Professional Documents
Culture Documents
Triyanto Triwikromo
Kesaksian Buijsen
Namun, mengertilah, Ros, aku juga dapat versi lain perilaku mereka dari Martin Buijsen.
Buijsen, laki-laki tegap 74 tahun yang mengaku pernah jadi serdadu pada Agresi Militer
Belanda II dan pernah tinggal di Yogyakarta itu, justru mengenal mereka sebagai sepasang
malaikat yang menyelamatkan kehidupannya yang nyaris gila dan tak punya masa depan.
“Andai tak ada mereka, mungkin aku hanya akan menghabiskan waktuku di kasino-kasino
Las Vegas. Ya, berjudi, kau tahu, lebih memberiku kesempatan untuk mengekspresikan
kesedihan dan kegembiraan ketimbang bercakap-cakap dengan para sheriff bloon di bar-
bar. Di hadapan mesin slot dan meja permainan berornamen elang, aku memang bisa
tertawa atau nangis sesenggukan. Itu sebabnya aku tak mau mengurung diri dan hidup
bersama orang-orang gagu di panti wreda? Tapi sejak mengenal ibumu dan Caroline, aku
jadi kerasan mendengarkan cerita-cerita aneh mereka mengenai naga, sungai-sungai yang
dihuni harimau berkepala gajah, atau apa pun yang bisa membuatku lupa pada kucuran
darah para remaja Jawa yang kepalanya kupenggal di sembarang tempat,” bisik Buijsen
sambil menarik lenganku dan berusaha menjauh dari Angela dan Lortha.
“Kudengar semua orang di panti wreda tak mau bicara denganmu, Buijsen? Juga Caroline
dan ibuku?”
“Ya, mereka tak mau bergaul denganku karena takut aku akan membantai siapa pun
dengan senapan tua,” kata Buijsen sambil meledakkan tawa, “…itu karena aku memang
kerap bercerita atau ndremimil tentang pembantaian-pembantaian yang kulakukan di
Maguwo. Padahal, kau tahu, sebagian besar kekejian yang kulakukan hanyalah karanganku
belaka. Yang benar-benar terjadi, sebelum migrasi ke Amerika, aku dan para serdadu
Belanda yang tengik dan pengecut bersembunyi di sebuah gua sunyi penuh pepohonon
rimbun di kaki Gunung Merapi saat terjadi serangan umum yang dipimpin oleh Sultan.”
“Dan tentang Tari dan Caroline?”
“Merekalah yang mau mendengar ceritaku meskipun tahu telah kukibuli.”
“Kau suka mengintip mereka? Mereka suka bercinta?” aku bertanya dalam nada masygul.
Aku berharap dengan mengorek segala hal tentang ibuku dan Caroline dari Buijsen
kudapatkan hal-hal baru mengenai mereka. Siapa tahu mereka memang sepasang kekasih
yang tak bisa terpisahkan sampai kapan pun.
“Edan! Bagaimana mungkin sepasang malaikat bercinta di hadapan banyak orang? Jangan
melontarkan pertanyaan konyol. Hanya perempuan tengik dari Las Vegas semacam Angela
dan Lortha, atau Getruida yang bisa berciuman di sembarang tempat. Kau tahu, Rafli, aku
justru sering melihat ibumu dan Caroline bersujud lama sekali di taman penuh anggrek dan
belalang…”
“Apa yang mereka perbuat?”
“Mereka bilang di tempat itu Santa Maria menggendong bayi bercahaya diiringi tujuh
malaikat dan sembilan naga selalu muncul setelah senja tiba. Mereka juga bilang burung-
burung dari bulan selalu menyertai perjalanan Perempuan Suci itu.”
“Sampean percaya cerita itu?”
“Kenapa harus tak percaya?”
Ah, Ros, saat Buijsen berusaha meyakinkan diriku tentang penampakan Santa Maria
dengan segala kepolosan, aku justru ingat pada Bernadette Soubirous di Lourdes. Caroline
dan Ibu jelas bukan perempuan-perempuan indah yang diberkati oleh Maria untuk
memberikan terang kepada dunia. Ibu tetaplah perempuan Alas yang kita boyong ke Los
Angeles dan tetap percaya Jaka Tarub mampu memenjara seorang bidadari dengan segala
kesaktian busuknya. Ia—sekalipun mahir bahasa Belanda dan Inggris—tetaplah komunis
saleh yang sangat yakin di Pantai Selatan bersemayam Ratu Kidul yang dengan segala
daya mampu mengajak para raja bercinta di istana penuh berlian di dasar samudera. Dan,
aku yakin benar, meskipun Ibu kini rajin ke gereja—mungkin untuk mengubur masa silam
kelam di Lubang Buaya dan penyamaran—ia sama sekali tak tertarik pada dongeng-
dongeng aneh tentang Maria atau keajaiban-keajaiban kecil Bernadette Soubirous.
