You are on page 1of 36

Adi Prasetyo (406091011)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan karunia-Nya referat yang berjudul ”Diabetes Melitus” ini dapat diselesaikan. Referat ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta periode 16 Agustus
2010 – 30 Oktober 2010.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Wigati, Sp. PD, dr
Taufiq, Sp. PD dan dr. Yassir, Sp. PD atas bantuan dan bimbingannya, serta kepada semua pihak
yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan referat ini.

Dalam penyusunan referat ini, penulis berusaha mendapat informasi dan referensi dari
buku ajar dan internet yang berhubungan dengan tema referat ini. Adapun demikian penulis
menyadari masih banyak kekurangan dari referat ini, baik dari segi penulisan maupun dari segi
isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Terima kasih.

Jakarta, Oktober 2010

Penulis

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.

EPIDEMIOLOGI

Diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes
adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya
urbanisasi, populasi DM tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku
rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan
adalah : bertambahnya usia, lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas
jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.

ETIOLOGI

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Melitus Tergantung Insulin
(DMTI) disebabkan oleh destruksi sel β pulau Langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak Tergantung
Insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin
adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi
2

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini
terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan
glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.

PERKEMBANGAN KLASIFIKASI DIABETES MELITUS

Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes tetapi sebenarnya ada yang
berpendapat diabetes hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin. Individu yang
kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes ”juvenile onset” atau
”insulin dependent” atau ”ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam
beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang
”stable” atau ”maturity onset” atau ”non-insulin dependent”. Orang-orang ini hanya
menunjukkan defisiensi insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin
memerlukan suplementasi insulin (insulin requiring), tidak akan terjadi kematian karena
ketoasidosis walaupun insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat
kenaikan jumlah insulin secara absolut bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini
biasanya berhubungan dengan obesitas dan/ atau inaktifitas fisik.

Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi lagi atas
kelompok kecil. Pada satu kelompok besar ”IDDM” atau DM Tipe I, terapat hubungan dengan
HLA tertentu pada kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi
virus pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan patogenesis
diabetes. Pada percobaan binatang, virus dan toksin diduga berpengaruh pada kerentanan proses
autoimunitas ini.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Kelompok besar lainnya (NIDDM atau DM tipe II) tidak mempunyai hubungan dengan
HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering
memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup.

Dalam terminologi juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO 1985 tidak
lagi terdapat istilah tipe I dan tipe II. Tetapi karena istilah ini sudah mulai dikenal umum, maka
untuk tidak membingungkan maka kedua istilah ini masih dapat dipakai tetapi tanpa mempunyai
arti khusus seperti implikasi etiopatogenik. Istilah ini pun kemudian kembali digunakan oleh
ADA pada tahun 1997 sampai 2005, sehingga DM tipe I dan tipe II merupakan istilah yang saat
ini dipakai ketimbang NIDDM dan IDDM.

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS (ADA 2009)

1. DM tipe I (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut).

a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik

2. DM tipe II (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin).

3. DM tipe lain

a. Defek genetik fungsi sel beta

- Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)

- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

- Kromosom 20. HNF α (dahulu MODY 1)

- Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria

b. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson
Mendenhall diabetes lipoatrofik

c. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis


kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus

d. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme


somatostatinoma, aldosteronoma

e. Karena obat / zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon
tiroid, diazoxid, aldosteronoma

f. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya

g. Imunologi : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s,


ataksia Friedrich’s,Chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonik,
porfiria, sindrom Prader Willi.

h. Diabetes kehamilan.

MANIFESTASI KLINIS

Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia, poliuria,
polidipsia, lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah
kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

DIAGNOSIS
5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200
mg/dL atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya selama 8 jam. Bila hasil
pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO diperlukan untuk memastikan
diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa kadar
glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah
2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal.
Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat, dll.

KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELITUS

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L).

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir; atau

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan
tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 20 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

NILAI ATAU INDEKS DIAGNOSTIK LAINNYA

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Definisi keadaan diabetes atau gangguan toleransi glukosa tergantung pada pemeriksan
konsentrasi glukosa darah. Beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat berguna dalam
menentukan subklas, penelitian epidemiologi, dalam menentukan mekanisme dan perjalanan
alamiah diabetes.

Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2 bagian :

Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta. Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan
konsentrasi insulin, pro-insulin, dan sekresi peptida penghubung (C-peptide). Nilai Glycosilated
haemoglobin, nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa
juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.

Indeks proses diabetogenik. Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat
dilakukan penentuan tipe dan sub-tipe HLA; adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang
ditujukan pada pulau-pulau Langerhans (islet cell antibodies), anti GAD (Glutamic Acid
Decarboxylase) dan sel endokrin lainnya adanya cell-mediated immunity terhadap pankreas;
ditemukannya susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit lain
pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya.

KRITERIA DIAGNOSTIK DIABETES MELITUS DAN

GANGGUAN TOLERANSI GLUKOSA

1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dL

2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dL atau

3. Konsentrasi glukosa darah > 200 mg/dL pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada
TTGO.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
7

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan risiko tinggi untuk DM,
yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga
DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi > 4000g, riwayat DM pada kehamilan,
dan dislipidemia.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu.


Kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
standar. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, perlu
pemeriksaan penyaring ulangan setiap tahun. Bagi pasien berusia >45 tahun tanpa faktor risiko,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM

Bukan DM Belum Pasti DM Pasti DM

Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dL)

Plasma Vena < 100 110 – 199 > 200

Darah Kapiler < 90 90 – 199 > 200

Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dL)

Plasma Vena < 100 110 – 125 > 126

Darah Kapiler < 90 90 – 99 > 100

Cara pemeriksaan TTGO (WHO 1994) :

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa.

2. Pasien puasa semalam selama paling sedikit 8 jam dimulai malam hari sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

3. Periksa kadar glukosa darah puasa.

4. Berikan 75 g glukosa (untuk dewasa) atau 2,75 g (untuk anak-anak) yang dilarutkan
dalam 250 mL air dan diminum dalam waktu 5 menit.

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam


setelah minum larutan glukosa.

6. Periksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.

7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu :

• < 140 mg/dL  normal

• 140 -< 200 mg/dL  toleransi glukosa terganggu

• ≥ 200 mg/dL  diabetes

KOMPLIKASI

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

1. Akut

a. Koma Hipoglikemia

b. Ketoasidosis

c. Koma hiperosmolar nonketotik

2. Kronik

a. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar; pembuluh darah jantung, pembuluh


darah tepi, pembuluh darah otak.

b. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil; retinopati diabetikum, nefropati


diabetikum.

c. Neuropati diabetik

d. Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru, gingivitis dan infeksi saluran kemih.

e. Kaki diabetik

PENATALAKSANAAN

10

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Dalam jangka pendek, penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan keluhan /


gejala DM. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi. Tujuan
tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa, lipid dan insulin. Untuk
mempermudah tercapainya tujuan tersebut, kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan
pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri.

Kerangka utama penatalakasanaan DM yaitu perencanaan makan, latihan jasmani, obat


hipoglikemik, dan penyuluhan.

TERAPI NON FARMAKOLOGIS PADA DIABETES MELITUS

Terapi Gizi Medis

Prinsip terapi gizi medis adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

Tujuan terapi gizi medis adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah mendekati normal :

a. Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dL

b. Glukosa darah2 jam post prandial < 180 mg/dL

c. Kadar A1C < 7 %

2. Tekanan darah < 130 / 80 mmHg

3. Profil lipid :

a. Kolesterol LDL < 100 mg/dL

11

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

b. Kolesterol HDL > 40 mg/dL

c. Trigliserida < 150 mg/dL

4. Berat badan senormal mungkin

Target pencapaian terapi gizi medis ini difokuskan pada perubahan pola makan yang
didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang
perlu diberikan prioritas.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetisi antara lain tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, faktor
usia, faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia
tua, dan lain lain.

Pada keadaan infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme tinggi perlu dipertimbangkan
pemberian nutrisi khusus.

