You are on page 1of 9

Nama : Sherly Liana Pannaadhy

NPM : 10209461

Kelas : 2EA01

UNIVERSITAS GUNADARMA
2010
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami naikan ke hadirat Tuhan YME, karena berkat rahmat-Nya
lah kami dapat menyusun makalah ini. Penyusunan makalah ini telah disusun
secara sistematis yang dimana isinya terkait dengan makalah Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila mengenai seorang Patih Gajah Mada .

Adapun isi dalam makalah ini dapat digunakan oleh seluruh pembaca untuk
sekedar menjadi penambah ilmu, informasi atau bahkan mungkin untuk dijadikan
bahan referensi didalam pengkondisiannya.

Segala penilaian merupakan yang diharapkan penulis dari semua pihak guna
menjadi bahan pembelajaran dan upaya meningkatkan pengetahuan bersama.
Kiranya apa yang ada didalam makalah ini dapat memberikan manfaat yang
besar untuk setiap pembaca dan halayak umum.

Demikian kata prakata ini dituturkan dalam kata pengantar. Atas perhatiannya
kami ucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila terdapat kekurangan.

Cibinong, Oktober 2010


Topik Pembahasan

Patih Gajah Mada


Bila kita mendengar nama ini pastinya kita teringat akan suatu sumpah, yaitu
Sumpah Palapa yang tentunya sangat melegenda hingga saat kini.

Gajah Mada yang wafat pada 1364 adalah seorang panglima perang dan tokoh
yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Menurut berbagai
sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya
tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti
pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih.
Ia menjadi Mahapatih atau dengan kata lain patih yang sangat besar/diagung-
agungkan pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai
Amangkubhumi yang lebih dikenal Perdana Menteri yang mengantarkan
Majapahit ke puncak kejayaannya.

Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di
dalam Pararaton. Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil
menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu,
sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah
sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial Pada masa
sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu.
Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme dan persatuan
Nusantara.
Awal dalam merintis karirnya
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal
kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang naik
dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan
Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang
mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Mada sedangkan nama Gajah
Mada kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.

Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang


ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun
1894 terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan
Daha dan kemudian menjadi patih dari Kerajaan Daha dan Kerajaan Janggala
yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu dan
Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan, berbicara
dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".

Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus


Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan
menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya dari Dara
Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua
tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin
mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri
sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi
ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan
Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan
Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada
diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi
(1328-1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya
Jayanagara.
Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka00
(1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan
menikmati palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan duniawi bila
telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab
Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira
Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun
kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang,
Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti
palapa”

Yang dimana bila diartikan sbb;

Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa,
Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara,
saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram,
Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa
Invasi
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada
memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan
ke daerah Swarnnabhumi (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik
(sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343
bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian
penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas,
Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai,
Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu,
Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang


menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan
ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi,
Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu, Makassar, Buton, Banggai, Kunir,
Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda),
Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat
Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan
hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu
Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan
Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah
Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka
sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak
Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan
Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat
penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan
seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-
langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari
jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan
melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa


Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang
wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja
menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di
Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia
memerintah dari Madakaripura
Akhir hayat
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam
Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada
telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau
1364 Masehi.

Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya


membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Penghormatan
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat
terkenal di masyarakat Indonesia pada umumnya. Pada masa awal
kemerdekaan, para pemimpin antara lain Soekarno sering menyebut sumpah
Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa bangsa ini dapat bersatu,
meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda. Dengan
demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk
usaha kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang


dinamakan menurut namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama
dinamakan Satelit Palapa, yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu
telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang
bernama Gajah Mada yang membuktikan bahwa seorang Patih Gajah Mada
sangat melegenda atas sejarah yang telah diukir pada masanya.
PENUTUP
Demikian makalah ini telah disusun dengan sistematis yang ada, kiranya
besar harapan penulis agar setelah membaca isi dari makalah ini para
pembaca mendapatkan nilai guna secara optimal, layaknya saat penulis
menyusunannya.
Mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan maupun kesalahan.Atas
perhatiannya dihaturkan terimakasih.

Cibinong, Oktober 2010


Penyusun

Sherly Liana Pannaadhy

You might also like