You are on page 1of 93

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan selaian di syariatkan oleh Agama Islam karena

merupakan salah satu bentuk usaha memelihara atau

mengembangkan keturunan serta menjadi kunci ketentraman juga

merupakan peristiwa alami dan kultur yang sudah menjadi turun

temurun dari nenek moyang bangsa kita.

Perkawinan adalah ikatan lahir batain antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suai istri dan perkainan merupakan suatu

hal yang dilakukan sengan serius yang mengakibatkan seseorang

akan terikat seumur hidup dengan pasangannya. Oleh karena itu

perkawinan membutuhkan persiapan yang matang baik fisik serta

kedewasaan mental.

Maka dari itu untuk menjamin kepastian hukum bahwa telah

terjadi suatu perkawinan maka Negara kita Indonesia membuat

peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(selanjutnya disingkat UU Perkawinan) dan peraturan

pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975


2

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975).

Sebagaimana pada Konsideran Bagian Menimbang UU Perkawinan,

bahwa “sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

pembinaan hukum nasional perlu adanya Undang-undang tentang

Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara”. Hal ini berarti

bahwa mengenai UU Perkawinan berlaku bagi semua warga negara,

sehingga tidak membedakan suku bangsa maupun

kewarganegaraan.

Akan tetapi sangat di sayangkan masih banyak orang belum

memperhatikan hal ini karena berbagai alasan, seperti biaya mahal,

Kantor Urusan Agama / Kantor Catatan Sipil jauh dan lain

sebagainya.

Di dalam UU Perkawinan mengatur mengenai dasar

perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,

batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban

suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusannya perkawinan

serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang

tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan

peralihan, dan ketentuan penutup.

Ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan, menurut

2
pasal 35 UU Perkawinan, menentukan bahwa harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta yang

diperoleh selama perkawinan, yang berarti perkawinan

sebagaimana pasal 1 UU Perkawinan, bahwa “Perkawinan ialah

ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

Perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan

pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Perkawinan tersebut harus

dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan sesuai dengan

pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. selain itu harus didasarkan atas

syarat perkawinan, sesuai pasal 9 UU Perkawinan menentukan

bahwa “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang

lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada

Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini”.

Perkawinan yang dibuat tidak memenuhi syarat perkawinan,

perkawinan tersebut dapat dibatalkan sesuai pasal 22 UU

Perkawinan yang menentukan bahwa “Perkawinan dapat

dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

3
4

melangsungkan perkawinan”.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan

Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku

sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan tidak berlaku

surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut,

suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali

terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan

atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, orang-orang ketiga

lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik

sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan

hukum tetap sebagaimana pasal 28 UU Perkawinan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang

dipermasalahkan dalam tesis ini adalah:

a. Bagaimana tinjauan hukum islam dan UU No. 1 Tahun 1974

terhadap prosedur perkawinan dibawah tangan atau siri ?

b. Bagaimana akibat hukum terjadinya perkawinan di bawah

tangan ?

c. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mencegah

4
perkawinan dibawah tangan atau siri ?.

3. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis gambaran yang jelas

tentang Hukum Islam dan Undang – Undang Nomor 1 tahun

1974 tentang perkawinan dibawah tangan.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara

kenyataan dengan ketentuan yang di atur dalam Undang –

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dibawah

tangan yang kususnya bagi yang beragama islam

4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dalam penelitian ini selain menambah

wawasan ilmu pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan

perkawinan dibawah tangan serta akibat hukumnya . Selain itu

dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak

yang bersengketa yang berhubungan dengan perkawinan dibawah

tangan dan akibat hukumnya terhadap harta benda dalam

perkawinan tersebut.

5. Kerangka Teoritis dan Konseptual

5
6

a. Harta Benda Perkawinan

Di dalam perkawinan, kecuali tidak dijanjikan lain dikenal

adanya harta bersama dalam perkawinan dan harta bawaan. Harta

perkawinan yang dimaksud adalah harta sebagaimana diatur dalam

Pasal 35 UU Perkawinan menentukan:

1.Harta benda yang diperoleh selama


perkawinan menjadi harta bersama;
2.Harta bawaan dari masing-masing suami dan
isteri dan harta benda hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Memperhatikan ketentuan pasal 35 UU Perkawinan di atas dapat

diperoleh penjelasan bahwa UU Perkawinan tidak menganut

kebersamaan harta dalam arti dengan perkawinan terjadi suatu

persatuan harta melainkan pemisahan harta. Pemisahan harta yang

dimaksud pemi-sahan antara harta bawaan dengan harta bersama.

Harta bersama maksudnya adalah harta yang diperoleh

selama perkawinan. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang

diperoleh sebelum perkawinan berlangsung kemudian dibawa ke

dalam suatu perkawinan.

Termasuk harta bawaan adalah harta yang diperoleh selama

perkawinan dari

hadiah atau warisan.

Mengenai penguasaan harta dijelaskan lebih lanjut oleh pasal

6
36 UU

No. 1 Tahun 1974, yang menentukan:

1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak


atas persetujuan kedua belah pihak;
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.

Sebagai harta bersama, maka masing-masing suami atau isteri

dapat bertindak atas harta tersebut, asalkan dengan persetujuan

kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan, di bawah penguasaan

masing-masing pihak, maksudnya jika menggunakan harta tersebut

tidak harus dengan persetujuan kedua belah pihak, kecuali

ditentukan lain, maksudnya dibuat lain dalam suatu perjanjian

kawin.

Perihal perjanjian kawin, diatur dalam pasal 29 UU

Perkawinan, yang menentukan:

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua


belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut;
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan;
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan;
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.

7
8

Mengenai perjanjian kawin, Soetojo Prawirohamidjojo

mengemukakan: “Maksud pembuatan perjanjian kawin ini adalah

untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan

tentang harta kekayaan bersama”.1 Hal ini berarti perjanjian kawin

ada kaitannya dengan hal untuk mengatur harta perkawinan. Oleh

karena itu dalam perjanjian kawin ini yang diatur meliputi:

1) bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar


pada salah satu pihak dari pihak yang lain;
2) kedua belah pihak masing-masing membawa masukkan
(aanbrengst) yang cukup besar;
3) masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga
andai kata salah satu jatuh pailit, yang lain tidak tersangkut;
4) atas pinjaman-pinjaman yang mereka buat sebelum kawin,
masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.2

Dengan demikian selama tidak ditentukan lain dalam suatu

perjanjian kawin, maka UU Perkawinan membedakan antara harta

bawaan dan harta bersama. Harta bawaan yaitu harta yang

diperoleh sebelum perkawinan berlangsung dan dibawa ke dalam

perkawinan termasuk pula harta yang diperoleh selama perkawinan

dari hibah maupun warisan, sedangkan harta bersama adalah harta

yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Mengenai

bagaimana akibatnya terhadap harta bersama tersebut jika

1
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2001, h. 58.
2
Ibid.

8
perkawinan berakhir karena perceraian, pasal 37 UU Perkawinan

menentukan bahwa jika perkawinan bubar, pembagian harta

bersama akan diatur menurut hukum masing-masing.

b. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan berasal dari kata batal yang artinya tidak sah

lagi, tidak berlaku, sia-sia. Mengenai pembatalan perkawinan,

meskipun ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh pegawai

pencatat perkawinan, masih banyak terjadi kemungkinan suatu

perkawinan yang sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku.

Menurut Djoko Prakoso, “sudah selayaknya perkawinan semacam

ini dianggap batal. Kalau tidak, apakah gunanya diadakannya suatu

larangan”.3 Pembatalan perkawinan menurut Soetojo Prawiro-

hamidjojo mengemukakan sebagai berikut:

Istilahnya batalnya perkawinan itu tidaklah tepat, lebih tepat


kalau dikatakan dapat dibatalkan perkawinan. Sebab bilamana
perkawinan itu tidan memenuhi syarat-syarat, maka barulah
perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan ke muka
pengadilan. Bila demikian halnya, maka istilahnya bukan batal
(neitig), melainkan dapat dibatalkan (verneitigbaar).4
Merujuk pada pendapat Soetojo Prawirohamidjojo sebagaimana

tersebut di

atas, perkawinan yang dilangsungkan tersebut tetap sah, meskipun

3
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1999, h. 87.
4
Soetojo Prawirohamodjojo, Op. cit., 73.

9
10

perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan.

Perkawinan yang tidak memenuhi syarat tersebut dapat

dimohonkan pembatalan kepada pengadilan, sehingga selama tidak

diajukan pembatalan maka perkawinan tersebut tetap sah. Namun

sebagaimana dikemukakan oleh Vollmar, dengan memberkan

contoh sebagai berikut:

a. apabila suatu perkawinan dilaksanakan bukan di hadapan


Pegawai Pencatat Perkawinan;
b. apabila suatu perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai
pencatat jiwa, kemudian diketahui bahwa kedua mempelai
tersebut kelaminnya sejenis baik keduanya laki-laki maupun
keduanya perempuan.5

Perkawinan sebagaimana tersebut di atas memang sewajarnya jika

perkawinan batal demi hukum, karena perkawinan yang tidak dicat

oleh yang berwenang mencatatnya yaitu Kantor Urusan Agama bagi

yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil yang beragama non

Islam, atau perkawinan sejenis adalah dilarang.

Mengenai pembatalan perkawinan, pada pasal 22 UU

Perkawinan menentukan bahwa: “Perkawinan dapat dibatalkan,

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan”. Jadi jika perkawinan yang telah

dilangsungkan tersebut ternyata tidak memenuhi syarat

5
Vollmar, Hukum Perdata, Bagian I, Cetakan ke-2, Rajawali, Jakarta, 1993, h.
120.

10
perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Pengertian “dapat” menurut penjelasan pasal 22 UU Perkawinan

sebagai berikut: “Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa

batal atau bisa tidak”

Pihak yang mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan

perkawinan menurut pasal 23 UU Perkawinan adalah sebagai

berikut:

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :


a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari
suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-
undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dapat

dilakukan sebagaimana pasal 25 UU Perkawinan, yang

menentukan: “Permohonan pembatalan perkawinan diajukan

kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan

dilangsungkan atau bertempat tinggal kedua suami isteri, suami

atau isteri”. Jadi permohonan pembatalan diajukan kepada

Pengadilan. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada

pengadilan di dalam daerah hukum dimana perkawinan

dilangsungkan atau ditempat tinggal suami/istri. Pengadilan yang

11
12

dimaksud sesuai dengan pasal

63 UU Perkawinan menentukan sebagai berikut:

1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-Undang


ini ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b. Pengadilan Umum bagi lainnya
2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh
Pengadilan
Umum.

Pembatalan juga dapat dimohonkan bagi suatu perkawinan

yang telah dicatatkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang

tidak berwenang. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 26 UU

Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut:

(1)Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat


perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2)Hak untuk membatalkan oleh suami
atau isteri berdasarkan alasan dalam
ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka
telah hidup bersama sebagai suami
isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat pegawai
pencatat perkawinan yang tidak
berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah.

Berdasarkan pasal 27 UU Perkawinan, mengenai pembatalan

perkawinan, pembatalan suatu perkawinan dapat dilakukan dalam

hal-hal sebagai berikut:

12
(1)Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Hal ini berarti bahwa UU Perkawinan melarang perkawinan

dilangsungkan secara paksaan, sehingga perkawinan tersebut

harus didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak untuk

melangsungkan perkawinan. Perkawinan yang dilangsungkan

secara paksaan salah satu pihak, dapat digunakan sebagai alasan

pihak lain untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

tersebut pada pengadilan.

Mengenai pembatalan perkawinan dijelaskan oleh pasal 38 PP

No. 9

Tahun 1975 sebagai berikut:

(1)Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh


pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua
suami-isteri, suami atau isteri.
(2)Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan
perceraian.

13
14

Pasal 42 UU Perkawinan menentukan bahwa “anak sah adalah

anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang

sah”. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang menentukan bahwa

“anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

6. Metodologi Penelitian

a. Pendekatan Masalah

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian

hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach).6

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dibahas yaitu

mengenai pengurusan harta yang diperoleh selama perkawinan

yang tidak dicatatkan.

b. Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, h. 93.

