You are on page 1of 7

Reformasi Gerakan Perempuan

Pendahuluan

Perempuan dan pergerakannya diibaratkan seperti sesosok gunung ES. Hanya


sedikit sekali kemampuan dan kekuatan yang ditunjukan oleh gerakan perempuan
di permukaan, pada faktanya masih banyak sekali bagian dan kemampuan yang
masih jauh tertimbun di dasar lautan, bahkan cenderung sulit untuk ditunjukan ke
khalayak luar.

Awal mula kebangkitan gerakan perempuan, gerakan ini didasari oleh


keinginan perempuan untuk memerdekakan dirinya baik merdeka secara
intelektual, maupun merdeka secara jasmaniah. Perlu diingat, pada tahun
1800an, perempuan masih dianggap sebagai kaum marginal yang tidak diberikan
kebebasan untuk menyuarakan pendapat, kebebasan bertindak, dan bebas terlepas
untuk merdeka dari bayang-bayang kekuasaan laki-laki.

Berbeda dengan esensi dari perjuangan gerakan perempuan saat ini,


gerakan perempuan pada mulanya difokuskan untuk memberantas buta huruf,
kemiskinan, penganiayaan, hingga kekerasan pada perempuan, pada saat itu
perempuan belum mulai terlibat secara langsung dalam gerakan sosial politik yang
sedang berkembang pada masanya.

Satu abad kemudian, gerakan perempuan mulai menampakan taringnya.


Disatu sisi, Perempuan mulai diperbolehkan keluar rumah, terlibat aktif dalam
dimensi gerakan sosial politik, baik itu secara langsung terlibat dalam parlemen
maupun memperoleh hak untuk menyuarakan pendapatnya. Walaupun tidak
dipungkiri, disisi lain perempuan masih mendapatkan hambatan, rintangan,
maupun tantangan dari para penganut patriarki yang masih lantang menolak
keterlibatan perempuan.

Jika mencermati gerakan perempuan, akan ditemukan gerakan dan


perjuangan perempuan dalam berbagai dimensi, namun untuk saat ini penulis akan
lebih menyoroti gerakan mahasiswi dan keterlibatannya dalam mengemban
amanah sebagai agent of change. Jika penulis cermati, gerakan mahasiswi saat ini
masih tampak malu-malu untuk menunjukan “taring” nya. Gerakan perempuan
masih cenderung belum mengimbangi akselerasi kemampuan mahasiswa sehingga
belum tercipta harmonisasi yang pas antara Mahasiswi dengan Mahasiswa.

Perempuan masih cenderung belum memiliki insiatif sendiri untuk


merancang pola gerakannya, bahkan terkadang masih menikmati kondisi dimana
perempuan tinggal menunggu perintah dan menjadi “boneka”. Tingkat keaktifan
mahasiswi dalam sudut-sudut diskusi pun masih minim dibandingkan dengan
mahasiswa, ironisnya apabila dipertemukan dalam suatu forum diskusi pun laki-laki
masih mendominasi pembicaraan. Mendominasi dalam artian lebih memiliki
wawasan yang lebih luas, dan terkesan tingkat ke-kritisan-nya pun lebih tinggi
dibandingkan perempuan.

Melihat fenomena ini, sangat bertolak belakang dengan perjuangan yang


sudah ditorehkan oleh para pejuang perempuan pada generasi sebelumnya, penulis
merasa miris dan khawatir akan regenerasi dan daya saing perempuan dalam
kancah pergerakan mahasiswa. Penulis sama sekali tidak bermaksud untuk
menuntut perempuan harus lebih hebat atau mendominasi laki-laki, dalam hal ini
penulis mencoba menyoroti fenomena aktivis perempuan yang larut dalam kondisi
dimana terjadi ketimpangan kemampuan yang jauh berbeda dengan para aktivis
laki-laki.

Perbedaan kemampuan yang begitu jelas terlihat dan mencolok, membuat


penulis tergerak untuk mencoba membuka mata teman-teman seperjuangan
mengenai urgensi akselerasi diri untuk mengimbangi gerakan aktivis laki-laki agar
tercapai nya sebuah harmonisasi gerakan yang ideal. Setidaknya perempuan tidak
menjelma menjadi gunung es lagi, minimal perlahan berubah menjadi gunung
merapi yang siap memuntahkan larva “intelektualnya” kapanpun.

Gerakan perempuan dalam lintas sejarah

Gerakan perempuan di Indonesia sudah dimulai jauh sebelum Indonesia


merdeka. Sebut saja nama Keumala Malahayati atau dikenal dengan Laksamana
Malahayati yang menjadi Panglima Perang Armada Laut Wanita saat Aceh
diperintah oleh Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607), dan
Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku Vrouwelijke Admiral Malahayati karangan
Marie van Zuchtelen, Malahayati diceritakan memimpin armada yang terdiri atas
2.000 prajurit perempuan. Selain Malahayati, kita kenal juga Martha Christina
Tiahahu (1801-1818), Cut Nyak Dien (1850-1908), yang perjuangannya dilanjutkan
anaknya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren, dan banyak lagi pejuang
wanita di sana.

