalangan
kaum terdidik. Proses itu dibarengi pula oleh peningkatan peredaran karya-karya
intelektual muslim dunia dalam bentuk buku-buku terjemahan. Kecenderungan ini tentu
mendorong lahirnya produk yang lain, yakni lahirnya media yang lebih akademis seperti
masalah hubungan Islam dan negara. Jurnal Ulumul Qur’an pernah mengeluarkan edisi
Selain Pelita, pembaca muslim di Indonesia kala itu masih punya majalah Panji
Masyarakat. Tetapi seperti halnya juga Pelita, karena beberapa alasan yang sama majalah
Panji Masyarakat pada decade 1980-an juga sudah tidak punya pamor lagi sebagai bacaan
dikatakan banyak pengamat adalah lahirnya organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-
Indonesia (ICMI).
Kelahiran ICMI bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Tapi erat kaitannya
dengan perkembangan global dan regional di luar dan di dalam negeri. Menjelang akhir
dekade 1980-an dan awal dekade l990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang
Gigih Sari Alam 4
dingin dan konflik ideologi. Keruntuhan komunisme sebagai salah satu ideologi yang
Ketika kemudian Uni Soviet sebagai negara adikuasa juga runtuh, peta politik
dunia juga berubah secara drastis. Barat dan khususnya Amerika yang memegang
hegemoni kekuatan, tidak lagi memiliki "lawan tanding" yang tangguh dalam perebutan
pengaruh. Sementara itu, di sisi lain, di berbagai belahan dunia tertentu muncul semangat
kebangkitan agama (religious revival) yang membawa implikasi bagi adanya resistensi
profesional.3
Kebangkitan agama itu secara mencolok juga ditandai dengan tampilnya Islam
peradaban dunia. Bagi Barat, kebangkitan Islam ini menjadi masalah yang serius karena
itu berarti hegemoni mereka menjadi terancam. Apa yang diproyeksikan sebagai konflik
antar peradaban, lahir dari perasaan terancam Barat yang subjektif terhadap Islam sebagai
Tetapi bagi umat Islam sendiri, kebangkitan yang muncul justru memberikan
motivasi untuk mencari alternatif bagi munculnya transformasi nilai-nilai kultural yang
2
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1980. hal 99-105.
3
David T. Hill, The Press In Order Indonesia, edisi kedua, Terjemahan, Jakarta, PT. Pustaka Sinar Harapan,
1995, hal. 126
Gigih Sari Alam 5
membebaskan manusia dari kegelisahan batin dan ketidakpastian tujuan hidup, sebagai
goyah oleh perubahan apa pun. Dalam situasi seperti ini, Islam ternyata menjadi pilihan
yang lebih menjanjikan di banding dengan ideologi atau peradaban mana pun. Bertahap
tapi pasti, semangat keislaman meningkat dan menyatu dalam identitas keindonesiaan
bagi meningkatnya peran serta umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meningkatnya peran serta umat Islam itu ditunjang dengan adanya ledakan kaum
Program dan kebijaksanaan pendidikan Orde Baru secara langsung maupun tidak
langsung telah melahirkan generasi baru kaum santri yang terpelajar, modern,
institusi-institusi modern.
Panen besar kaum terpelajar muslim itu semakin bertambah ketika dunia
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Berkat
kecakapan dan kemampuan akademik yang tinggi, kelas menengah "neo-santri" yang
terpelajar itu dapat memasuki dan mengisi lapisan birokrasi, dunia kampus, dunia usaha,
Dengan kondisi yang membaik ini, maka pada dasawarsa 80-an mitos bahwa
umat Islam Indonesia merupakan "mayoritas tetapi secara teknikal minoritas" runtuh
dengan sendirinya.
Gigih Sari Alam 6
Sementara itu, pendidikan berbangsa dan bernegara yang diterimanya di luar dan
di dalam kampus, telah mematangkan mereka bukan saja secara mental, tapi juga secara
intelektual. Dari mereka itu, lahirlah critical mass yang responsif terhadap dinamika dan
proses pembangunan yang tengah dijalankan. Di sisi lain, critical mass itu telah semakin
diekspresikan sebagai karya tulis di media cetak dan buku-buku. Ini semua melahirkan
Potensi istimewa ini, sampai dengan akhir dekade 1980an masih tercerai berai.
potensi itu akhirnya tergalang dengan baik lewat pembentukan ICMI. Melalui ICMI
diharapkan potensi umat Islam yang meliputi 88 % penduduk Indonesia dapat lebih
berperan dalam pembangunan nasional. Namun demikian tidak begitu saja ICMI
dipandang sebagai lembaga yang steril dari campaur tangan ihak dan kepentingan di
luarnya, karena menurut Abdul Aziz Thaba ICMI merupakan bentuk dari akomodasi
Kelompok profesi ini diharapkan oleh para pendirinya sebagai akses dan mediasi yang
Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi perkembangan dan
perubahan iklim politik yang makin kondusif bagi tumbuhnya saling pengertian antara
umat Islam dengan komponen bangsa yang lain, termasuk yang berada dalarn birokrasi.
Kohesi yang positif ini telah mendorong timbulnya situasi yang kondusif untuk
4
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema Insani, Jakarta, 1996. Hal 75-80.
5
M. syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Umat Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995. hal. 262-269.
