You are on page 1of 64

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah membawa dimensi baru dalam penyelenggaraan otonomi

daerah yang tercermin pada pengaturan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan daerah yang lebih mengedepankan penerapan asas

desentralisasi, sedangkan asas dekonsentrasi mendapat bobot penekanan yang

lebih rendah. Salah satu prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan

pedoman dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah bahwa

pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah

Kabupaten dan Kota, sedangkan otonomi propinsi merupakan otonomi yang

bersifat terbatas. Sebagai konsekuensi dari pemikiran di atas, bagi daerah

Kabupaten/Kota dibutuhkan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan

sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan

Daerah serta antara Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota.

Koswara E, (2000 : 50) mengemukakan bahwa ciri utama yang

menunjukkan suatu Daerah Otonom mampu berotonomi terletak pada

kemampuan keuangan Daerah. Artinya, Daerah Otonom harus memiliki

kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,

mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.


Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan

Daerah pasal 79 disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah terdiri

dari atas : pertama, pendapatan asli daerah yang terdiri dari hasil pajak daerah,

hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan

kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan asli daerah yang

sah; kedua, dana perimbangan; ketiga, pinjaman daerah; keempat, lain-lain

pendapatan daerah yang sah. Sumber penerimaan pendapatan asli daerah

merupakan sumber keangan daerah yang digali dari dalam wilayah yang

bersangkutan. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus mengupayakan secara

optimal untuk menggali potensi yang dimiliki sehingga mampu meningkatkan

PAD.

Bagian laba BUMD merupakan salah satu sumber penerimaan PAD yang

cukup potensial. Selama ini keberadaan BUMD belum dapat memberikan

kontribusi yang wajar bagi daerah jika dibandingkan dengan sumber-sumber

PAD lainnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.1
Komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Seluruh Propinsi
di Indonesia, 1997/1998 dan 1998/1999
(dalam miliyar rupiah)
No. Uraian 1997/1998 1998/1999
Jumlah Proporsi % Jumlah Proporsi %
1. Pajak Daerah 3,718.37 79.99 2,533.04 81.69
2. Retribusi Daerah 687.38 14.79 256.89 8.32
3. Bagian Laba BUMD 90.27 1.94 65.12 2.99
4. Penerimaan Lain-lain 152.27 3.28 245.88 5.10
Total PAD 4,648.29 100.00 3,100.93 100.00
Sumber : Departemen Keuangan, Pengantar Nota Keuangan 2000.

Perusahaan daerah adalah badan usaha milik daerah yang merupakan

pengelola kekayaan daerah yang dipisahkan, berwenang dan


bertanggungjawab atas penyelenggaraan administrasi dan penggunaannya,

sehingga perusahaan milik daerah merupakan bagian yang cukup penting dalam

menunjang PAD, namun pada kenyataannya sebagai badan usaha milik

pemerintah daerah dalam menambah pendapatan asli daerah masih relatif kecil

bila dibandingkan dengan pajak daerah dan retribusi daerah, bahkan beberapa

perusahaan menjadi beban Pemerintah Daerah (Devas, 1999 : 92).

Penelitian Alhabsji dkk (1987 : 2) mengungkapkan bahwa belum berperannya

perusahaan daerah sebagaimana yang diharapkan disebabkan oleh tiga

masalah pokok, yaitu masalah keuangan, personalia dan pengawasan.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Limau Kunci merupakan satu-

satunya BUMD yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat. PDAM

Limau Kunci bergerak dalam penyediaan air minum bagi masyarakat yang dalam

operasionalnya melekat dua fungsi, yaitu sebagai unsur pelayanan masyarakat

dan sebagai salah satu sumber PAD. Sebagai unsur pelayanan masyarakat

dituntut berorientasi sosial, sedangkan sebagai sumber PAD tidak terlepas dari

aspek ekonomi, yaitu mencari keuntungan. Sejak berdirinya PDAM Limau Kunci

hingga akhir periode pengamatan, belum pernah memberikan kontribusi bagi

PAD Kabupaten Lampung Barat, dikarenakan selalu mengalami kerugian.

Berdasarkan latar belakang di atas, bahwa PDAM Limau Kunci sebagai

sumber PAD belum memberikan kontribusi bagi PAD Kabupaten Lampung

Barat, maka perlu diteliti kinerja dan laba PDAM Limau Kunci serta faktor-faktor

yang mempengaruhinya.

1.2 Keaslian Penelitian


Moeljo, (1997), telah melakukan penelitian mengenai kinerja Perusahaan

Daerah Air Minum Kotamadya Dati II Surabaya periode 1993-1996 dengan

tujuan untuk mengetahui kinerja PDAM secara umum dan untuk mengetahui

kinerja keuangan PDAM berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

690.900-327 tahun 1994 tentang Pedoman dan Pemantauan Kinerja Keuangan

PDAM. Kesimpulan yang diperoleh adalah kinerja keuangan PDAM Kotamadya

Dati II Surabaya selama periode 1993 – 1996 semakin membaik. Hal ini

ditunjukkan dengan peningkatan pada kapasitas produksi, tingkat pelayanan,

penjualan air, pendapatan usaha dan jumlah pelanggan. Tingkat kesehatan

PDAM pada periode 1993, 1995, 1996 menunjukkan kinerja sehat (S),

sedangkan pada periode 1994 menunjukkan kinerja yang sehat sekali (SS).

Jordan (1996) melengkapi teori analisis rasio untuk menaksir kinerja

keuangan perusahaan air minum dengan menggunakan model regresi. Informasi

keuangan yang digunakan dari dua puluh lima perusahaan air minum di Georgia,

yang terdiri dari laporan laba (rugi) dan neraca. Dengan menggunakan dua puluh

tujuh rasio keuangan dimasukkan ke dalam model. Jordan menyimpulkan bahwa

untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan air ditentukan dari debt coverage

dengan 4 (empat) variabel bebasnya yaitu current ratio, debt to equity, interest

coverage, return on assets dan an operating ratio.

Engko, (1999), telah melakukan penelitian mengenai kinerja finansial

Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Sorong periode 1994-1998, dengan

menganalisis pengelolaannya, kemungkinan pengembangan dan menghitung

common size, indeks, efektivitas, rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas.


Kesimpulan yang diperoleh adalah common size dan neraca indeks

menunjukkan jumlah aktiva pada periode 1994-1998 cukup baik, kinerja

keuangan pada periode 1994-1998 kurang sehat, dan secara operasional

belum berhasil.

Widarto (1997), telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja keuangan PDAM Kabupaten Dati II Ponorogo selama 13

(tiga belas) tahun terakhir dari periode waktu 1984 sampai dengan 1996. Untuk

mengukur kinerja keuangan PDAM digunakan alat analisis struktur hutang,

efisiensi dan keuntungan yang didasarkan pada Kepmendagri Nomor 690.900-

327 tahun 1994 tentang Pedoman Penilaian dan Pemantauan Kinerja Keuangan

PDAM, sedangkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

kinerja keuangan dengan menggunakan alat Statistik Micro TSP Versi 6. Hasil

analisis disimpulkan bahwa kinerja keuangan PDAM Kabupaten Ponorogo pada

periode 1984, 1985, 1990, 1992 menunjukkan kinerja Kurang Sehat (KS), tetapi

untuk periode 1986 s.d. 1989, 1993 s.d. 1996 menunjukkan kinerja Sehat (S).

Dari analisis statistik disimpulkan, bahwa terdapat dua variabel yang secara

signifikan mampu mempengaruhi kinerja keuangan PDAM yaitu variabel

likuiditas dan total assets turnover pada tingkat kepercayaan 99%.

Hasil penelitian tersebut di atas tidak berlaku umum, dalam pengertian

bahwa kesimpulan yang diperoleh melalui penelitian tersebut tidak dapat

digunakan untuk menjelaskan laba PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung

Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian ini terdapat


perbedaan penelitian yang penulis akan bahas yaitu : lokasi penelitian, metode

analisis dan variabel yang digunakan.

1.3 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai maka penelitian ini akan

memberikan manfaat sebagai berikut.

1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk

mengetahui kondisi keuangan PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung

Barat.

2. Sebagai bahan masukan bagi PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat

untuk mengambil kebijakan dalam mengembangkan Perusahaan Daerah Air

Minum.

1.4 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan latar belakang dan permasalahan, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui kinerja Perusahaan Daerah Air Minum Limau Kunci Kabupaten

Lampung Barat ditinjau dari aspek keuangan, operasional, dan administrasi

berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 47 Tahun 1999,

tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum.

2. Mengkaji pengaruh jumlah air yang terjual terhadap laba kotor usaha PDAM.

3. Mengkaji pengaruh PDRB perkapita terhadap laba kotor usaha PDAM.

4. Mengkaji pengaruh faktor jumlah air yang terjual dan PDRB perkapita secara

bersama-sama berpengaruh terhadap laba kotor usaha PDAM.


1.5 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut.

BAB I Pengantar mencakup latar belakang yang di dalamnya terkandung

perumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, dan

sistematika penulisan. BAB II Tinjauan pustaka dan alat analisis yang

mencakup tinjauan pustaka, landasan teori dan alat analisis. BAB III Analisis

data yang mencakup cara penelitian, hasil analisis data dan pembahasan. BAB

IV Kesimpulan dan saran.

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah membawa dimensi baru dalam penyelenggaraan otonomi

daerah yang tercermin pada pengaturan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan daerah yang lebih mengedepankan penerapan asas

desentralisasi, sedangkan asas dekonsentrasi mendapat bobot penekanan yang

lebih rendah. Salah satu prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan

pedoman dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah bahwa

pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah

Kabupaten dan Kota, sedangkan otonomi propinsi merupakan otonomi yang

bersifat terbatas. Sebagai konsekuensi dari pemikiran di atas, bagi daerah


Kabupaten/Kota dibutuhkan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan

sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan

Daerah serta antara Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota.

Koswara E, (2000 : 50) mengemukakan bahwa ciri utama yang

menunjukkan suatu Daerah Otonom mampu berotonomi terletak pada

kemampuan keuangan Daerah. Artinya, Daerah Otonom harus memiliki

kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,

mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan

Daerah pasal 79 disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah terdiri

dari atas : pertama, pendapatan asli daerah yang terdiri dari hasil pajak daerah,

hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan

kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan asli daerah yang

sah; kedua, dana perimbangan; ketiga, pinjaman daerah; keempat, lain-lain

pendapatan daerah yang sah. Sumber penerimaan pendapatan asli daerah

merupakan sumber keangan daerah yang digali dari dalam wilayah yang

bersangkutan. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus mengupayakan secara

optimal untuk menggali potensi yang dimiliki sehingga mampu meningkatkan

PAD.

Bagian laba BUMD merupakan salah satu sumber penerimaan PAD yang

cukup potensial. Selama ini keberadaan BUMD belum dapat memberikan


kontribusi yang wajar bagi daerah jika dibandingkan dengan sumber-sumber

PAD lainnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1.1
Komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Seluruh Propinsi
di Indonesia, 1997/1998 dan 1998/1999
(dalam miliyar rupiah)
No. Uraian 1997/1998 1998/1999
Jumlah Proporsi % Jumlah Proporsi %
1. Pajak Daerah 3,718.37 79.99 2,533.04 81.69
2. Retribusi Daerah 687.38 14.79 256.89 8.32
3. Bagian Laba BUMD 90.27 1.94 65.12 2.99
4. Penerimaan Lain-lain 152.27 3.28 245.88 5.10
Total PAD 4,648.29 100.00 3,100.93 100.00
Sumber : Departemen Keuangan, Pengantar Nota Keuangan 2000.

Perusahaan daerah adalah badan usaha milik daerah yang merupakan

pengelola kekayaan daerah yang dipisahkan, berwenang dan

bertanggungjawab atas penyelenggaraan administrasi dan penggunaannya,

sehingga perusahaan milik daerah merupakan bagian yang cukup penting dalam

menunjang PAD, namun pada kenyataannya sebagai badan usaha milik

pemerintah daerah dalam menambah pendapatan asli daerah masih relatif kecil

bila dibandingkan dengan pajak daerah dan retribusi daerah, bahkan beberapa

perusahaan menjadi beban Pemerintah Daerah (Devas, 1999 : 92).

