You are on page 1of 5

PENYELARASAN IMAN DAN AKAL

A.PENDAHULUAN

Tidak semua hal menyangkut keyakinan disertai dengan pemahaman yang


layak pada seseorang. Beberapa hal tertentu yang diimani itu kemudian tampak
sebagai keyakinan semata bilamana diajukan beberapa pertanyaan atasnya. Kondisi
semacam inilah yang pada akhir sebuah diskusi, khususnya teologis, sering
memproyeksikan adanya ‘jurang’ antara iman dan akal (rasio). Jurang yang bisa
memunculkan bias perwujudan iman yang sejati sebagai fanatisme sempit, atau
sebaliknya kepandaian yang berpotensi melahirkan ateis-ateis sejati.
Sederhananya, eksistensi iman dalam kehidupan seseorang dengan jelas terlihat
manakala ia meyakini hal-hal yang tidak dilihatnya, seperti mempercayai bahwa
Tuhan yang menciptakan semesta raya ini. Bandingkan maksud pernyataan
tersebut dengan mempercayai bahwa nenek/kakek kita juga mempunyai
nenek/kakek dan seterusnya sehingga kita memahaminya /mempercayainya
sebagai nenek moyang.

Bagi kepastian logis yang lebih, merupakan wacana akal (rasio), mempercayai
eksistensi Tuhan dengan eksistensi nenek moyang tersebut, meski pada
prosesnya memiliki kemiripan, namun berbeda dalam hal
pertanggungjawabannya, yaitu bagi beban pembuktian logis yang diinginkan atas
keduanya. Kenyataan ini, yaitu terutama bagi beban pembuktian yang dimaksud,
tentunya juga memberi pemahaman bahwa pada dasarnya iman berbeda dengan
akal budi (selain diskusi bahwa keduanya juga berhubungan dengan beban
pembuktian moral, bagi kepastian moral).

Namun, permasalahan yang sebenarnya ialah apakah iman betentangan


dengan akal? Di dalam kajian studi atas objeknya, apakah objek bagi iman tidak
dapat dirasionalisasi atau dengan kata lain proses rasionalisasi atas sebuah objek
iman selalu berpotensi sebagai perwujudan arogansi intelektualisme? Dalam
pemikiran saya, ini adalah permasalahan perspektif; yaitu bagaimana seseorang
menempatkan keduanya, iman dan rasio, dalam membentuk wawasan dunianya,
dunia luar dan dunia batin.

Wawasan dunia seseorang diperhadapkan juga dengan persoalan-persoalan


beyond logic, yaitu realita-realita logis yang berada di luar kemampuan
penalarannya. Bukan irasional, tapi transrasional. Pengistilahan ini juga berarti
bahwa realita-realita yang dimaksud, bagi kepastian logis, memiliki
batasan/kesulitan bagi pertanggungjawaban logisnya ,bagaimana dengan
pertanggungjawaban moral? Bukan bertentangan dengan logika.

Sebaliknya, sebuah kesimpulan logis bahwa tidak dapat diberikan suatu


penjelasan yang memuaskan bagi kepastian logis (yang diinginkan memecahkan
permasalahan logis). Ini jelas berbeda dengan istilah irasional bahwa dapat
diberikan sebuah pertanggungjawaban logis bagi kepastian logis di mana hal
tertentu benar-benar tidak masuk akal. Misalnya proposisi invalid sebuah konklusi
bahwa anjing bertelur.

Sekali lagi, bila irasional mengandung makna pasti secara logis


bertentangan/ kebalikan rasional, maka tidak demikian bagi makna transrasional
dalam hubungan yang sama. Transrasional lebih bermakna ‘ketidakpastian’ (tidak
dapat dibuktikan sebagai valid atau invalid) benar atau salah secara logis yang
disebabkan oleh proposisi transrasional jelas berada di luar penalaran bagi
kepastian logis.

Potensi ketidakpastian logis yang bukan berada pada proposisi tersebut,


melainkan pada kapabilitas Logika. Sebagai contoh proposisi-proposisi bagi
eksistensi ‘bangsa roh’ seperti setan, hantu, dan sebagainya. Termasuk proposisi
dari fakta mujizat. Bagi contoh-contoh semacam itu, tidak dimiliki kepastian logis
yang memuaskan atau belum, namun memiliki kepastian moral (sebagai benar atau
salah oleh pengetahuan priori/ pengalaman empiris). Beban pembuktian logis atas
keduanya memiliki kesulitan tertentu yang berhubungan dengan makna
transrasional yang dimaksud.
B.Pengertian iman
Secara umum ada beberapa pengertian tentang iman. Menurut
beberapa filsuf, iman adalah sesuatu hal yang berada di antara pendapat
biasa dan pengetahuan. Artinya, manusia menerima, kemudian percaya,
tetapi belum tentu apa yang dia percayai itu benar. Dalam pengertian ini
nilai iman lebih rendah dari pengetahuan yang pasti. Ada juga yang
mengatakan kalau iman itu suatu kepercayaan yang muncul sebagai suatu
kepastian. Di sini, iman diidentikkan dengan pengetahuan.

