You are on page 1of 175

KAJIAN TERHADAP PENETAPAN LOKASI

TPA SAMPAH LEUWINANGGUNG – KOTA DEPOK

TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota
Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota

Oleh :

ADE BASYARAT
L4D 004 115

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER TEKNIK PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN LOKASI
TPA SAMPAH LEUWINANGGUNG – KOTA DEPOK

Tesis diajukan kepada


Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro

Oleh :

ADE BASYARAT
L4D 004 115

Diajukan pada Sidang Ujian Tesis


Tanggal 21 April 2006

Dinyatakan lulus
Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Magister Teknik

Semarang, 25 April 2006

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Parfi Khadiyanto, MSL Ir. Mardwi Rahdriawan, MT

Pembimbing Utama,

Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, PhD, MES

Mengetahui
Ketua Program Studi
Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro

Prof. Dr. Ir. Sugiono Soetomo, DEA

ii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi.
Sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diakui dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Semarang, April 2006

Ade Basyarat
L4D004115

iii
“Tunjukilah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat”
(Al-Fatihah: 6-7)

“Barang siapa taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya


(Muhammad SAW) akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
diberi nikmat oleh Allah, yaitu nikmat nabi-nabi, orang-orang sidiq,
orang-orang syahid dan orang-orang saleh”.
(An-Nisa: 70)

Kupersembahkan kepada:

IBUNDA, ISTRI DAN ANAK-ANAKKU TERCINTA

iv
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH
LEUWI NANGGUNG KOTA DEPOK

Oleh: Ade Basyarat

ABSTRAK

Berbagai masalah terjadi pada pemilihan dan penetapan lokasi TPA sampah di
beberapa kota di Indonesia. Permasalahan muncul sebagai akibat dari ketersediaan lahan yang
terbatas dan kondisi lingkungan yang tidak memenuhi kriteria Standar Nasional Indonesia
tentang pemilihan lokasi TPA. Akibat dari persoalan utama tersebut muncul masalah pencemaran
lingkungan berupa bau, resapan lindi dan kegiatan pemulung yang tidak terkendali. Sehingga
dengan pencemaran lingkungan yang dihadapi, persepsi masyarakat di sekitar lokasi TPA
terhadap TPA yang bersangkutan menjadi buruk dan konflik antara masyarakat dengan pengelola
TPA tidak terelakan. Aspek persepsi masyarakat dalam pemilihan lokasi TPA sampah belum
diatur dalam Surat Keputusan Standar Nasional Indonesia (SK SNI) tentang pemilihan lokasi
TPA.
Kota Depok telah mempunyai lokasi TPA yang sedang operasional, namun karena
keterbatasan lahan, TPA tersebut hanya mempunyai tingkat pelayanan 28% dan masa
operasionalnya akan berakhir pada tahun 2008. Sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan
mengatasi berakhirnya masa operasional TPA existing, pemerintah Depok telah menetapkan
lokasi TPA baru Leuwinanggung di dalam RTRW Kota Depok tahun 2000-2010, untuk itu perlu
diketahui ”Bagaimana kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung ditinjau dari persepsi dan
partisipasi masyarakat serta kondisi lingkungan berdasarkan analisis kritis terhadap SK SNI
tentang pemilihan lokasi TPA Sampah ?”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk megevaluasi kelayakan lokasi TPA sampah
Leuwinanggung. Tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan metode survei
dan penelitian komparatif. Kebutuhan data, meliputi data primer yang diperoleh melalui hasil
pengisian kuisioner oleh responden dan data sekunder. Besarnya sampel adalah 100 responden,
terbagi secara proporsional dari dua kelurahan (Sukatani dan Tapos). Pengolahan data terbagi
atas pengolahan data kuantitatif yang diolah dengan perhitungan metematika sederhana dengan
menggunakan perhitungan statistik yang telah ditentukan rumusannya dan pengolahan data
kualitatif yang diolah dengan menggunakan metode deskriptif. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dan analisis kualitatif, sedangkan
metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: analisis komparatif, frekuensi dan
skoring.
Kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung, berdasarkan kriteria SNI dan hasil
analisis kritis terhadap SK SNI adalah layak dipertimbangkan, sedangkan berdasarkan kriteria
Inggris Raya, lokasi TPA tersebut tidak layak, karena berada pada kawasan konservasi/resapan
resapan air.
Terhadap kelayakan lokasi TPA dan dengan mempertimbangkan keterbatasan lahan di
kawasan Leuwinanggung, maka direkomendasikan perlu dilakukan pemindahan lokasi rencana
TPA ke lokasi lain, dalam hal ini melalui keikut sertaan pemerintah kota Depok untuk
berpartisipasi dalam kerjasama pengelolaan sampah terpadu di wilayah Jabodetabek.

Kata Kunci: Evaluasi, Kriteria lokasi TPA, Persepsi Masyarakat.


2

A SUDY OF LOCATION DETERMINING


OF WASTE DISPOSAL
IN LEUWI NANGGUNG – DEPOK CITY

By: Ade Basyarat

ABSTRACT

Some problems on selecting and determining the location of waste disposal


emerged in several cities in Indonesia. The problems revealed as the impacts of limited
space availability and under Indonesian National Standard of environmental condition. As
the results, there are environmental pollution such as unpleasant odor, leachate and
uncontrolled littering activities. Because of the pollution, the perception of the society
around to waste disposal is bad and conflict between the societies around the location
and the sweepers arises. Society perception aspect on determining society location has
not been regulated yet on Indonesian National Standard Decree concerning
determination of waste disposal location.
Depok City has already had a location of operational waste disposal, however
because of limited space, it can only serve about 28% of needs and it will expire in 2008.
To improve the service and to solve the expiring the existing waste disposal, the
Government of Depok City has determined a new waste disposal in Leuwinanggung at
the several small communities of Depok City in 2000-2010. Moreover, there is a question
revealed ”How is the worthiness of Leuwinanggung waste disposal from the point of view
of society’s perception and their participation also how is the environmental condition
based on critical analysis to Indonesian National Standard Decree about determining the
location of waste disposal?”.
This study is purposed to evaluate the worthiness of waste disposal location in
Leuwinanggung. To reach the purpose, it needs primary and secondary data. Primary
data was collected from questionnaire from respondents. Population of the study was
taken by simple randomly sampling method. The numbers of the samples are 100
respondents proportionally from two villages (Sukatani and Tapos). Data processing
divided into quantitative and qualitative. Quantitative data uses simple mathematics
calculation and formulated statistics calculation. While qualitative data was processed by
descriptive method. Technique of data analysis of the study uses quantitative analysis
and qualitative analysis, while the method are comparative analysis, frequency and
scoring.
Based on the critical analysis to Indonesian National Standard Decree and the
analysis of society’s perception and identification of social participation also
environmental condition of waste disposal located in Leuwinanggung, scoring analysis
was done to know the worthiness of the location Leuwinanggung waste disposal. Based
on the feasibility analysis, it was informed that the location of waste disposal is
unworthy.
As the unworthy location, it was then recommended to relocate the location of
waste final disposal in plan, and recommended to Government of Depok City to
participate and cooperate on integrated waste disposal management in Jabodetabek
region.

Keyword: Evaluation, Criteria of waste disposal, Perception of the society.


3

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah. SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya


sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul ”Kajian
Terhadap Penetapan Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung Kota Depok”, sebagai
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan Tesis ini, antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES, selaku Pembimbing Utama yang
telah membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan Tesis ini.
2. Bapak Ir, Parfi Khadiyanto, MSL, selaku Pembimbing I yang telah banyak
memberi masukan dan perbaikan.
3. Bapak Ir. Mardwi Rahdriawan, MT, selaku Pembimbing II atas bimbingan
dan bantuannya.
4. Ibu Ir. Retno Widjajanti, MT, selaku Penguji I atas arahan, kritik dan saran-
saran perbaikan.
5. Bapak Dr. Ir. Suharyanto, MSc, selaku Penguji II atas kritik dan saran-saran
perbaikan.
6. Bapak Ir. Djoko Sugijono, M.Eng.Sc selaku Kepala Balai Pusbiktek
Semarang, beserta seluruh jajaran staf dan karyawan yang telah memberikan
dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
7. Bapak Soegimin Pranoto, Bapak Ridho Matari Ichwan, Bapak Abid dan
Bapak Panani Kesai, atas dukungannya kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan.
8. Ibunda tercinta atas do’a dan perhatiannya.
9. Istri dan anak-anakku tercinta atas pengorbanan dan pengertiannya.
10. Teman-teman angkatan IV MPPWK UNDIP Semarang yang telah
memberikan semangat hingga tesis ini selesai.
11. Semua Pihak yang telah ikut membantu dalam penyusunan Tesis ini.
Penulis menyadari, bahwa tesis ini tentunya masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis mengharapkan masukan-masukan konstruktif, sehingga tesis ini
dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Semarang, April 2006


Penulis,

Ade Basyarat
4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................ iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
ABSTRACT....................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
DARTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Permasalahan dan Perumusan Masalah ..................................... 11
1.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat .................................................... 12
1.3.1 Tujuan ............................................................................ 12
1.3.2 Sasaran penelitian .......................................................... 12
1.3.3 Manfaat penelitian ......................................................... 13
1.4 Ruang Lingkup .......................................................................... 13
1.4.1 Ruang lingkup subtansial ............................................... 13
1.4.2 Ruang lingkup spasial..................................................... 14
1.5 Kerangka Pikir ........................................................................... 14
1.6 Metode Penelitian ...................................................................... 14
1.6.1 Pendekatan Studi ........................................................... 18
1.6.2 Tahapan Penelitian......................................................... 18
1.6.3 Metode Analisis Penelitian ............................................ 19
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data............................................. 21
1.6.5 Teknik Pengolahan Data................................................ 24
1.6.6 Teknik Pengambilan Sampel ......................................... 25
1.6.7 Teknik Analisis .............................................................. 27
1.7 Sistematika Pembahasan............................................................ 30

BAB II KAJIAN LITERATUR PENETAPAN LOKASI TPA


SAMPAH ........................................................................................ 32
2.1 Lokasi ....................................................................................... 32
2.2 Konsep Ruang dan Tata Guna Lahan....................................... 33
2.3 Pengertian Sampah .................................................................. 35
2.4 Sumber dan Produksi Sampah.................................................. 36
2.5 Pengelolaan Sampah................................................................. 39
2.6 Pengolahan Sampah.................................................................. 41
2.7 Tempat Pembuangan Akhir Sampah ........................................ 47
5

2.8 Dampak Sampah terhadap Manusia dan Lingkungan .............. 59


2.9 Permasalahan TPA Sampah ..................................................... 61
2.10 Partisipasi Masyarakat.............................................................. 65
2.11 Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat................................. 67
2.12 Rangkuman Kajian Teori ......................................................... 70

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN..................... 77


3.1 Geografi dan Wilayah Pemerintahan ...................................... 77
3.2 Klimatologi ............................................................................. 78
3.3 Geologi .................................................................................... 78
3.4 Hidrogeologi ........................................................................... 79
3.5 Jenis Tanah.............................................................................. 80
3.6 Kondisi Fisik Lokasi Rencana TPA Leuwinanggung ............. 81
3.6.1 Batas Administrasi, Kepemilikan Lahan dan Kondisi
Fisik ............................................................................. 81
3.6.2 Masyarakat/Penduduk ................................................. 90
3.7 Volume Sampah Kota Depok.................................................. 108
3.8 Permasalahan Pengelolaan Persampahan di Kota Depok ........ 110

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN LOKASI TPA SAMPAH


SAMPAH LEUWINANGGUNG ............................................... 111
4.1 Analisis Kritis Terhadap Kriteria SNI .................................. 111
4.1.1 Batas Administrasi...................................................... 118
4.1.2 Pemilikan Hak atas Lahan dan Jumlah Pemilik Lahan 122
4.1.3 Tanah (di atas muka air tanah) dan Air Tanah ........... 124
4.1.4 Bahaya Banjir dan Intensitas Hujan ........................... 125
4.1.5 Kawasan Konservasi dan Resapan Air/Tangkapan
Hujan .......................................................................... 126
4.1.6 Kebisingan dan bau serta estetika............................... 127
4.1.7 Cagar Budaya/Situs-situs Bersejarah ......................... 128
4.1.8 Mengandung Bahan Tambang atau Mudah
Terbakar/Meledak ...................................................... 128
4.1.9 Partisipasi Masyarakat................................................ 129
4.1.10 Persepsi Masyarakat ................................................... 129
4.1.11 Sintesa Analisis Kritis Terhadap Kriteria SNI ........... 130
4.2 Identifikasi Persepsi Masyarakat terhadap Lokasi TPA
Rencana ................................................................................ 131
4.2.1 Pengetahuan Responden Terhadap Rencana Lokasi
TPA ............................................................................ 136
4.2.2 Sikap Masyarakat Terhadap Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) sampah ................................................... 138
4.2.3 Harapan Masyarakat Terhadap Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) sampah ................................................... 139
4.2.4 Tanggapan Masyarakat Terhadap Pengangkutan
Sampah ........................................................................ 141
6

4.2.5 Tanggapan Masyarakat Terhadap Kegiatan


Pemulung..................................................................... 143
4.2.6 Penilaian Persepsi Masyarakat .................................... 144
4.3 Kapasitas Lahan..................................................................... 146
4.4 Kelayakan Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung................. 147
4.5 Sintesa ................................................................................... 151

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................................... 155


5.1 Kesimpulan........................................................................... 155
5.2 Rekomendasi ........................................................................ 158

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 159


LAMPIRAN.................................................................................................... 163
7

DAFTAR TABEL

TABEL I.1 : Kebutuhan, Bentuk dan Sumber Data................................ 22


TABEL I.2 : Contoh Perhitungan Skor Lokasi TPA Sampah
Leuwinanggung Di Kota Depok ........................................ 29
TABEL II.1 : Tipe Sampah Berdasarkan Fasilitas, Aktifitas, Lokasi dan
Sumber Sampah ................................................................. 37
TABEL II.2 : Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-
Komponen Sumber Sampah............................................... 38
TABEL II.3 : Variabel-variabel Pemilihan Lokasi TPA Sampah ............ 52
TABEL II.4 : Rangkuman Kajian Teori Penetapan Lokasi TPA Sampah
Leuwinanggung Kota Depok ............................................. 70
TABEL II.5 : Kriteria Pemilihan Lokasi TPA Sampah Berdasarkan SNI
dan Internasional ................................................................ 73
TABEL II.6 : Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Penetapan
Lokasi TPA Sampah .......................................................... 76
TABEL III.1 : Timbulan Sampah Domestik Kota Depok Tahun 2000
(M³/Hari) ............................................................................ 109
TABEL III.2 : Timbulan Sampah Non Domestik Kota Depok Tahun
2000 (M³/Hari) ................................................................... 109
TABEL III.3 : Proyeksi Timbulan Sampah Kota Depok Tahun 2001-
2010 (M³/Hari) ................................................................... 109
TABEL IV.1 : Perbandingan Kriteria Pemilihan Lokasi TPA Sampah
(SK SNI T-11-1991-03; Kriteria Internasional; Fenomena
Empirik dan Landasan Teori) ............................................ 113
TABEL IV.2 : Keuntungan dan Kelemahan Indikator Batas Administrasi 119
TABEL IV.3 : Kritik dan Masukan Terhadap Kriteria Pemilihan Lokasi
TPA Sampah SK SNI T-11-1991-03 ................................ 132
TABEL IV.4 : Pengetahuan Masyarakat Tentang Penetapan Lokasi TPA
Sampah Leuwinanggung.................................................... 136
TABEL IV.5 : Alasan Masyarakat ............................................................. 137
TABEL IV.6 : Persepsi Masyarakat Tentang Manfaat TPA...................... 138
TABEL IV.7 : Persepsi Masyarakat Tentang Alasan Manfaat TPA.......... 139
TABEL IV.8 : Harapan Masyarakat Terhadap TPA.................................. 140
TABEL IV.9 : Harapan Terhadap Rencana TPA Leuwinanggung............ 140
TABEL IV.10 : Persepsi Masyarakat Terhadap Pengangkutan Sampah ..... 141
TABEL IV.11 : Alasan Terganggu Oleh Pengangkutan Sampah ................ 142
TABEL IV.12 : Alasan Tidak Terganggu Oleh Pengangkutan Sampah...... 142
TABEL IV.13 : Preferensi Masyarakat Tentang Pemulung......................... 143
TABEL IV.14 : Persepsi Masyarakat Terhadap Pemulung ......................... 144
TABEL IV.15 : Perhitungan Skor Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung
Di Kota Depok ................................................................... 149
8

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Peta Wilayah Administrasi Kota Depok ........................... 15


Gambar 1.2 : Peta Wilayah Studi............................................................. 16
Gambar 1.3 : Kerangka Pikir ................................................................... 17
Gambar 3.1 : Peta Intensitas Kawasan Terbangun Tiap BWK Th. 2004 83
Gambar 3.2 : Peta Penggunaan Tanah Kota Depok................................. 84
Gambar 3.3 : Peta Jaringan Jalan 2004 .................................................... 86
Gambar 3.4 : Daerah Resapan air ............................................................ 87
Gambar 3.5 : Peta Kelerengan Kota Depok ............................................. 89
Gambar 3.6 : Umur Responden................................................................ 92
Gambar 3.7 : Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin....................... 92
Gambar 3.8 : Jumlah Responden Menurut Jenis Pekerjaan..................... 93
Gambar 3.9 : Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan .............. 94
Gambar 3.10 : Responden Menurut Status Kependudukan ....................... 94
Gambar 3.11 : Responden Menurut Lama Bertempat Tinggal .................. 95
Gambar 3.12 : Status Responden Dalam Keluarga.................................... 95
Gambar 3.13 : Status Rumah ..................................................................... 96
Gambar 3.14 : Jumlah Anggota Keluarga.................................................. 97
Gambar 3.15 : Pengetahuan Responden Terhadap Rencana Lokasi TPA . 98
Gambar 3.16 : Alasan Tidak Mengetahui .................................................. 99
Gambar 3.17 : Sikap Masyarakat Terhadap Manfaat TPA ........................ 99
Gambar 3.18 : Alasan TPA Bermanfaat .................................................... 100
Gambar 3.19 : Alasan TPA Tidak Bermanfaat .......................................... 101
Gambar 3.20 : Harapan Masyarakat Terhadap Manfaat TPA.................... 102
Gambar 3.21 : Alasan Terdapat Harapan................................................... 103
Gambar 3.22 : Tanggapan Masyarakat Terhadap Pengangkutan Sampah. 103
Gambar 3.23 : Alasan Terganggu Pengangkutan Sampah......................... 104
Gambar 3.24 : Alasan Tidak Terganggu Pengangkutan Sampah .............. 105
Gambar 3.25 : Pengetahuan Tentang Kegiatan Pemulung......................... 106
Gambar 3.26 : Pendapat Masyarakat Terhadap Kegiatan Pemulung......... 106
Gambar 3.27 : Alasan Terganggu Oleh Pemulung .................................... 107
Gambar 3.28 : Alasan Tidak Terganggu Oleh Pemulung .......................... 108
Gambar 4.1 : Kerangka Analisis .............................................................. 111
9

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Lembar Kuesioner................................................................ 163


Lampiran II : Perhitungan Kapasitas Lahan............................................... 170
Lampiran III : Hasil Perhitungan Kelayakan Lokasi TPA Sampah
Leuwinanggung Berdasarkan Kriteria SK SNI.................... 171
Lampiran IV : Hasil Perhitungan Kelayakan Lokasi TPA Sampah
Leuwinanggung Berdasarkan Hasil Analisis Terhadap
Kriteria SK SNI Tanpa Penambahan Parameter
Berdasarkan Kriteria Internasional .................................... 174
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan perkotaan di Indonesia dewasa ini tumbuh dengan pesat

sesuai dengan pertumbuhan penduduk perkotaan yang relatif tinggi. Pesatnya

pertumbubuhan penduduk perkotaan secara umum disebabkan adanya

pertambahan alami penduduk perkotaan dan migrasi dari desa ke perkotaan yang

lebih dikenal dengan urbanisasi. Menurut Reksohadiprodjo, (1997:93), urbanisasi

merupakan proses sosial penciptaan sistem dinamis yang dikenal sebagai kota.

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, berbagai definisi mengenai

kota pun berkembang, diantaranya menurut Asy’ari (1993:18), kota adalah suatu

wilayah geografis tempat bermukim sejumlah penduduk dengan tingkat kepadatan

penduduknya relatif tinggi, kegiatan utamanya di sektor non agraris serta

mempunyai kelengkapan prasarana dan sarana yang relatif lebih baik

dibandingkan dengan kawasan sekitarnya. Menurut Bintarto (1983:36), dari sisi

geografis, kota dapat diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh

unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang

cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis

dibandingkan daerah belakangnya.

Perkembangan penduduk daerah perkotaan yang sangat pesat dewasa ini,

tidak terlepas dari pengaruh dorongan berbagai kemajuan teknologi, transportasi

dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyataan bahwa perkotaan merupakan lokasi

yang paling efisien dan efektif untuk kegiatan-kegiatan produktif. Akibatnya

1
2

urbanisasi menjadi suatu fenomena yang tidak dapat dielakan lagi dalam

pembangunan perkotaan (Tjahyati, 1996:1).

Urbanisasi meliputi perubahan penduduk, proses produksi dan

lingkungan sosial ekonomi pedesaan ke ekonomi kota. Adanya urbanisasi

menyebabkan antar hubungan manusia, mahluk lain, sumber daya dan teknologi

dengan lingkungan hidup di kota menjadi berubah akibat perilaku manusia,

sehingga perkembangan kota tidak pernah terlepas dari aspek lingkungan hidup,

sebagaimana tertuang dalam Undang-undang RI Nomor 23 tahun 1997. Kualitas

lingkungan hidup harus dijaga kelestariannya agar kesejahteraan dan mutu hidup

generasi mendatang lebih terjamin.

Perilaku manusia yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan

manusia serta makhluk hidup lainnya tersebut dari hari kehari berkembang

menjadi aktivitas yang lebih dinamis dan serba kompleks. Guna mendorong

aktivitas manusia yang dinamis dan kompleks tersebut diperlukan dukungan

prasarana kota, seperti prasarana air bersih, prasarana air buangan/hujan, dan

prasarana persampahan serta sanitasi yang memadai baik secara kuantitatif

maupun kualitatif, agar seluruh aktivitas penduduk tersebut dapat berjalan dengan

aman, tertib, lancar dan sehat (Hendro, 2001:43).

Setiap aktivitas manusia kota baik secara pribadi maupun kelompok, baik

di rumah, kantor, pasar dan dimana saja berada, pasti akan menghasilkan sisa

yang tidak berguna dan menjadi barang buangan. Sampah merupakan

konsekuensi adanya aktivitas manusia dan setiap manusia pasti menghasilkan

buangan atau sampah (Hidayati, 2004:1). Menurut Keputusan Dirjen Cipta Karya,
3

nomor 07/KPTS/CK/1999: Juknis Perencanaan, Pembangunan dan Pengelolaan

Bidang Ke-PLP-an Perkotaan dan Perdesaan, sampah adalah limbah yang bersifat

padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi

dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi

pembangunan.

Kehadiran sampah kota merupakan salah satu persoalan yang dihadapi

oleh masyarakat dan pengelola kota, terutama dalam hal penyediaan sarana dan

prasarananya. Keberadaan sampah tidak diinginkan bila dihubungkan dengan

faktor kebersihan, kesehatan, kenyamanan dan keindahan (estetika). Tumpukan

onggokan sampah yang mengganggu kesehatan dan keindahan lingkungan

merupakan jenis pencemaran yang dapat digolongkan dalam degradasi lingkungan

yang bersifat sosial (R. Bintarto, 1983:57).

Sampah organik atau sampah yang mudah terurai biasanya merupakan

bagian terbesar dari sampah rumah tangga. Cara penanganan sampah ini

seharusnya dilakukan dengan meminimalkan bangkitan sampah perkotaan, yaitu

mengurangi jumlah sampah, mendaur ulang dan memanfaatkan sampah yang

masih berguna, (Suganda, Kompas, 7 Desember 2004). Wacana lain upaya

pengelolaan sampah pada hulu sebagaimana disampaikan Hadi (Kompas, 7

Desember 2004) bahwa mata rantai hulu bisa diartikan menumbuhkan perilaku

masyarakat untuk mengurangi memproduksi sampah, seperti pola insentif seperti

di Negara Singapura. Di negara tersebut, warga dikenakan retribusi sampah sesuai

volumenya dan pemerintah mengenakan denda bagi pengunjung restoran yang

tidak menghabiskan makanan pesanannya. Di Amerika Serikat dan Kanada,


4

swasta telah berperan, supermarket memberikan insentif bagi pengunjung yang

membawa kantong belanjaan dari rumah.

Proses penanganan sampah dimulai dari proses pengumpulan sampai

dengan tempat pembuangan akhir (TPA) secara umum memerlukan waktu yang

berbeda sehingga diperlukan ruang untuk menampung sampah pada masing-

masing proses tersebut. Guna memenuhi kebutuhan ruang dalam menetapkan

lokasi TPA seringkali dijumpai masalah-masalah besar yang perlu ditangani

dengan seksama, seperti ketersediaan lahan, konflik kepentingan dan penurunan

mutu lingkungan.

Berbagai kasus lokasi TPA sampah yang terindikasi bermasalah dalam

ketersediaan lahan, konflik kepentingan dan penurunan mutu lingkungan, antara

lain TPA Sampah kota Bandung di Leuwigajah, TPA DKI Jakarta di

Bantargebang, dan TPST DKI Jakarta di desa Bojong Kabupaten Bogor.

Permasalahan-permasalahan tersebut terjadi akibat penetapan lokasi TPA dan

TPST sampah pada awal perencanaannya tidak disesuaikan dengan kriteria

pemilihan lokasinya dan dalam pelaksanaan pengelolaannya tidak sesuai standar

teknologi pengolahan yang berlaku.

Menurut Damanhuri (2005:2), longsornya TPA Leuwigajah disebabkan

karena sarana TPA tersebut belum dioperasikan sebagaimana layaknya.

Pengamatan dan penelitian yang dilakukan khususnya pada tahun 2003/2004,

menyimpulkan bahwa TPA Leuwigajah sudah berada pada kondisi yang sangat

tidak higienis dan rentan terhadap permasalahan lingkungan, terutama akibat

penimbunan secara open dumping yang antara lain dapat menyebabkan longsor.
5

Disamping itu, cara-cara yang selama ini digunakan, telah mengakibatkan

permasalahan lingkungan. Lindi (leachate) yang tidak dikendalikan telah

mencemari badan air di hilirnya. Kepulan asap, bau dan lalat merupakan kejadian

yang telah lama terpapar pada lingkungan di sekitar TPA.

Penelitian kondisi geoteknik dan hidrologi yang dilakukan pada tahun

1987 menyimpulkan bahwa lokasi TPA Leuwigajah terletak di daerah perbukitan

dengan kemiringan agak terjal (lebih dari 30%), merupakan tanah residu dari

batuan vulkanik dan terdiri dari lanau elastis pasiran yang terletak di atas batuan

andesit berkekar. Pada musim kemarau curah hujan sedikit, lokasi ini akan

merupakan daerah resapan, namun pada musim hujan akan berubah menjadi

daerah pengeluaran air yang bersifat temporer, yang muncul dalam bentuk mata

air musiman di dasar lembah yang dapat berpindah dari elevasi satu ke elevasi

lainnya. Selain dibutuhkan sistem pelapis dasar TPA yang cukup kedap, maka

drainase di bawah dasar sangatlah dibutuhkan untuk mengalirkan air yang datang

dari bawah agar tidak masuk ke dalam timbunan sampah. Akibat terjadinya up-

lift akibat akumulasi air yang terbentuk di timbunan sampah pada musim hujan

maka sampah bergerak dalam bentuk longsor.

Konflik sampah perkotaan terjadi di Tempat Pengolahan Sampah

Terpadu Bojong, Klapanunggal, Kabupaten Bogor (Kompas 25 November 2004).

Konflik persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua yang terjadi di

lokasi pengolahan akhir sampah DKI Jakarta. Kasus pertama terjadi di tempat

pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10 Desember 2001

dan awal Januari 2004 yang berdampak terhadap penutupan TPA Bantargebang.
6

Catatan Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan

Pemerintah Kota Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang

(Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003), terlihat betapa berbagai sistem dan teknologi

pengolah sampah cukup ideal. Setidaknya terdapat tiga sistem, yakni dikubur

(balapres), dibakar (incenerated), dan sanitary landfill (menggunakan pelapis

geotekstil). Menurut konsepnya, semua sistem dan teknologi tersebut cukup aman

dari sudut lingkungan hidup. Karya teknologi modern tersebut mulai menjadi

bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen yang kurang optimal dan tidak

profesional. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan

di lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut

menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST. Pencemaran lingkungan

terjadi pada proses pengangkutan sampah ke TPA yang dilakukan tidak sesuai

dengan kriteria teknis yang berlaku. Sampah organik yang diangkut masih basah

dan mengandung banyak air lindi (leachate) dan tercecer sepanjang perjalanan.

Pencemaran ini menimbulkan aroma tak sedap yang dihirup warga dan pengguna

jalan.

Kehadiran TPA dan TPST dapat menyebabkan kehadiran pemulung.

Kehadiran pemulung di TPST Bojong belum dirasakan warga sekitar, namun

dengan membandingkan pengalaman di TPA Bantargebang, maka masyarakat

menjadi khawatir dengan kehadiran pemulung nantinya. Pada mulanya para

pemulung mengais rezeki di dalam TPA, namun dalam perkembangannya mereka

menjadi tidak peduli terhadap dampak lingkungan. Sampah yang belum dibuang

ke TPA di turunkan pada saat proses pengangkutan. Sampah-sampah yang


7

bernilai ekonomis dimanfaatkan oleh pemulung, sedangkan sisanya dbiarkan

berceceran atau dibuang di tempat yang tidak layak, seperti sawah, sungai dan

kolam ikan, sehingga terjadi pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya.