Selain itu juga perlu diperhatikan status ekonomi, lingkungan, kebiasaan atau tradisi serta
kemampuan petugas kesehatan yang ada. Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah,
komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat melakukan
perubahan polam makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan
sehari-hari. Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat,
protein, lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral.

Jenis Bahan Makanan

12

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

A. Karbohidrat

1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih ditentukan
oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.

2. 60-70 % dari total kebutuhan kalori per hari berasal dari sumber karbohidrat.

3. Jika ditambah MUFA (monounsaturated fatty acid) sebagai sumber energi, maka
jumlah karbohidrat maksimal 70 % dari total kebutuhan kalori per hari.

4. Jumlah serat 25-50 gram per hari.

5. Jumlah sukrosa tidak perlu dibatasi, tetapi tidak melebihi total kalori per hari.

6. Sebagai pemanis, dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartam,
acesulfam dan sukralosa.

7. Penggunaan alkohol dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/hari.

8. Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.

9. Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

B. Protein

1. Kebutuhan protein 15-20 % dari total kebutuhan energi per hari.

2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.

3. Pada keadaan glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg
BB per hari.

13

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg
BB/hari dan tidak kurang dari 40 gram dan perlu diberikan suplemen asam amino
esensial.

5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan
dari protein hewani.

C. Lemak

1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, maksimal 10 % dari total
kebutuhan kalori per hari.

2. Jika kolesterol LDL ≥ 100 mg/dL, asupan asam lemak diturunkan sampai 7 % dari total
kalori per hari.

3. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kolesterol LDL ≥ 100 mg/dL, maka
konsumsi kolesterol maksimal adalah 200 mg/hari.

4. Batasi asupan asam lemak dalam bentuk trans.

5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukup kebutuhan asam lemak tidak jenuh
rantai panjang.

6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10 % dari asupan kalori per
hari.

14

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Perhitungan Jumlah Kalori

Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya stres akut, dan
kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus
Brocca.

Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT

• BB kurang < 18,5

• BB normal 18,5 – 22,9

• BB lebih ≥ 23,0

o dengan risiko 23 – 24,9

o Obese I 25 – 29,9

o Obese II ≥ 30

Penentuan Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca

Pertama-tama menentukan BB idaman dengan rumus :

BB idaman = (TB cm – 100) – 10 %

Untuk laki-laki dengan TB < 160 cm, wanita < 150 cm, perhitungan BB idaman tidak
dikurangi 10 %.

Penentuan status gizi dihitung dari = (BB aktual : BB idaman) x 100 %

• BB kurang BB < 90 % BBI

• BB normal BB 90 – 110 % BBI

15

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

• BB lebih 110 – 120 % BBI

• Gemuk BB > 120 % BBI

Penentuan kebutuhan kalori per hari :

1. Kebutuhan basal

 Laki-laki = BB idaman (kg) x 30 kalori

 Wanita = BB idaman (kg) x 25 kalori

2. Koreksi atau penyesuaian

 Usia > 40 tahun = - 5 %

 Aktivitas ringan (duduk-duduk, nonton televisi, dsb) = + 10 %

 Aktivitas sedang (kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat,


dokter ) = + 20 %

 Aktivitas berat (olahragawan, tukang becak, dsb) = + 30 %

 BB gemuk = - 20 %

 BB lebih = - 10 %

 BB kurus = + 20 %

3. Stres metabolik (infeksi, operasi, stroke, dll) = + 10 – 30 %

4. Kehamilan trimester I dan II = + 300 kalori

5. Kehamilan trimester III dan menyusui = + 500 kalori

16

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Makanan tersebut terbagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20 %, makan siang 30 %, makan
malam 25 % serta 2-3 porsi ringan 10-15 % di antara makan besar.

Latihan Jasmani

Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat
pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skelet lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi
basal paru, dibutuhkan pleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari.

Latihan jasmani pada diabetisi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang


dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan dan tingkat kebugaran, juga oleh kadar insulin
plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh.

