You are on page 1of 6

DANAU

Linda Christanty

JENDELA kaca di sisiku menyuguhkan putih langit berkilau. Tak ada gumpalan awan dan
kawanan burung terbang. Di halaman rumput yang mulai coklat sebagian, di bawah pohon
jambu air, anjing-anjing piaraan rebah dengan lidah basah terjulur. Seekor Labrador. Dua
Siberian husky. Mereka mencari dingin.
“Aku takut anjing,” bisikku.
“Mereka jinak,” balasnya, juga berbisik.
Kutatap dia, tajam.
Panas musim kemarau cepat menjalar dalam ruang.
Kipas angin besar di langit-langit tak mampu mencegah keringat meleleh serupa mentega
cair. Ia segera menuang sirup jeruk dingin dalam gelasku. Kuraih sepotong custard di
piring kue, lalu mulai mengunyah, pelan. Rasa palanya terlalu getir di lidah. Kami duduk
berhadapan, di sela meja kayu empat persegi.
“Kamu ibarat hutan yang menyesatkan,” katanya.
“Dalam hutan cemara yang kamu tempuh ada jalan setapak, bagaimana mungkin tersesat,”
tukasku.
Sering kulihat ia menyeberangi hutan cemara itu sendirian, menuju sebuah gedung di
sebelah barat kampus kami, bertahun silam. Aku merasa lega begitu melihat ia muncul dari
hutan, lalu melintasi taman tempatku biasa duduk di salah satu bangku sambil melihat
orang lalu-lalang. Ia selalu menuju tempat yang sama: kafe mahasiswa. Setelah itu ia akan
duduk menyendiri di kafe sampai dua-tiga orang datang mendekat. Tak pernah kuketahui
apa yang mereka percakapkan, tapi aku senang mengamati gerak-geriknya dari jauh.
Kutinggalkan taman sesudah ia beranjak pergi, lepas dari jangkau pandang dan
menyeberang ke gedung lain, tersamar pohon-pohon besar dan semak bunga.
Kini, dalam jarak sedekat ini, semua hal sangat terang dan mudah diterka. Dan
membutuhkan waktu amat panjang untuk jadi sedekat ini.
“Kamu tak akan tersesat lagi,” kataku.
“Tapi aku takut tenggelam,” bisiknya.
Dalam hutan cemara itu tersembunyi sebuah danau keruh, coklat kehijauan. Beberapa
kanak-kanak tenggelam di situ. Aku sering berjalan ke jantung hutan, lalu berhenti di tepi
danau. Aku sengaja menemuinya untuk menuturkan kisah-kisah rahasia yang pedih. Ketika
angin berembus, pusaran-pusaran pun muncul di permukaan, dan tiba giliranku bercerita.
Ingatanku menjangkau sesuatu dan yang sayu dan terpendam mengakar, sesuatu yang lama
melabuhi akal. Dan apa yang tak terkatakan menyerupai bunga-bunga kapas melayang,
lalu jatuh ke permukaan air, terserap dan ditelan danau itu. Kurenungi danau yang diam.
Danau itu mendengarkan kisahku.
Dulu danau buatan ini lumayan jernih. Teratai tumbuh dan berbunga di atasnya. Ikan-ikan
gurami gemuk sewaktu-waktu muncul ke permukaan dengan mulut terbuka, mencari
udara. Ketika musim kemarau paling kejam datang, air danau langsung menguap. Danau
menjelma hamparan tanah merah kering-kerontang. Anak-anak lelaki menjadikannya
lapangan sepak bola. Namun, saat musim hujan tiba, lapangan tersebut kembali menjadi
danau dengan keadaan yang sudah berbeda. Airnya coklat keruh, karena endapan lumpur
di bawah sana dan lama-kelamaan lumut membubuhkan hijau pada warnanya.
Seluruh kehidupan yang berpusat di danau musnah. Teratai dan ikan-ikan tak ada lagi.
Danau pun menjadi angker. Namun, anak-anak kecil tetap datang. Mereka menemukan
bahagia dengan cara lain. Mereka melempar bongkah-bongkah batu atau kerikil ke danau,
lalu tertawa bersama. Mereka membangunkan ruh danau yang istirahat. Salah seorang dari
mereka kemudian tergelincir dan tenggelam. Orang-orang kampung terdekat berduyun-
duyun mencari korban. Sekitar danau hiruk-pikuk, siang malam. Terik matahari tiada
menghalangi semangat regu pencari. Mereka bergantian menyelam, tapi tak berhasil
menemukan tubuh bocah yang celaka. Cahaya obor yang meliuk-liuk ditiup angin
menerangi sekeliling danau di malam hari. Air danau yang keruh menjelma keemasan.
Orang-orang menyusuri tepi danau, menengok permukaannya yang sepi. Ketika orang-
orang mulai lelah dan putus asa, tiba-tiba mayat bocah itu mengambang bagai ampas
makanan yang dimuntahkan. Bengkak. Bersalut lumpur basah. Namun, jiwanya tetap
terperangkap dalam air. Kadangkala ada pejalan kaki yang mendengar tangis dari arah
danau. Itulah suara bocah-bocah malang yang tenggelam.
Suatu hari kupandangi air keruhnya yang terus berpusar-pusar. Aku tiada gentar pada kisah
seram itu. Ia selalu baik padaku. Aku menyaksikan tiap perubahan yang dialaminya,
sebagaimana ia menyaksikan aku tak berubah dari waktu ke waktu; tetap setia pada kisah-
kisah pedihku. Kupandangi tonggak-tonggak kayu yang mencuat dari dasar. Dan perlahan-
lahan, wajah seseorang mengambang dalam tiap pusaran. Kepalaku terasa pusing.
Tubuhku mulai condong ke air. Sebelum wajah kami bersentuhan, buru-buru kutinggalkan
tepi danau dengan detak jantung menggila. Nafasku tersengal-sengal. Kuseret kaki yang
setengah lemas ke arah jalan beraspal, hingga ramai lalu lintas mengalahkan bius danau
itu. Namun aku selalu kembali untuk mengulang peristiwa yang sama. Aku, seseorang dan
danau telah terikat dalam hubungan ganjil yang saling mengunci, laksana tiga sisi yang
sama panjang dan tak terpisahkan.
Aku bahkan berpikir bahwa pembuat rumus segitiga sama sisi adalah seseorang yang
terlibat cinta sama besarnya dengan dua kekasih. Danau itu bukan kekasihku, tapi ia
menjadi jembatan rahasiaku untuk menjumpai seseorang, yang juga bukan kekasihku.

