You are on page 1of 5

MENULIS LANGIT

Abmi Handayani

Di TK nol besar, Bu Ida mengajariku menulis: INI IBU BUDI. Namun terlambat. Ibuku
telah lebih dulu mengajarkannya. Kupenuhi halamanku dan kuserahkan paling awal agar
dapat melihat senyum Bu Ida. Benar saja. Dia tersenyum cantik mendapati muridnya sudah
lancar menulis meski huruf-hurufnya keluar garis. Di rumah aku menulis lebih banyak
untuk kuberikan pada Bu Ida keesokan harinya. IBU BUDI kutambahi IBU SETAN dan
IBU MALAIKAT agar tidak jemu.
Lantas Ibuku bertanya, “Seperti apa rupanya Ibu Setan itu, Nak?”
“Ibu Setan itu, Bu,” aku menjawab penuh percaya diri, “rambutnya keriting. Bibirnya
merah kayak darah. Bedaknya dari dempul. Kulitnya putih pakai pemutih. Kalau alisnya,
cuma segaris! Digaris pakai pulpen kecil.”
Ibuku segera pergi ke cermin, mematut-matut dirinya di cermin. Padahal yang kumaksud
Ibu Setan adalah guru nol kecil di TK.
Ibu kembali lagi, “Bagaimana dengan rupa Ibu Malaikat?”
Kupaparkan malaikatku pada Ibu. “Rambutnya seperti ombak di laut, Bu. Bibirnya merah
jambu. Nenennya besar, bikin bayi-bayi ngiler. Perutnya rata nggak berlemak seperti Ibu
Setan. Pinggulnya menonjol, seksi. Terus kulitnya cokelat. Suatu ma—“
“Ada-ada saja kau ini!” Ibu melemparku dengan selimut lalu mematut-matut dirinya di
cermin lagi. Pasti mencari sosok malaikat yang kujabarkan tadi.
“Huu!”
Kusimpan lanjutan kalimat itu sampai malam ini.

***
Di bukuku, Bu Sri menulis: Dayu suka menata rambut. Padahal yang menata rambutku
adalah Ibu. Mana mungkin aku sanggup mengepang lengket rambutku serapi ini? Lantas
PR kami adalah meniru tulisannya.
Di atas tempat tidur, aku memerhatikan tulisan Bu Sri. Latin, indah, sambung-
menyambung. Ada garis yang tebal, ada garis yang tipis. Huruf ‘s’ nya meliuk sempurna
bergabung dengan ‘u’. Huruf besar ‘D’ buatan Bu Sri membuatku jatuh cinta. ‘D’ yang
proporsional sesuai tubuhku. Tentulah Bu Sri lebih pandai daripada Bu Ida. Kukerjakan
penuh semangat PR pertamaku:

Dayu suka menata rambut. Dayu suka makan sotong. Dayu suka es jeruk. Dayu suka
malaikat. Dayu benci setan. Dayu suka warna merah. Dayu suka jambu klutuk. Dayu suka
pitik. Dayu cantik. Dayu lucu. Dayu ingin jadi penulis. Dayu ingin terbang ke langit. Dayu
ingin menampar bintang. Dayu ingin makan terang bulan. Dayu ingin memotong
matahari. Dayu ingin menjahit awan. Dayu ingin main monopoli sama Tuhan!

Gantian Bu Sri yang melongo membaca halaman garis-tiga-ku. Aku diberi nilai seratus!
Bu Sri lebih murah hati daripada Bu Ida.
Hmm… Hehehehehehehe…
Bu Sri menghampiriku saat istirahat. “Benar Dayu ingin jadi penulis?”
“Hm-mh,” aku mengangguk-angguk karena mulutku penuh telor dadar.
“Kenapa Dayu ingin jadi penulis?”
“Karena Dayu suka menulis.”
“Menulis apa?”
“Menulis langit,” jawabku sekenanya.
Bu Sri pasti berpikir, mana mungkin menulis langit?
Mungkin! Akan kubuktikan aku dapat menulis langit. Akan kubuat Bu Sri melongo lebih
lebar lagi.

***
Puisi ini jelek!
Kubuka lagi satu lembar langit baru. Aku lebih suka memesan lembaran langit berwarna
putih. Warna gelap kadang membuat mata indahku rabun. Aku menulis puisi cinta untuk
malaikat. Mana dia? Kutunggu sekian lama tidak datang-datang? Apakah puisi-puisiku
tidak sampai padanya? Apakah kurang besar dan indah kutulis puisi-puisi ini?

Dengarlah malaikatku di mana pun engkau berada


Dunia ini lahir dari perut cinta yang berdebu
Aku dan engkau adalah debu-debu itu
Kita terbang lalu bertemu
Saling memagut dan perlahan menyatu.

Crik, crik… Crik, crik… Crik, crik …


“Dayu, sudah jam tujuh, kamu nggak sekolah?” Wajah Ibu nampak kabur. Cipratan air dari
tangannya nyangkut di bulu mataku.
“Kuliah, Ibu. Dayu udah kuliah, bukan sekolah lagi.” Dan tidak pernahkah Ibu
mempelajari metode membangunkan orang yang baik dan benar?
Seandainya Bu Sri masih hidup, akan kuperlihatkan padanya bahwa aku sudah bisa
menulis langit! Langit pagi ini cukup cerah, namun akan kubuat jadi mendung. Kuambil
crayon warna abu-abu tua, kuwarnai tepi-tepi awan. Lihat, awan-awan jadi mendung pekat.
Benar saja, tidak lama kemudian turun hujan. Rinai-rinai lantas deras. Biar indah,
kububuhi sesuatu:

Namaku hujan
Dari pesta awan yang kelebihan stok bir
Akibatnya? Pagi ini mereka rebutan pipis!