14
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer

dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer

terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Bahan hukum primer terdiri atas UU Perkawinan, Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan lainnya yang

ada kaitannya dengan materi yang dibahas. Sedangkan bahan-

bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.7

c. Prosedur Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum

Pada penelitian bagi kegiatan akademis perlu dilakukan

telaah yang mendalam mengenai perundang-undangan di bidang

tertentu yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

Pembahasan masalah dalam penelitian hukum ini akan dilakukan

secara kritis dengan menggunakan teori-teori hukum yang disusun

secara sistematis dan teratur untuk memperoleh jawaban atas

permasalahan yang dibahas dalam tesis ini dan untuk mengungkap

7
Ibid., h. 141.

15
16

nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Sedangkan analisis

bahan hukum dilakukan langkah-langkah yaitu mengidentifikasi

fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk

menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; pengumpulan

bahan-bahan hukum bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang

mempunyai relevansi juga bahan-bahan non-hukum; melakukan

telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan

yang telah dikumpulkan; menarik kesimpulan dalam bentuk

argumentasi yang menjawab isu hukum; dan memberikan

preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam

kesimpulan. Langkah-langkah ini sesuai dengan karakter ilmu

hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.8

7. Pertanggungjawaban Sistematika

Sistematika penyusunan tesis ini pertama-tama diawali

dengan Bab I, Pendahuluan. Bab ini berisi gambaran umum

permasalahan yang dibahas, sehingga hanya sebagai pengantar

yang dijabarkan lebih lanjut pada bab berikutnya. Sub babnya

terdiri atas latar belakang masalah yang dilanjutkan dengan

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori

dan konseptual, metode penelitian dan diakhiri dengan


8Ibid., h. 171.

16
pertanggungjawaban sistematika.

Kemudian dilanjutkan Bab II, dengan judul bab status harta

yang diperoleh selama perkawinan diketahui bahwa perkawinan

tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan. Bab ini dipaparkan

Pembahasan sekitar Perkawinan baik menurut Undang – Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang meliputi pengertian

perkawinan, asas dan syarat shnya perkawinan serta tujuan

perkawinan. Pada bab ini juga dibahas tentang perkawinan dibawah

tangan yang meliputi pengertian dan hukum perkawinan dibawah

tangan dibawah tangan menurut Undang – Undang Nomor 1 tahun

1974 dan hukum islam. Dan untuk menjawab permasalahan

pertama yaitu bagaimana status harta yang diperoleh selama

perkawinan yang ternyata diketahui bahwa perkawinan tersebut

tidak memenuhi syarat perkawinan. Sub babnya terdiri atas

perkawinan dan syarat perkawinan, harta benda dalam perkawinan,

pembatalan perkawinan dan akibatnya.

Selanjutnya Bab III, dengan judul bab pelaksanaan

perkawinan di bawah tangan meliputi analisa terjadinya perkawinan

di bawah tangan. Sub babnya terdiri atas status dan hak anak yang

dilahirkan dari hasil perkawinan yang tidak memenuhi syarat

perkawinan. Dan upaya yang dapat di tempuh untu mencegah

17
18

terjadinya perkawinan dibawah tangan atau siri.

Akhirnya Bab IV, dengan judul bab Penutup. Bab ini

dipaparkan dalam bentuk jawaban permasalahan yang dibahas

yang diletakkan pada judul sub bab kesimpulan dan alternatif

pemecahan atas permasalahan yang diletakkan pada sub bab

saran.

18
BAB II

STATUS HARTA PERKAWINAN YANG TIDAK MEMENUHI

SYARAT PERKAWINAN

1. Perkawinan dan Syarat Perkawinan

Perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan adalah “ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Menurut Soedharjo Soimin sebagai berikut :

Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua


orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahaga dan kekal itu haruslah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama
dalam Pancasila.9

Menurut Subekti pengertian perkawinan adalah sebagai berikut :

“Pertalian yang sah antara seorang lelaki dengan seorang

perempuan dalam waktu yang lama”.10 Sedangkan menurut Wirjono

Prodjodikoro Perkawinan adalah: “Hidup bersama dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat

9Soedarjo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta,


2001, h. 6.
10
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermusa, Jakarta, 1978, h.23

19
20

tertentu.”11

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo pengertian perkawinan

terkandung unsur - unsur sebagai berikut:

1. Ikatan lahir batin;


2. Antara seorang pria dengan seorang wanita;
3. Sebagai suami isteri;
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal;
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12
ad.1. Ikatan Lahir batin, maksudnya bahwa ikatan itu tidak hanya

cukup dengan dengan ikatan lahir dan batin saja, akan tetapi

kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir

merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan

adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang

wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri yang disebut

hubungan formal sebaliknya suatu ikatan batin merupakan

hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak

nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-

pihak yang bersangkutan. Perkawinan bukan hanya

menyangkut unsur lahir, akan tetapi juga menyangkut unsur

batiniah yang dalam dan luhur.

ad.2. Antara seorang pria dan seorang wanita, maksudnya ikatan

perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan

11Wirjono Pradjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur


Bandung, Jakarta, 1974, h. 7.
12Soetojo Prawirohamidjojo, Op. cit., h. 38.

20
seorang wanita, maka hubungan perkawinan selain antara

pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi, misalnya antara

seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita

dengan seorang wanita ataupun seorang wadam dengan

seorang wadam lain Di samping itu dalam unsur kedua ini

terkandung asas monogami.

ad.3. Sebagai suami istri, maksudnya seorang pria dan seorang

wanita dipandang sebagai suami istri bilamana ikatan antara

seorang pria dan

seorang wanita didasarkan pada suatu perkawinan yang sah.

Suatu pekawinan sah jika memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan pasal 2 UU Perkawinan. Ada dua macam syarat

yaitu syarat-syarat intern maupun syarat-syarat ekstern.Yang

dimaksud syarat-syarat intern adalah yang menyangkut

pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu: kesepakatan

kedua belah pihak baik dari pihak pria dan pihak wanitanya,

kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus

diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan

syarat-syarat ekstern adalah yang menyangkut formalita-

formalita pelangsungan perkawinan.

ad.4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

21
22

kekal, maksud keluarga disini ialah satu kesatuan yang terdiri

atas ayah,ibu, dan anak. Membentuk keluarga yang bahagia

rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula

tujuan perkawinan. Untuk dapat mencapai keluarga yang

bahagia, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan,

yaitu bahwa sekali orang melakukan perkawinan, tidak akan

bercerai untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena

kematian.

ad.5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya

sebagai Negara

yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya Ke

Tuhanan Yang

Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat

dengan agama/kerohanian,sehingga perkawinan bukan saja

mempuyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur

batin/rohani juga mempunyai peranan penting.

Mengenai tujuan perkawinan sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Sudarsono adalah: “Membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan materiil

22
dan spirituil”.13

Mengenai sahnya suatu Perkawinan berdasarkan pasal 2 UU

No.1 Tahun 1974 ditentukan sebagai berikut:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing- masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Menurut Penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, sebagai berikut:

Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan

di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak

bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan, di jelaskan bahwa :

“Suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ; dan disamping

itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan

13
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, h. 7.

23
24

perundang-undangan yang berlaku”. Perkataan “harus dicatatkan”

sebagaimana penjelasan UU Perkawinan, mengadung maksud

bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan untuk

sahnya perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana atas

UU Perkawinan (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975). Pada

pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 menentukan sebagai berikut :

“Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai

Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32

Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk”.

Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa

perkawinan dinyatakan sah jika perkawinan tersebut telah

dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan

perkawinan tersebut telah dicatatkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan pasal 2 UU

Perkawinan, yaitu bagi yang beragama Islam dicatatkan di Kantor

Urusan Agama dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di

Kantor Catatan Sipil sesuai dengan pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975.

Hal ini berarti bahwa jika perkawinan tidak dilangsungkan

sebagaimana pasal 2 UU Perkawinan jo pasal 2 PP No. 9 Tahun

24
1975, maka perkawinannya belum sah dan dianggap belum terjadi

perkawinan atau perkawinannya batal demi hukum.

Perkawinan selain didasarkan atas ketentuan di dalam pasal 2

UU Perkawinan jo pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, juga harus

memperhatikan syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur di

dalam pasal 6 sampai dengan pasal 11 UU Perkawinan. Pada pasal

6 UU Perkawinan, menentukan bahwa:

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon


mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21(duapuluh satu) tahun harus mendapat
izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang
yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal
ini berlaku sepanjang hokum masing – masing agamanya

25
26

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak


menentukan lain.

Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan adanya persetujuan

kedua belah pihak ini dengan pertimbangan bahwa perkawinan

mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk

keluarga yang kekal dan bahagia, maka perkawinan harus disetujui

oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut,

tanpa ada paksaan dari pihak manapun. K. Wantjik Saleh

berpendapat: “Hendaklah persetujuan itu adalah suatu yang murni,

yang betul-betul tercetus dari para calon sendiri dalam bentuk

kemauan untuk hidup bersama seumur hidup, bukan secara pura-

pura atau hasil paksaan”.14 Apabila dalam suatu perkawinan hanya 1

pihak saja yang menyetujui maka perkawinan tersebut tidak

memenuhi syarat-

syarat perkawinan.

Pada pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan jika

usianya kurang dari 21 tahun harus dengan persetujuan orang

tuanya. Mengenai batasan usia perkawinan pasal 7 ayat (1) UU

Perkawinan menentukan: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak

pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak

wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dengan


14K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1987, h. 25.

26
batasan usia perkawinan tersebut di harapkan agar tidak terjadi

perkawinan terlalu muda, karena untuk menjaga kesehatan suami

isteri dan keturunannya, dan sesuai dengan prinsip bahwa calon

suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, Hal ini

sesuai dengan pendapat dari Sudarsono sebagai berikut:

Calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami
istri yang masih di bawah umur.15
Perkawinan dilarang jika antara calon suami dan calon isteri

masih ada hubungan darah sebagaimana disebutkan dalam pasal 8

UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut :

Perkawinan dilarang antara dua orang yang :


a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah
atau keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susunan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang;

15
Sudarsono, Op. cit., h. 8.

27
28

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau


peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Selain itu perkawinan dilarang apabila salah satu pihak masih

terikat dalam suatu perkawinan sesuai pasal 9 UU Perkawinan, yang

menentukan: “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan

orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang disebutkan

pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini”. Demikian

juga di dalam Pasal 10 UU Perkawinan, yang menentukan:

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka
diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.

Calon isteri yang masih dalam masa iddah tidak

diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan sesuai Pasal 11

UU Perkawinan, yang menentukan:

(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku

jangka waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1)

akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam di Kantor Urusan

Agama dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil sesuai dengan pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975. Hal ini

28
berarti bahwa jika perkawinan tidak dilangsungkan sebagaimana

pasal 2 UU Perkawinan jo pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, maka

perkawinannya belum sah dan dianggap belum terjadi perkawinan

atau perkawinannya batal demi hukum.

Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam

pengertiannya. Menurut Soemiyati yang dimaksud dengan rukun

dari Perkawinan ialah “hakekat dari Perkawinan itu sendiri, jadi

tanpa adanya salah satu rukun , perkawinan tidak mungkin

dilaksanakan. Adapun yang termasuk rukun perkawinan, yaitu

hakekat dari suatu perkawinan, supaya perkawinan dapat

dilaksanakan ialah:

a. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu


mempelai pria dan wanita.
b. Wali
c. Saksi
d. Akad Nikah”16

Perkawinan jika syarat-syarat maupun rukun perkawinan

tidak terpenuhi, maka perkawinannya tidak batal demi hukum

melainkan perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

2. Harta Benda Dalam Perkawinan

16 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang


Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999, h. 30.

29
30

Dalam perkawinan, kecuali tidak dijanjikan lain dikenal

adanya harta bersama dalam perkawinan dan harta bawaan. Harta

perkawinan yang dimaksud adalah harta sebagaimana diatur

dalam Pasal 35 UU Perkawinan menentukan:

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta


bersama;
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Harta bersama maksudnya adalah harta yang diperoleh

selama perkawinan, sedangkan harta bawaan adalah harta yang

diperoleh sebelum perkawinan berlangsung kemudian dibawa ke

dalam suatu perkawinan, termasuk harta bawaan adalah harta yang

diperoleh selama perkawinan dari hadiah atau warisan.

Penguasaan harta dijelaskan lebih lanjut oleh pasal 36 UU

Perkawinan, yang menentukan:

1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak


atas persetujuan kedua belah pihak;
2) Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri
mempunyai hk sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.

Sebagai harta bersama, maka masing-masing suami atau isteri

dapat bertindak atas harta tersebut, asalkan dengan persetujuan

kedua belah pihak, sedang harta bawaan di bawah penguasaan

masing-masing pihak, maksudnya jika menggunakan harta tersebut

30
tidak harus dengan persetujuan kedua belah pihak, kecuali

ditentukan lain, maksudnya dibuat lain dalam suatu persetujuan

kawin.