Pada saat pemerintah Kabupaten Bogor mensosialisasikan kepada warga

mengenai peruntukan lahan seluas 20 hektar yang berada di Desa Bojong,

Kecamatan Jonggol, diperuntukan bagi pabrik keramik, maka masyarakat tidak

mempersoalkan masalah peruntukan lahannya. Namun ketika pada bulan Mei

2003, diumumkan bahwa di lokasi tersebut akan dijadikan TPA pengganti Bantar

Gebang, masyarakat menyatakan keberatannya. Masyarakat diberi kesempatan

untuk mengajukan keluhan dan informasi dalam rangka memenuhi AMDAL yang

sedang dibuat, namun dengan waktu yang terbatas, maka masyarakat mengajukan

surat keberatan atas rencana tersebut. Walaupun demikian dinas terkait

menyatakan bahwa AMDAL telah disahkan oleh Komisi AMDAL Daerah

Kabupaten Bogor. Proses pangajuan AMDAL dilaksanakan dalam waktu kurang

dari 5 bulan dan pembuatan AMDAL tersebut dirasakan oleh warga tidak

transparan dan menafikan keberadaan masyarakat.

Mengacu pada Perda No. 17 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan

bahwa kawasan tersebut ditetapkan sebagai lokasi TPA. Justru sebaliknya,

kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan Pengembangan Perkotaan dan

salah satunya diperuntukan bagi pengembangan kawasan pariwisata. Peruntukan

lokasi TPA yang terdapat dalam RTRW tersebut berada di Desa Nambo,

Kecamatan Cileungsi.
8

Pembuangan akhir sampah (TPA) adalah tempat yang digunakan untuk

menyimpan dan memusnahkan sampah dengan cara tertentu sehingga dampak

negatif yang ditimbulkan kepada lingkungan dapat dihilangkan atau dikurangi.

Perkiraan-perkiraan dampak penting suatu lokasi TPA yang berpengaruh kepada

masyarakat saat operasi maupun sesudah beroperasi harus sudah dapat diduga

sebelumnya. Pendugaan dampak ini, diantaranya berkaitan dengan penerapan

kriteria pemilihan lokasi TPA sampah. Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah di

Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Standar Nasional Indonesia (SK

SNI) T-11-1991-03 yang tertuang dalam Keputusan Direktorat Jenderal Cipta

Karya No: 07/KPTS/CK/1999.

Penetapan Lokasi TPA pada dasarnya juga untuk kepentingan

masyarakat dalam upaya menangulangi sampah kota. Mengamati kenyataan

gagalnya operasional TPST Bojong yang disebabkan oleh adanya respon

masyarakat terhadap keberadaan TPA di lingkungannya, maka keberhasilan

operasional suatu TPA sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat tersebut.

Kota Depok merupakan salah satu kota yang berkembang relatif cukup

pesat, ditandai dengan pertumbuhan penduduk sebesar 3,70% per tahun dan

pertumbuhan jumlah permukiman serta intensitas kegiatan kotanya yang cukup

tinggi. Peningkatan jumlah penduduk, permukiman dan intensitas kegiatan kota

Depok menyebabkan meningkatnya produksi sampah yang dihasilkan dari rumah

tangga maupun industri. Peningkatan volume sampah yang tidak diikuti dengan

sarana Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang memadai dan sesuai

dengan kriteria-kriteria yang ada akan dapat menimbulkan masalah lingkungan

yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat Kota Depok.


9

Kebijakan Pemerintah Kota Depok dalam bidang pelayanan

persampahan dirumuskan berdasarkan visi Kota Depok yaitu “Depok Kota

Pendidikan, Permukiman, Perdagangan dan Jasa, yang Religius dan Berwawasan

Lingkungan”. Misi Kota Depok yang berkaitan dengan pelayanan persampahan

adalah “terwujudnya Kota Depok sebagai kota yang nyaman, aman, asri dan

teratur untuk bermukim”. Kebijakan makro Kota Depok ditujukan untuk

mengatasi masalah kerusakan dan degradasi lingkungan hidup akibat pembuangan

limbah industri dan rumah tangga.

Dalam rangka mewujudkan konsep Tata Ruang Wilayah Kota Depok

tahun 2000-2010, maka telah disusun beberapa strategi yang ditempuh oleh

pemerintah Kota Depok antar lain yang terkait dengan pengembangan

persampahan di wilayah Kota Depok, meliputi:

1. Meningkatkan operasional pelayanan persampahan hingga daerah yang lebih

luas

2. Penyediaan sarana-sarana tempat pembuangan sampah yang memadai pada

tiap-tiap kawasan fungsional

3. Mengembangkan pengelolaan sampah dengan sistem daur ulang atau

komposing.

4. Meningkatkan kualitas lingkungan kota termasuk pada Tempat Pembuangan

Akhir (TPA) sampah.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah kota Depok tahun 2000–2010

tingkat pelayanan sampah Kota Depok pada tahun 1997 adalah 28 % dari jumlah

penduduk 903.934 jiwa, dengan total sampah yang terangkut sebesar 424 m3/hari.

Penduduk yang belum terlayani pengelolaan persampahan di Kota Depok,


10

melakukan pembuangan sampah di berbagai sudut kota atau yang biasa disebut

dengan TPA liar. Pembuangan sampah ke TPA liar terus berlanjut dan aparat

pemerintahan Kota Depok pun tidak dapat menghentikan kegiatan ini. Tawaran

Dinas kebersihan dan pertamanan untuk meningkatkan pelayanan pengelolaan

persampahan kepada masyarakat terhambat oleh persoalan ketidakpercayaan

masyarakat, yaitu akibat adanya persepsi buruk masyarakat terhadap pengelolaan

persampahan di Kota Depok, disamping hambatan lainnya seperti ketidaksiapan

sarana dan prasarana pengelolaan persampahan, termasuk di dalamnya prasarana

TPA.

Sampah Kota Depok saat ini dibuang ke TPA yang berlokasi di

Cipayung dengan metoda pengelolaan open dumping. Pada saat ini kapasitas

TPA Cipayung sudah tidak memadai, sehingga dalam kaitan peningkatan

operasional pelayanan diperlukan perluasan TPA Cipayung. Melalui upaya

perluasan TPA Cipayung pun diperkirakan hanya dapat menampung sampah Kota

Depok sampai dengan tahun 2008. Oleh karenanya selain diperlukan perluasan

TPA Cipayung juga diperlukan penambahan lokasi TPA. Rencana lokasi TPA

baru yang tertuang dalam RTRW Kota Depok tahun 2000-2010, yaitu berlokasi

di Leuwinanggung Kelurahan Tapos.

Peruntukan lahan bagi rencana lokasi TPA baru Leuwinanggung,

ditetapkan sebagai kawasan dengan kepadatan bangunan rendah (35%-45%),

namun pada perkembangannya kepadatan bangungan di kawasan tersebut pada

tahun 2004 telah mencapai kategori kepadatan bangunan sedang (45%-60%).

Disamping itu peruntukan lokasi TPA Leuwinanggung juga berada pada kawasan

resapan air untuk konservasi air tanah.


11

1.2 Permasalahan dan Perumusan Masalah

Pengamatan terhadap perkembangan permasalahan beberapa lokasi TPA

sampah, terdapat masalah utama yang dihadapi adalah keterbatasan lahan dan

kondisi lingkungan yang tidak memenuhi kriteria SNI serta tidak adanya

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TPA sampah. Akibat dari persoalan

utama pengelolaan tersebut muncul masalah pencemaran lingkungan berupa bau,

asap, rembesan lindi dan kegiatan pemulung yang tidak terkendali. Sehingga

dengan pencemaran lingkungan yang dihadapi, persepsi masyarakat di sekitar

lokasi TPA terhadap TPA yang bersangkutan menjadi buruk dan konflik antara

masyarakat dengan pengelola TPA tidak terelakan. Aspek persepsi masyarakat

dalam pemilihan lokasi TPA sampah belum diatur dalam SK SNI tentang kriteria

pemilihan lokasi TPA.

Disamping permasalahan-permasalahan di atas, pada penetapan lokasi

TPA baru di kota Depok, peruntukan lahannya saat ini berada pada kawasan

kepadatan bangunan sedang (45% - 60%) dan kawasan resapan air. Mengamati

hal tersebut maka beberapa permasalahan yang diduga akan muncul pada lokasi

TPA Leuwinanggung adalah:

1. Lokasi TPA Leuwinanggung yang berada pada kawasan kepadatan

bangunan sedang akan mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan antara

masyarakat dengan pengelola TPA, karena persoalan yang dihadapi dalam

pengelolaan persampahan Kota Depok adalah adanya persepsi buruk

masyarakat;

2. Jika pada penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung tidak sesuai

dengan kondisi lingkungan maka akan mengakibatkan pencemaran

lingkungan yang disebabkan gas (asap), air lindi (leachete), suara dan bau
12

yang akan berdampak terlewatinya ambang batas daya dukung lingkungan,

terutama pencemaran terhadap upaya konservasi air tanah di kawasan

tersebut.

Dengan demikian, maka dapat ditemukan permasalahan yang

melatarbelakangi perlunya penelitian ini, sehingga pertanyaan penelitian

(Research Question) yang perlu dikaji, yaitu: “Bagaimana kelayakan lokasi TPA

sampah Leuwinanggung ditinjau dari persepsi dan partisipasi masyarakat serta

kondisi lingkungan berdasarkan analisis kritis terhadap SK SNI tentang

pemilihan lokasi TPA Sampah ?”.

1.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah, melakukan analisis kritis terhadap kriteria

pemilihan lokasi TPA sampah berdasarkan SK SNI T-11-1991-03 untuk

megevaluasi kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung.

1.3.2 Sasaran penelitian

Untuk mencapai tujuan di atas maka dalam studi ini sasaran yang hendak

dicapai adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi parameter-parameter pemilihan lokasi TPA sampah yang

tertuang dalam kriteria pemilihan lokasi TPA sampah berdasarkan SK

SNI T-11-1991-03;

2. Identifikasi persepsi dan partisipasi masyarakat di kawasan lokasi TPA

Leuwinanggung terhadap penetapan TPA sampah Leuwinanggung;

3. Identifikasi volume sampah kota Depok untuk mendapatkan kebutuhan

luas lahan;
13

4. Identifikasi kondisi lingkungan di lokasi TPA Leuwinanggung;

5. Analisis kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung.

1.3.3 Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian yang akan dilakukan adalah:

1. Dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi pemerintah daerah, khususnya

pemerintah kota Depok dan dalam menetapkan suatu lokasi TPA sampah.

2. Menjadi bahan pertimbangan bagi perencana kota di dalam penataan ruang

khususnya dalam menentukan pemanfaatan ruang untuk suatu lokasi TPA

sampah.

1.4 Ruang Lingkup

Berdasarkan pada tujuan, sasaran dan manfaat yang ingin dicapai, maka

ruang lingkup studi ini dibedakan menjadi ruang lingkup subtansial dan ruang

lingkup spasial sebagai berikut:

1.4.1 Ruang lingkup subtansial

Ruang lingkup subtansial dibatasi hanya pada pembahasan yang

menyangkut materi sebagai berikut:

1. Membahas parameter-parameter pemilihan lokasi TPA sampah yang

tertuang dalam kriteria pemilihan lokasi TPA sampah berdasarkan SK

SNI T-11-1991-03, yang terkait dengan aspek sosial kemasyarakatan dan

aspek lingkungan;

2. Membahas persepsi masyarakat terhadap penetapan lokasi TPA sampah

Leuwinanggung, terkait dengan preferensi masyarakat terhadap rencana


14

penetapan lokasi TPA, sikap masyarakat terhadap lokasi rencana TPA,

harapan masyarakat terhadap lokasi TPA, tanggapan masyarakat terhadap

pengangkutan sampah ke TPA serta tanggapan masyarakat terhadap

kegiatan pemulung di lokasi TPA;

3. Membahas kondisi lingkungan dan aspek sosial kemasyarakatan lokasi

TPA sampah Leuwinanggung, terkait dengan ketersediaan dan kapasitas

lahan, kondisi tanah dan air tanah, tata guna lahan, prasarana transportasi

serta partisipasi masyarakat.

1.4.2 Ruang lingkup spasial

Wilayah penelitian secara umum adalah wilayah pelayanan persampahan

Kota Depok dan secara khusus adalah lokasi rencana TPA Leuwinanggung Kota

Depok, yaitu di kelurahan Tapos (gambar 1.1 dan 1.2).

1.5 Kerangka Pikir

Kerangka pemikiran dari Studi mengenai Kajian Terhadap Penetapan

Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung ini dapat dilihat pada gambar 1.3.

1.6 Metode Penelitian

Guna melakukan kajian terhadap penetapan terhadap lokasi TPA sampah

Leuwinanggung Kota Depok, maka diperlukan suatu metode penelitian.

Metodologi penelitian adalah ilmu yang membicarakan tata cara atau jalan

sehubungan dengan pelaksanaan penelitian (Hasan, 2002:30). Metode penelitian

akan menjelaskan mengenai pendekatan penelitian, kerangka analisis, kebutuhan

data, teknik sampling dan teknik analisis yang akan digunakan.


MAGISTER PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN
KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
Wilayah Jabodetabek
TESIS
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN LOKASI
TPA SAMPAH LEUW INANGGUNG
KOTA DEPOK

Peta Wilayah Administrasi


Kabupaten
Bekasi Kota Depok

Legenda
Batas Kota Depok
Batas Kecamatan
Batas Kelurahan

NO SKALA
Kabupaten
Bogor
0 2 4 Km
Kabupaten 1.1
1 : 25.000
Bogor

SUMBER

BAPPEDA
KOTA DEPOK
2006
Kota Depok

MAGISTER PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN
KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006

TESIS
BW K 4
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN LOKASI
TPA SAMPAH LEUW INANGGUNG KOTA
DEPOK

Peta Wilayah Studi

Legenda

Jalan Tol
Jalan Kolektor Primer
Jalan Kolektor sekunder
Batas Kota
Lokasi TPA Sampah
Leuwinanggung

NO SKALA

0 2 4 Km
1.2
1 : 25.000

SUMBER

BAPPEDA
KOTA DEPOK
2006
17

Pertumbuhan Penduduk dan


Perkembangan Kota Depok
Latar Belakang

RTRW Kota Depok tahun 2000-2010


(Perda no 12 tahun 2001)

Perluasan TPA Existing dengan Penambahan Kawasan


Kapasitas s/d Tahun 2008 Lokasi TPA Leuwinanggung

Kawasan Resapan Kawasan Kepadatan Penetapan Lokasi TPA


air/Konservasi air Bangunan sedang (45%- Sampah Leuwinanggung
Permasalahan

60%)

Kasus-kasus TPA & TPST di Indonesia:


Persepsi buruk masyarakat
• Terbatas Lahan terhadap pengelolaan
• Persepsi buruk masyarakat terhadap TPA persampahan kota Depok
• Pencemaran Lingkungan

“Bagaimana kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung ditinjau dari


RQ

persepsi dan partisipasi masyarakat serta kondisi lingkungan berdasarkan


analisis kritis terhadap SK SNI tentang pemilihan lokasi TPA Sampah ?”.

Melakukan analisis kritis terhadap kriteria pemilihan lokasi TPA


Tujuan

sampah berdasarkan SK SNI T-11-1991-03 untuk megevaluasi kelayakan


lokasi TPA sampah Leuwinanggung

Analisis kritis terhadap Identifikasi kondisi


Sasaran

kriteria pemilihan Identifikasi Persepsi


dan Partisipasi lingkungan dan
lokasi TPA berdasarkan volume sampah
kriteria SNI Masyarakat sekitar lokasi
TPA
Analisis

Analisis Kelayakan Lokasi TPA Leuwinanggung


Kesimpulan

KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI

Sumber : Peneliti, 2006

GAMBAR 1.3
KERANGKA PIKIR KAJIAN TERHADAP PENETAPAN LOKASI TPA
SAMPAH LEUWINANGGUNG-KOTA DEPOK
18

1.6.1 Pendekatan studi

Pendekatan studi yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif yang ditetapkan sebagai dasar acuan dalam melakukan suatu

proses penelitian. Menurut Whitney (dalam Nazir 1988:63), metode deskriptif

adalah pencarian fakta dengan interprestasi terhadap data atau informasi. Metode

ini meneliti masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, tata cara yang

berlaku dalam situasi tertentu, termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap,

pandangan serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu

fenomena.

Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan berbagai fakta dan

menemukan gejala yang ada dan menganalisis berdasarkan berbagai pilihan yang

telah diidentifikasi sebelumnya. Pendekatan yang sesuai dengan tujuan dan

permasalahan penelitian ini adalah pendekatan survei, baik survei primer maupun

sekunder yaitu melalui upaya pencarian dan pengumpulan data atau informasi

langsung di lapangan atas suatu fenomena yang terjadi maupun data-data

sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi pemerintah terkait dengan

penelitian yang dilakukan.

Pencarian dan pengumpulan data serta informasi yang akan dilakukan

sehubungan dengan penelitian ini adalah data-data dan informasi mengenai sosial

kemasyarakatan disekitar lokasi TPA sampah Leuwinanggung Kota Depok dan

kondisi lingkungan lokasi TPA sampah Leuwinanggung.

1.6.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari beberapa tahap, antara lain: Tahapan

persiapan, kajian literatur, pengumpulan data, analisis serta kesimpulan dan

rekomendasi.
19

Tahapan-tahapan tersbut adalah sebagai berikut:

ƒ Tahapan Persiapan:

Dalam tahapan ini dilakuka persipan penelitian mengenai tujuan dan sasaran

penelitian, metode yang akan digunakan, kebutuhan data dan rancangan

kegiatan penelitian

ƒ Kajian literatur:

Pada tahapan ini, mempelajari dan memilih teori-teori atau konsep-konsep

yang berhubungan dengan penelitian, berupa kriteria-kriteria pemilihan

lokasi TPA sampah.

ƒ Pengumpulan data:

Setelah tahapan persiapan selesai, dilakukan pengumpulan data sesuai

dengan rencana yang telah dibuat pada tahapan persiapan.

ƒ Analisis:

Data-data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan

hasil sesuai dengan tujuan dan sasaran

ƒ Kesimpulan dan rekomendasi:

Berdasarkan hasil analisis, tahap selanjutnya menetukan suatu kesimpulan

penelitian dan merumuskan suatu rekomendasi untuk memperbaiki keadaan-

keadaan yang dianggap kurang baik pada saat penelitian

1.6.3 Metode Analisis Penelitian

Adapun metode analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Analisis kritis terhadap kriteria pemilihan lokasi TPA sampah SK SNI.

Analisis kritis terhadap kriteria SNI pemilihan lokasi TPA sampah, metode

yang digunakan adalah membandingkan antara aspek-aspek yang diatur dalam


20

kriteria SNI dengan kondisi empirik yang terjadi dibeberapa TPA, serta kriteria-

kriteria yang diatur dibeberapa negara, dalam hal ini Inggris Raya dan Amerika

Serikat. Tujuan analisis ini adalah mengkritisi kriteria pemilihan lokasi TPA

sampah berdasarkan SK SNI. Alat ukur yang dipakai adalah seberapa besar

pengaruh masing-masing parameter terhadap operasionalisasi TPA sampah, dalam

hal ini seberapa besar pengaruh parameter tersebut terhadap sosial

kemasyarakatan dan lingkungan.

2. Identifikasi Persepsi Masyarakat

Metode analisis yang digunakan dalam identifikasi persepsi masyarakat

adalah metode analisis frekuensi, yaitu pengukuran data responden didasarkan

pada tingkat frekuensi (yang diukur dalam persen) dari setiap jawaban pertanyaan,

tingkat signifikansi dari setiap responden terhadap pertanyaan tidak diuji dengan

test statistik. Setelah didapat nilai frekuensi dari jawaban responden terhadap

setiap pertanyaan yang ada dalam kuesioner, lalu dilakukan analisis deskriptif

terhadap data yang disajikan dalam bentuk tabel. Selanjutnya dilakukan

interpretasi melalui analisis kualitatif dan menyimpulkan temuan yang didapat

dari hasil analisis.

3. Analisis Kelayakan Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung

Guna menilai kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung di Kota

Depok, maka dilakukan metode skoring melalui pembobotan dan penilaian

terhadap parameter dan indikator-indikator yang mempengaruhi kelayakan TPA

sampah berdasarkan hasil kajian terhadap kritria pemilihan lokasi TPA sampah.

Menurut Khadiyanto (2005:88), pemberian nilai bobot disini dimaksudkan untuk

menghindari subyektivitas penilaian. Sedangkan bobot itu sendiri berarti


21

peringkat kepentingan dari setiap parameter (Khadiyanto, 2005:89). Selanjutnya

dilakukan interpretasi melalui analisis kualitatif dan menyimpulkan temuan yang

didapat dari hasil analisis.

1.6.4 Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan langkah yang terpenting dalam metode

ilmiah. Menurut Nazir (2003:174) pengumpulan data adalah prosedur yang

sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada

hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang

akan dipecahkan. Data yang dikumpulkan harus relevan dan dapat digunakan

sebagai bahan analisis, hal tersebut merupakan bagian yang penting dalam

pelaksanaan studi ini.

Data yang telah dihasilkan dalam pengumpulan umumnya belum dapat

langsung dipergunakan dalam tahap analisis. Menurut Riduwan (2002:5) data

adalah bahan mentah yang perlu diolah sehingga menghasilkan informasi atau

keterangan, baik kualitatif maupun kuantitatif yang menunjukan fakta.

Data menurut jenisnya terdiri atas data kualitatif dan data kuantitatif.

Data kualitatif adalah data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik

yang berwujud berupa kata-kata. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang

berwujud angka-angka yang diperoleh dari pengukuran langsung maupun angka-

angka yang diperoleh dengan mengubah data kualitatif menjadi kuantitatif

(Riduwan, 2002:5).

Informasi yang merupakan data dan dikumpulkan langsung dari

sumbernya disebut sebagai data primer, sedangkan informasi yang dikumpulkan

pihak lain untuk dimanfaatkan dalam penelitian disebut data sekunder. Data

primer dan sekunder dibedakan dari cara memperolehnya.


22

Kebutuhan data dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder.

Data primer diperoleh melalui hasil pengisian kuisioner yang dilakukan oleh

responden. Dalam penelitian ini data primer terdiri dari data mengenai tanggapan

dan sikap penduduk terhadap penetapan lokasi rencana TPA Leuwinanggung.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi seperti

Bappeda, BPS, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, BPN, Dinas Tata Kota, serta

instansi lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder terdiri dari data

yang berkaitan dengan kependudukan; data jumlah sarana dan prasarana

perkotaan; teknik operasional pengelolaan TPA existing; tanggapan penduduk dan

pengelola persampahan tentang rencana lokasi TPA; Rencana pengelolaan

sampah yang telah ada; kepemilikan lahan di lokasi; data kondisi lokasi; dokumen

kebijakan persampahan; peta rencana tata guna lahan; peta rencana lokasi TPA;

peta administrasi Kota Depok; data geologi; data Geohidrologi; data Klimatologi

dan data jaringan jalan.

Adapun kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian ini

selengkapnya dapat di uraikan dalam tabel I.1. berikut:

TABEL I.1
TABEL KEBUTUHAN, BENTUK DAN SUMBER DATA

No Data yang Dibutuhkan Jenis Data Sumber Data Cara


Perolehan
1 Jumlah Kependudukan Kuantitatif Bappeda/BPS Data
Sekunder
2 Jumlah Sarana dan Kuantitatif Bappeda/BPS Data
Prasarana perkotaan Sekunder
3 Teknik opersional Kualitatif Dinas Data
pengelolaan TPA sampah Kebersihan Sekunder
existing
4 Persepsi Masyarakat Kualitatif Masyarakat Kuesioner
terhadap rencana lokasi
TPA
23

TABEL I.1 lanjutan


TABEL KEBUTUHAN, BENTUK DAN SUMBER DATA

No Data yang Dibutuhkan Jenis Data Sumber Data Cara


Perolehan
5 Rencana pengelolaan Kualitatif Dinas Data
sampah yang sudah ada Kebersihan Sekunder

6 Kepemilikan lahan di Kuantitatif BPN Data


lokasi Sekunder
7 Data dan Peta kondisi fisik Kualitatif Bappeda Data
lokasi Sekunder
8 Dokumen kebijakan Kualitatif Bappeda/Dinas Data
Kebersihan Sekunder
9 Data tata guna lahan Kualitatif Bappeda Data
Sekunder
10 Peta Administrasi Kota Kualitatif Bappeda Data
Depok Sekunder
11 Data Geologi Kualitatif Bappeda Data
Sekunder
12 Data Geohidrologi Kualitatif Bappeda Data
Sekunder
13 Data Klimatologi Kuantitatif Bappeda/ Data
Dinas Sekunder
14 Data jaringan jalan Kuantitatif Pengairan Data
Dinas PU Sekunder
Sumber : Peneliti 2006

Teknik pengumpulan data dari suatu penelitian, secara umum di bagi

menjadi dua, yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.

Pengumpulan data primer merupakan pengumpulan data yang dilakukan oleh

peneliti secara langsung kepada obyek penelitian dilapangan, yaitu pengamatan

melalui penyebaran angket/ kuisioner, sedangkan pengumpulan data sekunder

dilakukan peneliti dengan cara tidak langsung ke obyek penelitian tetapi melalui

penelitian terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian

(Singarimbum, 1995:19).
24

Pemilihan teknik pengumpulan data primer melalui kuesioner dan

wawancara didasarkan pada pemikiran bahwa, kuesioner adalah sebuah set

pertanyaan yang secara logis berhubungan dengan masalah penelitian, dan tiap

pertanyaan merupakan jawaban-jawaban yang mempunyai makna dalam

penelitian ini. Guna memperoleh keterangan yang berkisar pada masalah yang

ingin dipecahkan, maka secara umum isi kuesioner dapat berupa:

1. Pertanyaan tentang fakta;

2. Pertanyaan tentang pendapat (opinion) dari praktisi;

3. Pertanyaan tentang persepsi dan preferensi masyarakat.

Data primer yang diperlukan dalam penelitian Kajian terhadap Penetapan

Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung ini adalah mengenai fakta-fakta yang

dianggap dikuasai oleh responden, yaitu fakta-fakta yang berhubungan dengan

responden, yaitu fakta-fakta lingkungan responden yang berhubugan dengan

lokasi TPA Sampah Leuwinanggung. Penelitian ini juga memerlukan pikiran

responden, yaitu pendapat responden tentang penetapan lokasi TPA Sampah

Leuwinanggung. Disamping itu penelitian ini dimaksudkan mendapatkan

penilaian responden terhadap penetapan lokasi TPA Sampah Leuwinanggung

dalam bentuk persepsi responden tersebut.

1.6.5 Teknik pengolahan data

Untuk mengolah data yang telah diperoleh, digunakan teknik pengolahan

data:

1) Data-data dalam bentuk angka yang terukur (data kuantitatif) diolah dengan

perhitungan metematika sederhana (jumlah, selisih dan prosentase) dan


25

perhitungan matematika tertentu dengan menggunakan perhitungan statistik

yang telah ditentukan rumusannya.

2) Data-data kualitatif (non numerik) diolah dengan menggunakan metode

deskriptif. Metode deskriptif adalah menjelaskan atau menggambarkan

fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan penelitian

Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) data

naratif, menyajikan data dalam bentuk narasi atau cerita; (2) data tabel,

menyajikan data-data dalam bentuk kolom dan baris; (3) data peta, berupa data-

data dalam bentuk peta-peta.

1.6.6 Teknik pengambilan sampel

Dalam penelitian ini diperlukan pengambilan data melalui metode survei.

Data primer yang akan diperoleh dengan menggunakan teknik kuesioner, data ini

berkaitan dengan data persepsi masyarakat dalam penetapan lokasi TPA sampah

Leuwinanggung. Sebelum dilakukan survei perlu ditentukan terlebih dahulu

sampel dari populasi yang akan diambil. Menurut Sugiarto (2001:2), sampel

adalah sebagian anggota populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur

tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya. Sedangkan populasi

adalah keseluruhan unit atau individu dalam ruang lingkup yang ingin diteliti.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dijadikan populasi dalam penelitian

ini adalah masyarakat yang diperkirakan akan terkena dampak lokasi TPA sampah

Leuwinanggung dalam hal ini masyarakat yang berada di kawasan kelurahan

Sukatani dan kelurahan Tapos serta petugas pengangkutan sampah.

Guna menentukan populasi yang akan diambil dalam penelitian ini

menggunakan metode sampel acak sederhana (simple random sampling).


26

Menurut (Nazir, 2003: 279), memilih sampel yang diambil dari sebuah populasi

sedemikian rupa, sehingga setiap unit dalam sampel mempunyai peluang yang

sama untuk dipilih. Salah satu cara dalam pengambilan jumlah sampel dapat

digunakan rumus (Nazir, 2003 : 289):

N.p ( 1 – p )
n=
(N–1)D+p(1–p)
B2
D=
4
Keterangan : n = Ukuran Sampel

N = Populasi

p = Proporsi populasi

B = Bound of error dalam Pengambilan sampel

Berdasarkan data jumlah penduduk kelurahan Cipayung/kawasan TPA

existing, yaitu (N)=6.132 jiwa dan penduduk kelurahan Sukatani dan kelurahan

Tapos yang merupakan kawasan pada lokasi TPA Leuwinanggung adalah (N)=

(20.685+8.137). Sumber: RTRW Kota Depok 2000-2010, dengan proporsi

penelitian (p) diperkirakan 0,5 dan Bound of error (B) ditetapkan 0,1 dari rumus

diatas maka jumlah sampel dalam penelitian adalah:

( 0,1)2
D=
4

D= 0,0025
27

28.822 x 0,5 ( 1 – 0,5 )


n=
( 28.822 – 1 ) x 0,0025 + 0,5 ( 1 – 0,5 )

n = 99,01 ≈ 100

Dari sampel 100 orang sampel pada dua (2) kelurahan tersebut, terbagi

secara proporsional, yaitu 50 responden berasal dari kampung Kabayunan

kelurahan Tapos dan 50 responden berasal dari kampung Kedayu kelurahan

Sukatani.