Pada DM tipe II, latihan jasmani dapat memperbaiki kondali glukosa secara menyeluruh,
terbukti dengan penurunan konsentrasi HbA1c, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan
resiko komplikasi diabetes dan kematian. Selain itu, latihan jasmani akan memberikan pengaruh
yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arteriil, sensitivitas barorefleks, vasodilatasi
pembuluh yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit, hasil perbandingan antara
denyut antung dan tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif), hipertrigliseridemia dan
fibrinolisis. Angka kesakitan dan kematian pada diabetisi yang aktif, 50 % lebih rendah
dibanding mereka yang santai.

Pada DM tipe I, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan metabolik, hingga kendali
gula darah bukan merupakan tujuan latihan. Tetapi latihan endurance terbukti akan memperbaiki
fungsi endotel vaskular.

Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani secara teratur akan memperbaiki
kapasitas latihan aerobik, kekuatan otot dan mencegah osteoporosis.

17

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Prinsip Latihan Jasmani bagi Diabetisi

• Frekuensi : 3-5 kali per minggu secara teratur

• Intensitas : ringan dan sedang (60-70 % Maximum Heart Rate)

• Durasi : 30 – 60 menit

• Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan


kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda.

Untuk menentukan intensitas latihan dapat digunakan rumus :

Maximum Heart Rate (MHR) yaitu = 220 – umur

Setelah MHR didapatkan, dapat ditentukan Target Heart Rate (THR).

Misal : suatu latihan bagi seorang diabetisi berusia 60 tahun ditargetkan sebesar 75 %, maka
THR = 75 % x (220 – 60) = 120. Dengan demikian, diabetisi tersebut dalam melakukan latihan
jasmani, target denyut nadinya sekitar 120 kali/menit.

18

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

FARMAKOTERAPI

PADA PENGENDALIAN GLIKEMIA DM TIPE II

Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi
kadar glukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat
hipoglikemik (oral/suntikan).

1. Golongan Insulin Sensitizing

Biguanid

Saat ini golongan Biguanid yang banyak dipakai adalah Metformin. Metformin terdapat
dalam konsentrasi tinggi dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat
dikeluarkan melalui injal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin biasanya
diberikan 2 sampai 3 kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah diberikan secara
oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat
urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.

Mekanisme Kerja

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada
tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga
diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan.

Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada


komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen
activator inhibitor (PAI-1).

19

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Penggunaan dalam Klinik dan Efek Hipoglikemia

Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak
mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. Metformin dapat menurunkan berat
badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia
akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipogliokemik, tetapi obat
antihiperglikemik.

Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan kombinasi dengan sulfonilurea (SU),
repaglinid, nateglinid, α-glikosidase inhibitor dan glitazone.

Pada pemakaian tunggal  glukosa darah turun 20 % dan konsentrasi insulin plasma
pada keadaan basal juga turun. Pada pemakaian kombinasi dengan SU  dapat terjadi
hipoglikemia akibat pengaruh dari SU.

Pengobatan dengan kombinasi OAD lain dapat menurunkan HbA1c sebanyak 3-4 %.

Efektivitas metformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan
kekuatan SU. Mengingat keunggulan metformin dalam mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi
pilihan utama pada awal pengelolaan diabetes pada oranmg gemuk dengan dislipidemia dan
resistensi insulin berat. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi
dengan SU atau obat anti diabetik lain.

Kombinasi metformin dengan SU saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena
mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih
banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya
maupun pada kombinasi dosis rendah. Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan
glukosa darah lebih banyak.

Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan
glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan SU lebih baik daripada kombinasi

20

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin
lebih baik dibandingkan dengan insulin saja.

Efek Samping dan Kontraindikasi

Efek samping gastrointestinal sering dijumpai pada awal pemakaian metformin dan ini
dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan
dengan makanan.

Efek samping lain : asidosis laktat, meski jarang namun dapat berakibat fatal. Pada
gangguan fungsi ginjal berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan
menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat (yang dapat
diperberat dengan alkohol). Sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (creatinin > 1,3 mg/dL pada perempuan dan > 1,5 mg/dL pada laki-laki). Metformin juga
dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hati, infeksi berat, penggunaan alkohol berlebihan
serta penyandang gagal jantung yang memerlukan terapi.

