Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
WINARNO
NIM. G2D108025
Halaman
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Tujuan.......................................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7
A. Ikan Betutu .................................................................................. 7
B. Produksi dan Pemasaran Ikan Betutu.......................................... 9
III. PEMBAHASAN ................................................................................. 11
A. Profit............................................................................................ 11
B. Permasalahan............................................................................... 12
IV. PENUTUP ........................................................................................... 14
A. Kesimpulan.................................................................................. 14
B. Saran............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 15
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
A. Latar Belakang
sebagai wujud dari hasil pembangunan ekonomi, salah satunya adalah perubahan
ekonomi berbasis sumberdaya hayati praktis hanya dalam bentuk pertanian primer
(on-farm activities), dewasa ini terjadi industrialisasi yang ditandai dengan (1)
keterkaitan antara kegiatan produksi dan perdagangan sarana produksi primer dengan
primer dan perdagangannya, serta keterkaitannya dengan konsumen; dan (4) motor
mengalami proses perubahan, dari pertanian primer sebagai penggerak utama beralih
ke industri pengolahan hasil pertanian primer. Artinya, bila di masa lalu kegiatan
ekonomi berbasis sumberdaya hayati, dari sekedar bentuk pertanian primer menjadi
suatu sektor ekonomi modern dan besar yang dinamakan dengan sektor agribisnis.
Menurut Drillon Jr. (1971), sektor agribisnis sebagai bentuk modern dari pertanian
usahatani yang disebut juga sebagai sektor pertanian primer (on-farm agribusisness),
kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap
masak atau saji maupun siap untuk dikonsumsi beserta perdagangannya di pasar
diharapkan dapat menjadi salah satu sektor andalan dalam upaya pencapaian tujuan
pembangunan dan pendapatan, keamanan pangan dan posisi Indonesia dalam era
mengingat sekitar 54% dari seluruh pelaku agribisnis adalah pelaku pada subsistem
usahatani (on-farm agribusiness), yakni petani, buruh tani, peternak rakyat dan
memiliki nilai tambah terkecil dibanding subsistem lainnya, seperti agribisnis hulu
Menurut Cook and Bredahl (1991), cara yang cukup efektif dan produktif
dimana teknologinya telah dan mudah dikuasai, melibatkan tenaga kerja nasional
masyarakat luas, baik nasional maupun internasional. Inilah yang dimaksud dengan
kegiatan pertanian adalah memproduksi untuk dapat dijual, yakni produksi yang
kemiskinan.
sektor agribisnis adalah kegiatan pertanian secara luas, yang mencakup subsektor
tanaman pangan, perkebunan dan peternakan, serta termasuk juga sektor perikanan.
Sektor perikanan merupakan salah satu bidang yang mengalami perkembangan dan
kehidupan petani ikan dan nelayan. Usaha perikanan yang pada mulanya hanya
dengan menggunakan peralatan yang canggih, seperti kapal yang dilengkapi mesin,
fish finder, kompas, ruang falka dan refrigerator, serta alat tangkap. Selain itu,
kegiatan budidaya juga berkembang pesat, dari sistem yang sangat tradisional dan
alami ke sistem yang lebih modern dan intensif, seperti adanya penggunaan kincir
dan pompa air secara elektrik, suplai makanan yang hanya bersumber dari pakan
secara optimal. Permintaan ikan dunia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring
perikanan, yakni seluas 120.000 km2 untuk perikanan laut dan 10.595,35 km2 untuk
perikanan darat (Dinas Perikanan dan Kelautan Kalimantan Selatan, 2009). Khusus
ton pada tahun 2008, yang terdiri dari 49.517,6 ton dari kegiatan penangkapan dan
13.774,3 ton dari kegiatan budidaya air tawar seperti diperlihatkan pada Tabel 1.