Gigih Sari Alam 7
Kehendak ini wajar karena di masa lalu, umat Islam oleh karena kondisi objektif
yang dimilikinya ataupun karena rekayasa pihak-pihak tertentu, berada dalam posisi yang
baik dalam bentuk program langsung ataupun unit badan otonom ICMI. Terbentuk atau
Indonesia dan beberapa lembaga keuangan syariah lain, seperti asuransi dan lembaga
pembiayaan keuangan non-bank. Dari kelompok sosial inilah kemudian muncul gagasan
untuk menerbitkan sebuah koran baru, yaitu Republika. Koran ini mulai terbit 4 Januari
1993. Dengan dukungan jaringan ICMI, Republika terdistribusi luas di berbagai daerah
dan langsung mampu menarik minat pembaca muslim, khususnya yang tinggal di
wilayah perkotaan.8
massa Islam sebelumnya disusul dengan kelahiran majalah Ummat di awal tahun 1995.
Semangat pendiri majalah ini sebetulnya hampir sama dengan semangat para pendiri
6
http://www.icmi.or.id/sejarah.htm
7
ibid
8
“Pers Islam dan Civil Society”, Willy Purna Samadhi, laporan hasil penelitian Litbang Redaksi
Republika dan The Asia Foundation, Republika edisi 26 April 2000.
Gigih Sari Alam 8
koran Republika. Majalah Ummat lahir dari kebutuhan untuk melayani masyarakat Islam
yang sadar politik karena pada waktu itu tidak ada majalah yang mengisi segmen
tersebut. Tetapi karena jarak kelahirannya yang berbeda empat tahun dari koran
Republika, dan selama waktu tersebut juga telah terjadi perkembangan politik yang tidak
lagi persis sama dengan ketika Republika dilahirkan dengan pengelola PT Abdi Bangsa
berbasis politik aliran”, dalam hal ini mereka mewakili aspirasi Umat Islam karena sejak
awal berdirinya diklaim oleh pendirinya sebagai salah satu “raison d'etre” berdirinya
koran tersebut, hal tersebut terlihat dari kepemilikan mayoritas saham PT Abdi Bangsa
yang dominan dipegang oleh orang-orang ICMI, seperti Erick Tohir, BJ Habibie dan Adi
Sasono.9 Atau lebih tepatnya, Republika dianggap kurang mewakili salah satu corak
penafsiran Islam yang lebih "fundamentalistis".10 hal tersebut dipandang karena lahirnya
Republika Ummat lahir secara lebih independen dan dengan semangat kewiraswastaan.11
Sayangnya Ummat harus berhenti terbit di saat-saat reformasi politik baru dimulai
tahun 1998. Secara politik, sumber masalah terhentinya penerbitan Ummat adalah
kendala ideologis dalam melakukan akomodasi dengan kekuatan modal dan tingkat
resistensi yang tinggi dari pasar iklan yang merupakan salah satu sumber bernafasnya
sebuah media cetak. Di saat lahir Ummat mencoba melawan kenyataan ini, meski sebagai
pers Islam ia tampil inklusif. Inklusivitas Ummat tidak hanya pada gaya penyajian, tetapi
9
“Keberpihakan Jurnalisme Telivisi Swasta”, dalam Televisi dan Prasangka Budaya Massa, Veven SP
Wardhana, ISAI, , penerbit: PT. Media Lintas Inti Nusantara, 2001. Hal. 270.
10
Ulil Abshar-Abdalla, Staf Peneliti Lakpesdam-NU, Media dan Umat islam http://www.pdat.com/tempo
Edisi 32/02 - 11/Okt/1997, D&R, 11 Oktober 1997.
11
www.detik.com, Selasa, 25 Mei 2004, “Abdi Bangsa Rencanakan Right Issue Hingga Rp 80 Miliar”
Gigih Sari Alam 9
Meskipun majalah ini akhirnya gagal karena resistensi pasar iklan, lonjakan
prestasinya meraih pembaca patut dicatat. Dalam tempo kurang lebih satu tahun, menurut
data dari SRI 1996, majalah ini telah berada di peringkat 3 atau 4 dari segi jumlah
pembaca di antara majalah-majalah berita umum. Prestasi ini tentu juga menarik jika
dilihat dari segi modal SDM-nya yang sekitar 95 persennya adalah orang-orang yang
Idealisme jurnalistik Ummat ternyata juga menjadi modal untuk tampil dengan
isu-isu dan sajian yang kritis. Tidak jarang sikap kritis ini membuat pimpinan redaksi
majalah ini mendapat reaksi dari beberapa tokoh politik Islam yang saat itu duduk di
posisi-posisi penting.
Namun idealisme dan independensi relatif tadi saja ternyata tetap tidak cukup
untuk menjadikan pers Islam seperti majalah Ummat bisa terus bertahan. Bagi pers Islam
seperti Ummat, bertahan dengan mengandalkan pembaca saja ternyata tidak cukup untuk
pembaca Ummat boleh dikatakan relatif berhasil. Tetapi, kenyataannya di pasar iklan
yang menjadi sumber bernafas yang tidak kalah penting bagi sebuah media untuk hidup,
12
Robert W. Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological rivalries among Indonesian Muslims”, edisi
Indonesia nomor 64, Oktober 1997, hal. 75-106.