Penelitian Alhabsji dkk (1987 : 2) mengungkapkan bahwa belum berperannya

perusahaan daerah sebagaimana yang diharapkan disebabkan oleh tiga

masalah pokok, yaitu masalah keuangan, personalia dan pengawasan.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Limau Kunci merupakan satu-

satunya BUMD yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat. PDAM

Limau Kunci bergerak dalam penyediaan air minum bagi masyarakat yang dalam

operasionalnya melekat dua fungsi, yaitu sebagai unsur pelayanan masyarakat


dan sebagai salah satu sumber PAD. Sebagai unsur pelayanan masyarakat

dituntut berorientasi sosial, sedangkan sebagai sumber PAD tidak terlepas dari

aspek ekonomi, yaitu mencari keuntungan. Sejak berdirinya PDAM Limau Kunci

hingga akhir periode pengamatan, belum pernah memberikan kontribusi bagi

PAD Kabupaten Lampung Barat, dikarenakan selalu mengalami kerugian.

Berdasarkan latar belakang di atas, bahwa PDAM Limau Kunci sebagai

sumber PAD belum memberikan kontribusi bagi PAD Kabupaten Lampung

Barat, maka perlu diteliti kinerja dan laba PDAM Limau Kunci serta faktor-faktor

yang mempengaruhinya.

1.2 Keaslian Penelitian

Moeljo, (1997), telah melakukan penelitian mengenai kinerja Perusahaan

Daerah Air Minum Kotamadya Dati II Surabaya periode 1993-1996 dengan

tujuan untuk mengetahui kinerja PDAM secara umum dan untuk mengetahui

kinerja keuangan PDAM berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

690.900-327 tahun 1994 tentang Pedoman dan Pemantauan Kinerja Keuangan

PDAM. Kesimpulan yang diperoleh adalah kinerja keuangan PDAM Kotamadya

Dati II Surabaya selama periode 1993 – 1996 semakin membaik. Hal ini

ditunjukkan dengan peningkatan pada kapasitas produksi, tingkat pelayanan,

penjualan air, pendapatan usaha dan jumlah pelanggan. Tingkat kesehatan

PDAM pada periode 1993, 1995, 1996 menunjukkan kinerja sehat (S),

sedangkan pada periode 1994 menunjukkan kinerja yang sehat sekali (SS).

Jordan (1996) melengkapi teori analisis rasio untuk menaksir kinerja

keuangan perusahaan air minum dengan menggunakan model regresi. Informasi


keuangan yang digunakan dari dua puluh lima perusahaan air minum di Georgia,

yang terdiri dari laporan laba (rugi) dan neraca. Dengan menggunakan dua puluh

tujuh rasio keuangan dimasukkan ke dalam model. Jordan menyimpulkan bahwa

untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan air ditentukan dari debt coverage

dengan 4 (empat) variabel bebasnya yaitu current ratio, debt to equity, interest

coverage, return on assets dan an operating ratio.

Engko, (1999), telah melakukan penelitian mengenai kinerja finansial

Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Sorong periode 1994-1998, dengan

menganalisis pengelolaannya, kemungkinan pengembangan dan menghitung

common size, indeks, efektivitas, rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas.

Kesimpulan yang diperoleh adalah common size dan neraca indeks

menunjukkan jumlah aktiva pada periode 1994-1998 cukup baik, kinerja

keuangan pada periode 1994-1998 kurang sehat, dan secara operasional

belum berhasil.

Widarto (1997), telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja keuangan PDAM Kabupaten Dati II Ponorogo selama 13

(tiga belas) tahun terakhir dari periode waktu 1984 sampai dengan 1996. Untuk

mengukur kinerja keuangan PDAM digunakan alat analisis struktur hutang,

efisiensi dan keuntungan yang didasarkan pada Kepmendagri Nomor 690.900-

327 tahun 1994 tentang Pedoman Penilaian dan Pemantauan Kinerja Keuangan

PDAM, sedangkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

kinerja keuangan dengan menggunakan alat Statistik Micro TSP Versi 6. Hasil

analisis disimpulkan bahwa kinerja keuangan PDAM Kabupaten Ponorogo pada


periode 1984, 1985, 1990, 1992 menunjukkan kinerja Kurang Sehat (KS), tetapi

untuk periode 1986 s.d. 1989, 1993 s.d. 1996 menunjukkan kinerja Sehat (S).

Dari analisis statistik disimpulkan, bahwa terdapat dua variabel yang secara

signifikan mampu mempengaruhi kinerja keuangan PDAM yaitu variabel

likuiditas dan total assets turnover pada tingkat kepercayaan 99%.

Hasil penelitian tersebut di atas tidak berlaku umum, dalam pengertian

bahwa kesimpulan yang diperoleh melalui penelitian tersebut tidak dapat

digunakan untuk menjelaskan laba PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung

Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian ini terdapat

perbedaan penelitian yang penulis akan bahas yaitu : lokasi penelitian, metode

analisis dan variabel yang digunakan.

1.3 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai maka penelitian ini akan

memberikan manfaat sebagai berikut.

3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Barat untuk

mengetahui kondisi keuangan PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung

Barat.

4. Sebagai bahan masukan bagi PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat

untuk mengambil kebijakan dalam mengembangkan Perusahaan Daerah Air

Minum.

1.4 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan latar belakang dan permasalahan, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk :


5. Mengetahui kinerja Perusahaan Daerah Air Minum Limau Kunci Kabupaten

Lampung Barat ditinjau dari aspek keuangan, operasional, dan administrasi

berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 47 Tahun 1999,

tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum.

6. Mengkaji pengaruh jumlah air yang terjual terhadap laba kotor usaha PDAM.

7. Mengkaji pengaruh PDRB perkapita terhadap laba kotor usaha PDAM.

8. Mengkaji pengaruh faktor jumlah air yang terjual dan PDRB perkapita secara

bersama-sama berpengaruh terhadap laba kotor usaha PDAM.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut.

BAB I Pengantar mencakup latar belakang yang di dalamnya terkandung

perumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, dan

sistematika penulisan. BAB II Tinjauan pustaka dan alat analisis yang

mencakup tinjauan pustaka, landasan teori dan alat analisis. BAB III Analisis

data yang mencakup cara penelitian, hasil analisis data dan pembahasan. BAB

IV Kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Penelitian sebelumnya

Alhabsji dkk, (1987), mengemukakan bahwa berperannya perusahaan

daerah sebagaimana yang diharapkan disebabkan oleh tiga masalah pokok,

yaitu masalah keuangan, personalia, dan pengawasan. Masalah keuangan yang

dihadapi oleh perusahaan daerah adalah kekurangan modal untuk investasi.

Sedangkan masalah penunjang yang cukup berpengaruh terhadap kinerja

perusahaan daerah adalah profesionalisme sumber daya manusia yang masih

rendah, dan tingkat pengawasan yang masih rendah.

Helfert dan Weston, (1997), menganalisis bahwa ada pergeseran prioritas

manajemen, yaitu : manajemen biaya, pertumbuhan, profitabilitas, kepuasan

atau profitabilitas konsumen, dan pangsa pasar menjadi lebih terfokus.

Kesimpulan dari studi tersebut adalah selama ini sebagian besar manajemen

tidak menghasilkan formulasi akuntansi manajemen yang lebih baik. Masalah

yang dihadapi adalah besarnya resiko untuk melakukan apa yang disarankan

bahwa riset analitis yang digunakan lebih banyak bergeser dari konteks umum

menjadi lebih spesifik pada isu akuntansi manajemen.

Zmijewski, (1997 : 59-82), dalam studi untuk menentukan kerangka

klasifikasi dari 60 (enam puluh) rasio keuangan yang mampu mencerminkan

kinerja keuangan perusahaan diklasifikasi menjadi 8 (delapan) kelompok,

dimana 45 (empat puluh lima) di antaranya adalah rasio keuangan yang


digunakan dalam studi Curtis. Setiap kelompok mencerminkan hubungan antara

kondisi keuangan perusahaan dengan aspek perusahaan tertentu. Kedelapan

kelompok rasio keuangan dimaksud adalah Rasio Hasil atas Investasi, Rasio

Marjin Laba, Rasio Perputaran Modal, Rasio Perputaran Piutang, Rasio Struktur

Aktiva dan Modal Sendiri, Rasio Likuiditas, Rasio Leverage, dan Rasio Arus Kas.

Kusuma (1999) menguji kinerja keuangan dan karakteristik perusahaan

multinasional serta domestik di Amerika dengan mengacu hasil studi Michel dan

Shaked (1986) yang menggunakan data cross section dari 1973 – 1982.

Pengukuran kinerja kelompok multinasional dibandingkan dengan pengukuran

kinerja kelompok domestik yang memperlihatkan bahwa perusahaan domestik

signifikan tahan dalam mengatasi resiko. Kusuma mengemukakan 3 hipotesis

yaitu pertama, diduga kinerja perusahaan domestik lebih baik dari kenerja

perusahaan multinasional. Tiga pengukuran kinerja digunakan yaitu model

Sharpe; model Treynor dan model Jensen. Kedua, diduga bahwa rasio-rasio

perusahaan multinasional dan perusahaan domestik adalah signifikan yang

masing-masing berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa rasio likuiditas tinggi

untuk perusahaan domestik daripada perusahaan multinasional. Rasio

solvabilitas tidak signifikan berbeda untuk multinasional dan domestik. Tingkat

pengembalian harta, rasio nilai harga pasar, rasio pembayaran deviden, rasio

keuntungan harga perlembar saham dan rasio kapitalisasi adalah tinggi untuk

perusahaan multinasional. Tingkat perputaran persediaan untuk perusahaan

multinasional adalah rendah. Ketiga, diduga bahwa rasio-rasio keuangan biasa

digunakan untuk menjelaskan kinerja pada kedua perusahaan. Hasilnya


menunjukkan bahwa untuk perusahaan multinasional likuiditas, tingkat

pengembalian harta, perputaran persediaan dan rasio kapitalisasi merupakan

variabel kunci untuk monitor sedangkan bagi perusahaan domestik yang

merupakan variabel kunci untuk monitor adalah tingkat pengembalian harta,

rasio harga pasar dan rasio pembayaran dividen.

Model yang digunakan Kusuma untuk menguji gabungan kinerja dan

karakteristiknya sebagai berikut.

Performance(it) = i + (1i)Liquidity(it) + (2i)Solvency(it) + (3i)Profitability(it) +

(4i)Efficiency(it) + (5i)Market Ratio(it) + (6i) Tangibility(it) +

e(it) ………………………………….…..(2.1)

dimana :

Performance(it) adalah perubahan kinerja dari tahun t-I ke tahun t untuk

perusahaan i.

Liquidity(it) adalah perubahan likuiditas dari tahun t-I ke tahun t untuk

perusahaan i.

Solvency(it) adalah perubahan solvabilitas dari tahun t-I ke tahun t untuk

perusahaan i.

Profitability(it) adalah perubahan profitabilitas dari tahun t-I ke tahun t untuk

perusahaan i.

Efficiency(it) adalah perubahan efisiensi dari tahun t-I ke tahun t untuk

perusahaan i.

Market Ratio(it) adalah perubahan rasio pasar dari tahun t-I ke tahun t untuk

perusahaan i.
Tangibility(it) adalah perubahan aktiva berwujud dari tahun t-I ke tahun t

untuk perusahaan i.

Bertentangan dengan hipotesis, hasil empiris memperlihatkan

berdasarkan kinerja pasar ada penyesuaian terhadap resiko, kinerja perusahaan

multinasional di luar perusahaan domestik.

Rayanto, (1998 : 93-107), meneliti Manajemen Strategik Badan Usaha

Milik Daerah Propinsi DIY periode waktu 1992/1993-1995/1996. Kesimpulan

yang diperoleh adalah eksistensi Perusahaan Daerah sampai saat ini

sesungguhnya bukan karena perusahaan mempunyai kinerja yang baik,

melainkan lebih disebabkan oleh adanya pemberian monopoli pada produk-

produk tertentu melalui regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.

Berdasarkan analisis SWOT, memperlihatkan bahwa secara strategis ada cukup

banyak masalah yang harus dipecahkan oleh BUMD. Dapat diidentifikasikan

bahwa BUMD harus mempunyai kemampuan untuk meningkatkan SDM,

melakukan restrukturisasi organisasi, meningkatkan kualitas produk dan

pelayanan, hingga ke persoalan kemitraan, divestasi maupun pengembangan

teknologi baru.

2.1.2 Kinerja keuangan perusahaan

Helfert, (1991 : 52-53), mengungkapkan bahwa kinerja perusahaan

adalah hasil dari semua keputusan yang dilakukan secara terus menerus. Oleh

karena itu untuk menilai kinerja perusahaan perlu menaikannya dengan kinerja

keuangan komulatif dan ekonomi dari keputusan-keputusan itu. Analisis kinerja

keuangan didasarkan pada data keuangan yang dipublikasikan, seperti tercermin


di dalam laporan keuangan yang dapat dibuat sesuai dengan prinsip-prinsip

akuntansi yang lazim. Kinerja keuangan perusahaan harus diukur untuk melihat

apakah kinerja keuangan perusahaan mengalami pertumbuhan atau tidak.