Selama tidak ditentukan lain dalam suatu pejanjian kawin,

maka UU Perkawinan membedakan antara harta bawaan dan harta

bersama. Harta bawaan yaitu harta yang diperoleh sebelum

perkawinan berlangsung dan dibawa ke dalam perkawinan

termasuk pula harta yang diperoleh selama perkawinan dari hibah

maupun warisan, sedangkan harta bersama adalah harta yang

diperoleh selama perkawinan, jika perkawinan berakhir karena

perceraian pembagiannya diatur menurut hukumnya masing-

masing sesuai pasal 37 UU Perkawinan menentukan bahwa jika

perkawinan bubar, pembagian harta bersama akan diatur menurut

hukum masing-masing, yang berarti bahwa ketentuan dalam UU

Perkawinan tidak mengatur pembagian harta bersama setelah

bubarnya perkawinan. Ketentuan mengenai harta bersama diatur

menurut hukum masing-masing suami isteri.

Perihal perjanjian kawin adalah sebagaimana dimaksud oleh

ketentuan pasal 29 UU Perkawinan, yang menentukan :

(1)Pada waktu atau sebelum perkawinan


dilangsungkan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh

31
32

pegawai pencatat perkawinan setelah mana


isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
tersangkut;
(2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan;
(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan;
(4)Selama perkawinan berlangsung, perjanjian
tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, pengertian perjanjian

kawin ialah:

“Maksud pembuatan perjanjian kawin ini adalah untuk mengadakan

penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta

kekayaan bersama”.17 Hal ini berarti perjanjian kawin ada kaitannya

dengan hal untuk mengatur harta bersama. Oleh karena itu dalam

perjanjian kawin ini yang diatur meliputi :

1) bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih


besar pada salah satu pihak dari pihak yang lain;
2) kedua belah pihak masing-masing membawa masukan
(aanbrengst) yang cukup besar;
3) masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri,
sehingga andai kata salah satu jatuh pailit, yang lain
tidak tersangkut;
4) atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin,
masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-
sendiri.18

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 ayat (1) UU


17Soetojo Prawirohamidjojo, Op. cit., h. 58.
18Ibid.

32
Perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat secara

tertulis, yang berarti bahwa perjanjian perjanjian perkawinan

tersebut digunakan sebagai bukti.

Alat bukti diatur dalam pasal 1866 B.W., salah satunya yaitu

alat bukti tertulis. Akta termasuk sebagai salah satu bukti tertulis,

yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

1. surat yang berbentuk

akta;

2. surat-surat lain, uang

bukan berbentuk akta.19

Apa yang dikemukakan oleh Subekti di atas dalam

memberikan pengertian akta lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu

berisikan perbuatan hukum yang dibuat oleh pihak-pihak.

Perbuatan hukum tersebut diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan

yang digunakan sebagai bukti telah terjadinya suatu ikatan. Oleh

karena berisikan suatu perbuatan hukum antara para pihak dan

digunakan sebagai bukti, maka surat meskipun dibuat dalam

bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan adanya perbuatan

hukum, maka tulisan tersebut tidak dapat disebut sebagai akta,

tetapi hanya surat biasa.

19Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan


Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV,
Oktober, 1989, h. 271.

33
34

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya surat

dapat disebut sebagai akta, adalah sebagai berikut:

1) surat itu harus ditandatangani;

2) surat itu harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi

dasar sesuatu hak atau perikatan, dan

3) surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.20

Surat itu harus ditandatangani, dimaksudkan untuk

mengetahui pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum yang

tandatangannya dibubuhkan dalam surat tersebut. Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui apakah pihak yang membubuhkan

tandatangan tersebut mempunyai kekuasaan untuk itu, yang

sejalan dengan ketentuan pasal 1869 B.W, ditentukan bahwa suatu

akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai

dimaksud, atau karena cacat dalam bentuknya, tidak dapat

diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai

kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika surat tersebut

ditandatangani oleh para pihak. Jadi jika suatu akta tersebut adalah

akta, namun karena sesuatu hal, misalnya cacat bentuk atau sebab

lain yang berakibat cacatnya akta, maka meskipun akta tersebut

otentik otomatis menjadi akta di bawah tangan bagi pihak-pihak

20Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta


dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 26-28.

34
yang menanda tangani akta tersebut. Dijelaskan lebih lanjut oleh

Hamzah, bahwa pembubuhan tanda tangan terhadap sebuah akta

merupakan suatu kewajiban atau keharusan yang mutlak, oleh

karena di samping tanda tangan tersebut yang dapat

membedakannya dengan surat-surat dalam bentuk di luar akta,

seperti halnya karcis kereta api, resi dan sebagainya, juga untuk

memberikan ciri atas pembuat akta yang dimaksud.21

Penandatanganan pada surat tersebut dengan tujuan untuk

memberi ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta, sebab

tandatangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang tidak

mungkin sama dengan tandatangan orang lain.

Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu

hal atas perikatan, maksudnya bahwa surat itu harus berisikan

sesuatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan oleh

para pihak yang menandatanganinya. Mengenai maksud

pencantuman peristiwa hukum yang termuat dalam surat tersebut

haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar adanya

perikatan. Oleh karena itu jika dalam surat tersebut tidak termuat

dasar perikatan, maka tidak dapat disebut sebagai akta, sebab itu

tidak mungkin digunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu

perikatan.
21 Hamzah, Loc. Cit.

35
36

Surat itu diperuntukkan sebagai bukti, maksudnya bahwa

surat tersebut harus digunakan sebagai bukti jika dipersengketakan

di depan pengadilan, sehingga jika tulisan atau akta tersebut dibuat

tidak digunakan sebagai bukti, maka surat tersebut tidak dapat

disebut sebagai akta.

Surat digunakan sebagai alat bukti hak, yang dimaksud

adalah bahwa setiap orang yang merasa haknya dilanggar, maka

harus dapat membuktikan bahwa memang haknya dilanggar sesuai

dengan ketentuan pasal 1865 B.W., bahwa setiap orang yang

mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna

meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang

lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut.

Menurut pasal 1867 B.W., menentukan bahwa “pembuktian

dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun

dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Jadi akta sebagai bukti

terdiri dari akta di bawah tangan dan akta otentik.

Akta di bawah tangan yang dimaksud adalah akta yang

ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register,

surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat

tanpa perantaraan seorang pegawai umum, demikian bunyi pasal

36
1874 B.W. Jadi akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja

dibuat oleh pihak-pihak sendiri tidak dibuat oleh pejabat umum

yang mempunyai kewenangan membuat akta, yang oleh para pihak

dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan

hukum. Oleh karena dibuat oleh pihak-pihak saja, maka kekuatan

mengikatnya akta itu hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya

saja, sesuai dengan ketentuan pasal 1338 B.W., bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi pihak-pihak yang membuatnya.

Akta yang dibuat di bawah tangan mempunyai kekuatan

pembuktian yang sah, jika pembuat akta tersebut mengakui isi akta

serta tandatangan yang ada pada akta tersebut. Oleh karenanya

jika misalnya akta di bawah tangan yang memuat pengakuan

hutang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau

memberikan sesuatu barang, namun ternyata diingikari oleh pihak

lawan yang tidak mengakui tandatangan yang ada pada surat atau

akta tersebut, maka harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain,

dalam arti surat tersebut hanya dapat diterima sebagai suatu

permulaan pembuktian dengan tulisan (Pasal 1878 B.W.).

Akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh

37
38

undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai

umum yang

berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868

B.W.). Dengan demikian dikualifikasikan sebagai suatu akta otentik

jika akta tersebut tercantum tandatangan, merupakan suatu

pernyataan perbuatan hukum dan digunakan sebagai bukti. Akta

tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, bentuknya

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan pejabat yang

membuat akta tersebut mempunyai kewenangan. Dengan demikian

akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai

berikut:22

1) akta itu harus dibuat “oleh” atau “di hadapan”

seorang pejabat umum;

2) akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan

oleh undang-undang;

3) pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu

dibuat, harus mempunyai kewenangan untuk

membuat akta tersebut.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat

dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh

22
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit., hlm. 29.

38
selama perkawinan berlangsung. Hal ini berarti bahwa harta

tersebut didapat ketika kedua pihak yaitu suami dan istri tersebut

terikat dalam perkawinan yang sah.

3. Pembatalan Perkawinan dan Akibatnya

Pembatalan berasal dari kata batal yang artinya tidak sah

lagi, tidak berlaku, sia-sia. Istilah “batal”-nya perkawinan dapat

menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam

tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti neitig

zonder kracht (tidak ada kekutan) zonder waarde (tidak ada nilai).

Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolut nietig

adalah pembatalan mutlak.23 Istilah dapat dibatalkan dalam

Undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relatif nietig.

Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya

telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran

terhadap aturan-aturan tertentu.24 Hal ini berarti bahwa di dalam

perkawinan dimungkinkan untuk

dibatalkan dan ada kemungkinan perkawinan batal demi hukum.

Mengenai pembatalan perkawinan, meskipun ketatnya

23Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Legal


Center Publishing, Jakarta, 2002, h. 25.
24
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Kencana Prenada Media Grup. Jakarta, 2006, h. 107.

39
40

pengawasan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan,

masih banyak terjadi kemungkinan suatu perkawinan yang

sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku. Menurut Djoko

Prakoso, “sudah selayaknya perkawinan semacam ini dianggap

batal. Kalau tidak, apakah gunanya diadakannya suatu larangan”.25

Pembatalan perkawinan menurut Soetojo Prawirohamidjojo

mengemukakan sebagai berikut:

Istilahnya batalnya perkawinan itu tidaklah tepat, lebih tepat


kalau dikatakan dapat dibatalkan perkawinan. Sebab bilamana
perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat, maka barulah
perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan ke muka
pengadilan. Bila demikian halnya, maka istilahnya bukan batal
(neitig), melainkan dapat dibatalkan (verneitigbaar).26

Merujuk pada pendapat Soetojo Prawirohamidjojo sebagaimana

tersebut di atas, perkawinan yang dilangsungkan tersebut tetap

sah, meskipun perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat

perkawinan. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat tersebut

dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan, sehingga

selama tidak diajukan pembatalan maka perkawinan tersebut tetap

sah. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Vollmar, dengan

memberkan contoh sebagai berikut:

1. apabila suatu perkawinan


dilaksanakan bukan di hadapan
Pegawai Pencatat Perkawinan;
25Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Loc. Cit..
26Soetojo Prawirohamodjojo, Op. cit., 73.

40
2. apabila suatu perkawinan
dilaksanakan di hadapan pegawai
pencatat jiwa, kemudian diketahui
bahwa kedua mempelai tersebut
kelaminnya sejenis baik keduanya
laki-laki maupun keduanya
perempuan. 27

Perkawinan sebagaimana tersebut di atas memang sewajarnya jika

disebut sebagai perkawinan batal demi hukum, karena perkawinan

yang tidak dicatat oleh yang berwenang mencatatnya yaitu Kantor

Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil

yang beragama non Islam,

atau perkawinan sejenis adalah dilarang.

Mengenai pembatalan perkawinan, pada pasal 22 UU

Perkawinan menentukan bahwa: “Perkawinan dapat dibatalkan,

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan”. Jadi jika perkawinan yang telah

dilangsungkan tersebut ternyata tidak memenuhi syarat

perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Pengertian “dapat” menurut penjelasan pasal 22 UU Perkawinan

sebagai berikut: “Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa

batal atau bisa tidak”.

Pihak yang mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan

27
Vollmar, Loc. cit.

41
42

perkawinan menurut pasal 23 UU Perkawinan adalah sebagai

berikut:

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :


a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari
suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-
undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dapat

dilakukan sebagaimana pasal 25 UU Perkawinan, yang

menentukan: “Permohonan pembatalan perkawinan diajukan

kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan

dilangsungkan atau bertempat tinggal kedua suami isteri, suami

atau isteri”. Jadi permohonan pembatalan diajukan kepada

Pengadilan. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada

pengadilan di dalam daerah hukum dimana perkawinan

dilangsungkan atau ditempat tinggal suami/istri. Pengadilan yang

dimaksud sesuai dengan pasal 63 UU Perkawinan menentukan

sebagai berikut:

(1)Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-


Undang ini ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b. Pengadilan Umum bagi lainnya
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh

42
Pengadilan Umum.
Pembatalan juga dapat dimohonkan bagi suatu perkawinan

yang telah dicatatkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang

tidak berwenang. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 26 UU

Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut:

1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat


perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak
sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan
alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah
hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Berdasarkan pasal 27 UU Perkawinan menetukan:

(1)Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan


pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
(3)Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

43
44

Pembatalan Perkawinan dapat diajukan menurut Pasal 38 PP No. 9

Tahun 1975 yang menentukan sebagai berikut:

1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh


pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan
daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya
perkawinan atau ditempat tinggal kedua suami – isteri,
suami atau isteri.
2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan
perceraian.
3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan
pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan
sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai
dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini.