***
TERAKHIR kali kukunjungi danau itu pada malam hari. Kumasuki jantung hutan sendiri.
Di kedua sisi jalan, tiang-tiang lampu yang berkarat seolah pohon-pohon mati yang
terbakar. Hanya satu dua lampu menyala dan bertengger pada tiangnya, karena sebagian
besar telah pecah berkeping atau hilang diambil pejalan iseng. Tak cukup cahaya untuk
membawaku ke tepi danau. Sorot senter hanya menerangi jalur langkahku saja. Berkali-
kali kakiku tersandung akar semak dan tonjolan tanah. Burung elang terdengar menjerit
dan mengepak di langit.
Pusaran-pusaran air danau tersembunyi dalam gelap. Aku langsung berjongkok
memandang permukaannya. Lampu senter sengaja kupadamkan. Apa yang belum
kuceritakan padanya? Tenggorokanku terasa kering. Kulayangkan pandang ke sekeliling.
Gelap pekat. Perlahan-lahan kami menjadi asing. Ia semakin terlihat sebagai comberan
besar, kumuh, dan menjijikkan.
Kenanganku terhadap perempuan itupun memudar, seiring kesadaran tumbuh dan
mengembang. Aku merasa bodoh sekali, membuang waktu dan perasaan konyol semacam
itu.
Namun, akal sehat hanya datang sesaat. Ketika kurenungi danau lebih lama, rasa ibaku
muncul. Betapa tuanya ia, jompo yang tak terurus. Sekonyong-konyong aku merasa danau
tersebut menjelma sosok nenek yang bijak, lebih banyak mendengar ketimbang berpetuah.
Ia tak pernah mematahkan impianku, tapi membiarkan aku menemukan jawabnya sendiri.
Kubayangkan wajah yang muncul dalam tiap pusaran air. Kami tiada pernah bertegur sapa.
Ia cuma gadis kebanyakan yang melintas di taman, perpustakaan, kafe, atau ruang-ruang
kuliah pada jam-jam tertentu. Bagaimana aku bisa punya perasaan begitu dalam
terhadapnya?
Barangkali, ia menyukai sajak-sajakku. Tetapi, bukankah alasan itu terlalu umum untuk
menjelaskan perasaanku terhadapnya?
Di suatu pagi berkabut (ketika itu orang-orang masih lelap dan tak akan ada saksi mata),
aku berharap melihat perempuan idamanku di taman. Ia akan duduk di bangku yang biasa
kutempati dan langsung gugup melihatku. Kupikir ia mahasiswa tahun pertama, amat
muda dan salah tingkah. Baru kali ini ia duduk di taman, menentang dingin, bukan
melintas dalam kelebat menggoda. Siapa yang ia tunggu? Kukatakan aku hanya ingin
duduk bersamanya, ia tidak usah takut, toh taman ini bukan milikku, bebas-bebas saja.
Kami duduk berdampingan. Percakapan remeh-temeh. Ia memintaku membaca sajak.
Katanya ia sering menyimak sajak-sajakku di surat kabar atau majalah. Oh, begitu? Aku
tersedak, karena gugup. Aku kemudian terbatuk-batuk. Perutku terasa sakit.
Di sekeliling danau benar-benar sunyi. Bayangan masa silamku sirna. Deru mobil
terdengar sayup. Aku baru akan menyentuh permukaan danau dengan jari-jariku, saat
seseorang memanggil pelan namaku. Sorot senternya sempat mengenai tubuhku. Mereka
sudah sampai.
Kunyalakan senter sebagai balasan sandi.
Tiga temanku menyeret-nyeret tubuh seseorang. Cahaya senterku menimpa wajah lebam
dan sepasang mata yang terpejam. Lelaki itu berkaos oblong, bercelana pendek.