1.6.7 Teknik analisis

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

kuantitatif dan analisis kualitatif.

1. Analisis Kuantitatif`

Analisis kuantitatif adalah analisis yang mempergunakan alat analisis

berupa model-model, seperti model matematika, model statistik dan model

ekonometrik yang hasil analisisnya berbentuk angka-angka dan selanjutnya akan

di uraikan atau didiskripsikan (Hasan, 2002:18). Dalam penelitian ini, metode

analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis kapasitas lahan dan analisis

skoring.

A. Analisis kapasitas lahan

Analisis kapasitas lahan adalah analisis yang dipergunakan untuk

menghitung kebutuhan luas lahan bagi sebuah TPA sampah dan masa pakai lahan

TPA tersebut. Daya tampung lahan dipengaruhi, antara lain dipengaruhi oleh

volume sampah yang dibuang dan kepadatan sampah. Manfaat analisis ini dapat
28

memberikan informasi mengenai kapasitas lahan TPA. Analisis kapsitas lahan ini

dihitung melalui persamaan:

Kebutuhan lahan per tahun:

V x 300
L = x 0,70 x 1,15
T
Dimana : L = luas lahan yang dibutuhkan setiap tahun (m²)
V = Volume sampah yang telah dipadatkan (m³/hari)
V = Ax E
A = Volume sampah yang akan dibuang
E = tingkat pemadatan (kg/m³), rata-rata 600 kg/m³
T = Ketinggian timbunan yang direncanakan (m),
15% rasio tanah penutup.
Sedangkan kebutuhan luas lahan adalah:
H = L x I x J
Dimana : H = Luas total lahan (m²)
L = Luas lahan setahun
I = umur lahan (tahun)
J = rasio luas lahan total dengan luas lahan efektif
sebesar 1,2

B. Analisis Kelayakan Lokasi TPA Sampah (Metode Scorring)

Untuk menetapkan kelayakan lahan dipakai beberapa parameter

(Khadiyanto, 2005:83). Masing-masing parameter diberi bobot dan nilai yang

dimaksudkan untuk menghindari subyektivitas penilaian terhadap unit lahan yang

telah dilakukan. Bobot disini berarti peringkat kepentingan setiap parameter fisik

terhadap penggunaan lahan bagi lokasi TPA (Khadiyanto, 2005:89). Tabel 1.2

memperlihatkan contoh perhitungan skor suatu lokasi TPA sampah.


29

TABEL I.2
CONTOH PERHITUNGAN SKOR LOKASI TPA SAMPAH
LEUWINANGGUNG DI KOTA DEPOK
No Parameter Bobot Indikator Nil Skor
ai (Bobot x
Nilai)
1 • Batas 5 • Dalam batas 10 5 x 10
Administrasi administrasi
• Di luar batas (skor
administrasi 5
tetapi dalam tertinggi)
satu sistem
pengelolaan
TPA sampah
terpadu
• Di luar batas
administrasi
dan di luar
sistem 1
pengelolaan
TPA sampah
terpadu

• Diluar batas
administrasi

1
2
.
.
.
Total

skor

Sumber: SK SNI T-11-1991-03


30

Selanjutnya menguji apakah lokasi TPA sampah mempunyai nilai

kelayakan, melalui perhitungan kelas interval yang akan digunakan, yaitu

sebanyak 3 kelas (layak, layak dipertimbangkan dan tidak layak). Dengan

demikian perhitungan lebar intervalnya adalah sebagai berikut:

I=R/1 + 3,3 log 3

Berdasarkan parameter-parameter yang telah dibangun pada analisis

sebelumnya, maka pembahasan kelayakan lokasi TPA Leuwinanggung dapat

diuraikan berdasarkan parameter-parameter tersebut

2. Analisis kualitatif

Pendekatan umum yang dilakukan pada analisis kualitatif adalah

deskriptif, yaitu dengan menggambarkan secara tertulis data-data yang telah

didapat dan diolah, menguraikan dan menafsirkan data-data tersebut. Artinya,

analasis kualitatif adalah memberikan gambaran penjelasan tentang keadaan atau

fenomena yang ada di wilayah studi dengan sejelas-jelasnya. Pada penelitian ini,

semua tahapan analisis menggunakan analisis kualitatif.

1.7 Sistematika Pembahasan

Secara garis besar, isi seluruh pembahasan penulisan ini dapat diuraikan

ke dalam sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan sasaran studi

yang dilakukan untuk mencapai tujuan studi, ruang lingkup yang terdiri dari

lingkup subtansial dan lingkup spasial, kerangka pemikiran studi, metode dan

pendekatan studi serta sistematika pembahasan.


31

BAB II KAJIAN LITERATUR PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang mendasari penelitian yang

mencakup tentang konsep dan teori yang mempunyai relevansi dengan topik dan

permasalahan TPA sampah. Adapun materi yang dibahas dalam bab ini, yaitu:

tentang lokasi; konsep ruang dan tata guna lahan; pengertian sampah; sumber dan

produksi sampah; pengelolaan sampah; pengolahan sampah; tempat pembuangan

akhir sampah; dampak sampah terhadap manusia dan lingkungan; permasalahan

sampah; partisipasi masyarakat serta persepsi, sikap dan perilaku masyarakat.

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH DEPOK DAN KAWASAN

LEUWINANGGUNG

Tinjauan umum wilayah studi yang meliputi kondisi fisik dan geografis,

kependudukan, kondisi sosial ekonomi, kebijkasanaan dan profil pengelolaan

persampahan.

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH

LEUWINANGGUNG, DEPOK

Dalam bab ini menguraikan mengenai analisis kritis terhadap kriteria SNI, analisis

persepsi masyarakat, analisis kapasitas lahan dan analisis kelayakan lokasi.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Menguraikan mengenai kesimpulan studi dan rekomendasi studi baik

rekomendasi studi lanjutan maupun rekomendasi masukan bagi evaluasi kebijakan

penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung , Kota Depok.


BAB II
KAJIAN LITERATUR
PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH

2.1 Lokasi

Pengertian lokasi menurut Kamus Tata Ruang Ditjen. Cipta Karya adalah

tempat untuk kegiatan tertentu dan penentuan lokasi kegiatan merupakan bagian

dari proses penyusunan rencana tata ruang. Kebijakan dalam pengambilan

keputusan mengenai lokasi oleh pengambil keputusan akan menentukan struktur

tata ruang yang terbentuk.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penentuan dalam pemilihan

suatu lokasi kegiatan menurut Budhiharsono (2001:23) adalah: (1) input lokal;

(2) permintaan lokal; (3) input yang dapat ditransfer dan (4) permintaan dari luar.

1. Input lokal adalah semua barang/jasa yang ada pada suatu lokasi dan sangat

sukar atau tidak mungkin untuk dipindahkan ke tempat lain. Salah satu sifat

umum dari input lokal adalah ketersediaan sumber daya dan prasarana suatu

lokasi yang tidak dipengaruhi oleh transfer input dari lokasi lain. Dalam hal

ini input lokal tersebut dapat berupa keadaan lahan, iklim, kualitas udara,

kualitas air, keadaan lingkungan, pelayanan umum yang terdapat pada suatu

lokasi.

2. Permintaan lokal atau output yang tidak dapat ditransfer (nontransferable

output) adalah permintaan akan output secara lokal yang tidak dapat

ditransfer pada suatu lokasi, misalnya permintaan terhadap pelayanan lokal

32
33

seperti sarana peribadatan dan sarana hiburan atau permintaan tenaga kerja

oleh pabrik lokal.

3. Input yang dapat ditransfer adalah ketersediaan input yang dapat ditransfer

dari sumber-sumber dari luar lokasi yang bersangkutan, pada sampai batas

tertentu dapat merupakan suatu pencerminan biaya transfer atau biaya

transportasi dari sumber-sumber input ke lokasi tersebut.

4. Permintaan dari luar atau output yang dapat di transfer adalah permintaan

bersih yang diperoleh dari penjualan yang dapat ditransfer ke pasar di luar

lokasi dan merupakan pencerminan dari biaya transfer atau biaya

transportasi dari lokasi tersebut ke pasar-pasar.

2.2 Konsep Ruang dan Tata Guna Lahan

Permasalahan yang sering muncul dalam penanganan sampah kota

adalah semakin sulit tersedianya ruang yang layak untuk pembuangan. Ruang

(space), adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera, tempat

hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia (Johara, 1986:12). Ruang

permukaan bumi tiap saat dapat berubah karena proses alam dan tindakan

manusia.

Ruang permukaan bumi tempat hidup mahluk hidup dapat juga dikatakan

sebagai lahan. Lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari relief, tanah,

air, vegetasi dan bahan-bahan yang terdapat di atasnya. Guna menuhi kebutuhan

hidupnya, bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dapat diartikan sebagai

penggunaan lahan (Arsyad 1989 dalam Triutomo 1995:22).


34

Pengaturan penggunaan lahan secara sitematis dalam pemanfaatan

sumberdaya yang terbatas merupakan suatu bentuk penggunaan lahan.

Penggunaan lahan pada lahan yang terbatas dapat dilakukan melalui :

1. Pengkajian kebutuhan saat ini dan masa yang akan datang, serta evaluasi

kelanjutan dari lahan tersebut (land sustainability)

2. Melakukan identifikasi dan memecahkan masalah silang atau benturan

kepentingan antara individu dan kepentingan umum, antara kebutuhan saat

ini dan untuk generasi yang akan datang.

3. Mencari dan memilih alternatif yang sesuai dengan kebutuhan

4. Merencanakan sesuai dengan perubahan yang diinginkan

5. Penyempurnaan dan belajar dari kesalahan.

Tata guna lahan bertujuan untuk menggunakan lahan secara efisien

(efficient), sama (equity) dan berkelanjutan (sustainability). Penggunaan lahan

yang efisien merupakan upaya untuk menghasilkan keuntungan dengan biaya

yang dikeluarkan rendah, sehingga dapat dikatakan dalam hal ini terdapat unsur

ekonomi. Selanjutnya penggunaan lahan harus diperlakukan sama terhadap

semua orang, sehingga dapat menghilangkan kesenjangan sosial di kalangan

masyarakat. Disamping itu tata guna lahan harus dapat memadukan antara

kebutuhan yang dihadapi pada saat ini dan kebutuhan bagi generasi yang akan

datang.

Penilaian dan pengelompokan lahan menurut kesesuaian lahannya (land

suitability) merupakan suatu bentuk kesesuaian relatif lahan dan kesesuaian

absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan berbeda artinya
35

dengan kemampuan lahan. Kemampuan lahan lebih ditekankan pada perhatian

terhadap potensi atau kapasitas lahan itu sendiri untuk suatu penggunaan tertentu,

sedangkan kesesuaian dipandang sebagai kenyataan adaptasi sebidang lahan untuk

suatu macam penggunaan tertentu.

Ruang merupakan hal yang sangat penting di dalam pembangunan.

Menurut Budiharsono (2001:13) ”Konsep ruang terdiri atas beberapa unsur, yaitu:

(1) jarak; (2) lokasi; (3) bentuk dan (4) ukuran”. Konsep ruang sangat berkaitan

dengan waktu, karena dalam hal pemanfaatan bumi dan kekayaannya

membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di

atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang.

Menurut Hanafiah dalam Budiharsono (2001:13) ” konsep jarak

mempunyai dua pengertian yaitu jarak absolut dan jarak relatif yang

mempengaruhi konsep ruang absolut dan relatif”. Konsep jarak dan ruang relatif

ini berkaitan dengan hubungan fungsionalitas diantara fenomena dalam struktur

fungsional tata ruang. Dasar dan konsep ruang relatif adalah jarak relatif. Jarak

relatif merupakan fungsi dari pandangan atau presepsi terhadap jarak. Dalam

konsep ruang absolut, jarak diukur secara fisik, sedangkan dalam konsep ruang

relatif, jarak diukur secara fungsional berdasarkan unit waktu, ongkos dan usaha.

2.3 Pengertian Sampah

Keberadaan sampah tidak diinginkan bila dihubungkan dengan faktor

kebersihan, kesehatan, kenyamanan dan keindahan, sehingga harus dikelola agar

tidak membahayakan lingkungan yang mengakibatkan kemunduran lingkungan

(urban environment degradation) dan dapat membahayakan kehidupan manusia


36

(Tchobanoglous, 1997:3). Menurut Kodoatie (2003:312) sampah adalah segala

buangan akibat aktifitas manusia dan hewan, biasanya berupa padatan yang

dianggap tidak berguna lagi.

Menurut Azwar (1990:53), sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan

(refuse) sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak

digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang. Sampah yang

dibuang akan menjadi beban bumi, yang artinya ada resiko-resiko yang akan

ditimbulkannya (Hadi, 2000: 40). Dengan kata lain sampah adalah sisa-sisa bahan

yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya,

atau karena pengolahan dan sudah tidak ada manfaatnya bila ditinjau dari segi

sosial ekonomis tidak ada harganya, sedangkan dari segi lingkungan dapat

menyebabkan pencemaran atau gangguan lingkungan.

2.4 Sumber dan Produksi Sampah

Sumber sampah berasal dari berbagai fasilitas dan aktifitas manusia yang

dapat dihubungkan dengan tata guna lahan dan peruntukkannya. Melalui

pemahaman sumber sampah dapat diketahui timbulan sampah yang dihasilkan.

Jumlah timbulan sampah perlu diketahui untuk menentukan jumlah sampah yang

akan dikelola, hal ini erat kaitannya dengan sistem pengumpulan dan pembuangan

akhir sampah yang menyangkut jenis sarana dan jumlah peralatan yang

dibutuhkan. Jenis sampah yang dihasilkan menurut sumber akan berbeda antara

satu sumber dengan sumber lainnya. Menurut Tchobanoglous (1997:51-52)

sumber sampah dibedakan atas 7 (tujuh) katagori, yaitu : (1) pemukiman, (2)
37

kawasan komersial, (3) kawasan perkotaan, (4) kawasan industri, (5) ruang

terbuka, (6) lokasi pengolahan dan (7) kawasan pertanian.

TABEL II.1
TIPE SAMPAH BERDASARKAN FASILITAS, AKTIFITAS, LOKASI
DAN SUMBER SAMPAH

SUMBER FASILITAS, AKTIFITAS TIPE SAMPAH


DAN LOKASI

Pemukiman Tempat tinggal satu keluarga Sampah makanan, sampah


dan banyak, apartemen kecil, kering, sampah debu dan
sedang dan besar sampah khusus
Komersial Toko, restoran, pasar, kantor, Sampah makanan, sampah
hotel, motel, bengkel, kering, debu dan sampah
fasilitas kesehatan. berbahaya
Perkotaan Gabungan tempat tinggal dan Sampah gabungan yang
komersial berasal dari pemukiman dan
komersial
Industri Konstruksi, pabrik, kimia, Barang industri rumah
penyulingan tangga, sisa pengepakan, sisa
makanan, industri
konstruksi, sampah
berbahaya, debu dan sampah
khusus
Ruang Terbuka Jalan, taman, ruang bermain, Sampah khusus dan sampah
pantai, tempat rekreasi, kering
lorong, tanah kosong
Lokasi Air bersih, air limbah, proses Limbah pengolahan,
pengolahan industri. buangan endapan
Pengolahan

Pertanian Lahan pertanian, ladang dan Sampah tanaman, sampah


kebun pertanian, sampah kering dan
sampah berbahaya
Sumber : Tchobanoglous (1997:52)

Menurut Standar Nasional Indonesia Nomor T-13-1990-F yang

dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum pengertian timbulan sampah atau

produksi sampah adalah banyaknya sampah yang dihasilkan suatu wilayah

perhari, dinyatakan dalam satuan volume ataupun dalam satuan berat. Guna
38

memperoleh timbulan sampah, perlu ditinjau sumber-sumber penghasil sampah

yang ada. Lokasi yang menjadi sumber timbulan sampah antara lain :

1. Sampah domestik, yaitu sampah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia

secara langsung seperti sampah rumah tangga, sekolah, dan pusat keramaian

2. Sampah non domestik, yaitu sampah yang dihasilkan oleh aktivitas manusia

secara tidak langsung, seperti : sampah industri, pertanian, peternakan,

kehutanan, dan transportasi.

TABEL II.2
BESARAN TIMBULAN SAMPAH
BERDASARKAN KOMPONEN-KOMPONEN SUMBER SAMPAH

NO. KOMPONEN SATUAN VOLUME BERAT


SUMBER SAMPAH (LITER) (KG)

1. Rumah permanen Per orang/hr 2,25 – 2,50 0,350 – 0,400


2. Rumah semi permanen Per orang/hr 2,00 – 2,25 0,300 – 0,350
3. Rumah non permanen Per orang/hr 1,75 – 2,00 0,250 – 0,300
4. Kantor Per pegawai/hr 0,50 – 0,75 0,025 – 0,100
5. Rumah toko (Ruko) Per petugas/hr 2,50 – 3,00 0,150 – 0,350
6. Sekolah Per murid/hr 0,10 – 0,15 0,010 – 0,020
7. Jalan arteri sekunder Per meter/hr 0,10 – 0,15 0,020 – 0,100
8. Jalan kolektor sekunder Per meter/hr 0,10 – 0,15 0,010 – 0,050
9. Jalan lokal Per meter/hr 0,05 – 0,01 0,005 – 0,025
10. Pasar Per meter2/hr 0,20 – 0,60 0,100 – 0,300

Sumber : SNI S-04-1993-03, Dep. Pekerjaan Umum

Jumlah produksi sampah sebanding dengan jumlah pertambahan

penduduk dan kenaikan produksi sampah per kapita. Ukuran yang digunakan

biasanya adalah satuan berat atau volume per waktu. Metoda sederhanan yang

dipakai adalah perkiraan kenaikan jumlah penduduk dengan asumsi bahwa tiap

orang rata-rata menghasilkan sampah 2 l/hari atau sekitar 1,6 kg/hari atau

disesuaikan dengan karakter produksi per kapita di tiap lokasi tertentu. Perkiraan
39

produksi sampah berguna dalam merencanakan kebutuhan fisik, dalam hal ini

kebutuhan luas lahan penampungan akhir (TPA).

2.5 Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah di Indonesia diatur melalui peraturan daerah dengan

tujuan memindahkan sampah dari tempat asalnya ke tempat penampungan akhir

dengan cepat agar tidak membahayakan lingkungan. Secara umum pengelolaan

sampah di perkotaan dilakukan melalui 3 tahapan kegiatan, yakni : pengumpulan,

pengangkutan dan pembuangan akhir/pengolahan. Kegiatan-kegiatan tersebut

merupakan suatu sistem, sehingga masing-masing tahapan dapat disebut sebagai

sub sistem. Kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah harus

bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak di sumbernya. Untuk

menempatkan sampah sebagai produk masyarakat akibat dari aktifitas kehidupan

dan sudah tidak dimanfaatkan lagi, dibutuhkan ruang. Parameter yang

mempengaruhi sistem pengelolaan sampah perkotaan adalah sebagai berikut :

1. Kepadatan dan penyebaran penduduk.

2. Karakteristik fisik lingkungan dan sosial ekonomi.

3. Timbulan dan karakteristik sampah.

4. Budaya, sikap dan perilaku masyarakat.

5. Jarak dari sumber sampah ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

6. Rencana tata ruang dan pengembangan kota.

7. Sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir

sampah.

8. Biaya yang tersedia.


40

9. Peraturan Daerah setempat yang terkait.

10. Sumber Daya Manusia yang tersedia.

A. Pengumpulan sampah

Pengumpulan sampah dilakukan mulai dari tempat asalnya, seperti

rumah-rumah, kantor-kantor dan sumber penghasil sampah lainnya. Untuk

kawasan permukiman penanganan sampah dilakukan oleh organisasi RT/RW.

Pengumpulan dilakukan menggunakan gerobak sampah dari rumah ke rumah,

kemudian sampah ditampung di tempat penampungan sampah sementara (TPS).

TPS tersebar diseluruh wilayah kota yang didasarkan pada area yang akan

dilayani.

Area pelayanan kawasan komersial seperti pertokoan, perkantoran dan

permikiman tertentu, sampah diambil langsung oleh truk yang berkeliling

kemudian menuju TPA.

B. Pengangkutan sampah

Sampah yang terkumpul di TPS kemudian diangkut dengan truk khusus.

Sebagian sampah diangkut menuju tempat untuk mendapat penanganan lebih

lanjut misalnya, incenerator atau pengomposan (bila proses ini ada) dan sisanya

menuju ke TPA.

C. Penimbunan akhir

Sampah yang tidak dimanfaatkan lagi diangkut menuju penampungan

akhir (TPA). Sampah ditimbun menurut tata cara pengelolaan sampah di TPA.
41

2.6 Pengolahan Sampah

Pengolahan Sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi volume

sampah atau mengubah bentuk sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan

berbagai macam cara. Indonesia masih memerlukan banyak sarana pengolahan

sampah, terutama di perkotaan.

Menurut Anto dalam Pikiran Rakyat (9 Desember 2004), salah satu

teknologi terkini yang diperkirakan akan menjadi solusi terbaik dalam menangani

masalah sampah adalah pemanfaatan teknologi plasma, atau lebih dikenal dengan

nama plasma gasifikasi (gasification) dan pengkristalan atau vitrifikasi

(vitrification). Diberbagai negara maju seperti di kota Yoshii dan Mihama-Mikata,

Jepang pengembangan skala pilot untuk meningkatkan efisiensi dari teknologi ini

semakin gencar dilakukan.

Plasma merupakan bentuk zat keempat, merupakan kondisi gas

terionisasi yang juga terjadi di alam seperti halilintar. Plasma dapat dibuat dengan

menggunakan metode electrical discharge, plasma yang terbentuk akan memiliki

suhu yang sangat tinggi.

Plasma gasifikasi dan vitrifikasi adalah merupakan suatu metode efektif

dalam menguraikan berbagai senyawa organik dan anorganik menjadi elemen-

elemen dasar dari sebuah senyawa, sehingga dapat dipergunakan kembali (reuse)

dan didaur ulang (recycle). Komponen terpenting dari sistem plasma gasifikasi

dan vitrifikasi adalah sebuah reaktor plasma, yang dapat terdiri dari sebuah

plasma torch atau lebih.


42

Sistem plasma gasifikasi dan vitrifikasi ini bukan sebuah insinerator atau

tungku pembakaran lainnya. Dengan suhu yang dapat mencapai 10.000 °C,

plasma dapat menguraikan berbagai senyawa beracun dalam waktu 1/1.000 detik.

Sehingga dapat mengeliminasi proses pembentukan senyawa lain dan

pembentukan gas beracun yang biasanya terjadi pada sebuah pembakaran dari

insinerator.

Temperatur ekstrem seperti di atas hanya akan didapat jika kita

menggunakan sistem plasma torch, suhu ini sangat diperlukan dalam menguraikan

molekul senyawa organik menjadi senyawa dasar gas seperti karbon monoksida

dan hidrogen. Demikian pula halnya dengan senyawa anorganik selain dapat

dilelehkan menjadi molten glass yang kemudian mengkristal (vitrified).

Beberapa pendekatan teknologi pengelolaan sampah, dikemukakan oleh

Tusy (1999:5), yaitu:

1. Penanganan sampah terintegrasi (integrated solid wste management),

dilakukan melalui hirarki pengelolaan sebagai berikut:

a. Pengurangan sampah pada sumbernya (source reduction). Tahap ini

meliputi pengurangan jumlah atau toksisitas sampah, hal ini sangat

efektif dalam mengurangi kuantitas sampah, biaya penanganan, serta

dampak terhadap lingkungan yang dilakukan melalui perancangan dan

fabrikasi bahan pengemas produk dengan kandungan toksisitas yang

rendah, volume bahan yang minimum serta tahan lama.

b. Daur ulang sampah melalui pemisahan dan pengelompokan sampah;

persiapan sampah untuk diguna ulang, diproses ulang, dan difabrikasi

ulang; penggunaan, pemrosesan dan fabrikasi sampah.


43

c. Transformasi limbah dalam upaya merubah bentuk sampah melalui

proses fisika, kimia maupun biologi. Keuntungan tahap ini antara lain

meningkatnya efisiensi sistem dan operasi pengelolaan sampah;

diperolehnya bahan yang dapat diguna ulang (re-use) dan di daur ulang

(recycling); dan diperolehnya produk hasil konversi (seperti kompos)

dan energi dalam bentuk panas dan biogas.

d. Landfilling, cara ini merupakan alternatif terakhir dan dilakukan

terhadap sampah yang tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat

dimanfaatkan lagi.

2. Teknologi proses dan pemisahan sampah, teknologi ini digunakan untuk

pemisahan pemrosesan bahan sampah.

3. Teknologi konversi secara thermal, teknologi ini digunakan untuk

mengurangi volume sampah sekaligus untuk mendapatkan energi yang dapat

dikelompokan menjadi proses pembakaran (combustion), gasifikasi

(gasification) dan pirolisa (pyrolisis).

4. Teknologi konversi secara biologis, teknologi ini digunakan untuk

memanfaatkan sampah melalui proses biologis yang dapat menghasilkan

kompos, energi (gas methan) atau gabungan keduanya.

5. Teknologi konversi secara kimiawi, cara ini digunakan untuk memproses

sampah dengan menghasilkan produk kimia seperti glukosa, furtural,

minyak, gas sintetis, selulosa asetat.

6. Landfilling, merupakan usaha terakhir setelah dilakukan proses-proses

sebelumnya.
44

Sedangkan pendekatan pengolahan sampah lainnya, menurut standar SK-

SNI T-13-1990-F tentang tata cara pengelolaan teknik sampah perkotaan yang

diterbitkan oleh Yayasan LPMB Puslitbang Permukiman PU Bandung, adalah :

1. Pengomposan (composting).

a. berdasarkan kapasitas (Individu, komunal, skala lingkungan).

b. berdasarkan proses (alami, Kascing, biologis dengan mikroorganisme).

2. Pembakaran.

3. Daur ulang sampah anorganik disesuaikan dengan jenis sampah.

4. Menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak.

5. Pemadatan.

I. Pengomposan (Composting)

Pengomposan adalah suatu proses biologis yang terjadi akibat adanya

pembusukan sampah karena adanya kegiatan jasad renik yang mengubah sampah

menjadi kompos. Proses pembusukan ini dapat bersifat aerob ataupun anaerob

tergantung pada ketersediaan oksigen untuk proses tersebut.

Sampah yang dapat dikomposkan adalah sampah yang berasal antara lain

dari daun-daunan, rumput, sampah dapur (sisa makanan, sisa ikan, sayur-sayuran),

cacahan kertas, jerami dan lain-lain.

Dalam proses pengomposan ada 3 proses atau tahapan, yaitu:

1. Penyiapan sampah yang mencakup penerimaan, pemilahan serta

penghancuran untuk memperkecil ukuran sampah.


45

2. Dekomposisi sampah yang mencakup pengadukan, pemberian

oksigen/udara, pengaturan temperatur dan kelembaban, serta penanaman

nutrien.

3. Penyiapan produk dan pemasaran yang mencakup penggerusan kompos,

pengepakan, penyimpanan, transportasi dan pemasaran.

II. Pembakaran (Insinerasi)

Insinerasi merupakan metode pengolahan sampah secara kimiawi dengan

proses oksidasi (pembakaran) dengan maksud menstabilkan dan mereduksi

volume dan berat sampah. Hasil proses insinerasi ini adalah abu dengan volume

serta berat yang jauh lebih kecil dari pada sebelum dibakar.

Idealnya insinerasi sampah berlangsung dengan kontinu dan sampah-

sampah dapat terbakar sendiri. Pembakaran umumnya terjadi dalam suhu lebih

besar dari 60 0C dan pembakaran tidak boleh dihentikan agar panas yang terjadi

dapat stabil.

Untuk pembakaran yang sempurna diperlukan udara berlebih sebesar 50-

150%. Proses pembakaran itu sendiri meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Suplai dan penampungan sampah.

2. Pembakaran sampah dalam ruang pembakaran.

3. Suplai udara untuk prmbakaran.

4. Penanganan gas, penyaringan debu, dan sistim pendingin.

5. Penampung abu, pendingin serta pembuangannya.

6. Pembangkit tenaga.

7. Pengolahan air buangan.


46

Berdasarkan teknik pemasukan sampah (feeding) kedalaman insinerator,

maka proses insenerasi dapat dibedakan menjadi 2 tipe:

1. Continuous Type, dimana feeding dilakukan secara berkesinambungan.

Proses feeding ini dapat berlangsung 24 jam sehari ataupun dilakukan

selama 8 – 16 jam sehari.

2. Batc Type, dimana feeding dilakukan tidak secara terus menerus. Kelemahan

tipe ini adalah perlunya pembakaran awal pada setiap kali operasi, sehingga

menyebabkan biaya operasi menjadi besar.

III. Daur Ulang

Daur ulang umumnya dilakukan bersamaan dengan kegiatan mengurangi

dan menggunakan kembali sampah yang masih bermanfaat dan dikenal dengan

3M (Mengurangi, Menggunakan kembali dan Mendaur ulang atau Reduce, Reuse,

Recycle yang sering disebut dengan istilah 3R).