Metformin juga dapat mengganggu absorpsi vitamin B12 dan dapat menurunkan
konsentrasi vitamin B12 serum dengan mekanisme yang belum diketahui sepenuhnya.

Pada beberapa kasus juga dapat ditemukan anemia, oleh karena itu disarankan untuk
melakukan monitor hematologi.

2. Glitazone (Thaizolidindiones)

Mekanisme Kerja

Glitazon merupakan agonis peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPARā)


yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARā terdapat di jaringan target kerja insulin seperti
jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostasis lipid,
diferensiasi adiposit dan kerja insulin.

21

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas. Glitazon
menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Glitazon dapat meningkatkan
efisiensi dan respons sel beta pankreas dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas.

Glitazon dapat meningkatkan berat badan dan edema pada 3-5 % pasien akibat beberapa
mekanisme antara lain :

• Penumpukan lemak subkutan di perifer dengan pengurangan lemak viseral.

• Meningkatnya volume plasma akibat aktivasi reseptor PPARā di ginjal.

• Edema dapat disebabkan penurunan eksresi natrium di ginjal sehingga terjadi


peningkatan natrium dan retensi cairan.

Penggunaan dalam Klinik dan Efek Hipoglikemia

Rosiglitazon dan Proglitazon saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga
sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Pemakaian bersama dengan insulin
tidak disarankan karena dapat mengakibatkan peningkatan berat badan yang berlebih dan retensi
cairan.

Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau terbagi 2 kali
sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dL dan HbA1c sampai 1,5 %
dibandingkan dengan plasebo.

Proglitazon dapat menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atai
kombinasi dengan dosis maksimal 45 mg/dL dosis tunggal. Monoterapi dengan glitazon dapat
memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan HbA1c 1,4-2,6 %
dibandingkan dengan plasebo. (ekuivalen dengan metformin dan SU).

Efek Samping dan Kontraindikasi

o Berat badan bertambah setara dengan SU dan edema

22

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

o Infeksi saluran nafas atas

o Sakit kepala

o Anemia dilusional

o Fraktur ekstremitas distal pada wanita pasca menopause

Pemakaian Glitazon dihentikan jika terdapat kenaikan enzim hati (SGOT & SGPT) lebih dari
tiga kali batas normal.

Pemakaian harus hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit hati sebelumnya, gagal
jantung kelas 3 dan 4 dan pada edema.

3. Golongan Sekretagok Insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin
oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU (glinid).

Sulfonilurea (SU)

Digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama
bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin.

Mekanisme Kerja

Merangsang sel beta pankreas untuk melepas insulin yang tersimpan, sehingga hanya
bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat
dipakai pada DM tipe I.

SU merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Jika SU
terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Sehingga terjadi
penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka

23

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat
pada calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.

Penggunaan dalam klinik

Berdasarkan lama kerjanya, SU dibagi 3 golongan yaitu :

- Generasi pertama : acetohexamide, tolbutamide, chlorpropamide.

- Generasi kedua : glibenclamide, glipizide, dan gliclazide.

- Generasi ketiga : glimepiride.

Glibenklamide menurunkan glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa sesudah
makan. Bila diperlukan, dosis terbagi dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah. Pada
pemakaian jangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat berkurang. Pemberian SU sebagai
terapi tunggal dapat menurunkan HbA1c 1,5-2 %.

Pemakaian SU selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari hipoglikemia.

Dosis permulaan SU tergantung pada beratnya hiperglikemia. Jika konsentrasi glukosa


puasa < 200mg/dL, SU sebaiknya simulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara
bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dL. Bila glukosa
darah puasa > 200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
setengah jam sebelum makan karena diserap lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali
sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.

Kombinasi SU dengan insulin diberikan berdasarkan rata-rata kadar glukosa darah


sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan
kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih sama. Dengan memberikan dosis insulin kerja
sedang atau insulin glargin pada malam harim, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi
sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari
dapat diatur dengan pemberian SU seperti biasanya.

