Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Ada beberapa hal yang akhirnya perlu kita cermati, tatkala melihat kondisi
yang timpang seperti itu :
Dari keempat faktor tersebut, dapat terlihat sebuah potret buram gerakan
mahasiswi yang semakin hari, semakin surut saja srikandi-srikandi yang
memiliki kualitas diri yang baik. Inilah yang menjadi tugas besar, untuk kembali
membangun gerakan yang ideal dan seimbang antara mahasiswa dengan
mahasiswi, baik itu dalam segi kecakapan kognitif, kontribusi, ataupun
wawasan.
Konsep ideal menuju harmonisasi gerakan
Dunia kampus adalah dunia yang sangat kental dengan budaya akademik, dari
lingkar-lingkar diskusi kampus akhirnya banyak terlahir pemikiran-pemikiran segar
yang (dianggap) solutif untuk menjawab permasalahan-permasalahan bangsa.
Sebagai masyarakat akademik yang dipandang memiliki kapasitas yang lebih dalam
suatu disiplin ilmu tertentu, mahasiswa selalu ditantang oleh masyarakat untuk
memberikan sebuah pencerahan pemikiran ditengah carut-marut nya kondisi
masyarakat.
Berkaca dari fakta, gerakan mahasiswi saat ini masih belum menemukan konsep
dan jati diri yang kongkrit, padahal tantangan diluar sana menunggu untuk segera
diselesaikan. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan banyak kecakapan yang
harus dimiliki oleh aktivis perempuan (Mahasiswi) agar memiliki daya saing ketika
terjun di lapangan.
Pertama, seorang aktivis yang baik adalah aktivis yang memiliki kecakapan
pada suatu bidang atau disiplin ilmu tertentu. Dengan fokus pada suatu bidang
tertentu akan mempertajam daya analisis kita dalam menyikapi atau mengkaji
suatu permasalahan. Sehingga solusi yang ditawarkan pun dapat menyeluruh, tidak
bersifat parsial. Masih sedikit sekali jumlahnya, para srikandi yang fokus dan cakap
dalam suatu disiplin ilmu tertentu.
Ketiga, seorang aktivis dituntut untuk mandiri, berani, dan percaya diri
terlepas dari jenis kelaminnya, apakah ia perempuan atau laki-laki. Yang seringkali
menjadi masalah adalah, mahasiswi yang terjun di dunia politik kampus masih
sedikit sekali yang memiliki ketiga sifat tersebut. Alhasil, seringkali berakibat fatal
pada gerakan. Mahasiswi dianggap sulit untuk melangkah maju karena kurangnya
kemandirian. Contoh kecil nya masih sedikit sekali mahasiswi yang berani tampil di
muka umum, menjadi narasumber kajian atau mandiri dalam memenuhi kebutuhan
akslerasi dirinya.
Keempat, jangan pernah puas dengan kemampuan yang telah dimiliki saat ini.
Teruslah belajar dan jangan berhenti untuk mengakselerasi diri dan memperkaya
diri dengan wawasan. Berbicara mengenai akslerasi diri,masih sedikit sekali
mahasiswi yang rela keluar dari zona nyaman nya, dan mau meng”Upgrade” diri
dengan kemampuan-kemampuan yang lebih baik. Karena sedikitnya kesempatan
yang diberikan kepada mahasiswi untuk menunjukan kemampuannya di muka
umum, berakibat terlena nya mahasiswi untuk tidak mengejar ketertinggalan
dengan mahasiswa yang lain. Padahal jika dilihat dari filosofi gerakan, seharusnya
mahasiswi memiliki persiapan yang lebih matang, karena mereka adalah “Ban
Serep” yang harus siap kapan saja, ketika diminta untuk menggantikan posisi
mahasiswa (yang notabene nya masih menjadi pionir utama gerakan).
Menurut penulis, keempat komponen ini wajib dimiliki oleh para srikandi
mahasiswi apabila ingin mengejar ketinggalan. Agar terciptanya sebuah gerakan
yang harmonis, sejalan, dan tidak terjadi ketimpangan. Sama sekali bukan untuk
menuntut dominasi dari gerakan perempuan, karena apalah arti sebuah dominasi
tanpa terciptanya sebuah gerakan yang kuat dan kokoh.
Penutup