Di mana seragam dan sepatu larsnya? Sudah kami buang ke tong sampah. Ia masih hidup?
Hidup atau mati tidak penting… Tapi… Heh, kita ini sedang perang, jangan cengeng.
Mereka menyeret tubuh diam tadi ke tepi danau, kemudian mendorongnya ke air. Kecipak
air terdengar. Aku terpaku memandangi air. Satu demi satu mereka pergi. Seseorang
menepuk pundakku. “Cepat pergi sebelum ada yang melihat kita,” bisiknya. Aku masih
berdiri di situ.
Perasaanku campur aduk. Bayangan perempuan itu, danau yang diam, rasa bersalah,
kenangan-kenangan… Barangkali, kami memang harus berpisah.
Namun, perpisahan bukan hal mudah. Suatu malam aku berjalan ke pusat kota. Cuaca
panas menyusup dalam blusku yang lembab. Lampu-lampu jalan berpijar oranye,
mengingatkanku pada warna adegan sebuah film lama. Debu jalan bangkit dan mengepul
di udara. Tentara dan polisi berjaga di jalan-jalan utama, menggeledah kendaraan yang
lewat. Jam malam belum diumumkan. Namun, selebaran-selebaran gelap menyebutkan
keadaan darurat telah dimulai.
Banyak orang ditangkap. Kemarin siang aku melihat sekitar empat puluh demonstran
diangkut dalam truk tentara setelah meminta kenaikan upah dan penurunan harga barang di
muka gedung parlemen. Seseorang berteriak di jalan, sampai lengking sirine konvoi itu
lenyap di tikungan. Wajahnya yang berdarah terekam lekat di benakku. Kubayangkan
sungai darah mengalir membelah kota ini, mayat-mayat mengapung, dan masa mudaku
tercerabut bagai nyawa ayam lepas, melesat ke awan-awan bukan surga yang dijanjikan
dan apa yang tinggal dari kehidupan hanya debu belaka.
Kutapaki trotoar. Pola keping-keping batu bagai relief candi dan retakannya di sana-sini
seolah garis usia renta, seperti usia pohon tua yang terlihat dari banyak lapisan
kambiumnya. Berapa lama aku bekerja menempuh bahaya?
Cahaya lampu-lampu dari gedung kesenian itu menerbitkan semacam perasaan riang.
Malam, hutan, dan gelap adalah kesedihan. Cahaya menimbulkan yang sebaliknya. Aku
menuju tempat yang sudah ditentukan, menunggu seorang teman. Aku duduk di bangku
taman di muka gedung. Mataku terus mengawasi jalan. Kulihat jarum-jarum pada arloji
saku. Ia terlambat.
Kuputuskan menghampiri gedung tersebut.
Pada poster di pintu masuk tertera jadwal acara: pentas opera Cina. Kubeli karcis di loket.
Aku belum pernah menonton opera Cina. Jumlah pengunjung yang ramai membuatku lega.
Ini pertunjukan hari pertama. Di muka ruang pertunjukan, tatapanku terpaut pada
seseorang. Ia sibuk membaca pamflet, sambil bersandar di tembok dekat pintu. Aku mulai
bimbang. Namun, ia mendadak mengangkat wajahnya. Matanya langsung menangkapku.
Aku berharap ia lupa.
Aku bukan seseorang yang ia kenal.
Lupa? Bagaimana mungkin. Aku suka sajak-sajakmu. Oh, ya? Aku sudah lama berhenti
menulis sajak. Hidupku tak seperti yang kamu bayangkan. Kamu lama sekali menghilang.
(Ia merasa kehilangan. Padahal baru kali ini kami bicara. Diam-diam ia memperhatikanku.