Memasuki perjuangan diluar konteks peperangan, lahirlah sosok R.A Kartini


yang memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, ditengah zaman dan budaya
yang masih mengesampingkan urgensi pematangan intelektual untuk perempuan.
Ada juga sosok Rohana Kudus yang menaikkan nama perempuan di kalangan
jurnalis Indonesia, Rasuna Said yang menjadi perempuan pertama yang ditangkap
kemudian dipenjara karena pidatonya yang mengecam tajam ketidakadilan
pemerintah Belanda pada tahun 1932 di Semarang, kemudian ada juga Ny. Dahlan
yang membangun kajian ta’lim untuk Ibu-Ibu walau masih terbatas di kawasan
pondok-pondok.

Berbeda dengan perjuangan tahun 1800-an yang masih berjuang dengan


senjata, pejuang-pejuang pada tahun 1900-an cenderung mengumpulkan kekuatan
dengan berorganisasi, diantaranya lahirlah organisasi Putri Mardika, sebuah
organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912. Hingga
puncaknya pada sebuah pertemuan akbar, berhasil diadakan Kongres Perempuan
Indonesia tingkat nasional pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta
(yang kemudian disepakati menjadi hari ibu), dimana hampir 30 organisasi
perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi pertama
gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang bernama
Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun berikutnya berubah nama
menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).

Dari untaian sejarah yang mengagumkan tersebut, ternyata banyak sosok-


sosok pejuang perempuan di Indonesia yang dengan kefeminitasnya mampu
menjadi pejuang-pejuang tangguh yang bergerak dengan kapasitasnya sebagai
perempuan, tanpa harus keluar dari kodrat dan jatidirinya. Mereka memiliki
model gerakan sendiri, yang mampu menciptakan sebuah perubahan besar dengan
kedua tangannya.
Fakta dan Kondisi

Tidaklah sebuah gerakan itu dapat dikatakan sukses, apabila tidak


meninggalkan regenerasi yang mampu melanjutkan tongkat estafeta perjuangan
yang telah ditorehkan para pendahulunya. Ironisnya, gerakan perempuan pada saat
ini, khususnya mahasiswi masih terbayang-bayang euphoria kesuksesan masa lalu.
Sebuah data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa
tingkat partisipasi mahasiswi di organisasi kemahasiswaan tidak lebih dari 20% dari
jumlah seluruh aktifis organisasi yang ada. Dari prosentase tersebut kebanyakan
mahasiswi hanya menduduki posisi kurang strategis seperti wakil bendahara,
bidang kewanitaan, atau seksi konsumsi dan administrasi jika dalam kepanitiaan.
Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk kepemimpinan yang tertinggi dalam
struktur organisasi.

Ada beberapa hal yang akhirnya perlu kita cermati, tatkala melihat kondisi
yang timpang seperti itu :

1. Kurangnya SDM mahasiswi dalam Dunia politik kampus. Politik kampus,


masih enggan disentuh oleh perempuan kalangan intelektual (mahasiswi),
bahkan masih ada keraguan dari mahasiswi itu sendiri, untuk terjun
langsung secara aktif.
2. Mahasiswi kurang mampu beradu argumen dengan para mahasiwa baik itu
dalam kajian, diskusi, bahkan dalam hal pengambilan keputusan.
3. Mahasiswi cenderung menjadi objek daripada subjek gerakan mahasiswa
4. Mahasiswi lebih banyak yang termasuk dalam golongan mahasiswa kutu
buku,hedonis namun minus ideologi. Kurang berminat apabila diajak untuk
berpikir lebih mendalam mengenai suatu hal.

Dari keempat faktor tersebut, dapat terlihat sebuah potret buram gerakan
mahasiswi yang semakin hari, semakin surut saja srikandi-srikandi yang
memiliki kualitas diri yang baik. Inilah yang menjadi tugas besar, untuk kembali
membangun gerakan yang ideal dan seimbang antara mahasiswa dengan
mahasiswi, baik itu dalam segi kecakapan kognitif, kontribusi, ataupun
wawasan.
Konsep ideal menuju harmonisasi gerakan

Dunia kampus adalah dunia yang sangat kental dengan budaya akademik, dari
lingkar-lingkar diskusi kampus akhirnya banyak terlahir pemikiran-pemikiran segar
yang (dianggap) solutif untuk menjawab permasalahan-permasalahan bangsa.
Sebagai masyarakat akademik yang dipandang memiliki kapasitas yang lebih dalam
suatu disiplin ilmu tertentu, mahasiswa selalu ditantang oleh masyarakat untuk
memberikan sebuah pencerahan pemikiran ditengah carut-marut nya kondisi
masyarakat.