Ukuran ini diperlukan untuk menyediakan informasi mengenai kinerja keuangan

perusahaan, yang dapat dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan

manajemen di masa yang akan datang.

Analisis laporan keuangan merupakan salah satu alat untuk menilai

kinerja perusahaan (Munawir, 1997 : 32 –42). Adapun teknik yang biasa

digunakan dalam analisis keuangan tersebut sebagai berikut.

1. Analisis perbandingan laporan keuangan.

2. Analisis deret berkala (trend analysis).

3. Laporan keuangan persentase perkomponen (command size statement).

4. Analisis sumber dan penggunaan kas.

5. Analisis rasio (ratio analysis).

6. Analisis perubahan laba kotor.

7. Analisis sumber dan penggunaan modal kerja.

8. Analisis titik pulang pokok (break even point).

Riyanto, ( 1995 : 327-328 ), menyatakan bahwa dengan adanya analisis

laporan keuangan, manajer atau pimpinan perusahaan dapat mengetahui

keadaan dan perkembangan keuangan dari perusahaan sehingga dapat

diketahui hasil-hasil yang telah dicapai pada waktu yang lalu dan waktu yang

sedang berjalan. Selain itu dengan mengadakan analisis tahun ke tahun akan

diketahui kelemahan dan kelebihan yang telah didapatkan. Hasil analisis historis
tersebut sangat penting untuk memperbaiki rencana yang akan dilakukan di

waktu mendatang.

2.1.3 Laporan Keuangan

Menurut Standar Akuntansi Keuangan, yang dimaksud dengan laporan

keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan

yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan rugi laba, laporan perubahan

posisi keuangan, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang

merupakan bagian integral dari laporan keuangan, (IAI, 1995 : 2-3).

Mengadopsi pendapat Munawir, (1995 : 5), laporan keuangan diartikan

sebagai dua daftar yang disusun oleh Akuntan pada akhir periode untuk suatu

perusahaan. Kedua daftar itu adalah neraca atau daftar posisi keuangan dan

daftar pendapatan atau daftar rugi laba. Pada waktu akhir-akhir ini sudah

menjadi kebiasaan bagi perseroan-perseroan untuk menambahkan daftar ketiga

yaitu daftar surplus atau daftar laba yang tidak dibagikan.

Sedangkan menurut Halim, (1996 : 11 – 12) secara umum ada tiga bentuk

laporan keuangan yaitu neraca, laporan rugi/laba dan laporan aliran kas. Neraca

digunakan untuk menggambarkan kondisi keuangan perusahaan. Neraca bisa

digambarkan sebagai potret kondisi keuangan suatu perusahaan pada suatu

waktu tertentu (snapshot keuangan perusahaan), yang meliputi aset perusahaan

dan klaim atas aset tersebut. Laporan rugi/laba merupakan laporan prestasi

perusahaan selama jangka waktu tertentu. Berbeda dengan neraca yang

merupakan snapshot, maka laporan rugi/laba mencakup suatu periode tertentu.

Dimana laba bersih merupakan selisih antara total pendapatan dikurangi dengan
total biaya. Pendapatan mengukur aliran masuk aset bersih (setelah dikurangi

hutang) dari penjualan barang atau jasa. Biaya mengukur aliran keluar aset

bersih karena digunakan atau dikonsumsikan untuk memperoleh pendapatan.

Sedangkan pendapatan dibedakan menjadi pendapatan operasional yaitu

pendapatan yang dihasilkan oleh kegiatan pokok perusahaan atau pendapatan

non operasional (atau pendapatan lain-lain) yang dihasilkan oleh kegiatan

sampingan perusahaan.

Laporan keuangan pada dasarnya merupakan hasil akhir dari proses

pencatatan, penggolongan dan peringkasan dari peristiwa-peristiwa yang

setidak-tidaknya bersifat keuangan dengan cara setepat-tepatnya dan

dinyatakan dalam uang serta penafsiran dari hal-hal yang ditimbulkannya.

2.1.4 Konsep PDAM

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) merupakan salah satu Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang penyediaan air bersih

untuk kebutuhan masyarakat. Keberadaan PDAM sebagai unsur pelayanan

publik harus mengutamakan dimensi sosial (sosial oriented). Hal ini tercermin di

dalam penetapan harga produk lebih mempertimbangkan kemampuan

masyarakat, namun di samping fungsinya sebagai unsur pelayanan publik juga

tidak terlepas dari dimensi ekonomi yaitu mencari keuntungan (profit oriented)

yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 690-069 tahun 1992, tentang Pola Petunjuk Teknis

ditegaskan bahwa Perusahaan Daerah Air Minum mempunyai fungsi pokok

pelayanan umum kepada masyarakat, sehingga di dalam menjalankan fungsinya


tersebut PDAM harus mampu membiayai dirinya sendiri dan harus berusaha

mengembangkan tingkat pelayanan dan diharapkan mampu memberikan

sumbangan kepada Pemerintah Daerah dalam fungsinya sebagai sumber

pendapatan asli daerah. Oleh karena itu perlu penyelenggaraan dan pembinaan

PDAM yang didasarkan pada asas ekonomi yang sehat.

Selanjutnya dalam Kepmendagri Nomor 47 tahun 1999, tentang Pedoman

Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum, dinyatakan bahwa dalam

rangka meningkatkan pelayanan air minum kepada masyarakat baik secara

kualitas dan kuantitas, PDAM harus dikelola oleh direksi yang profesional. Untuk

mengetahui keberhasilan direksi dalam pengelolaannya dilakukan penilaian

terhadap kinerjanya pada setiap akhir tahun.

Penilaian kinerja membantu manajemen untuk memastikan bahwa

sumber-sumber sudah dipakai secara efektif dan efisien dalam rangka

pencapaian tujuan perusahaan. Alat ukur untuk menilai kinerja dapat berupa

ukuran dari aspek keuangan dan non keuangan. Alat ukur yang tepat dasar

filosofi yang dapat dipakai dalam merencanakan sistem pengukuran prestasi

harus disesuaikan dengan jenis perusahaan, tujuan, strategi perusahaan dan

lain-lain.

2.1 Landasan Teori

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan bahwa

umumnya BUMD yang dikelola oleh Pemda memberikan kontribusi relatif kecil

bagi daerah sebagai salah satu sumber PAD. Demikian pula terhadap analisis

kinerjanya masuk kategori kurang. Hal ini bisa dijadikan dasar untuk menilai
apakah laba BUMD khususnya PDAM merupakan sumber PAD yang potensial

dan masih perlu dikembangkan atau justru sebaliknya menjadi beban daerah.

Untuk menilai kinerja PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat didasarkan

pada Kepmendagri Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja

Perusahaan Daerah Air Minum

Banyak faktor yang mempengaruhi laba PDAM. Dalam penelitian ini,

variabel yang dipilih sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi laba kotor usaha

PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat adalah jumlah air yang terjual

dan PDRB perkapita. Asumsinya bahwa semakin bertambahnya jumlah air yang

terjual kepada pelanggan dan meningkatnya PDRB perkapita maka diharapkan

laba kotor usaha akan meningkat.

Secara matematis, hubungan fungsional antara variabel dependen

dengan variabel independen dirumuskan sebagai berikut.

LKt = f (ATt, PDRBt) ……………………………………..……...…..(2. 2)

dimana :

LKt adalah laba kotor PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat

(rupiah) pada kuartal tertentu;

ATt adalah jumlah air yang terjual (m3) pada kuartal tertentu;

PDRBt adalah PDRB perkapita pada kuartal tertentu atas harga konstan 1993;

2.3 Hipotesis

Dari permasalahan yang ada maka dirumuskan hipotesis penelitian

sebagai berikut.
1. Tingkat Kinerja PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat berdasarkan

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 1999 masuk dalam

kategori kurang.

2. Jumlah air yang terjual berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba

kotor usaha PDAM.

3. PDRB perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba kotor

usaha PDAM.

4. Jumlah air yang terjual dan PDRB perkapita secara bersama-sama

berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba kotor usaha PDAM.

2.4 Alat Analisis

2.4.1 Analisis kinerja PDAM

Alat analisis yang digunakan untuk mengetahui kinerja PDAM Kabupaten

Lampung Barat baik dari aspek keuangan, aspek operasional, maupun aspek

admintsrasi adalah berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 47

Tahun 1999, tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum.

2.4.1.1 Aspek keuangan. Kinerja keuangan sebagai dimensi pertama

dalam Kepmendagri Nomor 47 tahun 1999 adalah pertama, rasio likuiditas yaitu

mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka

pendeknya; kedua, rasio aktivitas yaitu mengukur sejauhmana efektifitas

penggunaan aset dengan melihat tingkat aktivitas aset; ketiga, rasio solvabilitas

yaitu mengukur sejauhmana kemampuan perusahaan dalam memenuhi

kewajiban jangka panjangnya; keempat, rasio rentabilitas yaitu mengukur

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Adapun formula, rasio dan


nilai untuk kinerja PDAM dilihat dari aspek keuangan sebagaimana pada tabel

berikut.

Tabel 2.1 Kinerja Aspek Keuangan

No. Formula Rasio Nilai


1. Rasio laba terhadap aktiva produktif 10%, 5
Laba sebelum pajak 7%-10% 4
X 100% 3%-7% 3
Aktiva produktif 0%-3% 2
0%, 1
Nilai Bonus :
Peningkatan rasio lba terhadap aktiva >12% 5
produktif >9%-12% 4
Rasio laba terhadap aktiva produktif >6%-9% 3
tahun ini – rasio laba terhadap aktiva >3%-6% 2
produktif tahun lalu >0%-3% 1
2. Rasio laba terhadap penjualan 20%, 5
14%-20%, 4
Laba sebelum pajak 6%-14%, 3
X 100%
Penjualan 0%-6%, 2
0%, 1
Nilai Bonus :
Peningkatan rasio laba terhadap >12% 5
penjualan >9%-12% 4
>6%-9% 3
Rasio laba terhadap penjualan thn ini – >3%-6% 2
rasio laba terhadap penjualan thn lalu >0%-3% 1
3. Rasio aktiva lancar terhadap utang 1,75%-2,00 5
lancar 1,5%-1,75%; atau 2,00-2,30 4
1,25-1,50%; atau 2,30-2,70 3
Aktiva lancar 1,00-1,25%; atau 2,70-3,00 2
Utang lancar 1,00%; atau 3,00 1

4. Rasio jangka panjang terhadap 0,5 5


ekuitas 0,5 - 0,7 4
0,7 - 0,8 3
Utang jangka panjang 0,8-1,0 2
Ekuitas 1,0 1
5. Total aktiva terhadap total utang 2,0 5
1,7 – 2,0 4
Total aktiva 1,3 – 1,7 3
Total utang 1,0 –1 ,3 2
1,0 1
6. Rasio Biaya Operasi terhadap 0,50 5
Pendapatan Operasi 0,50 – 0,65 4
0,65 – 0,85 3
Biaya operasi 0,85 –1,00 2
Pendapatan operasi 1,0 1
Tabel 2.1 lanjutan
7. Rasio Laba Operasi sebelum biaya 2,0 5
penyusutan 1,7 – 2,0 4
1,3 – 1,7 3
Laba operasi sebelum biaya penyusutan 1,0 –1 ,3 2
(Angsuran pokok+bunga) jatuh tempo 1,0 1
8. Rasio aktiva produktif terhadap 2,0 5
penjualan air 2,0 – 4,0 4
4,0 – 6,0 3
Aktiva produktif 6,0 –8,0 2
Penjualan air 8,0 1
9. Jangka waktu penagihan piutang 60 5
60 – 90 4
Piutang usaha 90 – 150 3
Jumlah penjualan perhari 150 –180 2
180 1
10. Efektifitas penagihan 90% 5
85% – 90% 4
Rekening tertagih 80% – 85% 3
X 100% 75% – 80% 2
Penjualan air 75% 1

Sumber : Kepmendagri No. 47 tahun 1999

2.4.1.2 Aspek operasional. Aspek operasional bertujuan untuk mengukur

cakupan pelayanan, kualitas air distribusi, produktifitas pemanfaatan instalasi

produksi, tingkat kebocoran dan kepuasan pelanggan. Adapun formula, rasio

dan nilai yang digunakan sebagai berikut.

