You are on page 1of 4

TAHI LALAT DI PUNGGUNG ISTRIKU

Ratih Kumala

Ada tahi lalat di punggung istriku. Cantik sekali. Tepat di sebelah kiri atas punggung,
mendekati pundak. Itu adalah tahi lalat terseksi yang pernah kulihat. Perempuan-
perempuan mungkin bisa punya bermacam tahi lalat yang cantik; di dada, di pinggir
ketiak, di atas bibir, di dagu, tapi tak ada yang secantik tahi lalat di punggung istriku.
Aku ingat kali pertama melihat tahi lalat itu, dua puluh tujuh tahun yang lalu. Itu adalah
malam pertama setelah siangnya pernikahan dilangsungkan. Hari yang sangat bahagia bagi
kami. Malam itu pertama kali kami betul-betul polos tanpa busana. Saat aku masuk ke
dalam tubuhnya, saat itulah aku mengelus punggungnya dengan lembut, menekan lebih
erat ke tubuhku. Aku dapat merasakan istriku kesakitan. Tahi lalat itu teraba olehku,
seperti batu kecil yang empuk menempel di kulit punggung istriku. Saat kami selesai
bercinta babak pertama, aku menciumi seluruh tubuh istriku. Dia tertawa kegelian, aku
menciumi punggungnya. Saat itulah aku melihat pemandangan yang membuatku takjub;
tahi lalat di punggung istriku. Tahi lalat yang sangat cantik. Seketika, aku jatuh cinta lebih
dalam pada istriku karena tahi lalat itu. Lalu kami bercinta lagi, babak kedua.
Semenjak itu aku punya hobi baru; menciumi punggung istriku. Saat ia tidur, saat ia
mandi, bahkan saat di dapur dan masih berpakaian. Aku akan menciumi punggungnya
hingga membuat ia tertawa kegelian dan aku tahu betul di mana letak tahi lalat itu walau ia
sedang berpakaian lengkap sekali pun. Aku kadang menggodanya menyentuh
punggungnya saat si mbak tukang pijat langganan istriku datang untuk memijat tubuh
istriku yang telanjang. Si mbak itu tertawa-tawa melihat keakraban kami.
“Kenapa kau suka sekali menciumi punggungku?” tanyanya suatu hari. Aku ingat itu di
tahun pertama pernikahan kami dan kami belum punya anak.
“Tahi lalat di punggungmu cantik sekali. Aku ingin selalu menciuminya,” jelasku, istriku
waktu itu tersipu-sipu atas jawabanku.
Suatu hari aku pernah hampir berselingkuh (tentu saja istriku tak tahu perihal ini),
kolegaku membawakan perempuan untuk iming-iming pelicin proyek kerja. Kami sudah
masuk ke kamar hotel bintang lima, sebuah suite yang dipesan khusus untukku. Aku
tinggal pakai saja, katanya waktu itu sambil terkekeh-kekeh nakal. Jujur, malam itu aku
sudah hampir menyetubuhinya; perempuan tinggi semampai bak model (atau mungkin dia
memang betul-betul seorang model), dengan wajah yang kebarat-baratan dan dada yang
besar. Saat dia berbalik dengan tubuhnya yang setengah telanjang, aku melihat dia juga
punya tahi lalat di punggung. Aku langsung teringat pada istriku, ia juga punya tahi lalat di
punggungnya. Jauh lebih cantik dari tahi lalat perempuan ini, pikirku. Aku membatalkan
semua, berpakaian lalu keluar dari hotel menuju mobil yang kuparkir di halaman.
Perempuan itu marah-marah melihatku meninggalkannya dalam keadaan telanjang dan tak
disentuh. Kolegaku berusaha menahanku dan membujukku dengan wajah khawatir proyek
tak diloloskan, bahkan meminta maaf berkali-kali. Aku pulang, bercinta dengan istriku
habis-habisan. Dan besoknya, proyek itu kuloloskan.
Aku sangat jatuh cinta pada istriku karena tahi lalat itu. Berahiku meluap-luap setiap aku
teringat atau melihat tahi lalat itu. Hingga suatu malam, saat kami akan bercinta dan aku
mulai menciumi punggung istriku, aku tak menemukan titik hitam sekecil apa pun di
punggungnya. Aku kaget bukan kepalang.
“Ma, mana tahi lalatmu?” tanyaku dengan mata awas menyusur seputar punggung istriku
mencari tahi lalatnya di sana-sini, kalau-kalau tahi lalat itu pindah tempat.
“Tahi lalat apa?”
“Tahi lalat di punggungmu.”
“Ah, Papa suka ngaco. Hayo, tahi lalat siapa? Di punggung siapa?” tanyanya dengan wajah
ngambek.
“Ya tahi lalatmu di punggung. Di sini,” kataku sambil menunjuk satu titik di sebelah kiri
atas punggungnya mendekati pundak.
“Aku tidak pernah punya tahi lalat di punggung,” sanggahnya.
“Tidak mungkin. Ada kok, yang biasa aku ciumi itu lho…!” aku mulai gemas dan kesal.
“Tidak ada, Pa. Aku tidak pernah punya tahi lalat di punggung!”
Malam itu kami batal bercinta. Itu adalah kali pertama aku tak bergairah setelah dua puluh
tujuh tahun kami menikah. Aku kesal dan langsung beranjak tidur. Istriku juga kesal, kami