Berkaca dari fakta, gerakan mahasiswi saat ini masih belum menemukan konsep
dan jati diri yang kongkrit, padahal tantangan diluar sana menunggu untuk segera
diselesaikan. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan banyak kecakapan yang
harus dimiliki oleh aktivis perempuan (Mahasiswi) agar memiliki daya saing ketika
terjun di lapangan.

Pertama, seorang aktivis yang baik adalah aktivis yang memiliki kecakapan
pada suatu bidang atau disiplin ilmu tertentu. Dengan fokus pada suatu bidang
tertentu akan mempertajam daya analisis kita dalam menyikapi atau mengkaji
suatu permasalahan. Sehingga solusi yang ditawarkan pun dapat menyeluruh, tidak
bersifat parsial. Masih sedikit sekali jumlahnya, para srikandi yang fokus dan cakap
dalam suatu disiplin ilmu tertentu.

Kedua, perempuan diberikan naluri “nurture”, ia akan lebih peka dan


mengayomi terhadap orang-orang disekitar nya. Kemampuan inilah yang kemudian
bisa dipergunakan sebagai “senjata” oleh para srikandi mahasiswi. Dalam
pergerakan, sangat diperlukan kemampuan mengatur kondisi internal, dan
kemampuan memanagerial agenda-agenda yang harus terlaksana. Kondisi internal
merupakan salahsatu komponen penting yang harus dijaga agar konsistensi gerakan
tetap terjaga, dengan naluri nurture nya, perempuan bisa lebih mengayomi dan
menciptakan kondisi yang bisa membuat nyaman semua anggota. Bagaimanapun
juga kondisi internal seringkali menjadi hal yang terlupakan.

Ketiga, seorang aktivis dituntut untuk mandiri, berani, dan percaya diri
terlepas dari jenis kelaminnya, apakah ia perempuan atau laki-laki. Yang seringkali
menjadi masalah adalah, mahasiswi yang terjun di dunia politik kampus masih
sedikit sekali yang memiliki ketiga sifat tersebut. Alhasil, seringkali berakibat fatal
pada gerakan. Mahasiswi dianggap sulit untuk melangkah maju karena kurangnya
kemandirian. Contoh kecil nya masih sedikit sekali mahasiswi yang berani tampil di
muka umum, menjadi narasumber kajian atau mandiri dalam memenuhi kebutuhan
akslerasi dirinya.

Keempat, jangan pernah puas dengan kemampuan yang telah dimiliki saat ini.
Teruslah belajar dan jangan berhenti untuk mengakselerasi diri dan memperkaya
diri dengan wawasan. Berbicara mengenai akslerasi diri,masih sedikit sekali
mahasiswi yang rela keluar dari zona nyaman nya, dan mau meng”Upgrade” diri
dengan kemampuan-kemampuan yang lebih baik. Karena sedikitnya kesempatan
yang diberikan kepada mahasiswi untuk menunjukan kemampuannya di muka
umum, berakibat terlena nya mahasiswi untuk tidak mengejar ketertinggalan
dengan mahasiswa yang lain. Padahal jika dilihat dari filosofi gerakan, seharusnya
mahasiswi memiliki persiapan yang lebih matang, karena mereka adalah “Ban
Serep” yang harus siap kapan saja, ketika diminta untuk menggantikan posisi
mahasiswa (yang notabene nya masih menjadi pionir utama gerakan).

Menurut penulis, keempat komponen ini wajib dimiliki oleh para srikandi
mahasiswi apabila ingin mengejar ketinggalan. Agar terciptanya sebuah gerakan
yang harmonis, sejalan, dan tidak terjadi ketimpangan. Sama sekali bukan untuk
menuntut dominasi dari gerakan perempuan, karena apalah arti sebuah dominasi
tanpa terciptanya sebuah gerakan yang kuat dan kokoh.

Penutup

Pentingnya peran mahasiswi di dunia kampus adalah miniatur pentingnya


peran aktif kaum perempuan di dunia politik. Maka upaya-upaya perekrutan kader-
kader perempuan dalam berbagai organisasi kemahasiswaan perlu lebih
diintensifkan untuk memberi warna baru dalam peradaban yang lebih beradab.

Adapun mahasiswi yang telah mendedikasikan dirinya di dunia politik


kampus, hendaklah jangan pernah letih untuk mengejar ketinggalan dalam
mengupgrade kemampuannya. Gerakan yang harmonis dan seimbang akan
menghasilkan sebuah perubahan besar, sebuah peradaban yang kokoh yang sangat
dinanti oleh ibu pertiwi. Akhir kata, selamat belajar dan mengakselerasi diri untuk
para srikandi Indonesia.

You might also like