Tabel 2.2 Kinerja Aspek Operasional

No. Formula Rasio Nilai


1. Cakupan pelayanan 60% 5
45%-60% 4
Jumlah penduduk terlayani 30%-45% 3
X 100% 15%-30% 2
Jumlah Penduduk 15% 1

Nilai Bonus : 8% 5


Peningkatan cakupan pelayanan 4
6%-8%
3
4%-6%
Cakupan pelayanan tahun ini – cakupan 2
pelayanan tahun lalu 2%-4% 1
>0%-2%
Tabel 2.2 lanjutan

 memenuhi syarat air 3


2. Kualitas air distribusi
minum
 memenuhi syarat air 2
bersih
 tidak memenuhi syarat 1

 semua pelanggan 2
3. Kontinuitas air
men- dapat aliran air
24 jam
 blm semua pelanggan 1
dpt aliran air 24 jam
4. Produktifitas pemanfaatan instalasi 90% 4
produksi 80%-90% 3
Kapasitas produksi 70%-80% 2
X 100%  70% 1
Kapasitas terpasang

5. Tingkat kehilangan air 20% 4


Jml m3 air yg didistribusikan- yg terjual 20%-30% 3
x 100% 30%-40% 2
Jumlah m3 air yg didistribusikan 40% 1
Nilai Bonus :
Penurunan Tingkat Kehilangan Air
Rasio Kehilangan Air
Tahun Lalu Tahun ini
10
> 60%  20%

> 60% > 20%-21%; atau 9


> 50%-60%  20%

> 60% > 21%-22%; atau 8


> 50%-60% > 20%-21%; atau
> 40%-50%  20%

> 60% > 22%-23%; atau 7


> 50%-60% > 21%-22%; atau
> 40 %-50% > 20%-21%; atau
> 30%-40%  20%

> 60% > 23%-24%; atau


> 50%-60% > 22%-23%; atau 6
> 40 %-50% > 21%-22%; atau
> 30%-40% > 20%-21%; atau
> 27%-30%  20%

> 60% > 24%-25%; atau 5


> 50%-60% > 23%-24%; atau
> 40 %-50% > 22%-23%; atau
> 30%-40% > 21%-22%; atau
> 27%-30% > 20%-21%; atau
> 24%-27%  20%
Tabel 2.2 lanjutan
> 60% > 25%-27%; atau 4
> 50%-60% > 24%-25%; atau
> 40%-50% > 23%-24%; atau
> 30%-40% > 22%-23%; atau
> 27%-30% > 21%-22%; atau
> 24%-27% > 20%-21%; atau
> 23%-24%  20%

> 60% > 27%-30%; atau 3


> 50%-60% > 25%-27%; atau
> 40 %-50% > 24%-25%; atau
> 30%-40% > 23%-24%; atau
> 27%-30% > 22%-23%; atau
> 24%-27% > 21%-22%; atau
> 23%-24% > 20%-21%; atau
> 22%-23%  20%

> 60% > 30%-40%; atau


> 50%-60% > 27%-30%; atau 2
> 40 %-50% > 25%-27%; atau
> 30%-40% > 24%-25%; atau
> 27%-30% > 23%-24%; atau
> 24%-27% > 22%-23%; atau
> 23%-24% > 21%-22%; atau
> 22%-23% > 20%-21%; atau
> 21%-22%  20%

> 60% > 40%-50%; atau 1


> 50%-60% > 30%-40%; atau
> 40 %-50% > 27%-30%; atau
> 30%-40% > 25%-27%; atau
> 27%-30% > 24%-25%; atau
> 24%-27% > 23%-24%; atau
> 23%-24% > 22%-23%; atau
> 22%-23% > 21%-22%; atau
> 21%-22% > 20%-21%; atau
 21%  20%
6. Peneraan meter air 20%-25% 3
Jlh pelanggan yg meter airnya ditera 10%–20% 2
X 100% 0%-10%; atau 25% 1
Jumlah seluruh pelanggan

7. Kecepatan penyambungan baru 6 hari kerja 2


Lamanya waktu yg dibutuhkan calon pelang- 6 hari kerja 1
Gan dari pembayaran s.d. penyambungan
8. Kemampuan penanganan pengaduan
rata-rata perbulan  80% 2
< 80% 1
Jlh pengaduan yg telah selesai ditangani
X 100%
Jumlah seluruh pengaduan

Tabel 2.2 lanjutan


9. Kemudahan pelayanan Ketersediaan
 tersedia 2
 tidak tersedia 1

10. Jumlah karyawan per 1000 pelanggan 8 5


Jumlah karyawan 8-11 4
x 1000 11-15 3
Jumlah pelanggan 15-18 2
18 1

Sumber : lihat tabel 2.2

2.4.1.3 Aspek administrasi. Aspek administrasi dimaksudkan untuk

mengukur sampai sejauh mana perencanaan jangka panjang PDAM (corporate

plan), pelaksanaan rencana organisasi dan uraian tugas, pelaksanaan prosedur

operasi standar, as built drawing, penilaian kerja karyawan, rencana kerja dan

anggaran perusahaan, tertib laporan baik internal maupun eksternal serta

pengendalian. Adapun ukuran dan nilai kinerja aspek administrasi adalah

sebagai berikut.

Tabel 2.3 Kinerja Aspek Administrasi

No. Ukuran Pelaksanaan Nilai


1. Rencana jangka panjang  sepenuhnya dipedomani 4
(corporate plan)  dipedomani sebagian 3
 memilliki, belum dipedomani 2
 tidak memiliki 1
2. Rencana organisasi dan  sepenuhnya dipedomani 4
uraian tugas  dipedomani sebagian 3
 memilliki, belum dipedomani 2
 tidak memiliki 1
3. Prosedur operasi  sepenuhnya dipedomani 4
standar  dipedomani sebagian 3
 memilliki, belum dipedomani 2
 tidak memiliki 1

Tabel 2.3 lanjutan

4. Gambar nyata laksana  sepenuhnya dipedomani 4


(as built drawing)  dipedomani sebagian 3
 memilliki, belum dipedomani 2
 tidak memiliki 1

5. Pedoman penilaian kerja  sepenuhnya dipedomani 4


karyawan  dipedomani sebagian 3
 memilliki, belum dipedomani 2
 tidak memiliki 1

6. Rencana kerja dan  sepenuhnya dipedomani 4


anggaran perusahaan  dipedomani sebagian 3
(RKAP)  memilliki, belum dipedomani 2
 tidak memiliki 1

7. Tertib laporan internal  dibuat tepat waktu 2


 tidak tepat waktu 1

8. Tertib laporan eksternal  dibuat tepat waktu


 tidak tepat waktu 2
1
9. Opini auditor intern  wajar tanpa pengecualian 4
 wajar dengan pengecualian 3
 tidak memberikan pendapat 2
 pendapat tidak wajar 1
10. Tindak lanjut hasil  tidak ada temuan 4
pemeriksaan tahun  ditindak lanjuti, seluruhnya 3
terakhir selesai
 ditindaklanjuti, sebagian 2
selesai
 tidak ditindaklanjuti 1
Sumber : lihat tabel 2.1

Untuk menentukan penilaian kinerja masing-masing aspek digunakan

formula sebagai berikut.


Jlh nilai yang diperoleh
Aspek Keuangan = x Bobot ……. (2.3)
Maksimum Nilai

Jlh nilai yang diperoleh


Aspek Operasional = x Bobot………(2.4)
Maksimum Nilai

Jlh nilai yang diperoleh


Aspek Administrasi = x Bobot…..…..(2.5)
Maksimum Nilai

dimana besarnya bobot dan maksimum nilai dari masing-masing aspek

adalah sebagai berikut.

Tabel 2.4 Penilaian Kinerja


Jumlah
Aspek Maksimum nilai
Bobot Indikator
Keuangan 45 10 60
Operasional 40 10 47
Administrasi 15 10 36

Jumlah 100 30 143


Sumber : lihat tabel 2.1.

Hasil perhitungan penilaian kinerja dari ketiga aspek di atas, dapat

ditentukan tingkat kinerja PDAM Limau Kunci dengan formula sebagai berikut.

TKPDAM = PKAK + PKAO + PKAA ………………………………..(2.6)

dimana :

TKPDAM adalah tingkat kinerja keberhasilan pengelolaan PDAM dalam satu

tahun buku tertentu.

PKAK adalah penilaian kinerja aspek keuangan PDAM dalam satu tahun

buku tertentu.
PKAO adalah penilaian kinerja aspek operasional PDAM dalam satu tahun

buku tertentu.

PKAA adalah penilaian kinerja aspek administrasi PDAM dalam satu tahun

buku tertentu.

Hasil penilaian atas prestasi kinerja PDAM dari masing-masing

aspek sebagaimana tampak pada persamaan (2.6) dijadikan dasar dalam

menentukan penggolongan/klasifikasi tingkat kinerja keberhasilan PDAM.

Adapun pedoman klasifikasi tingkat kinerja dimaksud adalah sebagai

berikut.

Tabel 2.5 Klasifikasi kinerja

No. Kinerja Nilai Kinerja


1. Baik sekali 75
2. Baik 60 – 75
3. Cukup 40 – 60
4. Kurang 30 – 45
5. Tidak Baik  30
Sumber : lihat tabel 2.1

2.4.2 Analisis regresi

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi laba kotor usaha

PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat, alat analisis yang digunakan

adalah regresi linier berganda (Multiple Linear Regression) yang diestimasi

dengan metode Ordinary Least Squares (OLS). Metode ini mempunyai sifat-sifat

yang dapat diunggulkan, yaitu secara teknis sangat akurat, mudah dalam

menginterpretasikan perhitungannya, yang mempunyai sifat BLUEs (Gujarati,


1995 : 545). Penggunaan regresi linier berganda bertujuan untuk mengetahui

ada atau tidaknya hubungan antara variabel dependen dengan variabel-variabel

independen serta mengetahui besaran dan arah tanda variabel independen.

Secara matematis, hubungan fungsional antara variabel dependen

dengan variabel independen dirumuskan sebagai berikut.

LKt = f (ATt, PDRBt) ………………………………………..…………(2.7)

Model regresi yang akan ditaksir adalah sebagai berikut.

LKt = 0 + 1 ATt + 2 PDRBt +  ………………………………..…..(2.8)

dimana :

LKt adalah laba kotor PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat

(rupiah) pada kuartal tertentu;

0 adalah konstanta;

1, 2 adalah parameter;

ATt adalah jumlah air yang terjual (m3) pada kuartal tertentu;

PDRBt adalah PDRB perkapita pada kuartal tertentu atas harga konstan 1993;

 adalah kesalahan pengganggu (disturbance)


BAB III

ANALISIS DATA

3.1 Cara Penelitian

3.1.1 Definisi operasional

Perumusan definisi operasional dalam penelitian empiris dilakukan untuk

menghindari perbedaan penafsiran terhadap variabel-variabel penelitian tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi laba Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM)

Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat. Variabel-variabel yang digunakan

dalam penelitian secara empiris adalah sebagai berikut.

1. Laba PDAM dalam penelitian ini adalah laba kotor usaha yaitu selisih antara

pendapatan usaha dengan biaya langsung usaha. Dimana pendapatan

usaha terdiri dari penjualan air dan pendapatan non air sedangkan biaya

langsung usaha terdiri dari biaya sumber air, biaya pengolahan dan biaya

transmisi serta distribusi.

2. Jumlah air yang terjual adalah jumlah penggunaan air oleh pelanggan dalam

meter kubik.

3. PDRB riil adalah seluruh barang dan jasa yang dihasilkan penduduk di suatu

wilayah atau daerah/kota yang dihitung berdasarkan indeks harga tahun

tertentu. Yang dimaksud dengan PDRB perkapita dalam penelitian ini adalah

rasio antara PDRB harga konstan (tahun dasar 1993) dengan jumlah

penduduk di Kabupaten Lampung Barat pada pertengahan tahun.

3.1.2 Jenis dan sumber data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah runtun waktu (time

series), dari periode waktu 1993 – 1999 dalam bentuk kuartalan yaitu 1993.1 –

1999.4. Pemilihan data mulai 1993 karena alasan Kabupaten Lampung Barat

berusia relatif masih muda yang peresmiannya tanggal 24 September 1991 dan

PDAM diserahkan kepada daerah tanggal 27 Januari 1993 yang sebelumnya

bernama Badan Pengelola Air Minum (BPAM) Lampung Utara. Sehingga data

yang tersedia guna penelitian ini yaitu sejak 1993 hingga 1999. Selama periode

waktu tersebut diharapkan dapat menggambarkan kinerja dan kondisi keuangan

PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat.

Penelitian dengan menggunakan dua pendekatan yaitu penelitian

kepustakanan dan penelitian di lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan

untuk mendapatkan landasan teori yang dapat mendukung penulisan dan

disarikan dari berbagai literatur serta berbagai hasil penelitian sebelumnya yang

berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Penelitian lapangan

dilakukan dengan mendatangi langsung obyek penelitian di Kabupaten Lampung

Barat dengan menggunakan data primer dan sekunder.

