Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
FISIOLOGI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
Bayi premature 80
3 Bulan 70
6 Bulan 60
1-2 tahun 59
11-16 tahun 58
Dewasa 58-60
Dewasa dengan obesitas 40-50
Dewasa kurus 70-75
Sumber:.............................................................................................................
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi
cairan intravaskular dan intersisial.4,5
2
Diagram 2.1 Persentase Cairan Tubuh
Tissue (40%)
Human
bb body Intracellular (40%)
Fluid (60%)
Ekstracellular
(20%)
Sumber:.........................................
3
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12
liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif
terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa.
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Hingga saat ini belum ada alat yang tepat/pasti untuk mengukur jumlah
darah seseorang, tetapi jumlah darah tersebut dapat diperkirakan sesuai dengsan jenis
kelamin dan usia, komposisi darah terdiri dari kurang lebih 55% plasma, dan 45%
sisanya terdiri dari komponen darah seperti sel darah merah, sel darah putih dan
platelet.
Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar.1,4
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi
cairan intravaskular dan intersisial.
2.2.1 Kation
4
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa
terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135 -155
mEq/liter. Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
- Atrial natriuretic factor
- Sistem renin angiotensin
- Sekresi ADH
- Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana kurang lebih 70% atau
40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter,
faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15
gram NaCl).7
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial
maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium
(muntah, diare) sedangkan asupan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi
disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti
dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus
berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak
dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.7
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan
penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium
dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang
tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel.7
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.
Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler.
5
Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10
mEq/liter.7,8
Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%
dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini
tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium
sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da
hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan
ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.7
Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk
pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.7
2.2.2 Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat,
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat. Karena kandungan
elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit
plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan
komposisi cairan intraseluler.7,8
Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil
akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali
bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru
dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.
Klorida
Kadar ion klorida berlebih di ruang ekstrasel, dan merupakan komponen
utama dari sekresi kelenjar gaster. Berfungsi dalam membantu proses keseimbangan
natrium. Sumber ion klorida banyak terdapat dalam garam dapur.
Fosfat
Fosfat merupakan bagian dari fosfat buffer system. Berfungsi untuk menjadi
energi pad metabolisme sel dan bersama dengan ion kalsium meningkatkan kekuatan
6
dan kekerasan tulang. Fosfat juga masuk dalam struktur genetik yaitu: DNA dan
RNA.
Sumber:…………….
7
berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler
permeable terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen
sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun
tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.5,7,8
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan
tekananosmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer
laktat).Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades),
sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan
hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori
tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan
hidrostatik.5,7,8
Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium
dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah
keadaan hiperosmolar di dalam sel.5,7,8
8
BAB III
GANGGUAN HOMEOSTASIS CAIRAN DAN
ELEKTROLIT
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah
oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera
pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-
2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan
cairan ratarata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml
kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.9
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme
oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari, cairan
yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat
sekitar 800-100 ml tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin
(rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg
untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada rata-
rata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada keadaan demam
yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di atas
37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari tingkatan dan
jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible
loss), traktus gastrointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6
L tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.9
9
Tabel 2. Keseimbangan Cairan Harian Dewasa Sehat 2
Input Cairan (dalam ml) Output Cairan (dalam ml)
Minum 1100 – 1400 Air Kemih 1200
Makan 800 – 1000 Tinja 100 -200
Hasil Oksidasi 300 Paru 400
Keringat 500 – 600
Total 2200 – 2700 ml Total 2200 – 2700 ml
Sumber……………………………
3.2.2 Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus.10
Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama
dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya
relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara
garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
10
berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravascular.10
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis
besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang.
Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke
kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume
intravascular.
3.3.1 Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L
maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh
euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare,
muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau
NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi
hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahan-lahan,
sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus :9,10
3.3.2 Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan
mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan
cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air
kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan
dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140
3.3.3Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut
kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar
total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung,
perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural,
kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat
berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus
potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus
potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk
hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).
Rumus untuk menghitung defisit kalium :9,10
3.3.4 Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal
atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin,
12
diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia,
kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.9,10
3.3.5 Hipokalsemia
Hipokalsemia harus didiagnosis berdasarkan konsentrasi ion kalsium plasma.
Bila pemeriksaan [Ca] plasma secara langsung tidak dapat dilakukan, konsentrasi
kalsium total tetap harus dikoreksi untuk menurunkan konsentrasi albumin plasma.