IV. Pemadatan

Pemadatan dilakukan untuk mengurangi volume sampah dengan cara

memadatkan sampah dengan menggunakan alat pemadat (compactor). Pemadatan

ini dapat dilakukan di Transfer Station atau di lokasi TPA. Sampah padat ini

kemudian diangkut atau dibuang ke TPA dengan metode Sanitary Landfill

Proses pemadatan berlangsung di ruang pemadatan dan ditekan secara

hidrolis. Kapasitas TPA akn lebih meningkat, karena volume sampah yang

dibuang lebih kecil sehingga dapat mengurangi kebutuhan tanah penutup.


47

2.7 Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Tempat pembuangan akhir sampah adalah sarana fisik untuk

berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah (TPA). Pembuangan akhir

sampah tempat yang digunakan untuk menyimpan dan memusnahkan sampah

dengan cara tertentu sehingga dampak negatif yang ditimbulkan kepada

lingkungan dapat dihilangkan atau dikurangi. Adapun persyaratan umum lokasi,

metode pengelolaan sampah di TPA dan kriteria pemilihan lokasi, menurut SK

SNI T-11-1991-03 adalah sebagai berikut:

A. Persyaratan Umum Lokasi Pembuangan Akhir Sampah

1. sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah.

2. jenis tanah kedap air.

3. daerah yang tidak produktif untuk pertanian.

4. dapat dipakai minimal untuk 5 – 10 tahun.

5. tidak membahayakan/mencemarkan sumber air.

6. jarak dari daerah pusat pelayanan maksimal 10 km.

7. daerah yang bebas banjir.

B Metode Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir

Jenis pengolahan sampah di TPA perlu dipertimbangkan sesuai dengan

kondisi lokasi, pembiayaan, teknologi, dan keamanannya. Berbagai cara

pengelolaan sampah di TPA, diantaranya dengan cara Open Dumping,

Controlled Landfill dan Sanitary Landfill.

1. Lahan urug terbuka atau open dumping (tidak dianjurkan), dalam hal

pengelolaan ini sampah hanya dibuang atau ditimbun disuatu tempat


48

tanpa dilakukan penutupan dengan tanah sehingga dapat menimbulkan

gangguan terhadap lingkungan seperti perkembangan vektor penyakit,

bau, pencemaran air permukaan dan air tanah serta rentan terhadap

bahaya kebakaran dan longsor. Open Dumping menggunakan pola

menghamparkan sampah di lahan terbuka tanpa dilakukan penutupan

lagi dengan tanah. Metoda Open Dumping dapat menimbulkan

keresahan terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya, selain juga

telah mengganggu keindahan kota.

2. Penimbunan terkendali (controlled landfill), merupakan teknologi

peralihan antara open dumping dengan sanitary landfill. Pada metode

controlled landfill dilakukan penutupan sampah dengan lapisan tanah

secara berkala.

3. Lahan urug saniter (sanitary landfill), pada metode ini sampah di TPA

ditutup dengan lapisan tanah setiap hari sehingga pengaruh sampah

terhadap lingkungan akan sangat kecil. Sanitary Landfill Ini

merupakan salah satu metoda pengolahan sampah terkontrol dengan

sistem sanitasi yang baik. Sampah dibuang ke TPA (Tempat

Pembuangan Akhir). Kemudian sampah dipadatkan dengan traktor

dan selanjutnya di tutup tanah. Cara ini akan menghilangkan polusi

udara. Pada bagian dasar tempat tersebut dilengkapi sistem saluran

leachate yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah yang

harus diolah terlebih dulu sebelum dibuang ke sungai atau ke

lingkungan. Di Sanitary Landfill tersebut juga dipasang pipa gas untuk


49

mengalirkan gas hasil aktivitas penguraian sampah. Ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan dalam sanitary landfill , yaitu:

• Semua landfill adalah warisan bagi generasi mendatang.

• Memerlukan lahan yang luas.

• Penyediaan dan pemilihan lokasi pembuangan harus

memperhatikan dampak lingkungan.

• Aspek sosial harus mendapat perhatian.

• Harus dipersiapkan instalasi drainase dan sistem pengumpulan gas.

• Kebocoran ke dalam sumber air tidak dapat ditolerir (kontaminasi

dengan zat-zat beracun).

• Memerlukan pemantauan yang terus menerus.

4. Lahan urug saniter yang dikembangkan (improved sanitary landfill).

Salah satu pengembangan dari motode sanitary landfill adalah model

”Reusable Sanitary Landfill (RSL)” RSL merupakan teknologi

penyempurna sistem pembuangan sampah yang berkesinambungan

dengan menggunakan metode Supply Ruang Penampungan Sampah

Padat. RSL diyakini dapat mengontrol emisi liquid, atau air rembesan

sampai dengan tidak mencemari air tanah. Cara kerjanya, sampah

ditumpuk dalam satu lahan. Lahan tempat sampah dipadatkan lahan

tersebut dikatakan sebagai ground liner. Ground Liner dilapisi

dengan geomembran, lapisan ini yang akan menahan meresapnya air

lindi ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Di atas lapisan

geomembran dilapisi lagi geo textile yang gunanaya menahan kotoran

sehingga tidak bercampur dengan air lindi. Secara berkala air lindi
50

dikeringkan. Guna menyerap panas dan membantu pembusukan,

sampah yang telah dipadatkan ditutup menggunakan lapisan geo

membran untuk mencegah menyebarnya gas metan.

Dalam memilih teknologi pengolahan sampah sebaiknya menerapkan

prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle), dimana perlunya menerapkan

kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian teknologi; prinsip pencegahan

(preventive principle), yang menekankan bahwa mencegah suatu bahaya adalah

lebih baik daripada mengatasinya; prinsip demokrasi (democratic principle),

dimana semua pihak yang dipengaruhi keputusan-keputusan yang diambil,

memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan, serta;

prinsip holistik (holistic principle), dimana perlunya suatu pendekatan siklus-

hidup yang terpadu untuk pengambilan keputusan masalah lingkungan.

C. Kriteria Pemilihan Lokasi TPA Sampah

Kriteria Pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi 3 bagian:

1. Kriteria Regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan

zona layak atau zona tidak layak sebagai berikut:

ƒ Kondisi geologi: tidak berlokasi di zona holocene fault dan tidak

boleh di zona bahaya geologi.

ƒ Kondisi hidrogeologi:

• tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter.

• tidak boleh kelulusan tanah lebih dari 10-6 cm/det.

• jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100

meter.
51

• dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria

tersebut di atas, maka harus diadakan masukan teknologi.

ƒ Kemiringan zona harus kurang dari 20 %.

ƒ Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter

untuk penerbangan turbo jet dan lebih besar dari 1.500 meter

untuk jenis lain.

ƒ Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir

dengan periode ulang 25 tahunan.

2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi

terbaik, di antaranya yaitu:

a. Iklim:

o Hujan, intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik.

o Angin, arah angin dominan tidak menuju ke permukiman

dinilai makin baik.

b. Utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai makin baik.

c. Lingkungan Biologis:

o Habitat: kurang bervariasi, dinilai makin baik.

o Daya dukung: kurang menunjang kehidupan flora dan fauna,

dinilai makin baik.

d. Kondisi tanah:

o Produktifitas tanah: makin tidak produktif dinilai makin baik.

o Kapasitas dan umur: dapat menampung lahan lebih banyak

dan lebih lama dinilai lebih baik.


52

o Ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang

cukup,dinilai lebih baik.

o Status tanah: kepemilikan tanah makin bervariasi dinilai

tidak baik.

e. Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin

baik.

f. Batas administrasi: dalam batas administrasi dinilai semakin baik.

g. Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin

baik.

h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik.

i. Estetika: semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik.

j. Ekonomi: semakin rendah biaya satuan pengelolaan sampah

(Rp/m3 atau Rp/ton) dinilai semakin baik.

Adapun parameter pemilihan lokasi TPA sampah menurut SK SNI T-11-

1991-03 dapat dilihat pada tabel II.3.

TABEL II.3
VARIABEL-VARIABEL PEMILIHAN LOKASI TPA SAMPAH

No Variabel Parameter/Bobot Indikator Nilai

1 Lokasi TPA • Dalam batas administrasi 10


• Di luar batas administrasi 5
tetapi dalam satu sistem
pengelolaan TPA sampah
terpadu
• Di luar batas administrasi dan 1
di luar sistem pengelolaan
TPA sampah terpadu
• Diluar batas administrasi 1
53

TABEL II.3 lanjutan


VARIABEL-VARIABEL PEMILIHAN LOKASI TPA SAMPAH

No Variabel Parameter/Bobot Indikator Nilai

• Pemilikan hak • Pemerintah daerah/terpusat 10


atas lahan • Pribadi (satu) 7
(3) • Swasta/perusahaan (satu) 5
• Lebih satu pemilik hak dan 3
atau status kepemilikan
• Organisasi sosial/agama 1

• Jumlah pemilik • 1 (Satu) KK 10


lahan • 2 – 3 KK 7
(3) • 4 – 5 KK 5
• 6 – 10 KK 3
• Lebih dari 10 KK 1

• Kapasitas lahan • > 10 tahun 10


• 5 tahun – 10 tahun 8
(5)
• 3 tahun – 5 tahun 5
• Kurang dari 3 tahun 1

2 Lingkungan • Tanah (di atas • Harga kelulusan < 10-6 10


Fisik muka air tanah) cm/det
(5) • Harga kelulusan10-6 cm/det - 5
10-9 cm/det
• Harga kelulusan >10-9 cm/det 1
tolak (Kecuali ada masukan
teknologi)

• Air tanah • ≥ 10 m dengan kelulusan < 10


10-6 cm/dt
(5) • < 10 m dengan kelulusan 8
>10-6 cm/det
• ≥ 10 m dengan kelulusan 10-6 5
cm/det - 10-4 cm/det
1
• < 10 m dengan kelulusan
10-6 cm/det - 10-4 cm/det
54

TABEL II.3 lanjutan


VARIABEL-VARIABEL PEMILIHAN LOKASI TPA SAMPAH

No Variabel Parameter/Bobot Indikator Nilai

• Sistiem aliran air • Discharge area/lokal 10


tanah • Recharge area dan Discharge 5
(3) area/lokal
• Recharge area regional dan 1
area/lokal

• Kaitan dengan • Kemungkinan pemanfaatan 10


pemanfaatan air rendah dengan batas hidrolis
tanah • Diproyeksikan untuk 5
dimanfaatkan dengan batas
(3) hidrolis
• Diproyeksikan untuk 1
dimanfaatkan tanpa batas
hidrolis

• Tidak ada bahaya banjir 10


• Bahaya Banjir
• Kemungkinan bahaya anjir > 5
(2) 25 tahunan
• Kemungkinan banjir < 25 1
tahunan, tolak (kecuali ada
masukan teknologi)

• Tanah Penutup • Tanah penutup cukup 10


(4) • Tanah penutup cukup sampai 5
½ umur pakai
• Tanah penutup tidak ada 1

• Di bawah 500 mm per tahun 10


• Intensitas hujan
(3) • Antara 500 mm sampai 1000 5
mm per tahun
• Di atas 1000 mm per tahun 1

• Tata Guna • Mempunyai dampak sedikit 10


Tanah terhadap tata guna tanah
sekitar
(5) • Mempunyai dampak sedang 5
terhadap tata guna tanah
sekitar
• Mempunyai dampak besar 1
terhadap tata guna tanah
sekitar.
55

TABEL II.3 lanjutan


VARIABEL-VARIABEL PEMILIHAN LOKASI TPA SAMPAH

No Variabel Parameter/Bobot Indikator Nilai

• Tidak ada daerah


• Daerah 10
lindung/cagar alam di
lindung/Cagar
sekitarnya
alam
• Terdapat daerah 1
(2) lindung/cagar alam di sekitar
yang tidak terkena dampak
negatif
• Terdapat daerah 1
lindung/cagar alam di sekitar
yang terkena dampak negatif

• Pertanian • Berlokasi di lahan tidak 10


produktif
(3)
• Tidak ada dampak terhadap 5
areal pertanian sekitar
• Terdapat pengaruh negatif 1
terhadap pertanian sekitar
• Berlokasi di tanah pertanian 1
produktif
• Biologis • Nilai habitat yang rendah 10
(3) • Nilai habitat yang tinggi 5
• Habitat Kritis 1

3 Transportasi • Jalan menuju • Datar dengan kondisi baik 10


lokasi • Datar dengan kondisi buruk 5
• Naik/turun 1
(5)

• Transportasi • Kurang dari 15 menit dari 10


sampah (satu centroid sampah
jalan) (5) • Antara 16 menit – 30 menit 8
dari centroid sampah
• Antara 31 menit – 60 menit 3
dari centroid sampah
• Lebih dari 60 menit dari 1
centroid sampah

• Jalan masuk • Truk sampah tidak melalui 10


(4) daerah permukiman
• Truk sampah melalui daerah 5
permukiman berkepadatan
rendah ( < 300 jiwa/Ha)
• Truk sampah melalui daerah 1
56

TABEL II.3 lanjutan


VARIABEL-VARIABEL PEMILIHAN LOKASI TPA SAMPAH

No Variabel Parameter/Bobot Indikator Nilai

• permukiman berkepadatan
tanggi ( > 300 jiwa/Ha)

• Lalu Lintas • Terletak 500 m dari jalan 10


(3) umum
• Terletak < 500 m dari jalan 8
umum pada lalu lintas
berkepadatan rendah
• Terletak < 500 m dari jalan . 3
umum pada lalu lintas
berkepadatan sedang
• Terletak pada lalu lintas 1
berkepadatan tinggi
4 Pengelolaan • Kebisingan dan • Terdapat zona penyangga 10
TPA bau • Terdapat zona penyangga yang 5
(2) terbatas
• Tidak terdapat zona 1
penyangga

• Estetika • Operasi penimbunan tidak 10


(3) terlihat dari luar
• Operasi penimbunan sedikit 5
terlihat dari luar
• Operasi penimbunan 1
terlihat dari luar
5 Masyarakat • Partisipasi • Spontan 10
Masyarakat • digerakan 5
• negosiasi 1
Sumber: SK SNI T-11-1991-03

3. Kriteria penetapan yaitu kriteria yang digunakan oleh Instansi yang

berwenang yang menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai

denga kebijaksanaan Instansi yang berwenang setempat dan ketentuan

yang berlaku.
57

Menurut Petts (1994:88), kriteria pemilihan lokasi tempat pembuangan

akhir dan fasilitas pengolahannya telah dipelajari bertahun-tahun. Beberapa

kriteria diterapkan di beberapa negara, adalah:

I. Inggris Raya

1. Tidak dimungkinkan terjadi kontaminasi terhadap air tanah.

2. Permebilitas tanah dan faktor geologi lainnya.

3. Bahaya Banjir dan tanah longsor.

4. Keamanan Jalur transportasi.

5. Tidak terdapat masalah-masalah keamanan lainnya yang terkait dengan

masyarakat.

6. Kemudahan dalam pelayanan.

7. Tolak jika berada pada area konservasi/tangkapan air.

8. Tanah yang tidak stabil atau lunak, tanah liat atau campuran tanah liat dan

tanah.

9. Lokasi sensitif, terdapat material mudah terbakar dan meledak.

10. Tanah yang mengalami penurunan, mengandung bahan tambang, minyak

dan gas.

11. Tanah jenuh, seperti rawa.

12. Area pemanfaatan air tanah tinggi.

13. Terdapat potensi air permukaan, area di atas intake.

14. Terdapat SDA, Habitat species tertentu, taman dan hutan.

15. Lahan pertanian atau hutan ekonomi untuk kepentingan budaya.


58

16. Lokasi bersejarah dan arkeologi.

17. Populasi menetap.

Kriteria yang terkait dalam pemilihan lokasi TPA sampah tersebut di atas

secara umum dapat berkaitan dengan: lokasi TPA sampah yang harus berada jauh

dengan wilayah permukiman; harus dihindari kemungkinan TPA dapat

mencemari sumber air tanah; TPA dapat menghasilkan gas yang mudah meledak

sehingga perlu pengendalian terhadap produksi gas tersebut; harus dihindari lokasi

yang diprediksikan akan mengalami peristiwa banjir dan/atau gempa bumi;

memperhitungkan keselamatan rute pengangkutan sampah; perlindungan terhadap

lingkungan yang sensitif; masalah yang berhubungan dengan keselamatan; dan

tingkat pelayanan.

II. Amerika Serikat

1. Batas gempa 0-1 skala richer.

2. Kemiringan lahan kurang dari 10 %.

3. Jauh dari aliran permukaan (sungai kecil).

4. Tidak ada pusat permukiman pada arah angin.

5. Jarak ke arah fasilitas umum lebih besar dari 250 m.

6. Jarak lokasi ke jalan umum lebih besar dari 500 m.

7. Bukan lahan pertanian yang produktif.

8. Kepadatan penduduk rendah.

9. Keragaman species rendah.

10. Jarak dari sungai yang menjadi sumber air penduduk lebih besar dari 1,5 km
59

11. Lebih besar 600 m dari sumber air minum.

Kriteria di atas adalah berkaitan dengan lokasi TPA sampah yang penuh

resiko, namun di beberapa negara bagian di Amerika Serikat kriteria-kriteria

tersebut tidak diaplikasikan secara kaku. Pada kondisi-kondisi tertentu dapat

disesuaikan dengan kemungkinan lokasi tertentu.

2.8 Dampak Sampah terhadap Manusia dan Lingkungan

Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan

sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa

organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat

menjangkitkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan

adalah sebagai berikut , (Direktorat Pengembangan Kelembagaan / SDM: 1997):

• Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang

berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air

minum. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga

meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang

memadai.

• Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).

• Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu

contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia).

Cacing ini sebelumnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak

melalui makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.


60

• Sampah beracun: Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang

meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa

(Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang

memproduksi baterai dan akumulator.

Cairan lindi yang masuk ke dalam drainase atau sungai akan mencemari

air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan

lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis.

Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik

dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam

konsentrasi tinggi dapat meledak.

Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang

kurang menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap dan pemandangan

yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana. Sehingga memberikan

dampak negatif terhadap kepariwisataan.

Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya

tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting di sini adalah meningkatnya

pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan

secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).

Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang

tidak memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika

sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung
61

membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering

dibersihkan dan diperbaik.

2.9 Permasalahan TPA Sampah

Selama ini pengelolaan sampah di daerah-daerah masih kurang efektif,

dan tidak efisien. Selain itu, kurang berwawasan lingkungan dan tidak

terkoordinasi dengan baik. Apalagi tidak diimbangi dengan lahan tempat

pembuangan akhir (TPA) sampah yang saat semakin terbatas (Direktur Jenderal

Kotdes, Dep Kimpraswil : 2004). Oleh karenanya di dalam upaya mengatasi

ketersediaan lahan di kota-kota di Indonesia pada dewasa ini, diperlukan

kerjasama pengelolaan persampahan secara terpadu dan berkesinambungan.

Permasalahan sampah adalah kontributor sangat penting dalam persoalan

lingkungan hidup. Tidak tepat kalau masalah lingkungan hidup itu bersifat lintas

batas administratif dan sektor atau hanya dilihat secara kedaerahan.

Lingkungan hidup yang tercemar dan rusak memunculkan sangat

tingginya biaya ekonomi seperti biaya pemulihan kesehatan, rendahnya

produktivitas sumber daya manusia, dan sebagainya. Karena itu, harus ada upaya

yang sistematis dan terorganisasi untuk meminimalkannya melalui kerjasama

pengelolaan TPA terpadu antar daerah.

Biaya pemusnahan sampah yang relatif tinggi, mengakibatkan

meningkatnya penggunaan metoda pembuangan sampah dengan open dumping,

baik yang resmi maupun tidak resmi telah mencapai 93% pada tahun 1999
62

(Sunardi, 2000:69), karena biaya yang dikeluarkan pada metoda open dumping

dipandang relatif lebih rendah dibanding metoda lainnya.

Pembuangan dengan sistem open dumping dapat menimbulkan

beberapa dampak negatip terhadap lingkungan. Pada penimbunan dengan sistem

anarobik landfill akan timbul leachate di dalam lapisan timbunan dan akan

merembes ke dalam lapisan tanah di bawahnya. Leachate ini sangat merusak dan

dapat menimbulkan bau tidak enak (Sidik, et al, 1985).

Konflik persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua yang

terjadi di lokasi pengolahan akhir sampah DKI Jakarta. Kasus pertama terjadi di

tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10

Desember 2001 dan awal Januari 2004 yang berdampak terhadap penutupan TPA

Bantargebang.

Konflik Persampahan TPA Bantargebang menurut kesimpulan catatan

Reportase Konflik Persampahan Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota

Bekasi dalam Menangani TPA Sampah Bantargebang (Komunitas Jurnalis

Bekasi, 2003), adalah:

1. Penggunaan teknologi modern pengolahan sampah di TPA

(dikubur/balapres, dibakar/incenerator, dan sanitary landfill/menggunakan

pelapis geotekstil menjadi bermasalah, begitu dikelola dengan manajemen

yang kurang optimal dan tidak profesional.

2. Masalah utama yang dikeluhkan sebagian besar warga, justru bukan di

lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah, melainkan ketika diangkut


63

menggunakan truk dari Jakarta ke TPA dan TPST. Pencemaran lingkungan

terjadi pada proses pengangkutan sampah ke TPA yang dilakukan tidak

sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku. Sampah organik yang diangkut

masih basah dan mengandung banyak air lindi (leachete) dan tercecer

sepanjang perjalanan. Pencemaran ini menimbulkan aroma tak sedap yang

dihirup warga dan pengguna jalan.

3. Kehadiran pemulung yang pada awalnya untuk mengais rezeki di dalam

TPA, namun dalam perkembangannya mereka menjadi tidak peduli

terhadap dampak lingkungan. Sampah yang belum dibuang ke TPA di

turunkan pada saat proses pengangkutan. Sampah-sampah yang bernilai

ekonomis dimanfaatkan dan sisanya dibiarkan berceceran atau dibuang di

tempat yang tidak layak, seperti sawah, sungai dan kolam ikan, sehingga

terjadi pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya yang diakibatkan oleh

air lindi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) tidak

tertampung di dalam bak sanitary landfill dan tidak diolah di dalam instalasi

pengolah air sampah (Ipas), melainkan langsung menyerap ke dalam tanah

pemukiman warga.

Sedangkan permasalahan persampahan TPST Bojong yang terjadi di

lokasi TPST Bojong disebabkan:

1. Warga sekitar TPST membandingkan pengalaman pengelolaan sampah di

TPA Bantargebang yang tidak dikelola dengan manajemen yang kurang

optimal dan tidak profesional, akan dapat menyebabkan kehadiran


64

pemulung. Kehadiran pemulung di TPST Bojong belum dirasakan warga

sekitar, namun dengan membandingkan pengalaman di TPA Bantargebang,

maka masyarakat menjadi khawatir dengan kehadiran pemulung nantinya.

2. Mengacu pada Perda No. 17 tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, tidak ada satu pun pasal yang

menyebutkan bahwa kawasan tersebut ditetapkan sebagai lokasi TPA. Justru

sebaliknya, kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan

Pengembangan Perkotaan dan salah satunya diperuntukan bagi

pengembangan kawasan pariwisata.

Data yang disampaikan Dr. Setiawan Wangsaatmaja, pakar lingkungan

BPLHD sungguh mengerikan, sekitar 90% tempat pembuangan akhir (TPA)

sampah di Jawa Barat tidak layak pakai, sehingga menjadi sumber penyakit

(Pikiran Rakyat, 22/11/2004), seperti terjadi di TPA Leuwigajah.

1. Warga Cireundeu yang menempati dataran di bawah bukit dekat TPA

sampah Leuwigajah tak pernah lagi merasakan udara dan angin segar seperti

yang pernah dirasakan sebelumnya, karena setiap hari volume sampah yang

dibuang ke TPA tersebut mencapai 4.000 m³. Lindi (leachate) yang tidak

dikendalikan telah mencemari badan air di hilirnya. Kepulan asap, bau dan

lalat merupakan kejadian yang telah lama terpapar pada lingkungan di

sekitar TPA.

2. Sarana TPA dengan volume sampah yang kian hari kian membubung tinggi

membentuk gundukan bukit tidak dioperaikan dengan layak. Akibat guyuran


65

hujan selama dua hari berturut-turut, gunungan sampah di TPA sampah

Leuwigajah di Kel. Leuwigajah, Kec. Cimahi Selatan, Kota Cimahi longsor

dan menimbun perumahan penduduk.

3. Lokasi TPA Leuwigajah terletak di daerah perbukitan dengan kemiringan

agak terjal (lebih dari 30%), merupakan tanah residu dari batuan vulkanik

dan terdiri dari lanau elastis pasiran yang terletak di atas batuan andesit

berkekar.

4. Pada musim kemarau curah hujan sedikit, lokasi ini akan merupakan daerah

resapan, namun pada musim hujan akan berubah menjadi daerah

pengeluaran air yang bersifat temporer, yang muncul dalam bentuk mata air

musiman di dasar lembah yang dapat berpindah dari elevasi satu ke elevasi

lainnya. Akibat terjadinya up-lift akibat akumulasi air yang terbentuk di

timbunan sampah pada musim hujan maka sampah bergerak dalam bentuk

longsor.

2.10 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan

kebersamaan masyarakat dalam suatu aktivitas baik secara langsung maupun tidak

langsung. Keterlibatan tersebut muncul atas kesadaran diri sendiri, bukan karena

pemaksaan dari pihak tertentu. Partisipasi masyarakat merupakan potensi,

kekuatan dalam penyelenggaraan pembangunan, kegiatan, aktivitas. Dengan

pelibatan masyarakat dalam suatu program, kegiatan, aktivitas sejak awal, akan

dapat meningkatkan efektifitas pelaksanaannya. Hal tersebut dapat tercapai karena


66

masyarakat akan merasa memiliki tanggung jawab yang tinggi, yang berimplikasi

pada kesadaran dan kemauan untuk mewujudkannya. Ramos dalam Yeung and

MC.Gee, (1986) menyatakan bahwa partisipasi seseorang, sekelompok orang atau

masyarakat mengandung maksud penyerahan sebagaian peran dalam kegiatan dan

tanggungjawab tertentu dari suatu pihak ke pihak yang lain.

Konsep lain berkaitan dengan partisipasi masyarakat disampaikan oleh

Bryant and White (1987:268) menyatakan bahwa peran serta masyarakat

merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan peran serta pihak lain. Peran

serta berarti perhatian mendalam mengenai pebedaan dan perubahan yang

dihasilkan oleh suatu proyek dengan kehidupan rakyat.

Partisipasi masyarakat sangat erat kaitannya dengan kekuatan atau hak

masyarakat, terutama dalam pengambilan keputusan dalam tahap identifikasi

masalah, mencari pemecahan masalah sampai dengan pelaksanaan berbagai

kegiatan pembangunan.

Menurut Arnstein dalam Panudju (1999:72), partisipasi masyarakat

dapat digolongkan dalam delapan tingkatan yang lebih dikenal dengan jenjang

partisipasi masyarakat (a ladder of citizen participation), salah satunya adalah

Consultation yaitu, mengundang opini masyarakat (persepsi masyarakat) setelah

memberikan informasi kepada mereka, tapi tidak ada jaminan bahwa kepedulian

dan ide masyarakat akan diperhatikan. Selanjutnya Armstein mengemukakan

bahwa partisipasi masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe partisipasi,

yaitu 1) tidak ikut serta/tidak ada partisipasi (non participation); 2) tingkat


67

penghargaan atau formalitas/tinggal menerima beberapa ketentuan (degrees of

tekonism) dan 3) tingkat kekuatan masyarakat/masyarakat mempunyai kekuasaan

(degrees of citizen power).

2.11 Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat

Persepsi merupakan istilah bahasa Indonesia yang berasal dari kata

dalam bahasa Inggris perceive, dimana dalam kamus lengkap Indonesia–Inggris

dan Indonesia – Inggris, karangan Prof Wojowarsito (1982:102), persepsi berarti

melihat atau mengamati. Pengertian persepsi menurut kamus besar bahasa

Indonesia diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu atau

proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Sedangkan

menurut kamus tata ruang (Edisi I:82), persepsi merupakan tanggapan atau

pengertian yang terbentuk langsung dari suatu peristiwa atau pembicaraan yang

terbentuk dari suatu proses yang diperoleh dari panca indera.

Selain pengertian di atas, persepsi juga dapat berarti suatu proses kognitif

dari seseorang terhadap lingkungannya yang digunakan untuk menafsirkan

lingkungan sekitarnya tersebut (Gibson dalam Anggawijaya, 2002:33). Proses

kognitif tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti situasi,

kebutuhan, keinginan dan juga kesediaan setiap orang akan memiliki cara

pandang yang berbeda terhadap obyek yang dirasakan. Berdasarkan beberapa

pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa melalui penilaian seseorang

terhadap kondisi suatu obyek yang bermasalah di lingkungannya, maka ia akan

dapat memberikan suatu bentuk penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.


68

Menurut para ahli psikologi; Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles

Osgood dalam Azwar (1995: 4-5), sikap didefinisikan sebagai suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah

perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak

mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut (Berkowitz,

1972 dalam Azwar, 1995:51).

Menurut Petty & Cacioppo, 1986 dalam Azwar (1995: 6), definisi sikap

lebih ditekankan pada aspek evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya

sendiri, orang lain, obyek dan isu-isu. Kerangka pemikiran suatu sikap merupakan

konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling

berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berprilaku terhadap suatu obyek.

Sehingga definisi sikap yang dihasilkan dari pandangan tersebut adalah

ketentraman tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan

predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan

sekitarnya.

Respon perilaku ditentukan tidak saja oleh sikap individu, akan tetapi

merupakan fungsi dari faktor kepribadian individual dan lingkungannya. Pada

dasarnya sikap memang lebih bersifat pribadi, sedangkan tindakan atau kelakuan

lebih bersifat umum atau sosial, karena itu tindakan lebih peka terhadap tekanan-

tekanan sosial.