Memperhatikan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa

perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan dilangsungkan,

padahal tidak memenuhi syarat perkawinan. Perkataan “dapat

dibatalkan”, yang berarti bahwa perkawinan tersebut oleh hakim

dalam putusannya dapat dibatalkan atau tidak dibatalkan. Dengan

dibatalkannya perkawinan tersebut, berarti pembatalan berlaku

surut sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali terhadap hal-hal

sebagaimana pasal 28 UU Perkawinan sebagai berikut:

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan


Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik,
kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu;

44
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad
baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Memperhatikan ketentuan pasal 28 UU Perkawinan sebagaimana

tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa batalnya perkawinan

karena tidak dipenuhinya syarat perkawinan oleh Pengadilan

berlaku surut sejak perkawinan dilangsungkan. Meskipun demikian

akibat dari batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-

anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Selain itu termasuk

istri yang bertitikad baik maksudnya tidak mengetahui bahwa

ketika perkawinan dilangsungkan tidak mengetahui calon suaminya

kurang memenuhi syarat perkawinan dan anak-anak yang

dilahirkannya. Oleh karena adanya suatu batasan yang jelas

mengenai akibat hukum dari perceraian yaitu terhadap istri yang

beritikad baik dan anak yang dilahirkannya, berarti bahwa dengan

dibatalkan perkawinan yang berlaku surut sejak perkawinan

dilangsungkan, berlaku pula terhadap harta benda yang diperoleh

selama perkawinan. Harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi tidak pernah ada, karena perkawinannya

dianggap tidak pernah terjadi sejak saat dibatalkannya perkawinan

tersebut.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa

45
46

status harta benda yang diperoleh selama perkawinan antara

Moudy Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi yang ternyata diketahui

bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan

dianggap tidak pernah ada sejak perkawinan tersebut dibatalkan

yang pembatalannya berlaku surut sesuai dengan ketentuan pasal

28 ayat (1) UU Perkawinan. Oleh karena perkawinan antara Moudy

Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi dianggap tidak pernah terjadi,

maka terhadap harta benda yang diperoleh selama hidup bersama

tanpa ikatan perkawinan tersebut menjadi hak masing-masing

pihak. Moudy Wilhelmina dan Junaidi Ahmadi jika

mempermasalahkan harta benda yang diperoleh selama hidup

bersama tanpa ikatan perkawinan, maka masing-masing pihak

harus dapat membuktikannya baik mengenai harta bawaan yang

dibawa ke dalam suatu perkawinan maupun harta yang diperoleh

dari hasil kerjanya sebagai artis bagi Moudy Wilhelmina dan Junaidi

Ahmadi sebagai seorang fotografi. Karena dalam hal harta benda

dalam perkawinan terdapat tiga macam harta yaitu:

1. harta kekayaan milik prive suami;

2. harta kekayaan milik prive istri;

3. harta kekayaan milik bersama.28

28
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan
Keluarga (Personen en Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya,

46
Hal ini berarti bahwa perkawinan yang dinyatakan tidak sah, maka

terhadap

harta benda yang diperoleh selama keduanya hidup dalam satu

rumah tersebut merupakan harta pribadi milik Moudy Wilhelmina

dan harta pribadi Junaidi Ahmadi.

2001, h. 54.

47
48

BAB III

STATUS DAN HAK ANAK YANG DILAHIRKAN DARI HASIL

PERKAWINAN ANTARA MOUDY WILHELMINA

DENGAN JUNAIDI AHMADI

1. Status Anak Dalam Perkawinan

Anak ditinjau dari segi keturunan adalah ketunggalan leluhur,

artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan

orang yang lain. Dua orang atau keturunan yang seorang dari yang

lain.29

Adanya hubungan darah antara keturunan dengan seorang

dari yang lain menjadikan antara keduanya yaitu anak keturunanya

dengan orang tua yang menurunkannya mempunyai hubungan

hukum di dalam masyarakat. Mengenai hubungan hukum antara

anak dengan orang tuanya, di antara daerah yang satu dengan

daerah yang lain terdapat suatu perbedaan. Perbedaan terjadi

akibat sistem kekeluargaan masing-masing daerah. Meskipun

demikian, bagi masyarakat keturunan merupakan unsur esensial

bagi suatu kekeluargaan (clan).

29 Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat., Gunung Agung,


Jakarta, 1982, h. 108.

48
Keturunan menurut Soerojo Wignjodipuro dapat bersifat:

a. lurus apabila orang yang satu itu merupakan langsung


keturunan yang lain, misalnya antara bapak dan anak, antara
kekek, bapak dan anak. Disebut lurus ke bawah jika
rangkiannya dilihat dari kakek, bapak anak, sedangkan
disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak,
bapak ke kakek;
b. menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang
atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya
bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau se kakek-
nenek dan lain sebagainya.30

Di dalam hubungan kekeluargaan, dikenal adanya garis keturunan

bapak (keturunan patrilineal) dan keturunan garis ibu (keturunan

matrilineal). Keturunan patrilineal adalah orang yang hubungan

darahnya hanya melewati orang laki-laki saja di antara mereka

anak orang laki-laki dan orang perempuan. Sedang hubungan

kekeluargaan yang matrilineal adalah hanya mengakui orang-orang

yang hubungan darahnya hanya melewati orang perempuan saja.31

Anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya,

orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di

dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 UU Perkawinan). Anak

menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak (selanjutnya disebut UU Kesejahteraan


30 Ibid., h. 109.
31 Ibid.

49
50

Anak) menentukan : “Seseorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

Anak perlu memperoleh perhatian dengan pertimbangan anak

adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya

telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Agar setiap anak

mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat

kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

dengan wajar baik secara rohani jasmani maupun sosial.32

Selanjutnya anak bagian dari generasi muda sebagai salah satu

sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-

cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan

mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan, dan

perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi slaras

dan seimbang. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan

perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang

menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih

mantap dan memadai, oleh sebab itu ketentuan mengenai

penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara

khusus.33

32 Konsideran UU No. 4 Tahun 1979, huruf a dan b.


33 Konsideran UU No. 3 Tahun 1997.

50
Apabila memperhatikan konsideran UU Kesejahteraan anak

dan UU Perlindungan Anak di atas dapat dijelaskan bahwa, anak

sebagai salahs atu sumber daya manusia yang merupakan potensi

dan penerus cita-cita perjuangan, maka anak yang berusia kurang

dari 18 tahun memperoleh perlakuan istimewa dalam segala hal

sebagia upayanya untuk menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi dan

seimbang.

Anak jika dikaitkan dengan kesejahteraan usianya adalah 21

tahun sesuai dengan UU Kesejahteraan anak, sedang usia anak 18

tahun diarahkan kepada dewasa dalam bertindak menurut hukum

(kecakapan). Karena usia 18 tahun dalam prakteknya masih belum

dapat memnuhi kebutuhannya sendiri (sebagai usia sekolah).

Anak ditinjau dari asal usul dikenal adanya anak sah, anak

luar kawin dan anak angkat. Anak sah adalah anak yang dilahirkan

oleh orang tua yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah

(Pasal 42 ayat (1) UU Perkawinan). Sehingga jika seorang anak yang

dilahirkan dari orang tua yang tidak terikat dalam suatu perkawinan

yang sah, maka dianggap sebagai anak tidak sah. Hal ini sesuai

dengan yang dikemukakan oleh Soetojo Prawirohamidjojo bahwa

seorang anak dilahirkan dari seorang wanita yang kawin, maka ia

51
52

adalah anak yang sah dari orang yang terakhir ini, sedangkan

suami ibunya adalah ayanya yang sah.34

Seorang ayah dikatakan sebagai ayah yang sah jika :35

1) seorang anak yang lahir dalam jangka waktu enam bulan

dihitung sejak hari akad nikah adalah tidak sah, kecuali

bilamana suami ibunya mengakui yang lahir itu sebagai

anaknya.

2) seorang anak yang lahir sesudah enam bulan sejak hari akad

nikah, adalah sah, kecuali jika ayahnya tidak mengakuinya.

Anak luar kawin ialah anak yang asal-usulnya tidak

didasarkan pada hubungan perkawinan yang sah yaitu hubungan

antara ayah dan ibunya, sehingga tidak mempunyai kedudukan

yang sempurna seperti anak sah.

Anak angkat atau adopsi adalah suatu perbuatan

pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian

rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang

dipungut itu timbul suatu hubunga kekeluargaan yang sama

seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya

sendiri.36

Di dalam UU Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum

34 Soetojo Prawirohamdjojo, Op. cit., h. 103.


35 Ibid., h. 104.
36 Wirjono Pradjodikoro, Op. cit., h. 96.

52
Perdata maupun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak)

yang digunakan sebagai dasar untuk mengetahui hak asuh anak

tidak mengatur megnenai akte kelahiran. Meskipun demikian bagi

setiap anak akte kelahiran merupakan suatu hal yang penting,

karena itu merupakan salah satu hak anak, sesuai dengan pasal 5

UU Perlindungan Anak, tentang Perlindungan Anak yang

menentukan sebagai berikut : “Setiap anak berhak atas suatu nama

sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”.

Menurut Victor Situmorang disebutkan sebagai berikut :

Bagaimanakah anak tersebut membuktikan bahwa dianya


(anak asuh) anak dari orang tuanya. Malah tersebut dapat
diatasi dengan baik apabila anak tersebut dapat menunjukkan
bukti-bukti yang kuat dan autentik bahwa dirinya adalah anak
sah orang tuanya. Sebab bukti yang sah tentunya adalah suatu
bukti tertulis yang autentik yang menerangkan tentang suatu
hal, agar hal tersebut mempunyai dasar kekuatan hukum yang
pasti dan kuat. Demikian pula dengan peristiwa kelahiran
seseorang, peristiwa kelahiran itu perlu mempunyai bukti
tertulis dan autentik, karena untuk membuktikan identitas
seseorang yang pasti dan sah adalah dapat kita lihat dari akta
kelahirannya yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang
berwenang mengeluarkan akta tersebut.37

Memperhatikan uraian Victor Situmorang tersebut di atas dapat

dijelaskan bahwa akta kelahiran adalah suatu bukti yang otentik

yang berisikan identitas seseorang, dan akta kelahiran tersebut

37 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum


Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 40

53
54

dibuat oleh lemabaga yang berwenang agar akta kelahiran dapat

digunakan sebagai bukti yang otentik.

Mengenai pihak yang membuat akta kelahiran adalah Catatan

Sipil, menurut Peraturan Walikota Surabaya Nomor 67 Tahun 2005

tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Surabaya (SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun

2005) dijalankan oleh Dinas Kependudukan dan Cattan Sipil. Namun

SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun 2005 tidak memberikan definisi

mengenai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Pada Pasal 1

angka 5 menentukan “Dinas asdalah Dinas Kependudukan Dan

Catatan Sipil Kota Surabaya”. Sedangkan Pasal 1 angka 6

menentukan “Kepala Dinas adalah kepala Dinas Kependudukan Dan

Catatan Sipil Kota Surabaya”. Cattan Sipil yaitu “suatu lembaga

yang diusahakan oleh pemerintah yang ditugaskan untuk

memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian

status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negara

seperti kelahiran, perkawinan, kematian”.38 Sedangkan Volmar

mengartikan lembaga catatan sipil adalah “suatu lembaga yang

diadakan oleh penguasa/pemerintah yang dimaksud membuktikan

selengkap mungkin karena itu memberikan kepastian sebesar-

besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status


38 Ibid., h. 10

54
keperdataan seseorang perkawinan kelahiran perceraian dan

kematian”.39

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mempunyai tugas

melaksanakan kewenangan daerah dibidang kependudukan dan

catatan sipil serta melaksanakan tugas pembantuan yang diberikan

oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah provinsi sebagfaimana diatur

dalam Pasal 2 Peraturan Walikota Surabaya Nomor 67 Tahun 2005

tentang penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Surabaya (SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun

2005). Hal ini berarti bahwa eksistensi dari Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil didasarkan atas peraturan perundang-undangan,

sehingga mempunyai wewenang untuk menjalankan tugasnya.

Dinas mempunyai tugas melaksanakan kewenangan Daerah di

bidang kependudukan dan catatan sipil serta melaksanakan tugas

pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah

Provinsi sebagaimana Pasal 2 SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun

2005. Sebagai pelaksana tugas daerah dan pelaksana tugas

pembantuan yang diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah

provinsi, berarti Dispenduk Capil Dijelaskan lebih lanjut oleh Victor

M. Situmorang sebagai berikut :

39 Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1, Rajawali, jakarta,


1989, h. 37.

55
56

Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam keluarga, maka


terdapat macam-macam akta catatan sipil, yaitu :
a. akta kelahiran;
b. akta perkawinan;
c. akta kematian;
d. akta perceraian;
e. akta pengakuan/pengesahan anak;
f. akta penggantian nama.40

Dengan demikian eksistensi lembaga catatan sipil ini mempunyai

peran yang penting terutama dalam “lapangan keperdataan, sebab

di catatan sipil dapat ditentukan kedudukan hukum seseorang,

sehingga orang-orang yang berkepentingan dalam hal-hal yang

berhubungan dengan lembaga ini dapat dengan mudah

memperoleh kepastian hukum, megnenai status seseorang”.