Hipokalsemia yang berhubungan dengan keadaan hipoparatiroid relatif sering
menyebabkan hipokalsemia simptomatik. Hipoparatiroid dapat terjadi karena surgical,
idiopatik, bagian dari kelainan endokrin multipel (paling sering insufisiensi adrenal),
atau berhubungan dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium dikatakan dapat
menggagalkan sekresi PTH dan mengantagonis efeknya pada tulang. Hipokalsemia
yang terjadi pada saat sepsis berhubungan dengan supresi pelepasan hormone
paratiroid. Hiperfosfatemia juga merupakan penyebab yang relatif sering dari
hipokalsemia terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Hipokalsemia yang
berhubungan dengan defisiensi vitamin D kemungkinan terutama disebabkan karena
reduksi intake (nutrisional), malabsorbsi vitamain D, atau abnormalitas metabolisme
vitamin D.9,10
3.3.6 Hiperkalsemia
Hiperkalsemia dapat timbul akibat berbagai kelainan. Terutama adalah
hiperparatioid dimana sekresi paratiroid hormon akan meningkat dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh [Ca]. Sebaliknya pada keadaan hiperparatiroid skunder (gagal ginjal
kronik atau malabsorbsi) peningkatan jumlah hormon paratiroid adalah merupakan
respon dari keadaan hipokalsemia kronik. Hiperparatiroid skunder yang berlarut
kadang-kadang akan menyebabkan sekresi PTH secara otonom yang mengakibatkan
[Ca] berada dalam kadar normal atau meningkat (hiperparatiroid tersier).
Pasien dengan kanker dapat memberikan gambaran hiperkalsemia baik apakah
itu dengan metastase pada tulang ataupun tidak. Destruksi tulang yang terjadi secara
langsung atau sekresi mediator humoral pada hiperkalsemia (PTH like substance,
sitokin,, atau prostaglandin) kemungkinan bertanggung jawab pada sebagian besar
pasien. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan peningkatan pengeluaran kalsium
13
dari tulang dapat pula terjadi pada pasien dengan penyakit yang tidak ganas seperti
Paget`s disease dan imobilisasi yang kronis. Peningkatan absorbsi kalsium oleh
intestinal dapat menimbulkan hiperkalsemia pada pasien dengan milk-alkali syndrome
(ditandai dengan peningkatan intake kalsium), hipervitaminosis D, atau penyakit
granulomatosa (memperkuat sensitivitas terhadap vitamin D). Mekanisme lain
terjadinya hiperkalsemia belum banyak diketahui.9,10
3.3.7 Hipofosfatemia
Hipofosfatemia merupakan akibat dari keseimbangan fosfor yang negatif atau
ambilan selular tehadap fosfor ekstraselular (pergeseran interkompartemen).
Pergeseran fosfor interkompartemen dapat terjadi pada keadaan alkalosis, dan setelah
memakan sejumlah karbohidrat atau pemberian insulin. Pemberian dosis besar antasid
yang mengandung alumunium atau magnesium, luka bakar berat, suplementasi fosfor
yang tidak adekuat selama hiperalimentasi, ketoasidosis diabetic, alkohol withdrawal,
dan alkalosis respiratorik yang memanjang dapat menyebabkan keseimbangan fosfor
yang negative dan dapat menjadi hipophosfetemia berat (<0,3 mmol/dL atau <1.0
mg/dL). Sebaliknya pada alkalosis metabolik jarang menyebabkan terjadinya
hipofosfatemia.
3.3.8 Hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia dapat terjadi pada intake fosfor yang meningkat
(penyalahgunaan laksatif fosfor atau pemberian potassium fosfat yang berlebihan ),
penurunan ekskresi fosfor (pada insufisiensi renal), atau lisis sel yang massif (setelah
kemoterapi pada limfoma atau leukemia).9,10
3.3.9 Hipomagnesemia
Hipomagnesemia adalah masalah yang umum dan sering terjadi,terutama pada
pasien dengan sakit kritis. Sering kali terdapat hubungan dengan defisiensi komponen
intraselular yang lain seperti potassium dan fosfor. Defisiensi magnesium biasanya
dikarenakan intake yang tidak adekuat, penurunan absorbsi gastrointestinal, atau
peningkatan ekskresi renal. Agonis beta adrenergic dapat menyebabkan
hipomagnesemia melalui pengambilan ion oleh jaringan. Obat-obatan dapat
meningkatkan pembuangan magnesium oleh ginjal yaitu ethanol, teofilin, diuretic,
14
sisplatin, aminoglikosid, siklosporin, amfoterisin B, pentamidin, dan granulocyt
colony stimulating factor.
3.3.10 Hipermagnesemia
Peningkatan [Mg] plasma hampir selalu berhubungan dengan intake yang
berlebihan (antasid atau laksatif yang mengandung magnesium), kegagalan ginjal
(GFR<30ml/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenic dapat terjadi selama
terapi dengan magnesium sulfat pada hipertensi gestasional yang terjadi baik pada ibu
maupun dengan fetus. Penyebab yang lebih jarang antara lain insufiensi adrenal,
hipotiroid, rhabdomyolisis, dan pemberian lithium.