24

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Kombinasi SU dan insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri, dosis insulin yang
diperlukan pun ternyata lebih rendah dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada
penggunaan insulin multi injeksi.

Efek Samping dan Kontraindikasi

Hipoglikemi merupakan efek samping terpenting sari SU terutama bila asupan pasien
tidak adekuat. Untuk mengurangi kemungkinan hipoglikemia, apalagi pada orang tua, dipilih
obat yang masa kerjanya paling singkat.

Hipoglikemia juga sering terjadi pada orang dengan gagal ginjal, gangguan fingsi hati
berat dan pasien dengan intake kurang, dan jika dipakai bersama dengan obat sulfa. Obat yang
memiliki metabolit aktif tentu akan lebih mungkin menyebabkan hipoglikemia berkepanjangan
jika diberikan pada pasien dengan gagal ginjal atau gagal hati.

Selain itu juga terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, foto
sensitifitas, gangguan enzim hati dan flushing.

Pemakaiannya dikontraindikasikan pada DM tipe I, hipersensitif terhadap sulfa, hamil,


dan menyusui.

Glinid

Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor SU (SUR) dan mempunyai struktur yang
mirip dengan SU. Bedanya adalah masa kerjanya yang lebih pendek, maka glinid digunakan
sebagai opbat prandial. Repaglinid dan nateglinid diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per
oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga
kali sehari.

Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa karena lama menempel pada
kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU.

Nateglinid memiliki masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah
puasa.
25

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Hal ini menjadikan keduanya sebagai sekretagok yang khusus menurunkan glukosa
postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Mengingat efeknya terhadap glukosa
puasa tidak begitu baik maka glinid tidak begitu kuat menurunkan HbA1c.

4. Penghambat α glukosidase

Acarbose memperlambat pemecahan dan penyerapan kompleks karbohidrat dengan


menghambat enzim α glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian
proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida
intraluminal , menghambat dan memperpanjang peningkatan glukosa darah postprandial, dan
mempengaruhi respons insulin plasma. Hasilnya adalah penurunan glukosa darah post prandial.
Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat menyebabkan
hipoglikemia.

Penggunaan dalam klinik

Dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan insulin, metformin,


glitazone, atau SU. Untuk efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan
utama, karena sifatnya yang merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat
yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau
sesudah makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa post prandial.

Monoterapi dengan acarbose dapat menurunkan rata-rata glukosa post prandial 40-60
mg/dL dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dL dan HbA1c 0,5-1 %. Dengan terapi kombinasi
bersama SU, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap
A1C sebesar 0,3-0,5 % dan rata-rata glukosa post prandial sebesar 20-30 mg/dL dari keadaan
sebelumnya.

Efek Samping dan Kontraindikasi

26

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Efek samping karena maldigesti karbohidrat berupa gejala gastrointestinal seperti


meteorismus, flatulence dan diare. Obat ini juga dapat menghambat bioavailibilitas metformin
jika diberikan bersamaan pada orang normal.

Acarbose dikontraindikasikan pada kondisi irritable bowel syndrome, obstruksi saluran


cerna, sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemik Oral :

 Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap.

 Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat
tersebut. (misalnya klopropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama
kerjanya 24 jam)

 Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.

 Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakan menggunakan


obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.

 Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

27

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus

Sumber : konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe II, Perkeni 2006


Baik Sedang Buruk

Glukosa Darah (mg/dL)

Puasa 80 – 100 100 – 125 ≥ 126

2 jam pp 80 – 144 145 – 179 ≥ 180

HbA1c (%) < 6,5 6,5 – 8 ≥8

Kolesterol Total (mg/dL) < 200 200 – 239 ≥ 240

Kolesterol LDL (mg/dL) < 100 100 – 129 ≥ 130

Kolesterol HDL (mg/dL) > 45

Trigliserida (mg/dL) < 150 150 – 199 ≥ 200

BMI / IMT (kg/m²) 18,5 – 23 23 – 25 > 25

Tekanan Darah (mmHg) ≤ 130/80 130 – 140/80 – 90 > 140/90

INSULIN

Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh
terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi

28

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar. Pada jaringan
perifer seperti otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor
substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Dalam keadaan fisiologis, insulin
disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga
sekresinya berbentuk biphasic. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa
darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis baik saat puasa maupun setelah mendapat beban.