Dengan demikian tujuan dibentuknya lembaga catatan sipil adalah

‘untuk memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya mengenai

peristiwa-peristiwa yang dialami atau terjadi atas diri seseorang,

maka semua akta catatan sipil mempunyai kedudukan yang

sempurna yang mutlak kebenarannya di depan hukum.

Demikian halnya dengan akta kelahiran sebagai identitas

seseorang yang berarti pada akte kelahiran tersebut tercantum

nama anak dan asal usul anak tersebut dalam arti tercantum pula

nama orang tuanya. Akta kelahiran merupakan suatu bukti yang

menunjukkan asal usul anak sesuai dengan pasal 55 UU Perkawinan

40 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit., h. 2.

56
yang menentukan :

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte


kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang.
2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasdal ini tidak
ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini,
maka instansi pencatatat kelahiran yang ada dalam daerah
hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Ketentuan pasal 55 UU Perkawinan yang berhubungan dengan asal-

usul anak yang dituangkan dalam akta kelahiran, dijelaskan lebih

lanjut oleh pasal 27 UU Perlindungan Anak tentang Perlindungan

Anak (selanjutnya disingkat UU Perlindungan Anak) menentukan :

1) identitas dari setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya;


2) identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan
dalam akta kelahiran;
3) pembuatan akta kelahiran didasarkan ada surat keterangan
dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses
kelahiran;
4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan
oreang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan
akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada
keterangan orang yang menemukannya.

Dengan demikian bahwa setiap kelahiran harus jelas identitasnya,

karenanya akta kelahiran bagi anak merupakan suatu yang penting

dan harus ada.

Mengenai fungsi akta kelahiran adalah sebagai berikut :41


41 Sumber Dinas Kependudukan Kotamadya Surabaya.

57
58

• Menentukan status hukum seseorang

• Masuk sekolah TK sampai dengan Perguruan Tinggi

• Melamar pekerjaan termasuk menjadi anggota TNI

dan Polri

• Pembuatan KTP/KK/NIK

• Pembuatan SIM

• Pembuatan Paspor

• Pengurusan Tunjangan Keluarga

• Pengurusan Hak Waris

• Pengurusan Bea Siswa

• Pengurusan Asuransi

• Melaksanakan Pencatatan Perkawinan

• Melaksanakan Ibadah Haji

• Pengurusan kematian

• Pengurusan Perceraian

• Pengurusan Pengakuan Anak

• Pengangkatan Anak Adopsi

2. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak

Pada umumnya, anak yang usianya kurang dari 18 (delapan

58
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, belum

mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karenanya anak

seusia tersebut berada di bawah kekuasaan orang tuanya sesuai

Pasal 45 UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut :

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak


mereka sebaik-baiknya.
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus.

Orang tua yang mempunyai kekuasaan terhadap anak wajib

memelihara dan mendidik sebaik-baiknya.

Dengan demikian hak mengasuh anak merupakan salah satu

kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya yang meliputi

kewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan.

Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 26 UU Perlindungan

Anak yang menentukan :

1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :


a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi
anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

59
60

Kewajiban orang tua untuk bertanggung jawab kepada anak-

anaknya sesuai pula dengan Pasal 9 UU Kesejahteraan Anak yang

menentukan sebagai berikut : “Orang tua adalah yang pertama-

tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik

secar rohani, jasmani maupun sosial”. Sebagai kewajiban, maka

mutlak harus dilaksanakannya, disertai ancaman dicabut

kekuasaanya terhadap anak tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal

49 UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut :

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut


kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk
waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia keberatan buruk sekali.
2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih
tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan
kepada anak tersebut.

Dalam kaitannya dengan perlindungan anak, kondisi anak

harus benar-benar mendapat perhatian khususnya oleh orang tua,

sehingga anak terhindar dari korban. Hal ini dengan yang

dikemukakan oleh Shanty Dellyana sebagai berikut :

Dalam rangka mengembangkan usaha kegiatan perlindungan


anak ini, seharusnya lebih waspada khususnya bagi orang tua
dan juga harus sadar adanya akibat yang sama sekali tidak
diinginkan, yaitu yang dapat menimbulkan korban. Kerugian
karena pelaksanaan perlindungan anak yang tidak rasional

60
positif, tidak bertanggung jawab dan tidak bermanfaat.42

Mengenai penyelenggaraan perlindungan anak, diatur dalam

Pasal 2 UU Perlindungan Anak yang menentukan sebagai berikut :

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan


berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-
hak anak meliputi :
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang trebaik bagi anak;
c. Tidak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Mengenai penyelenggaraan perlindungan anak, dijelaskan

lebih lanjut oleh Penjelasan Pasal 2 UU Perlindungan Anak sebagai

berikut :

Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip


pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bai
anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut
anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan
legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik
bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling
mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua.
Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat
anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam
pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal
yang mempengaruhi kehidupannya.

Didasarkan atas hak-hak anak , baik yang diatur dalam


42 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty,
Yogyakarta, 1988, h. 13.

61
62

Undang-undang Dasar 1945 maupun yang diatur dalam Konvensi

Hak-hak Anak, dapat dijelaskan bahwa anak diusahakan untuk tidak

diperlakukan secara keras dan diskriminasi yang dapat

mengganggu pertumbuhan, perkemangan, dan partisipasi secara

wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Berkaitan dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab

terhadap perlindungan anak, Arif Gosita mengemukakan bahwa

“kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan

bersama”.43 Usaha bersama yang dimaksud adalah dituntut adanya

tanggung jawab secara bersama, sebagaimana ketentuan dalam

Pasl 20 UU Perlindungan Anak menentukan sebagai berikut :

“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak”. Sehingga dalam hal ini yang bertanggung

jawab terhadap perkembangan anak adalah negara, pemerintah,

masyarakat, keluarga, meskipun demikian tanggung jawab utama

terhadap anak lebih dibebankan kepada orang tua.

Menurut Pasal 3 UU Perlindungan Anak menentukan sebagai

43 Arif Gosita, Maslah Perlindungan anak, Akademika Pressindo,


Jakarta, 1984, h. 3.

62
berikut :

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya


hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Terlepas dari hak-hak anak sebagaimana di atas, setiap

anak berhak untuk mengetahui orang tuanya sesuai dengan

Pasal 7 UU Perlindungan Anak yang menentukan sebagai

berikut :

1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,


dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam
keadaan telantar maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perudnang-
undangan yang berlaku.

Mengenai perlunya setiap anak mengetahui orang tuanya,

menurut penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak

dijelaskan sebagai berikut:

Ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang


tuanya, dalam arti asal-usul (termasuk ibu susunya),
dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan
hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya,
sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya,
dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang
tuanya.

Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa

63
64

maksud dan tujuan perlindungan anak menurut UU Perlindungan

Anak adalah memberikan perlindungan agar hak-hak anak

terpenuhi, agar anak terjamin pertumbuhan dan perkembangan

fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Hak anak salah satu di antaranya adalah hak asuh yang pertama-

tama menjadi tanggung jawab dari orang tuanya. Mengenai orang

tua dari anak yang bersangkutan dapat dilihat dari akta kelahiran

dari anak tersebut sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 27 UU

Perlindungan Anak.

Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa

orang tua mempunyai kewajiban utama untuk mengasuh anak-

anaknya, dalam pengertian mengasuh tersebut adalah memenuhi

kebutuhan melalui memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan

terhadap anaknya. Jika orang tua tidak mampu menjamin tumbuh

kembangnya anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak

tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak

angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sebagaimana Pasal 7 ayat (1)

UU Perlindngan Anak. Jadi terdapat dua hal yang menyangkut anak

yaitu anak memperoleh hak asuh dan anak menjadi anak angkat

jika orang tuanya tidak mampu menjamin kesejahteraan anaknya.

64
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan

kekuasaan keluarga orang tua, wali atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan

anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya

berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Sedangkan anak

asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk

diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan

kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak

mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar

sebagaimana Pasal 1 angka 7 dan Pasal 8 UU Perlindungan Anak.

3. Status Anak yang Perkawinan Orang Tuanya Dibatalkan

Perkawinan diharapkan dapat berlangsung untuk selama-

lamanya sesuai dengan tujuan perkawinan. Demikian halnya

dengan yang dikehendaki oleh pasangan suami istri Junaidi Ahmadi

dan Moudy Wilhelmina. Namun kadangkala tanpa diketahui atau

sebelumnya telah mengetahui bahwa syarat perkawinan tidak

dipenuhi. Perkawinan antara Junaidi Ahmadi dan Moudy Wilhelmina

telah mengetahui bahwa Junaidi Ahmadi masih terikat dalam suatu

perkawinan terdahulu. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan sesuai

dengan pasal 22 UU Perkawinan, bahwa perkawinan dapat

65
66

dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan.

Meskipun perkawinan dibatalkan dan pembatalan perkawinan

berlaku surut sesuai dengan pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan

bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan

Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku

sejak saat berlangsungnya perkawinan, namun tidak berlaku surut

terhadap anak yang dilahirkannya sesuai dengan pasal 28 ayat (1)

huruf a UU Perkawinan bahwa Putusan tidak berlaku surut terhadap

anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Anak wanita Moudy Wilhelmina yang saat ini berumur 9

tahun hasil perkawinannya dengan Junaidi Ahmadi. Anak tersebut

ketika dilahirkan Moudy Wilhemina terikat dalam suatu perkawinan

dengan Junaidi Ahmadi, sehingga jika dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 42 UU Perkawinan adalah anak sah, karena Junaidi Ahmadi

tidak mengingkari kelahiran anak tersebut sebagaimana Pasal 44

UU Perkawinan. Namun jika anak tersebut dilahirkan ketika kedua

orang tuanya tidak terikat dalam perkawinan yang sah, maka anak

yang dilahirkannya tersebut adalah anak luar kawin yang hanya

mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga

ibunya sesuai dengan pasal 43 UU Perkawinan.

66
Anak tersebut telah memiliki akta kelahiran sehingga asal-

usul anak sebagiamana Pasal 55 UU Perkawinan tidak diragukan

lagi, bahwa anak tersebut adalah anak dari pasngan Moudy

Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi. Namun perkawinan tersebut

dibatalkan karena tidak memenuhi syarat perkawinan, yaitu syarat

sebagaimana Pasal 9 UU Perkawinan, karena ketika Junaidi Ahmadi

melangsungkan perkawinan dengan Moudy Wilhelmina masih

terikat perkawinan dengan istri terdahulu yaitu Shinta Safitri Dewi.

Namun diketahui setelah Moudy Wilhemina mengajukan gugat cerai

terhadap Junaidi Ahmadi pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan,

dan pada saat itu pula pihak Shinta Safitri Dewi mengajukan

intervensi yaitu turut serta dalam suatu gugatan tidak memihak

salah satu pihak, melainkan untuk kepentingan dirinya sendiri, agar

membatalkan perkawinan antara Junaidi Ahmadi dengan Moudy

Wilhemina. Permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan

oleh Shinta Safitri Dewi tersebut sesuai dengan Pasal 22 UU

Perkawinan.

Terlepas dari putusan Pengadilan Agama jakarta Selatan yang

mengakibatkan intervensi dari pihak Shinta Safitri Dewi dengan

mengabulkan permohonan cerai yang diajukan oleh Moudy

Wilhemina pada tanggal 24 Nopember 2008 dan pihak Shinta Safitri

67
68

Dewi mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Tinggi

Agama Jakarta, maka yang perlu diketahui adalah status anak dari

hasil perkawinan Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi.

Apabila dikaitkan dengan Pasal 42 UU Perkawinan dan akta

kelahiran yang menunjukkan asal usul anak, demikian pula jika

dikaitkan dengan ketentuan Pasl 28 ayat (2) UU Perkawinan bahwa

putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan

dari perkawinan tersebut, maka anak tersebut adalah anak sah.

Namun sebagaimana pasal 42 jo Pasal 28 ayat (2) huruf a UU

Perkawinan, bahwa “anak yang sah adlaah anak yang dilahirkan

dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, “ putusan tidak

berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan

tersebut”. Suatu perkawinan sebagaimana Pasal 22 UU Perkawinan

jika tidak memenuhi syarat perkawinan, maka perkawinannya dapat

dibatalkan.