Dikaitkan dengan lingkungan, perilaku masyarakat diharapkan dapat

berpedoman pada prinsip etika lingkungan hidup ada 9 hal. (Keraf, 2002: 143).

Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) sikap hormat terhadap alam (respect for nature)
69

yang mendasarkan pada teori etika lingkungan atau DE (Deep Ecology) yang

menyatakan bahwa manusia dituntut untuk menghormati dan menghargai benda

non-hayati, karena alam semesta punya hak sama untuk berada, hidup dan

berkembang; (2) tanggung jawab (moral responsibility for nature) kolektif, karena

secara ontologis, manusia merupakan bagian integral dari alam semesta. Melalui

prinsip kedua ini diharapkan tidak akan terjadi tragedi milik bersama (the tragedy

of the commons) yang akan terjadi jika setiap manusia bersikap eksploitatif tanpa

tanggung jawab; (3) solidaritas kosmis (cosmie solidarity), sebagai sikap moral

untuk penyelamatan lingkungan; (4) kasih sayang dan kepedulian terhadap alam

(earing for nature); (5) no harm yang berarti dengan kewajiban moral dan

tanggung jawab terhadap alam, manusia tidak mau berlaku merugikan alam; (6)

prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, karena yang terpenting dalam

hidup adalah mutu kehidupan yang berkualitas; (7) prinsip keadilan yang

mempunyai implikasi harus ada jaminan keadilan prosedural yang memungkinkan

ada partisipasi publik dibidang lingkungan serta ada perlakuan yang proporsional

antara laki-laki dan perempuan; (8) prinsip demokrasi yang mencakup beberapa

prinsip moral yaitu menjamin keanekaragaman dan pluralitas, menjamin

kebebasan mengeluarkan pendapat, menjamin masyarakat dalam berpartisipasi

dalam menentukan kebijakan publik, menjamin hak masyarakat memperoleh

informasi akurat dan terjaminnya akuntabilitas publik; (9) prinsip integritas moral

yang menuntut pejabat publik bersikap dan berperilaku terhormat dan berpegang

teguh mengamankan kepentingan publik.


70

2.12 Rangkuman Kajian Teori

Rangkuman kajian teori dapat dilihat pada Tabel II.4, sebagai berikut:

TABEL II.4
RANGKUMAN KAJIAN TEORI PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH
LEUWINANGGUNG KOTA DEPOK

No Sumber Teori Penjelasan Hubungan


Penelitian

1 Budhiharsono Salah satu faktor yang Penggunaan lahan,


(2001:23) berpengaruh terhadap keadaan iklim,
penentuan dalam kualitas udara ,
pemilihan suatu lokasi kualitas air dan
adalah input lokal, yaitu keadaan lingkungan
ketersediaan sumber daya mendukung kriteria
dan prasarana suatu lokasi pemilihan lokasi
dapat berupa keadaan TPA sampah.
lahan, iklim, kualitas
udara, kualitas air,
keadaan lingkungan,
pelayanan umum.

2 Arsyad 1989 dalam Penggunaan lahan pada Pemilihan lokasi


Triutomo 1995:22 lahan yang terbatas dapat TPA sampah perlu
dilakukan melalui: mempertimbangkan
1.Pengkajian kebutuhan konsep
saat ini dan masa yang keberlanjutan;
akan datang, serta tidak terdapat pihak
evaluasi kelanjutan dari yang dirugikan
lahan tersebut (land (adanya partisipasi
sustainability) dan persepsi
2.Melakukan identifikasi masyarakat);
dan memecahkan memilih teknologi
masalah silang atau yang tepat yang
benturan kepentingan sesuai dgn kondisi
antara individu dan lokasi dan
kepentingan umum, penyempurnaan
antara kebutuhan saat dari permasalahan
ini dan untuk generasi di lokasi TPA-TPA
yang akan datang. yang ada
71

TABEL II.4 Lanjutan


RANGKUMAN KAJIAN TEORI PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH
LEUWINANGGUNG KOTA DEPOK
No Sumber Teori Penjelasan Hubungan Penelitian

3.Mencari dan memilih


alternatif yang sesuai
dengan kebutuhan
4.Merencanakan sesuai
dengan perubahan yang
diinginkan
5.Penyempurnaan dan Dalam menentukan
belajar dari kesalahan. lokasi TPA perlu
Perlu memperhatikan diperhitungkan
kemampuan lahan lebih kapasitas lahan dan
yang ditekankan pada penggunaan lahan di
perhatian terhadap potensi sekitarnya
atau kapasitas lahan itu
sendiri untuk suatu
penggunaan tertentu
3 Tchobanoglous, Keberadaan sampah tidak Dalam memilih lokasi
1997:3 diinginkan bila TPA sampah Perlu
dihubungkan dengan metoda pembuangan
faktor kebersihan, sampah yang tepat
kesehatan, kenyamanan yang disesuaikan
dan keindahan, sehingga denga kapsitas
harus dikelola agar tidak lahannya
membahayakan
lingkungan yang
mengakibatkan
kemunduran lingkungan
dan dapat membahayakan
kehidupan manusia
4 MC.Gee, (1986) Dengan Permasalahan
pelibatan yang
masyarakat dalam suatu terjadi di lokasi TPA,
program, akibat tidak terdapat
kegiatan,
aktivitas sejak awal, akan keterlibatan
dapat meningkatkan masyarakat dalam
efektifitas proses perencanaan
pelaksanaannya. pemilihan lokasi TPA
sampah.
5 Arnstein dalam tiga tipe partisipasi, yaitu Indikator partisipasi
Panudju (1999:72) 1) tidak ikut serta/tidak masyarakat dalam
ada partisipasi; 2) pemilihan lokasi TPA
tingkat penghargaan atau sampah, adalah:
72

TABEL II.4 Lanjutan


RANGKUMAN KAJIAN TEORI PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH
LEUWINANGGUNG KOTA DEPOK
No Sumber Teori Penjelasan Hubungan Penelitian

menerima beberapa 1) tidak ikut serta; 2)


ketentuan dan 3) tingkat ikut serta dengan
kekuatan syarat dan 3)
masyarakat/masyarakat Masyarakat terlibat
mempunyai kekuasaan penuh.

6 Direktur Jenderal Dalam upaya mengatasi Pardigma baru


Kotdes, Dep ketersediaan lahan di pengelolaan TPA
Kimpraswil : 2004 kota-kota di Indonesia sampah terpadu lebih
pada dewasa ini, efisien dan efektif dan
diperlukan kerjasama kerusakan lingkungan
pengelolaan dapat diminimalisir.
persampahan secara
terpadu dan
berkesinambungan dan
Tidak tepat kalau
masalah lingkungan
hidup itu bersifat lintas
batas administratif
7 Gibson dalam Persepsi dapat berarti Penilaian masyarakat
Anggawijaya, suatu proses kognitif dari terhadap Lokasi TPA
2002:33 seseorang terhadap yang bermasalah di
lingkungannya yang lingkungannya, maka
digunakan untuk ia akan dapat
menafsirkan lingkungan memberikan suatu
sekitarnya tersebut bentuk penyelesaian
terhadap permasalahan
tersebut
8 SK SNI T-11-1991- Berbagai cara Perhitungan kapasitas
03 pengelolaan sampah di lahan tergantung
TPA, diantaranya dengan metode pembuangan
cara Open Dumping, akhirnya.
Controlled Landfill dan
Sanitary Landfill.
Sumber: Peneliti 2006

Parameter pemilihan lokasi TPA sampah berdasarkan SK SNI T-13-

1990-F dan kriteria internasional dapat dilihat pada tabel II.5.


73
74
75

Persepsi merupakan suatu proses kognitif dari seseorang terhadap

lingkungannya yang digunakan untuk menafsirkan lingkungan sekitarnya tersebut

dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti situasi, kebutuhan, keinginan

dan juga kesediaan setiap orang akan memiliki cara pandang yang berbeda

terhadap obyek yang dirasakan. Penilaian seseorang terhadap kondisi suatu obyek

yang bermasalah di lingkungannya, maka ia akan dapat memberikan suatu bentuk

penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

Dalam hal persepsi masyarakat terhadap pemilihan dan penetapan lokasi

TPA sampah dapat digambarkan pada tabel II.6.


76

TABEL II. 6
PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT
TERHADAP PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH
Variabel Parameter Indikator Keterangan

Persepsi • Pengetahuan • Mengetahui Permasalahan


tentang Rencana • Tidak mengetahui Lokasi TPA
Masyarakat
Lokasi TPA Sampah di
sampah Indonesia

• Persepsi • Bermanfaat
masyarakat • Tidak bermanfaat
terhadap manfaat
TPA

• Harapan • Terdapat harapan thdp TPA


Masyarakat • Tidak mempunyai harapan
terhadap lokasi terhadap TPA
TPA

• Tanggapan • Menggganggu
masyarakat • Tidak mengganggu
terhadap pemulung

• Tanggapan • Memadai
masyarakat terhdap • Tidak memadai
Lalu lalang truk
Sumber : Peneliti 2006
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH DEPOK
DAN KAWASAN LEUWINANGGUNG

3.1 Gambaran Umum Kota Depok

Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat antara 6° 19’ 00” -

6° 28’ 00” Lintang Selatan dan 106° 43’ 00” - 106° 55’ 30” Bujur Timur. Jarak

dari pusat Kota Depok ke Kota Jakarta, Bekasi, Bogor dan Tangerang masing-

masing sekitar 10 km, 60 km, 20 km dan 80 km.

Wilayah Kota Depok, secara administrasi berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Propinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang

Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor

Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor

Sebelah Barat : Kabupaten Bogor

Kota Depok terdiri dari 6 Kecamatan dan 63 kelurahan, dengan luas

wilayah sekitar 200,29 km². Sebagai pusat pemerintahan Kota Depok berada di

kecamatan Pancoran Mas.

Secara Umum wilayah Kota Depok di bagian Utara merupakan daerah

dataran rendah, sedangkan di bagian Selatan merupakan daerah perbukitan

bergelombang lemah. Berdasarkan atas elevasi atau ketinggian garis kontur,

maka bentang alam daerah Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran

rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter di

atas permukaan laut, dan kemringan lerengnya kurang dari 15 %.

77
78

3.2 Klimatologi

Wilayah Depok termasuk daerah beriklim tropis yang dipengaruhi oleh

iklim muson, musim kemarau antara bulan April – September dan musim hujan

antara bulan Oktober – Maret. Kondisi iklim di daerah Depok relatif sama, yang

ditandai oleh perbedaan curah hujan yang cukup kecil. Berdasarkan pemeriksaan

hujan tahun 1998 di Stasiun Depok, Pancoran Mas, banyaknya curah hujan antara

1 – 591 mm, dan banyaknya hari hujan antara 10 – 23 hari, yang terjadi pada

bulan Desember dan Oktober. Curah hujan rata-rata sekitar 327 mm.

Berdasarkan data klimatologi Kabupaten Bogor, Stasiun Kelas I

Dermaga, Stasiun Pemeriksaan Pondok Betung, tahun 1998, keadaan klimatologi

Kota Depok diuraikan sebagai berikut:

• Temperatur rata-rata : 24,3 – 33 ° C

• Kelembaban udara rata-rata : 82 %

• Penguapan rata-rata : 3,9 mm/th

• Kecepatan angin rata-rata : 3,3 knot

• Penyinaran matahari rata-rata : 49,8 %

• Jumlah curah hujan : 2684 mm/th

• Jumlah hari hujan : 222 hari/th

3.3 Geologi

Berdasarkan peta geologi regional dari Pusat Penelitian Pengembangan

Geologi Bandung 1992, Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, stratigrafi wilayah

Depok dan sekitarnya dari tua ke muda disusun oleh batuan perselingan batupasir

dan batulempng, Formasi Bojongmanik (Tmb): perselingan konglomerat,


79

batupasir, batu lanau, batulempung; Formasi Serpong (Tpss) : breksi, lahar, tuf

breksi, tuf batuapung; Satuan Batuan Gunungapi Muda (Qv) : tuf halus berlapis,

tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomerat; Satuan Batuan Kipas Alluvium:

endapan lempung, pasir, kerikil, kerakal, dan Satuan endapan Alluvial (Qa).

Struktur geologi di daerah ini merupakan lapisan horisontal, atau sayap

lipatan dengan kemiringan lapisan yang hampir datar, serta sesar mendatar yang

diperkirakan berarah utara – selatan. Geologi struktur Jawa Barat dibentuk oleh

proses tumbukan lempeng, dimulai sejak jaman tersier, yaitu lempeng samudera

di selatan yang bergerak di bawah lempeng benua utara.

3.4 Hidrogeologi

Air tanah merupakan sumber utama untuk kepentingan air bersih bagi

daerah Depok dan sekitarnya. Reservoir air tanah terdapat pada batuan tersier dan

kwarter. Endapan kwarter dan endapan tersier vulkanik menjari/bersilang

jari/interfingering dengan endapan kwarter sungai/delta.

Akuifer air tanah dangkal terdapat pada kedalaman 0 – 20 m dari

permukaan tanah, bersifat preatik. Kedalamn air tanah yang terbesar mengandung

air tanah ini merupakan air tanah semi – tak tertekan sampai tertekan. Air tanah

dalam dengan tekanan artesis terdapat di daerah pantai dan di bagian tengah

daerah telitian ke arah timur, diperkirakan hingga kedalaman 270 m. Arah aliran

air tanah adalah ke utara sesuai dengan arah umum sistem drainase.

Berdasarkan Peta Hidrogeologi Indonesia, Lembar Jakarta, oleh

Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan 1986, unit hidrologi di Kota Depok dan

sekitarnya dapat dikelompokan dalam dua bagian, yaitu:


80

A. Kelompok litologi dan kelulusan batuan.

Menurut potongan melintang pada peta, ternyata batuan yang ada adalah:

• Pada kedalaman 0 – 250 m, dominan adalah lanau, pasir, kerikil dan

kerakal hasil pengendapan kembali batuan vulkanik kwarter (kipas

alluvium Bogor), konglomerat serta pasir sungai (endapan alluvium

tua). Batuan di atas mempunyai kelulusan sedang sampai tinggi.

Batuan lainnya adalah lempung dengan sisipan pasir serta lempung

dengan sisipan pasir kwarsa: mempunyai kelulusan sedang–tinggi.

• Pada kedalaman > 250 m, merupakan lempung dengan sisipan pasir,

mempunyai kelulusan rendah.

B. Kelompok terdapatnya air tanah dan produktifitas akifer.

Menurut potongan melintang pada peta, ternyata dapat diketahui bahwa:

• Pada kedalaman 0 – 250 m, akifer dengan aliran melalui aliran antar

butir, merupakan akifer dengan produktifitas tinggi dan sebarannya

luas, debit air tanah ≥ 5 l/dt serta akifer dengan produktifitas sedang dan

luas sebarannya, debit air tanah < 5 l/dt.

• Pada kedalaman > 250 m, akifer (bercelah atau sarang) produktif kecil

dan daerah air tanah langka, merupakan akifer dengan produktifitas

kecil, setempat berarti, debit air tanah < 1 l/dt.

3.5 Jenis Tanah

Secara umum jenis tanah di Kota Depok menurut data pemboran di

daerah Pondok Cina terdiri dari:

• Pada kedalaman 0 – 10 m, top soil, merupakan tanah berwarna coklat

kerahan, lunak, plastisitas sedang – jelek, diperkirakan hasil pelapukan

endapan batuan gunung api kwarter.


81

• Pada kedalaman 10 – 25 m, tanah lempung tufaan, tegas – kaku, plastisitas

sedang, merupakan endapan alluvial muda.

• Pada kedalaman 25 – 112 m, tanah lempung tufaan mengandung material

organik (cangkang dan fosil), dan sedikit tufa, tegas – kaku.

• Pada kedalaman 112 – 135 m, batupasir kerikilan dan pasir kwarsa.

• Pada kedalaman > 135 m, batulempung, abu-abu kehitaman, sangat kaku,

keras.

3.6 Kondisi Fisik dan Masyarakat Lokasi Rencana TPA Sampah

Leuwinanggung

Penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung tertuang dalam peraturan

daerah kota Depok No 12 tahun 2001 tentang Rencana Umum Wilayah kota

Depok. Berdasarkan pembagian wilayah kota Depok Lokasi TPA berada di

Bagian Wilayah Kota (BWK) Sukatani. BWK ini meliputi kelurahan Sukamaju

Baru, kelurahan Curug, kelurahan Sukatani, kelurahan Leuwinanggung dan

kelurahan Tapos.

3.6.1 Batas Administrasi, kepemilikan lahan dan Kondisi Fisik

A. Batas administrasi

Berdasarkan batas administrasi kelurahan Lokasi TPA Leuwinanggung

berada di kelurahan Tapos. Kelurahan Tapos berbatasan dengan Kelurahan

Sukatani dan Sukamaju Baru di sebelah barat; kelurahan Leuwinanggung di

sebelah timur; kelurahan Harjamukti di sebelah utara dan kelurahan Cilangkap

serta kabupaten Bogor di sebelah selatan.


82

B. Pola kepemilikan lahan

Perkembangan kawasan terbangun di kota Depok, berkembang dengan

cukup pesat, terutama untuk Bagian Wilayah Kota Sukatani. Berdasarkan RTRW

kota Depok, pada tahun 2000 kawasan terbangun di BWK Sukatani ini berada

pada katagori rendah dengan intensitas kawasan terbangun diantara 0-45%,

namun pada tahun 2004 telah mencapai ke dalam kategori sedang dengan

intensitas kawasan terbangunnya diantara 45-60% (Gambar 3.1).

Berdasarkan keterangan dari aparat kelurahan Tapos, kepemilikan lahan

di lokasi rencana TPA sampah umumnya merupakan milik perorangan dan

dikuasai oleh 5 sampai dengan 9 pemilik lahan. Adapun luas lahan pada lokasi

rencana TPA sampah Leuwinanggung diperkirakan mencapai 13,43 ha

(Komarudin, 2006).

Dalam upaya menetapkan lokasi TPA sampah kota Depok di wilayah

kota Depok menghadapi kendala harga tanah yang semakin tinggi dan sulitnya

memenuhi kriteria ”jauh dari permukiman penduduk” (Bappeda Kota Depok

tahun 2003).

C. Penggunaan Tanah

Penggunaan tanah lokasi TPA sampah Leuwinanggung berdasarkan peta

penggunaan tanah kota Depok merupakan lahan tegalan, seperti terlihat pada

gambar 3.2 (sumber: buku rencana, RTRW kota Depok).


83

MAGISTER PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN
KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO
BW K SEMARANG
Cinere 2006

TESIS
Wilayah
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN
Jabodetabek Kabupaten LOKASI TPA SAMPAH LEUW INANGGUNG
Tangerang KOTA DEPOK
BW K Peta Intensitas Kawasan Terbangun
Tugu
Tiap BWK Th. 2004

BW K Kabupaten
BW K Mekarsari Legenda
Beji Bekasi
BW K Batas Kota
BW K
Bojongsari
Rangkepanjaya Batas BW K
BW K
Mekarjaya BW K Prosentase (%) Kawasan Terbangun Tiap BW K:
Sukatani
Rendah (10-45%)

Sedang (45-60%)

BW K Tinggi (> 60%)


Pancoran BW K
BW K Mas Lokasi TPA Sampah
Sukmajaya
Sawangan Leuwinanggung
BW K
Jatijajar Kabupaten
Bogor NO SKALA
0 2 4 Km
3.1
Kabupaten 1 : 25.000
Bogor
SUMBER

BAPPEDA
KOTA DEPOK
2006
84

MAGISTER PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN
KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
TESIS
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN
LOKASI TPA SAMPAH LEUWINANGGUNG
KOTA DEPOK

Peta Penggunaan Tanah


Kota Depok

Lokasi TPA Sampah


Leuwinanggung

NO SKALA
0 2 4 Km
3.2
1 : 25.000

SUMBER
BAPPEDA
KOTA DEPOK
2006
85

D. Aksesibilitas

Jalan menuju lokasi TPA jalan lokal dengan kondisi buruk dengan

topografi relatif bergelombang, gambar 3.3. Sedangkan letak lokasi TPA berada

lebih dari 500 meter dari jalan umum. . (sumber: buku rencana, RTRW kota

Depok)

E. Kemampuan tanah

Berdasarkan penelitian mekanika tanah, kemampuan tanah kota Depok

yang diukur berdasarkan sifat geotekniknya adalah Lempung tufaan, hasil

pelapukan endapan gunung api muda, mempunyai permeabilitas kecil (10-8 - 10-6
2
cm/det), sudut geser dalam sebesar 35°, unconfined stregth = 2 – 4,5 kg/cm

dengan daya mengembang kecil (sumber: kompilasi data RTRW kota Depok).

F. Kawasan konservasi/resapan air (catchment area)

Berdasarkan peta daerah reapan air kota Depok (gambar 3.4), lokasi

Lokasi TPA Leuwinanggung berada pada wilayah resapan air. (sumber: buku

rencana, RTRW kota Depok)

G. Air tanah

Berdasarkan pengamatan untuk daerah kota Depok banyak didapatkan

sumur gali, terutama untuk kepentingan masak, mandi, cuci dan sebagainya bagi

penduduk di daerah ini. Sumur gali penduduk tersebut umunya kondisinya baik.

Kedalaman muka air tanah rata-rata 10 meter dengan kelulusan 10-6 cm/det

(sumber: kompilasi data RTRW kota Depok).


86

MAGISTER PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN
Jalan Menuju Ke KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
TPA Leuwinanggung 2006
TESIS
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN
LOKASI TPA SAMPAH LEUW INANGGUNG
KOTA DEPOK
Kab. Tangerang
Peta Jaringan Jalan 2004

Legenda
Batas Kota Depok
Kabupaten Batas Kecamatan
Bekasi
Jalan Tol
Jalan Arteri Primer
Jalan Kolektor Primer
Jalan Kolektor Sekunder
Jalan Lokal
Rel Kereta api

NO SKALA

Kabupaten 0 2 4 Km
Bogor 3.3
1 : 25.000
Kabupaten
Bogor
SUMBER

BAPPEDA
KOTA DEPOK
2006
87

MAGISTER PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN
KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006

TESIS
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN LOKASI
TPA SAMPAH LEUW INANGGUNG
KOTA DEPOK
KEC. LIMO

KEC. BEJI Daerah Resapan air

Legenda

KEC. SAW ANGAN KEC. SUKMAJAYA

KEC. PANCORANMAS
KEC. CIMANGGIS

Lokasi TPA Sampah


Leuwinanggung

NO SKALA

0 2 4 Km
3.4
1 : 25.000

SUMBER

BAPPEDA
KOTA DEPOK
2006
88

H. Sistem aliran air tanah

Saat ini air tanah masih merupakan sumber penyediaan aiar utama di

kawasan kota Depok. Pemakai air domestik biasanya mengandalkan sumur-sumur

dangkal yang mengambil air dari akuifer dangkal, sedangkan industri swasta

biasanya memiliki sumur bor untuk mengambil dari akuifer dalam.

Pengambilan air tanah regional meningkat sehingga beberapa akuifer

kelebihan beban. Aliran horizontal air tanah lambat dan pengisian kembali

akuifer dalam sangat kecil (sumber: kompilasi data RTRW kota Depok).

I. Bahaya banjir

Berdasarkan besarnya intensitas hujan kota Depok untuk periode ulang

hujan 25 tahunan, melalui persamaan Van breen: 21452/t+87 maka di dapat

intensitas hujan sebesar kota Depok adalah sebesar 936,08 mm/th atau berkisar di

antara 500 – 1000 mm/th, atau dapat dikatakan bahwa kemungkinan periode

banjir kota Depok lebih besar dari 25 tahunan (sumber: Dinas PU kota Depok).

J. Kemiringan lahan

Atas dasar dasar elevasi atau ketinggian garis kontur kota Depok,

bentang alam daerah Depok dari selatan ke utara merupakan daerah dataran

rendah, perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 meter di

atas permukaan laut, kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Khusus untuk lokasi

TPA sampah Leuwinanggung berada pada kemiringan lereng antara 8 – 15 %

gambar 3.5 (sumber: kompilasi data RTRW kota Depok).


89

MAGISTER PERENCANAAN
PEMBANGUNAN WILAYAH DAN
KOTA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006
TESIS
KAJIAN TERHADAP PENETAPAN
LOKASI TPA SAMPAH LEUW INANGGUNG
KOTA DEPOK

Peta Kelerengan Kota Depok

Legenda

Kelerengan 2-3%

Kelerengan 3-15%

Kelerengan >15%

Lokasi TPA Sampah


Leuwinanggung

NO SKALA
0 2 4 Km
3.5
1 : 25.000

SUMBER

BAPPEDA
KOTA DEPOK
2006
90

K. Pertanian

Seperti digambarkan dalan peta penggunaan tanah lokasi TPA sampah

Leuwinanggung berdasarkan merupakan lahan ladang/tegalan yang diusahakan

warga di sekitar lokasi, sehingga lokasi TPA akan mengubah fungsi dari lahan

pertanian menjadi TPA, dengan demikian dapat dikatakan bahwa lokasi TPA ini

mempunyai pengaruh negatif terhadap pertanian.

L. Daerah lindung, nilai biologis dan cagar budaya

Berdasarkan tata guna tanah di atas, di lokasi TPA Leuwinanggung tidak

terdapat daerah lindung/cagar alam dan cagar budaya serta mempunyai habitat

yang rendah.

M. Zona penyangga dan Estetika

Daerah penyangga dapat mengurangi dampak negatif terhadap

lingkungan sekitarnya. Daerah penyangga ini dapat berupa jalur hijau atau pagar

tanaman, dengan ketentuan antara lain, jenis tanaman adalah tanaman tinggi

dikombinasi dengan tanaman perdu yang mudah tumbuh. Berdasarkan peta

penggunaan tanah, lokasi TPA adalah berupa tegalan/ladang dan tidak terdapat

tanaman tinggi. Disamping itu untuk operasi penimbunan saat ini belum tersedia

paagar atau pembatas dengan daerah sekitarnya.

3.6.2 Masyarakat/penduduk

A. Partisipasi Masyarakat

Tingkat pelayanan kota Depok baru mencapai 28%, rendahnya kinerja

pelayanan ini adalah akibat kurang berfungsinya kesadaran kolektif masyarakat

secara berkelompok maupun representasi perwakilan rakyat.


91

Penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung direncanakan semenjak

tahun 1999. Perencanaan pembangunan saat itu masih mempergunakan

paradigma lama, yaitu perencanaan yang masih bersifat top down. Perencanaan

pembangunan yang bersifat top down sangat membatasi keterlibatan masyarakat

di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penetapan lokasi TPA sampah

ini, partisipasi masyarakat masih rendah.

B. Persepsi Masyarakat

Guna mendapatkan persepsi masyarakat terhadap penetapan lokasi TPA

sampah telah dilakukan survei primer, yaitu melalui pengisian quesioner yang di

sampaikan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi TPA sampah

Leuwinanggung, sebagai berikut:

1. Identitas Responden

Identitas responden yang ditanyakan terdiri atas umur responden, jenis

kelamin, pekerjaan, pendididkan, status kependudukan, lama bertempat

tinggal, status responden dalam keluarga, status rumah dan jumlah anggota

keluarga dan masing-masing jawaban yang disampaikan adalah sebagai

berikut:

a. Umur Responden

Pada umumnya responden berumur antara 31 sampai dengan 35 tahun (21%),

yang diikuti oleh mereka yang berumur antara 26 tahun sampai dengan 30

tahun (18%) dan yang berumur antara 36 tahun sampai dengan 40tahun

(17%). Paling sedikit responden yang mengemukakan adalah berumur antara

21 tahun sampai dengan 25 tahun (2%).


92

25 Kurang dari 20 th
21 21 - 25 th
20 18 17 26 - 30 th
31 - 35 th
15 36 - 40 th
11
9 41 - 45 th
10 8 7 46 - 50 th
4 51 - 55 th
5 3
2 56 - 60 th
lebih dari 60 th
0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.6
UMUR RESPONDEN

b. Jenis Kelamin

Perbandingan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan hampir seimbang,

yaitu laki-laki (58%) dan perempuan (42%).

58

60
42
50
Laki-laki
40
Perempuan
30
20
10
0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.7
JUMLAH RESPONDEN MENURUT JENIS KELAMIN
93

c. Pekerjaan/Mata pencaharian

Ditinjau dari pekerjaan/mata pencaharian responden di kawasan lokasi TPA

rencana cukup heterogen. Mata pencaharian responden di kawasan lokasi TPA

rencana pada umumnya adalah tukang ojek, sopir, pedagang dan tidak ada

pekerjaan (30%). Kemudian pekerjaan responden masing-masing sebesar 19%

adalah ibu rumah tangga dan bekerja pada instansi swasta (satpam, karyawan

toko), diikuti PNS/TNI/Polri sebesar 18% dan 10% merupakan buruh, baik

buruh pabrik maupun bangunan serta responden yang paling sedikit adalah

pelajar/mahasiswa sebesar 2 %.

30
30
Pelajar/Mahasiswa
25 19 19
18 Ibu Rumah tangga
20
PNS/TNI/POLRI
15 10 Swasta

10 buruh
4
Lainnya…….
5

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.8
JUMLAH RESPONDEN MENURUT PEKERJAAN

d. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah tamat SLTA (61%),

yang diikiuti dengan yang berpendidikan tamat SLTP (17%) dan yang

berpendidikan sarjana (15%). Tingkat pendidikan lainnya adalah tamat SD

(5%) dan Pasca Sarjana/S2 (2%)


94

70 61
Tidak TMT SD
60
Tamat SD
50
Tamat SLTP
40
Tamat SLTA
30 17
15
Sarjana
20 5
Lainnya
0 2
10
0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.9
JUMLAH RESPONDEN MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN

e. Status Kependudukan

Responden penduduk asli (kelahiran setempat) sebanyak (38 %) dan

pendatang sebanyak (62 %).