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden

pegawai dan pelanggan PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat. Sumber

data sekunder diperoleh dari laporan bulanan untuk data air yang terjual, air

yang hilang, pelanggan, laba kotor usaha dan karyawan PDAM serta laporan

akhir tahun untuk neraca dan laporan rugi/laba PDAM Limau Kunci Kabupaten

Lampung Barat. Data kuartalan untuk variabel laba kotor usaha dan jumlah air

yang terjual diambil dari data bulanan, sedangkan variabel PDRB perkapita
merupakan data tahunan, maka data tersebut dibuat dalam bentuk kuartalan

dengan formula sebagai berikut (Insukindro, 1991 : 75-78)

Q1 = ¼ (Yt – 4,5/12 (Yt – Yt-1) ) ………………………………..…….(3.1)

Q2 = ¼ (Yt – 1,5/12 (Yt – Yt-1) ) …………………………...………….(3.2)

Q3 = ¼ (Yt + 4,5/12 (Yt – Yt-1) ) ………………………...……………(3.3)

Q4 = ¼ (Yt + 4,5/12 (Yt – Yt-1) ) ……………………...………………(3.4)

dimana :

Q1, Q2, Q3, Q4 adalah PDRB perkapita dalam bentuk kuartal 1,2,3,4;

Yt adalah PDRB perkapita pada tahun tertentu;

Yt-1 adalah PDRB perkapita pada tahun sebelumnya.

3.2 Hasil Analisis Data dan Pembahasan

3.2.1 Analisis kinerja PDAM berdasarkan Kepmendagri No. 47 tahun 1999

3.2.1.1 Kinerja aspek keuangan. Kinerja aspek keuangan terdiri dari 10

(sepuluh) indikator yaitu.

1. Rasio laba terhadap aktiva produktif. Rasio laba terhadap aktiva produktif

merupakan kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan

aktiva guna menghasilkan laba bersih, rasio yang baik telah ditetapkan di atas

10%. Hasil analisis selama 7 tahun perusahaan mengalami kerugian dapat

dilihat pada tabel 3.1. Hal ini menggambarkan bahwa pada periode 1993 angka

rasio yang diperoleh adalah –4,11%, artinya setiap Rp 1,00 aktiva yang

diinvestasikan menghasilkan kerugian sebesar Rp 0,0411, periode 1994

kerugian meningkat menjadi sebesar 5,69%, periode 1995 kerugian menurun

menjadi 4,57%, sedangkan dari 1996 hingga 1999 kerugian selalu meningkat
yaitu 1996 sebesar 8,97%, 1997 sebesar 11,10%, 1998 sebesar 13,16% dan

1999 kerugian sebesar 13,70%. Nilai kinerja yang diperoleh setiap tahunnya

adalah 1. Nilai bonus diberikan pada periode 1995 bernilai 1.

Tabel 3.1 Rasio Laba Terhadap Aktiva Produktif


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993 - 1999
Laba Sebelum Rasio Laba Thdp
Tahun Pajak Aktiva Produktif Aktiva Produktif
(Rp) (Rp) (%)
1993 (153,245,625.00) 3,729,619,394.75 -4.11
1994 (200,546,255.89) 3,525,995,956.19 -5.69
1995 (245,778,544.74) 5,383,423,023.78 -4.57
1996 (439,725,245.23) 4,901,118,644.14 -8.97
1997 (520,174,923.32) 4,686,791,048.36 -11.10
1998 (544,934,525.00) 4,139,460,939.00 -13.16
1999 (615,971,939.90) 4,495,105,623.01 -13.70
Sumber : Lampiran 1 dan 2 diolah.

2. Rasio laba terhadap penjualan. Keuntungan per rupiah penjualan selama

periode pengamatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.2 Rasio Laba Terhadap Penjualan


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat, 1993 - 1999
Laba Sebelum Penjualan/ Rasio Laba Thdp
Tahun Pajak Pendapatan Operasi Penjualan
(Rp) (Rp) (%)
1993 (153,245,625.00) 94,630,315.00 -161.94
1994 (200,546,255.89) 142,953,411.00 -140.29
1995 (245,778,544.74) 251,564,221.00 -97.70
1996 (439,725,245.23) 299,599,913.00 -146.77
1997 (520,174,923.32) 306,635,483.00 -169.64
1998 (544,934,525.00) 436,212,176.00 -124.92
1999 (615,971,939.90) 428,445,230.00 -143.77
Sumber : Lampiran 2 diolah.

Dari tabel di atas menunjukkan, pada periode 1993 diperoleh rasio –

161,94% artinya setiap Rp 1,00 penjualan menghasilkan kerugian sebesar Rp


1,6194. Periode pengamatan 1994 hingga 1999 juga mengalami kerugian yang

berfluktuasi, yaitu sebesar 140,29%, 97%, 146,77%, 169,64%, 124,92% dan

143,77%. Penyebab kerugian yang paling besar adalah akibat biaya

penyusutan. Nilai yang diperoleh adalah 1 sedangkan untuk nilai bonus

diperoleh pada tahun 1994, 1995 dan 1998 masing-masing bernilai 5.

3. Rasio aktiva lancar terhadap utang lancar. Kemampuan perusahaan untuk

melunasi utang-utangnya yang segera harus dipenuhi selama periode

pengamatan 1993 – 1999 adalah sebagai berikut.

Tabel 3.3 Rasio Aktiva Lancar Terhadap Utang Lancar


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993 - 1999
Tahun Aktiva Lancar Utang Lancar Rasio Aktiva Lancar
(Rp) (Rp) Utang Lancar
1993 204,628,080.65 44,230,420.00 4.63
1994 203,947,959.34 40,661,083.00 5.02
1995 239,661,465.00 39,615,667.60 6.05
1996 186,465,087.67 14,271,620.00 13.07
1997 180,439,414.61 15,633,380.00 11.54
1998 197,950,940.53 16,110,900.24 12.29
1999 224,624,121.28 13,000,950.00 17.28
Sumber : Lampiran 2 diolah.

Tabel di atas menunjukkan, 1993 diperoleh rasio sebesar 4,63 berarti

setiap utang lancar Rp 1,00 dijamin oleh aktiva lancar Rp 4,63 dan untuk 1994

hingga 1999 selalu mengalami peningkatan yaitu sebesar 5,02; 6,05; 13,07;

11,54; 12,29 dan 17,28. Nilai yang diperoleh adalah 1 untuk seluruh tahun yang

diamati.
4. Rasio utang jangka panjang terhadap ekuitas. Bagian dari setiap rupiah

modal sendiri termasuk laba rugi ditahan dan laba rugi tahun berjalan yang

dijadikan jaminan untuk utang jangka panjang selama periode pengamatan 1993

– 1999 diperoleh angka rasio sebagai berikut.

Tabel 3.4 Rasio Utang Jangka Panjang Terhadap Ekuitas


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993 - 1999

Utang Jangka Ekuitas Rasio Utang Jangka


Tahun Panjang (Rp) Panjang Thd Ekuitas
(Rp)
1993 0 3,679,429,642.75 0
1994 0 3,478,883,386.86 0
1995 0 5,325,218,242.12 0
1996 0 4,875,894,496.89 0
1997 0 4,653,574,997.16 0
1998 0 4,108,640,472.16 0
1999 745,910,268.75 3,712,069,372.26 0.20
Sumber : Lampiran 1 diolah.

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 1993 hingga 1998 PDAM Limau

Kunci belum pernah melakukan pinjaman sehingga nilai diberikan 5 untuk

masing-masing tahun. Periode pengamatan 1999 PDAM Limau Kunci

melakukan pinjaman dan rasio yang diperoleh sebesar 0,20 yang berarti masih

lebih kecil dari batas penetapan rasio yang maksimal ( 0,5) maka nilai diperoleh

pada 1999 adalah 5.

5. Rasio total aktiva terhadap total utang. Rasio total aktiva terhadap total

utang adalah bagian dari setiap rupiah total aktiva untuk menjamin total utang

yang digunakan untuk mendanai perusahaan, pada tabel 3.5 menunjukkan 1993

rasio yang diperoleh sebesar 60,14, artinya Rp 1,00 utang dijamin oleh Rp 60,14
aktiva, periode pengamatan 1994 hingga 1999 menunjukkan berfluktuasi yaitu

57,26; 77,09; 141,72; 115,18; 94,29 dan 5,65. Nilai yang diperoleh untuk setiap

tahun 5.

Tabel 3.5 Rasio Total Aktiva Terhadap Total Utang


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat, 1993 - 1999
Total Aktiva Total Utang Rasio Total Aktiva
Tahun (Rp) (Rp) Thdp Total Utang
1993 3,741,640,102.75 62,210,460.00 60.14
1994 3,540,723,252.86 61,839,866.00 57.26
1995 5,395,204,862.72 69,986,620,60 77.09
1996 4,910,544,116.89 34,649,620.00 141.72
1997 4,694,331,428.16 40.756,431.00 115.18
1998 4,152,681,372.40 44,040,900.24 94.29
1999 4,509,531,131.01 797,461,758.75 5.65
Sumber : Lampiran 1 diolah.

6. Rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi. Rasio biaya operasi

terhadap pendapatan operasi adalah biaya operasi per rupiah penjualan. Tabel

3.6 menunjukkan pada 1993 rasio yang diperoleh sebesar 2,56 artinya setiap Rp

1,00 pendapatan operasi mempunyai biaya operasi sebesar Rp 2,56.

Asumsinya, semakin tinggi rasio tersebut semakin tidak baik, rasio yang baik

adalah  0,50 atau setiap pendapatan mempunyai biaya operasi paling tinggi

50%. Untuk 1994 hingga 1999 besarnya rasio bervariasi yaitu 2,35; 1,98; 2,11;

2,68; 2,23 dan 2,42. Hal ini menggambarkan bahwa perusahaan selalu

mengalami kerugian selama periode pengamatan dan nilai kinerja yang

diperoleh 1 untuk setiap tahunnya.


Tabel 3.6 Rasio Biaya Operasi Terhadap Pendapatan Operasi
PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993 - 1999
Biaya Operasi Pendapatan Rasio Biaya Operasi
Tahun (Rp) Operasi Thdp Pend. Operasi
(Rp) (%)
1993 251,168,940.60 97,923,315.00 2.56
1994 349,480,646.89 148,934,411.00 235
1995 497,342,765.74 251,564,211.00 1.98
1996 643,797,332.23 305,606,109.00 2.11
1997 830,478,406.00 310,303,483.00 2.68
1998 988,072,154.00 443,137,629.00 2.23
1999 1,050,359,169.90 434,387,230.00 2.42
Sumber : Lampiran 2 diolah.

7. Rasio laba operasi sebelum biaya penyusutan terhadap angsuran pokok dan

bunga jatuh tempo. Rasio ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat laba

operasi sebagai jaminan untuk membayar angsuran dan bunga utang jangka

panjang. Asumsinya, semakin tinggi rasio berarti semakin baik. Tabel 3.7

menunjukkan, pada 1993 hingga 1998 PDAM Limau Kunci belum pernah

melakukan pinjaman sehingga nilai rasio diperoleh pada tahun tersebut 5. Pada

periode pengamatan 1999 PDAM Limau Kunci melakukan pinjaman SLA-

PDAM1383 INO sebesar Rp 667.000.000,00. Pada 1999 rasio diperoleh

sebesar 1,21 artinya laba operasi yang dihasilkan untuk menjamin angsuran dan

bunga jatuh tempo sebesar 1,21 atau setiap rupiah angsuran dan bunga utang

jangka panjang dijamin oleh keuntungan sebelum biaya penyusutan sebesar Rp

1,21 dan pada tahun ini nilai yang diperoleh adalah 2.


Tabel 3.7 Rasio Laba Operasi Sebelum Biaya Penyusutan Terhadap Angsuran
Pokok dan Bunga Jatuh Tempo PDAM Limau Kunci
Kabupaten Lampung Barat, 1993 – 1999
Laba Operasi Sebelum Angsuran Pokok dan Rasio Laba Operasi Sblm Biaya
Tahun Biaya Penyusutan Bunga Jatuh Tempo Penyusutan Thdp Angsuran Pokok
(Rp) (Rp) dan Bunga Jatuh Tempo
(%)
1993 10,350,538.40 - 
1994 33,838,158.23 - 
1995 62,154,524.89 -

1996 78,050,758.76 -

1997 77,292,905.00 -

1998 145,384,558.00 -
1999 95,711,864.10 78,910,268.75 1.21
Sumber : Lampiran 1 dan 2 diolah.