tidur saling memunggungi setelah berpakaian lengkap. Aku pejamkan mataku rekat-rekat
berharap itu cuma mimpi.
Malam berikutnya, kami mencoba bercinta lagi. Aku bahkan sudah tak ingat kalau kemarin
malam tahi lalat itu tiba-tiba hilang. Aku kembali menyusuri tubuhnya yang mulai keriput,
lalu menciumi punggungnya. Sekali lagi, aku tak menemukan tahi lalat itu di sana.
Kembali aku tanyakan pada istriku ke mana tahi lalat di punggungnya hilang. Seperti
malam sebelumnya, aku mendapat jawaban yang sama bahwa dia tak pernah merasa punya
tahi lalat di punggung. Sekali lagi aku tak bergairah, kami gagal bercinta lagi dan tidur
saling memunggungi lagi. Aku mulai betul-betul kesal, sambil memejamkan mataku aku
berpikir ke mana tahi lalat itu. Aku ingin memastikan tahi lalat itu pindah ke mana.
Esoknya, dimulailah hari-hari penyidikanku. Aku sengaja meraba punggung istriku saat di
dapur, meraba punggungnya saat dia menonton televisi, aku mengikutinya mandi dan
mencari-cari di seputar punggungnya ke mana gerangan tahi lalat itu pergi. Aku perhatikan
baik-baik punggung istriku yang telanjang saat dia sedang dipijat. Tapi tak juga kutemukan
di mana tahi lalat itu. Lalu kupikir, mungkin tahi lalat itu betul-betul pindah tempat. Maka
aku mencari di setiap sudut tubuh istriku. Berharap jika menemukan tahi lalat itu ingin
kubujuk untuk kembali ke tempat semula. Mulailah, setiap malam selama sepuluh hari aku
menelanjangi istriku, menyusuri tubuhnya dan akhirnya terpaksa menyetubuhi istriku
dengan berahi yang hanya setengah, karena setengahnya lagi rasanya telah pergi bersama
dengan hilangnya tahi lalat itu. Aku betul-betul penasaran sekaligus sangat merasa
kehilangan atas tak adanya tahi lalat di punggung istriku. Aku cari di bawah ketiaknya, di
antara rambutnya yang mulai memutih, di selangkangannya yang mulai keriput, di telapak
kaki yang pecah-pecah tumitnya, di antara jemari, di lipatan pahanya, tapi tak juga
kutemukan. Resmi sudah; aku putus asa.
Hari-hari kujalani dengan tanpa gairah. Aku laksana remaja yang baru ditinggal pacar. Aku
pergi ke kantor tanpa ada keinginan untuk bekerja, pulang melihat istriku dengan tubuh
yang tak seindah dulu lagi. Rasanya istriku dulu lebih muda, cantik dan menggairahkan
daripada sekarang. Aku tak bergairah. Tak lagi kusentuh istriku. Kuhubungi kolegaku yang
dulu pernah membawakanku wanita panggilan. Kuminta ia menghubungi perempuan yang
sama dan mem-booking sebuah hotel berbintang lima. Perempuan yang tinggi semampai
bak model dengan dada besar itu berdiri di hadapanku dengan telanjang, kuminta ia
berbalik. Kupandangi tahi lalat di punggungnya, tak sama. Sesaat aku mengamati dan
berharap kalau-kalau itu adalah tahi lalat istirku, tetapi bukan. Betapa aku sangat
merindukan tahi lalat di punggung istriku. Tahi lalat tercantik yang pernah ada yang kini
hilang entah ke mana. Walaupun istriku menyangkal berkali-kali bahwa dia tak pernah
punya tahi lalat itu, aku sangat yakin selama dua puluh tujuh tahun perkawinan kami,
hampir setiap malam aku menciumi tahi lalat di punggungnya. Malam itu, aku bercinta
semu dengan perempuan itu, menciumi punggung wanita panggilan itu hingga
membuatnya tertawa geli. Membayangkan aku bercinta dengan istriku yang masih
memiliki tahi lalat di punggungnya. Lalu pulang dan tidur hingga siang. Aku absen kerja.
Hari-hari berikutnya, aku mulai merasa gila. Aku kurus karena tak makan. Rinduku pada
tahi lalat itu semakin menjadi-jadi. Tak lagi kusentuh istriku. Saat aku melihatnya tidur,
aku hanya seperti melihat seonggok tubuh. Tak bergairah. Kucoba menatap wajahnya
rekat-rekat, mencari sisa-sisa kemudaaan di antara wajahnya yang mulai merenta.
Sebetulnya istriku masih cantik, tubuhnya juga tak lantas jadi gembrot. Garis wajahnya
yang mulai tegas menunjukkan dia perempuan yang matang. Tapi kenapa aku tak
bergairah padanya? Aku sama sekali tak terberahi. Sekali lagi, aku mengelus punggungnya
dengan lembut, membuat istriku sedikit bergerak dalam tidurnya. Tapi tak kutemukan
tanda-tanda tahi lalat itu ada. Masa kah aku salah selama dua puluh tujuh tahun ini? Lantas
siapa perempuan yang memiliki tahi lalat di punggung itu? Aku yakin dia istriku. Aku tak
mungkin salah! Tak mungkin! Tapi suara istriku yang berkata ‘aku tak pernah punya tahi
lalat di punggung’ terus mengiang-ngiang di telingaku. Kacau sekali pikiranku. Aku
merasa mulai jadi gila.