5
Produksi
Jenis Kegiatan
(ton)
- Penangkapan 49.517,6
- Budidaya kolam 8.143,7
- Budidaya sawah 263,1
- Budidaya karamba 4.735,8
- Budidaya jaring apung 596,5
- Budidaya lainnya 5,2
Total Produksi 63.261,9
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kalimantan Selatan (2009)
Selatan masih didominasi dari usaha penangkapan, dengan beragam hasil tangkapan
seperti ikan lampan, jambal, gabus, betutu, toman, sepat siam, sepat rawa, belida,
betok, baung dan lain-lain, dan hanya sebagian kecil dari usaha budidaya dengan
komoditas dominan seperti ikan nila, mas dan patin. Sementara untuk komoditas
lainnya masih sangat sedikit seperti bawal, jelawat, gurami, jambal dan lain-lain
terbesar per komoditas pada tahun 2008 untuk ikan hasil tangkapan di perairan
umum adalah sepat rawa (6.796,3 ton), diikuti betok (6.408,5 ton), sepat siam
(6.356,5 ton), gabus (4.045,4 ton) dan selebihnya bervariasi dengan komoditas
seperti tambakan, nilem, jambal, patin, betutu dan lain-lain. Untuk ikan betutu,
tergolong komoditas dengan produksi yang rendah yakni sebesar 145,6 ton atau
terendah kedua setelah ikan gurame (145,3 ton) untuk golongan ikan. Padahal
diantara komoditas perikanan darat lainnya, hanya betutu yang diantar pulaukan
yang tergolong terendah produksinya saat ini sebenarnya memiliki potensi pasar
yang sangat besar mengingat betutu merupakan satu-satunya komoditas yang diantar
pulaukan untuk diekspor ke luar negeri dari Kalimantan Selatan. Atas dasar ini,
agribisnis ikan betutu di Kalimantan Selatan dan permasalahan apa saja yang
B. Tujuan
A. Ikan Betutu
Ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Bleeker) adalah salah satu spesies dari
famili Eleotridae yang sepintas mirip dengan ikan gabus, sehingga ikan ini disebut
juga dengan gabus malas. Disebut malas karena sifatnya yang pasif bila diberi
makan dan cenderung diam di dasar perairan (Mulyono, 2001). Menurutnya, ikan ini
sangat disukai karena rasanya yang gurih, dengan daging yang tebal dan tulang yang
sedikit. Selain itu, ikan ini juga dipercaya mengandung khasiat tertentu terkait
dengan seksualitas bagi kaum pria dan kecantikan bagi kaum wanita.
Ikan yang dikenal di Kalimantan dengan nama bakut ini oleh Dr. F. Koumans
diidentifikasikan memiliki tubuh yang memanjang, bagian depan silindris dan bagian
belakang pipih, panjang total 5 - 6 kali tinggi badan, kepala gepeng, tubuh berwarna
kecoklatan sampai gelap dengan bercak-bercak hitam menyebar, tubuh bagian atas
perairan tawar di daerah beriklim tropis dan subtropis. Ikan ini menyenangi tempat
yang arusnya tenang dan agak berlumpur seperti rawa, danau atau muara sungai. Ini
sesuai dengan kebiasaan ikan betutu yang gemar membenamkan dirinya didalam
Ikan betutu tidak seperti ikan-ikan lain yang mudah dijumpai di pasar-pasar
pada umumnya, ikan ini memiliki pangsa pasar tersendiri setidaknya untuk memasok
saat ini hanya ikan betutu dari jenis ikan air tawar yang diperdagangkan ke lain pulau
hingga manca negara, dengan harga yang mencapai 100-150 ribu rupiah di tingkat
Suplai produksi ikan betutu di Indonesia sebagian besar masih bersumber dari
alam. Akan tetapi, karena kemampuan reproduksi alamiah ikan ini tergolong paling
air tawar lainnya (Komarudin, 2000), sehingga ketersediaannya masih belum dapat
untuk meningkatkan suplai produksi ikan ini telah dilakukan. Pemerintah melalui
Usaha pembesaran juga mulai berkembang di berbagai daerah yang diusahakan baik
Kabupaten Banjar, usaha pembesaran ikan betutu pada saat ini tengah berkembang di
Kecamatan Sungai Tabuk, tepat di Desa Sungai Pinang Lama yang dilaksanakan
oleh Kelompok Pembudidaya Suka Maju menggunakan karamba tancap (pen cage).
Hasil kaji terap pengembangan budidaya ikan betutu oleh Dinas Perikanan
dan Kelautan Kalimantan Selatan (2007) menyimpulkan bahwa budidaya ikan ini
layak untuk diusahakan dengan pemberian pakan berupa daging ikan segar.