8. Rasio aktiva produktif terhadap penjualan air. Rasio ini digunakan untuk

mengukur dana yang tertanam dalam aktiva produktif dalam menghasilkan

pendapatan. Adapun hasil perhitungan rasio aktiva produktif terhadap penjualan

air dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.8 Rasio Aktiva Produktif Terhadap Penjualan Air


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993 - 1999
Aktiva Produktif Penjualan Air Rasio Aktiva Produktif
Tahun (Rp) (Rp) Thdp Penjualan Air
1993 3,729,619,394.75 84,937,315.00 43.91
1994 3,525,995,956.19 122,083,411.00 28.88
1995 5,383,423,023.78 177,533,771.00 30.32
1996 4,901,118,644.14 251,794,109.00 19.46
1997 4,686,791,048.36 250,898,483.00 18.68
1998 4,139,460,939.00 306,248,629.00 13.52
1999 4,495,105,623.01 354,899,255.00 12.67
Sumber : Lampiran 1 dan 2 diolah.
Tabel 3.8 menunjukkan, pada periode 1993 mencapai 43,91 artinya setiap

Rp 1,00 penjualan didanai oleh aktiva produktif sebesar Rp 43,91 berarti

perusahaan belum efisien, semakin kecil angka rasio maka semakin baik. Pada

periode pengamatan 1994 hingga 1999 menunjukkan angka rasio yang tinggi

yaitu 28,88; 30,32; 19,46; 18,68; 13,52 dan 12,67. Oleh sebab itu nilai kinerja

yang diperoleh setiap tahunnya adalah 1.

9. Jangka waktu penagihan utang. Rasio ini untuk menghitung efisiensi

penagihan piutang selama satu tahun. Adapun hasil perhitungan rasio adalah

sebagai berikut.

Tabel 3.9 Jangka Waktu Penagihan


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat, 1993 - 1999
Piutang Usaha Jlh Penjualan Jangka Waktu
Tahun (Rp) per hari Penagihan
(Rp) (%)
1993 153,471,670.65 262,862.00 583.85
1994 145,580,926.44 397,092.80 366.62
1995 154,276,300.50 698,789.50 220.78
1996 81,063,378.25 832,222.00 97.41
1997 4,617,462.40 851,765.23 5.42
1998 12,831,230.25 1,211,700.49 10.59
1999 32,700,898.28 1,190,125.64 27.48
Sumber : Lampiran 1 dan 2, data diolah.

Tabel di atas menunjukkan, pada 1993 hasil yang diperoleh sebesar

583,85 artinya pengembalian piutang usaha selama setahun memiliki jangka

waktu yang lama yaitu 384 hari. Asumsinya, semakin besar rasio yang diperoleh

berarti semakin lama pengembalian piutang, maka perusahaan akan mengalami

kekurangan uang kas sebagai aktiva lancar produktif dalam membiayai


perusahaannya. Pada periode pengamatan 1994 mengalami penurunan

menjadi 367 hari dan 1995 menjadi 221 hari, nilai kinerja yang diperoleh

masing-masing 1. Periode pengamtan 1996 menjadi 97 hari dan nilai yang

diperoleh 3. Sejak 1997 hingga 1999 mengalami penurunan yang drastis dan

menunjukkan nilai yang sangat baik yaitu 1997 menjadi 5 hari, 1998 menjadi 11

hari dan 1999 menjadi 27 hari. Nilai kinerja yang diperoleh untuk 1997 hingga

1999 masing-masing 5.

10. Efektivitas penagihan. Efektivitas penagihan terhadap piutang yang dapat

ditagih selama satu tahun berdasarkan rekening yang diterbitkan dibandingkan

dengan jumlah penjualannya. Selama periode pengamatan 1993 hingga 1997

terus mengalami penurunan karena pelanggan menunggak membayar.

Penunggakan pembayaran terjadi disebabkan air tidak mengalir.

Tabel 3.10 Efektivitas Penagihan


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993 - 1999
Rekening Penjualan Air Efektivitas
Tahun Tertagih (Rp) Penagihan
(Rp) (%)
1993 69,042,755.00 84,937,315.00 81
1994 90,798,817.00 122,083,411.00 74
1995 150,379,170.00 177,533,711.00 85
1996 162,172,875.00 251,794,109.00 64
1997 153,337,242.00 250,898,483.00 61
1998 195,109,919.00 306,248,629.00 64
1999 196,029,413.00 354,899,255.00 55
Sumber : Laporan bulanan PDAM Limau Kunci.

Nilai kinerja PDAM Limau Kunci Kabupaten ditinjau dari aspek keuangan

yang terdiri dari 10 indikator dapat dilihat pada tabel berikut.


Tabel 3.11 Nilai Kinerja Aspek Keuangan
PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat, 1993 – 1999
No Indikator Kinerja 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
1. Rasio Laba terhadap Aktiva 1 1 1 1 1 1 1
Produktif
Nilai Bonus :
Peningkatan Rasio Laba
0 0 1 0 0 0 0
terhadap Aktiva Produktif
2. Rasio Laba thdp Penjualan 1 1 1 1 1 1 1
Nilai Bonus :
Peningkatan Rasio Laba 0 5 5 0 0 5 0
Terhadap Penjualan
3. Rasio Aktiva Lancar thdp 1 1 1 1 1 1 1
Utang Lancar
4. Rasio Utang Jangka 5 5 5 5 5 5 5
Panjang thdp Ekuitas
5. Rasio Total Aktiva terhadap 5 5 5 5 5 5 5
Total Utang
6. Rasio Biaya Operasi thdp 1 1 1 1 1 1 1
Pendapatan Operasi
7. Rasio Laba Operasi Sblm 5 5 5 5 5 5 2
Biaya Penyusutan terhadap
Angsuran Pokok dan
Bunga Jatuh Tempo
8. Rasio Aktiva Produktif thdp 1 1 1 1 1 1 1
Penjualan Air
9. Jangka Waktu Penagihan 1 1 1 3 5 5 5
Piutang
10. Efektivitas Penagihan 3 1 3 1 1 1 1
Jumlah Nilai 24 27 30 29 26 31 23
Nilai Kenerja 18 20.25 22.5 21.75 19.5 23.25 17.25
Sumber : lampiran 1 dan 2, data diolah.

3.2.1.2. Kinerja aspek operasional. Tingkat kinerja PDAM Limau Kunci

Kabupaten Lampung Barat ditinjau dari aspek operasional terdiri dari 10

(sepuluh) indikator yaitu.

1. Cakupan pelayanan. Cakupan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan

kepada pelanggan merupakan ukuran keberhasilan perusahaan dalam

mengembangkan usahanya. Cakupan pelayanan PDAM Limau Kunci


Kabupaten Lampung Barat selama periode 1993 – 1997 dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

Tabel 3.12 Cakupan Pelayanan PDAM Limau Kunci


Kabupaten Lampung Barat, 1993 - 1999
Jlh Pelanggan Penduduk per Penduduk Terlayani
Sambungan Jlh Cakupan
Tahun Non Kran Non Kran Non Kran Jumlah Penduduk Pelayanan
Kran Umum Kran Umum Kran Umum Penduduk (%)
Umum Umum Umum Terlayani
1 2 3 4 5 6 =2x4 7=3x5 8 = 6+7 9 10 = 8/9
1993 1.523 59 6 100 9.138 5.900 15.038 339.696 4,43
1994 2.269 86 6 100 13.614 8.600 22.214 336.186 6,61
1995 3.007 90 6 100 18.042 9.000 27.042 341.584 7,92
1996 3.403 187 6 100 20.418 18.700 39.118 361.847 10,81
1997 3.740 162 6 100 22.440 16.200 38.640 355.817 10,86
1998 4.057 112 6 100 24.342 11.200 35.542 381.634 9.31
1999 4.342 101 6 100 26.052 10.100 36.152 388.331 9.31
Sumber : Laporan bulanan PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat.

Jumlah penduduk yang tinggi merupakan potensi dalam mengembangkan

perusahaan, tetapi pada tabel 3.11 cakupan pelayanan (rasio antara jumlah

penduduk yang terlayani dengan jumlah penduduk) selama 7 tahun relatif masih

kecil. Hal ini disebabkan kondisi mesin yang digunakan PDAM saat ini sudah tua

sehingga dalam berproduksi sangat terbatas. Di sisi lain kondisi alam yang

berbukit dan penyebaran penduduk yang tidak merata membuat keterbatasan

jangkauan pelayanan.

Nilai kinerja aspek operasional dari indikator cakupan pelayanan setiap

tahunnya bernilai 1 yang bermakna bahwa cakupan pelayanan atau rasio antara

jumlah penduduk yang terlayani dengan jumlah penduduk  15%.

2. Kualitas air distribusi. Kualitas air distribusi ditentukan oleh pengujian

kualitas air distribusi oleh Instansi yang berwenang. Selama periode pengamatan

belum pernah dilaksanakan uji kualitas air. Dilain pihak PDAM Limau Kunci
belum memiliki laboratorium untuk menguji kualitas air. Penyebab lain, sering

terjadinya kebocoran pipa distribusi dan transmisi serta bangunan saringan pasir

lambat kurang sempurna sehingga kualitas air distribusi rendah.

Nilai kinerja aspek operasional dari indikator kualitas air distribusi setiap

tahunnya bernilai 1 yang bermakna kualitas air distribusi tidak memenuhi syarat.

3. Kontinuitas air. Mengingat sumber air yang digunakan adalah dari air sungai

maka PDAM Limau Kunci sangat tergantung pada musim hujan. Apabila musim

kemarau maka produksi air kecil bahkan terhenti. Selama periode pengamatan,

kasus pengaduan yang terbanyak adalah masalah aliran air yang macet bahkan

di beberapa lokasi semisalnya di Pasar Liwa terdapat 50 pelanggan belum

mendapat distribusi air.

Nilai kinerja aspek operasional dari indikator kontinuitas air setiap

tahunnya selama periode pengamatan bernilai 1 yang bermakna bahwa belum

semua pelanggan mendapat aliran air 24 jam.

4. Produktivitas pemanfaatan instalasi produksi . Kapasitas distribusi dan

kapasitas terpasang PDAM Limau Kunci selama periode pengamatan dari

1993 – 1999 dapat dilihat pada tabel 3.13. Tampak pemanfaatan instalasi

produksi telah maksimal atau produktif. Mengingat mesin pompa yang

dimiliki oleh PDAM untuk berproduksi rata-rata berkapasitas 10 liter/detik.

Tabel 3.13 Produktivitas Pemanfaatan Instalasi Produksi,


1993 - 1999
Kapasitas Kapasitas
Tahun Terpasang Produksi Selisih Persentase
(Liter/detik) (Liter/detik)
1 2 3 4 = 2-3 5 = 3/2
1993 65 55 10 84,62
1994 75 67 8 89,33
1995 80 69 11 86,25
1996 87 72 15 82,76
1997 92 83 9 90,22
1998 96 90 6 93,75
1999 97 92 5 94,85
Sumber : PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat.

Nilai kinerja aspek operasional dari indikator produktivitas pemanfaatan

instalasi produksi selama periode pengamatan tertinggi pada 1997, 1998 dan

1999 bernilai 4 yang bermakna bahwa produktivitas pemanfaatan instalasi

produksi telah optimal atau memiliki rasio >90%. Sedangkan untuk 1993, 1994,

1995 dan 1996 bernilai 3 yang bermakna bahwa produktivitas pemanfaatan

instalasi produksi sebesar >80%-90%.

5. Tingkat kehilangan air. Data produksi, distribusi, air terjual dan kehilangan

air selama 7 tahun dapat dilihat pada tabel 3.14. Secara keseluruhan produksi

air yang terjual rata-rata sebesar 490.954,71 m 3, sisanya merupakan kehilangan

rata-rata 272.261,57 m3. Tingkat kehilangan setiap tahunnya relatif menurun dari

53,16 % pada periode 1993 menjadi 22,52% pada 1999. Penyebab tingkat

kehilangan air tinggi dikarenakan terjadinya kebocoran pipa distribusi dan

transmisi, water meter pelanggan yang tidak berfungsi, sambungan langsung

oleh masyarakat yang tidak terdaftar dan akibat alam yaitu sering terjadi longsor.

Tabel 3.14 Produksi, Distribusi, Air Terjual dan Air Hilang


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat,
1993 - 1999
Tahun Produksi Distribusi Air Terjual Air Hilang Tingkat
(m3) (m3) (m3) (m3) Kehilangan
1 2 3 4 5 = 3-4 6 = 5/3
1993 626.432 506.772 237.384 269.388 53,16
1994 573.042 521.433 313.776 207.657 39,82
1995 853.149 777.013 460.701 316.312 40,71
1996 1.004.219 936.366 518.835 417.531 44,59
1997 995.128 819.550 534.311 285.239 34,80
1998 900.513 827.072 632.231 194.841 23,56
1999 1.007.701 954.308 739.445 214.863 22,52
Sumber : Laporan bulanan PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat.