Aku tergetar).
Ya, dunia kita berubah. Kita semakin tua.
Ia menganggap malam itu adalah pertemuan pertama kami setelah aku menghilang.
Namun, bagiku ini bukan pertemuan kami yang pertama.
Seminggu lalu, aku melihatnya masuk ke sebuah toko makanan di tepi jalan, berjalak tiga
gedung dari markas tentara. Pikiranku sudah menghambur padanya, namun langkahku
bergerak menjauh. Aku tak bisa menghampirinya sekarang. Kupercepat langkah menuju
stasiun kereta. Kuraba detonator dalam saku jaket. Aku tak mungkin meledakkan sasaran
pagi ini, batinku. Tanganku gemetar.
“Air danau itu dulu pernah biru,” katanya, menyentakku.
“Biru seperti laut?”
“Ya, biru seperti laut.”
“Kukira hijau, karena di dasarnya tumbuh ganggang hijau.”
“Tapi ganggang cuma ada di laut.”
“Maksudku, lumut.”
“Mungkin.”
“Untung saja aku bukan danau.”
Ia tersenyum.
“Di sana kubuang potret-potretmu,” katanya.
“Potret yang mana?”
Kita tak pernah bersama-sama di manapun, baru kali ini.
“Potret yang kucuri.”
“Oh, ya?”
“Kapan?”
Ia tak ingat lagi.
Aku sering berdiri di tepi danau, tapi tak pernah melihatnya. Mungkin, ia berada di
seberang lain danau itu. Artinya, suatu hari kami pernah bersama-sama di danau dan tak
saling tahu.
“Aku sering ke danau itu,” katanya.
“Oh, ya?”
Kali ini aku terperangah.
“Sering?”
Mengapa kami tak saling tahu? Andaikata aku tahu ia di sana, mungkin hidup kami akan
berbeda. Aku melihat ke jendela. Anjing-anjing mondar-mandir di halaman. Seekor
Labrador. Dua Siberian husky. “Mereka anjing-anjing rumah, bukan anjing pelacak yang
galak,” katanya menenangkan pikiranku. Tubuhku menggigil. Seorang temanku mati
dibunuh rotweiller. Anjing itu menggigit lehernya. Kuraba leherku yang tiba-tiba ngilu.
“Danau itu terlalu lebar dan kita tak bisa saling lihat,” katanya menghibur.
“Sudah lama aku tak ke sana.”
“Terakhir kali kukunjungi danau itu, sehari sebelum aku menikah,” katanya lagi.
“Apa warna airnya?”
“Coklat kehijauan.”
“Masih seperti dulu?”
“Ya.”
“Ia baru saja bercerai.” Kata suaminya, “ia selalu dingin di tempat tidur.”
“Dingin seperti es?”
“Aku sudah mencoba dan memang tak bergairah pada pria,” katanya.
Kubayangkan tubuh suaminya yang kaku membiru, terlentang di salah satu tempat di
antartika.
“Seharusnya kita bersama sejak dulu,” katanya lirih.
Aku tersenyum.
“Kamu bisa membuatku hangat,” bisiknya.
“Tetapi kita akan jadi pasangan terkutuk di mata keluargamu,” balasku.
Dan ada yang lebih penting: aku bukanlah seseorang yang ia kenal, dulu maupun kini.

* Dipublikasikan pertama kali di Majalah Pantau, Desember 2003.


Tentang pengarang: Linda Christanty adalah penulis dan jurnalis kelahiran Bangka. Buku
kumpulan cerpennya, Kuda Terbang Maria Pinto, memenangkan Khatulistiwa Literary
Award 2004. Selain menulis fiksi, sejumlah tulisan feature-nya juga dimuat di berbagai
media massa. Saat ini Linda Christanty tinggal Banda Aceh dan menjadi chief editor untuk
Pantau Foundation.

You might also like