Professional Documents
Culture Documents
Immanuel Kant dipandang sebagai filsuf yang sangat berpengaruh dalam filsafat
modern dan setelahnya. Ia membuat suatu sintesa epistemologis dalam menanggapi
persoalan kebenaran, baik yang diperoleh melalui penalaran rasio dan persepsi inderawi.
Upaya kritisisme Kant ini dapat dipandang sebagai pendamaian antara rasionalisme dan
empirisme yang sama-sama bersikukuh pada pendiriannya soal pengetahuan. Kant
menyebut usahanya ini sebagai ”revolusi Kopernikan” yang memberikan arah baru dalam
persoalan kebenaran dan pengetahuan. Sebelumnya para filsuf berpegang pada prinsip
bahwa pengenalan berpangkal dari objek, sedangkan Kant membuat ”revolusi”dengan
menyatakan bahwa pengenalan berpangkal dari subjek1.
Selain gagasan epistemologisnya, Immanuel Kant juga menyampaikan
gagasannya tentang estetika. Immanuel Kant menjelaskan gagasannya tentang estetika,
khususnya tentang ’apa itu keindahan’2 dalam karyanya, Kritik der Urtheilskraft (Kritik
atas Daya Pertimbangan).
Fokus tulisan ini berkisar pada konsep keindahan dan pertimbangan estetika
Immanuel Kant yang garis besarnya terdapat dalam Bagian Pertama karyanya Kritik atas
Daya Pertimbangan yaitu pada Kritik atas Pertimbangan Estetika tentang Analisis
tentang Keindahan3.
1
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius), 2004, hlm. 281-282.
2
Estetika secara khusus berbicara soal keindahan, sedangkan ruang lingkupnya dapat dibedakan menjadi
dua bidang, yaitu: filsafat estetika yang memusatkan tentang keindahan dan filsafat seni yang memusatkan
pada seni. Lih. Mudji Sutrisno, Oase Estetika (Yogyakarta: Kanisius), 2006, hlm. 51.
3
Dalam Kritik atas Daya Pertimbangan, Immanuel Kant membahas dua pokok gagasan besar yaitu Kritik
atas Pertimbangan Estetika dan Kritik atas Pertimbangan Teleologis. Estetika secara khusus dijelaskan
secara sistematis dalam Bagian I: Kritik atas Daya Pertimbangan Estetis. Bagian I ini dibagi lagi menjadi
dua bagian, yakni: Analisis atas Pertimbangan Estetis dan Dialektik dari Daya Pertimbangan Estetis. Tema
Analisis atas Pertimbangan Estetis dibagi lagi menjadi dua pokok bahasan yaitu Analisis atas Keindahan
dan Analisis tentang Sublim. Fokus tulisan saya dibatasi pada Analisis atas Keindahan yang menjabarkan
Empat Momen dari Pertimbangan Estetis. Lih. Immanuel Kant, Critique of Judgment (New York: Hafner
Press), 1951, hlm. v -ix pada daftar isi.
(spiritualitas kristiani yang menekankan kesalehan hidup) di keluarganya. Kant jarang
meninggalkan kota kediamannya dan memiliki kebiasaan yang teratur dalam hidupnya.
Masa pendidikan Kant dijalaninya di Universitas Konigsberg. Mulanya ia
mendalami teologi, namun ia tertarik pada bidang fisika, khususnya pada karya Isaac
Newton. Semasa kuliah ia dipengaruhi oleh rasionalisme Wolff. Pada tahun 1755 ia
meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul Meditationum quarundum de igne succinta
delineatio (Uraian Singkat atas Sejumlah Pemikiran tentang Api), lalu bekerja sebagai
privatdozent (dosen yang menerima honor dari mahasiswa yang mengikuti
kuliahnya).4Pada masa-masa ini Kant dipengaruhi oleh pandangan rasionalisme dari
Leibniz dan Wolff.5
Pada tahun 1770 Kant mendapat pengukuhan sebagai professor dengan disertasi
De mundi sensibilis atque intelligibilis forma et principiis (Tentang Bentuk dan Asas-
asas dari Dunia Inderawi dan Dunia Akal Budi), khususnya dalam bidang logika dan
metafisika6. Dalam kurun waktu tersebut Kant mulai dipengaruhi oleh filsafat Hume yang
berhaluan empiris. Pada periode ini Kant terbangun dari ”tidur dogmatis” dan mulai
mengembangkan apa yang disebut kritisisme. Sebab itu periode ini sering disebut sebagai
periode kritis bagi Kant.7
4
Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, Op.Cit., hlm. 279.
5
Masa-masa Kant dipengaruhi oleh Leibniz dan Wolff sering digolongkan sebagai periode pra-kritis. Bdk.
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia), 2004, hlm. 131
6
Lih. Simon Petrus L. Tjahjadi, Loc.Cit.