Nilai kinerja aspek operasional dari indikator tingkat kehilangan air selama

periode pengamatan yaitu 1993, 1995 dan 1996 bernilai 1 yang bermakna rasio

tingkat kehilangan air sebesar >40%, 1994 dan 1997 bernilai 2 yang bermakna

rasio tingkat kehilangan air sebesar >30% - 40%. Sedangkan untuk 1998 dan

1999 menunjukkan arah yang lebih baik yaitu bernilai 3 yang bermakna rasio

tingkat kehilangan air sebesar >20% - 30%.

6. Peneraan meter air. Peneraan meter air dilakukan secara berkala dan

apabila ada pengaduan dari pelanggan. Dari data yang diperoleh peneraan

meter air setiap tahunnya hanya 7%. Maka nilai kinerja aspek operasional dari

indikator peneraan meter air selama periode pengamatan bernilai 1 yang

bermakna rasio jumlah pelanggan yang meter airnya ditera dengn jumlah seluruh

pelanggan yaitu >0% - 10% atau >25%.

7. Kecepatan penyambungan baru. Penyambungan baru selama periode

pengamatan umumnya dikerjakan lebih dari 6 hari kerja, hal ini terjadi karena

posisi dan lokasi calon pelanggan jauh dari saluran distribusi serta tidak

tersedianya accessiories pipa. Maka nilai kinerja aspek operasional dari indikator

kecepatan penyambungan baru bernilai 1 yang bermakna lamanya waktu yang


dibutuhkan calon pelanggan dari pembayaran sampai dengan penyambungan

>6 hari kerja.

8. Kemampuan penanganan pengaduan rata-rata per bulan. Rerata 225

pelanggan tiap bulannya melakukan pengaduan karena jumlah pemakaian tidak

sesuai dengan rekening tagihan, air tidak mengalir, air keruh dan meter air rusak.

Pengaduan yang selesai ditangani rata-rata 128 pelanggan setiap bulan. Maka

nilai kinerja aspek operasional dari indikator kemampuan penanganan

pengaduan rata-rata perbulan selama periode pengamatan bernilai 1 yang

bermakna rasio jumlah pengaduan yang telah selesai ditangani dengan jumlah

seluruh pengaduan <80%.

9. Kemudahan pelayanan. Di masing-masing cabang dan unit telah tersedia

sarana penunjang dalam rangka memberikan kemudahan pelayanan baik untuk

melakukan pembayaran maupun pengaduan. Maka nilai kinerja aspek

operasional dari indikator kemudahan pelayanan bernilai 2.

10. Rasio karyawan per 1000 pelanggan. Jumlah karyawan yang memberikan

pelayanan kepada pelanggan berfluktuasi dapat dilihat pada tabel 3.15 berikut

ini. Dari tabel menunjukkan jumlah pegawai terendah pada 1993 yaitu sebanyak

45 orang dan tertinggi tahun 1996 yaitu sebanyak 70 orang. Status

kepegawaian didominasi oleh pegawai honorer. Dari hasil perhitungan rasio

karyawan per 1000 pelanggan dapat disimpulkan bahwa nilai kinerja aspek

operasional dari indikator ini yaitu untuk 1993 hingga 1996 bernilai 1 yang

bermakna rasio antara jumlah karyawan dengan jumlah pelanggan >18


sedangkan periode pengamatan 1997 hingga 1999 bernilai 2 yang bermakna

besarnya rasio >15 – 18.

Tabel 3.15 Jumlah Karyawan PDAM Limau Kunci


Kabupaten Lampung Barat, 1993 – 1999

Status Pegawai Tahun


1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
PNS 3 3 2 3 3 2 2
Perusahaan 6 15 21 30 30 30 30
Honorer 36 46 46 37 36 35 35
Kontrak - - - - - - -
A. Jumlah 45 64 69 70 69 67 67
B. Jlh Pelanggan 1.582 2.355 3.097 3.590 3.902 4.169 4.443
C. Rasio Karyawan
28,45 27,18 22,28 19,50 17,68 16,07 15,08
Per 1000 Pelanggan
Sumber : PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat.

Nilai kinerja PDAM Limau Kunci ditinjau dari aspek operasional yang

terdiri dari 10 indikator adalah sebagai berikut.

Tabel 3.16 Nilai Kinerja Aspek Operasional


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993 – 1999
No Indikator Kinerja 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
1. Cakupan pelayanan 1 1 1 1 1 1 1

Nilai Bonus :
Peningkatan Cakupan 0 1 1 2 1 0 0
Pelayanan
2. Kualitas Air Distribusi 1 1 1 1 1 1 1
3. Kontinuitas Air 1 1 1 1 1 1 1
4. Produktivitas pemanfaatan 3 3 3 3 4 4 4
Instalasi Produksi
5. Tingkat Kehilangan Air 1 2 1 1 2 3 3

Nilai Bonus :
Penurunan Tingkat 0 1 0 0 0 3 1
Kehilangan Air
6. Peneraan Meter Air 1 1 1 1 1 1 1
7. Kecepatan Penyambungan 1 1 1 1 1 1 1
Baru
8. Kemampuan Penanganan 1 1 1 1 1 1 1
Pengaduan rata-rata
per bulan
Tabel 3.16 lanjutan
9. Kemudahan Pelayanan 2 2 2 2 2 2 2
10. Rasio Karyawan per 1000 1 1 1 1 2 2 2
pelanggan
Jumlah Nilai 13 16 14 15 17 20 18
Nilai Kenerja 11.06 13.62 11.91 12.77 14.47 17.02 15.32
Sumber : PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat, data diolah.

3.2.1.3 Kinerja aspek administrasi. Tingkat kinerja aspek administrasi

PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat terdiri dari 10 indikator

sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.17 Nilai Kinerja Aspek Administrasi


PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat , 1993-1999
No Indikator Kinerja 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
1. Rencana jangka panjang 1 2 2 2 2 2 2
(corporate plan)
2. Rencana Organisasi dan 2 2 2 1 1 2 2
Uraian Tugas
3. Prosedur Operasi Standar 2 2 3 3 3 3 3
4. Gambar Nyata Laksana 2 2 3 3 3 3 3
(As Built Drawing)
5. Pedoman Penilaian Kerja 2 2 2 2 2 2 2
Karyawan
6. Rencana Kerja dan 3 3 3 3 3 3 3
Anggaran Perusahaan
(RKAP)
7. Tertib Laporan Internal 2 2 2 2 2 2 2
8. Tertib Laporan Eksternal 1 2 2 2 2 2 2
9. Opini Auditor Independen 3 3 3 3 3 3 4
10. Tindak Lanjut Hasil 2 2 2 2 2 2 2
Pemeriksaan Thn Terakhir
Jumlah Nilai 20 22 24 23 23 24 25
Nilai Kenerja 8.33 9.17 9.99 9.58 9.58 9.99 10.42
Sumber : PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat, data diolah.

Dengan menggunakan persamaan (2.6) maka didapat tingkat

keberhasilan kinerja PDAM Limau Kunci Kabupaten periode pengamatan 1993 –

1999 sebagaimana terlihat pada tabel berikut.


Tabel 3.18 Tingkat Kinerja PDAM Limau Kunci
Kabupaten Lampung Barat, 1993 – 1999

No Aspek Kinerja 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999


1. Keuangan 18.00 20.25 22.50 21.75 19.50 23.25 17.25
2. Operasional 11.06 13.62 11.91 12.77 14.47 17.02 15.32
3. Administrasi 8.33 9.17 9.99 9.58 9.58 9.99 10.42
Jumlah 37.39 43.04 44.40 44.10 43.55 50.26 42.99
Sumber : lihat tabel 3.11, 3.16 dan 3.17.

Tabel 3.18 di atas menunjukkan tingkat keberhasilan kinerja PDAM Limau

Kunci Kabupaten yang merupakan komulatif dari aspek keuangan, operasional

dan administrasi selama periode pengamatan. Dapat disimpulkan bahwa pada

periode pengamatan 1993, 1994, 1995, 1996, 1997 dan 1999 tingkat

keberhasilan kinerja PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat berdasarkan

Kepmendagri No. 47 tahun 1999 adalah Kurang, sedangkan pada tahun 1998

tergolong Cukup.

3.2.2 Analisis regresi berganda

3.2.2.1 Hasil analisis regresi

Model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model log-log.

Pertimbangannya adalah dari beberapa model yang telah dicoba, ternyata model

log-log menunjukkan hasil yang paling maksimal. Analisis dilakukan dengan

bantuan program Econometric Views in Version 3.0. Adapun model regresi yang

akan ditaksir adalah sebagai berikut.

LnLKt = 0 + 1 LnATt + 2 LnPDRBt +  ………………………….. (3.5)


dimana :

LnLKt adalah laba kotor PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat

(rupiah) pada kuartal tertentu;

0, 1, 2 adalah parameter;

LnATt adalah jumlah air yang terjual (m3) pada kuartal tertentu;

LnPDRBt adalah PDRB perkapita pada kuartal tertentu atas harga konstan

1993;

e adalah kesalahan pengganggu (disturbance).

Ln adalah logaritma natural.

Estimasi persamaan (3.5) menunjukkan nilai koefisien dan parameter

seperti dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.19 Estimasi OLS Laba Kotor Usaha PDAM Limau Kunci
Kabupaten Lampung Barat , 1993 - 1999

No. Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Uji hipotesis


1.Konstanta -16,17359 -3,887422 0,0007 Ho ditolak
2.LNAT 1,278486 8,360105 0,0000 Ho ditolak
3.LNPDRB 1,569588 3,811114 0,0008 Ho ditolak
4.R2 0,876419
Adj. R2 0,866533
F statistik 88,64855
D.W. 1,747168
Sumber : Lampiran 4, data diolah.

Pada tabel 3.19 di atas koefisien variabel konstantanya sebesar

-16,17359%. Hal ini memiliki makna bahwa dalam model penelitian ini, laba kotor

usaha PDAM Limau Kunci periode pengamatan 1993 – 1999 negatif sebesar

16,17359% apabila semua variabel bebas bernilai nol.


3.2.2.2 Analisis Statistik

Hasil regresi dari model penelitian selanjutnya dilakukan uji statistik

meliputi uji t, uji F dan uji-koefisien determinasi (R 2).

1. Uji t. Uji t-statistik dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas

menunjukkan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap variabel terikat.

Signifikan atau tidaknya dengan cara membandingkan t-statistik dengan

nilai t-tabel. Apabila nilai t-statistik lebih besar dari nilai t-tabel, maka variabel

bebas tersebut secara individu mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

variabel terikat. Besarnya t-statistik dari hasil regresi dapat dilihat dalam tabel

3.20. Derajat kebebasan (df) ditetapkan sebesar = n  k = 28  3 = 25 dan  =

0,05 maka diperoleh t-tabel = 1,708 dan hipotesis yang digunakan adalah :

H0 = 0 = 1 = 2 = 0

HA = 0  0, 1  0, 2  0

Tabel 3.20 Hasil Uji-t

Variabel t-statistik Kesimpulan


Konstanta -3,887422 signifikan
LNAT 8,360105 signifikan
LNPDRB 3,811114 signifikan
Sumber : lihat tabel 3.19

Berdasarkan tabel di atas, nilai variabel bebas Konstanta, LNAT dan

LNPDRB mempunyai pengaruh yang signifikan pada  = 5 persen terhadap laba

kotor usaha PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat.


2. Uji-F. Uji-F dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas

secara bersama-sama atau serempak mempunyai pengaruh yang signifikan

secara statistik terhadap variabel terikat. Apabila nilai F-hitung lebih besar dari

F-tabel ( = 0,05, k-1, n-k), maka H0 ditolak. Artinya bahwa variabel-variabel

bebas secara serempak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel

terikat.

Hipotesis dalam pengujian tersebut sebagai berikut.

H0 : 0 = 0,1 = 2= 0

HA : 0  1  2

Hasil estimasi OLS yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai F-

hitung = 88,64855 dan F-tabel ( = 5%; 2; 25) adalah 3,39, berarti nilai F

statistik > F tabel. Dari hasil uji-F dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel

bebas secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laba

kotor usaha PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat.

3. Uji koefisien determinasi (R2). Koefisien determinasi (R2) untuk menunjukkan

seberapa besar proporsi variasi variabel bebas yang mampu menjelaskan variasi

variabel terikat (Gujarati, 1999:208). Regresi OLS menunjukkan R 2 sebesar

0,876419, artinya bahwa 87,64 % variasi variabel terikat dapat dijelaskan oleh

variasi variabel bebas.

3.2.2.3. Analisis ekonometrika

Model yang dipilih tersebut, tahap selanjutnya akan diuji terhadap ada

tidaknya gejala multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi.