9
Dilaporkan pula bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh pembudidaya ikan
betutu adalah penguasaan teknologi budidaya yang relatif masih rendah, ketersediaan
pakan yang kadang-kadang terbatas, dan suplai benih yang masih sangat tergantung
kurun waktu lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Produksi
Tahun
(ton)
2004 46,7
2005 55,2
2006 61,2
2007 66,0
2008 145,6
Total Produksi 374,7
Selatan cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, terutama pada
tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup pesat. Akan tetapi, produksi ikan
betutu ini masih sangat rendah dibandingkan komoditas perikanan lainnya. Hal ini
tangkap yang digunakan masih sangat sederhana seperti jaring insang tetap, rawai
dan bubu. Jumlah unit alat tangkap pun masih sangat sedikit, yakni sebanyak 67 unit
melakukan sortir terhadap ukuran dan mutu betutu sebelum disalurkan ke pedagang
besar. Untuk betutu dengan ukuran dan mutu dibawah standar, umumnya akan
dipasarkan ke pasar-pasar lokal atau diproses menjadi produk olahan seperti kerupuk,
ikan asin dan lain-lain. Sedangkan untuk yang memenuhi standar, oleh pedagang
besar akan diperdagangkan antar pulau dalam bentuk segar atau hidup, untuk
A. Profit
Analisis yang dipakai dalam menghitung profit usaha perikanan betutu pada
makalah ini adalah analisis finansial, yang diperhitungkan sebagai selisih antara
pendapatan kotor (nilai produksi) dengan pengeluaran total (nilai semua input yang
dikeluarkan) dalam produksi secara riil (Soekartawi, 1995). Dengan kata lain,
sebagai keuntungan dari hasil penjualan output setelah dikurangi dengan biaya
I TR TC
Profit yang dihasilkan pada usaha perikanan betutu, dimana sistem yang
berkembang adalah pembesaran di karamba dengan benih hasil tangkapan, untuk rata-
rata per unit karamba per siklus produksi adalah sebagai berikut:
Nilai Input
Input Volume
(Rp)
Biaya Operasional
Benih uk. 100 g/ekor @ Rp.5.000,- 300 ekor 1.500.000
Pakan rucah @ Rp.3.000,-/kg 500 kg 1.500.000
Tenaga kerja 1 orang 250.000
Total 3.250.000
Biaya Tetap
Nilai penyusutan karamba dan peralatan 500.000
Total Biaya (TC) 3.750.000
Nilai Produksi (TR) 90 kg 11.250.000
Profit/Pendapatan (I) 7.500.000
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2009)
12
betutu sebesar 90 kg dengan berat rata-rata 500 g/ekor, atau sekitar 180 ekor. Ini
berarti dengan asumsi terjadi kematian (mortalitas) sebesar 40%. Dengan harga jual
Rp.11.250.000,-; yang mana setelah dikurangi dengan total biaya produksi sebesar
dengan ukuran 4 x 4 m2. Jika jumlah karamba yang diusahakan untuk membesarkan
betutu minimal 10 unit, tentunya profit yang akan dicapai jauh lebih besar. Akan
tetapi, perlu diingat karena lamanya masa pemeliharaan (8 bulan) maka mortalitas ikan
selama pemeliharaan harus dijaga. Hal ini mengingat rata-rata biaya yang dikeluarkan
untuk setiap ekor betutu adalah sekitar Rp.20.000,- sementara keuntungan yang dicapai
untuk setiap ekor adalah sekitar Rp.40.000,- atau sekitar 200% dari biaya per ekor.
B. Permasalahan
Secara umum permasalahan yang terjadi pada usaha perikanan betutu antara
lain meliputi:
1. Produksi ikan betutu masih sangat tergantung pada hasil tangkapan di alam,
sehingga suplai dengan kuantitas dan kualitas yang sesuai permintaan sangat
terbatas.
2. Alat tangkap yang digunakan masih sangat sederhana dengan jumlah alat tangkap
3. Meskipun ada upaya usaha budidaya, namun masih sangat sedikit yang
4. Ketersediaan benih masih tergantung pada alam karena usaha budidaya yang
5. Besarnya nilai pakan yang harus disediakan mengingat kebiasaan makan ikan
betutu yang karnivora, sehingga resiko yang dihadapi cukup besar jika terjadi
A. Kesimpulan
dikembangkan, ini mengingat harga jual dan permintaan pasar yang tinggi, dan
2. Suplai masih tergantung pada alam, sementara alat tangkap dan pelaku usaha
(nelayan) masih sangat minim. Sekalipun ada upaya untuk usaha budidaya,
suplai benih juga masih tergantung pada alam, termasuk untuk penyediaan pakan
B. Saran
tangkap dengan harga terjangkau dan penyediaan benih yang cukup kuantitas dan
Cook, M.L. and M.E. Bredahl, 1991. Agribusiness Competitiveness in the 1990’s:
Discussion. American Journal of Agricultural Economics 73 (5): 1472 -
1473.
Komarudin, U., 2000. Betutu. Pemijahan Secara Alami dan Induksi. Pembesaran di
Kolam, Karamba dan Hampang. Penebar Swadaya, Jakarta.