Jadi, apa yang dipercayai itu karena apa yang diketahui. Di sini iman
sederajat dengan pengetahuan. Singkat kata, ada yang menaruh iman di
bawah pengetahuan, ada yang membuatnya sejajar dengan pengetahuan,
ada yang membuatnya di atas pengetahuan, dan sebagainya.
Iman di dalam pandangan umum memiliki semacam tingkat kualifikasi.
Namun perlu juga kita mengerti bahwa tanpa sadar, pengertian-pengertian
seperti ini banyak sekali kita pakai dalam kehidupan kita bersama, dengan
Tuhan, da-lam kehidupan beragama kita. Bu-kankah di antara kita banyak
yang mau percaya karena memang sudah tahu dan pasti yang dipercaya
itu. Atau mungkin juga kita percaya karena pengalaman. Misalnya setelah
berdoa, penyakit kita langsung sembuh. Jadi kita percaya Tuhan itu hidup.
Sebaliknya, coba seandainya penyakit ti-dak sembuh, maka bisa jadi kita
tidak akan percaya.

C.PENGERTIAN AKAL

Menurut Sayyid Husayn Nashr, di dalam bukunya, Islam Dalam Cita dan
Fakta, mengatakan bahwa “Arti akal bukanlah apa yang menjadi anggapan umum
pada zaman modern ini, yaitu kecepatan berpikir dan kecerdasan gemilang yang
bermain dengan ide-ide tanpa mampu mencapai dasar ide itu. Akal yang seperti ini
serupa dengan danau es yang membeku di mana segalanya meluncur pada
permukaannya, dari satu sisi ke sisi yang lain, tanpa mampu mencapai dasar danau.
Bukan aktivitas mental serupa ini yang disebut akal di dalam Islam.

Kata al-‘aql di dalam bahasa Arab, selain berarti pikiran dan intelek, juga
digunakan untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan.
Salah satu arti dari akar kata ‘aql adalah ikatan.

Di dalam al-Quran, Tuhan menyebut mereka yang ingkar sebagai orang yang tidak
bisa berpikir ‘laa ya’qiluun’ mereka yang tidak bisa menggunakan akalnya dengan
baik. Sangat ditekankan di dalam al-Quran bahwa runtuhnya iman tidak disamakan
dengan timbulnya kehendak yang buruk, melainkan dengan tidak adanya
penggunaan akal secara baik.

D. THOMAS AQUINAS DAN FILSFATNYA

Meskipun Thomas mempunyai maksud utama untuk menciptakan suatu


teologi, ia tetap mengakui otonomi filsafat yang mendasarkan diri pada
kemampuan akal budi yang dimiliki manusiademi kodratnya. Menurutnya akal
memampukan manusia untuk mengenali kebenaran dalam kawasannya yang
ilmiah.sebaliknya teologi memerlukan wahyu adikodrati.berkat wahyu adikodrati
teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteridalam arti
ketat(misalnya,hal trinitas,inkarnasi,sakramen).

Oleh karena itu teologu memerlukan iman. Iman adalah suatu penerimaan
atas dasar wibawa allah. Dengan beriman manusia dapat mencapai pengetahuan
yang mengatasi akal,pengetahuan yang tidak dapat di tembus oleh akal semata.
Meskipun misteri ini tidak dapat mengatasi akal,ia tidak bertentangan dengan akal.

Thomas memerlihatkan adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling


bertentangan melainkan berdiri sendiri secara berdampingan. Pengetahuan itu
adalah pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan alamiah adalah
pengetahuan yang berpangkal pada akal dan yang sasarannya adalah hal-hal yang
bersifat insani dan umum.Pengetahuan iman adalah pengetahuan yang berpangkal
pada wahyu adikodrati dan yang sasarannya adalah hal-hal yang diwahyukan oleh
allah.

E. DUNS SCOTUS DAN FILSAFATNYA

Menurut scotus filsafat Thomas bersifat “intelektualistis “karena member


tekananyang lebih kepada akal. Sebaliknya, dalam filsafatnya scotusmemberi
tekanan yang lebih kepada empiri (pengalaman )dan kehendak. kehendak lebih
penting dari pada akal,sejauh kehendak adalah instansi yang menentukan,
sedangkan akal hanya sebagai instansi yang mengemukakan macam-macam
kemungkinan pada kehendak untuk di putuskan mana yang akan di lakukan.
F. KESIMPULAN

Dari beberapa filosof kami menyimpulkan bahwa ,Akal budi mempunyai


keterbatasan, karena memang pemikiran manusia terbatas. Sedangkan iman
memberikan kepada kita rencana Allah yang tak mungkin dapat dicapai hanya
dengan menggunakan akal budi. Sebagai contoh, dengan akal budi, kita dapat
mengetahui bahwa Tuhan adalah satu, Tuhan adalah baik, dll.

Namun akal budi tidak dapat mencapai pemahaman bahwa Tuhan adalah
satu dalam tiga pribadi. Hal ini hanya mungkin kalau Tuhan sendiri
menyatakannya kepada manusia. Setelah Tuhan menyatakannya kepada manusia,
maka manusia dapat menguak misteri ini dengan akal budi, misalnya dengan
filosofi. Oleh karena itu, akal budi melalui filosofi membantu manusia untuk dapat
menguak misteri iman dengan lebih baik dan dengan penjelasan yang masuk
diakal. Sedangkan iman menjadi suatu panduan bagi akal budi, sehingga tidak
salah arah.

You might also like