Batal berarti neitig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder

waarde (tidak ada nilai), dapat dibatalkan berarti nietig verklaard,

sedangkan absolut nietig adalah pembatalan mutlak.44 Istilah dapat

dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi

relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti

sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya


44 Martiman Prodjohamindjojo, Loc. cit.

68
pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.45 Jika dikaitkan

dengan kasus perkawinan antara Moudy Wilhelmina dengan Junaidi

Ahmadi sebelumnya terikat dalam suatu perkawinan. Hal ini berarti

bahwa di dalam perkawinan dimungkinkan untuk dibatalkan dan

ada kemungkinan perkawinan batal demi hukum. Perkawinan jika

dilangsungkan padahal perkawinan tersebut dilarang untuk

dilangsungkannya, maka menurut Djoko Prakoso, meskipun

ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan, masih banyak terjadi kemungkinan suatu perkawinan

yang sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku, sudah

selayaknya perkawinan semacam ini diangggap batal. Kalau tidak,

apakah gunanya diadakannya suatu larangan.46 Hal ini berarti

bahwa perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi

adalah batal. Oleh sebab perkawinannya batal karena tidak

memenuhi syarat perkawinan masuk dalam larangan perkawinan,

apabila dikaitkan dengan Pasal 42 UU Perkawinan, bahwa anak sah

adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah, karena perkawinannya tidak sah, maka anak yang

dihasilkan dari perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan Junaidi

Ahmadi adalah anak tidak sah. Jika dikaitkan dengan Pasal 43 UU

45 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Loc. cit.


46 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Loc. Cit.

69
70

Perkawinan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan

keperdataan dengan ibu dan saudara ibunya.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa

status dan hak anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara

Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi yang ternyata

perkawinannya tidak memenuhi syarat perkawinan adalah tidak

sah atau anak luar kawin. Sebagai anak luar kawin, maka jika anak

tersebut telah mempunyai akta kelahiran dengan menyebut nama

Moudy Wilhemina sebagai ibu dengan Junaidi Ahmadi sebagai ayah,

maka dapat dilakukan perubahan atas akta kelahiran tersebut

dengan menghapus Junaidi Ahmadi dari akta sebagai ayah anak

tersebut dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan.47

Mengenai gugatan sahnya anak, karena sahnya anak,

dijelaskan oleh Soetojo Porawirohamidjojo bahwa “gugat untuk

menentang keabsahan keturunan seorang anak harus dibedakan

dengan gugat untuk menyangkal keabsahan seorang anak”. Hal ini

berarti bahwa gugatan keabsahan anak berbega dengan gugat

mengenai penyangkalan anak yang dilakukan oleh suami (atau ahli

warisnya) dari ibu sang anak. Gugat yang sahnya anak disebutkan

bermaksud menetapkan kedudukan status hukum sesungguhnya

47
Wawancara dengan Diana Ratnawati, Panitera Pengadilan Negeri Surabaya.

70
dari seorang anak. Putusan hakim merupakan putusan deklaratoir,

artinya hanya menyatakan keadaan sesungguhnya yang sudah

ada.48 Memperhatikan pendapat Soetojo sebagaimana tersebut di

atas dapat dijelaskan bahwa gugatan sahnya anak ini

mempengaruhi akta kelahiran yang dibuatnya, sehingga putusan

pengadilan dapat digunakan sebagai dasar untuk merubah akta jika

keabsahan anak tersebut dapat dibuktikan, maksudnya jika

perkawinan tersebut ternyata dibatalkan oleh Pengadilan, karena

tidak dipenuhi syarat perkawinan khususnya menyangkut larangan

perkawinan, maka perkawinan menjadi batal. Oleh karenanya anak

yang dilahirkan menjadi anak luar kawin. Apabila telah

dibuatkannya akta, maka batalnya perkawinan tersebut dapat

digunakan untuk mengajukan perubahan atas akta kelahiran

dengan mengajukan permohonan penghapusan nama suami

sebagai ayah dari akta kelahiran.

48
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. cit., h. 175.

71
72

BAB IV

PENUTUP

1. Simpulan

a. Status harta yang diperoleh selama perkawinan antara Moudy

Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi yang ternyata diketahui

bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat

perkawinan sebagaimana pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974

tentang larangan perkawinan, bukan menjadi harta benda

bersama dalam perkawinan sebagaimana pasal 35 UU

Perkawinan. Perkawinan yang dilakukan tidak memenuhi

syarat perkawinan dan perkawinannya dibatalkan, maka

pembatalan berlaku surut sejak perkawinan dilangsungkan

sesuai dengan pasal 22 jo pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan,

termasuk harta yang diperoleh selama perkawinan

berlangsung.

b. Pembatalan perkawinan berlaku surut terhadap anak yang

dilahirkan, karena syarat perkawinan yang tidak dipenuhi

adalah larangan perkawinan sebagaimana pasal 9 UU

Perkawinan. Oleh karena perkawinan batal, maka status anak

bukan anak sah sebagaimana pasal 42 UU Perkawinan,

72
melainkan anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan

keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya sesuai pasal 43

UU Perkawinan. Meskipun dalam akta kelahiran sebagai bukti

asal-usul anak sesuai dengan pasal 55 ayat (1) UU

Perkawinan tercantum nama bapak dan ibu dari anak

tersebut.

2. Saran

a. Hendaknya mengenai harta benda dalam perkawinan

tersebut dijanjikan, agar ketika perkawinannya dibatalkan

perjanjian perkawinan tersebut dapat digunakan sebagai

dasar untuk membagi harta benda dalam perkawinan

tersebut.

b. Hendaknya perkawinan yang tidak dipenuhi syarat terutama

larangan untuk melangsungkan perkawinan tersebut

dinyatakan batal demi hukum konsekuensinya tidak perlu

mengajukan permohonan pembatalan, agar status anak

menjadi jelas yaitu anak luar kawin bukan dikecualikan

sebagaimana pasal 26 ayat (2) huruf a UU Perkawinan dan

tidak perlu mengajukan permohonan perubahan akta.

73
74

74
DAFTAR BACAAN

Buku Referensi

Djamali, Abdul, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I,


Hukum Islam II), Mandar Maju, Bandung, 1992.

Dellyana, Shanty, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty,


Yogyakarta, 1988.

Gosita, Arif, Maslah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo,


Jakarta, 1984.

Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul


Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti,
Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada


Media Group, Jakarta, 2006.

Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,


Bulan Bintang, 1984.

Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata


Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup. Jakarta,
2006.

Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut , Azas-azas Hukum


Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1999.

Prawirohamidjojo, Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-


undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University
Press, Surabaya, 2001.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur


Bandung, Jakarta, 1974.

Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Legal


Center Publishing, Jakarta, 2002.

75
76

Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1987.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang


Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Soimin, Soedarjo, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika,


Jakarta, 2001.

Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum


Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1996.

_______, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka


Cipta, Jakarta, 1993.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermusa, Jakarta, 1978.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta,


2005.

Vollmar, Hukum Perdata, Bagian I, Cetakan ke-2, Rajawali,


Jakarta, 1993.

_______, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1, Rajawali,


jakarta, 1989.

Wignjodipuro, Surojo, Asas-asas Hukum Adat., Gunung Agung,


Jakarta, 1982.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,


talak dan Rujuk

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

76
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

77
78

DAFTAR BACAAN

Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I,


Hukum Islam II), Mandar Maju, Bandung, 1992.

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam


Di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup. Jakarta, 2006.

Arif Gosita, Maslah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo,


Jakarta, 1984.

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum


Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1999.

Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul


Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti,
Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989.

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,


Bulan Bintang, 1984.

K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1987.

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Legal


Center Publishing, Jakarta, 2002.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada


Media Group, Jakarta, 2006.

Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty,


Yogyakarta, 1988.

Soedarjo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika,


Jakarta, 2001.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang


Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-

78
undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University
Press, Surabaya, 2001.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermusa, Jakarta, 1978.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta,


2005.

Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat., Gunung Agung,


Jakarta, 1982.

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum


Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1996.

_______, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka


Cipta, Jakarta, 1993.

Vollmar, Hukum Perdata, Bagian I, Cetakan ke-2, Rajawali,


Jakarta, 1993.

_______, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1, Rajawali,


jakarta, 1989.

Wirjono Pradjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur


Bandung, Jakarta, 1974.

Konsideran UU No. 4 Tahun 1979, huruf a dan b.

Konsideran UU No. 3 Tahun 1997.

Sumber Dinas Kependudukan Kotamadya Surabaya.

79
80

80
Perang komentar antara keluarga Ria Irawan, Jun Mahir dan Maudy
Wilhelmina tampaknya akan berujung serius. Gara-gara Ria
mendapat tanggapan sengit Jun Mahir serta SMS bernada teror dari
Maudy, keluarga Irawan pun merapatkan barisan.
Bersama sang kakak, Dewi, dan ibu mereka, Ade Irawan, Ria
akhirnya memilih untuk meladeni tanggapan pasangan yang tengah
menjalani proses cerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
tersebut, “Pada kesempatan ini, saya minta maaf kepada Jun Mahir,
kalau ada salah secara pribadi. Tapi untuk Maudy Wilhelmina, tetap
saya mau gampar/ Dan sekali maling tetap maling.”
Meski Ria terlihat begitu emosional dalam mengungkapkan
kekesalannya atas Maudy, namun, pihak keluarga menganggap
wajar reaksi Ria tersebut, setidaknya dari bukti-bukti otentik yang
berhasil dikumpulkan.
Baik Dewi maupun Ade tak sungkan mengungkapkan adanya
kebohongan serta penghinaan yang dilakukan pasangan Jun dan
Maudy terhadap keluarga besar irawan.
Bagaimana tidak, Jun mengaku-aku sebagai jejaka, saat menikahi
Maudy, 7 Agustus 1998 silam di KUA Cimenyan, Bandung, Jawa
Barat. Padahal. Kala itu, bapak satu putri itu masih berstatus
sebagai suami Dewi, yang tak lain adalah adik Ira. Jun sendiri baru
resmi bercerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, 16 Desember
1998.
Hal lain yang membuat keluarga Irawan marah besar adalah sikap
Maudy yang meneror Atrie, kakak Ria, yang nota bene adalah
mantan istri Jun Mahir. Tak hanya itu, komentar Jun yang menyebut
Ria sebagai biang ribut kembali menyulut dendam lama keluarga
Irawan, kepada lelaki yang berprofesi sebagai juru kamera
tersebut.
Secara jujur, Ria mengungkapkan bila ia tak bisa membendung rasa
geram dan dendam terhadap Maudy, yang dianggapnya telah
merusak rumah tangga sang kakak.
Karena itu, ia tak bisa tinggal diam, saat ada momen gugatan cerai
Jun terhadap Maudy, karena itulah saat ia bisa membongkar aib
Jun dan Maudy, yang telah mengkhianati kakak serta keluarga
besarnya. Langkah yang Ria tempuh itu juga mendapat dukungan
dari pihak keluarga.
Bersiap Menggugat Melalui Jalur Hukum

81
82

Ria ternyata tak sekedar menggertak sambal dua orang yang telah
menyakiti hati kakak kandungnya. Berbekal setumpuk bukti otentik
tentang berkas – berkas pernikahan sekaligus perceraian Jun dan
Maudy yang berhasil dikumpulkan, keluarga Irawan benar-benar
siap menyeret pasangan tersebut ke jalur hokum, lantaran telah
menghina keluarga mereka, karena memalsukan data saat
menikahi Maudy, Agustus 1998 silam.
“Setelah kemarin keluarga ketemu dengan Gusti (Gusti Randa
Red.), untuk membela keluarga, Gusti melihat bahwa Jun Mahir
telah melakukan pelecehan dan perbuatan tidak menyenangkan
terhadap keluarga gue, terhadap adanya penipuan data di
pengadilan agama,” papar Ria.
Tindakan tegas ini diambil keluarga Irawan, lantaran merasa muak
dengan kebohongan publik yang telah dilakukan Jun serta sikap
masa bodoh Maudy wilhemina yang dianggap telah merebut suami
orang.
Sementara itu, baik Jun maupun Maudy, yang dimintai komentar
seputar sikap keluarga irawan, atas perlakuan mereka terhadap
Atrie Irawan, 10 tahun lalu, seolah tak mampu berbicara apa –
apa.

Seperti biasa, Maudy mengaku tak tahu harus bagaimana


berkomentar, sementara sang suami berkelit tidak lagi mengingat
apa yang ia perbuat, saat terdesak untuk menikahi Maudy
wilhemina, sehingga nekad mengaburkan data dirinya, dengan
status perjaka. Padahal kala itu, ia masih beristrikan Atrie, yang
saat itu belum genap dua bulan melahirkan anak pertama
mereka. Tim Kroscek

Ade Irawan: Moudy Nggak Ngerebut, Tapi Memangsa! ... Mungkin ada hal-
hal yang membuat atau menekan Jun untuk segera menikahi Moudy karena
kan diketahui ...
www.kapanlagi.com/h/0000255004.html - 25k - Tembolok - Halaman sejenis

Ade Irawan: Moudy Nggak Ngerebut, Tapi Memangsa!