15
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus
kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,
diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol.
Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah
kompensasi alkalosis respirasi digunakan.9
16
BAB IV
PENATALAKSANAAN CAIRAN
17
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus: 1)
Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh
darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat
memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah; 2) Infiltrasi, yakni
masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi
akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah; 3) Tromboflebitis atau bengkak
(inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau
secara ketat dan benar; 4) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi
darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh
darah; 5) Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus; 6)
Rasa perih/sakit; 7)Reaksi alergi.8,9
Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum,
dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh
darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah
ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada
keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam
terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba
cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya
adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh,
sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload
(kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.
18
Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam
fisiologis (NaCl 0,9%).
Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi
edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya
Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%
+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
Kristaloid
Kristaloid bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume
cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat
(relatif sebentar di intravaskuler), dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan
segera. Misalnya Ringer-Laktat dan NaCl 0,9%.4,8
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau
syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-
30 menit.4
Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan
paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di
medan perang Vietnam turut memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman,
yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema
paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan
edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
19
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan
lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang
sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat
mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan
menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Koloid
Koloid ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan
keluar dari membran kapiler, dan tetap berada lama dalam pembuluh darah, maka
sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya
adalah albumin dan steroid.
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan
ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.
20
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama
pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).
Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
Koloid alami
Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan
2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat dalam
21
fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.4
Koloid sintesis
Dextran8
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran
70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40,
tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena
dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek
anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor
VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross
match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
22
modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell), urea linked gelatin, oxypoly
gelatin.Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea
linked gelatin.
Faktor Perioperatif:9
1. Induksi anestesi
23
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan
vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka
operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.
Faktor postoperatif:5
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif
adalah :
1. Hiperkalemia
2. Asidosis metabolik
3. Alkalosis metabolik
4. Asidosis respiratorik
5. Alkalosis repiratorik
25
Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan: Laju Filtrasi
Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun, reabsorbsi Na+ di tubulus
meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kadar aldosteron,
meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air
dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat, Ginjal tidak
mampu mengekskresikan “free water” atau untuk menghasilkan urin hipotonis.
26
Moderate (Histrektomi, 6 mL/KgBB/Jam
Inguinal Hernia
Major (Total hips 9 mL/KgBB/Jam
replacement, peritonitis)
Sunber:.............................................
27
- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr%
Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya sehingga diuresis
± 1 ml/kgBB/jam
28
BAB V
TRANSFUSI DARAH
Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenik
berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, tanda dari
masing-masing adalah di bawah kontrol genetik dari kromosom loci. Kebetulan,
hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada transfusi darah. Setiap orang biasanya
menghasilkan antibody (alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-
reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas
sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.11
29
H (hh genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau
B; individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A, anti-B, dan
anti-H antibodi.4,8
Bila sel darah merah (SDM) yang ditransfusikan tidak kompatibel, antibodi
dalam plasma resipien akan mengikat reseptor khusus di dinding SDM donor. Hal ini
akan mengaktifkan jalur komplemen yang akan menyebabkan lisis dinding SDM
(intravaskular hemolisis). Jalur komplemen ini akan melepaskan anafilatoksin C3a
dan C5a yang akan membebaskan sitokin seperti TNF, IL1 Dan IL8, dan
menstimulasi degranulasi sel mast dengan mengsekresikan mediator vasoaktif. Semua
substansi ini bisa menyebabkan inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan
hipotensi yang akan mengarah ke shock dan gagal ginjal. Mediator juga akan
menyebabkan agregasi platelet, oedema paru peribronchial, dan kontraksi otot kecil.
5.2.2 Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada sekitar
46 Rh-berhubungan dengan antigen, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D,
C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan antibody.
Biasanya, ada atau tidak alel yang paling immunogenik dan umum, D antigen,
dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai
antigen D. Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya
antibodi akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi
sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).
30
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy,
Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan
beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini
jarang menyebabkan reaksi hemolytic serius.
5.3.2 Crossmatching
31
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari
5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain , dan ( 3) mendeteksi
antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir
memerlukan sedikitnya 45 menit.
Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang
biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga
Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur serum
pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik,
membran sel darah merah dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin
menghasilkan aglutinasi sel daraah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor
darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch.4
32
Kadar hemoglobin akhir dapat diperkirakan dengan rumus = volume darah x
hematokrit x 0,91.
Indikasi: hanya pada pasien dengan gejala klinis gangguan hemodinamik
seperti hipoksia, transfusi pengganti misal pada bayi dengan penyakit hemolitik,
thalasemia. Biasanya bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL dengan target akhir
10 g/dL.11
5.4.3 Platelet
Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010 platelet
per kantong, dan 50 mL plasma.