7
Ibid., hlm. 132
3. Gagasan Estetika Immanuel Kant
Secara khusus gagasan estetika Kant tertuang dalam karyanya, Kritik atas Daya
Pertimbangan (Kritik der Urtheilskraft), pada bagian pertama berjudul Kritik atas
Pertimbangan Estetika8. Namun perlu kiranya untuk melihat beberapa pandangan dasar
Kant tentang epistemologi, yang disusunnya dalam karya pertamanya, Kritik der reinen
Vernunft. Upaya kritisisme Kant ini dapat dipandang sebagai pendamaian antara
rasionalisme dan empirisme yang sama-sama bersikukuh pada pendiriannya soal
pengetahuan. Kant menyebut usahanya ini sebagai ”revolusi Kopernikan” yang
memberikan arah baru dalam persoalan kebenaran dan pengetahuan. Sebelumnya para
filsuf berpegang pada prinsip bahwa pengenalan berpangkal dari objek, sedangkan Kant
membuat ”revolusi”dengan menyatakan bahwa pengenalan berpangkal dari subjek. Kant
membagi tiga tahap pencerapan pengetahuan9, yaitu:
1. Tahap pertama, yang terendah, adalah pencerapan inderawi
(Sinneswahrnehmung).
2. Tahap kedua adalah tingkat akal budi (Verstand).
3. Tahap ketiga, yang tertinggi, adalah tingkat budi atau intelek (Vernunft).
8
Bdk. Immanuel Kant, Critique of Judgment (New York: Hafner Press), 1951,
9
Terjemahan Indonesia untuk istilah-istilah yang digunakan Immanuel Kant berbeda-beda antara satu buku
dengan buku lainnya. Sebagai contoh, terjemahan Vernunft oleh Simon Petrus L. Tjahjadi adalah budi atau
intelek, sedangkan F. Budi Hardiman menerjemahkannya sebagai rasio. Dalam tulisan Nico Syukur Dister
tentang Kant, rasio atau budi merupakan terjemahan dari Vernunft. Karena perbedaan terjemahan yang
cukup mendasar, maka saya mengambil satu acuan dari
atau tidak memiliki kepuasan (dissatisfaction)10. Pertimbangan estetika tidak
mempunyai maksud (disinterested) atau kepuasan (dissatisfaction). Apa yang
dimaksud dengan disinterested? Maksud atau ketertarikan mempunyai dua aspek,
yaitu: (1) melalui sensasi dalam rasa menyenangkan, dan (2) melalui konsep dalam
kebaikan. Nah, pertimbangan estetika dalam hal ini bebas dari kedua aspek maksud
atau ketertarikan tersebut. Secara khusus Kant menegaskan bahwa pertimbangan
estetika hanya berurusan dengan bentuk yang ditampilkan objek, bukan dengan isi
yang sifatnya terinderai, sebab penginderaan akan terkait dengan rasa menyenangkan
dan akan jatuh pada maksud atau ketertarikan. Dari momen pertama ini Kant
mengaitkan selera dengan keindahan. Jika selera diartikan sebagai kemampuan atau
metode dalam mempertimbangkan objek tanpa maksud atau intensi tertentu, maka
keindahan merupakan objek yang mengandung kepuasan yang sepenuhnya tidak
memiliki ketertarikan/maksud (disinterested satisfaction).11
10
Immanuel Kant, Op. Cit., hlm. 45
11
Ibid.
12
Ibid, hlm. 54.
3. Momen Ketiga: Tentang Pertimbangan Selera menurut Hubungan dengan Tujuan
yang Dibawa dalam Pertimbangannya.
Pada momen ketiga ini Kant berbicara tentang persoalan tujuan (purpose) dan
ketertujuan (purposiveness). Tujuan merupakan ”objek dari suatu konsep, sejauh
konsep tersebut dipandang sebagai sebab dari objek (dasar riil dari kemungkinannya);
dan kausalitas dari suatu konsep dalam kaitan objeknya itu merupakan
ketertujuannya.”13 Tujuan dapat dikatakan sebagai konsep menurut maksud
pembuatannya, sedangkan ketertujuan merupakan hal-hal yang paling tidak muncul
untuk dibuat atau dirancang. Dalam hal ini bisa saja ada ketertujuan tanpa tujuan.
Dalam kaitan dengan keindahan, Kant menyatakan bahwa keindahan harus
dipahami memiliki ketertujuan tanpa suatu tujuan yang definitif. Tujuan selalu
berdasarkan kepada suatu kepuasan, yang secara langsung membawa maksud di
dalamnya, sebab itu tujuan tidak dapat menjadi landasan bagi pertimbangan estetika.
Kant berbicara tentang Pertimbangan Estetis Murni, yaitu pertimbangan
estetis yang bebas dari pesona dan emosi serta konsep yang definitif. Hal yang ingin
digarisbawahi oleh Kant adalah independensi pertimbangan estetis seseorang dari
konsep-konsep, baik secara emosional maupun secara kognitif. Kant menekankan
pada ketertujuan pertimbangan estetis tanpa dipengaruhi oleh tujuan atau intensi
seseorang. Pada momen ini Kant merumuskan keindahan sebagai ”bentuk dari
ketertujuan suatu objek, sejauh hal ini dicerap di dalamnya tanpa adanya perwujudan
dari tujuan.”14
4. Relevansi
13
Ibid., hlm. 55
14
Ibid., hlm. 73