Sekresi fase 1 (acute insulin response = AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera
setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Fase 1 biasanya
mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar
glukosa darah yang biasanya meningkat tajam segera setelah makan. Fase 1 yang berlangsung
normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan
glukosa darah post prandial (post prandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkannya
termasuk hiperinsulinemia kompensatif.

Setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase) yang
mengambil alih tugas pengaturan glukosa, dimana sekresi insulin kembali meningkat secara
perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Jika sekresi fase 1 tidak adekuat, maka
akan terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2 agar
kadar glukosa darah post prandial tetap dalam batas normal.

Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme


serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang berlangsung normal.
Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah
satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya DM tipe II.

Jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian
kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen
yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini
berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh insulin.

29

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

Pada DM tipe II, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni
tidak adekuatnya skresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh
terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan (environment). Sedangkan
pada DM tipe I, gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.

Disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan
(genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progesif dan cenderung melibatkan pula
gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar glukosa darah oleh karena
itulisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan
abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalam darah
PASIEN
diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta untuk meningkatkan sekresi insulin
(insulin secretagogue) atau bila diperlukan secara substitusi insulin, disamping oobat-obatan
yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin (insulin sensitizer).
Keluhan DM* (-)
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi
insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah.
Faktor Risiko
PASIENDM** (+)
Kemudian pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi
Glukosa Terganggu (TGT) yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini
GD Puasa
mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang
mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada TGT, kadar
glukosa darah post prandial atau setelah beban 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral
≥ 126 110 - 125 < 110
(TTGO) berkisar 140-200 mg/dL. Dinamakan prediabetes jika kadar glukosa darah puasa antara
100-126 mg/dL yang disebut Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT).
#
Ulang GD Puasa

LAMPIRAN
≥ <
TTGO***
126 126

ALGORITME SEMUA JENIS PASIEN YANG BEROBAT


GD 2 jam pasca
pembebanan

30
≥ 140 - 199 <
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
200 140
RS Pelabuhan Jakarta
Observas
TGT
16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010 GDPT Normal
i

Diabetes Melitus
Adi Prasetyo (406091011)

* Pemeriksaan GD ulang
dapat dilakukan pada
waktu lain (lain jam/hari)
dengan memeriksa GD
puasa atau GD sewaktu.

ALGORITME SEMUA JENIS PASIEN YANG BEROBAT

PASIEN

Keluhan DM* (-)

FaktorPASIEN
Risiko DM**
(+)
31

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

GD Sewaktu

≥ 200 110 - 125 < 110

#
Ulang GD sewaktu

≥ < TTGO***
200 200
* Pemeriksaan GD ulang
dapat dilakukan pada
GD 2 jam pasca waktu lain (lain jam/hari)
pembebanan dengan memeriksa GD
puasa atau GD sewaktu.

≥ 140 - <
200 199 140

DIABETES Observasi
TGT Normal
MELITUS

ALGORITME PASIEN DENGAN KELUHAN KHAS DAN


TIDAK KHAS DM
Keluhan tidak khas *
(+)
##
Keluhan khas (+)

GD Puasa

≥ 126 < 126 32


Ulang GD Puasa
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam #
RS Pelabuhan Jakarta
< 126
16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010≥ 126
DIABETUS MELITUS TTGO
***
Adi Prasetyo (406091011)

Keluhan tidak khas *


DM Tipe 2
(+)
Gemuk ##
Keluhan khas (+)

Penyuluhan DM menyeluruh ; Penyuluhan


GD
perencanaan makan & kegiatan sewaktu
jasmani

ST# Evalusi 2-4 minggu


≥ 200 (sesuai keadaan<klinis
200
STT
pasien )
Ulang GD Puasa
Penekanan kembali ; Perencanaan makan & * Pemeriksaan GD
#
kegiatan jasmani ulang dapat
dilakukan pada
< 200 waktu lain (lain
N