62
70
60 Penduduk asli
38
50
40
Pendatang
30
20
10
0

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.10
RESPONDEN MENURUT STATUS KEPENDUDUKAN
95

f. Lama Bertempat Tinggal

Pada umumnya para responden sUdah bertempat tinggal di rumahnya yang

saat ini lebih dari 10 tahun (48%), responden bertempat tinggal kurang dari 5

tahun (28%) diikuti oleh responden lama responden yang bertempat tinggal 6

sampai 10 tahun sebesar 24%.

48
50 0 - 5 tahun
40 28
24 6 - 10 tahun
30
10 tahun ke atas
20
10
0

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.11
RESPONDEN MENURUT LAMA

g. Status Responden Dalam Keluarga

Responden yang diwawancrai pada umumnya adalah Kepala Keluarga sendiri

(52%) dan istri kepala keluarga (34%) dan lainnya seperti anak, adik serta

mertua sebanyak 14 %.

52
60
Kepala Keluarga
34 Istri Kepala Keluarga
40
Lainnya
14
20

0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.12
STATUS RESPONDEN DALAM KELUARGA
96

h. Status Rumah

Status rumah responden pada umumnya adalah rumah sendiri (56%). Status

rumah orang tua (20%), rumah kontrak/sewa sebesar 19% dan diikuti status

rumah lainnya seperti rumah dinas sebesar 5%.

56
60

50 Rumah Sendiri

40 Kontrak/Sewa
Rumah Orang
30 19 20 Tua
Lainnya
20
5
10

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.13
STATUS RUMAH

I. Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga masing-masing responden di kawasan lokasi TPA

rencana, umumnya berjumlah 4 (empat) orang (38%), diikuti oleh jumlah

anggota keluarga 5 (lima) orang (25 %) dan jumlah anggota keluarga 3 (tiga)

orang adalah sebesar 21 %. Sedangkan jumlah anggota keluarga lebih dari 5

(lima) orang mencapai 11% dan jumlah anggota keluarga 2 (dua) orang

sebanyak 5%.
97

38 2 (dua) orang
40
35 3 (tiga) orang
30 25
21 4 (empat) orang
25
20 5 (lima) orang
11
15 Lebih dari 5 (lima)
5
10 orang
5
0

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.14
JUMLAH ANGGOTA KELUARGA

2. Sikap dan harapan masyarakat terhadap rencana lokasi TPA Leuwinanggung

Guna mengetahui sikap dan harapan masyarakat terhadap rencana lokasi TPA,

maka diajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan pengetahuan

responden terhadap rencana lokasi TPA yaitu, sikap masyarakat terhadap

Tempat Pembuangan Akhir Sampah, harapan masyarakat terhadap Tempat

Pembuangan Akhir Sampah, tanggapan masyarakat terhadap pengangkutan

sampah dan tanggapan masyarakat terhadap pemulung.

a. Pengetahuan responden terhadap rencana lokasi TPA

Untuk mengetahui pengetahuan responden terhadap rencana lokasi TPA,

maka diajukan pertanyaan, “Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengetahui, bahwa

di dalam Rencana Umum Wilayah (RTRW) Kota Depok, di sekitar tempat

tinggal anda telah direncanakan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Sampah?”
98

Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas menunjukan bahwa umumnya (91%)

responden tidak mengetahui rencana lokasi Tempat Pembuangan Akhir

Sampah di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan 8% responden tidak

memberikan jawabannya dan 1% mengetahuinya.

91
100 Mengetahui

80
Tidak Mengetahui
60
40 Tidak Memberi Jawaban
8
20 1
0

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.15
PENGETAHUAN RESPONDEN TERHADAP RENCANA LOKASI TPA

Ketika diajukan pertanyaan terhadap responden yang mengetahui rencana

lokasi TPA tersebut, maka jawaban yang disampaikan adalah diketahui dari

aparat pemerintah kota. Sedangkan alasan tidak mengetahui rencana tersebut

jawaban yang disampaikan beragam, pada umumnya (37,37%) atau 37

responden menyatakan tidak ada penjelasan dari pemerintah, tidak mengerti

tentang RTRW dijawab oleh 21,2% atau 21 responden, sebesar 19,19%

responden atau sebanyak 19 orang menyatakan tidak dilibatkan dalam

penyusunan RTRW, sebesar 13,13% atau sebanyak 13 responden tidak

menjawab pertanyaan, responden yang menjawab tidak mengikuti berita surat

kabar sebesar 8% atau sebanyak 8 responden sedangkan sebanyak 1 orang

atau 1% menjawab lainnya (tidak perduli).


99

Tdk mengikuti berita Srt


40 37
Kabar
Tdk ada penjelasan
30 dari pemerintah
Tidak dilibatkan dalam
21 penyusunan RTRW
19
20
Tidak mengerti tentang
13 RTRW
10 8 Tidak memberi jawaban

1 lainnya
0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.16
ALASANA TIDAK MENGETAHUI

b. Sikap masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah

Ditinjau dari sikap masyarakat terhadap TPA sampah, maka dilakukan

pertanyaan, “Apakah TPA bermanfaat untuk meningkatkan kebersihan Kota

Depok?”. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah 68% atau 68 orang

responden menyatakan bermanfaat dan 32 % atau 32 orang responden

menyatakan tidak bermanfaat.

80 68

60 Bermanfaat
32
40 Tidak Bermanfaat

20

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR. 3.17
SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MANFAAT TPA
100

Adapun alasan yang dikemukakan oleh responden yang menjawab bahwa

tempat pembuangan akhir sampah bermanfaat umumnya (72%) responden

atau sebanyak 49 orang menyatakan karena TPA dapat meningkatkan

kebersihan kota Depok, sebesar 16,17% responden atau sebanyak 11 orang

responden menjawab lebih dari satu jawaban, 7,35% atau 5 orang responden

memberi alasan bahwa TPA dapat mengurangi pencemaran lingkungan,

sebesar 2,94% atau sebanyak 2 orang responden menjawab karena sampah

dapat diolah dengan lebih baik dan 1,47% atau sebanyak 1 orang responden

menyatakan TPA dapat mengurangi dampak negatif. Dari 68 orang

responden tidak ada satupun responden yang mengemukakan alasan bahwa

TPA dapat mengurangi bau.

Dapat meningkatkan
49 Kebersihan Kota Depok
50
Sampah dapat diolah
dengan lebih baik dan
40 sehat
TPA dapat mengurangi
pencemaran lingkungan
30
TPA dapat mengurangi
bau
20
11 TPA dapat mengurangi
10 dampak negatif
5
2 1
0 lainnya, jika memilih
0 lebih dari 1 (satu)
jawaban

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.18
ALASAN TPA BERMANFAAT
101

Sedangkan responden yang menyatakan bahwa tempat pembuangan akhir

sampah tidak bermanfaat beralasan, bahwa sebesar 46,87% responden atau 15

orang menjawab lebih dari satu jawaban yang disampaikan, yaitu TPA dapat

menimbulkan bau, TPA dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, TPA

dapat menimbulkan suara bising.

Sebanyak 9 orang responden atau sebesar 25% mengemukakan alasan bahwa

TPA dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, 18,75% responden atau

sebanyak 6 orang memberi alasan bahwa TPA dapat menimbulkan bau dan

sebanyak 3 orang atau sebesar 9,37% responden menyatakan bahwa TPA

dapat menimbulkan suara bising.

15
15
TPA dapat menimbulkan
bau
TPA dapat menimbulkan
10 8 pencemaran lingkungan
6 TPA dapat menimbulkan
suara bising
5 3 lainnya, jika memilih lebih
dari 1 (satu) jawaban

0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.19
ALASAN TPA TIDAK BERMANFAAT

c. Harapan masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah

Untuk mengetahui harapan masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir

(TPA) sampah, diajukan pertanyaan: Bagaimana harapan anda terhadap

rencana Lokasi TPA?


102

Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas menunjukan bahwa lebih dari

separuh responden atau 58% mengatakan terdapat harapan terhadap TPA dan

42% mengatakan tidak harapan.

58
60

50 42
Terdapat Harapan
40
Tidak Terdapat
30 Harapan

20

10

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.20
HARAPAN MASAYARAKAT TERHADAP TPA

Alasan responden yang menilai bahwa terdapat harapan terhadap TPA adalah

agar kota Depok semakin bersih disampaikan oleh sebesar 46,15% responden

atau sebanyak 36 orang, diikuti dengan 21,79% responden atau sebanyak 17

orang memilih jawaban lebih dari satu, sebesar 17,95% responden atau

sebanyak 14 orang menyampaikan alasan agar pengangkutan sampah menjadi

lebih baik, sedangkan sebesar 5,12% responden atau sebanyak 4 orang

responden beralasan agar disiplin masyarakat dalam membuang sampah

semakin baik dan 1,28% responden menyatakan alasan karena TPA dapat

mengurangi bau.
103

Agar kota Depok semakin bersih


40
36
35 Pengangkutan sampah semakin
lebih baik
30

Agar disiplin masyarakat dalam


25
membuang sampah semakin baik
20 17
14 TPA dapat mengurangi bau
15

10
6 TPA dapat menyerap tenaga
4 kerja
5
1
0 lainnya, jika memilih lebih dari 1
(satu)
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.21
ALASAN TERDAPAT HARAPAN

d. Persepsi masyarakat terhadap pengangkutan sampah

Terhadap perkiraan pengangkutan sampah , para responden pada umumnya

mengatakan terganggu (75%). Hanya 25% yang mengatakan tidak terganggu.

75
80
Mengganggu
60
25 Tidak mengganggu
40
20
0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.22
TANGGAPAN MASYARAKAT
TERHADAP PENGANGKUTAN SAMPAH
104

Alasan yang dikemukakan bagi mereka yang menjawab terganggu pada

umumnya adalah karena jalan menuju lokasi TPA sempit dinyatakan oleh

sebesar 38,67% atau sebanyak 29 orang responden, diikuti oleh responden

(32%) menyampaikan alasan lebih dari satu, sebanyak 13,3% responden atau

10 orang menyampaikan alasan karena kelas jalan tidak sesuai dilalui truk, 8%

responden menyampaikan perkiraan bau sampah yang diangkut akan

mengganggu, sebanyak masing-masing 2 orang atau sebesar 2,67% responden

menyatakan lalu lalang truk menimbulkan debu dan akan merusak dinding

rumah, diikuti masing-masing sebanyak 1 orang responden (1,33%)

menyampaikan alasan lalu lalang truk akan menimbulkan bisisng dan rawan

kecelakaan.

Bau sampah yang diangkut


30 29

Jalan Sempit
25 24
Lalu lalang truk menimbulkan
debu
20
Lalu lalang truk menimbulkan
bising
15 Rawan Kecelakaan

10 Kelas jalan tidak sesuai dilalui


10
truk
6 Akan merusak dinding rumah
5
2 2
1 1 lainnya, jika memilih lebih dari 1
(satu) jawaban
0

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.23
ALASAN TERGANGGU PENGANGKUTAN SAMPAH
105

Sedangkan alasan yang dikemukakan responden yang tidak terganggu oleh

lalu lalang truk, karena demi menjaga kebersihan disampaikan oleh sebanyak

15 orang atau sebesar 60% responden, diikuti sebesar 7% responden

menyampaikan jawaban lebih dari satu dan sebesar 12% menyampaikan

karana konsekuensi dari pembangunan.

15
16
14 Demi Menjaga
Kebersihan
12
10
7 Konsekuensi Dari
8 Pembangunan
6
3
4 Lainnya, Jika
memilih dari 1
2 jawaban
0

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.24
ALASAN TIDAK TERGANGGU PENGANGKUTAN SAMPAH

e. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan pemulung

Ditinjau dari persepsi masyarakat terhadap kegiatan pemulung, kepada

responden ditanyakan, Apakah saudara mengetahui kegiatan pemulung yang

biasa terdapat di TPA sampah?

Jawaban terhadap pertanyaan di atas, seabanyak 60 orang (60%) responden

menjawab tidak mengetahuinya dan sebanyak 40 orang responden menjawab

mengetahui kegiatan pemulung.


106

60

60
50 40 Mengetahui

40 Tidak mengetahui

30
20
10
0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.25
PENGETAHUAN TENTANG KEGIATAN PEMULUNG

Kepada responden ditanyakan juga, “Jika TPA telah beroperasi, bagaimana

perkiraan saudara tentang kegiatan pemulung?”. Pada umumnya responden

(43%) menjawab terganggu, 37% responden menjawab tidak terganggu dan

20% responden tidak menjawab.

50 43
37
40 Mengganggu
Tidak mengganggu
30
20 Tidak menjawab
20

10

0
Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.26
PENDAPAT MASYARAKAT TENTANG KEGIATAN PEMULUNG
107

Alasan yang dikemukakan oleh responden yang memperkirakan bahwa

kegiatan pemulung akan mengganggu, pada umumnya karena pemulung akan

mengganggu keamanan (69,77%), sebesar 16,27% responden beralasan

pemulung dapat menyebabkan sampah tercecer dan sebesar 13,95% responden

menjawab lebih dari satu jawaban.

30

30 Pemulung akan
mengganggu
keamanan
25
20 Pemulung dapat
menyebabkan
15 sampah tercecer

7
10 6 lainnya, jika memilih
lebih dari 1 (satu)
5 jawaban

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.27
ALASAN TERGANGGU OLEH PEMULUNG

Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh responden yang memperkirakan

bahwa kegiatan pemulung tidak akan mengganggu, pada umumnya karena

pemulung akan dapat memanfaatkan barang-barang yang tidak berguna

(35,90%) atau sebanyak 14 orang, sebesar 28,20% responden atau sebanyak

11 orang beralasan pemulung mencari makan untuk dirinya dan sebesar

23,10% atau sebanyak 9 orang responden menjawab lebih dari satu jawaban,

serta sebesar 12,80% atau sebanyak 5 orang responden menjawab bahwa

pemulung dapat menciptakan lapangan pekerjaan.


108

14
14 Pemulung mencari makan
untuk dirinya
12 11
Pemulung dapat
10 9
memanfaatkan barang-
barang yang tidak berguna
8
Pemulung menciptakan
6 5 lapangan kerja

4 lainnya, jika memilih lebih


dari 1 (satu) jawaban
2

Sumber: Penelitian 2006

GAMBAR 3.28
ALASAN TIDAK TERGANGGU OLEH PEMULUNG

C. Kepadatan Penduduk

Berdasarkan pertumbuhan penduduk secara umum mengalami

pertumbuhan sebesar 2,73% per tahun pada periode waktu 19994-1998. Jika

dilihat dari kepadatan bangunan lokasi TPA Leuwinanggung berada pada

kepadatan sedang yaitu antara 45-60%.

3.7 Volume Sampah Kota Depok

Jumlah timbulan sampah di Kota Depok dapat di lihat pada Tabel III.1.

dan III.2. Berdasarkan proyeksi timbulan sampah kota Depok tahun 2001 -2010,

pada tahun 2006 timbulan sampah kota Depok akan mencapai 3.620 m³.

Rekapitulasi proyeksi timulan sampah kota Depok dapat dilihat pada Tabel III.3.
109

TABEL III.1
TIMBULAN SAMPAH DOMESTIK
KOTA DEPOK TAHUN 2000 (M³/Hari)

No Kecamatan Jumlah Jumlah KK Volume Sampah


Penduduk (lt/hari)
1 Pancoran Mas 184.407 36.881 488.679
2 Beji 87.317 17.463 231.390
3 Sukmajaya 232.906 46.581 617.201
4 Sawangan 112.853 22.571 299.060
5 Limo 86.288 17.258 228.663
6 Cimanggis 269.265 53.853 713.552
Jumlah 973.036 194.607 2.578.545
Sumber : Bappeda Kota Depok

TABEL III.2
TIMBULAN SAMPAH NON DOMESTIK
KOTA DEPOK TAHUN 2000 (M³/Hari)

No Kecamatan Pasar Toko/ Jalan Sekolah Jumlah


Komersial (lt/hari)
1 Pancoran 1 35 0,30 3 40
Mas
2 Beji 8 12 0,53 1 22
3 Sukmajaya 6 26 0,84 11 44
4 Sawangan 16 2 18
5 Limo 12 1 13
6 Cimanggis 2 26 5 33
Jumlah 17 126 2 23 170
Sumber : Bappeda Kota Depok

TABEL III.3
PROYEKSI TIMBULAN SAMPAH KOTA DEPOK TAHUN 2001 - 2010
(M³/hari)

No Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1. Domestik 2.674 2.773 2.875 2.982 3.092 3.207 3.325 3.448 3.576 3.708

270 306 341 377 413 437 485 521 558


2. Non 242
Domestik

Sumber : Bappeda Kota Depok


110

3.8 Permasalahan Pengelolaan Persampahan di Kota Depok

Fakta bahwa sampah warga Kota Depok yang tidak terlayani mencapai

75 % hingga 85 % dan banyaknya TPS/TPA liar, mengindikasikan bahwa kinerja

pengelolaan sampah di Kota Depok belum memenuhi harapan. Permasalahan

yang terjadi dalam pengelolaan Persampahan di Kota Depok disebabkan oleh hal-

hal sebagai berikut:

(1) Kekurangan armada/truk;

(2) Rendahnya partisipasi masyarakat terhadap persoalan pengelolaan sampah;

(3) Kekurangan dana;

(4) Kurangnya sosialisasi kepada warga masyarakat mengenai tanggung jawab

pengelolaan kebersihan;

(5) Kelemahan yang dimiliki Peraturan Daerah Kota Depok No 44Tahun 2000

tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan diantaranya adalah

kurang dapat diterapkan di lapangan;

(6) Pengelolaan retribusi yang tidak profesional dan transparan.

(7) Adanya tekanan dari atasan berupa target yang harus dipenuhi dan

merupakan salah satu tolok ukur kinerja pengelola persampahan;

(8) Terbatasnya lahan TPA;

(9) Penyediaan biaya perawatan armada sering terlambat;

(10) Tidak adanya landasan hukum yang jelas bagi pelanggar estetika kebersihan,

misalnya membuang sampah sembarangan;

(11) Lemahnya teknik perencanaan program pengelolaan kebersihan dan belum

terbangunnya sistem manajemen data persampahan;

(12) Kurangnya jumlah personil yang profesional;

(13) Belum berkembangnya alternatif-alternatif penanganan sampah di tingkat

warga masyarakat.
BAB IV
ANALISIS KELAYAKAN LOKASI
TPA SAMPAH LEUWINANGGUNG

Guna menstrukturkan proses analisis maka tahapan analisis kelayakan

lokasi TPA sampah Leuwinanggung dapat dilihat pada kerangka analisis (gambar

4.1) sebagai berikut:

INPUT PROSES OUTPUT

• SK SNI T-11-1991-03
• Kriteria Internasional
Metode Analisis
• Konsep Teori Komparatif (Deskriptif)
Kriteria Terbangun
• Fenomena Empirik

Identifikasi persepsi Persepsi Masyarakat


Metode Analisis Prekuensi
masyarakat (Baik dan Buruk)
(Deskriptif)

Identifikasi volume Metode Analisis


timbulan sampah dan Kapasitas Lahan
Kuantitatif
rencana pelayanan

Metode Analisis Kelayakan Lokasi


• Kondisi Lingkungan TPA Sampah
Kuantitatif
• Sosial Kemasyarakatan (Skoring) Leuwinanggung
Sumber: Peneliti 2006
GAMBAR 4.1
KERANGKA ANALISIS

1.1 Analisis Kritis Terhadap Kriteria SNI

Analisis kritis terhadap kriteria SK SNI T-11-1991-03 tentang pemilihan

lokasi TPA dimaksudkan guna mengkritisi kriteria SNI tentang pemilihan lokasi

111
112

TPA sampah untuk mendapatkan kriteria optimal yang dapat diterapkan pada

waktu dan kondisi yang sedang berkembang saat ini. Dasar dari analisis ini

adalah membandingkan antara aspek-aspek yang diatur dalam kriteria SNI dengan

kondisi empirik yang terjadi dibeberapa TPA, serta kriteria-kriteria yang diatur

dibeberapa negara, dalam hal ini Inggris Raya dan Amerika Serikat.

Aspek-aspek yang menjadi bahasan dalam evaluasi ini adalah batas

administrasi, pemilikan hak atas lahan dan jumlah pemilik lahan, tanah (di atas

muka air tanah) dan air tanah, bahaya banjir dan intensitas hujan, kawasan

konservasi dan resapan air/tangkapan hujan, cagar budaya/situs-situs sejarah,

mengandung bahan tambang atau mudah terbakar/meledak, partisipasi masyarakat

dan persepsi masyarakat.

Tabel IV.1 menampilkan perbandingan kriteria pemilihan lokasi TPA

sampah antara SK SNI T-11-1991-03; kriteria internasional (Inggris Raya dan

Amerika Serikat) dan fenomena empirik serta landasan teori. Pada tabel tersebut

diperlihatkan beberapa parameter-parameter yang telah diatur dalam SK SNI T-

11-1991-03 dan parameter-parameter yang diatur dalam kriteria di beberapa

negara (internasional) juga landasan teori serta fenomena empirik (permasalahan

TPA selama ini) yang terjadi pada operasionalisasi di beberapa TPA di Indonesia

selama ini. Permasalahan-permasalahan/kelemahan-kelemahan TPA yang akan

dikemukakan antara lain, adalah yang terjadi di lokasi TPA sampah Bantargebang

dan TPA sampah Leuwigajah.


113
114
115
116
117
118

4.1.1 Batas Administrasi

Indikator–indikator yang termasuk parameter batas administrasi yang di

atur dalam SK SNI, terdiri atas:

(1) Dalam batas administrasi

(2) Di luar batas administrasi tetapi dalam satu sistem pengelolaan TPA

sampah terpadu.

(3) Di luar batas administrasi.

(4) Di luar sistem pengelolaan TPA sampah terpadu dan di luar batas

administrasi.

Parameter batas administrasi tidak diatur dalam kriteria di beberapa

negara (internasional), namun persoalan utama yang terjadi berkaitan dengan

persyaratan parameter batas administrasi seperti yang diperlihatkan pada tabel

IV.1 adalah adanya kerjasama antar pemerintah DKI Jakarta dengan pemerintah

kabupaten Bekasi mengenai penggunaan lahan untuk sebuah lokasi TPA sampah.

Kerjasama di atas merupakan kerjasama pemanfaatan lahan untuk sebuah lokasi

TPA, dan tidak terdapat indikasi adanya kerjasama pengelolaan TPA secara

terpadu yang melibatkan koordinasi antar pemerintah daerah DKI Jakarta dengan

pemerintah kabupaten Bekasi.

Penggunaan lahan seperti di atas pada kasus TPA Bantargebang,

berkembang menjadi penguasaan lahan, artinya lahan tersebut menjadi milik

pemerintah DKI Jakarta yang memanfaatkan lahan untuk sebuah lokasi TPA di

luar batas administrasinya. Kepemilikan lahan di luar batas administrasi DKI

Jakarta, dalam hal pengelolaan TPA Bantar gebang cenderung mengabaikan

fungsi-fungsi teknologi pembuangan sampah yang berlaku, sehingga


119

mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan dan konflik antar pemerintah

daerah di atas, serta terjadinya konflik dengan masyarakat di sekitar lokasi TPA

yang bersangkutan.

Melihat kenyataan seperti tersebut di atas, maka dalam penetapan lokasi

TPA sampah di luar batas administrasi, baik pengelolaan TPA terpadu maupun

tidak terpadu cenderung mempunyai nilai negatif lebih besar dibandingkan

dengan parameter di dalam batas administrasi. Namun menurut Direktur Jenderal

Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Kimpraswil (2004), dalam upaya mengatasi

ketersediaan lahan di kota-kota di Indonesia pada dewasa ini, diperlukan

kerjasama pengelolaan persampahan secara terpadu dan berkesinambungan dan

tidak tepat kalau masalah lingkungan hidup itu bersifat lintas batas administratif.

Guna membandingkan fenomena kriteria SK SNI dengan fenomena empirik dan

landasan teori di atas tentang parameter ini, pada Tabel IV.2, diperlihatkan

keuntungan dan kelemahan masing-masing indikator batas administrasi tersebut.

TABEL IV.2
KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN
INDIKATOR BATAS ADMINISTRASI

Indikator Keuntungan Kelemahan


• Dalam batas • Pengelolaan TPA • Lahan yang terbatas
administrasi, dilakukan sendiri • SDM terbatas Pengelolaan
berdasrkan SK SNI • Terhindar dari konflik TPA cenderung tidak
mempunyai bobot dengan wilayah dan profesional.
nilai 10 (sepuluh) masyarakat di luar • Dampak negatif terhadap
kewenangannya lingkungan
• Meningkatkan kegiatan • Menurunnya nilai lahan
ekonomi masyarakat • Keamanan dan kenyamanan
penduduk terganggu
• Konflik kepentingan dengan
masyarakat
120

TABEL IV.2 Lanjutan


KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN
INDIKATOR BATAS ADMINISTRASI

Indikator Keuntungan Kelemahan

• Landasan hukum cenderung


tidak jelas dalam pengelolaan
TPA
• Perlu disiapkan sumber daya
manusia yang handal
• Perlu mempersiapkan
peralatan pengelolaan TPA
• Perlu pengalokasian dana yang
lebih besar untuk operasional
TPA

• Di luar batas • Mengatasi keterbatasan • Adanya kegagalan pengelola


administrasi tetapi lahan dalam menjalankan peraturan
dalam satu sistem • Pengelolaan TPA tentang kerjasama antar
pengelolaan TPA cenderung profesional pemerintah daerah dan
sampah terpadu • Dampak negatif terhadap ketentuan-ketentuan
bobot nilai 5 (lima). lingkungan dapat pengelolaan TPA.
diminimalisir • Tidak terpenuhinya kebutuhan
• Tidak ada dampak biaya pengelolaan, yang juga
terhadap penurunan nilai dapat mengakibatkan
lahan oleh pengelolaan terjadinya penyimpangan
TPA di wilayah sendiri pengelolaan yang sesuai
• Landasan hukum dengan ketentuan teknis yang
kerjasama pengelolaan disyaratkan.
TPA cenderung jelas • Terjadinya pengabaian fungsi-
• Keamanan dan fungsi teknologi tentang
kenyamanan penduduk di pengelolaan sampah yang
wilayah sendiri tidak disebabkan oleh tidak adanya
terganggu kemampuan berteknologi,
• pengalokasian dana untuk atau dapat juga disebabkan
operasional TPA relatif karena keterbatasan biaya
kecil pengelolaan.
• Tidak terjadi konflik
kepentingan dengan
masyarakat sendiri
• Tidak perlu
mempersiapkan sumber
daya manusia yang
handal
121

TABEL IV.2 Lanjutan


KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN
INDIKATOR BATAS ADMINISTRASI

Indikator Keuntungan Kelemahan


• Tidak perlu
mempersiapkan peralatan
pengelolaan TPA.

• di luar batas • Mengatasi keterbatasan • Adanya kegagalan pengelola


administrasi dan di lahan dalam menjalankan peraturan
luar sistem tentang kerjasama antar
pengelolaan TPA pemerintah daerah dan
sampah terpadu dan ketentuan-ketentuan
di luar batas pengelolaan TPA.
administrasi, bobot • Tidak terpenuhinya kebutuhan
nilai 1(satu) biaya pengelolaan, yang juga
dapat mengakibatkan
terjadinya penyimpangan
pengelolaan yang sesuai
dengan ketentuan teknis yang
disyaratkan.
• Terjadinya pengabaian fungsi-
fungsi teknologi tentang
pengelolaan sampah yang
disebabkan oleh tidak adanya
kemampuan berteknologi,
atau dapat juga disebabkan
karena keterbatasan biaya
pengelolaan.
• Terjadinya konflik antar
pemerintah daerah
• Terjadinya konflik dengan
masyarakat sekitar lokasi TPA

Sumber : Peneliti 2006

Berdasarkan kajian di atas dapat diketahui, bahwa pada kasus TPA

Bantargebang permasalahan utama yang muncul adalah dalam pengoperasian

TPA tidak terjadi koordinasi antar pemerintah DKI dengan pemerintah kabupaten

Bekasi dan antar pengelola TPA dengan pemerintah kabupaten Bekasi di dalam

pengelolaan TPA. Dalam hal tidak adanya koordinasi tersebut maka kerjasama
122

antar pemerintah DKI dengan pemerintah kabupaten Bekasi bukan merupakan

kerjasama terpadu dalam pengelolaan TPA sampah, melainkan hanya merupakan

kerjasama dalam penyediaan lahan untuk lokasi TPA.

Berdasarkan tabel IV.2 dapat diperlihatkan bahwa pada indikator di luar

batas administrasi dengan sistem pengelolaan terpadu lebih menguntungkan

dibandingkan dengan indikator di dalam batas administrasi. Hal lain berdasarkan

landasan teori dikatakan bahwa tidak tepat kalau masalah lingkungan hidup itu

bersifat lintas batas administratif.

Oleh karenanya maka kritik terhadap parameter batas administrasi adalah

bahwa kepentingan indikator di luar batas administrasi tetapi dalam satu sistem

pengelolaan TPA sampah terpadu mempunyai nilai kepentingan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan indikator dalam batas administrasi sehingga bobot nilai

indikator di luar batas administrasi tetapi dalam satu sistem pengelolaan TPA

sampah terpadu merupakan bobot nilai yang paling tinggi, yaitu 10 (sepuluh).

Dalam hal makna yang sama antara indikator di luar batas administrasi

dengan di luar sistem pengelolaan TPA sampah terpadu dan di luar batas

administrasi, maka indikator yang dipergunakan dalam parameter ini hanya

parameter di luar sistem pengelolaan TPA sampah terpadu dan di luar batas

administrasi.