Dosis: pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar
platelet biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet sekitar
50-100.000/mm3.
Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan
fungsi platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000
pada dewasa, dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.11
Kontraindikasi: autoimun trombositopenia, trombotik trombositopeniapurpura.
33
Indikasi: perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII, pasien
dengan hemofili A atau von Willebrand’s disease.11
5.4.5 Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada
pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik.
Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek,
sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010 granulosit pada umumnya diperlukan.
Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya reaksi graft-versus-host ,
kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan
berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah), tetapi mempengaruhi fungsi
granulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-stimulating faktor, atau G-
CSF) dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau
GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.4
34
reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan,
hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi.
Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat
berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa
banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat
terjadi setelah transfusi 10 – 15 ml darah yang ABO inkompatibel.
Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;
• Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan
segera.
• Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
• Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
• Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam
pembuluh darah.
• Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
2. Reaksi hemolisis lambat
Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular
biasanya ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel
asing di sistem lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi
ABO dan Rh D-kompatibel, pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk
antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat itu sejumlah antibody ini sudah
terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi sel darah telah
dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak
terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel
darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini
dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe lambat terjadi 2-
21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice,
dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya
perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan
hemoglobin.4
Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh
antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel
darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membran antibodi resipien pada sel
darah merah dengan membran antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini
35
memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua
spesimen : pasien dan donor.4
Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi
transfusi hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan
( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloan-
tibodies pada seldarah merah.
Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct
antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis. Fungsi
ginjal harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan, hanya saja
pada transfusi selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening golongan
darah dan atibodi.4
3. Reaksi imun nonhemolisis
Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari
resipien ke donor lekosit, platelet, atau protein plasma.4
5.5.8 Imunosupresi
37
Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi.
Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah
preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi
menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada
pasien yang menerima transfusi darah selama pembedahan. Dari kejadian yang ada
juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit allogenik dapat mengaktifkan virus laten
pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi
yang serius setelah pembedahan atau trauma.4
39
Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung
ventrikel kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering,
peningkatan JVP, ronki basal paru, hipertensi, dan takikardi.11
Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.
5.7.1 Koagulopati
Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional
thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada
pasien normal. Pelajari koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya
menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa viskoelastis dari pembekuan
darah (thromboelastography dan Sonoclot Analyze) juga bermanfaat.4
5.7.3 Hipotermia
40
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua
produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Aritmia
Ventrikular dapat menjadi fibrilasi, sering terjadi pada temperatur sekitar 30°C.
Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat
dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi
timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan transfuse.4
41
U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit pada umumnya dikumpulkan sebelum
operasi.4
Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak
mempunyai efek tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang
mengalami operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autologous mungkin
mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidaklah dengan sepenuhnya
bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang berhubungan dengan
kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label, pencemaran, dan
gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan
dengan alergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat
pengumpulan dan gudang penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative
autologous dilakukan dengan frekuensi berkurang.4
43
BAB VI
KESIMPULAN
Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air (pelarut) dan zat tertentu (zat
terlarut). Cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama yang
dipisahkan oleh membran sel menjadi: cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler
(cairan intravaskuler dan interstisial). Sedangkan elektrolit adalah zat kimia yang
menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam
larutan. Elektrolit yang terdapat di dalam tubuh mencakup natrium, kalium, kalsium,
magnesium, Klorida, bikarbonat, fosfat, dan sulfat. Keseimbangan Cairan dan
elektrolit tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: usia, jenis kelamin, sel-sel
lemak, stres, kondisi sakit, diet, temperatur lingkungan, pengobatan, tindakan medis,
dan pembedahan. Cairan tubuh normalnya berpindah antara kedua kompartemen
utama untuk mempertahankan keseimbangan nilai cairan. Pertukaran cairan antar
kompartemen dapat dilakukan dengan osmosis, difusi dan pompa natrium kalium.
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari
air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan
elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka
akan berpengaruh pada yang lainnya. Masing-masing gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit mempunyai manifestasi klinis yang berbeda sehingga menyebabkan
penatalaksanaannya pun berbeda. Selain itu, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga berpengaruh terhadap pertimbangan anestetik.
Penggantian cairan tubuh baik kristaloid, koloid maupun darah sangat vital
dalam keadaan tertentu, penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis
darah yang digantikan tepat dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan
mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi dalam reaksi transfusi darah
penggantian darah ataupun komponen-komponen darah merupakan suatu tindakan
yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama transfusi yaitu
memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan biologis
darah atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan
volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah).
mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi
jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis.
44
DAFTAR PUSTAKA
45