Aku menduga cerita tentang penampakan Santa Maria hanyalah akal-akalan Caroline agar
dia tetap menjadi pusat perhatian. Harus kuakui saat menceritakan pemujaan membabibuta
Bernadette terhadap Maria atau mendongeng mengenai gua-gua tanpa kelelawar tempat
Bunda Yesus memberi semangat orang-orang miskin di Lourdes agar membebaskan diri
dari kesengsaraan, Caroline memang lebih mirip trubador ketimbang nenek tua yang tak
mengerti silsilah para nabi atau rasul.
“Karena itu, percayalah padaku, Rafli! Mereka adalah sepasang malaikat yang dikirimkan
dari surga untuk menyelamatkan kami—orang-orang tua yang diabaikan oleh anak-anak—
dengan katakanlah cerita-cerita tentang keajaiban-keajaiban mawar dan anggrek, iblis
harum, serta warna senja aneh yang sekali waktu akan muncul di Pantai Redondo atau
Santa Monica. Apakah kau pernah melihat burung-burung seagull di kedua pantai itu,
Rafli?” desis Buijsen sambil terus menyeretku ke halaman belakang panti wreda.
Aku menggeleng. Ingin sekali kukatakan kepada pria tua itu betapa aku sama sekali tak
suka pada pantai, angin asin, ketam asing, senja brengsek, pasir putih, gelombang kecil,
atau burung-burung yang bertengger di batu-batu hitam. Kalaupun sekali waktu harus ke
Santa Monica bersama Ibu dan Caroline, itu karena aku harus berpura-pura berbakti
kepada orang tua.
“Caroline dan Tari sangat senang memandang langit yang membentang di atas laut. Kata
mereka, setelah seseorang mencapai usia lebih daripada 71 tahun, ia akan dapat melihat
wajahnya sendiri di antara gumpalan awan.”
“Ya, mereka juga mengatakan seperti itu kepadaku? Apakah Sampean juga telah bisa
melihat wajah Sampean yang lucu?”
Buijsen menggeleng.
“Wah, kalau begitu Sampean belum benar-benar menemukan inti kehidupan,” gurauku.
“Inti kehidupan?”
“Ya, inti kehidupan, Buijsen, lahir setelah orang bisa menyembunyikan diri yang buruk ke
ceruk sedalam kakus. Inti kehidupan lahir jika Sampean bisa menatap topeng aneh
Sampean di sebalik gumpalan awan,” kutipu Buijsen dengan filosofi hidup asal-asalan.
Aku dan Buijsen lalu tertawa bersama. Tak bisa kumaknai dengan pasti apa yang ia
tertawakan. Mungkin ia tahu aku hanyalah badut konyol yang sedang kebingungan
menghadapi perilaku aneh orang-orang tua yang hidup di panti wreda bersama ibunya.
Mungkin ia tahu percakapanku dengan siapa pun di rumah penampungan manusia-manusia
jompo ini hanyalah omong kosong yang tak seharusnya dilakukan di kota sepraktis dan
sepragmatis LA.
Ah, Ros, terus terang sampai kini aku tak bisa percaya seratus persen pada segala
perkataan Buijsen tentang Caroline dan Ibu. Saat mengantar Caroline ke pemakanan, aku
tak melihat ia sebagai sosok yang sangat mengenal perempuan badak itu. Wajahnya sama
sekali tak mencerminkan sebagai pria yang kehilangan sahabat terkasih saat ia berjalan
paling belakang di antara puluhan orang yang mengantar Caroline ke liang lahat.
Aku juga kaget saat dengan bersungut-sungut ia bilang, “Mengapa kautangisi sesuatu yang
sudah seharusnya mampus pada saat Hitler membakar para cecunguk Yahudi?”
Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya pada manusia yang tak menghargai
persahabatan?
Percintaan Anggrek
Tentu saja aku tak pernah menyerah untuk memahami Ibu, Ros. Dan aku sedikit tahu
misteri persahabatan Ibu dengan Caroline sehari setelah Caroline dimakamkan. Meniru
Angela, Lortha, atau Getruida, aku mengintip segala tindakan Ibu dari jarak yang sangat
dekat.
Angin Glendale menggerak-gerakkan lonceng-lonceng kecil di panti wreda malam itu.
Suhu 12 derajat Celcius menyusup pelan ke dalam kulit ari-ari, tetapi tetap saja Ibu dengan
langkah yang anggun berjalan menuju ke taman, menuju tempat ia dan Caroline memuja
patung Maria, bergaul dengan anggrek dan mawar, dan mungkin satu dua belalang.