4.1.2 Pemilikan hak atas lahan dan Jumlah pemilik lahan

Pada tabel IV.1, diperlihatkan bahwa dalam kasus TPA Bantar gebang

Lahan dan semua fasilitas TPA Bantar gebang menjadi aset DKI Jakarta, yang

berarti kepemilikan hak atas lahan merupakan milik pemerintah DKI Jakarta,
123

namun pengoperasian TPA dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan

ketentuan teknis yang disyaratkan dengan alasan keterbatasan biaya, maka terjadi

pencemaran lingkungan sehingga menyebabkan adanya konflik antara pengelola

TPA dengan masyarakat sekitar lokasi TPA.

Sejalan dengan fenomena di atas, menurut landasan teori dinyatakan

bahwa pada penggunaan lahan yang terbatas perlu dilakukan identifikasi dan

pemecahan masalah silang atau benturan kepentingan antara individu dan

kepentingan umum (Arsyad 1989 dalam Triutomo 1995:22). Oleh karenanya

guna mengoperasionalkan kegiatan TPA dengan optimal maka perlu dihindari

benturan kepentingan antara individu dan kepentingan umum.

Berdasarkan pada kasus TPA Bantar gebang dapat disimpulkan bahwa

benturan kepentingan dapat saja terjadi, walaupun kepemilikan lahan merupakan

milik pemerintah, artinya penguasaan lahan baik oleh pemerintah maupun oleh

masyarakat secara perorangan berapa pun jumlah kepemilikannya, mempunyai

potensi yang sama terjadinya konflik jika pengelolaan TPA tidak sesuai dengan

ketentuan teknis yang disyaratkan.

Penguasaan lahan untuk sebuah lokasi TPA sangat tergantung kepada

kepemilikan lahan yang akan dipergunakan. Menurut SK SNI parameter

pemilikan hak atas lahan dan parameter jumlah pemilik lahan merupakan 2 (dua)

parameter yang terpisah. Sedangkan jika dicermati dari makna kedua parameter

tersebut, maka parameter jumlah pemilik lahan mempunyai makna yang sama

dengan parameter pemilikan hak atas lahan, sehingga untuk kedua parameter ini

dapat dipilih salah satu diantaranya.


124

4.1.3 Tanah (di atas muka air tanah) dan Air tanah

Lapisan tanah dasar TPA harus kedap air, hal ini dimaksudkan untuk

menghambat daya resap lindi yang dihasilkan dalam pengelolaan sampah,

sehingga tidak mencemari air tanah. Terkontaminasinya air tanah oleh air lindi

sangat tergantung pada permibilitas tanah yang disyaratkan dalam kriteria SK SNI

yaitu dengan harga kelulusan < 10-6 cm/det atau dengan harga kelulusan 10-6

cm/det - 10-9 cm/det (tabel IV.1). Jika harga kelulusan tidak terpenuhi, maka

diperlukan masukan teknologi.

Pengamatan terhadap permasalahan pengelolaan TPA, biaya

pemusnahan sampah yang relatif tinggi di Indonesia dewasa ini, mengakibatkan

meningkatnya penggunaan metoda pembuangan sampah dengan metode open

dumping. Pembuangan sampah dengan metode open dumping dapat

menimbulkan beberapa dampak negatip terhadap lingkungan. Pada

penimbunan sampah dengan sistem anaerobik landfill akan timbul leachate

(lindi) di dalam lapisan timbunan dan akan meresap ke dalam lapisan tanah di

bawahnya. Leachate ini sangat merusak dan dapat menimbulkan bau tidak

enak.

Teknologi pembuangan sampah telah berkembang, salah satu

pengembangan dari metode metode pembuangan sampah adalah metode sanitary

landfill (improved sanitary landfill), yaitu model "Reusable Sanitary Landfill

(RSL)”. RSL merupakan teknologi penyempurna sistem pembuangan sampah

yang berkesinambungan dengan menggunakan metode supply ruang

penampungan sampah padat. RSL diyakini dapat mengontrol emisi liquid, atau
125

air resapan sampai dengan tidak mencemari air tanah. Cara kerja metode ini

adalah, sampah ditumpuk dalam satu lahan, kemudian lahan tempat sampah

dipadatkan, padatan tanah ini dikatakan sebagai ground liner. Ground Liner

dilapisi dengan geomembran, lapisan ini yang akan menahan meresapnya air lindi

ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Di atas lapisan geomembran dilapisi

lagi geo textile yang gunanya menahan kotoran sehingga tidak bercampur dengan

air lindi.

Mengamati hal tersebut di atas maka persyaratan permibilitas tanah bagi

pengelolaan sampah di TPA dengan metode improved sanitary landfill dapat

diabaikan. Terkontaminasinya air tanah oleh air lindi sangat tergantung pada

permibilitas tanah dan masukan teknologi yang diterapkan. Oleh karenanya, jika

persyaratan permeabilitas tanah dan masukan teknologi telah terpenuhi maka

parameter air tanah tidak diperlukan lagi.

4.1.4 Bahaya Banjir dan Intensitas Hujan

Menurut SK SNI parameter bahaya banjir dan parameter intensitas hujan

merupakan 2 (dua) parameter yang berbeda. Sedangkan menurut Kanwil PU DKI

Jakarta (1997) untuk menghitung debit banjir rencana tahunan sangat dipengaruhi

oleh koefisien run off, intensitas hujan dan luas daerah pengaliran.

Pengamatan terhadap permasalahan pada TPA Leuwigajah, bahwa

terjadinya longsor disebabkan terjadinya up-lift akibat akumulasi air yang

terbentuk di timbunan sampah pada musim hujan sehingga sampah bergerak.

Banjir adalah kejadian yang disebabkan kondisi alam setempat, misalnya

curah hujan yang relatif tinggi, kondisi topografi yang landai dan adanya

pengaruh back water dari sungai dan atau air laut. Disamping itu banjir dapat
126

disebabkan karena besarnya limpasan aliran permukaan (run off) akibat kurangnya

ruang infiltrasi bagi air.

Melihat hal tersebut di atas maka salah satu sebab terjadinya banjir

adalah adanya curah hujan yang relatif tinggi. Untuk menghitung debit banjir

rencana tahunan sangat dipengaruhi oleh koefisien run off, Intensitas hujan dan

luas daerah pengaliran. Oleh karenanya terdapat hubungan erat antara bahaya

banjir dengan intensitas hujan, yaitu untuk dapat memperkirakan bahaya banjir

tahunan perlu dilakukan penghitungan besarnya intensitas hujan. Artinya jika

telah diketahui bahaya banjir tahunan, maka besarnya intensitas hujan telah

diketahui terlebih dahulu. Dengan demikian parameter intensitas hujan tidak

perlu dicantumkan kembali dalam kriteria.

4.1.5 Kawasan konservasi dan resapan air/tangkapan hujan

Perkembangan orientasi pergeseran perkembangan dan pertumbuhan

fisik kota merupakan faktor penentu terbentuknya struktur tata ruang kota. Guna

melakukan upaya terhadap terbentuknya tata ruang kota yang tidak terkendali

diperlukan pengaturan penggunaan lahan di setiap ruangnya. Salah satu bentuk

dari pemanfaatan, penggunaan dan pengembangan lahan adalah peruntukan lahan

sebagai kawasan konservasi dan resapan/tangkapan hujan.

Kuantitas air tidak pernah berubah dari masa ke masa, namun

penggunaan air semakin hari semakin meningkat dan kualitas air semakin

menurun. Oleh karenanya melalui pengaturan ruang kegiatan konservasi adalah

sebagai upaya untuk keberlangsungan ketersediaan air dengan kualitas yang baik

dan kontinyu.
127

Pada pengalokasian ruang perlu memperhatikan kemampuan lahan yang

lebih yang ditekankan pada perhatian terhadap potensi atau kapasitas lahan itu

sendiri untuk suatu penggunaan tertentu. Pengalokasian ruang untuk lokasi TPA

sampah hendaknya tidak mengganggu upaya untuk meningkatkan

keberlangsungan ketersediaan air.

Dalam SK SNI tidak mengatur tentang parameter daerah konservasi/

resapan air. Sedangkan berdasarkan kajian terhadap landasan teori di atas, maka

di dalam pengalokasian ruang untuk suatu kegiatan perlu memperhatikan potensi

dan kapasitas lahan untuk kegiatan tertentu. Dalam hal ini pada pengalokasian

ruang untuk lokasi TPA sampah hendaknya memperhatikan potensi dan kapasitas

lahan untuk daerah konservasi air/ resapan air, seperti telah diatur dalam kriteria

pemilihan lokasi TPA sampah di Inggris Raya.

4.1.6 Kebisingan dan bau serta estetika

Penggunaan lahan pada lahan yang terbatas, antara lain dapat dilakukan

melalui: (1) Mencari dan memilih alternatif yang sesuai dengan kebutuhan dan

(2) Merencanakan sesuai dengan perubahan yang diinginkan. Terjadinya

perubahan yang diinginkan dan memilih alternatif yang sesuai dengan kebutuhan

di atas, merupakan pertimbangan yang dilakukan dalam tahap perencanaan

termasuk perencanaan dalam pemilihan lokasi TPA sampah.

Pengaturan parameter kebisingan dan bau serta estetika di dalam kriteria

pemilihan lokasi TPA sampah berdasarkan SK SNI mempunyai makna bahwa

TPA yang bersangkutan telah operasional dan TPA tersebut tidak berada pada

tahap perencanaan, hal ini disebabkan bahwa bising dan bau serta estetika lokasi
128

TPA sampah akan terjadi pada saat TPA operasional. Oleh karenanya kedua

parameter tersebut dapat dipertimbangkan bukan sebagai salah satu kriteria dalam

pemilihan lokasi tetapi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu syarat teknis

operasional TPA.

4.1.7 Cagar budaya/situs-situs sejarah

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 5 tahun 1992, situs

diartikan sebagai lokasi yang mengandung atau diduga mengandung cagar budaya

termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Menyikapi hal

tersebut lokasi TPA sampah hendaknya tidak berada pada lokasi situs

sejarah/cagar budaya sehingga baik langsung maupun tidak langsung dapat

merusak keberadaannya, oleh karenanya kriteria pemilihan lokasi TPA sampah

hendaknya dapat mempertimbangkan parameter keberadaan Cagar budaya/situs

sejarah, seperti telah diatur dalam kriteria pemilihan lokasi TPA sampah di

Inggris Raya.

4.1.8 Mengandung bahan tambang atau mudah terbakar/meledak

Tumpukan Sampah di TPA dapat menghasilkan gas methan dan bahan-

bahan kimia lainnya yang mudah terbakar, oleh karenanya jika di lokasi TPA

terdapat/ mengandung bahan-bahan tambang yang mudah terbakar dan meledak

maka akan terjadi kebakaran dan ledakan. Ledakan gas akibat proses kimiawi

sampah telah terjadi di TPA Leuwigajah Cimahi/Bandung. Sehingga kriteria SNI

dapat mempertimbangkan parameter mengandung bahan tambang atau mudah

terbakar/meledak, seperti telah diatur dalam kriteria pemilihan lokasi TPA

sampah di Amerika Serikat.


129

4.1.9 Partisipasi Masyarakat

Indikator partisipasi masyarakat dalam pemilihan lokasi TPA sampah

berdasarkan SK SNI terdiri atas: (1) Spontan, (2) digerakan dan (3) negosiasi.

Spontan dapat bermakna bahwa keterlibatan masyarakat didasarkan atas

kesukarelaan, tanpa paksaan dan dilakukan pada saat diperlukan partisipasi.

Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi di TPST Bojong telah

terjadi pengabaian terhadap partisipasi masyarakat. Masyarakat Bojong dalam

kasus TPST telah meminta dilibatkan dalam pelaksanaan AMDAL TPST, namun

hal ini tidak dipenuhi oleh pengelola TPST dan pemerintah DKI Jakarta serta

pemerintah kabupaten Bogor. Disamping itu, pada pemilihan dan penetapan

lokasi TPA sampah di Indonesia umumnya dilaksanakan pada masa sebelum

reformasi, artinya perencanaan pembangunan masih bersifat top down, dalam hal

ini masyarakat hanya dapat menerima produk pembangunan dari pemerintah.

Menurut kajian teori, terdapat tiga tipe partisipasi, yaitu 1) tidak ikut

serta/tidak ada partisipasi (non participation); 2) tingkat penghargaan atau

formalitas/tinggal menerima beberapa ketentuan (degrees of tekonism) dan 3)

tingkat kekuatan masyarakat/masyarakat mempunyai kekuasaan (degrees of

citizen power). Oleh karenanya, maka berdasarkan kajian di atas terhadap

parameter partisipasi masyarakat adalah menjadi: (1) Spontan, (2) Partisipasi

dengan ketentuan dan (3) Tidak ada partisipasi.

4.1.10 Persepsi Masyarakat

Persepsi merupakan tanggapan atau pengertian yang terbentuk langsung

dari suatu peristiwa. Persepsi merupakan suatu proses berpikir dari seseorang

terhadap lingkungannya yang digunakan untuk menafsirkan lingkungan sekitarnya

tersebut.
130

Melalui penilaian seseorang terhadap kondisi suatu obyek yang

bermasalah di lingkungannya, maka ia akan memberikan bentuk penyelesaian

terhadap permasalahan tersebut. Penilaian seseorang atau sekelompok orang

terhadap TPA terjadi di lokasi TPST Bojong, warga sekitar TPST Bojong telah

menilai bahwa dengan keberadaan TPA Bantargebang telah menyebabkan

berbagai persoalan lingkungan yang berdampak terhadap masyarakat, khususnya

dampak yang disebabkan oleh keberadaan pemulung, oleh karenanya maka

masyarakat Bojong menilai bahwa dengan kehadiran TPST pun akan

mengakibatkan persoalan yang sama sehingga warga melakukan tindakan yang

mengakibatkan terhentinya operasional TPST.

Fenomena empirik terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di beberapa

lokasi pembuangan sampah di atas (Bantargebang dan TPST Bojong), maka

persepsi masyarakat terhadap lokasi TPA perlu menjadi pertimbangan di dalam

penetapan sebuah lokasi TPA sampah. Oleh karenanya persepsi masyarakat dapat

dimasukan sebagai salah satu parameter dalam kriteria pemilihan lokasi TPA

sampah.

4.1.11 Sintesa analisis kritis terhadap kriteria SK SNI

Beberapa analisis kritis dilakukan terhadap parameter yang diatur dalam

Kriteria SK SNI T-11-1991-03 tentang pemilihan Lokasi TPA. Analisis kritis

yang dilakukan, menghasilkan beberapa pengurangan, penyesuaian dan

penambahan terhadap parameter SK SNI. Pengurangan yang diusulkan terhadap

beberapa parameter SK SNI, yaitu terhadap parameter (1) jumlah pemilik lahan,

(2) intensitas hujan, (3) kebisingan dan bau, (4) estetika, serta (5) parameter-
131

parameter yang terkait dengan air tanah, yaitu dapat dilakukan pada kondisi

masukan teknologi telah terpenuhi.

Sedangkan hasil analisis kritis yang merupakan penyesuaian dilakukan

terhadap (1) parameter batas administrasi, yaitu terhadap bobot nilai indikator di

luar batas administrasi tetapi dalam satu sistem pengelolaan TPA sampah

terpadu dan di dalam batas administrasi dan (2) parameter partisipasi masyarakat,

yaitu indikator partisipasi masyarakat dari spontan, digerakan dan negosiasi

menjadi: spontan, partisipasi dengan ketentuan dan tidak ada partisipasi.

Disamping itu berdasarkan analisis kritis dengan membandingkan antara

kriteria SK SNI dan kriteria di beberapa negara, diusulkan beberapa penambahan

parameter, yaitu (1) kawasan konservasi dan resapan air, (2) cagar budaya/situs-

situs sejarah dan (3) lokasi mengandung bahan tambang dan mudah meledak.

Sedangkan berdasarkan fenomena empirik di beberapa TPA di Indonesia

penambahan parameter yang diusulkan untuk dipertimbangkan masuk dalam

kriteria pemilihan lokasi TPA sampah adalah parameter persepsi masyarakat.

Hasil dari analisis kritis tersebut dapat dilihat pada tabel IV.3.

1.2 Identifikasi Persepsi Masyarakat terhadap Lokasi TPA Rencana

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya permasalahan dalam

operasional lokasi Tempat Pembuangan Sampah adalah adanya persepsi buruk

masyarakat terhadap pengelolaan sampah di lokasi tersebut yang menyebabkan

terganggunya keseimbangan lingkungan. Persepsi masyarakat terhadap

lingkungannya digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk menafsirkan

lingkungan sekitarnya tersebut.


132
133
134
135
Guna mengetahui sejauhmana persepsi dan preferensi masyarakat

terhadap lokasi rencana TPA Leuwinanggung, maka diajukan serangkaian

pertanyaan-pertanyaan, tentang pengetahuan responden terhadap rencana lokasi

TPA, sikap masyarakat terhadap rencana TPA, harapan masyarakat terhadap

TPA, tanggapan masyarakat terhadap pengangkutan sampah dan tanggapan

masyarakat terhadap pemulung, lihat lampiran I.

4.2.1 Pengetahuan responden terhadap rencana lokasi TPA

Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan atau preferensi masyarakat

di sekitar lokasi TPA Sampah Leuwinanggung terhadap penetapan lokasi TPA

sampah Leuwinanggung, diajukan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah

Bapak/Ibu/Saudara mengetahui, bahwa di dalam Rencana Umum Wilayah

(RTRW) Kota Depok, di sekitar tempat tinggal anda telah direncanakan lokasi

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah?”

Jawaban responden terhadap pertanyaan tersebut di atas diketahui bahwa

Umumnya (91% dari 100 orang) responden tidak mengetahui rencana penetapan

lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah di sekitar tempat tinggalnya. Lihat

tabel IV.4.

TABEL IV.4
PENGETAHUAN MASYARAKAT
TENTANG PENETAPAN LOKASI TPA SAMPAH LEUWINANGGUNG
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Valid Mengetahui 1 1 1 1
Tidak Mengetahui 91 91 91 92
Tidak Memberi
Jawaban 8 8 8 100

Total 100 100 100


Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006
137

Alasan yang dikemukakan terhadap hal tersebut adalah bahwa (37,37%)

menyatakan tidak ada penjelasan dari pemerintah, tidak mengerti tentang RTRW

dijawab oleh 21,2%, 19,19% responden menyatakan tidak dilibatkan dalam

penyusunan RTRW, 13,13 tidak menjawab pertanyaan, responden yang

menjawab tidak mengikuti berita surat kabar 8% sedangkan atau 1% menjawab

lainnya (tidak perduli). Alasan yang dikemukakan oleh responden selengkapnya

dapat dilihat pada tabel IV.5.

TABEL IV.5
ALASAN MASYARAKAT
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Tdk mengikuti berita Srt
Valid Kabar 8 8.1 8.1 8.1
Tdk ada penjelasan dari
pemerintah 37 37.4 37.4 45.5
Tidak dilibatkan dalam
penyusunan RTRW 19 19.2 19.2 64.6
Tidak mengerti tentang
RTRW 21 21.2 21.2 85.9
Tidak memberi jawaban 13 13.1 13.1 99.0
lainnya 1 1.0 1.0 100.0
Total 99 100.0 100.0
Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

Dari pengetahuan masyarakat ini, dapat diketahui bahwa pengetahuan

masyarakat terhadap rencana penetapan lokasi TPA sampah relatif kecil. Melalui

kajian terhadap alasan yang dikemukakan dapat diindikasikan bahwa masyarakat

tidak mempunyai kemudahan dalam mendapatkan informasi tentang rencana

penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung dan atau rencana penetapan lokasi

TPA sampah Leuwinanggung tidak diinformasikan dan disosialisasikan kepada

masyarakat.
138

4.2.2 Sikap masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

sampah

Kepada responden ditanyakan, “Apakah TPA bermanfaat untuk

meningkatkan kebersihan Kota Depok”, maka persepsi masyarakat terhadap

manfaat TPA sampah adalah 68% menyatakan bermanfaat dan 32 % menyatakan

tidak bermanfaat. Untuk mengetahui seberapa besar masyarakat menyatakan

pendapat tentang jawaban tersebut dapat dilihat pada tabel IV.6.

TABEL IV.6.
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG MANFAAT TPA
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Valid Bermanfaat 68 68.0 68 68
Tidak Bermanfaat 32 32.0 32 100

Total 100 100.0 100


Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

Adapun alasan yang dikemukakan oleh responden yang menjawab bahwa

tempat pembuangan akhir sampah bermanfaat umumnya (72%) responden

menyatakan karena TPA dapat meningkatkan kebersihan kota Depok, sebesar

16,17% responden menjawab lebih dari satu jawaban, 7,35% responden memberi

alasan bahwa TPA dapat mengurangi pencemaran lingkungan, 2,94% menjawab

karena alasan karena sampah dapat diolah dengan lebih baik dan 1,47% responden

menyatakan TPA dapat mengurangi dampak negatif. Dari 68 orang responden

tidak ada satupun responden yang mengemukakan alasan bahwa TPA dapat

mengurangi bau. (lihat tabel IV.7)


139

TABEL IV.7.
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG ALASAN MANFAAT TPA
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Dapat meningkatkan
Valid Kebersihan Kota Depok 49 72.1 72.1 72.1
Sampah dapat diolah dengan
lebih baik dan sehat 2 2.9 2.9 75.0
TPA dapat mengurangi
pencemaran lingkungan 5 7.4 7.4 82.4
TPA dapat mengurangi bau 0 0.0 0.0 82.4
TPA dapat mengurangi dampak
negatif 1 1.5 1.5 83.8
lainnya, jika memilih lebih dari 1
(satu) jawaban 11 16.2 16.2 100.0
Total 68 100.0 100.0
Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

Gambaran di atas menunjukan bahwa pendapat masyarakat tentang

manfaat TPA sampah umumnya lebih terkait dengan masalah estetika

(kebersihan) dibandingkan dengan pengaruh keberadaan sampah terhadap

lingkungan yang masih relatif kecil, sehingga dapat disimpulkan pengetahuan

masyarakat terhadap dampak keberadaan TPA terhadap lingkungan masih relatif

rendah. Namun persepsi masyarakat terhadap keberadaan TPA sampah umumnya

dapat dikatakan baik.

4.2.3 Harapan masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

sampah

Lebih dari separuh responden atau 58% mengatakan terdapat harapan

terhadap keberadaan TPA. Alasan yang dikemukakan adalah agar kota Depok

semakin bersih disampaikan oleh sebesar 46,15%, dan 21,79% responden memilih

jawaban lebih dari satu, sedangkan 17,95% responden menyampaikan alasan agar

pengangkutan sampah menjadi lebih baik, sedangkan sebesar 5,12% responden


140

beralasan agar disiplin masyarakat dalam membuang sampah semakin baik dan

1,28% responden menyatakan alasan karena TPA dapat mengurangi bau.

TABEL IV.8
HARAPAN MASYARAKAT TERHADAP TPA
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent
Percent

Valid Terdapat harapan 58 58.0 58 58

Tidak ada harapan 42 42.0 42 100

Total 100 100.0 100


Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

TABEL IV.9
HARAPAN TERHADAP RENCANA TPA LEUWINANGGUNG
Cumulati
Valid ve
Frequency Percent
Percent
Percent
Agar kota Depok semakin
Valid bersih 36 46.2 46.2 46.2
Pengangkutan sampah
semakin lebih baik 14 17.9 17.9 64.1
Agar disiplin masyarakat
dalam membuang sampah
semakin baik 4 5.1 5.1 69.2
TPA dapat mengurangi bau 1 1.3 1.3 70.5
TPA dapat menyerap tenaga
kerja 6 7.7 7.7 78.2
lainnya, jika memilih lebih dari
1 (satu) 17 21.8 21.8 100.0
Total 78 100.0 100.0
Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

Melalui pendapat masyarakat di atas dapat diketahui bahwa harapan

masyarakat lebih kepada masalah estetika (kebersihan) dan proses pengelolaan

sampah dibandingkan pendapat masyarakat tentang dampak sampah terhadap

lingkungan serta tidak ada satupun masyarakat yang mempunyai harapan terhadap

peningkatan ekonomi lokal (masyarakat). Umumnya masyarakat mempunyai


141

persepsi yang baik, karena masyarakat masih melihat adanya harapan dalam

pengelolaan sampah yang lebih baik.

4.2.4 Tanggapan masyarakat terhadap pengangkutan sampah

Terhadap perkiraan pengangkutan sampah, para responden pada

umumnya mengatakan terganggu (75%). Hanya 25% yang mengatakan tidak

terganggu. Alasan yang dikemukakan bagi mereka yang menjawab terganggu

pada umumnya adalah karena jalan menuju lokasi TPA sempit dinyatakan oleh

38,67%, diikuti oleh 32% responden menyampaikan alasan lebih dari satu, 13,3%

responden menyampaikan alasan karena kelas jalan tidak sesuai dilalui truk, 8%

responden menyampaikan perkiraan bau sampah yang diangkut akan

mengganggu, 2,67% responden menyatakan lalu lalang truk menimbulkan debu

dan akan merusak dinding rumah, diikuti masing-masing sebanyak 1 orang

responden (1,33%) menyampaikan alasan lalu lalang truk akan menimbulkan

bising dan rawan kecelakaan. Sedangkan alasan yang dikemukakan responden

yang tidak terganggu oleh lalu lalang truk, karena demi menjaga kebersihan

disampaikan oleh 60% responden, diikuti 7% responden menyampaikan jawaban

lebih dari satu dan 12% menyampaikan karana konsekuensi dari pembangunan.

TABEL IV.10.
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGANGKUTAN SAMPAH
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Valid Mengganggu 75 75.0 75 75
Tidak mengganggu 25 25.0 25 100

Total 100 100.0 100


Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006
142

TABEL IV.11
ALASAN TERGANGGU OLEH PENGANGKUTAN SAMPAH
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Valid Bau sampah yang diangkut 6 8.0 8.0 8.0
Jalan Sempit 29 38.7 38.7 46.7
Lalu lalang truk menimbulkan
debu 2 2.7 2.7 49.3
Lalu lalang truk menimbulkan
bising 1 1.3 1.3 50.7
Rawan Kecelakaan 1 1.3 1.3 52.0
Kelas jalan tidak sesuai dilalui
truk 10 13.3 13.3 65.3
Akan merusak dinding rumah 2 2.7 2.7 68.0
lainnya, jika memilih lebih dari 1
(satu) jawaban 24 32.0 32.0 100.0

Total 75 100.0 100.0


Sumber : Hasil surevei Lapangan Februari 2006

TABEL IV.12
ALASAN TIDAK TERGANGGU OLEH PENGANGKUTAN SAMPAH
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Valid Demi menjaga kebersihan 15 60 60 60
Konsekuensi dari
pembangunan 3 12 12 72
lainnya, jika memilih lebih dari
1 (satu) jawaban 7 28 28 100

Total 25 100 100


Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

Pendapat masyarakat tentang perkiraan pengangkutan sampah umumnya

merasa akan terganggu karena kapasitas dan kondisi jalan menuju lokasi TPA

sampah tidak memadai. Sedangkan pendapat yang dinyatakan oleh masyarakat

yang tidak merasa akan terganggu oleh proses pengangkutan sampah umumnya

karena harapan agar pelayanan terhadap pengelolaan sampah menjadi lebih baik.

Dari jawaban responden di atas maka dapat disimpulkan terdapat persepsi buruk

terhadap pengangkutan sampah.


143

4.2.5 Tanggapan masyarakat terhadap kegiatan pemulung

Jawaban terhadap pengetahuan masyarakat terhadap kegiatan pemulung,

60% responden menjawab tidak mengetahuinya dan sebanyak 40 % responden

menjawab mengetahui kegiatan pemulung.

TABEL IV.13
PREFERENSI MASYARAKAT TENTANG PEMULUNG
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Valid Mengetahui 40 40.0 40 40

Tidak mengetahui 60 60.0 60 100

Total 100 100.0 100


Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

Pendapat responden terhadap kegiatan pemulung umumnya 43%

responden menjawab terganggu, 37% responden menjawab tidak terganggu dan

20% responden tidak menjawab. Alasan yang dikemukakan oleh responden yang

memperkirakan bahwa kegiatan pemulung akan mengganggu, pada umumnya

karena pemulung akan mengganggu keamanan (69,77%), 16,27% responden

beralasan pemulung dapat menyebabkan sampah tercecer dan 13,95% responden

menjawab lebih dari satu jawaban. Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh

responden yang memperkirakan bahwa kegiatan pemulung tidak akan

mengganggu, pada umumnya karena pemulung akan dapat memanfaatkan

barang-barang yang tidak berguna (35,90%), 28,20% responden orang beralasan

pemulung mencari makan untuk dirinya dan 23,10% responden menjawab lebih

dari satu jawaban, serta 12,80% responden menjawab bahwa pemulung dapat

menciptakan lapangan pekerjaan.


144

TABEL IV.14
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMULUNG
Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent
Valid Mengganggu 43 47.78 47.78 47.78
Tidak mengganggu 37 41.11 41.11 88.89
Tidak menjawab 10 11.11 11.11 100

Total 90 100 100


Sumber : Hasil survei Lapangan Februari 2006

Dari kajian di atas dapat diketahui bahwa secara umum masyarakat

merasa terganggu oleh kegiatan pemulung karena faktor keamanan dan bagi

masyarakat tidak terganggu oleh kegiatan pemulung secara umum menyampaikan

alasan bahwa kegiatan pemulung dapat menciptakan lapangan kerja dengan

memanfaatkan barang-barang yang tidak berguna. Sebagian besar masyarakat

merasa terganggu oleh kegiatan pemulung artinya bahwa terdapat persepsi buruk

terhadap pemulung.

4.2.6 Penilaian persepsi masyarakat

Variabel yang menentukan baik dan buruknya persepsi masyarakat

terhadap penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung ditentukan berdasarkan

asumsi penilaian terhadap keempat variabel, yaitu varibel manfaat dan harapan

masyarakat terhadap TPA serta persepsi masyarakat terhadap pengangkutan

sampah dan pemulung.