ST Evalusi 2-4
≥ minggu
200 jam/hari) dengan
STT (sesuai keadaan klinis
DIABETUS MELITUS TTGO
memeriksa GD
pasien)
A

puasa atau GD
***
+ 1 macam obat : Biguanid (B) / penghambat
glukosidase α (PGα )* Glitazon
K

ST
ALGORITMA PENGELOLAAN DM TIPE 2 GEMUK
Evalusi 2-4 minggu
STT
S

Kombinasi 3 macam OHO : B + PGα + Glitazon

ST
Evalusi 2-4 minggu
STT

Kombinasi 3 macam OHO : B + PGα +


TKOI** STT Insulin
Glitazon
U

ST Evalusi 2-4 minggu


STT * : PGα diberikan bila kadar
glukosa darah puasa normal.
R

33
Kombinasi 4 macam OHO : B + PGα + TKOI** # : Sasaran
Insulin tercapai apabila
STT
memenuhi kriteria pengendalian
Kepaniteraan Ilmu
Glitazon + Insulin Penyakit Dalam
secretagogue
DM
RS Pelabuhan Evalusi 2-4
ST Jakarta
E

** : TKOI = Terapi Kombinasi OHO


minggu dan Insulin (OHO siang hari, insulin
16 Agustus 2010 – 30STT
Oktober 2010
malam hari)
TKOI** ST Insulin
: Sasaran Tercapai
Insulin STT
T
N
A Adi Prasetyo (406091011)

ALGORITMA PENGELOLAAN DM TIPE 2 TIDAK


K

GEMUK
S

DM Tipe 2 tidak Gemuk

Penyuluhan DM menyeluruh ; Penyuluhan


perencanaan makan & kegiatan jasmani

* : PGα diberikan bila kadar


U

ST# Evalusi 2-4 minggu glukosa darah puasa normal.


STT
(sesuai keadaan klinis # : Sasaran tercapai apabila
memenuhi kriteria pengendalian
R

Penekanan kembali ; Kegiatan jasmani + DM


insulin secretagogues 34
** : TKOI = Terapi Kombinasi OHO
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam dan Insulin (OHO siang hari, insulin
malam hari)
RS Pelabuhan Jakarta
E

ST : Sasaran Tercapai.
16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010
SST : Sasaran Tidak Tercapai.
T
Adi Prasetyo (406091011)

ST Evalusi 2-4 minggu


STT

Kombinasi 2 macam OHO : Insulin secretagogues


+ B/Glitazon

ST Evalusi 2-4 minggu


STT

Kombinasi 3 macam OHO : Insulin TKOI* Insuli


STT
secretagogues + PGα * + B + Glitazon * n

Evalusi 2-4 minggu


ST
STT

Kombinasi 4 macam OHO:p Insulin TKOI* Insuli


STT
secretagogues + PGα * + B + Glitazon * n

Evalusi 2-4 minggu


ST
STT

TKOI* Insuli
Insuli STT
* n
n

DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, Slamet. Metabolik Endokrin Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; edisi ke
V, jilid III. Cetakan Pertama. Jakarta : Interna Publishing, 2009 : 1865 – 1899.

35

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010


Adi Prasetyo (406091011)

2. Metabolik Endokrin. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran; edisi ke – 3, jilid I. Cetakan ke


– 4. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001 : 580
– 588.

3. Diabetes Melitus. Dalam : Panduan Pelayanan Medik; Jakarta : Departemen Ilmu


Penyakit Dalam RS Dr. Cipto Mangunkusumo, 2004 : 31 – 38.

4. http://emedicine.medscape.com/article/117739-print

5. http://emedicine.medscape.com/article/117853-print

6. http://www.infopenyakit.com/2008/03/penyakit-diabetes-mellitus-dm.html

36

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam

RS Pelabuhan Jakarta

16 Agustus 2010 – 30 Oktober 2010

You might also like