“O, Putri Anggrek yang cantik, mereka toh tak tahu betapa aku dan Caroline sedang
mempersiapkan perkawinanmu dengan Pangeran Mawar. Dan kini Caroline telah
meninggalkan kita, apakah kau tetap ingin bercinta dengan kekasih pujaanmu?” kata Ibu
sambil membelai setangkai anggrek.
Tentu saja aku terkejut, tetapi aku mencoba menahan diri untuk tak menimbulkan bunyi
selirih apa pun. Jika saja bisa menghentikan degub jantung, akan kuhentikan juga suara
yang hanya bisa diistirahatkan oleh Tuhan itu.
“Hmm, mereka juga tak tahu, selama ini aku dan Caroline hanya berpura-pura memuja
Santa Maria. Mereka tak tahu betapa kami selalu mempercakapkan bagaimana cara
melarikan diri dari panti wreda yang menganggap kami—orang-orang tua malang—hanya
sebagai barang rongsokan yang diberi obat tidur sepanjang hari sepanjang malam. Okelah,
Putri, aku selalu berdoa dan bilang pada Gusti Allah agar Ia jangan mengambil nyawa
orang-orang yang baru bertemu dengan warna pagi. Caroline juga bilang pada Allah agar
Ia mengambil saja nyawa orang-orang yang telah menatap malam. Jadi, tanpa diracun
dengan segala obat pun, kami sudah merindukan kematian.”
Nora hanya memberi obat tidur pada orang-orang jompo ini? Kejahatan macam apa ini?
Gigiku bergemelutuk, tapi aku tetap tak mau mengganggu percakapan Ibu dengan anggrek-
angrek itu.
“Ya, ya, aku setuju pada pendapatmu, Putri, anak-anak kita akan selalu menganggap kita
sebagai sosok yang rapuh, sosok yang jika bisa segera saja dihilangkan dari mata licik
mereka. Tapi, aku tak mau jadi sosok yang rapuh itu. Ketahuilah, Putri, bersama teman-
teman, besok aku akan melarikan diri dari panti wreda sialan ini. Kami akan ke Redondo,
Santa Monica, dan Marina del Rey. Kami akan jadi manusia yang bebas melakukan apa
pun di pantai…. Kami akan memandang bulan puas-puas dan menolak permintaan Nora
agar kami tidur sebelum pukul 19.00. Kami akan…”
Tipuan Senja
Karena itu, Ros, aku ragu pada temuan-temuan awalku tentang orang-orang yang tinggal di
panti wreda ini. Semula kusangka Caroline hanyalah perempuan yang menyembunyikan
keyahudian dengan memuja matian-matian Santa Maria di hadapan siapa pun, nyatanya ia
martir yang menggalang pemberontakan untuk melawan kekejaman Nora. Semula
kusangka Ibu hanyalah perempuan yang bisa menyembunyikan kekomunisannya di negeri
paling membenci hantu yang diembuskan oleh mulut bau Karl Marx, nyatanya ia hanyalah
perempuan Alas yang menganggap bunga-bunga, daun-daun, dan serangga bisa punya
mulut untuk menceritakan isi dunia. Aku juga menduga Buijsen hanya laki-laki pengecut
yang ingin menyimpan senapan di balik bantal, nyatanya ia lelaki tengik yang tak
menghargai persahabatan.
Jadi, agar kau benar-benar mengerti tentang Ibu, kini tiba saatnya aku mengajakmu ke
pantai, Ros. Akan aku ajak kau mendengarkan percakapan Ibu dengan bulan. Akan aku
ajak kau mendengarkan Ibu menyenandungkan mantera-mantera aneh sambil ia
membayangkan menjadi burung seagull yang terbang ke batas senja, ke keheningan bulan
di atas cakarawala.
Apakah menurutmu Ibu akan menjadi burung bulan, Ros? Tak perlu kaujawab pertanyaan
itu. Aku lebih berharap Ibu berjalan sendiri ke pantai ini dan menemukan sepasang anak
yang mencintainya takjub memandang seorang maharani yang kemilau tangannya bisa
mengubah riak ombak menjadi cahaya sunyi yang meneduhkan hati. ***
Tentang Pengarang: Triyanto Triwikromo bekerja sebagai sebagai editor untuk rubrik
sastra Edisi Minggu Suara Merdeka. Selain menganggit puisi, ia menulis kumpulan cerita
pendek Sayap Anjing (2003), Anak-anak Mengasah Pisau (2003), dan Malam Sepasang
Lampion (2004). Pada 2005 ia menjadi peserta Wordstorm: Northern Territory Writer
Festival di Darwin, Australia. Pada Januari 2008 menjadi peserta Gang Festival dan
residensi sastra di Sydney, Australia. Cerpen Cahaya Sunyi Ibu ini juga masuk 100 Cerpen
Terbaik Indonesia 2008 versi Pena Kencana.