Rabu, 08 Oktober 2008 16:28


Kapanlagi.com - Usai Ria Irawan yang marah besar pada Moudy Wilhelmina gara-gara
menyebut bahwa ia bukan perebut suami orang, kini giliran sang mama Ade Irawan yang
naik pitam. Ade merasa tersinggung atas pernyataan-pernyataan yang menyinggung

82
putrinya, Shinta Safitri Dewi (Apri Irawan) - yang pernah berstatus sebagai istri dari suami
Moudy, Junaidi Ahmadi alias Jun Mahir.
Sebelumnya, Jun Mahir pernah menuduh Ria mencari popularitas karena menjadi artis
yang tidak laku dengan masalah rumah tangganya yang berantakan bersama Moudy.
Perkataan itu jelas saja menyinggung Ria Irawan. Akhirnya, keluarga besar Irawan yang
dihadiri Ade, Ria, dan didampingi pengacara mereka, Gusti Randa, mengadakan jumpa
pers demi meluruskan masalah ini.
Dalam jumpers yang diadakan di Cafe Connesioure di Citos, Jakarta, Rabu (8/10) siang tadi,
Ade yang tak terima dengan pernyataan Jum yang mengaku masih single mengungkapkan,
"Saya lupa periksakan Jun ke dokter kalau dia itu amnesia. Waktu anaknya lahir sebulan,
sudah mau kawin lagi."
Ade menjelaskan, akte perceraian Apri dan Jun tercatat pada 19 Desember 1998,
sementara akte nikah Jun dengan Moudy didata pada 7 Agustus 1998. Terang saja hal
itu menimbulkan kejanggalan. Dan dengan tegas Ade meminta agar Moudy tidak
memberikan keterangan yang salah dan menyudutkan keluarga Irawan atas kehancuran
rumah tangganya sendiri.
"Jangan pernah mengaku kalau dia (Moudy) ditipu Jun Mahir. Mungkin ada hal-hal yang
membuat atau menekan Jun untuk segera menikahi Moudy karena kan diketahui bahwa
anaknya Moudy itu lahir 7 bulan setelah dia menikah. Berarti kan ada kemungkinan
sebelum menikah mereka memang sudah ada hubungan atau mungkin bahkan hubungan
dengan lelaki lain," tukas bintang film senior ini.
Ria yang mendampingi sang ibu juga tak mau terima dengan pernyataan Moudy bahwa
dirinya bukan perebut suami orang. "Moudy jangan berharap bahwa dia itu nggak merebut
suami orang, kan dia ngomong di infotainment bahwa dia tidak merebut suami orang," ujar
Ria emosi. Menanggapi omongan Ria, Ade pun tak mau kalah, "Dia itu memang nggak
ngerebut suami orang, tapi memangsa."
Diakui Ade, sebenarnya Apri pun sudah mengetahui bahwa dirinya diselingkuhi. Bahkan Apri
sempat minta dipulangkan ke rumah orang tuanya saja karena Jun juga jarang pulang ke
rumah. "Daripada lihat Jun sama Moudy terus," kata Ade.
Sementara menanggapi omongan Moudy bahwa dia tidak mengenal keluarga Irawan, Ria
malah menepisnya dengan santai. "Gue yang bikin dia jadi artis. Kalau dia bilang nggak
dekat sama keluarga Irawan, gue jadi ngerasa bego ngomongin orang bego. Makanya
sekarang kita minta tolong Gusti Randa karena udah nyangkut masalah hukum. Kalau
masalah gue sama Jun sih peace aja deh, karena Jun tetap bapak dari ponakan gue,"
pungkas Ria. (kpl/ang/boo)

Lihat Profil: Moudy Wilhelmina, Ria Irawan, Ade Irawan, Gusti Randa

Sampai sidang selesai tadi, ia merasa tidak ada gangguan atau pun sesuatu

83
84

... Ria Irawan: Gue Yang Jadiin Moudy Artis · Ade Irawan Sebut Moudy
Wilhelmina ...
www.detikhot.com/read/2008/10/20/120540/1022748/230/moudy-wilhelmina-
diganggu-kakak-ria-irawan - 30k - Tembolok - Halaman sejenis
KOMENTAR PEMBACA
Jakarta Bintang sinetron Moudy Wilhelmina menguggat cerai suaminya Junaidi Mahir. Saat
sidang cerai berjalan, Senin (20/10/2008) ini kakak Ria Irawan, Ati Irawan melakukan intervensi.

Intervensi itu dilakukan Ati melalui kuasa hukumnya Gusti Randa. Gusti memasukkan surat
gugatan intervensi ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

"Gugatan intervensi dilakukan agar persidangan ditunda, dipending selama 14 hari. Karena
sebenarnya si Jun itu telah menipu institusi dan lain-lain," tutur mantan suami Nia Paramitha itu
saat ditemui di PA Jakarta Selatan, Senin (20/10/2008).

Gugatan tersebut diajukan Ati Irawan karena ia tak mau nantinya Pengadilan Agama salah
langkah. Pernikahan Moudy-Junaidi yang sebenarnya tidak sah, nantinya malah dikabulkan
untuk bercerai.

Soal gugatan intervensi tersebut, kuasa hukum Moudy, Yudianta MN Simbolon mengaku belum tahu.
"Saya nggak tahu, nggak ada surat apa-apa sampai sidang selesai," tutur Yudianta usai sidang cerai
kliennya yang hanya berjalan kurang lebih 5 menit itu.

Dilanjutkan Yudianta, sidang gugatan cerai Moudy, Senin (20/10/2008) ini mengagendakan pengajuan
bukti tertulis. Sampai sidang selesai tadi, ia merasa tidak ada gangguan atau pun sesuatu yang
mempersulit.(eny/eny)

Rabu, 29 Oktober 2008


Suami Moudy Wihelmina Dilaporkan ke Polisi

Tampaknya, gertakan oleh keluarga Ria Irawan kepada Jun Mahir itu tidak main-main. Merasa
sangat sakit hati lantaran telah dibohongi oleh Jun Mahir, keluarga Irawan itu langsung naik pitam.
Ade irawan beserta Gusti Randa melaporkan tindakan suami Moudy Wihelmina itu ke Polres Jakarta
Selatan. Jun Mahir diduga telah melakukan pemalsuan dokumen pernikahan. Akibat hal itu, Jun
Mahir bisa mendapat ancama tujuh tahun penjara.
“Ada kejanggalan pembuatan akta pernikahan Jun Mahir dengan Maudy Wihelmina. Itu akan
diproses di kepolisian. Berdasarkan bukti-bukti, Jun Mahir bisa dikenakan pasal 266 dengan
ancaman tujuh tahun penjara,” ungkap Gusti Randa, Kuasa Hukum Ria Irawan saat ditemui di Polres
Jakarta Selatan kemarin (28/10).
Sekedar informasi, Jun Mahir dan Moudy Wilhelmina menikah di KUA Cimenyan, Bandung,
beberapa tahun silam. Dalam surat nikah dan kartu identitasnya, Jun mengaku berstatus jejaka.
Padahal, Jun menikah dengan Moudy pada 7 Agustus 1998 dan bercerai dengan Savitri pada 16
Desember 1998. Itu berarti status Jun Mahir masih sebagai istri sah dari Savitri Irawan, kakak Ria
Irawan. Apalagi pernikahan Jun dengan Moudy terjadi pada saat Jun belum resmi bercerai dengan
Savitri.
Sementara itu, Moudy juga bisa terlibat dalam kasus ini, pasalnya apabila Moudy mengetahui bahwa
akta itu palsu dan membiarkannya berarti Moudy ikut serta terlibat. Akibatnya, Moudy juga bisa
dikenakan pasal 55 KUHP tentang membantu melakukan tindak kejahatan.
“Kalau Moudy tahu akta nikah itu palsu dan dia menikmatinya, artinya dia membiarkan tindak
kejahatan,” ungkap Gusti Randa.(SEN)

[ Kembali ] [ Atas ]

84
Artistainment - Asalnya dari gosip, selidiki faktanya
Djunaidi tanggapi komentar Ria Irawan yang selalu bikin ribut
Oktober 6, 2008 pada 7:55 pm · Disimpan dalam Artis Indonesia ·yang berkaitan
Djunaidi Mahier, Moudy Wilhelmina, Ria Irawan, Safitri Irawan

Perceraian Moudy Wilhelmina dengan Djunaidi Mahir membuat Ria Irawan ikut
berbicara yang maksudnya marah-marah dengan Moudy Wilhelmina yang katanya
melakukan zina dengan mantan suami kakaknya Ria Irawan, Safitri Irawan.
Menurut Djunaidi, Ria Irawan memang selalu bikin ribut seperti yang telah
diketahui Djunaidi selama masih menjadi suami Safitri Irawan.Djunaidi juga
mengatakan soal Ria Irawan seperti apa, hingga mengatakan seperti hal itu kepada
Moudy Wilhelmina dan secara otomatis juga melibatkan Djunaidi sebagai
pasangannya Moudy Wilhelmina.
“Yang mendengarkan omongan Ria Irawan sama aja orang gila. Kita tahu
bagaimana masa lalu Ria Irawan, kehidupannya juga. Kelakuannya bagaimana,
kalau urusan zina, itu hanya Tuhan yang tahu,” tutur Djunaidi.
Djunaidi tidak tahu penyebab Ria Irawan yang selalu bikin ribut, padahal hubungan
dengan Safitri Irawan sebenarnya baik-baik saja.
“Dia selalu bikin ribut, abang juga nggak tahu. Tapi hubungan saya dengan
yang dulu baik-baik aja,” tambah Djunaidi.
Djunaidi sebenarnya juga mengatakan kalau dirinya tidak menutup kemungkinan
balikan dengan Safitri Irawan akan tetapi Djunaidi merasa kurang nyaman dengan
Ria Irawan yang selalu bikin ribut.
“Tapi bagaimana bisa balikan lagi, orang dia selalu bikin ribut. Kalau dia diem
aja kan nggak masalah,” tandas Djunaidi.
Kalau memang Djunaidi masih ingin balikan dengan Safitri Irawan sebaiknya segera
dilakukan saja, namun Ria Irawan sebaiknya tahu diri untuk tidak terlalu mencampuri
terlalu dalam mengenai urusan keluarga mereka berdua. Demi perkembangan
anaknya Safitri Irawan dengan Djunaidi sebaiknya memang mereka seharusnya
balikan lagi. Ria Irawan please deh jangan suka urusi rumah tangga orang lain atau
kakakmu sendiri. Kamu sendiri bagaimana Ria ?

"Moudy dan Jun sudah resmi bercerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 27 Oktober lalu.
Permohonan talak Djunaidi pada Moudy dikabulkan. Empat belas hari setelah keputusan, ikrar talak
dibacakan," jelas Ary di Sari Kuring SCBD, Jakarta Pusat, Rabu (29/10).

85
86

Halo Tamu ▼| iklan | kontak | ketentuan layanan | tentang kami | site map
Cari

BLOG MOUDY WILHELMINA

Jun Mahir Siap Meminta Maaf


Kapanlagi.com - Pelaporan keluarga Irawan nampaknya ditanggapi enteng oleh pihak Jun
Mahir. Melalui pengacaranya, Arie Zulfikar, Jun bersikukuh kalau dirinya tak melakukan
pelanggaran. Namun, dia berencana meminta maaf secara pribadi kepada keluarga Irawan.

Selasa (28/10), Ade Irawan didampingi pengacaranya, Gusti Randa melaporkan Jun atas
tuduhan penipuan dan pemalsuan. Menanggapi hal ini pengacara Jun menegaskan kalau
prosedur itu tidak ada salahnya, tapi pihaknya tetap mengaku tak bersalah. "Setiap orang
berhak melaporkan apa pun itu ke polisi. Klien saya merasa tidak pernah merasa
memalsukan dokumen. Coba cek di KUA Cimenyan, Bandung. Di sana ada surat-surat
lengkap nikahan Jun sama Moudy. Soal pemalsuan kita tidak ambil pusing, karena yang
terpenting KUA telah mengeluarkan akta nikah pernikahan mereka," ujar Arie yang ditemui di
Restoran Sari Kuring, SCBD, Jakarta Selatan, Rabu (29/10).

Tapi pengacara Jun juga mengakui kalau kliennya memang mengaku perjaka, dan waktu
menikah dengan Moudy belum meminta izin pada Safitri Irawan, kakak Ria Irawan. "Yang
saya tahu, berdasar pengakuan dari Jun Mahir, Jun berstatus masih perjaka. Itu juga yang
terlampir di dokumen yang masuk di KUA. Jun bercerai sekitar bulan Desember 1998 dan
nikah dengan Moudy Agustus 1998. Jadi ketika menikah dengan Moudy Jun belum izin
dengan Fitri. Tapi yang terpenting pernikahan Jun dengan Moudy sudah sah secara agama
dan negara. Silahkan polisi memeriksa secara kompeten," ungkap Arie.