1. Uji multikolinearitas. Multikolinearitas adalah keadaan dimana terdapat

hubungan secara nyata antara satu atau lebih variabel-variabel bebas. Gejala ini

dapat dideteksi dengan melihat adanya koefisien determinasi (R 2) sangat tinggi.

Akan tetapi tingkat signifikan variabel bebas berdasarkan uji t-statistik sangat

kecil atau tidak ada variabel bebas yang signifikan. Gejala multikolinearitas

dalam penelitian ini diuji dengan Metode Klein, diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 3.21 Uji Gejala Multikolinearitas dengan Metode Klein

Regresi r2 R2
LNAT C LNPDRBB 0,320424 < 0,876419
Sumber data : Lampiran 6.

Tabel di atas menunjukkan hasil regresi antar variabel bebas

menghasilkan r2 < R2, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam model

yang digunakan, gejala multikolinearitas yang muncul dapat diabaikan.

2. Uji heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan

menggunakan Metode Park dan mendapatkan hasil uji sebagai berikut.

Tabel 3.22 Uji Gejala Heteroskedastisitas dengan Metode Park


Variabel t statistik t tabel
C 0,192178 < 1,708
LNAT -0,536854 < 1,708
LNPDRB 0,062455 < 1,708
Sumber data : Lampiran 7.

Tabel 3.22 menunjukkan bahwa perbedaan antara nilai t-statistik dengan

t-tabel seluruhnya tidak signifikan secara statistik. Dengan demikian,

berdasarkan metode Park di atas, tidak ditemukan adanya gejala

heteroskedastisitas.
3. Uji autokorelasi. Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana terdapat korelasi

antar variabel pengganggu. Untuk mengetahui adanya gejala autokorelasi,

maka perlu dilakukan pengujian terhadap nilai statistik Durbin Watson (d).

Jumlah pengamatan dalam penelitian ini adalah n = 28, variabel bebas (k)

= 2 dan  = 0,05, maka diperoleh hasil sebagai berikut.

dL = 1,255 4 – dU = 2,44

dU = 1,560 4 – dL = 2,745

Kriteria penetapan ada tidaknya gejala autokorelasi berdasarkan pembagian

daerah interval sebagai berikut.

1. 0 < d < dL : autokorelasi negatif

2. dL < d < dU : ragu-ragu (inconclusive)

3. dU < d < 4 – dU : tidak ada autokorelasi positif/negatif

4. 4 – dU < d < 4 – dL : ragu-ragu (inconclusive)

5. 4 – dL < d : autokorelasi

Hasil estimasi OLS diperoleh nilai statistik Durbin-Watson d = 1,747. Hal

ini berarti nilai d statistik terletak pada daerah d U < d < 4 - dU. Dalam penelitian

ini, setelah dianalisis tidak terjadi autokorelasi.

3.2.2.4 Pembahasan hasil regresi

Berdasarkan hasil analisis regresi model, estimasi modelnya dapat

dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut

LnLKt = -16,17359 + 1,278486 LnATt + 1,569588 LnPDRBt …………...(3.6)

tstatistik (-3,887422) (8,360105) (3,811114)

R2 = 0,876419 D-Wstatistik = 1,747168


Fstatistik = 88,64855 n = 28

Interpretasi hasil regresi model adalah sebagai berikut.

1. Jumlah air yang terjual berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba kotor

usaha, ceteris paribus. Koefisien pengaruh jumlah air yang terjual terhadap

laba kotor usaha adalah 8,36. Hal ini bermakna, jika jumlah air yang terjual

naik 1%, maka diharapkan (expected) akan meningkatkan laba kotor usaha

PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat sebesar 8,36 %.

2. PDRB perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba kotor

usaha, ceteris paribus. Koefisien pengaruh PDRB perkapita terhadap laba

kotor usaha adalah 3,81. Hal ini bermakna, jika PDRB perkapita Lampung

Barat naik 1%, maka diharapkan (expected) akan meningkatkan laba kotor

usaha PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat sebesar 3,81%.

3. Kemampuan menjelaskan variasi variabel bebas jumlah air yang terjual dan

PDRB perkapita terhadap variasi variabel terikat laba kotor usaha (R 2) adalah

87,64 %.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, penelitian yang dilakukan di

Kabupaten Lampung Barat selama periode pengamatan 1993 – 1999, menghasilkan

beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Tingkat keberhasilan kinerja PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat

berdasarkan Kepmendagri No. 47 tahun 1999 yaitu untuk periode

pengamatan 1993 - 1997 dan 1999 menunjukkan nilai kurang. Hal ini berarti

nilai kinerja untuk setiap tahunnya diatas 30 sampai dengan 45. Sedangkan

periode 1998 tingkat kinerja yang diperoleh adalah cukup, yang bermakna

bahwa nilai kinerja diatas 45 sampai dengan 60. Hasil uji hipotesis tersebut

menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan kinerja PDAM pada periode

pengamatan 1993 - 1997 dan 1999 sesuai dengan hipotesis yang telah

ditetapkan. Khusus untuk 1998 hasil uji hipotesis tidak sesuai dengan

hipotesis yang telah ditetapkan.

2. Kinerja aspek keuangan dikategorikan kurang karena biaya penyusutan

aktiva tetap sangat besar dan penjualan air yang rendah, sehingga yang

terjadi setiap tahunnya selama periode pengamatan mengalami kerugian.

3. Kinerja aspek operasional kurang disebabkan cakupan pelayanan yang

rendah, kualitas air distribusi rendah, kontinuitas air tidak merata, tingkat

kebocoran yang relatif tinggi masih di atas batas yang ditetapkan yaitu 20%,

peneraan meter yang tidak konsisten, lamanya kecepatan penyambungan


baru, pengaduan pelanggan belum semua ditangani dan rasio karyawan per

1000 pelanggan cukup tinggi.

4. Kinerja aspek administrasi kurang disebabkan rencana jangka panjang

(corporate plan), rencana organisasi dan uraian tugas, pedoman penilaian

kerja karyawan belum dipedomani serta hasil temuan/rekomendasi dari

Instansi Pemeriksa hanya sebagian ditindaklanjuti.

5. Untuk analisis regresi, dapat disimpulkan sebagai berikut :

5.1. Jumlah air yang terjual berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba

kotor usaha, ceteris paribus. Koefisien pengaruh jumlah air yang terjual

terhadap laba kotor usaha adalah 8,36. Hal ini bermakna, jika jumlah

air yang terjual naik 1%, maka diharapkan (expected) akan

meningkatkan laba kotor usaha PDAM Limau Kunci Kabupaten

Lampung Barat sebesar 8,36%. Hasil uji hipotesis ini sesuai dengan

hipotesis yang telah ditetapkan.

5.2. PDRB perkapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba kotor

usaha, ceteris paribus. Koefisien pengaruh PDRB perkapita terhadap

laba kotor usaha adalah 3,81. Hal ini bermakna, jika PDRB perkapita

Lampung Barat naik 1%, maka diharapkan (expected) akan

meningkatkan laba kotor usaha PDAM Limau Kunci Kabupaten

Lampung Barat sebesar 3,81%. Hasil uji hipotesis ini sesuai dengan

hipotesis yang ditetapkan.

5.3. Uji-F menunjukkan variabel jumlah air yang terjual dan PDRB perkapita

secara bersama-sama atau serempak mempunyai pengaruh positif dan


signifikan secara statistik terhadap laba kotor usaha PDAM Limau

Kunci. Hal ini menunjukkan hasil uji hipotesis sesuai dengan hipotesis

yang telah ditetapkan.

5.4. Kemampuan menjelaskan variasi variabel bebas jumlah air yang terjual

dan PDRB perkapita terhadap variasi variabel terikat laba kotor usaha

(R2) adalah 87,64 %.

4.2 Saran-Saran

1. Direksi dan Badan Pengawas PDAM Limau Kunci Kabupaten Lampung Barat

harus meningkatkan manajemen dan profesionalisme pengelolaan

perusahaan sehingga kinerja aspek keuangan, operasional maupun

administrasi dapat ditingkatkan. Konsep reinventing government atau

mewirausahakan birokrasi dapat menjadi acuan manajemen PDAM Limau

Kunci.

2. Tingkat kebocoran selain mengurangi penjualan juga menimbulkan biaya

operasi yang cukup tinggi, maka manajemen diharapkan dapat menekan

tingkat kebocoran tersebut paling tinggi 20% atau batas maksimal yang telah

ditetapkan Kepmendagri No. 47 tahun 1999. Hal ini dapat dilihat pada tabel

3.14 rerata kebocoran selama 7 tahun 37,02% atau rerata air yang hilang

dengan percuma setiap tahunnya 272.261,57 m 3. Jika dapat ditekan sebesar

20%, maka :

a. Rerata air yang didistribusikan setiap tahunnya 763.216,28 m 3.

b. Rerata kehilangan air setiap tahunnya 20% x 763.216,28 m 3 = 152.643,26

m3 .
c. Rerata air yang dapat diselamatkan setiap tahunnya = 272.261,57 m 3 –

152.643,26 m3 = 119.618,31 m3.

3. Laba kotor usaha PDAM Limau Kunci dapat ditingkatkan melalui peningkatan

jumlah air yang terjual dan peningkatan PDRB perkapita. Oleh sebab itu

hendaknya Direksi PDAM Limau Kunci dalam program kerjanya menambah

mesin pompa atau menggantikan mesin yang sudah tak layak berproduksi

sehingga dapat meningkatkan kapasitas terpasang dan kapasitas produksi

serta memberi kemudahan kepada calon pelanggan baru. Kaitannya

terhadap PDRB perkapita, Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat

harus mengupayakan meningkatkan PDRB , dengan asumsi pertumbuhan

penduduk tidak lebih besar, sehingga PDRB perkapita riil masyarakat

meningkat, yang secara otomatis kemampuan masyarakat dalam membayar

(ability to pay) berbagai pungutan termasuk rekening air atau menjadi

pelanggan baru PDAM akan semakin tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Alhabsyi, T., Syamsuddin L., dan Soendjoto, A.R., 1987. Laporan Penelitian
Kedudukan dan Peranan Perusahaan Daerah dalam Pelaksanaan
yang nyata dan Bertanggung jawab, Kerjasama Bappeda Propinsi
Dati I Jatim dengan Universitas Brawijaya.
Alwi, Syarifuddin., 1994, Alat-alat Analisis dalam Pembelanjaan, Andi Offset,
Yogyakarta.
Andriyanto, W. Ari. Y.Chr., “Penilaian Tingkat Kinerja Badan Usaha Milik
Negara(BUMN) “, ANTISIPASI, 2;146-147.
Devas, Nick., Brian Binder, Anne Booth, Kenneth Davey, Roy Kelly, 1999.
Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, terjemahan oleh Masri
Maris, UI-Press.
Gray, Clive., Payaman Simanjuntak., Lien. K. Sabur., P.F.L. Maspaitella. Dan
R.C.G. Varley, 1997, Pengantar Evaluasi Proyek, edisi kedua,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ikatan Akuntan Indonesia, 1984, Prinsip Akuntansi Indonesia, Percetakan
Negara, Jakarta.
----------------------------------, 1994, Standar Akuntansi Keuangan, Percetakan
Negara, Jakarta.
Jordan, L., Harvey J. Witt, dan James R. Wilson, “Modeling Water Utility
Financial Performance”, American Water Resources Association,
Bulletin, 32, 143.
Mangkoesoebroto, Guritno., 1993, “Ekonomi Publik”, Yogyakarta, BPFE.
Masjidi, Natsyith., 1992. “Sistem Evaluasi Kinerja BUMN Perbandingan
Indonesia dan Malaysia”, Prisma, 2;33-40.
Munawir, S., 1979. Analisa Laporan Keuangan, Liberty Yogyakarta.
Riyanto, Bambang., 1995, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan,

Yogyakarta, BPFE.

Sartono, Agus, 1998, Manajemen Keuangan – Teori dan Praktek, BPFE,


Yogyakarta.
Soedibyo, Bambang., Mahi Raksaka, 2000, “Prospek Desentralisasi di Indonesia
Ditinjau dari Segi Pemerataan Antardaerah dan Peningkatan
Efisiensi”, Analisis CSIS, No. 1/XXIX, Maret.
Wijaya, Faried., dan Suharto, Sri Maimunah, 1996. “Penyusunan Tolok Ukur,
Evaluasi Kinerja BUMN Berdasar Alternatif Pengelompokkannya",
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 1; 1-22.. 1997. “Pengukuran
Kinerja Perusahaan dengan Ballanced Scorecard: Bentuk,
Mekanisme, dan Prospek Aplikasinya pada BUMN”, Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia, 2; 36-49. 53

You might also like