***
Aku tahu, suamiku sangat mencintai tahi lalat di punggungku. Seksi, katanya. Katanya
juga, itu adalah tahi lalat tercantik yang pernah dilihatnya. Dia sangat suka meraba
punggungku, berlama-lama menciumi punggungku dan tahi lalat itu. Dia juga kerap
menyemburkan spermanya di atas tahi lalat itu saat kami bercinta. Hingga suatu hari, aku
tak pernah lagi diciumnya. Dia hanya menciumi punggungku. Dia lupa mencium bibirku
atau keningku atau pipiku. Aku harus memintanya dulu untuk mencium bibirku, jika tidak
dia tak akan ingat. Setiap ada kesempatan, dia selalu mencium punggungku. Aku mulai
membeci tahi lalat di punggungku, aku cemburu.
“Angkat saja, Jeng…,” kata Ratri suatu hari saat dia sedang memijatku, perempuan paruh
baya yang tak pernah menikah itu sudah sepuluh tahun ini menjadi tukang pijat
langgananku. Aku bercerita padanya perihal suamiku dan tahi lalat di punggungku.
“Angkat?”
“Iya, pakai laser. Ada lho teknologi seperti itu.” Lalu Ratri menjelaskan bahwa
tetangganya yang punya tahi lalat di hidung juga mengangkatnya dengan laser. Harganya
memang sedikit mahal, tapi tak berbekas dan tak sakit. Maka, siang saat suamiku kerja aku
diantar Ratri ke dokter kulit untuk mengangkat tahi lalat di punggung.
Benar saja, malam saat suamiku mengajak bercinta dia mencari-cari tahi lalat itu. Kubilang
saja bahwa aku tak pernah punya tahi lalat, sebab aku tahu jika aku mengaku telah
membuang tahi lalat itu dia akan marah besar. Hari-hari selanjutnya kubiarkan dia
penasaran mencari tahi lalat itu, kupikir dia akan pulih dengan sendirinya tetapi ternyata
aku salah. Suatu pagi, saat aku mencuci pakaian suamiku yang hari itu absen kerja karena
tidur hingga siang, kucium parfum perempuan di baju kerjanya. Ada rambut ikal panjang
pula yang menempel di celana dalamnya. Pasti suamiku selingkuh! Pasti!
Aku menangis, tiba-tiba merasa menyesal telah membuang tahi lalat itu. Hari-hari kujalani
tanpa gairah. Suamiku pulang-pergi ke kantor dengan dingin. Dia tak pernah menyentuhku,
tak juga menyentuh punggungku. Tak menciumku pula.
“Gimana ini, Jeng?” Aku mengeluh pada Ratri tentang suamiku saat dia sedang memijatku.
Aku telanjang tengkurap sambil menangis. Ratri lalu menghentikan pijatannya. Aku
duduk, menutup separuh tubuhku dengan handuk, selembar tisu diberikan padaku. Kuusap
air mataku.
“Sudah, Jeng. Sementara lupakan dia.” Ratri berkata dengan lembut, lantas dipeluknya
aku. Aku menangis di pundak Ratri. Kurasakan napasnya yang hangat di tengkukku, dan
bibirnya lembut seketika menempel di leherku. Dia menarik handukku, menyentuh dadaku
dengan lembut. Ada sentuhan yang lama kurindukan di situ.

-rk-
@SepociKopi, 2008
Dimuat di Kumpulan Cerpen Larutan Senja (Gramedia Pustaka Utama, 2006)

Tentang pengarang: Ratih Kumala, lahir di Jakarta 4 Juni 1980. Ia menyelesaikan studi
dari Jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.
Buku pertamanya, novel berjudul Tabula Rasa, memperoleh hadiah ketiga Sayembara
Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003, dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo,
2004. Novel keduanya, Genesis, diterbitkan Insist Press tahun 2005. Kumpulan cerita
pendeknya, Larutan Senja, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2006.
Selain menulis novel dan cerita pendek, Ratih juga tengah menyelesaikan sebuah novel
grafis dan menulis skenario untuk acara televisi Jalan Sesama (yang merupakan versi
Indonesia Sesame Street). Saat ini tinggal di Jakarta bersama suaminya, penulis Eka
Kurniawan.

You might also like