Walau sampai saat ini, baik Jun maupun keluarga Irawan belum melakukan komunikasi tapi
pihak Jun sudah berencana untuk meminta maaf secara pribadi. "Pada dasarnya Jun ingin
membicarakan secara kekeluargaan. Dia juga ingin minta maaf, tapi tolong dibicarakan dulu
dengan baik-baik jangan ngomong-ngomong ke infotainment," tambah pengacara
ini. (kpl/mai/erl)

86
Moudy Wilhelmina Resmi Janda

Kapanlagi.com - Menanggapi pelaporan keluarga Irawan di Polres Jakarta Selatan, Selasa


(28/10), Jun Mahir akhirnya menggelar preskon di Restoran Sari Kuring, SCBD, Jakarta
Selatan, Rabu (29/10). Jun tidak turut hadir dalam jumpa wartawan ini, namun diwakili
pengacaranya, Arie Zulfikar yang menjawab semua pertanyaan reporter.

Arie menjelaskan bahwa perceraian antara Jun dan Moudy Wilhelmina telah diputuskan
hari Senin (27/10) lalu. "Senin kemarin gugatan cerai Jun telah dikabulkan majelis hakim.
Sekarang hanya tinggal ikrar talak," ungkap Arie yang juga mengatakan Jun akan
menyelesaikan ikrar cerai pada 14 hari setelah putusan cerai.

Soal hak asuh anak dan harta juga sudah diputuskan. Masih menurut Arie, majelis hakim tak
terpengaruh dengan adanya intervensi dari keluarga Irawan, terbukti dengan dikabulkannya
gugat cerai ini. "Hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya, harta gono-gini dibagi dua. Majelis
hakim tidak terpengaruh terhadap gugatan itu. Buktinya gugat cerai bisa dikabulkan.
Sekarang mereka sudah pisah rumah," tambah pengacara ini. (kpl/mai/erl)

Ade Irawan Laporkan Jun Mahir ke Polres Jaksel

Kapanlagi.com - Keluarga Irawan nampaknya belum juga merasa cukup dengan perbuatan
Junaidi Mahir terhadap Safitri Irawan. Kali ini Ade Irawan didampingi pengacaranya, Gusti
Randa datang ke Polres Jakarta Selatan untuk melaporkan Jun yang telah membuat
dokumen palsu.

"Saya sudah single parent selama 19 tahun dan membesarkan anak sendirian. Dan
sekarang cucu saya nggak diakui sama bapaknya. Ibu mana yang nggak sakit hati, di sini
saya mau penegakan hukum. Setelah ada berita di infotainment saya langsung bergerak cari
bukti pernikahan mereka (Jun dan Moudy). Akhirnya di temukan di KUA Cimenyan,
Bandung," ungkap Ade Irawan yang ditemui di Polres Jaksel Selasa (28/10).

Pelaporan ini menurut Gusti Randa demi memberikan bukti tambahan soal dugaan
pemalsuan dokumen yang dilakukan Jun. "Kita memberikan tambahan bukti-bukti otentik,
yang diduga telah dipalsukan. Kalau itu benar palsu berarti tidak terjadi pernikahan. Itu
sangat disayangkan, karena ada dokumen palsu seperti yang tertera dalam akte. Jun
statusnya perjaka padahal dia masih jadi bapak atau suami Safitri. Kalau pernikahannya
palsu, tidak sesuai dengan undang-undang karena ada anak dalam perkawinan sebelumnya.

87
88

Jadi status Emir (anak Safitri dan Jun) bisa hangus. Jun juga membuat dan melakukan
keterangan palsu pada KUA Cimenyan, Bandung," ungkap Gusti yang mendampingi Ade.

Junaidi dan Moudy Wilhelmina menikah pada Agustus 1998, sedang Junaidi mengajukan
gugat cerai pada Safitri pada bulan Desember 1998. Jika terbukti terjadi pemalsuan
dokumen, Jun akan dikenai pasal 266, soal pemalsuan dan terancam hukuman tujuh tahun
penjara. Sedang Moudy dapat dijerat dengan pasal 55 karena ikut membantu melakukan
kejahatan dengan ancaman hukuman 1 sampai 2 tahun. (kpl/buj/erl)

Moudy Wihelmina 'Kecoh' Pemburu Berita

Kapanlagi.com - Tampaknya, aktris wanita, Moudy Wilhelmina, tak ingin masalah yang
sedang dihadapinya diketahui oleh publik. Ketika di jumpai di lokasi syuting sinetron
YASMIN, di jalan Sapi Perah 9a, Pondok Rangon, Cibubur, Jakarta Timur, Kamis (22/10/08),
Moudy lebih memilih diam dan mengacuhkan para pemburu berita. Moudy menyatakan,
urusan tersebut adalah urusan hukum dan bukan kewenangannya untuk berbicara.

"Hubungi lawyer aku saja. Ini kan urusan legal. Aku ngertinya cuma urusan sinetron saja,"
tukas Moudy sinis ketika ditanya perihal masalah pribadinya tersebut.

Beberapa waktu kemudian, Moudy memberikan nomor telepon pengacaranya, agar para
wartawan bisa menghubunginya. Ketika dihubungi oleh para wartawan, ternyata nomor
pengacara yang diberikan oleh Moudy tidak terdaftar. Dengan Kata lain, Moudy telah
membohongi para pemburu berita, demi privasinya.

Yang membuat para pemburu berita sedikit geram, setelah kejadian tersebut, Moudy
langsung meninggalkan lokasi syuting dengan mengendarai mobil Toyota Yaris hitam,
bernomor polisi B 1581 FI, sembari melepas senyum sinis kepada para wartawan. Moudy
juga sempat mengatakan agar para wartawan bisa datang langsung ke Jalan Sepat, Pasar
Minggu, Jakarta Selatan, jika ingin mendapat berita tentangnya. (kpl/ang/dna)

Ria Irawan, Pemalsuan itu Berbahaya

Kapanlagi.com - Aktris Ria Irawan mengakui jika keluarganya telah melaporkan Junaidi
Bahir ke polisi. Katanya, dia ingin masyarakat Indonesia mengetahui kabar yang sebenarnya
terjadi.

"Biar masyarakat Indonesia tahu dan bisa melek hukum serta siapa itu Junaidi Mahir yang

88
sebenarnya. Dan kalau pemalsuan itu dalam bentuk apapun sangat berbahaya," kata Ria
Irawan saat dihubungi wartawan, Senin (2O/10).

Anak kandung artis Ade Irawan itu menjelaskan kenapa pihak keluarganya baru
mengangkat kasus ini sekarang karena bukan ingin mencari sensasi.

"Jika Jun bilang gue mau cari sensasi itu salah. Keluarga memiliki bukti-bukti itu sekarang ini.
Makanya kita baru bisa melaporkan sekarang barengan dengan sidang cerai mereka,"
ungkap Ria. "Yang pasti pernikahan Jun dan Moudy itu penuh dengan kepalsuan karena
Jun masih berstatus istri kakak saya saat menikahi Moudy," tambah Ria.

Saat disinggung mengenai sikap sang ibu, Ade Irawan, Ria mengaku jika ibunya sempat
marah saat tahu Jun telah menceraikan anaknya. "Tapi sekarang Mama sudah tidak marah
lagi, kemarahannya sudah berlalu. Cuma masih kecewa. Kalau kakak saya, Arti, malah baik-
baik saja," ujar Ria.

Ade Irawan, kata Ria, menganggap jika Junaidi harus memeriksakan dirinya ke psikiater.
"Kalau marah itu rugi besar karena Jun memang harus memeriksakan kejiwaannya ke
psikiater. Dia itu sudah amnesia akut," ujar Ade seperti diucapkan Ria. (kpl/mai/npy)

Lihat profil: Moudy Wilhelmina, Ria Irawan, Ade Irawan


Diposting oleh: Editor | Senin, 20-10-2008 |

Keluarga Irawan Laporkan Jun Mahir ke Polisi

Kapanlagi.com - Keluarga Irawan nampaknya bertekad untuk menempuh jalur hukum untuk
kasus dari masa lalu. Setelah perbuatan Junaedi Mahir, mantan suami Safitri Irawan yang
dianggap memalsukan statusnya demi menikahi Moudy Wilhelmina, selain melakukan
gugatan intervensi di sidang talak Moudy - Jun, keluarga ini juga melaporkan Jun ke polisi.

Menurut Gusti Randa selaku kuasa hukum yang ditunjuk keluarga Irawan, tindakan Junaedi
telah dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan dengan pasal 263 dan 266, soal pemalsuan. Dan
sekitar dua minggu lagi akan dilakukan pemanggilan.

Setelah komentar Moudy di sebuah tabloid, keluarga Irawan pun unjuk bicara, mereka
menguak kembali peristiwa masa lalu yang sudah bertahun-tahun didiamkan. Keluarga
Irawan bersikukuh kalau saat Moudy menikah dengan Junaidi, waktu itu posisi dia masih
sebagai pria beristri. Mereka menikah tiga bulan sebelum perceraian Junaidi dengan Safitri
Irawan resmi. (kpl/mai/erl)

89
90

Keluarga Irawan Ajukan Gugat Intervensi

Kapanlagi.com - Bertepatan dengan sidang lanjutan kasus gugat cerai Moudy Wilhelmina -
Junaedi Mahir, keluarga Irawan menunjuk perwakilannya, Gusti Randa untuk mengajukan
gugatan intervensi dalam sidang talak tersebut. Pihak keluarga Irawan menganggap perlu
melakukan tindakan ini demi meluruskan hukum, pasalnya pernikahan Moudy dan Jun
dianggap tidak sah.

"Pernikahan Moudy dan Junaedi Mahir tidak sah, karena Junaedi telah melakukan penipuan,
yaitu pemalsuan surat nikah," ungkap Gusti Randa yang ditemui di PA Jaksel.

Pemalsuan surat nikah ini memang baru mencuat beberapa waktu lalu. Padahal peristiwa itu
sudah berlangsung selama beberapa tahun lalu. Menurut Gusti, keluarga Irawan hanya
hendak meluruskan hukum dengan melakukan intervensi ini. "Kalau misalnya gugatan
intervensi diajukan, perceraian itu nggak perlu ada, karena tidak ada pernikahan," terang
Gusti.

Keluarga Irawan yang kebakaran jenggot dengan komentar Moudy di sebuah tabloid,
beberapa waktu lalu sempat menggelar konferensi pers untuk memberikan penjelasan.
Ketika Moudy menikah dengan Jun, saat itu posisinya dia masih sebagai pria beristri.
Mereka menikah tiga bulan sebelum perceraian Junaidi dengan Safitri Irawan (kakak Ria
Irawan) resmi. (kpl/mai/erl)

7 Agustus 1998 silam di KUA Cimenyan, Bandung, Jawa Barat

Akta Nikah No. 401/1/1977

7 Agustus 1998 silam di KUA Cimenyan, Bandung, Jawa Barat

90
DAFTAR ISI

Halama

n
HALAMAN JUDUL …………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………… ii

KATA PENGANTAR………………………………………………....... iii

DAFTAR v

ISI……………………………………………………………... 1

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1

1. Latar Belakang Masalah …………………. 5

…………… 6

2. Rumusan Masalah 6

…………………………………….. 7

3. Tujuan Penelitian 15

…………………............................... 15

4. Manfaat Penelitian 15

…………………………………….

5. Kerangka Teoritis dan 16

Konseptual .............................. 17

6. Metodologi Penelitian

……………………………........

91
92

a. Pendekatan Masalah 19

………………………………. 19

b. Bahan Hukum 30

…………………………………… 38

c. Prosedur Pengumpulan dan

Analisis Bahan Hukum 47

…………………………………… 47

………… 58

7. Pertangungjawaban Sistematika

…………………….. 64

71

BAB II STATUS HARTA PERKAWINAN YAGN TIDAK 71

MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN ……………….. 72

1. Perkawinan dan Syarat

Perkawinan ............................

2. Harta Benda Dalam

Perkawinan ..................................

3. Pembatalan Perkawinan dan

Akibatnya ....................

BAB III STATUS DAN HAK NAK YANG DILAHIRKAN DARI

92
HASIL PERKAWINAN ANTARA MOUDY

WILHELMINA DENGAN JUNAIDI AHMADI ..............

1. Status Anak Dalam

Perkawinan ..................................

2. Kewajiban Orang Tua Terhadap

Anak .......................

3. Status Anak yang Perkawinan Orang Tuanya

Dibatalkan .......................................................

................

BAB IV

PENUTUP ..............................................................

................

1. Kesimpulan .....................................................

................

2. Saran ..............................................................

...................

DAFTAR BACAAN

93

You might also like