Berdasarkan identifikasi terhadap manfaat TPA diketahui bahwa

umumnya (68%) responden menyatakan TPA Leuwinanggung bermanfaat dan

identifikasi terhadap harapan masyarakat pada TPA Leuwinanggung, umumnya

(58%) responden menyatakan terdapat harapan pada TPA tersebut, sedangkan

persepsi masyarakat terhadap perkiraan pengangkutan sampah dan kegiatan

pemulung, maka berdasarkan identifikasi di atas diketahui bahwa hanya 25%


145

responden menyatakan tidak akan terganggu oleh adanya pengangkutan sampah

dan hanya 48% responden menyatakan akan tidak akan terganggu oleh kegiatan

pemulung.

Dengan menggunakan persamaan I=R/N, dimana:

I = lebar interval
R = rentang, yaitu data terbesar dikurangi data terkecil
N = banyak kelas interval, dicari dengan menggunakan aturan Sturges, yaitu:
1 + 3,3 log n

Jika ditentukan banyaknya kelas interval adalah 3 (tiga), yaitu baik,

cukup baik dan buruk (tiga kelas interval), maka dengan nilai N (banyak kelas

interval) adalah 1+3,3log3, sehingga nilai N adalah 2,57575. Sedangkan jika

diasumsikan bahwa nilai tertinggi adalah 100% dan nilai terendah adalah 1%,

dengan demikian maka R (rentang data terbesar dikurangi data terkecil) adalah

99%, sehingga I (lebar interval) adalah R/N.

99%
I = = 38,43541%.
2,57575

Sehingga nilai masing-masing kelas interval adalah sebagai berikut:

A. Persepsi baik adalah = 78% - 100%


B. Persepsi cukup baik = 39% - 77%
C. Persepsi Buruk = 0% - 38%
Dengan mengasumsikan bahwa persepsi masyarakat terhadap rencana

TPA Leuwinanggung merupakan nilai rata-rata prosentase keempat varibel di

atas, maka nilai rata-rata tersebut adalah sebagai berikut:

X1 + X2+ X3+ X3
X =
4
68% + 58% + 25% + 48%
X = = 48,5%
4
146

Oleh karenanya, dengan nilai rata-rata 48,5%, maka persepsi mayarakat berada

pada kelas interval cukup baik, yaitu diantara nilai 39% -77%.

1.3 Kapasitas Lahan

Ditinjau dari daya tampung lokasi yang digunakan untuk TPA

disyaratkan dalan kriteria SNI bidang persampahan adalah dapat menampung

pembuangan sampah minimum selama 5 (lima) tahun operasi. Perhitungan

kebutuhan luas lahan untuk suatu lokasi TPA sampah di dasarkan atas besarnya

volume sampah yang diproduksi setiap hari, tingkat pemadatan sampah dan

ketinggian timbunan yang direncanakan. Persamaan perhitungan kebutuhan luas

lahan adalah sebagai berikut:

Kebutuhan lahan per tahun:

V x 300
L = x 0,70 x 1,15
T

Dimana : L = luas lahan yang dibutuhkan setiap tahun (m²)


V = Volume sampah yang telah dipadatkan (m³/hari)
V = Ax E
A = Volume sampah yang akan dibuang
E = tingkat pemadatan (kg/m³), rata-rata 600 kg/ m³
2 liter =1,6 kg (Sunardi, 2000:66), sehingga
600kg = 0,48 m³
T = Ketinggian timbunan yang direncanakan (m),
15% rasio tanah penutup.
Sedangkan kebutuhan luas lahan adalah:

H = L x I x J, dimana :
H = Luas total lahan (m²).
L = Luas lahan setahun
I = umur lahan (tahun)
147

J = rasio luas lahan total dengan luas lahan efektif sebesar 1,2
Berdasarkan proyeksi timbulan sampah kota Depok tahun 2001 -2010,

pada tahun 2006 timbulan sampah kota Depok akan mencapai 3.620 m³. Dari

3.620 m³ hanya 47% yang akan terlayani pada tahun 2006 melalui pengelolaan

persampahan kota Depok, artinya hanya sebesar 1.701,4 m³ sampah yang akan

dikelola/dibuang .

Setelah dipadatkan, dari volume sampah sebesar 1.701,4 m³ maka akan

dihasilkan volume sampah padat sebesar 816,67 m³. Melalui persamaan di atas

dihasilkan besaran luas lahan yang dibutuhkan adalah 0.013 ha/hari atau sama

dengan 4.75 ha/tahun atau sama dengan kebutuhan lahan pada tahun 2006.

Guna memenuhi kebutuhan lahan selama 5 (lima) tahun, dengan asumsi

kebutuhan lahan tiap tahun tetap, maka dibutuhkan lahan sebesar 23,75 ha. Total

lahan yang tersedia hanya mencapai 13,48 ha. Dengan demikian luas lahan yang

tersedia hanya dapat menampung sampah selama 3 (tiga) tahun. Oleh karenanya

maka kapasitas lahan untuk lokasi TPA Leuwinanggung ini tidak memadai.

Perhitungan kapasitas lahan dapat dilihat pada lampiran II.

1.4 Kelayakan Lokasi TPA Sampah Leuwinanggung

Untuk mengetahui kelayakan lokasi Leuwinanggung kota Depok, maka

analisis yang dilakukan adalah metode skoring. Penentuan skor masing-masing

variabel didasarkan atas pembobotan parameter-parameter dari masing-masing

variabel tersebut. Besarnya bobot dari masing-masing parameter ditentukan atas

dasar besarnya pengaruh kepentingannya. Proses perhitungan skor adalah sebagai

berikut:

1. Masing-masing indikator diberi nilai sesuai dengan tingkat pengaruhnya

terhadap kelayakan lokasi TPA sampah dengan cara menjumlahkan nilai,


148

penentuan nilai suatu faktor ditentukan dari jumlah indikator yang dinilai

dalam suatu satu parameter.

2. Selanjutnya dari hasil penjumlahan tersebut dilakukan penggolongan (3) tiga

kategori tingkat efektivitas parameter (layak, layak dipertimbangkan dan

tidak layak) berdasarkan lebar interval kelas.

3. Nilai interval kelas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

I=R/N
Dimana:
I = lebar interval
R = rentang, yaitu data terbesar dikurangi data terkecil
N = banyak kelas interval, dicari dengan menggunakan aturan Sturges,
yaitu:
1 + 3,3 log n
(Sumber: Sudjana, 1989:47)

4. Jumlah skor tertinggi pada kondisi ideal yang seharusnya dihasilkan adalah

merupakan perkalian antara bobot parameter x nilai tertinggi indikator,

sedangkan untuk skor terendah adalah perkalian antara bobot parameter x

nilai terendah indikator. Setelah dihasilkan batas nilai skor untuk masing-

masing kategori, kemudian dihitung jumlah tingkat efektivitas masing-

masing parameter.

5. Selanjutnya menguji apakah lokasi TPA sampah mempunyai nilai

kelayakan, melalui perhitungan kelas interval yang akan digunakan, yaitu

sebanyak 3 kelas (layak, layak dipertimbangkan dan tidak layak). Dengan

demikian perhitungan lebar intervalnya adalah sebagai berikut:

I=R/1 + 3,3 log 3


149

TABEL IV.15
PERHITUNGAN SKOR LOKASI TPA SAMPAH
LEUWINANGGUNG DI KOTA DEPOK
No Parameter Bobot Indikator Nilai Skor
(Bobot x
Nilai)
1 • Batas 5 • Dalam batas 10 5 x 10
Administrasi administrasi
• Di luar batas (skor
administrasi 5
tetapi dalam tertinggi)
satu sistem
pengelolaan
TPA sampah
terpadu
• Di luar batas
administrasi
dan di luar
sistem 1
pengelolaan
TPA sampah
terpadu

• Diluar batas 1
administrasi

2
.
.
.
Total

skor

Sumber: SK SNI T-11-1991-03


150

Kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung berdasarkan kriteria SK

SNI adalah sebagai berikut: jumlah skor seluruh parameter yang dihasilkan

sebesar 407. Skor terendah dari perhitungan seluruh parameter adalah 71 dan skor

tertinggi adalah 780. Sehingga nilai kelayakan untuk lokasi TPA sampah

Leuwinanggung akan di dapat melalui perhitungan kelas interval yang digunakan,

yaitu sebanyak 3 kelas (layak, layak dipertimbangkan dan tidak layak).

Berdasarkan persamaan, I=R/1 + 3,3 log 3, dimana R yang dihasilkan

adalah sebesar 709; Log 3 = 0.4775; maka I = 275. Dengan membagi skor

terbesar dengan I, di dapat nilai masing-masing kelas interval sebagai berikut:

1. Besarnya nilai kelas interval layak adalah 551 - 780

2. Besarnya nilai kelas interval Layak dipertimbangkan adalah 276 – 550

3. Besarnya nilai kelas interval tidak layak adalah 0 – 275

Dengan skor 438, maka berdasarkan kelas interval di atas, nilai

kelayakan lokasi TPA Leuwinanggung berada pada kelas interval 276-550.

Dengan demikian maka Lokasi TPA sampah Leuwinanggung kota Depok dapat

dinyatakan layak dipertimbangkan (lihat lampiran III).

Sedangkan kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung berdasarkan

kriteria hasil analisis kritis terhadap SK SNI, tanpa mempertimbangkan kriteria

Internasional adalah sebagai berikut: jumlah skor seluruh parameter yang

dihasilkan adalah 361. Skor terendah dari perhitungan seluruh parameter adalah

64 dan skor tertinggi adalah 685. Sehingga nilai kelayakan untuk lokasi TPA

sampah Leuwinggung didapat melalui perhitungan kelas interval yang digunakan,

yaitu sebanyak 3 kelas interval (layak, layak dipertimbangkan dan tidak layak).

Dengan R yang dihasilkan sebesar 621; Log 3 = 0.4775; maka I = 241,

sehingga nilai masing-masing kelas interval adalah sebagai berikut:

1. Besarnya nilai kelas interval layak adalah 483 - 685


151

2. Besarnya nilai kelas interval Layak dipertimbangkan adalah 242 – 482

3. Besarnya nilai kelas interval tidak layak adalah 0 – 241

Dengan skor 361, maka berdasarkan kelas interval di atas, nilai

kelayakan lokasi TPA Leuwinanggung berada pada kelas interval 242-482.

Dengan demikian maka Lokasi TPA sampah Leuwinanggung kota Depok dapat

dinyatakan layak dipertimbangkan (lihat lampiran IV).

Berdasarkan kriteria yang berlaku di Inggris Raya, jika suatu lokasi TPA

sampah ditetapkan pada lokasi kawasan konservasi/daerah resapan air maka lokasi

penetapan TPA sampah tersebut harus ditolak. Lokasi TPA sampah

Leuwinanggung berada pada kawasan resapan air, oleh karenanya berdasarkan

kriteria tersebut, maka penetapan lokasi TPA ini harus ditolak, dengan kata lain

lokasi TPA sampah Leuwinanggung menurut kriteria Internasional (Inggris Raya)

adalah tidak layak.

1.5 Sintesa

Berdasarkan analisis kritis terhadap kriteria SK SNI tentang pemilihan

lokasi TPA sampah, analisis persepsi masyarakat, analisis kapasitas lahan dan

analisis kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung sebagaimana yang telah

dilakukan di atas, maka sintesa terhadap hasil analisis tersebut dapat diuraikan

sebagai berikut:

a. Kriteria SNI Pemilihan Lokasi TPA Sampah

Beberapa analisis kritis dilakukan terhadap parameter yang diatur dalam

Kriteria SK SNI T-11-1991-03 tentang pemilihan Lokasi TPA. Analisis kritis

yang dilakukan, menghasilkan beberapa pengurangan, penyesuaian dan


152

penambahan parameter SK SNI. Pengurangan yang diusulkan terhadap beberapa

parameter SK SNI, yaitu terhadap parameter (1) jumlah pemilik lahan, (2)

intensitas hujan, (3) kebisingan dan bau, (4) estetika, serta (5) parameter-

parameter yang terkait dengan air tanah, yaitu dapat dilakukan pada kondisi

masukan teknologi telah terpenuhi.

Sedangkan hasil analisis kritis yang merupakan penyesuaian dilakukan

terhadap (1) parameter batas administrasi, yaitu terhadap bobot nilai indikator di

luar batas administrasi tetapi dalam satu sistem pengelolaan TPA sampah

terpadu dan di dalam batas administrasi dan (2) parameter partisipasi masyarakat,

yaitu indikator partisipasi masyarakat dari spontan, digerakan dan negosiasi

menjadi: spontan, partisipasi dengan ketentuan dan tidak ada partisipasi.

Disamping itu berdasarkan analisis kritis dengan membandingkan antara

kriteria SK SNI dan kriteria di beberapa negara, diusulkan beberapa penambahan

parameter, yaitu (1) kawasan konservasi dan resapan air, (2) cagar budaya/situs-

situs sejarah dan (3) lokasi mengandung bahan tambang dan mudah meledak.

Sedangkan berdasarkan fenomena empirik di beberapa TPA di Indonesia

penambahan parameter yang diusulkan untuk dipertimbangkan masuk dalam

kriteria pemilihan lokasi TPA sampah adalah parameter persepsi masyarakat.

Hasil dari analisis kritis tersebut dapat dilihat pada tabel IV.3.

b. Persepsi Masyarakat

Variabel yang menentukan baik dan buruknya persepsi masyarakat

terhadap penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung ditentukan berdasarkan

asumsi penilaian terhadap keempat variabel, yaitu varibel manfaat dan harapan
153

masyarakat terhadap TPA serta persepsi masyarakat terhadap pengangkutan

sampah dan pemulung.

Berdasarkan identifikasi terhadap manfaat TPA diketahui bahwa

umumnya (68%) responden menyatakan TPA Leuwinanggung bermanfaat dan

identifikasi terhadap harapan masyarakat pada TPA Leuwinanggung, umumnya

(58%) responden menyatakan terdapat harapan pada TPA tersebut, sedangkan

persepsi masyarakat terhadap perkiraan pengangkutan sampah dan kegiatan

pemulung, maka berdasarkan identifikasi di atas diketahui bahwa hanya 25%

responden menyatakan tidak akan terganggu oleh adanya pengangkutan sampah

dan hanya 48% responden menyatakan tidak akan terganggu oleh kegiatan

pemulung. Dengan mengasumsikan bahwa persepsi masyarakat terhadap rencana

TPA Leuwinanggung merupakan nilai rata-rata prosentase keempat varibel di atas

dengan nilai rata-rata dari keempat variabel tersebut sebesar 48,5%, maka persepsi

mayarakat terhadap penetapan lokasi TPA sampah Leuwinanggung cukup baik.

c. Kapasitas Lahan

Luas lahan yang tersedia bagi peruntukan lokasi TPA sampah

Leuwinanggung adalah sebesar 13,48 ha. Luas lahan sebesar 13,48 dapat

menampung produksi sampah kota Depok selama 3 (tiga) tahun dengan tingkat

pelayanan 47%.

d. Kelayakan Lokasi TPA Sampah

Kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung berdasarkan kriteria SK

SNI, dapat diketahui melalui perhitungan dengan persamaan, I=R/1 + 3,3 log 3,
154

dimana R yang dihasilkan adalah sebesar 709; Log 3 = 0.4775; maka I = 275.

Dengan membagi skor terbesar dengan I, di dapat nilai masing-masing kelas

interval sebagai berikut:

1. Besarnya nilai kelas interval layak adalah 551 - 780

2. Besarnya nilai kelas interval Layak dipertimbangkan adalah 276 – 550

3. Besarnya nilai kelas interval tidak layak adalah 0 – 275

Dengan skor 438, maka berdasarkan kelas interval di atas, nilai kelayakan

lokasi TPA Leuwinanggung berada pada kelas interval 276-550. Dengan

demikian maka Lokasi TPA sampah Leuwinanggung kota Depok dapat

dinyatakan layak dipertimbangkan.

Sedangkan kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung berdasarkan

kriteria hasil analisis kritis terhadap SK SNI, dengan tanpa mempertimbangkan

kriteria Internasional adalah sebagai berikut: jumlah skor seluruh parameter yang

dihasilkan sebesar 361. Skor terendah dari perhitungan seluruh parameter adalah

64 dan skor tertinggi adalah 685. Sehingga nilai kelayakan untuk lokasi TPA

sampah Leuwinanggung, dengan skor 361, berdasarkan penilaian berada pada

kelas interval 242-482, yaitu kelas interval layak dipertimbangkan.

Jika membandingkan dengan beberapa kriteria Internasional, terutama

kriteria yang berlaku di Inggris Raya, maka lokasi TPA sampah

Leuwinanggung merupakan lokasi yang tidak layak. Ketidak layakan

berdasarkan kriteria yang diterapkan di Inggris Raya tersebut, karena lokasi TPA

sampah Leuwinanggung berada pada peruntukan sebagai kawasan konservasi air

tanah. Berdasarkan kriteria Inggris Raya tersebut, jika lokasi TPA sampah berada

pada kawasan konservasi/daerah resapan air maka lokasi tersebut harus ditolak.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Indikasi awal persoalan persampahan di kota-kota Jabodetabek dan kota-

kota metropolitan lainnya adalah akibat keterbatasan lahan bagi lokasi TPA dan

kondisi lingkungan yang terbatas serta adanya beberapa aspek yang belum diatur

dalam SK SNI tentang kriteria pemilihan lokasi TPA sampah. Aspek yang belum

diatur diantaranya adalah aspek persepsi masyarakat. Persoalan akibat tidak

mempertimbangkan aspek persepsi masyarakat dalam pemilihan lokasi TPA

sampah terjadi dalam penetapan lokasi TPST DKI Jakarta di Desa Bojong

Kabupaten Bogor. Untuk itu, di dalam melakukan kajian terhadap penetapan

lokasi TPA sampah Leuwinanggung Kota Depok terlebih dahulu dilakukan

analisis kritis terhadap SK SNI tersebut.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis kritis terhadap SK SNI, dihasilkan beberapa

masukan yang dapat dipertimbangkan guna mendapatkan lokasi TPA sampah

yang sesuai dengan kondisi lingkungan, kapasitas lahan dan kondisi

kemasyarakatan yang ada. Analisis kritis yang dilakukan, menghasilkan beberapa

pengurangan, penyesuaian dan penambahan terhadap parameter SK SNI.

Pengurangan yang diusulkan terhadap beberapa parameter SK SNI, yaitu

terhadap parameter (1) jumlah pemilik lahan, (2) intensitas hujan, (3) kebisingan

dan bau, (4) estetika, serta (5) parameter-parameter yang terkait dengan air tanah,

yaitu dapat dilakukan pada kondisi masukan teknologi telah terpenuhi.

155
156

Sedangkan hasil analisis kritis yang merupakan penyesuaian dilakukan

terhadap parameter (1) batas administrasi, yaitu terhadap bobot nilai indikator di

luar batas administrasi tetapi dalam satu sistem pengelolaan TPA sampah

terpadu dan di dalam batas administrasi dan (2) parameter partisipasi masyarakat,

yaitu indikator partisipasi masyarakat dari spontan, digerakan dan negosiasi

menjadi: spontan, partisipasi dengan ketentuan dan tidak ada partisipasi.

Disamping itu berdasarkan analisis kritis dengan membandingkan antara

kriteria SK SNI dan kriteria di beberapa negara, diusulkan beberapa penambahan

parameter, yaitu parameter (1) kawasan konservasi dan resapan air, (2) cagar

budaya/situs-situs sejarah dan (3) lokasi mengandung bahan tambang dan mudah

meledak. Sedangkan berdasarkan fenomena empirik di beberapa TPA di

Indonesia penambahan parameter yang diusulkan untuk dipertimbangkan masuk

dalam kriteria pemilihan lokasi TPA sampah adalah parameter persepsi

masyarakat.

Guna mengetahui sejauhmana persepsi dan preferensi masyarakat

terhadap lokasi rencana TPA Leuwinanggung, maka variabel yang menentukan

baik dan buruknya persepsi masyarakat terhadap penetapan lokasi TPA sampah

Leuwinanggung ditentukan berdasarkan asumsi penilaian terhadap empat

variabel, yaitu varibel manfaat dan harapan masyarakat terhadap TPA serta

persepsi masyarakat terhadap pengangkutan sampah dan pemulung.

Berdasarkan identifikasi terhadap manfaat TPA diketahui bahwa

umumnya (68%) responden menyatakan TPA Leuwinanggung bermanfaat dan

identifikasi terhadap harapan masyarakat pada TPA Leuwinanggung, umumnya


157

(58%) responden menyatakan terdapat harapan pada TPA tersebut, sedangkan

persepsi masyarakat terhadap perkiraan pengangkutan sampah dan kegiatan

pemulung, maka berdasarkan identifikasi di atas diketahui bahwa hanya 25%

responden menyatakan tidak akan terganggu oleh adanya pengangkutan sampah

dan hanya 48% responden menyatakan akan tidak akan terganggu oleh kegiatan

pemulung.

Jika ditentukan banyaknya indikator persepsi masyarakat sebanyak 3

(tiga) kelas interval, yaitu baik, cukup baik dan buruk, maka melalui penilaian

terhadap keempat variabel di atas diketahui bahwa persepsi masyarakat disekitar

lokasi TPA sampah Leuwinanggung berada pada kelas interval diantara nilai

39%-77%, yaitu dengan nilai 48,5%. Dengan demikian persepsi masyarakat

terhadap penetapan lokasi TPA sampah Leuwinangung dapat dikatakan cukup

baik.

Kapasitas lahan lokasi TPA sampah Leuwinanggung tidak memenuhi

kapasitas lahan yang memadai. Kapasitas lahan yang dibutuhkan sebesar 23,75 ha,

sedangkan luas lahan yang tersedia adalah sebesar 13,48 ha.

Kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung berdasarkan kriteria SK

SNI, dengan skor 438 berada pada kelas interval 276-550, sehingga lokasi TPA

sampah Leuwinanggung kota Depok dapat dinyatakan layak dipertimbangkan.

Sedangkan kelayakan lokasi TPA sampah Leuwinanggung berdasarkan

kriteria hasil analisis kritis terhadap SK SNI, dengan tanpa mempertimbangkan

kriteria Internasional, dengan skor 361 berada pada kelas interval 242-482, yaitu

kelas interval layak dipertimbangkan. Jika membandingkan dengan beberapa


158

kriteria Internasional, terutama kriteria yang berlaku di Inggris Raya, maka lokasi

TPA sampah Leuwinanggung merupakan lokasi yang tidak layak. Ketidak

layakan berdasarkan kriteria yang diterapkan di Inggris Raya tersebut, karena

lokasi TPA sampah Leuwinanggung berada pada peruntukan sebagai kawasan

konservasi air tanah. Berdasarkan kriteria Inggris Raya tersebut, jika lokasi TPA

sampah berada pada kawasan konservasi/daerah resapan air maka lokasi tersebut

harus ditolak.

5.2 Rekomendasi

Mengingat lokasi TPA sampah Leuwinanggung merupakan lokasi yang

layak dipertimbangkan berdasarkan kriteria SNI dan kriteria hasil analisis kritis

terhadap SNI, maka pertimbangan yang perlu dilakukan dalam penetapan

lokasinya adalah pertimbangan terhadap aspek kapasitas lahan dan perkembangan

tingkat kepadatan bangunan yang relatif cukup pesat di sekitar lokasi TPA

rencana. Sedangkan terhadap ketidak layakan lokasi TPA berdasarkan kriteria

Internasional, maka TPA sampah rencana yang telah ditetapkan tersebut

hendaknya dipindahkan ke lokasi lain yang peruntukan lahannya tidak pada

peruntukan kawasan konservasi/resapan air.

Guna mengatasi keterbatasan lahan akibat perkembangan tingkat

kepadatan bangunan yang relatif cukup pesat, maka pada penetapan lokasi TPA

sampah Leuwinanggung, direkomendasikan agar lokasi TPA sampah

Leuwinanggung dapat dipindahkan ke lokasi lain, dalam hal ini melalui

keikutsertaan pemerintah kota Depok dalam kerjasama pengelolaan sampah

terpadu di wilayah Jabodetabek yang sedang dalam proses pembentukan.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Azwar, Azrul, 1990, ”Pengantar Ilmu Lingkungan”, Mutiara Sumber Widya,
Jakarta.
Azwar, dan Saifuddin, 1995,”Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya”,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Bintarto, R., 1977, ”Geografi Kota, Pengantar”, Yogyakarta: Spring.
Budhiharsono, Sugeng, 2001, ”Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir
dan Lautan”, Pradnya Paranita, Jakarta
Catanese, A.J and Snyder, J.C,”Pengantar Perencanaan Kota”,Erlangga, Jakarta.
Fetter, C W, 1999, ”Contaminant Hyrogeology, Second Edition”, Prentice-Hall
Inc, New Jersey.
Gumbira Said E, Murtadho, Juli , 1987, ”Penanganan dan Pemanfaatan Limbah
Padat”, Mudiyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Gumbira Said E, 1987, ”Sampah Masalah Kita Bersama”, Melton Putra, Jakarta.
Hadi P Sudharto. 2001, ”Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan”,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hendro, R, Rudi P, Hari Tri, 2001, ”Dimensi Keruangan Kota”, Universitas
Indonesia, Jakarta
Jayadinata, Johara T, 1986, ”Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan
Perkotaan & Wilayah”, ITB, Bandung.
Khadiyanto, Parfi, 2005, ”Tata Ruang Berbasis pada Kesesuaian Lahan”,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Kodiatie, Robert J, 2003, ”Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Nazir, Moh, 1983, ”Metode Penelitian”, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Otto Sumarwoto, 2001, ”Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan”,
Djambatan, Jakarta.

159
160

Panudju, Bambang, 1999, ”Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta


Masyarakat Berpenghasilan Rendah”, Alumni, Bandung
Petts, Judith & Gev Eduljee, 1994, ”Environmental Impact Assessment for Waste
Treatment and Disposal Facilities”, Wiley, New York.
Reksohadiprodjo, Sukanto dan A.R Karseno, 1997, ”Ekonomi Perkotaan”, BPFE,
Jogyakarta
Riduwan, 2002, ”Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian”, Penerbit
Alfabeta, Bandung.
Rukmana, Nana et.al, 1993, ”Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan”,
Pustaka LP3ES, Jakarta.
Saifuddin Azwar, Drs., MA, 2003, ”Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya,
Edisi ke 2”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sidharta, dan Eko Budihardjo, 1989, ”Konservasi Lingkungan dan Bangunan
Kuno Bersejarah di Yogyakarta,”Gadjah Mada University Press.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989, ”Metode Penelitian Survai”,
LP3ES, Jakarta.
Sudjarwo, 2001, ”Metodologi Penelitian Sosial”, Mandar Maju, Bandung
Tchobanoglous, G., Teisen H., Eliasen, R, 1977, “Integrated Solid Waste
Manajemen”, Mc. Graw Hill: Kogakusha, LTd

Makalah:
Damanhuri, Enri. 2005. “Longsornya TPA Leuwigajah Melengkapi Citra Buruk
TPA di Indonesia”. Departemen Teknik Lingkungan FTSP ITB.
Tjahjati B, 1996, ”Visi Pengelolaan Perkotaan Dalam Menghadapi Tantangan
Pembangunan Perkotaan Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap
Kedua.” Makalah disampaikan pada Seminar Manajemen Perkotaan
Masa Depan, Forum Manajemen Perkotaan, Bandung, 17 Januari1996.
Triutomo, Sugeng, 1995, “Tata Guna Lahan dan Daya Dukung Lingkungan”.
Makalah disampaikan dalam Pelatihan dalam Pengelolaan dan
Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Serang, 24 Januari 1995.
161

Tusy, 1999. “Teknologi Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Kerusakan


Lingkungan”. Makalah disampaikan pada Seminar Teknologi
Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan, BPPT,
Jakarta, 13 Juli 1999.

Skripsi/Tesis/Disertasi:
Gyotomo, Bhayu, 2003, “Kajian Pengelolaan Sampah Kota Bandung Pada TPA
Sampah Leuwi Gajah”. Tesis tidak diterbitkan, Studi Pembangunan,
Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.
Sunardi, Didik, 2000, “Mengidentifikasi Pokok-Pokok Persoalan dalam
Mengelola Kerjasama Penggunaan TPA Bersama Antara Kota dan
Kabupaten”. Tesis tidak diterbitkan, Studi Pembangunan, Program
Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.
Taswanto, Agus, 2000, ”Kajian Penentuan Lokasi TPA Sampah dari Aspek Fisik
dengan SIG”, Tugas Akhir tidak diterbitkan, Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Undip, Semarang

Surat Kabar/Majalah:
Kompas, 25 November 2004, ” Konflik Sampah, Lemahnya Manajemen
Persampahan”.
Kompas, 7 Desember 2004, ”Sindrom Sampah”.
Pikiran Rakyat, 22 November 2004, ”90% tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah di Jawa Barat tidak layak pakai”
Pikiran Rakyat, 9 Desember 2004,” Sepanjang manusia dan mahluk hidup lainnya
ada, maka problematika sampah pun akan terus ada”.
Tempo, September 2005, ” Mencari Teknologi yang Tak Rawan Polusi, beragam
teknologi pengolah sampah dikembangkan. Sayang, implementasinya
belum memuaskan.

Buku Data/Laporan:
Buku Kompilasi Data, ”Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-
2010”, Pemerintah Kota Depok, 2001.
162

Buku Rencana, ”Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010”,
Pemerintah Kota Depok, 2001.
Laporan Akhir, ”Studi Kelayakan TPA Kota Depok Tahun 2003”, Pemerintah
Kota Depok.

Peraturan :
NSPM Bidang Persampahan Dalam Rangka Sosialisasi ke Daerah, Ditjen Tata
Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Kimpraswil.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahin 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.

You might also like