Dosenku meletakkan spidolnya lalu bergesa keluar untuk melihat ciptaanku. Kutengok dia
sedang garuk-garuk kepala membaca karyaku. Keren kan, Pak? Mahasiswa mana yang
bisa menulisi hujan sepertiku?
Sambil menghabiskan waktu istirahat, aku suka tidur-tiduran di bawah pohon jambu mete.
Kegemaranku saat istirahat adalah pulpen bertinta hijau muda. Sungguh serasi dengan biru
di atas sana. Matahari selalu menanti puisi-puisiku. Seperti siang ini, dia meloncat-loncat
girang karena aku sudah tidur-tiduran lagi di bawah pohon.
“Hari ini masih untuk malaikat?” tanyanya.
“Yop!” aku mengedipkan mata .
Matahari tahu tugasnya. Dia segera berkomando, menyuruh awan-awan minggir sebentar.
Dayu ingin menulis langit.

Ketika satu persatu bintang benderang


Kedip sinar mereka memantulkan rinduku
Ketika berkerumun dengan bulan.

Mereka saling berbisik, “Ada sepasang malaikat tengah menjalin temali cinta.”
Maka Matahari akan bersorak nyaring, memekakkan telinga teman-teman yang sedang
makan siang. Aku terkikik dan segera kabur ke kamar mandi sebelum dimarahi satpam
kampus karena mencoret-coret langit. Hahahahaha! Dadagh!
Kami berjumpa lagi di sore hari setelah aku bangun dari siesta. Sebelum dibenamkan
waktu, Matahari akan menggeser awan-awan dan memberiku sebidang langit untuk
ditulisi. Dengan latar kuning semburat jingga, tulisanku nampak syahdu.
“Berikan yang terindah untukku, Dayu,” pesan matahari.
“Sip. Sip. Oke, Bos.” Aku selalu berusaha menuliskan yang terindah untuk langit.
“Aku makan empek-empek dulu ya.” Sambil makan, ideku dapat mengalir lebih mulus.
Ibu menyuruhku cepat-cepat makan, sebentar lagi langit akan gelap. Aku menyambar
pulpen biru di meja belajar dan segera menulis. Kali ini huruf kapital semua, tebal-tebal.
My best of the best for the sun:

WELCOME TO THE SPECTACULER WORLD OF HOMOSEXUALITY!

Aku terbahak-bahak melihat Matahari berkerut. Dia tidak berhenti menggaruk-garuk


kepalanya sampai seluruh tubuhnya terbenam. Lalu pelan-pelan Bulan menampakkan
wajahnya. Dia menyengir lebar sekali padaku. Kubalas tidak kalah lebar. Aku tahu yang
diinginkannya. Bulan tidak mau kalah dengan Matahari. Dan menurut para bintang,
tulisanku lebih indah kala malam.
Sambil membusung sombong mereka sering berujar, “Tulisanmu menjadi lebih indah
karena kerlap-kerlip kami, Dayu.”
Kutuliskan sebuah cerita yang turut disaksikan Bapak Penjaga Malam di sela seruput
kopinya. Dari jauh dapat kutangkap senyumnya ketika membaca kalimat demi kalimat
yang kutulis dengan tinta putih. Tentang seorang perempuan yang sedang berdoa untuk
cinta dan hidupnya di meja judi kehidupan. Lawan mainnya adalah Tuhan. Setelah dipikir
baik-baik, ia letakkan seluruh miliknya. Harta benda, nafas, dan surat jaminan bahwa dia
akan bunuh diri jika terbukti cintanya hanyalah sebuah kesalahan. Untuk menjawab
tantangan si perempuan, Tuhan hanya perlu memberi hujan disertai angin minus petir
keesokan harinya.
Kemarin sore aku melihat arak-arakan mendung bergerak menuju perumahan tempat
tinggalku. Tidak ada tanda-tanda bahwa petir akan muncul. Tuhan menepati janji. Hujan
besar diselingi semilir angin membelai tidur siangku. Lantas satu kecup di kelopak mata
membangunkan. Aku tahu! Aku tahu dia akan datang! Malaikat itu duduk di tepi tempat
tidurku. Sesuai sumpahku tahunan lalu, kupeluk dia erat-erat. Kalau perlu sampai
tulangnya remuk semua.
Kutegaskan padanya, “Nggak boleh pergi ya!”
Dia malah bertanya, “Kenapa kamu suka menulis langit?”
“Kamu baca semua puisiku? Itu untukmu.”
“Tentu saja. Beritahu aku, mengapa di langit?”
“Karena hanya aku dan langit yang da—”
Ah! Aku benci jika bicaraku dipotong!
Tapi… tapi, bibirnya melumat bibirku sampai hatiku lumer seperti karamel! Aduh, sedap
sekali! Lupakan potongan kalimat itu, ciuman ini terlampau nikmat. Kalian reka-reka saja
sendiri lanjutannya. Bebas, sesuka hati kalian. Dan, jangan lupa beritahu langit. Dia
menunggu.

++++
Cerpen ini dimuat (dalam bahasa Inggris) di harian The Jakarta Post, 1 Juni 2008.

Tentang Abmi Handayani: Lahir di Balikpapan pada tanggal 5 Januari 1987. Ia


menghabiskan masa kanak-kanak sampai remajanya di Balikpapan, kemudian pindah ke
Yogyakarta untuk belajar di Fakultas Sejarah UGM pada tahun 2004. Bersama Dalih
Sembiring ia menulis Cha Untuk Chayang (GPU, 2007), bergenre teenlit. Di waktu
luangnya, dia menulis cerpen-cerpen untuk dipajang di blognya, menghabiskan waktu di
coffee shop sambil main internet, membaca, blogging, dan chatting.

You might also like